SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016
PROSIDINGPerhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia (PERSEPSI)
“Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam
Pembangunan Peternakan Indonesia”
12 - 13 Februari 2016
di Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
Diterbitkan oleh:
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada
2016
ISBN: 978-979-1215-27-5
BG AGRI-FOOD
SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016
PROSIDINGPerhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia (PERSEPSI)
“Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam
Pembangunan Peternakan Indonesia”
12 - 13 Februari 2016
di Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
Diterbitkan oleh:
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada
2016
ISBN: 978-979-1215-27-5
BG AGRI-FOOD
ii
EDITOR:
Ir. F. Trisakti Haryadi, M.Si., Ph.D.
Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
Dr. Tri Anggraeni Kusumastuti, S.P., M.P.
Dr. Siti Andarwati, S.Pt., M.P.
Dr. Ir. Suci Paramitasari Syahlani, M.M.
Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS
Sutrisno Hadi Purnomo, S.Pt., M.Si., Ph.D
Diterbitkan oleh:
Himpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH NASIONAL I 2016
Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
12-13 Februari 2016
©2016, Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
Alamat : Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Jl. Fauna 3, Kampus UGM Bulaksumur 55281
Telp/Fax : 0274 513363/521578
Email : [email protected]
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr wb.,
Dalam rangka menindak lanjuti Deklarasi PERSEPSI yang dilakukan tanggal 23 Oktober 2015, maka Fakultas
Peteranakan Universitas Gadjah Mada menyelenggaakan MUNAS I dan sekaligus Seminar Nasional dengan tema
“Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peteranakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia”, yang
dilaksanakan di Fakultas Peternakan UGM tanggal 12-13 Februari 2016.
Dalam Seminar Nasional ini, Panitia mengundang para Praktisi, Dosen, Peneliti, Dinas dan Mahasiswa
Pascasarjana Peternakan. Di samping Pembicara Tamu dari kalangan Profesional dan Pengusaha, Panitia juga
mengundang para ilmuwan untuk mengemukakan hasil-hasil penelitian ke dalam tulisan ilmiah. Untuk itu, Prosiding
ini memuat hasil-hasil pemikiran dan penelitian serta dokumen hasil dari Musyawarah Nasional PERSEPSI I.
Kami berharap, Prosiding ini bermanfaat bagi banyak kalangan terutama bagi Ilmuwan, penentu kebijakan, dan
tentunya dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu terutama Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan.
Majulah dan Jayalah Peternakan Indonesia.
Yogyakarta, 13 Februari 2016
Ketua Panitia Pelaksana
Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................................................... i
Editor................................................................................................................................................................... ii
Kata Pengantar.................................................................................................................................................... iii
Daftar Isi.............................................................................................................................................................. iv
MAKALAH UTAMA
KONDISI TERKINI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI INDONESIA
Yudi Guntara Noor ............................................................................................................................................. 2
REVIEW BISNIS BROILER TAHUN 2015
Joko Susilo.......................................................................................................................................................... 8
RANCANGAN PENGEMBANGAN SAPI PASUNDAN DI JAWA BARAT
Rochadi Tawaf.................................................................................................................................................... 15
MAKALAH PENDUKUNG
PEMBERDAYAAN EKONOMI PRODUKTIF MASYARAKAT BERBASIS POTENSI “EMAS PUTIH” MELALUI
PENGUATAN PERAN KELOMPOK TANI-TERNAK DI DESA SINGOSARI KECAMATAN MOJOSONGO
KABUPATEN BOYOLALI
Shanti Emawati, Aqni Hanifa, dan Ayu Intan Sari................................................................................................ 25
MANAGEMENT AND INFORMATION SYSTEM SEBAGAI SOLUSI BAGI KONFLIK DATA KOMODITI
PANGAN YANG PENTING BAGI PIJAKAN PEMBANGUNAN
Minar Ferichani.................................................................................................................................................... 30
SKENARIO PEMODELAN SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN TANAMAN DI BAWAH
POHON KELAPA DI KABUPATEN MINAHASA SELATAN
Meiske L. Rundengan, Anneke K. Rintjap, dan Maasje T. Massie..................................................................... 35
ANALISIS SIKAP MULTIATRIBUT FISHBEIN TERHADAP PRODUK RENDANG PARU DI KAMPUNG
RENDANG KOTA PAYAKUMBUH SUMATERA BARAT
Elfi Rahmi dan James Hellyward......................................................................................................................... 43
TINGKAT DAYA SAING USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI KABUPATEN MAROS,PROPINSI
SULAWESI SELATAN
v
Sitti Nurani Sirajuddin, Ilham Rasyid, dan Nurul Ilmi Harun................................................................................. 48
MODEL ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF BAGI PETERNAK KAMBING DI
KABUPATEN MAJENE SULAWESI BARAT
Tanri Giling Rasyid, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Sofyan Nurdin Kasim................................................................ 53
TANGGAPAN PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP LEMBAGA PEMBIAYAAN FORMAL DAN INFORMAL
DI PEDESAAN
Aslina Asnawi, A. Amidah Amrawaty, Hastang, dan Ikrar Mohammad Saleh..................................................... 58
PERANAN PENYULUH TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB) PADA USAHA
PETERNAKAN SAPI POTONG DI DAERAH TRANSMIGRASI KABUPATEN DHARMASRAYA
Ediset, A. Anas dan E. Heriyanto......................................................................................................................... 63
ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN MENGGUNAKAN LOCATION QUONTIENT (LQ) DI PROPINSI JAWA
TENGAH
Nurdayati dan Bambang Sudarmanto ................................................................................................................. 68
PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG TENTANG PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI
PAKAN TERNAK (STUDI KASUS DI KECAMATAN MAIWA, KABUPATEN ENREKANG, SULAWESI
SEATAN)
Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, Hastang, Muhammad Ridwan, Ahmad Ramadhan Siregar,
Tanrigiling Rasyid, Kasmiyati Kasim, dan Wachniyati......................................................................................... 73
THE PERCEPTION FARMERS ABOUT INTEGRATION SYSTEM OF BEEF CATTLE ON OIL PALM
PLANTATION IN DHARMASRAYA REGENCY
Amna Suresti, Asdi Agustar, dan Nilsen Oktafiardi............................................................................................. 77
ADOPSI INOVASI PADA TEKNIS PEMELIHARAAN USAHA PETERNAKAN DI SITIUNG, SUMATERA BARAT
Winda Sartika, Basril Basyar, dan Ediset............................................................................................................. 82
PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBIAYAAN USAHA BROILER
MELALUI KEMITRAAN DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
Dwi Yuzaria, Ikhsan Rias, dan Mulina Wati........................................................................................................... 87
PRODUKTIVITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG RAKYAT BERDASARKAN BANGSA SAPI DI
JAWA TENGAH
(BEEF CATTLE FATTENING PRODUCTIVITY BASED ON CATTLE BREED IN CENTRAL JAVA)
Edy Prasetyo, Titik Ekowati Wiludjeng Rossali, dan Mukson................................................................................ 92
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN LOKAL PADA PETERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, PROPINSI
SULAWESI SELATAN
A. Amidah Amrawaty, Sitti Nurani Sirajuddin, Aslina Asnawi, dan Hastang.......................................................... 99
ANALISA EKONOMI USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR JANTAN DI DESA BALESARI KECAMATAN
NGAJUM KABUPATEN MALANG
vi
Dimas Pratidina Puriastuti Hadiani, Henny Leondro, dan Sri Wahyudi .................................................................
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI˗TANAMAN DI
KABUPATEN MINAHASA (KASUS DI KECAMATAN LANGOWAN SELATAN)
Bonny F.J. Sondakh dan Richard E.M.F. Osak.....................................................................................................
103
108
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MAKALAH UTAMA
1
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Yudi Guntara Noor
2
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
3
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
4
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
5
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
6
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
7
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
8
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
9
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
10
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
11
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
12
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
13
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
14
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
RANCANGAN PENGEMBANGAN SAPI PASUNDAN DI JAWA BARAT
Rochadi Tawaf
Laboratorium Ekonomi Peternakan Departemen Sosial Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Peternakan, Universitas Padjadjaran
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, pengembangan peternakan sapi potong masih sepenuhnya diserahkan
kepada kemampuan peternakan rakyat dalam penyediaan bibit atau bakalan. Dimasa mendatang
hal tersebut tidak mungkin dibebankan sepenuhnya kepada peternakan rakyat. Pasalnya,
ketersediaan daging sapi yang digambarkan oleh pertumbuhan populasi sapi potong domestik
masih sangat rendah hanya sekitar 5,41 % per tahun. Sementara itu permintaan yang
digambarkan oleh konsumsi daging sapi tumbuh jauh lebih tinggi sekitar 12,42 %. Berdasarkan
kajian Soedjana (2014) bahwa angka partisipasi konsumsi daging sapi berdasarkan hasil Susenas
BPS sejauh ini hanya diwakili oleh 26,15% (2002), 21,93% (2005), 16,18%(2008), 16,16%
(2011), dan 15,25% (2014) yang menurun sejak tahun 2002 – 2014 dari 26 % rumah tangga (RT)
menjadi 15 % RT. Namun demikian, sebenarnya telah terjadi peningkatan konsumsi pada kluster
RT tersebut menjadi sekitar 15.5 Kg/kapita/tahun (2014) atau meningkat dibanding 6,71 kg
(2002), 10,47 kg (2005), 10,82 kg (2008), 13,11 kg (2011). Sehingga peningkatan konsumsi
daging sapi per kapita per tahun terus meningkat pada kluster pengkonsumsinya. Apabila
dihitung, jumlah konsumsi daging nasional setahun tidak kurang dari 650 ribu ton. Sementara itu
kemampuan produksi dalam negeri diprediksi hanya 400 ribu ton sisanya dipenuhi oleh impor
sapi bakalan dan daging sapi.
Peternakan rakyat yang menguasai populasi ternak sapi 98 % secara nasional hanya
mampu berkontribusi sekitar 80 % dalam penyediaan daging sapi secara nasional. Sementara
perusahaan peternakan yang menguasai sekitar 2 % dari populasi ternak, ternyata mampu
berkontribusi 20 % terhadap konsumsin nasional. Berdasarkan fenomena tersebut, kiranya peran
industri peternakan dapat dijadikan “kendaraan” bagi percepatan kemandirian dalam
ketersediaan pangan protein hewani asal daging sapi, tentu dengan melakukan kerjasama dengan
peternakan rakyat.
Berdasarkan Tawaf (2009) bahwa Jawa Barat sebagai wilayah produsen ternak sapi
nasional saat ini sangat potensial untuk mengembangkan usaha ternak penggemukan sapi, hal
tersebut didukung pula oleh kondisi daya dukung wilayahnya. Potensi hijauan pakan yang
menjadi andalan saat ini, juga diarahkan oleh ketersediaan hijauan pakan asal dari jerami padi.
Di jawa Barat, luas lahan usahatani padi tidak kurang dari 2.000.000 hektar lahan yang selama
ini terpisah dari kegiatan usahaternak sapi mapun kerbau. Sesungguhnya usahatani padi mampu
menyediakan hijauan pakan ternak dan usaha ini membutuhkan pupuk kandang yang cukup
banyak.
15
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Selain hal tersebut, pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat menurut
penelitian Tawaf dkk(2014) dan Yuhani dkk (2014) bahwa pengembangan sapi potong di Jawa
Barat mengikuti pola pertumbuhan ekonominya, terdapat di wilayah timur, mendukung
perkembangan Cirebon Raya; wilayah tengah mendukung perkembangan Metropolitan Bandung
dan barat mendukung pengembangan wilayah kawasan industri di Bodebekarpur (Bogor Depok
Bekasi Karawang dan Purwakarta) Jawa Barat.
Guna efisiensi dan peningkatan daya saing produk yang dihasilkan, perlu dilakukan
integrasi usaha antara peternakan sapi potong dengan usaha pertanian, khususnya pertanian
tanaman pangan (padi). Hal tersebut disebabkan, pasca diintroduksikannya sistem irigasi di
pantura Jawa Barat, telah terjadi monbilisasi ternak secara besar-besaran sehingga tenaga kerja
ternak digantikan oleh mekanisasi pertanian. Dampaknya adalah terjadinya kelangkaan
ketersediaan pupuk organik sehinga terjadi yang disebut dengan „petroleum agribisnis‟ sehingga
dikhawaatirkan akan melemahkan daya saing produksinya.
Upaya mengembangan integrasi usahatani padi dan sapi merupakan suatu hal yang perlu
dikaji secara intensif dan sejauhmana ampu memberikan kontribusi bagi pengembangan
peternakan sapi potong di Jawa Barat.
IDENTIFIKASI MASALAH
Jawa barat memeiliki potensi sumberdaya genetik sapi lokal yang baru ditetapkan oleh
Menteri Pertanian melalui SK No. 1051/Kpts/SR.120/10/2014 tentang rumpun sapi pasundan.
Menurut Dinas Peternakan Jawa Barat (2015) keberadaan sapi ini di Jawa Barat tersebar di
beberapa wilayah antara lain di Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Pangandaran dan Ciamis.
Profil bisnis sapi pasundan sampai saat ini masih sangat terbatas, khususnya berkaitan denngan
integrasi usaha ternak sapi potong dengan usahatani padi.
Menurut data statistik (2013) lahan sawah di Jawa Barat seluas 925.566,19 hektar, dari
seluas itu dapat menghasilkan hijauan pakan yang sangat potensial dan dapat dimanfaatkan oleh
ternak sapi. Menurut Muller (1974) dalam Tanuwiria dkk (2013) bahwa untuk menghitung
jumlah ketersediaan jerami padi sebagai pakan ternak dapat dihitung dengan rumus Y = (2,5 x
Luas Lahan X 0,70) Ton BK/tahun atau Y = 1.619.739.082,5 Ton/tahun. Berdasarkan analisis
tersebut, berapa banyak ternaknyang mungkin dapat dikembangkan di kawasan usahatani padi,
yang selama ini telah terjadi mobilisasi ternak dari kawasan usahatani padi.
Dalam upaya menjaga dan melestarikan sumberdaya genetik sapi pasundan ini, serta
melihat potensi yang dimiliki Jawa Barat dalam usahatani padi, kiranya merupakan peluang bagi
pengembangan ternak di kawasan ini. Penelitian yang dilakuan oleh Diwyanto dkk (2012) bahwa
pola Crop Livestock System (CLS) dapat meningkatkan produktivitas usaha tani padi dan ternak
secara bersamaan, sehingga dapat meningkatkan daya saing produksinya. Pada kasus perbibitan,
sesuai dengan UU No. 41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, bahwa perbibitan
adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya pengembangan peternakan sapi potong yang berkaitan
dengan pengadaan bibit merupakan tanggung Jawab Pemerintah.
16
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Berdasarkan fenomena tersebut kiranya beberapa permasalahan pengembangan sapi
potong di Jawa Barat dapat dilakukan di wilayah pengembangan usahatani padi sekaligus dapat
menyelamatkan sumberdaya genetik lokal sapi pasundan di Jawa Barat.
PROFIL PETERNAKAN SAPI POTONG
Populasi ternak sapi potong di Jawa Barat berjumlah 327.720 ekor, yang terdiri atas
127.145 ekor jantan (38,80%) dan 200.605 ekor betina (61,20%). Sedangkan menurut hasil
PSPK 2011, populasi sapi potong di Jawa Barat berjumlah 422.989 ekor, terdiri atas 210.312
ekor jantan (49,72%) dan 212.677 ekor betina (50,28%). Hal ini membuktikan bahwa dengan
pendekatan yang berbeda, diperoleh angka jumlah populasi sapi potong yang berbeda (BPS,
2010). Selanjutnya menurut data sementara BPS (2012) bahwa populasi ternak sapi di Jawa
Barat di prediksi berjumlah 444.155 ekor.
Dalam program percepatan swasembada daging sapi dan kerbau 2014, pemerintah Jawa
Barat telah menetapkan bahwa ternak sapi potong diarahkan menjadi komoditas andalan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Jawa Barat yang senantiasa meningkat
dari tahun ke tahun. Populasi ternak sapi potong di Jawa Barat mencapai 327.720 ekor dengan
laju pertumbuhan sekitar 6,18 % per tahun (Dinas Peternakan Jawa Barat, 2010). Sudah sejak
awal, usaha peternakan sapi potong di Jawa Barat didominasi oleh peternakan rakyat, akan tetapi
sesuai dengan perkembangan permintaan sejak tahun 1993 mulai berkembang perusahaan
penggemukan sapi potong dengan menggunakan sapi bakalan impor.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dinas Peternakan (2011) bahwa Struktur populasi
sapi potong di Jawa Barat berdasarkan hasil PSPK 2011 lebih lanjut dapat digambarkan secara
skematis sebagai berikut :
Tabel 1. Struktur populasi sapi potong menurut umur dan jenis kelamin hasil PSPK Jawa
Barat 2011 (dalam %)
Umur Sex Jantan Betina Total
Dewasa
(diatas 2 tahun)
15,33 33,87 49,19
Muda
(1 tahun s/d 2 tahun)
24,90 9,82 34,73
Anak
(dibawah 1 tahun)
9,49 6,59 16,08
Total 49,72 50,28 100
Berdasarkan struktur popuasi terssebut dapat digambarkan dalam diagram sapi potong
sebagaimana tampak pada gambar 1. Berdasarkan pada gambar 2. dapat dilihat bahwa telah
terjadi ketimpangan prosentase jumlah kelahiran dari 68.031 ekor, rasio jantan dan betina (59,02
: 40,08). Jumlah tersebut dihasilkan dari 143.246 ekor betina induk dengan struktur umur diatas
2 tahun s/d 8 tahun. Artinya, induk sapi potong di Jawa Barat hanya mampu melahirkan anak
17
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
sekitar 47,49%. Sementara jantan muda berjumlah 105.315 ekor, sedangkan jantan dewasa
berjumlah 64.846 ekor.
Populasi sapi potong di Jawa Barat memiliki kecenderungan meningkat pada tiap
tahunnya. Namun, selain dari pertumbuhan populasi ternak, besaran populasi juga sangat
dipengaruhi oleh arus mutasi atau perdagangan ternak, terutama pada ternak bibit. Pada tahun
2010 pemasukan bibit jantan sapi potong tercatat sekitar 25.000 ekor dan tingkat pengeluarannya
sekitar 768 ekor. Sementara tingkat pemasukan bibit betina ke Jawa Barat tahun 2010 mencapai
sekitar 52.000 ribu serta tingkat pengeluarannya sekitar 985 ekor.
Gambar 1. Komposisi Struktur Populasi Sapi Potong Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Jawa
Barat.
Selanjutnya, Penelitian Dinas Peternakan Jawa Barat (2011) bahwa sistem
pengembangan budidaya sapi potong di Jawa Barat dapat dilihat berdasarkan siklus kegiatan
usaha budidaya pembibitan dan penggmukan yang dilakukan peternak sapi potong, menyangkut
aspek : Penyiapan bibit induk, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, penyapihan, pembesaran
(rearing), penggemukan, pemasaran, pemotongan dan penggantian stok (raplacement stock) serta
pola afkir (culling). Seperti tampak dalam Gambar 2 di bawah ini.
18
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Gambar 2. “Model Keterkaitan Delapan Aspek” Sistem Pengembangan budidaya Peternakan
Sapi potong di Jawa Barat
Berdasarkan gambar 2. dapat dijelaskan bahwa “Model Keterkaitan 8 (delapan) Aspek”
sistem pengembangan budidaya sapi potong di Jawa Barat, adalah sebagai berikut :
Penyediaan Induk : berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa penyiapan bibit indukan
sapi potong yang ada di Jawa Barat adalah bibit sapi lokal (PO) dan sapi-sapi silangan. Tingkat
keberhasilan penyediaan bibit sapi lokal (PO) lebih baik daripada sapi-sapi silangan.
Sistem Perkawinan : Berdasarkan hasil pengamatan ternyata sistem perkawinan yang dilakukan
atas pengembangan sapi potong di Jawa Barat sebagian besar di lakukan dengan pola IB dan
hanya sebagian kecil saja yang menggunakan pola Kawin Alam.
Tingkat Kebuntingan : Berdasarkan hasil pengamatan di 5 lokasi kajian diperoleh angka
kebuntingan berkisar antara 63 % sampai 87 %. Sedangkan di Jawa Barat pada tahun 2010 telah
mencapai angka rerata kebuntingan 80 persen dari akseptor.
Kelahiran : Dari hasil pengamatan di 5 lokasi penelitian didapatkan bahwa proporsi kelahiran
pada tahun 2010 berkisar antara 27% sampai 79% dari jumlah akseptor. Sedangkan di Jawa
Barat proporsi tersebut sebesar 62% dari akseptor, atau hanya 47,49% dari jumlah populasi
betina dewasa.
Penyapihan : Rerata umur penyapihan ternak sapi potong di 5 lokasi penelitian adalah sekitar
191 hari (6,37 bulan). Sedangkan umur penyapihan target sapi potong distandarkan pada umur
205 hari. Hal ini dikarenakan kebutuhan ekonomi peternak sehingga pemeliharaan pedet hanya
dilakukan selama 190 hari.
Pembesaran (Rearing) : Dilihat dari aspek lamanya pemeliharaan pada 5 lokasi kajian, ternyata
lamanya usaha pembesaran berkisar antara 6 – 12 bulan, paling lama berada di wilayah Ciamis
dan paling pendek adalah wilayah Cianjur.
Penggemukan (feedlot) : berdasarkan hasil kajian, ternyata telah terjadi pergeseran pola usaha
penggemukan. Selama ini, usaha penggemukan dilakukan oleh peternak di sekitar pusat
konsumen, kini mulai bergeser ke wilayah-wilayah perbibitan (kasus di sekitar kecamatan
Rancah Ciamis). Peternak pembibitan telah mulai mengusahakan penggemukan sapi potong
19
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
yang diusahakan bersamaan dengan usaha pembesaran sapi. Hal ini dilakukan karena nilai
tambahnya lebih besar jika hanya memelihara sapi pembesaran. Lokasi usaha penggemukan
banyak dilakukan di sekitar pusat-pusat konsumen seperti di Kab. Garut, Kab. Sumedang, Kab.
Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Bogor dan Kab. Cianjur.
Pemasaran sapi : dalam kajian ini teridentifikasi berbagai komoditi pemasaran, menyangkut
pemasaran pedet (jantan dan betina), sapi bakalan (jantan dan betina), sapi siap kawin (feeder
heifer), sapi siap potong (jantan) serta sapi culling (jantan dan betina). Mekanisme pasar berlaku
pada keseluruhan pola transaksi yang terjadi di tingkat peternak maupun pedagang. Selama
pengamatan ternyata harga transaksi bagi sapi-sapi silangan harganya lebih baik daripada sapi-
sapi lokal. Faktor inilah yang menyebabkan peternak lebih menyukai sapi-sapi silangan.
Kabupaten-kabupaten yang memiliki populasi ternak sapi potong cukup tinggi adalah
Ciamis, Subang, Sumedang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi dan Purwakarta dibandingkan
dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Data populasi ternak tersebut mencakup usaha
peternakan rakyat dan perusahaan yang bergerak di bidang usaha pembibitan, pembesaran dan
penggemukan. Sebaran lokasi yang jauh dari pusat konsumen umumnya berorientasi pada
kegiatan pembibitan dan pembesaran. Hal ini terutama didukung oleh kondisi ketersediaan
sumberdaya alam sebagai sarana produksi yang menyebabkan rendahnya biaya produksi.
Sedangkan di wilayah-wilayah yang mendekati pusat pasar (konsumen), seperti Kabupaten
Bandung, Sumedang, Purwakarta, Bekasi dan Kabupaten Bogor, usaha peternakan sapi potong
berkembang ke arah usaha penggemukan. Sebaran lokasi kecamatan sebagai sentra
pengembangan peternakan sapi potong, serta potensi ternak yang ada saat ini disetiap kabupaten
di Jawa Barat secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi Kecamatan Sentra Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Jawa Barat
No. Kabupaten Lokasi Kecamatan sebagai Sentra Pengembangan
1 Sukabumi Ciracap, Surade, Ciemas, Cibitung, Jampang Kulon,
Tegalbuleud
2 Cianjur Agrabinta, Cileles, Cidaun, Sindangbarang
3 Tasikmalaya Cibalong, Cikalong, Parungponteng, Pancatengah,
Cikatomas, Cipatujah, Jatiwaras, Salopa, Karangnunggal,
Bantarkalong
4 Ciamis Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran,
Padaherang, Cigugur, Langkaplancar , Tambaksari,
Rancah,
5 Sumedang Jatigede, Ujungjaya, Pamulihan, Tanjungkerta, Congeang,
Tanjungmedar, Cisitu, Situraja, Darmaraja, Tanjungsari,
Rancakalong, Cibugel
Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Jabar dalam Tawaf (2009). diolah.
Data sentra pengembangan di tingkat kecamatan ini pun merupakan gabungan berbagai
pola kegiatan usaha peternakan sapi potong, meliputi kegiatan pembibitan, pembesaran maupun
20
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
penggemukan. Sentra-sentra usahaternak sapi potong di berbagai wilayah kecamatan tersebut,
perkembangannya sesuai dengan daya dukung potensi fisik, sosial dan ekonomi wilayah,
walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini, usaha peternakan sapi potong di beberapa wilayah
cenderung mulai terdesak oleh laju pertumbuhan dan pengembangan sektor lainnya.
Apabila dilihat bahwa pengembangan peternakan sapi potong berada pada posisi lokasi di
kawasan selatan Jawa Barat, berada pada wilayah-wilayah produksi non padi sawah hanya
sebagian kecil saja yang berkembang di wilayah tersebut. Untuk itu, perlu kiranya merubah
keadaan ini, dengan melakukan integrasi sapi padi di wilayah pantura. Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan, ternyata para peternak yang mengelola sapi lokal (sapi pasundan),
pada umumnya mengharapkan produk atau anak yang dihasilkan dari induk sapi lokal yang
dipelihara akan lebih baik atau lebih besar daripada induknya. Oleh karenanya sebagian besar
peternak melakukan uspaya „cross breeding‟ dengan jenis atau bangsa sapi impor yaitu sapi-sapi
“simental” atau “limousin”.
PENGEMBANGAN POLA KEMITRAAN
Dalam pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat, konsep yang paling
memungkinkan dikerjakan adalah penyediaan bibit sapi lokal oleh Pemerintah. Konsep ini
dilaksanakan dengan melakukan kemitraan “inti plasma” dalam suatu pengembangan integrasi
sapi-padi dimana lembaga pemerintah yang menjadi inti adalah BUMN (Sanghyang Sri persero
perusahaan perbenihan padi) yang dalam hal ini menerapkan dan mengoptimalkan fungsi dari
Balai Perbenihan Padi unggul. Sementara itu yang menjadi plasma adalah para peternak sapi
potong yang berada di sekitar Perusahaan Inti yang juga memiliki mata pencaharian usahatani
padi maupun peternak lainnya. Model pengembangan kemitraan ini mengacu kepada kajian
Tawaf (2010)
Desain kemitraan ini dimaksudkan adalah dalam rancangannya mengakomodasikan kondisi dan
budaya masyarakat yang berlaku saat ini serta mengantisipasi bagi kegiatan usaha di masa
datang. Kondisi dan budaya tersebut adalah:
a. Perusahaan inti adalah BUMN yang mengelola perbenihan padi, dengan konsep integrasi
diharapkan mampu berkontribusi terhadap peningkatan ketersediaan bibit sapi potong
dengan memanfaatkan limbah pertanian.
b. Pola perkawinan selang seling antara bibit lokal dan cross breeding.
c. Model ini ditujukan untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong rakyat yang telah
ada, bukan bagi peternak sapi potong pemula.
d. Ternak yang dimitrakan kepada peternak adalah sapi potong produktif (sapi induk) atau
dara bunting.
e. Produk usaha rearing : Sapi Dara bunting, dengan umur kebuntingan sekitar 7 bulan.
f. Produk usaha plasma dapat berupa pedet jantan/betina lepas sapih.
g. Peternak plasma menerima ternak dalam bentuk natura, yang akan dikembalikan kepada
Perusahaan Inti berupa 2 pedet betina.
21
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
h. Seluruh biaya produksi usaha ternak yang dilakukan plasma dibebankan kepada peternak
penggaduh.
i. Hasil yang diperoleh peternak plasma adalah sapi pedet jantan/betina.
j. Model kemitraan integrasi sapi-padi seperti tampak pada Gambar 3.
Gambar 3.
Model Kemitraan Industri Rearing Sapi potong (Tawaf dkk, 2011)
Pada Gambar3. Pedet yang dibesarkan di perusahaan inti berasal dari hasil perusahaan itu
sendiri, penjaringan pedet hasil IB, dari RPH atau dari village breeding center. Kedepan setelah
plasma menghasilkan pedet, maka pedet betina dapat di jual ke inti atau dibesarkan sendiri oleh
plasma. Selain distribusi sapi hasil rearing perusahaan inti berkewajiban melakukan pembinaan
dan pemberdayaan kepada plasmanya.
Keuntungan plasma dalam model ini, mereka akan memperoleh pedet dihasilkan, serta
berkesempatan melakukan usaha rearing secara mandiri. Sedangkan pemerintah akan
memperoleh manfaat berupa; terjaganya kualitas bibit sebar, peningkatan produktivitas sapi
potong rakyat yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi wilayah, peningkatan pendapatan
PAD, dan social benefit lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dalam rangka pengembangan peternakan sapi potong lokal Pasundan sebagai SDG sapi asli
di Jawa Barat perlu dilakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif mengenai
integrasinya dengan usahatani padi (Sapi padi).
2. Pola perbibitan sapi Pasundan dengan melakukan integrasi antara usaha ternak sapi dengan
usaha perbenihan padi, dapat memberikan dampak terhadap efisiensi usaha yang akan
menghasilkan produk hasil ternak berdaya saing.
3. Model kemitraan yang memiliki muatan lokal perlu diadopsi untuk memberikan percepatan
inovasi dan pengembangan sapi potong di Jawa Barat.
induk /dara bunting hasil rearing
Pedet :Hasil
di Balai
(perush Inti)
Penjaringan
hasil IB :
VBC, Pasar
Hewan dan
RPH
PERUSAHAAN
INTI :
1. BUMN (Padi)
2. BALAI
3. SWASTA
PLASMA : 1. PETERNAK
RAKYAT
2. KELOMPOK
PETERNAK
INDUK (ASET
INTI)
PEDET
JANTAN (ASET
PLASMA)
PEDET BETINA
(ASET INTI)
Pedet betina utk rearing
22
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
4. Usaha perbibitan sapi potong merupakan tanggung jawab pemerintah, yang dapat
diimplementasikan oleh BUMN maupun UPTD Dinas Peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Prov Jawa Barat (2011) Kajian Sistem Pengembangan Sapi Potong Di Jawa
Barat Tahun 2011.
Rochadi Tawaf*), Rachmat Setiadi**) dan Cecep Firmansyah*) Pengembangan Usaha
Perbibitan Sapi Potong Melalui Model Kemitraan Aspiratif
Diwyanto Kusuma, Bambang R. Prawiradiputra, dan Darwinsyah Lubis (2012)
Integrasi
Tanaman-Ternak dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing; Wartazoa Vol.
12 No. 1 Th. 2002
Yuhani, R. Tjahari, Rochadi Tawaf, A. Sumartini dan Laila Nur Shasta (2013) Rencana
Pengembangan Klaster Sapi Potong Di Jawa Barat Tahun 2014 – 2018; Bappeda Jawa
Barat
Badan Pusat Statistik (2013) Populasi Sapi Potong Menurut Provinsi 2009-2013
23
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MAKALAH PENDUKUNG
24
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PEMBERDAYAAN EKONOMI PRODUKTIF MASYARAKAT BERBASIS
POTENSI “EMAS PUTIH” MELALUI PENGUATAN PERAN
KELOMPOK TANI-TERNAK DI DESA SINGOSARI KECAMATAN
MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI
Shanti Emawati, Aqni Hanifa, dan Ayu Intan Sari
Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan-Surakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Konsep pemberdayaan melingkupi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat
potensi atau daya (empowering) dan terciptanya kemandirian. Selaras dengan hal ini, kegiatan
Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) merupakan bentuk
nyata kontribusi universitas dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat, industri,
pemerintah daerah serta kelompok masyarakat yang ingin mandiri secara ekonomi dan sosial.
KKN-PPM ini bertujuan untuk : 1) Meningkatkan kepedulian dan empati mahasiswa
pada permasalahan di masyarakat, menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan ; 2)
Mengatasi permasalahan di masyarakat melalui metode pemberdayaan dalam bidang ketahanan
pangan, ekonomi, pertanian, peternakan, dan kesehatan lingkungan ; 3) Meningkatan peran KTT
sapi perah dalam peningkatan ekonomi kreatif masyarakat.
Kegiatan KKN-PPM ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan (Persiapan, Pelaksanaan,
Monitoring dan Evaluasi) dalam waktu 2 bulan di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali
dengan metode penentuan lokasi purposive sampling (secara sengaja) dengan
mempertimbangkan berbagai potensi SDM dan SDA di lokasi kegiatan. Rangkaian kegiatan
dimulai dengan tahapan persiapan yang meliputi sosialisasi, seleksi/rekruitmen dan pembekalan
mahasiswa, serta survey dan orientasi lapangan. Tahapan pelaksanaan menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA) melalui kegiatan survei potensi dan identifikasi masalah,
Focus Group Discussion (FGD), Penyuluhan, Pelatihan, Percontohan, dan Pendampingan
Produksi. Kegiatan yang dilaksanakan selama program KKN PPM meliputi kegiatan utama
berupa pedampingan peningkatan produksi susu, pelatihan pembuatan pakan sapi perah berbasis
limbah pertanian (konsentrat dan UMMB), pengolahan limbah kotoran tenak menjadi pupuk cair
organik; diversifikasi usaha pangan olahan susu (es katsu dan puding susu), sosialisasi gerakan
hidup sehat dan gemar minum susu, pelatihan pembukuan, pemasaran, dan penyusunan program
kerja bagi kelompok tani ternak dan UKM, serta kegiatan pendukung berupa bimbingan belajar
untuk SD dan SLTP, Taman Pendidikan Al Quran, semarak peringatan hari kemerdekaan RI,
Posyandu, bakti sosial dan sebagainya. Monitoring DPL dilakukan melalui kunjungan lapangan
secara periodik seminggu sekali serta di tengah dan di akhir kegiatan akan dilaksanakan evaluasi
bersama-sama antara masyarakat dan DPL sendiri.
Kata kunci : pemberdayaan, emas putih, diversifikasi usaha, limbah, kelompok tani ternak
25
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PENDAHULUAN
Kabupaten Boyolali dilihat dari sisi topografi berada di lereng pegunungan yaitu Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu sehingga wilayah ini sangat potensial untuk dikembangkan pada
bidang pertanian dan peternakan. Jenis ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah
sapi perah dan sapi potong dengan populasi masing-masing sebesar 5.106 dan 5.258 ekor.
Dengan produksi susu sebesar 12.820.000 l/tahun, maka wajar jika Boyolali terkenal dengan
sebutan “Kota Susu” (Dinas Peternakan dan Perikanan, 2010).
Peternakan sapi perah merupakan salah satu potensi andalan Kabupaten Boyolali. Sektor
usaha itu menjanjikan perputaran uang hingga lebih dari Rp 100 miliar per tahun. Sayang potensi
itu belum tergarap maksimal. Peternak masih terganjal kualitas dan rendahnya posisi tawar
terhadap industri pengolahan susu. Pemerintah Kabupaten Boyolali bukan tidak sadar akan
potensi sapi perah ini. Lihat saja berapa banyak patung sapi perah yang dibangun di jalan-jalan di
Kabupaten Boyolali. Menurut data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, pada
tahun 2009 terdapat 60.205 sapi perah dengan produksi harian mencapai 86,021 ton per hari.
Angka itu mencapai 43 persen dari total produksi susu Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang
berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jateng-DIY mencapai 220 ton per
hari.
Perputaran uang dari usaha persusuan juga tidak kecil. Dengan asumsi harga susu yang
diterima koperasi dari industri pengolahan susu sekitar Rp 2.900-Rp 3.500 per liter, setiap hari
ada perputaran uang Rp 249 juta hingga Rp 301 juta atau mencapai Rp 104,1 miliar sampai Rp
125,65 miliar per tahun. Bukan nominal yang kecil jika melihat Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Boyolali yang tak sampai Rp 100 miliar. Dengan prakiraan kasar perputaran uang itu,
artinya susu di Boyolali menjadi penyokong 10 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) Boyolali dari sektor pertanian atau sekitar 2,5 persen dari total PDRB Boyolali Rp 4,069
triliun. Dengan demikian sangat tepat jika susu disebut sebagai “emas putih” bagi masyarakat
Kabupaten Boyolali. Sektor usaha peterakan sapi perah mampu menopang kehidupan sekitar
30.000 peternak atau jika termasuk keluarga, mencapai lebih dari 100.000 jiwa di lima dari 19
kecamatan di Boyolali, yakni Cepogo, Selo, Musuk, Mojosongo, serta Boyolali Kota. Salah satu
sentra budidaya ternak sapi perah yang ada di kabupaten Boyolali adalah Kecamatan Mojosongo,
tepatnya di Desa Singosari.
Potensi lain “emas putih” belum mampu dimanfaatkan oleh peternak secara optimal.
Pada ummnya peternak hanya menjual susu dalam bentuk segar walaupun harganya rendah.
Padahal susu dapat diolah menjadi aneka produk makanan dan minuman yang bernilai ekonomi
tinggi. Jika peternak mampu mengolah susu menjadi aneka produk, maka susu yang ditolak
pengepul karena kualitasnya dinyatakan rendah masih dapat dimanfaatkan dan dapat
memberikan tambahan pendapatan. Selain itu limbah dari kotoran ternak (feses dan urine)
dibuang begiu saja oleh peternak, padahal jika diolah dapat mejadi sumber energy biogas dan
pupuk.
Dengan demikian dibutuhkan suatu program pemberdayaan masyarakat khususnya
peternak sapi perah, untuk mengarahkan cara pandang masyarakat agar lebih mengoptimalkan
26
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
potensi-potensi yang terdapat di sekeliling mereka dengan memperkenalkan beberapa teknologi
sederhana dan tepat guna. Sebuah program pemberdayaan harus mampu memberikan stimulasi
terhadap munculnya ketahanan dan kemandirian rakyat yang rentan dan powerless serta
memiliki keterbatasan dalam akses jenis-jenis pekerjaan dan penghasilan yang layak. Konsep
pemberdayaan menurut Winarni, 1998 dalam Sulistiyani, 2004 adalah: melingkupi tiga hal, yaitu
pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering) dan terciptanya
kemandirian. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja terjadi pada masyarakat
yang tidak memiliki kemampuan akan tetapi pada masyarakat yang masih terbatas sehingga
dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian.
Sejalan dengan Visi-Misi pemerintah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kabupaten
Boyolali Tahun 2010-2015 yang menyebutkan prioritas utama pembangunan adalah
penanggulangan kemiskinan, maka program pemberdayaan masyarakat merupakan program
strategis yang bersinergi dalam penanggulangan kemiskinan. Selaras dengan hal ini, kegiatan
Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) merupakan bentuk
nyata kontribusi universitas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat, industri,
pemerintah daerah serta kelompok masyarakat yang ingin mandiri secara ekonomi dan sosial.
METODE PELAKSANAAN
Kegiatan KKN-PPM ini dilaksanakan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo,
Kabupaten Boyolali dengan metode penentuan lokasi purposive sampling (secara sengaja)
dengan mempertimbangkan berbagai potensi SDM dan SDA di lokasi serta tingkat urgency
pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakat setempat. Pemilihan lokasi desa
didasarkan pada pertimbangan memiliki populasi ternak sapi perah tertinggi kedua sebesar 11,3
% dari total populasi sapi perah di Kecamatan Mojosongo.
Program pemberdayaan melalui kegiatan KKN-PPM ini sejauh mungkin melibatkan
masyarakat sasaran dalam pelaksanaannya atau dengan menggunakan metode Participatory
Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode yang menempatkan masyarakat sebagai
subyek, perencana, pelaksana, sekaligus sebagai penilai dalam program pemberdayaan sehingga
tim KKN-PPM dan stakeholder yang terlibat sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai
pelakunya (Sidu, 2006).
Bentuk dan cara pemberdayaan sangat beraneka ragam, mengacu pada konsep-konsep
pemberdayaan masyarakat ke arah kemandirian dan ketangguhannya dalam berusahatani.
Kondisi tersebut dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan melalui kegiatan
focus group discussion (FGD) dalam membentuk perubahan perilaku, yakni meningkatkan
kemampuan peternak untuk dapat menentukan sendiri pilihannya, dan memberikan respons yang
tepat terhadap berbagai perubahan sehingga mampu mengendalikan masa depannya dan
mendorong untuk lebih mandiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan KKN-PPM merupakan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh
masyarakat dengan teknologi dan manajemen melalui pendekatan secara terpadu, yang
dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan pelayanan masyarakat, serta kaji tindak
27
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
dari ipteks yang dihasilkan perguruan tinggi. Selaras dengan hal tersebut program KKN-PPM
menghasilkan luaran yang terukur, bermakna, dan berkelanjutan bagi kelompok masyarakat atau
kelompok pengusaha mikro. Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan meliputi :
1. Orientasi lapangan, perijinan, serta koordinasif antara tim pelaksana KKN-PPM,
mahasiswa, dan masyarakat serta pemeritah (Desa/Kecamatan/Kabupaten) lokasi tempat
pelaksanaan kegiatan
2. Koordinasi DPL dengan Unit Pelaksana KKN-PPM di Perguruan Tinggi
3. Sosialisasi, seleksi dan rekrutmen mahasiswa calon peserta KKN-PPM
Sosialisasi pada mahasiswa berkaitan dengan adanyan program KKN-PPM dilaksanakan
oleh Tim pada bulan Maret 2015 (setelah pengumuman penerimaan program). Sosialisasi
dilakukan melalui pertemuan umum, media papan pengumuman, serta media social
komunikasi (facebook). Sosialisasi dilanjutkan dengan proses seleksi dan rekruitmen
mahasiswa.
4. Pembekalan kepada mahasiswa peserta program KKN-PPM dilaksanakan 3 kali pertemuan
5. Koordinasi internal antara Tim Pelaksana KKN-PPM (DPL dengan mahasiswa peserta)
dalam merencanakan kegiatan di lapangan
Mahasiswa calon peserta KKN-PPM terpilih yang berasal dari 3 fakultas yaitu Pertanian,
Hukum, dan FKIP, berkumpul untuk koordinasi internal dengan Tim pelaksana mengenai
rencana pelaksanaan program. Koordinasi ini penting untuk menjalin kedekatan secara
emosional antara mahasiswa dengan Tim Pelaksana, serta diantara mahasiswa sendiri,
karena kedepannya dalam pelaksanaan program KKN-PPM Tim Pelaksana dan mahasiswa
merupakan team work yang harus saling bekerjasama.
6. Uji coba pembuatan aneka produk olahan susu berupa yogurt, kerupuk susu, dan stick susu.
Uji coba ini dilaksanakan agar nanti ketika terjun di masyarakat mahasiswa telah memiliki
bekal ketrampilan yang cukup.
7. Pelaksanaan kegiatan Lapangan
Tim mahasiswa KKN PPM mulai diterjunkan di lokasi yaitu Desa Singosari pada
tanggal 11 Agustus 2015. Kedatangan mahasiswa KKN mendapatkan sambutan yang luar
biasa dari masyarakat ditunjukkan dengan kehadiran Camat Mojosongo, seluruh RT, RW,
serta jajaran pemerintahan Desa Singosari.
Berbagai kegiatan yang dilaksanakan selama pelaksanaan KKN meliputi kegiatan
utama yaitu pendampingan pemeliharaan sapi perah, pelatihan pembuatan pakan ternak
alternative (UMB), pelatihan dan pengembangan usaha pengolahan susu menjadi Es Katsu
dan Pudding Katsu, Pelatihan dan pendampingan pengolahan limbah kotoran ternak, serta
Kampanye Gemar Minum Susu, serta kegiatan pendukung meliputi bimbingan belajar anak
sekolah dan TPA, peringatan HUT Pramuka dan HUT Kemerdekaan RI, Kegiatan
kemasyarakatan (pengajian, pertemuan PKK, pertemuan warga, Posyandu, Senam Lansia,
Karang Taruna), Kegiatan budaya hidup sehat dengan cuci tangan dan gosok gigi, Bakti
social, jalan sehat serta jalan sehat. Kegiatan KKN PPM-DIKTI Universitas Sebelas Maret
28
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
2015 yang dilaksanakan di Desa Singosari secara umum berjalan lancar dan mendapatkan
dukungan sepenuhnya dari warga masyarakat.
KESIMPULAN
Melalui pelaksanaan program KKN-PPM ini dapat meningkatkan kepedulian dan empati
mahasiswa pada permasalahan yang ada di masyarakat sehingga terjadi perubahan perilaku
mahasiswa, menumbuhkan jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, dan peningkatan kemampuan
pemecahan masalah (problem solving) berbasis masyarakat. Dengan adanya kegiatan KKN ini
mahasiswa mampu bersosialisasi dan menghadapi permasalahan yang terjadi di masyarakat
dengan baik. Inovasi dan kreativitas dari mahasiswa juga tumbuh dengan adanya kegiatan KKN
ini yang berguna untuk memajukan daerah yang ditempati khususnya Desa Singosari .
Adanya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh mahasiswa selama pelaksanaan
kegiatan KKN ini, mendapatkan respon atau tanggapan yang baik dari masyarakat. Hal ini
terbukti dengan banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam acara yang dilaksanakan oleh
mahasiswa KKN dan dengan terjalinnya hubungan baik antara mahasiswa dan masyarakat
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali. 2010. Boyolali Dalam Angka. BPS. Boyolali
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. 2010. Data Statistik Peternakan Tahun
2010. Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Boyolali
Emawati, S dan Lutojo. 2011. Model Pelatihan Ketrampilan Usaha Pertanian Peternakan
Terpadu (Integrted Croop Livestock System) sebagai upaya pemulihan kondisi sosial
ekonomi dan mendukung pariwisata di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Penelitian
Fakultas Pertanian UNS, Surakarta
Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna,
Propinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor
Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gaya Media. Yogyakarta.
www.kompas.com. 2010. Potensi Limbah Sayuran Kabupaten Boyolali. Diakses November
2010.
29
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MANAGEMENT AND INFORMATION SYSTEM SEBAGAI SOLUSI BAGI
KONFLIK DATA KOMODITI PANGAN YANG PENTING BAGI
PIJAKAN PEMBANGUNAN
Minar Ferichani1)
1)
Prodi. Agribisnis, Fakultas Pertanian UNS
e-mail korespondensi : [email protected]
INTISARI
Pembangunan pertanian yang sedang dilaksanakan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak terlepas dari kebutuhan data yang akurat hingga ke pelosok terkecil. Saat
sekarang penyediaan data pertanian dilakukan oleh Badan Pusat Statistik yang bertindak sebagai
‘Data Bank” di Indonesia dan Kementrian Pertanian, atau kerjasama keduanya dengan
prosentase kontribusi 25% : 75% . Akan tetapi publikasi data yang berasal dari kedua institusi
tersebut sering menimbulkan konflik data pangan (produk pertanian/peternakan) sebagai dasar
pijakan bagi program-program pembangunan di sektor pertanian dan sub sektor peternakan.
Sebagai contoh data produksi dan kebutuhan impor beras dan daging; data populasi dan
ketersediaan riil daging. Perbedaan angka yang disajikan oleh kedua lembaga tersebut
menimbulkan pertanyaan tentang keakuratan data dari kedua sumber tersebut. Kondisi kekurang
akuratan data ini sangat berpotensi memunculkan permasalahan baru yang beruntun terkait
dengan arah kebijakan pemerintah; efisiensi penggunaan anggaran Negara; keberpijakan pada
data yang tidak akurat akan cenderung menyebabkan arah pembangunan yang misleading; belum
lagi terkait dengan trend perdagangan regional sepeti MEA dan perdagangan global lainnya.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membuka wawasan kita bersama bahwa
permasalahan ketidak akuratan data komoditi pangan yang berujung pada simpang siurnya
kebijakan pemerintah dalam pengadaan produk pangan, sebetulnya dapat dicarikan solusinya.
Penghitungan luas panen yang dilakukan BPS di tahun 2015 dengan menggunakan citra satelit
atau foto udara, juga kurang memberikan keakuratan data yg valid karena produktifitas lahan
belum tentu sama. Perkembangan teknologi informasi yang meliputi infrastruktur, basis data dan
perangkat lunak bisa dimanfaatkan dalam banyak bidang untuk mempermudah pekerjaan.
Tulisan ini merupakan review dari media pemberitaan, publikasi data pertanian oleh
Kementrian Pertanian Republik Indonesia seperti Pusdatin (pusat data dan informasi) dan
Renstra (Rencana Strategis) pertanian Indonesia, beserta data BPS. Hasil review dari beberapa
sumber mengindikasikan bahwa hampir selalu terdapat perbedaan data angka yang disajikan oleh
Kementrian Pertanian dan BPS yang berujung pada kebijakan yang kurang strategis bahkan tidak
efisien.
Kata kunci : manajemen data, teknologi informasi, pangan
30
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ABSTRAK
This paper is aimed to reveal that Technology of Information System Management is
very important to make improvements in data management. Especially for problems in food data
conflict that occurred in Indonesia. Based on the technology of information system, we can have
a solution to serve fix data without error. For examples, production data of rice, meat and other
products related to requirement data. On the other hand the technology of information system
can produce commodity zoning map. By using the commodity zoning map, it will make easier
for government to make every planning in agricultural development program based on
commodity. It is also give beneficial for other users such as make easier for data analysis, and
also to minimize overlapping on development program between department. It is mean that
efficient for development funding. Through this paper, the author wish to the policy maker to
rely that information system technology is the best solution. It is means that information system
technology is effective and efficient to serve valid data. So the valid data can be an appropriate
foundation for further development
PENDAHULUAN
Simpang siurnya permasalahan pengadaan pangan baik bahan pangan pokok sumber
karbohidrat yang dalam hal ini adalah beras maupun sumber protein berupa produk peternakan
yang terkait masalah kurang akuratnya data sudah berlangsung lama, dan sekilas tampak sebagai
permasalahan yang sulit dicari jalan keluarnya. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi
informasi yang meliputi infrastruktur, basis data dan perangkat lunak yang bisa dimanfaatkan
dalam banyak bidang untuk mempermudah pekerjaan, sebetulnya sangat disayangkan bila
permasalahan di atas tidak kunjung terselesaikan. Sementara permasalahan yang dihadapi adalah
permasalahan yang menyangkut kepentingan semua penduduk negeri tanpa kecuali.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap begitu pentingnya pembenahan manajemen
penyediaan data pangan dengan menggunakan teknologi sistem informasi. Berbasis pada
penggunaan teknologi sistem informasi, disamping dapat memberikan jalan keluar pada
permasalahan pengadaan data pangan, terkait kebutuhan dan ketersediaannya, tekonologi sistem
informasi juga dapat digunakan untuk merancang peta perwilayahan komoditi. Jika peta
perwilayahan komoditi yang akurat telah tersedia, maka berbagai perencanaan pembangunan
pertanian yang berbasis komoditi dapat dilakukan dengan mudah. Disamping itu peta
perwilayahan komoditi yang akurat bisa dimanfaatkan oleh kelompok pengguna lain untuk
melakukan analisis data. Dengan ketersediaan data pertanian yang akurat maka akan
meminimalisir tumpang tindih program yang dilakukan antar departemen, sehingga pembiayaan
pembangunan yang dilakukan akan lebih efisien. Melalui tulisan ini, diharapkan para pemangku
kebijakan menyadari bahwa teknologi sistem informasi merupakan solusi yang efektif dan
efisien untuk penyediaan data yang akurat, sehingga data yang ada dapat digunakan sebagai basis
atau pijakan pembangunan yang dapat diandalkan.
31
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MATERI DAN METODE
Tulisan ini didasari oleh beberapa sumber penulisan antara lain dari media pemberitaan;
publikasi data pertanian oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia seperti Pusdatin (pusat
data dan informasi) dan Renstra (Rencana Strategis) pertanian Indonesia; makalah-makalah
seminar beserta publikasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Tulisan ini merupakan
riview dari berbagai sumber tersebut yang kemudian ditarik benang merah permasalahan yang
mendominasi beberapa tulisan, untuk dicarikan kemungkinan solusi yang tepat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Badan Pusat Statistik meragukan kualitas data luas panen pangan sebagai basis
penghitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di
daerah. Konflik kepentingan muncul karena data yang dikumpulkan menjadi justifikasi
keberhasilan program oleh institusi pengumpul data. Hal itu terungkap dalam lokakarya
wartawan dalam rangka peningkatan pemahaman data pangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
Rabu (25/11/2015), di Jakarta. Lokakarya itu bertema ”Data Pangan sebagai pijakan
Pengambilan.kebijakan”.
Gambar 1. Perbandingan luas lahan pertanian (dalam hektar). Dalam gambar 1, data BPS berasal
dari laporan statistic pertanian (SP) Tanaman Panga, BPS. Sedangkan data Kementrian Pertanian
berasal dari Statistik Lahan Pertanian 2014, Pusdatin yang diambil dari BPS. Perhitungan
produksi padi yang dihitung berdasarkan luas lahan jelas-jelas tidak valid karena produktifitas
lahan tidak dapat diseragamkan. Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian
Universitas Lampung mengatakan, data yang tidak akurat menyebabkan beban bagi anggaran.
Sementara BPS pada 2015 tengah melakukan survey penghitungan luas panen, stok
beras, dan citra satelit atau menggunakan foto udara. Direktur Statistik Tanaman Pangan,
Hortikultura, dan Perkebunan BPS S Happy Hardjo mengatakan, mekanisme penghitungan
produksi padi yang berlaku sejak 1973 adalah hasil perkalian luas panen padi dengan
produktivitas tanaman padi perhektar. Data produksi diperoleh dari hasil kerja sama BPS dengan
Kementerian Pertanian dengan BPS sebagai koordinator. Pengumpulan data luas panen menjadi
32
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
tanggung jawab Kementan dan dinas pertanian. Adapun data produktivitas dikumpulkan dan
menjadi tanggung jawab BPS bekerja sama dengan Kementan dan dinas pertanian. ”Sebanyak
75 persen data dikumpulkan Kementan atau dinas pertanian. BPS hanya berkontribusi 25
persen,”ucapnya. Metodologi yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data di tingkat
kecamatan. Saat ini ada 6.700 kecamatan. Petugas pengumpul data adalah koordinator cabang
dinas (KCD), petugas penyuluh lapangan, dan petugas dinas pertanian lain.
Dalam kondisi berbagai keraguan terhadap data produksi pangan nasional, BPS terus
melakukan upaya perbaikan kualitas data dengan uji coba kerangka sampel area, akan tetapi
hasilnya belum signifikan. Penyajian data produksi pangan pokok yang tidak akurat juga akan
berdampak pada penyediaan jenis pangan sumber protein yang berasal dari hewan ternak yang
mengunakan input pakan dari biji-bijian seperti jagung, kelangkaan jagung yang membuat harga
daging ayam terus meningkat signifikan (Susilo, 2016), adalah juga merupakan dampak dari data
yang kurang akuat antara kebutuhan dan ketersediaan. Metode pengumpulan data pangan yang
masih konvensional seperti saat ini, sangatlah tidak efisien dan jika tidak ada terobosan baru
mustahil untuk dapat menghasikan data yang akurat. Jika metode pengumpulan data
dimodernisasi dengan teknologi informasi maka bukan tidak mungkin permasalahan data yang
selama ini tidak kunjung terselesaikan menjadi memperoleh solusi atau jalan keluar, karena
kegunaan teknologi adalah untuk mempermudah pekerjaan yang sulit dilakukan.
KESIMPULAN
Selama ini, kontribusi BPS dalam pengumpulan data produksi padi hanya 25 persen,
tetapi tanggung jawabnya 100 persen untuk mempublikasikannya, karena BPS adalah lembaga
penyedia data yang diakui. Konflik data pangan pokok yang melebar ke berbagi permasalahan
lain termasuk berimbas pada penyediaan bahan pangan sumber protein yang berasal dari hewan
ternak terjadi karena metode pengumpulan data yang masih konvensional. Modernisasi metode
pengumpulan data dengan memanfaatkan system teknologi informasi merupkan terobosan baru
yang bukan saja dapat mengatasi permasalahan data untuk jenis bahan pangan pokok, tetapi
sangat memungkinkan diterapakan untuk semua jenis komoditi bahan pangan. Penggunaan
teknologi system informasi dalam manajemen data akan menghasilkan peta perwilayahan
komoditi yang sangat bermanfaat baik untuk perencanaan program-program pembangunan,
analisis data, atupun bagi pengguna lain.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada pihak panitia Musyawarah Nasional
I PERSEPSI yang telah terselenggara di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Dengan
jerih payah panitia juga penulis diberikan kesempatan untuk dapat mengikuti seminar, MUNAS
sekaligus menulis makalah untuk diterbitkan dalam prosiding MUNAS.
33
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
DAFTAR PUSTAKA
Kompas, 26 november 2015. Data Pangan Tidak akurat
Kompas, 26 januari 2016. Lonjakan Harga Pangan Merupakan Tanggung Jawab Bersama
Susilo, Joko
Renstra, 2015-2019 Kementrian Pertanian.
Pusdatin, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian
34
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Skenario Pemodelan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di
Bawah Pohon Kelapa Di Kabupaten Minahasa Selatan
Meiske L. Rundengan, Anneke K. Rintjap1dan Maasje T. Massie
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado, 95115
INTISARI
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian bertujuan untuk mendesain model sistem integrasi sapi–tanaman, yang cocok dengan
potensi dan ketersediaan sumberdaya petani, dalam menunjang pembangunan pertanian
peternakan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di Kabupaten Minahasa Selatan. Penelitian
ingin mengkaji sistem integrasi ternak sapi dan tanaman kelapa, sehingga peternak sampel harus
memenuhi kriteria utama penelitian, yaitu memiliki ternak sapi dan areal tanaman kelapa.
Penelitian ini menggunakan unit penelitian yaitu para peternak sapi anggota kelompok
petani/peternak sebagai unit penelitian utama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem
agribisnis ternak sapi. Pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat (Multistage Random
Sampling) mulai tingkat kecamatan, desa, kelompok tani, dan petani responden. Analisis
dilakukan melalui pemodelan (modelling) dengan menggunakan aplikasi software Win QSB.
Luaran yang diharapkan yaitu: di antara beberapa skenario yang dianalisis, diperoleh model
sistem integrasi sapi–tanaman di lahan kelapa yang memberikan keuntungan paling maksimal
bagi anggota kelompok petani/peternak sapi. Hasil skenario pemodelan melalui metode optimasi
model menunjukkan bahwa model usahatani terpadu pada lahan kelapa yang melibatkan
tanaman jagung di dalam sistem pertanian terpadu kelapa dengan sapi menghasilkan total
pendapatan lebih tinggi diperoleh pada model sistem kelapa-sapi-jagung dengan pendapatan
usahatani sebesar Rp 16.457.915 dan pendapatan usaha ternak sapi sebesar Rp 9.076.571 atau
total pendapatan usahatani terpadu sebesar Rp 25.534.486. Untuk pemberdayaan petani, maka
perlu penerapan sistem pertanian terpadu model sistem Kelapa-Sapi-Jagung yang memberikan
pendapatan usahatani tertinggi di dalam sistem pertanian terpadu, menghasilkan efisiensi
pembiayaan dan total pendapatan petani lebih tinggi, dibandingkan sistem kelapa dan sapi non
integrasi.
Kata kunci: Skenario, Integrasi, Sapi-Tanaman, Minahasa Selatan
ABSTRACT
The research was conducted in South Minahasa Regency of North Sulawesi Province. The
research aims to design a model of a cattle-crops under coconut tree integration system, which
fits with the potential and available of farming resources, to support the development of
35
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
sustainable and environmentally friendly livestock farming in South Minahasa Regency. The
study evaluated the system integration of cattle, crops and coconut plant, so farmers must meet
the criteria of the main sample study, which has cattle and coconut plant farming. Sampling was
done by Multistage Random Sampling began sub-district, village, and farmers respondent. The
analysis was conducted through modeling using software applications Win QSB. Expected
outcomes were: among several scenarios analyzed, obtained a integration system model of cattle-
crop in coconut lands that provide the maximum benefit for farmers. The results of modeling
scenarios through the model optimization method showed that the model of integrated farming in
coconut lands involving corn crop with cattle integrated farming systems in coconut land
produce higher total revenue earned on the coconut-cattle-corn system model with farm income
of IDR16,457,915 and cattle farming income of IDR9,076,571 or total integrated farming
income of IDR25,534,486. To empower farmers, it is necessary the implementation of
integrated farming system model of Cattle-Corn-Coconut that provides the highest farming
income in the integrated farming system, generating efficiency and the financing of farmers' total
income is higher, than the non integration system.
Keywords: Scenario, Integration, Cattle-Crops, South Minahasa.
PENDAHULUAN
Pertanian dan peternakan berwawasan lingkungan dewasa ini menjadi urgen dan menjadi
pertimbangan pengambilan kebijakan, mengingat praktek pertanian konvensional selama ini
dianggap kurang memberi perhatian terhadap aspek lingkungan. Sistem usahatani ternak sapi
potong perlu dikembangkan dengan sistem terpadu (integrated system) sapi dan tanaman, sebab
banyak manfaat yang jelas dari sistem integrasi tanaman ternak antara lain, yaitu: pertama,
teratasinya kekurangan pakan ternak; kedua, termanfaatkannya ternak sebagai penghasil pupuk
organik dan sumber energi terbarukan; ketiga, terjaganya kualitas lahan pertanian dengan
pasokan pupuk organik asal ternak; terakhir, terhindarnya pencemaran udara dari kotoran ternak
atau sisa tanaman.
Sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman telah menjadi salah satu program prioritas
pemerintah dalam program pencapaian swasembada daging sapi. Sujana (2009) menjelaskan
sistem peternakan terpadu dengan tanaman, di mana sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman
ini telah menjadi prioritas nasional untuk menciptakan lingkungan pertanian yang bersahabat.
Selanjutnya dikatakannya bahwa usaha ternak sapi mempunyai peluang besar untuk dilakukan
pengembangan dilihat dari potensi sumberdaya pakan yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Untuk mencapai ketersediaan pakan, maka dengan luasan sekitar 14,4 juta hektar kebun
tanaman hijauan yang sudah ada masih membutuhkan 12,4 juta hektar lagi di mana saat ini
adalah kesempatan istimewa dalam menambah populasi ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan
domba menuju sistem terintegrasi ternak dan tanaman. Dengan sistem integrasi, asumsi
sederhananya 25% dari 26,8 juta hektar lahan tanam secara nasional dapat digunakan untuk
36
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
menambah kapasitas penggunaannya untuk satu ekor ternak per hektar. Diharapkan ke depan
akan ada penambahan 6,7 juta ekor ternak sapi yang setara dengan 1,2 ton daging sapi.
Pengembangan sistem integrasi ternak sapi-tanaman dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan pemodelan dan simulasi. Sridadi (2009) menjelaskan bahwa
pemodelan dan simulasi sistem begitu pesat berkembang. Pendekatan pemodelan dan simulasi
secara ekoagribisnis atau ecofarming yang telah dikenal menurut Franzluebbers (2007) yaitu
Model Sistem Usahatani Terintegrasi atau Integrated Farming System Model (IFSM) ataupun
Model Sistem Tanaman-Ternak Terintegrasi atau Integrated Crop–Livestock Systems Model
(ICLSM).
Provinsi Sulawesi Utara yang dikenal dengan julukan daerah nyiur belambai telah
menetapkan kelapa sebagai salah satu komoditas unggulan. Potensi lahan kelapa di Provinsi
Sulawesi Utara yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman
kelapa, yaitu seluas 273.194 Ha atau 71.21% dari luas areal perkebunan di daerah ini (BPS,
2009), dengan asumsi 25 persen atau 68.298 hektar dapat dimanfaatkan untuk usaha ternak sapi
dengan asumsi kapasitas penggunaannya (carrying capacity) satu ekor ternak per hektar maka
dapat dipelihara sebanyak 68.298 ekor. Lahan areal tanaman kelapa dapat dijadikan kebun
tanaman hijauan yang diintegrasikan dengan ternak sapi potong.
Peternak memiliki sumberdaya lahan dan asset yang merupakan faktor utama
keberhasilan program pemberdayaan petani peternak. Program pemerintah dalam pemberdayaan
petani peternak umumnya ditujukan pada pemberdayaan kelompok peternak, termasuk peternak
sapi. Namun sering program kurang memberikan insentif ekonomi bagi peternak sehingga
program mengalami kegagalan disebabkan petani kurang memperoleh dampak yang signifikan
dari program, sehingga petani kembali ke aktivitas usahatani semula yang lebih memberi
stabilitas ekonomi bagi keluarganya. Permasalahannya bagaimana potensi dan prospek secara
fisik dan ekonomis agar kelompok petani peternak yang menjadi sasaran pelaku program
pemerintah pada pengembangan ternak sapi potong, mampu menerapkan sistem integrasi sapi
dan tanaman.
Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara terdapat kelompok-kelompok
tani peternak yang sebagian di antaranya telah memperoleh bantuan program pengembangan
peternakan sapi, baik melalui Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian Peternakan ataupun
Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak). Hanya saja program-program tersebut dilaksanakan
tidak didasarkan atas ketersediaan sumberdaya petani peternak, serta belum mempertimbangkan
aspek lingkungan untuk mengembangkan peternakan berkelanjutan dan ramah lingkungan di
Sulawesi Utara. Untuk itu yang menjadi masalah penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana kondisi usahatani ternak sapi potong dan usahatani saat ini baik dari produktivitas
dan keuntungan yang diperoleh petani peternak.
2. Bagaimana model memperdayaan kelompok tani peternak sapi secara Sistem Integrasi Sapi–
Tanaman, yang paling optimal dan cocok dengan potensi dan ketersediaan sumberdaya
petani.
37
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
3. Bagaimana keberlanjutan usaha model Sistem Integrasi Sapi–Kelapa, baik secara fisik
maupun finansial agar peternak anggota kelompok tani yang menjadi sasaran pelaku program
mau dan mampu menerapkan sistem integrasi ini di Kabupaten Minahasa Selatan.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, di
mana dipilih 3 (tiga) Kecamatan yang memiliki areal lahan tanaman kelapa dan populasi ternak
sapi, yaitu Kecamatan Sinonsayang, Kecamatan Tumpaan dan Kecamatan Tareran. Penelitian
ingin mengkaji sistem integrasi ternak sapi dan tanaman kelapa, sehingga peternak sampel harus
memenuhi kriteria utama penelitian, yaitu memiliki ternak sapi dan areal tanaman kelapa.
Kriteria khusus yaitu peternak sampel penelitian harus anggota kelompok petani/peternak,
memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa
dengan lama beternak minimal lima tahun dan memiliki areal tanaman kelapa minimal 0,25
hektar.
Penelitian ini menggunakan unit penelitian yaitu para peternak sapi anggota kelompok
petani/peternak sebagai unit penelitian utama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem
agribisnis ternak sapi. Pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat (Multistage Random
Sampling) mulai tingkat kecamatan, desa, kelompok tani, dan petani responden sesuai petunjuk
Parel et.al., (1973), dan Singarimbun dan Effendi (1989). Definisi variabel penelitian, yaitu:
Produksi Ternak Sapi adalah jumlah ternak sapi yang dipelihara dan dihasilkan oleh peternak
selama satu tahun periode pemeliharaan terakhir, yang diukur dengan jumlah ekor satuan
ternak (ST).
Biaya Usaha Ternak Sapi, adalah keseluruhan jumlah uang yang dibayarkan peternak dalam
membiayai ternak sapinya selama satu tahun periode pemeliharaan terakhir yang diukur
dalam satuan rupiah.
Tenaga Kerja, adalah keseluruhan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha ternak
sapi selama satu tahun periode terakhir yang diukur dalam hari orang kerja (HOK).
Pendapatan Usaha Ternak Sapi adalah pendapatan dari nilai penggunaan tenaga kerja ternak
sapi baik disewakan maupun digunakan sendiri, serta nilai jual ternak sapi dan hasil
ikutannya (seperti pupuk) selama satu tahun periode terakhir (Rp).
Luas Lahan Kelapa adalah luas areal lahan kelapa diukur dengan satuan Ha.
Luas Lahan Jagung adalah luas areal lahan ditanami jagung diukur satuan Ha.
Luas Lahan Padi adalah luas areal lahan ditanami padi diukur satuan Ha.
Kapasitas Tampung adalah luas areal lahan kelapa, jagung dan padi ladang yang dapat
dipelihara ternak sapi, ditanami hijauan maupun menghasilkan bahan pakan penguat yang
diukur dengan satuan ternak (ST/Ha).
Produksi Kelapa adalah jumlah kelapa/kopra yang dihasilkan dari areal sendiri, diukur
dengan Kg/Tahun.
Pendapatan Usaha Kelapa adalah nilai jual dari hasil kelapa/kopra dan hasil ikutannya (Rp).
38
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Produksi Jagung adalah jumlah jagung pipil kering yang dihasilkan dari areal sendiri, diukur
dengan Kg/Tahun.
Pendapatan Usaha Jagung adalah nilai jual dari hasil jagung, jagung muda (babycorn) dan
hasil ikutannya (jerami dll), diukur dengan Rp/Tahun.
Produksi Padi adalah jumlah gabah kering padi ladang yang dihasilkan dari areal sendiri,
diukur dengan Kg/Tahun.
Pendapatan Padi adalah nilai jual dari hasil gabah kering giling dan hasil ikutannya (dedak
dll), diukur dengan Rp/Tahun.
Untuk pengembangan peternakan ternak sapi Sistem Integrasi Sapi–Kelapa dilakukan
melalui skenario pemodelan (modelling) dengan menggunakan aplikasi software Win QSB.
Luaran yang diharapkan yaitu: di antara beberapa skenario yang dianalisis, diperoleh model
sistem integrasi sapi–tanaman di lahan kelapa yang memberikan keuntungan paling maksimal
bagi anggota kelompok petani/peternak sapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian telah dilakukan melalui survei pengumpulan data primer dari
reponden penelitian yaitu anggota dari empat kelompok peternak sapi, terdiri dari satu kelompok
peternak di Desa Pinapalangkow Kecamatan Suluun Tareran, dua kelompok peternak di Desa
Ongkaw II Kecamatan Sinonsayang, dan satu kelompok peternak di Desa Paslaten Kecamatan
Tumpaan. Sedangkan data sekunder menyangkut keadaan umum dan data statistik di Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa Selatan, dan di Kantor Badan Pusat Statistik
(BPS) Sulawesi Utara.
Analisis Optimasi dapat dilakukan dengan sasaran tunggal (Single Goal Programming)
terhadap satu output, maupun dengan beberapa sasaran (Multiple Goal Programming) terhadap
beberapa output. Penelitian ini terhadap sistem usahatani terpadu dengan output kelapa, jagung,
padi, dan ternak sapi, sehingga dilakukan secara Multiple Goal Programming. Optimasi
dilakukan pada sistem usaha tani terpadu antara sapi dan kelapa disertai jagung dan/atau padi
ladang. Ada dua kendala dalam optimasi yaitu kendala lahan, dan tenaga kerja keluarga. Kendala
yang pertama adalah luasan lahan usaha (yang menjadi dasar pembentukan optimasi). Berikut
disajikan pemaparan hasil luasan usaha pada keempat pola usahatani yang terkait pada 3 jenis
tanaman.
Tabel 1. Kendala Luasan Usaha
Pola Luas Lahan Luas Untuk
Kelapa Saja
Luas Untuk
Jagung Saja
Luas Untuk
Padi Saja
Kelapa 1,508 1,508 - -
Kelapa-Jagung 1,550 1,395 0,620 -
Kelapa-Padi 1,525 1,373 - 0,610
Kelapa-Jagung-Padi 1,542 1,388 0,310 0,308
Rata-rata 1,416 0,465 0,459
39
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Berdasarkan beberapa tujuan dan kendala di atas, maka optimasi Multiple Goal
Programming dalam penelitian ini akan menyelesaikan permasalahan setiap tujuan, kendala, dan
variable keputusan, sebagai berikut:
Tujuan:
T1: Max: 6.149.616 X1 + 8.287.997 X2 + 6.945.392 X3
T2: Max: 4.332.042 X1 + 3.235.447 X2 + 3.254.868 X3
T3: Min: 367.553 X1 + 183.558 X2 + 207.564 X3
T4: Min: 1.469.256 X1 + 1.044.026 X2 + 1.015.059 X3
T5: Min: 2.650.246 X2
T6: Min: 2.657.161 X3
Kendala:
K1: X1 + X2 + X3 ≤ 2.340
K2: 23.72X1 + 62.49X2 + 54.24X3 ≤ 109.55
K3: X1 ≥ 1.373, X2 ≥ 0, serta X3 ≥ 0
Setiap tujuan, kendala, dan variable keputusan di atas, disajikan secara matriks
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 2. Matriks Tujuan dan Kendala Optimasi Multiple Goal Programming
Usaha Kelapa
(X1)
Usaha Jagung
(X2)
Usaha Padi
(X3) Tanda
Right Hand
Side (RHS)
Tujuan
T1 6.149.616 8.287.997 6.945.392 Max
T2 4.332.042 3.235.447 3.254.868 Max
T3 367.553 183.558 207.564 Min
T4 1.469.256 1.044.026 1.015.059 Min
T5 2.650.246 Min
T6 2.657.161 Min
Kendala
K1 1 1 1 2,340
K2 23,72 62,49 54,23 109,550
K3 1 1,373
K4 1 0
K5 1 0
Sumber: Diolah dari data primer.
Variabel Keputusan:
X1 : luas areal kelapa yang dioptimasikan (ha)
X2 : luas areal jagung yang dioptimasikan (ha)
X3 : luas areal padi yang dioptimasikan (ha)
40
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Penyelesaian dan hasil optimalisasi Multiple Goal Programming dengan menggunakan
perangkat lunak Win QSB yang dapat disajikan secara ringkas pada Tabel 3. menunjukkan bahwa
pada keempat pola tanam (kelapa, kelapa-jagung, kelapa padi, kelapa-jagung-padi)
direkomendasikan untuk mempertahankan jumlah tanaman dan produksi kelapa untuk
keseluruhan luas lahan 1,37 Ha, disertai penanaman tanaman jagung seluas 0,97 ha.
Tabel 3. Hasil Optimalisasi Multiple Goal Programming
Fungsi Simbol Solusi
Keputusan Usaha Kelapa X1 1,37 Ha
Usaha Jagung X2 0,97 Ha
Usaha Padi X3 0 Ha
Tujuan Maksimasi Pendapatan Tani T1 16.457.915 Rp/thn
Maksimasi Pendapatan Ternak T2 9.076.571 Rp/thn
Minimasi Biaya Ternak T3 682.150 Rp/thn
Minimasi Biaya Kelapa T4 3.026.861 Rp/thn
Minimasi Biaya Jagung T5 2.562.787 Rp/thn
Minimasi Biaya Padi T6 0 Rp/thn
Kendala Luas Lahan K1 2,34 Ha
Tenaga Kerja Keluarga K2 93 HOK/thn
Jika dikonversi 90 persen dan 40 persen kenyataan yang sebenarnya adalah 1,80 Ha akan
menghasilkan tujuan sebagai berikut:
1. Pendapatan hasil pertanian (kelapa dan jagung) tertinggi yaitu mencapai Rp 16.497.915 per
ha tiap tahun,
2. Pendapatan hasil pemeliharaan sapi tertinggi yaitu mencapai Rp 9.076.571 per ha tiap
tahun,
3. Biaya pemeliharaan sapi terendah mencapai Rp 682.150 per ha tiap tahun.
4. Biaya produksi kelapa terendah mencapai Rp 3.026.861 per ha tiap tahun,
5. Biaya produksi jagung terendah mencapai Rp 2.562.787 per ha tiap tahun,
6. Biaya produksi padi terendah mencapai Rp 0 per ha tiap tahun (optimasi tidak
merekomendasi untuk mengusahakan padi).
Sistem usaha tani terpadu pada usaha tani kelapa dapat menghemat biaya pembelian
saprodi pada tanaman kelapa. Pembelian saprodi meliputi pembelian herbisida, pupuk anorganik
dan pestisida. Petani kelapa secara non terpadu mengeluarkan biaya untuk pembelian saprodi
pertanian per hektar lebih banyak dibandingkan dengan petani yang mempergunakan sistem
pertanian terpadu. Kelapa yang ditanam dengan sistem pertanian terpadu membutuhkan biaya
pembelian saprodi per hektar lebih rendah. Penurunan biaya pembelian saprodi melalui sistem
pertanian terpadu karena setiap komponen dalam sistem tersebut akan saling melengkapi. Hal
tersebut mengakibatkan biaya pembelian saprodi pertanian dapat menurun. Pada sistem pertanian
terpadu, kotoran sapi dipergunakan sebagai pupuk organik sehingga biaya pembelian pupuk
41
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
anorganik menjadi menurun. Hijauan yang ada di sekitar lahan kelapa dimanfaatkan sebagai
pakan ternak, sehingga lahan kelapa menjadi lebih bersih. Kondisi lahan yang bersih membuat
hama penyakit menjadi lebih rendah sehingga biaya untuk pembelian pestisida menurun.
KESIMPULAN
Hasil pemodelan melalui metode optimasi model menunjukkan bahwa model usahatani
terpadu pada lahan kelapa yang melibatkan tanaman jagung di dalam sistem pertanian terpadu
kelapa dengan sapi menghasilkan total pendapatan lebih tinggi. Pendapatan tertinggi diperoleh
pada model sistem kelapa-sapi-jagung dengan pendapatan usahatani sebesar Rp 16.457.915 dan
pendapatan usaha ternak sapi sebesar Rp 9.076.571 atau total pendapatan usahatani terpadu
sebesar Rp 25.534.486. Untuk pemberdayaan petani, maka perlu penerapan sistem pertanian
terpadu model sistem Kelapa-Sapi-Jagung yang memberikan pendapatan usahatani tertinggi di
dalam sistem pertanian terpadu, menghasilkan efisiensi pembiayaan dan total pendapatan petani
lebih tinggi, dibandingkan sistem kelapa dan sapi non integrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus, 2011. Pemeliharaan Sapi di Bawah Pohon Kelapa.
http://epetani.deptan.go.id/budidaya/pemeliharaan-sapi-di-bawah-pohon-kelapa-1875
diakses Jumat, 16 Mei 2015.
BPS Sulut, 2013. Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Utara No. 52/09/71/Th. VII, 2
September 2013. Badan Pusat Statistik, Manado.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Statistik Perkebunan. Direktorat Perkebunan Departemen
Pertanian, Jakarta.
Diwyanto, K., S. Rusdiana dan B. Wibowo, 2010. Pengembangan Agribisnis Sapi Potong dalam
Suatu Sistem Usahatani Kelapa Terpadu. Wartazoa, Buletin Ilmu Peternakan dan
Kesehatan Hewan Indonesia. 20(1):31-43. Maret 2010.
Ibrahim, M.N.M and T.N. Jayatileka. 2000. Livestock Production under Coconut Plantations in
Srilanka : Cattle and Buffalo Production Systems. Asian-Aus.Sci. 13(1):60-67.
Ifar, S., 2007. Peran Ruminansia dalam Sistem Pertanian (Referensi untuk Integrasi Sapi pada
Crash Program Agribisnis Jagung di Sulawesi Utara). J. Ternak Tropika. 6 (2) :71-78.
Rogi, J.E.X., J.I. Kalangi, J.A. Rombang, A. Lumingkewas, S. Tumbelaka, dan Y. Paskalina,
2010. Produktivitas Jagung (Zea mays L.) Pada Berbagai Tingkat Naungan Kelapa
(Cocos nucifera L.). Buletin Palma 38:49-59.
Salendu, H.S., Maryunani, Sumarsono, and B. Polii, 2012a. Analysis of Carrying Capacity of
Agro-Ecosystem Coconut-Cattle in South Minahasa Regency. Journal of Animal
Production 14(1):56-62.
Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1989. Metode Penelitian Survay. LP3ES. Jakarta.
Sridadi, B., 2009. Pemodelan dan Simulasi Sistem : Teori, Aplikasi dan Contoh Program dalam
Bahasa C. Penerbit Informatika, Bandung.
42
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ANALISIS SIKAP MULTIATRIBUT FISHBEIN TERHADAP PRODUK
RENDANG PARU DI KAMPUNG RENDANG KOTA PAYAKUMBUH
SUMATERA BARAT
Elfi Rahmi dan James Hellyward
Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang
e-mail : [email protected]
INTISARI
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis analisis sikap konsumen terhadap Rendang
Paru yang diproduksi Kampung Rendang Kota Payakumbuh. Responden penelitian adalah 60
orang. Data yang dikumpulkan berhubungan dengan atribut produk. Atribut produk yang
menjadi variabel pada penelitian ini adalah pernyataan positif tentang tekstur, rasa, keamanan,
tampilan, dan kemasan. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis fishbein. Dari analisis
fishbein menunjukkan bahwa rendang paru dari tiga merek yang jadi objek penelitian
mendapatkan skor 11.01, 12.04 dan 3.47. Ini artinya, konsumen mempunyai sikap positif dan
setuju dengan pernyataan positif terhadap atribut rendang paru.
Keywords: rendang telur, perilaku konsumen, atribut produk, fishbein, marketing
ABSTRACT
The objective of this research was to analyze consumer attitude of Rendang Paru product
that is produced by ‘Kampung Rendang’ in Payakumbuh City. There were 60 respondents. Data
that were collected related with atributtes of product, the attributes were positive statement
about tecture, taste, savety, colour/performance, and packaging. Collected data were analyzed
by fishbein analysis. From fishbein analysis, the result of the research showed that rendang paru
product of three home industries, got the score 11.64, 12.65 and 3.97. It was mean, the
consumers had positif attitude of rendang paru, and agreed with the positive statements of
attributes that it was of rendang paru.
Keywords: rendang telur, attitude of consumers, attributes of product, fishbein, marketing
PENDAHULUAN
Usaha rendang di Kota Payakumbuh berkembang pesat, pemerintah daerah menamakan
kawasan ini kampung rendang, dan bahkan pemerintah membuatkan gapura saat memasuki
kawasan tersebut yang bertuliskan selamat datang di Kampung Rendang Kota Payakumbuh.
Sebagai ikon daerah setempat diharapkan outlet-outlet rendang ini ramai dikunjungi dan menjadi
salah satu daerah tujuan wisata kuliner di Sumatera Barat. Beberapa outlet rendang yang
43
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
merupakan pionir yang sudah dikenal diantaranya Usaha Rendang Yolanda, Usaha Rendang
Erika, dan Usaha Rendang Dapoer Riry Family. Masih banyak lagi usaha rendang lainnya yang
terdapat di kawasan Kampung Rendang Payakumbuh. Selain mempunyai outlet/gerai di
kampung rendang ketiga usaha rendang ini melakukan kerjasama dengan toko pusat oleh-oleh di
luar kota, yaitu di Kota Padang seperti Christine Hakim, Sherly, Mahkota, bahkan toko pusat
oleh-oleh di luar propinsi, seperti Jakarta, Bandung, Batam, Surabaya, dan lain-lain.
Namun persoalannya muncul karena beberapa toko pusat oleh-oleh mempunyai
persyaratan untuk memasarkan rendang tersebut harus dengan menggunakan merek dagang toko
pusat oleh-oleh tersebut, bukan menggunakan merek dagang usaha rendang yang memproduksi.
Hal ini merupakan salah satu kelemahan produsen rendang, karena tidak berupaya keras untuk
membangun merek. Selain itu, hal ini juga merugikan produsen rendang, karena akan sulit
mengidentifikasi produk mana yang lebih memiliki kualitas rasa yang enak, sehingga bisa
membangun merek. Kelemahan lainnya yaitu, jika ada salah satu produk yang mendapatkan
testimoni tidak bagus dari konsumen maka akan merusak citra makanan khas Payakumbuh
secara keseluruhan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kualitas rendang sangat ditentukan
oleh waktu, jika terjadi perputaran penjualan yang lama, menyebabkan menurunnya kualitas
rasa.
Idealnya faktor utama/atribut yang biasanya dipertimbangkan konsumen untuk
memutuskan melakukan pembelian terhadap produk makanan adalah rasa. Apalagi produk
rendang merupakan makanan khas yang kaya bumbu dan teknis pembuatan yang sedikit rumit,
sehingga sangat menentukan dan mempengaruhi rasa. Takaran bumbu yang kurang tepat ataupun
teknis memasak yang berbeda akan mempengaruhi rasa dan tampilan rendang yang diproduksi.
Termasuk dalam hal baru diproduksi dan sudah lama diproduksi, karena kualitas rasa yang sudah
lama jeda waktu produksi dengan waktu konsumsi akan sangat terasa, dan otomatis akan
menurunkan minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang. Rasa juga terkait dengan ada
tidaknya zat yang berbahaya bagi tubuh misalnya terlalu terasa penyedap makanan dan lain-lain.
Apalagi rendang paru, paru memiliki tekstur yang lembek sehingga sulit membuat rendang paru
yang renyah. Dan paru juga merupakan jenis makanan yang tidak familiar direndang dan belum
tentu disukai banyak orang. Akan tetapi teknis memasak yang tepat dengan takaran bumbu yang
akan menghasilkan citarasa yang enak.
Oleh karena itu strategi pemasaran yang paling tepat untuk langkah awal bagi produk
makanan adalah dengan mempertahankan kualitas produk, karena produk makanan terkait
dengan citarasa konsumen. Hal ini sangat diperlukan oleh produsen untuk melakukan evaluasi
terhadap produk yang diproduksi sehingga bisa lebih meningkatkan kualitas dan memenangkan
pasar. Menurut Peter & Olson (1999), Engel, et.all,.(1994), Schiffman & Kanuk (1994), sikap
diartikan evaluasi dari seseorang, menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu
produk. Riset pasar atau riset konsumen merupakan salah satu kegiatan penting untuk
mengetahui sikap konsumen terhadap suatu produk.
MATERI DAN METODE
44
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Penelitian ini menggunakan desain survai dengan jumlah seluruh responden adalah 60
orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tertulis disertai penjelasan sebelum
responden mengisi kuisioner dan mengisi kuisioner sebelum dan sesudah melakukan uji
organoleptik untuk beberapa atribut produk yang dievaluasi.
Peubah penelitian adalah atribut produk yang paling menonjol yang biasa dijadikan
penilaian bagi konsumen dalam keputusan pembelian, yaitu terdiri dari dua kelompok variabel.
Yang pertama variabel ei adalah variabel kepentingan terhadap enam atribut produk yaitu :
(Variabel ei)
(a) Tekstur renyah, empuk
(b) Rasa sesuai selera, enak, gurih
(c) Tidak ada zat berbahaya (misal terlalu terasa penyedap)
(d) Warna/bentuk menarik
(e) Kandungan gizi/parunya masih terasa
(f) Kemasan menarik
Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya dalam 5 angka skala :
Sangat penting +2 +1 0 -1 -2 Sangat tidak penting
Variabel kelompok kedua, variabel bi yaitu variabel evaluasi tingkat kepercayaan, bahwa
rendang telur dari tiga merek tersebut memiliki ke enam atribut pada variabel kepentingan
(variabel ei) sebelumnya. Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap
pernyataan apakah semua jenis rendang dari 3 merek tersebut memiliki atribut di atas dalam 5
angka skala :
Sangat baik +2 +1 0 -1 -2 Sangat buruk
Skor rata-rata setiap variabel digunakan untuk menghitung skor Model Sikap Multiatribut
Fishbein. Untuk setiap merek perlu menilai kepercayaan konsumen untuk masing-masing atribut
(Eugene dan Israel, 1984).
Model Sikap Fishbein yang digunakan pada penelitian ini adalah menghitung Ao
(Attitude toward the object), yaitu sikap seseorang terhadap sebuah objek, yang dikenali lewat
atribut-atribut yang melekat pada obyek tersebut. (Engel, et.al, 1994). Pengukuran sikap
dilakukan dengan mengukur keseluruhan atribut (multiatribut), dengan rumus (Fishbein, 1963) :
Ao = Σ(bi x ei)
Dimana :
Ao = sikap terhadap produk rendang paru
bi = tingkat kepercayaan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru
ei = tingkat kepentingan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru
Σ = penjumlahan dari sejumlah atribut i
Penilaian dengan metode ini diambil dari perhitungan nilai rataan atribut seluruh
responden, lalu diformulasikan ke dalam Metode Analisis Fishbein. Hasil formulasi tersebut
berupa nilai dari varibel-variabel Fishbein yang ditampilkan dalam suatu tabel. Setelah itu semua
hasil analisis Fishbein untuk setiap rendang akan dilihat perbandingan perolehan nilai setiap
45
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
merek yaitu yang diproduksi oleh Usaha Rendang Dapoer Riry Family, Usaha Rendang Erika,
Usaha Rendang Yolanda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tingkat kepentingan dan tingkat kepercayaan responden terhadap rendang
paru dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap produk rendang telur untuk ketiga
merek (n=60)
No. Atribut
Skor
Evaluasi
Kepentingan
(ei)
Tingkat Kepercayaan
Rendang Riry
Family
Rendang
Erika
Rendang
Yolanda
bi ei.bi bi ei.bi bi ei.bi
1 Tekstur 1,83 0,63 1,15 1,73 3,17 0,1 0,18
2 Rasa 1,85 0,65 1,20 1,2 2,22 -0,23 -0,43
3 Aman 1,6 0,78 1,25 0,95 1,52 0,48 0,77
4 Tampilan 1,48 0,92 1,36 1,32 1,95 0,12 0,18
5 Gizi 1,6 1,28 2,05 1,28 2,05 0,8 1,28
6 Kemasan 1,18 1,1 1,30 1,1 1,30 0,85 1,00
𝛴 ei.bi 8,31 12,21 2,99
Dari hasil evaluasi tingkat kepentingan, responden berpendapat bahwa atribut yang
paling penting adalah rasa, karena terlihat dari perolehan skor tertinggi adalah rasa yaitu 1,85.
Sedangkan yang terendah adalah kemasan rendang. Ini artinya konsumen akan
mempertimbangkan atribut rasa sebagai atribut terpenting dalam memilih produk rendang telur.
Sumarwan (2000), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam memilih produk makanan
konsumen akan lebih mementingkan atribut internal dibandingkan dengan atribut eksternal
(kemasan). Kemasan merupakan atribut eksternal yang dimiliki oleh semua produk makanan,
salah satu fungsi penting dari kemasan adalah untuk melindungi produk tetap aman dan higienis
untuk dikonsumsi. Namun dengan semakin tingginya tingkat persaingan setiap produsen
mencoba merancang kemasan semenarik mungkin agar menarik minat konsumen sehingga
berfungsi sebagai alat pemasaran yang efektif. Walaupun skor kepentingan kemasan adalah
paling rendah bukan berarti responden menganggap kemasan tidak penting, hanya saja tingkat
kepentingannya lebih kecil dibandingkan atribut lainnya. Puspita dan Nugrahani (2014), hasil
penelitiannya (produk obat) juga memperoleh skor tingkat kepentingan internal (kualitas khasiat)
lebih tinggi dibandingkan atribut eksternal (layanan).
KESIMPULAN
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konsumen memiliki sikap positif terhadap
produk rendang paru, ini terlihat dari perolehan total skor positif untuk semua merek. Ini artinya
konsumen memiliki preferensi yang positif terhadap produk rendang paru yang diproduksi di
Kampung Rendang Kota Payakumbuh.
46
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Terimakasih juga kepada LPPM Unand yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini, artikel
ini merupakan bagian dari penelitian skim Dosen Muda Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Engel, J.F., Roger D.B., Paul W.N. 1994. Perilaku Konsumen Edisi Keenam Jilid 1. Binarupa
Aksara. Jakarta
Eugene, D.J., Israel, D.N. 1984. Alternative Questionnare Formats for Country Images Study.
Journal of Marketing Reseacrh 21, November : 463-471.
Fishbein, M. 1963. An Investigation of the relationship between beliefs about an object and the
attitude toward that object. Human Relations 16, Agustus : 233-240.
Peter & Olson. 1999. Consumer Behaviour and Marketing Strategy. 5th
Edition. Boston, MA :
Irwin
Puspita dan Nugrahani. 2014. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Mengenai Atribut Obat
Herbal Merek Tolak Angin Sido Muncul di Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi
Volume 13, Nomor 1, April 2014
Schiffman, L & Kanuk, L.L. 2008. Consumer Behaviour 7th Edition
Sumarwan, U. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Terhadap Produk Biskui Sandwich Coklat.
Media Gizi dan Keluarga, Desember 2000, XXIV (2) : 79-85.
47
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
TINGKAT DAYA SAING USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI
KABUPATEN MAROS, PROPINSI SULAWESI SELATAN
Sitti Nurani Sirajuddin1, Ilham Rasyid
1, dan Nurul Ilmi Harun
2
1Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245, 2Mahasiswa PascaSarjana Ilmu
dan Teknologi Peternakan, Fakultas peternakan,Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerkaan
Km 10 Tamalnrea, Makassar 90245
Alamat korrespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di
Kabupaten Maros,Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September
hingga bulan November di Kecamatan Bantimurung,Kabupaten Maros dengan menggunakan
sumber data primer dan data sekunder.Analisis data yang digunakan yaitu metode pAM (Policy
Analysis Matrix). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ayam ras petelur di Kabupaten
Maros mempunyai tngkat daya saing akan tetapi kebijakan pemerintah daerah masih perlu
dilakukan agar pendapatan peternak ayam ras petelur dapat meningkat.
Kata kunci : daya saing, usaha ayam ras petelur, peternak, kebijakan
ABSTRACT
This study aimed to determine the level of business competitiveness laying chicken in Maros,
South Sulawesi Province. This research was conducted in September to November in
Bantimurung , Maros Regency using primary data sources and secondary data. The analysis
used the method of PAM (Policy Analysis Matrix). The results showed that businesses laying
chicken in Maros regency has competitiveness but government policy still needs to be done so
that the laying chicken farmer incomes can be increased.
Keywords: competitiveness, businesses laying chicken, farmers, policy
PENDAHULUAN
Prospek usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari
pasar dalam negeri maupun luar negeri, jika ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Di sisi
penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam ras petelur di Indonesia masih belum mencapai
kapasitas produksi yang sesungguhnya (Abidin, 2003). Hal ini terlihat dari masih banyaknya
perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah
kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih terbuka. Di sisi permintaan, saat
ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Sisanya
dipenuhi dari telur ayam kampung, itik, dan puyuh. Iklim perdagangan global yang sudah mulai
terasa saat ini, semakin memungkinkan produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar
48
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
negeri, mengingat produk ayam ras bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per
tahun dari suatu negara.
Meskipun potensi usaha budidaya ayam ras petelur sangatlah menarik, namun sejumlah
tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa mengubah potensi keuntungan menjadi
kerugian. Menurut Yupi (2011), tantangan dan hambatan dalam usaha peternakan ayam ras
petelur antara lain manajemen pemeliharaan yang lemah, fluktuasi harga produk, fluktuasi harga
sarana produksi, tidak ada kepastian waktu jual, marjin usaha rendah, serta sarana produksi yang
sangat tergantung pada impor dan persaingan global yang semakin ketat.
Kabupaten Maros sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan sangat berperan dalam
pengembangan usaha peternakan. Daerah ini merupakan daerah yang berbatasan dengan kota
metropolitan dimana banyak tenaga kerja yang datang di kota tersebut untuk mencari pekerjaan,
salah satunya adalah pekerjaan di bidang usaha peternakan ayam petelur. Sebagaimana diketahui
ayam merupakan ternak penghasil daging dan telur yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Namun pihak pengusaha mempunyai kendala dalam pengembangan usahanya yaitu masalah
modal. Selain faktor modal yang sangat perpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada
usaha peternakanayam pedaging dan petelur yaitu tingkat upah dan skill juga sangat berpengaruh
terhadap penyerapan kerja. Oleh karena itu perlu mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras
petelur di kabupaten Maros.
METODE ANALISA DATA
Penelitian ini dilakukan pada ulan September hingga bulan November 2016 di Kabupaten
Maros. Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
responden sebanyak 3 orang peternak ayam petelur di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan dengan wawancara langsung dan indepth interview dan menggunakan kuisioner yang
berisikan karakteristik peternak, biaya produksi mencakup biaya tetap, biaya variable, dan
pendapatan. Data sekunder diperoleh dari jurnal hasil penelitian di Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.Analisis data yang digunakan yaitu Policy Analysis
Matrix (PAM) (Pearson, Gotsch and Bahri, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pembahasan kali ini, peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros dianggap sebagai
data aktual/privat dan data dari Kabupaten Lamongan dianggap sebagai data social. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka diperoleh sebuah data perbandingan dalam bentuk Matrix pada Tabel 1.
Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten
Maros
Pendapatan
Biaya Keuntungan
Input Tradable Domestik
Privat Rp 35.112.000 Rp 21.050.000 Rp 2.950.000 Rp 11.112.000
49
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Social Rp 38.821.128 Rp 19.008.631 Rp 2.965.037 Rp 16.847.460
Divergency Rp (3.709.128) Rp 2.041.369 Rp (15.037) Rp (5.735.460)
Sumber: Data Primer (2015).
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan pendapatan memberikan divergensi negatif pada
usaha ayam petelur di Kabupaten Maros. Total pendapatan diperoleh dari hasil penjualan telur.
Pendapatan peternak dapat berubah berdasarkan harga jual telur. Besarnya pendapatan
dipengaruhi oleh jumlah produksi telur. Penerimaan usaha peternakan ayam petelur sangat
fluktuatif disebabkan oleh harga DOC dan harga jual telur yang bersifat fluktuatif akan
tetapi tingkat keuntungan usaha ayam ras petelur di Kabupaten Maros rendah disebabkan harg
pakan dan DOC rendah sementara harga jual telur tetap,hal tersebut diatas sejalan dengan
pendapat Rasyaf (2005) bahwa salah satu kegagalan yang gampang terjadi dalam usaha
peternakan ayam petelur adalah manajemen pemeliharaan yang mengakibatkan input produksi
sangat meningkat akibat dari kekurang telitian peternak. Menurut Mila (2011), karena harga
bahan baku pakan yang tinggi sangat mempengaruhi biaya yang dikeluarkan peternak dimana
biaya pakan 60-70% dari biaya keseluruhan produksi peternakan.
Pada faktor domestik terjadi divergensi negatif, hal ini menunjukkan bahwa manajemen
kurang efesien dalam penggunaan tenaga kerja padahal upah tenaga kerja factual lebih mahal
dibandingkan upah kerja sosial. Pada usaha privat, tenaga kerja dengan populasi ayam petelur
diberikan gaji Rp.200.000/bulan sedangkan pada usaha sosial diberikan gaji sekitar
Rp.192.000/bulan. Peningkatan gaji tenaga kerja disesuaikan dengan jumlah populasi ayam
petelur yang dipelihara.
Kegagalan dalam manajemen sumberdaya ditingkat privat berimbas pada kurangnya
keuntungan yang diperoleh. Divergensi keuntungan yang negatif adalah merupakan bukti hal
tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Pearson (2005) bahwa penawaran, produksi nasional
dibatasi oleh keterbatasan sumber daya (lahan, tanaga kerja, dan modal), harga input dan
kemampuan manajemen. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi produksi
sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas peternakan.
Tingkat Daya Saing Usaha Ayam Ras Petelur
Untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di Kabuaten Maros dapat
dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Ratio analisis model PAM usaha ayam petelur Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan
Indikator Analisis Model PAM Nilai
Koefisien Proteksi Output (NPCO) 0,9
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,11
Rasio Nilai Privat (PCR) 0,21
Rasio Nilai Sumber Domestic (DRC) 0,15
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,71
Koefisien Keuntungan (PC) 0,66
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) -0,15
50
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Sumber : Data Primer (2015).
Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha ayam rs petelur mempunyai daya saing yang
cukup,hal ini dapat dilihat Nilai keunggulan komparatif atau efisiensi ekonomi dapat diukur
menggunakan Rasio Nilai Privat (PCR) dan Rasio Nilai Sumber Domestik (DRC). Nilai PCR
yang diperoleh adalah 0,21%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha petenakan ayam petelur di
Kabupaten Maros memiliki nilai kompetitif yang baik, karena PCR < 1, dengan nilai yang kecil,
maka daya kompetitif usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros cukup besar.
Nilai DRC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,15%, yang
berarti nilai DRC < 1. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha tersebut efisien dalam
menggunakan sumber daya domestik artinya memiliki daya saing sehingga mampu berproduksi
sendiri.sementara kebijakan pemerintah masih diperlukan,hal ini dapat dilihat pada, koefisien
proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan nilai 0,9%. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari
satu (NPCO<1), maka yang terjadi adalah produsen tidak menerima subsidi atas output dari
pemerintah
Nominal Protektion Coefisien on Inputs (NPCI) yaitu 1,11% nilai rasio ini tinggi yang
dipengaruhi oleh harga DOC dan pakan yang digunakan pada peternakan ayam petelur
Kabupaten Maros lebih tinggi dibandingkan dengan harga DOC dan pakan yang digunakan
pembanding sosial. Nilai Koefisien proteksi input nominal yang lebih besar dari satu (NPCI > 1)
berarti pemerintah tidak menurunkan harga input asing tradable dipasar domestik dibawah harga
dunia sehingga biaya produksi tinggi dan menghasilkan keuntungan yang lebih kecil.
Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis Koefisien Proteksi
Efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio
Subsidi bagi Produsen (SRP). Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah
bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik (Hidayat, 2009).
Nilai EPC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,71%, yang
berarti nilai koefisien proteksi efektif yang lebih kecil dari satu (EPC<1) menunjukan bahwa
dampak kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam
negeri. Nilai koefisen keuntungan (PC) merupakan indikator yang menunjukan dampak insentif
dari semua kebijakan output, kebijakan input asing (tradeable) dan input domestik. Nilai yang
diperoleh adalah 0,66%, dimana PC < 1. Nilai tersebut mencerminkan bahwa keuntungan yang
diterima produsen lebih kecil.Nilai SRP yang membuat perbandingan tentang besarnya subsidi
perekonomian bagi suatu sistem komoditas. Nilai SRP yang diperoleh adalah -0,15 yang berarti
lebih kecil dari 0 yang berarti Nilai SRP negatif (SRP < 0) bahwa kebijakan pemerintah yang
berlaku selama ini menyebabkan pelaku usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros
mengeluarkan biaya lebih tinggi dari biaya sosialnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan Policy Analysis Matrix (PAM) maka tingkat daya saing usaha
ayam ras petelur cukup tinggi akan tetapi kebijakan pemerintah belum mendukung dalam
51
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
penentuan harga telur dan harga pkan yang perlu disubsidi agar keuntungan peternak ayam ras
petelur dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam dan Itik Ras Petelur. PT Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Asnawi, A. 2009. Perbedaan Tingkat Keuntungan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur antara
Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit PT. BRI di Kabupaten Pinrang. Buletin Ilmu
Peternakan dan Perikanan, Vol. XIII(1), Januari 2009.
Eviana, B., Hartono, B., dan Fanani, Z. 2014. Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Petelur
di Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Universitas Brawijaya. Malang.
Mila, F. 2011. Analisis Ekonomi Perusahaan Peternakan Ayam Petelur UD. Jaya di Desa
Bululawang Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Universitas Brawijaya. Malang .
Pearson, R. Scott., Gotsch, Carl dan Bahri, Sjaiful. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada
Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Maros. 2010. Potensi Peternakan. http://maroskab.go.id. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2015.
Rasyaf, M. 2005. Berternak Ayam Petelur Cetakan ke-20. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Yupi. 2011. Analisis Usahatani Ayam Ras Petelur (Studi Kasus Peternakan Ayam Ras Petelur
Jaya Abadi Farm Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat). Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
52
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MODEL ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI
PRODUKTIF BAGI PETERNAK KAMBING DI KABUPATEN MAJENE,
SULAWESI BARAT
Tanri Giling Rasyid, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Sofyan Nurdin Kasim
Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model alternatif untukpengembangan ekonomi
produktif untuk peternak kambing di kabupaten Majene,propinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat penelitian adalah di
Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi Barat.Sedangkan penentuan
sampel dilakukan secara purposive sampling dan analisis data yang digunakan yaitu statistik
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan model intervensi pelatihan partisipatif dengan pola
learning by doing perlu dilakukan bagi peternak kambing dan kelompok eksperiment sangat
puas dengan pengetahuan yang diperolehnya melalui model intervensi pelatihan partisipatif
dengan pola learning by doing, jika dibandingkan dengan kelompok control
Kata kunci; model intervensi,ekonomi produktif, peternak kambing.
ABSTRACT
This study aimed to find out an alternative model of economic for development of productive
goat breeders in Majene regency, West Sulawesi province. This research was conducted in
September 2015 until October 2015, and the research is in the village of Bababulo, sub
Pamboang, Majene Sulawesi Barat.Sampling was done by purposive sampling and data analysis
used is descriptive statistics. Results showed participatory training intervention models with
patterns of learning by doing, and experiment group was very dissatisfied and knowledge not
improve with model or pattern of participatory training intervention approaches when
implemented
Keywords: intervension model,economic produktif,goat farmers
PENDAHULUAN
Kabupaten Polman, ppropinsi Sulawesi barat merupakan salah satu daerah yang
mengembangkan komoditas unggulan yaitu ternak kambing akan tetapi dalam pengembangan
usaha tersebut menghadap beberapa permasalahan yaitu pakan bagi ternak kambing pada waktu
tertentu berlimpah akan tetapi lain waktu mengalami kekeringan(Tanrigiling et al,2015) sehingga
perlu pengolahan pakan pada saat berlimpah misalnya pembuatan silase, hal ini senada dengan
pendapat Okine, dkk., bahwa (produk silase dapat dihasilkan dengan baik dengan menggunakan
53
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
beberapa bahan sebagai penyerap air (absorbant) seperti dedak dan kulit kacang kedele untuk
menurunkan kadar air. Produk silase yang dihasilkan dapat digunakan selama empat hari setelah
silo dibuka, dan silase mulai mengalami pelapukan setelah hari ke lima. Dengan demikian,
teknologi silase ini dapat digunakan sebagai cara preservasi terutama untuk melakukan
penyimpanan pakan dalam jumlah besar.Kemudian Wahyono.(2015), menyatakan bahwa banyak
calon peternak ataupun investor peternakan kambing mengurungkan niatnya ketika harus
berhitung dengan permasalahan hijauan pakan ternak, karena mereka menjadi ragu ketika harus
menyediakan luasan lahan tertentu untuk menanam hijauan pakan ternak dengan segala
permasalahan tata laksana pemeliharaan. Bahkan di tingkat peternak kecilpun tidak jarang ketika
musim kemarau tiba terpaksa harus menjual sebagian ternaknya untuk mengatasi terbatasnya
hijauan yang tersedia. Apakah hal seperti ini harus terjadi selamanya maka jawabannya disinilah
diperlukan teknologi pakan fermentasi, pakan komplit atau lengkap (complete feed) maka ternak
tidak perlu lagi diberikan hijauan makanan ternak.
Ditambahkan Wahyono (2015), bahwa keunggulan complete feed adalah mengandung
nutrisi yang seimbang juga bahan pakan compleet feed murah harganya. Hal ini dimungkinkan
karena bahan bakunya berasal dari limbah pertanian dan agroindustri ditambah perlakuan
suplementasi bahan bahan bernilai nutrisi tinggi. Keunggulan lainnya seperti hemat dalam
penggunaan tenaga kerja (1 orang tenaga kerja untuk 100 ekor – 150 ekor), mudah diaplikasikan,
waktu penggemukan relatif pendek (3 bulan – 4 bulan) pertumbuhan bobot badan cukup tinggi
100 gram – 150 gram/ekor/hari, praktis dan ekonomis (1 ekor kambing membutuhkan 1 kg/hari)
dan harga relatif lebih murah Rp.1100,00/kg. Juga dijelaskan agar ternak dapat beradaptasi dapat
diberi jamu yang dibuat dari bahan ekstrak bahan organik yang dilanjutkan dengan proses
fermentasi yang ditambahkan mikroorganisme efektif. Manfaat dari jamu ternak tersebut yaitu
mempercepat adaptasi ternak menggunakan pakan kering, merangsang nafsu makan ternak dan
meningkatkan efisiensi pencernaan, meningkatkan kesehatan ternak dan mengurangi bau kotoran
ternak. World Bank, (2003), menyatakan bahwa guna kelanjutan usaha masyarakat miskin
sebaiknya mereka dibentuk dalam kelompok serta diberdayakan. Waseko Tirta Consultant dan
Disiplan Consultant (2003), menyatakan bahwa perlunya masyarakat perdesaan dan perkotaan
diberdayakan ,utamanya yang tergolong miskin melalui pendeteksian kemiskinan dan sebaiknya
mereka dibina dalam satuan kelompok.Nuch (2001), menyatakan demi keberhasilan anggota
masyarakat terjaring dalam kelompok maka aspek yang sangat penting diperhatikan sebelum
pembekalan pembinaan aspek bina social,bina ekonomi,fisik dan lingkungan maka perlu
dilakukan pengamatan awal dari aspek social ekonomi yang merupakan masalah bagi mereka,
dan akan terjawab melalui pembinaan masyarakat akan aktif berpartisipasi karena materi yang
diberikan adalah sesuai dengan kebutuhan sasaran.Sehingga Koesnadi (2000), menyatakan
bahwa sasaran akan mudah menerima suatu hal yang baru (inovasi) jika materi yang diberikan
adalah sesuai kebutuhannya dan dapat diaplikasikan.
Materi dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat
penelitian adalah di Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi
54
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Barat.Sedangkan penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan alasan bahwa
sampel yang terpilih adalah merupakan sampel yang berasal dari masyarakat perdesaan yang
berada di Desa Palipi , kecamatan Banggae sebanyak 15 orang, dan juga sebanyak 15 orang
yang berasal dari Desa bababulo, Kecamatan Pamboang Kabupaten majene Sulawesi Barat,
sehingga total responden adalah 30 orang. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data primer sedangkan data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah bersasal
dari Dinas pertanian dan peternakan Kabupaten majene, data dari Kantor kelurahan/desa,
BP3K,Bappeda, data kelompok tani dan data yang bersumber pada Biro Pusat Statistik.Metode
analysis yang digunakan adalah analysis kontribusi (persentase) atau analysis statistic deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian terhadap kelompok control dan kelompok eksperiment yaitu terdiri dari 15
orang kelompok control dan 15 orang responden kelompok eksperiment yang berasal dari
kelompok peternak kambing desa palipi,kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, dan kelompok
peternak kambing yang berasal dari peternak kambing desa bababulo,kecamatan Pamboang,
Kebupaten Majene melalui pre-test dan post-test sebagai dasar yang diharapkan dalam
pembentukan model alternative pengembangan usaha ternak kambing yang dapat dijadikan
acuan bagi pihak peternak dan pemerintah setempat untuk perbaikan usaha masyarakat di tingkat
perdesaan. Pre-test dan Post-test pada responden yang diteliti pada penelitian tersebut
menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antara kelompok control (tanpa intervensi pelatihan
partisipatif) dengan kelompok eksperiment (intervensi pelatihan partisipatif), dan untuk lebih
jelasnya tampak pada Tabel.1
Tabel.1. Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test pada Responden kelompok control dan
Kelompok Eksperiment
No Materi Kelompok
kontrol
Kelompok
Eksperiment
Hasil capaian
kelompk control
(%)
Hasil Capaian
kelompok
Eksperiment (%)
1. Pre Test
a. Bina Pakan
(konsentrat,fermentasi)
b. Bina Kesehatan
(vaksinasi)
15
-
-
15
-
-
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2. Post Test
a. Bina Pakan
(konsentrat,fermentasi)
b. Bina Kesehatan
(vaksinasi)
15
-
-
15
-
-
0,00
0,00
0,00
100,00
100,00
100,00
Sumber : Data Primer yang diolah,2015
Tabel.1menunjukkan bahwa kelompok eksperimen dan kelompok control sebelum diberikan
intervensi pelatihan partisipatif ternyata pengetahuannya dalam hal pakan konsentrat dan
55
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
fermentasi dan vaksinasi ternak kambing adalah rendah, dan setelah dilakukan intervensi
pelatihan partisipatif pada kelompok eksperimen ternyata terjadi perubahan yang sangat
signifikan atau berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan kelompok control, hal ini
ditunjukkan oleh hasil post test yang menunjukkan kelompok control pengetahuan pre test dan
post test tidak terjadi perubahan nilai yaitu tetap nihil (0,00%), sedangkan kelompok eksperiment
progressnya yaitu pre test adalah 0,00%, dan setelah dilakukan intervensi pelatihan partisipatif
dan dilakukan post test hasilnya adalah mengerti apa yang diberikan atau dapat dinyatakan
100,00% terjadi penambahan Pengetahuan bina pakan, dan bina kesehatan.Ini berarti bahwa
sentuhan intervensi pelatihan partisipatif dengan metoda learning by doing dapat merubah
pengetahuan peternak kambing dari belum tahu menjadi sangat tahu atau dari pengetahuan
0,00% menjadi 100,00%.
Jika ditinjau dari aspek tingkat kepuasan responden yang mendapatkan intervensi pelatihan
partisipatif atau kelompok eksperiment dan yang tidak mendapatkan pelatihan intervensi
pelatihan atau kelompok control yang diperoleh pada penelitian ini,dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel.2. Tingkat Kepuasan Responden Kelompok Eksperiment dan Kelompok Kontrol dengan
Adanya Intervensi Pelatihan Partisipatif
No Materi Responden Kepuasan Kelompok
Eksperimen (%)
Kepuasan Kelompok
Kontrol (%)
1.
2.
Bina Pakan
(konsentrat,fermentasi)
Bina Kesehatan
(Vaksinasi)
30
30
15 (100,00)
15 (100,00)
15 (0,00)
15 (0,00)
Sumber : Data Primer yang Diolah, 2015
Tabel 2. tampak bahwa secara rata rata responden yang mengikuti pelatihan intervensi
partisipatif bina pakan dan bina kesehatan atau kelompok eksperiment menyatakan sangat puas ,
sedangkan bagi responden yang tidak mengikuti intervensi pelatihan bina pakan dan bina
kesehatan atau kelompok control menyatakan belum puas karena perkembangan pengetahuan
responden tampa intervensi pelatihan tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan
kelompok yang mengikuti intervensi pelatihan.
KESIMPULAN
Pendekatan pembinaan kelompok peternak kambing guna pengembagan usaha ternak kambing
untuk mencapai ekonomi produktif dapat dilakukan melalui intervensi pelatihan partisipatif
dengan pola learning by doing sementara tingkat Kepuasan yang dicapai oleh kelompok yang
mengalami intervensi pelatihan atau kelompok eksperimen secara rata rata merasakan sangat
puas dengan adanya pelatihan, sedangkan kelompok peternak kambing tanpa intervensi pelatihan
partisipatif atau kelompok control secara rata rata merasakan tidak puas dengan tidak adanya
pengetahuan yang diberikan kepadanya.
56
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
DAFTAR PUSTAKA
Bulu G.Y, (2014). Pengembangan ternak Kambing pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok
Timur,BPPT,Nusa Tenggara barat.
Disnak Kalsel,(2014).Membuat pakan Fermentasi ternak Kambing,Disnak Kalsel.
Nuch M, (2001). Konsep Dasar dan Perencanaan Program pemberdayaan masyarakat,RSI,World
Bank, Jakarta.
Koesnadi,(2000).Penyuluhan dan Aplikasinya, Brawijaya University, Malang Jawa Timur.
Tanri Giling Rasyid, Syamsuddin Hasan,Sjamsuddin Rasjid, Sitti Nurani Sirajuddin., (2015).
Accessibility Goat Livestoct Cooperation With The Government, Merchant Banking and
Collecting in Majene Regency, West Sulawesi Province, American-Eurasian Journal of
Sustainable Agriculture.Vol.(9); page 13-18.
Wahyono .E,(2015).Teknologi Pakan lengkap Solusi Bagi Permasalahan Pakan Ternak
kambing,UPTD,Jatinangor, Jawa Barat.
Waseko Tirta Consultant,(2003). Pemberdayaan Kemiskinan Perkotaan,PT Waseko Tirta
,Jakarta
World Bank, (2001). Business Development in Distrct South Sulawesi,PCO, Jakarta.
57
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
TANGGAPAN PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP LEMBAGA
PEMBIAYAAN FORMAL DAN INFORMAL DI PEDESAAN
Aslina Asnawi, A. Amidah Amrawaty, Hastang, dan Ikrar Mohammad Saleh
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: [email protected]
INTISARI
Salah satu hal yang menghambat perkembangan usaha peternakan khususnya sapi potong adalah
rendahnya kepemilikan modal. Oleh karena itu peternak memilih pembiayaan yang berasal dari
pembiayaan eksternal yaitu lembaga informal maupun formal. Diantara kedua lembaga tersebut
masing-masing memiliki karakteristik atau perbedaan. Studi ini mengidentifikasi tanggapan
peternak terhadap kedua lembaga tersebut. Dengan perbedaan tersebut memungkinkan peternak
untuk memilih salah satu sumber pembiayaannya apakah dari lembaga formal maupun informal.
Data dikumpulkan melalui instrumen kuesioner dalam pendekatan survei. Analisis statisitik
yang meliputi statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga informal lebih
fleksibel karena cukup hanya kepercayaan antara peternak dengan pemberi pinjaman,
prosedurnya lebih mudah dan sederhana, waktunya lebih cepat, jumlah dana yang diterima sama
dengan yang diinginkan, tingkat suku bunganya relatif lebih tinggi. Sedangkan pada lembaga
formal mensyaratkan collateral, prosedurnya rumit dan panjang, waktunya relatif lama, jumlah
dana yang diterima tidak sama dengan yang diusulkan dan tingkat suku bunga relatif lebih
rendah.
Kata Kunci: Lembaga Formal dan Informal, Peternak Sapi Potong
ABSTRACT
The low financial capacity to encourage beef cattle farmers seek external financing whether from
formal financing such as bank or government and informal financing. This study aims to
determine the response of beef cattle farmers to formal and informal institutions in rural areas .
Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . The results
showed that the response of farmers tend to side with informal institutions than formal
institutions because there is no collateral requirement , the procedure is not long, fast realization
time, the amount of funds received is equal to that proposed and location of informal institutions
in the rural area.
Key Words: Beef Cattle Farmers, Formal and Informal Institutions
PENDAHULUAN
Latar Belakang
58
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Peran lembaga pembiayaan dalam menyediakan kredit sangat membantu petani pada
umumnya terutama bagi peternak sapi potong. Rendahnya kepemilikan modal mengharuskan
peternak harus mencari alternatif pembiayaan selain pembiayaan yang bersumber dari kas
peternak. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam usaha peternakan sapi potong
yang dilakukan.
Pembiayaan eksternal menjadi alternatif pembiayaan bagi peternak karena terkendala
pada pembiayaan internal. Keterbatasan akses pendanaan eksternal pada peternak mandiri
merupakan salah satu implikasi dari pecking order theory (Myers, 1984). Pembiayaan eksternal
dapat berasal dari dua sumber yaitu: lembaga pembiayaan formal dan informal. Pembiayaan
formal seperti bank dan pemerintah sedangkan informal bisa berasal dari teman, keluarga,
sesama peternak, rentenir, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yaitu lembaga keuangan yang
dibentuk oleh sekelompok petani/peternak di daerah pedesaan. (Wahab and Abdesamed, 2012;
Asnawi, 2013a). Selain itu pedagang input pertanian, pedagang hasil-hasil pertanian dan juga
para pedagang yang berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang output
(Nurmanaf et al., 2006).
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kendala pembiayaan pada lembaga
formal seperti perbankan. Determinan akses pembiayaan bagi peternak pada lembaga formal
sebagaimana yang dijelaskan Asnawi (2013b) yaitu: relationship yang relatif rendah antara
peternak dan pemberi pinjaman, ketersediaan informasi tentang pembiayaan masih rendah,
prosedur dan collateral yang memberatkan peternak serta lokasi yang relatif jauh dari tempat
peternak. Hal ini dipertegas oleh Nurmanaf (2007) bahwa aksesibilitas sebagian besar petani
terhadap lembaga pembiayaan formal sangat rendah karena di pihak lembaga formal diterapkan
standar perbankan komersial dengan prinsip kehati-hatian. Pemilihan pembiayaan antara
lembaga formal dan informal tentunya memiliki pertimbangan tertentu bagi peternak terkait
dengan karakteristiknya masing-masing (Asnawi dan Hastang, 2015).
Namun keberadaan salah satu lembaga tersebut diharapkan bisa saling melengkapi dan
bukan saling mematikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan peternak sapi
potong terhadap lembaga pembiayaan formal dan informal yang ada di daerah pedesaan.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Yang menjadi objek
penelitian adalah peternak yang telah menerima bantuan dari pemerintah atau dari perbankan
yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut peternak non mandiri karena mereka memiliki
kewajiban untuk mengembalikan bantuan maupun kredit yang diterima. Selain itu peternak
mandiri yaitu peternak tidak memperoleh bantuan kredit. Jumlah peternak non mandiri di
kabupaten Bone sebanyak 1.416 orang sedangkan peternak mandiri sebanyak 90.441 orang.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 88 orang masing-masing 44 peternak mandiri dan 44
orang peternak non mandiri (Metode penentuan sampelnya diadopsi dari Asnawi, 2013a). Dalam
penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner dan tidak ada pemisahan antara peternak
59
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
mandiri dan non mandiri. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis
statisik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang tanggapan peternak sapi potong terhadap lembaga pembiayaan
formal dan informal setelah dimatriks dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tanggapan Peternak Sapi Potong terhadap Lembaga Informal dan
Formal
Tanggapan Peternak
Karakteristik Pembiayaan Informal Pembiayaan Formal
Persyaratan Lebih fleksibel, cukup Harus ada agunan
kepercayaaan (collateral)
Prosedur Mudah dan simpel Rumit, banyak tahapannya
Waktu realisasi Cepat Lama
Jumlah dana yang diterima Sesuai yang diinginkan Tidak sesuai yang diusulkan
Tingkat suku bunga Relatif lebih tinggi Relatif lebih rendah
Sumber: Data Primer, 2013.
Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa secara umum ciri dari pembiayaan yang bersumber
dari lembaga informal relatif lebih berpihak kepada peternak. Hal ini disebabkan oleh
pembiayaan ini lebih fleksibel karena biasanya tidak mengharuskan ada jaminan atau agunan
yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Sedangkan pada pembiayaan formal, pihak
perbankan mensyaratkan harus ada collateral atau agunan yang diserahkan kepada perbankan
yang selanjutnya dinilai kelayakan jumlah kredit yang dapat diberikan kepada peternak. Hal ini
sesuai dengan Bougheas (2005) bahwa collateral dapat mengurangi risiko dari kredit yang
diberikan oleh lembaga pembiayaan karena akan mengkalim collateral tersebut jika terjadi
masalah. Namun persyaratan ini tentunya sangat memberatkan bagi peternak karena umumnya
merek tidak memiliki asset yang secara fisik dapat diajaminkan. Sementara pada lembaga
informal, kepercayaan (trust) antara peternak dan pemberi pinjaman sangat penting dan dianggap
sudah cukup. Hal ini memungkinkan mengingat bahwa antara peternak dan pemberi pinjaman
berada di daerah pedesaan dan diantara mereka sudah kenal satu sama lain.
Prosedur atau tahapan yang harus dilalui oleh peternak dalam mengusulkan kredit juga
menjadi salah satu pembeda antara lembaga informal dan formal. Pembiayaan formal relatif
membutuhkan waktu yang agak lama karena ada beberapa prosedur yang harus diurus seperti
mendapatkan surat keterangan dari pemerintah setempat dan tahapan lainnya. Selain itu pihak
pemberi pinjaman butuh waktu untuk melakukan survei ke lokasi peternak untuk melihat kondisi
ril dari usaha yang dijalankan apakah layak atau tidak diberikan pinjaman. Nurmanaf (2007) juga
menjelaskan bahwa rumitnya prosedur dan waktu yang lama menjadi salah satu penghambat bagi
peternak untuk mengakses pendanaan dari perbankan. Sementara pada pembiayaan informal,
lebih mudah dan sederhana prosedurnya, terutama apabila sudah kenal satu sama lain maka
60
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
kadang-kadang tidak membutuhkan prosedur dan tidak mengharuskan harus ada surat
keterangan, surat rekomendasi dari instansi terkait. Oleh karena tidak memiliki prosedur yang
panjang maka peternak dapat memperoleh pinjaman dengan cepat sesuai dengan kapan dana
tersebut dibutuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal, karena prosedurnya cukup panjang,
maka dana yang dibutuhkan oleh peternak kadang-kadang diterima di saat tidak dibutuhkan lagi.
Jumlah dana yang diterima pun terdapat perbedaan. Penerima pinjaman dalam hal ini
peternak, biasanya akan menerima pinjaman tidak sama jumlahnya dengan yang dibutuhkan.
Hal ini disebabkan oleh adanya biaya administrasi dan biaya lainnya yang timbul selama
pengurusan, dan biaya-biaya laiinya. Namun pada pembiayan informal, jumlah dana yang
diterima sama dengan jumlah dana yang dibutuhkan karena dalam tidak ada biaya administrasi,
provisi dan biaya lainnya.
Dari tingkat bunga yang dibebankan kepada peternak, mereka beranggapan bahwa tingkat
bunga pada pembiayaan formal memang relatif lebih rendah dibandingkan pembiayaan informal.
Namun karena membutuhkan persyaratan administrasi yang banyak dan membutuhkan waktu
yang lama sehingga peternak lebih merasa cocok pada pembiayaan informal. Hal ini disebabkan
oleh bunganya memang lebih tinggi pada lembaga informal tapi karena lebih simpel dan dananya
segera dapat diterima maka pembiayaan ini lebih dipilih dibandingkan dengan pembiayaan
formal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Nurmanaf (2007) bahwa sumber-sumber pembiayan
informal “sangat mengerti” kondisi dan kebutuhan petani. Pinjaman diberikan tanpa agunan dan
dengan prosedur sederhana. Realisasi dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah
sesuai kebutuhan, walaupun harus membayar dengan bunga yang lebih tinggi. Menurut
Krisnamurti (2005) bahwa lembaga informal lebih fleksibel dibandingkan dengan lembaga
formal karena tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit, lebih mudah diakses dan
biasanya didasarkan pada prinsip kepercayaan karena sudah saling mengenal antara debitur dan
kreditur seperti hubungan saudara, tetangga, mitra kerja dan hubungan kekerabatan yang lain,
dana yang dibutuhkan dapat segera diperoleh sesuai kapan waktu dibutuhknnya.
KESIMPULAN
Kendala pembiayaan internal mendorong peternak mencari alternatif pembiayaan
eksternal baik dari perbankan maupun bantuan pemerintah. Tanggapan peternak cenderung
berpihak pada lembaga informal karena berada di daerah pedesaan, tidak membutuhkan
persyaratan yang banyak namun cukup kepercayaan antara peternak dan pemberi pinjaman,
prosedurnya tidak panjang, waktu relasiasinya lebih cepat dan jumlah dana yang diterima sama
dengan yang mereka butuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal masih mensyaratkan
adanya collateral, prosedurnya panjang sehingga waktu realisasinya memakan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
61
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Asnawi, A. 2013a. Financing, Working Capital Management, Cash Conversion Cycle and
Business Performance in Beef Cattle Breeding Business in South Sulawesi. Dissertation.
Faculty of Economics and Business. Airlangga University. Surabaya.
Asnawi, A. 2013b. Determinant of Funding Accessibility and its Impacts to the Performance of
Beef-Cow Breeding Enterprises in South Sulawesi Province, Indonesia. European Journal
of Business and Management., 5(29): 77-84.
Asnawi, A dan Hastang. 2015. Financing Preferences of Beef Cattle Farmers in Bone Regency
South Sulawesi. Advances in Environmental Biology. 9(24) November. Pages: 411-413.
Bougheas, S., Mitzen, P., and Yalcin, C. 2005. Access to External Finance: Theory and
Evidence on the Impact of Monetary Policy and Firm-Specific Charactersitics. Journal
of Banking and Finance, 30(1), 199-227.
Krisnamurti, B. 2005. Pengembangan Keuangan Mikro Bagi Pembangunan Indonesia. Media
Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Edisi IV Mret 2005.
Myers. 1984. Capital Structure Puzzle. Journal of Finance, 39 (1), 572-592.
Nurmanaf, A.R., E.L. Hastuti., Ashari, S. Friyatno dan B. Wiryono. 2006. Analisis Sistem
Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di pedesaan. Analisis Kebijakan
Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen
pertanian.
Nurmanaf, A.R. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Analisis
Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Vol. 5
No. 2. Juni 2007. Pp 99-109.Wahab and Abdesamed, 2012
Wahab, K., Abdesamed, K.H. 2012. Small ND Medium Enterprises (SMEs) Financing Practice
and Accessing Bank Loan Issues-The Case of Libya. World Academy of Science, Enginering
and Technology. 72.
62
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PERANAN PENYULUH TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB)
PADA USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI DAERAH TRANSMIGRASI
KABUPATEN DHARMASRAYA
Ediset, A. Anas dan E. Heriyanto
Bidang Kajian Pembangunan dan Bisnis Peternakan , Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan Universitas Andalas
Email : [email protected]
INTISARI
Kondisi Eksisting daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat adalah
tidak seimbangnya antara permintaan akan daging sapi dengan jumlah populasi sapi yang
tersedia, oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui program yang relevan.
Program pemerintah sala satunya adalah program penyuluhan dalam proses adopsi inovasi
Inseminasi Buatan (IB) yang membutuhkan peranan penyuluh serta kualifikasi penyuluh yang
memadai sehingga katersediaan jumlah populasi ternak sapi terjaga. Penelitian ini dilakukan di
Daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya dengan tujuan untuk : 1) mengetahui peranan
penyuluh dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) pada usaha peternakan sapi potong. 2)
mengetahui kualifikasi penyuluh yang berperan dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB).
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode survey dan pendekatan analisa data
sekunder, jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 50 orang ditentukan dengan teknik quota
sampling atas dasar peternak sapi potong yang telah menerapkan Iseminasi Buatan (IB). Data
yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data secara deskriptif
kuantitatif yang dihitung dengan menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peranan penyuluh sebagai edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi dan konsultasi sudah
berperan baik, sebagai advokasi penyuluh berperan sedang kemudian sebagai supervisi dan
evaluasi peranan penyuluh masih kurang. Kualifikasi penyuluh dilihat dari kemampuan
berkomunikasi, sikap dan adaptasi sosial budaya sudah baik, namun dilihat dari pengetahuan
penyuluh masih kurang. Kesimpulan peranan penyuluh belum optimal dan kualifikasi penyuluh
sudah baik.
Kata kunci : Penyuluh, Peranan, Kualifikasi, Adopsi Inovasi, Inseminasi Buatan
ABSTRACT
This research was conducted at the Regency Dharmasraya in order to: 1) determined the
role of extension in innovation adoption Artificial Insemination (AI) . 2) determined the
qualifications agents whose role in the innovation adoption Artificial Insemination (AI).
Research this approach survey method and approach to the analysis of secondary data, the
number of samples in this study were determined by quota sampling technique based on the
homogeneity of the population, namely farmers beef cattle that have implemented Artificial
63
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Insemination (AI) on their cattle, so the sample set as many as 50 people. The data collected are
primary data with the help of questionnaires and secondary data with the literature study and
related agencies. Descriptive analysis of quantitative data which is calculated using a Likert
scale. The results showed that the role of extension is not optimal, especially on the role of
advocacy, the role of supervision and evaluation role. Qualifications extension seen from the
ability to communicate, attitude and socio-cultural adaptation was good, but the views from the
extension of knowledge about innovation was counseled still lacking.
Keyword: Role, Instructor, Innovation Adoption dan Artificial Insemination
PENDAHULUAN
Program pemerintah untuk mengantisipasi pengurangan jumlah populasi ternak sapi di
Kabupaten Dharmasraya diantaranya adalah program penyuluhan. Implementasi dari program
penyuluhan ini diharapkan dapat membantu peternak dalam mencarikan solusi dari permasalahan
yang berkaitan dengan penerapan inovasi. Adopsi inovasi pada usaha peternakan sapi potong
tidak terlepas dari penyuluh, baik itu peranannya maupun kualifikasi penyuluhnya. Inovasi
Inseminasi Buatan (IB) merupakan bagian dari inovasi bidang peternakan yang harus di adopsi
oleh peternak, maka dalam proses adopsi inovasi IB dibutuhkan peranan penyuluh serta
kualifikasi penyuluh yang memadai.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di daerah transmigrasi Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini
merupakan penelitian survey. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder sesuai dengan kebutuhan penelitian. Populasi adalah seluruh peternak sapi
potong yang ada di transmigrasi sitiung I, sampel di quotakan menjadi 50. Teknik sampling
adalah Accidental Sampling. Analisa data secara deskriptif kuantitatif. Analisa ini dihitung
dengan menggunakan skala likert. Selanjutnya nilai skor yang diperoleh akan dibandingkan
dengan kategori yang telah ditetapkan oleh Ditjen Peternakan (1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Peranan Penyuluh dalam Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan (IB)
Peranan Indikator Persentase (%) Hasil Peranan
Edukasi Setuju 97.2 Baik
Diseminasi Inovasi Setuju 96.5 Baik
Fasilitasi Setuju 97.2 Baik
Konsultasi Setuju 92.5 Baik
Advokasi Setuju 79.0 Sedang
Supervisi Setuju 31.3 Kurang
Evaluasi Setuju 29.8 Kurang
64
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Peranan Penyuluh sebagai Edukasi
Peran edukasi sudah berjalan dengan baik, dimana 97,2% peternak sapi potong didaerah ini
menyatakan setuju kalau penyuluh telah menjalankan peranan edukasi tersebut dalam adopsi
inovasi. Kondisi ini menandakan bahwa penyuluh sudah mampu berperan sebagai pendidik.
Mosher (1968) dalam Mardikanto (2010) menyatakan bahwa fasilitator/penyuluh harus mampu
melaksanakan peranan ganda, baik sebagai penyuluh itu sendiri maupun sebagai guru bagi
sasaran penerima manfaat.
Peran Penyuluh sebagai Diseminasi Inovasi
Penyuluh sudah menjalankan peranan diseminasi inovasi dengan baik, dimana sebesar
96.5% peternak setuju dengan peranan tersebut, itu tidak terlepas dari kemampuan penyuluh
untuk memberikan penyadaran dan meyakinkan para peternak sapi potong bahwa inovasi yang
ditawarkan merupakan suatu inovasi yang memiliki keunggulan. Anwar dkk (2009) menyatakan
bahwa persyaratan utama agar suatu pesan (inovasi) dapat diterima dengan jelas oleh sasaran
adalah mengacu pada kebutuhan masyarakat,mudah dipahami, biaya rendah, peluang
keberhasilan tinggi dan sesuai dengan lingkungan.
Peran Penyuluh sebagai Fasilitasi
Peran fasilitasi (penghubung) telah dilakukan dengan baik oleh penyuluh, dimana 97.2%
peternak menyatakan setuju bahwa penyuluh telah menjalankan peranan fasilitasi, ini
membuktikan bahwa penyuluh selalu memberikan kemudahan dan sumber kemudahan yang
diperlukan oleh peternak sapi potong sehingga terjadi adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB).
Suhardiyono (1990) mengatakan bahwa penyuluh mesti berperan sebagai jembatan penghubung
antara peternak dengan pemangku kepentingan pembangunan, baik itu untuk perbaikan-
perbaikan teknologi maupun untuk perbaikan organisasi.
Peran Penyuluh sebagai Konsultasi
Peternak sapi potong di daerah penelitian cukup puas (92.5% setuju) dengan peranan
penyuluh sebagai konsultasi. Berperan baiknya penyuluh sebagai konsultan/penasehat ini
disebabkan oleh para penyuluh didaerah ini memanfaatkan media antar-pribadi dalam
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi oleh peternak. Mardikanto (2010)
mengungkapkan bahwa media antar pribadi merupakan media yang memungkinkan para pihak
yang berkomunikasi dapat berkomunikasi secara langsung, baik dengan tatap muka (percakapan
antar individu) ataupun dengan menggunakan alat (telepon).
Peranan Penyuluh sebagai Advokasi
Peternak sebesar 79.0% menyatakan setuju kalau peranan advokasi telah dilakukan
penyuluh, peranan ini hanya berada pada kategori sedang yang disebabkan oleh penyuluh jarang
mengikutsertakan peternak sapi potong dalam perencanaan dan pengambilan keputusan kegiatan
penyuluhan. Coley (1971) dalam Anwar dkk (2009) memberikan acuan untuk mengefektifkan
komunikasi dalam penyuluhan harus diupayakan adanya kepentingan yang sama (Overlaping of
Interest) antara kebutuhan yang dirasakan oleh peternak dengan informasi yang ditawarkan oleh
penyuluh.
65
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Peranan Penyuluh sebagai Supervisi
Peranan supervisi masih kurang dilakukan oleh penyuluh, dimana 31.4% saja peternak
yang setuju kalau peranan ini sudah berjalan, hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah
penyuluh dan kurang komitmen penyuluh terhadap profesinya sebagai penyuluh. Rogers (1995)
mengatakan bahwa kunci keberhasilan penyuluh diantaranya adalah kerja keras dan
beremphaty/bertenggang rasa, memahami dan menempatkan diri sebagai penerima manfaat.
Peran Penyuluh sebagai Evaluasi
Penyuluh masih kurang berperan dalam hal evaluasi, dimana hanya 28.9% peternak yang
setuju kalau penyuluh sudah menjalankan peranan tersebut, ini membuktikan bahwa penyuluh
belum melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. Mardikanto (2010)
mengungkapkan bahwa fasilitator/penyuluh yang profesional harus memiliki kumpulan laporan
keberhasilan kegiatan penyuluhan, himpunan tantangan yang menyangkut keterkaitan:
penyuluhan dan peternak, antar institusi dan antar wilayah serta daftar sumber daya yang
digunakan dan alat peraga yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan.
Tabel 2. Kualifikasi Penyuluh
Kualifikasi Indikator Persentase (%) Hasil Kualifikasi
Kemampuan Berkomunikasi Setuju 99.3 Baik
Sikap Penyuluh Setuju 93.0 Baik
Pengetahuan Penyuluh Setuju 43.2 Kurang
Karakteristik Sosial Budaya Setuju 89.3 Baik
Kemampuan Berkomunikasi
Peternak sebanyak 99.3% setuju kalau penyuluh sudah memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik, ini dikarenakan para penyuluh sering dikirim untuk mengikuti
kegiatan pelatihan. Swanson (1997) mengatakan bahwa untuk pengembangan profesionalisme
penyuluh, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan baik itu menyangkut teori belajar maupun yang
menyangkut semangat belajar.
Sikap Penyuluh
Penyuluh sudah bersikap baik dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB), ini
disetujui oleh 93.0% peternak. Kondisi ini terjadi karena penyuluh berdomisili di daerah stempat
dan mengetahui kelbihan dari inovasi yang disampaikan. Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa
sikap penyuluh juga ditentukan oleh keyakinan penyuluh terhadap inovasi yang disampaikan
telah teruji manfaatnya, serta memiliki peluang keberhasilan untuk diterapkan pada kondisi alam
wilayah kerjanya.
Pengetahuan Penyuluh
Pengetahuan penyuluh masih kurang, hanya 43.2% peternak saja yang setuju dengan
pengetahuan penyuluh, hal ini disebabkan oleh pendidikan formal penyuluh masih rendah yaitu
SLTA. Berlo (1960) dalam Mardikanto (2010) mengatakan bahwa pengetahuan tentang
66
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
isi,fungsi, serta nilai yang terkandung dalam suatu inovasi adalah bagian dari kualifikasi dari
seorang penyuluh.
Karakteristik Sosial Budaya Penyuluh
Penyuluh memiliki karakteristik sosial budaya yang baik, dimana 89.3% peternak setuju
jika penyuluh sudah memahami bahasa, kebiasaan dari masayarakat sasaran. Mardikanto (2010)
menjelaskan bahwa penyuluh sejauh mungkin harus memiliki latar belakang sosial budaya yang
sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat penerima manfaat.
KESIMPULAN
Penyuluh belum berperan optimal dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) di
daerah Dharmasraya meskipun kualifikasi penyuluhnya sudah baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S; Madariza, F. dan Anas, A. 2009. Ilmu penyuluhan pertanian. Buku Ajar. Fakultas
Peternakan Universitas Andalas, Padang.
Ditjen Peternakan . 1992. Pedoman Identifikasi Faktor Penentu Teknis Peternakan . Proyek
Peningkatan Produksi Peternakan . Diklat Peternakan. Jakarta
Mardikanto. 2010. Komunikasi Pembangunan. Acuan Bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat
Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
Rogers EM, Schoemaker FF. 1995. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach.
Revised Edition. New York: The Free Press.
Suhardiyono, L. 1990. Penyuluhan. Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Swanson, B.E., 1997. Improving Agricultural Extension. Rome: FAO
67
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN MENGGUNAKAN LOCATION
QUONTIENT (LQ) DI PROPINSI JAWA TENGAH
Nurdayati dan Bambang Sudarmanto
Jurusan Penyuluhan Peternakan, STPP Magelang
Email Korespondensi: [email protected]
INTISARI
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi sub sektor perekonomian basis dan non
basis, dan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian dari tahun 2010 – 2015 di
Provinsi Jawa Tengah. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan lain-lain yang
diterbitkan literatus mengenai penelitian ini, Location Quotient (LQ) dan Dynamic Location
Quotient (DLQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan sektor diketahui bahwa
sektor Pertanian, indostri pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran, komunikasi dan
pengangkutan beserta keuangan persewaan adalah sektor dasar. Sementara itu, yang lain
penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dasar dan sektor non basis dari 2010 – 2015
yang berfluktuasi.
Kata kunci : Location Quotient (LQ), sektor basis
ABSTRACT
This study was conducted to identify the sectors of basic and non-basic and basic to
identify growth sectors - basic and non-basic from years 2010 - 2015 in the province of Central
Java. Data collected from the Central Bureau of Statistics (BPS). analysis of the research to use
Location Quotient (LQ) and Dynamic Location Quotient (DLQ). The results showed that out of
the eight sectors is known that the Agricultural sector, Tanaman processing, hotel and restaurant
trade, communication and transport sectors as well as financial leasing is basic. Meanwhile,
another study showed that the growth of basic and non-sector basis from 2010 - 2015 fluctuating.
Kata kunci : Location Quotient (LQ), basic sector.
PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat dari
yang kurang baik menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan kondisi masyarakat perlu adanya
kerjasama antara semua elemen yang terkait sehingga dapat berjalan dengan lancar dan dapat
mencapai sasaran yang diinginkan. Pembangunan adalah sebuah perubahan yang direncanakan
sehingga perlu dengan pertimbangan yang lebih matang. Arsyad (2001) dijelaskan bahwa
pembangunan daerah merupakan upaya daerah untuk menekankan pelaksanaan kebijakan-
kebijakan pembangunan yang bertumpu pada keiklhasan daerah dengan menggunakan potensi
sumber daya manusia yang ada dan potensi alam yang menjadi cirikhas daerah. Adanya
pemertaan pembangunan sedikit banyaknya akan berdampak pada perubahan daerah baik secara
68
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
fisik maupun non fisik. Perubahan fisik akan nampak dengan adanya perubahan dari adanya
peningkatan pendapatan pada suatu daerah, perluasan kesempatan kerja serta peningkatan sektor
ekonomi. Salah satu kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah dengan
mengidentifikasi sektor yang merupakan sektor basis dan non basis. Pemerintah pada suatu
wlayah selalu berupaya untuk mendorong masing-masing daerah pada suatu wilayah untuk
mengembangkan sektor ekonomi yang merupakan sektor basis dan mendorong sektor ekonomi
non basis agar menjadi basis.
Pertumbuahan sektor pertanian suatu daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh keunggulan
kompetitif suatu daerah, spesialisasi wilayah serta potensi pertanian yang dimiliki oleh daerah
tersebut. Adanya potensi pertanian disuatu daerah tidaklah mempunyai arti bagi pertumbuhan
pertanian apabila tidak ada upaya memanfaatkan dan mengembangkan potensi pertanian secara
optimal. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sub sektor perekonomian
basis dan non basis serta untuk mengetahui laju pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomian
di Propinsi Jawa Tengah.
MATERI DAN METODE
Materi yang diginakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder
dengan metode studi kepustakaan yaitu pengumpulan informasi dan pengetahuan yang
diperlukan untuk penelitian . Data yang dikumpulkan adalah data runtun waktu (time series)
berupa data tahunan dari tahun 2010 sampai dengan 2013 (5 tahun) yang bersumber dari (1)
Statistik Jawa Tengah, Statistik Indonesia, Internet, SUSENAS berbagai jurnal majalah literatur
dan sumber lain. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
diskriptif analitis, yaitu menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-
data. Data disajikan, dianalisis dan diintepretasikan (Narbuko dan Achmadi, 1997).
Alat analisis yang digunakan pada Penelitian ini adalah Analisis Location Quontient(LQ)
dan Dynamic Location Quotient ( DLQ). Untuk menentukan beberapa sektor perekonomian di
termasuk wilayah basis aata non basis menggunakan Analisis Location Quontient(LQ)adalah
sbb:
𝐿𝑄 = 𝑣𝑖/𝑣𝑡
𝑉𝑖/𝑉𝑡
Keterangan
LQ = Location Quotient
vi = Output sektor i di suatu daerah
vt = Output total daerah tersebut
Vi = Output sektor i nasional
Vt = Output total nasional
Kriteria :
1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah .
2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah.
3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu
69
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
wilayah.
Untuk mengetahui perubahan posisi yang terjadi pada sektor perekonomian di Propinsi
Jawa Tengah digunakan analis Dynamic Location Quotient ( DLQ) sbb:
𝐷𝐿𝑄 = 1 + gij /(1 + gj)
(1 + Gi)/(1 + G)
Keterangan
DLQ = Dynamic Location Quontient
gij = Laju pertumbuhan PDRB sektor perekonomian wilayah Provinsi Jawa
Tengah
gj = Laju pertumbuhan PDRB wilayah Provinsi Jawa Tengah
Vi = Laju pertumbuhan PNB sektor perekonomian
Vt = Laju pertumbuhan PNB total
Kriteria :
1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah .
2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah.
3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu
wilayah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perekonomian regional dapat dibedakan menjadi dua sektor basis dan sektor non basis.
Sektor basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hasil produksinya dapat untuk
melayani pasar baik di dalam maupun di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan
(Wijaya dan Hastarini, 2006). Sektor tersebut dikatakan basis apabila memiliki nilai Indeks
Location Quotient lebih dari satu (LQ>1). Sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan
ekonomi yang hanya mampu menyediakan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat yang
bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan (Wijaya dan
Hastarin, 2006). Sektor tersebut merupakan sektor non basis apabila memiliki nilai Indeks
Location Qoutient kurang dari satu (LQ < 1).
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah
Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013
Pertanian 1.39533 1.41078 1.40158 1.36699
Pertambangan 0.09254 0.08025 0.08116 0.08756
Industri pengolahan 1.49231 1.50314 1.52705 1.12949
Listrik gas dan air bersih 0.04743 0.04631 0.04721 0.0359
Bangunan 0.66831 0.64743 0.63979 0.46244
Perdagangan hotel dan restoran 1.45442 1.42656 1.53185 1.06327
Komunikasi dan pengangkutan 1.65546 16.3185 1.62526 1.1018
70
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Keuangan persewaan dan jasa
perusahaan 1.02444 1.00946 0.96345 0.66577
Sumber : Data Terolah
Suatu cara untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis.
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa ada 4 ektor yang merupakan sektor basis yaitu
sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, sektor komunikasi dan pengangkutan dan
keuangan persewaan dan Jasa Perusahaan. Artinya kelima sektor tersebut menjadi basis atau
menjadi sumber pertumbuhan , memiliki keunggulan komperatif, dan hasilnya tidak saja dapat
memenuhi kebutuhan di Propinsi Jawa Tengah akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah.
Untuk sektor pertambangan, sektor Industri pengolahan dan sektor bangunan termasuk
non basis. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri . Sektor pertambangan sektor listrik gas
dan air bersih serta sektor bangunan termasuk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
wilayahnya sendiri atau dalam kategori non basis , sedangkan sektor keuangan persewaan dan
jasa perusahaan juga termasuk non basis tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Dynamic Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah
Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013
Pertanian 0.257246 0.21486 0.185517 0.000172
Pertambangan 0.004742 0.01792 0.037989 0.249705
Industri pengulahan 0.366024 0.622771 0.693485 0.621453
Listrik gas dan air bersih 0.005576 0.03789 0.056013 0.013381
Bangunan 0.063238 0.072471 0.08446 0.078579
Perdagangan hotel dan restoran 0.17925 0.459442 0.325098 0.35217
Komunikasi dan pengangkutan 0.066544 0.068976 0.058938 0.053685
Keuangan persewaan dan jasa
perusahaan 0.039169 0.030381 0.042041 0.068462
Sumber Data Terolah
Pada Tabel 2. diperoleh hasil dari analisis metode Dynamic Location Quotient terhadap
sektor perekonomian di Propinsi Jawa Tengah dapat diketahui bahwa untuk semua sektor
kedepannya tidak bisa menjadi basis akan tetapi jika dilihat dari pertumbuhannya sektor
Industri pengolahan dan , dapat menjadi basis karena jika dilihat dari pertumbuhan yang dari
tahun 2010 s.d 2013 mengalami peningkatan, sedangkan untuk pertanian justru akan mengalami
penurunan. Hal ini akan berdampak buruk berantai pada pencapaian sasaran pembangunan di
Jawa Tengah untuk itu sangat perlu untuk diperbaiki. Prospek pencapaian sasaran =sasaran
utama pembangunan Propinsi Jawa Tengah akan sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan
baik internak daerah Jawa Tengah maupun lingkungan eksternal. Dampak krisis di Eropa dan
pelambatan arus perdagangan global merupakan ancaman eksternal yang bisa mengganggu
kinerja perekonomian daerah.
71
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
KESIMPULAN
1. Sektor perekonomian yang menjadi sektor basis bagi perekonomian di wilayah Propinsi Jawa
Tengah adalah dari sektor pertanian, Industri Pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran,
komunikasi dan pengangkutan beserta keuangan persewaan.
2. Beberapa sektor pertanian yang menjadi basis mengalami perubahan yang semula menjadi
basis maka akan menjadi non basis.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. 1999 Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi ke 1 BPFE –
UGM Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik, 2015 . Jawa Tengah Dalam Angka 2010 s.d 2014 . Badan Pusat Statistik
Jawa Tengah
Badan Pusat Statistik, 2015. Pendapatan Nasiaonal Indonesia 2010 – 2015. Badan Pusat
Statistik Indonesia
Narbuko, C., dan A. Achmadi, 1997, Metodologi Penelitian. Bumi Aksara . Jakarta
72
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG TENTANG
PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK
(STUDI KASUS DI KECAMATAN MAIWA, KABUPATEN ENREKANG,
SULAWESI SELATAN)
Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, Hastang, Muhammad Ridwan, Ahmad
Ramadhan Siregar, Tanrigiling Rasyid, Kasmiyati Kasim, Wachniyati Hatta, dan Jamila
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis
Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245, Sulawesi Selatan, Indonesia
Email: [email protected]
INTISARI
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan peternak sapi potong
tentang pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Penelitian ini dilakukan dari bulan
September sampai Oktober 2015 dikecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Populasi adalah seluruh peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak. Sebanyak 36 peternak sapi potong dipilih secara acak.
Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Jumlah pertanyaan
ada 10 buah dengan jawaban tertutup dan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk
jawaban salah. Nilai tertinggi adalah 10 dan nilai terendah adalah 0. Data yang telah
dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pengetahuan
peternak sapi potong tentang pemanafatan limbah pertanian sebagai pakan ternak termasuk
kategori rendah.
Kata-kata kunci: limbah pertanian, pengetahuan, peternak sapi potong
ABSTRACT
This study was conducted to determine the knowledge of beef cattle farmers on the use of
agricultural waste as animal feed. This study was conducted from September to October 2015 in
Maiwa subdistrict, Enrekang regency, South Sulawesi. The population of this research consisted
of beef cattle farmers who have received extention of using agricultural waste as animal feed. A
total of 36 cattle farmers were selected randomly. Data were obtained through interviews using
questionnaires and observation. There were 10 number of questions. The score for a correct
answer was 1, while the score for wrong answer was 0. The highest value was 10 and the lowest
score is 0. The collected data were analyzed descriptively. The results showed that beef cattle
farmers knowledge on the use of agicultural waste as animal feed was low.
Key words: agricultural waste, knowledge, cattle farmers
73
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PENDAHULUAN
Limbah pertanian merupakan limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan pertanian,
contohnya sisa daun-daunan, ranting, jerami, kayu dan lain-lain (Haghi, 2010). Untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein pada ternak sapi potong diperlukan hijauan dan konsentrat.
Menurut Syamsu dan Karim (2013), jerami padi adalah salah satu limbah pertanian yang sering
dipakai untuk pakan ternak, tetapi beberapa peternak belum memanfaatkannya secara optimal.
Lima (2012) mengatakan bahwa pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan sebagai pakan
ternak masih sangat rendah yaitu 5%, disamping itu peternak belum mengetahui dan menerapkan
teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak.
Kabupaten Enrekang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkenal
dengan hasil pertanian, perkebunan dan hortikultura. Tentunya limbahnya dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak. Namun dalam kenyataannya para peternak sapi potong belum mengetahui
dan belum memanfaatkannya secara optimal, sehingga ternak sapi dimusim kemarau kekurangan
pakan.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan
peternak sapi potong tentang pemanfatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, sehingga dapat
ditentukan kebijakan pemerintah selanjutnya dalam mengatasi kekurangan pakan ternak sesuai
potensi setempat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 di kecamatan Maiwa,
kabupaten Enrekang. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner, dan observasi.
Sampel adalah 36 peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfataan limbah
pertanian. Data yang diambil terdiri dari identitas responden meliputi: jenis kelamin, umur,
pekerjaan, jumlah sapi, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman beternak. Data
pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfaatan limbah pertanian diperoleh satu minggu
setelah dilakukan penyuluhan pemanfaatan limbah pertanian. Adapun indikator pengetahuan
terdiri dari: a. Pengertian Jerami Padi; b. Pengertian Jerami Jagung; c. Kelebihan Jerami Padi; d.
Kelebihan Jerami Jagung; e. Nilai Gizi Bahan Pakan; f. Perlakuan Amoniasi; g. Pakan Alternatif;
h. Pakan Ternak Sapi Potong; i. Hambatan Pemanfaatan Jerami.
Untuk mengukur variabel penelitian yang digunakan maka dilakukan pengukuran dengan
cara menguraikan indikator-indikator variabel dalam bentuk item-item pertanyaan yang disusun
dalam kuesioner dengan menggunakan skala Guttman. Skala Guttman ialah skala yang
digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Misalnya benar – salah, ya –
tidak, positif – negatif, pernah – belum pernah (Riduwan, 2009). Jumlah pertanyaan ada 10 buah
dengan jawaban tertutup. Apabila nilai yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan 5, maka
pengetahuan peternak adalah rendah apabila nilainya lebih besar dari 5, maka pengetahuannya
tinggi. Benar : 1 ketika peternak tahu dan memahami pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan ternak sapi potong. Salah : 0 ketika peternak tidak tahu dan tidak memahami pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong. Data dianalisa secara deskriptif.
74
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden
Secara umum, mayoritas peternak berada pada usia produktif 17 orang (47%), pendidikan
rendah karena lulus SD 23 orang (64%), pengalaman beternak kurang karena 27 orang ( 75%)
berpengalaman antara 1-10 tahun, jumlah sapi yang dimiliki skala kecil karena 21 orang (58%)
memelihara antara 1-5 ekor, dan jumlah tanggungan keluarga kecil yaitu 1 – 4 orang pada 17
orang peternak (47%).
Pengetahuan peternak
Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan peternak dalam pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pakan ternak sapi potong di Kabupaten Enrekang termasuk kategori rendah, karena nilai
skor pengetahuan adalah 5. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Lestari dkk (2015) yang
mengatakan bahwa pengetahuan peternak sapi potong di kabupaten lain di Sulawesi Selatan
yaitu di kabupaten Sinjai dalam memanfaakan limbah pertanian sebagai pakan ternak masih
rendah. Kebanyakan limbah jerami padi dan jerami jagung ditumpuk ataupun dibakar.
Peternak di kecamatan Maiwa sebagian besar tidak memanfaatkan limbah pertanian yang
cukup banyak tersedia disekitarnya. Hanya 8 responden (22%) yang mengetahuinya dan
memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena peternak kurang telaten atau kurang motivasi
untuk memberikan limbah pertanian pada ternaknya. Apabila peternak mencoba memberikan
limbah pertanian sekali pada ternak sapinya dan ternaknya menolak, maka peternak tersebut
tidak akan mencobanya lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Febrina dan Liana (2008) yang
mengatakan bahwa hanya 20% responden yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan
ruminansia.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan peternak sapi potong
tentang pemanfaatan limbah pertanian termasuk kategori rendah. Oleh karena itu diperlukan
penyuluhan yang intensif oleh instansi terkait supaya peternak sapi potong termotivasi
memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Haghi, A.K. 2010. Waste Management. Canada :Nova Science.
Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada
peternak rakyat di kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Peternakan
5(1): 28 – 37.
Lima, D. 2012. Produksi limbah pertanian dan limbah peternak serta pemanfaatannya di
kecamatan Huamual Belakang dan Tanimel Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal
Agroforestri VIII(1): 1-7.
Riduwan. 2009. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung.
75
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Syamsu, J. dan H. Karim. 2013. The Policy strategy of rice straw utilization as feed for
ruminants. Asian Journal of Agriculture and Rural Development. 3(9): 615-621.
Lestari, V. S., D.P. Rahardja., dan M. B. Rombe. 2015. Pengetahuan dan sikap peternak sapi
potong terhadap teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Peternakan, 4(2): 90-92.
76
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
THE PERCEPTION FARMERS ABOUT INTEGRATION SYSTEM OF
BEEF CATTLE ON OIL PALM PLANTATION IN DHARMASRAYA
REGENCY
Ir. Amna Suresti, M.Si., Prof. Dr. Ir. Asdi Agustar, M.Sc., dan Nilsen Oktafiardi
Animal Husbandry Faculty, Andalas University, Padang.
ABSTRACT
The main objects of this research were to determine the perception farmers about integration
system of beef cattle on oil palm plantation and to determine factors that influence the perception
farmers about integration system of beef cattle on oil palm plantation. Survey was conducted.
Fourty respondents were collected accidentally and interviewed using instrument that had been
prepared. Perception was measured using a likert scale and was analyzed descriptively. To
determine the factors that influence the perception of farmers conducted multiple linear
regression analysis with respondents perceptions about the integration beef cattle on oil palm
plantation as the dependent variable and then age, education, experience palm gardening, raising
cattle experience, and experience in raising cattle in oil palm plantations of respondent as an
independent variable. The results obtained from the calculation by way of scoring on a Likert
scale, a score was the average score of 105.30 in the 2nd interval of 71 - 110. The Interval
categorize the perception of the category quite well. It explained that the assessment and
understanding given or owned by farmers, cattle ranchers on system integration with palm oil
plantations was good enough. That was, the understanding of farmers about the integration
system of beefcatle on oil palm plantation was not fully understand the concept of integration
cattle - palm-ideally yet.
Keywords : Perception, Integration, Beef Cattle, Palm Oil.
PENDAHULUAN
Dalam konsep SISKA, pemeliharaan sapi dengan kelapa sawit akan terjadi
simbiosismutualisme, dimana sapi dengan kelapa sawit akan saling memberikan keuntungan atau
manfaat untuk kelestariannya. Ternak sapi akan mendapatkan sumber hijauan dari lingkungan
kelapa sawit, baik itu rumput-rumput yang tumbuh mengganggu terhadap tanaman (gulma)
ataupun limbah dari hasil pemangkasan kelapa sawit seperti daun, pelepah, dan tandan kosong
untuk memenuhi kebutuhan serat kasarnya. Sebaliknya kelapa sawit dapat tumbuh subur akibat
dari sumbangan ternak sapi berupa pupuk organik yang mampu mengubah sifat fisik tanah
dengan meningkatkan unsur hara tanah dan memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih
baik. Dengan adanya peningkatan sifat fisik tanah diharapkan tanaman kelapa sawit mengalami
77
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
peningkatan produksi. Selain itu, ternak sapi berpotensi digunakan untuk mengangkut buah
kelapa sawit dari dalam areal perkebunan hingga tempat pengumpulan sementara. Adanya ternak
sapi yang dipelihara di dalam kebun kelapa sawit dapat meringankan penggunaan tenaga kerja
manusia, sehingga usaha berlangsung efisien. Dengan demikian SISKA merupakan suatu pola
dalam usaha tani – ternak dengan kebun kelapa sawit. Apabila pola tersebut dilakukan dengan
baik akan dapat meningkatkan efisiensi usaha. Selanjutnya usaha tani yang efisien diharapkan
mampu meningkatkan penghasilan petani yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kesejahteraan petani yang melakukannya (Manti dkk, 2003)
Kabupaten Dharmasraya merupakan suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah
petani, khususnya petani sawit. Menurut data Profil wilayah (2010) penduduk yang
matapencarian utamanya bertani ialah sebanyak 60.75%, dan lebih dari 50% luas daerah
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Selain dari berkebun kelapa sawit mereka juga
beternak sapi pada lahan yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pola integrasi sapi dengan
kelapa sawit. Tetapi pada pelaksanaan pola integrasi yang dilakukan oleh petani – peternak
belumlah sesuai dengan konsep integrasi yang sebenarnya. Pada umumnya mereka hanya
memanfaatkan gulma yang tumbuh di areal perkebunan, tanpa memanfaatkan hijauan dari
limbah perkebunan seperti daun, pelepah, dan tandan kosong kelapa sawit yang diberikan
perlakuan khusus agar kemudian dijadikan sebagai makanan ternak.
Berdasarkan keterangan di atas, ada pertanyaan umum yang harus dicarikan jawabannya,
yaitu apakah petani sawit yang memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit didasari oleh
persepi yang baik tentang sistem integrasi sapi – sawit. Pertanyaan ini perlu dijawab berdasarkan
pada pemahaman bahwa tindakan seseorang terhadap sesuatu hal didasari oleh persepsinya yang
berkenaan dengan hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Persepsi Peternak
Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit di Kabupaten Dharmasraya.”dengan rumusan masaah
adalah‖Bagaimana persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten
Dharmasraya?‖
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten
Dharmasraya.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini merupakan survei (survey studies) dengan metoda pengumpulan
wawancara (interview).
Variabel Penelitian
Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi –
kelapa sawit dilihat dari tiga aspek, yaitu:
(1) Aspek ekonomi pada sistem integrasi sapi – sawit
(2) Aspek ekologi pada sistem integras sapi – sawit
(3) Aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit
78
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Analisis Data Penelitian
Pengukuran persepsi berdasarkan skor yang ditentukan dengan menggunakan skala
Likert. Berdasarkan pada jarak interval skor yang diperoleh dapat ditentukan kategori persepsi
peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit adalah
Interval Skor Kategori
31—70 Tidak Baik
71—110 Cukup Baik
111—150 Baik
Jika dilihat persepsi peternak pada masing-masing aspek, maka interval skor adalah
selisih antara skor tertinggi dalam satu aspek, yaitu 50 dengan skor terendah dalam satu aspek,
yaitu 10.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit
Persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit ini ditinjau dari aspek ekonomi,
aspek ekologi, dan aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit. Dari masing-
masing aspek tersebut memberikan penjelasan terhadap penilaian dan pemahaman yang
diberikan oleh narasumber (responden) tentang sistem integrasi sapi dengan tanaman kebun
kelapa sawit. Berdasarkan pada hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring
pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110.
a. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekonomi
Dari hasil pengukuran persepsi dengan menggunakan skala Likert, didapatkan persepsi
responden tentang sistem integrasi sapi – sawit berdasarkan pada aspek ekonomi tergolong baik.
Persepsi yang baik dari responden tersebut ditunjukkan dari rataan skor skala Likert, yaitu 37.5
yang berada pada tepi bawah interval 37 – 50 yang dikategorikan sebagai persepsi yang baik.
Persepsi yang baik dari responden tentang pola integrasi sapi dengan kelapa sawit terhadap aspek
ekonominya muncul dari penilaian yang baik pula dari responden. Di samping itu, responden
yang dilakukan wawancara, juga menyatakan bahwasanya dengan pola integrasi sapi – sawit
mereka merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari segi ekonomi dari sistem integrasi.
b. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekologi
Berdasarkan hasil pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem
integrasi sapi – sawit dari aspek ekonomi, didapatkan persepsi responden tentang pola integrasi
sapi – sawit yang ditinjau dari aspek ekologi tergolong cukup baik. Persespi responden yang
cukup baik didasarkan pada rataan skor, yaitu 32,08 (80%) yang berada pada interval skor 24 –
36. Dapat diartikan bahwa pada umumnya responden tidak memahami sepenuhnya manfaat yang
dapat diperoleh dari sistem integrasi sapi – sawit. Hanya sebagian dari sistem integrasi yang
dapat dipahami responden terhadap manfaat ekologi pola integrasi sapi dengan kelapa sawit.
79
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
c. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Efisiensi
Memelihara Sapi di dalam Kebun Kelapa Sawit
Berdasarkan dari pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem
integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit,
didapatkan persepsi peternak tentang sisem integrasi sapi – sawit tergolong cukup baik. Persepsi
cukup baik tersebut dijelaskan dari rataan skor yang diperoleh dari skala Likert, yaitu 33,38 yang
berada pada interval 24 – 36. Artinya responden belum sepenuhnya memahami manfaat yang
dapat diberikan oleh sistem integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam
areal perkebunan kelapa sawit dengan baik.
Pemahaman responden yang demikian disampaikan di atas terlihat pada hasil wawancara
peneliti dengan responden. Sebanyak 85% responden setuju dengan integrasi pemeliharaan sapi
dengan sawit dapat terjadi penghematan penggunaan tenaga kerja. Bahkan 2,5% menyatakan
sangat setuju dengan hal tersebut. Tetapi pada pernyataan pemeliharaan sapi di dalam kebun
kelapa sawit tidak akan menghemat tenaga kerja, karena pekerjaannya masing-masing
memperlihatkan ketidakkonsistenan responden dengan pernyataan sebelumnya. Dari tabel 8
menjelaskan bahwa responden penelitian mempunyai persepsi cukup baik tentang sistem
integrasi sapi – sawit bila dilihat dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa
sawit, yaitu sebanyak 77,5%. Sedangkan responden yang mempunyai persepsi baik tentang
sistem integrasi sebanyak 22,5%. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dari aspek efisiensi
memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit responden tidak memahami dengan baik atau tidak
memahami dengan baik pola integrasi sapi – sawit secara menyeluruh.
Dari ketiga aspek yang dilihat dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit menunjukkan
peternak yang ada di Kkabupaten ini mempunyai persepsi yang cukup baik tentang sistem
integrasi sapi – sawit. Persepsi peternak yang cukup baik menggambarkan bahwa pemahaman
peternak tentang sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit masih kurang. Sehingga pandangan
peternak tentang pola integrasi didapatkan hanya dari pengalamannya dalam memelihara sapi di
areal perkebunan kelapa sawit. Informasi yang diterima peternak untuk melakukan usaha tani
terpadu ini tidak didapatkan dari Dinas terkait yang selayaknya memberikan penyuluhan
mengenai sistem integrasi ini. Mereka melakukan pemeliharaan sapi di areal perkebunan atas
dasar inisiatif atau melihat peternak lain yang merasakan keringanan yang dapat diperoleh dari
memelihara sapi di dalam kebun sawit. Namun mereka tidak memahami secara keseluruhan
manfaat yang dapat diperoleh dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal itulah yang
menyebabkan kuranganya pemahaman peternak mengenai sistem integrasi sapi – sawit.
KESIMPULAN Persepsi peternak Nagari Padang Laweh Kecamatan Padang Laweh cukup baik tentang
sistem integrasi sapi – sawit. Hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring
pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110.
Interval tersebut mengkategorikan persepsi pada kategori cukup baik. Hal tersebut menjelaskan
bahwa penilaian dan pemahaman yang diberikan atau dimiliki petani-peternak tentang sistem
80
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
integrasi sapi dengan kebun kelapa sawit ialah cukup baik. Artinya, pemahaman petani-peternak
mengenai sistem integrasi sapi –sawit belumlah memahami sepenuhnya konsep integrasi sapi –
sawit se-idealnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
BPS. 2011. Dharmasraya Dalam Angka – Dharmasraya In Figures. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Dharmasraya. Dharmasraya.
Diwyanto, K, Prawiradiputra B.R., dan Lubis D. 2001. ―Integrasi Tanaman Ternak Dalam
Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing‖, Berkelanjutan Dan Berkerakyatan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Manti, I., Azmi, Priyotomo E. Sitompul D. 2003. ―Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi
Dengan Kelapa Sawit (SISKA)‖. Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Balai
Pengkajian Teknlogi Pertanian Bengkulu, PT Agricinal.
.Profil Nagari Padang Laweh. 2010. Gambaran Profil Nagari Padang Laweh Tahun 2010. Wali
Nagari Padang Laweh. Kecamatan Padang Laweh. Kabupaten Dharmasraya.
Psychologymania. 2011. ―Persepsi‖. http://www.psychologymania.com/2011/08/pengertian-
persepsi.html. Diunduh 03 Maret 2013.
Sarwono, S. W. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Cetakan Ke-15. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.Pasuruan. 67184.
Wikipedia.Org. 2013. ―Persepsi‖. http://id.wikipedia.org/wiki/persepsi. Diunduh 26 Maret 2013.
81
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ADOPSI INOVASI PADA TEKNIS PEMELIHARAAN USAHA
PETERNAKAN DI SITIUNG, SUMATERA BARAT
Winda Sartika, Basril Basyar dan Ediset
Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Email : [email protected]
ABSTRAK
Peningkatan jumlah populasi ternak pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya
penerapan aspek teknis pemeliharaan pada usaha peternakan seperti bibit, pakan, tatalaksana
pemeliharaan, pencegahan penyakit dan pemasaran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
adopsi inovasi pada teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung. Metode yang digunakan
adalah metode survey, sampel ditentukan dengan formula slovin berdasarkan teknik Cluster
random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 98 peternak. Analisa data dilakukan
secara deskriptif dengan bantuan tabel untuk tabulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adopsi inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu
ditingkatkan. Penerapan inovasi tertinggi terlihat pada teknis pakan ternak (72,93%) sedangkan
penerapan inovasi terendah berada pada sistem pemasaran (0,22%).
Kata kunci : adopsi inovasi, usaha peternakan, Sitiung
PENDAHULUAN
Sitiungm erupakan salah satu desa atau daerah transmigrasi yang terletak di Provinsi
Sumatera Barat yang mata pencarian penduduknya rata-rata berasal dari usaha pertanian seperti
bertani dan beternak. Pada umumnya pemeliharaan ternak di kabupaten Dharmasraya baik itu
ternak besar maupun ternak kecil dilakukan secara semi intensif dan bersifat usaha sambilan
sehingga pertambahan populasi ternak dari tahun ke tahun masih rendah. Kondisi usaha
peternakana yang seperti ini perlu mendapatkan dukungan dari stakeholders terkait agar dapat
meningkatkan jumlah populasi ternak yang mereka pelihara.
Peningkatan populasi pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya penerapan
inovasi baru pada usaha peternakan seperti inovasi yang berkaitan dengan teknis pemeliharaan
ternak seperti inovasi bibit, inovasi pakan, inovasi perkandangan, tatalaksanan pemeliharaan dan
pemasaran. Dengan adanya inovasi-inovasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah
populasi serta kesejahteraan peternak.
Penerapan inovasi diatas juga perlu di dukung oleh program pemerintahan yang sesuai.
Salah satu program yang biasa dilakukan dalam membangun sub sektor peternakan adalah
penyuluhan. Penyuluhan diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para
peternak dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup berswadaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakat (Syahyuti,
2006). Penyuluhan merupakan salah satu upaya pemerintah yang memiliki peranan penting
82
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
dalam meningkatkan pengetahuan peternak dalam pembangunan pertanian khususnya
peternakan. Peranan penyuluh tidak hanya menyampaikan informasi kepada petani-peternak
tetapi juga harus mampu menambah, mengubah, dan membangun aspek-aspek pengetahuan
(Kognitif), sikap (Afektif), dan keterampilan petani-peternak (Pyhsikomotorik) sehingga mampu
beternak dan berusaha ternak yang lebih baik dan menguntungkan.
Proses penyuluhan yang dilakukan pada peternak pada gilirannya adalah bertujuan untuk
merubah perilaku peternak itu sendiri atau mengadopsi inovasi yang ditawarkan, artinya dari
tidak menerima suatu inovasi menjadi menerima inovasi atau dari tidak menerapakan akhirnya
menerapakan inovasi yang ditawarkan baik itu pada tingkatan pengetahuan (Kognitif), sikap
(Afektif) maupun pada tingkatan keterampilan (Physikomotorik).
MATERI DAN METODA
Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Sitiung Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat pada
tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Rumah Tangga Peternak di Kecamatan
Sitiung berdasarkan populasi terbanyak dan Rumah Tangga Peternak terbanyak (RTP). yaitu
5.425 RTP. Dari populasi 5.425 RTP akan diambil sampel sebanyak 98 sampel, pengambilan
besarnya sampel ditentukan dengan formula Slovin ( Agustar, 1996 ) sebagai berikut :
n = 2Ne 1
N
n =
20,1) )(425.5( 1
5.425
=
54,25 1
5.425
=
55,25
5.425n = 98,2
Dimana :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi keseluruhan peternak
e = Batas ketelitian yang diinginkan (10% )
Penelitian ini menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan petani peternak yang menjadi sampel dengan menggunakan daftar pertanyaan
yang terpola dan terstruktur tentang usaha ternak apa saja sudah mendapat inovasi pada teknis
pemeliharaan usaha peternakannya (bibit, pakan, kandang dan tatalaksana pemeliharaan,
pencegahan penyakit serta pemasaran). Analisa data dilakukan dengan tabulasi (persentase dan
angka), gambar dan kalimat kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adopsi Inovasi pada Bibit
Penerapan inovasi yang terkait dengan bibit dilihat berdasarkan jenis ternak yang
diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh peternak ayam ras (broiler) sudah
menerapkan inovasi pada bibit, seperti seleksi bibit, varietas unggul, kesehatan fisik bibit, serta
bangsa asal dari bibit tersebut berasal. Peternak ayam ras broier juga melakukan adopsi inovasi
yang berkaitan dengan bibit tidak terlepas dari tujuan usaha dan skala usaha peternakan yang
mereka lakukan, di Sitiung usaha peternakan ayam ras dilakukan untuk tujuan orientasi bisnis
dan sudah dalam skala yang besar.
83
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Adopsi inovasi yang paling rendah penerapannya pada bibit berdasarkan hasil penelitian
adalah pada usaha ternak kambing yaitu sebesar 44.44%. Hal ini disebabkan sebagian besar
usaha peternakan yang dilakukan masih bersifat semi intensif, itu artinya usaha peternakan
kambing yang dilakukan masih kurang mengandalkan curahan tenaga manusia dalam
mengurusnya serta rendahnya penggunaan inovasi-inovasi yang berkaitan dengan aspek bibit.
Rasyaf (2004) mengemukakan bahwa penduduk di pedesaan banyak melakukan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan pengetahuan
masyarakat desa yang masih kurang dalam memahami cara pemeliharaan ternak.
Tabel 1. Penerapan Inovasi pada Aspek Teknis Pemeliharaan Usaha Peternakan
No Jenis Penerapan Inovasi Sapi
(%)
Ayam
Buras
(%)
Kambin
g (%)
Kerba
u (%)
Ayam
Ras
(%)
Rata-
rata (%)
1 Bibit 54.84 61.43 44.44 70 100 66.14
2 Pakan 65.81 88.84 40 70 100 72.93
3
Perkandangan dan
Tatalaksana 58.06 71.79 62.50 56.25 100 58.11
4 Pencegahan Penyakit 50.00 29.17 52.78 62.50 83.33 55.56
5 Pemasaran 1.08 0 0 0 0 0.22
Adopsi Inovasi Pada Pakan
Hasil penelitian memperlihat bahwa inovasi pada pakan banyak diterapkan pada usaha
peternakan ayam ras (broiler) dimana semua peternak sudah menerapkan inovasi yang terkait
dengan pakan seperti jenis pakan, kandungan unsur pakan, cara pemberian pakan serta frekuensi
pemberian pakan. Kondisi ini membuktikan bahwa bila suatu usaha sudah bersifat komersil,
maka usaha tersebut akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh penerapan
inovasi yang relevan. Usaha peternakan ayam ras (broiler) yang dilakukan didaerah penelitian
sudah bersifat komersil dan berorientasi profit, oleh karena itu pada aspek pakan sudah dilakukan
adopsi inovasi yang sesuai, karena secara teoritis biaya pakan merupakan salah satu biaya
produksi yang cukup besar dan harus benar-benar diperhatikan..
Inovasi pada aspek pakan yang masih rendah penerapannya di temui pada usaha ternak
kambing, dimana penerapan inovasi yang berkaitan dengan pakan pada usaha peternakan
kambing sebesar 40%. Rendahnya penerapan inovasi pada aspek pakan adalah disebabkan oleh
sistem pemeliharaan yang masih sederhana, disamping itu peternak beranggapan bahwa pakan
untuk ternak kambing bisa dipenuhi dengan melepaskan ternak keluar kandang dengan
memanfaatkan hijauan yang tersedia.
Adopsi Inovasi Pada Kandang dan Tatalaksana Pemeliharaan
Kandang pada dasarnya bertujuan untuk melindungi ternak yang dipelihara dari musuh,
dari sinar matahari yang terik dan untuk memberikan kenyamanan pada ternak yang dipelihara.
Keberadaan kandang sangat penting artinya bagi ternak yang dipelihara, oleh karena itu kandang
merupakan bagian penting dalam melakukan suatu usaha peternakan.
84
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usaha peternakan ayam ras (broiler), adopsi
inovasi terkait dengan kandang, seperti jarak kandang, konstruksi, bahan, serta ukuran kandang
sudah diterapkan oleh sebagian besar peternak, sedangkan pada usaha peternakan kerbau tingkat
penerapan inovasi yang berkaitan dengan kandang tingkat penerapannya masih rendah.
Rendahnya penerapan inovasi pada ternak kerbau karena pemeliharaan yang bersifat sambilan.
Inovasi untuk tatalaksana pemeliharaan pada usaha peternakan kerbau juga masih rendah, karena
ternak kerbau pada siang hari selalu dilepas dipadang penggembalaan tanpa dicarikan rumput
tambahan untuk pakan pada malam hari. Sistem perkawinan yang dilakukan belum mengadopsi
inovasi Inseminasi Buatan (IB) dan masih menggunakan perkawinan alami dengan pejantan.
Adopsi Inovasi Pencegahan Penyakit
Penyakit pada suatu usaha peternakan adalah faktor penting yang harus mendapat
perhatian serius, karena apabila faktor ini tidak diperhatikan akan menyebabkan kerugian secara
ekonomis. Penyakit pada ternak biasanya akan cepat menular dari satu ternak ke ternak
berikutnya karena ternak pada dasarnya hidup berkoloni. Kondisi ini bisa diantisipasi dengan
penerapan beberapa inovasi, seperti sanitasi, vaksinasi, karantina dan isolasi. Inovasi sanitasi,
vaksinasi dan karantina dapat diterapkan sebagi upaya untuk pencegahan terhadap serangan
penyakit sedangkan isolasi dilakukan sebagai tindakan untuk menghindari penularan suatu
penyakit dari satu ternak yang terjangkit terhadap ternak yang lain.
Hasil penelitian terhadap inovasi yang berkaitan dengan kesehatan ternak ini berbeda
berdasarkan jenis ternak yang dipelihara, dimana penerapan inovasi yang paling tinggi terjadi
pada usaha peternakan ayam ras (broiler) yaitu sebesar 83.33%, hal ini disebabkan karena usaha
yang dilakukan sudah dikelola dengan baik serta pengetahuan peternak yang cukup baik terhadap
berbagai macam jenis penyakit. Fakta yang ada pada usaha peternakan ayam ras (broiler) diatas
bertolak belakang dengan kondisi yang ada pada usaha peternakan ayam buras/ayam kampung,
dimana pada usaha peternakan ayam buras penerapan inovasi yang berkaitan dengan pencegahan
penyakit masih rendah yaitu 29.17%. Hal ini dikarenakan usaha yang dilakukan hanya bersifat
sambilan, sehingga ternak ayam yang sakit akan diberi obat secara tradisional saja.
Peternak dapat menghindari terjadinya serangan penyakit pada ayam tersebut dengan
melakukan tindakan pencegahan seperti dengan penerapan inovasi vaksinasi yang dilakukan
secara berkala, penerapan inovasi sanitasi dengan membersihkan kadang ternak secara periodik
serta penerapan kandang karantina secara konsisten terhadap ternak yang baru datang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Abidin (2006) bahwa pencegahan penyakit dilakukan dengan kandang
karantina, menjaga kebersihan sapi bakalan dan kandang, serta melakukan vaksinasi secara
berkala.
Adopsi Inovasi Pada Pemasaran
novasi pada pemasaran seperti penjualan melalui koordinasi kelompok, pertukaran,
mengidentifikasi pelanggan serta basis pelanggan dapat diterapkan oleh peternak guna
meningkatkan penghasilan usahanya. Hasil penelitian di daerah penelitian memperlihatkan
bahwa penerapan inovasi yang berkaitan dengan pemasaran masih sangat rendah bahkan pada
beberapa jenis usaha peternakan seperti usaha ternak kerbau, usaha ternak kambing, usaha ternak
85
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ayam ras (broiler) dan ayam buras belum diterapkan sama sekali, sedangkan pada usaha
peternakan sapi meskipun sudah diterapkan namun masih sangat minim yaitu sebesar 0.22%.
Jika hal ini berlangsung terus menerus maka kesejahteraan peternak akan sulit untuk
ditingkatkan. Kotler (2002) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu
dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan menciptakan, menawarkan dan bertukar
produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Bulu et al. (2009) dalam Anggriyani et al
(2012) menyatakan bahwa kepercayaan petani terhadap inovasi yang disampaikan sumber
informasi akan lebih kuat jika inovasi yang di introduksi itu tersedia dan mudah dijangkau petani
serta tersedia pasar yang dapat menampung hasil produksi.
KESIMPULAN
Penerapan inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu
ditingkatkan. Nilai rata-rata penerapan inovasi pada aspek pakan dan bibit cukup baik yaitu
72,93% dan 66,14%. Sedangkan penerapan inovasi pada aspek perkandangan dan tatalaksana
pemeliharaan sebesar 58,11% pencegahan penyakit (55,56%) dan pemasaran (0,22%) masih
cukup rendah serta perlu diperhatikan lebih lanjut oleh peternak guna untuk meningkatkan masa
depan usaha serta kesejahteraan peternak.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Agustar, A. 1999. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan dan Kendala Penerapan
Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah Pada Seminar Pembangunan Peternakan Sumatera
Barat Di POLITANI. Universitas Andalas .anggal 1 Desember.
Anggriyani, E, Trisakti H, dan Suharjono T. 2012. Pengetahuan, Afeksi, dan inovasi Pengolahan
Kotoran Ternak Menjadi Kompos pada Kelompok Peternak Sapi Potong di Kabupaten
Bantul. Buletin Peternakan Universitas Gajah Mada, Vol. 36 (2), hal 141-149,
Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran. PT Prebalindo, Jakarta.
Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Kampung, cetakan ke-28. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rina
Pariwar, Jakarta
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2014 yang di danai
dengan Dana DP2M dari Dikti Tahun Anggaran 2014. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dikti, LPPM Unand dan Fakultas Peternakan Unand yang telah
memberikan kepercayaan untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bisa
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Amin
86
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEPUTUSAN
PEMBIAYAAN USAHA BROILER MELALUI KEMITRAAN DI
KABUPATEN PADANG PARIAMAN
(The Influence of Breeders Characteristics Against Decision Business Financing Through
Partnership System in Padang Pariaman)
Dwi Yuzaria, Ikhsan Rias, dan Mulina Wati
Pembangunan & Bisnis Peternakan Fakultas Peternakan Unand
Email korespondensi: [email protected]
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik peternak yaitu umur, pendidikan,
pengalaman usaha (lama usaha), kemampuan mengambil resiko dan sikap tentang manfaat
hutang terhadap keputusan pembiayaan melalui kemitraan dengan PT Ciomas Adisatwa di
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam. Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey secara sensus
terhadap 50 orang peternak broiler di lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan (1)
menggunakan kuesioner yang sebagiannya dengan menggunakan skala likert untuk faktor
kemampuan mengambil resiko dan sikap terhadap manfaat hutang, (2) wawancara mendalam
dan (3) observasi pada satu periode produksi selama 32 hari (1Agustus-1September 2015). Alat
analisis menggunakan rentang skala dan penetapan score untuk variable kualitatif dan
menggunakan alat analisis regressi logit untuk melihat pengaruh masing-masing karakteristik
terhadap keputusan pembiayaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor pendidikan,
pengalaman usaha dan sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh positif, sementara umur dan
kemampuan mengambil resiko berpengaruh negative terhadap keputusan pembiayaan melalui
kemitraan atau mandiri.
Kata kunci: Broiler, Kemitraan, karakteristik peternak, Keputusan pembiayaan
ABSTRACT
The aimed of this study to analyze the characteristics of breeders such as age, education,
business experience (old business), the ability to take risks and attitudes towards the benefits of
debt to finance decisions through a partnership with PT Ciomas Adisatwa in District of Kayu
Tanam. This research was conducted by survey methods, census of 50 broiler breeder at the sites.
The data collection is done in 3 ways: (1) using a questionnaire that partly by using Likert scale
factor for the ability to take risks and attitudes towards the benefits of debt, (2) in-depth
interviews and (3) observation on a production period of 32 days from 1 August to September 1,
2015. The analysis tool uses a range of scales and determining scores for qualitative variables
and using a logit regression analysis to see the effect of each characteristic on financing
decisions. The study concluded that the factors of education, business experience and attitudes
87
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
towards the benefits payable positive effect, while the age and ability to take the risk of a
negative effect on financing decisions through a partnership or independently.
Keywords: Broiler, partnership, farmer characteristic, financing decisions
PENDAHULUAN
Usaha mikro subsektor peternakan unggas pedaging (broiler) di Kabupaten Padang
Pariaman pada umumnya bercirikan pengusaha dan pekerja berpendidikan rendah, penguasaan
lahan sempit, kepemilikan ayam broiler sedikit, alat produksi sederhana, sering menghadapi
kendala permodalan dan tidak mempunyai akses terhadap permodalan perbankan konvensional.
Sumber pembiayaan melalui kemitraan usaha mempunyai peluang cukup besar bagi peternak
sebagai sumber pembiayaan. Menurut Hafsah (2000) kemitraan merupakan suatu strategi bisnis
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Ada beberapa perusahaan produsen input yang melakukan sistem kemitraan di Kabupaten
Padang Pariaman, antara lain PT. Japfa Comfeed dengan beberapa anak perusahaannya dan PT.
Charoen Pohkpand. Peternak unggas di daerah ini cukup sulit menentukan perusahaan mana
yang akan dipilih sebagai mitra, karena masing-masing perusahaan menawarkan keunggulan dan
persyaratan yang berbeda. Suatu keputusan yang diambil seseorang akan sangat bergantung
pada keluasan wawasannya terhadap sesuatu hal. Menurut Cassar (2004), keputusan yang
diambil seseorang yang melekat sangat berpengaruh seperti umur, tingkat pendidikan, jenis
kelamin dan pengalaman. Sedangkan menurut Romano et al (2000) keputusan pembiayaan
dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan, tanggap terhadap resiko, skala usaha dan struktur usaha
yang dimiliki.
Peternak broiler di lokasi penelitian Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, rata-rata berusia
muda, diduga belum memiliki pengalaman manajemen usaha yang cukup untuk berproduksi
baik. Peternak dengan usia muda dan pengalaman yang rendah pada umumnya kemampuan
kerjanya masih rendah, serta pola pikir yang masih rancu dalam mengambil keputusan
pembiayaan, apakah akan menggunakan biaya sendiri atau dengan kemitraan sebagai sumber
permodalan usahanya. Menurut Hidayat (2007) semakin lama pengalaman seorang peternak
maka semakin terampil dalam menjalankan dan mengelola usahanya. Peternak berpendidikan
rendah, SMP dan SMA, dan belum memiliki pemikiran matang dan wawasan yang luas dalam
berusaha. Oleh karena itu peternak kurang berani dalam menghadapi resiko dan kurang
memahami tentang manfaat dari hutang. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan pembiayaan untuk pengembangan usahanya.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan menggunakan kuesioner sebagai
instrument utama untuk mengumpulkan data. Responden diambil secara sensus artinya semua
peternak ayam broiler yang ada di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, baik peternak dengan sistim
kemitraan maupun peternak dengan pembiayaan mandiri diambil sebagai sumber data primer.
88
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Peternak ayam broiler sistim kemitraan yang diambil adalah peternak yang bermitra dengan PT.
Ciomas Adisatwa. Hal ini dilakukan karena perusahaan inti lainnya tidak bersedia dijadikan
responden. Jumlah peternak yang menjadi responden sebanyak 50 peternak. Untuk variable X4
(kemampuan mengambil resiko dan X5 (sikap terhadap manfaat hutang) data menggunakan skala
likert yang dibagi dalam 3 rentang skala yaitu menghindari, menghadapi dan menantang resiko
serta menghindari hutang, berhutang dengan resiko kecil dan berani berhutang. Analisis data
menggunakan regressi logit dengan rumus (Kuncoro 2004) sebagai berikut :
Prob 𝑦 = 0 =1
1+exp 𝑏𝑜+𝑏1𝑥1+𝑏2𝑥2+𝑏3𝑥3+𝑏4𝑥4+𝑏5𝑥5
Y = Peluang Keputusan penggunaan sumber pembiayaan 0=tidak bermitra, 1=bermitra
b1-n = Delta kenaikan atau penurunan X (koefisien regresi)
X1 = Umur
X2 = Tingkat pendidikan
X3 = Pengalaman Beternak
X4 = Kemampuan mengambil risiko
X5 = Sikap terhadap manfaat hutang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi ayam yang dipelihara peternak mandiri di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam
Kabupaten Padang Pariaman paling tinggi berkisar 1000-6.200 ekor, sedangkan peternak yang
bermitra berkisar 3.500-10.000 ekor. Menggunakan bentuk kandang panggung, berlantai dua
untuk menghemat biaya pembuatan kandang. Hasil analisis data menggunakan SPSS diperoleh
hasil yang terlihat pada Tabel 1, yang merupakan gambaran pengaruh karakteristik peternak
terhadap keputusan pembiayaan dengan kemitraan.
Tabel 1. Variables in the Equation
Sumber : Hasil Pengolahan data penelitian dengan SPSS
Berdasarkan Table 1 dapat dituliskan persamaan:
Prob y=0 = 1
1+exp (-5,136-0,037X1+0,439X2+0,961X3-3,287X4+3,367X5)
B S.E Wald Df Sig. Exp (B) 95.0% C.I.for EXF (B)
Lower Upper
Step1a X1
X2
X3
X4
X5
Constant
-.037
.439
.961
-3.287
3.367
-5.136
.047
.202
.392
1.500
1.304
3.302
.615
4.702
5.997
4.805
6.669
2.420
1
1
1
1
1
1
.433
.030
.014
.028
.010
.120
.964
1.551
2.613
.037
28.990
.006
.880
1.043
1.211
.002
2.251
1.056
2.306
5.637
.706
373.282
89
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Dan persamaan regressi logitnya seperti berikut ini :
Ln Y= -5,136 - 0,037 X1 + 0,439 X2 + 0,961 X3 -3,287 X4 + 3,367 X5
Faktor umur (X1) tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan dilihat dari angka
odd ratio 0,964<1, sehingga koefisien regressi bertanda negatif -0,037 dan angka signifikansi
0,433>0,05 atau dengan kata lain peternak memiliki kebebasan untuk memilih bermitra atau
tidak bermitra. Faktor pendidikan (X2) yang dilihat dari lama mendapatkan pendidikan formal
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembiayaan terlihat dari angka odd
ratio sebesar 1,551>1, koefisien regresi 0,439 artinya 43,9% pendidikan berpengaruh terhadap
keputusan pembiayaan bermitra dengan tingkat signifikansi 0,030<0,05. Artinya, peternak yang
lebih tinggi tingkat pendidikannya akan cenderung memilih sumber pembiayaan kemitraan,
sesuai dengan pendapat Gebru (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan pemilik usaha akan
menggunakan hutang yang berasal dari pihak luar di dalam membiayai usahanya. Faktor
pengalaman usaha berpengaruh signifikan (sig 0,014<0,05) dengan angka odd ratio 2.613>1,
sehingga koefisien regresi + 0,961, artinya 96,1% pengalaman usaha berpengaruh terhadap
keputusan bermitra.
Kemampuan mengambil resiko berpengaruh nyata (sig 0,028<0,05), dengan angka odd
ratio sebesar -0,037<1 dan koefisien regressi -3,287, artinya 328,7% menghindari resiko
sehingga memilih untuk bermitra. Menurut Kasmir (2007), kemampuan menghadapi resiko turut
mempengaruhi keputusan dalam pendanaan perusahaan dan ini merupakan salah satu ciri jiwa
kewirausahaan yang melekat pada sebagian besar pengelola usaha kecil.
Faktor sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh nyata (sig 0,010< 0,05) dengan odd
ratio sebesar 28,990>1, koefisien regresi +3,367 artinya 336,7%, peternak mengambil sikap
bahwa kemitraan memberikan manfaat terhadap perkembangan usaha. Sesuai dengan pendapat
Romano el al (2000), sikap pengusaha terhadap hutang juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keputusan pendanaan bagi pengelola usaha mikro, kecil dan menengah. Semakin
peternak memanfaatkan hutang kredit (bermitra) dalam usaha peternakan ayam broiler dan
menambah skala usahanya maka keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Kasmir (2007)
menyatakan bahwa salah satu peranan kredit adalah meningkatkan pendapatan para debitur
apabila kredit tersebut digunakan sebagai modal dalam mengelola usahanya.
KESIMPULAN
Karakteristik peternak yang tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan melalui
kemitraan hanya faktor umur, sementara pendidikan, pengalaman usaha, kemampuan
menghadapi resiko dan sikap terhadap manfaat hutang sangat berpengaruh dalam memutuskan
sumber pembiayaan melalui kemitraan untuk mengembangkan usaha ayam broiler di Kecamatan
2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman.
90
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
DAFTAR PUSTAKA
Cassar, G. 2004. The financing of business start-ups. Haas School of Business, University of
California at Berkeley. Berkeley
Gebru, GH. 2009. Financing preferences of micro and small enterprise owners in Tigray: does
POH hold?. Mekelle University.Ethiopia
Hafsah, 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategis. Penerba Swadaya, Jakarta.
Hidayat, Aceng 2007. Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Kasmir. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi enam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif. Edisi kedua.UPP AMP YKPN Yogyakarta.
Romano, C A., Tanewski, G.A., and Smyrnios, K.X. 2000. Capital Struktur Decision Making :
A Model For Familiy Business. Journal of Business Venturing. 16 : 285 – 310.
91
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PRODUKTIVITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG RAKYAT
BERDASARKAN BANGSA SAPI DI JAWA TENGAH
(Beef Cattle Fattening Productivity Based on Cattle Breed in Central Java)
Edy Prasetyo, Titik Ekowati, Wiludjeng Rossali, dan Mukson
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang
50275, Indonesia.
E-mail Korespondensi: [email protected]
INTISARI
Penggemukan sapi potong rakyat banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah dan pada
umumnya belum memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi usaha. Kondisi tersebut apabila
berlanjut akan berdampak negatif terhadap kuantitas produksi yang dihasilkan, dan pendapatan
peternak. Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (pertambahan bobot badan
ternak) pada usaha penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor
produksi yang mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat.
Penelitian dilakukan pada lima wilayah kabupaten sentra pengembangan sapi potong di Jawa
Tengah (yaitu Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri, dan Kabupaten Boyolali), dan
sebagai elementer unitnya adalah usaha penggemukan sapi potong rakyat. Penelitian
menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel sebanyak 165 responden dilakukan
menggunakan metode multi stage quota sampling. Data dianalisis menggunakan statistik
deskriptif dan analisis regresi linear berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas). Hasil
penelitian menunjukkan, bahwa rata-rata produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat
pada bangsa Peranakan Ongole (PO) sebesar 0,41 kg/hari, Persilangan Simental - PO (SPO)
sebesar 0,84 kg/hari, dan Persilangan Limousine – PO (LPO) sebesar 0,94 kg/hari. Kuantitas
produksi (pertambahan bobot badan ternak) dipengaruhi oleh jumlah sapi yang diusahakan,
bobot badan bakalan, lama waktu penggemukan, dan curahan tenaga kerja, sedangkan jumlah
hijauan pakan ternak, dan pakan konsentrat tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot
badan ternak. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan
sapi potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong
rakyat masih diusahakan secara tradisional yang tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi
yang dialokasikan belum optimal.
Kata kunci: produktivitas, faktor-faktor produksi, sapi potong rakyat.
ABSTRACT Beef cattle fattening farm most operate in Central Java and farmers commonly have not
been thought yet economically. If that condition is not managed continuously, it will be negative
impact to the quantity and farm income. Aims of research are: 1) to analyze beef cattle quantity
of production (weight gain), 2) to analyze some factors influencing the quantity of production.
92
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
The research was held in five regions as a center of beef cattle development, namely Blora,
Rembang, Grobogan, Wonogiri and Boyolali. The elementary unit of research is beef cattle
fattening farm. The method of research was survey and the determination of 165 respondents
used multi stage quota sampling. Data were analyzed statistical descriptive and analysis of
multiple linear regression with Cobb Douglas model. The result of research showed that the
productivity of Ongole Grade (PO) beef cattle fattening was 0.41kg/day, Simmental – Ongole
Grade Crossbred (SPO) was 0.84kg/day and Limousine – Ongole Grade Crossbred (LPO)
0.94kg/day. The production quantity (weight gain) was influenced by beef farm scale, the initial
body weight, time of fattening and outflow of working time, while number of forage,
concentrage (dry matter) were not influence to weight gain. Based on the reserch result can be
concluded that productivity of beef cattle fattening was still low. It can be happen because beef
cattle fattening was stiil manage traditionally which it shown from the allocation production
factors have not be optimal yet.
Keywords: Productivty, factors of production, beef cattle.
PENDAHULUAN
Eksistensi usaha penggemukan sapi potong mempunyai arti yang penting, khususnya
dalam rangka pemenuhan pangan hewani asal ternak bagi masyarakat. Penggemukan sapi potong
banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah, dan lokasinya tersebar dari dataran rendah sampai
dengan dataran tinggi. Sapi potong pada tingkat peternak rakyat pada umumnya diusahakan
sebagai usaha sambilan, sehingga prinsip-prinsip ekonomi termasuk di antaranya penggunaan
faktor-faktor produksi belum/tidak dialokasikan secara efisien. Menurut Prasetyo et al. (2012),
kelemahan yang lain pada sistem peternakan rakyat ialah orientasi usaha yang dilakukan oleh
peternak pada umumnya belum mengarah kepada komersialisasi, sehingga sistem agribisnis
belum diterapkan secara baik. Kondisi tersebut bila berlanjut akan berdampak negatif terhadap
kuantitas produksi, dan pendapatan.
Menurut Lestari et al. (2011), produktivitas usaha sapi potong dapat dilihat dari rata-rata
pertambahan bobot badan (PBB). Tinggi dan rendahnya kuantitas produksi usaha ternak sapi
potong sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi yang digunakan,
karena faktor-faktor produksi tersebut akan berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan
jumlah produk tertentu. Hubungan faktor-faktor produksi dalam menghasilkan produk
diwujudkan dalam bentuk fungsi produksi. Jumlah produk tertentu dapat dihasilkan dari
penggunaan faktor-faktor produksi dalam berbagai kombinasi. Kombinasi faktor-faktor produksi
yang optimal, akan didapatkan efisiensi usaha yang paling baik.
Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (PBB) pada usaha
penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor produksi yang
mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat. Hasil penelitian
ini dapat dimanfaatkan sebagai teori (utamanya bidang sosial ekonomi peternakan) dan dapat
diaplikasikan sebagai rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas usaha penggemukan sapi
potong pada tingkat peternak rakyat.
93
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan pada pertengahan 2012 pada lima wilayah kabupaten sentra
pengembangan sapi potong di Jawa Tengah (Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri,
dan Kabupaten Boyolali), dan usaha penggemukan sapi potong rakyat dibakukan sebagai
elementer unit. Penelitian menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel
menggunakan metode multi stage quota sampling. Jumlah sampel keseluruhan yang diambil
pada lima wilayah kabupaten sebanyak 165 responden. Data empiris dikumpulkan dari sumber
primer yang merupakan data cross section. dan dikumpulkan menggunakan cara wawancara
kepada responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan. Di samping data
primer juga didukung data dari sumber sekunder yang mempunyai relevansi dengan tujuan
penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan tahapan editing, koding, dan tabulating sehingga
siap untuk dianalisis. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan analisis regresi linear
berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas).
Pertambahan bobot badan (PBB) ternak merupakan selisih antara bobot badan akhir
penggemukan dengan bobot badan awal penggemukan (bobot badan bakalan). Sedangkan
untuk menganalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap kuantitas produksi
usaha penggemukan sapi potong, dianalisis menggunakan Multiple Linear Regression yang
ditransformasikan menjadi fungsi produksi model Cobb-Douglas.
Fungsi Produksi Model Cobb-Douglas :
Yi = α X1 β1
X2 β2
X3 β3
…………………….. X6 β6
E
Keterangan:
Yi
α
βi
X1
X2
X3
X4
X5
X6
E
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pertambahan bobot badan ternak (kg).
Konstanta (intercept).
Pada regresi linier berganda βi adalah koefisien regresi.
Jumlah ternak sapi yang diusahakan (ekor).
Bobot badan awal (bakalan) sapi potong (kg).
Lama waktu penggemukan sapi potong (bulan).
Hijauan pakan ternak sapi potong (ton Bahan Kering/periode).
Konsentrat sebagai pakan ternak (ton Bahan Kering/perode).
Pencurahan tenaga kerja (hok).
Simpangan stokastik (disturbance term).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha penggemukan sapi potong adalah penting,
sebab faktor-faktor produksi dalam suatu proses produksi akan memberikan imbalan hasil yang
berupa output bagi pelaku proses produksi. Semakin tinggi kualitas faktor-faktor produksi yang
dialokasikan dalam proses produksi, semakin tinggi pula kuantitas produk usaha ternak yang
dihasilkan. Identifikasi penggunaan faktor-faktor produksi secara rinci seperti pada Tabel 1.
94
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Tabel 1. Penggunaan Faktor-faktor Produksi pada Usaha Penggemukan Sapi Potong
Rakyat/Periode Produksi
No. Unsur-unsur Identifikasi Bangsa Sapi Rata-
rata PO SPO LPO
1. Rata-rata jumlah sapi/
usaha penggemukan (ekor)
2,18 3,38 4,40 3,08
2. Bobot badan awal sapi
bakalan (kg)
272,53 315,67 350,70 310,81
3. Rata-rata lama waktu peng-
gemukan/periode (bulan)
10,34 6,78 6,68 7,82
4. Rata-rata hijauan pakan
ternak/periode (ton BK)
7,28 9,05 10,65 8,38
5. Rata-rata konsentrat/ perio-
de (ton BK)
1,62 2,14 3,17 2,02
6. Rata-rata curahan tenaga
kerja/periode (hok)
91,04 117,36 154,32 109,93
Imbangan pemberian pakan dalam bentuk bahan kering pada usaha penggemukan sapi
potong tingkat peternak rakyat adalah sebesar 80,55% (BK hijauan pakan ternak) berbanding
19,44% (BK pakan tambahan/konsentrat), dan apabila dirinci berdasarkan masing-masing
bangsa sapi adalah sebesar 78,57% berbanding 21,43% pada sapi LPO, 79,52% berbanding
20,48% pada sapi SPO, dan 81,76% berbanding 18,24% pada sapi PO. Hasil penelitian tersebut
berbeda dengan hasil penelitian Sutopo dan Karyadi (2008) yang melaporkan, bahwa usaha
penggemukan sapi potong pada peternak rakyat yang tidak tergabung dalam kelompok tani
ternak di Kecamatan Gunungpati Semarang mempunyai imbangan hijauan pakan dengan
konsentrat sebesar 86,00% berbanding 14,00%, sedangkan pada peternak anggota kelompok tani
ternak sebesar 60,00% berbanding 40,00%.
Identifikasi kuantitas produksi usaha penggemukan sapi potong rakyat disajikan pada
Tabel 2. Tingginya PBB pada sapi LPO bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun sapi PO,
adalah sebagai akibat dari potensi genetik individu di antara bangsa sapi yang tidak sama.
Tabel 2. Identifikasi Produktivitas Usaha Ternak Sapi Potong.
No. Unsur-unsur Identifikasi Bangsa Sapi Rata-
rata PO SPO LPO
1. Rata-rata bobot awal/ekor
ternak (kg)
272,53 315,67 350,70 310,81
2. Rata-rata bobot akhir/ekor
ternak (kg)
398,91 485,54 536,33 469,52
3. Rata-rata Pertambahan bo-
bot badan ternak (kg)
126,38 169,87 185,63 160,53
4. PBB ternak (kg/hari) 0,41 0,84 0,93 0,68
95
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Berdasarkan konsumsi pakan, secara berurutan pada sapi LPO mengkonsumsi hijauan
pakan sebanyak 12,08 kg BK/ekor/ hari dan konsentrat sebanyak 3,59 kg BK/ekor/hari, pada
sapi SPO sebanyak 13,16 kg BK/ekor/hari dan 3,11 kg BK/ekor/hari, dan pada sapi PO sebanyak
10,76 kg BK/ekor/hari dan 2,40 kg BK/ekor/hari. Dari jumlah fisik bahan kering yang
dikonsumsi dan produk yang dihasilkan (PBB per hari), dapat disimpulkan bahwa pada sapi LPO
dapat memanfaatkan pakan lebih efisien bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun PO, yang
ditunjukkan oleh besarnya nilai konversi pakan yaitu secara berurutan sebesar 16,85 pada sapi
LPO, 19,37 pada sapi SPO, dan sebesar 33,00 pada sapi PO. Perbedaan konversi pakan tersebut
diduga disebabkan karena jenis imbangan pakan dan bangsa sapi yang juga berbeda.
Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian De Carvalho et al. (2010),
bahwa pada sapi LPO lebih baik dengan nilai konversi pakan 16,85 berbanding 18,47, namun
pada sapi PO tidak lebih baik dengan nilai konversi pakan 33,00 berbanding 22,55. Pakan
mempunyai peranan penting pada peningkatan produksi, baik untuk pertumbuhan maupun untuk
proses produksi yang lain. Besarnya nilai konversi pakan merupakan cerminan dari jumlah pakan
yang dikonsumsi untuk meningkatkan PBB sebanyak 1,00 kg/ekor/hari, yaitu perbandingan
antara pakan yang dikonsumsi (BK) dengan PBB per hari yang dihasilkan. Konversi pakan yang
ideal untuk sapi dengan bobot badan 300 kg adalah sebesar 9,00.
Ditinjau dari PBB sapi potong, hasil penelitian ini relatif berbeda bila dibandingkan
dengan beberapa hasil penelitian laboratorium. Menurut Ngadiyono (1995), pada sapi Sumba
Ongole yang diberi pakan berupa konsentrat dan rumput raja (85% : 15%) menghasilkan PBB
0,85 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Hamdan (2004) dalam Ngadiyono et al. (2008), pada sapi PO
dengan pakan konsentrat dan jerami padi fermentasi (JPF) menghasilkan PBB 0,78 kg/ekor/hari.
Hasil penelitian Daryanti et al. (2002) menunjukkan, bahwa pada penggemukan sapi PO dengan
pakan dasar jerami padi teramoniasi ditambah konsentrat 4 kg/ekor/hari, menghasilkan PBB
sebesar 0,72 kg/ekor/hari.
Pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap PBB sapi potong rakyat dianalisis
menggunakan paket program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) dan diperoleh nilai-
nilai koefisien regresi, t hitung dan probabilitas kesalahan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Koefisien Regresi.
Model
Unstandardized
Coefficients
Stand.
Coef.
T Sig. B Std. Error Beta
1 Konstanta 16,234 1,077 15,077 0,000
Jumlah sapi (ekor) 0,236 0,108 0,170 2,183 0,030*
Bobot badan awal (kg) -3,156 0,188 -2,526 -16,765 0,000*
Lama wkt pengg (bl) -3,924 0,208 -2,228 -18,860 0,000*
HPT (ton BK) 0,126 0,157 0,103 0,800 0,425
Konsentrat (ton BK) -0,007 0,102 -0,006 -0,068 0,946
Tenaga kerja (hok) 3,942 0,247 3,312 15,978 0,000*
96
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Model
Unstandardized
Coefficients
Stand.
Coef.
T Sig. B Std. Error Beta
1 Konstanta 16,234 1,077 15,077 0,000
Jumlah sapi (ekor) 0,236 0,108 0,170 2,183 0,030*
Bobot badan awal (kg) -3,156 0,188 -2,526 -16,765 0,000*
Lama wkt pengg (bl) -3,924 0,208 -2,228 -18,860 0,000*
HPT (ton BK) 0,126 0,157 0,103 0,800 0,425
Konsentrat (ton BK) -0,007 0,102 -0,006 -0,068 0,946
Tenaga kerja (hok) 3,942 0,247 3,312 15,978 0,000*
Dependent Variable: Pertambahan Bobot Badan ternak (kg).
Berdasarkan Tabel 3, dapat disusun persamaan model Cobb-Douglas sebagai berikut:
Y = 16,236 X1 170
X2 -2,526
X3 -2,228
X4 0,103
X5 -0,006
X6 3,312
Menurut Ghozali (2007), jika satuan ukuran variabel independen tidak sama, maka
sebaiknya interpretasi persamaan regresi menggunakan standardized beta, karena akan mampu
mengeliminasi perbedaan unit ukuran pada variabel independen. Hasil persamaan model Cobb-
Douglas menunjukkan, bahwa faktor-faktor produksi jumlah sapi yang diusahakan (X1), hijauan
pakan ternak (X4), dan curahan tenaga kerja (X6) mempunyai hubungan yang positif (searah)
terhadap PBB sapi potong (Y). Sedangkan faktor-faktor produksi bobot badan awal sapi potong
(X2), lama waktu penggemukan (X3), dan pakan konsentrat (X5) berhubungan negatif
(berlawanan arah) terhadap PBB sapi potong (Y).
Secara serempak faktor-faktor produksi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap
kuantitas produksi usaha ternak sapi potong (PBB). Kondisi ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar
488,152 dengan nilai signifikansi 0,000 (P < 0,01 < 0,05). Dari Tabel 3, dapat diketahui, bahwa
secara parsial jumlah sapi yang diusahakan (X1), bobot badan bakalan (X2), lama waktu
penggemukan (X3), dan curahan tenaga kerja (X6) berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap
kuantitas PBB sapi potong, sedangkan hijauan pakan ternak (X4), dan pakan konsentrat (X5)
tidak berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi potong (Y). Koefisien korelasi
diperoleh sebesar 0,974, yang berarti faktor-faktor produksi yang dibakukan sebagai variabel
independen mempunyai keeratan hubungan kuat dengan kuantitas PBB sapi potong (variabel
dependen). Koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,947; yang berarti bahwa variasi yang
terdapat pada faktor-faktor produksi sebesar 94,70% dapat menerangkan variasi yang terjadi
pada kuantitas PBB sapi potong (Y), sedangkan sebesar 5,30% diterangkan oleh faktor-faktor
lain yang tidak dimasukkan dalam model.
97
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan sapi
potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong
rakyat belum diusahakan secara intensif dan tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi yang
dialokasikan belum optimal. Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha
penggemukan sapi potong rakyat, perlu memperhatikan penggunaan faktor-faktor produksi yang
secara signifikan berpengaruh nyata terhadap kuantitas produksi sapi potong.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanti, S., M. Arifin, dan Sunarso. 2002. Respon produksi Sapi PO terhadap aras pemberian
konsentrat dan pakan basal jerami padi fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis. BPTP Yogyakarta – UMY Yogyakarta. Hal.
263 – 268.
De Carvalho, M.C., Soeparno, dan N. Ngadiyono. 2010. Pertumbuhan dan produksi karkas sapi
peternakan Ongole dan Simmental peranakan Ongole jantan yang dipelihara secara
feedlot. Buletin Peternakan. 34(1): 38 – 46.
Prasetyo, E., Sunarso, P.B. Santosa, and E. Rianto. 2012. The influence of agribusiness
subsystem on beef cattle fattening farm’s profit in Central Java. J. Indonesian Trop.
Anim. Agric. 37(2): 121-126.
Ghozali, I., 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Lestari, C.M.S., R. Adiwinarti, M. Arifin and A. Purnomoadi. 2011. The performance of java
and ongole crossbred bull under intensive feeding management. J. Indonesian Trop.
Anim. Agric. 36 (3): 109 – 113.
Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta Sifat-sifat Karkas dan Daging Sapi Sumba Ongole,
Brahman Cross, dan Australian Commercial Cross yang dipelihara secara Intensif pada
berbagai Bobot Potong. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ngadiyono, N., G. Murdjito, A. Agus, dan U. Supriyana. 2008. Kinerja produksi sapi peranakan
ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat yang berbeda. J. Pengemb.
Peteranakan Tropis. 33 (4): 282 – 289.
Sutopo, dan Karyadi. 2008. Studi komparasi pemeliharaan usaha penggemukan sapi potong di
Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Agromedia. 26(2): 55 - 62.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
98
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN LOKAL PADA PETERNAK SAPI BALI
DI KABUPATEN BARRU, PROPINSI SULAWESI SELATAN
A. Amidah Amrawaty, Sitti Nurani Sirajuddin, Aslina Asnawi, and Hastang
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email : [email protected]
INTISARI
Pengetahuan lokal berdasar pada pengalaman dan percobaan yang berulang-ulang sesuai
kemampuan masyarakat sehingga mudah diterapkan, oleh karena itu diperlukan kajian mengenai
pengetahuan lokal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembangunan
peternakan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan mengkaji sistem pengetahuan lokal
yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali. Pendekatan yang
digunakan adalah penelitian kualitatif (qualitative research). Strategi yang digunakan adalah
studi kasus, dilaksanakan di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru.
Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa
Anabanua yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi
Potong (sapi Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pengetahuan lokal dalam
praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam konteks yang menyeimbangkan aspek ritual
spiritual dan kalkulasi rasional. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah
pengetahuan yang menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem
bagi hasil, pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan.
Kata Kunci : pengetahuan lokal, peternak sapi bali
ABSTRACT
The aim of this study was to identify and analyze local knowledge in Bali cattle development.
The paradigm used was constructivism paradigm with a qualitative approach. descriptive type of
research using case study method. The study was conducted in four villages subjected to
Agropolitan Program, i.e. Palakka, Tompo, Galung and Anabanua in Barru District, province of
South Sulawesi. The results indicated that the local knowledge of the farmers were : a)
knowledge of animal housing, b) knowledge of the prevention and control disease, c) knowledge
of the feed, d) knowledge of breed selection, e) knowledge of sharing arrangement, f)
knowledge of marketing, Application of local knowledge in the development of Bali cattle takes
place within the context of balancing the spiritual and ritual aspects of rational calculation
Key word : local knowledge, farmer
99
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan sistem pengetahuan lokal merupakan pengetahuan lokal spesifik dan
praktis di dalam segala aspek kehidupan. Pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan
kompleks, kepercayaan dan praktis dari pengerahuan umum (Ciran, 1993). Dalam bidang
peternakan misalnya, Sapi Bali merupakan salah satu ternak lokal yang telah dipelihara oleh
peternak secara turun temurun. Program pencapaian swasembada pangan di Sulawesi Selatan
menempatkan komoditi ini sebagai komoditi utama dalam pembangunan peternakan.
Berkaitan dengan pengetahuan lokal, Titilola (1990), mengingatkan bahwa transfer
teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan
teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan.
Masyarakat peternak sendiri sebetulnya sudah ada teknologi asli atau indigenous
teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya
setempat (Warren, 1992, dan Walker, et al, 1999). Masyarakat dengan mudah menerapkan
teknologi asli karena menurut De Walt (1994) inputnya relatif rendah, resiko kecil dan cukup
ramah lingkungan, sedangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi, resiko
besar dan sering tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai
pengetahuan loal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembanguan
peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggali sistem pengetahuan
lokal yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif
(qualitative research). Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang
merupakan salah strategi dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan April-
September 2015 di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Kawasan
Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa Anabanua
yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi Potong (sapi
Bali).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan lokal, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun kearifan lokal, dalam
banyak hal telah memberi tuntunan bagi masyarakat, termasuk dalam bidang peternakan. Usaha
yang dijalani peternak melahirkan banyak kombinasi usaha. Keberhasilan kombinasi usaha ini
melahirkan prinsip-prinsip tertentu dalam masyarakat yang kemudian mengakar menjadi budaya
dan kemudian diwariskan transgenerasi kepada masyarakat lain. Salah satu ungkapan prinsip
tersebut adalah :“…..jika ingin bekerja di sawah, peliharalah sapi”.
Hal senada juga diungkapkan oleh S Said (salah saeorang petani di lokasi penelitian)
bahwa pesan secara lisan yang disampaikan orang tuanya yang berkaitan dengan pemeliharaan
sapi adalah “memelihara sapi banyak rezeki”. Pengalaman peternak tersebut membuktikan
100
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
bahwa ternak sapi mampu memberikan beberapa ketahanan dalam rumah tangga petani, bahkan
proporsi beberapa pengeluaran petani yang memerlukan biaya yang cukup besar pada umumnya
diandalkan dari sapi. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang informan, H. Muh Tang (58
Tahun):
“….Saya beternak sejak tahun 50 an, prinsip saya sederhana, jika harga gabah sudah 10
tahun tidak berubah maka harga sapi dengan rentang waktu yang sama sudah
mengalami kenaikan beberapa kali, bahkan pada waktu-waktu tertentu, harga sapi akan
melonjak. Inilah keuntungannya memelihara sapi. Untuk biaya naik haji dan berkurban
pada pada hari raya Idul Adha sepenuhnya saya andalkan dari hasil memelihara sapi”
(Wawancara di Desa Tompo Tgl 9 Juni 2014).
Pada pengetahuan lokal, beberapa anjuran dan pantangan yang diwariskan secara
transgenerasi tetap dilakukan oleh petani peternak. Ciri tindakan tradisional masyarakat
terpresentasekan dalam pelaksanaan acara-acara yang hampir seluruhnya dilakukan atau
berhubungan dengan rasa syukur mereka terhadap keberhasilan usaha ternaknya. Selain
meneruskan kebiasaan leluhur yang terkait dengan kepercayaan yang transgenerasi, pelaksanaan
upacara tersebut juga mengalami reinterpretasi yang bukan hanya meneruskan kebiasaan tetapi
ada makna lain yang menjadi dasar motivasinya. Dalam perkembangannya terjadi pergeseran
praktek budidaya sapi Bali yang awalnya berdasarkan pertimbangan ritual spiritual berkembang
menjadi praktek yang berlandaskan pertimbangan kalkulasi rasional. Misalnya ternak Ternak
sapi kemudian mengalami perkembangan dan diakui oleh masyarakat sebagai barang yang
bernilai ekonomis. Selain digunakan dalam upacara adat, juga dapat ditukar dengan barang
berharga lainnya. Setelah menyadari bahwa sapi bernilai ekonomi, maka mulailah mereka
melakukan kegiatan pemeliharaan dengan mengusahakan bagaimana ternak yang dipelihara
dapat meningkat nilai ekonominya.
Pengetahuan lokal yang menyangkut pemeliharaan sapi Bali yang telah dikembangkan
oleh peternakan secara turun temurun antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 1. Pengetahuan Lokal dalam Pengembangan Sapi Bali di kabupaten Barru
No. Praktek Pengetahuan Lokal
1. Pemeliharaan dan
Perkandangan
Penanaman pohon Lokal, pengembalaan
ekstensif
2. Pakan Rumput lapangan, batang pisang, daun bila,
jerami segar, garam
3. Seleksi Penelusuran silsilah, jumlah lingkaran
tanduk, panjang ekor, bentuk tanduk
4. Sistem bagi Hasil Tesang (sistem gaduh sapi)
5. Pengendalian Penyakit Penggunaan kunyit, sabuk kelapa, tampa’
lorong (brotowali)
6. Reproduksi Kawin Alam
7. Penjualan Berdasarkan taksiran
Sumber: data primer diolah, 2015
101
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
KESIMPULAN
Dari uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa proposisi
sebagai berikut :
1. Aplikasi pengetahuan lokal dalam praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam
konteks yang menyeimbangkan aspek ritual spiritual dan kalkulasi rasional.
2. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah pengetahuan yang
menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem bagi hasil,
pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA
Ciran. 1993. Indegenious Knowledge and Development Monitor. International Development
Research Centre. Ottawa Canada.
De Walt,B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource
Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American
Studies.
Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into
Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in
Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation.
Walker, D.H., P.J. Thorne, F.L. Sinclair, B. Thapa C.D. Word, D.B. Subba. 1999. A System
Approach to Comparing Indogenous and Sientific Knowledge : Consistency and
Discriminatory Power of Indigenous and Laboratory Assesment of The Nutrive Value of
Tree Fodder. Journal of Agricultural Systems 62 (87-103).
Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In :
Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
102
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
ANALISA EKONOMI USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR
JANTAN DI DESA BALESARI KECAMATAN NGAJUM KABUPATEN
MALANG
Dimas Pratidina Puriastuti Hadiani1)
, Henny Leondro2)
, dan Sri Wahyudi
3)
1,2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang,
3) Mahasiswa Fakultas
Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriyadi 48 Malang Indonesia
Email: [email protected] 1)
INTISARI
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari
kecamatan Ngajum Kabupaten Malang pada tanggal 25 September 2015 sampai 10 Desember
2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha peternakan ayam petelur
jantan secara finansial.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam
petelur jantan jenis lohman dengan populasi sejumlah 24.000 ekor per periode. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif. Data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif dan finansial. Variabel yang diamati dalam penelitian ini
adalah: biaya total produksi, penerimaan, keuntungan, BEP, dan R/C rasio.
Hasil penelitian menunjukan bahwa total biaya produksi sebesar Rp. 335.995,920 dengan
persentase terbesar didapat dari biaya pakan sebesar 78,67 %. Penerimaan Rp. 459.134.112
dengan persentase terbesar didapat dari penjualan ternak sebanyak 99,65 %, dan keuntungan
sebesar Rp. 123.138.192, sedangkan BEP harga diperoleh apabila harga jual ternak senilai Rp.
18.764 per Kg, dan BEP produksi sebesar 13.150 Kg, dengan R/C rasio sebesar 1,37.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk
dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1.
Kata kunci: Analisa Ekonomi Usaha, BEP, Ayam Petelur Jantan
ABSTRACT
ECONOMIC ANALYSIS OF BUSINESS MALE LAYING CHICKEN FARM IN THE
BALESARI VILLAGE NGAJUM SUB DISTRICT MALANG
This research was carried out on a farm owned by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum
subdistrict Malang on September 25 through December 10, 2015. The purpose of this study was
to determine the feasibility of male laying chicken financially. The material used in this study is
the economic value of farm types lohman male laying chicken with a population of 24,000
chicken per period. The method used in this research is survey method with quantitative
approach. Data were analyzed descriptively and financially. The variables were observed in this
103
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
study are: the total cost of production, revenues, profit, BEP, and R/C ratio. The results showed
that the total cost of production Rp. 335,995.920 largest percentage obtained from feed costs
amounted to 78.67%. Acceptance Rp. 459 134 112 largest percentage of turnover derived from
bird as much as 99.65%, and a profit of Rp. 123 138 192, while the price BEP obtained if the
selling price of bird worth Rp. 18 764 per kg, and BEP production amounted to 13 150 kg, with
R / C ratio of 1.37. From the results of this study concluded that male laying chicken farm owned
by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum subdistrict Malang is feasible to be developed
because it meets the criteria of the R/C ratio of more than 1.
Keywords: Ekonomic Analysis, BEP ,Male Laying Chicken
PENDAHULUAN
Ayam ras petelur merupakan hewan yang populer untuk diternakkan di Indonesia dengan
populasi mencapai lebih dari 110 juta ekor (Data Direktorat Jenderal Peternakan thn. 2011).
Banyak orang memilih usaha tersebut karena telur dan daging ayam merupakan sumber protein
hewani yang terjangkau.
Ayam petelur diperoleh dari usaha penetasan ayam petelur yang dilakukan oleh breeder.
Hasil penetasan tersebut tentunya tidak kesemuanya ayam betina. Jika presentase diasumsikan
50% ayam betina, maka 50% akan dihasilkan produk yang berupa ayam petelur dengan jenis
kelamin jantan.
Ayam pejantan memiliki nilai lebih tersendiri, tekstur daging yang lebih padat dibanding
jenis ayam pedaging lainnya menjadikan ayam jantan memiliki pangsa pasar tersendiri. Perlu
juga diketahui bahwa harga jual ayam pejantan ini lebih mahal dari ayam pedaging. Karena
ayam pejantan ini biasanya juga dijadikan pengganti ayam kampung oleh warung-warung
makanan. Hal inilah yang menjadikan peluang usaha ternak ayam pejantan memiliki potensi
yang cukup bagus.Usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono yang ada di
Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang merupakan salah satu upaya untuk
memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang
menganalisa usaha peternakan ayam petelur jantan tersebut, salah satunya dengan analisa
ekonomi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambilan kebijakan usaha selanjutnya.
MATERI DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari,
Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 25
September 2015 sampai 10 Desember 2015.
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam
petelur jantan tipe medium jenis lohman dengan jumlah populasi 24.000 ekor per periode
pemeliharaan (2,5 bulan).
104
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan
kuantitatif.
Variabel Penelitian
Biaya Total Produksi
Biaya total produksi adalah semua pengeluaran proses produksi sebagai hasil penjumlahan
biaya tetap dan biaya tidak tetap. Soekartawi (2006) menggambarkan biaya total dengan rumus
:TC = TFC + TVC
Penerimaan
Penerimaan adalah perkalian jumlah unit yang dijual dengan harga per-unit produk
tersebut. Soekartawi (2006) menggambarkan penerimaan dengan rumus sebagai berikut: TR =
P X Q
Keuntungan
Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya yang telah dikeluarkan
oleh peternak. Soekartawi (2006) menggambarkan secara sistematis sebagai berikut: Π = TR –
TC
BEP
Break even point (BEP) adalah suatu keadaan dimana sebuah perusahaan tidak mengalami
kerugian atau memperoleh keuntungan (Syukur, 2008). Secara sistematis dapat ditulis sebagai
berikut:
BEP produk = TC/P
BEP harga = TC/Q
R/C Rasio
R/C rasio (Revenue Cost Ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya
(Soekartawi, 2006). Rumus ini dapat ditulis secara sistematis sebagai berikut: RC Rasio =
TR/TC
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Biaya Produksi
Tabel 1. Total Biaya Produksi Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.) Persentase
(%)
Biaya Tetap
Penyusutan kandang dan peralatan 4.500.000 1,34
Sub Total (I) 4.500.000 1,34
Biaya Tidak Tetap
Tagihan listrik PLN 000 2.500.000 0,74
Bibit 6.760.000 7,96
105
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Pakan 264.299.800 78,67
Tenaga kerja 11.124.120 3,31
Sekam 4.000.000 1,19
Koran 300.000 0,09
OVK 1.612.000 0,48
Gas LPG 15.600.000 4,64
Biaya transportasi 5.300.000 1,58
Sub Total (II) 331.495.920 98,66
Total Biaya Produksi (I + II) 335.995.920 100
Sumber : Data Primer Diolah 2015
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar, hal
ini sesuai dengan pernyataan Santoso (2010) bahwa pakan merupakan faktor yang paling banyak
membutuhkan biaya dalam usaha peternakan ayam pedaging yaitu mencapai 75% dari seluruh
biaya produksi.
Penerimaan Usaha
Tabel 2. Penerimaan Usaha Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.) Persentase
(%)
Penerimaan
Penjualan Ternak 457.534.112 99,65
Penjualan kotoran + karung bekas 1.600.000 0,35
Total Penerimaan 459.134.112 100
Sumber : Data Primer Diolah 2015
Dari total penjualan ternak mendapatkan hasil sebesar Rp. 457.534.112, hasil ini diperoleh
dari total bobot panen sebesar 17.906 Kg dengan harga Rp. 25.552/Kg berat hidup. Populasi
ternak ayam dari peternakan milik Bapak Muktiono ini adalah 24.000 ekor dengan angka
kematian 552 ekor atau 2,3 % sehingga yang terjual adalah 23.448 ekor, dari perhitungan ini
dapat diketahui bahwa berat rata-rata ternak adalah 0,76 Kg/ekor. Angka kematian ini cukup
baik, hal ini sesuai dengan pernyataan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa
pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang
dari 5%.Sedangkan untuk hasil dari penjualan kotoran ternak dan karung bekas kemasan pakan
mendapatkan hasil sebesar Rp. 1.600.000, angka ini didapat dari total korotan yang dijual
sebanyak 800 karung dengan harga Rp. 2.000 per karung.
106
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Keuntungan Usaha
Tabel 3. Keuntungan Usaha Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.)
Total Penerimaan 459.134.112
Biaya Total Produksi 335.995.920
Total Keuntungan 123.138.192
Total Keuntungan Per ekor 5.252
Sumber : Data Primer Diolah 2015
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa keuntungan usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono periode ini adalah sebesar Rp. 123.138.192 dan keuntungan per ekor
adalah Rp. 5.252.
Titik Impas/BEP
Tabel 4. Titik Impas/BEP Per Periode Pemeliharaan
Uraian Perhitungan Riil
BEP harga (Rp.) 18.764 25.552
BEP Produksi (Kg) p 13.150 17.906
Sumber : Data Primer Diolah 2015
R/C rasio
R/C rasio yang diperoleh dari usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono
adalah sebesar 1,37. Artinya setiap pengeluaran sebesar Rp. 1,- dapat menghasilkan keuntungan
sebesar Rp. 0,37. R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkaR/C rasio
digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu usaha dan untuk mengetahui sejauh mana
usaha tersebut layak dikembangkan atau tidak. Kriteria penilaian R/C rasio sebagai berikut :
R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkan.
R/C rasio = 1, usaha peternakan ayam petelur tersebut tidak untung tidak rugi.
R/C rasio < 1, usaha peternakan ayam petelur tidak layak dikembangkan (Soekartawi, 2006).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk
dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, D. D., and W. D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5 th
Edition. Springer Science and Business Media, Inc, New York.
Santoso, H. 2010. Pembesaran Ayam Pedaging Hari Per Hari di Kandang Panggung Terbuka.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Soekartawi , 2006. Teori ekonomi produksi. Penerbit Rajawali, Jakarta.
107
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL SISTEM INTEGRASI
TERNAK SAPI˗TANAMAN DI KABUPATEN MINAHASA
(KASUS DI KECAMATAN LANGOWAN SELATAN)
Bonny F.J. Sondakh dan Richard E.M.F. Osak
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115
INTISARI Pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi (integration) tapi belum
terintegrasi (integrated), artinya usaha pokok petani yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan
usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga
pengolah pertanian. Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui sejauh mana usaha ternak sapi dan
tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2) melakukan kajian kebijakan
Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman. Penelitian menggunakan metode survai dengan
pengambilan sampel secara sengaja (Purposive Sampling) sesuai petunjuk Singarimbun dan
Effendi (1989) dengan kriteria utama, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman
pangan, memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi
dewasa, dan memiliki pengalaman lama beternak minimal lima tahun. Hasil penelitian
disimpulkan bahwa peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan
peningkatan pendapatan bagi petani peternak, dengan memberi kontribusi pada konservasi
kesuburan lahan secara organik (non kimiawi). Berdasarkan rumusan strategi-strategi yang
dianalisis melalui analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu : Program
pemberdayaan peternak melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman (SISTA) meningkatkan
pendapatan keluarga peternak dan ramah lingkungan.
Kata kunci: Strategi, Pengembangan, Integrasi, Sapi, Tanaman
ABSTRACT The existing cattle and plant integration have not integrated farming, meaning that the
main farming are maize and rice farm, while the cattle farming is only as a sideline functions as a
source of agricultural processing power. This study aims to (1) determine the extent to which the
cattle farm integration with crops cultivated without pattern of crops-livestock integration
system, and (2) conduct policy research to Cattle-Plants Integration System Model. This study
usesd survey method and purposive random sampling with the main criterias are has a cattle
farming and food crops farming, has kept the number of cattle at least two beef cattle, and has
minimum of five years long experience of cattle farm. The research concludes are dairy farm that
integrated with crops give additional income for farmers, by reducing the rate of degradation of
the environment, and contribute to the conservation of soil fertility by organic (non-chemical).
Based on the formulation of the strategies analyzed through a SWOT analysis, a program is
recommended: Program of the farmers empowerment in developing cattle production that
environmentally and sustainable based through patterns Cattle and Crop Integration Farming
108
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
System (CCIFS), for to increase the income and welfare of farmers household in the district of
Minahasa.
Keywords: Strategy, Integration, Cattle, Crops, Minahasa.
PENDAHULUAN
Potensi pengembangan produksi peternakan di antaranya dengan usahatani sistem integrasi
sapi–tanaman di Indonesia sangat besar, didukung oleh potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan pertanian yaitu: 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan
sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi
masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar
(Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2009).
Konsep pertanian terpadu, yang melibatkan tanaman dan ternak telah diterapkan di
Indonesia sejak lama sebagaimana terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Devendra (2011)
menjelaskan bahwa beberapa penelitian dan pengembangan sistem integrasi ternak ruminansia
dengan tanaman di Asia Tenggara menunjukkan peningkatan produktivitas ternak, peningkatan
nilai tambah pada tanaman, pengembangan keberlanjutan, serta berdampak ekonomi, di mana
terjadi peningkatan pendapatan sekitar 30%, penghematan biaya sekitar 47-60% dan
memberikan kelayakan finansial yaitu internal rate of return (IRR) sebesar 19% per tahun.
Roughsedge, Amer dan Simm (2003) menjelaskan bahwa melalui simulasi model integrasi
ternak dan tanaman menunjukkan peningkatan keuntungan finansial dikarenakan terjadi
penghematan biaya produksi dalam usaha ternak sapi. Franzluebbers (2007) menjelaskan bahwa
peluang untuk mengintegrasikan tanaman dan ternak dapat menghasilkan tanaman yang berbeda
sepanjang tahun, melalui sistem integrasi hijauan dan ternak dengan tanaman bisa mendapatkan
keuntungan baik untuk tujuan produksi maupun lingkungan.
Awal pengembangan konsep pertanian terpadu dimulai dengan sistem pertanian yang
melakukan pertanaman kombinasi beberapa jenis tanaman dalam satu lahan yang sama (multiple
cropping). Selanjutnya berkembang lagi dengan memasukan komponen ternak dalam sistim
usahatani yang dikenal dengan sistim usaha tani (farming system) dan terakhir sistem integrasi
tanaman-ternak (crop livestock system). Sistem integrasi ternak dan tanaman, pada prinsipnya
teknologi yang diintroduksikan mencakup teknologi pengolahan limbah tanaman untuk pakan
ternak dan pengelolaan kotoran ternak untuk pupuk organik bagi tanaman.
Inovasi dan teknologi pertanian yang baik dapat mengubah limbah pertanian menjadi
sumberdaya yang bagus sebagai pakan ternak, yakni peternakan yang menghasilkan pupuk dapat
diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biogas dan limbah padat dapat diolah menjadi
kompos untuk menyediakan pupuk organik bagi tanaman sehingga ramah lingkungan. Dengan
sistem terintegrasi ini, asumsi sederhananya 25% dari 26,8 juta hektar lahan tanam dapat
digunakan untuk menambah kapasitas penggunaannya untuk 1 ekor ternak per hektar.
Diharapkan ke depan akan ada penambahan 6,7 juta ekor ternak sapi yang setara dengan 1,2 ton
daging sapi (Sujana, 2009).
Usaha ternak sapi di Kabupaten Minahasa umumnya diusahakan dengan usahatani
tanaman pangan dan palawija, di mana tanaman pangan yang diusahakan di antaranya jagung
dan padi. Namun dalam pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi
(integration) tapi belum dilakukan secara terintegrasi (integrated), artinya petani dalam usaha
109
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
pokoknya yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan usaha ternak sapi hanya sebagai usaha
sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga pengolah pertanian.
Di Kecamatan Langowan Selatan terdapat beberapa kelompok tani peternak sapi, yang
mengusahakan ternak sapi bersamaan dengan tanaman jagung dan padi. Usaha ternak sapi selain
usaha tanaman jagung dan padi merupakan tumpuan rumahtangga anggota. Usaha tanaman
jagung bagi peternak merupakan sumber pakan bagi ternak sapi yang mereka usahakan, yaitu biji
jagung dan jerami jagung segar untuk diberikan pada ternak sapi, sedangkan jerami padi belum
termanfaatkan kareta ketidak tahuan cara pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi.
Permasalahannya selama ini dalam usaha ternak sapi mengalami kendala dalam mencukupi
pakan ternak sapi karena keterbatasan lahan baik untuk penanaman hijauan (rumput dan legume)
maupun untuk tanaman jagung dan padi. Di saat panen jagung, kebutuhan pakan relatif tercukupi
dari tambahan biji jagung dan jerami segar, namun manakala menunggu panen berikutnya
(paceklik) peternak kesulitan dalam penyediaan pakan, yang harus dipenuhi dengan membeli dari
petani lain atau luar desa sehingga mengurangi pendapatan usahanya.
Di sisi lain, pada saat panen jagung petani memperoleh produk samping dari tanaman
yaitu: daun, batang dan tongkol jagung, serta jerami padi yang dapat menjadi sumber pencemar
lingkungan dan tidak termanfaatkan karena belum mengetahui pengolahan, pengawetan dan
pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi. Sedangkan ternak sapi menjadi input sebagai sumber
tenaga kerja dalam usaha tanaman baik untuk pengolahan tanah maupun transportasi hasil, juga
limbah ternak sapi yaitu feses dapat digunakan sebagai pupuk organik dan kompos bagi tanaman.
Berdasarkan pemikiran di atas maka penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui sejauh
mana usaha ternak sapi dan tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2)
Melakukan kajian kebijakan pengembangan Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten Minahasa.
Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive Random Sampling) sesuai
Singarimbun dan Effendi (1989) berdasarkan tujuan tertentu. Penelitian ingin mengkaji sistem
integrasi ternak sapi dan tanaman, sehingga peternak sampel harus memenuhi kriteria utama
penelitian, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman pangan, memiliki jumlah ternak
sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa, dan memiliki pengalaman
lama beternak minimal lima tahun.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara terhadap responden dengan mengisi kuisioner dan pengamatan langsung
pada usahanya. Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait dalam penelitian ini, yaitu data
statistik yang relevan dengan penelitian ini. Selain variabel-variabel kuantitatif, juga akan diteliti
mengenai variabel-variabel kualitatif deskriptif untuk melengkapi data kuantitatif yang akan
dianalisis melalui Analisis SWOT.
Analisis yang digunakan untuk potensi sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman
kelapa dilakukan dengan Analisis SWOT (Strenghts atau Kekuatan, weakness atau kelemahan,
Opportunities atau peluang dan Threats atau ancaman), menurut petunjuk Hunger dan Wheelen
(2003), Rangkuti (2001) dan Umar (2001) sebagai suatu alat analisis yang digunakan secara
umum dalam merumuskan suatu Strategi Pengembangan. Analisis SWOT dilakukan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan agribisnis peternakan sapi yang terdiri dari dua
bagian besar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor
110
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
kekuatan (Strenghts) dan kelemahan (Weakness) dalam integrasi peternakan sapi dengan
tanaman itu sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor peluang (Opportunities)
dan ancaman (Threats) yang berada di luar sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman
pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk perumusan strategi menurut Rangkuti (2008) dapat mengunakan Analisis SWOT
(strengths, weaknesses, opportunities, threats) yang mengidentifikasi berbagai faktor internal
dan eksternal secara sistematis. Aspek-aspek internal dan eksternal dianalisis untuk mendapatkan
informasi yang akurat untuk dievaluasi serta merumuskan strategi pengembangan Sistem
Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman.
Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan daftar matriks sederhana berdasarkan
data-data dan informasi serta kajian literatur dalam penelitian ini. Faktor internal dan eksternal
hasil identifikasi selanjutnya akan dievaluasi untuk menentukan faktor-faktor strategis yang
paling menentukan pengembangan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman.
Hasil Proses identifikasi faktor internal dan eksternal pengembangan agribisnis
Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten
Minahasa sebagai bahan evaluasi untuk penentuan perumusan strategi diuraikan sebagai berikut:
A. Kekuatan (strengths)
a) Pengalaman beternak sapi responden rata-rata antara 6-10 tahun (69.82)
b) Tingkat pendidikan petani peternak responden rata-rata SMA (61,11%)
c) Umumnya umur peternak tergolong produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %)
d) Memiliki lahan untuk pengembangan skala usaha dan perluasan tanaman hijauan di areal
tanaman dan perkebunan rata-rata 0.26-0.50 ha (53.22%)
e) Usaha agribisnis sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman dengan kepemilikan ternak
sebanyak 2 ekor, menguntungkan sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau Rp.1.417.738 per
bulan.
f) Harga daging sapi berkisar Rp.70.000-Rp.80.000/Kg (Rata-rata Rp.75.000)
g) Terdapat fasilitas pendukung rumah potong hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak sapi
= 1 unit.
h) Ketersediaan pakan konsentrat bijian terutama jagung produksi 32 kw/ha.
i) Ketersediaan by product pertanian sebagai sumber pakan alternatif terutama jerami jagung,
serta jerami dan dedak padi.
B. Kelemahan (weaknesses)
a) Tingginya biaya modal untuk investasi, saat ini rata-rata investasi peternak responden
sebesar Rp.4,176,625
b) Harga sumberdaya input relatif tinggi sehingga biaya pokok relatif besar yaitu rata-rata
Rp.7.917.458/ekor untuk fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk starter-finisher.
c) Dominasi peternak adalah skala kecil dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor
d) Tujuan usaha umumnya hanya untuk sumber tenaga kerja ternak sebesar 97%
e) Produk bijian sebagai sumber pakan penguat masih bersaing dengan kebutuhan manusia
baik jagung muda maupun jagung kering, dikonsumsi manusia > 89 persen.
111
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
f) Ketrampilan pengolahan limbah tanaman menjadi pakan = 0
g) Kelompok peternak kurang aktif, kelompok aktif hanya 10.98 persen
h) Peternak belum melakukan mitra usaha dengan pengusaha atau lembaga sebagai sumber
modal maupun pemasaran hasil, jumlah pemitra = 0
C. Peluang (opportunities)
a) Kebijaksanaan pembangunan pertanian cukup mendukung dengan program ketahanan
pangan dan program swasembada daging 2014.
b) Kebijakan pemerintah daerah dengan crash program jagung yang mendukung ketersediaan
bahan pakan konsentrat.
c) Permintaan pasar ternak sapi lokal yang tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau.
d) Terdapat sarana dan lembaga pemasaran, perkreditan dan penyuluhan.
e) Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur transportasi dan komunikasi yang baik dan
lancar.
D. Ancaman (threats
a) Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari daerah dan negara luar (impor).
b) Alokasi anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain.
c) Alat pertanian dan alat transportasi modern mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi.
Berdasarkan deskripsi kualitatif dan kuantitatif identifikasi faktor internal dan eksternal
pengembangan agribisnis Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kabupaten
Minahasa, dapat dianalisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS) dan External Factor
Analysis Summary (EFAS) berdasarkan petunjuk David (2006).
112
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Tabel 1. Internal Factor Analysis Summary (IFAS)
Kekuatan (Strengtness) Bobot Ranking Skor Total
Skor (1) (2) (3) (2)x(3)
S.1. Pengalaman beternak sapi responden rata-
rata antara 6-10 tahun (69.82) 0.15 4 0.60
2.62
S.2. Tingkat pendidikan petani peternak
responden rata-rata SMA (61,11%) 0.10 4 0.40
S.3. Umumnya umur peternak tergolong
produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %) 0.10 4 0.40
S.4. Memiliki lahan untuk pengembangan skala
usaha dan perluasan tanaman hijauan di
areal tanaman dan perkebunan rata-rata
0.26-0.50 ha (53.22%)
0.05 5 0.25
S.5. Usaha agribisnis sistem integrasi ternak
sapi dengan tanaman dengan kepemilikan
ternak sebanyak 2 ekor, menguntungkan
sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau
Rp.1.417.738 per bulan.
0.10 4 0.40
S.6. Harga ternak sapi rata-rata Rp.28.500/Kg
Berat Hidup dan Rp.70.000/Kg Daging. 0.05 5 0.25
S.7. Terdapat fasilitas pendukung rumah potong
hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak
sapi = 1 unit.
0.05 2 0.10
S.8. Ketersediaan pakan konsentrat bijian
terutama jagung dengan jumlah rata-rata 32
kw/ha
0.06 3 0.18
S.9. Ketersediaan by product pertanian sbg
sumber pakan alternatif terutama jerami
jagung, serta jerami dan dedak padi.
0.04 1 0.04
Kelemahan (Weakness) Bobot Ranking Skor Total
Skor (1) (2) (3) (2)x(3) (4)
W.1. Tingginya biaya modal untuk investasi,
saat ini rata-rata investasi peternak
responden sebesar Rp.4,176,625
0.05 5 0.25
1.06
W.2. Harga sumberdaya input relatif tinggi
sehingga biaya pokok relatif besar yaitu
rata-rata Rp.7.917.458/ekor untuk
fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk
starter-finisher.
0.05 3 0.15
W.3. Dominasi peternak adalah skala kecil
dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor 0.08 3 0.24
W.4. Tujuan usaha umumnya hanya untuk
sumber tenaga kerja ternak sebesar 97% 0.03 2 0.06
W.5. Produk bijian sebagai sumber pakan
penguat masih bersaing dengan kebutuhan
manusia baik jagung muda maupun
jagung kering, dikonsumsi manusia > 89
persen.
0.02 4 0.08
W.6. Ketrampilan pengolahan limbah tanaman
menjadi pakan = 0 0.01 2 0.02
W.7. Kelompok peternak kurang aktif,
kelompok aktif hanya 10.98 persen 0.02 1 0.02
W.8. Peternak belum melakukan mitra usaha
dengan pengusaha atau lembaga sebagai
sumber modal maupun pemasaran hasil,
jumlah pemitra = 0
0.04 6 0.24
Total Bobot Faktor Internal
( Kekuatan + Kelemahan) 1.00
113
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Tabel 1. External Factors Analysis Summary (EFAS)
Berdasarkan Diagram Strategic Choice pada Gambar 1, maka strategi pengembangan
berada pada 4 (empat) pilihan sebagai berikut:
Strategi S-O berada pada posisi pertumbuhan cepat atau Rapid Growth (kuadran ungu)
Strategi W-O berada pada posisi strategi memelihara pilihan atau Agresive Maintenance
Strategy (kuadran kuning)
Strategi S-T berada pada posisi Concentric Diversification Strategy (kuadran hijau muda)
Strategi W-T berada pada posisi strategi bergerilia atau Guerilla Strategy (kuadran biru
muda)
Faktor internal dan eksternal strategis yang diuraikan di atas selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan matriks SWOT untuk menentukan beberapa strategi yang dapat
diterapkan. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi usaha agribisnis dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki perusahaan. Metode perumusan strategi dilakukan berdasarkan Matriks SWOT dapat
menghasilkan beberapa kemungkinan alternatif strategis (David, 2006).
PELUANG (OPPORTUNITY) Bobot Ranking Skor Total
Skor (1) (2) (3) (2)X(3) (4)
O.1. Kebijaksanaan pembangunan pertanian
cukup mendukung dengan program
ketahanan pangan dan program swasembada
daging 2014.
0.15 3 0.45
2.1
O.2. Kebijakan pemerintah daerah dengan crash
program jagung yang mendukung
ketersediaan bahan pakan konsentrat.
0.10 4 0.4
O.3. Permintaan pasar ternak sapi lokal yang
tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau. 0.20 5 1
O.4. Terdapat sarana dan lembaga pemasaran,
perkreditan dan penyuluhan. 0.05 1 0.05
O.5. Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur
transportasi dan komunikasi yang baik dan
lancar
0.10 2 0.2
TREATHS (ANCAMAN)
T.1. Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari
daerah dan negara luar (impor). 0.10 5 0.5
1.4 T.2. Alokasi anggaran pembangunan pemerintah
pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain. 0.20 3 0.6
T.3. Alat pertanian dan alat transportasi modern
mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi. 0.10 3 0.3
Total Bobot Faktor Eksternal
(Peluang + Ancaman) 1.00
114
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Gambar 1. Diagram Pilihan Strategis Untuk Pengembangan
Berdasarkan analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam pengembangan peternakan Sistem Integrasi Ternak
Sapi dengan Tanaman, berdasarkan Matriks SWOT, maka strategi kebijakan yang dapat
dilaksanakan melalui program, dapat dirumuskan sebagai berikut :
I. Strategi S-O :
1.1. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dan skala usaha
1.2. Peningkatan investasi di tingkat peternak (budidaya) dan fasilitas pendukung
II. Strategi W-O :
2.1. Pemberdayaan peternak skala kecil melalui program kemitraan peternak dan pengusaha
/peternak besar melalui kebijakan regulasi pemerintah
2.2. Fasilitasi pemerintah bagi swasta dalam industri sarana produksi
III. Strategi S-T :
3.1. Peningkatan stándar produksi sesuai standar impor
3.2. Peningkatan produksi di tingkat peternak melalui peningkatan proporsi alokasi anggaran
pemerintah
IV. Strategi W-T :
4.1. Peningkatan efisiensi produksi untuk menghasilkan output yang mampu bersaing dengan
produk luar
4.2. Pemberdayaan peternak kecil melalui kebijakan dan alokasi anggaran pemerintah melaui
kelompok peternak
115
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
116
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Pelaksanaan strategi-strategi tersebut harus dilaksanakan secara sinergi, sinkron, dan
komprehensif karena rumusan strategi tersebut terkait satu dengan yang lainnya membentuk
suatu hubungan yang saling mendukung, saling membutuhkan, dan saling menarik dan
mendorong (pull-push factors). Untuk melaksanakan masing-masing strategi tersebut baik secara
parsial, sebagian, ataupun komprehensif maka direkomendasikan suatu program yaitu : Program
pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi dan pemasaran melalui integrasi
ternak sapi dan tanaman.
Berdasarkan hasil analisis maka Implikasi Pengembangan Sistem Integrasi Sapi dan
Tanaman di Kabupaten Minahasa, yaitu:
1) Pengembangan kawasan agribisnis sebagai basis dan sumber perekonomian dasar penduduk
dengan peningkatan teknologi pertanian dan peternakan agar dapat memacu serta
meningkatkan produktivitas.
2) Menciptakan kondisi daerah yang berdaya saing, memiliki nuansa yang proinvestasi dan
bisnis, pro-lingkungan melalui penataan institusi, sistem, dan prosedur yang transparan serta
regulasi-regulasi investasi di daerah.
3) Pengembangan perdagangan dan industri dengan mengutamakan pengembangan
agroindustri daerah berbasis sumber daya lokal yang dapat menyerap tenaga kerja dalam
jumlah relatif.
4) Mendorong dan melibatkan Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk secara langsung membantu
dalam bentuk asset dan/atau modal serta mendukung pihak swasta dalam mengelola
kegiatan-kegiatan investasi strategis bagi masyarakat di Kabupaten Minahasa.
5) Mendorong pemerintah Pusat dan Provinsi untuk menfasilitasi fasilitas yang masih
dihadapkan dengan kendala-kendala internal dan eksternal seperti manajemen, teknologi,
modal kerja, informasi, pemasaran, dan ketenagakerjaan.
Sedangkan strategi yang dapat diaksanakan yaitu:
1) Pengembangan usaha agribisnis pertanian peternakan dengan pendekatan kewilayahan
terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis, agroteknologi serta agroriset dan
pengembangan industri daerah berorientasi nilai tambah seperti industri produk turunan
jagung, industri pengolahan produk daging (bakso, nugget, sosis, dll).
2) Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dengan menggunakan teknik
tepatguna dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan daya dukung
lingkungan dan pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu
dengan konsep pengembangan agribisnis/agropolitan di wilayah Tompaso, Kawangkoan,
Kakas, dan Langowan.
Langkah selanjutnya yaitu mengkaji kelima subsistem agribisnis ini dalam model
pengembangan kelembagaan, model pengembangan infrastruktur dan model pengembangan
Agribisnis SISTA (Sistem Integrasi Sapi-Tanaman) dalam bentuk model investasi kawasan yang
kemudian akan menjadi dasar untuk kompilasi model dinamik. Secara komprehensif perlu
mengembangkan infrastruktur yang menunjang sistem agribisnis pada kawasan. Dengan
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan tersebut tidak saja membangun
usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan
117
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa
penunjangnya.
Di sisi lain pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis serta penguatan kelembagaan
kelompok petani peternak agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditas
pertanian serta produk-produk olahan pertanian, merupakan prioritas utama yang harus
disiapkan. Kemudian diikuti dengan peningkatan sarana-prasarana meliputi: jaringan jalan
termasuk jalan usaha tani (farm road), irigasi, pasar, air bersih, pemanfaatan limbah, dan
pengolahan sampah (zero waste).
Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) mendukung
upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik
yang memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung upaya
peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4) meningkatkan pendapatan petani
atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih
baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak.
KESIMPULAN
Peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan peningkatan
pendapatan bagi petani peternak dan memberi kontribusi pada konservasi kesuburan lahan secara
organik (non kimiawi). Berdasarkan analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu:
Program pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi peternakan sapi yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman
(SISTA), dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak di Kabupaten Minahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan
Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis
Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem
Integrasi Ternak–Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
David, F.R., 2006. Managemen Strategis. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta.
Devendra, C., 2011. Integrated Tree Crops-ruminants Systems in South East Asia: Advances in
Productivity Enhancement and Environmental Sustainability. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
24(5):587-602.
Ditjennak, 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Franzluebbers, A. J., 2007. Integrated Crop-Livestock Systems in the Southeastern USA. Agron. J.
99:361–372.
Hadi, P.U. dan N. Ilham, 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi
Potong Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4):148−157.
118
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016
Hunger, J.D. dan Th.L. Wheelen, 2003. Manajemen Strategis. Terjemahan. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Rahardi dan R. Hartono, 2003. Agribisnis Peternakan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rangkuti, F., 2008. Analisis SWOT Tekhnik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka
Umum Jakarta.
Roughsedge, T., P.R. Amer and G. Simm, 2003. A Bio-Economic Model For The Evaluation Of
Breeds And Mating Systems In Beef Production Enterprises. Animal Science 77: 403-416
Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survey. LP3S. Jakarta.
Sujana, Tj. D., 2009. Sistem Integrasi Ternak-Tanaman Pangan Menuju Swasembada Daging
2014. Makalah Dirjen Peternakan sebagai keynote speech dalam International Seminar on
Animal Industry 2009 di IPB International Convention Center (IICC).
http://www.ipb.ac.id/?b=1373
Suryana, 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola
Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1).
Umar, H., 2001. Strategic Manajemen in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
119
174