Download - Proposal Skripsi
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Otonomi daerah merupakan tema lama yang nampaknya selalu menemukan
aktualisasi dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena pasal 18 Undang – Undang
Dasar 1945 sendiri telah memberikan landasan yang jelas tentang eksistensi daerah.
Seiring dengan ditetapkannya Undang – Undang Dasar itu, sejak itupula pengaturan
tentang otonomi daerah dalam perundang – undangan mulai diperdebatkan. Pertama kali
dengan Undang – Undang Nomor I Tahun 1945, kemudian Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1948 dan seterusnya sampai terakhir Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang pemerintah daerah, yang akan memberikan landasan yuridis kepada otonomi
daerah secara proporsional (Ryaas Rasyid, 1999).
Pembangunan jangka panjang Negara Indonesia telah mengalami beberapa kali
pergeseran. Pergeseran – pergeseran ini antara lain terlihat pada adanya pergeseran
wacana dari proses perencanaan top – down menuju proses perencanaan bottom – up
(perencanaan yang interaktif), dari pembangunan untuk rakyat menjadi pembangunan
bersama rakyat, dan dari pendekatan politik yang terbatas menuju pendekatan politik
yang lebih terbuka.
2
Sejalan dengan pergeseran tersebut, dalam bidang Pemerintah Daerah, pemerintah
telah menyusun sebuah gagasan tentang Rencana Strategis Pengembangan Pemerintah
Daerah (Restra Pemda). Dalam rencana pengembangan Pemerintah Daerah tersebut
terdapat enam bidang yang akan dirancang perencanaannya; yaitu penataan wilayah,
distribusi urusan pemerintahan, kelembagaan dan personalia, system keuangan daerah,
pemerintahan perkotaan dan lembaga ekonomi daerah.
Bidang – bidang yang direncanakan dalam rencana strategis tersebut memang
menyangkut salah satu isu yang paling strategis dalam pendekatan pembangunan yang
terdesentralisasi, yaitu tentang perlunya penataan kembali otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas – luasnya, dalam arti
daerah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan
dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu
3
sama dengan daerah lainnya, adapun yyang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar – benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah: 167).
Untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang nyata dan bertangguangjawab,
diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara
propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam system pemerintah daerah
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 169)
Penerapan otonomi daerah yang luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan
seluruh potensi ekonomi yang ada sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas
perekonomian di daerah yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian nasional.
Penerapan otonomi daerah yang telah digariskan dalam UU No. 33/2004, mensyaratkan
adanya suatu perimbangan keuangan antarapemerintah pusat dan daerah. Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu system pembiayaan
pemerintah dalam rangka Negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara
4
pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, adil,
demokratis dan transparan.
Desentralisasi fiscal tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan kemampuan
financial yang cukup memadai oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu melalui UU No.
33/2004, diharapkan nantinya akan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Sumber
penerimaan daerah yang digunakan untuk pendanaan daerah menurut UU No. 33/2004
dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Danna
Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), pinjaman
daerah dan lain – lain penerimaan yang sah. Dalam UU No. 33/2004 memberikan
kewenangan bagi daerah untuk meningkatkan kemampuan pendapatannya, yaitu dengan
meluaskan jangkauan dari bagian pajak dan bagi hasil sumber daya alam dengan
pemerintah pusat.
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah adalah ketergantungan
pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat
jelas dari aspek keuangan, pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk
mengambil keputusan – keputusan yang penting, dan adanya campur tangan pemerintah
pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik
memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungann fiscal antara daerah terhadap pusat
sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari
5
dominan transfer dari pusat dan relative rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan
sangat ironis jika pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai
ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan
yang lebih tinggi dibanding propinsi (Mudrajad, 2004:18).
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan pemerintah pusat dan
daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi
kebutuhannya masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi
penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat.
Pemerintah daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri
(PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer pemerintah
pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi
pembiiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Rokhedi P. Santoso,
2003:148)
Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat
kondisi fiscal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance).
Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA diserahkan pada kebijakan masing – masing
daerah.
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
6
Pemerintah daerah harus dapat meningkatkan penerimaannya untuk membiayai
kegiatan pembangunan namun di era desentralisasi fiscal, harapan itu belum optimal yang
tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan
PDRB menunjukkan pertumbuhan ekonomi di daerah Tangerang Selatan setelah
pelaksanaan desentralisasi fiscal.
Hakikat otonomi adalah adanya kewenangan daerah bukan pendelegasian (Adi,
2005:1). Daerah tidak lagi sekadar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar –
benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan
potensi yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung (Adi, 2002:1). Sebagian
kalangan bahkan menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Big
Bang karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk ukuran Negara yang
begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan ( Adi, 2005:2). Terlebih
di tengah – tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang
berkepanjangan dari pertengahan 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan
(fiskal) daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kebijakan ini justru
dilakukan pada saat terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Sebagai solusi, pemerintah menetapkan alokasi transfer dana (DAU) yang berbeda.
Daerah yang mempunyai kapasitas fiscal tinggi akan mendapat dana yang lebih kecil
daripada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah. Pemberian transfer ini bertujuan untuk
7
menjamin tercapainya standar pelayanan public dan mengurangi kesenjangan antar
daerah dan kesenjangan antara pusat – daerah (Adi, 2005:2).
Dalam penelitian ini, daerah yang diteliti adalah kota Tangerang Selatan. Wilayah ini
merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Di mana terdiri dari 7 kecamatan,
Pertama, kecamatan Serpong. Kedua, kecamatan Serpong Utara. Ketiga, kecamatan Setu.
Keempat, kecamatan Pamulang, Kelima, kecamatan Ciputat. Keenam, kecamatan Ciputat
Timur. Ketujuh, kecamatan Pondik Aren.
Pertumbuhan ekonomi adalah sebagian dari perkembangan kesejahteraan masyarakat
yang diukur dengan besarnya pertumbuhan produk domestic regional bruto per kapita
(PDRB per kapita) (Zaris, 1987:82). Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang
ditunjukkan dengan tingginya nilai PDRB menunjukkan bahwa daerah tersebut
mengalami kemajuan dalam perekonomian. Salah satu indicator keberhasilan
pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolak ukur secara makro adalah
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, meskipun demikian telah digunakan sebagai
indicator pembangunan, pertumbuhan ekonomi masih bersifat umum dan belum
mencerminkan kemampuan masyarakat secara individual. Pertumbuhan ekonomi suatu
daerah dapat dicerminkan dari PDRB. Pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan
selama kurun waktu beberapa tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun
kenaikan itu tidak signifikan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari tabel 1.1
8
Tabel 1.1
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
A.D.H Konstan 2000 Menurut Kecamatan
Tahun 2004 - 2007 (Juta Rupiah)
Sumber: Pemerintah Kota Tangerang Selatan, diolah
Tabel 1.2
Perkembangan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 Tahun 2004 – 2007
9
Tabel 1.3
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Selatan
Tahun 2004 – 2007 (Juta Rupiah)
Sumber: PemKot Tang-Sel, diolah
Kecamatan
Tahun
Serpong
Serpong
Utara
Setu Pamulang Ciputat
Ciputat
Timur
Pondok
Aren
Kota
Tangerang
Selatan
Laju
Pertumbuhan
(%)
2004
179.550,09 303.232,52 22.559,15 189.287,91
216.106,
22
542.445,07
277.010,
84
1.730.191,80
-
2005
443.493,77 326.763,73 25.220,12 199.994,19
234.788,8
4
514.289,40
283.591,9
6
2.028.142,01 14,7
2006
541.774,23 330.612,91 35.702,43 301.838,10
277.804,2
2
739.030,08
372.839,4
6
2.599.601,43 28,17
2007
578.021,98 267.623,91 34.858,68 333.208,65
290.068,1
9
890.351,92
374.653,8
4
2.768.787,17 6,51
10
Tabel 1.4
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Selatan
Menurut Kecamatan
Tahun 2004 - 2007 (Juta Rupiah)
Kecamatan
Tahun
2004/
2005
2005/
2006
2006/
2007
2004 2005 2006 2007 % % %
Serpong 179.550,09 443.493,77 541.774,23 578.021,98 147 22,16 6,69
Serpong
Utara
303.232,52 326.763,73 330.612,91 267.623,91 7,76 1,18 -0,19
Setu 22.559,15 25.220,12 35.702,43 34.858,68 11,79 41,56 -2,3
Pamulang 189.287,91 199.994,19 301.838,10 333.208,65 5,65 50,92 10,39
Ciputat 216.106,22 234.788,84 277.804,22 290.068,19 8,64 18,32 4,41
Ciputat
Timur
542.445,07 514.289,40 739.030,08 890.351,92 -5,19 43,7 20,48
Pondok Aren 277.010,84 283.591,96 372.839,46 374.653,84 2,38 31,47 0,48
Kota
Tangerang
Selatan
1.730.191,80 2.028.142,01 2.599.601,43 2.768.787,17 14,7 28,17 6,51
Sumber: PemKot Tang-Sel, diolah
11
Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa kenaikan PDRB atas dasar harga konstan dari tahun ke
tahun setiap kecamatan relative mengalami kenaikan. Ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan selalu mengalami kenaikan. Pada tabel
1.2 terlihat grafik perkembangan PDRB ADH konstan kota Tangerang Selatan
mmengalami peningkatan. Dari tabel 1.3 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 14,7%, pada tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar
28,17%, pada tahun 2007 terjadi kenaikan sebesar 6,51%.
Dengan latar belakang di atas dan mengingat betapa pentingnya hubungan antara
otonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam hal ini, peneliti mencoba
mengetahui variabel apa saja yang mempengaruhi konsep otonomi daerah dan konsep
pertumbuhan ekonomi daerah. Maka peneliti memilih judul “Analisis Pengaruh
Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional”.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah pertumbuhan ekonomi regional dapat terjadi karena beberapa sebab yang
berakar dari bagaimana pemerintah melakukan perbandingan pertumbuhan ekonomi pada
pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Oleh sebab
itu akan dikumpulkan alternative – alternative sebab terjadinya masalah yang pada
gilirannya nanti akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti.
12
Masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di
kota Tangerang Selatan;
2. Apakah Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan;
3. Apakah Dana Alokasi Khusus mempunyai pengaruh signifikan terhadap perumbuhan
ekonomi di kota Tangerang Selatan;
4. Bagaimana gambaran PDRB kota Tangerang Selatan;
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengetahui seberapa besar pengaruh antara Pendapatan Asli Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di kota Tangerang Selatan.
2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara DAU terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di kota Tangerang Selatan
3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara DAK terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di kota Tangerang Selatan
4. Mengetahui gambaran PDRB kota Tangerang Selatan
13
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pandangan Filosofis dan Pemikiran Dasar Dibentuknya UU No. 22 Tahun 1999
Terjadinya krisis yang berkepanjangan telah membawa dampak hampir ke seluruh
aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Walaupun terasa pahit karena
menimbulkan keterpurukan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, namun hikmah positif yang
merupakan blessing is disguised adalah timbulnya ide dan pemikiran dasar yang
menumbuhakn „Reformasi Total„ di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan masyarakat madani (civil
society) dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki
nilai – nilai Good Governance yang memunculkan nilai demokrasi dan sikap
keterbukaan, kejujuran, keadilan dan berorientasi kepada kepentingan rakyat serta
bertanggungjawab kepada rakyat.
Dampak reformasi total ini, dilihat dari segi ketatanegaraan adalah terjadinya
pergeseran paradigma dari pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan
desentralistik. Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
wujud otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip – prinsip demokrasi,
peran – serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan
keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya.
14
Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam
penyelenggraan pemerintahan pada hakikatnya merupakan penerapan konsep areal
division of power yang membagi kekuasaan Negara secara vertical. Dalam sistem ini,
kekuasaan Negara akan terbagi antara Pusat di satu pihak dan Daerah di lain pihak.
Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah,
antara Negara yang satu dengan Negara yang lain, tidak sama, termasuk Indonesia yang
secara legal konstitusional menganut bentuk Negara Kesatuan (Laode Ida, 2000:37).
Seberapa besar kewenangan otonomi daerah yang menuju kemandirian daerah di
dalam Negara kesatuan, tergnatung pada system dan kehendak politik pemerintah dalam
memberikan keleluasaan tersebut. Namun betapapun keleluasaan itu diberikan tidak dapat
diartikan adanya kebebasan penuh secara absolut dari suatu daerah untuk menjalankan
hak dan fungsi otonominya menurut kehendak tanpa mempertimbangkan kepentingan
daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan dalam ikatan Negara kesatuan.
Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan memelihara terjaganya
eksistensi Negara serta persatuan dan keasatuan bangsa, biasanya cenderung timbul
kekhawatiran Pemerintah Pusat akan terjadinya upaya memisahkan diri (separatism) dari
daerah apabila daerah diberi keleluasaan terlalu jauh. Kecendrungan kekhawatiran ini
sering tumbuh menjadi ajang konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang sering
berlarut – larut, karena masing – masing meninjaunya dari perspektif yang berbeda.
15
Masalah otonomi daerah yang bertumpu kepada tinjauan perspektif yang berbeda ini
menjadi dilemma berkepanjangan yang mendikotomikan antara pusat dan daerah dan
mendikotomikan antara sentralisasi dan desentralisasi (Soenyono, 2001:106).
Tinjauan perspektif yang berbeda antara kepentingan pusat dan daerah ini kadang –
kadang sulit untuk dihindarkan, karena dominasi pemerintah pusat terlalu kuat sehingga
menekan dan mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. Yang pada gilirannya akan
memunculkan pola intervensi dan instruksi, serta control pusat yang ketat. Sebaliknya,
pandangan daerah yang ekstrem hanya melihat semata – mata kepentingan daerahnya
tanpa memperhatikan daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan, juga
dapat mengakibatkan konflik kepentingan. Dengan demikian, kedua pandangan yang
berbeda antara pusat dan daerah sering lebih didominasi oleh pikiran yang subyektif dan
emosional daripada pemikiran yang obyektif dan rasional.1
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap Negara dalam mencari titik keseimbangan
tersebut selalu memperhitungkan pertimbangan – pertimbangan ekonomi, politik, social
kesejahteraan dan keamanan. Namun betapapun sulitnya menetapkan formula, kita harus
terus berupaya mencari formula yang tepat, obyektif dan rasional. Bahkan hal itu perlu
1 Misalnya, pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional sudah dipandang cukup merata tetapi perspektif daerah melihatnya berbeda. Perspektif daerah sering menganggap bahwa hasil dari sumber kekayaan daerah yang ditarik ke pusat jauh tidak seimbang.
16
disertai dengan penuh kearifan, dengan memandang bahwa persoalan ini adalah untuk
kepentingan bangsa bukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu.
Penekanan yang lebih mempertimbangkan criteria kepentingan local akan melahirkan
pemerintahan yang bercorak desentralistik yang akan diimbangi dengan criteria
kepentingan nasional yang tetap akan menjamin identitas dan keutuhan bangsa, serta
kepentingan nasional secara keseluruhan yang akan melahirkan center power yang
terbatas. Dengan demikian, pemerintahan yang bercorak sentralistik dapat dibatasi tanpa
mengabaikan criteria atau standardisasi, baik secara nasional maupun internasional.
Dari pandangan ini timbullah pemikiran tentang perlunya memberikan kewenangan
otonomi kepada daerah seluas mungkin dan meletakkan focus otonomi daerah pada
tingkat daerah yang paling dekat dengan rakyat. Hal ini didasari oleh pertimbangan
bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya tersimpul makna pendewasaan
politik rakyat daerah, di mana terwujud peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
melainkan juga sekaligus bermakna menyejahterkan rakyat. Pemberian keleluasaan
otonomi pada daerah bukan semata – mata untuk menggemukkan pemerintah daerah. Hal
ini bukan pula untuk menjadikan birokrasi pemerintah daerah sebagai centered power
yang tadinya „sentralisasi kekuasaan‟ terjadi di pemerintah pusat, sekarang dipindahkan
menjadi „sentralisasi‟ pada pemerintah daerah, melainkan memberikan keleluasaan
kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi peran – serta, prakarsa, aspirasi, dan
17
pemberdayaan masyarakat. Sebab bagaimanapun juga , tuntutan pemerataan baik
menyangkut bidang ekonomi rakyat maupun politik pada akhirnya akan menjadi focus
utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
2.2 Otonomi Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pada hakikatnya merupakan penerapan konsep teori areal
division of power yang membagi kekuasaan Negara secara vertical (Koswara, 2000:37).
Dalam system ini, kekuasaan Negara akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak
dan pemerintah daerah di lain pihak.
2.3 Titik Berat Otonomi Pada Kabupaten/Kota
Titik berat otonomi berdasarkan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberikan
kepada daerah Kabupaten/Kota, sedangkan daerah Provinsi berfungsi ganda, yaitu
sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom. Dengan kata lain, dalam rangka
desentralisasi titik berat pelaksanaan otonomi berada di daerah kabupaten/kota sedangkan
untuk daerah provinsi yang berlaku adalah otonomi terbatas dalam konteks dekonsentrasi
(Bhenyamin Hoessein, 200:13).
Dengan titik berat otonomi di daerah Kabupaten/Kota diharapkan pelayanan dan
perlindungan yang diberikan kepada rakyat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Tentu saja hal ini harus dicermati dengan seksama, karena pada kenyataanya tidak semua
18
daerah Kabupaten dan Kota memiliki potensi ekonomi dan social yang sama dan
memiliki basis social – ekonomi yang kuat. Ada daerah yang memiliki sumber daya
keuangan yang besar, sebaliknya adapula daerah Kabupaten dan Kota yang basis social –
ekonomi yang dimilikinya sangat terbatas. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
kinerja dari masing – masing daerah otonom di dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan kepada masyarakat di lingkungannya (Affan Gaffar, 2000:33)
2.4 Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonom daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat pasal 18
Undang – Undang Dasar 1945. Dengan demikian, landasan pemberian otonomi kepada
daerah dan pembentukan Daerah Otonom adalah Udang – Undang Dasar 1945,
khususnya pasal 18 yang berbunyi “Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar
dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan
Negara dan hak – hak asal – usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa”.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18, ditetapkan antara lain ( Ariyanti, 2002:20):
1. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan provinsi akan dibagi pula
dalam daerah yang lebih kecil.
2. Di daerah – daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka semua
menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang – undang.
19
3. Di daerah – daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah,
oleh karena itu di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa UUD 1945 merupakan landasan yang kuat
untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab.
Mengingat bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan
hal yang berarti. Padahal beberapa undang – undang tentang pemerintahan daerah telah
ditetapkan dan berlaku silih berganti akan tetapi pelaksanaan otonomi daerah belum
efektif. Oleh sebab itu, pada era reformasi dibuat undang – undang baru mengenai, yaitu
Undang – Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang –
Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.
Pada tahun 2004 UU No. 22 Th. 1999 disempurnakan oleh Undang – Undang Nomor 32
tahun 2004 dan UU No. 25 TH. 1999 disempurnakan oleh Undang – Undang Nomor 33
Tahun 2004.
2.4.1 Pengertian Otonomi Daerah
Menurut ketentuan umum UU No. 32 TH. 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi
daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
20
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang – undangan.
2.4.2 Prinsip Otonomi Daerah
Menurut Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas – luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah pusat di luar
yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelyanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip
tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang nyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar – benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional
(Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah:168).
21
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan
dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah
juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah satu dengan daerah yang
lainnya, yang berarti bahwa mampu membangun kerjasama antar daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang
tak kalah penitngnya adalah otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang
serasi antara daerah dengan pemerintah pusat, harus mampu memelihara dan menjjaga
keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Ngera kesatuan Republik Indonesia. Dalam
rangka mewujudkan tujuan Negara (Penjelasan UU No. 32 Th. 20004 tentang Pemerintah
Daerah: 168).
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai,
pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti
dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu,
diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat wajib memberikan
fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada
daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif
(Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 169).
22
2.5 Desentralisasi
2.5.1 Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah suatu system dalam pemerintahan yang merupakan kebalikan
dari system sentralisasi. Dalam system sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat
maupun di daerah dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat – pejabat di daerah
hanya melaksanakan kehendak Pemerintah Pusat. Dalam system desentralisasi, sebagian
kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah untuk
dilaksanakan. Pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan
disebut desentralisasi (Soejito, 1984).
Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan desentralisasi pada dasarnya
mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan pemerintahan yang semula
termasuk wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Pusat diserahkan sebagian kepada
badan/lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga
urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Prakarsa untuk menetukan prioritas, memilih alternative dan mengambil
keputusan yang menyangkut kepetingan daerahnya, baik dalam hal menentukan
kebijaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan perangkat pelaksanaan, baik
personil maupun alat perlengkapan sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab
23
daerah yang bersangkutan. Proses desentralisasi ini juga berlaku bagi Pemerintah Daerah
Provinsi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Berbagai argument yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh
Tiebout dan Cates sebagaimana dikutip oleh (Sidik, 2002: 45) yang menyatakan bahwa
pelayanan public yang paling efisien seharusnya dilaksanakan oleh wilayah yang
memiliki control geografis paling minimum, karena:
a. Pemerintah local relative lebih menghayati kebutuhan masyarakat
b. Keputusan pemerintah local sangat responsive terhadap kebutuhan masyarakat,
sehingga mendorong pemerintah local untuk melakukan efisiensi dalam
penggunaan dana yang berasal dari masyarakat.
c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya
akan mendorong pemerintah local untuk mmeningkatkan inovasinya.
Nilai – nilai desentralisasi dapat dibedakan berdasarkan sudut pandang kepentingan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari sudut pandang kepentingan pemerintah
pusat sedikitnya ada tiga nilai desentralisasi, yaitu pertama untuk pendidikan politik,
kedua untuk latihan kepemimpinan dan ketiga untuk mencciptakan stabilitas politik.
Sementara itu dari sisi kepentingan pemerinah daerah, nilai desentralisasi adalah untuk
mewujudkan keadilan politik, akuntabilitas daerah dan tanggung jawab daerah, Smith
sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayat (2000).
24
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses
implementasi, dukungan politis pada tingkat pengambilan keputusan di masing – masing
tingkat pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi
pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme
koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan system nilai dan
prilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan
sector public.
Mendefinisikan desentralisasi secara utuh memang tidaklah mudah, karena
menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek
politik, perubahan administrasi dan system pemerintahan, system fiscal dan pembangunan
social – ekonomi. Secara umum konsep desentralisasi terdiri dari desentralisasi politik,
desentralisasi administrasi, desentralisasi fiscal dan desentralisasi ekonomi.
Desentralisasi politik bertujuan meningkatkan keikutsertaan atau partisipasi aktif
masyarakat, khususnya masyarakat local dalam proses pengambilan keputusan secara
demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas local yang dipilih harus lebih
bertanggungjawab kepada masyarakat local yang telah memilihnya dan berusaha lebih
baik dalam memperjuangkan kepentingan local dalam pengambilan keputusan politik.
Desentralisasi administrasi yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber – sumber keuangan untuk
25
menyediakan pelayanan public. Pelimpahan tanggung jawab tersebut meliputi
perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi pemerintah dari pusat
kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, otoritas tertentu
atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administrasi pada dasarnya dikelompokkan dalam
3 bentuk, yaitu:
a. Dekonsentrasi (Deconcetration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pejabat yang berada pada garis hierarki dengan pemerintah pusat di
daerah.
b. Devolusi yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah, di mana seluruh tanggung jawab untuk kegiatan tertentu diserahkan
sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah selaku penerima wewenang.
c. Delegasi mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk
mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap
berada di tangan pusat.
Desentralisasi fiscal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan
kebebasan dalam pengambilan keputusan, penyediaan pelayanan sector public, maka
mereka harus didukung dengan sumber-sumber keuangan yang memadai; baik yang
berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun
26
subsidi/bantuan pemerintah pusat. Dalam melaksanakan desentralisasi fiscal, prinsip
“money should follow function” merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan
dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan
membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan
tersebut.
Secara umum desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan pendelegasian
kekuasaan dan wewenang, dan pendelegasian tanggung jawab dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan. Desentralisasi merupakan
penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi public dari pemerintah pusat
ke pemerintah bawahan. Setiap tipe desentralisasi politik, desentralisasi administrative,
desentralisasi fiscal, dan pasar memiliki perbedaan karakteristik, implikasi kebijakan dan
syarat-syarat kesuksesannya.
2.5.2 Pengertian Desentralisasi Fiskal
Menurut Pujiati (2006: 1), Desentralisasi fiscal adalah pendelegasian tanggung jawab
serta pembagian kekuasaan maupun kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang
fiscal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran
(expenditure ). Desentralisasi fiscal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah
daerah dalam penyediaan barang dan jasa public (public goods/public service).
27
Desentralisasi fiscal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian
kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa diikuti dengan desentralisasi
fiscal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk dapat melaksanakan
kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan public tanpa diberi
wewenang di dalam penerimaan atau pengeluaran maka desentralisasi fiscal tidak akan
efektif.
Dengan demikian, desentralisasi fiscal akan memberi keleuasaan kepada daerah untuk
menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka
keseimbangan fiscal.
2.6 Pertumbuhan Ekonomi
2.6.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan Hadiah
Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971, telah memberikan suatu definisi yang cukup
rinci mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu Negara. Menurut
Kuznets, “pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari
Negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada
penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya
kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan
28
ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.”2 Masing-masing dari ketiga
komponen pokok dari definisi itu sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu. Berikut
ringkasannya:
a. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan
dari apa yang disebut sebagai pertumbuhann ekonomi, sedangkan menyediakan
berbagai jenis barang merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity)
dari suatu Negara.
b. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya
suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan; ini adalah suatu kondisi
yang sangat diperlukan tetapi tidak cukup itu saja. (jadi di samping perkembangan
atau kemajuan teknologi, masih dibutuhkan factor-faktor lain).
c. Guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam teknologi
baru, maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan, sikap, dan
ideology. Inovasi di bidang teknologi tanpa diimbangi dengan inovasi social sama
halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (punya potensi akan tetapi tanpa input
komplementernya maka hal itu tidak bisa membuahkan hasil apapun).
2 Simon Kuznets, “Modern economic growth:Findings and Reflections”, pidato sambutan Profesor Kuznetstatkala menerima Hadiah Nobel dalam bidang ekonomi di Stockholm, Swedia, pada bulan Desember 1971. Naskah pidato tersebut telah diterbitkan pada jurnal terkemuka American Economic Review 63 (September 1973): hal. 247-258. Sebagian besar uraian pada bagian ini didasarkan pada karya Kuznets tersebut.
29
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka
panjang (Boediono, 1999: 1). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output
per kapita. Di sini ada dua sisi penting yaitu output total dan jmulah penduduk. Output
per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Aspek ketiga dari definisi
pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per
kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per
kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian dikatakan tumbuh apabila
dalam jangka waktu lima tahun mengalami kenaikan output per kapita.
Menurut Sadono pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan
ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun sehingga untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan nasional dari berbagai tahun yang
dihitung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. Perubahan dalam nilai pendapatan
nasional hanya disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi.
Dari berbagai definisi yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu proses perekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan
atau pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang
dicapai pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangan baru tercipta apabila
jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan bertambah jumlahnya pada
tahun berikutnya. Sedangkan, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami
30
pertumbuhan perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kegiatan-
kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun.
2.6.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang pendidikan yang sudah lama
dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Pada masa ahli ekonomi klasik banyak pendapat yang
telah dikemukakan. Buku Adam Smith yang terkenal, The Wealth of Nations, pada
hakikatnya adalah suatu analisis mengenai sebab-sebab dari berlakunya pertumbuhan
ekonomi dan factor-faktor yang menentukan pertumbuhan itu. Sesudah masa Adam
Smith, beberapa beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, dan
Stuart Mill juga menumpahkan perhatian yang besar terhadap masalah perkembangan
ekonomi. Pada permulaan abad ini Schumpeter menjadi sangat terkenal karena bukunya
mengenai pembangunan ekonomi yaitu The Teory of Economic Development dan
mengenai siklus kegiatan usaha atau konjungtur. Setelah itu Harrold Domar dan teori
Neo-Klasik lebih memperkaya lagi analisis mengenai pertumbuhan ekonomi.
a. Teori Pendapatan Asli Daerah(PAD)
Menurut teori Keynesian yang dipelopori oleh John Maynerd Keyness
menyatakan bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, yaitu PAD. Walaupun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi
tergantung kepada banyak factor, ahli-ahli ekonomi Keynesian terutama
31
menitikberatkan perhatiannya kepada pengaruh PAD kepada pertummbuhan
ekonomi.
Menurut Keyness (Murni, 2006: 193) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah salah satu mesin
pendorong pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah
saru penentu terciptanya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan
untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan
tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat
pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas agenda-agenda
pembangunan tahunan. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah akan terus
diarahkan pada peningkatan PAD.
Untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah ada beberapa yang harus
dilakukan atara lain: memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan
perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak,
peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak dan mencari sumber-
sumber pendapatan lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan pembiayaan akan terus diupayakan peningkatan penyertaan
32
modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat menghasilkan
peningkatan PAD.
b. Teori Dana Perimbangan
Menurut Todaro (2000: 5) terdapat tiga factor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, ketiganya adalah Akumulasi modal
yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah,
peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia, Pertumbuhan penduduk
beberapa tahun selanjutnya yang akan memperbanyak jumlah akumulasi capital,
Kemajuan teknologi.
2.7 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal
Secara tidak langsung desentralisasi memiliki hubungan dengan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya indicator peningkatan efisiensi dalam
pengalokasian sumber daya. Pemerintah daerah memiliki keuntungan yang lebih
dibandingkan pemerintah pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barang-
barang public yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri dan lebih dari
itu desentralisasi dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih kreatif, inovatif, dan
akuntabilitas dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah dengan optimalisasi sumber daya yang ada secara tepat
dan efisien. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada peningkatan pertumbuhan
33
ekonomi. Lebih lanjut lagi alasan mengapa desentralisasi berperan dalam pertumbuhan
ekonomi adalah penyediaan infrastruktur di daerah sebagai akibat tuntutan adanya
desentralisasi secara tidak langsung berpengaruh sensitive terhadap kondisi daerah
karena pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan kondisi
wilayah (Rohim, 2007: 45).
Poin utama mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiscal
setidaknya dapat dilihat dari tiga pertumbuhan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai
suatu yang obyektif dari desentralisasi fiscal dan efisiensi, alokasi sumber daya sector
public. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai
kebijakan-kebijakan untuk mendorong kea rah peningkatan dalam pendapatan per kapita.
Ketiga, pertumbuhan per kapita lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikkan
dibanding indicator-indikator ekonomi lainnya.
Dalam model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah, memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Hal ini dapat dilihat dari fungsi produksi.
Cobb Douglas sebagai berikut: Y= ƒ(k,g) = Ak 1-a
ga
Di mana g adalah kuantitas barang dan jasa per kapita yang dibeli oleh pemerintah,
dengan asusmsi tidak adanyapungutan biaya apapun. Y adalah adanya output per kapita,
dan k adalah stock modal per kapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki
skala pengembalian konstan (constant return to scale). Jika diasumsikan total
34
pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak t, maka dapat dituliskan sebagai
berikut:
g=T=τy=τAk1-a
ga
Apabila persamaan fungsi diubah menjadi produktivitas marginal modal maka:
ƒk=A(1-α) (g/k)α
Jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat t
disubstitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut:
y=kA1/1-α
τα/(1-α)
Di mana bahwa rasio input q dan k adalah sebagai berikut:
g/k=(g/y)(y/k)=τ(y/k)=(Aτ)1/1-α
Nilai untuk produktivitas mmarjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut:
ƒk=(1-α)A1/1-α
τα/1-α
Oleh karena itu solusi untuk tingkat pertumbuhan output perkapita dapat ditentukan
sebagai berikut:
y=c/c=(1-α)[(1-α)A1/1-α
(1-τ)τα/1-α
-ρ]
Pada persamaan di atas, pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi
pembelanjaan public dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan
pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan
modal.
35
2.8 Produk Domestik Regional Bruto(PDRB)
Di dalam menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ditimbulkan
dari suatu region, ada tiga pendekatan yang digunakan (BPS, 2003: 2), yaitu:
1. PDRB Menurut Pendekatan Produksi
PDRB menurut pendekatan produksi merupakan jumlah nilai produksi neto barang
dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu region selama
jangka waktu tertentu yaitu setahun. Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya
dikelompokkan menjadi beberapa lapangan usaha, seperti: Pertanian Pertambangan
dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik Gas dan Air Bersih, Konstruksi,
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi, Angkutan Pergudangan dan
Komunikasi, Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan, dan Jasa-jasa (Pemerintahan,
Sosial, kemasyarakatan, Hiburan, dan Perorangan).
2. PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan
PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan jumlah balas jjasa yang diterima
oleh factor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu region
dalam jangka waktu tertentu yaitu satu tahun.
Balas jasa factor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga
modal dan keuntungan semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak
36
langsung neto sedangkan jumlah semua komponen pendapatan ini per sector disebut
sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu, PDRB merupakan jumlah dari
nilai tambah bruto seluruh sector (lapangan usaha).
3. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah semua permintaan akhir seperti
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung,
konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestic bruto, perubahan stok dan
ekspor neto dalam jangka waktu tertentu (biasanya setahun) sedangkan ekspor neto
merupakan ekspor dikurangi dengan impor.
Untuk memudahkan pemakai data, maka hasil perhitungan PDRB disajikan menurut
sector ekonomi/lapangan usaha yang dibedakan menjadi 2 macam, yaitu PDRB atas
dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas harga berlaku
merupakan semua angka mengenai PDRB dinilai atas dasar harga yang berlaku pada
tahun yang bersangkutan, baik dalam menilai produksi, biaya antara maupun dalam
menilai komponen nilai tambah dan komponen pengeluaran PDRB sedangkan PDRB
atas dasar harga konstan merupakan semua angka mengenai PDRB dinilai atas dasar
harga tetap, yaitu harga pada tahun dasar. Karena memakai harga tetap atau konstan
maka perkembangan angka pendapatan regional dari tahun ke tahun semata-mata
37
karena perkembangan riil atau nyata dan bukan dipengaruhi oleh perubahan harga
baik harga naik maupun harga turun (BPS, 2003: 7).
2.9 Keuangan Daerah
Pembangunan Daerah sebagai bagian integral dari pembanngunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional
yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub-sistem
pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 168).
2.9.1 Penerimaan Daerah
Sumber-sumber penerimaan daerah dapat dibedakan atas penerimaan dari daerah
meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan dari
sumbangan dan bantuan. (Suparmoko, 2002: 29)
a. Pendapatan Asli Daerah
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, peningkatan pendapatan asli
daerah selalu diupayakan karena merupakan penerimaan dari usaha untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah adalah
38
penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian keuntungan
perusahaan daerah, penerimaan lain-lain yang sah (suparmoko, 2002:29).
Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan
kepada pemerintah daerah tanpa balas jasa langsung yang ditunjuk, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak
daerah bagian pendapatan asli daerah yang terbesar di antaranya meliputi pajak
kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan I,
dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air perumkaan (Suparmoko, 2002:
61).
Retribusi daerah adalah pungutan-pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan pemberian ijin tertentu
yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
pribadi atau badan (Suparmoko, 2002: 61).
Jenis retribusi dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sesuai dengann
obyeknnya. Obyek retribusi adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu
yang disediakan oleh pemerintah daerah. Jasa-jasa pelayanan tersebut di antaranya
dapat dikelompokkan menjadi retribusi yang dienakan pada jasa umum, retribusi
39
yang dikenakan pada jasa usaha, dan retribusi yang dikenakan pada perijinan
tertentu (Suparmoko, 2002: 87).
Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah
merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan serta
penerimaan lain-lain yang sah seperti biaya perijinan, hasil dari kekayaan daerah
dan sebagainya (Bachrul Elmi, 2002: 51).
b. Dana Perimbangan
Dana perimbanngan dalam UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33/2004 meliputi
dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil (Bratakusumah dan
Solihin, 2001: 174).
c. Pinjaman Daerah
Undang-undang nomor 33 tahun 2004 pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah
salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, yang
dicatat dan dikelola dalam APBD.
d. Jenis Penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan
40
Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 173).
e. Lain-lain penerimaan yang sah
Lain-lain penerimaan yang sah antara lain hibah, dana darurat dan penerimaan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 173).
2.9.2 Pengeluaran Daerah
Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran rutin terutama untuk gaji pegawai dan
belanja barang dan di samping pengeluaran rutin terdapat pengeluaran pembangunan
untuk sector-sektor pos pengeluaran pembangunan sektoral yang menonjol adalah
untuk sector transportasi, lingkungan hidup dan pendidikan (Suparmoko, 2002: 30).
2.9.3 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan
Umum UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, proporsional
demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah.
41
Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam
APBN (UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintah Daerah Pasal 10 tentang Dana Perimbangan: 273).
a. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dana bagi
hasil bersumber dar pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari pajak
meliputi pajak bumi dan bangunan, penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan dan pajak penghasilan. Dan dana bagi hasil dari sumber daya alam
berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan panas
bumi (UU No.33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintah Daerah pasal 11 tentang Dana Bagi Hasil :273).
Perbedaan antara UU No. 25/1999 dan UU No. 33/2004 mengenai komponen
dana perimbangan bahwa UU No. 33/2004 merinci lebih detail komponen-
komponen dana perimbangan yang bersumber dari dana bagi hasil, seperti pajak
penghasilan perorangan (PPh), iuran hak pengusaha hutan(IHPH) dan propinsi
sumber daya hutan(PSDH), dana reboisasi dan panas bumi.
42
Perimbangan keuangan berdasarkan asas desentralisasi ditentukan berdasarkan
proporsi pendelegasian kewenangan yang besar pada pemerintahan daerah
sehingga memiliki tanggung jawab yang besar pula. Sejalan dengan hal tersebut,
maka sebagai konsekuensi logis, proporsi perimbangan keuangan lebih besar
diterima oleh daerah daripada pusat.
b. Dana Alokasi Umum(DAU)
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU
suatu daerah ditentukan atas dasar besar-kecilnya celah fiscal suatu daerah, yang
merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi
daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan
memperoleh alokasi DAU relative kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi
fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU
relative lebih besar. Secara implicit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU
sebagai factor pemerataan kapasitas fiscal (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004
tentang Perimbagan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah:324).
43
c. Dana Alokasi Khusus(DAK)
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang
Perimbanngan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah: 324).
DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kegiatan yang
merupakan urusan daerah, di mana kegiatan khusus tersebut telah disesuaikan
dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh APBN. Perhitungan DAK dilakukan
oleh pemerintah dengan mempertimbangkan beberapa criteria, yaitu umum,
khusus, dan teknis. Ketiga criteria tersebut menjadi tolak ukur pemerintahan
dalam memformulasikan DAK yang akan diberikan kepada daerah. Kriteria
umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah
dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sedangkan criteria teknis
ditetapkan oleh kementrian Negara/departemen teknis. Tidak semua pembiayaan
kegiatan khusus dialokasikan dari DAK, namun daerah yang bersangkutan wajib
menyediakan dana sekurang-kurangnya 10% dari DAK yang dialokasikan dari
44
APBD, dana tersebut diistilahkan sebagai dana pendampingan. Kecuali bagi
daerah yang memiliki kemampuan fiscal yang tidak memadai, maka tidak
memiliki kewajiban untuk menyediakan dana pendamping.
Selain untuk kepentingan reboisasi, penggunaan DAK juga diatur untuk kegiatan.
Pertama, pembiayaan investasi pengadaan dan peningkatan atau perbaikan
prasarana dan sarana fisik dengan perhitungan untuk kepentingan ekonomis
jangka panjang. Kedua, bantuan pembiayaan pengoperasian, pemeliharaan
prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas(tidak lebih dari 3 tahun).
Sektor atau kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah dana administrasi,
biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan
pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis (Bratakusumah dan Solihin,
2001: 188).
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah:
1. Richard M. Bird, Robert D. Ebel, dan Cristine I. Wallich telah melakukan penelitian
tentang hubungan antara fiscal pemerintah dan keuangan daerah. Menyatakan bahwa
kebijakan fiscal yang diterapkan oleh pemerintah pusat akan berdampak pada
kegiatan ekonomi di daerah
45
2. Associate Professor Ph.D Irina-Maria Dragan (Akademi Studi Ekonomi, Bucharest,
Rumania). Dalam penelitiannya mengenai Pengalaman Eropa tentang Daerah
Desentralisasi. Menyatakan bahwa penguatan atau peningkatan pada keuangan
otonomi di daerah diimbangi dengan peningkatan pada seluruh aspek yang
mendukung dalam Otonomi Daerah tersebut, seperti dijelaskan bahwa adanya
pendapatan sendiri dari masyarakat local tersebut, penanaman investasi yang baik,
pengelolaan sumber daya yang daerah miliki.
3. Sumarsono, Hadi & Utomo, Sugeng Hadi(2009) telah melakukan penelitian tentang
Deliberate Inflation pada Kebijkan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya
bagi Pertumbuhan Daerah. Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif siginifikan antara variabel instabilitas makroekonomi dan
pertumbuhan daerah Provinsi Jawa Timur.
4. Hehui Jin Departemen Ekonomi Stanford University, Yingyi Qian Departemen
Ekonomi University of Maryland dan Barry R. Weingast Lembaga Hoover dan
Departemen Ilmu Politik Stanford University, dalam penelitiannya mengenai Daerah
Desentralisasi dan Insentif Fiskal. Hasil penelitian mendapatkan bahwa desentralisasi
dan insentif fiscal umumnya kondusif bagi pengembangan ekonomi local.
46
5. Waluyo, Joko (2007) telah melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi
terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah di
Indonesia.
2.11 Kerangka Berfikir
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang
berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono, 1985:19) dan pertumbuhan ekonomi adalah
sebagian dari perkembangan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya
pertumbuhan domestic regional bruto per kapita(PDRB per kapita)(Zaris, 1987: 82).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi
umum, dan dana alokasi khusus terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang
Selatan. Dan dilihat juga nilai koefisien determinasinya guna mengetahui seberapa besar
kemampuan variabel independen dalam menerangkan variabel dependen.
Berdasarkan kerangka teori yang telah menjelaskan bahwa pengaruh desentralisasi
fiscal memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan.
47
Maka dapat dibuat kerangka berfikir atau konsep dasar dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
Gambar 2.11 Bagan Kerangka Pemikiran
Dari bagan tersebut dapat dibuat sebuah model, yaitu sebagai berikut:
PDRB=ƒ(PAD, DAU,DAK)
PDRBi=β0+β1.PADi+β2.DAUi+β3.DAKi+ε
ẏ=β0+β1.x1+β2.x1+β3.x3+ε
ket. ẏ=PDRB
β0=consumption autonomus
β1=koefisien PAD
β2=koefisien DAU
β3=koefisien DAK
ε=variabel lain yang tidak disertakan
Pendapatan Asli Daerah X1 Dana Alokasi Umum
X2
Dana Alokasi Khusus X3
PDRB Y
48
2.12 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya dengan
melihat hasil analisis sebuah penelitian. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD, DAU dan DAK terhadap
PDRB
Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD, DAU dan DAK
terhadap PDRB
49
Ucapan Terima Kasih
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan rasa syukur kepada ALLAH swt atas nikmat
dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas tepat pada
waktunya.
Tak lupa ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada keluarga, terutama orang tua
yang sudah memberikan dukungan baik moril maupun materiil selama penyusunan tugas ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Tony S. Chendrawan, ST.,
SE., M.Si atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Maaf apabila selama
di kelas penulis pernah membuat bapak marah atau ada kata-kata yang kurang berkenan
dengan Bapak.
PemKot Tangerang Selatan atas kesediaannya untuk memberikan dan membagi informasi
mengenai data-data yang dibutuhkan selama penyusunan tugas ini
Nona NY, si anak kedokteran yang selalu menjadi motivasi dalam hidup penulis selama
ini.
Kak Dwi S, alumnus IESP angkatan 2006 yang sudah memberi ijin atas penelitian yang
telah dilakukan olehnya sehingga dapat menjadi sumber referensi utama penulis.
Kawan-kawan di IESP B angkatan 2009 yang sudah banyak memberikan kontribusinya
dan sering direpotkan penulis.
50
Dan pihak-pihak lain yang sudah memberikan kontribusinya kepada penulis tanpa dapat
disebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis hanya dapat berdoa kepada ALLAH swt semoga bantuan dan partisipasi
dari semua pihak tersebut dibalas oleh-Nya pahala yang berlipatganda. Semoga tulisan ini
dapat memberikan manfaat untuk penulis khususnya dan bagi masyarakat Tangerang Selatan
pada umumnya.
51
Daftar Pustaka
Adi, Priyo Hadi. 2005. “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
(Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali)”. Universitas Kristen Satya Wacana
Anam, Syamsul. 2008. “Desentralisasi Fiskal dan Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Di
Indonesia”. Fakultas Ekonomi Unhalu
Bahar, Ujang. 2009. “Otonomi Daerah Terhadap Pinjaman Luar Negeri: Antara Teori dan
Praktik”. Jakarta: PT Indeks
Bird, Richard M. 2000a. Intergovernmental Relations: Universal Principles, Local
Applications. International Studies Program Working Paper.
Bird, Richard M. 2000b. Subnational Revenues: realities and prospect. Paper yang
disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management
yang diselenggarakan oleh The World Bank Institute.
Boediono.1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Universitas Gajah Mada
Bratakusumah dan Solihin (2002), Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Chalid, Pheni. 2005. “Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi: Tantangan dan
Hambatan”. Kemitraan, Jakarta
Elmi, Bachrul (2002). Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI-Pres,
Yogyakarta
52
Hirawan, Susiyati B. “Evaluasi Lima Tahun Desentralisasi Fiskal di Indonesia.” Vol VI, No.
02. Januari, 2006
Murni, Asfia. 2006. “Ekonomika Makro”. Bandung: PT Rafika Aditama
Rohim. 2007. “Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten
atau Kota di Provinsi Banten”. Universitas Indonesia
Jhingan, M.L. 2004. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Kuncoro, Mudrajad. 2004. “Otonomi dan Pembangunan Daerah”. Jakarta: Erlangga
Lutfi, Achmad. 2001. “Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No. 34
Th. 2000 Oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Studi di Kota
Bogor.”
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi.
Penerbit Ghalia Indonesia
Todaro, Michael. Economic Development, Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang dan Peraturan
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
53
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 33 tahun 2004 pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
Internet
_____, Situs resmi Pemerintah Kota Tangerang Selatan, diakses pada 9 Mei 2011 dari
http://tangerangselatankota.go.id/
_____, Situs resmi Badan Pusat Statistik, diakses pada 10 Mei 2011 dari http://bps.go.id