Download - Proposal Nunu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bangsa Indonesia yang terbentang dari ujung Barat dan ujung Timur
kepulauan Nusantara adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari beribu-ribu pulau,
suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya. Kemajemukan tersebut merupakan satu
kesatuan sosial sebagai bangsa yang berbudaya. Hal ini menunjukkan, bahwa bahwa
masyarakat Indonesia memiliki keragaman, karakteristik, dan perbedaan dalam adat-
istiadat, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan kebiasaan budaya masing-masing.
Bahkan bersamaan dengan itu, tiap-tiap budaya tersebut mempunyai kompleksitas
dan keunikannya. Kompleksitas dan keunikan dimaksud baik dalam sejarah,
latarbelakang, orientasi, maupun tujuannya, dalam peradaban masyarakatnya.
Tiap-tiap budaya kelompok masyarakat tersebut memiliki simbol-simbol,
tanda-tanda, ritual, produk (artefak) dan makna yang membentuk sistem
kebudayaannya masing-masing. Keseluruhan budaya tersebut memiliki pola, bentuk,
praktik secara berbeda-beda sebagai panduan dalam berinteraksi, bertindak dan
berperilaku dalam kehidupan masyarakatnya dengan bantuan akal pikirannya,
manusia dapat mengembangkan, melestarikan, mewariskan dan mengembangkan
kebudayaan dalam berinteraksi dengan sesamanya secara turun-temurun.
(Koentjoroningrat,1990:23-24)
1
Kebudayaan merupakan persoalan the how and the what (apa dan bagaimana)
dari interaksi sosial dalam menghadapinya dan menyelesaikan masalah bersama,
yang kemudian melekat kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan
secara universal berfungsi sebagai acuan untuk menjalankan dan mengorganisir
berlangsungnya kegiatan maupun proses sosial. Fungsi sosialisasi dalam sistem
budaya yang sama memegang peranan penting sebagai mekanisme sosial dalam
memajukan suatu kebudayaan dan masyarakat. Setiap interaksi yang terjalin,
merupakan produk budaya, bentuk ekspresi, apresiasi dan kreatifitas manusia dan
peradabannya dalam kehidupan sosial bersama. Manusia atau masyarakat melalui
budaya turut mengembangkan kemampuannya, potensinya, harapan-harapan,
tujuannya, dan cita-cita dalam kehidupannya.
Perwujudan atau ekspresi budaya tersebut berbeda-beda bagi setiap kelompok
masyarakat. Namun, diantara bentuk ekspresi budaya yang ada, pengembangan
kebudayaan masyarakat secara umum dilakukan melalui jenis ritual budaya, simbol-
simbol, dan kesenian daerah. Dalam kebudayaan itu, terkandung nilai-nilai filosofis,
mitos, kepercayaan, dan cita-cita hidup, melalui penciptaaan simbol-simbol, prosedur
aktivitas, dan nilai-nilai tertentu, kemudian membentuk makna bagi simbol lainnya.
Proses simbolis ini menembus kehidupan manusia dalam tingkatan yang paling
primitif sampai dengan tingkat paling beradab, karenanya manusia dikatakan hidup
dalam suatu lingkungan simbol-simbol yang bermakna dan bernilai.
Diantara suku bangsa atau kelompok masyarakat yang ada di Indonesia,
adalah masyarakat suku Bajo di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Sulawesi Tenggara.
2
Secara umum keberadaan masyarakat Orang/Suku Bajo merupakan fakta sosial yang
tidak bisa dihilangkan. Meskipun jumlah komunitas suku Bajo di Kelurahan Lapulu
sangat minim, namun keberadaan mereka sangat kontras dengan masyarakat Lapulu
umumnya. Keberadaan suku Bajo di Kelurahan Lapulu menghuni wilayah pesisir
timur dan barat. Kehidupan sosial mereka terkosentrasi pada hubungan dan interaksi
sosial-budaya diantara mereka sendiri, sehingga praktis mereka kurang beradaptasi
dengan dunia diluar komunitas mereka. Hubungan dan interaksi diantara mereka
berlangsung solid dan harmonis.
Masyarakat Suku Bajo juga memiliki tradisi-tradisi, kebiasaan dan nilai-nilai
budaya yang telah hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya. Salah
satu bentuk budaya dimaksud adalah ritual prosesi melaut Suku Bajo dalam mencari
hasil-hasil laut. Sebagai masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai, suku Bajo
menghabiskan waktunya dengan beraktivitas di laut, sehingga tak jarang mereka
dijuluki suku pengembara laut. Aktivitas tersebut berupa mencari, menangkap,
membibit hingga memanen ikan dan hasil laut lainya. Berbagai aktivitas melaut
tersebut, secara umum merupakan jenis mata pencaharian utama suku Bajo.
Proses ritual tersebut kemudian menjadi bagian aktifitas sehari-hari dalam
kehidupan diantara mereka. Prosesi ritual dimaksud merupakan produk warisan
budaya leluhur suku Bajo yang dipraktikan secara turun-temurun dari generasi tua
sampai generasi muda. Mulai dari persiapan sebelum melaut, pada saat melaut hingga
setelah melaut prosesi ritual tersebut dapat dijumpai dalam aktivitas melaut mereka.
Tahapan-tahapan ritual itu, menurut pandangan budaya suku Bajo dipercaya memiliki
3
makna magis bagi kelangsungan, pelaksanaan dan keberhasilan usaha-usaha
penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.
Berdasarkan penelusuran dan pengamatan sementara, penulis menemukan
bahwa interaksi simbolik digunakan dalam proses ritual dalam aktivitas melaut suku
Bajo selain memiliki daya magis, juga mempunyai nilai-nilai sejarah, kebersamaan,
kesetaraan, dan fungsi keseimbangan lingkungan. Menurut pandangan suku Bajo,
ritual-ritual yang dilakukan dilandasi oleh kearifan lokal budaya dan ekosistem biota
laut. Melalui ritual-ritual tersebut, suku Bajo berusaha membangun, mempertahankan
dan mengembangkan solidaritas, kekompakan diantara mereka sebagai kelompok
komunitas suku Bajo yang kuat, ulet dan arif dalam menjaga kelangsungan hidup
bersama dengan lingkungan lautnya. Sebagai masyarakat yang bergantung dan
dibesarkan oleh lingkungan laut, suku Bajo memandang laut sebagai tanah leluhur
yang senantiasa harus dijaga dan dilestarikan ekosistem didalamnya. Bagi suku Bajo
fungsi ritual-ritual tersebut sebagai bentuk ekspresi, pengakuan, penghargaan diri dan
lingkungan alamnya.
Berdasarkan pemikiran dan uraian yang telah dijelaskan di atas, beberapa hal
yang melandasi alasan penelitian ini dilakukan, secara khusus dapat dikemukakan
sebagai berikut : (1) Suku Bajo merupakan kelompok suku yang ada dan tergolong
monoritas yang jarang melakukan interaksi sosial, (2) Suku Bajo memiliki budaya
unik dan berbeda dengan masyarakat lainnya yang dikembangkan sebagai kebiasaan
hidup dalam beraktifitas di laut, (3) Interaksi sosial suku Bajo selalu berorientasi
dengan lingkungan laut, (4) Dalam interaksi simbolik suku Bajo, segala symbol,
4
bahasa, seni dan interaksi sosial menyatu membentuk maknanya sebagai suku
pengembara laut, (5) dibalik makna-makna tersebut tersimpan filosofi hidup dan
keseimbangan hidup antara manusia dengan alam.
Berangkat dari uraian alasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian secara mendalam tentang bentuk, fungsi dan makna-makna dalam prosesi
interaksi suku Bajo. Proses penelitian ini akan berusaha menggali, menelusuri,
menemukan, mengolah dan menganalisis seluruh data aktivitas melaut suku Bajo di
lokasi penelitian. Penelitian ini diharapkan prosesi interaksi simboli suku Bajo dapat
dimaknai dan diinterpretasikan secara kultural menurut pandangan suku Bajo sendiri,
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka,
maka penulis mengajukan usulan penelitian ini dengan judul “ Interaksi Simbolik
Komunikasi Suku Bajo di Masyarakat Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota
Kendari.
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu pada pertimbangan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana simbol komunikasi orang Bajo dan pada masyarakat Lapulu?
2. Bagaimana perilaku komunikasi non verbal dan verbal?
3. Bagaimana proses komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan
Lapulu?
5
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisis dan mendeskripsikan Interaksi simbolik
komunikasi Suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada maksud tersebut di atas, maka tujuan dalam penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui simbol komunikasi orang Bajo dan pada masyarakat
Lapulu?
2. Untuk mengetahui perilaku komunikasi non verbal dan verbal?
3. Untuk mengetahui proses komunikasi suku Bajo pada masyarakat di
Kelurahan Lapulu?
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan ilmu serta pada kepentingan praktis :
1. Aspek teori : mengembangkan kerangka teori, prosedur metodologis, dan
penjelasan teoritis yang tidak hanya mengakomodasi data, tapi juga dapat
memberi gambaran tentang proses komunikasi dan makna simbol dalam aktivitas
suku Bajo sehingga dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu sosiologi dan antropologi dan menambah kajian
6
mengenai makna simbolik terhadap proses interaksi suku Bajo dalam
aktifitasnya.
2. Aspek praktis : penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, baik
pemerintah, praktisi maupun masyarakat umum dalam melihat berbagai persoalan
yang berkaitan dengan kehidupan suku Bajo khususnya proses komunikasi pada
masyarakat di Kelurahan Lapulu
1.5. Kerangka Pemikiran
Sebagai sebuah penelitian lintas disiplin yang menganalisis interaksi sosial
budaya seseorang, kelompok, komunitas dalam masyarakat, maka penelitian ini tidak
luput dari beberapa intervensi disiplin ilmu sosial yang dianggap relevan dengan
permasalahan penelitian. Beberapa intervensi yang dimaksud penulis adalah
penggunaan teori-teori dalam khasanah ilmu sosial. Penggunaan teori-teori tersebut
dimaksudkan untuk membantu menelaah dan menganalisis secara ilmiah
permasalahan pokok yang akan diteliti. Penelitian ini memfokuskan diri pada Makna
simbolik dalam Prosesi ritual yang melibatkan kontak-kontak budaya interelasi atau
hubungan peribadi seseorang, kelompok atau komunitas dalam masyarakat memiliki
kemampuan membangun hubungan, memberi tanggapan, dan memaknai proses
interaksi sosial-budaya baik secara fisik maupun nonfisik dilingkungannya. Bahkan
dengan proses simbolisasi (budaya) manusia akan mampu beradaptasi dan
mengembangkan dunia sosialnya secara lebih luas, dari waktu ke waktu. Melalui
penyesuaian diri dengan dunia simbolik ini manusia dimungkinkan melakukan dan
7
mengembangkan aktivitas ritual budaya, simbolisasi dan konstruksi makna yang
mereka pergunakan, pola berpikir dan tindakan kompleks berdasarkan makna yang
mereka pakai bersama. Hal ini menyatakan bahwa dunia simbolik menunjukkan
bagaimana masyarakat melihat, merasakan dan berpikir tentang dunia mereka dan
bertindak berdasarkan nilai budaya yang dianut bersama. Sebuah proses ritual yang
melibatkan berbagai simbol verbal / nonverbal, setting dan tindakan yang sarat
makna bagi individu atau kelompok dalam konteks budaya.
Demikian pula dengan prosesi ritual dalam aktivitas melaut suku Bajo di
Kelurahan Lapulu. Bahwa prosesi ritual Suku Bajo di Kelurahan Lapulu menjadi
sebuah kenyataan sosial dan menjadi fenomena yang cenderung bersifat kompleks,
dinamis dan cair yang berubah-ubah setiap saat. Studi ini berusaha memahami
perilaku simbolik prosesi ritual tersebut dari sudut pandang subjek, sehingga dapat
dianggap sebagai studi empirik dalam menelaah makna kultural dari analisisnya
bersifat etnografi tidak untuk dikembangkan. Jadi kajiannya memusatkan perhatian
pada mekanisme tindakan atau perilaku dalam prosesi ritual menurut pandangan
mereka sendiri.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka untuk memahami hal itu diperlukan
sebuah kerangka pendekatan teori yang mendalam. Kerangka teori dimaksud terdiri
dari teori tindakan sosial dari Max Weber sebagai payung teori, teori interaksi
simbolik dari George H. Mead Kedua teori tersebut merupakan satu kesatuan sebagai
sebuah kerangka konseptual yang saling melengkapi, dalam menelaah masalah.
Berhubung kedua teori tersebut termasuk dalam tradisi fenomenologis sehingga
8
studinya menggunakan metode atau pendekatan etnografi yaitu kegiatan peneliti
untuk memahami cara-cara orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena
teramati kehidupan sehari-hari masyarakat bajo sehingga etnografi intinya bertujuan
menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yakni semua aspek budaya baik
bersifat material maupun yang bersifat abstrak pada masyarakat yang diteliti.
Menurut Weber (Soeprapto, 2002 : 46), teori tindakan sosial menempatkan
konsep tindakan individual dalam melihat masyarakat. Tindakan sosial diasumsikan
sebagai keseluruhan perilaku manusia ketika memberikan suatu makna subyektif
terhadap perilaku tersebut. Teori ini dipercaya mampu mengurai kompleksitas
hubungan-hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat, dan dapat dimengerti
segi-segi subyektif dari kegiatan-kegiatan antarpribadi dari para anggotanya. Bahkan
kata Weber, dalam menafsirkan masyarakat mengikuti pola-pola tindakan para
anggotanya. Tindakan sosial, dengan demikian, merupakan sesuatu yang lebih dari
sekedar kesamaan diantara tingkah laku banyak orang (tingkah laku massa),
walaupun tak perlu mengandung kesadaran timbal balik menuju orang lain tanpa
yang lainnya sadar akan fakta ini, teori tindakan sosial menyebutkan bahwa tindakan
akan bermakna sosial, sejauh disengaja, melibatkan penafsiran dan berpikir,
berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan orang lain, baik bertindak maupun
berdiam diri. Dengan demikian dalam masyarakat apapun bentuknya, tindakan sosial
merupakan produk dari hasil interaksi sosial yang secara aktif saling menafsirkan.
Karenanya, menurut teori ini masyarakat terbentuk dari kelompok-kelompok atau
9
unit-unit sosial yang didalamnya terdiri dari orang-orang yang secara aktif, kreatif
dan reflektif berpikir dan bertindak.
Jika mengikuti perspektif teori ini, eksistensi suku Bajo dalam proses ritual
pada aktifitas melaut termasuk dalam batasan teori ini. Bahwa dalam pembahasan ini
untuk meneliti prosesi ritual suku Bajo pada saat sebelum melaut , sedang melaut, dan
setelah aktivitas melaut. Proses penelitian ini akan berusaha menggali, menelusuri,
menemukan, mengolah dan menganalisis seluruh data aktivitas melaut suku Bajo di
lokasi penelitian. Dengan penelitian ini diharapkan prosesi ritual-ritual suku Bajo
dalam beraktivitas dilaut dapat dimaknai dan diinterpretasikan secara kultural
menurut pandangan suku Bajo sendiri. Dengan demikian, segala yang berhubungan
dengan ritual, symbol, dan interaksi sosial-budaya suku Bajo patuh dan tunduk
dengan sistim dan aturan dalam masyarakat tersebut. Dengan menggunakan teori
Weber, sesungguhnya dapat dianalisis budaya, hubungan atau Makna Simbolik
Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas Melaut di Kelurahan Lapulu,
melalui tindakan nyata dan tersembunyi diantara mereka.
Selanjutnya, untuk memahami lebih dalam tentang makna dari tindakan dan
realitas sosial yang dialami/dilakukan suku Bajo tersebut dalam aktivitas ritual,
penggunaan perspektif fenomenologi dianggap dapat menjelaskan hal itu.
Maksudnya, untuk mendapatkan hakekat kebenaran, atau makna dibalik tindakan
seseorang, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak. Menurut
Litlejohn (1996:179) tradisi fenomenologis membiarkan segala sesuatu menjadi nyata
sebagaimana aslinya, tanpa membuat prediksi tertentu. Dengan kata lain, bagaimana
10
kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh
bagaimana kita memahami realitas. Dengan demikian perspektif ini cenderung
melihat pelaku sosial budaya konsep dalam aktifitas ritual suku Bajo.
Menggunakan perspektif fenomenologis, perilaku aktual manusia tidak dapat
diramalkan, sehingga haruslah dikaji berdasarkan perspektif subyektif mereka sendiri,
untuk memahami motif, alasan dan tujuan perilaku mereka. Yang pasti setiap perilaku
atau tindakan manusia tersebut melibatkan adanya kesadaran dalam dirinya (pribadi)
dan diluar dirinya sebagai mahluk sosial. Dengan demikian, fenomenologi menurut
Cooley (1989:115) berusaha memahami pemahaman informan terhadap fenomena
yang muncul dalam kesadarannya, serta fenomena yang dialami oleh informan dan
dianggap sebagai suatu nilai yang berharga. Pendekatan fenomenologi menurutnya
tidak pernah berusaha mencari pendapat dari informan apakah hal itu benar atau
salah, akan tetapi fenomenologi berusaha mereduksi kesadaran informan dalam
memahami fenomena itu.
Demikian juga memahami kesadaran atau tindakan dalam proses ritual suku
Bajo. Bagaimana mereka berpikir, bersikap dan bertindak, pada akhirnya akan
tergantung pada kebutuhan, kepentingan dan tujuan mereka berinteraksi. Artinya,
pendekatan fenomenologi tidak hanya melihat fenomenanya atau gejala luarnya saja,
melainkan menggali makna yang tersirat sebagaimana yang disebutkan Cambell
sebagai pola subyektivisme. Hal ini hampir sama dengan pandangan Schutz (Sukidin,
2002: 31-40), individu mengkonstruksi makna melalui proses pergaulan. Hubungan-
11
hubungan makna diorganisir secara bersama juga melalui proses tipikasi (stock of
knowledge).
Pentingnya analisis perilaku atau tindakan aktual seseorang menurut
perspektif orang itu sendiri pada dasarnya juga sejalan dengan apa yang dikemukakan
Weber : ”Kegagalan teori sosial memperhitungkan arti-arti subyektif individu serta
orientasinya, dapat membuatnya memasukkan orientasi nilainya sendiri dalam
memahami perilaku orang lain”, (Johnson 1986:43). Bahkan menurut Douglas untuk
mencapai hal itu :
Realitas terpenting adalah bagaimana manusia melukiskan atau menghayati
dunianya, oleh sebab itu pula maka kaum fenomenologis dalam mendekati persoalan
dan mencari jawaban menuntut jenis riset dan metodologi yang berbeda. Kaum
fenomenologi berusaha mencari pemahaman melalui metode-metode kualitatif,
seperti observasi, partisipan, open-ended interview dan dokumen perorangan. Metode
ini mencari data deskriptif yang memungkinkan para fenomenologis memahami
dunia sebagimana sang subyek memahaminya, (Douglas, 1970:17).
Karenanya, fenomenologi sesungguhnya adalah sebuah pendekatan yang
diharapkan mampu mengungkapkan sedetail mungkin obyek yang dikaji dan aspek-
aspek lain yang tidak dapat dihitung secara matematis. Sebagaimana dalam studi ini
penting untuk menyerap dan mengungkapkan kembali perasaan dan pemikiran di
balik aktifitas ritual suku Bajo.
Didasari keinginan dan tujuan mengungkap perilaku atau tindakan dalam
proses konstruksi Makna Simbolik Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas
12
Melaut orang bajo di Kelurahan Lapulu, maka penggunaa teori interaksi simbolik
dari Mead dianggap relevan. Teori ini dipandang sebagai salah satu cara dalam
memahami perilaku simbolik manusia dalam proses kehidupan sosial budaya, yang
cenderung berubah-ubah dan unik. Bahwa perilaku simbolik manusia melibatkan
simbol verbal/nonverbal, motif, alasan ,tujuan dan makna tertentu, baik disengaja
atau tidak sehingga memerlukan suatu pendekatan konseptual. Akar pemikiran
interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai
sesuatu yang statis dogmatis. Artinya masyarakat dilihat sebagai sebuah keseluruhan
interaksi simbolik bagi individu-individu didalamnya, tentang hubungannya,
perilakunya dan maknanya.
Becker (Mulyana, 2001:230), menekankan teori interaksi simbolik melihat
perilaku manusia sebagai sesuatu proses yang melibatkan individu-individu untuk
membentuk perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang-orang
yang berinteraksi dengan mereka. Akibatnya interaksi simbolik mengedepankan
konsep diri dengan segala identitasnya yang mencerminkan simbol-simbol dalam
kehidupan sosial maupun kehidupan sendiri. Dengan kata lain, diri tidak terisolasi
melainkan bersifat sosial, diri dipandang sebagai diri sendiri sekaligus bagian dari
masyarakat sekitar.
Suku Bajo merupakan kelompok suku yang ada dan tergolong monoritas yang
jarang melakukan kontak sosial dengan masyarakat suku Bajo, Suku Bajo memiliki
ritual-ritual budaya unik sebagai kebiasaan hidup dalam beraktifitas di laut, Ritual-
ritual Suku Bajo selalu berorientasi dengan lingkungan laut, Dalam ritual-ritual suku
13
Bajo, segala symbol, doa ritual, alat,bahasa,seni dan interaksi sosial menyatu
membentuk maknanya sebagai suku pengembara laut dan dibalik makna-makna dan
aturan-aturan tersebut tersimpan filosofi hidup dan keseimbangan hidup antara
manusia dengan alam. Menurut pandangan Interaksi simbolik, seperti ditegaskan
Herbert Blumer (Mulyana, 2001:69) bahwa proses sosial dalam kehidupan
kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan
yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.
Pandangan interaksi simbolik, manusia adalah pelaku, pelaksana, pencipta dan
pengarah bagi dirinya sendiri, karena memiliki jiwa, semangat, kehendak, dan
tindakan secara pribadi dan sosial. Selain mempertimbangkan bagi dirinya sendiri,
tindakan manusia juga mempertimbangkan keadaan lingkungan di sekelilingnya.
Dengan demikian, hal ini membawa konsekwensi bahwa segala pikiran, perasaan dan
tindakan manusia dapat berubah setiap saat ketika interaksi. Melalui interaksi yang
dipandu pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, manusia aktif mengelolah dan
menafsirkan simbol-simbol verbal dan nonverbal dalam berinteraksi dengan dunia
sosialnya. proses interaksi sosial dalam berbagai peristiwa senantiasa melibatkan
banyak orang, simbol, situasi bersama diantara mereka, sehingga setiap tindakan
memiliki makna baik terhadap dirinya maupun bagi orang lain. Tegasnya, jika proses
yang berlangsung menurut kehendak, motivasi, tujuan dan kepentingan bersama,
maka keseluruhan tindakannya merupakan manifestasi dari konsep kehidupan sosial
budaya .
14
Singkatnya, melalui simbol verbal/nonverbal signifikan manusia mampu
melakukan proses mental, berpikir, bersikap dan bertindak yang berpengaruh pada
proses interaksi dalam kehidupan sosial. Bahwa aktifitas ritual melibatkan simbol-
simbol yang mempunyai makna dan berlangsung secara face to face setting (situasi)
atau ruang sosial. Menurut Giddens (Soeprapto, 2002:70) melalui proses verbal dan
nonverbal signifikan memungkinkan manusia menjadi mahluk yang sadar diri, sadar
akan individualitas dan dunia sosialnya, sehingga dituntut untuk terus menerus
memikirkan obyek secara simbolik yang batasi budaya individu yang cenderung
kolektif.
Mengikuti alur berpikir di atas, secara logika proses interaksi sebagaimana
premis fenomenologi dan interaksi simbolik, bahwa setiap perilaku manusia
berpotensi komunikasi. Littlejohn (1996:159) menyebut interaksi simbolik
mengandung premis dasar tentang komunikasi dan masyarakat (core of common
premises about communication and society). Watson ( dalam Sukidin, 2002:112)
menyebutkan proses komunikasi menghubungkan adaptasi individu terhadap simbol-
simbol signifikan dan dunia luar. Pada konteks ini, kita sebenarnya hanya dapat
berkomunikasi bila kita mempunyai simbol yang signifikan seperti bahasa dan gerak
isyarat bermakna. Begitu pula dengan makna simbolik dalam proses ritual suku Bajo
dalam aktivitas sebelum melaut. Sedang melaut dan setelah melaut di Kelurahan
Lapulu Kecamatan Abeli. Perspektif interaksi simbolik digambarkan sebagai
pembentukan makna, yakni pesan dalam proses ritual dalam konteks budaya. Dalam
proses ritual konteks budaya, manusia melakukan keseragaman makna dalam
15
berinteraksi apa yang ada terhadap pikiran, sikap dan tindakan dalam diri dan
lingkungannya. Artinya manusia dalam proses ritual budaya bukan sekedar menerima
lambang (simbol) yang dilihat didengar atau dirabanya secara pasif, melainkan secara
aktif diinterpretasi secara terus menerus. Upaya interpretasi ritual tersebut kemudian
menjadi bagian dari interaksi sosial-budaya dalam rangka menjalin hubungan
komunikasi yang intesif dan efektif dengan sesama manusia dan alam lingkungannya.
Karenanya paham teori interaksi simbolik mengakui tindakan dalam dan
tindakan luar. Tindakan luar tidak secara otomatis menunjukan kelanjutan tindakan
dalam, suatu proses pengelolaan semata. Demikian pula dalam Makna Simbolik
Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas Melaut di Kelurahan Lapulu
tindakan luar yang nampak dalam aktivitas mereka belum tentu merupakan wujud
dari tindakan dari dalam diri mereka. Sehingga penggunaan teori ini dianggap relevan
dalam menjelaskan fenomena ini.
Berdasarkan kerangka teoretis di atas, penelitian ini menekankan pada
Konstruksi Makna Simbolik Terhadap Interaksi Simbolik Komunikasi Suku Bajo di
Masyarakat Kelurahan Lapulu Kecamatan Abli Kota Kendari.
Alur berpikir yang disusun dan diuraikan penulis di atas, dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan penelitian, yang secara ringkas dapat dilihat melalui bagan
kerangka pikir, sebagai berikut :
16
Skema 1. Kerangka Pikir
17
INTERAKSI SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUKU BAJO
PROSES KOMUNIKASI (Mulyana, 2001)
Simbol KomunikasiAktor
- Orang Bajo- Masyarakat
INTERAKSI BUDAYAMASYARAKAT BAJO
Makna KomunikasiKonteks
- Lingkungan Orang Bajo- Lingkungan Masyarakat
Lapulu
Perilaku KomunikasiPeran
- Komunikasi- Partisipasi
Suku Bajo Masyarakat Lapulu
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata
latin Communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare
yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah
istilah yang paling sering disebut sebagai asal –usul kata komunikasi, yang
merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan
bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama.
Bernard berelson dan gary A. Steiner mengemukakan komunikasi : transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya. Dengan menggunakan
simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses
transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi (Mulyana : 2001)
Carl I Hovland (Mulyana : 2001) mengemukakan bahwa komunikasi adalah
proses yang memungkinkan seseorang (Komunikator) menyampaikan rangsangan
(biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain.
Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima
dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima.
Gary Cronkhite (1976 50-54) merumuskan empat asumsi pokok komunikasi
yang dapat membantu memahami. Pertama, Komunikasi adalah suatu proses
(communication is a process). Kedua, komunikasi adalah pertukaran pesan
18
(communication is transaction). Ketiga, komunikasi adalah interaksi yang bersifat
multidimensi (communication is multi-dimensional). Keempat, komunikasi adalah
interaksi yang mempunyai tujuan atau maksud ganda (communication is
multipurposeful).
William I Gorden, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, Stewart L Tubbs dan
Sylvia Moss,secara ringkas memandang komunikasi sebagai kegiatan yang selalu
ditandai dengan tindakan, pertukaran, perubahan, dan perpindahan terhadap
pemaknaan isi pesan dengan implikasi terbangunnya hubungan-hubungan. (Sumadi
Dilla : 2007)
Proses penyampaian informasi/pesan tersebut pada umumnya berlangsung
melalui suatu media komunikasi. Unsur-unsur pokok dalam proses berkomunikasi,
yaitu sebagai berikut :
1. Source, yaitu individu atau karyawan sebagai sumber atau untuk menyampaikan
pesan-pesannya
2. Message, suatu gagasan, dan ide berupa pesan, informasi, pengetahuan, ajakan,
bujukan atau ungkapan yang akan disampaikan komunikator kepada perorangan
atau kelompok tertentu (komunikan).
3. Channel, berupa media, sarana atau saluran yang dipergunakan oleh komunikator
dalam mekanisme penyampaian pesan.
4. Effect, suatu dampak yang terjadi dalam proses penyampaian pesan-pesan
tersebut. Dapat berakibat positif maupun negatif tergantung dari tanggapan,
persepsi, dan opini dari hasil komunikasi tersebut.
19
Membahas mengenai komunikasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Komunikasi harus mudah dimengerti
2. Komunikasi harus lengkap
3. Komunikasi harus tepat waktu dan sasaran
4. Komunikasi butuh saling kepercayaan
5. Perlu memperhatikan situasi dan kondisi
6. Perlu menghindari kata-kata yang kurang enak
Selain yang tersebut diatas, kita juga harus memperhatikan :
1. Pemilihan media komunikasi
2. Pemanfaatan alat-alat komunikasi mutakhir
3. Pemakaian kode-kode komunikasi
4. Macam-macam cara pelaksanaan komunikasi
Pengertian komunikasi menurut Gerbner (Mulyana : 2001)), ‘Comunication be
defined as social interaction through messages’. Definisi komunikasi ini lebih
sederhana, bahwa komunikasi yang didefinisikan itu sebagai interaksi sosial melalui
pesan-pesan
2.2. Pesan Simbol
Membicarakan pesan (massage) dalam proses komunikasi, kita tidak bisa
melepaskan diri dari apa yang disebut simbol dan kode, karena pesan yang dikirim
komunikator kepada penerima terdiri atas rangkaian simbol dan kode. (Cangara,
1998)
20
Pesan adalah suatu komponen dalam proses komunikasi berupa panduan dari
pikiran dan perasaan seseorang yang dengan menggunakan lambang bahasa atau
lambang-lambang lainnya yang disampaikan kepada orang lain (Effendi,1989)
Buleleng (2002), mendefinisikan pesan sebagai simbol-simbol yang diperhatikan
orang secara sadar yang untuknya mereka menciptakan makna-makna. Pesan berupa
kata-kata yang secara sengaja diucapkan atau ditulis, yang saling dipertukarkan
diantara orang-orang atau pesan-pesan yang kita kirimkan kepada diri sendiri tentang
eksperesi wajah yang tidak disengaja dan tampilan perasaan lainya dari orang lain.
Tiap pesan yang dikirimkan dalam suatu organisasi mempunyai alasan tertentu
mengapa dikirimkan dan diterima oleh orang tertentu. Para ahli telah
mengidentifikasikan persepsi mereka mengenai fungsi utama dari pesan dalam
organisasi (Goldhaber, 1986, Arni, 2007).
Menurut Khan dan Katz dalam Arni (2007) ada empat fungsi utama dari
pesan dalam organisasi yaitu yang berkenaan dengan produksi, pemeliharaan,
penerimaan dan pengelola organisasi. Model penyusunan pesan yang bersifat
informatif lebih banyak ditujukan pada perluasan wawasan dan kesadaran khalayak.
Prosesnya lebih banyak bersifat difusi atau penyebaran, sederhana, jelas dan tidak
banyak menggunakan istilah-istilah yang kurang popular di khalayak.
Ada empat macam penyusunan pesan yang bersifat informative, yakni :
a. space order Ialah penyusunan pesan yang melihat kondisi tempat atau ruang,
seperti internasional, nasional, dan daerah.
21
b. Time Order Ialah penyusunan pesan berdasarkan waktu atau periode yang disusun
secara kronologis.
c. Deductive Order Ialah penyusunan pesan mulai dari hal-hal yang bersifat umum
kepada yang khusus. Misalnya penyusunan garis-garis besar haluan Negara dan
Replika.
d. Iductive Order Ialah penyusunan pesan yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
khusus kepada hal-hal yang bersifat umum.
Redding dalam arni (2007) mengemukakan bahwa ada tiga alasan pengiriman
pesan yaitu untuk pelaksanaan tugas-tugas dalam organisasi, untuk pemeliharaan dan
kemanusiaan. Lain halnya dengan persepsi Thayler (Arni,2007) yang mengemukakan
bahwa fungsi pesan dalam organisasi adalah untuk memberi informasi, membujuk,
memerintah, memberi instruksi dan mengintegrasikan organisasi.
Menurut Arni (2007) ada tiga hal yang perlu diingat dalam komunikasi
nonverbal yaitu :
a) Karena interpretasi adalah karakteristik yang kritis dalam komunikasi nonverbal,
maka sulit menyamakan tindakan stimulus nonverbal tertentu dengan satu pesan
verbal khusus.
b) Komunikasi non verbal tidaklah merupakan sistem bahasa tersendiri. Tetapi lebih
merupakan bagian dari sistem verbal. Komunikasi non verbal umumnya tidaklah
membawa informasi yang cukup yang menjadikan penerima menyampaikan arti
keseluruhan yang timbul dari pertukaran pesan tertentu.
22
c) Komunikasi non verbal dapat dengan mudah ditafsirkan salah. Oleh karena itu
adalah berbahaya membuat arti tingkah laku non verbal trtentu.
Dari bermacam-macam pendapat tersebut di atas, ada kecenderungan
kesamaan dari tujuan atau fungsi dari pesan walaupun dinyatakan dalam istilah yang
berbeda. Empat fungsi pesan dalam organisasi yaitu :
1. Pesan tugas
Pesan tugas ini dimaksudkan adalah pesan-pesan yang berkenan dengan
pelaksanaan tugas-tugas organisasi.
2. Pesan pemeliharaan
Pesan pemeliharaan adalah pesan-pesan yang berkenaan dengan kebijaksanaan
dan pengaturan organisasi.
3. Pesan kemanusiaan
pesan kemanusiaan langsung diarahkan kepada orang-orang dalam organisasi
dengan mempertimbangkan sikap mereka, kepuasan dan pemenuhan kebutuhan
mereka.
4. Pesan pembaruan
Pesan pembaruan menjadikan organisasi dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Untuk itu suatu
organisasi membuat rencana-rencana baru, aktivitas-aktivitas baru, program-
program baru, dan pengarahan baru untuk tujuan organisasi.
23
2.2.1 Simbol
Simbol didefinisikan sebagai barang atau pola yang apapun sebabnya bekerja
pada dan berpengaruh pada manusia, melampau pengakuan semata-mata tentang apa
yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan. (dillistone, 1990) Sebagai
makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya
diliputi oleh berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri
maupun yang bersifat alami. (Cangara, 1998). Kemampuan manusia menciptakan
simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam
berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana sepeti bunyi, dan isyarat, sampai
kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melaui gelombang udara
dan cahaya. (Cangara, 1998)
Simbol adalah lambang yang memiliki suatu obyek, sedangkan kode adalah
seperangkat simbol yang telah tersusun secara sistematis dan teratur sehingga
memiliki arti. Sebuah simbol yang tidak memiliki arti bukanlah kode. Kata david K.
Berlo (1960).
Simbol-simbol yang digunakan selain sudah ada yang diterima menurut
konvensi internasional, seperti simbol-simbol lalu lintas, alphabet latin, simbol
matematika, juga terdapat simbol-simbol lokal yang hanya dimengerti oleh
kelompok-kelompok tertentu. (Cangara, 1998)
Pemberian arti pada simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi
oleh kondisi sosial budaya yang berkembang pada suatu masyarakat. Karena itu dapat
disimpulkan bahwa :
24
1. Semua kode memiliki unsur nyata
2. Semua kode memiliki arti
3. Semua kode tergantung pada prsetujuan para pemakaiannya
4. Semua kode memiliki fungsi
5. Semua kode dapat dipindahkan, apakah melalui media atau saluran-
saluran komunikasi lainnya.
Dillistone (1990) mengemukakan bahwa simbol adalah barang atau pola yang
apapun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui
pengakuan semata-mata tntang apa yang disajiakan secara harfiah. Dikatakan bahwa
sebuah simbol tidak identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya.
Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak akan menjadi simbol barang itu,
melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan bahwa simbol dimaksudkan
untuk menjadi reproduksi barang, sebenarnya simbol dimaksudkan untuk
menerangkan barang tersebut.
2.2.2. Makna
Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas serupa atau mirip.
Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang harus ada dalam setiap studi tentang
makna. Ketiga unsur tersebut, acuran tanda dan pengguna tanda. Tanda merupakan
sesuatu yang bersifat fisik dan bisa di persepsi indra kita Tanda mengacu pada
sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya
sehingga bisa disebut tanda.
25
Pierce (Fatta, 2003:62) melihat tanda, acuan dan penggunaannya sebagai tiga
titik dalam segitiga. Masing-masing terkait erat pada keduanya dan dapat dipahami
hanya dalam arti pihak lain. Sedangkan Saussure mengambil cara yang sedikit
berbeda. Dikatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang
terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas relitas eksternal. Tanda terdiri pada
realisitas melalui konsep orang yang menggunakannnya.
Ada dua model makna yang sangat berpengaruh, pertama model dari filsuf
dan ahli logika CS. Pierce, Ooden dan Richal, Kedua model dari ahli linguistik
Ferdinand de Saussure. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk
sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjukkan pada seseorang yakni
menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu
benda yang lebih berkembang
2.3. Konsep Kebudayaan
Menurut pandangan Antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dari manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1990 : 193). Definisi
ini sangat luas, sebab seluruh tindakan manusia merupakan proses belajar. Karena
kebudayaan merupakan cara berkelakuan yang dipelajari, maka kebudayaan tidak
tergantung dari transminsi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Perlu
ditegaskan hal itu, agar dapat dibedakan perilaku budaya dari manusia dan primata
yang lain dari tingkah laku yang hampir selalu digerakkan oleh naluri.
26
Tylor merupakan ahli antropologi pertama yang merumuskan kebudayaan
secara sistematik dan ilmiah, bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang
kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Pelly dan Minanti, 1994 : 23; Soekanto, 1998:
55).
Kebudayaan berarti kualitas yang wajar yang dapat diperoleh dengan
mengunjungi cukup banyak sandiwara dan konser tarian dan mengamati karya seni
pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi seorang ahli antropologi, mempunyai
definisi yang lain. Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam
kehidupan sehari-hari berbeda dengan definisi seorang ahli antropologi. Linton
(Ihromi, 2000 : 18) mengemukakan bahwa;
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun
dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh
masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Oleh karena itu, tidak ada
masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan, setiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu, dan setiap
manusia adalah mahluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu
kebudayaan“.
Kluckhon dan Kelly (Harsojo, 1967 : 62) merumuskan bahwa kebudayaan
adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional,
dan non-rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial
27
bagi tingkah laku manusia. Kebudayaan sebagai pedoman bertingkah laku bagi
seseorang di dalam masyarakat, menunjuk pada apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan, sehingga kehidupan dapat tertib. Oleh sebab itu,
kebudayaan juga merupakan faktor utama yang membatasi cara berkelakuan bagi
sesorang di dalam masyarakat.
Emile Drukheim (Ihromi, 2000 : 26), menekankan bahwa kebudayaan adalah
sesuatu yang berada diluar kemauan manusia, diluar kemampuan perseorangan dan
memaksakan kehendaknya pada para individu. Manusia tidak selalu merasakan
pembatasan-pembatasan kebudayaan itu, karena pada umumnya manusia mengikuti
cara-cara berkelakuan dan cara berpikir yang dituntutnya. Tetapi jika manusia
mencoba menentang pembatasan-pembatasan kebudayaan, kekuatannya menjadi
nyata. Ada dua macam pembatasan kebudayaan, yaitu pembatasan yang langsung dan
pembatasan yang tidak langsung. Misalnya, jika seseorang mengenakan pakaian yang
tidak biasa dalam kebudayaannya, maka mungkin akan dijadikan bahan ejekan dan
mungkin agak dijauhi dalam masyarakat. Tetapi kalau seseorang hanya memakai
sekedar kain cawat, maka akan mengalami suatu tekanan kebudayaan yang lebih
keras dan lebih langsung misalnya ditangkap karena memperlihatkan badan secara
kurang sopan. Jadi bentuk-bentuk pembatasan kebudayaan yang tidak langsung
kurang nyata bila dibandingkan dengan yang langsung.
Bila dikatakan, bahwa suatu kebudayaan merupakan suatu integrasi, maka
yang dimaksudkan adalah bahwa unsur-unsur atau sifat-sifat yang terpadu menjadi
suatu kebudayaan bukanlah sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara
28
acak-acakan saja. Satu alasan mengapa para ahli antropologi menduga bahwa
kebudayaan merupakan satu integrasi kelihatannya adalah bahwa sifat itu dianggap
bersumber pada sifat adaptif dari kebudayaan. Jika kebiasaan-kebiasaan tertentu lebih
adaptif dalam susunan tertentu, maka dapat diduga bahwa gumpalan unsur-unsur
budaya itu akan ditemui dalam kaitan yang berhubungan bila ditempatkan dalam
keadaan yang bersamaan. Alasan kedua untuk dugaan bahwa kebudayaan merupakan
suatu integrasi karena kebudayaan yang unsur-unsurnya bertentangan satu sama lain
itu sukar, kalau tidak mustahil untuk secara bersamaan mempertahankan yang
bertentangan itu. Jadi kebudayaan cenderung terdiri dari unsur-unsur yang dapat
disesuaikan satu sama lain (Ihromi, 2000 : 30-31).
Sedangkan Bronislaw Malinowski pelopor teori fungsionalisme dalam
antropologi,menyatakan bahwa :
Unsur-unsur pokok kebudayaan yaitu : (1) sistem norma-norma yang memungkinkan
kerja sama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya; (2)
organisasi ekonomi; (3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
utama; dan (4) organisasi (Soekanto, 1998 : 192).
Kebudayaan sebagai hasil interaksi antar manusia dan manusia dengan
lingkungannya, menunjukkan suatu pengertian yang luas dan kompleks, karena
meliputi segala hal yang dialami oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Poespowardojo (1993 : 110) mencakup
segala sesuatu yang terjadi dan dialami oleh manusia secara personal dan kolektif,
29
mencakup pula bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi,
seperti yang disaksikan dalam sejarah kehidupannya, baik hasil pencapaian yang
telah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turun temurun, maupun
proses perubahan dan pengembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa. Selain
itu, di dalam kebudayaan tercakup juga bagaimana persepsi manusia terhadap dunia,
lingkungan serta masyarakat, nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk
menentukan sikap terhadap dunia luar dan untuk memotivasi setiap tindakan berpola
dalam masyarakat dan benda-benda hasil karya manusia.
Kebudayaan sebagai hasil warisan, telah ada lebih dahulu dari lahirnya suatu
generasi baru. Dengan demikian, generasi yang baru itu telah dijiwai oleh norma-
norma, ide-ide atau gagasan-gagasan serta pola tindakan masyarakat tempat mereka
berada. Sifat dinamis dari kebudayaan karena berhubungan dengan kehidupan
manusia, yang meliputi unsur-unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Kebudayaan tidak lagi
diartikan sebagai kata benda, melainkan sebagai kata kerja karena kebudayaan tidak
lain adalah cara manusia mengekspresikan dirinya dan caranya mencari relasi-relasi
yang tepat terhadap dunia sekelilingnya (Ihromi, 2000 : 61).
Kebudayaan dipandang juga sebagai suatu strategi yang perlu dikelolah dan
diarahkan. Rumusan yang lebih fungsional menyatakan bahwa kebudayaan adalah
suatu desain untuk hidup, baik dalam lingkungan fisik maupun sosial. Untuk itu
Ihromi (2002 : 141) mengemukakan bahwa kebudayaan dianggap sebagai suatu
perencanaan, dan sesuai dengan perencanaan itu manusia mengadaptasikan dirinya
30
pada lingkungan fisik, sosial dan ide. Strategi untuk menghadapi lingkungan fisik
mencakup sistem produksi pangan dan semua teknologi yang digunakan. Adaptasi
sosial mencakup sistem politik, sistem kekeluargaan dan hukum sebagai strategi
untuk berhubungan dengan sesama, sedangkan adaptasi ide menunjuk pada ilmu,
seni, filsafat dan agama.
Kebudayaan adalah medium yang digunakan oleh spesies manusia untuk
memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Bermacam-macam
lembaga kebudayaan, seperti kekerabatan dan perkawinan, organisasi politik dan
ekonomi, serta agama, berbaur bersama membentuk suatu integrasi sistem
kebudayaan. Karena sistem ini bersifat adaptif, maka sifatnya cukup mantap dan tidak
berubah, kecuali kalau kondisi acuan adaptasinya atau pandangan manusia terhadap
kondisi itu berubah.
Marvin Harris (Ihromi, 2000 : 634-653), membagi tiga tingkatan model
kebudayaan :
1. Infrastruktur, yang berhubungan dengan penduduk, kebutuhan dasar biologis, dan
sumber daya (pekerjaan, peralatan, teknologi dan lain-lain).
2. Struktur, yang berhubungan dengan pola organisasi (pemerintahan, pendidikan,
kekeluargaan, peraturan yang dihasilkan dan lain-lain).
3. Superstruktur, yang berhubugan dengan institusi kemasyarakatan (hukum, agama,
politik, seni ilmu, kepercayaan, nilai-nilai, perasaan, tradisi dan lain-lain).
Menurut Harris (1980 : 47), pendekatan material ini pada prinsipnya bersifat
evolusionistik dan melihat kebudayaan sebagai produk dari proses evolusi, yaitu
31
proses perubahan kompleksitas struktural dari kondisi yang sederhana menuju kondisi
yang kian kompleks. Namun dalam konsepsi materialis ini, faktor yang paling
menentukan dalam perkembangan masyarakat adalah berada pada sistem produksi
sebagai sarana subsistem kehidupan manusia.
2.3 Masyarakat
Konsep masyarakat menurut koentjaraningrat (Pelly dan Minanti,1994:29)
adalah “kesatuan hidup manusia yang berintekrasi menurrut suatu sistim adat-istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu, Dan terikat suatu rasa identitas bersama “.
Defenisi itu menyerupai suatu devenisi yang diajukan oleh J.L. Gillian dan
J.P. Gillian (Pelly dan Minanti,1994:28) yang mengatakan “masyarakat adalah
kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap. Dan
perasaan persatuan yang sama”. Sedangkan menurut Linton (Pelly dan
Minanti,1994:28) masyarakat adalah “sekelompok manusia yang telah cukup lama
dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”
Sementara itu menurut Hendropuspito (1989 ;74) masyaraka adalah “suatu
jalinan kelompok-kelompok sosial yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih
besar, berdasarkan kebudayaan yang sama”.
Cirri-ciri masyarakat menurut ( Pelly dan Minanti,1994:28) yaitu :
1) Adanya interaksi
32
2) Terbentuk ikatan pola tingkah laku yang khas didalam semua aspek
kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu
3) Adanya rasa identitas terhadsap kelompok bagi individu yang bersangkutan
4) Memiliki kebudayaan yang sama
Mistik dan atau kepercayaan adalah suatu ajaran yang sumber dari hal-hal
yang bersifat gaib dan di luar kesadaran manusia. Dalam pandangan masyarakat
maritim, aktivitas manusia di samping dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat rasional,
juga ada kekuatan-kekuatan lain yang mengendalikan aktivitas manusia (Kartapradja,
1985:64).
Horridae (1980:12) bahwa suatu kepercayaan yang menyatakan bahwa laut
memiliki roh penunggu menyebabkan nelayan dalam melakukan aktivitas
penangkapan selalu menggunakan ramalan atau menentukan arah angin di bawah
pimpinan seorang tabib atau dukun yang dipercaya memiliki kekuatan magis oleh
masyarakat maritim.
Paham mistik adalah kebutuhan dasar manusia. Ia menjadi tolak ukur akan
nilai dan martabat kemanusiaan. Masyarakat maritim mempercayai bahwa alam
semesta adalah ciptaan Allah Yang Maha Esa.Selain itu, mereka juga percaya bahwa
selain Allah terdapat juga kekuatan-kekuatan gaib yang turut mendukung dan
mempengaruhi aktivitas mereka.
Salah satu kelompok masyarakat maritim di Sulawesi Tenggara, yang
memiliki ciri khas tersendiri dalam pengelolaan lingkungan perairan adalah
33
masyarakat nelayan Bajo. Orang-suku Bajo mendiami pulau-pulau dan pesisir-pesisir
pantai yang ada di hampir semua wilayah Kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Suku Bajo dapat digolongkan sebagai masyarakat terasing karena mereka
hidup secara tidak menetap (nomaden), dan hidup di pulau-pulau terpencil yang
menyebabkan mereka terisolasi dari masyarakat lainnya. Dan dikatakan terbelakang,
karena mereka kurang tersentuh oleh hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan
(Tasman, 1995).
Ciri khas yang menggambarkan sosok suku Bajo sebagai penguasa laut
dijelaskan oleh (Nimno, 1969) bahwa hampir seluruh wilayah perairan Indonesia,
bahkan di pulau-pulau terluar nusantara terdapat kelompok-kelompok nelayan Bajo
yang membentuk pemukiman baik yang bersifat menetap maupun nomaden, dengan
karakter nilai budayanya yang khas.
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang memiliki pola
dan corak yang berbeda dengan masyarakat lain. Perbedaan masyarakat nelayan
dengan masyarakat lainnya adalah lebih pada perbedaan persepsi dan tanggapan
terhadap kondisi lingkungannya.
Masyarakat maritim yang seringkali juga disebut dengan masyarakat nelayan
atau masyarakat pantai, memiliki taraf kehidupan yang khas dari masyarakat lain. Ciri
khas yang menonjol adalah ketergantungan mereka terhadap laut dan ikan sebagai
sumber penghidupan mereka.
Cholil Mansyur (Pelly dan Minanti, 1994), masyarakat nelayan adalah
persekutuan hidup yang merupakan perkumpulan manusia dengan perasaan
34
persatuan dan kesadaran bersama dengan wilayah laut sebagai alam yang
memperteguh eksistensi kehidupan mereka.
David Hume (Pelly dan Minanti, 1994) menyatakan bahwa masyarakat
nelayan adalah kehidupan masyarakat yang menghimpun dan mencakup seluruh
individu-individu yang saling berinteraksi dengan menjadikan perairan laut sebagai
sumber dalam menyatukan mereka secara teritorial, adat istiadat, sosial, dan ekonomi.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dikota kendari dengan obyek penelitian pada makna
simbol yang terdapat dalam komunitas suku Bajo di Kelurahan Lapulu
Kecamatan Abeli Kota Kendari.
3.2. Jenis dan Sumber data
3.2.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data
yang berupa informasi dan penjelasan seperti gambaran kegiatan suku Bajo di
Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari, penjelasan mengenai simbol
dan lambang serta penjelasan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun data yang berbentuk angka, hanya sebatas jumlah masyarakat.
3.2.2 Sumber Data
Data menurut sumbernya terdiri dari data primer, yaitu data yang
diperoleh langsung dari obyek dan lokasi penelitian, sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari literatur dan dokumentasi yang ada pada
komunitas suku Bajo.
36
3.3 Informan penelitian
Dalam penelitian ini , informan kunci yang digunakan adalah Lurah,
sekretaris lurah, serta anggota masyarakat sebanyak 8 (delapan) orang. Dengan
demikian informan dalam penelitian ini adalah 10 (sepuluh) orang.
3.4 Instrumen penelitian
Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian ini, maksudnya
penelitian yang tidak diwakilkan kepada orang lain. Untuk membantu kelancaran dan
keberhasilan dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan peralatan seperti :
kamera (sebagai dokumentasi ), tape rekorder (sebagai alat perekam), kamus, buku
catatan serta susunan pertanyaan yang jelas berkaitan judul penelitian.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam
yaitu teknik observasi Partisipatif dan wawancara.
3.5.1 Observasi Partisipatif
Pengertian observasi partisipatif seperti yang di kemukakan oleh Maleong
(2001:118) yang mengikuti pendapat Crane dan Angrosino (1984:64) bahwa sebagai
pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjeknya pada setiap
situasi yang diinginkannya untuk dapat dipahami. Atas dasar pemikiran Moleong
inilah penelitian ini dilakukan atas dasar dapat mengumpulkan data yang akurat
berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.
37
3.5.2 Wawancara
Wawancara secara garis besar dibagi dua yaitu wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut
wawancara mendalam, wawancara insentif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka
dan wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur sering juga disebut
wawancara baku yang susunannya sudah di tetapkan sebelumnya dengan pilihan-
pilihan jawaban yang sudah tersedia (Mulyana, 2001:180)
Pada penelitian ini wawancara yang dilaksanakan dengan informan adalah
wawancara terstruktur dimana peneliti menggunakan daftar pertanyaan yang jelas
berkaitan dengan Simbol-simbol semata.
3.5.3 Dokumentasi
Dokumentasi penunjang diperoleh dari masyarakat suku Bajo, laporan-laporan
dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
3.6 Teknik Analisis data
Data yang akan diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif yakni menjelaskan dan menggambarkan interaksi simbol
komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu dan mengetahui proses
komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu Untuk mengetahui serta
memahami simbol-simbol budaya, yang digunakan Suku Bajo pada masyarakat di
Kelurahan Lapulu.
38
3.7 Desain Operasional Penelitian
No. Unit Analisis Struktut Kerangka Analisis Teknik Pengumpulan Data
1.
2.
3.
Simbol
Perilaku
Makna
1. Mengetahuai dan memahami aktor dala interaksi simbolik - Orang Bajo- Masyarakat
2. Mengetahuai dan memahami peran komunikasi suku- Komunikatif- Partisipatif
3. Mengetahuai dan memahami konteks - Lingkungan orang
bajo- Lingkungan
masyarakat Lapulu
1. Melakukan observasi
2. Melakukan wawancara
3. Dokuntansi
3.8 Konseptualisasi
1. Makna simbol adalah pemberian arti terhadap pesan tanda, kode, warna atau
lambang yang digunakan oleh masyarakat suku Bajo.
2. Simbol adalah pesan, kode serta lambang yang digunakan pada komunitas suku
Bajo yang bersifat non verbal melalui bahasa dan penampilan.
3. Suku Bajo adalah kelompok masyarakat pesisir yang tergabung dalam komunitas
masyarakat laut yang dilengkapi dengan simbol untuk menyatakan sikap dan
perilaku dan kebersamaan di dalam masyarakat.
4. Perilaku yaitu tindakan orang bajo dalam berinteraksi dengan masyarakat melalui
sikap yang komunikatif dan partisipatif.
39
5. Interaksi adalah hubungan yang dibentuk oleh kelompok suku Bajo untuk
berkomunikasi dan mengembang budayanya.
6. Aktor adalah orang bajo yang menjadi pelaku utama dalam interaksi simbolik
dengan suku Bajo
7. Konterks adalah adalah situasi dimana komunikasi berlangusng di lingkungan
Bajo dan Lingkungan Masyarakat Lapulu.
40