Download - Process Equipment Control
Process Equipment Control : (8) Distillation Control – Pump Around Reflux Control
Posted by asro pada 7 Agustus 2009
Selain binary distillation yang hanya menghasilkan dua jenis produk (produk atas dan produk bawah) seperti
yang dijelaskan pada tulisan serie sebelumnya, banyak juga jenis kolom distilasi yang menghasilkan
banyak/lebih dari dua produk (multi produk). Contoh kolom distilasi dengan multi produk adalah crude tower,
vacuum tower dan fluid catalytic cracking unit (FCCU).
Pada kolom distilasi dengan multi produk, produk lainnya akan dikeluarkan dari bagian samping kolom (side
stream). Untuk menjaga spesifikasi produk samping, kolom distilasi juga dilengkapi dengan sistem kontrol
produk samping. Salah satu contohnya adalah pump around flow control, seperti gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, pump around dikontrol dengan menggunakan flow controller (FC1). Sedangkan side
stream product dikontrol dengan menggunakan flow controller (FC2), yang terkadang di-cascaded dari column
level controller atau analyzer controller.
Sebenarnya kegunaan dari pump around adalah menjaga kesetimbangan panas dalam kolom, dengan jalan
mengambil/menghilangkan sebagian panas dari kolom. Oleh karenanya, pada kondisi tertentu akan lebih baik
jika pump around dikontrol dengan menggunakan duty control, seperti gambar berikut.
Apabila kolom distilasi dilengkapi dengan side stripper, maka konfigurasi kontrol untuk produk seperti terlihat
pada gambar berikut, dimana side stream ditarik dari kolom menuju stripper dibawah kendali flow control (FC2)
yang di-cascaded dari level control stripper (LC) atau bisa juga LC langsung menggerakan control valve tanpa
melalui FC2.
Posted in Process Equipment Control | 3 Comments »
Process Equipment Control : (7) Distillation Control – Reboiler Control
Posted by asro pada 3 Juli 2009
Pada serie sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pemisahan material yang terjadi dalam kolom distilasi
dilakukan dengan cara mempertemukan liquid dan vapor dalam arah berlawanan (countercurrently contact),
liquid dari arah atas dan vapor dari arah bawah. Yang menyediakan liquid dari atas adalah reflux, sedangkan
yang menyediakan vapor dari bawah adalah reboiler. Untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi yang
dikehendaki, maka keduanya, reflux dan reboiler perlu dikontrol. Pengontrolan reflux sudah dibahas pada serie
sebelumnya, pada serie ini akan dibahas mengenai pengontrolan reboiler.
Salah satu konfigurasi reboiler control adalah seperti pada gambar berikut.
Dalam konfigurasi ini, jumlah vapor yang dihasilkan dikontrol dengan cara mengatur aliran panas ke reboiler,
dalam hal ini aliran steam/uap. Jumlah produk bawah (bottom product) yang diuapkan menjadi vapor
ditentukan dari besarnya setpoint steam flow control (FC). Semakin besar setpoint FC, semakin banyak vapor
yang dihasilkan. Jumlah produk bawah yang dikeluarkan/dihasilkan dikontrol dengan menggunakan level
control (LC).
Konfigurasi diatas digunakan pada kettle type reboiler. Sedangkan untuk reboiler tipe thermo-
syphon atau forced-circulation, konfigurasi berikut bisa digunakan.
Pada konfigurasi ini, produk bawah (residue) diambil/dikeluarkan langsung dari column.
Konfigurasi lainnya adalah aliran uap (steam flow) diatur oleh reboiler level control (LC), sedangkan aliran
produk dikontrol oleh flow controller (FC) seperti gambar berikut.
Selain menggunakan pemanas steam seperti beberapa konfigurasi diatas, reboiler juga terkadang
menggunakan pemanas yang berasal dari produk kolom distilasi (kolom utama seperti CDU atau FCCU).
Konfigurasi kontrol reboiler yang menggunakan pemanas jenis ini diperlihatkan pada gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, selain digunakan untuk reboiler, media pemanas juga digunakan untuk menghasilkan
steam pada steam generator. Flow control (FC) yang terletak sesudah tie, digunakan untuk menstabilkan steam
yang dihasilkan pada steam generator. Konfigurasi lainnya yang mirip dengan ini seperti pada gambar berikut.
Pada konfigurasi terakhir ini, flow control ditempatkan sebelum tie, sehingga steam generator lebih stabil
dibandingkan dengan konfigurasi sebelumnya (letak flow control sesudah tie).
Pada konfigurasi yang sudah dibahas diatas, reboiler dikontrol dengan menggunakan flow control maupun
temperature control. Selain itu, reboiler juga bisa dikontrol dengan menggunakan heat input control. Pada
jenis kontrol ini, yang dikontrol adalah jumlah panas/heat yang diberikan ke sistem reboiler. Jumlah panas
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Q = DeltaT x Cp x roh x F
Q adalah panas yang diberikan, DeltaT adalah perbedaan temperature fluida pemanas yang masuk dan keluar
reboiler, Cp adalah specific heat medium pemanas dan roh adalah density medium pemanas. Konfigurasi heat
input control pada reboiler dapat dilihat pada gambar berikut.
Selain pemanas jenis heat exchanger (HE) seperti diatas, tidak jarang furnace/fire heater juga digunakan
sebagai reboiler. Apabila menggunakan heater, maka sistem kontrol yang digunakan adalah temperature
control dengan konfigurasi seperti dijelaskan pada pembahasan mengenai sistem kontrol fire heater.
Posted in Process Equipment Control | 2 Comments »
Process Equipment Control : (7) Distillation Column Control – Reflux Control
Posted by asro pada 2 Juni 2009
Seperti yang dijelaskan pada serie sebelumnya bahwa pemisahan material yang terjadi dalam kolom distilasi
dilakukan dengan cara mempertemukan liquid dan vapor dalam arah berlawanan (countercurrently contanct),
liquid dari arah atas dan vapor dari arah bawah. Dalam hal ini, yang menyediakan liquid secara terus menerus
adalah reflux sedangkan yang menyediakan vapor adalah reboiler. Sejumlah liquid dari reflux dan sejumlah
vapor dari reboiler saling bersentuhan untuk menghasilkan produk dengan kuantitas dan komposisi tertentu
berdasarkan feed tertentu. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi yang dikehendaki,
aliran reflux perlu dikontrol, begitu juga dengan produk (distillate).
Salah satu konfigurasi reflux control adalah seperti pada gambar berikut.
Dalam konfigurasi ini, aliran reflux dikontrol dengan menggunakan flow control, sedangkan aliran distillate
dikontrol dengan menggunakan accumulator level control.
Karena pemisahan material dalam distilasi didasarkan pada perbedaan tekanan uap (vapor pressure) dan
karena tekanan uap bergantung pada temperature, maka temperature bisa digunakan untuk
mengindikasi/mewakili komposisi produk. Sehingga aliran reflux lebih baik jika dikontrol dengan menggunakan
temperature control, seperti pada gambar berikut.
Terkadang produk suatu kolom distilasi akan digunakan sebagai feed untuk kolom distilasi/unit lainnya yang
memerlukan feed yang konstan. Untuk kasus ini, aliran produk lebih baik dikontrol dengan menggunakan flow
control, dalam hal ini product flow control di-cascaded dari accumulator level control, seperti diperlihatkan
pada gambar di atas.
Apabila overhead pressure tidak bisa dijaga konstan, agar pemisahan tetap berlangsung dengan baik, bisa juga
digunakan pressure compensated temperature control seperti gambar dibawah ini.
Compensated temperature dapat dihitung dengan rumus berikut
Tb = T x K x (Pb – P)
Tb adalah compensated temperature, T adalah overhead temperature, K adalah konstanta, Pb adalah base
pressure dan P adalah overhead pressure. Perhitungan ini dijalankan di blok kalkulasi TY.
Untuk kasus tertentu, dimana flow reflux jauh lebih besar dari produk (mendekati total reflux), maka flow reflux
sebaiknya dikontrol dari accumulator level control, sedangkan flow product dari temperature control, seperti
gambar berikut.
Reflux dari accumulator yang masuk ke column yang biasa disebut external reflux akan berubah menjadi uap
oleh panas yang berasal dari vapor yang naik dari bawah column. Sementara vapor yang memberikan
panasnya tersebut terkondensasi menjadi internal reflux. Hubungan antara internal reflux dan external reflux
dinyatakan oleh persamaan berikut.
Internal reflux = External reflux x (1 + Cp/Hv x (To – Tr)
Cp adalah external reflux heat capacity, Hv adalah external reflux heat of vaporization, To adalah overhead
temperature dan Tr adalah external reflux temperature.
Pada kondisi tertentu, mengontrol internal reflux jauh lebih baik dibandingkan dengan external reflux seperti
diatas. Gambar dibawah ini merupakan konfigurasi internal reflux control.
Posted in Process Equipment Control | 2 Comments »
Process Equipment Control : (6) Distillation Column Control – Pressure Control
Posted by asro pada 4 Mei 2009
Kolom distilasi (distillation column) merupakan peralatan proses yang banyak digunakan dalam industri proses
termasuk kilang minyak. Kolom distilasi digunakan untuk memisahkan suatu bahan yang mengandung dua
atau lebih komponen bahan menjadi beberapa komponen berdasarkan perbedaan volatility (kemudahan
menguap) dari masing-masing komponen bahan tersebut.
Kolom distilasi merupakan serangkaian peralatan proses yang terdiri
dari preheater, column, condenser, accumulator, reboiler serta peralatan pendukungnya, dengan konfigurasi
seperti pada gambar berikut.
Kolom (column) atau sering disebut tower memiliki dua kegunaan; yang pertama untuk memisahkan feed
(material yang masuk) menjadi dua porsi, yaitu vapor yang naik ke bagian atas (top/overhead) kolom dan porsi
liquid yang turun ke bagian bawah (bottom) kolom; yang kedua adalah untuk menjaga campuran kedua fasa
vapor dan liquid (yang mengalir secara counter-current) agar seimbang, sehingga pemisahannya menjadi lebih
sempurna.
Overhead vapor akan meninggalkan bagian atas kolom dan masuk ke condenser, vapor yang menjadi liquid
akan dikumpulkan di accumulator. Sebagian liquid dari accumulator dikembalikan ke kolom sebagai reflux,
sedangkan sebagian lainnya sebagai overhead product atau distillate.
Bottom liquid keluar dari bagian bawah kolom dan dipanaskan ke reboiler. Sebagian liquid menjadi vapor dan
dikembalikan ke kolom, dan sebagian lainnya akan dikeluarkan sebagai bottom product atau residue.
Ini adalah konfigurasi kolom yang relative sederhana, pada aplikasi yang lebih kompleks, sebagian vapor atau
liquid ditarik dari beberapa titik di bagian samping kolom (sidestream) sebagai intermediate product dan/atau
sebagai reflux.
Pada umumnya bahan yang akan dipisahkan (feed) dimasukkan kedalam kolom melalui bagian samping kolom
tersebut. Komponen yang lebih ringan akan menguap menjadi vapor dan naik ke bagian atas (overhead)
kolom , sedangkan komponen yang lebih berat berbentuk liquid akan jatuh ke bagian bawah (bottom) kolom.
Agar pemisahan dapat terjadi secara efektif, maka kedua fasa vapor dan liquid harus ada sepanjang kolom.
Untuk menjaga tercapainya kondisi seperti ini, maka kondisi operasi kolom harus dijaga dengan menggunakan
sistem kontrol.
Sacar garis besar sistem kontrol pada kolom distilasi terdiri dari:
Pressure control.
Reflux control. Reboiler control. Pump arround control. Feed control.
Serie ini akan membahas pressure control pada kolom distilasi, sedangkan sistem kontrol lainnya akan dibahas
pada serie selanjutnya.
Pressure control sangat penting dalam kolom distilasi karena berguna untuk menjaga kestabilan kondisi
equilibrium material dalam kolom. Bila pressure kolom berubah-ubah maka proses pemisahan menjadi tidak
sempurna (upset). Pemilihan setpoint untuk pressure control merupakan hasil kompromi dua kepentingan. Di
satu sisi, pressure harus diambil cukup tinggi agar proses kondensasi overhead vapor oleh condensor (heat
exchanger dengan medium pendingin) bisa terjadi, namun disisi lain pressure harus cukup rendah agar proses
vaporisasi bottom liquid oleh reboiler (heat exchanger dengan medium pemanas) juga bisa terjadi. Pemilihan
pressure ini dilakukan pada saat design karena akan menentukan ukuran/spec dari peralatan yang digunakan
terutama condensor dan reboiler.
Konfigurasi pressure control yang akan digunakan sangat bergantung pada jenis phase product/stream yang
dihasilkan dan bergantung juga pada kandungan uncondensable materials (material yang tidak terkondensasi)
dalam overhead vapor.
Berikut akan dibahas beberapa konfigurasi pressure control yang didasarkan pada kondisi yang berhubungan
dengan phase product serta kehadiran uncondensable materials seperti berikut:
1. Produk berupa vapor dan ada uncondensable materials.2. Produk berupa vapor dan tidak ada uncondensable materials.3. Produk berupa liquid dan tidak ada uncondensable materials.4. Produk berupa liquid dan ada uncondensable materials.
1. Produk berupa vapor dan ada uncondensable materials. Pada kasus ini, overhead product yang
dihasilkan berupa vapor. Oleh karena itu, maka pressure control dapat langsung mangatur aliran/flow produk,
seperti gambar 2a dan 2b. Dengan konfigurasi seperti ini, response pressure control cukup cepat.
Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure turun → pressure control bereaksi menutup control valve → banyak
vapor yang terakumulasi → menaikan pressure kembali. Apabila pressure naik → pressure control bereaksi
membuka kontrol valve → vapor dibuang keluar → menurunkan pressure kembali. Apabila parameter pressure
controller di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh kondisi stabil dimana pressure akan berada pada nilai
sesuai setpointnya.
Liquid hasil kondensasi di condenser yang tertampung di accumulator hanya digunakan untuk kebutuhan
reflux. Level pada accumulator dijaga dengan beberapa cara, yaitu: 1) mengatur aliran cooling system,
gambar 2a dan 2b, atau 2) flow cooling system dijaga constant dan level control memanipulasi aliran
condensate yang dilewatkan ke mini vaporizer kemudian vapor tersebut digabung dengan line yang berasal
dari pressure control valve, gambar 2c, atau 3) memanipulasi vapor yang di-bypass dari condenser, gambar
2d.
Konfigurasi level control seperti gambar 2a dan 2b digunakan hanya bila condenser mempunyai water
residence time yang pendek sehingga tidak menyebabkan time lag yang panjang pada level control. Jika tida,
maka sebaiknya menggunakan konfigurasi gambar 2c atau 2d.
2. Produk berupa vapor dan tidak ada uncondensable materials. Apabila produknya berupa vapor dan
tidak ada uncondensable materials, maka pressure kolom dibuat dengan jalan memasukkan inert gas atau fuel
gas ke proses/kolom lalu dibuang lagi ke venting/flare (gambar 3a atau 3b). Pada konfigurasi seperti ini,
pressure dijaga dengan cara mengatur aliran inert gas/fuel gas yang masuk dan aliran ke venting/flare.
Gambar 3b digunakan apabila hendak menghilangkan impurity/soluble gas dalam liquid.
Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure turun → pressure control bereaksi membuka control valve injection
dan menutupp control valve venting → pressure akan naik. Apabila pressure naik → pressure control bereaksi
menutup control valve injection dan membuka control valve venting → pressure akan turun. Apabila
parameter pressure control di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh kondisi stabil dimana pressure akan
berada pada nilai sesuai setpointnya. Dalam konfigurasi ini, kedua control valve injection dan venting bisa
dibuat split-range.
Konfigurasi level control pada accumulator dapat menggunakan salah satu dari konfigurasi yang dijelaskan
pada item 1 diatas (gambar 2a, 2b, 2c atau 2d).
3. Produk berupa liquid dan tidak ada uncondensable materials. Sama seperti produk berbentuk
vapor, maka idealnya pressure dijaga dengan memanipulasi aliran produk. Akan tetapi karena produknya
liquid dan diambil (draw-off) dari accumulator, maka time lag-nya cukup besar yang dapat menyebabkan
kinerja pressure control menjadi jelek. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk dilakukan adalah dengan
mengatur kecepatan terbentuknya liquid di condenser, dimana penggunaannya sangat bergantung pada
konstruksi mekanis dari condenser tersebut.
a) Konfigurasi pertama adalah dengan mengatur aliran cooling system (gambar 4a). Cara kerjanya adalah sbb:
Apabila pressure naik yang berarti banyak vapor yang terakumulasi di condenser, pressure control akan
membuka control valve cooling system sehingga memperbesar aliran cooling yang masuk yang menyebabkan
lebih banyak vapor yang terkondensasi. Dengan banyak vapor yang terkondensasi, pressure kembali turun.
Bila pressure turun, pressure control akan menutup control valve cooling system sehingga memperkecil aliran
cooling yang masuk yang mengurangi vapor yang terkondensasi. Pengurangan vapor yang terkondensasi ini
akan menaikan pressure. Apabila parameter pressure controller di-tunning dengan benar, maka akan diperoleh
kondisi stabil dimana pressure akan berada pada nilai sesuai setpointnya. Konfigurasi ini digunakan jika
residence time cooling system pendek, karena jika tidak maka lag time pressure control menjadi besar yang
menyebabkan kinerja control jelek.
b) Konfigurasi kedua adalah dengan mengatur aliran liquid dari condenser ke accumulator, (gambar 4b dan
4c). Cara kerjanya adalah sbb: Apabila pressure-nya naik, yang biasanya disebabkan condenser berisi banyak
liquid sehingga ruangan/permukaan condenser menjadi sedikit yang menyebabkan banyak vapor tidak
terkondensasi, maka pressure control akam membuka control valve sehingga liquid pada condenser mengalir
ke accumulator. Dengan membukanya control valve ini, liquid pada condenser berkurang sehingga ruang
kondensasi bertambah yang menyebabkan banyak vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali
turun. Sebaliknya, apabila pressure turun maka pressure control akan menutup control valve, liquid yang
terakumulasi di condenser bertambah sehingga memperkecil ruangan/permukaan kondensasi. Hal ini akan
menyebabkan sedikit vapor yang terkondensasi sehingga pressure naik.
c) Konfigurasi ketiga adalah dengan mengatur aliran vapor ke accumulator yang di-bypass terhadap condenser
(gambar 4d). Konfigurasi ini digunakan bila elevasi condenser dibawah accumulator. Cara kerjanya adalah
sbb: Apabila pressure naik, yang biasanya disebabkan condenser berisi banyak liquid sehingga
ruangan/permukaan kondensasi menjadi sedikit yang menyebabkan banyak vapor yang tidak terkondensasi,
maka pressure control akan menutup control valve yang menyebabkan adanya perbedaan pressure antara line
vapor dan accumulator. Perbedaan pressure ini menyebabkan liquid dari condenser akan mengalir ke
accumulator. Dengan mengalirnya liquid ke accumulator, maka liquid pada condenser berkurang sehingga
ruang kondensasi bertambah yang menyebabkan banyak vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali
turun. Sebaliknya, apabila pressure turun maka pressure control akan membuka control valve, yang
menyebabkan pressure pada line vapor dan condenser sama. Karena elevasi condenser lebih rendah dari
accumulator maka condenser akan terisi dengan liquid yang memperkecil ruangan kondensasi. Hal ini akan
menyebabkan sedikit vapor yang terkondensasi sehingga pressure kembali naik.
4. Produk berupa liquid dan ada uncondensable materials. Pada dasarnya konfigurasi pressure
control untuk kondisi ini hampir sama dengan item 3 (produk liquid tanpa uncondensable materials). Yang
membedakannya hanya karena kehadiran uncondensable materials. Sesuai dengan sifatnya yang
uncondensable maka materials ini tidak akan terkondensasi di condenser maka lama kelamaan material ini
akan terakumulasi di condenser dan menutupi/menyelimuti permukaan kondensasi sehingga produk tidak akan
terkondensasi, pada akhirnya menyebabkan pressure di condenser akan bertambah terus tanpa bisa
dikendalikan. Oleh karena itu, maka material ini harus dihilangkan, misalnya dengan membuang ke venting
system, flare atau ke low pressure vessel. Agar pressure di condenser tetap terkendali, maka proses
pembuangan uncondensable materials juga dilakukan dengan menggunakan pressure control, seperti terlihat
pada gambar 5a dan 5b.
a) Konfigurasi pertama (gambar 5a) mirip gambar 4a. Prinsip kerjanya adalah sbb: – Apabila liquid sudah
banyak terbentuk di condenser dan uncondensable materials juga sudah banyak terkumpul di atasnya,
pressure kolom akan naik. Kenaikan pressure ini menyebabkan pressure control bereaksi membuka control
valve venting sehingga vapor pada condenser akan terbuang melalui venting valve dan menutup control valve
line pendingin sehingga mengurangi terbentuknya liquid. Sehingga pressure kolom turun. – Sebaliknya,
penurunan pressure akan menyebabkan pressure control bereaksi menutup control valve venting dan
membuka control valve pendingin, sehingga vapor kembali kembali terkondenasi menjadi liquid, sedangkan
uncondensable materials akan terakumulasi diatasnya sehingga menyebabkan pressure kolom kembali naik.
b) Konfigurasi kedua (gambar 5b) mirip gambar 4b. Prinsip kerjanya adalah sbb: – Apabila liquid sudah banyak
terbentuk di condenser dan uncondensable materials juga sudah banyak terkumpul di atasnya, pressure kolom
akan naik. Kenaikan pressure ini menyebabkan pressure control bereaksi membuka kedua control valve,
sehingga vapor pada condenser akan terbuang melalui venting valve dan liquid akan turun ke accumulator.
Dengan demikian pressure kolom akan turun. – Sebaliknya, penurunan pressure kolom akan menyebabkan
pressure control bereaksi menutup kedua control valve, sehingga vapor kembali terkondensasi menjadi liquid
pada condenser, sedangkan uncondensable materials akan terakumulasi diatasnya sehingga menyebabkan
pressure kolom kembali naik.
Posted in Process Equipment Control | 6 Comments »
Process Equipment Control : (5) Heater Control
Posted by asro pada 6 Maret 2009
Heater atau terkadang disebut furnace adalah peralatan proses yang berguna untuk menaikan temperature
suatu material. Energi panas yang dipakai berasal dari hasil pembakaran sehingga disebut juga dengan fire
heater. Secara garis besar, peralatan ini terbuat dari metal (metal housing) yang dilapisi refractory pada
bagian dalamnya sebagai isolasi panas sehingga panas tidak terbuang keluar. Material yang
dipanaskan/charge bisa berbentuk padat, cair atau gas. Berdasarkan fungsinya, heater dikelompokan menjadi:
Heater untuk memanaskan dan/atau menguapkan charge (misalnya heater untuk distillation charge atau reboiler).
Heater untuk memberikan panas reaksi pada feed reactor. Heater untuk memanaskan material yang akan diubah bentuk fisiknya.
Tulisan ini akan membahas sistem kontrol untuk jenis heater yang banyak digunakan di kilang minyak
(refinery), yaitu heater untuk distillation charge, heater untuk feed reactor dan reboiler. Heater jenis ini,
umumnya menggunakan bahan bakar minyak (fuel oil) dan/atau gas (fuel gas).
Seperti diperlihatkan pada gambar di atas, process medium yang akan dipanaskan dimasukkan ke heater,
dalam heater medium tersebut dipanaskan oleh panas hasil pembakaran fuel, sehingga saat keluar dari heater,
suhu medium tersebut menjadi lebih tinggi.
Secara umum, sistem kontrol pada heater bertujuan untuk:
Menjaga agar temperature medium selalu sesuai dengan yang diinginkan. Menjaga proses perpindahan panas berlangsung secara efektif, efisien dan aman. Menjaga agar proses pembakaran berlangsung dengan efisien.
Jenis sistem kontrol yang umumnya digunakan dalam heater adalah:
COT control. Combustion control. Fuel heating value compensation. Duty feedforward control. Pass temperature balance control. Total flow control.
COT control dan Combustion control. Tujuan dari COT control adalah menjaga temperature process
medium yang keluar dari heater (coil outlet temperature) agar sesuai setting-nya (setpoint), yang dilakukan
dengan mengatur besar kecilnya proses pembakaran (combustion control), melalui pengaturan aliran/flow fuel
yang masuk ke heater. Khusus untuk combustion control, terdapat berbagai jenis, ada yang sederhana, ada
juga yang kompleks, bergantung pada jenis draft (natural draft atau force draft) dan jenis fuel yang digunakan
(fuel oil atau fuel gas atau keduanya). Berikut adalah beberapa contoh konfigurasi COT-Combustion control.
Ini adalah COT-Combustion control untuk natural draft heater dengan hanya menggunakan fuel oil sebagai
bahan bakar. Pada konfigurasi ini, TOC control (TC) di-cascaded dengan fuel oil pressure control (PC) untuk
mengantisipasi perubahan pressure fuel oil. Jika COT lebih kecil dari setpoint, control akan bereaksi membuka
control valve fuel oil untuk memperbesar pembakaran, sebaliknya jika COT lebih besar dari setpoint, control
akan bereaksi menutup control valve fuel oil. Pada heater jenis natural draft seperti ini, combustion air flow
tidak dikontrol. Besar aliran combustion air diset secara manual pada rate yang memungkinkan fuel oil dapat
terbakar habis pada seluruh rentang operasi heater, sambil menjaga excess air tidak berlebih.
Berikut adalah COT-Combustion control untuk force draft heater dengan menggunakan fuel oil dan/atau fuel
gas.
Dalam konfigurasi ini, COT control (TC) di-cascaded ke fuel oil pressure control (PC) atau ke fuel gas flow
control (FC). Operator dapat memilih apakah COT di-cascaded ke PC atau ke FC melalui hand switch (HS). Jika
TC di-cascaded ke PC, maka FC diset ke mode Auto atau pada flow maksimum, begitu pula sebaliknya. Pada
konfigurasi ini, combustion air flow di-adjusted dengan menggunakan O2 control (AC), dengan cara ini, excess
air bisa dijaga.
Contoh COT-Combustion control lainnya adalah untuk force draft heater dengan menggunakan fuel oil dan fuel
gas, seperti gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, COT control (TC) di-cascaded ke total fuel flow control dan ke combustion air flow control,
melalui low dan high selector. Penggunaan low dan high selector ini dimaksud untuk menjamin kecukupan
combustion air dalam membakar habis fuel pada berbagai kondisi beban. Dalam konfigurasi ini, fuel/air ratio
dapat diset di combustion air flow control. Operator dapat memililih besarnya persentase/porsi fuel gas dan
fuel oil melalui split range.
Fuel Heating Value Compensation. Perhatikan gambar terakhir di atas, andaikan fuel gas yang digunakan
memiliki kandungan panas (heating value) yang berubah-ubah (misalnya SG yang berubah), maka besarnya
api/panas hasil pembakaran juga akan berubah walaupun COT-combustion control tidak bereaksi mengubah
aliran fuel yang masuk. Perubahan fuel gas heating value ini akan mengubah COT. Apabila perubahan tersebut
berlangsung secara terus menerus, maka COT tidak akan berada pada setpoint-nya untuk waktu yang lama.
Untuk mengatasi permasalahan ini ditambahkan konfigurasi fuel gas heating value compensation, seperti
gambar berikut.
Tujuan konfigurasi ini adalah untuk mengkompensasi perubahan kandungan panas (heating value) fuel gas,
sehingga tidak berpengaruh pada COT. Dalam konfigurasi ini, flow fuel gas hasil pengukuran dikompensasi
sebelum digunakan pada fuel gas flow control maupun total fuel flow control. Formula untuk kompensasi
adalah sbb:
Formula ini, dijalankan di FY, sedangkan switch HS digunakan operator untuk memilih apakah menggunakan
kompensasi atau tidak.
Duty Feedforward Control. Perhatikan kembali gambar terakhir di atas, andaikan aliran/flow medium yang
masuk berubah-ubah, maka ini akan menyebabkan COT juga berubah-ubah. Untuk mengatasinya ditambahkan
konfigurasi feedforward control seperti pada gambar berikut.
Secara umum, tujuan duty feedforward control adalah untuk menghilangkan/mengurangi dampak perubahan
heater duty terhadap COT. Heater duty dihitung dengan menggunakan formula berikut.
Konfigurasi feedforward pada gambar di atas dibuat dengan asumsi perubahan Cp dan T tidak terlalu signifikan
dibandingkan dengan perubahan F, sehingga variable feedforward hanya F.
Pass Temperature Balance Control. Umumnya heater memiliki lebih dari satu pass (pass adalah pipa/tube
yang masuk dan keluar heater dimana media yang akan dipanaskan dialirkan), seperti diperlihatkan pada
gambar berikut.
Tujuan pass temperature balance control adalah untuk menyeimbangkan/menyamakan temperature fluida
yang keluar dari semua pass, dengan jalan mengatur flow medium yang masuk ke masing-masing pass sambil
menjaga total flow rate selalu bernilai tetap. Secara umum, dengan pass temperature balance control, pass
yang outlet temperature-nya yang tinggi akan ditambah flow-nya dan pass yang outlet temperature-nya
rendah akan dikurangi flow-nya, sehingga tercapai outlet temperature yang sama untuk semua pass. Hal ini
dimaksud agar pengoperasian heater bisa lebih efektif dan efisien, karena:
Pada kondisi ini proses terjadinya cracking maupun coke pada pass bisa dikurangi dengan membatasi temperature maksimum pada setiap pass.
Mengurangi penggunaan fuel (bahan bakar).
Mekanisme pengaturan flow pada masing-masing valve/pass dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
Pengaturan flow ratio, yaitu dengan menghitung weight average outlet temperature. Pengaturan flow secara langsung, yaitu dengan menghitung average temperature.
Pengaturan flow ratio. Merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan. Weight average outlet
temperature, dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Pengaturan flow ratio. jika pengaturan flow dilakukan secara langsung, maka persamaan berikut digunakan:
Gambar berikut adalah contoh aplikasi pass temperature balance control pada heater yang memiliki 2 pass.
Total Flow Control. Konfigurasi kontrol ini digunakan pada heater yang memiliki lebih dari satu pass.
Tujuannya adalah untuk mempermudah operator untuk mengeset total flow melalui satu controller (yaitu
melalui total flow controller) ketimbang melalui flow controller masing-masing pass. Output controller ini,
kemudian didistribusikan ke flow controller masing-masing pass melalui pass temperature balance control,
seperti terlihat pada gambar di atas. Fset adalah setpoint untuk total flow control.
Posted in Process Equipment Control | 2 Comments »
Process Equipment Control : (4) Boiler Control
Posted by asro pada 30 Januari 2009
Boiler merupakan salah satu peralatan proses yang berfungsi memproduksi steam/uap. Steam yang dihasilkan
tersebut akan digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara lain sebagai penggerak turbine dan sebagai
media pemanas dalam unit proses.
Seperti terlihat pada gambar berikut, air (feedwater) dimasukkan ke Boiler dan dipanaskan, dalam hal ini oleh
panas hasil pembakaran fuel sehingga menghasilkan steam. Fuel yang digunakan bisa fuel gas atau fuel oil
atau keduanya (selain dari hasil pembakaran fuel, panas yang digunakan juga bisa berasal dari sumber lainnya,
seperti pembakaran batu bara, kayu/ampas, atau media pemanas lainnya).
Secara umum, tujuan sistem kontrol pada boiler adalah agar produk steam yang dihasilkan sesuai dengan
spesifikasi yang dikehendaki sambil tetap menjaga agar boiler dapat beroperasi dengan efisien dan aman.
Secara garis besar, sistem kontrol pada boiler ini terdiri dari: 1) Drum level control; 2) Combustion control;
3) Atomizing control; 4) Blowdown control; 5) Steam temperature control.
Drum Level Control. Tujuan drum level control adalah menjaga agar level drum (tinggi permukaan air dalam
drum) tetap pada setpoint-nya walaupun terjadi perubahan beban ataupun gangguan/disturbance lainnya.
Level drum yang terlalu rendah bisa menyebabkan terjadinya panas berlebih (overheated) pada boiler tubes
sehingga tubes bisa menjadi rusak/bengkok/bocor. Sebaliknya level drum yang terlalu tinggi akan
menyebabkan pemisahan air dan steam dalam drum tidak sempurna sehingga kualitas steam yang dihasilkan
kurang (banyak mengandung air/basah).
Ada tiga alternative/jenis drum level control, yaitu: 1) Single element drum level control; 2) Two-element drum
level control; 3) Three-element drum level control.
Single-element drum level control. Ini merupakan konfigurasi drum level control yang paling sederhana,
yaitu hanya menggunakan feedback level control. Disebut single-element karena hanya level drum saja yang
dikontrol. Konfigurasi kontrol ini umumnya digunakan pada boiler berkapasitas rendah (<150,000 pounds-per-
hour), pressure rendah (<250 pounds-per-square-inch), dan dengan beban yang relative tetap/stabil.
Kekurangan konfigurasi control ini adalah sulit mempertahankan level pada setpointnya jika terjadi perubahan
beban secara terus menerus.
Two-element drum level control. Konfigurasi ini digunakan untuk mengatasi kekurangan konfigurasi single-
element dalam menangani fluktuasi beban, yaitu dengan jalan menambah steam flow control (yang mewakili
beban boiler) sebagai feedforward control. Jadi, dalam konfigurasi ini, terdapat dua controller, yaitu level
control sebagai feedback dan steam flow control sebagai feedforward control, sehingga disebut dengan two-
element control. Konfigurasi ini cocok untuk single drum boiler dengan kondisi pressure/flow feedwater yang
relative konstan.
Three-element drum level control. Ini merupakan konfigurasi yang paling lengkap, yang dibentuk dengan
menambah feedwater flow control dalam konfigurasi cascade. Penambahan feedwater flow control ini
dimaksud untuk mengantisipasi fluktuasi pada flow/pressure feedwater, yang umumnya terjadi pada feedwater
line yang menggunakan beberapa pompa (multiple pump) untuk melayani beberapa boiler sekaligus (multiple
boiler).
Combustion Control. Tujuan combustion control adalah untuk menjaga pressure steam yang dihasilkan boiler
agar selalu sesuai dengan yang dikehendaki (sesuai setpoint-nya). Oleh karena itu, dalam konfigurasi
combustion control, steam pressure (biasanya diambil dari steam header) digunakan sebagai master control,
outputnya di-cascade dengan fuel flow control dan combustion air flow control (air di sini maksudnya udara).
Jika terjadi kenaikan beban (yang ditandai dengan turunnya pressure steam dari setpoint-nya), maka fuel flow
control dan combustion air flow control akan bereaksi membuka control valve. Sebaliknya, apabila terjadi
penurunan beban (yang ditandai dengan kenaikan pressure steam dari setpoint-nya), maka kedua control
tersebut akan bereaksi menutup control valve.
Fuel flow control dan combustion air flow control di-interkoneksi untuk menjamin agar combustion air/udara
selalu cukup tersedia untuk membakar habis fuel pada kondisi berapapun perubahan flow fuel. Hal ini untuk
menjaga agar tidak terjadi akumulasi fuel yang tidak terbakar di dalam ruang bakar karena sangat
membahayakan (bisa menimbulkan ledakan). Interkoneksi fuel flow control dan combustion air flow control ini
dilakukan melalui selector switch (high dan low), seperti pada gambar berikut.
Dalam konfigurasi ini, apabila terjadi kenaikan beban, maka yang terlebih dahulu bereaksi untuk membuka
control valve adalah combustion air flow control baru kemudian fuel flow control. Sebaliknya, apabila terjadi
penurunan beban, maka yang terlebih dahulu bereaksi untuk menutup control valve adalah fuel flow control
baru kemudian combustion air flow control.
Master control. Seperti yang dijelaskan di atas, yang menjadi master dalam combustion control adalah
pressure steam. Apabila lebih dari satu boiler digunakan secara paralel, maka perlu ada pembagian
beban/load ke masing-masing boiler. Untuk keperluan pembagian beban ini, maka sinyal/informasi yang
berasal dari master control akan dikirim ke loading station di masing-masing boiler, seperti pada gambar
berikut. Dengan loading station, operator dapat memberikan bias ke master control. Output loading station
akan dikirim ke steam flow control masing-masing boiler.
Kadang kala, untuk pertimbangan efisiensi, suatu boiler diopresikan pada beban tetap, sedangkan beban
boiler lainnya dibiarkan berubah-ubah secara otomatis untuk disesuaikan dengan perubahan total beban.
Untuk keperluan ini, boiler berbeban tetap tersebut dioperasikan berbasiskan beban (based load), dimana
sebagai master bukan steam pressure control, tetapi steam flow control.
Fuel flow – air flow control. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa salah satu hal yang paling penting
dalam combustion control adalah menjaga agar perbandingan fuel flow/combustion air flow (fuel/air ratio)
selalu terpenuhi untuk pembakaran yang sempurna. Data fuel/air ratio diperoleh dari operation test. Indicator
terjadinya pembakaran yang sempurna adalah jika terdapat excess air (oksigen) secukupnya dalam gas sisa
pembakaran. Excess air yang berlebih menyebabkan operasi boiler tidak efisien karena sebagian panas akan
diserap oleh kelebihan udara tersebut. Excess air yang kurang juga mengurangi efisiensi karena sebagian fuel
tidak terbakar. Yang lebih berbahaya adalah terakumulasinya fuel yang tidak terbakar dalam ruang bakar
karena dapat menyebabkan ledakan.
Fuel/air ratio bisa berubah, antara lain disebabkan oleh perubahan kandungan panas (btu content) dari fuel
atau perubahan suhu udara. Untuk itu maka dalam combustion control perlu ada fasilitas untuk merubah nilai
perbandingan ini, seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
Perubahan fuel/air ratio bisa dilihat dari perubahan excess air di gas buangan hasil pembakaran. Dari informasi
mengenai perubahan excess air ini (melalui pengukuran dengan O2 analyzer), operator merubah ratio ini
dengan cara memberikan bias seperti pada gambar diatas.
Apabila fuel yang digunakan adalah fuel gas, maka sebaiknya dilengkapi dengan pressure compensation untuk
mengatasi fluktuasi pressure pada supply fuel gas. Jika menggunakan fuel oil, maka diperlukan atomizing
control agar pembakaran fuel oil bisa lebih sempurna. Atomizing control akan dibahas pada topik tersendiri.
Apabila menggunakan dua jenis fuel (fuel gas dan fuel oil), maka hasil pengukuran fuel gas flow dan fuel oil
flow dijumlahkan dulu baru dikirim ke total fuel flow control sebagai measurement/process variable (PV) dan ke
combustion air high selector switch, seperti diperlihatkan dalam gambar diatas. Selanjutnya, output total fuel
flow control dikirim ke masing-masing flow control fuel oil dan fuel gas melalui pembagi (FY2) dan FY3).
Besarnya porsi fuel oil dan fuel gas di-set oleh operator melalui hand control (HC). Penggunaan high selector
(>) sebelum control valve dimaksud untuk mengantisipasi fluktuasi pressure pada line fuel.
Oxygen control. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa untuk mengatasi perubahan fuel/air ratio, operator
memberi/mengubah bias secara manual dengan berpedoman pada excess air hasil pengukuran O2 analyzer.
Jika kandungan panas (btu content) dalam fuel berfluktuasi secara terus menerus, maka akan lebih baik jika
adjustment fuel/air ratio tersebut tidak dilakukan secara manual, melainkan secara otomatis. Hal ini dapat
dilakukan dengan menambah/menggunakan O2 control, seperti gambar berikut.
Nilai optimal excess air pada operasi boiler tidak tetap, tetapi bergantung pada beban boiler, pada beban
rendah nilai optimal excess air tinggi, sebaliknya pada beban tinggi nilai optimal excess air rendah. Nilai
optimal excess air pada suatu boiler diperoleh dari plant/operational test, salah satu contohnya seperti
diperlihatkan pada tabel berikut.
Setpoint untuk O2 control (AC) akan mengikuti nilai pada tabel tersebut sesuai perubahan beban, seperti
terlihat pada konfigurasi kontrol di atas (dijalankan di AY).
Fuel/air ratio juga diperoleh dari plant/operational test. Tabel berikut adalah contoh fuel/air ratio dari hasil test
tersebut.
Fungsi fuel/air ratio ini akan dijalankan/dieksekusi di FY1 (lihat gambar di atas). Automatic bias untuk fuel/air
ratio dilakukan di FY2 dengan menggunakan formula berikut: Bias air flow = (air flow/(0.4 x output oxygen
control + 80)) x 100.
Atomizing Control. Pada boiler yang menggunakan fuel oil, diperlukan proses atomizing untuk memecah-
mecah molekul fuel oil sehingga proses pembakaran berjalan dengan sempurna. Salah satu jenis proses
atomizing ini adalah dengan menggunakan steam atomizing, yaitu dengan cara memberi tekanan (dengan
menggunakan tekanan steam) pada nozzle penyemprot fuel oil. Agar proses atomizing ini selalu berjalan
dengan sempurna pada berbagai kondisi tekanan/pressure fuel oil maupun steam atiomizing , maka digunakan
sistem kontrol yang disebut atomizing control. Tujuan konfigurasi atomizing control adalah menjaga beda
tekanan (pressure differential) antara atomizing steam dan fuel oil yang menuju burner agar tidak berubah,
seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Blowdown Control. Blowdown system dalam boiler berguna untuk mengontrol kandungan solid dalam
feedwater agar tidak berlebih. Kandungan solid dalam feedwater akan terikut ke steam yang diproduksi,
sehingga apabila kandungan solid dalam feedwater tinggi, maka kandungan solid di steam juga akan tinggi,
sehingga bisa menurunkan kwalitas steam yang dihasilkan. Selain itu, kandungan solid dalam feedwater yang
berlebih juga akan menyebabkan terjadinya kerak/scale pada pipa/tube/drum sehingga selain peralatan
tersebut cepat rusak, juga efisiensi boiler menurun karena kehadiran kerak tersebut akan mengurangi area
perpindahan panas (heat transfer area).
Ada dua jenis blowdown, yaitu intermittent blowdown dan continuous blowdown. Intermittent blowdown
dioperasikan secara manual oleh operator, berdasarkan hasil pengukuran kwalitas feedwater (pengukuran
electrolytic conductivity dalam feedwater) atau hasil pengukuran steam purity dengan menggunakan sodium
analyzer. Sedangkan continuous blowdown akan membuang air yang mengandung solid dalam drum secara
terus menerus dengan besarnya aliran buangan dikontrol berdasarkan hasil pengukuran/perkiraan jumlah
kandungan solid dalam feedwater di boiler drum.
Ada dua jenis sistem kontrol yang digunakan pada continuous blowdown, yaitu conductivity control dan ratio
control. Dalam konfigurasi conductivity control, electrolytic conductivity feedwater diukur menggunakan
conductivity meter secara online, kemudian sinyal hasil pengukuran ini dikirim ke controller (AC) untuk
menggerakan control valve, seperti pada gambar berikut. Semakin tinggi electrolytic conductivity hasil
pengukuran conductivity meter, semakin besar bukaan control valve continuous blowdown (semakin banyak air
yang dibuang/dikuras), begitu pula sebaliknya.
Continuous blowdown juga dapat dikontrol dengan menggunakan ratio control, yaitu ratio antara blowdown
flow dan feedwater flow, seperti diperlihatkan pada gambar berikut. Setpoint untuk ratio control ini
ditentukan/diberikan secara manual berdasarkan hasil pengukuran kwalitas feedwater (electrolytic
conductivity) atau kwalitas steam (steam purity).
Steam Temperature Control. Untuk boiler yang menghasilkan steam dengan tekanan tinggi (HP steam),
biasanya dilengkapi dengan Superheater – Desuperheater. Superheater berfungsi menaikan temperature
steam yang dihasilkan boiler (saturated steam). Sedangkan Desuperheater digunakan untuk menstabilkan
temperature steam yang keluar dari Superheater, dengan jalan menyemprotkan steam tersebut dengan water
(feedwater). Untuk menjaga temperature steam selalu stabil pada berbagai beban, maka Desuperheater
dilengkapi dengan temperature control, seperti gambar berikut.
Temperature steam yang keluar dari Desuperheater diukur, hasil pengukuran digunakan oleh temperature
control (TC) untuk menggerakan control valve pada feedwater line yang masuk ke Desuperheater. Bila
temperature steam lebih tinggi dari setpoint, control valve membuka untuk menaikan aliran feedwater yang
masuk ke Desuperheater, sebaliknya jika temperature steam lebih rendah dari setpoint-nya maka control valve
akan menutup.
Perlu diketahui bahwa, dalam prakteknya belum tentu semua jenis kontrol yang dibahas diatas digunakan,
karena penggunaan jenis kontrol tersebut bergantung pada kebutuhan. Sehingga sering kita temukan suatu
boiler memiliki sistem kontrol yang lebih lengkap dibandingkan dengan boiler lainnya, seperti dua contoh
berikut ini.
Posted in Process Equipment Control | 51 Comments »
Process Equipment Control : (3) Centrifugal Pump Control
Posted by asro pada 11 Januari 2009
Peralatan lainnya yang juga banyak digunakan dalam industri proses adalah pompa (pump). Jika compressor
digunakan untuk menangani gas (gas handling), maka pompa digunakan untuk menangani fluida yang
berbentuk liquid/cairan. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut ini, liquid dari titik A hendak dipindahkan ke
titik C. Untuk melakukan ini, sebuah pompa digunakan untuk menaikan tekanan/pressure liquid dari P1 ke P2,
sehingga liquid tersebut bisa mengalir ke titik C. Tekanan di titik C, P3 < P2 karena ada tekanan yang hilang di
perjalanan (pada pipa).
Sebagaimana peralatan proses lainnya, maka operasi pompa juga perlu dikontrol sehingga kondisi operasi yang
diinginkan oleh unit proses yang dilayaninya selalu terpenuhi.
Ada 3 jenis pompa yang biasa digunakan, yaitu centrifugal pump, rotary pump dan reciprocating pump. Tulisan
ini membahas sistem kontrol untuk pompa centrifugal, sedangkan sistem kontrol untuk kedua jenis pompa
lainnya akan dibahas pada lain kesempatan.
Prinsip Operasi Pompa. Prinsip kerja pompa mirip dengan compressor sehingga pendekatan yang
digunakan untuk menjelaskan sistem kontrol pompa juga hampir sama dengan pada compressor, yaitu dimulai
dengan uraian dasar yang berkaitan dengan operasi pompa centrifugal, antara lain menyangkutperformance
curve, system curve, operating point dan kavitasi.
Pompa centrifugal merupakan peralatan yang mengkonversi energi yang diberikan oleh penggeraknya (prime
mover, seperti motor atau turbine), mula-mula menjadi energi kinetik dalam bentuk velocity dan kemudian
menjadi energi tekanan dari fluida yang dipompakan. Proses konversi energi ini dilakukan oleh kedua
komponen utama pompa, yaitu impeller yang merupakan komponen rotating yang mengkonversi energi
penggerak menjadi energi kinetik dan diffuseryang merupakan komponen stationery yang mengkonversi
energi kinetik menjadi pressure.
Berikut adalah persamaan kerja pompa centrifugal.
Pump performance curve. Kinerja kerja sebuah pompa dapat dilihat dari performance curve yang
merupakan curva antara flow capacity dan head. Berikut adalah contoh performance curve dari sebuah pompa
dengan diameter impeller tertentu untuk beberapa speed.
System curve. Bila liquid dengan tekanan/pressure tertentu dialirkan melalui suatu sistem pemipaan (yang
terdiri dari pipa, valve, elbow, reducer serta komponen sistem pemipaan lainnya), akan terjadi kehilangan
tekanan (pressure drop) sepanjang sistem pemipaan tersebut. Apabila kita plot kurva antarapressure
drop vs flow, maka akan terbentuk kurva seperti terlihat pada gambar berikut. Kurva tersebut disebut system
curve. Pada kurva ini, pressure drop terdiri dari 2 komponen, yaitu static pressure antara dua titik sebagai titik
acuan dan dynamic pressure drop sebagai akibat dari adanya friksi aliran sepanjang sistem pemipaan antara
kedua titik acuan tersebut. Static pressure bernilai tetap dan tidak bergantung pada aliran/flow yang melalui
system, sebaliknya dynamic pressure drop berbanding lurus dengan kwadrat kecepatan alir/flowrate.
System curve tidak bergantung pada sumber atau peralatan yang menyupply liquid seperti pompa, jadi
meskipun terjadi perubahan pada peralatan supply liquid tersebut, system curve tidak berubah. System curve
akan berubah jika terjadi perubahan pada system, misalnya perubahan ukuran pipa atau membuka atau
menutupnya valve. Seperti terlihat pada gambar di atas, jika valve membuka (friksi system berkurang) maka
flow akan bertambah dan pressure drop berkurang, system curve akan bergeser ke kanan (curve b). Sebaliknya
jika valve menutup (friksi bertambah), maka system curve akan bergeser ke kiri (curve c).
Pump operating point. Ketika pompa dikoneksikan ke system, titik operasi (operating point) dari pompa
tersebut dapat diperoleh dengan meletakan system curve dan pump performance curve dalam suatu kurva.
Titik perpotongan antara kedua kurva tersebut merupakan titik operasi dari pompa, seperti terlihat pada
gambar berikut.
Besarnya flow dan pressure yang diberikan/dihasilkan oleh pompa bisa dibaca pada titik perpotongan tersebut.
Titik operasi dapat digeser/diubah dengan cara mengubah system curve (dari titik a ke titik b) atau mengubah
performance curve (dari titik a ke titik c). Prinsip inilah yang mendasari cara kerja sistem kontrol pompa yaitu
menjaga titik operasi di lokasi tertentu pada curve.
Kavitasi. Pompa hanya digunakan untuk menangani fluida yang berbentuk liquid/cairan. Jika fluida yang
dipompa sebagian berbentuk/atau berubah bentuk menjadi vapor, maka kerja pompa menjadi tidak efektif,
bahkan bisa merusak. Pada saat liquid yang masuk ke impeler dipercepat flow-nya, tekanannya akan turun. Jika
penurunan tekanan tersebut melewati vapor pressure maka sebagian liquid akan berubah menjadi vapor.
Selanjutnya saat melewati diffuser flow akan diperlambat dan tekanannya akan naik sehingga gelembung
vapor yang terjadi sebelumnya akan koleps dan berubah menjadi liquid kembali. Proses perubahan dari liquid
menjadi vapor dan kembali lagi menjadi liquid ini disebut kavitasi. Perubahan kembali (koleps-nya) gelembung
vapor menjadi liquid terjadi pada kecepatan alir yang sangat tinggi, apabila ia menyentuh lapisan/permukaan
material padat/metal maka akan terjadi erosi yang sangat ekstrim. Jadi, kavitasi ini sifatnya merusak sehingga
harus dicegah, yaitu dengan cara menjaga pressure/tekanan suction pompa agar cukup tinggi.
Pump Control. Sama seperti pada pembahasan dalam serie sebelumnya, dalam pembahasan mengenai
pump control ini juga terdapat dua issue penting, yaitu penentuan controlled variable dan manipulated
variable.
Untuk issue pertama, yang menjadi controlled variable bisa flow/kapasitas, level atau pressure (upstream atau
downstream) bergantung kebutuhan proses/operasi. Dari ketiga variable ini, yang paling banyak digunakan
adalah flow. Jika yang digunakan adalah level (biasanya level inlet/outlet vessel), maka output controller bisa
langsung menggerakan control valve atau bisa juga melalui flow control (konfigurasi cascade).
Issue kedua yaitu manipulated variable, secara teoritis terdapat empat opsi, yaitu suction flow/pressure
melalui suction throttling, discharge flow/pressure melalui discharge throttling, recycle flow melalui recycle
throttling dan variable speed.
Suction throttling. Suction throttling, yaitu dengan menempatkan control valve di suction/inlet pompa.
Secara teoritis ini akan mengubah performance curve, akan tetapi cara ini sangat fatal karena dapat memicu
terjadinya kavitasi, sehingga cara ini tidak pernah digunakan.
Discharge throttling. Dengan discharge throttling berarti mengubah system curve, seperti diperlihatkan
pada gambar berikut. Misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pata titik (1), yaitu pada flow Q1 dan
pressure P1. Kemudian dikehendaki, flow nerkurang menjadi Q2, sehingga titik operasi digeser ke titik (2),
yaitu pada flow Q2 dan pressure P2. Ini dilakukan dengan menutup sedikit discharge control valve (menutup
control valve berarti menggeser/memutar system curve ke kiri). Perhatikan gambar tersebut, P2 adalah
pressure pada keluaran/discharge pompa sebelum control valve, sedangkan pressure sesudah control valve
sebesar P3, sehingga pressure yang hilang (drop) di control valve sebesar P2-P3.
Recycle control. Dalam konfigurasi kontrol ini, sebagian liquid di discharge dikembalikan ke suction, seperti
diperlihatkan pada gambar berikut. Recycle control ini berguna untuk mencegah terjadinya kavitasi karena
kekurangan flow/pressure pada suction pompa.
Sama dengan pada discharge throttling, prinsip dari recycle control adalah juga merubah/menggeser system
curve. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut, misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pada titik (1),
yaitu pada flow Q1 dan pressure P1. Kemudian karena suatu dan lain hal, level vessel turun sehingga flow
yang masuk ke pompa (suction flow) juga turun di bawah setpoint FC. Sebagai reaksi dari penurunan suction
flow ini, FC akan membuka recycle control valve sehingga titik operasi pompa bergeser ke titik (2), yaitu pada
flow Q2 dan pressure P2. Perhatikan gambar tersebut, Q2 adalah discharge flow sebelum recycle tie,
sedangkan flow sesudah recycle tie yang masuk ke system adalah Q3, sedangkan recycle flow adalah sebesar
Q2-Q3. Bagian bawah curve 2 yang agak berbeda menggambarkan flow yang melalui recycle valve sebelum
check valve membuka.
Speed control. Cara lain untuk menyesuaikan pompa dengan system yang dilayaninya adalah melalui speed
control, yang berarti dengan merubah/menggeser performance curve, seperti gambar berikut.
Misalnya pada suatu saat, pompa beroperasi pada titik (1), yaitu pada flow Q1 dan pressure P1. Selanjutnya
andaikan discharge flow hendak diubah dari Q1 ke Q2, maka yang dilakukan adalah hanya dengan
mengurangi speed pompa, sehingga titik operasi bergeser ke titik (2), yaitu pada flow Q2 dan pressure P2.
On-off control. Selain konfigurasi kontrol yang sudah dibahas di atas, jenis kontrol lain yang juga banyak
digunakan adalah on-off control. Jenis kontrol ini digunakan apabila tidak dibutuhkan kontrol yang presisi. Salah
satu contohnya adalah system control sump-pump seperti pada gambar berikut. LSL switch akan membuka/off
jika level berada di bawah setpoint.
Apabila dikehendaki agar level selalu berada dalam rentang atas (high level/on) dan bawah (low level/off),
maka konfigurasi berikut dapat digunakan. Dalam konfigurasi ini, operator bisa menjalankan (start) dan
menghentikan (stop) pompa apabila level vessel berada pada rentang atas dan bawah sesuai setting. Operator
tidak dapat menghentikan pompa apabila level vessel melebihi batas atas (high level), begitu pula sebaliknya
ia tidak dapat menjalankan pompa apabila level vessel kurang dari batas bawah (low level).
Posted in Process Equipment Control | 13 Comments »
Process Equipment Control : (2) Centrifugal Compressor Control
Posted by asro pada 5 Desember 2008
Dalam industri proses, compressor banyak digunakan untuk menangani gas (gas handling) yaitu dengan jalan
menaikan tekanan gas. Seperti diperlihatkan pada gambar berikut ini, gas dari titik A hendak dipindahkan ke
titik C. Untuk melakukan ini, sebuah compressor digunakan untuk menaikan tekanan gas dariP1 ke P2 ,
sehingga gas bisa mengalir ke titik C. Tekanan di titik C, P3 < P2 karena ada tekanan yang hilang di perjalanan
(pada pipa).
Sebagaimana peralatan proses lainnya, maka operasi compressor juga perlu dikontrol sehingga kondisi operasi
yang diinginkan oleh unit proses yang dilayaninya selalu terpenuhi.
Ada 3 jenis compressor yang biasa digunakan, yaitu Centrifugal Compressor, Rotary Compressor dan
Reciprocating Compressor. Tulisan ini membahas sistem kontrol untuk centrifugal compressor, sedangkan
sistem kontrol untuk kedua jenis compressor lainnya akan dibahas pada lain kesempatan.
Prinsip Operasi Compressor. Sebelum membahas metoda control yang digunakan dalam centrifugal
compressor, terlebih dahulu akan diuaraikan beberapa hal dasar yang berkaitan dengan operasi centrifugal
compressor, yaitu compressor performance curve, surge phenomena, system curve dan compressor operating
point.
Centrifugal compressor merupakan peralatan yang mengkonversi momentum gas menjadi head (pressure).
Berikut adalah persamaan kerja centrifugal compressor.
Compressor Performance Curve. Apabila compressor dioperasikan pada , TI, R, n, dan Z yang
constant, maka kurva PD terhadap W untuk beberapa nilai PI dapat digambarkan sbb:
Sedangkan bila berubah-ubah, maka kurva-nya dapat digambarkan sbb:
Surge Phenomena. Seperti terlihat pada kedua kurva diatas, terdapat garis yang berbentuk parabolik
disebelah kiri kurva, yang disebut surge line. Apabila compressor beroperasi pada aliran rendah sehingga
melewati surge line kekiri, maka operasi compressor akan menjadi tidak stabil dan terjadi aliran bolak-balik
yang akan menyebabkan vibrasi dan kerusakan. Kondisi ini disebut surging. Untuk menghindari surging,
compressor harus dioperasikan pada flow yang lebih besar dari surge line, jadi titik operasi compressor harus
berada disebelah kanan surge line.
System Curve. Bila gas dengan tekanan/pressure tertentu dialirkan melalui suatu sistem pemipaan (yang
terdiri dari pipa, valve, elbow, reducer serta komponen sistem pemipaan lainnya), akan terjadi kehilangan
tekanan (pressure drop) sepanjang sistem pemipaan tersebut. Apabila kita plot kurva antara pressure drop vs
flow, maka akan terbentuk kurva seperti terlihat pada gambar berikut. Kurva tersebut disebut system curve.
Pada curve ini, pressure drop terdiri dari 2 komponen, yaitu static pressure antara dua titik sebagai titik acuan
dan dynamic pressure drop sebagai akibat dari adanya friksi aliran sepanjang sistem pemipaan antara kedua
titik acuan tersebut. Static pressure bernilai tetap dan tidak bergantung pada aliran/flow yang melalui system,
sebaliknya dynamic pressure drop berbanding lurus dengan kwadrat kecepatan alir (flowrate).
System curve tidak bergantung pada sumber atau peralatan yang menyupply gas (compressor), jadi meskipun
terjadi perubahan pada peralatan supply gas tersebut, system curve tidak berubah. System curve akan
berubah jika terjadi perubahan pada system, misalnya perubahan ukuran pipa atau membuka atau
menutupnya valve. Seperti terlihat pada gambar diatas, jika valve membuka (friksi sistem berkurang), maka
flow akan bertambah dan pressure drop berkurang, system curve akan bergeser ke kanan (curve b).
Sebaliknya jika valve menutup (friksi bertambah), maka system curve akan bergeser ke kiri (curve c).
Compressor Operating Point. Ketika compressor dikoneksikan dengan system, titik operasi (operating
point) dari compressor tersebut dapat diperoleh dengan meletakan system curve dan compressor performance
curve dalam suatu curve. Titik perpotongan antara kedua curve tersebut merupakan titik operasi dari
compressor, seperti terlihat pada gambar berikut.
Besarnya flow dan pressure yang diberikan/dihasilkan oleh compressor bisa dibaca pada titik perpotongan
tersebut. Titik operasi dapat digeser/diubah dengan cara mengubah system curve (dari titik a ke titik b) atau
mengubah performance curve (dari titik a ke titik c). Prinsip inilah yang mendasari cara kerja compressor
control yaitu menjaga titik operasi di lokasi tertentu pada curve.
Compressor Control Type. Ada beberapa jenis sistem kontrol compressor centrifugal, yaitu 1) Performance
Control, 2) Antisurge Control, dan 3) Load Sharing Control.
Performance Control. Sama seperti pada HE control yang dibahas pada serie sebelumnya, dalam
pembahasan mengenai performance control juga terdapat dua issue penting, yaitu penentuan controlled
variable dan manipulated variable. Untuk issue pertama, yang menjadi controlled variable dalam performance
control bisa flow/kapasitas, discharge pressure atau inlet/suction pressure, bergantung pada pertimbangan
operasi. Sedangkan issue kedua, yaitu manipulated variable juga terdiri dari beberapa opsi, yaitu suction
flow/pressure melalui suction throttling, suction flow/pressure melalui inlet guide vane, discharge flow/pressure
melalui discharge throttling dan variable speed. Gambar berikut menunjukan beberapa konfigurasi
performance control dengan flow/kapasitas sebagai control variable.
Suction throttling. Kapasitas compressor dapat dikontrol dengan memanipulasi inlet pressure PI, yaitu
dengan jalan menempatkan control valve di suction (suction throttling). Untuk menjelaskan operasi
compressor pada konfigurasi ini, perhatikan constant speed curve pada gambar dibawah ini. Andaikan pada
awalnya compressor beroperasi pada titik (1), yang merupakan perpotongan antara performance curve I dan
system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Selanjutnya diinginkan flow
berkurang menjadi 5,600 lbm/hr. Dengan suction throttling (mengubah inlet pressure PI), berarti mengubah
performance curve, dengan system curve-nya tetap. Jadi titik operasi baru tersebut terletak pada system curve
lama A dan performance curve baru (katakan curve III), dengan flow sebesar 5,600 lbm/hr dan discharge
pressure sebesar 70 psia, titik (3). Jika performance curve I tidak berubah, flow sebesar 5,900 lbm/hr terletak
pada titik (4), dengan discharge pressure sebesar 190 psia. Untuk mengubah/menggeser titik dengan flow
sebesar 5,900 lbm/hr di performance curve I (titik 4) ke performance curve III (titik 3), kita harus mengurangi
discharge pressure sebesar 190 psia – 70 psia = 120 psi. Jika compressor pressure ratio sebesar 10, maka
untuk mengurangi discharge pressure ini diperlukan pengurangan inlet pressure sebesar 120/10 = 12 psi, yang
dilakukan dengan menutup suction control valve.
Discharge throttling. Kapasitas compressor dapat juga dikontrol dengan menempatkan control valve di
discharge. Dengan discharge throttling berarti yang diubah adalah system curve, sedangkan performance
curvenya tetap. Untuk menjelaskan prinsip kerjanya perhatikan kembali constant speed curve pada gambar
diatas. Mula-mula compressor beroperasi pada titik (1) yang merupakan perpotongan antara performance
curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Selanjutnya
dikehendaki flow berkurang menjadi 5,900 lbm/hr. Pada performance curve I, flow sebesar 5,900 lbm/hr,
terletak pada titik (4) yang merupakan perpotongan dengan system curve C, dengan discharge pressure
sebesar 190 psia. Jika system curve tidak berubah, maka flow sebesar 5,900 lbm/hr ini di system curve A
terletak pada titik (3), pada pressure 70 psia. Untuk mengubah/menggeser titik (3) pada curve A ke titik (4)
pada curve C perlu pengurangan pressure sebesar 190-70=120 psi, yang diperoleh dengan menutup discharge
control valve.
Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana jika titik operasi compressor bergeser dari titik (1) ke titik (2). Titik (1)
merupakan perpotongan antara performance curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan
discharge pressure 140 psia. Sedangkan titik (2) merupakan perpotongan antara performance curve II dan
system curve B, yaitu pada flow 5,900 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Karena titik operasi baru
terletak pada performance curve dan system curve baru, yang berbeda dengan sebelumnya, maka pergeseran
ini hanya bisa dilakukan dengan jalan suction throttling (merubah performance curve) dan discharge throttling
(mengubah system curve) sekaligus. Kita mulai dengan melihat perubahan system curve A ke B. Flow sebesar
5,900 lbm/hr pada curve A terletak di titik (3) pada discharge pressure 70 psia, sedangkan flow yang sama
pada curve B terletak pada titik (2) pada pressure 140 psia, jadi harus ada pengurangan discharge pressure
sebesar 140-70=70 psi, yaitu dengan menutup discharge control valve. Selanjutnya mari kita lihat perubahan
performance curve I ke II. Flow sebesar 5,900 lbm/hr pada curve I terletak di titik (4) yaitu pada pressure 190
psia, sedangkan pada curve II terletak di titik (2) pada pressure 140 psia, jadi harus ada pengurangan
discharge pressure 190-140=50 psi. Jika compressor pressure ratio sebesar 10, maka untuk pengurangan
discharge pressure ini diperlukan pengurangan inlet pressure sebesar 50/10=5 psia, ini dilakukan dengan
menutup suction control valve.
Inlet Guide Vane. Dalam metode ini, inlet pressure/flow diubah-ubah dengan mengatur guide vane yang
terletak pada inlet compressor. Jadi prinsip kerjanya sama dengan inlet throttling, yaitu mengubah
performance curve. Keuntungan guide vane dibandingkan dengan inlet throttling adalah lebih efisien karena
pressure loss yang terjadi sangat kecil. Akan tetapi, kekurangannya adalah lebih kompleks dan harganya jauh
lebih mahal dibandingkan dengan control valve.
Variable Speed. Kapasitas control juga dapat dilakukan dengan mengubah-ubah speed compressor. Untuk
lebih jelasnya perhatikan kurva variable speed berikut.
Andaikan kita mau mengubah titik operasi compressor dari (1) pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure
140 psia ke (2) pada flow 6,700 lbm/hr dan discharge pressure 80 psia, maka yang dilakukan adalah hanya
dengan mengurangi speed compressor dari 100% menjadi 70%. Jika hal ini dilakukan dengan suction
throttling, maka inlet pressure harus dikurangi (140-80)/10=6 psi, yang merupakan kehilangan pressure
(losses) di inlet control valve. Ini sangat bertolak belakang dengan variable speed, dimana pengurangan speed
ke 70% berarti daya yang diperlukan juga berkurang. Hal inilah yang merupakan keuntungan dari variable
speed control dibandingkan dengan suction throttling, yaitu lebih efisien.
Antisurge Control. Antisurge control berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi surging pada compressor
yang sedang beroperasi, yaitu dengan jalan menjaga titik operasinya agar selalu berada di sebelah kanan
surge line. Terdapat banyak konfigurasi antisurge control, sebagian akan dibahas di sini.
Fixed Setpoint Antisurge Control. Untuk menjaga agar titik operasi compressor selalu berada di sebelah
kanan surge line, yang berarti juga menjaga agara discharge flow selalu lebih besar dari surge flowrate, dapat
dilakukan dengan mengembalikan sebagian flow dari discharge ke suction/inlet compressor, seperti terlihat
pada gambar berikut.
Sesuai dengan namanya, maka pada konfigurasi ini, setpoint untuk antisurge controller (FC) dibuat fixed/tidak
berubah. Biasanya nilai setpoint tersebut diambil cukup besar sehingga aman untuk semua kondisi operasi.
Sebagai contoh perhatikan performance curve berikut ini.
Misalnya titik operasi compressor berada pada titik (1) yang merupakan perpotongan antara performance
curve I dan system curve A, yaitu pada flow 9,600 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Andaikan setpoint
antisurge control (FC) adalah 5,700 lb/hr. Apabila karena sesuatu hal, flow yang berasal dari hulu compressor
berkurang, yang berarti suction pressure turun, maka performance curve akan bergeser ke bawah, discharge
pressure turun. Untuk mempertahankan discharge pressure, performance control (PC) akan menutup
discharge control valve, system curve akan bergeser ke atas. Jika suction flow berkurang hingga 5,700 lbm/hr,
maka titik operasi baru akan bergeser ke titik (2) yang merupakan perpotongan antara performance curve II
dan system curve B, yaitu pada flow 5,700 lbm/hr dan discharge pressure 140 psia. Jika flow dari hulu terus
turun, maka antisurge valve akan mulai membuka, sehingga sebagian discharge flow akan dikembalikan ke
suction. Dengan cara ini flow yang masuk ke compressor akan dijaga pada 5,700 lbm/hr, sehingga tidak terjadi
surging, walaupun mungkin flow yang dari hulu sudah berada di bawah surge line.
Variable Setpoint Antisurge Control. Konfigurasi fixed setpoint antisurge control di atas mempunyai
banyak kelemahan, diantaranya tidak efisien karena untuk menjaga agar kondisi tetap aman pada semua
kondisi operasi, maka setpoint untuk antisurge control harus diambil cukup besar sehingga akan banyak gas
(flow) yang dikembalikan ke suction. Untuk meningkatkan efisiensi, bisa saja setpoint controller diambil tidak
terlalu besar/tidak terlalu jauh dari surge line sehingga tidak banyak gas dikembalikan ke suction, akan tetapi
ini bisa mendatangkan risiko, yaitu apabila terjadi perubahan kondisi operasi yang menyebabkan surge line
bergesar ke kanan, maka bisa jadi setpoint tersebut sudah masuk ke daerah surging. Untuk mengatasinya,
maka setpoint antisurge controller dibuat tidak fixed, tetapi berubah-ubah sesuai kondisi operasi saat itu.
Surge curve dapat dihitung (diperkirakan) dengan persamaan (PD – PI) – K1Q2(PI/TI), dengan Q adalah volume
flowrate dan KI merupakan konstanta. Karena head loss (differential pressure) pada orifice h = K2Q2(PI/TI)
maka dapat diperoleh persamaan untuk surge curve (PD – PI) = K3h . Titik operasi aman berada pada kondisi
(PD – PI) < K3h , jadi antisurge control dapat dilakukan dengan menjaga kondisi ini, seperti pada gambar
berikut.
Nilai b adalah safety margin yang merupakan jarak antara surge point dan setpoint. Dengan konfigurasi ini,
setpoint antisurge control tidak fix, melainkan bergantung pada kondisi operasi. Jika surge pointnya bergerak
ke kiri, maka setpointnya juga ikut bergerak ke kiri dengan jarak tetap sebesar b, dengan cara ini energy loss
akibat kebanyakan flow yang dikembalikan ke suction dapat dihindari. Karena control dalam konfigurasi ini
bersifat discontinuous, maka controller yang digunakan harus dilengkapi dengan anti reset windup.
Trisen Antisurge Control. Pada kedua tipe antisurge control sebelumnya, dapat dilihat bahwa pencegahan
surging dilakukan dengan mengembalikan sebagian discharge flow ke suction, pada hal mengembalikan flow
ke suction sama saja dengan membuang-buang energi. Karena itu, issue yang paling penting dalam antisurge
control adalah bagaimana merancang konfigurasi antisurge control sedemikian sehingga energi yang terbuang
tersebut bisa diminimumkan sambil tetap menjaga agar tidak terjadi surging. Hal inilah yang juga mendasari
perancangan Trisen Antisurge Control.
Secara garis besar, beberapa fitur yang dimiliki oleh Trisen Antisurge Control adalah: 1) Tersedia dua jenis
performance curve sebagai basis algoritma, yaitu (PD/DI) vs (h/PI) dan (PD-PI) vs h. 2) Berdasarkan control
line dengan safety margin berubah secara otomatis jika terjadi surging. 3) Dilengkapi dengansetpoint hover
function yang mengembalikan titik operasi mendekati control line. 4) Tersedia algoritma dengan dynamic
adaptive gain. 5) Dilengkapiproportion only function yang akan membuka antisurge valve tanpa dipengaruhi
oleh normal antisurge control. 6) Dilengkapi valve linearization function.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa surging line pada curve dibuat dengan asumsi kondisi
suction maupun gas properties konstan, pada hal pada kondisi aktual tidak demikian, sehingga bisa saja terjadi
pada saat operasi, surging line akan bergeser ke kanan atau ke kiri, yang menyebabkan surging terjadi diluar
prediksi controller. Untuk mengatasi permasalahan ini, dalam Trisen control, performance curve tidak diplot
dengan basis PD vs V tetapi menggunakan basis Rc (PD/PI) vs hc (h/PI) (h adalah orifice differential pressure),
yang disebut sebagai pressure ratio methode. Pada curve baru ini, surge line tidak berubah, walaupun terjadi
perubahan pada kondisi suction maupun gas properties. Oleh karena itu, curve ini disebut juga
dengan universal surge line. Atau pada kondisi dimana PI relatif konstant atau surge line linear maka bisa
menggunakan basis yang lebih sederhana, yaitu (PD-PI) vs h, yang disebut dengan pressure rise methode.
Seperti terlihat pada performance curve di atas, bahwa surge line tidak tegak lurus tetapi berbentuk parabolik,
yang berarti bahwa surge flow berubah-ubah bergantung pada kondisi operasi saat itu. Selain itu, mengingat
adanya delay baik yang berasal dari karakteristik controlnya sendiri maupun dari prosesnya, maka untuk
menghindari surging, control harus sudah mulai beraksi sebelum terjadinya surging. Jadi harus ada safety
margin antara surge point dan point dimana control mulai beraksi. Untuk maksud ini, didefinisikan suatu
parameter yang disebut dengan control line, yaitu sebuah garis yang identik dengan surge line dan terletak di
sebelah kanan surge line, yang dibuat dengan cara menambah nilai safety margin ke surge line. Setpoint
untuk antisurge control akan mengikuti control line ini. Control line ini tidak tetap tetapi bisa berubah. Jika
karena sesuatu sebab (misalnya transmitter rusak, surge line yang dibuat salah, safety margin yang terlalu
kecil, kondisi proses yang berubah secara cepat atau karena controller tunning yang tidak benar) sehingga
terjadi surging (titik operasi menyeberangi surge line ke kiri), maka safety margin secara otomatis akan
bertambah sehingga dengan sendirinya control line akan bergeser ke kanan. Ini dimaksud agar surge control
dapat bereaksi lebih cepat, untuk mengembalikan titik operasi ke daerah aman.
Umumnya, titik operasi compressor tidak selalu berada pada control line, terkadang dia berada jauh di debelah
kanan control line. Suatu fungsi dalam Trisen Control yang disebut dengan setpoint hover function digunakan
untuk mengembalikan titik operasi ke control line dengan jalan mengurangi setpoint (ramped down).
Trisen Control juga dilengkapi dengan dynamic adaptive gain. Jika titik operasi berada di sebelah kanan control
line, maka control gain akan berkurang. Sebaliknya jika titik operasi bergerak mendekati control line, control
gain akan bertambah dan terus bertambah jika titik operasi masih terus bergerak ke kiri mendekati surge line.
Dengan cara ini, maka surge control akan meresponse dengan cepat untuk membuka antisurge control valve
ketika titik operasi mendekati surge line sehingga surging bisa dihindari. Sebaliknya jika titik operasi bergerak
ke kanan, antisurge control valve akan menutup secara perlahan.
Trisen Control juga dilengkapi dengan proportional only function. Dengan fungsi ini, Trisen Control akan
memaksa membuka control valve tanpa menghiraukan aksi normal antisurge control. Fitur ini berfungsi pada
kondisi dimana oleh karena suatu sebab (misalnya terjadi process upset) sehingga titik operasi bergeser ke kiri
melewati control line, dan normal antisurge control tidak mampu mengembalikannya. Pada kondisi tersebut,
fungsi ini akan memulai membuka antisurge control valve pada jarak/margin tertentu dari surge line (sesuai
setting) dan mencapai bukaan penuh saat titik operasi mencapai surge line. Dengan fungsi ini, compressor
bisa terhindar dari terjadinya surging.
Trisen Control juga menyediakan valve linearization function untuk control valve dengan tipe equal presentage,
sehingga bisa diperoleh proses gain yang linear. Dengan cara ini, ketidak stabilan sistem yang disebabkan
perubahan titik operasi dapat dihindari.
Gambar berikut ini adalah blok diagram Trisen Antisurge Control.
Sedangkan gambar berikut ini adalah salah satu contoh penggunaan Trisen Antisurge Control.
Load Sharing Control. Dalam operasinya sering kali dua atau lebih compressor digunakan secara paralel.
Tujuannya bermacam-macam antara lain untuk meningkatkan kapasitas atau agar bisa digunakan dalam
mode operation/standby/repair. Load sharing control berguna untuk menyeimbangkan beban kepada semua
compressor yang digunakan secara paralel tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah jangan sampai ada
compressor yang mengalami surging sementara compressor lainnya masih jauh dari surging, juga untuk
meningkatkan efisiensi. Gambar berikut adalah contoh konfigurasi load sharing control.
Hardware. Selain konfigurasi/struktur kontrol yang digunakan, pemilihan perangkat keras yang akan
digunakan juga akan mempengaruhi kinerja compressor control yang dibangun, terutama
menyangkut response time dari perangkat keras tersebut. Compressor merupakan sistem dengan response
yang sangat cepat, oleh karena itu perangkat keras yang digunakan juga harus memiliki response time yang
cepat.
Control System Hardware. Hingga saat ini, jenis perangkat keras control system yang digunakan untuk
aplikasi compressor control sangat bervariasi, mulai dari pneumatic control, analog electronic sampai dengan
perangkat yang berbasis teknologi digital. Untuk mengimbangi response compressor yang sangat cepat, maka
waktu eksekusi (execution time) control juga harus cepat, umumnya yang digunakan adalah lebih kecil dari
100 ms. Itu sebabnya, mengapa beberapa vendor menyediakan perangkat compressor control khusus dengan
waktu eksekusi yang lebih cepat dibandingkan dengan perangkat control untuk pemakaian yang lebih umum.
Control Valve. Control valve yang digunakan untuk compressor control juga harus memiliki response yang
cepat. Umumnya response time control valve sekitar 10 detik. Akan tetapi dengan menggunakan special
stroke, response control valve bisa lebih cepat hingga dibawah 1 detik.
Transmitter. Response time transmitter juga perlu diperhatikan, terutama PD transmitter. Transmitter
umunya terdiri dari moving part sehingga memiliki sifat redam (dump), hal inilah yang menyebabkan
transmitter tidak bisa me-response dengan cepat. Ukuran response time transmitter adalah 63.2% response
time, yaitu waktu yang diperlukan untuk mencapai 63.2% response terhadap step input. Umumnya PD
transmitter memiliki response time lebih besar dari 1 detik. Akan tetapi ada transmitter dengan design khusus
memiliki response time lebih kecil dari 1 detik. Transmitter jenis ini bisa digunakan untuk aplikasi compressor
control.
Posted in Process Equipment Control | 24 Comments »
Process Equipment Control : (1) Heat Exchanger Control.
Posted by asro pada 15 Oktober 2008
Suatu unit proses (process unit) selalu terdiri dari serangkaian peralatan process (process equipment) seperti
Heat Exchanger, Pump, Compressor, Distillation Tower, Reactor, Tank, dsbnya. Membahas sistem kontrol
dalam suatu unit proses sama saja dengan membahas sistem kontrol dari peralatan-peralatan proses tersebut.
Tulisan ini merupakan sebuah tulisan berseri mengenai sistem kontrol pada peralatan proses, yang diawali
dengan sistem kontrol pada Heat Exchanger.
Heat Exchanger (HE) merupakan peralatan yang banyak digunakan dalam industri proses (process industry)
yang berfungsi menukarkan/mengalirkan panas dari suatu fluida ke fluida lainnya. HE yang dibahas dalam
tulisan ini adalah dari tipe Shell and Tube. Secara sederhana, prinsip kerja HE adalah sbb: dua fluida yang
berbeda temperature, yang satu dialirkan dalam tube dan yang lainnya dalam shell hingga bersentuhan secara
tidak langsung, sehingga panas dari fluida yang temperaturenya lebih tinggi berpindah ke fluida yang
temperaturenya lebih rendah. Hasil dari proses ini adalah fluida panas yang masuk akan menjadi lebih dingin
dan fluida dingin yang masuk akan menjadi lebih panas.
Dalam membahas sistem kontrol di HE, ada dua hal yang menjadi issue penting, yaitu penentuan controlled
variable (variable yang akan dikontrol) danmanipulated variable (variable yang akan diubah-ubah dalam
rangka menjaga controlled variable pada setpoint-nya). Berdasarkan prinsip kerja/fungsi HE, maka yang paling
efektif adalah mengambil fluksi panas (jumlah panas yang berpindah antara kedua fluida) sebagai controlled
variable, akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan mengingat dalam prakteknya fluksi panas (heat flux) tersebut
sulit diukur. Oleh karena itu yang paling mungkin adalah dengan mengontrol temperature salah satu fluida
yang keluar dari HE. Untuk issue kedua, penentuan manipulated; ada beberapa variable yang bisa dipilih
sebagai manipulated variable, yaitu aliran fluida panas yang masuk, aliran fluida dingin yang masuk, aliran
fluida panas yang keluar atau aliran fluida dingin yang keluar. Masing-masing alternative pilihan ini memiliki
kelebihan dan kekurangan, yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Terdapat banyak jenis HE, diantaranya yang akan dibahas disini adalah: liquid-to-liquid exchanger dan steam
heater.
Liquid-to-Liquid Exchanger. Yang dimaksud dengan liquid-to-liquid exchanger adalah jenis HE dimana
kedua fluida berbentuk cair (liquid phase). Sebenarnya HE memiliki dua fungsi yang bersamaan, yaitu
memanaskan fluida dingin yang masuk sekaligus mendinginkan fluida panas yang masuk. Akan tetapi dari sisi
sistem control (juga proses) kita harus menentukan mana dari kedua fungsi tersebut yang paling penting,
karena seperti dijelaskan diatas, hanya ada satu controlled variable, apakah itu temperature fluida yang
dipanaskan atau temperature fluida yang didinginkan, tidak bisa dua-duanya. Jika tujuan utama kita adalah
memanaskan fluida maka yang akan dikontrol adalah temperature fluida yang dipanaskan (hasil pemanasan),
HE jenis ini disebut juga dengan Heater. Sebaliknya jika tujuan utama kita adalah mendinginkan fluida, maka
yang akan dikontrol adalah temperature fluida yang didinginkan, HE jenis ini disebut juga dengan Cooler.
Untuk membedakan fluida mana yang akan dikontrol dan mana yang digunakan sebagai pemanas atau
pendingin, maka untuk selanjutnya, fluida yang dikontrol disebut sebagai process fluida, sedangkan fluida yang
kedua disebut sebagai medium fluida.
Terdapat beberapa jenis konfigurasi control yang biasa digunakan, selanjutnya akan dibahas beberapa
diantaranya. Gambar berikut adalah HE control dengan aliran process fluida sebagai manipulated variable.
Dalam gambar diatas terlihat pengontrolan temperature process fluida dilakukan dengan mengubah-ubah
aliran process fluida yang keluar dari HE dan yang di-bypass. Dalam konfigurasi ini, aksi kontrol bisa
berupa split-range atau opposite action. Dalam konfigurasi split-range, sinyal kontrol 0% – 50% digunakan
untuk menutup control valve keluaran HE (CV1) dan 50% – 100% untuk membuka control valve bypass (CV2).
Dalam konfigurasi opposite action, jika salah satu control valve membuka, maka control valve lainnya akan
menutup atau sebaliknya. Dalam konfigurasi opposite action, selain menggunakan dua buah two-way control
valve seperti pada gambar diatas, bisa juga menggunakan three-way diverter valve (yang diletakan pada inlet
HE) atau three-way mixing valve (yang diletakan pada outlet HE).
Umumnya konfigurasi seperti ini hanya untuk HE yang berfungsi sebagai Cooler seperti pada gambar diatas.
Jika konfigurasi ini diterapkan pada Heater, maka akan timbul masalah yaitu kemungkinan terjadinya
kerak/coke pada HE akibat temperature process yang tinggi menyamai temperature medium yang masuk.
Penjelasannya adalah sbb: Pada konfigurasi diatas, pada suatu saat bisa saja terjadi control valve CV1 menutup
penuh, yang berarti tidak ada aliran process yang keluar dari HE atau dengan kata lain ada sebagian process
fluida yang tertahan dalam HE. Untuk HE yang berfungsi sebagai Heater, pada kondisi ini temperature fluida
dalam HE akan meningkat mendekati temperatur medium, yang bisa menyebabkan terjadinya kerak/coke
dalam HE.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, maka untuk aplikasi Heater, yang digunakan sebagai manipulated
variable adalah medium flow, seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, control valve ditempatkan di outlet HE bukan pada inlet. Pertimbangannya adalah jika
ditempatkan di inlet dengan temperature medium yang masih tinggi, maka pressure drop pada valve dapat
menyebabkan terjadinya gas yang bisa menurunkan performance HE. Pertimbangan lainnya adalah harga
valve yang digunakan lebih murah dan lebih awet karena service temperature-nya yang rendah.
Sangat jarang konfigurasi medium sebagai manipulated variable ini digunakan dalam Cooler, terutama jika
mediumnya adalah air (cooling water). Hal ini dikarenakan umumnya cooling water bersifat corrosive dan tidak
terlalu bersih sehingga tidak bijak jika menempatkan control valve disitu. Akan tetapi, jika memang harus
digunakan terutama jika mediumnya bukan cooling water, maka control valve agar ditempatkan di outlet untuk
menghindari terjadinya gas dalam HE yang dapat menurunkan kinerja HE.
Konfigurasi bypass seperti pada contoh pertama diatas, juga cocok untuk Cross Exchanger, dimana kedua
fluida (process maupun medium) merupakan suatu process stream, seperti HE yang digunakan pada feed-
product suatu tower distilasi. Pada HE jenis ini, flow kedua fluida tidak boleh dimanipulasi (diubah-ubah
flownya) karena akan mengganggu process distilasi.
Untuk beberapa aplikasi, HE tidak perlu dikontrol agar perpindahan panas dapat berlangsung maksimal.
Sebagai contoh pada aplikasi yang menggunakan rangkaian HE. Pada aplikasi ini, umumnya yang dikontrol
adalah HE yang terakhir karena untuk menjaga temperature pada nilai yang dibutuhkan oleh process
berikutnya, sedangkan HE-HE sebelumnya tidak dikontrol.
Steam Heater. Steam heater merupakan HE jenis heater dengan steam/uap air sebagai media
pemanasnya. Sama seperti pada liquid-to-liquid exchanger, kontrol pada steam heater juga dapat dilakukan
dengan mengambil medium flow atau process flow sebagai menipulated variable.
Gambar berikut adalah konfigurasi control dengan medium flow sebagai manipulated variable dimana control
valve diletakan pada inlet medium (steam line).
Pada kondisi beban tinggi, konfigurasi control ini dapat memberikan kinerja yang cukup baik. Akan tetapi pada
beban rendah, kinerja konfigurasi control ini kurang memuaskan, penjelasannya adalah sbb: Pada beban
rendah, flow/tekanan steam yang masuk heater rendah sehingga tekanan condensate yang terjadi dalam
heater juga rendah yaitu berada dibawah tekanan atmosfir. Keadaan ini menyebabkan condenste yang terjadi
tersebut tidak bisa langsung dibuang oleh steam trap. Akibatnya akan terjadi akumulasi condensate dalam
heater hingga tekanannya mencapai tekanan kerja steam treap. Proses akumulasi condensate dalam heater
ini menyebabkan heat tranfer area yang awalnya besar, semakin lama semakin kecil seiring dengan
terakumulasinya condensate. Pada saat pressure condensate mencapai tekanan kerja steam trap, semua
condensate dalam heater serta merta akan dibuang keluar sehingga heat transfer area heater kembali seperti
semula. Dari prespektif control, kejadian ini mencerminkan dinamika sistem kerja heater yang berubah-ubah
sehingga sulit untuk dikontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, konfigurasi kontrol ini dilengkapi
dengan condensate lifting/pumping trap, yang dapat membuang condensate walaupun tekanannya masih
dibawah atmosfir.
Selanjutnya mari kita lihat bagaimana jika control valve diletakan di condensate line. Ketika beban berkurang,
posisi bukaan control valve hampir menutup penuh hingga akumulasi condensate dalam heater mencepai level
tertentu dimana pengurangan heat tranfer area sudah sesuai dengan beban. Pada arah perubahan beban ini
(arah beban berkurang), process dynamic sangat lamban karena menunggu akumulasi condensate di heater.
Sebaliknya ketika beban bertambah, process dynamic sangat cepat karena hanya sedikit perubahan bukaan
control valve, sudah banyak condensate yang terbuang. Dari sisi control, process dynamic seperti ini sangat
sulit untuk dikontrol. Oleh karena itu, penempatan control valve di condensate line tidak direkomendasikan.
Salah satu konfigurasi control yang digunakan untuk mengatasi permasalahan low condensate pressure adalah
dengan menggunakan condensate level control seperti gambar berikut.
Setpoint untuk level control dapat diubah-ubah untuk disesuaikan dengan beban, pada beban rendah, setpoint
level control diset tinggi, begitu pula sebaliknya. kelemahan dari konfigurasi control ini adalah harganya yang
mahal. Untuk mengatasinya, level control dapat diganti dengan continuous drain trap, yang fungisnya sama
dengan level control tetapi harganya jauh lebih murah.
Bagaimana dengan konfigurasi control yang menggunakan process flow sebagai manipulated variable?
Konfigurasi yang sudah dibicarakan sebelumnya pada liquid-to-liquid exchanger berlaku juga untuk steam
heater. Gambar berikut adalah process bypass control yang menggunakan Diverter Valve.
HE Enhanced Control. Apabila gangguan (distrubance) sering terjadi dalam pengoperasian HE, maka
konfigurasi basic control yang baru saja dibahas tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan. Untuk
mengatasinya diperlukan konfigurasi baru yang disebut enhanced control. Enhanced control ini dibentuk
dengan menambah cascade control (untuk mengatasi gangguan pada manipulated variable) dan feedforward
control (untuk mengatasi gangguan pada beban) serta kalkulasi/perhitungan pendukungnya pada konfigurasi
basic control. Sebagai contohnya adalah konfigurasi enhanced control untuk steam heater berikut.
Konfigurasi enhanced control ini dibuat dengan asumsi gangguan yang terjadi adalah pada process flow
(gangguan beban) dan pada steam flow (gangguan manipulated variable). Jika gangguan terjasi pada variable
lainnya seperti process temperature, steam temperature, steam pressure atau variable lainnya, maka
konfigurasi enhanced control juga akan berbeda.