Download - Portofolio 3 Fix
BORANG PORTOFOLIO BEDAH
Topik : Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Tanggal (kasus) : 27 Oktober 2014 Presenter : dr. Ahmad Syaukat
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Fitri Isneni
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Siti Aisyah
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi :Seorang laki-laki berusia 76 tahun datan gdengan keluhan tidak bisa BAK sejak 18
jam SMRS
□ Tujuan :Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan awal Benign Prostate Hyperplasia
(BPH)
Bahan
Bahasan :□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara
Membahas :□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Data Pasien :Nama : Tn. Darsono, ♂ ,
76 tahunNo. Registrasi : 00693020
Nama Klinik : RSUD Siti Aisyah Telp : (0733) 451902 Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh sulit buang air kecil.
pasien merasakan BAK yang terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan.
Pancaran melemah, jumlah BAK sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi BAK meningkat.
Pasien kesulitan menahan BAK sehingga bila ditahan terlalu lama BAK menetes. Pasien juga
sering terbangun tidur karena ingin BAK. BAK darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri pinggang
atau perut bawah (-), demam (-), riwayat trauma (-). Pasien tidak berobat. Sejak 18 jam
SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK. Keluhan BAK darah (-), nyeri saat BAK (+),
BAK berpasir (-), demam (-). Pasien sulit BAB sejak 1 minggu yang lalu. Pasien kemudian
berobat ke RSUD Siti Aisyah.
2. Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah berobat
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
– Riwayat trauma pada genital, pinggul, selakangan (straddle) disangkal
1
– Riwayat pemasangan kateter uretra sebelumnya ada
– Riwayat keluar batu saat BAK disangkal
– Riwayat infeksi saluran kemih disangkal
– Riwayat operasi prostat sebelumnya disangkal
– Riwayat DM disangkal
4. Riwayat Pekerjaan : (-)
5. Lain – lain : (-)
Daftar Pustaka :
1. JEF, GWK. Buku Saku Urologi. 2003. p. 59-66.
2. Macfarlane, M.T. Urology. 4th Edition. Kentucky: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.
116-122
3. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. p. 69–85
4. NN. Benign Prostatic Hyperplasia. Available from: www.urologychannel.com.
5. McAninch, J.; Tanagho E. Smith's General Urology. 16th Edition. San Fransisco: McGraw-
Hill/Appleton & Lange; 2007.
6. Roehrborn, C.; McConnell, J. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History
of Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell's Urology. 8th edition. Philadelphia: Elsevier;
2002.
7. Reynard, J.; Brewster, S.; Biers, S. Oxford Handbook of Urology. 1st Edition. Oxford:
Oxford University Press; 2006. p. 70-111
8. Gerber, G. Benign Prostatic Hyperplasia. Available from: www.medicinet.com.
9. Dawson C., Whitfield H. Bladder outflow obstruction. In: ABC of Urology. UK: British
Medical Journal. p. 26-33
10. Gaillard, F. Benign prostatic hypertrophy. Available from: www.radiopaedia.org. Updated
May 2, 2008.
11. NN. Hiperplasia prostat. Available from: www.pathologyanatomy1.blogspot.com. Updated
Mei 22, 2009.
12. Zeman, Peter A.; Siroky, Mike B.; Babayan, Richard K. Lower Urinary Tract Symptoms. In:
Siroky, MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook of Urology: Diagnosis and Therapy.
3rd edition. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 99–119
13. Resnick, M. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Resnick M., Elder J., Spirnak J., editors.
Critical Decision in Urology. London: BC Decker; 2004. p. 190-191
14. Brant, William E. Genital Tract: Radiographic Imaging and MR. In: Brant, William E.;
Helms, Clyde A., editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology. 3rd Edition. Virginia:
2
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 911-920
15. NN. Prostat screening. Available from: www.phototakeusa.com.
16. Radiological Society of North America, Inc. Available from: www.radiologyinfo.com.
Updated June 20, 2009
17. Antony, J. Prostate, A free gallery of high-resolution, ultrasound, color doppler and 3D
images. Available from: www.ultrasound-images.com. Updated September 18, 2009
18. Howlett, D.; Ayers, B. The Hands-on Guide to Imaging. UK: Blackwell Publishing; 2004. p.
189-192
19. Radiological Society of North America, Inc. Available from: Inflammatory and
Nonneoplastic Bladder Masses: Radiologic-Pathologic Correlatio.
www.radiographics.rsna.org. Updated November 2006
20. Bernie, J.; Schmidt, J. Bladder Cancer. In: Nachtsheim, D., editor. Urological Oncology.
Texas: Landes Bioscience; 2005. p. 53-65
Hasil Pembelajaran :
1. Menegakkan diagnosis Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
2. Penatalaksanaan awal Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif :
Keluhan Utama: Tidak bisa buang air kecil sejak 18 jam SMRS
Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh sulit buang air kecil. pasien merasakan BAK yang
terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan. Pancaran melemah, jumlah BAK
sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi BAK meningkat. Pasien kesulitan menahan BAK
sehingga bila ditahan terlalu lama BAK menetes. Pasien juga sering terbangun tidur
karena ingin BAK. BAK darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri pinggang atau perut bawah
(-), demam (-), riwayat trauma (-). Pasien tidak berobat.
Sejak 18 jam SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK. Keluhan BAK darah (-), nyeri
saat BAK (+), BAK berpasir (-), demam (-). Pasien sulit BAB sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien kemudian berobat ke RSUD Siti Aisyah.
1. Objektif :
Pemeriksaan Fisik
3
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis. GCS: E4M6V5 (15)
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x/ menit
Suhu : 36.5 0 C
Status Internus
Kepala : Normocepali
Mata : Konjungtiva tidak anemis. sklera tidak ikterik
Kulit : Turgor kulit baik
Thoraks
o Paru
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : lapang paru kiri dan kanan vesikuler, rhonki dan wheezing (-)
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari medial sela iga 5 LMCS
Perkusi : batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan tidak ada, defans muskular tidak ada,
hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : shifting dullness tidak ada
Auskultasi : bising usus 3 kali/menit
Ekstremitas : Refilling capiller baik. edema pretibial (-/-).
Status Lokalis
4
Regio CVA dextra sinistraInspeksi : bulging (-) (-)Palpasi : pain (-) (-)
ballottement (-) (-)
Regio SuprapubikInspeksi : bulging (+)Palpasi : pain (-)
Regio Genitalia EksternaInspeksi : terpasang kateter uretra no. 16 F, urine jernih, sirkumsisi (+)
Rectal toucherTSA baik, bulbous cavernous reflex (+), mukosa licin, ampula recti tidak kolaps, teraba prostat membesar, pole atas prostat tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan rata, nyeri (-), nodul (-), feses (+) dan darah (-)
International Prostate Symptom Score (IPSS) = 25
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : dalam batas normal
Rontgen toraks PA : tidak ada kelainan
EKG tidak ada kelainan
USG TUG : ditemukan kesan Hiperplasia prostat
2. Assesment (penalaran klinis) :
Pasien pria, 83 tahun, datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 18
jam SMRS Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh sulit buang air kecil. pasien merasakan
BAK yang terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan. Pancaran melemah,
jumlah BAK sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi BAK meningkat. Pasien kesulitan
menahan BAK sehingga bila ditahan terlalu lama BAK menetes. Pasien juga sering
terbangun tidur karena ingin BAK. BAK darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri pinggang
atau perut bawah (-), demam (-), riwayat trauma (-). Pasien tidak berobat.
Sejak 18 jam SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK. Keluhan BAK darah (-), nyeri
saat BAK (+), BAK berpasir (-), demam (-). Pasien sulit BAB sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien kemudian berobat ke RSUD Siti Aisyah.
5
Berdasarkan anamnesis didapat, keluhan retensio urin ditemukan pada pasien, melalui
anamnesislah diagnosis banding retensio urin dapat disingkirkan seperti fimosis,
parafimosis, striktur uretra, ISK, Batu buli-buli. Adapun beberapa diagnosis yang belum
dapat disingkirkan adalah Hiperplasia prostat, karsinoma prostat, Tumor buli-buli.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran prostat yang teraba kenyal,
permukaan rata dan tidak berdungkul-dungkul dan tiak nyeri yang merupakan klinis
hyperplasia prostat benigna. Oleh karena itu pasien dilakukan penatalaksanaan awal
berupa pemasangan kateter urin, pemeriksaan darah rutin, USG TUG dan foto polos
abdomen. Pasien lalu direncanakan untuk prostatektomi terbuka.
3. Plan :
DIAGNOSIS KERJA
Retensi urine e.c. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
TERAPI
- IVFD RL gtt 20 x/m makro
-Pasang kateter urin
-Inj. Ceftriaxon2x1 gr (skin test)
-Pro Prostatektomi terbuka
RENCANA : Konsul Spesialis Bedah
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Benign prostatic hyperplasia (BPH), atau yang biasa juga disebut benign prostatic
hypertrophy, adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang mengenai kelenjar prostat.
Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskuler.
Penyakit ini ditandai dengan pembesaran yang progresif dari kelenjar prostat yang berakibat
pada obstruksi pengeluaran kandung kemih dan peningkatan kesulitan berkemih.
Pertumbuhan prostat yang sangat tergantung pada hormon testosteron ini berlangsung di
dalam jaringan yang berbeda-beda, dan menimbulkan dampak pada pria secara beragam.
Sebagai akibat dari perbedaan ini, pengobatan yang diberikan pun berbeda untuk tiap kasus.
6
Tidak ada penyembuhan untuk BPH dan sekali kelenjar prostat bertumbuh, maka sering
berlanjut terus-menerus, kecuali terapi medikasi di berikan.
II. INSIDEN
Sulit untuk menentukan insidens dan prevalensi BPH karena dari berbagai penelitian
digunakan kriteria yang berbeda untuk menjelaskan kondisi penyakit. Berdasarkan data
National Institutes of Health (NIH), BPH terjadi pada lebih dari 50% pria berumur lebih dari
60 tahun dan sebanyak 90% pada pria berumur 70 tahun.
III. EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko perkembangan BPH masih belum diketahui secara jelas. Beberapa studi
menjelaskan adanya hubungan dengan faktor predisposisi genetik, dan yang lainnya
mengatakan adanya kaitan dengan perbedaan ras. Hampir 50% pria berumur kurang dari 60
tahun yang menjalani operasi untuk BPH memeiliki bentuk penyakit yang diwariskan.
Bentuk ini merupakan bentuk autosomal dominant, dan keturunan pertama dari pasien BPH
membawa resiko relatif yang meningkat hampir 4 kali lipat.
IV. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging. Secara histopatologis, BPH ditandai dengan
peningkatan jumlah sel epitel dan sel stroma di area periuretra dari prostat. Berdasarkan
pengamatan dari pembentukan formasi glandula epitel baru, yang dimana secara normal
hanya terdapat pada janin dan mencetuskan konsep embryonic reawakening dari sel stroma
potensial. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH, baik secara
tunggal atau kombinasi, yaitu: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya ketidakseimbangan
antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostate, (4)
berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel.
Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh
enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah berikatan dengan
7
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
Ketidaseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangakn kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif meningkat. Telah
diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat
dangan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
teetentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
secara intrakrin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyababkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosisoleh
sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat kesimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
8
sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkar sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel
kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
faktor pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.
Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalmi apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon
androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel
stroma maupun sel epitel.
VI. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikel. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinar tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkn
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
9
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-
buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut ssimpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
orang normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya
meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos
prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik
sebagai penyebab obstruksi prostat.
VII. DIAGNOSIS
GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala
iritatif.
Obstruksi Iritasi
Hesitansi Frekuensi
Pancaran miksi lemah Nokturi
Intermitensi Urgensi
Miksi tidak puas Disuri
Menetes setelah miksi
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi
dan dihitung sendiri oleh pasien. sistem skoring yang duanjurkan oleh WHO adalah Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score).
Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0-5, sedangkan keluhan
menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1-7.
Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor
0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
10
SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT (I-PSS)
Untuk pertanyaan 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:
0=Tidak pernah
3=Kurang lebih separuh dari kejaidan
1=Kurang dari sekali dari 5 kejadian
4=Lebih dari separuh dari kejadian
2=Kurang dari separuh kejadian
5=Hampir selalu
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk
mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya di dahului oleh beberapa faktor pencetus, antara
lain: (1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba
membesar, yaitu setelah aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah
mengkonsumsi obat-obatn yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat
mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit BPH pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis),
atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang
selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia
11
paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks bulbo-
kevernosusuntuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum,
(3) keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,
simetri antar lobus dan batas prostat.
GAMBARAN RADIOLOGI
a. Konvensional
Gambaran radiologi pada IVP/IVU pada BPH adalah adanya indentasi buli-buli (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) dan ureter di sebelah distal berbentuk seperti mata kail atau
fish hooked appearance (Gambar 4).
Selain IVP/IVU, pencitraan konvensional yang lain adalah sistouretrogram, yaitu suatu tipe
urogram yang memberikan gambaran radiologi pada buli-buli dan uretra. Gambaran radiologi
pada sistouretrogram retr ograde posisi frontal (Gambar 5) dan posisi oblique (Gambar 6)
ditunjukkan dengan adanya stenosis (penyempitan) uretra yang disebabkan oleh adanya
tekanan dari benign prostatic hyperplasia (middle lobe hyperplasia).
USG
Pemeriksaan USG dapat memberikan gambaran kelenjar prostat pada pria dan jaringan
disekitarnya. Gambaran USG normal ditunjukkan pada gambar 7. Pemeriksaan USG prostat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu transabdominal ultrasound (TAUS) dan transrectal ultrasound
(TRUS). TAUS dilakukan dengan melekatkan transducer di permukaan abdomen di atas
buli-buli dan prostat. TAUS dapat memperlihatkan adanya pembesaran intravesika akibat
pembesaran lobus medial prostat. TRUS dilakukan dengan memasukkan transducer kedalam
rectum pasien. transducer tersebut mengirim dan menerima gelombang suara melalui dinding
rectum sampai ke prostat yang terletak tepat di depan rectum. TRUS setelah berkemih dapat
menggambarkan: 1) besar volume residul urine (303 cc) (lebih dari 40 cc adalah abnormal),
2) pembesaran prostat yang terutama melibatkan zona transisional, 3) pembesaran intravesika
yang melibatkan lobus median, 4) kista kecil pada inner gland, 5) zona perifer yang terdesak
oleh pembesaran zona transisional.
CT SCAN
CT SCAN digunakan dalam staging dan follow up dari tumor traktus urogenital. Pada
gambar 12 (pot. axial) dan gambar 13 (pot. coronal) tampak pambesaran dari prostat yang
mengakibatkan penekanan pada buli-buli.
12
MRI
MRI merupakan pemeriksaan medis noninvasif yang dapat membantu diagnosis dan
perawatan. MRI memberikan detail dari anatomi lokal yang lebih baik dan oleh karena itu
lebih baik pula dalam menentukan local staging.
PATOLOGI ANATOMI
Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum.
Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar atau nodul
campuran fibroadenomatosa.
Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma.
Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan
VIII. DIAGNOSIS BANDING
KARSINOMA PROSTAT
Karsinoma prostat dapat dibedakan dengan BPH berdasarkan gambaran patologisnya
dan screening untuk karsinoma prostat. Screening karsinoma prostat dilakukan dengan
pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA) dan Rectal Touche (RT).
Pada pemeriksaan IVU ditemukan gambaran filling defect dengan tepi yang ireguler (Gambar
19) dan terbentuknya kurvatura pada buli-buli akibat penekanan dari massa (Gambar 20).
(15)
Pada pemeriksaan USG diketahui adanya area hipo-ekoik (60%) yang merupakan
salah satu tanda adanya kanker prostat dan sekaligus mengetahui kemungkinan adanya
ekstensi tumor ke ekstrakapsuler (Gambar 21 & 22). Selain itu dengan bimbingan USG dapat
diambil contoh jaringan pada area yang dicurigai keanasan melalui biopsi aspirasi dengan
jarum halus (BAJAH). (3)
IVU
KARSINOMA BULI-BULI
Karsinoma buli-buli dapat dibedakan dengan BPH berdasarkan gejala klinis dan
gambaran patologisnya. Gejala klinis yang khas pada karsinoma buli-buli adalah gross
hematuria tanpa rasa nyeri (>80%). Gejala ini bisa atau tanpa disertai gejala iritatif seperti
frekuensi, urgensi, dan disuria.
13
Cara pemeriksaan radilogik untuk diagnosis adalah: tiap pasien dengan hematuria di sarankan
pemeriksaan sistoskopi. Sebelum sistoskopi , urin yang baru dikeluarkan diperiksa secara
sitologik untuk melihat sel tumor. Kemudian dilakukan pemeriksaan IVU. Pemeriksaan IVU
dapat mendeteksi adanya tumor buli-buli berupa filling defect dengan permukaan yang
ireguler dan mendeteksi adanya tumor sel transisional yang berada di ureter atau pielum.
Didapatkannya hidroureter atau hidtronefrosis merupakan salah satu tanda adanya infiltrasi
tumor ke ureter atau muara ureter. CT scan atau MRI berguna untuk menetukan ekstensi
tumor ke organ sekitarnya.
IX. PENGOBATAN
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang
mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya
dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medika mentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan
kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mengurangi
progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapaidengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif. (3)
Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah7,
yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan
terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi
atau coklat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yangmengandung fenilpropanolamin,
(4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya
apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi lain.
14
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa bloker) dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
terstosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara di
atas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya
masih belum jelas.
Penghambat reseptor adrenergik-α
Prostat terdiri atas otot polos yang di kontrol oleh α-adrenoreseptor, dan blokade dari reseptor
ini dapat mengurangi keluhan oleh penghambat adrenergik-α1. ditemukannya obat
penghambat adrenergik-α1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang ditimbulkan oleh obat
generasi seblumnya seperti fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat
adrenergik-α1 adalah: prazosin yang diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin,
doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dilaporkan dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancuran urine.
Penghambat 5α-reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron yang dikatalis oleh enzim 5α-reduktase di dalam sel-sel prostat. Menurunnya
kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Dilaporkan bahwa pemberian obat ini (finasteride) 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah
enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%; hal ini memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi.
Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala akibat
obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitoterapi bekerja sebagai : anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone
binding globulin (shbg), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth
factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostalglandin, efek antiinflamasi, menurunkan
outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak
15
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan
masih banyak lagi.
Pembedahan
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik saat ini adalah
pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya mambutuhkan
jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapinya.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang
tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat
transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP).
Indikasi operasi BPH : (1) Retensio urine, (2) BPH dgn penulit : ISK, batu , hernia,
hidronefrosis, uremia, hematuria berulang, (3) Residual urine > 100 cc, (4) Flow metri : pola
obstruktif ( < 10 cc/ det, kurva datar/multifasik, waktu miksi memanjang), (5) Sindroma
prostatism yg progresif, mengganggu & iritatif, dan (6) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
Tindakan invasif minimal
Selain tindakan invasif seperti yang telah disebutkan diatas, saat ini sedang
dikembangkan tindakan invasif minimal yang terutama ditujukan untuk pasien yang
mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan invasif minimal itu
diantaranya adalah: (1) thermoterapi, (2) TUNA (Transurethral Needle Ablation of the
Prostat), (3) pemasangan stent (prostacath), (4) HIFU (High Intensity Focused Ultrasound),
(5) dilatasi dengan balon (transurethral balloon dilatation).
X. PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis
yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker
prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang
telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi
penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. JEF, GWK. Buku Saku Urologi. 2003. p. 59-66.
16
2. Macfarlane, M.T. Urology. 4th Edition. Kentucky: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. p. 116-122
3. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. p. 69–85
4. NN. Benign Prostatic Hyperplasia. Available from: www.urologychannel.com.
5. McAninch, J.; Tanagho E. Smith's General Urology. 16th Edition. San Fransisco:
McGraw-Hill/Appleton & Lange; 2007.
6. Roehrborn, C.; McConnell, J. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural
History of Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell's Urology. 8th edition.
Philadelphia: Elsevier; 2002.
7. Reynard, J.; Brewster, S.; Biers, S. Oxford Handbook of Urology. 1st Edition.
Oxford: Oxford University Press; 2006. p. 70-111
8. Gerber, G. Benign Prostatic Hyperplasia. Available from: www.medicinet.com.
9. Dawson C., Whitfield H. Bladder outflow obstruction. In: ABC of Urology. UK:
British Medical Journal. p. 26-33
10. Gaillard, F. Benign prostatic hypertrophy. Available from: www.radiopaedia.org.
Updated May 2, 2008.
11. NN. Hiperplasia prostat. Available from: www.pathologyanatomy1.blogspot.com.
Updated Mei 22, 2009.
12. Zeman, Peter A.; Siroky, Mike B.; Babayan, Richard K. Lower Urinary Tract
Symptoms. In: Siroky, MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook of Urology:
Diagnosis and Therapy. 3rd edition. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.
99–119
13. Resnick, M. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Resnick M., Elder J., Spirnak J.,
editors. Critical Decision in Urology. London: BC Decker; 2004. p. 190-191
14. Brant, William E. Genital Tract: Radiographic Imaging and MR. In: Brant, William
E.; Helms, Clyde A., editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology. 3rd Edition.
Virginia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 911-920
15. NN. Prostat screening. Available from: www.phototakeusa.com.
16. Radiological Society of North America, Inc. Available from:
www.radiologyinfo.com. Updated June 20, 2009
17. Antony, J. Prostate, A free gallery of high-resolution, ultrasound, color doppler and
3D images. Available from: www.ultrasound-images.com. Updated September 18,
2009
17
18. Howlett, D.; Ayers, B. The Hands-on Guide to Imaging. UK: Blackwell Publishing;
2004. p. 189-192
19. Radiological Society of North America, Inc. Available from: Inflammatory and
Nonneoplastic Bladder Masses: Radiologic-Pathologic Correlatio.
www.radiographics.rsna.org. Updated November 2006
20. Bernie, J.; Schmidt, J. Bladder Cancer. In: Nachtsheim, D., editor. Urological
Oncology. Texas: Landes Bioscience; 2005. p. 53-65
18