PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
106
POLA PERILAKU PEDAGANG KAKI LIMA
DI RUANG PUBLIK ESPLANADE JALAN PENGHIBUR
KOTA MAKASSAR
Ria Wikantari*, Moh. Mohsen Sir, Afifah Harisah, Abd. Mufti Radja, Syahriana Syam
Departemen Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km.6, Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92171
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menjelaskan pola perilaku pengguna dalam aktivitas pedagang
kakilima (PKL) di ruas ruang publik ‘esplanade’ Jalan Penghibur di Kota Makassar, serta
menentukan atribut kualitas lingkungan yang berkait dengan terbentuknya pola tersebut.
Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi lapangan dan kuesioner semi-terstruktur. Sampel terdiri atas keseluruhan 25 unit
PKL sepanjang ruas esplanade yang dipilih secara sensus, dan 60 orang pembeli yang
dipilih secara aksidental. Analisis data menggunakan pemetaan perilaku dan statistik
deskriptif secara tabulasi silang. Hasil menunjukkan bahwa keberadaan PKL secara spasial
maupun temporal menunjukkan konvivialitas lingkungan, vitalitas ekonomi, dan viabilitas
sosial. Kesimpulan: 1. Pola perilaku PKL membentuk kepadatan dan kesesakan pada ruas
tengah esplanade yang menimbulkan terjadinya pembauran pembeli dalam aglomerasi
aktivitas komersial-rekreatif. 2. Atribut kualitas lingkungan yang berkait erat dengan
terbentuknya pola perilaku menurut pedagang adalah legalitas, keramaian, dan keamanan,
sedangkan menurut pembeli adalah adaptabilitas, legibilitas, visibilitas, dan sosiabilitas.
Kata kunci: ruang terbuka publik, esplanade, pemetaan perilaku, pedagang kaki lima,
atribut kualitas lingkungan
PENDAHULUAN
Keberadaan pedagang kakilima (PKL) sebagai aktivitas sektor informal perkotaan memiliki sisi positif dan
negatif. Di samping sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi pedagang dan pembeli, PKL cenderung
menjadi penyebab ketidaknyamanan pemanfaatan ruang publik dan penurunan kualitas lingkungannya. Salah
satu bentuk ruang publik yang kondusif bagi aktivitas PKL adalah esplanade.
Menurut sejarah arsitektur kota klasik (Ching, 2011), esplanade pada awalnya adalah ruang terbuka luas dengan
permukaan tertentu yang terletak di bagian luar sekeliling benteng kota disepanjang kanal pertahanan, dan
dimaksudkan untuk menyediakan ruang bebas bagi penggunaan persenjataan benteng. Pada masa modern,
penggunaan ruang esplanade memungkinkan sirkulasi publik pejalan kaki untuk tujuan rekreatif. Pada
perkembangan selanjutnya, esplanade tidak hanya berupa ruang tepian kanal benteng kota namun mencakup
semua tepian air seperti laut, sungai, dan danau. Esplanade merupakan ruang linier dengan ketinggian tertentu
yang memungkinkan publik berjalan-jalan di tepian air, terlepas dari situasi pasang surut air, tanpa harus
berkontak langsung dengan air. Penyediaan ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur
Kota Makassar (Gambar 1) oleh Pemerintah Kota di ditujukan sebagai area rekreatif pusat kota yang strategis.
Keberadaaan ruang publik untuk tujuan rekreatif pada umumnya mengundang kemunculan pedagang kaki lima
(PKL) sebagai salah satu bagian yang mendapat sebutan masyarakat marjinal (Kurniawati, 2012). Apabila tidak
ditangani maka keberadaan PKL berkembang cenderung tak terkendali sejalan proses penyebaran secara
berkelompok (aglomerasi) ataukah secara berpencar. Berbeda dari penyebaran PKL secara berpencar yang
didorong oleh persaingan ketat dan usaha mencari lokasi strategis yang menguntungkan, PKL berkelompok
terjadi karena dorongan untuk memberikan pelayanan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan komoditi
yang dibutuhkan pada waktu bersamaan. Selain itu, pengelompokan mengurangi persaingan dan
memungkinkan kerja sama antar pedagang. Penyebaran ini juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas-aktifitas
khusus yang menarik seluruh perhatian masyarakat konsumen (Purwanti & Masturi, 2012). Penyediaan area
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
107
ANJUNGAN PANTAI LOSARI
PKL oleh Pemerintah Kota di ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur Kota
Makassar merupakan tipe PKL berkelompok.
PKL termasuk kategori sektor popular atau sektor komunitas di luar sektor publik dan sektor privat. Aktivitas
PKL merupakan bidang usaha informal, tidak resmi, atau ilegal, dan merupakan aktivitas usaha yang sederhana.
Pada kenyataannya keberadaan PKL memikiki dua sisi yang selalu mengundang perdebatan (Yatmo, 2009;
Purwanti & Masturi, 2012; Forkuor, Akuoko, & Yeboah, 2017). Sisi negatif keberadaan PKL adalah
kecenderungan merusak tatanan ruang kota, mengubah fungsi ruang publik kota, mengubah rencana pola
struktur kawasan kota, dan merusak citra kota. Sisi positif keberadaan PKL adalah fungsi sosial dan ekonomi
yaitu membuka lapangan kerja dan usaha baru, meningkatkan penghasilan masyarakat, terciptanya nodes atau
path kawasan komersial kota pada waktu siang hingga malam hari, berkontribusi untuk pendapatan daerah
melalui pembayaran retribusi, menciptakan interaksi sosial masyarakat
PKL dapat dibedakan menurut kriteria operasional menjadi 2 tipe, yaitu: 1. PKL Tertata: dalam usaha sehari-
hari menempati lokasi yang telah sesuai atau diijinkan oleh pemerintah daerah setempat. Tipe PKL ini memiliki
surat ijin tempat usaha, dan harus menaati ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan seperti membayar
retribusi serta menjaga kebersihan, keindahan, dan keamanan secara teratur. 2. PKL Binaan: dalam usaha
sehari-hari menempati lokasi larangan atau tidak diijinkan oleh pemerintah daerah setempat dan tidak
dikenakan pembayaran retribusi, namun keberadaannya selalu diawasi, dibina, dan diarahkan. (Purwanti &
Masturi, 2012). Penyediaan area PKL di ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur
Kota Makassar merupakan salah satu tipe tertata.
Penyediaan ruas ruang publik pejalan kaki tepian air (esplanade) Jalan Penghibur Kota Makassar untuk area
PKL telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kota yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 44/2002. Pasal
2 ayat (1) dan (2) Perda menjelaskan bahwa PKL tidak boleh menempati trotoar atau badan jalan, dan
telah dicanangkan sejumlah jalan raya sebagai ‘wilayah bebas PKL’. Pasal 2 ayat (2) Perda juga menetapkan
sejumlah pelataran untuk tidak dapat digunakan pada siang hari antara pukul 05.00 sampai 17.00 WITA.
Pemilihan lokasi esplanade ini adalah secara purposif. Kriteria pemilihan berdasarkan pertimbagan: merupakan
area terbangun yang disediakan Pemerintah Kota untuk PKL tipe legal, dan tertata, memiliki posisi strategis
bagi kunjungan konsumen oleh keterhubungan dengan anjungan-anjungan publik sepanjang Pantai Losari,
merupakan PKL tipe berkelompok yang mudah diamati, dan keberadaan sebagai ruas terbangun terakhir di
tepian pantai memerlukan evaluasi paska pemanfaatan memfokus pada indikator kualitas lingkungan akibat
keberadaan guna-campur antara aktivitas rekreasi, komersial, sirkulasi, dan perparkiran.
Ruas ruang terbuka publik esplanade sisi pantai (Gambar 2) terbuka ke arah barat menghadap ke laut dan
matahari terbenam (sunset), berbentuk linier dengan panjang sekitar 220 m dan lebar 10 - 12 m. Pada sisi tepian
air terdapat tanggul pembatas setinggi 40 cm dan lebar 80 cm sebagai pelindung sekaligus memungkinkan
pemanfaatan sebagai tempat duduk. Pada sisi Jalan Penghibur terdapat jalur vegetasi dengan tipe pepohonan
peneduh dan perdu dan pagar pembatas transparan setinggi 150 cm yang melindungi area PKL dengan
lalulintas kendaraan tanpa menghalangi pandangan ke dan dari arah kawasan komersial ruko di seberang jalan.
Gambar 1. Lokasi Penelitian: Ruas Esplanade
”ESPLANADE”
Anjungan Pantai Losari
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
108
Gambar 2. Ruang Publik Ruas Esplanade di Jalan Penghibur, Kota Makassar
Pertanyaan penelitiannya adalah: Bagaimana pola perilaku pengguna dalam aktivitas PKL di Jalan Penghibur,
Kota Makassar? Indikator kualitas lingkungan apakah yang berkait erat dengan terbentuknya pola perilaku
tersebut?
TINJAUAN PUSTAKA
Carmona dkk (2008) menyatakan bahwa ruang publik berkaitan dengan seluruh bagian lingkungan terbangun
maupun alami yang menyediakan akses bebas untuk seluruh masyarakat. Ruang publik mencakup semua ruang
jalan dan ruang terbuka di kawasan predominasi perumahan, komersial, maupun kemasyarakatan; ruang terbuka
publik dan taman; serta area interfasa internal-eksternal ruang publik-privat yang lazim menyediakan akses
bebas seperti ruang ibadah dan balai kota.
Menurut Carr (1992), faktor utama yang menentukan kualitas ruang publik adalah tanggap (responsive),
demokratis (democratic) dan bermakna (meaningful). Responsif dalam arti harus dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas; demokratis berarti seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum
dari beragam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia;
dan bermakna berarti harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas, serta dengan konteks sosial.
Kualitas lingkungan merupakan issu fundamental yang berdampak langsung pada bagaimana pengguna
mempersepsikan, menggunakan, dan bersosialisasi di ruang publik perkotaan, dan berimplikasi pada viabilitas
kehidupan ruang publik untuk berbagai aktivitas ekonomi (Gehl, 1996). Selanjutnya ditegaskan (Gehl, 2010)
bahwa kualitas lingkungan ruang publik dan juga tipe-tipe aktivitas pengguna yang berlangsung ditentukan oleh
faktor-faktor terukur dan nyata, yaitu: ukuran (size), wujud (shape), keterkaitan (connections), karakter elemen
dalam ruang (disposition), dan rancangan detil elemen-elemen tersebut (detailed design).
Teori yang lebih awal antara lain oleh White (1980) lebih menegaskan prespkripsi fisik untuk kualitas suatu
tempat. Hasil studi observasinya mengenai ruang-ruang publik di New York menyimpulkan persyaratan
kualitas lingkungan yaitu: lokasi baik dengan preferensi pada jalur sibuk aktivitas yang mudah dicapai
(accessible) secara fisik dan visual; jalan raya menjadi bagian ruang sosial; ketinggian permukaan (level) ruang
publik sama atau hampir sama dengan ketinggian permukaan ruang jalan atau jalur pejalan; tersedia tempat-
tempat duduk sebagai bagian integral ruang seperti tangga maupun tersendiri seperti bangku dan kursi; tempat
duduk yang dapat dipindah-pindahkan (movable) untuk fasilitasi berbagai pilihan dan kesempatan komunikasi
sesuai karakteristik dan kebutuhan pengguna.
Project for Public Space (2000) menyimpulkan hasil studinya bahwa terdapat 4 indikator lingkungan urban
berkualitas tinggi, yaitu: akses (access) dan keterkaitan (linkage)– kemudahan penggunaan, kemudahan terlihat,
kemudahan pencapaian, dan kemudahan memasuki; guna ruang (uses) dan kegiatan (activities) – menawarkan
alasan untuk berada dalam ruang, hidup (vital) dan karakter khusus (unique); kenyamanan (comfort) dan citra
(image) – aman (safe), bersih (clean), hijau (green), kaya karakter (full of characters), dan menarik (attractive);
ramah (sociability, convivial) – mengembangkan komunitas ketetanggaan (neighbourliness), pertemanan
(friendship), keterhubungan (interaction), keberagaman (diversity), kebanggaan (pride).
Shaftoe (2008: 92-124) mengungkapkan bahwa kualitas ruang publik yang ramah dan efektif ditentukan oleh 2
faktor: 1. kenyamanan (comfort): elemen tempat duduk (seatings), titik pandang luas (vantage points), naungan
dan lindungan (sherlter & protection), tempat duduk yang dapat dipindahkan (movable/portable seating),
tempat sandaran (leaning), tempat sanitasi diri (toilet), tempat makan-minum; 2. kesenangan (joy): lansekap
lunak dan keras, warna, objek seni publik, dan hiburan (entertainment).
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
109
Sholihah & Heath (2016) pada penelitiannya tentang kualitas Jalan Pasar Baru Jakarta sebagai jalan tradisional
menyatakan bahwa indikator kualitas ditentukan oleh keberagaman yang dibedakan menjadi 6 tema, yaitu:
keragaman pola jalan dan bangunan, keragaman guna lahan dan komoditas eceran (retail), keragaman etnik dan
ruang multikultur, keragaman etnik dan festival jalanan, keragaman etnik dan makanan, keragaman etnik dan
bisnis spesial.
Berdasarkan uraian teroritis mengenai indikator kualitas lingkungan ruang publik di atas dapat dianalisis
keterkaitan antar-pandangan untuk menyimpulkan atribut kualitas lingkungan dalam konteks aktivitas PKL
menurut perspektif pedagang dan pembeli, sebagai berikut:
Tabel 1. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Analisis Teoritis
White, 1980 Carr, 1992 Gehl, 1996 &
2010 PPS, 2000 Shaftoe, 2008
Atribut kualitas lingkungan
Pedagang Pembeli
Lokasi &
oencapaian:
mudah
dicapai fisik
& visual
Keterkaitan:
antar ruang
dan antar
pengguna
Akses &
keterkaian:
kemudahan
pencapaian,
keterlihatan,
penggunaan
Kenyamanan:
titik-titik
pandangan luas
Keuntungan Aksesibilitas
Keramaian
Visibilitas
Legibilitas
Responsif:
Keberagaman
aktivitas &
kepentingan
Keramahan:
komunitas,
ketetanggaan,
pertemanan,
interaksi,
keberagaman,
kebanggaan
Keragaman Sosiabilitas
Keramaian
Kebanggaan Makna
Tempat
Ketinggian:
permukaan
sama/setara
Ukuran:
ruang dan
elemen
Kenyamanan:
tempat duduk
integral &
portabel Keuntungan Adaptabilitas Tempat
duduk:
intergral
maupun
berpindah
Wujud/Bentu
k:
ruang &
elemen
Rancangan
detil:
ruang &
elemen
Kenyamanan
naungan,
sandaran, &
lindungan
Demokratis:
keberagaman
pengguna
dan
inklusivfitas
Guna ruang &
aktivitas:
alasan.tujuan
khusus,
hidup/vital,
karakter
khusus/unik
Legalitas
Aksesibilitas
Keamanan
Keragaman
Ruang
sosial:
jalan dan
ruang publik
sebagai
bagian dari
ruang sosial
Bermakna:
interaksi
antar ruang,
pengguna, &
komunitas
dalam
konteks
sosial
Kebanggaan Makna tempat
Karakter:
elemen-
elemen dalam
ruang
Kenyamanan
dan citra:
aman, bersih,
hijau, kaya
karakter,
menarik
Kebanggaan
Makna
Tempat
Legibilitas
Sumber: tinjauan teoritis, 2018
Hasil analisis teoritis di atas menyimpulkan bahwa terdapat 6 atribut lingkungan dari perspektif pedagang,
yaitu: keuntungan, keramaian, keragaman, kebanggaan, keamanan, dan legalitas, serta 6 atribut dari perspektif
pembeli/konsumen, yaitu: aksesibilitas, visibilitas, legibilitas, sosiabilitas, adaptabilitas, dan makna tempat.
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
110
METODE
Penelitian menggunakan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pemetaan, dan
wawancara semi-terstruktur. Menurut Barker (1968, dalam Joyce 2005: 175), behavior setting didefinisikan
sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria berikut: (i) terdapat suatu aktifitas
yang berulang berupa suatu pola perilaku, (ii) dengan tata lingkungan tertentu, (iii) membentuk suatu hubungan
yang sama antar keduanya, (iv) dan dilakukan pada periode waktu tertentu. Pemetaan ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana manusia atau seketompok manusia memanfaatkan, menggunakan dan
mengakomodasikanperilakunya dalam suatu waktu pada tempat tertentu. Prosedur pemetaan sebagai berikut
(Haryadi & Setiawan, 1995: 72–75; Joyce, 2005 & 2014): 1. Membuat sketsa tempat/setting yang meliputi
seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang; 2. Membuat daftar perilaku
yang akan diamati serta menentukan simbol/ tanda sketsa setiap perilaku; 3. Dalam kurun waktu tertentu,
peneliti mencatat bcrbagai perilaku yang terjadi.
Subyek amatan terdiri atas pedagang dengan sampel keseluruhan 25 unit PKL yang dipilih secara sensus dan 60
pembeli yang dipilih secara aksidental. Survei dilakukan pada jam puncak di akhir pekan dengan pencatatan
berdurasi setiap jam untuk rentang waktu 4 jam antara jam 17 - 21 WITA. Analisis data menggunakan
pemetaan perilaku tipe place-centered yang didasarkan pada latar perilaku (behaviour setting), didukung dengan
statistik deskriptif menggunakan tabulasi. Tabulasi silang mempertautkan indikator kualitas lingkungan yang
terdiri atas fitur lingkungan dan atribut lingkungan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Perilaku PKL
Secara spasial perilaku PKL pada area esplanade dipetakan secara place-centered dengan fokus amatan pada
posisi ruang, pengelompokan, dan karakteristik pembeli menurut tipe daur hidup (lansia, dewasa, remaja, anak-
anak), tipe komunitas (kelompok keluarga, kelompok pertemanan, 2 orang, soliter). Secara temporal dipetakan
setiap satu jam berjalan, yaitu pada pukul 17-16, 18-19, 19-20, dan 20-21. (Gambar 3 sampai Gambar 7).
Pada pola perilaku secara spasial, zona paling padat hingga sesak pembeli adalah pada posisi tengah. Hal ini
berkait dengan posisi kedekatan dan kemudahan pencapaian melalui dua jalan tembus dari tengah arah kota
(aksesibilitas). Posisi hadapan jalan tembus juga mempermudah zona tengah terlihat (visibel) dan dikenali
(legibel) oleh pengunjung ataupun pelintas jalan sehingga tertarik untuk singgah. Zona paling longgar adalah
posisi utara. Hal ini berkait dengan posisi jauh dari kawasan anjungan-anjungan di arah selatan dan tidak
langsung berhadapan dengan jalan-jalan tembus (aksesibilitas).
Pengunjung bebas memilih unit PKL di sepanjang ruang publik esplanade serta bebas memilih posisi duduk
masing-masing (adaptabilitas). Ini dimungkinkan oleh elemen tempat duduk integral di atas tanggul yang dapat
dialas tikar plastik sesuai kebutuhan, serta tempat duduk portabel kursi plastik dan meja makan portabel yang
dapat digeser-geser sesuai kebutuhan komunitas pengunjung dalam jumlah maupun preferensi posisi dalam
ruang (adaptabilitas). Mayoritas pengunjung adalah kelompok remaja sebagai yang terbanyak dan kelompok
dewasa. Hal ini berkait dengan kunjungan dalam hubungan komunitas pertemanan sebagai yang terbanyak,
disusul dengan komunitas keluarga, keduanya dalam besaran kelompok berkisar 2 orang – 8 orang. Posisi
tepian area pada sisi tanggul yang menjauhi hiruk-pikuk interaksi dan transaksi pedagang-pembeli cenderung
ditempati oleh komunitas remaja. Hal ini tampaknya berkait dengan kebutuhan privasi di dalam sosiabilitas
mikro kelompok masing-masing.
Gambar 3. Suasana aktivitas PKL pada rentang waktu pukul 17.00-21.00 WITA
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
111
Gambar 4. Pemetaan pada pukul 17.00 – 18.00
Gambar 5. Pemetaan pada pukul 18.00 – 19.00
Gambar 6. Pemetaan pada pukul 19.00 – 20.00
Gambar 7. Pemetaan pada pukul 20.00 – 21.00
Untuk pola perilaku secara temporal, aktivitas PKL pada awalnya menampakkan pengunjung menempati posisi
bukan menurut komoditas dagangan yang cenderung serupa. Posisi lebih ditentukan oleh jarak menjauh dari sisi
jalan dan pedagang sehingga mendekat ke sisi tepian air, juga oleh jarak antar kelompok dengan komunitas
pengunjung lain. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan interaksi maksimum dalam kelompok sendiri
(sosiabilitas mikro) dan minimum antar-kelompok (sosiabilitas meso) maupun masyarakat sekitar (sosiabilitas
mikro). Namun, pada saat terjadi puncak kepadatan dan keramaian, secara mengejutkan pengunjung
menyatakan tidak saling terganggu privasi komunitas masing-masing meskipun duduk dalam posisi saling
berbaur dengan komunitas lain. Hal ini mengindikasikan keramahan tidak hanya pada atribut lingkungan namun
juga pada karakter kemanusiaan masyarakat pengguna.
Pemadatan pengunjung terjadi sejalan dengan waktu, semakin malam semakin ramai dan padat pada zona
tengah, namun makin sepi pada zona utara. Pada tingkat kepadatan tinggi terlihat pedagang dapat meminjamkan
kursi untuk pembeli pedagang di sebelahnya, atau sebaliknya, pengunjung membeli komoditas dari dua unit
PKL yangberbeda. Hal ini menguatkan terjadinya aglomerasi pedagang yang memudahkan pelayanan bagi
pembeli. Pedagang menyatakan tidak mengkawatirkan kemungkinan merugi (atribut keuntungan) selama
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
112
pengunjung selalu ramai setiap malam (atribut keramaian) selama dapat berdagang dengan legal dan aman
(atribut legalitas dan keamanan).
Karakteristik Pedagang
Domisili pedagang relatif dekat dengan lokasi PKL yaitu di kawasan pusat kota dan pesisir Kota Makassar.
Usia dominan produktif matang dengan tingkat pendidikan rendah. Lama bekerja sebagai PKL beragam antara
kurng dari setahun hingga lebih dari 21 tahun, namun penghasilan dominan di bawah UMR Kota Rp. 2.7 juta,
dengan komoditas dominan kombinasi makanan dan minuman (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik Pedagang
KARAKTERISIK PEDAGANG N % CATATAN
Domisili
(Kec.)
Makassar 12 48
Dominasi
kawasan pusat
kota
& pesisir
U. Pandang 4 16
Tamalate 3 12
Mamajang 3 12
Mariso 2 8
Maccini S. 1 4
25 100
Usia (Thn)
15 - 25 2 8
Dominasi usia
produktif
matang
26 - 40 14 56
41 - 65 9 36
> 65 0 0
25 100
Pendidikan
SD/SMP 16 64 Dominasi
pendidikan
rendah
SMA/setara 9 36
Sarjana 0 0
25 100
Lama mata
pencaharian PKL
(thn)
< 1 4 16
Beragam,
percampuran
pedagang baru
dan lama
1 - 5 8 32
6 - 10 8 32
11 - 20 1 4
> 21 4 16
25 100
Penghasilan (juta
rp.)
< 0.9 10 40
Dominasi
dibawah UMR
Rp. 2.7 juta
0.9 - 1.8 3 12
1.8 - 2.7 3 12
2.7 - 5.4 6 24
> 5.4 3 12
25 100
Komoditas Makanan &
minuman 20 80
Dominasi
makanan &
minuman
Karakteristik Pembeli
Domisili pembeli relatif luas meliputi wilayah kota, propinsi, dan luar propinsi. Usia dominan kalangna muda
dan produktif muda dengan tingkat pendidikan menegah dan tinggi. Jenis pekerjaan dan, tingkat penghasilan
sangat beragam, mengindikasikan keluasan cakupan konsumen. Kunjungan di lokasi PKL dalam komunitas
beragam namun didominasi oleh grup teman sejawat (45%). Frekuensi kunjungan dominan adalah sering atau
berulang lebih dari 3 kali (60%) (Tabel 3). Mayoritas tujuan kunjungan adalah menikmati pemandangan
(81.7%) dan makan-minum atau kuliner (80%) (Tabel 3).
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
113
Tabel 3. Karakteristik Pembeli
KARAKTERISIK PEMBELI N % CATATAN
Domisili
(Kec.)
Kota Makassar 36 60 Cakupan luas,
wilayah kota &
propinsi
Sulawesi Selatan 21 35
Luar Sul-Sel 3 5
60 100
Usia (Thn)
15 - 25 26 43.3
Dominasi
kalangan muda
dan dewasa muda
26 - 40 24 40
41 - 65 10 16.7
> 65 0 0
60 100
Pendidikan
SD/SMP 6 10 Dominasi
pendidikan
menengah dan
tinggi
SMA/setara 26 43.3
Sarjana 28 46.7
60 100
Pekerjaan
PNS/Guru/Dosen 18 30
Beragam
Wiraswasta 15 25
Karyawan/Buruh 15 25
Mahasiswa/Siswa 9 15
Nelayan/Petani 2 3.3
Ibu rumah tangga 1 1.7
60 100
Penghasilan
0 8 13.3
Beragam
< 0.9 14 23.3
0.9 - 1.8 3 5
1.8 - 2.7 2 3.3
2.7 - 5.4 18 30
> 5.4 15 25
60 100
Komoditas
Sendiri 9 15 Beragam,
dominasi
teman/sejawat
Teman/sejawat 27 45
Keluarga 24 40
60 100
Frekuensi
kunjungan
Pertama kali 7 11.7
Dominasi
pengunjung
berulangkali
Jarang 13 21.7
Sering (> 3x) 36 60
Rutin 4 6.7
60 100
Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pedagang
Menurut pandangan pedagang, atribut lingkungan terkuat adalah legalitas (68%), disusul dengan keramaian
aktivitas (64%) dan keamanan (56%). Hal ini menunjukkan bahwa atribut-atribut tersebut jau ebih penting
daripada atribut ekonomi atau keuntungan semata (Grafik 1).
Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pembeli
Menurut pandangan pembeli, atribut paling kuat pada adaptabilitas dan sosiabiitas mikro (80%), cukup kuat
pada visibilitas dan legibilitas, namun lemah pada aksesibilitas universal (35%). Terkhusus atribut makna
menunjukkan keragaman, paling kuat sebagai makna wisata yaitu kuliner (65%) dan pantai (63.3%),namun
lemah sebagai ruang sosial warga dan wajah kota berciri kemaritiman. Hal ini berkait dengan atribut yang
lemah pula dalam sosiabilitas meso (11.7%) dan makro (5%). Atribut makna sebagai ruang tepian air juga
sangat lemah (11.7%). Wisata pantai kuat namun pembeli tampaknya kurang terhubung dengan air (Tabel 4).
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
114
68.0 64.0
56.0 44.0 44.0
8.0
0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0
Legalitas
Keramaian aktivitas
Keamanan
Keuntungan
Keberagaman pengunjung
Nilai prestis/kebanggaan
ATRIBUT LINGKUNGAN (PEDAGANG) (%)
Grafik 1. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pedagang
Tabel 4. Atribut Kualitas Lingkungan menurut Pembeli
KARAKTERISIK PEMBELI N % CATATAN
Aksesibilitas
Ramah difabilitas 4 6.7 Atribut lemah dalam aksesibilitas secara
disain universal Ramah pejalan kaki 17 28.3
Transportasi publik 25 41.7 Atribut kuat, namun didominasi transportasi
pribadi Transportasi pribadi 48 80.0
Keterkaitan dengan anjungan 13 21.7 Atribut lemah dalam interkoneksitas kawasan
Keterkaitan dengan kawasan 21 35.0
Sosiabilitas
Interaksi dengan masyarakat
sekitar 3 5.0
Dominasi interaksi dalam grup-grup
tersendiri mengindikasikan terciptanya
privasi dalam ruang publik sebagai atribut
sosiabilitas mikro yang kuat namun lemah
dalam sosiabilitas meso dan makro
Interaksi antar grup pembeli 7 11.7
Interaksi dalam grup pembeli 21 35.0
Interaksi antara 2 pembeli 27 45.0
Tidak berinteraksi/soliter 8 13.3
Visibilitas
Terlihat dari jauh 16 26.7
Atribut kuat dalam visibilitas Terlihat dari dekat 29 48.3
Sebagian terlihat dari dekat 15 25.0
Tidak terlihat 0 0.0
Adaptabilitas
Sangat mudah disesuaikan 25 41.7
Atribut kuat dalam adaptabilitas Mudah disesuaikan 21 35.0
Sebagian dapat disesuaikan 13 21.7
Tidak dapat disesuaikan 1 1.7
Legibilitas
Sangat mudah dikenali 8 13.3
Atribut cukup kuat dalam legibilitas Mudah dikenali 31 51.7
Sebagian dapat dikenali 21 35.0
Tidak dapat dikenali 0 0.0
Makna tempat
Wajah kota 12 20.0
Atribut paling kuat didominasi oleh makna
wisata, cukup kuat sebagai ruang sosial warga
dan wajah kota berciri kemaritiman namun
lemah sebagai ruang tepian air
Jejak sejarah setempat 0 0.0
Ruang warga kota 9 15.0
Wisata pantai 38 63.3
Ruang tepian air 7 11.7
Ciri kemaritiman 10 16.7
Ruang sosial 13 21.7
Tempat ekspresi diri 4 6.7
Wisata kuliner 39 65.0
Wisata budaya 5 8.3
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
115
KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Aktivitas PKL di ruang publik esplanade Jalan Penghibur di Kota Makassar menunjukkan konvivialitas
lingkungan, vitalitas ekonomi, dan viabilitas sosial. Penempatan pada ruang esplanade telah mendorong
terjadinya aglomerasi aktivitas komersial dan rekreatif yang mengindikasikan keteraturan dan kenyamanan
spasial maupun temporal bagi pedagang, pembeli, maupun pengunjung kawasan yang didominasi oleh
komunitas remaja dan dewasa muda.
2. Atribut kualitas lingkungan yang erat berkait dengan terbentuknya pola perilaku tersebut menurut
pedagang adalah: legalitas, keramaian dan keamanan, melampuai atribut keuntungan semata. Atribut
kualitas lingkungan menurut pembeli terkuat adalah adaptabilitas dan makna wisata kuliner dan wisata
pantai, cukup kuat dalam legibilitas, visibilitas, dan sosiabilitas, namun lemah dalam atribut aksesibilitas
menurut disain universal, dan atribut makna tepian air.
Selain itu, terjadinya pembauran pengguna yang beragam dalam posisi duduk yang saling bersesakan pada
waktu-waktu puncak kepadatan aktivitas tanpa saling terganggu privasi masing-masing menunjukkan
karakteristik keramahan PKL tidak hanya pada atribut lingkungan namun juga pada sisi kemanusiaan
penggunanya.
REKOMENDASI
Penelitian selanjutnya disarankan melanjutkan dengan teknik analisis kuantitatif menggunakan statistik korelasi
untuk menentukan tingkat signifikansi korelasi antara vitalitas ekonomi dan viabilitas sosial dengan atribut
kualitas lingkungan. Pemerintah Kota disarankan untuk memperbaiki kualitas penataan ruang publik esplanade
Jalan Penghibur dengan prioritas jangka pendek pada aspek aksesibilitas dan perancangan arsitektur lansekap
yang memfokus pada perkuatan makna sebagai ruang publik tepian air (esplanade).
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin atas dukungan dana penelitian skim
Implementasi Sistem Pembelajaran Laboratory-Based Education/LBE tahun anggaran 2018, juga kepada
mahasiswa S2 Arsitektur 2017 Husnirrahman, ST serta mahasiswa S1 Arsitektur 2016 Irwansyah dan Zulhilmi
Barsah yang telah membantu dalam pengumpulan data.
PUSTAKA
Adhitama, M.S., 2013. Faktor Penentu Setting Fisik dalam Beraktifitas di Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus
Alun-Alun Merdeka Kota Malang, Jurnal RUAS, Volume 11 N0 2, Desember 2013, h. 1-9.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T, & Tiesdell, S., 2003, Public Places Urban Spaces: The Dimensions of Urban
Design, New York: Architecture Press.
Carmona, M., Magalhaes, C. and Hammond, L., 2008. Public Space: The Management Dimension, Abingdon:
Routledge.
Ching, F. D. K., Jarzombek, M., & Prakash, V., 2011. A Global History of Architecture, 2nd Edn, Hoboken,
NJ: John Wiley & Sons.
Gehl, J., 1996. Life between Buildings: Using Public Space, New York: Van Nostrand Reinhold.
Gehl, J., 2010. Cities for People, NY: Island Press.
John B. Forkuor, J.B., Akuoko, K.O., & Yeboah, E.H., 2017. Negotiation and Management Strategies of Street
Vendors in Developing Countries: A Narrative Review. Sage Open, January-March 2017, 1 –13.
Haryadi & Setiawan, B., 1995. Arsitektur Lingkungan & Perilaku, Yogyakarta: Direktorat Jendral Pendidikan.
Kurniawati, W., 2012. Public Space for Marginal People, Social and Behavioral Sciences, 36, h. 476–484 .
PROS ID ING SE M IN AR I LM IAH NAS ION AL S A INS D AN T EKN OL OG I KE - 4 T AHUN 2 018
Volume 4 : November 2018
116
Laurens, J. M., 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia, Jakarta: Grasindo.
Laurens, J.M., 2014. Model Penggunaan Kreatif dalam Perencanaan Ruang Publik. Prosidings Seminar &
Lokakarya Pemberdayaan Area Publik di Dalam Kota. Universitas Petra, Surabaya, September 2014.
Pemerintah Kota Makassar, 2002. Peraturan Daerah No. 44 tentang Pedagang Kaki Lima.
Project for Public Space, 2000. How to Turn a Place Around: A Handbook for Creating Successful Public
Spaces, New York: PPS.
Purwanti, H. & Masturi. 2012. Usaha dan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Lumajang. Jurnal
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang, Vol.3 No.2, h. 69-77.
Shaftoe, H., 2008. Convivial Urban Spaces, Creating Effective Public Places, London & Sterliing, VA:
Earthscan Publishing.
Sholihah, A.B. & Heath, T., 2016. Assessing the Quality of Traditional Street in Indonesia: a case study of
Pasar Baru Street. Social and Behavioral Sciences, 234, h. 244 – 254.
White.W.H., 1980. The Social Life of Small Urban Spaces. New York: Project for Public Spaces.
Yatmo, Y.A., 2009. Perception of street vendors as “out of place” urban elements at day time and night time.
Journal of Environmental Psychology, 29, 467-476.