Transcript
Page 1: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PEMALSUAN IDENTITAS DALAM PERKAWINAN

BIDANG KEGIATAN:PKM-P

Diusulkan oleh:

Febriani Maruli 2009-41-145 (Ketua) Angkatan 2009Yelinika Ardana Reswari 2010-41-066 (Anggota 1) Angkatan 2010Dio Tatagama 2010-41-075 (Anggota 2) Angkatan 2010Denny Fajar Setiadi 2010-41-095 (Anggota 3) Angkatan 2010Achmad Saifudin Firdaus 2010-41-099 (Anggota 4) Angkatan 2010

UNIVERSITAS ESA UNGGULJAKARTA

2012

Page 2: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

1. Judul Kegiatan : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan

2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI (√) PKM-P3. Bidang Ilmu : ( ) Kesehatan ( ) Pertanian

( ) MIPA ( ) Teknologi dan Rekayasa (√) Sosial Ekonomi ( ) Humaniora ( ) Pendidikan

4. Ketua Pelaksana Kegiatana. Nama Lengkap : Febriani Maruli b. NIM : 2009-41-145c. Jurusan : Hukumd. Universitas : Universitas Esa Unggule. Alamat Rumah dan No. Tel/HP : Jl. Kayu manis 9 RT 08/09

No 49 Jakarta Timurf. Alamat Email : [email protected]

5. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 4 orang6. Dosen Pendamping

a. Nama Lengkap dan Gelar : Henry Ariantob. NIP : c. Alamat Rumah dan No. Tel/HP : Jl. Pluit Barat V Rt.014,

Rw.007, Jakarta Utara/ 021-94110252

Jakarta, 01 Mei 2012

Menyetujui,Kepala jurusan Hukum Ketua Pelaksana Kegiatan

Zulfikar Judge, SH,MKn Febriani MaruliNIP.

Wakil Rektor Bidang Akademik Dosen Pendampingdan Kemahasiswaan

Holiq Raus, IAP Henry Arianto. SH., MHNIP.2984040092 NIP.

Page 3: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

1. LATAR BELAKANGManusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk

hidup bersama. Kemudian manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan manusia lainnya yang tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodratnya sebagai makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu bersama, tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir dan batin yang cukup kuat diantara manusia yaitu dengan cara suatu jalan pernikahan. Karena suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan pasangan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa.

Diisyaratkan perkawinan dalam islam merupakan hikmah dari diciptakannya manusia sebagai khalifah untuk membangun alam semesta dan menumbuhkan kebaikan di dalamnya. Sebagaimana telah menjadi perilaku manusia untuk cenderung mengadakan hubungan dengan manusia lain, perkawinan diisyaratkan oleh karena di dalamnya terdapat kekuatan yang mampu menundukan pandangan, menjaga kemaluan dan menjauhkan manusia dari perbuatan tercela.1

Dalam ajaran islam poligami memang diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3, tetapi dengan syarat harus bisa berlaku adil dengan menyebutkan adanya izin dari isteri, oleh karena itu hukum yang digunakan di Indonesia ini adalah hukum positif dan bukan hanya hukum islam saja, maka jika seseorang hendak berpoligami selain harus bisa berlaku adil juga harus memiliki izin dari isteri dan kemudian permohonan poligami itu diajukan ke Pengadilan Agama untuk segera diproses agar permohonan tersebut disetujui atau ditolak.

Dalam perspektif kemasyarakatan, prinsip poligami masih bersifat kontroversial walaupun dari segi legalitas masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam. Sesungguhnya telah mengetahuai bahwa secara agama perkawinan poligami itu halal dan memiliki dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Perkawinan poligami dipandang sebagai “bahan pergunjingan dan hujatan“ akibatnya banyak laki-laki yang melakukan poligami secara “sembunyi-sembunyi” dalam arti tidak disebarluaskan, padahal perkawinan poligami adalah diperbolehkan, akan tetapi pelakunya dianggap seakan-akan seperti penjahat. Sebaliknya orang yang melakukan perzinahan dianggap melakukan hal yang wajar-wajar saja.2\

Jika berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, makan suami yang akan melakukan perkawinannya yang kedua, wajib memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Adapun pihak pengadilan hanya akan mengeluarkan izin tersebut jika seluruh syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undnag-Undang Perkawinan telah terpenuhi. Termasuk diantaranya wajib mengantongi izin untuk menikah lagi dari isteri pertamanya, jika tidak maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Dalam prakteknya, permasalahan yang muncul di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah masalah mengenai ketidakakuratan data identitas calon

1 Abdul Aziz, Perkawinan Yang Harmonis, (Jakarta : CV. Firdaus, 1993), hlm. 1.2 Eni Setiani, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkainan Poligami Sebagai Sebuah

Fenomenal), (Jakarta : Cisera Publishing, 2007), hlm. 47.

Page 4: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

mempelai. Dengan adanya pemalsuan identitas akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi masing-masing pihak baik dari pihak keluarga calon pengantin maupun bagi lembaga pemerintahan itu sendiri. Maka akan ada kesan dengan adanya pemalsuan data identitas ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu bisa terlaksana. Seharusnya keaktifan semua pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia, jenis kelamin dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggung jawabkan.

Banyak laki-laki beristeri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menyatakan dirinya sebagai “bujang”. Kartu Tanda Penduduk inilah yang menjadi senjata ampuh mereka untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Perilaku mereka tersebut dapat dikatakan melanggar hukum dengan pemalsuan identitas.

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat tegas menyatakan bahwa bagi meraka yang ingin melakukan poligami harus memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sesuai aturan hukum yang berlaku. Namun, mereka tetap masih bisa melangsungkan perkawinan dengan syarat harus meminta izin dahulu ke Pengadilan Agama. Selain mengatur tentang syarat-syarat untuk berpoligami Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang pencatatan perkawinan, yang mana pencatat perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi martabat perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Serta pencatatan tersebut bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan, seperti pemalsuan identitas data baik mengenai status maupun data identitas diri calon mempelai.

Penyimpangan tersebut dilakukan karena kurangnya pengetahuan calon mempelai mengenai hukum terlebih Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau meraka menginginkan jalan pintas saja, sehingga pria yang ingin melangsungkan perkawinan poligaminya mereka bukan meminta izin ke Pengadilan Agama tapi mereka melakukan pemalsuan status mereka, baik yang dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak yang terkait.

Apabila kita lihat dari hal tersebut di atas, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang memang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akan tetapi, hanya mengatur sanksi bagi Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan para pihak yang lain selain Pegawai Pencatat Nikah tidak terdapat sanksi pidananya.

Page 5: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

2. RUMUSAN MASALAHBerdasarkan hal-hal yang penulis uraikan di atas, maka pokok

permasalahan dari penuliasan ini adalah :a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban pemalsuan

identitas dalam hal terjadinya perkawinan?b. Apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana? Apa ancaman

hukumannya?

3. TUJUANa. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban

pemalsuan identitas dalam hal terjadinya perkawinan.b. Untuk melindungi korban dalam pemalsuan identitas perkawinan.c. Untuk memberikan pengetahuan tentang pemalsuan identitas dalam

perkawinan.

4. LUARAN YANG DIHARAPKANDiperolehnya suatu pelanggaran terhadap undang-undang, terutama undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan adanya pemalsuan suatu identitas atau KTP terhadap seseorang yang akan melaksanakan perkawinan.

5. KEGUNAAN a. Memberikan wawasan tentang UU nomor 1 tahun 1974.b. Memberikan wawasan tentang perlindungan hukum bagi korban dalam

pemalsuan identitas perkawinan.c. Melindungi kaum wanita yang sering menjadi korban perkawinan dalam

pemalsuan identitas.

6. TINJAUAN PUSTAKAa. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan, menurut para sarjana dan ahli hukum ada beberapa macam pengertian perkawinan, yaitu :3

1. Prof. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamodjojo, SH.Perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.

2. Prof. Subekti, SH.Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

3. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Perkawinan adalah sutu hidup bersama dari seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan-peraturan tersebut.

3 Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSKI, 2002), hlm. 53.

Page 6: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 pengertian perkawinan adalah “pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”4

Dari berbagai rumusan tentang pengertian perkawinan dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah :- Adanya suatu akad atau perjanjian yang melahirkan hubungan

hukum,- Antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan,- Untuk membentuk sebuah keluarga,- Untuk waktu yang lama,- Melaksanakannya merupakan suatu ibadah,- Dilakukannya menurut Undang-Undang dan hukum yang berlaku.

Adapun hukum dianjurkannya suatu pernikahan dalam islam ada lima macam, yaitu :5

a) Mubbah Merupakan asal hukum dari perkawinan sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nuur : 33. Yaitu dalam hal ini hukum nikah mungkin akan menjadi wajib, sunnah, makruh, ataupun haram, sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.

b) Sunnah Yaitu orang yang syahwatnya bergejolak, yang dengan pernikahan tersebut dapat menyelamatkan dari berbuat maksiat kepada Allah SWT. Kawin baginya lebih utama dari pada bertekun diri dalam ibadah karena menjalani hidup sebagai pendetapun tidak dibenarkan dalam Islam.

c) Wajib yaitu bagi orang yang cukup nafkah, sandang, pangan dan dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan.

d) Makruh Bagi orang yang belum mempunyai keinginan yang kuat dan tidak mampu memberi nafkah. Ia lebih baik tidak kawin lebih dahulu karena akan membawa kesengsaraan bagi isteri dan anaknya.

e) Haram Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau dia kawin dapat menimbulkan kemadharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila atau orang yang memiliki sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.

b. Syarat Sah PerkawinanKata sah berarti menurut hukum yang berlaku, kalau perkawinan

itu tidak dilaksanakan menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, berarti tidak sah menurut peraturan perundangan. Begitu juga kalau tidak sah menurut aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama.6

4 Depag RI, Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2, (Jakarta: Depag RI, 2002), hlm. 14.

5 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 15.

Page 7: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :7

a) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum, masing-masing agamanya dan kepercayaannya,

b) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat sah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Syarat-syarat perkawinan terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu:8

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua,c) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orag tua yang mampu menyatakan kehendaknya,

d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan pada Pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa :9

a) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun,

6 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003) , hlm. 26.

7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Loc Cit, Pasal 2.8 Ibid, Pasal 6.9 Ibid, Pasal 7.

Page 8: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

b) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita,

c) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasl 6 ayat (6).

c. Pembatalan PerkawinanDalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur

mengenai pengertian pembatalan perkawinan, begitu juga PP Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan pelaksana dari Undang-undang tersebut, sehingga tidak ada satupun peraturan yang mengatur mengenai pengertian pembatalan perkawinan.

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menyebutkan :10

”perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengertian

”dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian menurut pasal tersebut, perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan itu dapat batal atau dapat tidak batal.

Kemudian dalam Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa ”batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”. Hal ini disebabkan mengingat pembatalan perkawinan dapat membawa akibat hukum terhadap suami istri itu sendiri, anak-anak yang dilahirkan maupun terhadap pihak ketiga.

Walaupun dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 maupun peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan tidak menjelaskan akan pengertian pembatalan perkawinan, namun pengertian pembatalan perkawinan tersebut dapat diambil dari beberapa pendapat para sarjana, yaitu :

a) Menurut Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja adalah Pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat dibatalkan, apabila pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, dan pembatalan suatu perkawinan tersebut hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.11

b) Menurut Thoyib Mangkupranoto menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan ialah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.12

10 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Op. Cit, Pasal 22.11 Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum menurut Islam, UUP dan Hukum

Perdata/BW, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1981), hlm. 36.12 Thoyib Mangkupranoto, Pembatalan Perkkawian Di Indonesia, (Jakarta : Rineka

Cipta, 1993), hlm. 15.

Page 9: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

c) Menurut Riduan Syahrani menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan ialah bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan itu dilangsungkan oleh para pihak (suami istri) atau salah satu pihak ( suami-istri) terbukti tidak memenuhi syarat-syarat untuk berlangsungnya perkawinan.13

Sementara itu dalam kamus hukum, pengertian pembatalan perkawinan berasal dari dua kata, yaitu ”batal” dan ”kawin”. ”Batal” artinya tidak sah, tidak berlaku,14 Sedangkan ”kawin” artinya: pernikahan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah tangga.15

Jadi pengertian pembatalan perkawinan menurut kamus lengkap bahasa Indonesia adalah : suatu pernyataan batal yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara pria wanita dengan seorang wanita.

Dari beberapa pengertian pembatalan perkawinan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :a) Bahwa dalam pembatalan perkawinan, suatu perkawinan tersebut

sudah terjadi,b) Perkawinan tersebut dilakukan dengan tidak memenuhi syarat-syarat

perkawinan.c) Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan.

Dalam ilmu hukum dapat ditemukan adanya perkawinan yang batal demi hukum. Jadi tiap-tiap pembatalan harus ada keputusan pengadilan, tidak dengan sendirinya demi hukum batal, hanya dalam satu hal yaitu perkawinan yang dilangsungkan dengan perantaraan seorang kuasa, jika sebelum perkawinan dilangsungkan, pihak yang memberi kuasa dengan sah telah kawin dengan orang lain. Dalam hal ini oleh Undang-Undang dianggap tidak pernah berlangsung perkawinannya, sehingga batal demi hukum. Demikian juga perkawinan pria dengan pria atau wanita dengan wanita, dianggap tidak pernah ada sehingga batal demi hukum.16

1.) Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan dan Pihak-pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dimuat dalam Pasal 26 dan 27 yaitu sebagai berikut :17

a) Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,

b) Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,c) Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang

saksi,

13 Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah-masalah hukum perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Media Sarana Press, 1986), hlm. 42.

14 Ahmad A.K. Muda, Op. Cit, hlm. 92.15 Ibid, hlm. 378.16 Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan

Putusnya Perkawinan, (Jakarta : Reality Publisher, 1998), hlm. 107.17 Hilman Hadikusuma, Loc.Cit, hlm. 81.

Page 10: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

d) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum,

e) Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Adapun pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23, 24, 25, 26, dan 27 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu:a) Para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau dari istri,b) Suami atau istri itu,c) Pejabat yang berwenang,d) Pejabat yang ditunjuk,e) Jaksa,f) Suami atau istri yang melangsungkan perkawinan,g) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara

langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.18

Alasan pembatalan perkawinan oleh suami istri atau oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, ataupun oleh jaksa berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menjadi gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

2.) Tata Cara Pembatalan PerkawinanBerdasarkan Pasal 38 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian”. Jadi, tata cara yang dipakai untuk permohonan pembatalan perkawinan sama dengan tata cara pengajuan permohonan perceraian.

Kemudian dalam ayat (3) pada pasal tersebut dikatakan bahwa : “Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 PP ini”.

Agar lebih jelas, tata cara pembatalan perkawinan tersebut diuraikan sebagai berikut :

a) Pengajuan gugatan. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsunganya perkawinan, atau di tempat kedua suami-istri, suami atau istri.

18

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 49.

Page 11: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

b) Pemanggilan. Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita bagi Pengadilan Negeri dan petugas yang ditunjuk bagi Pengadilan Agama. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila tidak dapat dijumpai, pemanggilan dapat disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka, dan kepada tergugat harus pula dilampiri salinan surat gugatan.

c) Persidangan. Persidangan untuk memeriksa gugatan pembatalan perkawinan harus dilakukan oleh pengadilan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat gugatan di kepaniteraan. Dalam menetapkan hari sidang itu, perlu sekali diperhatikan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan itu oleh yang berkepentingan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat tinggal di luara negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan pembatalan perkawinan itu. Para pihak yang berperkara yakni suami dan istri dapat mengahadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya, dengan membawa akta nikah dan surat keterangan lainnya yang diperlukan. Apabila telah dilakukan pemanggilan yang sepatutnya, tapi tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan tersebut tanpa hak atau tidak beralasan. Pemeriksaan perkara gugatan pembatalan perkawinan dilakukan pada sidang tertutup.

d) Perdamaian. Sebelum dan selama perkara gugatan belum diputuskan, pengadilan harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tercapai suatu perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan pembatalan perkawinan yang baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu tercapainya perdamaian. Ketentuan tentang perdamaian ini memang sangat layak dan penting dimuat dalam gugatan pembatalan perkawinan ini, karena memang apabila mungkin supaya pembatalan perkawinan tersebut tidak terjadi. Di samping itu dalam acara perdata usaha mendamaikan oleh pengadilan terhadap yang berperkara juga diatur dan merupakan hal yang penting.19

e) Putusan. Meskipun pemeriksaan gugatan pembatalan perkawinan dilakukan dalam sidang tertutup, tetapi pengucapan putusannya harus dilakukan dalam sidang terbuka. Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

19

K.Wantjik Saleh, Loc. Cit, hlm. 50.

Page 12: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

d. Perkawinan PoligamiPerkataan poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari

dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut "Permaduan". Dalam teori hukum, poligami dirumuskan sebagai sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri.20

Di Indonesia sendiri sebelum datangnya agama Islam, sistem poligami itu merupakan lembaga yang dibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel Unilateral maupun dalam stelsel Parental. Malahan kedatangan Islam memberi kepastian hukum yang menjamin anak-anak yang dilahirkan sebagai keturunan yang sah dari lembaga perkawinan poligami.21

Poligami sendiri diatur di dalam agama islam yang terpadat pada Al Qur'an, Surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi :22

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya"

Syarat harus berbuat adil bagi pria yang berpoligami merupakan suatu yang tidak akan terlaksana, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, karena ketidakmungkinan berbuat adil ini telah disebutkan dalam Surat An-Nisa : 129 yang berbunyi :23

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Dari bunyi Surat An Nisa : 129 di atas dapatlah disimpulkan, bahwa yang berlaku adil secara mutlak hanya Allah.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun 1975).

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya ditentukan bahwa poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan, bahwa Undang-undang ini

20

Riduan Syahrani dan Abdulrahman, Loc. Cit, hlm. 79-80.21 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading

Co, 1975), hlm. 24.22 Al-Qur`an, Surat An-Nissa ayat 323 Al-Qur`an, Loc. Cit, ayat 129.

Page 13: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang.24

Di atas telah dijelaskan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menutup pintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berarti membuka pintu dalam arti seluas-luasnya, karena UU No. 1 Tahun 1974 memberikan pembatasan yang sangat berat. Pembatasan itu diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974.

Seorang pria yang telah diizinkan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih dari seorang, ia terlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari syarat-syarat yang telah ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, agar pria tersebut tidak sembarangan melakukan perkawinan dengan seorang wanita.

1.) Alasan-Alasan dan Syarat PoligamiAlasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristeri lebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 yaitu :a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri,b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan,c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasan tersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :a) Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri,b) Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka,c) Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-

isteri dan anak-anak mereka.

Persetujuan yang dimaksud pada pasal 5 ayat (1) huruf a di atas, tidak diperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).

Persetujuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974. dipertegas oleh Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, yaitu : “Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Pengadilan.”

24 Abdulrahman dan Riduan Syahrani, Loc. Cit, hlm. 80.

Page 14: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

e. Pengertian Pemalsuan IdentitasJadi pemalsuan identitas adalah sebuah proses penyimpangan yang

tidak sah yang dilakukan seseorang untuk memalsukan data-data, tanda ciri-ciri maupun keadaan khusus seseorang/jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat negara.

Pemalsuan identitas perkawinan yang dimaksud penulis di dalam tulisan ini adalah perbuatan seorang pria yang tidak jujur tentang keadaan atau kedudukannya dengan menyatakan dirinya berstatus jejaka agar dapat melangsungkan perkawinan lagi dengan seorang wanita lain, padahal masih terikat perkawinan dengan wanita (istri pertama).

Perbuatan tersebut dilakukan dengan memalsukan surat keterangan untuk menikah yang menyatakan dirinya berstatus jejaka atau menyembunyikan perkawinan sebelumnya dari pemeriksaan yang dilakukan Petugas Pencatat Nikah. Perbuatan ini jelas melanggar hukum dan dapat merugikan salah satu pihak, serta dapat merusak keharmonisan rumah tangga. Salah satu merasa dibohongi dan dikhianati sehingga ketentraman dalam rumah tangga tidak tercipta, disamping itu hal tersebut dapat merusak ketertiban masyarakat.

f. Ketentuan Hukum Bagi Pelaku Pemalsuan Identitas PerkawinanKetentuan mengenai sanksi pidana dalam perkawinan hanya diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada pasal 45 yaitu :1.) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku maka :a) Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3,

10 (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500.

b) Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 (1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500.

2.) Tindakan pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

Kemudian antara lain yang mengatur mengenai larangan pemalsuan identitas atau kejahatan dalam perkawinan adalah KUHP pasal 279 dan pasal 280 yang berbunyi :

Pasal 2791) Diancam dengan pidana penjara yang lama lima tahun :

a) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu,

b) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah

Page 15: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.

Pasal 280Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam pidana penjara paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut perkawinan lalu dinyatakan tidak sah.Selanjutnya ada juga larangan pemalsuan Akta Nikah yang merupakan

Akta Otentik yang dapat dijadikan bukti dalam mengajukan upaya hukum yang tercantum dalam pasal 263, 264, dan 266 KUHP, yaitu :

Pasal 2631) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebut seolah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat diancam dengan pidana paling lama enam tahun.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 264Pemalsuan Akta Otentik merupakan salah satu pemalsuan surat yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Pasal 2661) Barang siapa menyuruh memalsukan keterangan palsu ke dalam surat

Akta Otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakai itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Pemalsuan dalam perkawinan itu tidak hanya sebatas pada pemalsuan usia dan status saja tetapi pemalsuan Akta Nikah juga termasuk kedalamnya. Berdasarkan bunyi dari pasal-pasal di atas pemalsuan Akta Nikah maupun surat-surat lainnya merupakan suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penjara karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada orang lain.

g. Akibat Pemalsuan Identitas Dalam Pembatalan Perkawinan

Page 16: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

Pembatalam perkawinan merupakan suatu tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada.

Menurut Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada prinsipnnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, ini berarti bahwa perkawinan itu dilarang apabila tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Perkawinan yang melanggar larangan-larangan ketentuan hukum agama maka dapat dibatalkan, misalnya larangan kawin bagi wanita yang masih dalam masa iddah atau waktu tunggu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan larangan yang disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan administrasi (Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), syarat-syarat Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan batas umur seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang melanggar hal tersebut di atas dapat dibatalkan. Hal ini tergantung kepada pertimbangan hakim yang memeriksa perkara tersebut. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai keputusan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan (Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dengan adanya keputusan yang berkekuatan tetap perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum diadakannya perkawinan tersebut. Dengan demikian dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah tersebut dianggap tidak pernah ada.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 22, bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu dapat dibatalkan menurut Undang-Undang perkawinan adalah sebagai berikut : 1.) Perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah

pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalkan perkawinan yang baru (Pasal 24 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974),

2.) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh kedua orang saksi (Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974),

3.) Perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai

Page 17: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

diri suami atau istri (Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974).

7. METODE PELAKSANAANDalam rangka memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk penelitian

ini, maka penulis berusaha untuk mecari data sebanyak mungkin. Selanjutnya data tersebut dianalisis sesuai dengan tujuan dari penulisan ini.

a. Tipe PenelitianDalam penulisan proposal penelitian ini, penulis menggunakan tipe

penelitian normatif atau yang disebut juga penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai.25 Dengan sifat deskriptif karena berbentuk menerangkan atau menggambarkan suatu permasalahan dengan menggunakan teori-teori sebagai landasan untuk memecahkan masalah. Dalam metode ini, yang ditempuh adalah melalui pencarian dan pengumpulan data sekunder.

b. Alat Pengumpulan DataPenelitian ini adalah untuk memperoleh data sekunder dengan

menggunakan alat pengumpul data yaitu sebagai berikut : Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan yang bersifat mengikat dan mendasari dari bahan hukum lainnya. Yang terdiri dari :a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),b) Kompilasi Hukum Islam (KHI),c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku (text book).

Bahan Hukum TersierBahan hukum tersier adalah semua bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus bahasa dan surat kabar.

c. Sifat PenelitianBila dilihat dari sifatnya, maka penulisan ini bersifat deskriptif

yaitu suatu metode yang mengambil data secara tertulis untuk diuraikan sehingga dapat memperoleh gambaran serta pemahaman secara menyeluruh dan dianalisis secara kualitatif yaitu penelitiaan yang

25 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 23.

Page 18: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

didasarkan pada pengumpulan data pustaka yang kemudian diteliti kembali.26

8. JADWAL KEGIATANNo Nama kegiatan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 41 Pembuatan

proposanX

2 Pembuatan angket X3 Observasi ke

masyarakatX

4 Diskusi tim X5 Pengambilan

kesimpulanX

9. RANCANGAN BIAYAa. Bahan habis pakai

Rental Komputer 4 bln X  @ Rp.30.000 : Rp.   120.000;Akses internet : Rp.     20.000;Penggandaan proposal dan Laporan : Rp.   100.000;ATK : Rp.   50.000;Kertas F4 @ Rp. 25.000 x 2 rim : Rp.     50.000;Total : Rp. 440.000;

b. Peralatan Penunjang PKMBuku Refrensi : Rp.   200.000;Bolpoin 5 buah x @ Rp. 1.500 : Rp.     7.500;Buku tulis 5 buah x @ Rp 3.500 : Rp.     17.500;Total : Rp. 225.000;

c. PerjalananTransportasi tim 5 x 2 @ Rp. 40.000 : Rp. 400.000;Konsumsi tim 5 x 2 @ Rp. 15.000 : Rp . 150.000;Komunikasi tim : Rp 150.000;Total : Rp. 700.000;

TOTAL KESELURUHAN : Rp.1.365.000;

10. DAFTAR PUSTAKAA.Rahman, Bakri dan Ahmad Sukardja. Hukum Perkawinan menurut Islam,

UUP dan Hukum Perdata/BW. Jakarta : Hidakarya Agung, 1981.Aziz, Abdul. Perkawinan Yang Harmonis. Jakarta : CV. Firdaus. 1993.Setiani, Eni. Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkainan Poligami Sebagai

Sebuah Fenomenal). Jakarta : Cisera Publishing, 2007.Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Mandar

Maju, 2003.Harahap, M. Yahya. Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional. Medan:

Zahir Trading Co, 1975.

26 Meleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 3.

Page 19: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

J. Lexy, Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002.

Mangkupranoto, Thoyib. Pembatalan Perkkawian Di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Mulyadi. Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.

Reksopradoto, Wibowo. Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan. Jakarta : Reality Publisher, 1998.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006

Yanggo, Huzaimah Tahido dan Hafiz Anshari AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: LSKI, 2002.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3015

------------. Undang-Undang Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 13 Tahun 2006. LN No. 64 Tahun 2006, TLN No. 4635

------------. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050

DAFTAR RIWAYAT HIDUP1. Ketua Pelaksana

Nama/NIM : Febriani Marulia Simanjuntak/200941145Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Februari 1991Jenis Kelamin : perempuanAgama : Kristen Protetan

Page 20: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

Universitas : Universitas Esa Unggul JakartaAlamat : jl. Kayu manis 9RT 008/009 no 49 Jakarta Timur

Ketua

(Febriani Marulia)

2. Anggota 1Nama/NIM : Yelinika Ardana Reswari/201041066Tempat/Tanggal Lahir : Manado, 10 April 1993Jenis Kelamin : PerempuanAgama : IslamUniversitas : Universitas Esa Unggul JakartaAlamat : Jl. H Djiran gang Gotong Royong RT 007/01 No.

19 Kec. Pinang Kel. Pinang, Cileduk Tangerang

Anggota 1

(Yelinika Ardana R)

3. Anggota 2Nama/NIM : Dio Tatagama/201041075Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta,23 Desember 1991Jenis Kelamin : Laki-LakiAgama : IslamInstitusi : Universitas Esa UnggulAlamat : Jl.H.Rausin No.25 B Rt002/Rw08 Kelurahan

Kelapa Dua,Kecamatan Kebon Jeruk

Anggota 2

(Dio Tatagama)

4. Anggota 3Nama/NIM : Denny Fajar SetiadiTempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Februari 1991Jenis Kelamin : Laki-lakiAgama : IslamUniversitas : Universitas Esa Unggul JakartaAlamat : Jl. Kayu Besar Dalam no 9 Rt 008/01 Kec.

Page 21: Pkm-p Pemalsuan Identitas Perkawinan

Cengkareng, Cengkareng Jakarta Barat

Anggota 3

(Denny Fajar Setiadi)

5. Anggota 4Nama Lengkap/ NIM : Achmad Saifudin Firdaus/201041099Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 26 April 1992Jenis Kelamin : Laki-lakiAgama : IslamHobi : Membaca, menulis dan olah ragaUniversitas : Universitas Esa Unggul JakartaAlamat : KP. Pondok Bahar RT 01/01 Kel. Pondok Bahar

Kec. Karang Tengah Ciledug Tangerang

Anggota 4

(Achmad Saifudin F)

6. BIODATA DOSEN PENDAMPINGNama : Henry Arianto. SH., MHTempat, Tanggal Lahir : Bandung, 10 Mei 1977 Agama : IslamAlamat Rumah : Jl. Pluit Barat V Rt.014, Rw.007, Jakarta UtaraE-mail : henry_arianto77@ yahoo.co.id.Telpon : 021-94110252

Dosen Pendamping

(Henry Arianto SH., MH)


Top Related