PETUNJUK TEKNIS PERLOMBAAN
FESTIVAL BAHASA
CERDAS CERMAT 4 BAHASA
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Cerdas Cermat adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan 3 siswa/ siswinya untuk menjadi satu kelompok.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
MATERI
Kisi-kisi materi dapat diunduh pada waktu berikutnya di www.smamuhajirin.sch.id
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta melaksanakan tes tulis untuk babak penyisihan dalam waktu 45 menit.
3. Dipilih lima kelompok terbaik untuk menuju babak final.
4. Membawa alat tulis untuk setiap kelompok.
5. Peserta diharuskan memakai pakaian berseragam sekolah untuk satu kelompok.
6. Kejuaraan ditentukan berdasarkan hasil cerdas cermat dengan mengambil tiga
kelompok terbaik.
7. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
SISTEMATIKA LOMBA
Babak Penyisihan
• Terdiri dari 40 soal pilihan Ganda.
• Soal dikerjakan dalam waktu 45 menit.
• Tidak ada sistem pengurangan nilai dalam penilaian.
• 5 kelompok dengan nilai tertinggi akan maju ke babak final.
Babak Final Pada babak ini terdapat 3 sesi:
- Sesi Pertama
• Setiap kelompok akan diberikan 10 soal, dengan 1soal bernilai 100. Apabila soal tidak
bisa dijawab, maka soal dinyatakan hangus. Waktu menjawab 15 detik.
- Sesi Kedua
• Soal diberikan secara rebutan. Apabila jawaban benar maka nilainya 100, dan apabila
jawaban salah nilainya -50. Apabila jawaban terjawab benartetapi kurang tepat maka
diberikan nilai 50, dan apabila kelompok lain melengkapinya maka kelompok tersebut
mendapat nilai 50 pula.
• Yang boleh menjawab soal hanya ketua regu.
• Sistem lempar hanya berlaku 1 kali di setiap soal.
• Peserta baru boleh menjawab setelah soal selesai dibacakan.
BACA PUISI
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Baca Puisi adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN PUISI
1. Amir Hamzah : Subuh
2. Chairil Anwar : Karawang- Bekasi
3. WS. Rendra : Sajak Sebatang Lisong
4. Sapardi Djoko : Kisah
5. Rudi Aliruda : Jejak Juang
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu puisi untuk dibacakan dari pilihan puisi di atas.
4. Waktu maksimal 7 menit.
5. Peserta diharuskan memakai pakaian seragam sekolah.
6. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
7. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
8. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
• - Artikulasi
• - Gestur
• - Harmonisasi
• - Penjiwaan/ Penghayatan
CIPTA PUISI
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Cipta Puisi adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Tema Cipta Puisi “Menaklukan Dunia dengan Bahasa”.
3. Peserta akan menulis puisi pada kertas yang akan disediakan oleh panitia.
4. Peserta mempunyai waktu 150 menit untuk menulis puisi.
5. Tidak boleh memanipulasi puisi lain.
6. Tidak boleh melihat catatan atau buku apapun saat pelaksanaan lomba.
7. Peserta diharuskan memakai pakaian seragam sekolah.
8. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
9. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
• - Judul
• - Keaslian gagasan
• - Aktualisasi dan gagasan materi
• - Teknik penyajian meliputi pemilihan bahasa, kata, dan kalimat
• - Kedalaman isi dan sudut pandang
MONOLOG
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Monolog adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN MONOLOG
1. Apa Artinya Kemerdekaan (Obi Suharjono)
2. Tua (Putu Wijaya)
3. Demokrasi (Putu Wijaya)
4. Kemerdekaan (Putu Wijaya)
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu monolog untuk dibacakan dari pilihan di atas.
4. Estimasi waktu setiap penampilan adalah 7- 15 menit (sudah termasuk persiapan
properti panggung).
5. Peserta diharuskan memakai pakaian seragam sekolah.
6. Musik pengiring hanya diperkenankan berupa live music dan dibawa secara mandiri
oleh peserta. (panitia tidak menyediakan perlengkapan untuk music yang
berupa rekaman, kaset atau CD).
7. Peserta dapat membawa kru musik dan tata properti maksimal 2 orang. Namun tidak
terhitung mendapat sertifikat dan fasilitas peserta.
8. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
9. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
10. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
- Keaktoran (penghayatan, vokal, kelenturan, komunikatif).
- Penyutradaraan (interpretasi naskah dan kesatuan).
- Penataan artistik (tata pentas, tata suara, tata rias, dan tata busana).
GITAR SOLO
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Gitar Solo adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN LAGU
- Sadjojo
- Es Lilin
- Bungong Jeumpa
- Mojang Priangan
- Tanah Air
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu lagu untuk dimainkan dari pilihan di atas.
4. Waktu maksimal 7 menit.
5. Peserta diharuskan memakai pakaian seragam sekolah.
6. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
7. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
8. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
- Kekreatifan
- Kesulitan Teknik
- Harmonisasi
- Penjiwaan/ Penghayatan
MUSIKALISASI PUISI
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Musikalisasi Puisi adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan 5 siswa/ siswinya untuk menjadi satu kelompok.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN PUISI
- Amir Hamzah : Dalam Matamu
Pada senja
- Chairil Anwar : Aku
Karawang Bekasi
- Sutardji : Tanah Air Mata
- Rudi Aliruda : Alamat
- Sapardi Djoko : Hujan Bulan Juni
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu puisi.
4. Waktu maksimal 10 menit.
5. Peserta tidak dibenarkan menambah atau mengurangi kata dalam puisi yang dipilih
dengan alasan apapun.
6. Pengulangan baris atau bait pada puisi sebagai refrein atau yang lain pada lagu, dapat
dilakukan untuk menegaskan penajaman makna dalam puisi, tetapi bukan merupakan
keharusan.
7. Perform bersifat langsung dengan menggunakan alat musik kontemporer/alternatif,
namun tidak diperbolehkan menggunakan cakram padat (CD) atau musik yang sudah
terprogram.
8. Alat musik non-elektronik.
9. Peserta tidak diharuskan memakai pakaian seragam sekolah.
10. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
11. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
12. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
- Kekreatifan (alat musik dan aransemen lagu)
- Kesulitan Teknik (alat musik dan aransemen lagu)
- Harmonisasi
- Penjiwaan/ Penghayatan
VOKAL SOLO
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Vokal Solo adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa dan maksimal 2 siswi untuk menjadi
peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN LAGU
• Siswa:
1. Kun Anta- Khumood Alkhudher
2. Terimakasih Cinta- Afgan
3. Pamit- Tulus
4. Insya Allah- Maher Zein
• Siswi:
1. Attouna El tofoule- Nissa Sabyan
2. Jingga- Fatin Shidqia
3. Teduhnya Wanita- Raisa
4. Tegar- Rossa
5. Deen Assalam- Nissa Sabyan
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu lagu untuk dinyanyikan dari pilihan di atas.
4. Waktu maksimal 8 menit.
5. Peserta berpakaian bebas dengan kreatifitasnya masing – masing, tetapi masih dalam
konteks kerapian dan kesopanan.
6. Peserta dipersilakan membawa CD/ Flashdisk dengan format instrumen (No Vocal).
(Panitia juga menyediakan pengiring).
7. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
8. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
putra dan tiga peserta putri terbaik.
9. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
- Vokal
- Gestur
- Penguasaan Panggung
- Penghayatan
- Harmonisas
PUPUH
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Pupuh adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa dan maksimal 2 siswinya untuk menjadi
peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN PUPUH
1. Dangdanggula
2. Sinom
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu pupuh untuk dinyanyikan dari jenis pupuh pilihan di atas.
4. Waktu maksimal 8 menit.
5. Peserta berpakaian bebas dengan kreatifitasnya masing – masing, tetapi masih dalam
konteks kerapian dan kesopanan.
6. Peserta dipersilakan membawa CD/ Flashdisk dengan format instrumen (No Vocal).
Panitia menyediakan pengiring (kecapi).
7. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
8. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
putra dan tiga peserta putri terbaik.
9. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
- Vokal
- Gestur
- Penguasaan Panggung
- Penghayatan
- Harmonisasi
STORY TELLING CONTEST
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Story Telling Contest adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN TEKS
Pilihan Teks dapat diunduh pada waktu berikutnya di www.smamuhajirin.sch.id
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu teks untuk diceritakan dari pilihan di atas.
4. Waktu penampilan maksimal 10 menit.
5. Peserta berpakaian bebas dengan kreatifitasnya masing – masing, tetapi masih dalam
konteks kerapian dan kesopanan.
6. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
7. Musik pengiring hanya diperkenankan berupa live music dan dibawa secara mandiri
oleh peserta. (panitia tidak menyediakan perlengkapan untuk music yang
berupa rekaman, kaset atau CD).
8. Peserta dapat membawa kru musik dan tata properti maksimal 2 orang. Namun tidak
terhitung mendapat sertifikat dan fasilitas peserta.
9. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
10. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
• - Penafsiran
• - Penghayatan
• - Vokal
• - Gestur dan Ekspresi
BACA PUISI BAHASA ARAB
SYARAT ADMINISTRASI
1. Peserta Lomba Baca Puisi Arab adalah perwakilan dari setiap sekolah.
2. Peserta adalah siswa/ siswi SMP/ MTs se- PURWASUKASI.
3. Setiap sekolah mengirimkan maksimal 2 siswa/ siswinya untuk menjadi peserta.
4. Ketika sampai di tempat, peserta lomba diwajibkan untuk mendaftar ulang.
PILIHAN TEKS
Pilihan Teks dapat diunduh pada www.smamuhajirin.sch.id
PERATURAN
1. Peserta sudah siap 10 menit sebelum lomba dimulai.
2. Peserta akan tampil sesuai dengan nomor undian.
3. Peserta memilih satu teks untuk dibacakan dari pilihan di atas.
4. Waktu penampilan maksimal 10 menit.
5. Peserta berpakaian bebas dengan kreatifitasnya masing – masing, tetapi masih dalam
konteks kerapian dan kesopanan.
6. Peserta yang terlambat tidak akan digugurkan tetapi waktu tampilnya akan di undur
sesuai situasi dan kondisi (kebijakan panitia) ketika lomba berlangsung, karena lomba
ini bersifat pembinaan.
7. Kejuaraan ditentukan berdasarkan penilaian dewan juri dengan mengambil tiga peserta
terbaik.
8. Penilaian dewan juri MUTLAK dan tidak dapat diganggu gugat.
PENILAIAN
• - Artikulasi
• - Gestur
• - Harmonisasi
• - Penjiwaan/ Penghayatan
LAMPIRAN 1
BACA PUISI
Subuh - Amir Hamzah
Kalau subuh kedengaran tabuh
semua sepi sunyi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya
Terjaga aku tersentak duduk
terdengar irama panggilan jaya
naik gembira meremang roma
terlihat panji terkibar di muka
Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dalam kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
tiada terlayang di awang dendang
menanggis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri.
KARAWANG BEKASI- CHAIRIL ANWAR
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
SAJAK SEBATANG LISONG- WS.RENDRA
menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
KISAH- Sapardi Djoko Damono
Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang
tercetak di plat alumunium itu…
Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi…
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi…
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar
rumahmu, seperti mencari sesuatu…
la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu..
1982.
JEJAK JUANG- Rudy Aliruda
Tanah air
Tanah lahir yang merah
Air kehidupan yang jernih
Berjuta tubuh yang gugur diatas tanah tumpah darah
Telah dicatat sebagai riwayat
Diabadikan dalam sejarah
Bakti diri bagi negeri
Bangga jiwa bagi bangsa
Bumi pun menangis,memeluk jasad pahlawan yang berjasa
Tanda kasih yang nyata sepanjang masa
Hingga sampai saat ini. kita hirup udara merdeka yang segar
Tanpa rasa takut dan gentar
Tanah air
Tanah lahir yang indah
Air kehidupan yang sejuk
Berjuta anak bangsa telah tumbuh diatas bumi nusantara
Lanjutkan perjuangan
mengisi kemerdekaan
Buktikan dengan prestasi
Nyatakan dengan mahakarya
Agar terjaga jejak juang, bagi kejayaan Indonesia tercinta
LAMPIRAN 2
BACA PUISI B. ARAB
علمتني
الظالم في شردت حيرتي
فرة ترنحت التعب بو
راج النور بد ون ءيضالم والس
دت وقصبك شيخي تعم
نفسي تعرف لم ما علمتني
هدك علمتني العظيم بج
رتني نير بن ورك نو الم
ابة تحمل ني الفرح بو
سبالال اليها مااستطعنا اذا الحياة نحب نحن
Karya : Mahmoud Darwish
سبيال إليها استطعنا ما إذا الحياة ن حب ونحن
نخيال أو بينه ما للبنفسج مئذنة نرفع شهيدين بين ونرق ص
سبيال إليها استطعنا ما إذا الحياة ن حب
حيال هذا ون سي ج لنا ء اسم لنبني خيطا القز د ودة من ونسرق الر
ج كي الحديقة باب ونفتح قات إلى الياسمين يخر جميال نهارا الطر
سبيال إليها استطعنا ما إذا الحياة ن حب
و سريع نباتا أقمنا حيث ونزرع قتيال أقمنا حيث دونحص , النم
صهيال الممر ت راب فوق ونرس م , البعيد البعيد لون الناي في وننف خ
قليال أوضح ’ الليل لنا أوضح البرق أيها ’ حجرا أسماءنا ونكت ب
سبيال إليها ناعاستط ما إذا الحياة ن حب ...
LAMPIRAN 3
MONOLOG
Apa Artinya Kemerdekaan
Karya : Obi suharjono
(Keadaan gelap dan sunyi, lampu menyala terlihat di sebelah kanan panggung ada kursi
dan meja yang berisikan tumpukan buku. )
( Tiba-tiba dating lelaki separuh baya menggerutu. )
Orang-orang ini maunya apa, sudah di kasih keringanan, eh… minta lagi.
Pake ngomong pemerintah tidak memperhatika rakyatlah, tidak peduli dengan rakyatlah,
menyengsarakan rakyatlah, hah… saya jadi pusing…
66 tahun Indonesia merdeka, masih saja ada orang-orang yang seperti itu. Memaksa,
mendramatisir masalah…
Harusnya mereka itu berfikir, cari tahu system pemerintahan itu bagaimana, jangan
Cuma senengnya protes, menghujat, bahkan sampai ada yang… ahh… sudahlah, jadi
tambah pusing…
( Duduk di kursi dan belakang meja sambil baca buku )
Harusnya mereka itu beruntung, mereka para generasi muda tidak mengalami yang
namanya peperangan dengan para penjajah, penyiksaan oleh kaum komunis… tidak
seperti saya dulu, sekolah saja saya harus ngumpet-ngumpet… makan harus nunggu dai
sisa orang-orang… hemm… tapi hal-hal seperti itu lah yang membuat orang-orang jaman
dulu pintar-pintar, sehat, kuat…tidak seperti orang-orang jaman sekarang yang bisanya
cuman mengeluh… saya heran, kenapa orang-orang jaman sekarang seperti itu…
( berfikir )
Apa ini dampak dari kemerdekaan ??? ( bertanya kepada penonton )
Ehh… pak lik, Bu Lik, Pak dhe, Om, Tante, kalian tahu ngga’ kalau kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa ???
( sekali lagi bertanya dengan nada halus )
pak lik, bu lik, pak dhe, om, tante, kalian tahu ngga’ kalau kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa ???
( Bertanya sekali lagi dengan nada membentak )
Kalian tahu ngga’ kalau kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa !!!
Terus… apa kalian juga tahu apa artinya kemerdekaan ???
Kalian tahu apa tidak !!!
( Bertanya kepada salah satu penonton )
Ehh… saya mau bertanya, apa kamu tahu apa artinya kemerdekaan ???
Tahu…??? Apa ??? bebas… kemerdekaan adalah kebebasan ???
Berarti kalau kemerdekaan adalah kebebasan, kita juga bebas melakukan apapun ???
Ya… bebas telanjang di bibir jalan, bebas menghujat siapapun, beas mengambil uang
rakyat…
Begitu ??? begitu ya ???
( Marah…)
Bodoh… goblog… kalau kalian mengartikan kemerdekaan adalah kebebasan, kenapa
kalian selalu protes ketika ada orang-orang yang hobinya mengambil uang rakyat ???
kenapa kalian menghujat ketika ada seseorang yang mengumbar hubungan
seksualitasnya di video… ???
Seharusnya kalian tidak usah protes, harusnya kalian juga tidak usah menghujat,
( Duduk sebagai terdakwa yang sedang di sidang ; menangis dan menyesal )
Ingat kalian, terdakwa korupsi yang menghebohkan negeri kita ???
Huhuuhuhu….. Saya sebenarnya menyesal Pak Hakim… Saya khilaf… Saya tersiksa di
dalam penjara… Saya kangen keluarga ; Anak Saya… Istri Saya… makanya pada saat Saya
di tawari untuk berlibur beberapa hari di kota Dewata, Saya langsung mengambil
kesempatan itu… walaupun Saya harus membayar mahal…
( Kembali ke karakter semula dan bertanya kepada penonton )
Bagaimana ??? apakah kalian ingat dengan orang ini ??? yang di anggap oleh semua orang
adalah penjahat nomer satu di negeri ini…
Kalau kalian ingat, apakah kalian masih mempertahankan jawaban kalian, kalua
kemerdekaan adalah kebebasan ???
( Kembali ke kursi dan meja )
Kalau kalian bingung mengertika kemerdekaan, jangan lah kalian bangga ketika kalian
berteriak… MERDEKA…!!! MERDEKA…!!! MERDEKA…!!!
Apakah kalian pernah merenung sebelum kalian berteriak merdeka ???
( Berimajinasi sebagai “ seorang pejuang tanpa tanda jasa ” )
( Setelah selesai berimajinasi, lalu membacakan sajak dari Taufik Ismail yang berjudul :
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka )
Ketika Saya melihat bangsa ini, Saya teringat kawan seperjuangan yang pernah
menuliskan sebuah sajak terbuka, teruntuk anak negeri…
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Di tulis pada sebuah sore yang biasa.
Oleh seorang warga Negara biasa
Dari republik ini
Surat ini di tujukan kepada penguasa-penguasa negeri ini
Mungkin dia bernama presiden, jenderal. gubernur,
Barangkali dia ketua MPRS
Taruh lah dia anggota DPR atau pemilik sebuah perusahan politik
( bernama partai )
Mungkin dia mayor, camat atau jaksa
Atau menteri, apa saja lah Namanya
Malahan mungkin dia sodara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di Negara kita
Begitu benarkah murahnya ?
Agaknya setiap bayi di lahirkan di Indonesia
ketika tali-nyawa dihembuskan Tuhan ke pusarnya
dan menjeritkan tangis bayinya yang pertama
ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
di kamar bersalin ; dan seluruh keluarga mendoa dan menanti
ingin akan datangnya anggota kemanuisiaan baru ini
ketika itu tak seorangpun tahu
bahwa 20, 22, atau 25 tahun kemudian
bayi itu akan di tembak bangsanya sendiri
dengan pelor yang di bayar dari hasil bumi
serta pajak kita semua
di jalan raya, di depan kampus, atau dimana saja
dan dia tergolek disana jauh dari ibu yang melahirkannya
jauh dari ayahnya, yang juga mugkin sudah tiada
bayi itu pecahlah dadanya
mungkin tembus keningnya
darah kasih saying
darah lalu melepasnya dari dunia
darah kebencian
yang ingin saya tanyakan adalah
tentang harga sebuah nyawa di negara kita
begitu benarkah gampangnya ?
apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
begitu benarkah murahnya ?
mungkin sebuah nama lebih penting
disiplin, tegang, dan kering
mungkin pengabdian kepada Negara Negara asing
lebih penting
mungkin
surat ini adalah sajak terbuka
maafkan para student sastra
saya telah menggunakan bahasa terlalu biasa
untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
karena pembunuhan-pembunuhan di negeri ini pun
nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
kita tak biasa membiarkannya lebih lama
kemudian kita di penuhi pertanyaan
benarkah nyawa begitu murah harganya ?
untuk suatu penyelesaian
benarkah harga diri manusia kita
benarkah kemanusiaan kita
begitu murah untuk umpan sebuah pidato
sebuah ambisi
sebuah ideologi
sebuah coretan sejarah
benarkah
( actor melihat ke penonton )
Apa artinya kemerdekaan, bila nyawa tak di hiraukan…
Apa artinya kemerdekaan, bila hati kita masih tersiksa…
Apa artinya kemerdekaan, bila harga diri bangsa berada di bawah telapak kaki bangsa-
bangsa komunis…
( lampu mati ; selesai )
TUA
Karya: Putu Wijaya
Di depanku berdiri seseorang yang barangkali aku sudah kenal benar. Mungkin juga
tidak. Aku tidak tahu siapa namanya. Perawakannya sederhana. Ia tidak membawa apa-
apa. Matanya juga hanya dua, dengan sorot yang biasa. Bahkan ia tersenyum manis dan
mengatakan:
Apa kabar?
Tapi aku cemas. Aku merasakan ada bahaya dalam ketenangan sedang merambat
perlahan-lahan hendak menjangkau leherku. Aku merasa terpepet ke sudut dengan
sopan dan kemudian pada akhirnya nanti dengan lemah-lembut akan diminta untuk
menyerah.
Aku tidak siap untuk menyerah. Karena aku merasa masih perlu untuk menunjukkan,
kalau diberi kesempatan lebih lama, mungkin aku sanggup bekerja lebih baik, termasuk
memperbaiki kekeliruan-kekeliruanku di masa yang lalu. Sayangnya, waktu tidak bisa
menunggu.
Orang itu bertambah dekat.
Akhirnya aku terpaksa mambela sebelum diserang. Aku memanggil - ya Allah apa yang
harus aku ambil? Di sana hanya ada sebuah kursi. Kursi itu terpaksa aku angkat.
Kemudian aku lemparkan kursi itu ke arah orang itu. Kena. Tepat. Muka langsung
terluka. Darah menetes dari dahinya, masuk ke dalam matanya. Matanya itu terpejam,
lalu darah tergelincir ke atas pipi bercampur dengan air mata.
Tetapi langkahnya tetap diayunkan menghampiriku.
Aku jadi panik. Aku berteriak minta tolong. Panik aku gapai telepon untuk memanggil
polisi. Tetapi ada orang bicara terus di dalam telepon. Dengan dongkol telepon itu aku
lemparkan ke mukanya.
Tepat mengenai hidung orang itu.
Hidung itu luka, darah menetes dari hidung masuk ke dalam mulutnya. Mulut itu
bergerak, lalu dia meludah, dahak yang kental.
Aku mundur, merapat ke tembok. Dia mulai mendesak. Aku beringsut ke sudut. Sekarang
aku mencoba menendang, kemudian memukul. Sesudah itu menggigit. Aku kalap. AKu
ngamuk. Aku tak melihat apa-apa lagi. Orang itu sudah terlalu dekat. Baunya terasa.
Tubuhnya menyentuh. Aku dilandanya.
Tidak!
Aku gepeng. Aku coba juga meronta, tapi tak berdaya. Tak ada gunanya. Aku coba lagi
berteriak, tapi suaraku juga sudah habis. Tenagaku terkuras. Akhirnya orang itu masuk
ke dalam tubuhku. Ia masuk ke dalam jantung. Ia masuk ke dalam kepala. Ia masuk ke
perut, mengalir ke seluruh tubuhku. Ia menusuk ke dalam sanubariku. Ia menjalari
sukmaku. Aku menjerit dan melenting.
Ooo!
Lalu tiba-tiba saja aku merasa bahwa sebenarnya ia kenal betul siapa orang itu. Tiba-tiba
saja aku teringat masa mudaku. Lalu aku yakin benar bahwa orang itu adalah aku sendiri
di waktu masih muda.
Setelah aku yakin, bahwa aku sebenarnya sedang menghadapi diriku sendiri, aku keluar
lagi. Tapi sekarang aku melihat orang itu menjauh. Hanya punggungnya yang bidang saja
nampak. Kepalanya menatap ke arah depan. Aku tak dapat lagi melihat matanya yang
polos, senyumnya yang sumeh dan air mukanya yang jernih. Aku merasa seperti
ditinggalkan.
Akhirnya aku berseru-seru memanggil.
Kembali ! Kembali ! Kembali !!
Tapi orang itu tidak kembali. Ia berjalan terus ke sana dengan langkah yang tetap.
Aku pun menangis. Aku telah kehilangan seorang kawan yang tadinya aku kira musuh.
Tapi tangis itu tidak menghiburku. Baru semenit menangis, aku buru-buru mengangkat
mukaku lagi mencari orang itu.
Ternyata orang itu sudah lewat.
Kemudian aku hanya bisa termenung. Aku mendengar suara lonceng gereja. Kini aku
yakin bahwa satu generasi telah melewatiku.
DEMOKRASI
karya Putu Wijaya
SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT
BERISI TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP
MENDENGAR, IA BERBICARA LANGSUNG.
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai
pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi
tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa
syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang
anti demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi
mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT : DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH HANGAT LAGI :
Demokrasi!
SERUAN GEGAP GEMPITA : DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT.
Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti
demokrasi.
MENIRUKAN SALAH SEORANG WARGANYA.
“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang
suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur.” Kata mereka.
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi.
Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan
saya tentang demokrasi disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir
yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya
sendiri tidak benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat
kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan
pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau,
agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan
bersama.
MENIRUKAN PETUGAS.
“Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya
bagi pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama
kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi
pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter
kali empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang.
Kontan kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata lima orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.
Kami semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama
tentang rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Sepeti raja Nero saja.
“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung
di sebelah, “mereka semuanya adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua
memerlukan jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang
Gugus Depan ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang
hendak masuk ke pekerjaan atau pulang lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektivitas
kerja. Mikrolet dan bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada
pembangunan. Dan pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di sebelahnya,
karena sudah diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah
ini milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau
agar kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan
itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka
menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka
mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka
mengisyaratkan betapa tak menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan
setelah itu mereka mewanti-wanti, kalau tidak bisa dikatakan mengancam.
MENIRUKAN WARGA KAMPUNG SEBELAH.
Kalau saudara-saudara menghambat, menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak
sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.
NAMPAK MAKIN BINGUNG.
Berbuat yang tidak-tidak? Tidak-tidak apa? Kami terjepit di antara kepentingan orang
banyak . Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan, pelebaran
jalan itu sudah dilaksanakan.
TERDENGAR SUARA MESIN MENGERAM.
Tanpa minta ijin lagi, sebuah bulldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT
kami. Warga kami panik. Jangan! Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami
sudah di sini. Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar, tiap orang punya tegalan dan dua
tiga rumah, tapi semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu, ada yang sudah dijual. Tapi ini
tanah warisan.
Bulldozer itu tidak peduli. Mereka terus juga menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau
Bapak ambil dua meter, rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung
kami dijadikan jalan. Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju!
Diganti berapa pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang.
Jangan Pak!
Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya
menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan.
Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan
bulldozer itu.
Ini tanah kami, akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak
sudi, sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan
perempuan kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan bapak-
bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.
SUARA MESIN BERHENTI. SENYAP..
Sopir yang menjalankan bulldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari
kendaraan dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan
terjadi. Lama juga mereka berunding. Beberapa anak main-main mendekati bulldozer itu
dan memegang-megangnya. Kendaraan itu kuat, baru, dan bagus. Beberapa ibu-ibu
duduk di jalan meneteki anak-anaknya. Saya sendiri mengambil keputusan kencing
karena terlalu tegang.
Akhirnya mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik ke atas bulldozernya. Dia
tersenyum. Kami merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah salah. Mesin
dihidupkan kembali.
KEMBALI SUARA MENGERAM.
Kami menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh
orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami besorak, melihat
akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu bulldozer
itu menerjang kembali ke depan menggaruk tanah. Perempuan-perempuan itu menjerit.
Beberapa anak jatuh, salah seorang diantaranya kena garuk. Untung ada yang meloncat
naik dan menarik anak itu. Keadaan jadi kacau.
Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi
satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah
siap untuk memukul. Kami seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi, kami
melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk
bulldozer itu meloncat ke atas bulldozer, mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir
bulldozer itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk,
langsung membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlurumuran darah. Perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit,
lalu kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau meyerang, tapi
kemudian sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat
turun dan menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di
antaranya bajingan di Proyek Senen.
Kami terpaksa mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat.
Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.
MELETAKKAN PLAKAT. LALU MEMBUKA PAKAIANNYA, SALIN.
Saya bingung. Akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi pabrik
tekstil, majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik (kebaya
dan jarik kalau pemainnya perempuan) supaya kelihatan resmi dan sedikit dipandang.
MEMAKAI BATIK/JARIK.
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas
kelurahan, akhirnya saya diterima.
Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas tapi korban penggusuran.
Tetapi ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot
bahwa kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak
percaya. Lalu ia memanggil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali
memandangi saya seperti orang stress.
MENIRUKAN DIREKTUR PABRIK TEKSTIL YANG DIALEKNYA RADA
CADEL/ASING.
“Tuhan Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan
siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan
sudah diberi uang transport. Kalau mereka perlu jalan pintas, mungkin karena ingin
menyelamatkan uang transport itu. Itu di luar tanggung jawab perusahaan. Pembuatan
jalan itu bukan tanggung jawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon anda menyampaikan
rasa maaf saya kepada seluruh warga,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang dikatakannya. Ini sandiwara apa lagi.
Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau dikibulin mentah-mentah begitu. Saya tahu dia
hanya pura-pura. Mulutnya yang manis, tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa
mengelabui saya. Saya bisa mengendus apa yang disembunyikannya di balik topengnya
itu. Orang kaya raya begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tahu apa
sebenarnya yang terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artinya dua meter tanah
buat kami, meskipun bagi dia 200 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah
bolak-balik ke luar negeri itu masa tidak tahu, kami, paling sedikit saya ini tahu,
bukannya para karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan, tapi dia
sendiri yang memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja, kalau jalan
sudah dibuat, uang makan akan distop, karyawannya akan disuruh jalan kaki datang. Tai
kucing, Rai gedek! Sudah konglomerat begitu, menyelamatkan uang receh saja pakai
menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku tahu! Kasih tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan
nanti kepada Jaksa Agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung
saya! Biar orang semacam ini ditindak. Asu!
(MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM BAHASA DAERAH)
DIA MENYABARKAN DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK
TERKENDALI.
Betul. Orang kecil seperti saya ini memang kelihatannya lemah dan gampang ditipu.
Karena kami sadar pada diri kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah
kebangetan seperti ini, saya meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.
Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan
merah. Dia mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin marah, semakin halus
bicaranya. Saya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini
perjuangan.
Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu
atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk
kami saja.
Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang dua meter itu jangan
diganggu. Itu hak kami! Titik.
Di atas meja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah,
Sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak
saya kelas berapa. Ah, itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah
curiga. Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu
membacok Asep, karena Asep juga pernah memprotes pembungan limbah dari pabrik
yang mengalir ke selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad, saya tidak akan pergi dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan
perampokan dua meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!
Akhirnya dia mengangguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka
laci mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci
segala-galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkan kepada saya
sebuah amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernapas.
DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP. 250.000.000.
DUA RATUS LIMA PULUH JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA
DI DEPANNYA. IA GEMETAR.
Tebal, coklat, apalagi di tas amplop itu tertera 250.000.000. Dua ratus lima puluh juta.
Ya Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua ratus lima
puluh juta?
MENGHAMPIRI AMPLOP. MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA,
RAGU-RAGU, GEMBIRA, KEMUDIAN MEMEGANGNYA.
Dua ratus lima puluh juta. Dua ratus lima puluh kali hidup lagi juga saya tidak akan
sanggup mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya.
Mengapa tiba-tiba saya dihujani rizki sebanyak ini.
MEMELUK AMPLOP ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA
KE SANA KEMARI. KEMUDIAN MENGEKEPNYA. LALU MENARIKNYA KE BAWAH.
MEMELUKNYA. SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN DI ATAS KERTAS, IA
TERLENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL MENCIUM-CIUMNYA.
KEMUDIAN IA MASUK KE DALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-
OREK TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA
MENGGULUNG DIRINYA DENGAN AMPLOP UANG ITU.
Dua ratus lima puluh juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu.
Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah, kredit motor, jadi tukang ojek, bayar SPP. Saya
bisa kirim uang sama orang tua.
Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya bisa
mengubah nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuh ini seperti kecoa.
MENGANGIS KARENA GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI
KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAMPU
MELEPASKANNYA.
Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 250 juta itu.
Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran
tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil
jalan belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah
direktur.
Saya kumpulkan keluarga saya dan menjelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu
hidup kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI
ATAS KEPALANYA.
Esok harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk
mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan
tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan dua meter
dari milik kita yang sedikit. Berat sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik
daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita
semua mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi
tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka
sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya
mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan dua meter untuk
pembuatan jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih
baik.
Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya
pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Satu
per satu kemudian mereka pulang.
Hei tunggu dulu, saya belum selesai berbicara!
Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu! Tunggu!
Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi
dia tidak pergi karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia juga berdiri
dan pergi sambil ngedumel.
“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti
menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”
TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA
KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan
yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap
berdiri di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas
dan hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap
mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.
Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya? Daripada diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA,
DIIKUTI OLEH BANYAK AMPLOP LAINNYA YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA
JATUH DAN TERTIMBUN OLEH AMPLOP.
LAMPU MEREDUP DAN PADAM. SELESAI.
Kemerdekaan
Karya: Putu Wijaya
Seorang juragan perkutut yang sudah sangat tua, ingin memberi hadiah kepada
burungnya. Ia mendekati sangkar peliharaannya itu, lalu berkata:
“Burung perkututku yang setia. Setiap hari kau sudah memperdengarkan suaramu yang
merdu, sehingga hari-hariku yang buruk menjadi indah. Bertahun-tahun kau mengubah
dunia yang busuk ini menjadi nyaman, sehingga kegembiraanku tak pernah hilang.
Hidup menjadi menyenangkan, semangatku untuk melawan nasib berkobar, sehingga
usiaku panjang, jiwaku penuh dan kesehatanku tak pernah mundur. Untuk segala jasa-
jasamu itu, hari ini kuberikan kamu sebuah hadiah yang sangat istimewa namanya:
kemerdekaan.”
Juragan itu membuka pintu sangkar burung perkututnya, lalu menunjuk ke udara.
“Lihatlah langit biru. Ke sanalah matamu harus memandang. Itulah kemerdekaan yang
dicita-citakan oleh setiap orang. Itulah yang sudah dinyanyikan oleh para pemimpin yang
berteriak-teriak di atas podium. Itulah yang sudah diserukan dengan yel-yel yang dahsyat
di sepanjang jalan oleh para mahasiswa di dalam demo. Itulah yang tertulis dalam lirik-
lirik lagu para penyanyi rock yang memuja kebebasan. Ke sanalah kamu harus pergi
sekarang!”
“Kepakkan sayapmu burungku, terbanglah ke udara, nikmati kebebasan yang kini sudah
menjadi milikmu. Melayanglah tinggi ke udara, gantungkan cita-citamu setinggi langit,
seperti yang pernah dikoar-koarkan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno!”
Burung perkutut di dalam sangkar itu terkejut. Matanya melotot. Ia mundur mendengar
suara majikannya, seakan-akan ia tidak percaya.
“Ha-ha-ha, kenapa kamu bingung? Tidak percaya kemerdekaan itu sekarang menjadi
milikmu? Goblok! Kemerdekaan adalah hak setiap orang. Itu karunia Tuhan yang sudah
dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang sudah terlepas karena
kamu tidak awas. Sekarang sudah menjadi milikmu kembali. Jangan ragu-ragu, ambil
dan terbang, sebelum awan-awan datang dan merebut biru langit yang menakjubkan itu.
Ayo terbang!”
Tapi sebaliknya dari terbang, perkutut itu mundur lagi, sehingga ekornya menyentuh
jeruji sangkar. Badannya gemetar. Beberapa helai bulunya berjatuhan.
“Astaga! Kenapa kamu? Sakit?!” tanya juragan itu kecewa, “Kenapa kamu ketakutan?
Harusnya kamu berteriak gembira karena bahagia. Kemerdekaan yang sudah
diperjuangkan dengan nyawa dan darah oleh setiap bangsa di seluruh dunia, kini aku
hadiahkan kepadamu dengan percuma. Revolusi dikobarkan selama puluhan tahun dan
mengalirkan sungai darah yang memilukan Ibu Pertiwi karena putra-putra bangsa yang
masih belia sudah terkapar tidak berdaya, tetapi bangsa yang ingin bebas dari pejajahan
terus saja berjuang, sampai kemerdekaan itu menjadi kenyataan. Banyak yang sampai
sekarang masih bertempur bersimbah darah karena perjuangan mereka gagal, kenapa
kamu yang aku berikan kemerdekaan dengan cuma-cuma menolak? Ayo jangan bodoh,
kepakkan sayapmu, terbang, sebelum aku berubah pikiran!”
Burung dalam sangkar itu bertambah ketakutan. Ia sampai kentut dan terkencingh-
kencing tak mampu menahan tikaman emosinya.
“Gila!” teriak orang tua itu mulai tak sabar, “dasar binatang, tidak mengerti arti kebaikan.
Ayo terbang, nikmati kemerdekaanmu yang aku hadiahkan! Terbang sekarang sebelum
mubazir!”
Tiba-tiba burung perkutut itu berbicara. (Di dalam cerita ini burung memang bisa bicara
seperti di zaman Nabi Sulaiman. Burung-burung perkutut di Indonesis semuanya bisa
ngoceh terutama yang laki-laki)
“Tuan, jangan berikan kemerdekaan itu kepada saya. Jangan, Tuan, saya takut.”
“Takut? Kenapa takut?”
“Sebab kalau saya keluar sekarang, dalam waktu tidak lebih dari tiga hari saya akan mati,
Tuan.”
“Bukan mati goblok! Kamu merdeka!”
“Itu dia, Tuan. Setiap hari Tuan memberikan saya makan dan minum. Hidup saya
aman dan sejahtera di dalam sangkar ini. Kalau saya harus keluar sekarang, saya tidak
tahu bagaimana caranya mencari makan dan minum sendiri. Tak sampai tiga hari saya
akan mati, Tuan. Jangan, jangan berikan saya kemerdekaan, saya tidak mau mati!”
“Edhan, dasar binatang, otakmu hanya segede upil!” umpat orang tua itu, “kemerdekaan
itu bukan akhir dari kehidupan. Kemerdekaan adalah langkah pertama untuk menuju
kebebasan. Dan kebebasan akan mengantarkan kamu kepada dunia luas yang kamu pilih.
Langit biru itu akan mengantarkan kamu ke surga. Kamu tidak perlu mati untuk pergi ke
surga, kamu hanya perlu pentangkan sayapmu dan terbang. Ayo terbang sekarang
mumpung langit terang benderang!”
Juragan tua itu membuka pintu sangkar burungnya lebih lebar.
“Terbang!”
“Tidak Tuan, jangan. Biar saya tinggal di dalam sangkar saja!”
“Kenapa?”
“Sebab kalau saya keluar sekarang meong garong yang setiap hari sudah menunggu-
nunggu kesempatan itu akan menerkam saya. Dia akan menyergap saya dengan
cakarnya. Dalam waktu satu hari saya tidak lagi akan bisa melihat langit biru, karena saya
sudah berkubur di dalam perut kucing. Jangan, jangan merdekaaan saya. Saya mohon,
jangan! Lebih baik hidup di dalam sangkar daripada koit sia-sia di dalam perut kucing!”
“Tolol! Kemerdekaan itu tidak menyekap tapi justru membuat kamu bebas tanpa batas
untuk melakukan apa saja yang ingin kamu tuntaskan. Dunia milik kamu sekarang.
Jangan sia-siakan kesempatan. Terbang! Terbang!”
“Tidak, jangan Tuan! Jangan! Kalau saya merdeka sekarang, saya akan menjadi tanpa
perlindungan. Para pemburu akan mengambil senapan dan menembak. Dor, dor, dor.
Tidak akan lebih dari satu jam saya akan jatuh dari langit dalam keadaan yang sudah tak
bernyawa lagi. O tidak, saya tidak mau mati sekarang, saya tidak mau merdeka, saya mau
hidup. Jangan, jangan berikan kemerdekaan, jangan Tuan! Saya mohon izinkan saya
tidak merdeka!”
Orang tua itu tercengang. Darah tingginya meluap. Mukanya mendadak merah karena
hadiahnya ditolak.
“Bangsat! Hadiah yang tidak ada taranya ini kamu tolak? Aku tersinggung! Pemberian
yang diberikan dengan tulus ini kamu hinakan? Aku jadi kalap. Kebodohan itu sudah
mengerak di batok kepalamu. Hanya kekerasan yang dapat memaksa orang-orang tolol
untuk melihat realita. Kalau kamu menolak merdeka itu menghina kebaikanku. Kalau
kamu tidak mau merdeka, aku akan belajarkan, aku akan paksa, kalau perlu aku akan
bunuh kamu, supatya kamu hidup! Hanya jiwa yang mati yang tidak mengerti arti
kemerdekaan!”
Dengan gelapan juragan tua itu mengambil sampu lalu mengangkatnya.
“Keluar! Kalau kamu tidak mau keluar aku akan paksa kamu keluar. Keluar! Ayo
terbang!”
Orang tua itu memukul-mukul sangkar itu dengan sapu.
“Keluar! Keluar!”
Burung perkutut itu ketakutan. Ia terberak-berak karena panik.
“Keluar!”
Tiba-tiba perkutut itu mengepakkan sayapnya lalu terbang. Tetapi dia tidak terbang
keluar dari sangkar. Ia terbang menubrukkan kepalanya ke sangkar, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk. Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!” bunyi perkutut-perkutut lain
milik orang tua itu, seakan-akan memberikan selamat jalan kepada kawannya yang
malang, yang telah pergi mendahului ke alam baka.
Orang tua itu tertegun. Ia menatap perkututnya yang terbaring tak bergerak.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
“Ya Tuhan,”bisik orang tua itu dengan suara penuh sesal, “hari ini Kau berikan aku
sebuah pelajaran yang sangat berharga. Baru hari ini aku sadari, kemerdekaan tidak
selamanya memberikan kebahagiaan. Hari ini Kau tunjukkan kepadaku, kemerdekaan
dapat membunuh, kalau yang diberikan kemerdekaan tidak siap. Ya Tuhan, terimakasih
atas KaruiniaMu ini. Lain kali, kalau pada waktunya nanti aku akan memberikan hadiah
kemerkedaan kepada burung-burungku yang lain, aku tidak mau lagi akan terjadi tragedi
seperti ini. Hari ini Kau belajarkan aku bagaimana harus memberi kemerdekaan.”
Lalu orang tua itu memandang ke semua sangkar perkututnya.
“Burung-burung perkututku, kalau nanti pada waktunya aku memberikan kamu hadiah
kemerdekaan, aku tidak mau nasibmu akan sama dengan kawanmu yang tolol ini.
Ternyata kemerdekaan memerlukan persiapan, sebab kalau tidak siap merdeka,
kemerdekaan itu bukan membebaskan tetapi membunuh. Karena itu, aku akan memberi
kamu latihan, bagaimana caranya menikmati kemerdekaan perlahan-lahan, sehingga
pada waktu kemerdekaan itu nanti kuberikan, kamu sudah siap semuanya menikmati
merdeka.”
Juragan tua itu lalu membuka semua pintu sangkar burung perkututnya.
“Lihat ke atas, itulah langit biru,”kata orang tua itu memberikan pembelajaran. “Itulah
kemerdekaan. Ke sanalah kamu harus memandang, ke situlah kamu harus terbang.
Itulah kebagiaan, itulah yang harus kami jadikan tujuan. Pandang baik-baik. Belajar
menikmati keindahannya, sehingga nanti kamu akan terbiasa untuk merdeka.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
“Ya nyanyikan, rindukan, rasakan langit biru, itulah masa depanmu, itulah surgamu!”
Tiba-tiba ratusan, ribuan, puluhan ribu, jutaan, duaratus limapuluh juta burung perkutut
yang memandang ke langit biru mengepakkan sayapnya, lalu terbang. Melesat terbang
keluar dari pintu sangkar, termasuk burung perkutut yang tadi pura-pura mati itu.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
Duaratus limapuluh juta burung perkutut terbang bersama-sama ke atas langit biru.
“Kurketuk-kuk-kuk-kuk! Inilah kemerdekaan yang kami rindukan. Bukan kemerdekaan
sendiri-sendiri yang diberikan dengan gratis karena belas kasihan. Tapi kemerdekaan
yang kami rengut dengan mengorbankan jiwa-raga. Kalau perlu dengan paksa lewat
pertumpahan darah. Kemerdekaan bersama-sama, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
Burung-burung itu terbang berputar-putar semakin tinggi, semakin tinggi.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk.”
Tiba-tiba mereka berhenti, lalu melihat ke bawah dan kemudian croooooot berak
bersama-sama. Duaratus-lima-puluh-juta tai burung perkutut melayang-layang ke
bawah dan kemudian tepat mengenai kepala juragan tua itu, yang sampai sekarang tidak
pernah mengerti apa sebenarnya yang sudah terjadi. Yang sampai meninggalnya tidak
pernah peduli apa sebenarnya yang dikehendaki oleh rakyatnya.
LAMPIRAN 4
Story Telling Text
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien was born in 1848 from an Acehnese noble family. From his father's line,
Cut Nyak Dien is a direct descendant of the Sultan of Aceh. He was married Teuku
Ibrahim Lamnga at a young age in 1862 and had a son.
When the Aceh War expanded in 1873, Cut Nyak Dien led the war on the front lines,
against the Dutch who had more complete weapons. After years of fighting, his forces
were pressed and decided to flee to more remote areas. In the battle at Sela Glee Tarun,
Teuku Ibrahim was killed.
Nevertheless, Cut Nyak Dien continued the struggle with a fiery spirit. Coincidentally
during her husband's funeral, she met Teuku Umar who later became a husband and a
struggle partner.
Together, they rebuilt their strength and destroyed the Dutch headquarters in a number
of places. However, the hard test was again felt when on February 11, 1899, Teuku Umar
died. Meanwhile, the Netherlands - who knew Cut Nyak Dien's forces were weakening
and could only dodge - continued to exert pressure.
As a result, Cut Nyak Dien's physical and health condition declined, but she continued to
fight. Seeing such conditions, his warlord, Pang Laot Ali, offered to surrender to the
Netherlands. But Cut Nyak Dien was angry and insisted on continuing to fight.
Finally Cut Nyak Dien was arrested and to avoid his influence on the people of Aceh, he
was exiled to Java, precisely to Sumedang, West Java. In his place of exile, Cut Nyak Dien,
who was already old and had visual impairments, taught religion. He kept his identity
secret until the end of his life.
He died on November 6, 1908 and was buried in Sumedang. His tomb was only known in
1960 when the Aceh Government deliberately conducted a search. Cut Nyak Dien's
struggle made a Dutch writer, Mrs. Szekly Lulof, amazed and performed "Ratu Aceh".
The Birth Period of the Prophet Muhammad and the Habits of the Jahiliyah
Society
At the time of the birth of the Prophet Muhammad there was an extraordinary event
which was a group of elephants led by King Abrahah (Governor of the Habyi kingdom in
Yaman) who wanted to destroy the Ka’bah because the land of Mecca was increasingly
crowded and the Quraish were increasingly respected and every year there were always
dense human beings. This made Abraha jealous and Abraha tried to divert humanity so
that it would no longer go to Mecca. Abraha established a large church in Shan'a called
Al-Qulles. But nobody wants to come to the Al Qulles church. Abraha was furious and
finally mobilized a warrior army to attack the Ka’bah. Near Makkah, the troops seized
property of the population including 100 Abdul Muthalib camels.
Unexpectedly, Abdul Muthalib arrived at Abraha's envoy to face Abraha. In the end Abdul
Muthalib asked the camels to be returned and was willing to evacuate with the residents
and Abdul Muthalib prayed to Allah so that the Servant would be saved.
The state of Makkah was deserted by Abraha's army freely entering Makkah and ready to
destroy the Ka’bah. Allah SWT sent Ababil’s bird to carry Sijjil gravel with its beak. The
gravel was dropped right on the head of each of the chanting forces to penetrate to the
body to death. This event is enshrined in the Qur'an Al-Fiil verse 1-5. (Qur'an 105: 1-5).
The invading forces are destroyed and get adzab from Allah SWT.
At that time a baby who was given the name Muhammad from the womb of Aminah's
mother was born and that Abdullah passed on. Muhammad was born orphaned because
when the Prophet Muhammad was still in the womb his father had died. The Prophet
Muhammad was born on Monday, 12 Rabiul Beginning of the Elephant Year and
coinciding with April 22, 571 M.
LAMPIRAN 5
PILIHAN MUSIKALISASI PUISI
PADA SENJA- Amir Hamzah
mengembara senda pada senja
rama bermain dalam cahaya
kusangka sempurna dalam segala
sayap kemerlap mengemas rupa
ditayang kembang kelopak terbuka.
Dirinjau sinau diliputi wangi
dijunjung tunjung tangkai gemelai
berkobar-debar berahi diri
digetar-gegar permai terberai.
Kutangkap rama berayun
kupetik bersama daun
kubawa kumuda warni
kurangkai di sisi hati...
Matahari menunjuk bentuk aku lalu harilah suntuk
rama kencana tinggal tertunduk
puas belum cinta diteguk...
Dunia segara duka
tiada cinta selama muda
derita rama remaja
susah sepah tersia-sia
DALAM MATAMU- Amir Hamzah
Tanahku sayang berhamparkan daun
bersinar cahaya lemah gemilang
dari jauh datang mengalun
suara menderu selang-menyelang
Renggang rapat berpegang jari
kita mendaki bukit tanahmu
dinda berkhabar bijak berperi
kelu kanda kerana katamu.
Berhenti kita sejurus lalu
berdekatan duduk sentosa semata
hatiku sendu merindu chumbu
kesuma sekaki abang kelana.
Hilang himpau air terjun
bunga rimba bertudung lingkup
kanda memangku sekar suhun
lampai permai mata tertutup.
Remuk redam duka di dada
di hanyutkan arus dewa bahagia
menjelma kanda di bibir kesumba
rasa menginyam madu swarga.
Dalam matamu tenang sentosa
kanda memungut bunga percaya
japamantera di kala duka
pelerai rindu di malam cuaca.
Dalam matamu jernih bersih
kanda kumpulkan mutiara cinta
akan tajuk mahkota kasih kanda sembahkan kepada bonda.
Aku- Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi KARAWANG BEKASI- Chairil Anwar Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan Atau tidak untuk apa-apa Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang-kenanglah kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
TANAH AIR MATA- Sutardji Calzoum Bachri Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke manapun melangkah kalian pijak airmata kami ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata Hujan Bulan Juni tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu