Download - Pertanian Hijau
Berdasarkan definisi umum yang dikeluarkan oleh OECD tentang ‘pertumbuhan hijau’, studi ini mendefinisikan pertanian hijau sebagai
sebuah cara untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan hijau, dan pada saat yang sama mencegah degradasi lingkungan, hilangnya
keanekaragaman hayati, penggunaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan, dan, jika dimungkinkan, ikut berkontribusi dalam
meningkatkan penyediaan jasa lingkungan
Kenapa harus pertanian hijau?
Tantangan Pertanian
Hijau Indonesia
Ekspansi lahan pertanian dan konversi hutan yang
berakibat pada berkurangnya jasa
lingkungan (ecosystem services) dan
keanekaragaman hayati.
Polusi organik dan anorganik
Penggunaan sumberdaya air
yang tidak efisien
Pengelolaan kesuburan tanah
dan pemilihan lahan pertanian
yang kurang tepat
Strategi Menghadapi
Kendala
Peraturan Langsung
Instrumen untuk
menciptakan atau
mengkoreksi pasar
Pertanian organik
Pendekatan informasi, advokasi
dan sukarela
Kesimpulan
• Tantangan di bidang lingkungan terkait dengan pertanian komersial di Indonesia umumnya berhubungan dengan masalah (1) deforestasi dan konversi hutan primer, (2) degradasi lahan dan erosi, (3) penurunan stok karbon di atas permukaan tanah dan meningkatnya emisi GRK, (4) tingginya jejak air, dan (5) polusi udara dan air.
• Dari segi aspirasi dan aplikasi, Indonesia telah menerima dan menerapkan konsep pertanian yang hijau dan berkelanjutan. Aspirasi ini ditunjukkan melalui penetapan Agenda 21 Nasional di tahun 1997 dan Rencana Pembangunan Lima Tahun hingga tahun 1999 pada era Orde Baru, Program Pembangunan Nasional di tahun 2000 dan Target ke-4 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004−2009 pada era Reformasi dan juga Kesimpulan 61 dan Rekomendasi pada era Pasca Reformasi yang masih berjalan. Beberapa aspirasi terbaru antara lain Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK); Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP); dan Rencana Mitigasi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca.
• Kapasitas sektor swasta untuk mengintegrasikan dan menyelaraskan standar internasional ke dalam standar nasional dipandang cukup kuat, terutama di sektor kelapa sawit. Pemerintah dianggap telah memiliki kapasitas yang baik dalammengembangkan prinsip keberlanjutan untuk pembangunan pedesaan melalui kebijakan nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspirasi ‘pembangunan berkelanjutan’ yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Namun demikian, kapasitas pemerintah untuk memasukkan risiko lingkungan ke dalam perencanaan penggunaan lahan, perancangan pajak, akuntansi hijau (green accounting), meminimalisir konflik antara kebijakan pertanian dengan kebijakan lingkungan hidup masih dianggap rendah. Hal ini memberi indikasi bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya mencakup konsep keberlanjutan secara luas/umum, namun masih minim dalam hal pedoman operasional tentang bagaimana mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dan mengkoordinasi upaya-upaya antar kementerian.