PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK
PERSEROAN TERBATAS YANG
DINYATAKAN PAILIT
KARYA ILMIAH
Oleh:
KETUT OCTANIA FINETA DIARSA
13300011
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
FAKULTAS HUKUM
2017
1
PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK
PERSEROAN TERBATAS YANG
DINYATAKAN PAILIT
Ketut Octania Fineta Diarsa
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Jl. Dukuh Kupang XXV No.54, Surabaya 60225
Email : [email protected]
ABSTRAK
Perseroan Terbatas (PT) yang bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban membayar
utang pajak. PT diwakili oleh direksi sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas maka
pertanggungjawabannya ada pada direksi sebagai penanggung pajak. Sesuai Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan, putusan pailit Pengadilan Niaga hanya menghentikan roda
perusahaan namun tidak menghentikan utang pajak. Penerapan putusan pailit Pengadilan
Niaga terjadi karena ketidak harmonisan antara Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Kata kunci: kreditor, kepailitan, utang pajak, penghapusan piutang pajak.
ABSTRACT
Company Limited (PT) is responsible for completing the obligation to pay the tax debt.
PT represented by the directors in accordance Limited Liability Company Act, the
responsibility is on the board of directors as a guarantor taxes. In accordance Finance
Minister Decree Number 68 Year 2012 on Procedures for Removal of Tax Receivables and
Determination of magnitude Removal, Commercial Court bankruptcy decision only stop the
wheels of the company but do not stop the tax debt. Implementation of the Commercial Court
bankruptcy decision occurs because of disharmony between the Law on Bankruptcy and
Suspension of Payment by Law General Provisions and Tax Procedures.
Keywords: creditor, bankruptcy, tax payable, tax receivables write-off.
2
PENDAHULUAN
Naamlooze Vennootschap yang
disingkat NV, adalah awal penyebutan
Perusahaan Terbatas di masa Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya
lebih sering disebut sebagai Perseroan
Terbatas (PT), merupakan sebuah badan
hukum dan dalam menjalankan usahanya
dapat melakukan perjanjian utang piutang.
Perbuatan hukum ini menjadi sebuah
permasalahan ketika pihak peminjam yang
kemudian disebut Debitor tidak dapat
mengembalikan utangnya kepada Kreditor
sesuai waktu yang tertera dalam perjanjian,
sehingga jatuh tempo dan tidak
terbayarkan.
Ketidakmampuan Debitor dalam
memenuhi kewajibannya untuk melunasi
utangnya membuat Kreditor tidak
mendapatkan kembali haknya sesuai
perjanjian, sehingga pihak Kreditor dapat
mengajukan permohonan pailit atas
Debitornya, berdasarkan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya
disebut UU KPKPU, adalah Debitor yang
mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh tempo dapat ditagih.
Keharusan adanya dua Kreditor yang
disyaratkan dalam UU KPKPU merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132
Burgerlijk Wetboek (BW)1. Pasal 1132
BW menyatakan:
Kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya,
pendapatan penjualan benda-benda
itu dibagi-bagi menurut
keseimbanganya itu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang
sah untuk didahulukan.
Utang adalah titik permulaan dari
serangkaian prosedur acara kepailitan.
Permohonan pailit beranjak dari sengketa
yang timbul akibat Debitor yang tidak
membayar utangnya. Sebagaimana
pendapat Hadi Shubban, Utang merupakan
raison d'etre dari kepailitan2. Hal ini
dialami oleh PT. Putra Mapan Sentosa (PT.
PMS), utang yang tidak dapat dilunasi oleh
PT. PMS terjadi karena beberapa hal, yaitu
perseroan ini terkena kasus penipuan Surat
Setoran Pajak (SSP) fiktif oleh oknum
pegawai konsultan pajak yang digunakan
oleh perseroan tersebut, kerugian usaha
karena adanya kasus SSP fiktif membuat
kredibilitas PT. PMS menjadi buruk,
sehingga banyak rekan bisnis PT. PMS
yang tidak mau berbisnis lagi bahkan
1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,
Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, 2003,
Jakarta, Rja Grafindo Persada, h. 141. 2 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip,
Norma dan Praktik di Pengadilan, 2008, Jakarta,
Kencana, h. 34.
3
supplier tidak bersedia mensuplai barang
dan beberapa alasan lainnya.
Keadaan tersebut membuat PT. PMS
kesulitan mengembangkan usahanya dan
tidak mampu lagi membayar utang-utang
perusahaan kepada para Kreditor.
Berdasarkan hal tersebut salah satu
Kreditor mengajukan permohonan pailit
terhadap PT. PMS (Debitor) ke Pengadilan
Niaga Surabaya dan permohonan
dikabulkan dengan keluarnya Putusan No.
39/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby, bahwa PT.
PMS dinyatakan pailit karena insolvency.
PT. PMS, dalam proses permohonan
kepailitan tidak ditawarkan rencana
perdamaian berdasarkan Pasal 178 ayat (1)
UU KPKPU menyatakan:
Jika dalam rapat pencocokan piutang
tidak ditawarkan rencana
perdamaian, rencana perdamaian
yang ditawarkan tidak diterima, atau
pengesahan perdamaian ditolak
berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap,
demi hukum harta pailit berada
dalam keadaan insolvensi.
Direksi dalam hal ini Debitor PT.
PMS dapat melakukan permohonan pailit
atas perusahaannya sendiri, hal ini sesuai
Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menyatakan,
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan Putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih Kreditornya.”
Hal ini juga sesuai dengan Pasal 4 UU
KPKPU, bahwa:
(1) Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh
Debitor yang masih terikat
dalam pernikahan yang sah,
permohonan hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami
atau istrinya.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila tidak ada
persatuan harta.
Pengajuan permohonan pailit
tersebut, Direksi PT. PMS tentu telah
memperkirakan hal-hal yang akan akan
terjadi apabila permohonan pailit atas PT.
PMS tersebut dikabulkan. Selain
mempunyai utang kepada beberapa
Kreditor PT. PMS juga masih mempunyai
utang pajak yang belum terbayarkan.
Direksi PT. PMS telah tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan
pembayaran atas utang-utangnya kepada
para Kreditor termasuk utang pajak yang
belum terbayarkan. Berdasarkan alasan
itulah Kreditor mengajukan permohonan
pailit ke pengadilan niaga. Direksi PT.
PMS berharap agar dengan telah
dinyatakan pailitnya PT. PMS yang
dikarenakan terkena kasus penipuan Surat
Setoran Pajak (SSP) fiktif oleh oknum
pegawai konsultan pajak yang digunakan
4
oleh perseroan, maka sudah tertutup
kemungkinan penagihan atas utang kepada
Kreditor dan utang pajak tetapi dalam
praktiknya tidak demikian.
Putusan pailit atas PT. PMS dengan
alasan insolvency, tidak menghapus
kedudukan negara untuk menagih
tertanggungnya utang pajak. Negara
mempunyai hak mendahulu yang meliputi
pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan
biaya penagihan pajak, hal ini sesuai
dengan yang disebutkan dalam Pasal 21
ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang
menyatakan: “Negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak atas barang-
barang milik Penanggung Pajak”.
PT. PMS setelah dinyatakan pailit,
Direksi PT. PMS secara pribadi juga harus
membayar utang pajak yang masih belum
terbayarkan dan terus berlangsung sampai
ada pelunasan utang pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT), menyatakan:
“Pemegang saham Perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama Perseroan
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian
Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”
Namun dalam kasus ini, secara
pribadi direksi yang juga sebagai
pemegang saham PT. PMS harus
menanggung segala akibat hukum dari
dikabulkannya permohonan pailit tersebut.
Setelah adanya putusan pailit, direksi
menanggung segala kerugian sampai ke
harta pribadinya yang merupakan tagihan
atas utang pajak yang belum terbayarkan,
bahkan rekening banknya telah di blokir
oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP),
selain itu juga telah dilakukan pencekalan
untuk keluar negeri dan terancam ditahan.
Tindakan ini diambil oleh Direktorat
Jenderal Pajak terhadap Direksi PT. PMS,
dikarenakan utang pajak yang terus
berjalan nilainya berdasarkan utang pajak
yang belum dibayar. Menurut Arjaya,
B.G.M. Widyapradnyana, “baik secara
langsung maupun yang akan timbul
dikemudian hari atau kontijen (utang pajak
terjadi secara terus menerus, (kontijen)
setiap tahun dengan ketentuan bahwa
tahun pajak mengikuti tahun kalender
kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender).
Setelah adanya Putusan No.
39/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby, atas PT.
PMS, Direksi tetap menanggung utang
pajak perusahaan yang telah dipailitkan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut akan
5
menimbulkan masalah (konflik hukum)
sejauh manakah batasan tanggung jawab
Direksi Perseroan Terbatas atas utang
pajak dalam hal ini suatu badan hukum
yang dinyatakan pailit dan telah
mempunyai daya ikat putusan Pengadilan
Niaga terhadap utang pajak ditinjau UU
KUP, UU KPKPU, UU PT dan BW, maka
dari itu timbullah suatu masalah hukum
dalam kasus ini yang menarik untuk
menjadi pembatasan dalam penelitian ini.
Penelitian ini meneliti tentang
dampak hukum bagi Debitor yang telah
dipailitkan namun mempunyai utang pajak.
Tanggung jawab Direksi atas utang pajak
Perseroan Terbatas yang pailit adalah
sejauh saham yang dimiliki sesuai UU PT
ataukah hingga ke harta pribadi. Alasan
inilah yang membuat penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan keadilan
bagi Debitor.
Pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh alumni mahasiswa program
sarjana Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya, yakni “Akibat Hukum
Penghapusan Piutang Pajak Atas
Kepailitan Perseroan Terbatas Bagi Para
Kreditor”, ditulis oleh Stefanus Kurniawan
Dharmadji. Rumusan masalah yang
dikemukakan adalah 1) Bagaimana suatu
Perseroan Terbatas dapat di putus pailit
serta hak-hak kreditor pasca putusan pailit
sesuai dengan ketentuan Undang-undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2) Apa akibat hukum penghapusan piutang
pajak atas kepailitan suatu Perseroan
Terbatas bagi para Kreditor. Pada
penelitian yang dilakukan oleh peneliti
pada penelitian ini berbeda dengan
penelitian terdahulu. Pada penelitian
terdahulu subjek penelitian difokuskan
pada sisi Kreditor sedangkan pada
penelitian ini subjek penelitian lebih
difokuskan kepada Debitor yaitu direksi
suatu Perseroan Terbatas.
Isu kepailitan menarik untuk dibahas
karena beban pembuktian dalam
permohonan pailit di pengadilan niaga
menurut UU KPKPU menggunakan
pembuktian sederhana. Secara materil
perbedaan pendapat yang mencolok
terletak pada unsur-unsur kepailitan dalam
Pasal 2 dan secara formil pada pembuktian
sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU
KPKPU3.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas,
maka perumusan masalah adalah sebagai
berikut :
3 Bambang Pratama, “Kepailitan dalam Putusan
Hakim ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan
Materil”, Jurnal Disparitas Yudisial Vol 7 No. 2,
2012, Komisi Yudisial, h. 158.
6
1. Apakah Direksi Perseroan Terbatas
yang telah dinyatakan pailit
bertanggung jawab atas utang pajak
yang belum terbayarkan?
2. Apakah putusan pailit Pengadilan
Niaga mempunyai daya ikat terhadap
tanggung jawab membayar utang
pajak?
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan
adalah Penelitian Hukum Normatif yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai
aspek. Metode pendekatan yang
dipergunakan adalah Pendekatan
Perudang-undangan (Statute Approach)
dan Pendekatan Kasus (Case Approach).
Sumber-sumber penelitian hukum dapat
dibedakan menjadi sumber hukum primer
dan sekunder. Sumber primer merupakan
sumber hukum yang bersifat autoritatif
artinya otoritas. Sumber primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Sumber sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan.
Bahan hukum dikumpulkan melalui
prosedur inventarisasi dan identifikasi
peraturan perundang-undangan, serta
klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum
sesuai permasalahan penelitian4. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah Teknik Kepustakaan. Data yang
telah diperoleh dari hasil penelitian ini
disusun dan dianalisis secara interpretasi
hukum.
PEMBAHASAN
Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas atau dulu yang
lebih sering dikenal dengan sebutan N.V
(naamlooze vennootschap) ialah suatu
bentuk usaha yang banyak dipakai
pedagang-pedagang, pengusaha-pengusaha
dan sebagainya, untuk mencapai maksud
dan tujuannya dalam lapangan industri,
perdagangan dan sebagainya dan berstatus
badan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (Wetboek van Koophandel voor
Indonesie) yang selanjutnya disebut
KUHD sendiri tidak memberikan definisi
tentang Perseroan Terbatas dan hanyalah
mengatur perseroan ini secara terbatas dan
sederhana. Kata “perseroan” menunjuk
kepada modalnya yang terdiri atas sero
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, J,
2005, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, h.
41.
7
(saham). Sedangkan kata “terbatas”
menunjuk kepada tanggung jawab
pemegang saham yang tidak melebihi nilai
nominal saham yang diambil bagian dan
dimilikinya5. Namun sebutan PT
(Perseroan Terbatas) itu telah menjadi
baku dalam masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, "Perseroan Terbatas, yang
selanjutnya disebut Perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta
peraturan pelaksanaannya".
Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa: “Direksi
bertanggungjawab atas pengurusan
Perseroan.” Ayat (2) menyatakan bahwa:
“Pengurusan Perseroan wajib dilaksanakan
setiap anggota direksi dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab. Pada ayat (3)
menyatakan bahwa”. Setiap anggota
direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi atas kerugian Perseroan apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai
5 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri
Hukum Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, 2000,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, h. 1.
menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2).
Penafsiran pada ayat (3) diatas
menimbulkan ketidakjelasan, tentang
kalimat apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (2). Apa kriteria yang
dipakai untuk menentukan bersalah dan
lalai dalam menjalankan tugasnya. Seperti
kasus PT. Putera Mapan Sentosa (PT.
PMS), penyebab utama terjadinya
insolvensi dalam perseroan tersebut adalah
kasus penipuan Surat Setoran Pajak (SSP)
fiktif, karena tersebar secara luas lewat
media, membuat perseroan ini menjadi
rusak kredibilitasnya, sehingga proses
usahanya terganggu. Berdasarkan hal itu
apakah akibat penipuan seperti itu
merupakan tanggung jawab direksi hingga
ke harta pribadinya.
Hukum Perseroan Indonesia
menganut system separate entity dan
limited liability. Perseroan merupakan
wujud atau entitas (entity) yang terpisah
dan berbeda dari pemiliknya dalam hal ini
pemegang saham (separate and distinct
from its owner)6. Limited Lialibity tidak
hanya berlaku bagi pemegang saham,
6 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan,
Cetakan Ketiga, Edisi Ketujuh, 2011, Jakarta, Sinar
Grafika, h. 57.
8
tetapi juga berlaku bagi organ Perseroan
yang lainnya yaitu Direksi dan Komisaris.
Pada prinsipnya, segala tindakan
direksi yang dilakukan secara sah, dalam
arti sesuai dengan kewenangannya, untuk
dan atas nama perseroan, bukan untuk
kepentingan pribadi, maka tindakan yang
demikian itu merupakan tindakan
perseroan. Oleh karena itu, segala
konsekuensi yuridis atas tindakan
perseroan itu, baik atau buruk, untung atau
rugi, akan dipikul sendiri oleh perseroan.
Dengan demikian, segala
pertanggungjawaban yang timbul dari
perbuatan tersebut hanya dapat dibebankan
kepada badan hukum (PT) itu sendiri,
terlepas dari (harta kekayaan) pribadi
orang yang melakukan perbuatan itu. Hal
ini sesuai dengan karakteristik PT yang
kedudukannya mandiri dan pertanggung-
jawabannya terbatas. Namun demikian,
ada yang mengatakan bahwa tidak selalu
tindakan direksi itu mengikat PT yang
bersangkutan. Dalam arti, sungguhpun hal
itu merupakan tindakan perseroan, dalam
beberapa hal (kasus) masih terbuka
kemungkinan bagi perseroan untuk
melepaskan tanggungjawabnya, dalam arti
yang harus bertanggungjawab atas
tindakan tersebut adalah pihak direksi
secara pribadi, bukan perseroan7.
Utang Pajak
Pajak termasuk perikatan yang lahir
demi undang-undang (timbul dari undang-
undang saja). Cerminan dari aspek ini,
misalnya, adalah Wajib Pajak mempunyai
kewajiban membayar pajak (schuld) dan
apabila Wajib Pajak tidak mau membayar
pajak tersebut, maka Wajib Pajak dianggap
membiarkan harta bendanya diambil oleh
negara sebanyak hutang pajak tersebut
(haftung)8.
Secara sederhana hak dan kewajiban
ini dapat diklasifikasikan dalam dua bagian
yaitu dalam lingkup hukum (umum) yang
diistilahkan dengan legal rights dan dalam
lingkup administratif yang diistilahkan
dengan administrative rights. Dalam
pelaksanaannya utang pajak “Dapat
dipaksakan” mempunyai arti, apabila utang
pajak tidak dibayar, utang tersebut dapat
7 Abdul Rokhim, “Wewenang Direksi Dan
Akibat Hukumnya Bagi Perseroan Terbatas”,
Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol.
6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian
Universitas Islam Malang, h. 10-16. 8 Badrulzaman et all, Kompilasi Hukum
Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki
Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Dalam Wan Juli, Joko Nur Sariono,
“Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam
Penyelesaian Sengketa Perpajakan Di Pengadilan
Pajak”, Jurnal Perspektif Volume XIX No.3 Edisi
September Tahun 2014.
9
ditagih dengan kekerasan, seperti surat
paksa, sita, lelang, dan sandera9.
Pengertian Penanggung pajak dalam
UU PPSP Pasal 1 angka 3 adalah orang
pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Kegiatan penagihan tidak berhenti
meskipun Wajib Pajak/Penanggung Pajak
mengalami pailit. Pihak yang ditugasi
untuk melakukan pemberesan terhadap
Wajib Pajak/Penanggung Pajak harus
menggunakan harta Wajib
Pajak/Penanggung Pajak tersebut untuk
membayar utang pajak karena negara
memiliki hak mendahulu atas barang-
barang milik Penanggung Pajak. Dalam hal
ini negara mempunyai kedudukan sebagai
Kreditor preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-
barang milik Penanggung Pajak yang akan
dilelang di muka umum. Sedangkan
pembayaran kepada Kreditor lain
diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut
meliputi: pokok pajak, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya
9 Toni Marshayrul, Penelitian Haryo
Sulistiriyanto 2011.
penagihan pajak. Hal ini sesuai Pasal 1137
BW yang menyatakan:
Hak didahulukan milik negara,
kantor lelang dan badan umum lain
yang diadakan oleh penguasa, tata
tertib pelaksanaannya, dan lama
jangka waktunya, diatur dalam
berbagai undang-undang khusus
yang berhubungan dengan hal-hal
itu. Hak didahulukan milik
persekutuan atau badan
kemasyarakatan yang berhak atau
yang kemudian mendapat hak untuk
memungut bea-bea, diatur dalam
undang-undang yang telah ada
mengenai hal itu atau yang akan
diadakan.
Selain itu, berdasarkan Pasal 21 ayat
(3) huruf a UU KUP menyatakan:
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan
pailit, bubar atau likuidasi maka
kurator, likuidator atau orang atau
badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak
dalam pailit, pembubaran atau
likuidasi kepada pemegang saham
atau kreditor lainnya sebelum
menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak
tersebut.
Pasal 21 Ayat (4) UU KUP
menyatakan:
Hak mendahulu hilang setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun
sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan
10
Kembali yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah.
Berdasarkan Pasal 32 UU KUP Ayat
(2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi
dan atau secara renteng atas pembayaran
pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktorat
Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin
untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut.
Pasal 97 ayat (4) UU PT: dalam hal
Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi
atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada Pasal 97 ayat (3) berlaku
secara tanggung renteng bagi setiap
anggota Direksi. Pasal 104 ayat (2) UU
PT, dalam hal kepailitan sebagaimana
dimaksud Pasal 104 ayat (1) terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta
pailit tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban Perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota direksi secara
tanggung renteng bertanggung jawab atas
seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut.
Hapusnya utang pajak dapat
disebabkan beberapa hal yaitu: Pertama,
Pembayaran, Kedua, Kompensasi, Ketiga,
Daluwarsa, Keempat, Pembebasan dan
penghapusan10. Penyitaan harta
Penanggung Pajak telah diatur dalam
Undang-undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa. Namun pembukaan rekening
dalam penyitaan harta Penanggung Pajak
di Bank diatur khusus dalam Peraturan
Pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh
Menteri Keuangan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 563/KMK.04/2000 tentang
Pemblokiran dan Penyitaan Harta
Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Kepailitan Perseroan Terbatas
Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU
PT Nomor 40 Tahun 2007, Perseroan
Terbatas, yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Pada dasamya suatu Perseroan
memiliki beberapa legal rights (hak dalam
hukum) diantaranya: a) hak untuk
memiliki atau menguasai properti (right to
10 Mardiasmo, Perpajakan, 2008, Yogyakarta,
CV Andi Offiset, h. 8.
11
own property), b) hak untuk mengadakan
atau membuat suatu perjanjian (right to a
corporate seal), c) hak untuk menuntut dan
dituntut di muka pengadilan (right to sue
or to be sue).
Menurut Agus Budiarto, yang
mengutip dari bukunya Sutantya dan
Sumatoro, dari Pasal 36, 40, 42 dan 45
KUHD disimpulkan bahwa suatu
Perseroan Terbatas mempunyai unsur-
unsur sebagai berikut:11
1. Adanya kekayaan yang terpisah dari
kekayaan pribadi masing-masing
persero (pemegang saham) dengan
tujuan untuk membentuk sejumlah
dana sebagai jaminan bagi semua
perikatan perseroan.
2. Adanya persero atau pemegang
saham yang tanggung jawabnya
terbatas pada jumlah nominal saham
yang dimilikinya. Sedangkan mereka
semua di dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS),
merupakan kekuasaan tertinggi
dalam organisasi perseroan, yang
berwenang mengangkat dan
memberhentikan direksi dan
komisaris, berhak menetapkan garis-
garis besar kebijaksanaan
menjalankan perusahaan,
11 Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan
Tanggung Jawab Pendiri Pereseroan Terbatas,
2000, Jakarta: Ghalia Indonesia, h. 24.
menetapkan hal-hal yang belum
ditetapkan dalam anggaran dasar dan
lain-lain.
Adanya pengurus (direksi) dan
pengawas (komisaris) yang merupakan
satu kesatuan pengurus dan pengawas
terhadap perseroan dan tanggung
jawabannya terbatas pada tugasnya, yang
harus sesuai dengan anggaran dasar atau
keputusan RUPS.
Perseroan Terbatas (PT) yang
dinyatakan pailit tentu membawa akibat
hukum terhadap usaha dan hubungan
antara Debitor dan Kreditor. Menurut
Munir Fuady yang dikutip Tyassari, akibat
yuridis tersebut berlaku kepada Debitor
dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu
sebagai berikut:12
a. Berlaku demi hukum
Akibat yang paling besar dari
berlakunya demi hukum adalah berlaku
sitaan umum atas seluruh harta debitor
(Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-
undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang) dan debitor kehilangan
hak mengurus (Pasal 24 Undang-undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
12 Yudaning Tyassari, Akibat Hukum Putusan
Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 2008,
Semarang, Tesis, Program Pascasarjana, Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, h. 110-111.
12
Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang). Adanya akibat hukum yang besar
tersebut, selayaknya hakim benar-benar
cermat dalam mengambil keputusan.
b. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari
kepailitan berlaku rule of reason
Akibat-akibat hukum yang lain yang
merupakan dampak kepailitan tersebut
adalah menyangkut pembayaran
kompensasi pada pegawai/pekerja.
Pembayaran kompensasi akan dilakukan
dengan mengacu pada Undang-undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4)
yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan
dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan
hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya”. Selanjutnya menurut
Fred Tumbuan yang dikutip oleh Ardytia,
pernyataan pailit berakibat bagi debitor
yaitu: kepailitan meliputi seluruh kekayaan
debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan (Pasal 21 UU
KPKPU)13. Namun ketentuan tersebut
13 Wisnu Ardytia, Perlindungan Hukum
Kreditor Dalam Kepailita (Studi Kasus Terhadap
Peninjauan Kembali GEG. NO. 07 PK/N/2004),
2009, Semarang, Tesis, Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, h. 62-64.
tidak berlaku terhadap (Pasal 22 UU
KPKPU):
1) Benda, termasuk hewan yang benar-
benar dibutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan pekerjaannya,
perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan,
tempat tidur dan perlengkapannya
yang dipergunakan oleh debitor dan
keluarganya, dan bahan makanan
untuk 30 (tiga puluh) hari bagi
debitor dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu;
2) Segala sesuatu yang diperoleh
debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan
atau jasa, sebagai upah, pensiun,
uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh hakim
pengawas; atau
3) Uang yang diberikan kepada debitor
untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-
undang.
Menurut Jack P. Friedman yang
dikutip Kurniawan, secara prosedural
hukum positif, maka dalam suatu proses
kepailitan, harta debitor pailit dianggap
berada dalam keadaan tidak mampu
membayar jika14:
14 Kurniawan, Pemberesan Harta Pailit Pada
Perusahaan Perorangan (Studi Kasus Pada PT.
Sierad Produce Tbk), 2007, Semarang, Tesis,
13
1. Dalam rapat pencocokan piutang
tidak ditawarkan perdamaian, atau
2. Rencana perdamaian yang
ditawarkan telah ditolak, atau
3. pengesahan perdamaian ditolak
berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Fiduciary Duty dan Tanggung Jawab
Direksi
Prinsip Fiduciary Duty berlaku bagi
direksi dalam menjalankan tugasnya baik
dalam menjalankan fungsinya sebagai
manajemen maupun sebagai representasi
dari perseroan. Istilah fiduciary duty
berasal dari 2 kata, yaitu: Fiduciary dan
Duty.
Tentang istilah “duty” banyak
dipakai di mana-mana, yang berarti
“tugas”, sedangkan untuk istilah
“fiduciary” berasal dari bahasa latin
“Fiduciarus” dengan akar kata “fiducia”
yang berarti “kepercayaan” (“trust”) atau
dengan kata kerja “fidere” yang berarti
“mempercayai (“to trust”). Sehingga
dengan istilah “fiduciary” diartikan sebagai
“memegang sesuatu dalam kepercayaan”
atau “seseorang yang memegang sesuatu
dalam kepercayaan untuk kepentingan
orang lain tersebut disebut dengan istilah
“trustee” sementara pihak yang dipegang
Program Pascasarjana, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, h. 68.
untuk kepentingannya tersebut disebut
dengan istilah “beneficiary”15. Seseorang
mempunyai tugas fiduciary (fiduciary
duty) manakala dia mempunyai kapasitas
fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang
dikatakan memiliki fiduciary capacity jika
bisnis yang ditransaksikannya atau
uang/property yang ditangani bukan
miliknya atau bukan untuk
kepentingannya. Melainkan milik orang
lain dan untuk kepentingan orang lain
tersebut, dimana orang lain tersebut
mempunyai kepercayaan yang besar (great
trust) kepadanya. Sementara itu, di lain
pihak dia wajib mempunyai itikad baik
yang lebih tinggi (high degree of good
faith) dalam menjalankan tugasnya. Istilah
“fiduciary” ini dipergunakan, baik untuk
perjanjian trustee dalam arti “technical
trust” maupun untuk jabatan atau
hubungan hukum dengan direksi dari suatu
perusahaan (antara direksi dengan
perseroannya). Antara pihak yang
mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary
capacity) dengan pihak yang diasuhnya
atau yang harta bendanya diasuh, terdapat
suatu hubungan khusus yang disebut
dengan hubungan fidusia (fiduciary
relation). Yang dimaksud dengan fiduciary
relation adalah suatu hubungan yang
15 Munir Fuady, Doktrin Doktrin Modern
Dalam Corporate Law, 2002, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, h. 33.
14
timbul baik dari hubungan fiduciary secara
teknikal maupun dari hubungan informal
yang timbul manakala seorang percaya
(trust) atau bergantung (rely) kepada orang
lain. Dalam hal ini, seorang percaya
kepada orang lain, dimana orang lain
tersebut bertindak dengan itikad baik
(good faith) dan dengan penghormatan
yang baik (due regard) dan fair kepada
kepentingan orang lain tersebut.
Berdasarkan hal tersebut dapat
dijelaskan, fiduciary duty adalah suatu
tugas dari seseorang yang disebut dengan
“trustee” yang terbit dari suatu hubungan
hukum antara trustee tersebut dengan
pihak lain yang disebut dengan
beneficiary, dimana pihak beneficiary
memiliki kepercayaan yang tinggi kepada
pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee
juga mempunyai kewajiban yang tinggi
untuk melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya dengan itikad baik yang
tinggi, fair dan penuh tanggung jawab,
dalam menjalankan tugasnya dan untuk
kepentingan beneficiary.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat
dilihat bahwa Fiduciary Duty didasarkan
pada kepercayaan, dimana pihak yang
diberi kepercayaan tidak boleh berbuat
dalam cara-cara yang merugikan atau
bertentangan dengan kepentingan pemberi
kepercayaan. Sepanjang sejarah penerapan
teori fiduciary duty ini, muncul beberapa
“pedoman dasar” bagi direksi dalam
menjalankan fiduciary duty terhadap
perseroan yang dipimpinnya. Pedoman
dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fiduciary duty merupakan unsur wajib
(mandatory element) dalam hukum
perseroan.
2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang
direksi bukan hanya harus memenuhi
unsur itikad baik, tetapi juga harus
memenuhi unsur “tujuan yang layak”
(proper purpose).
3. Pada prinsipnya direksi dibebani prinsip
fiduciary duty terhadap perseroan,
bukan terhadap pemegang saham.
Karena itu, hanya perusahaanlah yang
dapat memaksakan direksi untuk
melaksanakan tugas fiduciary tersebut.
4. Akan tetapi, dalam menjalankan
fungsinya sebagai direksi, secara umum
direksi juga harus memperhatikan
kepentingan stakeholders, seperti pihak
pemegang saham dan buruh perseroan.
5. Sungguhpun menyandang tugas sebagai
direksi, direksi tetap bebas dalam
memberikan suara dan pendapat sesuai
dengan keyakinan dan kepentingannya
dalam setiap rapat yang dihadirinya.
6. Direksi tetap bebas dalam mengambil
keputusan sesuai pertimbangan bisnis
dan “sense of business” yang
15
dimilikinya. Bahkan, pihak pengadilan
tidak boleh ikut campur
mempertimbangkan sense of business
dari direksi
7. Dalam hal-hal dimana terdapat conflict
of interest, seorang direksi dilarang atau
setidak-tidaknya diawasi dan dibatasi
dalam menjalankan tugasnya
memberlakukan prinsip keterbukaan
informasi (disclosure) terhadap setiap
transaksi yang ada conflict of interest.
Prinsip fiduciary duty ini terdapat
pada Pasal 97 UU PT, yang menyatakan:
Ayat (1): Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Ayat
(2): Pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab. Ayat (3): setiap
anggota Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2). Ayat (5): anggota Direksi tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian, dan;
d. telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Berdasarkan Pasal 97 UU PT
tersebut, secara tegas mensyaratkan bahwa
direksi dapat dimintai pertanggungjawaban
atas kerugian dan kepailitan suatu
Perseroan Terbatas apabila direksi telah
terbukti melakukan kesalahan dalam
pengurusan perseroan. Namun apabila
direksi dengan itikad baik mengurus
perseroan terbatas dan terdapat kerugian
dan telah dipailitkan maka direksi tidak
bertanggungjawab atas segala kerugian dan
utang-utang yang timbul atas kepailitan
perseroan berdasarkan prinsip fiduciary
duty dan prinsip debt forgiveness.
Debt forgiveness adalah pranata
hukum yang dapat digunakan sebagai alat
untuk meringankan beban yang harus
ditanggung oleh Debitor karena sebagai
akibat kesulitan keuangan sehingga tidak
mampu melakukan pembayaran terhadap
utang-utangnya sesuai dengan kesepakatan
16
semula dan bahkan sampai pada
pengampunan (discharge) atas utang-
utangnya sehingga utang-utangnya tersebut
menjadi hapus sama sekali.
Ada tiga macam tanggung jawab
hukum yaitu tanggung jawab hukum dalam
arti accountability, responsibility dan
liability. Tanggung jawab dalam arti
accountability adalah tanggung jawab
hukum dalam kaitan dengan keuangan,
misalnya akuntan harus bertanggung jawab
atas hasil pembukuan, sedangkan
responsibility adalah tanggung jawab
dalam arti yang harus memikul beban.
Tanggung jawab dalam arti liability adalah
kewajiban menanggung atas kerugian yang
diderita. Pemberlakuan prinsip fiduciary
duty akan banyak bersentuhan dengan
prinsip pranata-pranata hukum lain,
sehingga berbagai pranata hukum tersebut
akan berlaku secara bersamaan. Di
samping itu, fungsi direksi sebenarnya
unik, dalam arti bahwa hubungan hukum
antara direksi dengan perseroannya dapat
dilihat dari berbagai segi dalam struktur
teori hukum. Misalnya dari segi aturan
hukum yang mengatur tanggung jawab
direksi terhadap pailitnya suatu perseroan
terbatas atas utang pajak yang masih belum
terbayarkan sesuai UU KUP dan PMK No.
68 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan.
Tanggung Jawab Direksi Atas
Kepailitan Perseroan Terbatas
a. Direksi Yang Telah Dipailitkan Yang
Bisa Dimintai Pertanggungjawaban
Atas Utang Pajak
Sebuah Perseroan memiliki organ
sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU PT,
Organ Perseroan adalah Rapat Umum
Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan
Komisaris. Wewenang ketiga Organ
Perseroan tersebut adalah berbeda, Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai
dengan Pasal 1 angka 4 UU PT, Rapat
Umum Pemegang Saham, yang
selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ
Perseroan yang mempunyai wewenang
yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar. Wewenang
Direksi adalah sesuai dengan Pasal 1 angka
5 UU PT, Direksi adalah Organ Perseroan
yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun
di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Yang terakhir adalah
17
wewenang Dewan Komisaris sesuai
dengan Pasal 1 angka 6 UU PT, Dewan
Komisaris adalah Organ Perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
Sesuai dengan wewenangnya maka
Direksi menjalankan pengurusan Persero
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Susunan Direksi Perseroan bisa terdiri dari
satu orang atau lebih, sehingga muncullah
Direksi. Sebagai pengurus Perseroan,
Direksi dapat mewakili Perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
Kewenangan itu dimiliki Direksi secara tak
terbatas dan tak bersyarat, selama tidak
bertentangan dengan undang-undang dan
Anggaran Dasarnya serta Keputusan
RUPS. Jika anggota Direksi terdiri lebih
dari satu orang, yang berwenang mewakili
Perseroan adalah setiap anggota Direksi,
kecuali Anggaran Dasarnya menentukan
lain misalnya Anggaran Dasar menentukan
bahwa hanya Direksi yang berwenang.
Sesuai Pasal 97 UU PT:
(1) Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua)
anggota Direksi atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berlaku secara tanggung
renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila dapat
membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
b.telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingandan
sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan
kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian; dan
18
d. telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang
saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak
suara dapat mengajukan gugatan
melalui pengadilan negeri terhadap
anggota Direksi yang karena
kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada
Perseroan.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tidak mengurangi hak
anggota Direksi lain dan/atau
anggota Dewan Komisaris untuk
mengajukan gugatan atas nama
Perseroan.
Dari pemaparan di atas jelaslah
bahwa UU PT menganut prinsip
distribution of power artinya kewenangan
organ Perseroan itu didistribusikan kepada
direksi, komisaris, dan RUPS. Dengan
demikian, apabila suatu kewenangan telah
dialokasikan kepada direksi atau
komisaris, maka RUPS menjadi tidak
berwenang terhadap hal itu. Namun
demikian, sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi menurut visi UU PT, kekuasaan
RUPS juga merupakan kekuasaan residu
(sisa), dalam arti apabila ada kekuasaan
yang tidak termasuk ke dalam kewenangan
direksi atau komisaris, dan tidak tegas pula
disebut kewenangan RUPS, maka
kekuasaan tersebut menjadi kewenangan
RUPS. Dengan demikian, terhadap
kekuasaan direksi dan komisaris, UU PT
menganut doktrin limitative power
(pembatasan kekuasaan), yang berarti pada
prinsipnya mereka hanya mempunyai
kewenangan sejauh yang diberikan oleh
undang-undang dan atau anggaran dasar,
sedang sisanya merupakan kewenangan
RUPS.
Pengertian pengurusan (manajemen)
perseroan pada prinsipnya berarti: (1)
mengerjakan segala sesuatu yang harus
dikerjakan demi tercapainya maksud dan
tujuan perseroan; (2) mengerjakan segala
sesuatu yang ditentukan dalam akta
pendirian atau anggaran dasar perseroan;
(3) mengerjakan segala sesuatu yang
diharuskan oleh hukum; dan (4)
melaksanakan kebijaksanaan perseroan
yang ditentukan oleh RUPS. Sedangkan,
menjalankan perwakilan berarti “mewakili
perseroan dalam segala tindakan”, baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
Berdasrkan Pasal 92 UU PT
menjelaslakan bahwa UU PT menganut
prinsip distribution of power artinya
kewenangan organ Perseroan itu
didistribusikan kepada direksi, komisaris,
19
dan RUPS. Dengan demikian, apabila
suatu kewenangan telah dialokasikan
kepada direksi atau komisaris, maka RUPS
menjadi tidak berwenang terhadap hal itu.
Namun demikian, sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi menurut visi UU PT,
kekuasaan RUPS juga merupakan
kekuasaan residu (sisa), dalam arti apabila
ada kekuasaan yang tidak termasuk ke
dalam kewenangan direksi atau komisaris,
dan tidak tegas pula disebut kewenangan
RUPS, maka kekuasaan tersebut menjadi
kewenangan RUPS. Dengan demikian,
terhadap kekuasaan direksi dan komisaris,
UU PT menganut doktrin limitative power
(pembatasan kekuasaan), yang berarti pada
prinsipnya mereka hanya mempunyai
kewenangan sejauh yang diberikan oleh
undang-undang dan atau anggaran dasar,
sedang sisanya merupakan kewenangan
RUPS.
Pengertian pengurusan (manajemen)
perseroan pada prinsipnya berarti: (1)
mengerjakan segala sesuatu yang harus
dikerjakan demi tercapainya maksud dan
tujuan perseroan; (2) mengerjakan segala
sesuatu yang ditentukan dalam akta
pendirian atau anggaran dasar perseroan;
(3) mengerjakan segala sesuatu yang
diharuskan oleh hukum; dan (4)
melaksanakan kebijaksanaan perseroan
yang ditentukan oleh RUPS. Sedangkan,
menjalankan perwakilan berarti “mewakili
perseroan dalam segala tindakan”, baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 92
UU PT menegaskan bahwa direksi
bertanggungjawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan
perseroan.
b. Direksi Perseroan Terbatas Yang Telah
Dipailitkan Yang Bisa Tidak Dimintai
Pertanggungjawaban Atas Utang Pajak
Pengurusan Perseroan biasanya
antara wewenang dan tanggung jawab
seorang Direksi harus mempunyai
tingkatan yang sama. Dengan demikian,
wewenang seorang Direksi memberikan
kepadanya kekuasaan untuk membuat serta
menjalankan keputusan-keputusan yang
berhubungan dengan bidang tugasnya yang
telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam
bidang tugasnya tersebut menimbulkan
kewajiban baginya untuk melaksanakan
tugas–tugas tersebut dengan jalan
menggunakan wewenang yang ada untuk
mencapai tujuan Perseroan16.
Sesuai Pasal 97 ayat (1) UU PT
menentukan bahwa Direksi bertanggung
jawab atas pengurusan Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
ayat (1). Pengurusan sebagaimana
16 Ridel S. Tumbel, Kajian Hukum Tanggung
Jawab Direksi Terhadap Kerugian Perusahaan
Perseroan (Persero), Jurnal Vol. II No. 1, 2014, h.
21.
20
dimaksud pada ayat (1), wajib
dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab (ayat (2)). Setiap anggota
Direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi atas kerugian Perseroan bila yang
bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)17. Kemudian ayat (4) mengatakan
bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2
(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Direksi. Ayat (5)
menyatakan bahwa anggota Direksi tidak
dapat dipertangungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
apabila dapat membuktikan :
1. Kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan;
3. Tidak mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian;
4. Telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
17 Ibid.
Ketentuan Pasal 97 ayat (5) tersebut
di atas, tidak mengurangi hak anggota
Direksi lain dan/atau anggota Dewan
Komisaris untuk mengajukan gugatan atas
nama Perseroan. Selanjutnya menurut
Pasal 97 ayat (6), atas nama Perseroan,
Pemegang Saham yang mewakili paling
sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Negeri
terhadap anggota Direksi yang karena
kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian Perseroan. Pasal 98 ayat (1) UU
PT mengatur bahwa Direksi mewakili PT
baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Ayat (2) mengatakan bahwa dalam hal
anggota Direksi terdiri lebih dari satu
orang, yang berwenang mewakili PT
adalah setiap anggota Direksi, kecuali
ditentukan lain dalam anggaran dasar. Ayat
(3) menyatakan bahwa kewenangan
Direksi mewakili PT adalah tidak terbatas
dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain
dalam UU, AD atau Keputusan RUPS.
Tanggung Jawab Direksi Atas Utang
Pajak Terhadap Kepailitan Perseroan
Terbatas
Pada prinsipnya, segala tindakan
direksi yang dilakukan secara sah, dalam
arti sesuai dengan kewenangannya, untuk
dan atas nama perseroan, bukan untuk
21
kepentingan pribadi, maka tindakan yang
demikian itu merupakan tindakan
perseroan. Oleh karena itu, segala
konsekuensi yuridis atas tindakan
perseroan itu, baik atau buruk, untung atau
rugi, akan dipikul sendiri oleh perseroan.
Dengan demikian, segala
pertanggungjawaban yang timbul dari
perbuatan tersebut hanya dapat dibebankan
kepada badan hukum (PT) itu sendiri,
terlepas dari (harta kekayaan) pribadi
orang yang melakukan perbuatan itu. Hal
ini sesuai dengan karakteristik PT yang
kedudukannya mandiri dan pertanggung-
jawabannya terbatas. Namun demikian,
ada yang mengatakan bahwa tidak selalu
tindakan direksi itu mengikat PT yang
bersangkutan. Dalam arti, sungguhpun hal
itu merupakan tindakan perseroan, dalam
beberapa hal (kasus) masih terbuka
kemungkinan bagi perseroan untuk
melepaskan tanggungjawabnya, dalam arti
yang harus bertanggungjawab atas
tindakan tersebut adalah pihak direksi
secara pribadi, bukan perseroan.
Studi ilmu hukum administrasi
Negara dikenal pula adanya pembagian
kekuasaan yang dibagi dalam dua fungsi
yaitu fungsi pembuatan kebijakan (policy
making function) dan fungsi pelaksanaan
kebijakan (policy executing function).
Semua pembagian kekuasaan ini tidak lain
bertujuan sebagai telah dikemukakan
dalam awal tulisan ini yaitu untuk
menghindari terjadinya kesewenang-
wenangan oleh penguasa. Maka dalam
istilah hukum itu pula sehingga kata
kekuasaan kemudian direduksi menjadi
kewenangan. Sebagaimana dikenalnya asas
dalam hukum tata Negara: tidak ada
kekuasaan tanpa kewenangan, dan tidak
ada kewenangan tanpa undang-undang
yang memberikannya.
Pasal 92 UU No 40 Tahun 2007.
1) Direksi menjalankan pengurusan
Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan.
2) Direksi berwenang menjalankan
pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan
kebijakan yang dipandang tepat,
dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar.
3) Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu)
orang anggota Direksi atau lebih.
4) Perseroan yang kegiatan usahanya
berkaitan dengan menghimpun
dan/atau mengelola dana masyarakat,
Perseroan yang menerbitkan surat
pengakuan utang kepada masyarakat,
atau Perseroan Terbuka wajib
22
mempunyai paling sedikit 2 (dua)
orang anggota Direksi.
5) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua)
anggota Direksi atau lebih,
pembagian tugas dan wewenang
pengurusan di antara anggota Direksi
ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
6) Dalam hal RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak
menetapkan, pembagian tugas dan
wewenang anggota Direksi
ditetapkan berdasarkan keputusan
Direksi.
Perseroan Terbatas dalam memenuhi
kebutuhan modal berupa dana segar dapat
melakukan perjanjian utang piutang
kepada pihak ketiga baik Bank, Lembaga
Pembiayaan, ataupun personal. Dalam
dunia usaha adalah lumrah seorang
supplier mengirim produknya dengan
pembayaran di belakang. Kegiatan
ekonomi seperti ini adalah umum dan biasa
dilakukan oleh Direksi dalam rangka
menjalankan tugas dan kewajibannya.
Kegiatan usaha yang dilakukan
Perseroan menjadi terganggu ketika utang
kepada mitra bisnis tidak dapat dibayarkan
pada saat jatuh tempo sehingga dipailitkan
oleh minim dua Kreditor. Perseroan yang
dipailitkan karena kondisi insolvensi tidak
mampu membayar utang, tidak
menyelesaikan masalah karena utang pajak
kepada negara adalah kontijen. Utang
pajak sesuai BW mempunyai hak
mendahulu atas pemenuhannya melampaui
hak Kreditor lainnya. Bagaimana Kurator
menyelesaikan kewajiban atas perseroan
yang dinyatakan pailit dengan kondisi
insolvensi, karena assetnya cukup untuk
menyelesaikan kewajiban terhadap utang
pajak kepada Negara.
Direktorat Jenderal Pajak, tidak
mengejar Kurator untuk penyelesaian
kewajiban pemenuhan utang pajak
Perseroan yang telah dipailitkan namun
mencari pertanggungjawaban dari Direksi.
Sesuai dengan UU KPKPU setelah putusan
pailit diputus maka Debitor tidak lagi
mempunyai hak atas assetnya, sebaliknya
menjadi tanggung jawab Kurator dalam
pengelolaannya. Direktorat Jenderal Pajak
mengikuti aturan perundang-undangan
perpajakan, bahwa orang yang
bertanggung jawab adalah yang
menandatangani SSP dan SPT Perseroan,
dalam hal ini adalah Direksi.
Pasal UU PT tidak tegas
menyebutkan tentang tanggung jawab atas
utang pajak bila Perseroan dipailitkan
dengan kondisi insolvensi, demikian pula
dalam KUP, tidak menyebutkan klausul
penanggungjawab utang pajak sebuah
Perseroan yang dipailitkan. Sesuai UU
23
KPKPU bahwa Peseroan yang dipailitkan
dalam kondisi insolvensi artinya sudah
tidak mempunyai lagi aset untuk
membayar kewajibannya. Dimana Direksi
dalam menjalankan tugasnya adalah atas
nama dan untuk Perseroan, namun dalam
hal utang pajak, hanya Direksi yang
menjadi subyek penagihan dari Direktorat
Jenderal Pajak. Artinya Direktorat Jenderal
Pajak menuntut pertanggungjawaban atas
persona seorang Direksi, dimana
seharusnya perseroanlah yang bertanggung
jawab.
Meskipun dapat memberi peluang
untuk terhindar dari tanggung jawab untuk
menghindar membayar pajak, tetapi sulit
direalisasikan karena penanggung pajak
ditemukan sesuai Pasal 1 ayat (3) PMK
No. 68 Tahun 2012. Direksi atas Perseroan
Terbatas yang dinyatakan pailit tetap
diminta pertanggungjawaban dalam
pembayaran utang pajak, karena direksi
mewakili PT. Ketentuan Pasal 21 UU KUP
dan PMK No. 68 Tahun 2012
membentengi terhindarnya penanggung
pajak atas tanggung jawab melakukan
pembayaran utang pajak. UU KUP
melengkapi pengaturan pada UU KPKPU
atas direksi suatu Perseroan Terbatas yang
dinyatakan pailit.
PT. PMS yang telah diputus pailit
dalam pelaksanaan pengurusan harta pailit
dilakukan oleh kurator. Kurator dalam
menjalankan tugasnya telah menyelesaikan
pembagian harta pailit milik PT. PMS
termasuk pembayaran atas utang pajak,
tetapi harta pailit yang dimiliki PT. PMS
ternyata tidak cukup karena Pengadilan
Niaga telah menetapkan keadaan
insolvensi terhadap PT. PMS sebagaimana
diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU
KPKPU, yang menyatakan: “jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (1) berakhir demi hukum pada saat
kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada
saat dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
ayat (1). Sehingga Debitor tidak dapat lagi
melunasi segala kekurangan pembayaran
atas utang pajak tersebut.
Pengertian Putusan Pailit Pengadilan
Niaga
Ketentuan tentang pengadilan niaga
diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU KPKPU,
yaitu: “Pengadilan adalah Pengadilan
Niaga dalam lingkungan peradilan umum’.
Dalam UU KPKPU terdapat suatu asas
yaitu asas integrasi yang mengandung
pengertian bahwa sistem hukum formil dan
hukum materiilnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.
UU KPKPU yang baru ini mempunyai
24
cakupan yang lebih luas baik dari segi
norma, ruang lingkup materi, maupun
proses penyelesaian utang-piutangnya.
Pada asasnya, putusan kepailitan
adalah serta merta dan dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun terhadap putusan
tersebut masih dilakukan suatu upaya
hukum lebih lanjut18. Akibat-akibat
putusan pailit berlaku mutatis mutandis
yaitu tetap berlaku walaupun sedang
ditempuh upaya hukum lebih
lanjut..Berdasarkani perspektif ketentuan
Pasal 8 ayat (7) UU KPKPU yang
menyatakan:
Putusan atas permohonan pernyataan
pailit sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) yang memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang
mendasari putusan tersebut harus
diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan suatu
upaya hukum.
Selain itu, ketentuan Pasal 16 ayat
(1) UU KPKPU yang menyatakan:
“Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali”.
Konklusi dasar ketentuan tersebut
diatas menunjukkan bahwa putusan
18 M. Hadi Shubhan, op.cit., h. 162.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga
mempunyai kekuataan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu. Pengaturan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu ini
hakikatnya berorientasi kepada lembaga
uitvoerbaar bij voorraad atau putusan
serta merta sebagaimana dikenal dalam
hukum acara perdata.
Putusan dalam kepailitan pada
prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu
(uit voerbaar bij vooraad) meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan suatu
upaya hukum. Filosofi yuridis ketentuan
ini adalah bahwa oleh karena perkara
kepailitan menggunakan proses
pembuktian sumir, maka putusan yang ada
juga dianggap mudah kemana arahnya di
samping bahwa asas beracara kepailitan
adalah cepat prosesnya19.
Berdasarkan putusan hakim tentang
kepailitan ada 3 hal yang esensial yaitu:20
1. Pernyataan bahwa si debitor pailit.
2. Pengangkatan seorang Hakim
Pengawas yang ditunjuk dari
Hakim Pengadilan
3. Kurator
Kurator yang didampingi oleh hakim
pengawas dapat langsung menjalankan
fungsinya untuk melakukan pengurusan
19 Ibid., hal. 162-163. 20 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa
Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, 2009,
Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, h. 103.
25
dan pemberesan pailit21. Sedangkan
apabila putusan pailit dibatalkan sebagai
akibat adanya upaya hukum tersebut,
segala perbuatan yang telah dilakukan oleh
kurator sebelum atau pada tanggal kurator
menerima pemberitahuan tentang putusan
pembatalan maka tetap sah dan mengikat
debitor22.
Hakekat Kekuatan Putusan Pengadilan
Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia,
sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK).
Pada dasarnya kamus bahasa
Indonesia dan kamus hukum memberikan
batasan pengertian tentang putusan adalah
hal yang didasarkan pada pengadilan. Atau
dengan kata lain putusan dapat berarti
pernyataan hakim di sidang pengadilan
yang bersifat pertimbangan menurut
kenyataan, pertimbangan hukum. Putusan
hakim ini biasa di sebut vonnis yakni
21 M. Hadi Shubhan, op.cit., h. 163. 22 Ibid.
kesimpulan-kesimpuan terakhir mengenai
hukum dan akibat-akibatnya. Mewujudkan
putusan hakim yang di dasarkan pada
kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan memang tidak mudah,
apalagi ketentuan keadilan, sebab konsep
keadilan dalam putusan hakim tidak
mudah mencari tolak ukurnya.
Adil bagi suatu pihak, belum tentu
dirasakan oleh pihak lain. Hal ini di
dasarkan pada hakekat keadilan sendiri.
Keinginan para pencari keadilan supaya
perkara yang di ajukan ke pengadilan dapat
diputus oleh hakim yang profesional dan
memiliki integritas moral yang tinggi
merupakan suatu yang harus diusahakan.
Dengan adanya sifat profesional dan moral
yang baik dapat melahirkan putusan-
putusan yang mengandung kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Kekuatan Putusan Pailit Pengadilan
Niaga Terhadap Tanggung Jawab
Membayar Utang Pajak
Pengadilan Niaga adalah lembaga
peradilan yang mengeluarkan putusan
pailit. Putusan sebuah peradilan adalah
berkekuatan hukum tetap. Putusan pailit
yang dikeluarkan oleh pengadilan Niaga
dalam penerapannya tidak harmonis
dengan peraturan perundan-undangan yang
lainnya. Sebagai contoh adalah atas
26
Putusan Pailit Pengadilan Niaga terhadap
utang pajak yang dalam penerapannya
tidak sesuai dengan BW, UU KUP dan
PMK No. 68 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan.
Berdasarkan Putusan Pailit, telah
memutuskan bahwa Debitor dalam hal ini
Perseroan Terbatas telah dinyatakan pailit.
Debitor telah membayar biaya perkara dan
fee kurator dalam mengurus kepailitan
Debitor termasuk membayar sebagian
utang pajak. Namun, masih terdapat
kekurangan pembayaran utang pajak yang
tidak dapat dibayar oleh Debitor
dikarenakan boedel pailit Debitor
(Perseroan Terbatas) tidak cukup untuk
melunasi utang pajak seluruhnya termasuk
utang para Kreditor lainnya. Akan tetapi,
dengan adanya Putusan Pailit Pengadilan
Niaga tersebut pada penerapannya Debitor
masih ditagih atas utang pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hingga ke
harta pribadi Debitor dalam hal ini direksi
Perseroan Terbatas tersebut. DJP
menggunakan aturan pada BW, UU KUP
dan PMK No. 68 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan untuk
menagih utang pajak kepada Debitor.
Pasal 1137 BW, menyatakan:
Hak didahulukan milik negara,
kantor lelang dan badan umum lain
yang diadakan oleh penguasa, tata
tertib pelaksanaannya, dan lama
jangka waktunya, diatur dalam
berbagai undang-undang khusus
yang berhubungan dengan hal-hal
itu. Hak didahulukan milik
persekutuan atau badan
kemasyarakatan yang berhak atau
yang kemudian mendapat hak untuk
memungut bea-bea, diatur dalam
undang-undang yang telah ada
mengenai hal itu atau yang akan
diadakan.
Pasal 21 UU KUP, menyatakan:
(1) Negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak
atas barang-barang milik
Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak
mendahulu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi
pokok pajak, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikan,
dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang
pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a. biaya perkara yang hanya
disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk
melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang
tidak bergerak;
b. biaya yang telah
dikeluarkan untuk
menyelamatkan barang
dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya
disebabkan oleh pelelangan
dan penyelesaian suatu
warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak
dinyatakan pailit, bubar, atau
dilikuidasi maka kurator,
likuidator, atau orang atau badan
yang ditugasi untuk melakukan
27
pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak
dalam pailit, pembubaran atau
likuidasi kepada pemegang
saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta
tersebut untuk membayar utang
pajak Wajib Pajak tersebut.
Pasal 1 ayat (3) PMK No. 68 Tahun
2012 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya
Penghapusan, menyatakan:
Piutang pajak yang dapat dihapuskan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Wajib Pajak badan adalah
piutang pajak yang tidak dapat
ditagih lagi karena:
a. Wajib Pajak bubar, likuidasi,
atau pailit dan Penanggung
Pajak tidak dapat ditemukan;
b. hak untuk melakukan penagihan
pajak sudah daluwarsa;
c. dokumen sebagai dasar
penagihan pajak tidak ditemukan
dan telah dilakukan penelusuran
secara optimal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan
di bidang perpajakan; atau
d. hak negara untuk melakukan
penagihan pajak tidak dapat
dilaksanakan karena kondisi
tertentu sehubungan dengan
adanya perubahan kebijakan
dan/atau berdasarkan
pertimbangan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan beberapa peraturan
tersebut perlakuan utang pajak Debitor
yang telah dinyatakan pailit tetap
berlangsung sampai utang pajak tersebut
dapat dilunasi oleh Debitor. Hal inilah
yang menyebabkan ketidakharmonisan
penerapan Putusan Pailit Pengadilan Niaga
dengan peraturan perundang-undangan
dengan yaitu BW, UU KUP, dan PMK No.
68 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan.
Dampak hukum putusan pailit
terhadap Debitor dan Kreditor adalah
sebagai berikut, Debitor kehilangan
haknya dalam mengelola asetnya, karena
dikelola oleh Kurator, bagi Kreditor urutan
pembagian pro rata parte sesuai dengan
kedudukannya baik sebagai Kreditor
Konkuren, Kreditor Preference atau
Kreditor Privilidge. Ada pengecualian atas
semua Kreditor yaitu utang pajak,
walaupun telah dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga, putusan ini tidak
mempunyai daya ikat. Direktorat Jenderal
Pajak tetap menuntut tanggung jawab dari
Direksi yang menandatangani SSP dan
SPT Perseroan.
Perlu diingat bahwa dalam Pasal 23
UU KPKPU bahwa Debitor pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
22 UU KPKPU juga meliputi istri atau
suami dari Debitor pailit yang menikah
dalam persatuan harta. Sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan maka
debitor demi hukum kehilangan haknya
untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta
28
pailit sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UU
KPKPU sedangkan tanggal putusan
sebagaimana dimaksud tersebut dihitung
sejak pukul 00.00 waktu setempat sesuai
dengan Pasal 24 ayat (2) UU KPKPU,
apabila sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan telah dilaksanakan transfer dana
melalui bank atau lembaga selain bank
pada tanggal putusan sebagaimana
dimaksud transfer tersebut wajib
diteruskan dan dalam hal sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan telah
dilaksanakan transaksi efek di Bursa Efek
maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.
Sebuah perusahaan dinyatakan pailit
atau bangkrut harus melalui putusan
pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan
itu, berarti perusahaan menghentikan
segala aktivitasnya dan dengan demikian
tidak lagi dapat mengadakan transaksi
dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi.
Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah
melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu
menagih piutang, menghitung seluruh asset
perusahaan, kemudian menjualnya untuk
seterusnya dijadikan pembayaran utang-
utang perusahaan23.
Setelah adanya putusan pernyataan
pailit maka semua perikatan debitor yang
23 Ardy Billy Lumowa, Tanggung Jawab
Perusahaan Yang Dinyataklan Pailit Terhadap
pihak ketiga, Jurnal Lex Privatum,
Vol.1/No.3/Juli/2013, h. 19.
terbit sesudahnya tidak dapat lagi dibayar
dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit. Tuntutan
mengenai hak atau kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan
oleh atau terhadap kurator, dalam hal
tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan
oleh atau terhadap Debitor pailit maka
apabila tuntutan tersebut mengakibatkan
suatu penghukuman terhadap Debitor
pailit, penghukuman tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap harta
pailit.
Berdasarkan sistem perseroan di
negara Indonesia menganut sistem
separate legal entity dan limited liability.
Hal ini akan berakibat ketika terjadi
kerugian terhadap perseroan, baik
pengurus maupun pendiri tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban hanya dapat
dimintakan dari harta pribadi Perseroan
bukan harta pribadi pengurus atau pendiri.
Kekayaan Perseroan terpisah dari para
pendirinya dan para pengurusnya, yaitu
para pemegang saham, Direksi dan
Komisaris. Oleh karena itu, pemegang
saham, Direksi maupun Komisaris tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban
apabila tidak terbukti pailitnya perseroan
tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaian pemegang saham, Direksi dan
29
Komisaris, sehingga harta perseroan tidak
cukup untuk membayar segala utang-
utangnya kepada negara dan Kreditor.
Selanjutnya Pasal 1132 BW
menambahkan mengenai barang-barang
Debitor menjadi jaminan bersama bagi
semua Kreditor terhadapnya hasil
penjualan barang-barang itu dibagi
menurut perbandingan piutang masing-
masing kecuali bila di antara para Kreditor
itu ada alasan-alasan sah untuk
didahulukan dalam hal ini utang pajak.
Setelah Debitor dinyatakan pailit, Pasal
1132 BW kekayaan Debitor menjadi
jaminan bersama para Kreditornya dan
kekayaan Debitor harus dibagikan kepada
para Kreditornya secara proporsional
kecuali ada alasan dari Kreditor untuk
didahulukan (asas pari passu prorata
parte). Maksud dari alasan yang
didahulukan adalah apabila ada Kreditor
yang memegang hak istimewa harus
didahulukan pelunasannya. Apabila
terdapat sisa dari penjualan barang yang
dibebani hak istimewa tersebut, akan
dikembalikan kepada kurator untuk
kemudian dibagi-bagikan kepada Kreditor
yang lainnya.
Pelunasan atas semua utang
perseroan diambil dari hasil penjualan aset
perseroan. Harta pribadi pemegang saham,
Direksi maupun Komisaris tidak dapat
dimintakan untuk melunasi utang
perseroan apabila hasil penjualan harta
perseroan tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan. Hal ini terjadi karena
penerapan prinsip limited liability dan
separate entity pada sistem perseroan di
Indonesia seperti yang telah dijelaskan di
atas dan Pasal 1131 BW yang telah
menjelaskan bahwa kekayaan Debitor
(perseroan) menjadi jaminan atas perikatan
yang dilakukannya. Namun, berdasarkan
Pasal 3 ayat (2) UU PT menyebutkan
bahwa ketentuan separate legal entity dan
limited liability tidak berlaku apabila
terdapat kesalahan dan kelalaian yang
dilakukan oleh pemegang saham, Direksi
dan/atau Komisaris (piercing the corporate
viel). Piercing the corporate viel akan
menghapus tanggung jawab terbatas dari
pengurus dan pendiri Perseroan.
Piercing the corporate viel
merupakan suatu doktrin atau teori yang
diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain, atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh suatu
perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa
melihat kepada fakta bahwa perbuatan
tersebut sebenarnya dilakukan oleh
perseroan pelaku tersebut24.
24 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam
Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum
30
Piercing the corporate viel tidak dengan
mudah diterapkan oleh pengadilan karena
limited liability yang dimiliki perseroan
amat kuat dan tidak dapat begitu saja
dikesampingkan. Penerapan percing the
corporate viel oleh pengadilan dilakukan
dengan memperhatikan substansi atau
kenyataan praktis pada bentuk formal dari
perseroan tersebut seperti pada PT. PMS,
dimana pailitnya perseroan tersebut
bukanlah kesalahan dari Direksi melainkan
karena penipuan Surat Setoran Pajak (SSP)
fiktif oleh oknum pegawai konsultan pajak
yang digunakan oleh perseroan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Direksi PT sesuai dengan Pasal 1 angka
5 UU PT adalah wakil dari PT, apabila
PT dipailitkan maka direksi yang
mewakili. UU KUP mengenal istilah
penanggung pajak; karena direksi
adalah wakil PT otomatis direksi adalah
yang bertanggung jawab atas utang
pajak. Penghapusan utang pajak badan
yang dipailitkan dapat dihapuskan
dengan memenuhi syarat Wajib Pajak
bubar, likuidasi, atau pailit dan
Indonesia, Cetakan Kedua, 2010, Bandung, Citra
Aditya Bakti, h. 7.
Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan. Direksi (penanggung pajak)
PT yang telah dipailitkan dan diketahui
keberadaannya bertanggung jawab atas
utang pajak. Ketentuan Pasal 21 UU
KUP dan PMK No. 68 Tahun 2012
membentengi terhindarnya penanggung
pajak atas tanggung jawab melakukan
pembayaran utang pajak. UU KUP
melengkapi pengaturan pada UU
KPKPU atas direksi Perseroan Terbatas
yang dinyatakan pailit.
2. Putusan pailit Pengadilan Niaga tidak
mempunyai kekuatan terhadap
tanggung jawab pembayaran utang
pajak dari Perseroan Tebatas yang
dinyatakan pailit. Putusan pailit
Pengadilan Niaga menghentikan roda
kegiatan usaha perusahaan tetapi tidak
termasuk penghentian penagihan atas
utang pajak yang belum terbayar. DJP
tetap mengejar tanggung jawab diireksi
PT yang dinyatakan pailit dengan
berlandaskan pada Pasal 1137 BW;
Pasal 21 UU No. 28 Tahun 2007; Pasal
1 ayat (3) PMK No. 68 Tahun 2012.
yang berbunyi Wajib Pajak bubar,
likuidasi, atau pailit dan Penanggung
Pajak tidak dapat ditemukan.
31
Saran
Berdasarkan pembahasan dan
kesimpulan yang telah diuraikan di atas,
maka penulis memiliki beberapa saran
sebagai berikut :
1. Hakim Pengadilan Niaga dalam
memutus perkara kepailitan dapat
lebih mempertimbangkan dan
melihat keadaan Debitor yang
dinyatakan pailit berdasarkan kasus
per kasusnya dalam hal terdapat
utang pajak yang tidak terbayar
sehingga dapat memberikan rasa
keadilan bagi Debitor karena pada
dasarnya tidak semua Debitor
melakukan kesalahan yang
menyebabkan Perseroan Terbatas
menjadi pailit.
2. Pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak, serta pihak-pihak
yang terkait lebih bijaksana dalam
menyusun peraturan perundang-
undangan perpajakan khususnya
penerapan hak penagihan atas utang
pajak pada Debitor suatu Perseroan
Terbatas yang telah dinyatakan pailit
yang masih memiliki utang pajak.
Pemerintah secara bijaksana dan
detail membedakan Debitor
insolvensi dan yang tidak dalam
penerapan penagihan utang pajak
demi rasa keadilan bagi Debitor.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan perundang-undangan
Undang–Undang Dasar Republik
Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Wetboek van Koophandel voor
Indonesie S.1847-23).
Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
───────, Undang-undang Nomor 19
tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
───────, Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
───────, Undang-undang Nomor 28
tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
───────, Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
───────, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
32
───────, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 68 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan.
Buku
Abdul, R.Saliman, Hermansyah, Ahmad
Jalis, 2007, Hukum Bisnis untuk
Perusahaan : Teori dan Contoh
Kasus, Jakarta : Prenada Media.
Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta : Rieneka Cipta.
Black, Henry Campbell, Black’s Law
Dictionary, Centennial Sixth Edition,
St. Paul, 1990, Minn: West
Publishing co.
Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan
Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, 2002, Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Fuady, Munir, Doktrin Doktrin Modern
Dalam Corporate Law, 2002,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara
Perdata, 2010, Jakarta : Sinar
Grafila.
───────, Hukum Perseroan, Cetakan
Ketiga, Edisi Ketujuh, 2011, Jakarta
: Sinar Grafika.
Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa
Kepailitan di Indonesia Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga dan
Lembaga Arbitrase, 2009, Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup.
Jono, Hukum Kepailitan, 2008, Jakarta :
Sinar Grafika.
Mardiasmo, Perpajakan, 2008,Yogyakarta
: CV Andi Offiset.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian
Hukum. 2005, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggung-
jawaban Pidana Korporasi, 2010,
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja,
Pedoman Menangani Perkara
Kepailitan, 2003, Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, 2006,
Bandung : Alumni.
Simatupang, R.B, Aspek Hukum Dalam
Bisnis, Edisi Revisi, 2003, Jakarta :
Rineka Cipta.
Subhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan,
Prinsip, Norma dan Praktik di
Pengadilan, 2008, Jakarta : Kencana.
Syamsudin, M, Operasional Penelitian
Hukum, 2007, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
33
Utomo.Ibrahim, Johnny, Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, 2006, Malang : Bayumedia
Publishing.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri
Hukum Hukum Bisnis: Perseroan
Terbatas, 2000, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Jurnal
Anisah, Siti, “Studi Komparasi Terhadap
Perlindungan Kepentingan Kreditor
dan Debitor dalam Hukum
Kepailitan”,2009, Jurnal Hukum No.
Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009.
Badrulzaman, et all, Kompilasi Hukum
Perikatan: Dalam Rangka
Memperingati Memasuki Masa
Purna Bakti Usia 70 Tahun.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Dalam
Wan Juli, Joko Nur Sariono, “Hak
Dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam
Penyelesaian Sengketa Perpajakan
Di Pengadilan Pajak”, Jurnal
Perspektif Volume XIX No.3 Tahun
2014 Edisi September.
Halim, Reynold Martinus, Badriyah Rifai,
Anwar Borahima, 2012,
“Pelaksanaan Pembayaran Utang
Kreditur Preferen Dalam Kasus
Kepailitan”.
Isfardiyana, Siti Hapsah, “Tanggung Jawab
Organ Perseroan Terbatas Dalam
Kasus Kepailitan”, 2014, Jurnal
Arena Hukum Volume 7, Nomor 2,
agustus 2014.
Lumowa, Ardy Billy, 2013, Tanggung
Jawab Perusahaan Yang
Dinyataklan Pailit Terhadap pihak
ketiga, Jurnal Lex Privatum,
Vol.1/No.3/Juli/2013.
Marshayrul, Toni, Penelitian Haryo
Sulistiriyanto, 2001.
Pratama, Bambang, “Kepailitan dalam
Putusan Hakim ditinjau dari
Perspektif Hukum Formil dan
Materil”, 2014.
Rokhim, Abdul, “Wewenang Direksi Dan
Akibat Hukumnya Bagi Perseroan
Terbatas”, Jurnal Al-Buhuts, ISSN:
1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1,
September 2001, Lembaga Penelitian
Universitas Islam Malang.
Tumbel, Ridel S, Kajian Hukum Tanggung
Jawab Direksi Terhadap Kerugian
Perusahaan Perseroan (Persero),
Jurnal Vol. II No. 1, 2014.
Tumbuan, Fred BG, “Pokok-Pokok
Undang-Undang Tentang Kepailitan
Sebagaimana Diubah Oleh Pepru No.
1 Tahun 1998”, Makalah
disampaikan dalam lokakarya UU
34
Kepailitan, Jakarta 3-14 Agustus
1998.
Widipradnyana Arjaya, B.G.M,
“Wewenang Kejaksaan Sebagai
Pemohon Pailit Untuk Kepentingan
Negara Terhadap Utang Pajak
Subyek Hukum Dari Negara
Anggota ASEAN Non-Indonesia
Pasca Berlakunya AEC”, Jurnal
Rechts Vinding, ISSN 2089-9009,
Volume 3 Nomor2, Agustus 2014.
Makalah/Paper/Orasi
Ardytia, Wisnu, 2009, Perlindungan
Hukum Kreditor Dalam Kepailita
(Studi Kasus Terhadap Peninjauan
Kembali GEG. NO. 07 PK/N/2004),
Tesis, Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro, Semarang.
Aruan, Albert Richi, 2010, Kedudukan
Negara Atas Utang Pajak PT. Artika
Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan.
Kurniawan, 2007, Pemberesan Harta
Pailit Pada Perusahaan Perorangan
(Studi Kasus Pada PT. Sierad
Produce Tbk), Tesis, Program
Pascasarjana, Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, Semarang.
Nurdin, Andriani, 2012, Kepailitan BUMN
Persero Berdasarkan Asas Kepastian
Hukum, PT. Alumni, Bandung.
Setiarso, Adi Nugroho, 2013, "Analisis
Yuridis Terhadap Keadaan
Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi
Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-
undang No 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang)".
Tyassari, Yudaning, 2008, Akibat Hukum
Putusan Pailit Pada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) PT.
Dirgantara Indonesia (Persero),
Tesis, Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro, Semarang.