“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI KORUPTOR DALAM UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 JUNTO
UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH :
MUHAMMAD RIZKY FARAY
(1112045100002)
KONSENTRASI HUKUM KEPIDANAAN ISLAM
PRODI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016
ABSTRAK
Muhammad Muhammad Rizky Faray. NIM 1112045100002. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI KORUPTOR DALAM UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 JUNTO UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2001 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi + 99 halaman.
Pada penelitian ini penulis melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan hal-hal yang diperlukan, yang berkaitan dengan sanksi bagi koruptor. Penulis melakukan penelitian dengan berbagai sumber buku-buku referensi mengenai sanski bagi koruptor baik di dalam Hukum Positif maupun di dalam Hukum Islam. Fokus penulis pada pembahasan skripsi ini sebatas Sanski bagi Koruptor dalam Undang-undang dan Hukum Pidana Islam.
Metode yang dipergunakan adalah metode kualitatfif, adapun jenis penelitiannya yaitu penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian dilakukan dengan cara penulis mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema. Setelah itu penulis menganalisis dari perbandingan hukum dalam perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam dengan mencari status hukum antara keduanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi bagi koruptor dalam Undang-undang Tipikor pelakunya bisa di jerat dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hukum Pidana Islam pun secara tegas melarang perbuatan korupsi, dan pelakunya bisa di jerat dengan hukuman takzir .
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana Bagi Koruptor, dalam UU Tipikor, Prespektif Hukum Pidana Islam.
Pembimbing 1 : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Pembimbing 2 : Dr. Alfitra, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d Tahun 2014
iv
PERSEMBAHAN
Kedua orang tuaku tercinta yang telah membuka jalan bagiku
sehingga aku bisa merasakan manisnya secicip ilmu
Keluarga Almarhum Bapak H. Abdul Chalik bin Faray dan keluarga Bapak Ecep Muhidin
kedua dosen pembimbing
Bapak Dr.H.M Nurul Irfan, M.Ag, dan Bapak Alfitra, SH., M.H
yang telah memberikan kesempatan seluas – luasnya
kepadaku untuk merasakan manisnya ilmu
v
KATA PENGANTAR
Asalamualaikum. Wr.Wb
Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT
yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan
kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Alhamdulillah, atas
rahmat dan karunia Mu, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Selesainya penelitian yang menjadi
interst penulis dalam skripsi ini merupakan hasl dari bantuan berbagai pihak baik
langsung maupun tidak langsung yang meliputi penyediaan bahan penelitian, konsep
penelitian, pemberian pengarahan, kritik dan saran, di warnai dengan penuh ujian,
emosi dan lain sebagainya sehingga terwududlah hasil penelitian walaupun hanya
terdiri dari beberapa lembar saja. Oleh karenanya penulis haturkan terima kasih
kepada :
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayattullah Jakarta, Bapak DR. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA
2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr.H.M Nurul Irfan, MA dan
Sekertaris program studi Bapak Nur Rohim Yunus, LLM atas kesabaran dan
waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.
3. Kepada para dosen pembimbing skripsi, Dr.H.M Nurul Irfan, M.Ag dan Bapak
Alfitra, SH., M.H, yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang
luar biasa bagi proses skripsi ini.
4. Kepada para dosen UIN Fakultas yariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu,
motivasi, tenaga, dan waktu yang luar biasa bagi penulis selama ini.
5. Kepada para pegawai perpustakaan utama UIN Syarif hidayatullah dan
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu penulis mencari
buku dalam pembuatan skripsi ini.
6. Kepada para pegawai dan staf – staf Fakultas Syariah dan hukum yang telah
menyemangati dan membantu untuk menyempurnakan kelengkapan dokumen –
dokumen skripsi ini.
vi
7. Kepada Ayahanda Saad Faray, SE.,MM dan Ibunda Nur Azizah sebagai kedua
orang tua yang selalu sabar, tanpa emosi menekankan mengenai pentingnya
pendidikan dan menghargai ilmu, segala pengertian, kasih sayang, do’a dan
pengorbanan yang tiada hentinya yang tidak pernah putus juga telah memberikan
kepercayaan besar bagi Anakmu (penulis)
8. Keluarga besar, Bapak Almarhum H. Abdul Chalik bin Faray serta keluarga besar
Bapak Ecep Muhiddin atas segala pengertian, kasih sayang, motivasi,
meluangkan waktu untu memberikan saran – saran dan dorongan kepada penulis
untuk terus berjuang.
9. Kepada seluruh keluarga kakek nenek Om dan bibiku tercinta, Ibu Hamamah,
Ibu Siti Nuriyah, Bapak Ecep Muhiddin, Tante Barkah, Bapak Dadi, Tante Nurul
atas segala keasabaran, ketulusan, pengorbanan yang selalu tercurah untuk
penulis, setiap semangat dan dorongan moril dan spritual yang membuatku lebih
mengerti hidup.
10. Kepada saudara-saudara tersayangku, Muhammad Naufal, Muhammad Nur
Fadilah, Muhammad Farhan, Yolanda Anisa, Farah Amanda, Andikha,
Muhammad Alfarezel atas segala warna – warni suasana yang berbeda setiap
harinya yang selalu membuatku semangat untuk terus berjuang menuju
kesuksesan.
11. Kepada keluarga besar Ponpes Alhamidiyah terutama Abuya KH.Zainuddin
Ma’sum Ali, KH.Asri Azhari, KH.Ahmad Mahfudz Anwar, Ustad Ridwan, Ustad
Muhaidi dan seluruh para guru-guru semua yang selalu mendoakanku dan
memberi semangat demi meraih masa depan yang sukses.
12. Kepada seluruh pengurus Majelis Burdah Nabawi khususnya kepada pembina
majelis ,guru pembimbing jasad dan ruhku Al- Alamah Al-Habib Hafidz Bin
Farid Al-Aydrus yang selalu membimbing dan mendoakanku sampai
terselesaikan skripsi ini.
13. Kepada seluruh teman – teman kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta senior
maupun Junior, khususnya teman – teman sekelas dan seperjuangan baik program
studi SS maupun PI, Afiq Zaky Lubis, Munawaroh Halimah, Brinna Listyani,
Sevi Syopia, Deni Kurniawati, Nidhaul Hasanah, Imas Maesaroh, Muhammad
Faruq, Ahmad Baihaqi, Maruli, Sholihun, Harist Aditia, Shihabudin dan teman
yang lainnya.
vii
14. Kepada teman – teman KKN UIN Ahmad Sanjaya, Afiq Zaky Lubis, Aditia
Wahyu, Siti Mika, Briza Alma, Bukrota Safaril Ibadah, dan teman – teman KKN
yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
15. Kepada seluruh teman – teman di Pesantren Alhamidiyah terutama Muhammad
Fathinuddin S.Sy, Risnu Reza Bintang, Muhammad Martin, Muhammad
Ramdhani, Muhammad zaky, Genta, Gilang, Muhammad Abrar, Faris Jamal,
Nurtri Purwanto, Nur Fadilah Rais, Fikri Fadilah, Aditia Ramadhan, Arief
Baharsyah, Randi
Somoga apa yang penulis cita – citakan terkabul dan tercapai Amiin.
Demikianlah Ucapan Terima Kasih dari penulis dan penulis berharap semoga
segala kebaikan yang diberikan untuk penulis mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Penulis juga berharap, semoga skripsi ini brmanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi
inspirasi bagi generasi berikutnya.
Waalaikumsalam wr wb.
Jakarta, 25 Mei 2016 M
1437 H
PENULIS
viii
DAFTAR ISI
COVER DEPAN
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................i
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………….ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................iii
ABSTRAK ...................................................................................................................v
PERSEMBAHAN .......................................................................................................vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................viii
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................................11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................11
D. Metode Penelitian ............................................................................................12
E. Sistematika Penulisan ......................................................................................14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Korupsi..........................................................................................16
B. Macam-Macam Korupsi..................................................................................21
C. Sanksi Bagi Pelaku Korupsi dalam Undang-undang N0.31 tahun 1999 dan
Undang-undang N0.20 tahun 2001.......................................................................28
D. Perbandingan antara Korupsi dan Mencuri…………………………………35
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM ISLAM
A. Ghulul ............................................................................................................ 45
B. Khianat ........................................................................................................... 50
C. Risywah........................................................................................................... 52
D. Merampok……………………………………………………………………58
ix
E. Al-Maksu dan Al-Ihtihab…………………………………………………….62
BAB IV : SANKSI HUKUM PELAKU PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Perbandingan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif Mengenai
Sanksi Tindak Pidana Korupsi……………………………………………………….72
B. Analisis Penulis………………………………………………………………90
Bab V : Penutup
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 93
B. Saran ............................................................................................................... 94
Daftar Pustaka
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak jauh berbeda dengan era-era pemerintahan sebelumnya bahwa kini
pun korupsi tetap menjadi jawara dalam rangka target pemberantasan. Ini
menandakan bahwa pemerintah selalu tidak berdaya dalam menangani kejahatan
yang satu ini. Dahulu, orang berkorupsi karena dilandasi alasan tuntutan dari
kondisi ekonomi yang memaksanya untuk memperoleh harta berlebih demi
kelangsungan kebutuhan hidup. Namun kini, perspektif tersebut telah meleset
jauh berbeda, koruptor yang sekarang lebih bermartabat dan memiliki kedudukan
yang tidak sembarangan. Mereka bergaya perlente dengan setelan jas berdasi,
yang secara istilah dikatakan dengan White Collar Crime. Pemimpin dan
kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam
pandangan ajaran Islam. Baik buruknya masyarakat sangat ditentukan oleh
perilaku para pemimpinya, begitu pula sebaliknya keadaan pemimpin sangat
ditentukan pula oleh masyarakatnya.1
Perilaku korupsi akan menyebabkan munculnya kemiskinan dan
kehancuran suatu bangsa, perilaku korupsi yang ditunjukan oleh para elit dan para
pemimpin pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap
amanah dan kepercayaan yang telah diberikan. Memang bukan hal mudah untuk
memberantas penyakit korupsi di negeri ini. Untuk dapat melakukan hal ini
1 Abi Hasan Ali Ibn Muhammad Habib Al-Basri Al-Bagdadi Al-Mawardi, Al- Ahkam al-
Sulthaniyah, (Beirut: Darul Fikr, 1960, Cet. Pertama), hlm. 5.
2
dibutuhkan komitmen yang kuat dan kerja keras dari seluruh komponen bangsa.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa mentalitas para pejabat negara di negeri-negeri
yang penduduknya lebih banyak muslim, termasuk Indonesia, berada dalam
kondisi memprihatinkan praktik-praktik korupsi, kolusi, risywah (suap), penipuan
dan praktik sejenis lainnya berkembang luas bagai jamur yang tumbuh dimusim
hujan. Ternyata aktor yang paling dominan dalam praktik tersebut adalah para
penguasa dan pejabat negara yang merata dari pusat kekuasaan sampai tingkat
paling rendah.
Pejabat negara yang seharusnya bertugas melayani, mengayomi,
melindungi dan mensejahterakan rakyat serta menjadi figur teladan bagi mereka
justru memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi serta mengabaikan
rakyat. Mereka menumpuk harta kekayaan dengan menyalahgunakan fasilitas
jabatan serta menghambur-hamburkan aset kekayaan negara untuk kepentingan
pribadi dan partai. Hal ini menyebabkan konflik dan kasenjangan yang besar
antara pelayan rakyat (pejabat negara) dengan rakyat itu sendiri serta turunnya
kredibilitas pejabat negara dimata rakyat, akibatnya terjadi penyimpangan di
kalangan pejabat menjadi biasa. Ironisnya hal ini terjadi di negeri muslim yang
mayoritas umat Islam juga hal ini karena kurangnya ketaqwaan dan pemahaman
Islam pada individu pejabat tersebut serta sistem hukum yang diterapkan justru
kondusif bagi pejabat untuk melakukan hal terlarang tersebut .2
Pembentukan Komisi Penyelidik Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) oleh pemerintah bertujuan mengaudit kekayaan pejabat negara
2 Dede Sulaeman, Pengaturan harta pejabat dalam negara Islam, (November 2001), Al
Wa’ie. No.15 Tahun II, 1-30 hlm. 5.
3
tampaknya hanya akan menjadi kosmetik politik pemerintah saja, terutama dalam
upaya mengukuhkan pemerintah bersih dari KKN. Pada faktanya, meskipun
didukung oleh personal yang mempunyai ‘itikad yang baik untuk membersihkan
pejabat negara dari praktik-praktik KKN, mereka dihadang oleh kekuatan
birokrasi yang melindungi pejabat tersebut lolos tidak terlindungi paling tidak
akan diberikan hukuman yang sangat ringan atau justru dibebaskan dari jaminan
dan yang lainnya. Disini kita lihat para penegak hukum pun bisa dibeli dengan
uang. Begitulah sistem kapitalisme yang siap mengkondisikan siapa saja yang
bergabung didalamnya untuk melanggar hukum syariat. 3
Sejak tahun 1997 Negara Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi
yang disusul dengan krisis moneter. Kemudian disadari bahwa Negara Republik
Indonesia mengalami krisis multi dimensi sebagaimana dimuat dalam
pertimbangan ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999. Krisis mencakup,
antara lain krisis hukum, krisis integrasi bangsa, krisis mental termasuk krisis
kejujuran. Reformasi yang menumbangkan pemerintahan Soeharto (orde baru)
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pemberatasan KKN telah berlangsung sejak
tahun 1960 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960,
kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 dan
terakhir disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 namun
sampai saat ini belum berhasil dengan baik.4 Terakhir di revisi dengan Undang
3 Agus Suryana, Kapitalisme Menciptakan Pejabat Bejat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)
hlm. 6. 4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Djambatan , 2001), hlm. 11.
4
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.5
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau
dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak
langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan
penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi
sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda
perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.6
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang
lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang
ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan
masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta
dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan
ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur.
5 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hlm.1. 6 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,
Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, ( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 1, 2.
5
Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada
memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan
yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi
negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, dan sebagainya, yang
merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk ditanggulangi. Sulitnya
penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya
terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung
oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat
merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara
terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa
kepercayaan atas hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara.
Perasaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat
dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim
sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan
mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan
perundang-undangan, dan juga para penegak hukum di Indonesia.7
Berbagai tindakan yang tergolong korupsi ini diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Secara umum peraturan perundang-undangan ini
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dalam KUHP dan di
luar KUHP. Tindak pidana yang diatur dalam KUHP meliputi tindak pidana suap,
tindak pidana penggelapan, tindak pidana pemerasan, dan tindak pidana
berkenaan dengan pemborongan atau rekanan, tindak pidana berkenaan dengan
7 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 1, 2.
6
peradilan, tindak pidana melampaui batas kekuasaan, dan tindak pidana
pemberatan saksi. Hal-hal tersebut termuat dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 288,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 424, dan 435. Sementara itu, tindak pidana
korupsi di luar KUHP tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi adalah UU Nomor 31 tahun 1999, dan UU Nomor 20 tahun 2001.8 Tindak
pidana korupsi dalam UU Nomor 31 tahun 1999 meliputi tindak pidana berikut.
Pertama,tindak pidana korupsi yang bersifat umum. Dalam pasal 2 ayat (1) setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00( satu miliar rupiah).9
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social
(penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan
lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi
banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di
seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan
rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.
8 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Grup, 2014, cet pertama), hlm. 29. 9 Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,(Jakarta: Sinar Grafika,2010,cet
pertama), hlm.65.
7
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau
kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadi yang
paling rendah, maka jangan harap negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran. Bentuk-bentuk korupsi yang paling
sering terjadi dan paling banyak dibicarakan adalah pungutan liar, penyuapan,
pemerasan, penggelapan, penyeludupan,dan pemberian hadiah atau hibah yang
berkaitan dengan jabatan/propesi atau tugas seseorang. Delik korupsi adalah
sebagaimana juga delik pidana pada umumnya dilakukan dengan berbagai modus
operandi penyimpangan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang
semakin canggih dan rumit. Hal ini membuat banyak perkara/delik korupsi lolos
dari jaringan pembuktian sistem KUHAP. Oleh karena itu, pembuktian undang-
undang tindak pidana korupsi mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian
terbalik, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana di Malaysia.10
Upaya pembentukan undang-undang ini tidak tanggung-tanggung, karena
dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni sistem Undang –
Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dan sekaligus
dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian
dilakukan dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut
10 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses
Penebar Swadaya Grup, 2014, cet pertama), hlm. 10.
8
undang-undang (negatief wettelijk overtuiging). Jadi, tidak menerapkan teori
pembuktian terbalik murni, walaupun dalam banyak ayat dan hadis belum secara
eksplisit disebutkan tentang jenis tindak pidana korupsi, namun beberapa istilah
yang disebutkan Alquran dan hadis Rasulullah SAW sudah mengisyaratkan dan
mengindikasikan jenis kejahatan korupsi secara global. Di antaranya larangan
saling memakan harta sesama dengan batil, tradisi suap- menyuap yang tentu
sangat berkaitan erat dengan masalah korupsi di negeri ini tampaknya sudah
berlangsung cukup lama, Rasulullah SAW melaknat pelaku suap, yang disuap,
dan perantara tindak pidana penyuapan.11 Bahkan dalam hadis riwayat Imam
Ahmad yang lain disebutkan bahwa yang akan dilaknat bukan hanya penyuap dan
penerima suap, tetapi termasuk pihak yang menjadi makelar atau penghubung
antara keduanya ketika melakukan penyuapan tersebut.
Beberapa padanan istilah untuk beberapa istilah tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam teks-teks klasik, baik Alquran maupun hadis-hadis
Rasulullah SAW. Hal mendasar yang paling merugikan dalam masalah tindak
pidana korupsi adalah merampas hak-hak orang lain, walaupun anehnya dalam
kasus –kasus besar di Indonesia bisa ‘’dibenarkan’’ melalui tinjauan hukum
tertentu. Padahal, secara sederhana keputusan hukum untuk membebaskan
tersangka tindak pidana korupsi ini sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan.
Dalam masalah ini, inti dari jarimah atau tindak pidana korupsi adalah merampas
hak orang lain, bahkan bisa jadi seluruh rakyat merasakan dampak buruknya,
sistem perekonomian pun akan sangat terganggu dan unsur fasad atau kerusakan
11 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012, cet
pertama), hlm.6.
9
yang di timbulkannya bisa sangat meluas. Oleh karena itu, dua buah jarimah yang
dtawarkan oleh fiqh jinayah (hukum pidana Islam ), yaitu sariqoh (pencurian) dan
hirabah (perampokan) bisa dipaparkan di sini.
Dua macam jarimah atau delik yang disebutkan di atas, secara tegas
dipaparkan di dalam Alquran dalam surah al-Maidah (5), oleh Abdul Qodir
Audah,12 sariqah disebut dengan pencurian kecil, dipaparkan Allah SWT dalam
surah al-Maidah (5) ayat 38, sedang untuk delik hirabah, pencurian besar atau
perampokan dijelaskan dalam surah al-Maidah (5) ayat 33.
صي لوا أوقتا أن يادض فسي الأرن فوعسيو ولهسرو ون اللهاربحي ينا الذا ؤزا جمإن نم ملهجأرو يهمدأي قطعت وا أولب
لافخ
أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم
Sesungguhnya hukuman bagi orang –orang yang memerangi Allah dan rasulnya- nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri ( tempat kediamannya). Yang demikian itu ( sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS. al-Maidah (5) ayat 33)
Dengan demikian, dalam ajaran Islam korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab .
Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distori,
fasad terhadap kehidupan negara dan masyarakat sebagai perbuatan yang
menimbulkan kerusakan di muka bumi yang dibenci Allah.
Mengutip buku yang di tulis oleh Nurul Irfan bahwa Islam amat
membenci korupsi, mengapa tindakan-tindakan seperti ini merajalela dalam
masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam. Tampaknya,
12 Abdul Qodir Audah, al-Tasyri al-Jina’I al-Islami, jilid 2, hlm. 514.
10
Indonesia tidak sendirian sebab berdasarkan laporan Transparency International,
dari 10 negara terkorup di dunia dan dilihat dari agama yang di anut mayoritas
masyarakatnya, Negara-negara muslim itu adalah Banglades ( terkorup ke-2 di
dunia dengan nilai 1,5), Nigeria (ke-3 dengan nilai 1,6 ), Azerbaijan (ke-7),
Turkmenistan (ke-8), Tajikistan (ke-9),(ke-10). Hal ini sungguh sangat ironis
sebab islam sebagaimana uraian di atas sesungguhnya sangat kaya dengan nilai-
nilai normative untuk agenda anti korupsi yang sangat merusak tatanan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam sangat menekankan untuk selalu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, mengharamkan
risywah, dan menganggap tidak terpuji pemberian hadiah kepada penguasa
dengan tujuan–tujuan tertentu dan islam juga menganggap tercela perbuatan
ghulul atau korupsi.
Ironis memang negeri tercinta yang mayoritas penduduknya beragama
Islam mengalami persoalan penggelapan harta rampasan perang, law invorcement,
kesamaan derajat di depan hukum, dilarangnya menerima hadiah pada saat
menjabat, sanksi moral hingga pertanggung jawaban ukhrawi yang sangat berat
telah nyata-nyata ditekankan oleh sederetan teks suci keagamaan, baik dalam
Alquran maupun hadis. Namun kenyataannya moral korup ummat Islam di bumi
pertiwi tentu masih sangat tinggi. Apabila diinventarisir dan didata secara
seksama, tentu saja para koruptor yang saat ini sedang menjalani masa hukuman
atau sedang dalam propses menunggu vonis hakim, pastilah mayoritas mereka
ber-KTP muslim. Pada dasarnya korupsi adalah sesuatu hal yang dilarangan oleh
agama. Namun kenyataannya masih banyak warga Negara di Indonesia yang
11
melakukan korupsi. Mungkin karena mereka yang melakukan korupsi belum
mengetahui sanksi hukuman yang akan mereka peroleh apabila melakukan
perbuatatan tersebut.Untuk itu Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul
‘’PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI KORUPTOR DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 JUNTO UNDANG-UNDANG
NO. 20 TAHUN 2001 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis
uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan
pembatasan masalah. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka
dalam skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai
Pertanggungjawaban pidana koruptor menurut undang –undang N0. 31 Tahun
1999 Junto Undang-undang N0. 20 Tahun 2001 dan berkaitan dengan prespektif
hukum pidana Islam.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas dapat diuraikan beberapa masalah yang
dirumuskan dengan pertanyaan penelitian ( research question), yaitu:
a. Apakah faktor penyebab pelaku korupsi melakukan tindak pidana
korupsi?
12
b. Bagaimana bentuk sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi
dalam hukum pidana Islam dan hukum positif?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian :
Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah
terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu :
a. Untuk mengetahui faktor penyebab koruptor melakukan tindak pidana
korupsi.
b. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi
dalam hukum pidana Islam dan hukum positif.
4. Manfaat penelitian
a. Kegunaan Akademisi
Memberikan pengetahuan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi baik menurut undang-undang No. 31 tahun 1999
Junto Undang-undang No.20 tahun 2001 maupun dalam hukum pidana Islam.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan suatu kontribusi tentang
pemberian sanksi terhadap terpidana korupsi dan efek jera bagi terpidana korupsi,
sehingga berkurangnya angka korupsi di Indonesia.
D. Metode penelitian
13
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut
metodologi penelitian, yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah cara
meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk mencapai suatu
tujuan.13Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan
memahami langkah-langkah yang dihadapi.14 Sedangkan penelitian adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika, metodologi ilmiah dengan
tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru atau asli dalam usaha memecahkan
suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di masyarakat.15 Dalam penelitian
skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu penelitian pustaka
(Library Research) .
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bodgan dan
Taylor mendefisinikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.16 Karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap
keunikan individu, kelompok, masyarakat atau organisasi tertentu dalam
kehidupannya sehari-hari. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk
dalam metode penelitian yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat
13 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, ( Jakarta : Bumi pustaka,
1997), hlm.1. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
press, 1986), hlm. 6. 15 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2004), hlm. 111. 16 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, ( Jakarta : Rineka cipta, 2008),
hlm. 21.
14
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang sedikit dengan
menggambarkan /melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang,
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang tampak, atau sebagaimana adanya. 17
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis sumber
data, yaitu data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka
yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari, buku-
buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan dari internet, dan lainnya yang
berkenaan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana koruptor.
3. Teknik Analisis Data.
Dalam penelitian ini teknik menganalisa data, penulis menggunakan
metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.
4. Teknik penulisan
Dalam hal teknis penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis akan
menjelaskan sistematika penulisan dalam skripsi ini. Pada dasarnya skripsi ini
terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu.
17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: GADJAH MADA
UNIVERSITY PRESS, 2007), hlm.67.
15
BAB I Pendahuluan, pada pembahasan skripsi ini terdapat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, serta sistematika penulisan
BAB II Tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi yang meliputi :
Pengertian korupsi serta macam-macam korupsi, Sanksi bagi pelaku korupsi
dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Junto Undang-undang NO. 20 Tahun
2001, Perbandingan antara korupsi dan mencuri.
BAB III Tinjauan umum tentang pertanggung jawaban Pidana Korupsi
dalam hukum Islam yang meliputi: Ghulul, Khianah, Gratifikasi, Merampok, Al-
Maksu dan Al-Ihtihab
BAB IV Sanksi Hukum Pertanngungjawaban korupsi menurut Undang-
Undang dan Hukum Pidana Islam yang meliputi: Perbandingan hukum pidana
Islam dan hukum pidana positif mengenai sanksi bagi tindak pidana korupsi,
efektifitas adanya hukum pidana Islam dan Positif terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, dan Analisis penulis.
BAB V Merupakan penutupan meliputi kesimpulan dan saran-saran dari
penulis.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Korupsi
Korupsi secara etimologi berasal dari bahasa latin, corruptio atau
corruptus yang berarti merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga
mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak bermoral, dan kebejatan. Korupsi
diartikan pula sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya. Sementara itu, dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia, korupsi berarti buruk, busuk, rusak, suka memakai barang
(uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi), penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau
perusahaan), untuk kepentingan pribadi atau orang lain.18
Sementara itu, Henry Campbell Black (1991) mendefinisikan korupsi
sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatau keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak-pihak lain.19 Sayyid Hussein Alatas dalam bukunya Corruption:
Its Nature, Causes and Consequences menulis: Korupsi adalah Subordasi
kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencangkup
18 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), hal. 6.
19 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet pertama, hlm. 137.
17
pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan
keberhasilan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya korupsi adalah
penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.
Adapun istilah korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia sebagai
berikut menurut Bab II pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi
adalah perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Definisi ini dikuatkan lagi pada pasal 3 bahwa korupsi adalah setiap
tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.20
Melihat definisi-definisi di atas, diketahui bahwa unsur-unsur yang
melekat dengan tindakan korupsi, yaitu: pertama, perbuatan mengambil,
menggunakan, menyembunyikan, menggelapkan harta/ kekayaan negara atau
korporasi atau orang banyak/ publik; kedua, menerima, mengambil, mengutip atau
meminta pemberian hadiah dari orang lain terkait tugas dan jabatan yang melekat
pada diri seseorang; ketiga, memangkas, memotong, atau merampas hak-hak
orang lain; keempat, melawan norma-norma universal, baik yang bersumber dari
20 Kumpulan Perundang-undangan Anti KKN, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006),
cet pertama, hlm. 41.
18
nilai-nilai agama, etika sosial, budaya luhur masyarakat, dan hukum yang
berkeadilan; kelima, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang atau amanah
yang melekat pada dirinya; keenam, untuk kepentingan/ keuntungan diri sendiri,
keluarga, atau orang dan lembaga/ golongan tertentu; dan ketujuh, merugikan
kepentingan pihak lain, baik negara, korporasi atau lembaga-lembaga
nonpemerintahan, maupun masyarakat luas atau publik.
Sehubungan dengan itu, ada beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:
1 .Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau
swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau swasta atau
internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya
untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditunjukan agar pejabat
itu bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka
untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut.21
2. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat
publik/ swasta/ internasional.
3. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
Seacara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi .
Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang
ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, pelaku merasa
21 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet pertama,
hlm. 138.
19
mendapatkan kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil melakukannya.
Kedua, motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang
tidak menjadi bagian melekat dari pelaku itu sendiri. 22
Secara agak rinci terjadinya korupsi disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
corruoption by greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada orang yang
sebenarnya tidak butuh, tidak mendesak secara ekonomi. Dalam sudut pandang
psikoanalisa munculnya sifat serakah bisa dilihat sebagai gangguan akibat
individu terhambat dalam perkembangan keperibadiannya. Teori psikoanalisa
meyakini, munculnya sifat serakah ini terjadi karena individu terhambat
perkembangannya pada fase anal, sehingga ia mempertahankan kepribadian anal
sampai usia dewasa. Karakter individu yang mengalami fiksasi pada fase ini
ditandai dengan sifat rakus untuk memiliki. Ia merasakan kenikmatan dalam
pemilikan pada hal-hal yang bersifat material. Merujuk pada gagasan teori
psikoanalisa tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan agar individu berhenti
menjadi koruptor adalah dengan menghilangkan hambatan keperibadian itu.
23Rasulullah Saw bersabda:
Dari Ibnu Abbas ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
رواه (تا ب يتوت اهللا على منإلبن آدم واديا ن من ما ل البتغى ثالثا ،وال يمأل جوف ابن آدم إال الترب، ولو كا ن
)البخار
22 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), hal. 7. 23 Djabar, Korupsi dan Psikoanalisis. Harian Media Indonesia, Edisi 11 September 2007
20
Artinya: Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat. (HR. Bukhari no. 6436)
Kedua, corruption by need (kebutuhan) korupsi yang dilakukan karena
keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs). Misalnya,
korupsi yang dilakukan oleh seseorang karena gajinya yang sangat rendah jauh di
bawah upah standar minimum dan terdesak untuk memenuhi kebutuhan dasar
tertentu, seperti pembayaran SPP anak yang masih bersekolah. Korupsi ini banyak
dilakukan oleh pegawai/ karyawan kecil, polisi/ prajurit rendahan buruh kasar,
tukang parkir, supir angkutan umum, Selain itu motif ini juga berhubungan
dengan sikap mental yang tidak pernah cukup,selalu tidak merasa puas dengan
kebutuhannya.
Ketiga, corruption by chance (adanya peluang). Korupsi ini dilakukan
karena adanya peluang yang besar untuk melakukan korupsi, peluang untuk
cepat kaya melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan secara instan, biasanya
ini didukung oleh lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntabilitas publik,
longgarnya pengawasan masyarakat, dan keroposnya penegakan hukum yang
diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera.24 Contoh dari korupsi
ini adalah menggelapkan dana ganti rugi tanah warga yang digusur dan meminta
masyarakat untuk mendukung pembangunan dengan menyumbangkan tanahnya.
24 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), hal. 8.
21
Sementara itu para ahli psikologi seperti Kwik Kian Gie mempercayai
faktor psikologi seseorang sangat berpengaruh terhadap munculnya tindakan
korupsi. Ia menjelaskan bahwa para koruptor, melakukan korupsi sudah sejak
lama dalam pikiran. Hal yang disampaikan Gie tersebut tentu sangat menarik . Dia
yang notabenenya berlatarbelakang seorang ekonom meyakini bahwa korupsi
sangat terkait dengan masalah kejiwaan, terutama proses berfikir seseorang. 25
Untuk mempermudah memahami bagaimana korupsi iotu terjadi, contoh
kasusnya misalnya kasus pembangunan jalan tol. Kisahnya, ada seorang
pengusaha yang tanpa modal ingin membangun jalan tol. Ia mengajukan izin
membangun jalan tol ke pemerintah. Dengan menyogok seperlunya , ia dapat
modal 100 persen dari pemerintah. Besarnya 800 miliar. Setelah jalan jadi,
pemerintah mendapat 60 persen biaya pemakaian jalan tol, sedangkan pengusaha
mendapatkan 40 persen tanpa dia harus keluar modal. Pengusaha tersebut tinggal
memproyeksikan beberapa tahun utang itu akan selesai dibayar dan iya meneken
perjanjian kepada pemerintah sebanyak tahun yang dia sebutkan itu. Praktek –
praktek serupa itu dilakukan untuk kegiatan-kegiatan bisnis lain.
25 Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Terkorupsi, (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 56.
22
Dalam bahas Arab, korupsi juga disebut risywah yang berarti penyuapan.
Risywah juga diartikan sebagai uang suap. Selain dinilai sebagai sebuah tindakan
merusak dan khianat, korupsi juga disebut fasad (ifsad) dan ghulul. 26
Dari uraian mengenai pengertian korupsi di atas, bisa diketahui bahwa arti
korupsi sangat luas, tergantung dari bidang dan prespektif pendekatan yang
dilakukan. Dari semua arti, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi
mempunyai arti yang semuanya mengarah kepada keburukan, ketidakbaikan,
kecurangan, bahkan kezaliman, yang akibatnya akan merusak dan menghancurkan
tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan negara pun bisa
bangkrut disebabkan korupsi.
Menguti buku yang ditulis oleh Nurul Irfan adapun beberapa sebab
terjadinya korupsi di Indonesia. Awalnya disebabkan karena kondisi sosial
ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi, hal ini dapat di lihat dari
pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. dengan motif ini bergeser
menjadi motif mempertahankan hidupnya. Kehidupan di kota-kota besar sering
mendorong gaya hidup seorang menjadi konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang
untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi keinginannya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi. Akan tetapi, kian lama motif
ini bergeser menjadi motif ingin memperoleh kemewahan hidup. Penyebab
lainnya adalah berupa kelemahan mekanisme organisasi dan tidak
26 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 36.
23
dilaksanakannya fungsi pengawasan secara wajar. Menurut Baharuddin Lopa,
hal ini akan mendorong seseorang yang tidak kuat imannya melakukan korupsi.27
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-
undangan dan sisi lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya subtansi hukum,
mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan
yang tidak jelas , dan tidak tegas sehingga orang multi tafsir dalam memahami
hukum. Sanksi yang tidak tegas dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak
tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep
yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu
peraturan tidak sinkron dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau
tidak produktif dan mengalami resistensi.28
B. Macam-macam Korupsi
Dalam buku yang ditulis oleh Alfitra mengutip bahwa macam-macam korupsi
adalah sebagai berikut:
1) Korupsi Transaktif29
Korupsi jenis ini ditandai adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak
yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-
27 Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya , ( Jakarta: PT Kipas Putih,
1997), cet pertama, hlm. 54. 28 https://WWW.google.co.ic/search,hl=id&ie=iso-8859-
1&q=penyebab+korupsi+karena+kondisi +sosial+ekonomi+( diakses pada tanggal 27 juli 2016, pukul 13.00)
29 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, hal. 22.
24
sama aktif menjalankan perbuatan tersebut. Contoh korupsi semacam ini antara
lain:
a.) Kolusi pengusaha dan pemerintah dalam menentukan pemenang tender
proyek pembangunan. Untuk memenangkan tender, Pengusaha memberikan suap
kepada sejumlah pejabat yang bertanggung jawab .
b.) Penunjukan langsung proyek yang seharusnya melalui tender.
Beberapa faktor lainnya adalah berupa penegakan hukum yang tidak konsisten,
penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, langkanya lingkungan anti korup,
rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara, kemiskinan dan keserakahan,
budaya memberi upeti, imbalan dan hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih
rendah daripada keuntungan korupsi, budaya permisif/serba membolehkan, tidak
mau tahu, serta gagalnya pendidikan agama dan etika.
c.) Manipulasi dalam ruislag. Pengusaha dan pemerintah melakukan
kolusi untuk menilai rendah harga aset pemerintah. Sebaliknya, aset pengusaha
dinilai tinggi. Contohnya, kasus tukar guling gedung Goro yang menjadi
terdakwanya Tommy Soeharto.
d.) penjualan aset pemerintah dengan harga murah contohnya, penjualan
Indosat dan kapal tanker di masa pemerintahan presiden Megawati Soekarno
Putri. Adapun yang menjadi terdakwanya adalah Laksamana Sukardi.
2.) Korupsi Investif Korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau
jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan ketentuan tertentu bagi pemberi,
25
Selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa datang30. Bentuk
korupsi ini misalnya31:
a.) Pejabat meminta balas budi pengusaha yang mendapatkan proyek.
Kebiasaan ini membuat pengusaha selalu menyisihkan sebagian dana proyek
dengan mengurangi kualitas proyek untuk biaya entertainment ini. Contoh,
pembangunan berjalan di pulau Jawa yang setiap tahun diperbaiki oleh
pemerintah daerah, pada 2013 kemarin kasus ini telah ditangani oleh KPK.
b.) Permintaan macam-macam sumbangan oleh oknum pemerintah.
Oknum-oknum ini seperti memiliki kapling lahan sendiri-sendiri. Untuk proyek
kecil, biasanya yang minta sumbangan juga pegawai rendahan. Semakin besar
proyek, semakin tinggi jabatan oknum yang meminta sumbangan. Akibatnya,
pengusaha harus mengurangi anggaran proyek untuk menjaga hubungan baik.
3.) Korupsi Ekstroktif
Korupsi kategori ini menyertakan bentuk-bentuk koersi ( paksaan) tertentu
di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang
mengancam dirinya, kepentingannya, kelompoknya, atau hal-hal yang berharga
miliknya32. Contoh korupsi semacam ini adalah seorang pimpinan proyek secara
langsung ataupun tidak langsung mendapatkan tekanan untuk menyetorkan
30 Syahrul Musthofa dan Ervyn Kaffah, Mencabut Akar Korupsi, (Nusa Tenggara Barat:
2003, Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB), h. 37. 31 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), hal. 24. 32 Syahrul Musthofa dan Ervyn Kaffah, Mencabut Akar korupsi, ( Nusa Tenggara Barat:
2003, Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB), h. 37.
26
sejumlah uang kepada pejabat di atasnya. Jika tidak, ia bisa kehilangan
kesempatan untuk menjadi pimpinan pada proyek-proyek berikutnya33.
4.) Korupsi Nepotistik
Korupsi golongan ini berupa pemberian perlakuan khusus kepada teman
atau mereka yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki
jabatan publik. Dengan kata lain, perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk
yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku34. Kasus ini sangat
banyak dan terutama lazim pada era orde baru, dimana anak atau keluarga kepala
daerah mendapat jatah proyek paling banyak. Anak atau keluarga tersebut juga
memiliki peran besar dalam mengatur siapa yang layak melaksanakan proyek-
proyek pemerintah. Caranya beragam, baik resmi maupun tidak resmi. Secara
resmi, biasanya mereka menjadi pengurus asosiasi usaha. Secara tidak resmi,
mereka menjadi broker pengusaha untuk lobi proyek. Contoh yang banyak terjadi
di Provinsi Banten di mana pihak keluarga yang paling dominan pada
pemenangan tender dalam pembangunan di provinsi tersebut, dan boleh dikatakan
orang luar jarang mendapatkan bagian proyek-proyek besar35.
33 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), hal. 25. 34 Syahrul Musthofa dan Ervyn Kaffah, Mencabut Akar Korupsi, ( Nusa Tenggara Barat:
2003, Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB), h. 38. 35 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, hal. 26.
27
5) Korupsi Autogenetik
Korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk
mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang
hanya diketahui seorang diri36. Contoh praktik seperti ini antara lain37:
a) Mark-up harga barang, tenaga kerja, perjalanan dinas, dan lain-lain.
b) Double account. Transaksi dicatat pada dua atau lebih pembukuan yang
berbeda. Contohnya adalah perjalanan dinas pejabat yang dibiayai beberapa pos
anggaran. Caranya, seorang pejabat mendapat biaya perjalanan dinas dari pos
anggaran secara rutin. Pada kenyataannya pejabat tersebut bisa juga meminta
biaya dari anggaran proyek dan BUMD. Terkadang juga meminta fasilitas dari
pengusaha yang mendapat proyek dari pemerintah. Jadi, dalam suatu perjalanan
dinas bisa jadi seorang pejabat dibiayai oleh dua atau lebih pos anggaran.
c) Perjalanan dinas fiktif. Modus ini sering dilakukan bahkan ada kasus di
mana seorang pejabat penting melakukan klaim biaya perjalanan dinas tahunan
dengan jumlah hari melebihi hari dalam setahun.
d) Membagi-bagi sisa dana kunjungan kerja. Sisa dana kunjungan kerja
yang seharusnya dikembalikan ke kas negara, biasanya dihabiskan dengan
membuat acara-acara fiktif, seolah-olah benar apa adanya.
e) Penggelapan dana bantuan untuk kelompok masyarakat dengan
membuat bukti penerimaan fiktif.
36 Syahrul Musthofa dan Ervyn Kaffah, Mencabut Akar korupsi, hal. 38. 37 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, hal. 26.
28
f) Menyunat upah pegawai. Cerita tentang potong memotong gaji pegawai
secara illegal merupakan rahasia umum.
6) Korupsi suportif
Korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk
melindungi atau mempertahankan kelangsungan tindak korupsi.38 Contohnya,
pejabat membiarkan korupsi yang berlangsung di bawahnya agar tidak
mengganggu korupsi yang dilakukannya. Selain itu, seringkali terjadi pembiaran
oleh lembaga-lembaga pengawas terhadap korupsi yang dilakukan pejabat
pemerintah untuk menjaga hubungan baik dan meluruskan karier si pejabat di
lembaga pengawas tersebut39.
Pada dasarnya macam-macam korupsi dijelaskan di dalam UU. No. 31
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, berikut macam-macam korupsi di
dalam UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi40 :
1.) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliyar rupiah).
2.) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
38 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: 2008, Sinar
Grafika), hlm. 33. 39 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014), hal. 28. 40 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, ( Jakarta: 2008, Sinar Grafika),
h. 33.
29
Rumusan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 ini bila dirincikan, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.) Secara melawan hukum atau wederrechtelijik;
2.) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3.) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
menyebutkan:
Yang dimaksud dengan’’secara melawan hukum’’ dalam pasal ini
mencangkup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata ‘’dapat’’ sebelumnya frasa ‘’ merugikan
keuangan atau perekonomian negara’’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
Klasifikasi di atas jauh lebih luas dari pengertian dan jenis-jenis korupsi
yang dimaksud dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menunjukkan, realitas
30
sosial kejahatan jauh lebih kompleks dibanding kemampuan masyarakat untuk
mengaturnya dalam produk hukum41.
Menurut Locusnya korupsi dibagi menjadi 3:
1. Bureucratic Corruption, korupsi yang terjadi pada lingkup pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan. Hal ini terjadi karena tidak berfungsinya
lembaga pengawas dan penegak hukum, serta sanksi hukum yang tidak
menjerahkan bagi pelaku korupsi. Sebuah kepemimpinan atau
pemerintahan yang tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat
cenderung bertindak korup. Contohnya adalah melakukan studi banding
fiktif ke luar kota, yang hasilnya dimanfaatkan untuk memperkaya diri
sendiri.
2. Yudical Corruption, korupsi yang terjadi pada lingkup penegakan hukum.
Bidang ini merupakan lahan yang basah untuk menutupi gaji aparat hukum
yang relatif kecil. Putaran uang dalam lingkungan ini tidak terhitung dan
sering kali pelakunya tidak tersentuh. Contohnya hubungan kerjasama
antara aparat penegak hukum dan pelaku usaha illegal, bisa muncul
hubungan saling menguntungkan (simbiosis). Operasi-operasi
antiperjudian, misalnya, dibuat sedemikian rupa sehingga tidak akan
menyentuh para usaha illegal. Demikan juga operasi-operasi
penyeludupan, dan narkotika dengan perputaran uang yang mencapai
puluhan triliun rupiah.
41 Syahrul Musthofa dan Ervyn Kaffah, Mencabut Akar korupsi, h. 38.
31
3. Political Corruption, korupsi yang terjadi pada lingkup proses-proses
politik. Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana
korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa
memikirkan masyarakat kecil. Contohnya adalah hampir sebagian besar
posisi elit politik dipegang oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab, yang disebabkan karena pemilihan untuk memilih para
elit politik tersebut tidak demokratis.
Menurut pendapat penulis dari macam – macam korupsi seperti korupsi,
Transaktif, Ekstroktif, Invensif, Nepotistik, Autogenetik, Suportif, dan Defensif.
Bahwasanya ketujuh macam korupsi ini, semuanya merugikan keuangan negara
kita, tidak sampai di situ saja dampak dari perbuatan korupsi ini yang mayoritas
dilakukan oleh para pejabat-pejabat negara, dan pengusaha, banyak menimbulkan
dampak negatif terhadap kehidupan bangsa dan negara. Dampaknya adalah
runtuhnya akhlak, moral, nilai-nilai keagamaan, menghilangkan rasa jujur dan
amanah dari tiap-tiap pribadi seseorang. Dan biasanya kebanyakan modus dari
korupsi semacam ini iyalah, kerjasama atau kongkalikong antara aparat
pemerintahan dengan pengusaha. Biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan
timbal balik antara aparat pemerintahan dan pengusaha demi keuntungan
bersama, dan kedua belah pihak sama-sama aktif melakukan perbuatan tersebut.
Untuk mengatasi tindak pidana korupsi yang semakin merajalela di negara kita,
tidak hanya Pemerintah, polisi , KPK, dan seluruh penegak hukum di negeri kita
32
yang terus berusaha memberantas korupsi, kita juga sebagai warga negara
Indonesia punya andil yang besar dalam hal ini yaitu, apabila kita melihat orang,
pejabat pemerintah dan lain-lain, berbuat korupsi kita bisa melaporkannya ke
pihak kepolisian atau langsung ke KPK. Dengan cara seperti ini mudahan-
mudahan tingkat kejahatan korupsi bisa berkurang di negara Indonesia ini, dan
orang-orang yang sudah dihukum dengan hukuman yang setimpal bisa jera dan
tidak melakukan perbuatannya kembali.
C. Sanksi Bagi Pelaku Korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat me-rugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) tersebut dapat ditarik unsur-unsur tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
1) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
Unsur secara “ melawan hukum” disini dan penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan mencangkup perbuatan melawan hukum dalam arti formil, materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
2) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
33
Pada dasarnya maksud memperkaya diri sendiri disini adalah dengan upaya melawan hukum yang dilakukan si pelaku, ada orang lain atau korporasi yang mendapat keuntungan atau bertambah kekayaannya.
3) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah-gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp 1000.000.00,00 ( satu miliar rupiah).
Dari ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut dapat ditarik unsur-unsur tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
1) Perbuatan mnguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Menurut R. Wiryono, menyatakan:
“ Yang dimaksud “menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan diperoleh lebih besar dari prengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya.42
Dengan demikian, yang dimaksud dengan unsur “ menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
2) Perbuatan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan.
42 R. Wiryono, Pembahasan Undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,(
Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan pertama, hlm. 38
34
Menurut R. Wiryono, menyatakan:
“Yang dimaksud menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.”43
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau we-wenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan –nya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Menurut Sudikno Mertokusumo:
“ Subyek hukum ( subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari:
- Orang (natuurlijekepersoon); - Badan hukum ( rectspersoon).44
Pegawai negeri yang adalah orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara.
Pada perkara suap, maka selalu ada dua pihak, pemberi (aktif) dan pihak penerima (pasif).
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 ( satu miliar rupiah):
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
43 Wiryono, Pembahasan Undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,(
Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan pertama, hlm. 38. 44 Sudikno Mertokusumo, mengenal hukum (suatu pengantar), (Yogyakarta: Liberty,
1999), cetakan pertama, hlm. 12,68-69.
35
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
c. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
d. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di tentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
e.pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah –olah merupakan utang kepadanya dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu itu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, dan persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Unsur pemberian hadiah atau janji. Adalah pemberian uang, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, wisata gratis, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sedangkan janji adalah pemberian harapan untuk memberikan gratifikasi pada waktu tertentu dan dengan syarat tertentu.
36
3. Diantara pasal 12 dan pasal 13 disisipkan 3 ( tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, pasal 12 B, pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, pasl 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainnya kurang dari Rp 5000.000,00 ( lima juta rupiah)
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainnya kurang dari Rp 5000.00,00 lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah)
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan nya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainnya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 ( dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut pendapat penulis dalam rangka mencapai tujuan yang lebih
efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-
undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana
denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan
37
pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan diundangkannya
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini diharapakan dapat memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam
rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya
serta masyarakat pada umumnya. Sementara itu Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, Peraturan tersebut tidak mendefinisikan
korupsi secara eksplisit. Undang-undang No.20 Tahun 2001 bersifat melengkapi
dengan aturan lain tentang pasal gratifikasi, yaitu Pasal 12 a, b, c, d,e ,f ,g, h, i, j,
Pasal 12 A , pasal 12 B, pasal 12 C.
38
D. PERBEDAAN KORUPSI DAN MENCURI DALAM ISLAM
Ada beberapa cara memperoleh harta yang dilarang dalam syariat Islam. Berikut
ini adalah beberapa contoh di antara-nya:
A. Sariqah atau pencurian, yaitu mengambil harta orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.45 Pencurian dilarang berdasarkan
ayat dan hadis berikut ini:
زا جمهيدوا أيارقة فاقطعالسو ارقالسء بآوكالا ما نبا كسميمكح زيزع اللهو الله ن
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.al-Ma’idah (5) : 38)
أن قريشا حدثنا محمدبن رمح أخبرنا الليث عن ابن شها ب عن عروة عن عا ئشة و ح .حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا ليثقترس يالت ةيذومخالم أةرأن المش مهمفقالوا .أه: لمسو هليلى اهللا عل اهللا صوسا رهيف كلمي نإال ؟م هليع رئتجي نمفقالوا و
أتشفع يف حد من حدود : فقا ل رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم .عليه وسلم فكلمه أسا مة ب رسول اهللا صلى اهللاح ,أسا مةالشرف تركوه وإذا سرق فيهم ا سرق فيهمم كانوا إذأنه ,أيهاالناس إنما أهلك الذين قبلكم :لم قا م فاختطب فقاث ؟اهللا
حديث ابن رمح إنما هلك الذين من الضعيف أقا موا عليه الحد وايم اهللا لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها ويف كملقب)رملسم اهو(
[Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah menceritakan kepada kami [Laits]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh] telah mengabarkan kepada kami [Al Laits] dari [Ibnu Syihab] dari ['Urwah] dari ['Aisyah], bahwa orang-orang Quraisy merasa kebingungan dengan masalah seorang wanita Makhzumiyah yang ketahuan mencuri, lalu mereka berkata, "Siapakah yang kiranya berani membicarakan hal
45 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 117.
39
ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Maka mereka mengusulkan, "Tidak ada yang berani melakukan hal ini kecuali Usamah, seorang yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Sesaat kemudian, Usamah mengadukan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apakah kamu hendak memberi Syafa'at (keringanan) dalam hukum dari hukum-hukum Allah?" Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, sabdanya: "Wahai sekalian manusia, hanyasanya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum), sementara jika orang-orang yang rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." Dan dalam hadits Ibnu Rumh disebutkan, "Hanyasanya yang menyebabkan kebinasaan orang-orang sebelum kalian. (HR.Muslim No 3196).46
B. ihtilas mengutip dalam buku yang ditulis oleh Nurul Irfan secara
etimologis, al-iktilas berasal dari kata kerja خلسا غش -یخلس -خلس yang berarti
merampas dan mengambil dengan tipuan.47 Maka iktilas adalah sebuah cara untuk
menguasai atau memiliki harta pihak lain dengan cara merebut, atau merampas,
dilakukan dengan cara cepat, dilakukan dengan terang-terangan terkadang
terdapat unsur kekerasan atau biasanya dilakukan dengan cara memperdaya
korban.48 Cara ini juga dilarang karena merupakan cara memperoleh harta dengan
batil, yang secara umum tercakup dalam ayat:
دتل واطبالب كمنيب الكموأكلوا أملا توأكلوا فريقا متكام لا إلى الحونلوا بهلمعت متأناس بالإثم وال النوأم ن
Dan janganlah kamu memakan harta sebagian lainnya dengan cara yang batil…..(QS.AL-Baqarah (2): 188).
46 Muslim, Shahih Muslim, ( Beirut: Dar al-Hadis , 2001), jilid 6. 47 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 135. 48 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 137.
40
Tujuan pemberian harta dapat mengubah status sebuah harta yang halal
menjadi haram, misalnya hadiah. Pada dasarnya hadiah sangat dianjurkan
sebagaimana hadis Rasulullah saw. Berikut ini:
واتا بحا توا دار( هخالب اهور(
Hendaklah saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mengasihi.(HR. Al- Bukhari no.594 ).49
Hadiah dapat berubah menjadi haram ketika diberikan tidak secara suka
rela, namun demikian diberikan dengan motif-motif tertentu yang bertentangan
dengan syariat Islam. Misalnya hadiah yang bisa mempengaruhi lahirnya
keputusan yang batil. Status hadiah dengan motif seperti ini disesuaikan dan
hukumannya pun menjadi haram sebagaimana sabda Rasulullah :
)رواه أحمد( الهد ية إلى اإل ما م غلول
Hadiah yang diberikan kepada imam atau kepala negara adalah haram. ( HR.Ahmad).50
C. Ghasab
Sementara itu konsep lain yang dapat dihubungkan dengan korupsi karena
dipandang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan adalah
ghasab. Berikut definisi ghasab:
49 Bukhari, Shahih Bukhari, ( Beirut: Dar al-Fikr), jilid VII. 50 Asy-syaukani, Nail Al-Autar, ( Beirut: Dar Al-Fikr) , jilid VIII, hlm. 311.
41
Ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara zalim, sebelum
mengambilnya secara zalim (ia melakukannya juga ) secara terang-terangan.51
Sedangkan menurut istilah ulama berbeda pendapat. Kalangan al-
Hanafiyah merumuskannya:
Ghasab yaitu menghilangkan kekuasaaan orang yang berhak (pemilik)
dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat batil secara terang-terangan,
tidak secara rahasia pada harta yang berharga dan adapat dipindahkan.
Oleh karena itu, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ghasab tidak dapat
terealisasi kecuali dengan memindahkan yang dapat diambil dari tempatnya
semula ke tempat yang lain. Tetapi, batasan itu dibantah oleh imam Muhammad
menurutnya, ghasab dapat saja terealisasi pada benda bergerak. Perbedaaan
konsep tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda. Sekiranya terjadi
kerusakan benda tidak bergerak itu di tangan orang yang menguasai barang
tersebut tidak secara sah atau hak, Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat
bahwa yang bersangkutan tidak bertanggung jawab (menjamin) barang tidak
bergerak tersebut di tangan sipeng-ghasab. Tetapi, Imam Muhammad berkata
lain: orang tersebut bertanggung jawab (menjamin) sebab dia adalah pelaku
ghasab. Seandainya barang tersebut masih ada, harus mengganti dengan barang
yang sama atau dengan yang seharga.52
51 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 105.
52 Moh Masyhuri Na’im, Nur Rofiah, Imadadun Rahmat, NU Melawan Korupsi, (Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi 2006), cet pertama, hlm. 109.
42
D. mukabarah
Pengertian mukabarah sangat umum, meliputi eksploitasi secara tidak sah
atas benda dan manusia. Dengan pengertian ini maka ghasab termasuk di
dalamnya karena merupakan tindakan menguasai atau mengekploitasi milik pihak
lain berdasarkan kekuatan dan kekuasaan.53 Kejahatan ini disinggung dalam Qs
al-Kahfi (18) : 79:
أعيبها و كا ن ورآ ءهم ملك يأ خذ كل سفينة غصبا أ ما السفينت فكا نت لمسكين يعملون فى البحر فأ رد ت أن
Artinya: adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang- orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seseorang raja yang merampas tiap-tipa bahtera ( QS al-Kahfi (18) : 79
Di samping itu, terdapat perbedaan mendasar antara mencuri dan korupsi,
mencuri, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak ada
hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan korupsi, harta sebagai objek
korupsi berada di bawah kekuasaannya dan ada kaitan dengan kedudukan pelaku.
Bahkan, bisa jadi pelaku memiliki saham atau paling tidak mempunyai hak,
sekecil apa pun pada harta yang dikorupsinya.
Kekuasaan pelaku atau adanya saham kepemilikan pelaku terhadap harta
yang dikorupsi jelas akan menimbulkan adanya unsur syubhat, dalam hal ini
adalah syubhat kepemilikan. Unsur syubhat menjadi salah satu dasar
dibatalkannya hudud, oleh sebab itu hukuman hudud harus dibatalkan. Rasulullah
53 Moh Masyhuri Na’im, Nur Rofiah, Imadadun Rahmat, NU Melawan Korupsi,
(Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi 2006), cet pertama, hlm. 110.
43
bersabda bahwa hukum hudud harus dihindarkan dengan sebab adanya unsur
syubhat.
Walaupun hukuman hudud tidak bisa diberlakukan dalam menuntut
hukum pelaku korupsi, namun bukan berarti sanksi takzir bagi koruptor bersifat
lebih ringan. Hukuman takzir bagi koruptor bisa dalam bentuk pidana denda
materi, pidana penjara seumur hidup, dinyatakan sebagai warga masyarakat yang
bermasalah atau di- black list, dan bahkan bisa saja berupa hukuman mati sebagai
takzir bagi koruptor. 54
54 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 154.
44
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
KORUPSI DALAM HUKUM ISLAM
A. Ghulul
Ghulul merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh Rasulullah
SAW. Terkait dengan penggelapan harta negara/publik yang mengarah pada
tindakan korupsi. Kata ghulul berasal dari kata kerja یغلل-غلل adalah bentuk isim
Masdar dari kata -وغال وغلوال-غال-یغل-غل (galla, yagullu, gallan, wa gullan, wa
gululan) yang berarti adkhola al-sya’i, memasukkan sesuatu ke dalam sesuatu;
akhaza al-syafi’a fi khufyatin wa dassahu fi mata ihi, mengambil sesuatu secara
sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam barang-barangnya; khana,
khianat atau curang55. Lebih spesifik dikemukakan dalam al- Mu’jam al- Wasit
bahwa kata ghulul dari kata kerja” یغل- غل “ yang berarti “ یرهمغنم و غخا ن في ال
berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.56
Adapun kata” الغلول“ dalam arti berkhianat terhadap harta rampasan
perang disebutkan dalam firman Allah Surah Ali Imran (3) ayat 161 yang artinya,
tidak mungkin seorang Rasulullah berkhianat (dalam urusan harta rampasan
perang). Barangsiapa berkhianat niscaya pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap orang akan diberi
55 Jamal al-Din Muhammad bin Makram bin Manzur al-Fariqi al-Misri, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Hadis, 1427H/ 2006 M), cet pertama, juz 6, hlm. 660-662.
56 M.Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet, pertama, hlm. 79.
45
balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak
dizalimi.
Adapun dari definisi ghulul secara terminologis, antara lain dikemukakan
oleh Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi dengan أ خذ الشيء ود سھ في متا عھ’’
(mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya). 57
Dari beberapa definisi di atas, baik secara etimologis maupun terminologis
bisa disimpulkan bahwa istilah ghulul diambil dari Surah Ali ‘Imran (3) ayat 161,
ومن يغلل يأ ت بما غل يوم القيمة ثم توفى كل نفس ما كسبت وهم ال يظلمون وما كا ن لنبي أن يغل
Artinya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap –tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiyaya. (QS Ali ‘Imran (3) ayat 161)
Pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan
atau berlaku curang, dan khianat terhadap harta rampasan perang. Akan tetapi,
dalam pemikiran berikutnya berkembang menjadi tindakan curang dan khianat
terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal,
harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja sama bisnis,
harta Negara, harta zakat, dan lain-lain.
Mengutip buku yang di tulis oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
bahwa Rasulullah SAW dalam hadisnya memperjelas makna ghulul pada
beberapa bentuk:
57 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 81.
46
a. Komisi: tindakan seseorang yang mengambil sesuatu penghasilan di luar
gajinya yang telah ditetapkan.
خذ عن النبي صل اهللا علیھ و سلم قا ل من استعملنا ه على عمل فرز قنا ه ر زقا فما أ
) رواه أبو دا ود(بعد ذ لك فھو غلو ل
“ siapa saja yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Daud).58
b. Hadiah: orang yang mendapatkan hadiah karena jabatan yang melekat pada
dirinya.59
دة الها اإل إلى يل م مغلو )اهور دمأح(
“ hadiah yang diberikan kepada imam atau kepla Negara adalah haram.” (HR.Ahmad).60
Sanksi hukum pada ghulul tampaknya bersifat sanksi moral. Ghulul mirip
dengan jarimah riddah. Untuk dua jenis jarimah ini, walaupun dalam ayat
Alquran tidak disebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya, tetapi dalam beberapa
hadis Rasulullah secara tegas disebutkan teknis dan jumlah sanksi keduanya. Hal
inilah yang membedakan antara ghulul dan jarimah qisas dan hudud sehingga
ghulul masuk dalam kategori jarimah takzir.
Sanksi moral pelaku ghulul berupa risiko akan dipermalukan di hadapan
Allah kelak pada hari kiamat, tampaknya sangat sesuai dengan jenis sanksi moral
58 Abi Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, ( Beirut: Dar- al-Fikr1974M/ 1394H), juz 3, hlm.
353. 59 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi,( Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Peradaban, 2006), cet pertama, hlm. 56. 60 Asy-syaukani, Nail Al-Autar, ( Beirut: Dar Al-Fikr) , jilid VIII, hlm. 311.
47
yang ditetapkan oleh Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam sebuah
riwayat imam Abu Dawud dengan judul “ باب في تعظیم الغلول” (Bab perbuatan
penggelapan). Bentuk sanksi moral lain selain yang dinyatakan dalam surah Ali
Imran (3) ayat 161 dan hadis tentang jenazah pelaku ghulul tidak dishalatkan oleh
Rasulullah karena korupsi sekitar Rp127.500,00 di atas, masih terdapat beberapa
hadis lain yang mendukung eksistensi bentuk sanksi moral seperti ini, antara lain
hadis tentang kasus ghulul terhadap mantel (syamlah) oleh seorang budak
bernama Mid’am.61
Dengan demikian, tindakan ghulul (penggelapan) terhadap harta rampasan
perang, zakat, jizyah, dan sumber-sumber pendapatan negara dalam bentuk lain di
zaman Rasulullah saw tidak dikriminalisasikan, melainkan secara berulang kali
diancam dengan neraka sebagi sanksi ukhrawi, dengan tetap mengedepankan
pembinaan moral, baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat sehingga dalam
satu kasus Rasulullah tidak berkenan menyalati jenazah pelaku ghulul bahkan,
secara tegas Rasulullah saw bersabda bahwa sedekah para koruptor dari hasil
korupsinya tidak akan diterima Allah seperti ditolaknya ibadah sholat tanpa
wudhu.62
61 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 82.
62 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 88.
48
Sebagaimana telah didefinisikan di atas, maka ghulul memenuhi semua
unsur korupsi, karena:
a. Ghulul terjadi karena ada niat untuk memperkaya diri sendiri.
b. Ghulul merugikan orang lain dan sekaligus merugikan kekayaan negara
karena ghanimah (harta rampasan perang) dan hadiah yang digelapkan (diterima)
oleh para pelakunya mengakibatkan kerugian hak orang lain dan hak negara.
c. Ghulul terjadi disebabkan karena adanya penyalahgunaan wewenang.63
Dari uraian tentang ghulul di atas, bisa diketahui bahwa bentuk Korupsi
dalam fiqh jinayah yang terjadi di zaman Rasulullah adalah ghulul. Pada mulanya
ghulul terbatas pada penggelapan, khianat, atau pengambilan harta rampasan
perang sebelum dikumpulkan dengan sejumlah harta benda lain untuk dibagikan
sesuai ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, dalam perkembangannya ghulul juga
meliputi bentuk penggelapan atau pengambilan harta negara dalam bentuk lain,
seperti harta zakat dan jizyah untuk yang disebut terakhir ini atas nama hadiah,
hal ini tetap dianggap sebagai ghulul.
Dalam kasus ghulul pada zaman Rasulullah saw tindakan, beliau lebih
dominan pada penekanan pembinaan moral masyarakat, beliau tidak
mengkriminalisasikan ghulul karena nominal harta yang dikorup itu relatif sangat
kecil- kurang dari tiga dirham- , hanya berupa mantel, dan bahkan hanya berupa
seutas atau dua utas tali sepatu.
63 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi,( Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Peradaban, 2006), cet pertama, hlm. 59.
49
Seandainya jumlah yang dikorup itu mencapai jutaan atau ratusan juta
rupiah, bahkan jutaan dolar maka pastilah sanksi hukum yang keras akan beliau
tetapkan, bukan sekedar sanksi moral berupa tidak dishalati oleh Rasulullah pada
saat koruptor itu meninggal dan pasti tidak cukup hanya dengan diancam siksa
neraka di akhirat, tetapi juga sanksi di dunia.64
B. Khianat
Kata Khianat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk verbal
noun atau masdar dari kata kerja . یخون –خا ن selain خیا نة bentuk masdar –nya bisa
berupa مخا نة –خانة –خونا yang semuanya berarti “ أن یؤتمن اإلنسان فال ینصح“ (sikap
tidak becusnya seseorang pada saat diberikan kepercayaan).65
Secara umum khianat di artikan dengan tidak menepati janji. Dalam
Alquran surat al- Anfal: 27 dikemukakan tentang larangan mengkhianati antara
sesama manusia
ا اهللا أيون وخا ال تونآم ني ا الذها يون وخت ل ووس الر وكما تن أ مانولمعت متأن و
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula kamu berkhianat terhadap amanah yang diberikan kepadamu sedangkan kamu mengetahuinya.(QS al-Anfal (8) ayat 27)
Amanat yang dilarang untuk dikhianati bisa meliputi amanat politik,
ekonomi, bisnis (muamalah), sosial, dan pergaulan.66 Dalam hubungan
64 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 89. 65 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 111. 66 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 25.
50
pemidanaan dalam fiqih, khianat dikhususkan untuk tindakan yang mengingkari
pinjaman barang yang telah dipinjamnya. Tetapi, khianat juga merupakan sesuatu
yang melekat pada ghulul sebab orang yang melakukan ghulul berarti berkhianat.
Sebagaimana penjelasan M. Shadiq Khan dalam tafsirnya Nail al-Maram min
Tafsir Ayat al-Ahkam:
Mengorupsi sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam
hartanya dan menyembunyikannya, kemudian dia mengkhianati sahabatnya dalam
(harta) itu.67
Tidak seperti dalil-dalil jarimah ghulul, risywah, dan ghasab, pada dalil
jarimah khianat, sanksi hukum tidak disebutkan secara eksplisit, jelas, dan
konkret. Oleh karena itu, khianat masuk dalam kategori jarimah takzir, bukan
pada ranah hudud dan qisas/diyat.
Bukti konkret secara historis menunjukkan bahwa seseorang yang tidak
setuju dengan pendirian Umar bin al- Khaththab, yang beranggapan bahwa
pengkhianat layak dihukum mati oleh Rasulullah saw (sebagai kepala Negara di
Madinah ketika itu). Seorang pengkhianat itu bernama Hatib bin Abi Balta’ah, ia
membocorkan rahasia kaum muslim yang berencana melakukan fathu Makkah
bersama Rasulullah saw. Sikap dan perbuatan Hatib bin Abi Balta’ah ini dinilai
sebagai pengkhianatan terhadap Negara Islam. Jika bukan karena kebijaksanaan
yang dilakukan Rasulullah saw dan karena keikutsertaan Hatib bin Abi Balta’ah
dalam perang Badar, tentu ia mendapat hukuman berat. Kasus Hatib bin Abi
67 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 25.
51
Balta’ah ini dikemukakan oleh Imam al-Bukhari dalam tiga bab, yaitu dalam
masalah maghazi, isti dzan, dan istitabah al-murtadin.68
Dengan demikian, hukuman takzir bagi seseorang yang mengkhianati
Allah, Rasulullah saw dan seluruh kaum muslim seperti Hatib bin Abi Balta’ah
adalah berupa hukuman mati, walaupun atas pertimbangan dan ijtihad Rasulullah
saw hukuman berat ini tidak perlu diberlakukan mengingat ia telah bersikap jujur
dan tulus, bahkan iya juga seorang sahabat yang berjasa besar mengikuti perang
Badar.69
Dengan dikemukakakannya kasus pengkhianatan oleh dua orang sahabat
Rasulullah saw yaitu Hatib bin Abi Balta’ah – dengan surat rahasianya- dan Abu
Lubabah – dengan isyarat tangan pada bagian kerongkongannya merupakan arti
bahwa Yahudi akan dibantai akibat keputusan Sa’ad bin Mu’az- bisa diketahui
bahwa sanksi hukum pengkhianatan adalah berupa hukuman takzir, yaitu hukum
yang diputuskan oleh penguasa setempat.70
C. Risywah ( penyuapan)
secara etimologis mengutip pendapat Nurul Irfan kata risywah berasal
dari bahasa Arab “ یر شو - رشا ’’ yang masdar atau verbal nounnya bisa dibaca “
رشوة, رشوة ” atau “ رشوة,” (huruf ra’ -nya dibaca kasrah, fathah atau dammah
berarti “ الجعل,” yaitu upah, hadiah, komisi atau suap. Ibnu Manzhur juga
68 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 113. 69 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 114. 70 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 117.
52
mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna risywah, ia mengatakan
bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat رشا الفرخ ”anak burung merengek-
rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya untuk disuapi.71
Adapun secara terminologis, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar. 72
Dalam sebuah kasus, risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi
(al-rasyi), pihak penerima pemberian tersebut (al-murtasyi) dan barang bentuk
dan jenis pemberian yang diserah terimakan. Akan tetapi, dalam kasus risywah
tertentu boleh jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi, penerima, dan barang
objek risywah-nya, melainkan juga melibatkan pihak keempat sebagai broker atau
perantara antara pihak pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak
kelima, misalnya, pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para
pihak dimaksud.73
71 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 89. 72 Ibrahim Anis, dkk., al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972),
cet ke-2, hlm. 348. 73 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 90.
53
Di samping rumusan tersebut, ada definisi lain tentang risywah, yakni
sesuatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara agar tujuan tersebut
dapat tercapai. Definisi ini dapat diambil dari asal kata rosya yang bermakna tali
timba yang dipergunakan untuk tali timba dari sumur.74
Adapun beberapa hadis tentang risywah yang dibahas oleh para ulama
tersebut adalah bahwa laknat Allah akan (ditimpakan) kepada orang yang
menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum, Rasulullah saw melaknat orang
yang menyuap dan yang disuap, dan Rasulullah melaknat orang yang menyuap,
orang yang disuap, dan orang yang menghubungkan, yaitu orang yang berjalan di
antara keduanya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sya’bi bahwa seorang munafik (berpura-
pura masuk Islam) bersengketa dengan seorang yahudi di kota Madinah, maka
ketika Yahudi meminta agar persengketaan mereka diadili oleh Nabi Muhammad
karena dia tahu bahwa Nabi Saw tidak menerima sogok, orang munafik tadi
menolak permintaan Yahudi. Lalu mereka sepakat untuk mendatangi seorang
thagut (dukun, para normal) untuk memutuskan perkara mereka. Lalu Allah Swt
menurunkan firmanNya mengutuk orang munafik tadi.75
مهن أنومع زي نيإلى الذ رت آألمم و كزل إليا بمآ أنونآم ون أن يدريي كلقب نزل موا إلى الطأنا كمحواترأم قدو أن اغوت
وايكفر ريديو ابه أن ي طنيللشض ملهاضديعال ب
74 Abu Fida Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian
Jiwa), (Jakarta: Republika, 2004), cet pertama, hlm. 3. 75 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer,( Bogor: P.T. Berkat Mulia,
2012), cet pertama, hlm. 184.
54
“ Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu mereka hendak berhakim kepada thagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thagut itu, dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa (4) ayat 60)
Suap merupakan salah satu dosa besar, sebagaimana yang dikemukakan
oleh al-Dzahabi dalam kitab al-Kaba’ir. Menurutnya, suap termasuk dosa besar
yang ke-22,76 hanya saja Dzahabi mengatakan sebuah pernyataan yang dikritik
secara keras oleh al- Syaukani di atas.
Dengan mencermati pendapat ulama di atas, bisa diketahui bahwa pada
umumnya ulama membolehkan suap yang bertujuan memperjuangkan hak atau
menolak kezaliman yang mengancam keselamatan diri seseorang. Masalahnya,
jika budaya seperti itu dipraktikkan di Indonesia –yang sedang berusaha keras
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme –justru akan sangat rentan sebab
seorang akan berupaya mencari celah dan alasan agar bisa mendapat hak atau agar
selamat dari ketidakadilan dan kezaliman sehingga akhirnya ia melakukan
penyuapan kepada pejabat atau pihak yang berwenang.
Dari uraian tentang pengertian dan hukum risywah di atas, bisa
disimpulkan bahwa risywah atau suap adalah suatu pemberian yang diberikan
seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu dengan tujuan yang
diinginkan oleh kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima pemberian
tersebut. Dalam kasus penyuapan biasanya melibatkan tiga unsur utama, yaitu
pemberi suap ( al-Rasyi), penerima suap (al-Murtasyi), dan barang atau nilai yang
76 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 81.
55
diserahterimakan dalam kasus suap. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan dalam suatu kasus suap juga melibatkan pihak keempat broker atau
perantara anatara pemberi dan penerima suap. Broker atau perantara ini disebut
dengan al-raisy.77
Hukum perbuatan risywah disepakati para ulama adalah haram, khususnya
risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau menyalahkan
yang benar. Akan tetapi, para ulama menganggap halal sebuah bentuk suap yang
dilakukan dalam rangka menuntut atau memperjuangkan hak yang mesti diterima
oleh pihak pemberi suap atau dalam rangka menolak kezaliman, kemudaratan, dan
ketidakadilan yang dirasakan oleh pemberi suap.
A. Klasifikasi dan sanksi hukum Risywah
1) Klasifikasi Risywah
Pada uraian sebelumnya dikemukakan hukum risywah, suap, atau oleh UU No.31
Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12b disebut
dengan gratifikasi, ada yang disepakati haram dan ada yang disepakati halal
hukumnya oleh para ulama.
Risywah yang disepakati haram oleh para ulama adalah risywah yang
dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang
benar. Dengan kata lain, suap yang haram adalah suap yang akibatnya
mengalahkan pihak semestinya kalah. Sedangkan suap yang dinyatakan oleh
77 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 100.
56
mayoritas ulama halal adalah suap yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntut
atau memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi suap (al-Rasyi)
atau untuk menolak kemudaratan, dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak
pemberi suap tersebut.
Pembagian dua jenis suap yang haram dan halal ini tidak secara eksplisit
bisa ditemukan dalam berbagai uraian ulama sebab haram atau halalnya suap
tergantung pada niat dan motivasi penyuap ketika memberikan suapnya sehingga
ada yang dianggap halal bagi penyuap tetapi haram bagi petugas, pegawai atau
hakim sebagai pihak penerima (al-akhidz). 78
2) Sanksi Hukum bagi pelaku Risywah
Berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah, tampaknya tidak jauh
berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul, yaitu hukum takzir sebab
keduanya tidak termasuk dalam ranah qisas dan hudud. Dalam hal ini, Abdullah
Muhsin al-Thariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak pidana
suap tidak disebutkan secara jelas oleh syariat (Alquran dan hadis), mengingat
sanksi tindak pidana risywah masuk dalam kategori sanksi –sanksi takzir yang
kompetensinya ada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi yang sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara
stabilitas hidup bermasyarakat sehingga berat dan ringannya sanksi hukum harus
disesuaikan dengan jenis pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan
78 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 101.
57
dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motivasi-motivasi yang
mendorong sebuah tindak pidana dilakukan.
Dalam beberapa hadis tentang risywah, disebutkan dengan pernyataan لعن
Allah melaknat penyuap dan”لعنة اهللا على الرشي و املرتشي “ atau dengan اهللا الراشي و املرثشي
penerima suap atau dengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuap dan
penerimanya. Para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat
atau terkutuk, hal ini menjadikan risywah dikategorikan ke dalam daftar dosa –
dosa besar.79 Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara
menjatuhkan sanksi maka risywah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana
takzir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa karena dalam teks-teks dalil tentang
tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan
maka sanksi yang diberlakukan adalah hukum takzir.80
D. Merampok
a) pengertian Hirabah
Menurut buku Tindak Pidana dalam Syariat Islam, hirabah adalah tindak
kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok atau seorang bersenjata yang
mungkin akan menyerang orang ditempat manapun dan mereka merampas harta
79 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 103. 80 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 104.
58
korbannya dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta
pertolongan maka mereka akan menggunakan kekerasan. 81
Sedangkan menurut buku Fiqh Jinayah, hirabah adalah tindak kejahatan
yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.82
Disamping rumusan tersebut, di dalam kitab al-Hudud fi al-Islami ada
definisi lain tentang hirabah yakni, hirabah adalah pembegalan di jalan,
mengalirkan darah dan melukai anggota badan.83
Mengutip pendapat Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok di dalam
bukunya bahwasanya Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan
jarimah perampokan (hirabah) diantaranya :84
1. Pendapat Hanafiyah : perbuatan mengambil harta secara terang-terangan
dari orang-orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
2. Pendapat Malikiyah : mengambil harta dengan cara penipuan baik
menggunakan kekuatan maupun tidak.
3. Pendapat Syafi’iyyah : mengambil harta / membunuh / menakut-nakuti
yang dilakukan dengan senjata di tempat yang jauh dari pertolongan.
4. Pendapat Hanabilah : mengambil harta orang lain secara terang-terangan
di padang pasir menggunakan senjata.
81 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Hudud dan Kewarisan. ( Jakarta:
Raja Grafindo, 1404H), cet pertama, hlm.120. 82 Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), cet pertama, hlm. 87. 83 Muhammad bin Muhammad Abu Syaibah, al-Hudud al-Islami, hal.85. 84 Enceng Arif Faizal, Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana
Islam), (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), cet pertama, hlm. 151-152.
59
5. Pendapat Zhahiriyah : orang yang melakukan kekerasan, menakut-nakuti
pengguna jalan, dan membuat onar/kerusakan di bumi
Perbedaannya adalah mencuri berarti mengambil barang orang lain secara
diam-diam, sedangkan hirabah adalah mengambil barang orang lain dengan cara
anarkis/terang-terangan.85
Jadi hirabah itu adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan
menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan
dimana saja baik dilakukan satu orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan
siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.86
b. Dalil naqli tentang perampokan disebutkan secara tegas di dalam surah
al-Mai’dah (50) ayat 33:
ن خلاف أو أيديهم وأرجلهم مقتلوا أو يصلبوا أو تقطع الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن ي ؤاإنما جزا
يزخ مله كض ذلالأر نا مفوني يمظع ذابع ةري الآخف ملها ويني الدف
Sesungguhnya hukuman bagi orang –orang yang memerangi Allah dan rasulnya- nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri ( tempat kediamannya). Yang demikian itu ( sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.(QS al-Maidah (50) ayat 33)
Ulama-ulama mazhab Syafi’i dan Abu Hanifah memahami kata aw (atau)
pada ayat ini sebagai rincian yang disebut sanksinya secara berurutan sesuai
dengan bentuk dan jenis kejahatan yang dilakukan oleh perampok. Jika perampok
85 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), cet pertama, hlm.
69. 86 Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), cet pertama, hlm. 89.
60
tersebut membunuh maka ia pun harus dibunuh. Bila ia membunuh, merampok,
dan menakut-nakuti orang maka ia dibunuh dan disalib. Jika hanya merampok dan
tidak membunuh maka kaki dan tangannya dipotong menyilang. Dan jika tidak
melakukan apa-apa dan hanya menakut-nakuti, maka ia dibuang /dipenjarakan.
pilihan, yakni empat macam hukuman yang disebut di atas, diserahkan kepada
yang berwenang untuk memilih mana yang paling sesuai dan adil dengan
kejahatan pelaku. Jika pelaku kejahatan itu membunuh, maka ia pun harus
dibunuh, dan dalam hal ini yang berwenang dapat memilih antara hukum mati
dengan cara salib atau dengan cara biasa. Yang berwenang tidak boleh memilih
selain dari dua hal tersebut. Jika pelaku merampas harta tanpa membunuh maka
pilihan hukum berkisar pada bunuh, salib, dan potong kaki dan tangannya secara
menyilang, membuang atau memenjarakannya tidak termasuk pilihan, hukuman
ini termasuk pilihan bersama dengan tiga hukuman yang lain, bila penjahat
tersebut hanya menakut-nakuti, tidak merampas harta apalagi membunuh.87
Di samping atas dasar ayat di atas, Imam al- Bukhari, Muslim, dan al-
Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis sekaligus sebagai penyebab diturunkannya
ayat tentang hirabah di atas88. Imam al-Nawai menjelaskan hadis yang menjadi
latar belakang turunnya ayat tentang perampokan, ia mengatakan bahwa para
ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis al-‘Uraniyyin ini. Sebagian ulama
87 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 124. 88 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut: “ Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ada
sekelompok orang dari (suku urainah) yang memasuki kota madinah untuk bertemu dengan Rasulullah saw, namun mereka sakit karena tidak cocok dengan cuaca di kota Madinah. Pada waktu itu Rasulullah saw bersabda kepada mereka, jika kalian mao berobat, sebaiknya kalian menuju ke suatu tempat,
61
salaf berpendapat bahwa hadis ini terjadi sebelum turun ayat tentang hudud,
sedangkan ayat tentang perampokan dan larangan tentang mutilasi telah terhapus,
konon hal itu tidak terhapus. Terhadap kasus al-‘Uraniyyin ini turunlah ayat
tentang sanksi perampokan, sesungguhnya apa yang dilakukan Rasulullah saw
terhadap mereka adalah dalam rangka meng-qisas sebab mereka memperlakukan
para penggembala ( unta-unta sedekah milik Rasulullah saw) dengan tindakan
yang sama.89 Dengan demikian, pemberlakuan sanksi hukum terhadap pelaku
jarimah hirabah harus disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan
perampok. Masalah sanksi pengasingan sebagai sanksi paling ringan di antara
keempat sanksi tersebut, tampaknya juga banyak diperselisihkan oleh para ulama,
apakah maksudnya diusir, diasingkan, dipenjara atau diperlakukan dengan cara-
cara tertentu.
E. Al-Maks (pungutan liar) dan al-Ihtihab (perampasan)
a. Pengertian al-maks dan Dalil keharamannya
Yang dimaksud al-maksu adalah memungut cukai yakni mengambil apa
yang bukan haknya diberikan kepada yang tidak berhak.90 Perbuatan memungut
cukai termasuk ke dalam firman Allah Swt.
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS. Asyy-Syura: 42.)
89 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 125. 90 Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian
Jiwa), (Jakarta: Republika, 2004), cet pertama, hlm.33.
62
Sementara itu Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil mendefinisikan al-maks sebagai berikut:
ملكس وهو ما تر تبه الظلمة من السال طني يف اموال الناس بقوانني ابتدعوها ا
Al-maks adalah suatu aturan yang ditentukan oleh penguasa-penguasa secara zalim, berkaitan dengan harta-harta manusia, (aturan ini) diatur dengan undang-undang yang sengaja dibuat/ Diada-adakan.91
Dengan rumusan definisi al-maks seperti ini menunjukkkan adanya
arogansi seseorang atau sistem dalam sebuah rezim yang kuat, sehingga bisa
melegalisasi suatu aturan yang pada satu sisi menguntungkan pihak penguasa,
tetapi di sisi lain merugikan pihak-pihak yang diatur.
Dari uraian tentang pengertian al-maks di atas, dapat disimpulkan bahwa
tradisi pungutan liar atau cukai illegal sudah dikenal sejak masa permulaan
lahirnya Islam, bahkan sejak zaman jahiliah sudah sering terjadi kasus-kasus
pemerasan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada para pedagang di pasar-
pasar. Biasanya jumlah nominal yang ditetapkan sebesar 1/10 dari harta yang
mereka bawa pada hari itu, sebab hal ini terjadai secara terus-menerus, bahkan
terkadang melibatkan aparat setempat dengan membuat-buat aturan yang
mengada-ada agar terkesan resmi, padahal unsur kezaliman bahkan tendensi
pemerasannya tetap dominan.
Adapun dalil syara’ tentang diharamkannya praktik pungutan liar, cukai
illegal atau al-maks ini, antara lain adalah firman Allah:
ئك لهم عذاب أليملإنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أو
91 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 129.
63
Artinya : Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS.al-Syu’ra (42): 42)
Orang yang memungut cukai itu adalah orang yang paling besar
bantuannya kepada orang yang zhalim. Bahkan dia sendiri termasuk orang zhalim.
Sebab, ia telah mengambil apa yang bukan haknya dan memeberikannya kepada
yang tidak berhak.92
Dalam hadisnya Rasulullah SAW bersabda:
صا ةرة فلم يقبلها كان عليه مثل خطيئعذخيه مبأ إىل رذعن جودان قال قال رسو ل هللا صلى هللا عليه و سلم من اعت
حب مكس
“Dari jaudan berkata, Rasulullah saw bersabda, barangsiapa mengemukakan suatu alasan kepada saudaranya, tetapi saudaranya tersebut tidak menerimanya maka ia berdosa seperti dosanya pelaku pungutan liar. (HR.Ibnu Majah).93
Hadis ini mirip sekali dengan sabda Rasulullah saw riwayat Imam
Muslim, pada saat mengatur Khalid bin Walid ketika terkena percikan darah segar
yang mengalir dari wajah wanita al- Ghamidiyah, pelaku zina muhsan dihukum
rajam. Pada saat itu beliau bersabda:
ي نفسي بيده لقد تا بت توبة لو تا ا صا حب مكس لغفر لهذمهال يا خا لد فوال
92 Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian
Jiwa), (Jakarta: Republika, 2004), cet pertama, hlm. 33. 93 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar- Al-Fikr, 1995), jilid 2, hlm.
64
“(pelan-pelan) wahai Khalid, demi Allah yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya wanita ini telah bertaubat yang jika taubat itu dilakukan oleh pelaku pungutan liar, pasti diampuni. (HR.Muslim)94
Letak kemiripan kedua hadis ini adalah bahwa persoalan pelaku pengutan
liar menurut keduanya hanya sebagai anak kalimat dan sekedar sebagai
perbandingan, sebab hadis Ibnu Majah pokok masalahnya adalah tentang dosa
seseorang yang tidak bisa menerima alasan pihak lain dan pada hadis Muslim, inti
persoalannya adalah mengenai taubatnya seorang wanita al-Ghamidiyah pelaku
zina muhsan. Keduanya tidak sedang membahas persoalan al-maks. Namun
demikian dari keduanya bisa diketahui bahwa pelaku pungli jelas berdosa besar
sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad terdahulu yang menyatakan
di ancam hukuman neraka para pelaku pungutan liar.
Pemungut cukai itu memikul tanggung jawab pengania-yaan terhadap
manusia. Pada hari kiamat kelak mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk
membayar kembali hak orang yang sudah diambilnya. Sesungguhnya mereka
akan membayarnya dengan diambilkan dari kebaikannya.95
ا مت بصالة وصيام إن الملس من أميت من يأيت يوم القي: فقال. الملس فينا من ال درهم له وال متاع: قالوا ؟تدرون ما المفلسأعطى هذا من حسناته وهذا من في, رب هذاوأكل ما ل هذا سفك دم هذا وض وقذف هذا ويأ تي قد شتم هذا, كاة وذ
هاتنسفإن .ح هليا عى مقضل أن يقب هاتنسح تفني ,ع تفطرح ماهطا يخ نذ ماأخيف الن طرح ثم هرلي
Rasulullah saw bersabda, “ Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut (muflis) itu? sahabat menjawab, wahai Rasulullah orang yang bangkrut itu adalah orang yang tidak memiliki dirham atau kekayaan. Rasulullah saw bersabda:sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah orang- orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan haji. Namun ia datang dengan membawa dosa kedzaliman, ia telah mencela
94 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 135.
95 Abu Fida’Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucuian Jiwa), (Jakarta: Republika, 2006), cet pertama, hlm. 34.
65
seseorang,menuduh tanpa bukti terhadap seseorang, mengambil harta, melecehkan kehormatan, dan menumpahkan darah-nya, dan memukul orang itu. Maka kebaikannya diambil untuk orang tersebut. Apabila kebaikannya telah habis sebelum habis kebaikan-nya terhadap orang- orang tersebut, maka diambillah kesalahan orang-orang itu, lalu dipindahkan kepadanya, sehingga akhirnya ia dimasukkan ke dalam neraka. (HR. Muslim No 6522).
Itulah nash-nash syar’iyyah yang menyatakan bahwa pungutan liar, cukai
illegal atau al-maks merupakan salah satu bentuk tindak pidana ekonomi yang
jelas akan merugikan pihak lain termasuk pelaku pungli itu sendiri. Dalil-dalil
yang menyatakan bahwa al-maks merupakan jarimah, ada yang secara langsung
dan ada yang hanya menyebut secara sekilas dikaitkan dengan persoalan
pelanggaran jenis lain, semuanya menggunakan istilah sahib maksin.
b. pengertian al-Ihtihab dan Dalil keharamannya
Secara etimologis, al-Ihtihab berasal dari kata نھبا - ینھب / ینھب - نھب yang
berarti الغارة والسلب menipu, memperdaya, dan merampas.96 Sedangkan secara
terminologis dikemukakan oleh beberapa penulis seperti al-Fayyumi dalam al-
Misbah al-Munir. Menurutnya al-ihtihab didefinisikan sebagai: الغلبة على المال القھر
menguasai dan memaksa atas harta. Menurut Muhammad bin Salim bin Sa’id
Babashil, al-ihtihab adalah أخذ المال جھارا(mengambil harta (orang lain) secara
terang-terangan).97
Kedua definisi al-Ihtihab oleh al-Fayyumi dan Babashil di atas tampak
sangat singkat dan sederhana. Unsur-unsur yang terdapat pada rumusan definisi
mereka adalah mengambil harta orang lain, dengan cara memkasa dan dilakukan
96 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 139.
97 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet pertama, hlm. 139.
66
secara terang-terangan. Definisi al-Ihtihab yang lebih lengkap dikemukakan oleh
Syamsul Haq al-‘Azim Abadi sebagai berikut:
طالق السرقة عليه إسرا لكن ليس عليه قطع لعدم ألخذقبح من اأعلى وجه العال نية قهرا و النهب و ان كان ألخذ النهب هو ا
“Al-Nahb adalah mengambil (harta orang lain) dengan cara terang-terangan dan memaksa walaupun cara ini dinilai lebih buruk daripada mengambil (milik orang lain) secara sembunyi-sembunyi, tetapi pelaku tidak diancam sanksi pidana potong tangan karena al-nahb ini tidak termasuk jarimah sariqah/pencurian).
d. Sanksi Hukum pelaku al-Ihtihab
Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku al-ihtihab ini dalam hadis di atas yang
menegaskan bahwa:
ائن قطعخلال على ا ليس على املختلس وال على املنتهب و
“Hukuman potong tangan (yang berlaku bagi pencuri) tidak berlaku pada kasus pencopetan, penjambretan, dan pengkhianatan. (HR. al-Baihaqi, Abu Dawud, al-Tirmidzi,
Sudah jelas bahwa pelaku al-ihtihab sanksi hukumannya berupa hukuman
takzir. Dalam definisi al-nahb oleh Syamsul Haq Azi, bahkan secara implisit
dinyatakan sebagai berikut:
“Al-Nahb (penjambretan) walaupun lebih jelek daripada mengambil milik
orang lain secara sembunyi-sembunyi (pencurian) tetapi hukuman potong tangan
tidak berlaku sebab unsur-unsur yang bisa terdapat dalam tindak pidana pencurian
tidak terdapat di dalamnya.98
98 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 140.
67
Mengenai tidak berlakunya hukuman potong tangan bagi pelaku al-ihtihab
ini dijelaskan oleh Khalil Ahmad al-Siharanfuri sebagai berikut:
Alasan tidak berlakunya hukuman potong tangan pada kasus al-ihtihab ini karena
hukum potong tangan bagi pencuri secara eksplisit dan jelas ditetapkan dalam
nash (Alquran), padahal al-ihtihab serta khianat bukan pencurian, sebab lain
karena dalam al-ihtihab proses pengambilan harta itu tidak dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan dalam khianat pengambilannya tidak dilakukan pada saat
harta berada dalam tempat penyimpanannya.
Senada dengan apa yang dipaparkan al-Siharanfuri ini, Imam al-Nawawi
yang juga dikutip oleh al-Mubarakfuri menegaskan bahwa hukum potong tangan
hanya berlaku bagi pencuri, bukan pencopet dan/ atau penjabret. Dalam hal ini al-
Mubarakfuri mengatakan:
Al-Nawawi dalam Syarh Muslim berkata, al-Qadi’ Iyad berkata, Allah
mewajibkan sanksi potong tangan hanya khusus pada kasus pencurian bukan pada
kejahatan-kejahatan material jenis lain, seperti al-ikhtilas, al-ihtihab, dan ghasab.
Sebab dalam kasus –kasus ini bila dibandingkan dengan pencurian, relatif kecil.
Sebab lain, karena kejahatan-kejahatan material jenis ini sangat dimungkinkan
penyelesaiannya dengan cara diserahkan kepada pemerintah dan pembuktiannya
pun relatif mudah, berbeda dengan pencurian yang dianggap lebih besar
68
permasalahannya sehingga diperkeras sanksinya agar lebih mengena dalam
(upaya) penaggulangannya.99
Secara lebih rinci dan mendetail perbedaan konsep dan unsur-unsur antara
mencuri, mencopet dan menjambret, dikemukakan oleh Abdul Mu’thi Amin
dalam Kitab Ma’rifat al- Sunan wa al-Atsar sebagai berikut:
Perbedaaan konsep dan pandangan antara sanksi hukum bagi pencuri, yang harus
dipotong tangannya dan pencopet, penjambret serta tukang ghasab yang tidak
diberi sanksi hukum potong tangan, bisa dikemukakan sebagai berikut.100
Sungguh tidak mungkin untuk memprotek datangnya seorang pencuti sebab
pencuri datang dengan cara melubangi pagar, merusak brankas, menjebol kunci,
pemilik harta tidak mungkin berupaya yang melebihi dari kebiasaan yang berlaku.
Kalau tidak ada aturan hukum untuk memotong tangan pencuri maka akan terjadi
tindakan saling mencuri antara satu orang dengan orang lain, pada saat itu akan
semakin besar berbagai fitnah dan mudarat yang terjadi akibat ulah para pencuri.
Hal ini berbeda dengan sanksi pelaku penjambretan dan pencopetan.
Adapun penjambret adalah orang yang mengambil harta( milik orang lain) secara
terang-terangan di depan umum, pada saat itu besar kemungkinan penjambret
akan dihakimi masa atas tindakannya, masa pun melakukan hal itu dalam rangka
99 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 143. 100 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 144.
69
memperjuangkan/ melindungi hak korban yang terzalimi, atau masa bahkan akan
siap menjadi saksi (atas kejahatan pelaku) di depan hakim.101
Sementara itu, pencopet, ia beraksi mengambil harta orang lain pada saat korban
pemilik harta tersebut terlena sehingga ia tidak akan berbuat ceroboh agar ia
berhasil mencopet, ia bahkan akan melakukannya dengan penuh kesadaran dan
kewaspadaan tinggi, sebab kalau tidak, pasti tidak mungkin berhasil mencopet. Di
sinilah letak perbedaannya dengan pencuri, pencopet justru mirirp dengan
pengecut/pengkhianat, lagi pula pencopet mengambil harta bukan dari tempat
penyimpanannya yang pada umumnya dilakukan oleh orang. Jadi, pencopet
adalah orang yang memperdaya kamu, mencopet harta bendamu pada saat kamu
terperdaya, di saat kamu terlena dalam menjaganya, demikian Abdul Mu’thi Amin
Qal’aji kemukakan. Di sinilah letak ketidakmungkinan korban untuk menjaga diri
dari tindakan pencopetan secara umum. Pencopet mirip dengan penjambret.
Menurut pendapat penulis di dalam hukum Islam juga terdapat perbuatan yang
sama dengan korupsi seperti, ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab
(mengambil/memakai barang orang lain tanpa izin), khianat, al-maks (pungli), al-
ihtihab (penjambretan). Semua perbuatan ini sanksinya tidak ditentukan secara
tegas oleh Allah Swt di dalam Alquran maupun hadis, oleh karena tidak
ditentukan secara tegas maka takzir menjadi kompetensi hakim atau penguasa
setempat. jadi hukuman yang sesuai dengan tindak pidana tersebut ialah takzir.
101 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 145.
70
Takzir bisa lebih ringan atau lebih berat di bandingkan dengan hudud, karena
tergantung keputusan hakim.
71
BAB IV
SANKSI HUKUM PELAKU PERTANGGUNJAWABAN PIDANA
KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN HUKUM PIDANA
ISLAM
Pada bab ini, merupakan analisis penulis terhadap bab-bab sebelumnya.
Penulis ingin menjelaskan bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap
pelaku pertanggungjawaban pidana korupsi dalam hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif. Selanjutnya akan dibahas persamaan dan perbedaan
ketentuan sanksi hukum dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
terkait tindak pidana korupsi.
A. Sanksi dan pertanggungjawaban pidana korupsi dalam hukum pidana positif
dan hukum Pidana Islam.
1. Sanksi Pidana Tipikor dalam hukum pidana positif
Dari analisis terhadap Undang-undang tindak pidana korupsi bahwa
tindak pidana korupsi merupakan kumpulan dari berbagai tindak pidana, yaitu
tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, suap-menyuap,
tindak pidana korupsi dalam penyalagunakan jabatan, pemerasan, perbuatan
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi, juga dalam
UU Tipikor diatur juga tentang percobaan Permufakatan Jahat dan
Pembantuan Melakukan Tindak pidana Korupsi, dan tindak pidana lain yang
berhubungan dengan hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi.
72
Tetapi fokus pembahasan dan analisis pada bab ini adalah tentang sanksi
dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dalam hukum pidana positif.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi
adalah UU Nomor 3 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999, dan UU Nomor 20
tahun 2001. Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 walaupun dinyatakan tidak
berlaku dengan UU Nomor 31 tahun 1999, sesuai dengan asas hukum, tetap
berlaku untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum berlakunya UU
Nomor 31 tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999. Tindak pidana korupsi dalam
UU Nomor 31 tahun 1999 meliputi tindak pidana berikut.102
Pertama, tindak pidana korupsi yang bersifat umum. Tindak pidana umum yang
merupakan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Pelaku tindak
pidana tidak harus memiliki kualifikasi khusus, seperti pegawai negri atau pejabat
pemerintahan. Tindak pidana ini dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1):
“ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat me-rugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
kedua tindak pidana menyalahgunakan wewenang. Tindak pidana
menyalahgunakan wewenang adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
102 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa Sukses
Penebar Swadaya Grup, 2014, cet pertama), hlm. 29.
73
yang memiliki jabatan atau kedudukan tersebut bertujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Selengkapnya disebutkan dalam pasal 3 UU nomor 31
tahun 1999 sebagai berikut
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah-gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp 1000.000.00,00 ( satu miliar rupiah).
Ketiga, tindak pidana suap, pemberian hadiah dan pemerasan . Tindak pidana
suap dalam UU Nomor 31 tahun 1999 mengacu pada ketentuan pasal-pasal dalam
KUHP dengan ancaman hukuman baru. Pasal-pasal KUHP tentang tindak pidana
suap yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 adalah pasal 209, 210, 418,
419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam
pasal 5,6,11, dan 12 UU nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut:
Pasal 5
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.00,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).103
Pasal 6
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagai – mana dimaksud dalam pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
103 Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU RI No.46 tahun.2009)
(Jakarta: Sinar Grafika, 210, cet pertama), hlm. 37.
74
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 ( tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasl 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 ( lima tahun) dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419. Pasal 420, pasal 423, pasal 425, atau pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (tahun) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).104
Keempat, tindak pidana terkait pemborongan (pasal 387 dan 388 KUHP).
Pasal 7 UU Nomor 31 tahun 1999 menyebutkan:
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana di dipidana dimaksud dalam pasal 387 atau pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Kelima, tindak pidana penggelapan ( pasal 415, 416, dan 417)
Keenam, percobaan, membantu, dan pemufakatan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 UU nomor 31 tahun 1999 sebagai
berikut:
104 Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU RI No. 46 tahun 2009)
(Jakarta: Sinar Grafika, 210, cet pertama), hlm. 42.
75
“Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5, sampai dengan pasal 14.
Ketujuh, tindak pidana dalam proses penanganan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana dalam proses tindak pidana korupsi terdiri atas tiga macam yaitu:
1. Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999, yaitu tindakan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tindakan ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun penjara, dan paling lama 12 (dua belas) tahun penjara dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)
2. Pasal 22 UU Nomor 31 tahun 1999, yaitu tindak pidana dengan sengaja tidak memberi keterangan atau tidak memberi keterangan yang tidak benar terkait dengan kewajiban memberi keterangan tentang harta keluarga terdakwa (pasal 28), keadaan keuangan tersangka/ terdakwa di bank (pasal 29), keterangan sebagai saksi atau ahli ( pasal 35), dan keterangan lain yang karena hal tertentu harus dirahasiakan (pasal 36). Tindak pidana ini diancam dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun penjara dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling sedikitnya Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 60.000.000,- (enam ratus juta rupiah)
Pada tahun 2001 diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana korupsi sehingga ada 13 pasal KUHP yang telah
dinyatakan tidak berlaku lagi.105
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat 13
KUHP yang dinyatakan telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Menurut Andi
Hamzah, tindakan tim perumus undang-undang ini telah melakukan sesuatu yang
cukup beresiko sebab jika Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
105 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Amzah, 2012, cet
pertama), hlm. 73.
76
(UUPTPK) dicabut maka KUHP akan kehilangan beberapa delik, termasuk delik
suap dan delik jabatan.106
Tiga belas pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diambil dari
KUHP, sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 43 Undang-Undang tersebut, bisa
dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 2.1.Pasal-Pasal KUHP yang Diadopsi ke dalam UU No.20
tahun 2001
Jenis Delik Eks Pasal KUHP UU No. 20 Tahun 2001
Suap Pasal 209, 210, 418, 419,
dan 420
Pasal 5, 6, 11, 12, huruf
a, dan 12 huruf c
Penggelapan Pasal 415, 416, dan 417 Pasal 8, 9, dan 10
Pemerasan Pasal 423 dan 425 Pasal 12 huruf e, dan 12
huruf f
Tentang pemborong atau
Rekanan
Pasal 387, 388, dan 435 Pasal 7 huruf a,b, dan 7
huruf c, d, dan 12 huruf i
Sumber: KUHP dan UU No. 20 Tahun 2001
Untuk lebih jelasnya, persamaan dan perbedaaan antara kedua rumusan pasal
tersebut, bisa dilihat pada Tabel 2.2 mengenai perbandingan ketiga belas pasal
dalam KUHP yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
106 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 144.
77
2. Pertanggungjawaban Pidana Tipikor dalam hukum positif
Pertanggungjawaban pidana Tipikor mengenal semacam alasan pembenar, yang
tercantum dalam pasal 17 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971 bahwa “ kalau dalam
perbuaan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan demi kepentingan umum.”
Pertanggungjawaban pidana dalam Tipikor lebih luas daripada hukum pidana
umum, antara lain sebagai berikut.
Kemungkinan hakim atas tuntutan jaksa penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia , yang diduga telah melakukan Tipikor , sebelum putusan
tetap dijatuhkan. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin
melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu dia masih hidup, tetapi
pertanggungjawaban setelah meninggal dunia dibatasi sampai pada
perampasan barang-barangnya yang telah disita.
Perumusan delik dalam pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No. 3 Tahun 1971
pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdapat
unsur: “ langsung atau tidak merugikan keuangan negara” bahkan pada
sub b ada tambahan kata kata “dapat” merugikan keuangan negara.
Hal ini menunjukkan, menurut Andi Hamzah kerugian negara yang timbul
akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan hal yang harus
dipertanggungjawabkan .107
107 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), cet pertama,
hlm.153.
78
3. Sanksi Pidana Tipikor dalam hukum pidana Islam
Adapun di dalam hukum pidana Islam cara untuk menindak para pelaku
korupsi adalah menjalankan sanksi takzir dari yang berat (hukuman mati) hingga
yang teringan (penjara) sesuai dengan berat dan ringannya tindakan dampak
korupsi yang dilakukan.108
Takzir: Instrumen sanksi bagi koruptor
Secara etimologis takzir adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata
kerja یعزر - عزر yang berarti الرد وا لمنع yakni menolak dan mencegah. Kata kerja
ini juga memiliki arti نصره Yakni menolong atau menguatkannya. Takzir adalah
ta’dib, pengajaran tidak masuk dalam kelompok had. Adapun pengertian takzir
secara terminologis adalah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had
syar’i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci maki (pihak lain),
tetapi bukan menuduh (orang lain berbuat zina).
Takzir memang bukan termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun,
bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di
antara sekian banyak jenis dan bentuk takzir berupa hukuman mati.
Dengan demikian, takzir adalah sebuah sanksi hukum yang diberlakukan
kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-
pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan
108 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor
itu Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 32.
79
pelanggaran-pelanggaran dimaksud tidak masuk dalam kategori hukuman hudud
dan kafarat. Oleh karena hukuman takzir tidak ditentukan secara langsung oleh
Alquran dan hadis maka jenis hukuman ini menjadi kompetensi hakim atau
penguasa setempat.
Dalam memberikan definisi takzir Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa
takzir adalah satu jenis hukuman yang tidak termasuk had, berfungsi untuk
mencegah pelaku tindak pidana dari rutinitas kejahatannya, juga untuk menolak
pelaku dari berbuat kemaksiatan.
Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa syariat Islam menyerahkan
kepada ulil amri (penguasa negara) untuk meneliti dan menentukan sanksi pelaku
tindak pidana sesuai dengan kejahatannya, untuk mencegah permusuhan,
mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat kapan dan di mana saja.
Sanksi-sanksi takzir ini sangat beragam/berbeda-beda sesuai dengan situasi dan
kondisi sebuah masyarakat, dan berbagai kondisi lain pada satu masa dan
tempat.109
Jarimah yang dikenakan hukuman takzir ada dua jenis, yaitu:
1. Jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishash jika tidak terpenuhi
salah satu unsur atau rukunnya. Misalnya, jarimah pencurian dihukum takzir jika
barang yang dicuri tidak mencapai nishab (kadar minimal) atau barang yang
dicuri tidak disimpan di tempat semestinya.
109 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), cet
pertama, hlm. 148.
80
2. Jarimah yang tidak dikenakan hukum had dan qishash, seperti jarimah
pengkhianatan terhadap suatu amanat yang telah diberikan, jarimah pembakaran,
suap, dan lain-lain.110
Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan bagi
hakim dalam menentukan jenis hukumannya, yaitu:
1. Perampasan harta orang lain
2. Pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang ; dan
3. Kerja sama dalam kejahatan.
Ketiga unsur tersebut jelas dilarang dalam syariat Islam. Selain pertimbangan
tersebut, diikutsertakan pertimbangan akal sehat, keyakinan, dan rasa keadilan
hakim yang berdasar pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan jenis
hukuman bagi koruptor.
Sementara itu, takzir dalam tindak pidana dapat diklasifikasikan sesuai dengan
berat dan ringanya cara atau akibat yang ditimbulkanya:
a) Celaan dan teguran/ peringatan. Hukuman ini dijatukan kepada pelaku
tindak pidana tertentu yang dinilai ringan namun dianggap merugikan orang lain.
Sebagaimana Nabi saw pernah bersabda: apakah kamu membuat fitnah, wahai
Mua’adz? Ungkapan tersebut beliau ucapkan sewaktu para sahabat mengadukan
tentang shalat Mu’adz yang sangat panjang.
110 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 33.
81
b) Masuk daftar orang tercela (al-tasyhir) yang diberlakukan atas pelaku
kesaksian palsu dan kecurangan dalam bisnis.111 Dalam tradisi klasik,
memasukkan pelaku dalam daftar orang tercela dilakukan dengan mengumumkan
kejahatan serta dosa pelaku pidana di tempat- tempat umum seperti pasar dan
sebagainya.
c) Menasehati dan menjauhkannya dari pergaulan sosial.
Allah berfirman dalam QS Al-Nisa (4):34:
وا لتي تخا فون نشو ز هن فعظو هن وا هجرو هن يف المضا جع
Dan istri-istri yang kamu khawatir melakukan nusyuz maka nasihatilah mereka atau jauhkanlah mereka dari tempat tidur.
Hukum seperti ini, dalam konteks sekarang dapat berbentuk rumah tahanan.
d) memecat dari jabatannya (al-‘azl min al- wadzifah). Hal ini bisa
diberlakukan kepada pelaku yang memangku jabatan publik, baik yang diberi gaji
atau jabatan yang sifatnya sukarela.112
e) Dengan pukulan (dera/cambuk). Hukuman ini diberlakukan kepada
pelaku pidana dengan tidak dimaksudkan untuk melukai atau menganggu
produktivitas kerjanya, sebaliknya diberlakukan dengan tujuan membuat jera si
pelaku. Menurut Abu Hanifah, minimal deraan sebanyak 39 kali. Sedangkan
111 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 33. 112 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor
itu Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. Hlm. 34.
82
ukuran maksimalnya menurut Imam Malik boleh lebih dari seratus kali jika
kondisi menghendaki demikian.
f) Hukuman berupa harta (denda) dan hukuman fisik. Hukuman ini seperti
hukuman yang dikenakan pada kasus pencurian buah-buahan yang masih berada
di pohon. Rasulullah bersabda:
الله رسول عن عمرو الله بن عبد أبيه عن جده عن شعيب بن عمرو عن ابن عجلان قتيبة قال حدثنا الليث عن أخبرنا
منه بشيء خرج ومن عليه شيء فلا خبنة متخذ غير حاجة ذي من أصاب ما فقال المعلق مرتال عن سئل أنه وسلم عليه الله صلى
هلية فعامغر هثلية مقوبالعو نمو قرس دعب هنئا ميأن ش هويؤي رينلغ الجفب نال ثمنجم هليفع القطع نمو قرون سد كذل هليفع
)ئروا ه النسا(ة بقوالعق مثليه غرامة
Telah mengkhabarkan kepada kami [Qutaibah], dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Ibnu 'Ajlan] dari ['Amr bin Syu'aib] dari [ayahnya] dari [kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau ditanya mengenai buah yang menggantung di pohon. Beliau bersabda: "Orang yang mengambilnya karena sangat membutuhkan dan tidak mengambilnya di dalam lipatan kain, maka tidak ada hukuman atasnya. Dan barang siapa yang keluar membawa sebagian darinya (yang ada dalam lipatan kain) maka dia wajib membayar denda dua kalinya, serta mendapat hukuman. Dan barang siapa yang mencuri sebagian darinya setelah terkumpul dalam tempat pengeringan dan mencapai harga tameng maka tangannya dipotong, dan barang siapa yang mencuri kurang dari itu maka dia berkewajiban membayar denda dua kalinya, dan mendapatkan hukuman."(HR al-Nasai’ No.4872).113
g) Penjara. Pemenjaraan bisa berjangka atau jangka panjang, penjara
seumur hidup, misalnya. Hukuman jangka pendek paling sebentar satu hari dan
paling lama tidak ditentukan karena tidak disepakati oleh para Ulama. Ada yang
menyatakan 6 bulan, sementara Ulama yang lain berpendapat tidak boleh
113 Faisal bin Abdul Aziz, Ali Mubarak, terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2001), cet pertama, hlm. 2631.
83
melebihi satu tahun, dan menurut kelompok lain penentuannya diserahkan kepada
pemerintah.
h) Penyaliban. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap pelaku
kerusuhan, keonaran, dan pembangkang yang biasa disebut dengan hirabah.
i) Hukuman mati. Kadang-kadang bentuk hukuman takzir bisa berbentuk
hukuman mati. Hukuman itu dapat diberlakukan bila kemaslahatan benar-benar
menghendakinya.
Dengan memerhatikan bntuk-bentuk hukuman takzir diatas dalam
kaitannya dengan sanksi bagi pelaku korupsi berdasarkan asumsi bahwa pelaku
tindakan korupsi merupakan bentuk pidana yang khas cakupannya bisa dari
tingkatan sederhana hingga terberat dan berakibat massif, maka beberapa detail
dari hukuman takzir tersebut dapat diberlakukan pada saat ini. Misalnya,
memasukkan pelaku korupsi kedalam daftar orang tercela, memecat dari
jabatannya, diasingkan dari khalayak ramai, melakukan harta dua kali lipat dari
hasil kejahatan korupsi, bahkan hukuman mati sesuai dengan tingkat kejahatan
korupsi yang dilakukan dan akibat negative ditimbulkan.
Sanksi Akhirat
Selain ancaman sanksi di dunia yang berat dan menghinakan di akhirat
para koruptor akan sangat dihinakan di hadapan Allah swt dengan saksi barang-
barang atau segala sesuatu yang dia korupsikan ketika hidup di dunia. Hal itu,
akan terjadi sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Humaid:
84
الله رسول أن أخبره أنه الساعدي حميد أبي عن عروة أخبرني :قال الزهري عن ,شعيب أخبرنا ,اليمان أبو حدثنا
نغ مفر نيل حامالع اءهلا فجامل عمعتاس لمسو هليع لى اللهأفلا ص ي فقال لهل يدذا أههو ذا لكمه ول اللهسا رفقال ي هلمع
هليع لى اللهص ول اللهسر قام لا ثم أم ى لكدهأي تظرفن كأمو أبيك تيي بف تدقع لاةالص دعة بيشع لمسلى وى عأثنو دهشفت
نذا مقول ها فيينأتفي لهمعتسل نامال العا بفم دعا بقال أم ثم لهأه وا هبم الله هأمو أبيه تيي بف دي أفلا قعل يدذا أههو كملمع
ى لهدهل يه ظرفن ي ةاميالق موي اء بهئا إلا جيا شهنم كمدل أحغلا ي هدبي دمحم فسي نالذلا فو ا أمريعإن كان ب هقنلى عع لهمح
إن كانو اروا خا لهاء بهة جقرب تإن كانغاء ور له اء بهج ول اللهسر فعر ثم ديمو حفقال أب تلغب فقد رعيا تاء بهاة جش ت
عمس قدو ديمو حقال أب هطيإب ةفرإلى ع ظرنا لنى إنتح هدي لمسو هليع لى اللهثابص نب ديي زعم كلى الل ذلص بيالن نم ت هليع ه
)رواه البخار(ه وسلم فسلو
Telah menceritakan kepada kami [Abul yaman] telah memberitakan kepada kami [Syu'aib] dari [Az Zuhri] mengatakan; telah menceritakan kepadaku [Urwah] dari [Abu Humaid As Sa'idi] bahwasanya ia mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam mempekerjakan karyawan zakat ('amil). Setelah selesai dari kerjanya, 'amil tadi mendatangi Nabi dan berujar; 'Wahai Rasulullah, ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku'. Lantas Nabi bersabda: "tidakkah kamu duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu kemudian kamu cermati, apakah kamu memperoleh hadiah ataukah tidak?" Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berdiri diwaktu sore setelah berdoa, bersyahadat, dan memuji Allah dengan puji-pujian yang semestinya bagi-Nya, kemudian beliau memulai: "Amma ba'du. Ada apa gerangan dengan 'amil zakat yang kami pekerjakan, dia mendatangi kami dan berujar; 'Ini dari pekerjaan kalian dan ini hadiah untukku, tidakkah ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atu ibunya lantas ia cermati, apakah ia memperoleh hadiah ataukah tidak? Demi dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil harta tanpa haknya, selain pada hari kiamat nanti harta itu ia pikul diatas tengkuknya, dan jika unta, ia akan memikulnya dan mengeluarkan suara unta, dan jika sapi, maka sapi itu dipikulnya dan melenguh, dan jika harta yang ia ambil berupa kambing, maka kambing itu akan mengembik. Sungguh telah kusampaikan." Kata Abu Humaid; 'kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam mengangkat tangannya hingga kami melihat warna putih ketiaknya.' Abu Humaid berkata; 'dan telah mendengar hal
85
itu bersamaku adalah Zaid bin Tsabit, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka tanyailah dia.'(HR Bukhari, No. 6145).114
Dengan demikian orang yang mengorupsi proyek pembangunan, jalan, jembatan
kelak akan memanggul semua bahan bangunan, aspal, batu, koral, dan lain-lain,
pada hari kiamat. Hadis tersebut merupakan penjelasan lebih lanjut dari QS Ali
Imran (3): 161, bahwa di akhirat kelak para koruptor tidak akan masuk surga dan
akan menuju ke neraka sambil membawa barang yang dikorupsinya.
Tidaklah mungkin seorang Nabi melakukan korupsi, maka siapa saja yang
melakukan korupsi dia akan datang pada hari kiamat dengan hasil korupsinya.
Kemudia setiap jiwa akan dibalas sesuai dengan apa yang telah diusahakannya
dan mereka tidak akan teraniyaya.
Bahaya akibat kejahatan korupsi sekecil apapun ditegaskan lagi dalam hadis dari
Umar bin Khaththab yang mengisahkan seorang muslim yang meninggal di
perang khaibar dan divonis Nabi saw akan masuk neraka karena telah malakukan
ghulul (penggelapan) sebuah selimut atau mantel orang yahudi (Shahih
Muslim:60-61)
Sanksi Moral dan Sosial
Adapun sanksi moral dan sosial bagi bagi para koruptor ialah jenazahnya
tidak dishalatkan, terutama oleh para pemuka agama yang dikenal kedudukan dan
kredibilitasnya. Hal ini berdasarkan pada salah satu hadis:
114 Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr), juz VII, hlm. 139.
86
ن خب ديز ناعدال نيهيرب: الجبخ فيوت نيملسالم نال مجأن ر ,رذ ك هأنول وس رل لمسو هليع لى اللهص لى : فقالاللهلوا عص
ص بكماح .كذلم لالقو هوجو تريغقال.فت بهم يأى الذا رإن: فلم كمباحصبيل اللهي سغل ف . هاعتا منشففت, يها فندجفو
)ائرواه النس( ما يساوي درهمين ,اليهود خرزا من خرز
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani, bahwa seseorang laki-laki dari golongan kaum muslimin meninggal dunia pada perang khaibar, kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw, maka Nabi bersabda, Shalatkanlah sahabat kalian ini. Mendengar itu, wajah orang-orang pun berubah. Tatkala beliau melihat kondisi mereka, beliau pun bersabda, sesungguhnya teman kalian ini telah berbuat curang di jalan Allah. kemudian kami memeriksa harta yg dia miliki, lalu kami mendapatkan manik-manik yang nilainya tidak lebih dari dua dirham. [HR. Nasai No.1933].115
4. Pertanggungjawaban Pidana Tipikor dalam hukum pidana Islam
Ulama memberikan penjelasan yang berbeda mengenai pembayaran uang
pengganti atau pengembalian uang hasil korupsi, diantaranya:
1. Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pelaku
korupsi harus mengembalikan uang yang dikorupsi, meskipun dia telah
mengembalikan uang yang dikorupsi, meskipun dia telah dikenakan hukuman.
Alasan mereka, disamping ada hadis yang menjelaskan bahwa seseorang
berkewajiban mengembalikan hak orang lain yang diamblinya, Imam Syafi’i dan
Imam Ahamad bin Hanbal berpendapat bahwa sanksi dan ganti rugi pelaku
korupsi itu dapat digabungkan. Artinya pelaku korupsi mendapat hukuman kedua-
duanya, yaitu berupa sanksi takzir dan ganti rugi harta yang dikorupsi. Alasan
115 Faisal bin Abdul Aziz, Ali Mubarak, Mukhtashar Nailur Authar, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), cet pertama, hlm. 234.
87
mereka, pelaku korupsi telah melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa
pengharaman korupsi dan hak hamba berupa pengambilan harta orang lain. Oleh
karena itu, pelaku korupsi harus mempertanggungjawabkan akibat kedua hak
tersebut. Jadi pelaku korupsi harus mengembalikan bila masih ada, dan harus
membayar ganti rugi bila harta tersebut sudah tidak ada, selain dia menanggung
sanksi atas perbuatannya.116
2. Imam Abu Hanifah berpendapat, dengan merujuk QS al-Maidah (5): 38,
bahwa bila pelaku korupsi telah ditetapkan hukumannya, maka dia tidak wajib
mengganti uang hasil korupsi. Ayat tersebut hanya menyebutkan hukuman pokok
dan tidak ada hukuman tambahan berupa harta atau uang pengganti dalam tindak
pencurian. Abu Hanifah juga berpendapat bahwa sanksi dan ganti rugi adalah dua
hal yang tidak dapat digabungkan. Artinya bila si pelaku korupsi sudah dikenai
sanksi hukuman, maka tidak ada keharusan untuk membayar ganti rugi.
Alasannya bahwa al-Qur’an hanya menyebutkan masalah sanksi. Selain itu jika
pencuri harus membayar ganti rugi, maka seakan-akan uang itu adalah miliknya.
Tetapi, pada umumnya menurut beliau pemilik uang itu boleh meminta
pengembalian uang tersebut setelah pencurian dikenai sanksi hukuman bila uang
itu masih ada.
Di samping perbedaan dalam hal tersebut, juga ada perbedaan pendapat dalam hal
penetapan hukuman takzir berupa uang. Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik,
dan Imam Ahmad berpendapat bahwa penerapan hukuman takzir berupa
116 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor
itu Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 35.
88
pembayaran uang pengganti diperbolehkan namun, dalam pembolehan itu mereka
berbeda pendapat ketika mengartikan sanksi takzir berupa uang pengganti. Ada
yang mengartikannya dengan penyitaan kekayaan si terhukum selama waktu
tertentu. Dalam penyitaan tersebut tidak dilakukan dengan cara perampasan,
alasan mereka adalah tidak boleh mengambil kekayaan seseorang tanpa alasan
hukum yang membolehkannya.117 Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa
boleh menetapkan sanski takzir berupa pembayaran uang dengan alasan bahwa
pada permulaan Islam hal itu diperkenankan. Jumhur Ulama menolak pendapat
ulama yang menolak ganti rugi karena banyak bukti pada masa Rasulullah saw
dan Khulafa Rasyidun bahwa terjadi penerapan sanksi berupa ganti rugi, seperti
keputusan Nabi ketika mendenda seseorang yang mencuri buah-buahan langsung
dari pohonnya dan memberikan denda kepada si pemilik pohon.118
Ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menetapkan ganti rugi denda
dalam takzir. Ada yang memposisikannya sebagai hukuman pokok dan hukuman
tambahan. Penerapan sanksi tersebut tampaknya dikenakan dalam berbagai
jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang. Disamping itu, Ulama juga
membolehkan penerapan sanksi takzir berupa penyitaan uang dengan jalan
rampasan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang bertujuan memperkaya diri
sendiri, mengakibatkan kerugian negara, dan memperburuk perekonomian
masyarakat. Jadi, kesimpulannya adalah pembayaran uang ganti rugi atau
117 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. Hlm. 36. 118 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU melawan korupsi, Koruptor itu
Kafir,( Jakarta: Mizan, 2010), cet pertama, hlm. 35.
89
pengembalian hasil korupsi itu wajib karena uang tersebut merupakan hak
individu atau lembaga pemerintah.
Taubat dan pemaafan
Apakah perbuatan taubat dapat menggugurkan sanksi pidana para ulama
berbeda pendapat berkenaan hal tersebut. Secara umum pendapat Ulama terbagi
ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, yaitu pendapat sebagian ahli fiqih
dari mazhab Syafi’i, dan Hanbali bahwa taubat itu menggugurkan (menghapus)
tindak pidana had. Alasannya al-Qur’an menegaskan bahwa taubat dapat
menggugurkan tindak pidana hirabah. Jika tindak pidana berat saja dapat terhapus
dengan taubat, apalagi tindakan pidana lainnya, seharusnya dapat dihapuskan
dengan taubat pula. Hal tersebut juga di jelaskan dalam QS al-Maidah (5): 39.
Kelompok kedua, yaitu pendapat Imam Malik, Abu Hanifah sebagian pengikut
mazhab Syafi’i dan Ahamad bin Hanbal bahwa taubat tidak menghapus ancaman
pidana had selain tindak pidana hirabah, sebab pada dasarnya taubat tidak dapat
menghapus hukuman. Kelompok ketiga, yaitu Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-
Jauziyyah berpendapat bahwa taubat dapat membebaskan sanksi tindak pidana
had yang berhubungan dengan hak Allah. Sementara itu, jika memberi maaf,
maka hal tersebut diperbolehkan, karena sejalan dengan Qs al-Baqarah (2): 237.
Namun demikian, karena dosa korupsi menyangkut kejahatan yang berhubungan
dengan hak manusia (hak adami), maka sanksi atau hukuman tetap harus
diberlakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam kasus korupsi,
taubatnya seorang koruptor tidak secara otomatis dapat menggugurkan hukuman.
90
Tetapi, berdasarkan sistem hukum di negara kita, dengan menggunakan asas
oportunitas, seseorang pelaku criminal bisa saja tidak dihukum sebagaimana
mestinya, jika kemaslahatan umum atau kepentingan yang lebih besar bagi
keberlangsungan bangsa dan negara menghendaki demikian. Jadi, penggunaan
asas oportunitaas ini mesti mempertimbangkan kepentingan negara secara luas.
B. Analisis penulis
Pada dasarnya Korupsi di negara Indonesia ini di akibatkan oleh
kurangnya penanaman nilai-nilai agama di dalam kehidupan sehari-hari,
semestinya nilai agama di tanamkan kepada seluruh orang di negara ini sedini
mungkin agar mereka dari kecil sudah mengenal moral dan akhlak/ budi pekerti
yang baik, dampak negative yang disebabkan oleh korupsi salah satunya adalah
merusak moral dan akhlak. Hal ini disebabkan perilaku korupsi mencerminkan
manusia yang membiarkan lepas imannya karena rasa nafsu dan serakah yang ada
di dalam dirinya yang lebih mendominasi akal sehatnya. Dengan rasa serakah dan
ketidakpuasan akan harta benda yang dimilikinya dia bahkan tidak sadar bahwa
iman dia sudah lepas dan melayang dan dia telah merusak agamanya, serta
menyalahgunakan harta kekayaannya atau rezeki yang diberikan Allah kepadanya
dengan cara memperolehnya dari hasil korupsi, yang semestinya Allah swt
memperintahkan untuk mencari rezeki yang halal tetapi para koruptor
menghalalkan segala cara demi kenikmatan dunia semata.
Para koruptor di lingkungan masyarakat Indonesia mendapat peluang yang
besar karena Undang- undang sebagai pedoman hukum positif mengatur hukuman
91
bagi koruptor yang dengan hukuman itu tidak sama sekali membuat koruptor
menjadi jera atau taubat. Maka Undang- undang tersebut tidak bisa diharapkan
akan dapat membawa masyarakat kearah yang lebih baik dan berakhlak mulia,
tetapi justru akan merumuskan kepada masyarakat yang bermoral rendah dan
berakhlak buruk.
Hal ini terbukti dari semakin maraknya korupsi dalam masyarakat di
Indonesia ini, karena orang tidak takut akan sanksi dari hukum Negara yang tidak
membuat efek jera bagi pelaku tersebut. Oleh karena itu Undang- undang kurang
efektif dalam memberikan sanksi kepada para pelaku korupsi, akibatnya korupsi
malah semakin banyak dan berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu Undang-undang pidana tipikor harus disempurnakan
dengan memasukkan aturan-aturan hukum pidana Islam ( jarimah takzir bagi
koruptor) yang jelas, tegas, mencakup seluruh perbuatan korupsi dan mempunyai
kepastian hukum yang tinggi dan sesuai dengan rasa keadilan mayoritas
masyarakat yang beragama Islam.
Upaya yang ditawarkan oleh hukum pidana Islam dalam upaya
penaggulangan korupsi melalui upaya meningkatkan kualitas akhlak dan moral
seseorang dengan memperbaiki faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi. Langkah dasar dalam upaya penanggulangan korupsi dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. memperbaiki kehidupan dengan cara selalu mendekatkan diri dan
mengingat Allah, takut akan ancaman siksaannya yang sangat pedih, kalau pelaku
92
korupsi setiap akan melakukan korupsi dia mengingat Allah dan siksaannya yang
sangat pedih maka pelaku korupsi tidak akan berani melakukan korupsi.
2. Campur tangan pemerintah dengan segala instansi terkait yaitu
Kepolisian, KPK, dalam memberantas mengatasi tindak pidana korupsi di
Indonesia.
3. Pendidikan agama secara rutin penting bagi setiap seseorang, karena
agama adalah keyakinan, pengabdian dan kepercayaan yang dianut oleh setiap
orang, serta agama mengandung peraturan mengikat juga menghubungkan
manusia dengan sang pencipta Allah swt.
Tujuan dari pendidikan Islam untuk setiap manusia adalah mendidik dan
membina manusia agar berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Dan tujuan
dari hukum Islam itu sendiri adalah untuk kemaslahatan umat.
Perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif sangat signifikan
sekali, dimana hukum pidana Islam lebih mengedepankan unsur-unsur kerjasama
antara berbagai elemen, walaupun pada hal-hal tertentu pidana Islam bertindak
secara tegas seolah-olah tidak mentolerir dan memberikan ruang gerak bagi
pelaku tindak kejahatan bahkan dalam konsep hukum pidana Islam terdapat
hubungan antara korban dan pelaku kejahatan. Dengan menerapkan hukum
Pidana Islam di Indonesia para kruptor akan merasa jera dan tidak berani
melakukan korupsi karena hukuman takzir bisa lebih berat atau lebih ringan
daripada hudud, dan masyarakat kita akan merasa sejahtera, aman dari korupsi,
itulah tujuan dari hukum Islam yang menghasilkan kemaslahatan bagi umat.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana Korupsi. Adapun
beberapa sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Awalnya disebabkan karena
kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan
motif ini bergeser menjadi motif mempertahankan hidupnya. Akan tetapi, kian
lama motif ini bergeser menjadi motif ingin memperoleh kemewahan hidup.
Penyebab lainnya adalah berupa kelemahan mekanisme organisasi dan tidak
dilaksanakannya fungsi pengawasan secara wajar, dan kurangnya penanaman
nilai-nilai agama di dalam kehidupan sehari-hari, adanya rasa rakus dan serakah
dalam diri pelaku korupsi, karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan
dasar hidup, dan Para koruptor di lingkungan masyarakat Indonesia mendapat
peluang yang besar karena Undang- undang sebagai pedoman hukum positif
mengatur hukuman bagi koruptor yang dengan hukuman itu tidak sama sekali
membuat koruptor menjadi jera atau taubat.
2. Sanksi pertanggungjawaban yang dapat di jatuhkan kepada pelaku tindak
Pidana Korupsi Dalam hukum Pidana positif adalah hukuman yang di terima
bagi koruptor dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
yaitu, dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua
94
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Hukum pidana Islam menempatkan korupsi dalam kategori jarimah takzir,
takzir merupakan sanksi hukum yang diberlakukan kepada seseorang pelaku
jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran –pelanggaran baik
berkaitan dengan hak Allah swt maupun hak manusia, dan perbuatan itu tidak
ditentukan secara tegas bentuk sanksi nya di dalam nash Alquran dan hadis
oleh karena tidak ditentukan dengan tegas maka takzir menjadi kompetensi
hakim atau penguasa setempat. Sanski hukum takzir dapat berupa hukuman
penjara, hukuma denda, masuk dalam daftar orang tercela, hukuman
pemecatan, bahkan hukuman mati.
B. Saran-saran
1. pelaku korupsi harus menyadari bahwa korupsi merupakan tindakan yang
menyalahi aturan agama, serta bertentangan dengan prinsip untuk kemaslahatan
umat. Korupsi merupakan perbuatan yang dilaknat dan sangat dibenci oleh Allah.
Semangat Islam untuk melawan korupsi mesti diserukan di berbagai kesempatan,
Islam memerintahkan untuk menjauhi korupsi harus menjadi unsur penting dalam
agenda dakwah Islam. Pendidikan pun ikut berperan penting dalam pembentukan
mentalitas, nilai dan budaya masyarakat. Dunia pendidikan seharusnya terlibat
aktif dalam menyelesaikan masalah maraknya korupsi. Dunia pendidikan harus
meninjau kembali dirinya untuk menemukan jawaban mengapa pendidikan di
Indonesia melahirkan sedemikian banyak koruptor. Kelemahan yang
menyebabkan dunia pendidikan gagal mencetak anak bangsa yang pandai
sekaligus berbudi pekerti luhur sudah waktunya diperbaiki, gerakan anti korupsi
95
juga penting untuk menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar di berbagai
sekolah, kalau tidak masuk dalam kurikurulum pendidikan, paling tidak ia
menjadi kegiatan ekstrakurikuler.
2. Merevisi kembali Undang-Undang tentang pemberantasan korupsi dan kepada
para penyusun Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar lebih memperhatikan
masalah sanksi kepada para koruptor sebaiknya menerapkan sanksi yang lebih
tegas keras dan bisa memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Sanksi yang sangat tegas yang terdapat dalam Hukum Pidana Islam bisa menjadi
pilihan untuk diadopsi ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abi Hasan Ali Ibn Muhammad Habib Al-Basri Al-Bagdadi Al-Mawardi, Al
Ahkam al Sulthaniyah, Beirut: Darul Fikr, 1960, Cet. Pertama
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, Jakarta: Raih Asa
Sukses Penebar Swadaya Grup, 2014, cet pertama.
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud,Beirut: Dar- al-Fikr, 1974M/1394H, Juz 3 .
Asy-Syaukani, Nail Al-Autar, Beirut: Dar Al-Fikr, jilid VIII.
Agus Suryana, Kapitalisme menciptakan pejabat bejat, Sinar Grafika, 2001.
Abdul Qodir Audah, al-Tasy ri al-Jina’I al-Islami, jilid 2.
Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2011, cet pertama.
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam Hudud dan Kewarisan,
Jakarta: Raja Grafindo, 1886.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 7.
Basrowi dan Suwandi, Memahami penelitian kualitatif, Jakarta : Rineka cipta,
2008.
Baharuddin Lopa, Masalah korupsi dan pemecahannya, Jakarta: PT Kipas Putih
Aksara, 1997, cet pertama.
Cholid Narboko dan Abu Achmadi, metodologi penelitian, Jakarta: Bumi pustaka,
1997.
97
Dede Sulaeman, Pengaturan harta pejabat dalam negara Islam, Al Wa’ie, 2001.
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002.
Djabar, Korupsi dan Psikoanalisis, Harian Media Indonesia, Edisi 11 September,
2007
Evi Hartanti, Tindak pidana korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet
pertama.
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika,
2008, cet pertama.
Enceng Arif Faizal, Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004.
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bogor: P.T. Berkat
Mulia, 2012.
Faisal bin Abdul Aziz, Ali Mubarak, Mukhtashar Nailur Authar, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006, cet pertama.
Faisal bin Abdul Aziz, Ali Mubarak, terjemah Nailul Authar, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2001, cet pertama.
Hadari Nawawi, Metode penelitian bidang sosial, Yogyakarta : GADJAH
MADAUNIVERSITY PRESS, 2007.
Jamal al-Din Muhammad bin Makram bin Manzur al-Fariqi al-Misri, Lisan al-
‘Arab, Kairo: Dar al- Hadis, 1427H/2006M.
Jazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
98
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memaham Untuk Membasmi, Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2006.
Kumpulan Perundang-undangan Anti KKN, Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2006.
Kwik Kian Gie, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, 2006.
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Djambatan , 2001.
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Khusus Terhadap Proses
Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi, Jakarta: Pusat
Studi Agama dan Peradaban, 2006.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan NU Melawan Korupsi,
Koruptor itu Kafir, Jakarta: Amzah, 2012.
M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2012, cet
pertama.
Moh.Masyhuri Na’im, Nur Rofiah, Imadun Rahmat, NU Melawan Korupsi,
(Jakarta: Tim Kerja Gerakan Naional Pemberantasan Korupsi, 2006,cet
pertama.
Muslim, Shahih Muslim, dan syarah an-Nawawi, Beirut: Dar al-Hadis, jilid 6.
R. Wiryono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
99
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:
Liberty, 1999.
Syahrul Mustofa,Ervyn Kaffah, Gatot Sulistoni, Mencabut Akar Korupsi, (Nusa
Tenggara Barat: Somasi, 2003, cet pertama.
Soejono Soekanto, pengantar penelitian hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
press, 1986.
Sukandarrumidi, Metodologi penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity
Press, 2004.
Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU RI No.46 tahun.2009)
Jakarta: Sinar Grafika, 2010, cet. pertama.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.