PERSEPSI MASYARAKAT DESA ARGOTIRTO
KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN
MALANG TENTANG WAKALAH WALI DALAM
AKAD NIKAH
SKRIPSI
Oleh:
Mohammad Darwis
NIM: 01320085
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008
1
PERSEPSI MASYARAKAT DESA ARGOTIRTO
KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN
MALANG TENTANG WAKALAH WALI DALAM
AKAD NIKAH
Diajukan Kepada:
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)
Oleh:
Mohammad Darwis
NIM: 01320085
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008
2
HALAMAN PERSETUJUAN
PERSEPSI MASYARAKAT DESA ARGOTIRTO
KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN
MALANG TENTANG WAKALAH WALI DALAM
AKAD NIKAH
SKRIPSI
Oleh:Mohammad Darwis
NIM: 01320085
Disetujui Pada Tanggal 22 Oktober 2008Oleh Dosen Pembimbing
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. NIP: 150 216 425
Mengetahui Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. NIP: 150 216 425
3
HALAMAN PENGESAHAN
PERSEPSI MASYARAKAT ARGOTIRTO KECAMATAN
SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG
TENTANG WAKALAH WALI DALAM AKAD NIKAH
SKRIPSI
Oleh:Mohammad Darwis
NIM: 01320085
Telah Dipertahankan Didepan Dewan Penguji Dan Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)
Telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A (Dengan Pujian).Pada Tanggal 25 Oktober 2008
Susunan Dewan Penguji Tanda Tangan
Penguji Utama Drs. M. Nur Yasin, M. Ag.NIP. 150 274 435
Ketua Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag.NIP. 150 216 425
Sekretaris Erfaniah Zuhriyah, M.H.NIP. 150 284 095
Mengesahkan,Dekan Fakultas Syari’ah UIN Malang
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. NIP: 150 216 425
4
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk
Orang-orang yang paling berjasa dalam hidupku
Yang telah memberikan arti bagi kehidupanku
1. Kepada orang tuaku ayahanda Ahmad Damhuji (Almarhum) dan
ibunda Khoiriyah Dengan kasih sayang, ketulusan dan doanya telah
membekaliku untuk mengarungi samudra kehidupan ini, Mertuaku
ayahanda H. Fathullah dan Ibunda Aslamah yang telah banyak
memberi motifasi dan doa dengan tulus
2. Istriku tercinta Maria Ulfa El-Isyq yang telah setia mendampingi
sekaligus menungguku dengan penuh kesabaran bersana anakku
tersayang Al-Fafaroby Ramadhani Darwis, semoga menjadi anak
yang sholeh yang bebudi luhur.
3. Abangku H. muzakki dan Mbak Nur yang telah banyak bekorban
dan mengalah untuk kesuksesanku.terima kasih utuk semua
motifasi dan do'anya, mbakku azizah sang pejuang keluarga semoga
engkau selalu berbahagia, Adikku Luluk semoga tercapai semua
cita-citamu, Verdin, Haris, Farel, Farid semoga menjadi manusia
yang bisa membanggakan keluarga.
4. Mas Irin, Mbak Erna dan Raihan semoga selalu berbahagia serta
adikku Muti'ul Halim semoga tercapai segala cita-citamu.
5. KH. Qosim Bukhori dan Keluarga dan Semua guru-guruku yang
telah memberikan ilmunya kepadaku.
6. P. Awi dan Keluarga, Man Hafidz dan Keluarga, Teh As,ad dan
Keluaga, Teh su,ib dan keluarga, Mak Tija dan Keluarga dan
semua yang turut serta memberikan do’a dan semangat selama ini,
menjadikan hidupku begitu indah dan bermakna.
5
7. Datuk H.Zainuddin (Almarhum), Nenek Titi, Nenek Us, Hilda,
Pak Cik Aman dan Keluarga, Man Som dan Keluarga, Pak Nga
Bari dan Keluarga,Nenek Cupel, Pak Nga Mad dan Keluarga,
Pooman In Dan Keluarga, Pak Ncu dan Keluarga terima kasih
yang sebesar-besarnya atas do'a dan motifasinya sehingga penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini
8. Sahabat-sahabat sejatiku Mas Bob dan keluarga, Mas Ayik,
Fahruddin, Mas Habib, Mas Ujik, Mas Bahrul, Mas Jo, Evi, Bul2,
Abah Yakin, Konar, Zahro, ning Hilya,Fitri Tante, Izam, Ase,
Fendi, Daial, Cimut, Fenty,Mukromin, Azam, Misbah, Qoqom,
Ahmed, Laila, Norma, Karim, Jalil, Machfud, Mahmudah, Dwi,
Ronggo, Amin, Jakfar, Umi Kholilah, Hamim, Jun,Unun, Bil2,
Erina, Hadi, Saihu (Bali), Eka, Masriya, Indriawan.
9. Adik-adikku: Brudin, Uun, Mamu, Ridwan, Topa, Santoso,
Nunung, Arifuddin, Masruhin, Farida, Aul, Siswanto, Dafid, Oki,
Rosyid, Mugi, Alin, Fitri Keplok, Nokia, Mu'tasim, Muhajir,
Najihah, Aredea, Lutfi gendut, Jama', Lutfiyah, Humaidi, Ani
Puspa,Eka, Yusuf, Kandar, Owob, Hijal, Ncing, Ndut, Eni, Tia,
Riha, Reza, Agung, Anik, Tamam, Ayik, Ifa, Durroh, Haris,
Hamidiyah, Fina, Faisol, Ufi, Guntur, Jack, Eva. Risa, Indah,
Inung, Hanafi, Muslimin, manzil, Uzlifah, Kholik, Fatim, Laili,
Uuz, Dian, Nanang, Deni, Gufron, Nafis, fia, Rif'ah, Rizal,
Amrini dan semua anggota Seni Religius yang tidak dapat aku
sebutkan satu persatu soalnya aku sudah pusing banget ngingat-
ngingat nama kalian. Yang jelas skipsi ini aku dedikasikan buat
kalian semua.
Kupersembahkan
karya yang sederhana ini kepada kalian semua, doaku;
6
“Semoga Allah SWT. memberikan kekuatan dan kemampuan kepadaku
untuk bisa mewujudkan apa yang kalian titipkan selama ini
Dan semoga aku bisa membahagiakan kalian semua”
Amin Ya Robbal Alamin.
7
MOTTO
ع ن� ع�ق�ب ة ب�ن� ع ام�ر( ر ض�ي ال� ع ن�ه� أ ن� الن�ب�ي ص لى� ال� ع ل ي�ه� و س ل�م ق ال ل�ر ج�ل: أ ت ر�ض ى أ ن� أ�ز و�6ج ك ف�ل ن ة . ق ال :ن ع م�. و ق ال ل�ل�م ر�أ ة�: أ ت ر�ض ي�ن أ ن� أ�ز و�6ج ك� ف�ل ن1ا. ق ال ت�: ن ع م�. ف ز و�ج أ ح د ه�م ا ص اح�ب ه� ف د خ ل ب�ه ا الر�ج�ل� و ل م� ي ف�ر�ض� ل ه ا ص د اق1ا و ل م� ي�ع�ط�ه ا ش ي�أ و ك ان م�م�ن� ش ه�د ال�ه�د ي�ب�ي ة و ك ان م ن� ش ه�د ال�ه�د ي�ب�ي ة ل ه� س ه�مL ب�خ ي�ب ر ف ل م�ا ح ض ر ت�ه� ال�و ف اة
ق ال أن� ر س�و�ل ال� ص لى� ال� ع ل ي�ه� و س ل�م ز و�ج ن�ي� ف�ل ن ة و ل م� أف�ر�ض� ل ه ا ص د اق1ا و ل م أ�ع�ط�ه ا ش ي�أ1 و إن�6ي أ�ش�ه�د�ك�م� أ ن�6ي أ ع�ط ي�ت�ه ا م�ن� ص د اق�ه ا س ه�م�ي ب�خ ي�ب ر ف أ خ ذ ت� س ه�م1ا
ف ب اع ت�ه� ب��م�أ ة� أ ل�ف( (رواه أبو داود )''Nabi saw bersabda kepada salah seorang sahabatnya,'Maukah aku nikahkan kamu
dengan si fulana itu?'Ia menjawab,'ya.'Nabi bersabda juga pada seorang
perempuan ,'Maukah kamu aku nikahkan dengan si fulan itu?'Ia menjawab,'ya'.
Nabi lalu menikahkan perempuan tadi dengan laki-laki tersebut. Setelah keduanya
dinikahkan, laki-laki itu menyetubuhinya, padahal maharnya belum dibayar dan
belum memberi suatu apa pun. Laki-laki ini adalah salah seoang pejuang
Hudaibiah.Barang siapa yang pernah ikut dalam Perang Khaibar. Tatkala laki-laki
ini sudah hampir meninggal,ia berkata,'Sesungguhnya, Rasulullah SAW telah
mengawinkan dengan perempuan si fulanah itu,tapi maharnya belum aku bayar dan
akupun belum memberinya apa-apa.Aku bersaksi di hadapan kamu bahwa aku
memberinya bagian tanahku di Khaibar itu sebagai mahar. Perempuan tadi lalu
mengambil sebagian dari tanahnya dan menjualnya seharga seratus ribu."
(HR Abu Dawud)
ع ن� أ�م\ ح ب�ي�ب ة أن�ه ا ك ان ت� ف�ي�م ن� ه اج ر إلى أر�ض� ال�ح ب ش ة� ف ز و�ج ه ا الن�ج اش�يX ر س�ول ال( ص لى� ال� ع ل ي�ه� و س ل�م و ه�ي ع�ن�د ه� (رواه أبو داود
"Ummu Habibah, salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke Habasyah,
dikawinkan oleh raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu, Ummu
Habibah berada di negeri raja Najasyi itu." (HR Abu Dawud)
Umar bin Umayyah Adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil Rasulullah dalam suatu perkawinan Rasulullah (dengan Ummu Habibah). Adapun raja Najasyi bertindak sebagai wali dalam penikahan rasulullah itu.
(Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah,(Jakarta: Pena Pundi Aksara,2006)26.)
8
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap terhadap pengembangan
keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
PERSEPSI MASYARAKAT ARGOTIRTO KECAMATAN
SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG
TENTANG WAKALAH WALI DALAM AKAD NIKAH
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 14 Nopember 2008
Penulis,
Mohammad Darwis
NIM 01320085
9
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam. yang telah memberikan
hidayahserta taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penelitian yang berjudul:
“Persepsi Masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbemanjing Wetan
Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali Dalam Akad NIkah” telah
terselesaikan. Sholawat serta salam semoga di limpahkan kepada nabi Muhammad
Rasulullah SAW.
Ungkapan terima kasih teriring do’a jazakumullah ahsanal jaza’ kepada
semua pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, arahan serta saran-saran
yang konstruktif, demi selesainya skripsi ini dan demi terciptanya suatu tulisan yang
sistematis dan mudah di pahami, walaupun dalam bentuk yang sederhana. Ungkapan
terima kasih ini penulis sampaikan kepada yang terhormat
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Malang
2. Drs. Dahlan Tamrin M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Malang sekaligus Dosen Pembimbing
Skripsi ini, yang senantiasa sabar dan tidak pernah lelah
memberikan arahan serta bimbingan demi kebaikan penulisan
skripsi ini.
3. Drs. Roibin, M.H.I selaku dosen wali penulis.
4. Segenap dosen fakultas Syari'ah yang telah dengan tulus ikhlas
mencurah ilmunya kepada penulis
5. Ayahanda Ahmad Damhuji (Almarhum), Ibunda Khoiriyah,
10
Ayahanda H. Fathullah, Ibunda Aslamah, Istriku Maria Ulfa,
Al-faroby Ramadhani Darwis, Drs. H. Muzakki, Dra Nor
Hasanah, Azizaturrohmah, Luluk Musyarofah, Karimah,
Mutohirin S. Pt, Erna Yuliana S. Pt, Muti'ul Halim, Dina
Verdiana, Ahmad Haris Zainullah, Syahril Farid, Fahrrezi
Ahmada, Raihan Al-khowarizmi At-Thohir dan Khotim yang
telah memberikan motivasi khusus bagi penulis sehingga
skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik
6. Segenap keluarga di Bali dan Malang yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
7. Keluarga besar UKM Seni Religius yang telah banyak
membantu menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Sedulur-sedulur yang senasib seperjuangan yang tidak dapat di
sebutkan nama-namanya satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam mengarungi samudera Ilmu
Pengetahuan
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas
dari kesalahan dan keterbatasan yang tentu saja tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat
bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amin
Malang, 10 Oktober 2008
Penulis
11
ABSTRAK
Darwis, Mohammad, 01320085, 2008, Persepsi Masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah, Fakultas Syari’ah/Al-Ahwal Al-Syakhsiyah. Universitas Islam Negeri Malang.Dosen Pembimbing: Drs. H. Dahlan Tamrin, M. AgKata Kunci: Wali, Wakalah.
Wali dari pihak perempuan merupakan salah satu syarat sah dalam sebuah penikahan. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al- Qur'an dan beberapa hadist nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam. Hal ini diharuskan karena perempuan dianggap tidak mampu untuk mewakili dirinya sendiri. Hal ini belaku untuk perempuan yang masih perawan, sedangkan seorang janda berhak menikahkan dirinya sendiri walaupun tanpa wali. Hal ini merupakan penghargaan dan anugerah dari Tuhan yang sangat luar biasa terutama kepada bapak dan kakek yang diberi hak untuk memaksa anak gadisnya dengan laki-laki yang diinginkannya.
Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat para wali yang berhak menikahkan perempuan dibawah perwaliannya justru mewakilkan haknya kepada orang lain, hal ini tejadi hampir di semua pernikahan di masyarakat. Biasanya yang menjadi wakil wali nikah adalah Penghulu, Modin, Kyai dan tokoh agama setempat. Dari kasus di atas penulis merasa perlu untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang wakalah wali dalam akad nikah sekaligus apa yang melatarbelakangi kejadian tersebut
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian exploratif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yakni para orang tua yang mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain sewaktu menikahkan anak gadisnya dan sekunder yakni data pendukung yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam pengumpulan data tersebut dilakukan dengan menggunakan metode interview dan dokumenter. Sedangkan untuk analisis data menggunakan deskriptif analisis.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menghasilkan bahwa para orang tua sebagai wali nikah yang paling berhak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih perawan kurang menyadari bahwa posisi mereka begitu istimewa dalam penikahan anaknya. Bahkan banyak juga di antara mereka yang berpendapat bahwa menikahkan anak-anak perempuan mereka adalah tugas penghulu atau kyai, tugas mereka hanya merestui pernikahan anak gadisnya dengan laki-laki pilihannya. Sebagian lagi mewakilkan hak perwaliannya kepada oang lain karena mereka merasa tidak bisa untuk mengucapkan lafadz akad nikah. Selain faktor-faktor di atas hal ini terjadi karena memang sudah jadi budaya di masyarakat karena para tokoh agamapun yang biasa menjadi wakil wali dalam pernikahan anak gadis orang lain biasanya mewakilkan hak perwaliannya juga kepada orang lain ketika dia menikahkan anak gadisnya.
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan serta membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan mahram.1 Pernikahan bukan saja merupakan
suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain.2 Nikah menurut arti asal adalah
hubungan seksual. Sedangkan menurut arti majazi adalah akad (perjanjian) yang
menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita karena
sudah sah menjadi suami istri.3
Perkawinan merupakan kebutuhan manusia dewasa karena dengan
melakukannya manusia bisa memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologis,
tujuan utama dalam perkawinan adalah untuk menemukan ketentraman lahir dan
batin, untuk itu diperlukan pola yang bisa mengakomodir kepentingan tersebut
yaitu dengan memakai prinsip saling mendukung dan saling melengkapi, saling
memperlakukan dengan baik, bermusyawarah dalam semua urusan dalam rumah
tangga.4
1Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 97.2Ibid.3Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), 374. 4Istiadah, Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 32-35.
1
Para Fuqaha' memberikan definisi tentang pernikahan dengan pengertian
yang bermacam-macam. Syafi'i mendefinisikan perkawinan adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan melakukan hubungan suami istri
dengan lafadz nikah atau tazwîj atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan
golongan Hanafiah mendefinisikan pernikahan adalah akad yang memfaedahkan
memiliki, bersenang-senang dengan sengaja. Berbeda lagi Malikiyah
memberikan makna pernikahan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
semata-mata untuk membolehkan melakukan hubungan suami istri, bersenang-
senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh
dinikahinya.5
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa beberapa pengikut
madzhab dalam memberikan pemaknaan terhadap pernikahan ber-orientasi pada
kebolehan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin untuk melakukan
hubungan suami istri, yang mana sebelum terjadi pernikahan hukumnya adalah
haram, dengan adanya prosesi pernikahan tersebut menjadi halal. Akan tetapi
para imam madzhab tidak memberikan makna nikah dilihat dari tujuan, dampak
atau konsekuensi logis yang harus dilaksanakan ketika sudah melaksanakan
pernikahan.
Menurut Abu Ishrah yang sebagaimana dikutip oleh Djaman Nur6
pengertian nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan suami istri antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong-menolong serta memberikan batasan hak bagi pemilik-nya dan
pemenuhan kewajiban masing-masing. Definisi yang diberikan oleh Muhammad
5Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dinas Utama, 1993), 1-3.6Ibid.
2
Abu Ishrah sama dengan definisi pernikahan dalam Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 yang tertuang dalam pasal 1 bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pernikahan adalah suatu kejadian yang kodrati dan alami seperti firman
Allah dalam surat an-Nisâ' ayat 1:
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.7
Dari Firman Allah tersebut dapat kita pahami bahwa tujuan perkawinan
tidak hanya terkandung unsur ubudiyah semata, akan tetapi bertujuan untuk
pelestarian manusia supaya ada kesinambungan generasi yang akan terus
melanjutkan kehidupan di muka bumi ini sehingga tercapai apa yang dicita-
citakan yaitu kedamaian.
Nabi Muhammad SAW memberikan argumentasi tentang pernikahan
seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud.:
7 Depag RI, Al-qur'an Dan Tejemahnya
3
ن�ا ر�س�و�ل ال ص�لى� ال ع�ن� ع�ب�د ال ب�ن م�س�ع�و�د� ر�ضي� ال ت�ع�الى� ق�ال� ق�ال� ل�
ه و�س�ل(م: ي�ا م�ع�ش�ر� الش(ب�اب م�ن اس�ت�ط�اع� من%ك#م � ال%ب�اء�ة� ف�ل%ي�ت�ز�و�ج� ف�ان(ه� ا�غ�ضع�ل�ي�
لل%ب�ص�ر و�ا�ح�ص�ن� لل%ف�ر�ج و�م�ن� ل(م� ي�س�ت�طع� ف�ع�ل�ي�ه بالص�و�م ف�ان(ه� ل�ه� وج�اء.
(متفق عليه)
Artinya: Wahai jamaah para pemuda, barang siapa di antara kamu sekalian yang mampu kawin maka hendaklah ia kawin karena sesungguhnya perkawinan itu lebih menundukan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu laksana pengebirian (Mutafaqun 'alaih).8
Hadits tersebut di atas memberikan pemahaman tentang tujuan
perkawinan lebih ditekankan pada masalah penjagaan diri dari nafsu, jadi
perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat seksual bagi yang sudah mampu.
Mampu di sini banyak pemaknaan yaitu mampu memberikan nafkah baik lahir
maupun batin, mampu bertanggung jawab, serta mampu membahagiakan
pasangan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 2 mengatur tentang
perkawinan nasional. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut
Undang-undang dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.9 Rukun
pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam ada beberapa hal yaitu10 :
1. Harus adanya calon pengantin laki-laki
2. Adanya 2 orang saksi saksi laki-laki muslim yang adil.
3. Adanya Ijab qabul
8Muhammad bin Isma`il Al-Asqalani, Subulussalam (Bairut Libanon: Dar Al-kutub Al-Ilmiyyah, 1059), 109.
9Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 39.
10Team Perumus KHI. Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Karya Anda 1991), 24.
4
4. Adanya calon pengantin perempuan
5. Adanya wali dari calon mempelai dari pihak perempuan.
Dari rukun pernikahan yang disebutkan di atas terdapat perbedaan
pendapat tentang rukun yang terakhir yaitu wali nikah, secara umum masyarakat
muslim Indonesia bermazhab Syafi`i, menurut Mazhab syafi`i wali merupakan
salah satu rukun yang harus dipenuhi bagi perempuan yang akan melakukan akad
pernikahan.
Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah
sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila
yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak
perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki
mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu
maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya
sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut. .11
Menurut KHI wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim . Wali
nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat-tidaknya susunan kekerabatan
dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua, kelompok
kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah atau keturunan
laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat,
11Idris Ramulyo, Op.Cit.,214.
5
kelompok saudara kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan
laki-laki mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak
perwaliannya itu kepada orang lain, meski orang tersebut tidak ternasuk dalam
daftar para wali.hal itu biasa dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta
tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu
harus ada akad antara wali dengan orang yang diberi hak untuk mewakilinya.
Dalam hal akad nikah ini, apabila seseorang wali aqrab itu berada jauh,
tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu bisa hadir tetapi ia tidak
mampu untuk menjalankan akad nikah itu, maka wali itu diperbolehkan
mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i.
Begitu juga bagi bakal suami. Kalau ia tidak dapat hadir pada majlis akad
nikah karena ia sedang belajar di luar negeri, maka ia diperbolehkan mewakilkan
kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’ie bagi menerima ijab
(menjawab) nikah itu. Walau bagaimanapun bagi perempuan (bakal isteri) ia
tidak ada bidang kuasa mewakilkan kepada orang lain untuk mengawinkannya
karena haknya ada di tangan walinya.
Dibolehkannya seseorang mewakilkan hak perwaliannya juga diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 28 mengatur tentang kebolehan wali nikah
untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29 juga memberi ruang
kepada calon mempelai pria dimana dalam keadaan tertentu dapat mewakilkan
dirinya kepada orang lain dengan syarat adanya surat kuasa dan pernyataan
bahwa orang yang diberi kuasa adalah mewakili dirinya12.
12 Dr. H. Umiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),74
6
Menurut Jumhur Fuqaha, syarat-syarat sah orang yang boleh menjadi
wakil wali ialah:
1. Laki-laki
2. Baligh
3. Merdeka
4. Islam
5. Berakal ( tidak lemah akalnya)
6. Wakalah itu tidak boleh dibuat semasa orang yang memberi wakil itu
menunaikan ihram haji atau umrah.
Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu dengan
sendirinya sesuai dengan yang ditentukan semasa membuat wakalah itu karena
orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada orang lain
kecuali dengan izin memberi wakil atau bila diserahkan urusan itu kepada wakil
sendiri seperti kata pemberi wakil: “Terserahlah kepada engkau (orang yang
menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri atau orang lain”.
Maka ketika itu, boleh wakil berwakil pula kepada orang lain untuk
melaksanakan wakalah itu.
Wakil wajib melaksanakan wakalah menurut apa yang telah ditentukan
oleh orang yang memberi wakil. Misalnya seorang berwakil kepadanya untuk
mengawinkan perempuan itu dengan si A, maka wajiblah dia untuk
mengawinkan perempuan tersebut dengan si A. Kalau wakil itu mengawinkan
peempuan itu dengan si B, maka perkawinan itu tidak sah.
Demikianlah bidang kuasa wali adalah amat penting dalam perkawinan
karena ia menentukan sah atau tidak sesuatu perkawinan. Oleh itu, setiap orang
7
tua dan pengantin perempuan sebelum melakukan sesuatu perkawinan hendaklah
meneliti dahulu siapa yang berhak menjadi wali mengikut tertib dan susunan
wali. Sekiranya orang tua tidak mengetahui tentang wali maka hendaklah
berkonsultasi dengan orang yang mengetahui untuk mendapat penjelasan.
Penelitian ini bermula dari fenomena di masyarakat di Desa Argotirto
Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang yang sebagian besar
memberikan hak perwaliannya kepada orang lain walaupun wali nasab seperti
disebutkan di atas tidak berhalangan. Sedangkan yang biasa menjadi pengganti
dari wali adalah kiyai, tokoh agama dan penghulu.
Hukum menikahkan perempuan yang ada di bawah perwalian adalah
sunnah yang apabila dilakukan akan mendapatkan pahala. Jadi sangat
disayangkan sekali kalau sebagian besar masyarakat Desa Argotirto malah
mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain. Selain itu menikahkan
perempuan yang ada di bawah pewalian akan menunjukkan ikatan emosional
yang kuat antara wali dengan perempuan di bawah perwaliannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu untuk membahas
tentang pentingnya wali dalam pernikahan, Peneliti juga akan berupaya untuk
menjelaskan tentang persepsi masyarakat Desa Argotirto Kecamatan
Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang tentang wakalah wali dalam akad
nikah serta apa saja yag melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad
nikah di Desa Argotirto. Untuk itu penulis mengangkat judul
“PERSEPSI MASYARAKAT ARGOTIRTO KECAMATAN
8
SUMBERMANJING WETAN TENTANG WAKALAH WALI DALAM
AKAD NIKAH”.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah ialah suatu kegiatan melihat bagian demi bagian dari
masalah-masalah yang ada dan mempersempit lingkupnya sehingga masalah
tersebut dapat dipahami.13 Menurut Nana Sudjana, Batasan masalah adalah,
menetapkan satu atau dua masalah dari beberapa permasalahan yang telah di
identifikasi serta ruang lingkupnya.14 Penelitian ini dibatasi pada permasalahan
wakalah wali dalam akad nikah nikah, dan difokuskan pada pendapat masyarakat
Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam masalah wakalah wali dalam akad nikah dengan
mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pendapat masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing
Wetan tentang wakalah wali dalam akad nikah?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di
masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan?
D. Tujuan Penelitian
13Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset (Jakarta: Fajar Agung, 1989), 28.14 Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (Bandung:
PT. Sinar Baru Algensindo, 2001), 35.
9
Dari rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat masyarakat Argotirto Kecamatan
Sumbermanjing Wetan tentang wakalah wali dalam akad nikah.
2. Untuk mengetahui Apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam
akad nikah di masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini sebagai bahan acuan dan tambahan wacana
tentang permasalahan dan apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah Wali
dalam akad nikah bagi lingkungan akademis khususnya Fakultas Syariah.
Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran serta informasi bagi
masyarakat khususnya bagi para orang tua yang mempunyai anak perempuan
terkait dengan sejauh mana kekuasan wali dalam pernikahan anak tersebut. Serta
sebagai dasar pijakan untuk penelitian-penelitian yang selanjutnya akan
dilakukan oleh peneliti lain.
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian tentang arti yang terdapat
dalam pembahasan, maka perlu adanya penegasan istilah yang terdapat dalam
penelitian ini. Adapun istilah yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Persepsi : Sudut Pandang atau pandangan15
15 Porwadarminta, Kamus Besar Bahsa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995)
10
2. Masyarakat : Sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan yang
dianggap sama.16
3. Wakalah : menyerahkan kepada orang lain sesuatu untuk dilaksanakan
dikala masih hidup si pembei kuasa, dengan cukup rukun-rukunnya, sah. Dan
sah memberi kuasa dalam segala soal akad yang dapat diganti. Pembeian
kuasa itu suatu akad yag dibolehkan.17
G. Sistematika Pembahasan
Sebagaimana penulisan ilmiah yang lazim dilakukan, sistematika dalam skripsi
ini penulis bagi menjadi 5 bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub
yang tertera di dalam skripsi.
BAB I: Pendahuluan dibagi yakni latar belakang masalah, yang kemudian
dilanjutkan dengan rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, Metode Penelitian, diakhiri dengan sistematika penulisan
dan pembahasan. Bab ini berisikan sub tersebut di atas karena sebagai dasar atau
pijakan awal bagi orang yang akan melakukan penelitian, sehingga diperlukan
sebuah acuan penelitian agar penelitian yang dilakukan tidak asal tetapi sudah
punya konsep penelitian sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
BAB II: Dalam bab ini berisikan tentang pengertian wali nikah yang
didalamnya berisikan penelitian terdahulu diteruskan dengan wali nikah menurut
bahasa dan istilah, macam-macam wali nikah, fungsi wali nikah, hikmah wali
nikah dan hukum wali nikah. Bab ini dimaksudkan sebagai acuan dasar secara
16 Ibid17 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam,( Semarang: PT Pustaka
Rizki Putara. 2001), 391
11
umum tentang wali nikah untuk lebih memahamkan peneliti tentang konsep wali
nikah sebelum masuk pada pembahasan subjek penelitian secara khusus yang
berkaitan persepsi masyarakat tentang wakalah wali dalam akad nikah.
BAB III: Metode penelitian, berisi tentang jenis penelitian, subyek
penelitian, metode pengumpulan dan pengolahan data. Metode penelitian
diletakkan pada BAB III yakni setelah kajian teori dengan tujuan bahwa peneliti
nantinya sebelum melakukan penelitian di lapangan mengetahui alat yang
digunakan dalam penelitian berdasarkan masalah yang ada pada latar belakang.
BAB IV: Setting Sosial, dalam bab ini akan mendeskripsikan setting
sosial yang di dasarkan pada fenomena-fenomena yang mempengaruhi terjadinya
wakalah wali dalam akad nikah yang terdiri dari kondisi perekonomian, kondisi
religi, dan sosio kultural masyarakat Desa Argotirto serta Paparan dan Analisa
Data yang akan memaparkan data dan pembahasan mengenai temuan penelitian
yang meliputi: temuan-temuan sebagai fenomena kemudian dianalisa
berdasarkan teori dan seting sosial dengan menggunakan metode penelitian
sebagai kasatuan untuk menganalisa data.
BAB V: Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan saran berdasarkan
hasil penelitian.
12
BAB II
PENGERTIAN WALI NIKAH
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Muhajir18 dapat peneliti jelaskan dalam
beberapa sub bahasan yaitu rumusan masalah, batasan masalah, metode
penelitian dan kesimpulan. Untuk lebih jelasnya maka peneliti akan memaparkan
penelitian tersebut sebagai berikut
Pertama dalam penelitian ini rumusan masalah disebutkan sebagai
berikut: Bagaimanakah kedudukan wali dalam sebuah pernikahan, bagaimanakan
memposisikan seorang wali dalam sebuah perkawinan, bagaimanakah tinjauan
gender tentang wali nikah. Batasan masalah dalam penelitian ini tentang latar
belakang dan dasar hukum mengenai wali menurut Hukum Islam dan Undang-
undang, konsep gender dalam perkawinan serta wali dalam perspektif Hukum
Islam.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deduktif, metode penelitian induktif serta metode penelitian
komparasi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Muhajir dapat disimpulkan
dalam Hukum Islam terdapat perbedaan pendapat diantara para Imam Mazhab
mengenai wali nikah dalam perkawinan. Sementara undang-undang perkawinan
tidak terdapat hukum yang jelas, sedangkan menurut tinjauan gender terhadap
permasalahan wali nikah tidak bisa merumuskan dengan pasti terhadap
kedudukan wali itu sendiri, sebab yang dibahas disini berkaitan dengan hukum.
18Muhajir, Kedudukan Wali Nikah Dalam Perspektif Gender (Malang: Skripsi Fakultas Syari`ah UIN Malang, 2001).
13
Tetapi ada konsepsi dasar yang dalam hal ini mempertimbangkan terhadap
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yaitu wali tidak diperlukan
dalam akad nikah seorang perempuan yang sudah dewasa, cakap, aktif dan
terpelajar. Sedangkan bagi seorang perempuan yang masih terbelenggu oleh
berbagai bentuk sifat seperti pemalu, pasif dan sebagainya, maka wali masih
diperlukan dalam pengucapan akad dalam perkawinanya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Roidah,19 dalam penelitian ini
menggunakan sub bahasan yaitu rumusan masalah, metode penelitian dan
kesimpulan. Untuk lebih jelasnya akan peneliti uraikan sebagai berikut:
Rumusan masalah dalam penelitian ini disebutkan, apa faktor-faktor
keengganan wali mujbir menjadi wali nikah (wali adhal) di Pengadilan Agama
Bangil Kab. Pasuruan. Bagaimana tata cara pengajuan permohonan penetapan
wali adhal dan persidanganya di Pengadilan Agama Bangil Kab. Pasuruan.
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan wali adhal di
Pengadilan Agama Bangil Kab. Pasuruan.
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis
yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No 09 Tahun
1975. di samping itu juga menggunakan pendekatan sosiologis mengingat
masalah yang diteliti adalah mengenai hubungan faktor-faktor yuridis dan
sosiologis. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa penyebab wali
Mujbir menolak (enggan menjadi wali nikah) digolongkan menjadi tiga faktor.
Yaitu faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor lain. Dari faktor sosial yaitu
tingkat pendidikan yang rendah dari calon suami pemohon, berstatus duda
19Roidah, Faktor-faktor Penyebab Wali Mujbir menolak menjadi wali nikah: Studi Kasus Pengadilan Agama Bangil Kabupaten Pasuruan (Malang: Skripsi Fakultas Syari`ah UIN Malang. 2001).
14
beranak, serta kakak pemohon belum kawin. Sedangkan dari faktor ekonomi
yaitu tentang pekerjaan calon suami dan kedudukan atau tingkat ekonomi tidak
sepadan, faktor lainya yaitu wali tidak menyukai fisik calon suami tersebut.
Pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan wali adhal dengan
memperhatikan alasan-alasan wali tidak hadir dalam persidangan dan benar-
benar enggan untuk menikahkan tanpa alasan yang jelas, pertimbangan hakim
yang lain adalah menolak kerusakan daripada mempertahankan kebaikan
(misalnya menghindari perzinahan).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nanang Kuniawan,20 dalam penelitian
ini menggunakan sub bahasan yaitu rumusan masalah, metode penelitian dan
kesimpulan. Untuk lebih jelasnya akan peneliti uraikan sebagai berikut:
Dalam penelitian ini rumusan masalah disebutkan sebagai berikut:
Bagaimanakah pemikiran Sahal Mahfudh tentang wali nikah, Bagaimanakah
pemikiran Siti Musdah Mulia tentang wali nikah dan Apa yang melatarbelakangi
perbedaan pemikiran Sahal Mahfudh dan Siti Musdah Mulia tentang wali nikah.
Batasan masalah dalam penelitian ini dibatasi pada permasalahan wali nikah, dan
difokuskan pada dua pendapat yaitu pendapat Sahal Mahfudh dan pendapat dari
Siti Musdah Mulia.
Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
yaitu dengan cara menggambarkan subjek atau objek penelitian sebagai sumber
data, kemudian menganalisa dan menyesuaikan dengan pokok permasalahan.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan
kepustakaan atau bibliografi yaitu penelitian terhadap data skunder dengan cara
20 Nanang Kurniawan, Wali Nikah: Melacak Pemikiran Sahal Mahfudh Dan Siti Musdah Mulia (Malang: Skripsi Fakultas syari`ah UIN Malang. 2007).
15
mencari bahan-bahan yang sesuai dengan penelitian yaitu pendapat dari Sahal
Mahfudh dan Siti Musdah Mulia.
Hasil penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan
pendapat tentang masalah wali pernikahan bagi seorang perempuan disebabkan
karena pengambilan hukum yang berbeda, pendapat yang menjadikan wali
sebagai rukun dalam pernikahan karena dalam al-Qur`an maupun hadits
dijelaskan bahwa pernikahan tidak sah jika tidak adanya wali bagi perempuan,
sedangkan pendapat yang lain berdasarkan analisis terhadap kondisi sosiologis
perempuan waktu al-Qur`an diturunkan dibandingkan dengan kondisi perempuan
saat ini. Perbedaan pendapat yang lain diakibatkan tokoh yang pertama melihat
hikmah adanya wali dalam pernikahan yaitu untuk kemuliaan seorang
perempuan, sedangkan pendapat yang lain melihat dari fungsi wali dalam
pernikahan, fungsi wali adalah sekedar wakil dari perempuan, kalau perempuan
tersebut bisa mengucapkan ijab sendiri dalam perkawinan maka wali tidak
diperlukan dalam prosesi ijab qabul.
Penelitian yang dilakukan oleh Samheri21 mengenai kompetensi kiai
sebagai wali hakim dalam pernikahan bawah tangan dapat menjelaskan beberapa
hal sebagaimana berikut:
Ada tiga pendapat kiai dan tokoh dalam melihat kompetensi kiai sebagai
wali hakim dalam pernikahan bawah tangan. Pertama, kiai yang setuju sekaligus
sebagai pelaku dengan menggunakan alasan darurat dan berdasarkan kitab fiqih
salaf. Kedua, Kiai dan tokoh yang kontra terhadap kiai sebagai wali hakim dalam
pernikahan bawah tangan, dengan alasan bukan wewenangnya, karena yang
21 Samheri, Kompetensi Kiai Sebagai Wali Hakim dalam Pernikahan Bawah Tangan, (Malang: Skripsi Fakultas syari`ah UIN Malang. 2007).
16
berwenang hanya penguasa atau orang yang ditunjuknya. Ketiga, Kiai yang
sepakat tetapi tidak melakukannya, dengan mengemukakan beberapa alas an dan
pertimbangan hukum serta dampak sosial hukumnya.
Adapun dampak hukum kiai sebagai wali hakim dalam pernikahan bawah
tangan, bahwa perkawinannya dianggap tidak sah menurut peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sebagian kiai dan ulama di
Indonesia. Sedangkan dampak sosialnya adalah antara kiai dengan kiai, kiai
dengan masyarakat, orang tua dan anak, mempelai dengan tetangganya.selain itu
status istri dan anak tidak jelas di mata hukum dan perundang-undangan yang
belaku di Indonesia, sehingga mereka tidak behak atas nafkah, harta bersama dan
harta warits dan hak-hak mereka yang lainnya.
Dari penelitian yang dilakukan para peneliti di atas tidak disebutkan
bagaimana pendapat masyarakat dan tokoh masyarakat yang ada di Indonesia
tentang wali nikah yang mewakilkan hak pewaliannya kepada orang lain. Oleh
sebab itu terdapat celah pembahasan yang belum disinggung dalam penelitian ini,
sehingga penulis dapat mengembangkan permasalahan wali nikah dengan
mengambil tema Persepsi Masyarakat Desa Argotito Kecamatan Sumbermanjing
Wetan Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah.
B. Konsep Wali Nikah Dalam Perspektif Fiqh
1. Wali Nikah Menurut Bahasa Dan Istilah.
Kata wali dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang.22
22Porwadarminta, Kamus Besar Bahsa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 92.
17
Perwalian dari bahasa Arab adalah Walayah atau wilayah yaitu hak yang
diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan melakukan
sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang
yang diperwalikan.23
Menurut Amin perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut
dengan Al-walayah atau Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang juga disebut
ad-dilalah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-
mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) atau bisa juga berarti kekuasaan
atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai
kekuasaan untuk mengurus sesuatu.24
Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah yang berarti
penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan
penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang.25 Dalam Fiqh Sunnah di jelaskan bahwa wali
adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain
sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum.
Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.26
Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam
perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad nikah.27 Wali yaitu pengasuh pengantin perempuan pada
23Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Praktis: (Bandung: mizan, 2002), 56.24Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo 2004), 134.25Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 89.26Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-ma’arif, 1997), 11.27Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Kencana, 2003), 90.
18
waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-
laki.28 Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang
Syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang
sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi
kemaslahatannya sendiri.29
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud wali
nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad
pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu
melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam
mengungkapkan keinginannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk
melakukan akad nikah dalam pernikahan.
2. Syarat-syarat Wali
Wali bertanggung jawab atas sahnya suatu akad pernikahan,
karena perwalian itu ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang
yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya. Oleh karena
itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi
hendaklah orang-orang yang memenuhi persyaratan. Adapun syarat-syarat
menjadi wali sebagai berikut:
28Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 165. 29Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: lentera, 2001), 345.
19
a. Islam. Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau
saksi, berdasarkan firman Allah Swt.30
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orantg Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);sebagian meeka adalah sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.31
b. Baligh. Orang tersebut sudah pernah bermimpi junub/ihtilam (keluar air
mani), atau ia sudah berumur sekurang-kurangnya 15 tahun. 219 (KHI).
c. Berakal. Orang gila dan anak-anak tidak sah menjadi wali, karena orang
yang tidak berakal pasti tidak akan mampu melakukannya dan tidak dapat
mewakili orang lain, sehingga orang lain lebih berhak menerima
perwalian tersebut. Baik orang yang tidak berakal itu karena
keberadaannya yang masih kanak-kanak atau karena hilang ingatan atau
karena faktor lanjut usia.32
d. Merdeka. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan perwalian budak.
Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang budak tidak mempunyai hak
perwalian, baik atas dirinya sendiri atau orang lain. Sedangkan ulama
Hanafiah mengemukakan bahwa seorang wanita boleh dinikahkan oleh
30 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001), 38431 Depag RI, Al-qur'an Dan Tejemahnya( Jakarta,2002)
32 Syaikh Hasan Ayyub,” Fiqh al-Usrah al-Muslimah”, diterjemahkan M. Abdul Ghofur, Fiqh Keluarga ( Cet. 3: Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), 59
20
seorang budak atas izinnya, dengan alasan bahwa wanita itu dapat
menikahkan dirinya sendiri.33
e. Laki-laki. Seorang perempuan tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahan, berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi:
(رواه ابن ماجة والدارقطني ورجاله ثقات)لتزوج المرأة المرأة ولتزوج المرأ ة نفسه
Artinya: Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri(H.R.Ibnu Majah dan Daruquthni dan para perawinya adalah orang-orang yang terpercaya)34
Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa wanita tidak
mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang
lain. Namun menurut Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa wanita
yang berakal dan baligh boleh mengawinkan dirinya sendiri dan
mengawinkan anak perempuannya yang di bawah umur serta mewakili
orang lain. Namun demikian, jika dia menyerahkan dirinya kepada laki-
laki yang tidak sekufu dengannya, maka para wali berhak menentangnya.
Berbeda halnya dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengeneralkan
semua perempuan, akan tetapi hanya terbatas pada golongan rendah saja
(bukan bangsawan) karena menurutnya perempuan bangsawan tidak
diperbolehkan.35
f. Adil, Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan adil sebagai
persyaratan bagi wali antara lain:
1.Bagi ulama mensyaratkan wali harus adil, maka berdasarkan pada
Hadits Nabi yang artinya ”tidak ada pernikahan kecuali dengan wali 33 Ibid,5934 Ibid, 6035 Ibid., 60.
21
yang memberikan bimbingan dan dua orang saksi yang adil” pendapat
yang pertama ini disepakati oleh beberapa ulama fiqh terkemuka seperti
Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dan orang-orang yang
sependapat dengannya.
2.Bagi ulama yang tidak mensyaratkan wali harus adil, mereka
berdasarkan pada suatu riwayat Mutsanna bin Jami’, dia menukil bahwa
dia pernah bertanya pada Ahmad, jika orang menikah dengan wali yang
fasik dan beberapa saksi yang adil, maka Ahmad berpendapat bahwa hal
tersebut tidak membatalkan pernikahan, itu pula yang menjadi pendapat
Imam Malik dan Abu Hanifah serta salah satu pendapat Syafi’i.36
Sejalan dengan pendapat kedua di atas, apa yang dikemukakan oleh
Imam Al-Baijury, bahwa yang disyaratkan adil adalah kedua saksi, bukan
persyaratan bagi wali, karena menurutnya marji’u dhamirnya kembali
pada lafad syahidain.37 Hal ini diperkuat oleh pendapat Sayyid Sabiq yang
mengemukakan bahwa bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil.oleh
karna itu seorang yang durhaka tetap tidak kehilangan haknya untuk
menjadi wali dalam perkawinan kecuali kedurhakaannya melampaui
batas-batas kesopanan yang berat.Bahkan dalam KHI diringkas hanya
menjadi empat persyaratan bagi wali,sebagaimana tercantum dalam pasal
20 ayat 1 yang berbunyi “yang betindak sebagai wali nikah ialah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, Aqil dan
baligh”.38
36 Syaikh Hasan Ayyub, Op. Cit.,69.37 Ibrahim al- Baijury, Al-Baijury, Juz 2 (Semarang: Dina Utama, 1993)10138 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-ma’arif, 1997), 7.
22
3. Klasifikasi Wali
Dalam beberapa refrensi hukum islam,baik yang berbahasa arab atau
berbahasa Indonesia,ulama berbeda-beda dalam menyebutkan macam-macam
wali dalam pernikahan, semisal Imam Taqiyuddin Abi Bakrin in Muhammad
Al-Husainy Al-Hishny al-Damasyqy as-Syafi’i, menyebutkan empat wali
yang dapat menikahkan mempelai perempuan, yaitu wali nasab, wali maula,
wali tahkim dan wali hakim. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1.Wali nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan darah nasab
dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.39 Adapun urutan wali
menurut pendapat tokoh akan dijelaskan selanjutnya.
2.Wali maula, Sedangkan yang dimaksud dengan wali Maula adalah
pewalian yang digunakan dalam menikahkan budak yang telah
dimerdekakan, dengan kata lain wali yang menikahkan budaknya, artinya
majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada
dalam perwalian, bilamana perempuan yang berada dalam pewaliannya rela
menerimanya. Perempuan yang dimaksudkan disini adalah hamba sahaya
yang berada dibawah kekuasaannya. Sedangkan wanita yang wali nasabnya
tidak diketahui siapa dan dimana hamba sahaya yang telah dimerdekakan),
maka walinya adalah orang yang memerdekakan, selanjutnya adalah famili-
famili atau ashabah dari orang yang telah memerdekakannya.
3.Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon mempelai suami dan atau
calon istri. Hal itu diperbolehkan, karena akte tersebut dianggap tahkim.
39 Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Juz 1( Bandung: Pustaka Setia.1999),89.
23
Sedang muhakkamnya bertindak sebagaimana layaknya hakim. Seperti
yang telah diriwayatkan olehYunus bin Abdil A’la, bahwa Syafi’i pernah
berkata “seandainya ada seorang perempuan dalam suatu perkumpulan, ia
memasrahkan wali kepada seorang laki-laki, sedang perempuan tersebut
tidak mempunyai wali, maka hal tersebut dianggap boleh dilakukan, ada
pula yang mengemukakan, bahwa wali nikah dapat diangkat dari orang
yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat,
berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki; demikian pendapat Hanafi,
yang dikutip oleh Moh. Idris Ramulyo.40 Sejalan dengan pendapat-pendapat
tersebut di atas, apayang dikemukakan oleh al-Bikri, pengarrang kitab
I’anatuh at-Thalibin “seorang perempuan yang tidak ada walinya, baik wali
nasab, wali hakim atau Qhadi, maka perempuan tesebut diperbolehkan
mengangkat seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki
yang dicintainya dan sekufu. Bahkan, sekalipun ada wali hakim atau Qhadi
yang diangkat oleh penguasa, ketika mereka berbelit-belit dan memungut
uang untuk menikahkannya.41 Bahkan ada pendapat yang mengatakan jika
tidak ada orang yang siap menjadi muhakkam, sedang dirinya
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka perempuan tersebut diperbolehkan
menikahkan dirinya sendiri.42 Sebagaimana juga dikemukakan oleh syaikh
Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, bahwa perempuan yang ada
disuatu tempat yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam
hukumnya. Pertama, dia boleh menikahkan dirinya. Kedua, perempuan 40 Moh. Idrris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam ( JakartaInd-Hillco,1985),177.41 Sayyid Ai akar Al-Manshur bil Sayyid al-Bikri, I' anatu Al-Thalibin,juz 39( Surabaya: Al-Hidayah,
Tth), 318-319.42 Syaikh Muhammad As-sabini al-khathib, Al-aqna' Juz 1,(Semarang: Toha Putra Tth), 126.
24
tersebut menyerahkan pernikahan kepada orang lain yang beragama islam.
Bahkan, beliau mengutip sebuah pendapat Abu Ishak Asy-Syirazi yang
mengemukakan bahwa masalah yang seperti di atas boleh memilih hukum
yang telah ditetapkan oleh seorang faqih diantara ahli ijtihad, berdasarkan
suatu prinsip bahwa diperbolehkan mentahkim dalam nikah.
Adapun cara pengangkatannya (cara melakukan tahkim) adalah
calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat
“saya angkat saudara untuk menikahkan saya dengan si….. (calon istri)
dengan mahar putusan bapak/saudara, saya terima dengan senang”
setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal sama. Kemudian calon
hakim menjawab “saya terima tahkim ini”43
4.Wali Hakim, adapun yang dimaksud dengan wali hakim adalah penguasa
atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani
hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, baik dia itu orang yang curang
atau yang adil. Ada juga yang berpendapat bahwa dia termasuk penguasa
yang adil, bertanggung jawab mengurusi kemaslahatan umat Allah, bukan
para sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk
orang yang berhak mengurusi hal itu.
Adapun susunan urutan wali adalah sebagai berikut:44
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (Bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
43 Slamet Abidin, Loc. Cit., 93.44 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001)383
25
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
6. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
7. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
8. Hakim.
Sekiranya wali pertama tidak ada hendaknya diambil wali yang
kedua, dan jika wali kedua tidak ada hendaklah diambil wali ketiga dan
begitulah seterusnya.45
Mengikut tertib wali, bapak hendaklah menjadi wali bagi semua pekawinan
anaknya. Dan jika bapak tidak ada karena meninggal dunia maka hak wali
berpindah kepada kakek pengantin perempuan itu; dan jika kakek juga
meninggal dunia maka hak wali itu berpindah kepada saudara lelaki seibu-
sebapak kepada pengantin perempuan dan begitulah bidang kuasa wali
mengikuti tartib susunannya.
Sekiranya pengantin perempuan itu tidak mempunyai wali maka ia akan
dinikahkan secara wali hakim.
Rasullah SAW bersabda:
“Maka Sultanlah yang menjadi wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali”.
(Riwayat At-Tirmizi dan Abu Daud).46
Diantara urutan wali yang disebutkan di atas bapak dan kakek di beri
keistimewaan yang berupa hak menikahkan anaknya yang bikir (perawan)
dengan tidak memita izin si anak terlebih dahulu, yaitu dengan orang yang
dipandangnya baik. Kecuali anak yang Sayib(bukan perawan lagi), tidak
45 www. Darussalaf.Org46 WWW. Hidayatullah.com
26
boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya terlebih dahulu. Sedangkan wali-
wali yang lain berhak menikahkan mempelai setelah mendapat izin dari
mempelai itu sendiri.47
Sabda Rasulullah SAW:
اnلث�يtuبr اnحnق} بuنnفpسuهnا مuنp وnلuيyهnا وnالpبuكpرrيrزnوtuجrهnا اnبrوpهnا (رواه الدارقطنى)
Artinya” Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.
Sedangkan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya.” (Riwayat
Daraqutni)48
pنnةعnشuائnنعpيuنuس yتuس rتpنuب nىuهnا وnهnو�جnزnت nمnلnسnو uه pيnلnع rل�ى الnي� صuن� الن�بnا
وnاrدpخuلnتp عnلnيpهu وnهuىn بuنpتr تuسpعr سuنuيpنn مnكnثnتp عuنpدnهr تuسpع�ا(متفق عليه)
Artinya: Dari Aisyah:” Sesungguhnya Nabi SAW telah menikah dengan
Aisyah sewaktu ia baru berumur 6 tahun, dan dicampuri serta
tinggal bersama rasulullah sewaktu ia berumur 9 tahun.” (sepakat
Ahli Hadits)49
عن ابن عباس ان جارية بكرا اتت رسول ال صnل�ى الr عnلnيpهu وnسnلnمn فذكرت
ان اباها زوجها وهى كارهة فخيرهاالنبي صnل�ى الr عnلnيpهu وnسnلnم
Artinya: Dari Ibnu Abbas. Ia berkata:” sesungguhnya seorang perawan telah
mengadukan halnya kepada rasulullah SAW. Bahwa ia telah
dinikahkan oleh bapaknya dan ia tidak menyukainya. Maka nabi
SAW memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan
47 Sulaiman Rasjid, , Fiqh Islam( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001)384.48 Ibid, 38549 Ibid, 385
27
atau membatalkan pernikahan itu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu majah dan Daraqutni)50
Rasulullah memberikan kesempatan memilih kepada perawan itu. Hal
ini adalah tanda bahwa pernikahan yang dilakukan bapaknya itu sah, sebab
kalau pernikahannya itu tidak sah, tentu nabi SAW menjelaskan bahwa
pernikahan itu tidak sah atau beliau menyuruh menikah dengan laki-laki
lain.51
Ulama-ulama yang memperbulehkan wali (bapak dan kakek) menikah
tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai
berikut:52
1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
2. Hendaknya dinikahkan dengan orang yang setara Sekufu).
3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil ( sebanding) .
4. Tidak dinihkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yan mengecewakan (membahayakan)
si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya orang itu
buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan
mendapat kebahagiaan dalam pergaulannya.
Tetapi sebagian Ulama berpendapat, bapak tidak boleh menikahkan
anak perawannya tanpa izin lebih dahulu dari anaknya itu. Sabda rasulullah
SAW:
50 Ibid, 38651 Sulaiman Rasjid, , Op. Cit., 385.52 Ibid., 385.
28
صnل�ى الr عnلnيpهu وnسnلnم:لتنكح اليم حتىعن ابى هريرة قال: قال رسول ال
قال: انتستأمرولتنكح البكرحتى تستأذن. قالوا يا رسول ال وكيف إذنها؟
تسكت. (متفق عليه)Artinya:Dari Abu Hurairah. Ia berkata:” Rasulullah SAW telah bersabda:”
perempuan janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinny.” para sahabat lalu bertanya:” bagaimana cara izin perawan itu ya rasulullah?” jawab beliau:” Diamnya tanda izinnya.” (Riwayat Muttfaq ’Alaih)53
Oleh pihak pertama, hadits ini dan sebagainya diartikan perintah sunat
atau larangan makruh, bukan perintah wajib atu larangan haram.
Golongan kedua menjawab, bahwa hadits-hadits yang
memperbolehkan si bapak menikahkan anaknya tanpa izin terlebih dahulu
terjadi sebelum datang perintah yang yang mewajibkan izin. Kejadian
mengenai diri Aisyah ( pernikahannya) dengan Rasulullah SAW adalah
Khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak dapat dijadikan
dalil untuk umum.54
4. Fungsi Wali dalam Pernikahan.
Dari beberapa rukun dalam perkawinan menurut Hukum Islam,
wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut
Syafi`i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak perempuan sedangkan
untuk pihak laki-laki tidak diperlukan adanya wali nikah.
53 Ibid, 386.54 Sulaiman Rasjid, , Op.Cit., 386.
29
Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya
adalah sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak
diperlukan apabila yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun
dalam praktek selalu pihak perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran)
sedangkan pengantin laki-laki mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena
pada dasarnya wanita itu pemalu maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan
pada walinya, jadi wali di sini hanya sekedar sebagai wakil karena yang
paling berhak adalah perempuan tersebut.55
Dari pendapat di atas menjelaskan bahwa fungsi wali adalah
sebagai pengganti dari perempuan yang akan melangsungkan akad nikah,
akan tetapi yang berlaku pada masyarakat di jazirah Arab pada waktu awal
Islam, wali dapat menikahkan anak perempuanya tanpa melalui izin anak
perempuan yang akan dinikahkan, ketika Islam datang praktek menikahkan
tanpa persetujuan dari anak perempuan kemudian dilarang oleh Nabi
Muhammad.
5. Hikmah Wali Dalam Pernikahan.
Hikmah disyari`atkanya wali dalam pernikahan disebabkan dalam
Islam hubungan anak dengan orang tua harus tetap terjaga jangan sampai
terjadi perpecahan sampai anak tersebut memiliki rumah tangga sendiri,
penyebab perpecahan tersebut sering terjadi karena calon suami dari anak
perempuan tersebut tidak direstui oleh orang tua, oleh sebab itu ketika
55Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit.,214.
30
seorang perempuan mencari calon suami perlu adanya perantara dari wali
supaya dikemudian hari tidak terjadi permasalahan dengan walinya.
Hikmah wali dalam pernikahan juga disebabkan karena
perempuan jarang berteman dengan laki-laki, jadi wajar kalau perempuan
tersebut tidak begitu paham tentang tabiat seorang laki-laki maka agar
perempuan tersebut tidak tertipu oleh seorang laki-laki dibutuhkanlah seorang
wali, karena wali lebih tahu tentang tabiat seorang laki-laki sebab sering
bergaul dengan mereka atau karena sesama lelakinya jadi lebih paham mana
laki-laki yang baik dan tidak baik.56
Hikmah yang terkandung dibalik keharusan adanya wali dalam pernikahan
sebenarnya lebih ditekankan pada permasalahan kecocokan antara calon
suami dengan keluarga perempuan, maksudnya adalah jika hubungan antara
calon suami mulai awal tidak disetujui oleh wali maka selanjutnya bagi
keluarga anak perempuan dengan keluarga orang tua akan mengalami
permasalahan, padahal dalam Islam sangat ditekanan masalah silaturrahmi,
permasalahan di atas bisa dicegah manakala dalam proses perkawinan wali
ikut di dalamnya, apabila dikemudian hari ada permasalahan, wali juga akan
membantu menyelesaikan perkara tersebut karena sejak awal wali dilibatkan
dalam perkawinannya.
6. Wali Fasik
Mengikut pendapat Mazhab Syafi’e dan Hambali, wali fasik tidak boleh atau
tidak sah menjadi wali nikah. Ini berdasarkan sebuah hadith dari Ibnu Abbas
56Mahmud Yunus Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), 24.
31
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan wali yang adil dan ada saksi yang
adil”. (Riwayat Ahmad)57
Yang dimaksudkan dengan adil ialah seseorang itu berpegang kuat
(istiqamah) kepada ajaran Islam, menunaikan kewajiban agama, mencegah
dirinya melakukan dosa-dosa besar seperti berzina, minum arak, menderhaka
kepada kedua-dua ibu bapak dan sebagainya serta berusaha tidak melakukan
dosa-dosa kecil.
Wali bersifat adil disyaratkan karena ia dianggap bertanggungjawab dari segi
kehendak agama ketika membuat penilaian bakal suami bagi kepentingan dan
maslahat perempuan yang hendak berkahwin itu. Manakala wali fasik pula, ia
sendiri sudah tidak bertanggungjawab ke atas dirinya apatah lagi hendak
bertanggung jawab kepada orang lain.
Untuk menentukan seseorang wali itu bersifat adil atau fasik adalah memadai
dilihat dari segi zahir atau luaran sahaja ataupun memadai wali itu mastur
iaitu kefasikannya tidak diketahui karena untuk menilai kefasikan secara
batin adalah susah. Walau bagaimanapun jikalau Sultan atau Raja itu fasik
yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali maka
kewalian itu tetap sah karena kesahihannya diambilkira dari segi keperluan
terhadap wali Raja.
Sebenarnya sebagian besar ulama-ulama Mutaakhirin dalam Mazhab Syafi’e
seperti Imam Al-Ghazali, pendapat pilihan Imam Nawawi dan sebagainya,
telah mengeluarkan fatwa bahwa sah wali fasik menjadi wali, selepas
57 www.e-dinar.com (di akses tanggal 18 juli 2008)
32
beristighfar.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin telah mengingatkan bahwa
seseorang wali harus memerhati dan meneliti kelakuan geraklaku calon
suami, jangan sampai mengawini saudara perempuan dengan seorang lelaki
yang buruk budi pekertinya atau lemah agamanya ataupun yang tidak sekufu
dengan kedudukannya. Sekiranya ia mengawinkan puterinya dengan seorang
lelaki yang zalim atau fasik atau yang lemah agamanya atau peminum arak,
maka ia telah melanggar perintah agamanya dan ketika itu ia akan terdedah
kepada kemurkaan Allah swt, karena ia telah mencuaikan persoalan
silaturrahim (perhubungan tali kerabat) dan telah memilih jalan yang salah.
Selanjutnya Al-Ghazali menceritakan seorang ayah telah datang meminta
nasihat kepada Al-Hasan, Katanya: “Telah banyak orang yang datang
meminang puteriku, tetapi aku tidak tahu dengan siapa yang harusku
kawinkan dia”. Berkata Al-Hasan: “Kawinkan puterimu itu dengan orang
yang banyak taqwanya kepada Allah. Andaikata suaminya mencintainya
kelak pasti ia akan dimuliakan. Tetapi jika suaminya membencinya maka
tiada dianiayainya”.58
C. Konsep Wali Nikah Dalam Perspektif KHI
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh
58 Ibid
33
2. Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab
b. Wali hakim
3. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat-tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah, dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah atau keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek,
dan keturunan laki-laki mereka.
4. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
5. Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang
paling berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah.
6. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tuadan
memenuhi syarat-syarat wali.
34
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali atau oleh karena wali nikah itu mendeita
tunawicara, tunarungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser
kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
b. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut. 59
D. Hukum Wakalah Dalam Islam
1. Wakalah
a. Pengertian Wakalah
Al-Wakalah menurut bahasa adalah At-Tafwidh (penyerahan)
sebagaimana dalam bahasa Arab jika diungkapkan:60
uال nلىuي إuرpمnأ rتpضnوnف
Artinya:" Aku telah serahkan kepada Allah"
Sedangkan menurut istilah dalam beberapa kitab adalah sebagai
berikut:
59 Moh. Idrris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara.2004)7460 Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap (Jakarta: PT Darul Falah.2005),
568
35
Wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang mampu
dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bias diganti, kepada
orang lain, agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya. 61
Wakalah adalah perwakilan pada perkara-perkara yang boleh
disikapi oleh wakil itu seperti yang mewakilkan pada perkara-perkara
yang boleh diwakilkan.62
Wakalah adalah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada
orang lain agar dikerjakannya (wakil) sewaktu hidupnya (yang
berwakil).63
Wakalah yaitu seseorang menyerahkan kepada orang lain sesuatu
untuk dilaksanakan dikala masih hidup si pembei kuasa, dengan cukup
rukun-rukunnya, sah. Dan sah memberi kuasa dalam segala soal akad
yang dapat diganti. Pembeian kuasa itu suatu akad yag dibolehkan.64
Hukum berwakil ini sunat, kadang-kadang menjadi wajib kalau
terpaksa, haram kalau kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan
yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh.65
Firman Allah SWT:
Artinya:”Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini”(Al-Kahfi:19)66
Utusan tersebut merupakan wakil mereka semua.
61 H. Abu Bakar Muhammad, Fiqh Islam (Surabaya: Karya Abbditama. 1995),16362 Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Op. Cit., 56863 Sulaiman Rasjid, Op.Cit., 32064 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam,( Semarang: PT Pustaka
Rizki Putara. 2001), 39165 Sulaiman Rasjid, Op.Cit., 32066 Depag RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya( Jakarta,2002)
36
نق ظu زnكاةu رnمnضnا pفuى حuف nمnلnس nو uه pيnلnع rل صnل�ى ا ي} uى الن�بuن قnnnnالn اnبrوp هnrريpرnة: وnك�ل
uهuابnحpصnا nنpيnا بnهrمuسpقrم�ا يnنnمر§ غuاnع uنpب nةnبpقrع nمnلnسnو uهpيnلnع rل�ى الnي} صuى الن�بnطpعnاnو
(رواه البخارى) Abu Hurairah berkata: ” Nabi SAW telah mewakilkan kepada saya untuk
memelihara zakat fitrah, dan beliau telah memberi seekor kambing
kepada Uqbah Bin Amir agar dibagikan kepada sahabat-sahabat
beliau.” (Riwayat Bukhori)
Dalam Islam, terdapat satu prinsip Undang-Undang Islam yang
menyatakan:“Tiap-tiap sesuatu yang boleh seseorang melaksanakan
dengan sendirinya, maka diperbolehkan ia mewakilkan suatu itu pada
orang lain. Menurut prinsip tersebut, telah sepakat Fuqaha bahwa setiap
akad yang dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai bidang
kuasa, maka akad itu boleh juga ia wakilkan kepada orang lain misalnya
dalam akad nikah, jual beli, cerai, sewa dan lain-lain.
Adapun rukun Wakalah adalah sebagai berikut:
1. Pemberi Kuasa (al-Muwakkil)
Para Fuqaha sependapat bahwa orang-orang yang
mempunyai otoritas untuk mengatur dirinya itu boleh memberi kuasa.
Seperti orang yang bepergian, orang sakit dan perempuan.
Menurut Imam Malik, pemberian kuasa dari seorang lelaki
yag sehat dan tidak bepergian itu boleh.67
Abu Hanifah berpendapat tidak boleh perwakilan orang yang sehat,
orang yang hadir dan seorang wanita kecuali ia adalah orang yang
melebihi tema-temanya.68
67 WWW. Hidayatullah.com68 Ibnu Ruyd, Bidayatul Mujtahid (Jakarta: pustaka Azzam.2007),595
37
Ulama yang memandang hukum dasarnya adalah bahwa
tindakan orang lain tidak dapat mewakili tindakan yang lainnya
kecuali apabila ada suatu tuntutan atau kebutuhan yang telah
disepakati, maka mereka berkata, "Orang yang diperselisihkan
perwakilannya tidak boleh melakukan perwakilan."
Ulama yang memadang hukum dasarnya adalah dibolehkan,
mereka mengatakan, "Pewakilan dalam segala sesuatu adalah boleh
kecuali pada sesuatu yang telah disepakati bahwa hal tersebut tidak
dibenarkan secara ibadah."69
2. Orang yang Diberi Kuasa (al-Wakil)
Syarat-syarat pemberian kuasa adalah orang yang tidak
dilarang oleh syari'at untuk melakukan tindakan terhadap sesuatu
yang dikuasakan kepadanya. Oleh karena itu, Imam Malik, tidak sah
memberi kuasa kepada anak di bawah umur dan orang gila. Dan
memberi kuasa kepada wanita untuk melaksanakan akad nikah tidak
sah menurut Imam Malik.70
Adapun menurut Syafi'i tidak secara langsung dan tidak pula
dengan perantara (maksudnya,ia mewakilkan kepada orang yang
mengurusi akad pernikahannya).Dan menurut Malik dibolehkan
dengan perantara laki-laki71
3. Tindakan yang Dikuasakan (at-Taukil)
69 Ibid.59570 WWW. Hidayatullah.com71 Ibnu Ruyd, Op. Cit.,596
38
Syarat obyek pemberian kuasa ialah perbuatan yang dapat
digantikan oleh orang lain, seperti jual beli, pemindahan hutang,
tanggungan, semua bentuk transaksi, semua pembatalan transaksi,
serikat dagang, pemberian kausa, penukaran mata uang, pemberian
gaji, akad bagi hasil (al-Musaqah), talak, nikah,khuluk dan
perdamaian. Tetapi tidak diperkenankan pada ibadah-ibadah badaniah
dan diperbolehkan pada ibadah-ibadah bersifat harta seperti zakat,
sedekah, dan haji.
Menurut Imam Malik, pemberian kuasa untuk menyelesaikan
persengketaan berdasarkan pengakuan dan pengingkaran itu
diperbolehkan. Begitu pula pemberian kuasa untuk menjalankan
hukuman. Sedangkan untuk pernyataan pengakuan tidak dapat
dikuasakan kepada seseorang.72
Syafi'i dalam salah satu perkataannya berkata ,"Tidak boleh
berdasarkan suata pengakuan"dan ia menyerupakan hal terseut dengan
persaksian serta sumpah.
Dibolehkan wakalah dalam menerima hukuman menurut
malik,dan menurut syafi'i dengan dihadiri orang yang mewakilkan
terdapat dua pendapat.
Ulama yang mengatakan bahwa wakalah dibolehkan
berdasarkan atas suatu pengakuan telah berbeda pendapat mengenai
wakalah mutlak dalam suatu perselisihan apakah mengandung
pengakuan atau tidak?Malik mengatakan,"Tidak mengandung".73
72 WWW. Hidayatullah.com (diakses tanggal 22 Juli 2008)73 Ibnu Ruyd, Op. Cit.,596
39
4. Sifat Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa (al-Wakalah) adalah akad yang mengikat
dengan adanya ijab dan qabul, seperti akad-akad yang lainnya. Tetapi
al-Wakalah itu bukan akad yang terlalu mengikat, melainkan akad
yang jaiz, seperti akan dikemukakan tentang hukum akad al-wakalah
ini.74
Menurut Imam Malik, pemberian kuasa itu ada dua macam,
yakni umum dan khusus. Yang umum adalah pemberian kuasa yang
berlaku secara umum tanpa menyebutkan satu perbuatan. Sebab,
apabila disebutkan, maka sifat keumuman dan penyerahannya tidak
dapat dipergunakan. 75
Syafi'i berkata:"Tidak boleh ada pewakilan secara umum dan
hal tersebut merupakan suatu penipuan.Dibolehkan di antara
perwakilan tersebut sesuatu yang disebutkan,dibatasi serta diperkuat
dengan nash yaitu qiyas yang dimana pada asalnya perwakilan adalah
tidak dibolehka kecuali karena sesuatu yang telah disepakati.76
b. Hukum Pemberian Kuasa
Menurut para fuqaha, orang yang diberi kuasa itu boleh menarik
penyerahan kekuasaan tersebut kapan saja menghendaki .Menurut Imam
74 WWW. Hidayatullah.Op.Cit75 www.e-dinar.com , Op. Cit76 Ibnu Ruyd, Op. Cit., 597
40
Malik, kehadiran pihak lawan (dalam persengketaan) tidak menjadi syarat
terjadinya akad pemberian kuasa, ini juga berlaku di depan hakim. ada
tiga hal yang dapat 'membebas tugaskan' seorang penerima kuasa (al-
Wakil) berkaitan dengan pihak yang bekerja pada penerima
wakil:
1. kematian, pengunduran, dan pemecatan membatalkan semua hak yang
terkait dengan transaksi al-Wakalah.
2. hak orang yang mengetahui kematian pemberi kuasa (al-muwakkil)
dan pemecatanpenerima kuasa (al-wakil) itu batal.
3. batalnya transaksi al-wakalah dapat juga membatalkan hak orang
yang bekerja pada penerima kuasa (al-Wakil), baik ia mengetahui
kematian atau pemecatan pemberi kuasa (al-Muwakkil) atau tidak.
Tetapi transaksi al-Wakalah tidak membatalkan hak penerima
kuasa (al-Wakil), walaupun orang yang bekerja padanya mengetahui
kematian atau pemecatan pemberi kuasa (al-Muwakkil). Jika penerima
kuasa (al-Wakil) tidak mengetahui sendiri, sedangkan orang yang
membayar sesuatu kepada penerima kuasa, maka ia harus menanggung
kerugian. Karena secara sadar, orang itu membayar sesuatu kepada orang
yang tidak menjabat sebagai penerima kuasa (al-Wakil).
c. Hukum Penerima Kuasa ( Al-Wakil)
41
Ada beberapa persoalan yang terkenal berkenaan dengan hukum-
hukum penerima kuasa. Antara lain, jika ia diberi kuasa untuk menjual
sesuatu, bolehkah ia membeli sesuatu itu untuk dirinya sendiri?
Dalam beberapa kondisi Imam Malik memperbolehkannya, akan
tetapi untuk beberapa kondisi tadak diperbolehkan.77
Persoalan lain, jika seseorang memberi kuasa (kepada orang lain)
secara mutlak dalam urusan jual beli. Menurut Imam Malik, penerima
kuasa itu tidak boleh menjual kecuali berdasarkan harga pasar, secara
tunai dan dengan mata uang di negeri itu. Jika ia membayar dengan
pembayaran kemudian dan tidak berdasarkan harga pasar, maka hal
tersebut tidak diperbolehkan. Kondisi ini berlaku pula dalam pembelian.
d. Perselisihan Antara Pemberi Kuasa Dan Penerima Kuasa
Perselisihan yang terjadi antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa bisa berkaitan dengan hilangnya harta yang berada di tangan
penerima kuasa atau besarnya harga pembelian atau penjualan, jika
pemberi kuasa memerintahkan dengan harga tertentu. Atau boleh jadi
berkenaan dengan barang yang dibeli, penentuan orang yang harus
melakukan pembayaran, atau berkenaan dengan tuduhan melakukan
kesalahan. 78
Jika kedua belah pihak bersengketa tentang harta yang hilang,
kemudian penerima kuasa berkata, "Harta itu telah hilang dariku",
sementara pemberi kuasa berkata, "Barang itu tidak hilang", maka yang
77 www.e-dinar.com, Op. Cit78 WWW. Hidayatullah.com, Op. Cit
42
dipegang dalam hal ini adalah kata-kata penerima kuasa berikut saksi,
bahwa dirinya belum menerima barang tersebut. Tetapi jika harta tersebut
telah diterima oleh penerima kuasa dari pemberi kuasa dan pemberi kuasa
tidak dapat mendatangkan saksi atas penyerahan barang tersebut, maka
dalam hal ini pemberi kuasa 'tidak bebas' dengan pengakuan penerima
kuasa dan ia dikenakan denda (memberi ganti).
Lalu, apakah pemberi kuasa itu boleh menagih kepada penerima
kuasa? Dalam hal ini jika terjadi perselisihan pendapat. Jika penerima
kuasa menerima barang tersebut dengan dihadiri oleh saksi, maka
pemberi kuasa itu menjadi bebas dan penerima kuasa itu pun tidak
terkena kewajiban apa pun. 79
Adapun apabila mereka berdua berbeda pendapat mengenai penyerahan
barang: (Misalnya) Wakil berkata, "Saya telah menyerahkannya
kepadamu", sedangkan pemberi kuasa mengatakan, "Tidak":80
1. Ada yang berpendapat bahwa pekataan yang kuat adalah perkataan
wakil tersebut.
2. Ada yang berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan
pemberi kuasa.
3. Ada yang berpendapat bahwa apabila hal tersebut saling berjauhan
maka perkataan yang kuat adalah perkataan wakil.
2. Wakalah wali dalam akad nikah
79 www.e-dinar.com, Op. Cit80 Ibnu Ruyd, Op. Cit., 600
43
Seperti halnya akad timbal balik lainnya, dalam akad nikah juga
diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain. Pada zaman dahulu Nabi
pernah memerintahkan sahabatnya untuk mewakili beliau menikahi
Maimunah.
عnنp سrلnيpمnانn بpنu يnسnارu، أnن� الن�بuيn صnل�ى الr عnلnيpهu وnسnل�مn بnعnثn أnبnا رnافuع§ مnوpلnهr وnرnجrل
.مuنn اpلn نpصnارu فnزnو�جnاهr مnيpمrوpنnةn بuنpتn اpلحnارuثu وnهrوn بuالمnدuيpنnةu قnبpلn أnنp يnخpرrج
( (رواه مالك في الموالطأ
Dari Sulaiman bin Yasar, bahwasanya Nabi SAW mengutus Abu Rafi' (mantan budaknya) dan seorang laki-laki Anshar, lalu keduanya menikahkannya dengan Maimunah binti Al-Harits, yang mana saat itu beliau berada di Madinah sebelum keluar (untuk ihram). (diriwayatkan oleh malik didalam Al-Muwaththa')81
عnنp أبى رnافuع §قnالn: تnزnو�جn رnسrولr ال صnل�ى الr عnلnيpهu وnسnل�مn مnيpمrوpنnةnn حnلnل�، وnبnنnى
.بuهnا حnلnل� وnكrنpتr الر�سrوpلr بnيpنnهrمnا
Dari Abu Rafi', ia Berkata: "Rasulullah mengawini Maimunah dalam keadaan halal dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan saya penghubung antara keduanya."(Shahihul Isnad: Irwa-ul Ghalil VI: 252, Darimi II: 38, Ahmad VI: 392-393).82
Rasulullah juga pernah mewakilkan akad nikahnya dengan Habibah kepada Umar bin Umayyah Adh-Dhamri:
عnنp أrمy حnبuيpبnةn أن�هnا كnانnتp فuيpمnنp هnاجnرnإلىn أرpضu الpحnبnشnةu فnزnو�جnهnا الن�جnاشuي} رnسrول
( الu صnلى� الr عnلnيpهu وnسnل�مn وnهuيn عuنpدnهr (رواه أبو داود"Ummu Habibah, salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke Habasyah,
dikawinkan oleh raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu,
Ummu Habibah berada di negeri raja Najasyi itu." (HR Abu Dawud)83
81 Al-Imam Asy-Syaukani, Mukhtashar Nailul Authar(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)169.82 Abdul Adzim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz,( Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006)731.83 Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah,(Jakarta: Pena Pundi Aksara,2006)26.
44
Umar bin Umayyah Adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil
Rasulullah dalam suatu perkawinan Rasulullah (dengan Ummu Habibah).
Adapun raja Najasyi bertindak sebagai wali dalam penikahan rasulullah itu.
Di Indonesia yang pernah mewakilkan akad perkawinannya
diantaranya KH. Abdurrahman Wahid, hal itu dilakukan karena beliau berada
di Baghdad untuk menyelesaikan studinya, sedangkan yag menjadi wakil
beliau adalah pamannya. Amrozi juga pernah mewakilkan akad
pekawinannya seaktu dia berada di dalam penjara, dan yang menjadi
wakilnya adalah saudara laki-lakinya.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali juga berhak mewakilkan
hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski orang tersebut tidak termasuk
dalam daftar para wali.hal itu biasa dilakukan di tengah masyarakat dengan
meminta tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan
untuk itu harus ada akad antara wali dengan orang yang diberi hak untuk
mewakilinya.84
Dalam hal akad nikah ini, apabila seseorang wali aqrab itu berada
jauh, tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu bisa hadir tetapi ia
tidak mampu untuk menjalankan akad nikah itu, maka wali itu diperbolehkan
mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i.
Abu Dawud Meriwayatkan dari Uqbah bin Amir:
عnنp عrقpبnةn بpنu عnامuر§ رnضuيn الr عnنpهr أnن� الن�بuيn صnلى� الr عnلnيpهu وnسnل�مn قnالn لuرnجrل:
أnتnرpضnى أnنp أrزnوtuجnكn فrلnنnةn. قnالn:نnعnمp. وnقnالn لuلpمnرpأnةu: أnتnرpضnيpنn أnنp أrزnوtuجnكu فrلnن�ا.
84 www.e-dinar.com, Op. Cit
45
قnالnتp: نnعnمp. فnزnو�جn أnحnدnهrمnا صnاحuبnهr فnدnخnلn بuهnا الر�جrلr وnلnمp يnفpرuضp لnهnا صnدnاق�ا
وnلnمp يrعpطuهnا شnيpأ� وnكnانn مuم�نp شnهuدn الpهrدnيpبuيnةn وnكnانn مnنp شnهuدn الpهrدnيpبuيnةn لnهr سnهpم
بuخnيpبnرnفnلnم�ا حnضnرnتpهr الpوnفnاةr قnالn أن� رnسrوpلn الu صnلى� الr عnلnيpهu وnسnل�مn زnو�جnنuي
فrلnنnةn وnلnمp أفpرuضp لnهnا صnدnاق�ا وnلnمp أrعpطuهnا شnيpأ� وnإنtuي أrشpهuدrكrمp أnنtuي أnعpطnيpتrهnا مuن
صnدnاقuهnا سnهpمuي بuخnيpبnرn فnأnخnذnتp سnهpم�ا فnبnاعnتpهr بuuمuأnةu أnلpف§ (رواه أبو داود )''Nabi saw bersabda kepada salah seorang sahabatnya,'Maukah aku nikahkan kamu dengan si fulana itu?'Ia menjawab,'ya.'Nabi bersabda juga pada seorang perempuan ,'Maukah kamu aku nikahkan dengan si fulan itu?'Ia menjawab,'ya'. Nabi lalu menikahkan perempuan tadi dengan laki-laki tersebut. Setelah keduanya dinikahkan, laki-laki itu menyetubuhinya, padahal maharnya belum dibayar dan belum memberi suatu apa pun. Laki-laki ini adalah salah seoang pejuang Hudaibiah.Barang siapa yang pernah ikut dalam Perang Khaibar. Tatkala laki-laki ini sudah hampir meninggal,ia berkata,'Sesungguhnya, Rasulullah SAW telah mengawinkan dengan perempuan si fulanah itu,tapi maharnya belum aku bayar dan akupun belum memberinya apa-apa.Aku bersaksi di hadapan kamu bahwa aku memberinya bagian tanahku di Khaibar itu sebagai mahar. Perempuan tadi lalu mengambil sebagian dari tanahnya dan menjualnya seharga seratus ribu."(HR Abu Dawud)85
Hadits diatas menerangkan tentang sahnya wakil yang bertindak atas dua
belah pihak. Selain menjadi wakil dari pihak laki-laki Nabi juga menjadi wali
dari pihak perempuan.
Dibolehkannya seorang wali mewakilkan hak perwaliannya kepada
orang lain juga tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 28 mengatur
tentang kebolehan wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang
lain.86
Perwakilan dalam pernikahan itu dibolehkan baik wali pengantin
wanitanya hadir atau tidak, dipaksa maupun tidak dipaksa.87 Perwakilan
85 Sayid Sabiq, Op. Cit,25.86 Dr. H. Umiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),7487 Syaikh Hasan Ayyub, Op. Cit.,61
46
diperbolehkan secara mutlak atau muqayyad (terbatas).Yang dimaksud
muqayyad adalah perwakilan dalam menikahkan orang tertentu.Sedangkan
mutlak adalah perwakilan dalam menikahkan orang yang disetujui atau yang
dikehendaki. Sebagian ulama penganut madzhab syafi'i menolak perwakilan
yang bersifat mutlak dan memandangnya batal. Diriwayatkan bahwa seorang
laki-laki dari bangsa Arab membiarkan tinggal ditempat Umar seraya
bekata ,"Jika engkau mendapatkan laki-laki yang se-kufu, maka nikahkanlah
laki-laki itu dengannya meskipun maharnya hanya tali sandalnya saja.Lalu
Umar menikahkannya dengan utsman bin affan Radiallahu Anhu. Wanita itu
adalah Ummu Umar bin Utsman.Hal itu sangat popular dan tidak ada yang
menentangnya. Dan yang demikian dipandang sebagai izin dalam pernikahan,
sehingga dibolehkan secara mutlak.
Dalam sahnya perwakilan tidak diperlukan izin wanita, baik yang
mewakilkan itu ayah atau orang lain serta tidak diperlukan hadirnya dua
orang saksi.
Sebagian penganut madzhab Syafi'i mengemukakan,"Orang yang
mewakilkan tidak terpaksa,tidak boleh mewakilkan kecuali dengan izin
wanita yang akan dinikahkan."
Diceritakan dari Hasan bin Shalih, bahwa tidak dibenarkan
memberikan perwakilan kecuali dengan dihadiri dua orang saksi. Karena
yang dimaksud dengan al-hillu adalah al-wath'u (hubungan badan), sehingga
memerlukan adanya kesaksian,seperti pernikahan.
Bagi wakil ditetapkan pula apa yang ditetapkan bagi orang yang
mewakilkan. Jadi ,jika seorang wali dibolehkan pemaksaan,maka wakilnya
47
pun boleh melakukan hal yang sama.Dan jika perwakilannya bersifat
murajja'ah (ditangguhkan),maka sang wakil perlu mengajukan izin kepada
wanita yang ada dibawa perwakilannya.Karena itu merupakan wakil,sehingga
ditetapkan baginya apa yang sama ditetapkan baginya apa yang sama
ditetapkan bagi orang yang mewakilkan kepadanya.Demikian juga hakim, ia
boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan, sehingga orang itu
pun menempati posisi sebagai hakim.88
Menurut Jumhur Fuqaha, syarat-syarat sah orang yang boleh menjadi
wakil wali ialah:89
1. Laki-laki
2. Baligh
3. Merdeka
4. Islam
5. Berakal ( tidak lemah akalnya)
6. Wakalah itu tidak boleh dibuat sewaktu orang yang memberi wakil itu
menunaikan ihham haji atau umrah
Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu
dengan sendirinya sesuai dengan yang ditentukan sewaktu membuat wakalah
itu karena orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada
orang lain kecuali dengan izin memberi wakil atau bila diserahkan urusan itu
kepada wakil sendiri seperti kata pemberi wakil: “Terserahlah kepada engkau
(orang yang menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri
88 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2001),6289 www.e-dinar.com
48
atau orang lain”. Maka ketika itu, boleh wakil berwakil pula kepada orang
lain untuk melaksanakan wakalah itu.
Wakil wajib melaksanakan wakalah menurut apa yang telah
ditentukan oleh orang yang memberi wakil. Misalnya seorang berwakil
kepadanya untuk mengawinkan perempuan itu dengan si A, maka wajiblah
dia untuk mengawinkan perempuan tersebut dengan si A. Kalau wakil itu
mengawinkan perempuan itu dengan si B, maka perkawinan itu tidak sah.
Demikianlah bidang kuasa wali adalah amat penting dalam
perkawinan karena ia menentukan sah atau tidak sesuatu perkawinan. Oleh
itu, setiap orang tua dan pengantin perempuan sebelum melakukan sesuatu
perkawinan hendaklah meneliti dahulu siapa yang berhak menjadi wali
mengikut tertib dan susunan wali. Sekiranya orang tua tidak mengetahui
tentang wali maka hendaklah berkonsultasi dengan orang alim untuk
mendapat penjelasan.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Yang dimaksud dengan paradigma menurut Bogdan dan Biklen dalam
buku Metode Penelitian Kualitatif karangan Maleong90 adalah kumpulan longgar
dari sejumlah asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep atau proposisi
yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian. Paradigma penelitian di sini
diperlukan untuk menentukan cara dan arah pelaksanaan penelitian sehingga
terdapat konsisitensi pemikiran, pembahasan, dan pelaporannya. 91
Pada penelitian ini peneliti mencoba mengambil paradigma alamiah atau
paradigma fenomenologis, yakni memahami perilaku manusia dari segi kerangka
berfikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri92, dengan harapan peneliti
dapat memahami alasan masyarakat memberikan hak kepada orang lain untuk
menjadi wali dalam akad nikah putri atau keluarganya yang semestinya menjadi
hak dan kewajiban mereka
B. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini termasuk jenis penelitian exploratif yaitu penelitian di
mana seorang peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-
hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu93, yakni apa-apa yang
90 Lexy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1999), 30.91 M. Dimyati, Penelitian kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial (Malang: FIP IKIP Malang, 1991), 12.92 Lexy Maleong, Op. cit., 31.93Suharsimi Arikunto, PROSEDUR PENELITIAN; Suatu Pendekatan Praktek (Cet. 12; Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 6.
50
melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di Desa Argotirto
Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang .
C. Pendekatan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, yakni
suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya
yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.94
Dengan pendekatan penelitian ini di harapkan peneliti dapat menyajikan
data yang ada dikaitkan dengan sumber data normatif sekaligus meneliti terhadap
gejala-gejala yang ada dengan cara analisis dokumen atau content analysis yaitu
analisis aktifitas atau analisis informasi seperti meneliti dokumen, manganalisis
peraturan, hukum keputusan-keputusan95, dengan demikian peneliti dapat
mengambil apa yang menjadikan latar belakang terjadinya wakalah wali dalam
masyarakat.
D. Subyek penelitian
Subjek penelitian ialah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti atau
subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.96 Di dalam penelitian
ini, peneliti mencoba menjadikan masyarakat dan tokoh agama Argotirto sebagai
obyek penelitian yang juga sebagai data sekunder, di karenakan di Desa ini
94 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 32. 95 Suharsimi Arikunto,Loc.Cit., 88.96Suharsimi Arikunto, Loc.cit., 122.
51
hampir semua Akad nikah wali nikah diwakilkan kepada kiyai, tokoh agama atau
penghulu.
E. Jenis dan Sumber Data
1. Wujud data.
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik berupa fakta atau angka
yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi.97 Data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
a. Hasil wawancara dengan Masyarakat dan tokoh agama Desa Argotirto
b. Hasil wawancara dengan ketua dan Penghulu KUA Sumbemanjing
Wetan.
c. Literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian.
2. Sumber data
Sumber data adalah subjek dari mana itu diperoleh 98 dan sumber data
dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan.99 Dalam penelitian ini,
yakni penelitian exploratif yang menggunakan pendekatan kualitatif data-data
yang dibutuhkan antara lain adalah :
a. Data Primer
Data primer ialah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
diamati, dan dicatat untuk pertama kalinya.100 Data primer dapat berupa
opini subyek (orang) secara individual dan kelompok., hasil observasi
97 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),99.98Marzuki, Metodologi Riset (Cet. IV: Yogyakarta: Bagian penerbitan Fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1986),114.99 Lexy J Moleong.Loc.cit, 157.100Marzuki, Metodologi Riset, Op.cit, 130.
52
terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan dan hasil pengujian.101
Data primer juga bermakna data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.102
Data ini diperoleh peneliti di lapangan yang berupa informasi atau
wawancara langsung dengan menghasilkan pendapat atau pemikiran
seseorang yang peneliti lakukan dengan masyarakat dan tokoh agama
Desa Argotrito serta ketua dan penghulu KUA Sumbermanjing Wetan
tentang terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di masyarakat
Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan
b. Data sekunder
Data sekunder ialah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang di luar diri penyelidik sendiri, meskipun yang
dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli.103 Data sekunder
umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun
dari arsip (dokumenter) yang sudah dipublikasikan.104
Dalam hal ini peneliti berusaha mengumpulkan data-data yang berupa
kepustakaan yang berhubungan dengan pokok pembahasan, termasuk
juga studi dokumen berupa Perundang-undangan, buku-buku, majalah
dan sebagainya. Upaya ini dilakukan untuk memperoleh landasan teori
dan dasar analisis yang dibutuhkan dalam membahas permasalahan.
101Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Studi Kasus (Sidoarjo: CV. Citra Media, 2003), 57.102 Marzuki, Op.cit, 130.103Winarno Surahmad, Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik (Bandung: Tarsito, 1985),163.104Gabriel Amin Silalahi, Loc.cit., 57.
53
F. Pengumpulan Dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data.105 Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode wawancara atau interview.
Wawancara atau interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(interviewer)106. Pendapat lain mengatakan metode wawancara yaitu tanya
jawab secara lisan antara dua orang atau lebih yang saling berhadapan secara
fisik dengan ketentuan yang satu dapat melihat wajah yang lain, juga dapat
mendengarkan dengan telinganya sendiri107. Metode ini bertujuan
mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden
atau informan.108 Dalam melakukan wawancara ini peneliti menyeleksi
masyarakat yang pernah mewakilkan haknya sebagai wali dalam akad nikah
putrinya kepada orang lain dan tokoh agama yang pernah menikahkan
perempuan karena di minta oleh walinya.
Suatu wawancara dapat disifatkan sebagai suatu proses interaksi dan
komunikasi dalam mana sejumlah variabel memainkan peranan yang penting
karena kemungkinan untuk mempengaruhi dan menentukan hasil wawancara.
Variabel yang dimaksud adalah: 109
1) Pewawancara (Interviewer)
105Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 1995),134.106Suharsimi Arikunto, Loc.Cit., 132.107Hadi, Sutrisno, Metologi Research,(Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada,1986), 192.108Masri singarimbun, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES,1989), 192.109J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1978), 84.
54
2) Responden (Interviewee)
3) Daftar pertanyaan atau pedoman pertanyaan (Interview Guide) yang dipakai
4) Rapport antara pewawancara dan responden.
Wawancawa atau Interview juga sebagai salah satu metode
pengumpulan data mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 110
2. Sebagai metode primer apabila berfungsi sebagai metode utama dalam
pengumpulan data.
3. Sebagai metode pelengkap apabila dipergunakan untuk mendapatkan
informasi yang belum dapat diperoleh dengan metode lain.
4. Sebagai kriterium (pengukur) apabila dipergunakan untuk
meyakinkan/mengukur suatu kebenaran informasi.
2. Tehnik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang di gunakan oleh peneliti adalah : 111
1. Editing, yaitu mengedit dan meneliti data-data yang sudah didapat
melalui wawancara dan dokumentasi sesuai data yang di butuhkan dalam
penelitian.
2. Clasifying, yaitu menelaah data yang terkumpul secara mendalam untuk
mempermudah dalam menganalisis dan menyimpulkan penelitian.
3. Verifying, yaitu menjelaskan data yang terkumpul dari hasil pengumpulan
data melalui interview dan dokumentasi dari lokasi penelitian.
4. Analiting, yaitu penyederhanaan data agar bisa dipahami berdasarkan
keinginan peneliti dan masyarakat akademis secara umum. Analisis data
110Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian; Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula (Cet. II; Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 90.111Sapari Imam Asyari, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Usaha Nasional, 1983).100.
55
menurut Patton dalam buku Prosedur Penelitian karangan Moleong 112
ialah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Adapun metode yang penulis gunakan untuk menganalisis data
adalah Deskriptif Analisis yaitu prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau
obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat,dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya113, Sedangkan menurut Surahmad114 bahwa metode deskriptif
analisis adalah menuturkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang
dialami, satu hubungan kegiatan, pandangan kegiatan, sikap yang nampak
atau tentang suatu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang
sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang
nampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya. Beliau
mengungkapkan tentang metode analisis ini dengan dua arah, Pertama
memusatkan daripada masalah-masalah yang ada pada masa sekarang,
Kedua, data yang dikumpulkan disusun, dijelaskan, dan kemudian
dianalisis. Pada laporan demikian, peneliti menganalisis data tersebut dan
sejauh mungkin dalam bentuk aslinya.
112Lexy J. Moleong, Loc.cit.,103.113Soedjono dan Abdurrahman, METODE PENELITIAN; Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999),23.114Winarno Surahmad, Loc.cit., 139-140.
56
5. Concluding, yaitu menarik kesimpulan penelitian berdasarkan data-data
yang di peroleh melalui pengumpulan data untuk mendapatkan hasil yang
di inginkan oleh peneliti.
57
BAB IV
PEMAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Kondisi Obyektif Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis
Sebelum penulis menguraikan materi penelitian tentang Persepsi
Masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Kabupaten Malang
Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah, terlebih dahulu penulis akan
membahas uraian tentang keadaan geografis daerah tersebut. Dalam bahasan ini
peneliti hanya menguraikan secara singkat, namun demikian semoga dapat
mewakili apa yang dimaksud yaitu mengenai Persepsi Masyarakat Desa
Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali
Dalam Akad Nikah.
Desa Argotirto terletak di wilayah Kecamatan Sumbemanjing Wetan,
kurang lebih 44 km kearah selatan dari kota Malang.
Desa Argotirto terdiri dari tiga Pedukuhan, yaitu: Dusun Krajan,
Dusunn Sumberbende dan Dusun Wonorrejo dengan luas wilayah 1.408,612 ha.
Jumlah penduduk Desa Argotirto menurut buku Laporan Daftar Isian
Potensi Desa, yang dikeluarkan oleh Diektorat Jendral Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri sebanyak 6.219 orang (2.791
laki-laki dan 3.488 Perempuan) yang tersebar di tiga Pedukuhan terdiri dari 1.522
Kepala Keluarga (KK).
58
Secara geografis Desa Argotirto terletak pada ketinggian 685 M di
atas permukaan laut. Sedangkan letak wilayah secara administratif berbatasan
dengan:
Sebelah utara : Desa Sumbermanjing Wetan.
Sebelah timur : Desa Harjokuncaran.
Sebelah selatan : Desa Sumberagung.
Sebelah barat : Desa Ringinsari.
2. Kondisi Keagamaan
Jumlah penduduk Desa ini pada akhir 2008 adalah mencapai 6.219 orang
(2.791 laki-laki dan 3.488 Perempuan) yang tersebar di tiga Pedukuhan terdiri
dari 1.522 Kepala Keluarga (KK). Mayoritas penduduk Desa Argotirto beragama
Islam, yang sebagian besar masyarakatnya adalah sebagai warga Nahdatul Ulama
(NU) dan hanya sebagian kecil saja yang menjadi warga Muhammadiyah (MD).
Namun demikian warga Desa Argotirto selalu rukun, tidak pernah terjadi
perselisihan yang serius diantara mereka. Karena mereka menyadari benar bahwa
perbedaan itu bukanlah suatu masalah besar dan tujuan mereka adalah sama
yakni agama Islam.
Terbukti dalam keadaan sosial masyarakatnya yang sangat rentan dengan
nilai-nilai keagamaan, yakni adanya beberapa kelompok jam’iyah keagamaan
yang berkembang di Desa Argotirto ini diantaranya yaitu: jam’iyah diba’ putra,
jam’iyah Diba’iyah putri, jam’iyah sholawat nariyah Perempuan, jam’iyah
sholawat nariyah putra dan masih banyak yang lain. Kegiatan ini dilakukan setiap
minggu sekali di hari yang berbeda-beda pada tiap kegiatan. Dan kebanyakan
59
dari kegiatan ini dilaksanakan setelah sholat isya’ yakni sekitar jam 20.00WIB. di
Pedukuhan Krajan juga berkembang thoriqot An-Naqsabandiyah yang bisaanya
dilaksanakan malam jum'at dan malam senin ba'da maghrib di musholla Darul
Muttaqin dan minggu ba'da Ashar di masjid Nurul Mubin.
Selain itu juga terdapat jam’iyah tahlil putra dan jam’iyah tahlil putri pada
tiap RT masing-masing, yang bisaanya juga dilaksanakan seminggu sekali.
Belum lagi kalau ada tasyakuran-tasyakuran, baik tasyakuran hari besar Islam,
tasyakuran bayi, tasyakuran orang melahirkan, pernikahan bahkan tasyakuran
orang meninggal dunia. Adapun pelaksanaan tasyakuran ini bisaanya dilakukan
setelah sholat maghrib ataupun isya’. Kegiatan sosial keagamaan ini
dilaksanakan dengan salah satu tujuannya adalah mengakrabkan hubungan antara
tetangga atau kerabat.
Dari berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan sebagaimana uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi keagamaan masyarakat Argotirto
dapat dikatakan sangat kuat. Dan ini dibuktikan dengan presentase jumlah
penduduk yang memeluk agama Islam lebih dominan daripada agama yang lain
yakni 98,6 %, dan sisanya beragama Kristen dan Hindu Budha.115 Ini berdasarkan
data yang diperoleh oleh penulis dari kantor Desa tentang pemeluk agama.
3. Kondisi Pendidikan
Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat khususnya para pemudanya masih
setingkat SLTP dan hanya sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan penduduk
yang melanjutkan ke SLTA apalagi pada jenjang perguruan tinggi. Hal ini
115 Sumber data dari kantor Desa Argotirto
60
disebabkan karena secara keseluruhan masyarakat Argotirto kurang
memperhatikan terhadap pendidikan. Salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi yaitu kurang pahamnya masyarakat tentang pentingnya
pendidikan, serta ketidakmampuan para orang tua untuk membiayai putra
putrinya dalam menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi. Sehingga
menyebabkan minimnya masyarakat di Desa ini mengenyam pendidikan ke
tingkat yang lebih lanjut.
Selain itu tingkat pendapatan ekonomi yang sangat rendah Desa Argotirto ih
mendukung masyarakat untuk bekerja daripada sekolah. Mereka lebih
mementingkan pekerjaan, dan ini merupakan salah satu cara yang dipilih untuk
lebih meringankan beban orang tua.
Dari kondisi pendidikan yang kurang memadai di Desa Argotirto tersebut,
tentu sedikit banyak akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Karena
salah satu keberhasilan pembangunan nasional adalah dari sektor pendidikan, di
mana dengan majunya tingkat dan mutu pendidikan pada suatu bangsa akan
mempengaruhi suasana pembangunan bangsa tersebut.
Kondisi masyarakat yang demikian ini, tidak mempengaruhi semangat para
tokoh masyarakat (termasuk para guru) untuk memperbanyak pendidikan baik
formal maupun non formal. Untuk lembaga non formal maksudnya adalah
pendidikan formal di bidang agama yang dilakukan pada masjid, mushalla atau
pondok pesantren. Terbukti dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan baik itu
lembaga pendidikan formal ataupun non formal, sebagaimana data yang
diperoleh penulis di lapangan yang saat ini mulai mengalami kemajuan, sesuai
dengan data berikut:
61
Tabel. 4.1
Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan JumlahTK (taman kanak-kanak) 4SDN (sekolah dasar negeri) 2MI (madrasah ibtida’iyah) 3TPQ 4Pondok pesantren 2
Jumlah 15Sumber data: Kantor Desa Argotirto
Adapun data-data tentang tingkat pendidikan masyarakat Argotirto,
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
Tabel. 4.2
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan JumlahS1 38Diploma 1,2,3 23SMA 287SMP 536SD 3.250
Sumber data: Kantor DesaDesa Argotirto
4. Kondisi ekonomi
Adanya perekonomian merupakan cara atau usaha untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Perekonomian terjadi jika ada manusia yang saling
membutuhkan, begitu juga keadaan perekonomian penduduk setempat yang
diramaikan oleh masyarakat dengan aktivitas petani. Sebagaimana data yang
62
diperoleh penulis bahwa sebenarnya penduduk Desa Argotirto mempunyai
berbagai mata pencaharian mulai dari buruh, petani, pedagang, TKI dan
sebagainya.
Keadaan sosial ekonomi masyarakat Desa Argotirto tergolong miskin
Sebagian besar masyarakat Desa Agotirto berpenghasilan sangat rendah (low
income Communities), tercatat kurrang lebih 917 orang buruh tani. Bahkan
diantara mereka terdapat 104 Kepala Keluarga dari 1.522 tidak memiliki tanah
garapan sama sekali.
Menurut buku Laporan Potensi Desa Tahun 2003,tercatat kurang lebih 917
orang buruh tani dan kurang lebih 575 orang petani.Penghasilan kotor buruh tani
berkisar antara Rp15.000 sampai dengan Rp20.000 setiap harinya.Pekerjaan
sebagai buruh tani itupun mereka dapatkan hanya dimusim tanam dan dimusim
panen.
Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan,masyarakat Desa Argotirto
sebagian besar menjadi PRT (TKW).Sehingga mereka dapat membangun rumah
yang layak meskipun setelah itu mereka harus bekerja kembali menjadi buruh
tani untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Produk domestik terbesar Desa Argotirto berupa tanaman:
Tebu,Jagung,Singkong,Padi dan Kelapa.
Penghasilan bruto dari hasil panen tebu seluas 1(satu) ha kurang lebih Rp
5.000.000 (lima juta rupiah).Setelah dikurangi untuk biaya perawatan,
pemupukan, tenaga kerja dan lain-lain,hasil bersih/netto sebesar kurang lebih Rp
2.100.000. sedangkan untuk komoditi berupa jagung, padi, singkong, dan lainnya
jauh dibawah tebu.
63
B. Persepsi Masyarakat Argotirto Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah.
Banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita tidak boleh
melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali
yang mewakilinya. Jika da seorang yang melaksanakan akad nikah sendiri (tanpa
wali), maka akad nikahnya batal. Demikian yang mayoritas dikatakan oleh ahli
fiqih.
Para ulama penganut madzhab Hanafi mengemukakan "seorang
wanita boleh melakukan akad pernikahan sendiri sebagaimana ia boleh
melakukan berbagai seperti akad jual beli, ijarah (sewa-menyewa), rahn (gadai)
dan sebagainya, yang memang tidak ada bedanya dengan akad nikah".116
Imam Malik mengatakan, "Hal itu boleh dilakukan bagi wanita yang
hina dan tidak boleh dilakukan oleh wanita yang mulia".
Sedangkan madzhab Zhahiriyah menyebutkan, "Hal iti dibolehkan
bagi seorang janda, tetapi tidak dibolehkan bagi seorang gadis."
Sedang mengenai wali yang mengadakan akad nikah, masih banyak
perbedaan pendapat. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk mengemukakan
beberapa dalil dan hukum yang berkenaan dengan masalah ini serta menyajikan
pendapat yang lebih kuat mengenai hal ini.
Allah Ta'ala befirman:
116 Syaikh Hasan Ayyub, Op. Cit., 48
64
Artinya:"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." ( an-Nuur: 32)
Dia juga berfirman:
Artinya: "Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka"
Dari Abu Musa, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
yيuلnوuل بuا nاحnكuن nل
"Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali"
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Timidzi, Baihaqi
dan perawi lainnya dan hadits tersebut shahih dengan banyaknya jalan dan
syahid-nya.
Dari Aisyah Radiyallahu anha, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
اnي}مnا امpرnأnة§ نnكnحnتp بuغnيpرu إuذpنu وnلuيtuuهnا فnنuكnاحrهnا بnاطuل¼ فnإuنp دnخnلn بuهnا فnلnهnا اpلمnهpرrبuمnااسpتnحnل� uمنp فnرpجuهnا
فnإuنu ا شpتuجnرrوا فnالسrلpطnانr وnلuي} مnنp لn وnلuي� لnه.(رواه الترمذى)
Artinya: " Perempuan mana saja jika menikah tidak seijin walinya, maka nikahnya batal, dan jika (laki-laki yang menikahinya) mencampurinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang telah ia peroleh dari kemaluannya, jika mereka (para wali) betengkar, maka hakim itu adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali."
65
Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan hadits ini termasuk hadits shahih.Tirmidzi meng-hasankan hadits
tersebut.
Para penganut madzhab Hanafi membolehkan wanita menikahkan
dirinya sendiri. Dalam hal itu mereka meggunakan dalil dengan mengqiyaskan
akad nikah dengan akad jual beli. Sesungguhnya wanita itu mempunyai
kemandirian untuk melakukannya.117
Abu Tsaur menyebutkan, ''Jika seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri dengan izin walinya, maka nikahnya itu dianggap sah. Hal itu berdasakan
sabda Rasulullah SAW:
"Perempuan mana saja jika menikah tidak seijin walinya maka
nikahnya batal."
Artinya, harus ada wali yang melaksanakan akad nikahnya atau
mengizinkan wanita itu untuk mewakilkan kepada laki-laki yang dipercaya untuk
menikahkannya. Dan jika ia mewakilkan kepada orang lain tanpa seizin walinya,
maka nikahnya batal.
Wali adalah salah satu dari rukun nikah yang mana kalau tidak
dipenuhi maka tidak sah pernikahan tersebut. Diantara urutan wali yang
disebutkan di atas bapak dan kakek di beri keistimewaan yang berupa hak
menikahkan anaknya yang bikir (perawan) dengan tidak memita izin si anak
terlebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak yang 117 Ibid, 50
66
Sayib(bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya
terlebih dahulu. Sedangkan wali-wali yang lain berhak menikahkan mempelai
setelah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.118
Sabda Rasulullah SAW:
اnلث�يtuبr اnحnق} بuنnفpسuهnا مuنp وnلuيyهnا وnالpبuكpرrيrزnوtuجrهnا اnبrوpهnا (رواه الدارقطنى)ا
Artinya” Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.
Sedangkan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya.” (Riwayat
Daraqutni)
Alasan seorang janda diminta pendapat tentang pernikahannya yang harus
dijawab dengan jawaban langsung dikarenakan janda pernah melangsungkan
pernikahan sebelumnya, sehingga ketika diminta jawaban tidak malu-malu
karena sebelumnya pernah berumah tangga.
Sedangkan untuk seorang gadis yang diminta jawaban tentang akad yang
dilangsungkan untuknya cukup dengan diam, alasannya adalah kebanyakan para
gadis ketika diminta jawaban masalah perjodohan mereka malu karena belum
berpengalaman sebelumnya, sehingga wajar ketika dimintai jawaban soal
perjodohan diam tersebut dianggap jawaban persetujuanya.
Dalam Islam, terdapat satu prinsip Undang-Undang Islam yang
menyatakan:“Tiap-tiap sesuatu yang boleh seseorang melaksanakan dengan
sendirinya, maka diperbolehkan ia mewakilkan suatu itu pada orang lain.
Menurut prinsip tersebut, telah sepakat Fuqaha bahwa setiap akad yang dapat
118 Sulaiman Rasjid, , Op. Cit384.
67
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai bidang kuasa, maka akad itu boleh
juga ia wakilkan kepada orang lain misalnya dalam akad nikah, jual beli, cerai,
sewa dan lain-lain.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak
perwaliannya itu kepada orang lain, meski orang tersebut tidak termasuk dalam
daftar para wali.hal itu bisaa dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta
tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu
harus ada akad antara wali dengan orang yang diberi hak untuk mewakilinya.
Dalam hal akad nikah ini, apabila seseorang wali aqrab itu berada jauh,
tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu bisa hadir tetapi ia tidak
mampu untuk menjalankan akad nikah itu, maka wali itu diperbolehkan
mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i.
Mewakilkan hak perwalian kepada orang lain juga diperbolehkan
walaupun wali hadir di tempat berlangsungnya akad nikah asalkan wali tersebut
tidak bertindak sebagai saksi.
Menurut Ustadz Hadrawi wali yang sudah mewakilkan kepada orang lain
tidak boleh hadir dalam pelaksaaan akad nikah karena.
"Oreng seh leh abekelagi keh oreng laen tak olle bedeh e kenengneh akad jiyah, dedih mun lakar weli otabeh bapak deri nak-kanak binik seh anikah jiyah bedeh, koduh e soro ke ruangan laen untuk sementara tepa'eng berlangsungah akad nikah jiyah, sengkok dibi' mun dedih bekel welineh bi' sengkok esoro ngalle kade'.119
Orang yang telah mewakilkan kepada orang lain tidak boleh berada di
tempat akad nikah itu, tapi kalau wali atau bapak dari anak tersebut hadir, harus
119 Ustadz Hadrawi, Wawancara,(Argotirto,12 Nopember 2008)
68
disuruh ke tempat lain sementara ketika berlangsungnya akad nikah. Ketika saya
menjadi wakil saya juga menyuruh walinya untuk pergi dulu.
Sedangkan Ustadz Muzakki berpendapat bahwa wali atau orang tua anak
perempuan yang menikah boleh hadir di tempat nikah, asal tidak menjadi saksi.
"orang tua atau wali boleh hadir ditempat akad walaupun sudah mengangkat orang lain sebagai wakil untuk menikahkan anaknya. Dia boleh menyaksikan tapi tidak berperan menjadi saksi. Yang penting di tempat tersebut sudah ada dua orang saksi atau lebih yang memang sengaja dihadirkan untukmenentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut Jadi ketika penghulu menanyakan kepada saksi sah atau tidaknya akad nikah orang tua tersebut tidak boleh menjawab, istilahnya dia cuma menjadi penonton saja." 120
Perwakilan diperbolehkan secara mutlak atau muqayyad (terbatas).Yang
dimaksud muqayyad adalah perwakilan dalam menikahkan orang
tertentu.Sedangkan mutlak adalah perwakilan dalam menikahkan orang yang
disetujui atau yang dikehendaki. Sebagian ulama penganut madzhab syafi'i
menolak perwakilan yang bersifat mutlak dan memandangnya batal.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari bangsa Arab membiarkan tinggal
ditempat Umar seraya bekata ,"Jika engkau mendapatkan laki-laki yang se-kufu,
maka nikahkanlah laki-laki itu dengannya meskipun maharnya hanya tali
sandalnya saja.Lalu Umar menikahkannya dengan utsman bin affan Radiallahu
Anhu. Wanita itu adalah Ummu Umar bin Utsman.Hal itu sangat popular dan
tidak ada yang menentangnya. Dan yang demikian dipandang sebagai izin dalam
pernikahan, sehingga dibolehkan secara mutlak.
Dalam sahnya perwakilan tidak diperlukan izin wanita, baik yang
mewakilkan itu ayah atau orang lain serta tidak dipelukan hadirnya dua orang
saksi.120 Ustadz Muzakki, Wawancara,( Argotirto,11 Nopember 2008)
69
Sebagian penganut madzhab Syafi'i mengemukakan,"Orang yang
mewakilkan tidak terpaksa, tidak boleh mewakilkan kecuali dengan izin wanita
yang akan dinikahkan."
Diceritakan dari Hasan bin Shalih, bahwa tidak dibenarkan memberikan
perwakilan kecuali dengan dihadiri dua orang saksi. Karena yang dimaksud
dengan al-hillu adalah al-wath'u (hubungan badan), sehingga memerlukan adanya
kesaksian,seperti pernikahan.
Bagi wakil ditetapkan pula apa yang ditetapkan bagi orang yang
mewakilkan. Jadi ,jika seorang wali dibolehkan pemaksaan,maka wakilnya pun
boleh melakukan hal yang sama.Dan jika perwakilannya bersifat murajja'ah
(ditangguhkan),maka sang wakil perlu mengajukan izin kepada wanita yang ada
dibawa perwakilannya.Karena itu merupakan wakil,sehingga ditetapkan baginya
apa yang sama ditetapkan baginya apa yang sama ditetapkan bagi orang yang
mewakilkan kepadanya. Demikian juga hakim, ia boleh mewakilkan kepada
orang lain untuk menikahkan, sehingga orang itu pun menempati posisi sebagai
hakim.
Yang terjadi masyarakat Desa Argotirto mayoritas wali nikah
mewakilkan haknya kepada orang lain. Bisanya kiai dan tokoh agama atau
penghulu dari KUA yang mewilayahi Desa tersebut yang menjadi wakil dari
orang tua mempelai.
Dalam hal ini penulis mencoba melakukan wawancara dengan tokoh
masyarakat, tokoh agama serta ketua KUA setempat untuk mengetahui persepsi
masyarakat argotirto tentang wakalah wali dalam akad nikah. Untuk itu penulis
70
melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat yang pernah mewakilkan
haknya sebagai wali dalam akad nikah putrinya.
Sebagian besar hasil wawancara dibawah berbahasa madura dikarenakan
sebagian besar masyarakat Desa Argotirto menggunakan bahasa Madura sebagai
bahasa sehari-hari, yang selanjutnya penulis alih bahasakan kedalam bahasa
Indonesia.
Sebagian masyarakat mewakilkan haknya sebagai wali nikah kepada
orang lain karena merasa tidak bisa melafadzkan akad nikah, berikut ini
komentar bapak Saliman yang pernah mewakilkan haknya kepada orang lain:
"Mun koca'eng sengkok weli jiyah wejib e delem akad nikah, tapeh
jekreng sengkok oreng buduh bi' sengkok yeh e pasra'agi ke mak mudin,
tembengneh tak sah gutak anguk e pasra'agi ke mak mudin" 121
Menurut saya wali itu wajib ada didalam akd nikah, tapi karena saya
orang bodoh maka saya pasrahkan kepada bapak modin, dari pada tidak sah lebih
baik dipasrahkan sama bapak mudin.
Hal senada juga di sampaikan bapak Jumadi waktu diwawancarai penulis
selesai melaksanakan sholat Tarawih di musholla Darul Muttaqin Desa Argotirto,
dalam bahasa Madura:
"Weli ajiah wejib e delem akad nikah tapeh je'reng sengkok tak biso bi' sengkok yeh e bekelagi keh bindereh Dul Latif, makeh tepa'eng ajiyah bedeh mak mudin bik penguloh bi' sengkok e pasra'agi keh bindereh Dul Latif seh lebih alem, munjek sengkok biso bi' sengkok e penika'agi dibik tang anak, tapeh je'reng sengkok tak biso yeh epasra'agi keh bindereh Dul Latif seh kebetulen hadir e manteneh tang anak, apapole tang anak gik aguru ke bindereh Dul Latif ajiyah."122
121 Bapak Saliman, Wawancara, (Argotirto, 9 september 2008)122 Bapak Jumadi, Wawancara, (Argotirto, 9 September 2008)
71
Wali itu wajib ada dalam akad nikah, tetapi karena saya tidak bisa, saya
wakilkan sama bindoro Abdul Latif, walau sa'at itu ada bapak Modin dan bapak
Penghulu sama saya diwakilkan sama bindoro Abdul Latif yang lebih Alim,
seandainya saya bisa, anak saya akan saya nikahkan sendiri, tapi karena saya
tidak bisa maka saya wakilkan sama bindoro Abdul Latif yang kebetulan hadir
dalam akad nikah anak saya, apalagi bindoro Abdul Latif adalah guru anak saya.
Menurut bapak Lasiman, salah satu ketua RT di Desa Agotirto yang
kebetulan waktu menikahkan kedua putrinya diwakilkan kepada orang lain:
"tepa'eng anika'agi tang anak seh binik bi' sengkok e bekelagi ke
penguloh, anu apah gik pot-repot, tak beriyeh makeh ebekelagi yeh pade sah"123
Waktu menikahkan anak perempuan saya, saya wakilkan sama penghulu,
buat apa repot-repot, walaupun begitu sama sahnya.
Menurut bapak Miselan yang juga mewakilkan hak perwaliannya sewaktu
menikahkan putrinya:
"Bi' sengkok tepa'eng anika'agi tang anak ebekelagi ke penguloh, jek sengkok tak biso ruah, yeh sajjeneh bereng penguloh leh e petaber epenika'ah dibi' apah ebekkelagineh, karnah sengkok tak biso bi' sengkok esoro bekkelagi ke penguloh "124
Waktu menikahkan anak saya, saya wakilkan ke penghulu sebab saya
tidak bisa, sebenarya penghulu sudah menawarkan sama saya mau dikahkan
sendiri atau diwakilkan, karena saya tidak bisa maka saya wakilkan ke penghulu.
Sebenarnya ada sebagian masyarakat yang merasa bisa untuk menikahkan
sendiri, tapi tetap diwakilkan kepada orang lain karena hal itu sudah jadi budaya
di Desa Argotirto.
123 Lasiman, Wawancara,(Argotirto, 7 September 2008)124 Bapak Miselan, Wawancara,(Argotirto, 7 September 2008)
72
"Se'onggunah sengkok biso mun karo anika'agi beih, tapeh leh dedih kebisaaan e disah dinna' ariyah penguloh seh anika'agi, yeh mun bedeh kiyaeh seh rabu yeh kiyaeh seh e so'on anika'agi. Kadeng tak salpak mun enika'agi dibi'. Tang anak kabbi seh anika'agi yeh penguloh".125
Sebenarnya saya bisa kalau cuma menikahkan saja, tapi sudah menjadi
kebisaaan di Desa ini penghulu yang menikahkan, kalau ada kiyai yang datang
maka kiyai tersebut yang di minta untuk menikahkan. Sepertinya kurang enak
kalau dinikahkan sendiri. Semua anak saya yang menikahkan adalah penghulu
Sama halnya dengan bapak Mukri, bapak Mattamin yang merasa bisa
untuk menikahkan putrinya juga mewakilkan pernikahan anaknya pada salah
seorang guru putrinya karena factor kebisaaan.
"Makeh sengkok biso anika'agi dibik bi' sengkok seh anika'agi tang anak e bekelagi keh bindereh, sebeb leh dedih kebisaaan e dinnak mun anika'agi ana'eng ajiyah e pasra'agi ke mak mudin, penguloh otabeh kiyaeh. Kabbi edisah dinak riyah e bekelagi."126
Walaupun saya bisa menikahkan sendiri anak saya, tetap saya wakilkan
sama bindoro, sebab sudah menjadi kebisaaan disini kalau orang menikahkan
anaknya diserahkan ke pak Modin, penghulu atau kiai.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Wakalah Wali dalam Akad
Nikah Di Desa Argotirto
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hampir semua wali nikah di
Desa Argotirto mewakilkan hak walinya kepada orang lain dalam menikahkan
putrinya.
125 Bapak Mukri, Wawancara,(Argotirto, 8 September 2008)126 Bapak Mattamin Wawancara,(Argotirto, 9 septembe 2008)
73
Menurut kepala KUA Sumbermanjing Wetan Bapak Mursyid 100%
(seratus persen) pernikahan di Desa Argotirto wali nikahnya diwakilkan kepada
orang lain, Yaitu 98% diwakilkan pada penghulu dan 2% diwakilkan pada kiai,
ini terlihat dari 900 (sembilan ratus) perkawinan 782 diwakilkan kepada
penghulu dan 18 perkawinan diwakilkan kepada kiai atau tokoh agama.127
Latar belakang terjadiya wakalah wali di Desa Argotirto adalah sebagai
berikut:
1. Faktor Wali fasik
Menurut ustadz Hadrawi, salah seorang tokoh agama di Desa Argotirto
dalam bahasa madura.yang kemudian peneliti alih bahasakan dalam bahasa
Indonesia sebagai penjelas, sebab orang mewakilkan akad nikah kepada orang
lain diantaranya karena di Desa ini masih banyak orang fasik (ahli maksiyat)
karena menurut imam Syafi'i orang fasik tidak sah menjadi wali.
" E delem ketab taqreb eterangagi mun oreng fasek ajiyah tak sah mun dedih weli nikah, seh ekocak oreng fasek ajiyah oreng seh gellek alakoh maksiyat kadeng rang-rang abejeng ben ampo amain, oreng kadeng ajiyah edinnak cek benya'eng".128
Di dalam kitab Taqrib diterangkan bahwa orang fasik tidak boleh menjadi
wali nikah , yang disebut orang fasik adalah orang yang sering berbuat maksiat
seperti jarang sholat dan suka judi, orang sepeti itu disini banyak sekali.
"E delem keadaan oreng tuanah fasek abekelagi keh oreng laen ajiyah
justru lebih begus bahkan bisa wejib hokomah129"
Apabila orang tua mempelai putri fasik,wakalah justru sangat dianjurka
ahka bisa wajib hukumnya.
127 Bapak Mursyid, Wawancara,(Argotirto, 9 september 2008)128 Ustadz Hadrawi, wawancara,(Argotirto, 10 September 2008)129 Ibid
74
2. Faktor Ta'dzim Kepada Kiai
Menurut Syu’ib Rizal, salah satu tokoh agama Argotirto Desa dalam
bahasa madura.yang kemudian peneliti alih bahasakan dalam bahasa Indonesia
sebagai penjelas keterangan informan:
" E disah dinna' mayoitas oreng medureh seh bisaanah cek ta'dzimeh keh
guru ben kiyaeh. Mangkanah jiyah dedih kebanggaan mun ana'en enika'agi guru
otabeh kiyaeh".130
Di Desa ini mayoritas orang madura yang bisaanya sangat ta’dzim kepada
guru dan kiai, maka dari itu sungguh merupakan kebanggaan yang besar ketika
anaknya dinikahkan guru atau kiyainya.
3. Faktor Kebisaaan
Kebisaaan mewakilkan hak perwalian dalam akad nikah sudah menjadi
budaya di Desa Argotirto, hal ini terbukti dari semua pernikahan di Argotirto
orang tua selalu mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain, walaupun
orang tua tersebut sebenarnya mampu untuk menikahkan sendiri putrinya, seperti
yang di sampaikan kepala KUA Sumbermanjing Wetan berikut ini:
"Di sini mas, semua pernikahan di taukilkan, tidak ada yang dinikahkan sendiri oleh walinya. Dan yang paling banyak di taukilkan kepada orang yang ditugaskan dari KUA seperti penghulu dan modin, sedangkan yang diwakilkan kepada kiai sekitar 2% (dua persen), dari 900 (sembilan ratus) pernikahan yang ditaukilkan kepada kiai Cuma18 (delapan belas) pernikahan, sedangkan yang 882 (delapan ratus delapan puluh dua) diwakilkan pada pihak dari KUA yang dating ke tempat berlangsungnya akad nikah"131
130 Bapak Suib rizal.wawancara,(Argotirto, 10 September 2008)131 Bapak mursyid, wawancara,(Argotirto, 9 September 2008)
75
4. Faktor Tidak Bisa
Sedangkan faktor yang paling dominan dalam tejadinya wakalah wali
dalam akad nikah karena banyak orang yang merasa tidak bisa mengutarakan
lafadz akad nikah. Sep-erti yang disampaikan bapak Su'ib Rizal dann ustadz
Hadrawi berikut ini:
Seh numer duwek polanah tak bisa alafadagi lafadz akad nikah, jekreng
abekelagi beih nanggin tonton lafadhah bereng kiyaeh otabeh penguloh.132
Yang kedua karena tidak bisa megucapkan lafadz akad nikah, sedangkan
untuk mewakilkan saja harus dituntun lafadznya oleh kiyai atau penghulu.
“oreng dinna’ riyah benyak seh gik grogi mun anika’agi ana’eng
apapole ejeling oreng benyak. Mula’nah jiyah nyuro penguloh otabeh tokoh
agama gebey anika’agi ana’eng”133
Orang-orang sini banyak yang grogi kalau menikahkan anaknya apalagi
dihadapan orang banyak. Maka dari itu dia menyuruh penghulu atau tokoh agama
untuk menikahkan anaknya.
Sementara itu sebagian masyarakat beranggapan yang berhak menikahkan
anak perempuan adalah penghulu, menurut mereka tugas orang tua hanyalah
mencarikan calon suami yang baik buat anak perempuannya atau hanya
memberikan restu pada calon suami pilihan putrinya.
Namun demikian wakalah wali dalam akad nikah walaupun terjadi
disemua pernikahan di Argotirto dilakukan dega sangat sederhana, dalam
wakalah ini juga tidak ada surat kuasa dari al-Muwakkil (pemberi kuasa) kepada
132 Ustadz Hadrawi Wawancara, (Argotirto, 10 September 2008)133 Suib rizal.wawancara, (Argotirto, 10 September 2008)
76
al-Wakil (penerima kuasa), kecuali pemberi kuasa berada jauh dan tidak bisa
hadir di tempat belangsungnya akad nikah.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan wakalah wali dalam akad nikah yang telah
dibahas dalam bab sebelumnya maka sebagai suatu jawaban dari permasalahan,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Wakalah wali terjadi di semua pernikahan di Desa Argotirto. Sebagian besar
yang menjadi wakil wali dalam akad nikah adalah penghulu atau petugas dari
KUA, sebagian lagi kiai dan tokoh masyarakat setempat. Semua masyarakat
Desa Argotito setuju bahwa wali adalah salah satu syarat sah dalam sebuah
pernikahan, tetapi mereka tidak terbiasa menikahkan anak perempuannya
sendiri. Sehingga setiap pernikahan di Desa Argotirto wali selalu
mewakilkan haknya kepada penghulu atau tokoh agama setempat.
2. Sebab-sebab terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di Desa Argotirto
adalah:
a. Sebagian tokoh agama berpegangan kepada pendapat imam Syafi'i bahwa
orang fasik tidak boleh menjadi wali
b. Masyarakat merasa senang atau bangga jika yang menikahkan putri
mereka kiai atau guru dari anak tersebut
c. Sudah menjadi budaya di masyarakat Argotirto wali nikah mewakilkan
haknya kepada orang lain walaupun sebenarnya yang bersangkutan
mampu untuk melakukannya
78
d. Banyak masyarakat yang merasa tidak mampu untuk menikahkan
anaknya sendiri sehingga mereka mewakilkanya kepada penghulu atau
tokoh agama setempat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti
Menyarankan:
1. Kepada pihak KUA terus memberi keterangan kepada masyarakat untuk
menikahkan sendiri putrinya sebagai tanda ikatan emosional yang kuat antara
bapak dan anak gadisnya kalau perlu beberapa hari sebelum pernikahan wali
dipanggil untuk dilatih mengucapkan lafadz akad nikah, walaupun pada
dasarnya mewakilkan itu dibolehkan.
2. Kepada para tokoh agama untuk terus mensosialisasikan kesunnahan dan
keutamaan menikahkan sendiri anak perempuan yang berada di bawah
perwaliannya.
3. Kepada masyarakat turut mensosialisasikan keutamaan orang tua atau wali
nasab yang lain untuk menikahkan sendiri perempuan di bawah perwaliannya
tanpa diwakilkan kepada orang lain mengingat menikahkan anak atau
perempuan yang ada di bawah perwalian itu hukumnya sunnat.
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Muhammad bin Isma`il (1059) Subulussalam. Bairut Libanon: Dar Al-kutub Al-Ilmiyyah
Amin Silalahi Gabriel (2003) Metode Penelitian dan Studi Kasus, Sidoarjo: CV. Citra Media.
Arikunto, Suharsimi (2002) PROSEDUR PENELITIAN; Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12; Jakarta: Rineka Cipta.
_____ (1989) Prosedur Penelitian,, Jakarta, Bina Aksara.
_____ (1995) Manajemen Penelitian, Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta.
Bagir al-Habsy, Muhammad (2002) Fiqh Praktis. Bandung: mizan.
Dimyati Mohammad (1991) Penelitian kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Malang: FIP IKIP Malang.
Ghazaly, Abdur Rahman (2003) Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Hadi, Sutrisno (1986) Metologi Research, Yogyakarta:Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada
Harahap, Yahya (2003) Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika
Imam Asyari, Sapari (1983) Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Usaha Nasional.
Istiadah, (2005) Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Jawad Mughniyah, Muhammad (2001) Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: lentera.
Maleong, Lexy (1999) Metodologi Penelitian Kualitatif Cet XVII. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muchtar, Kamal (1974) Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nuruddin Umiur (2006), Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Kencana.
Nur, Djamaan (1993) Fiqih Munakahat. Semarang: Dinas Utama.
80
Porwadarminta (1995) Kamus Besar Bahsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Ramulyo, Idris (1996) Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Rasjid, Sulaiman (2001) Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Rusyd, Ibnu (1990) Bidayatul Mujtahid diterjemahkan M Abdurrahman dan A. Haris Abdullah. Semarang: CV Asy-Syifa.
Sabiq, Sayyid (1997) Fiqh Sunnah 7. Bandung: Al-ma’arif.
Singarimbun, Masri (1989) Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES.
Soedjono dan Abdurrahman (1999) METODE PENELITIAN; Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Sudjana, Nana (2001) Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.
Sukandarrumidi, (2004) Metodologi Penelitian; Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Cet. II; Yogjakarta: Gadjah Mada University Press
Suma, Amin (2004) Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Surahmad, Winarno (1985) Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, Bandung: Tarsito.
_____ (1989) Pengantar Penelitian Ilmiyah, Bandung: Penerbit Parsita.
Syarifuddin, Amir (2003) Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana
Team Perumus KHI (1991) Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Karya Anda.
Yunus, Mahmud (1989) Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung.
WWW. Hidayatullah.com
81