Download - Perdarahan Pada Saluran Cerna
PERDARAHAN PADA SALURAN CERNA
A. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
1. Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran
pencernaan di bagian proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinis
dibedakan perdarahan varises esofagus dan non varises, karena antara keduanya
terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan prognosisnya.
Manifestasi klinis perdarahan saluran cerna bagian atas bisa beragam
tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah
perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak . Kemungkinan pasien datang
dengan : 1) Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang
berlangsung lama, 2) Hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia,
dengan atau tanpa gangguan hemodinamik.
Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya
varises esofagus, gastritis erosi, tuak petik, gastripati kongetsif, sindroma Malory-
Weiss, dan keganasan.
2. Manifestasi Klinis
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.
Penampilan klinis pasien dapat berupa:
Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi.
Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti ter atau aspal.
Hematoskezia : Buang air besar berwarna merah marun, biasanya
dijumpai pada pasien- pasien dengan perdarahan masif dimana transit
time dalam usus yang pendek.
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas
hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti
penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dan lain-
lain.
1 | “Perdarahan Saluran Cerna”
3. Pendekatan Diagnosis
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana
dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis
yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang
diutamakan adalah penanganan A - B – C ( Airway – Breathing – Circulation )
terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah
resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,
riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu –
jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat
penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya.
Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung
kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian
ABC, pasien- pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi
atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua
dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian
hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
Perdarahan < 8% hemodinamik stabil
Perdarahan 8%-15% hipotensi ortostatik
Perdarahan 15-25% renjatan (shock)
Perdarahan 25%-40% renjatan + penurunan kesadaran
Perdarahan >40% moribund
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit
hati kronis (ikterus, spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema
tungkai), masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit rematik dan lain-lain. Pemeriksaan yang tidak boleh
dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai prognostic.
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric
Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif,
aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan massif sangat mungkin
2 | “Perdarahan Saluran Cerna”
perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat
memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien
dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada
NGT.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang. Antara lain laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal
ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah, rontgen dada dan elektrokardiografi.
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold
standard. Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk
terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi),
dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan
keadaan hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi
dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari
95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non
variceal bleeding).
Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu
dengan menentukan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam),
lokasi di esophagus (Lm,Li,Lg) dan warna ( biru, cherry red, hematocystic).
Untuk ulkus memakai kriteria Forrest.
- Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
- Forrest Ib : Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
- Forrest IIa : Tukak dengan visible vessel
- Forrest IIb : Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
- Forrest IIc : Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
- Forrest III : Tukak dengan dasar putih tanpa klot.
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan dengan kontras barium( OMD) mungkin dapat
membantu. Untuk pasien yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat
dilakukan pemeriksaan dengan angiografi atau skintigrafi. Hasil pemeriksaan
3 | “Perdarahan Saluran Cerna”
endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan non varises mempunyai nilai
prognostik. Dengan menganalisis semua data yang ada dapat ditentukan strategi
penanganan yang lebih adekwat.
4. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan
umum dan tindakan khusus .
Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap
pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien
dapat segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang
besar minimal no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi.
Dianjurkan pemasangan CVP.
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang
ETT.
c. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
d. Memonitor Tekanan darah, Nadi, saturasi oksigen dan keadaan
lainnya sesuai dengan komorbid yang ada.
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan
endoskopi.
Dalam melaksanakan tindakan umum ini, terhadap pasien dapat
diberikan terapi :
o transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
o Pemberian vitamin K
o Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
o Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises
gastroesofageal dapat diberikan oktreotid bolus 50 µg dilanjutkan
dengan drip 50 µg tiap 4 jam.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti
sendiri, tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan
4 | “Perdarahan Saluran Cerna”
terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh
karena itu perlu dilakuka assessmen yang lebih akurat untuk
memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.
Terapi khusus
1. Varises gastroesofageal:
- Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif (Otreotid,
Somatostatin, Glipressin (Terlipressin)
- Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau
Minesota
- Terapi endoskopi (Skleroterapi, Ligasi)
- Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS (Transjugular
Intrahepatic Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi
spleno – porta.
- Terapi pembedahan (Shunting, Transeksi esofagus +
devaskularisasi + splenektomi, Devaskularisasi + splenektomi )
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung
pada berbagai faktor antara lain 1) Beratnya penyakit hati (Kriteria
Child-Pugh), 2) Ada tidak adanya varises gaster, walupun
disebutkan dapat diatasi dengan semacam glue (histoakrilat) 3)
Komorbid yang lain seperti ensefalopati, koagulopati, hepato renal
sindrom dan infeksi.
2. Tukak peptik
- Terapi medikamentosa (PPI, Obat vasoaktif )
- Terapi endoskopi : Injeksi (adrenalin-saline,
sklerosan,glue,etanol), Termal (koagulasi, heatprobelase),
Mekanik (hemoklip, stapler)
- Terapi bedah
Untuk pasien -pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu
dimonitor akan kemungkinan perdarahan ulang. Second look
endoscopy masih kontroversi
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien
bukan risiko tinggi dapat diberikan diet segera setelah endoskopi
5 | “Perdarahan Saluran Cerna”
sedangkan pasen dengan risiko tinggi perlu puasa antara 24 -48
jam, kemudian baru diberikan makanan secara bertahap.
Untuk mencegah perdarahan berulang dapat dilakukan tindakan :
Varises esophagus :
- Terapi medik dengan betabloker nonselektif
- Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi
Tukak peptik
- Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-
8 minggu.
- Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi dengan
pemberian antibiotik.
- Bila pasien memerlukan NSAID, diganti dulu dengan analgetik
dan kemudian dipilih NSAID selektif ditamabh dengan PPI atau
misoprostol.
B. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
1. Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) dapat didefinisikan
sebagai perdarahan yang terjadi atau bersumber pada saluran cerna di bagian
distal dari ligamentum Treitz. Jadi dapat berasal dari usus kecil dan usus besar.
Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya darah
segar per anum/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri, dan tidak
mempengaruhi hemodinamik.
Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah diklasifikasikan akut atau
berat apabila :
Telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatan.
Terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi
volume intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander.
Terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit
lainnya yang bermakna.
2. Manifestasi Klinis
6 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Perdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia,
maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.
Hematoskezia. Hematokezia diartikan darah segar yang keluar lewat
anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan SCBB yang
paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus,
rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi
juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA)
bila perdarahan tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume
darah tidak sempat kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus
yang cepat.
Maroon stool: darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur
dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian
kanan (ileo-caecal) atau juga dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit
usus cepat.
Melena adalah buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti
kopi (bubuk kopi) atau seperti ter (aspal), berbau busuk dan hal ini
disebabkan perubahan hemoglobin menjadi hematin. Perubahan ini dapat
terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung (khas pada
perdarahan SCBA) atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya
pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai
waktu transit usus yang lambat.
Perdarahan tersamar timbul apabila ada perdarahan ringan namun tidak
sampai merubah warna feses.
3. Diagnosis Banding
Perdarahan divertikel kolon, angiodisplasia, dan colitis iskemia merupakan
penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Perdarahan
saluran cerna bagian bawah yang kronik dan berulang biasanya berasal dari
hemoroid dan neoplasia kolon. Tidak seperti halnya perdarahan saluran cerna
bagian atas, kebanyakan perdarahn saluran cerna bagian bawah bersifat lambat,
intermiten dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
7 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Diverticulosis. Perdarahan dari diverticulum biasanya tidak nyeri dan
terjadi pada 3% pasien diverticulosis. Feses biasanya berwarna merah marun,
kadang-kadang juga bisa menjadi merah. Meskipun divertikel kebanyakan
ditemukan di kolon sigmoid namun perdarahan divertikel biasanya terletak di
sebelah kanan. Umumnya berhenti sendiri dan tidak berulang, oleh karena itu
tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh pasien.
Angiodisplasia. Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia merupakan salah satu penyebab
kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia kolon biasnaya multiple, ukuran
kecil kurang dari diameter 5mm dan biasa terlokalisis di daerah caecum dan kolon
sebelah kanan.
Kolitis Iskemia. Kebanyakan kasus colitis iskemia ditanadai dengan
penurunan aliran darah visceral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan
pembuluh darah mesenteric. Umumnya pasien colitis iskemia berusia lanjut dan
kadang-kadang dipengaruhi oleh sepsis, perdarahan akibat lain dan dehidrasi.
Penyakit Perianal. Penyakit perianal contohnya hemoroid dan fisura ani
bisanya menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak
bercampur dengan feses. Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pda
pasien dengan hipertensi portal kadang-kadang bisa mengancam jiwa. Polip dan
karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang
disebabkan oleh hemoroid oleh karena itu pada perdarahan yang diduga hemoroid
perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip dan
karsinoma kolon.
Neoplasia kolon. Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya
terdapat pada pasien usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya
perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan neoplasma di usus halus relative
jarang namun meningkat pada pasien IBD seperti Crohn’s Disease atau celiac
sprue.
4. Diagnosis Klinis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis yang teliti dan
pemeriksaan jasmani yang akurat merupakan data penting untuk menegakkan
diagnosis yang tepat. Riwayat hemoroid atau IBD sangat penting untuk dicatat.
8 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Nyeri abdomen atau diare merupakan petunjuk kepada colitis atau neoplasma.
Keganasan kadang disertai penurunan berat badan, anoreksia, limfadenopati, atau
masa yang teraba.
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur
dengan feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau
terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat
gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya
berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit
(hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia
mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut,
pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab
atau sumber perdarahan.
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang keluar
dan ada tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interna, tumor rektum).
Pemeriksaan fisis abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia
mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor
kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik lainnya: adanya artritis
(inflammatory bowel disease), demam (kolitis infeksi), gizi buruk (kanker),
penyakit jantung koroner (kolitis iskemia).
Laboratorium. Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit,
trombosit, dan kalau sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai
indikasi. Penilaian hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis
yang ada. Penilaian kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada perdarahan
akut dan masif, akan berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah yang akan
diberikan pada proses resusitasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini sangat tergantung pada keadaan klinis pasien waktu
masuk rumah sakit, penyebab atau lesi sumber perdarahan, perjalanan penyakit
pasien dan tidak kalah pentingnya adalah sarana diagnostik penunjang yang
tersedia. Secara teori, modalitas sarana pemeriksaan anoskopi, sigmoidoskopi,
kolonoskopi, enteroskopi, barium enema (colon in loop), angiografi/artereriografi,
9 | “Perdarahan Saluran Cerna”
blood flow scintigraphy, dan operasi laparatomi eksplorasi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lesi sumber perdarahan dan diagnosis penyakitnya. Tidak jarang
modalitas diagnostik ini dapat dipakai sekaligus untuk terapi (endoskopi
terapeutik, embolisasi pada waktu arteriografi).
Masing-masing modalitas diagnostik ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan dibandingkan modalitas lainnya. Misalnya pada perdarahan yang
berlangsung masif, peran kolonoskopi akan terhambat oleh sulitnya memperoleh
lapang pandang yang akurat untuk menilai di mana dan apa sumber
perdarahannya. Sedangkan arteriografi lebih mudah untuk mendapatkan lokasi
sumber perdarahan (kalau perlu sekaligus terapinya). Mulai dari diagnostik
(terlebih lagi pada waktu terapi) sudah diperlukan kerja sama tim (internis,
internis konsultan gastroenterologi, ahli bedah, radiologis, radiologis
interventional, dan anestesi) yang optimal sehingga langkah diagnostik (dan
terapi) dapat selaras untuk kepentingan pengobatan pasien seutuhnya. Pada
keadaan tidak adanya gangguan hemodinamik atau keadaan yang masih
memungkinkan kita merencanakan langkah diagnostik yang berencana (elektif),
eksplorasi diagnostik sumber perdarahan relatif tidak menimbulkan permasalahan.
Tetapi bila keadaan pasien tidak stabil, adanya gangguan hemodinamik,
diperlukannya segera pilihan terapi, permasalahan algoritme diagnostik (juga
berdampak pada algoritme terapi tidak jarang muncul dan terjadi perbedaan
persepsi antara disiplin terkait.
Pemeriksaan penunjang ini akan berbeda pelaksanaannya dan akan
berbeda hasil yang diharapkan dicapai bila menghadapi kasus akut/emergensi atau
kasus kronik/elektif. Pada makalah ini akan lebih ditekankan pada prosedur
diagnostik dan terapi pada kasus yang akut dan bersifat emergensi.
a. Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera mengetahui sumber perdarahan tersebut bila
berasal dari perdarahan hemoroid interna atau adanya tumor rektum. Dapat
dikerjakan tanpa persiapan yang optimal.
b. Sigmoidoskopi
10 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan
enema (YAL) atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri
sudah bersifat laksan.
c. Kolonoskopi
Pada keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal,
pemeriksaan ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber
perdarahan di seluruh bagian kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada
keadaan perdarahan aktif, lumen usus penuh darah (terutama bekuan
darah), maka lapang pandang kolonoskop akan terhambat. Diperlukan
usaha yang berat untuk membersihkan lumen kolon secara kolonoskopi.
Sering sekali lumen skop tersumbat total sehingga pemeriksaan harus
dihentikan. Tidak jarang hanya dapat menyumbangkan informasi adanya
demarkasi atau batas antara lumen kolon yang bersih dari darah dan
diambil kesimpulan bahwa letak sumber perdarahan di distal demarkasi
tersebut
d. Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum Treitz
serta dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini masih
sangat jarang di Indonesia.
e. Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak
mempunyai peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana
pemeriksaan kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat
saluran pada skop) atau skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan
interpretasi) bila diperlukan. Serta tidak ada tambahan manfaat terapeutik.
Tetapi pada keadaan yang elektif, pemeriksaan ini mampu
mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat diprakirakan sebagai sumber
perdarahan (tidak dapat menentukan sumber perdarahan).
f. Angiografi/Arteriografi 6
11 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkan melalui arteri femoralis
dan arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi
lokasi sumber perdarahan. Dengan teknik ini biasanya perdarahan arterial
dapat terdeteksi bila lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat
dilanjutkan dengan embolisasi terapeutik pada pembuluh darah yang
menjadi sumber perdarahan.
g. Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy)
Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif (99m.technitium),
kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang berlabel
tersebut akan bersirkulasi dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Tehnik ini
dilaporkan dapat mendeteksi perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per
menit). Scanning diambil pada jam 1 dan 4 setelah injeksi darah berlabel
serta 24 jam setelah itu atau sesuai dengan prakiraan terjadinya
perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi perdarahan yang bersifat
intermiten dengan cara mengambil scanning pada jam-jam tertentu.
h. Operasi Laparatomi Eksplorasi
Tentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber
perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan
sebagai modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana
pertimbangan toleransi operasi bagi pasien dan sejauh mana kemudahan
untuk mengidentifikasi sumber perdarahan durante operasi. Secara nyata
dalam praktek penatalaksanaannya di rumah sakit, hal ini sering
menimbulkan kontroversi. Keadaan ini membutuhkan koordinasi
multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya laparatomi eksplorasi
diindikasikan bila perdarahan hebat yang tidak dapat diatasi secara
konservatif. Perdarahan berulang pada keadaan yang sudah teridentifikasi
sumber perdarahan pada pemeriksaan kolonoskopi, arteriografi, atau
scanning, juga tidak memerlukan intervensi operasi. Risiko operasi akan
menurun bila pada operasi tersebut dapat dilakukan identifikasi sumber
perdarahan per kolonoskopik, baik sebelum maupun durante operasi.
5. Penatalaksanaan
A. Terapi pada Keadaan Akut
12 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Resusitasi
Pada prinsipnya proses resusitasi sama dengan perdarahan SCBA atau
perdarahan akut lainnya, yaitu koreksi defisit volume intravaskular dan stabilisasi
hemodinamik. Pemasangan jalur intravena pada pembuluh besar harus dikerjakan
(bukan pada pembuluh vena kecil walaupun diduga perdarahan sedikit). Pada
awalnya larutan fisiologis NaCI dapat dipakai untuk mencukupi defisit volume
intravaskular.
Bila jelas hemodinamik terganggu dan belum ada darah, plasma
ekspander dapat dipakai untuk keperluan ini. Kadar Hb dan Ht dapat dipakai
untuk parameter kebutuhan transfusi darah dan biasanya transfusi dengan target
Hb 10-11 g/dl atau sesuai dengan kondisi sistemik pasien (umur, toleransi
kardiovaskular, dan lain-lain). Dapat dipakai whole blood bila masih
diperhitungkan perlunya resusitasi volume intravaskular atau red packed cell bila
hanya tinggal perlu menaikkan kadar hemoglobin. Bila terdapat defisiensi faktor
pembekuan. Kombinasi red packed cell dan fresh frozen plasma dapat menjadi
pilihan pertama pada proses resusitasi. Bila terdapat proses gangguan faktor
koagulasi lainnya, tentunya harus dikoreksi sesuai kebutuhan.
Bila masih diduga adanya perdarahan yang masif berasal dari SCBA,
maka pemasangan NGT untuk proses diagnostik harus dipertimbangkan. Aspirat
NGT yang jernih, belum menyingkirkan perdarahan bukan berasal dari SCBA.
Medikamentosa
Pada keadaan perdarahan akut, adanya gangguan hemodinamik, belum
diketahui sumber perdarahan, tidak ada studi yang dapat memperlihatkan manfaat
yang bermakna dari obat-obatan untuk keadaan ini. Kecuali telah diketahui,
misalnya perdarahan akibat pemberian antikoagulan atau pada kasus yang telah
diketahui adanya koagulopati. Obat-obat hemostatika yang banyak dikenal dan
beredar luas, dapat disepakati saja dipakai (bila jelas tidak ada kontra indikasi
pada tahap ini dengan mempertimbangkan cost-effective). Demikian pula obat
yang tergolong vasoaktif seperti vasopresin, somatostatin, dan okreotid
Endoskopi Terapeutik
Pada keadaan di mana endoskopi mendapat peluang (keadaan dalam
lumen kolon cukup bersih) dalam segi identifikasi lesi sumber perdarahan, teknik
13 | “Perdarahan Saluran Cerna”
ini sekaligus dapat dipakai sebagai modalitas terapeutik (bila fasilitas tersedia).
Kauterisasi pada lesi angiodisplasia atau tumor kolon, akan mengurangi derajat
atau menghentikan proses perdarahan. Polipektomi pada polip kolon yang
berdarah dapat bersifat kuratif.
Radiologi Intervensional
Dengan teridentifikasinya lokasi perdarahan, durante tindakan dapat
diberikan injeksi intraarterial vasopresin yang dilaporkan dapat mengontrol
perdarahan pada sebagian besar kasus perdarahan divertikel dan angiodisplasia.
Hanya harus diwaspadai efek vasokonstriksi obat tersebut pada sirkulasi tubuh
yang lain, terutama sirkulasi koroner jantung. Alternatif lain dari prosedur ini
adalah tindakan embolisasi pada pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan teridentifikasi tersebut. Harus diwaspadai kemungkinan terjadinya
infark segmen usus terkait akibat prosedur embolisasi tersebut.
Surgikal
Pada prinsipnya operasi dapat bersifat emergensi tanpa didahului
identifikasi sumber perdarahan atau elektif setelah sumber perdarahan
teridentifikasi. Tentunya hal ini mempunyai dampak risiko yang berbeda. Operasi
emergensi mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi bila dilakukan
pada keadaan yang tidak stabil. Kombinasi antara kolonoskopi pre dan durante
operasi diharapkan dapat mengurangi waktu operasi yang dibutuhkan.
B. Terapi Pilihan
Hemoroid Interna
Penyebab tersering perdarahan SCBB, biasanya ringan, tidak mempengaruhi
hemodinamik dan dapat berhenti spontan. Perdarahan biasanya terjadi
setelah defekasi, menetes, darah terpisah dari feses. Harus dibedakan dengan
tumor atau polip rektum karena tata laksananya sangat berbeda. Terapi
konservatif, terapi sklerosing/ligasi, atau surgikal dapat dikerjakan sesuai
indikasi yang dikaitkan dengan derajat hemoroidnya. Derajat IV atau adanya
trombus memerlukan peran surgikal.
Angioma/Angiodisplasia kolon
Lokasi terutama di daerah kolon kanan atau sekum, biasanya bersifat
multipel. Bila dapat diidentifikasi pada waktu perdarahan, tindakan
14 | “Perdarahan Saluran Cerna”
kauterisasi perendoskopik dapat menghentikan perdarahan pada sebagian
kasus. Di samping itu alternatif lain berupa embolisasi selektif waktu
dilakukan angiografi. Vasopresin intraarterial dilaporkan cukup bermanfaat
dalam menghentikan perdarahan.
Divertikulosis Kolon
Biasanya perdarahan tanpa rasa nyeri, merah segar atau maroon stool, sering
bersumber dari kolon bagian kanan. Pada umumnya spontan berhenti dan
tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik pada sebagian besar kasus.
Kekerapan semakin meningkat sesuai umur.
Divertikulum Meckel
Biasanya teridentifikasi dengan teknik pemeriksaan skintigrafi. Terapi
surgikal merupakan pilihan pertama.
Tumor Kolon
Perdarahan biasanya sedikit, bercampur feses, bersifat kronik. Jarang
menimbulkan permasalahan diagnostik dan terapeutik emergensi.
Kolitis Iskemik
Harus dipertimbangkan sebagai penyebab hematoskezia, terutama pada usia
lanjut atau terdapat gangguan koagulasi atau trombosis. Pada umumnya
bermanifestasi bersamaan dengan nyeri perut, terutama setelah makan.
Terapi pilihan sesuai dengan penyakit dasarnya.
Kolitis Radiasi
Adanya riwayat radiasi (terutama radiasi internal pada karsinoma serviks),
harus dipertimbangkan adanya perdarahan SCBB akibat proktitis radiasi.
Pengobatannya masih mengecewakan. Steroid dan sukralfat enema dapat
dipakai dengan hasil yang bervariasi.
Inflammatory Bowel Disease
Secara medikal diusahakan dengan 5-ASA dan steroid. Bila perdarahan
hebat dapat dilakukan operasi kolektomi.
Kolitis Infeksi
Hematoskezia terjadi bersamaan dengan klinis tanda infeksi SCBB, seperti
diare dan nyeri perut. Pengobatannya baku sesuai dengan penyebab dasar.
Jarang perdarahan ini menimbulkan gangguan hemodinamik.
15 | “Perdarahan Saluran Cerna”
Terdapat beberapa penekanan dalam tata laksana perdarahan SCBB:
1. Identifikasi dan antisipasi terhadap adanya gangguan hemodinamik harus
dilaksanakan secara prima di lini terdepan karena keberhasilannya akan
mempengaruhi prognosis.
2. Pada tahap 1 prinsip dasar tata laksana gawat darurat harus diikuti secara
baik.
3. Identifikasi lesi sumber perdarahan banyak tergantung pada modalitas
penunjang diagnostik yang tersedia atau memberlakukan sistem rujukan
secara baik.
4. Keterbatasan modalitas diagnostik akan berdampak pada pilihan jenis
terapi yang akan diambil. Terapi yang dilakukan setelah teridentifikasinya
sumber dan lokasi perdarahan, tentunya akan berbeda dengan tindakan
terapi yang diambil tanpa persiapan tersebut. Dalam keadaan ini
tampaknya pihak disiplin ilmu bedah harus menempatkan diri pada posisi
pengidentifikasi sumber perdarahan dan sekaligus tindakan terapeutik
yang akan diambil.
5. Bila sarana diagnostik penunjang memadai, maka pilihan modalitas
diagnostik didasarkan pada sensitivitas keberhasilannya serta dapat
tidaknya sekaligus sebagai modalitas terapeutik. Pada umumnya pilihan
modalitas antara endoskopi dan radiologi intervensional. Berbeda dengan
algoritme tata laksana perdarahan SCBA, pada perdarahan SCBB
(terutama perdarahan dari usus kecil) peran radiologi diagnostik dan
terapeutik lebih dominan.
16 | “Perdarahan Saluran Cerna”
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, Ali. (2011) Perdarahan Akut Saluran Cerna bagian Bawah.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut
_saluran_cerna_bagian_atas.pdf Diunduh tanggal 4 Januari 2014.
Sjamsuhidajat, de Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru, W., Setiyohadi, Bambang, dkk Editor.(2009) Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Ed 5 Jilid I. Jakarta : Internal Publishing
17 | “Perdarahan Saluran Cerna”