PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(STUDI PRAKTIK PERCERAIAN DI DESA MEKARJAYA
KEC. RUMPIN KAB. BOGOR)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Asep Awaludin
(1112044100086)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
i
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(STUDI PRAKTIK PERCERAIAN DI DESA MEKARJAYA
KEC. RUMPIN KAB. BOGOR)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ASEP AWALUDIN
NIM: 1112044100086
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440H/2019M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(STUDI PRAKTIK PERCERAIAN DI DESA MEKARJAYA KEC. RUMPIN
KAB. BOGOR) telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 25 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program
Studi Hukum Keluarga.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iv
ABSTRAK
ASEP AWALUDIN. NIM 1112044100086. PERCERAIAN DI LUAR
PENGADILAN AGAMA (STUDI PRAKTIK PERCERAIAN DI DESA
MEKARJAYA KEC. RUMPIN KAB. BOGOR). Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. xi+ 67 halaman 22 halaman
lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor penyebab terjadinya
perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya, bagaimana tata cara
perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya, bagaimana tata cara
pernikahan selanjutnya setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya dan apa saja dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mekarjaya kecamatan Rumpin Bogor.
Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan pendekatan sosiologi
hukum. Kriteria yang di dapatkan berupa data primer yaitu hasil wawancara
dengan pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya, Tokoh
Masyarakat yang dituakan dan Aparatur Desa yaitu Sekretaris Desa Mekarjaya
dan data sekunder melalui studi pustaka. Teknik pengumpulan datanya dilakukan
dengan metode observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka, yang
semua menjawab permasalahan penelitian tentang Perilaku di luar Pengadilan
Agama terhadap studi praktik perceraian di Desa Mekarjaya Rumpin Bogor
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor - faktor penyebab terjadinya
perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya ialah pertama, Karena
faktor ekonomi. Kedua, kurangnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran hukum
masyarakat Desa Mekarjaya. Ketiga, Proses persidangan yang lama dan berbelit –
belit serta jarak tempuh yang jauh dari tempat tinggal pelaku ke Pengadilan
Agama. Keempat, sudah menjadi kebiasaan (budaya). Selanjutnya proses
perceraian di Desa Mekarjaya dengan cara kekeluargaan dan menggunakan surat
kinayah sebagai bukti perceraian. Sedangkan proses pernikahan selanjutnya
setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama dilakukan dengan cara
memalsukan status perceraian mereka yang bertentangan dengan KUHP pasal 263
dan selanjutnya melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan PP No 9 Tahun
1995. Selain itu perceraian tersebut berdampak negatif terhadap status perceraian,
terhadap istri dan terhadap anak mereka.
Kata Kunci :Perceraian, Pengadilan, Dampak Perceraian, Faktor
Perceraian, Mekarjaya Rumpin.
Pembimbing : Dr. H. Moh Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag
Daftar Pustaka : 1956 s.d 2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perceraian di luar
Pengadilan Agama (studi praktik perceraian di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin
Kab. Bogor)”. Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhamad SAW yang telah
mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas
akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah
selesai. Serta penulis tidak lupa meminta maaf apabila dalam penulisan skripsi
ini ada yang kurang berkenan di hati para pembaca, karena penulis menyadari
bahwa penulis jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para
Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga, yang harus mendukung dan memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini.
vi
4. Dr. Hj. Mesraini, SH., M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis
yang telah sabar mendampingi penulis hingga semester akhir dan telah
membantu penulis dalam perumusan desain judul skripsi ini.
5. Dr. H. Moh Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag. Sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran baru bagi penulis
dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda Mad Enur, dan Ibunda tercinta Munawati yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk
menyelesaikan skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya
untuk mendidik, membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat
ini. Tidak akan pernah mustahil penulis mampu membayar apa yang telah
diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber inspirasi
penulis dalam menjalankan kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak tercinta Mahmudiyah, Siti Sopuroh, Siti Awaliah, dan adik
tercinta Fahmi Fadillah, yang selalu memberi semangat dan mendoakan
penulis dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi saudara
yang terbaik bagi penulis.
8. Kepada para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan
banyak ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga tercapainya tugas akhir
ini.
9. Kepada sahabat-sahabat PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia),
HIMABO (Himpunan Mahasiswa Bogor), HIMADA (Himpunan Alumni
Muda Darut Tafsir), dan KKN Pelangi Desa Sukadiri yang telah
memberikan semangat pada penulis.
10. Kepada teman seperjuangan Ulfah Abdullah, Husnul Alfia A, Nanik
Maulida, April F, Faisal Kamal, Wahid Hasyim, Sayyid Rifai, Miqdad
vii
Rikanie, Yahya Syafi‟i, Fahlil Umam, Muhlisin Anam dan teman-teman
GMCC yang lain yang telah menjadi saksi dari perjuangan penulis baik
berupa canda tawa, tangis dan pengorbanan.
11. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Morin Moriano, Sogiri K.F, A Firdaus,
Indrajid Abdul Rouf, A Kamaludin, Atikah, Mbak Roro dan Alumni Darut
Tafsir yang lain karena telah menjadi sahabat terbaik sepanjang hidup
penulis yang selalu ada saat suka maupun duka, dan telah banyak mengisi
cerita dalam setiap hari yang penulis lewati. Tetap menjadi sahabat yang
terbaik bagi penulis.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini dan masa yang akan
datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 25 Februari 2019
viii
Asep Awaludin
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi menggunakan System Library of Congress. Secara garis
besar uraian sebagai berikut:
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
ṭ = ط
z{ = ظ
ع = „
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek Vokal Panjang
<>>>a () = a = ___ آ ___
<i () = i = ___ إ ___
<u () = u = ___ أ ___
Diftong Pembauran
al = (ال) aw (او)
al-sh = (الص) ay (اى)
-wa al = (وال)
Ketentuan penulisan kata sandang al ( ali>f la>m), baik ali>f la>m qamariyyah
maupun ali>f la>m shamsiyah ditulis apa adanya (al) contoh:
ix
Al-tafsi>r = التفسىر الحدىج = Al-h}adi>th
Ta’Marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis “h”,
حكمة = h}ikmah
Ketentuan ini tidak berlaku pada kosakata Bahasa Arab yang sudah
terserap ke dalam Bahasa Indonesia seperti zakat, salat dan lain-lain
kecuali memang dikehendaki sesuai lafal aslinya.
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis “t”
نعمة الله = ni‟matullah
زكاة الفطر = zaka>t al-fit}ri
Istilah keislaman (serapan) : istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Sharh{ Syarah
7 Matn Matan
8 S{ala>t Salat
9 Tas{awwuf Tasawuf
10 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
Catatan:
Jenis Font yang digunakan untuk transliterasi Arab-Indonesia menggunakan
Times New Arabic dengan ketentuan ukuran Font 12 pt untuk tulisan pada artikel
dan daftar Pustakanya, ukuran 10 pt untuk catatan kaki.
1. Untuk membuat titik di bawah:
a. Huruf Kapital (H{) dengan menekan tombol “H” diikuti {
x
b. Huruf kecil (h{) dengan menekan tombol “h” diikuti {
2. Untuk membuat garis di atas huruf:
a. Huruf kapital (A<) dengan menekan “A” diikuti <
b. Huruf kecil (a<) dengan menekan “a” diikuti <
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
PEDOMAN LITERASI .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
E. Metode Penelitian ................................................................................ 7
F. Studi Review Terdahulu ....................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 12
BAB II PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG UNDANG
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian ........................... 13
B. Macam-Macam Perceraian dan Akibatnya Perceraian ........................ 21
C. Faktor-Faktor Perceraian ...................................................................... 29
D. Syarat dan Rukun Perceraian ............................................................... 34
E. Prosedur Perceraian Dalam UU Perkawinan dan KHI......................... 35
BAB III GAMBARAN UMUM DESA MEKARJAYA
A. Sejarah Desa Mekarjaya ....................................................................... 45
B. Letak Geografis dan Demografis ......................................................... 45
C. Kondisi Sosiologis ............................................................................... 47
BAB IV FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK PERCERAIAN DI LUAR
PENGADILAN AGAMA
A. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor .................................................. 50
B. Tata Cara Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec.
Rumpin Bogor ...................................................................................... 54
C. Tata Cara Pernikahan Selanjutnya Setelah Terjadi Perceraian di Luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor ............... 56
D. Dampak Dari Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya
Kec. Rumpin Bogor ............................................................................. 58
xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 62
B. Saran .................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 65
LAMPIRAN
1
BAB I
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(STUDI PRAKTIK PERCERAIAN DI DESA MEKARJAYA KEC.
RUMPIN KAB. BOGOR)
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis dan
sejahtera. Artinya, terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni sayang antara anggota keluarganya.1
Meskipun pada hakikatnya tujuan perkawinan adalah membina
keluarga yang bahagia dan setiap pasangan pasti mengharapkan keluarga
yang harmonis. Namun, dalam perjalanannya terkadang cita-cita itu tidak
sejalan dengan apa yang diinginkan. Saat konflik rumah tangga terjadi, mulai
dari masalah ketidakharmonisan sampai dengan masalah ekonomi tidak bisa
terbendung lagi. Upaya damai pun sudah dilakukan namun tidak
membuahkan hasil dan jalan satu-satunya adalah perceraian.
Dalam istilah Fiqih perceraian dikenal dengan istilah “Thalaq” atau
“Furqah”. Thalaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian.
Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari
berkumpul. Perkataan thalaq dan furqah mempunyai pengertian umum dan
khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang
dijatuhkan oleh suami yang ditetapkan oleh Hakim. Sedangkan dalam arti
khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.2
Di Indonesia sendiri perceraian diatur Dalam UU No 1 Tahun 1974
Pasal 38-41 BAB VIII. Dalam pasal 39 menyebutkan bahwa
1 Ghazaly Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h.22. 2 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974, (Yogyakarta: PT. Liberti, 2004), h.103.
2
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tatacara
perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan
Perundangan.3
Dalam pasal 39 Bab VIII UU NO 1 Tahun 1974 ini menerangkan
bahwa perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak. Begitu juga di dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.4
Dari kedua pasal tersebut jelas bahwa perceraian yang sah adalah
perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama. Namun pada kenyataannya
masih banyak ditemui di kalangan masyarakat praktik perceraian dilakukan
tidak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, masih banyak masyarakat
yang melakukan perceraian tidak melalui sidang Pengadilan Agama sehingga
mereka tidak mendapatkan Akta Perceraian. Mereka menganggap bahwa
perceraian cukup dilakukan melalui jalan kekeluargaan yang menghadirkan
keluarga dari kedua belah pihak atau di hadapan penghulu dan tokoh
masyarakat setempat. Salah satu daerah yang masyarakatnya masih banyak
melakukan perceraian di luar Pengadilan ini adalah penduduk Desa
Mekarjaya.
Desa Mekarjaya Kecamatan Rumpin adalah desa yang berada di
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Mayoritas warga di desa tersebut
3 UU No 1 Tahun 1974 Pasal 38-41 BAB VIII. 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115.
3
beragama Islam. Di desa ini masih menjunjung tinggi asas kekeluargaan dan
jika ada permasalahan dalam bermasyarakat maupun masalah keluarga cukup
diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Akses yang jauh
dari rumah ke sekolah dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan
membuat desa ini memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Mayoritas
warganya hanya lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menegah Pertama.5
Dengan latar belakang pendidikan yang rendah maka tidak heran jika
perceraian yang dilakukan oleh masyarakat di desa tersebut dilakukan tanpa
melalui sidang Pengadilan Agama.
Mayoritas perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Mekarjaya Kecamatan Rumpin Bogor ini dilakukan tanpa melalui Sidang
Pengadilan Agama, yang artinya perceraian tersebut tidak berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku bahwa Perceraian yang sah adalah perceraian
yang dilakukan di muka Pengadilan Agama. Menurut Bapak Mad Enur yang
juga dikenal sebagai tokoh masyarakat setempat, perceraian di desa tersebut
dilakukan dengan cara Seorang suami mengantarkan isterinya ke rumah orang
tua isterinya, disaksikan oleh kedua pihak keluarga, tokoh agama atau tokoh
masyarakat setempat dengan mengucapkan shighat thalak saya pulangkan
anak Bapak/Ibu” atau “saya ceraikan anak Bapak/Ibu karena saya sudah tidak
bisa meneruskan perkawinan ini”.6 Berdasarkan hasil wawancara dengan
Sekretaris Desa (Bapak Adung), beliau berpendapat perceraian tersebut dapat
dimaklumi karena faktor-faktor yang bisa dimaklumi, seperti faktor kesadaran
dan pemahaman masyarakat tentang hukum sangat rendah, jarak yang jauh
dari desa ke Pengadilan Agama , faktor ekonomi dan lain sebagainya.
Masyarakat di desa tersebut menganggap bahwa perceraian yang dilakukan
seperti itu dianggap sah.7
5 Profil Desa Mekarjaya Tahun 2017. 6 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Sabtu, 4 Februari 2017. Pukul 15.30
Wib. 7 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Kantor Desa
Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Jumat, 5 Mei 2017. Pukul 10.20 Wib.
4
Pada umumnya perceraian tersebut menggunakan surat pernyataan
thalak yang disebut surat Kinayah yang dibuat oleh pihak suami dan
ditandatangani oleh saksi perceraian tersebut. Surat kinayah tersebut
dijadikan bukti bahwa mereka telah melakukan perceraian.
Jika kita mengkaji lebih dalam, maka akibat hukum dari perceraian
yang dilakukan di luar Pengadilan Agama sangatlah besar. Seperti perceraian
mereka dianggap tidak sah oleh Hukum Negara, tidak mendapatkan Akta
Cerai sebagai bukti otentik, tidak ada jaminan nafkah selama masa iddah
untuk isteri, nafkah anak tidak jelas kisarannya berapa, dan lain sebagainya.
Meskipun akibat perceraian di luar Pengadilan tersebut sangat besar,
penduduk desa Mekarjaya yang bercerai tersebut masih banyak bercerai di
luar Pengadilan. Apa penyebab mereka tidak mau bercerai di Pengadilan
Agama? Bagaimana dengan prosedur pernikahan mereka selanjutnya setelah
mereka bercerai di luar Pengadilan Agama dan apa saja dampak dari
perceraian di luar Pengadilan Agama? Sejumlah pertanyaan menjadi penting
untuk digali jawabannya. Untuk itulah penulis tertarik ingin mengkaji dan
menulisnya ke dalam bentuk Skripsi dengan judul Perceraian di Luar
Pengadilan Agama (Studi Praktik perceraian di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin
Kab. Bogor)
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan
muncul dalam latar belakang di atas, akan penulis paparkan beberapa
diantaranya, yaitu:
1. Bagaimana prosedur perceraian yang dilakukan masyarakat di Desa
Mekarjaya?
2. Apa faktor penyebab banyaknya pelaku perceraian di luar Sidang
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya?
5
3. Apa dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa
Mekarjaya?
4. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap perceraian di luar
Pengadilan Agama?
5. Bagaimana dengan prosedur pernikahan selanjutnya setelah bercarai di
luar Sidang Pengadilan Agama?
6. Bagaimana dengan hak-hak yang mesti diterima isteri setelah bercerai di
luar Pengadilan Agama?
7. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap perceraian di luar
Pengadilan Agama?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai yang diharapkan penulis. Di sini penulis hanya akan
membahas hal-hal yang terkait dengan perceraian yang dilakukan diluar
Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Kab.
Bogor Jawa Barat yang terjadi dari tahun 2015 sampai tahun 2018.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Apa faktor penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor?
2. Bagaimana tata cara perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa
Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor?
3. Bagaimana prosedur pernikahan selanjutnya setelah terjadi perceraian di
luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor?
4. Apa dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya
Kec. Rumpin Bogor?
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas
sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari
pemahaman tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perceraian di luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
2. Untuk mengetahui tata cara perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa
Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
3. Untuk mengetahui prosedur pernikahan selanjutnya setelah terjadi
perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin
Bogor
4. Untuk mengetahui dampak dari perceraian di luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula
dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat memberi manfaat
baik secara teoretis maupun secara praktis, yaitu:
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu
pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya
tentang hukum perkawinan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat
serta kepada aparat desa, tokoh masyarakat terkait dalam proses perceraian
serta pemahaman atas nilai-nilai hukum perkawinan sebagaimana yang
diamanatkan oleh undang-undang.
7
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk mencari
dan menemukan suatu pengetahuan yang benar mengenai hukum, yaitu
pengetahuan yang dapat dipakai untuk menjawab atau memecahkan secara
benar atau masalah tentang hukum. Mencari dan menemukan itu tentu saja
ada caranya. Cara itu disebut dengan metode, sedangkan perbincangan
keilmuan tentang metode tersebut dinamakan metodologi.8
Karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis dan konsisten melalui analisa konstruksi terhadap
data yang telah dikumpulkan atau kemudian diolah lebih lanjut penelitian
dilakuakan adalah sebagai usaha agar ilmu pengetahuan mengalami
peningkatan sebagai peningkatan usaha manusia.9
Untuk mendapatkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara
menggunakan pendekatan Kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian
dan prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan
gejala dalam kehidupan manusia.10
Metode kuliatatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif: ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari
orang-orang (subyek) itu sendiri.11
Penelitian kualitatif sifatnya
deskriptif, karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau
menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisa itu berupa deskripsi
8 M.Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta: PT, Rajawali Press, 2007),
h.20. 9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, Edisi Revisi V,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. XII, h.18. 10 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta, 2004), h.20. 11 Arief Furchan, Pengantar, Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional,
1992), Cet ke-1, h.21.
8
dari gejala-gejala yang diamati yang tidak harus selalu berbentuk angka-
angka.12
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah study kasus, yaitu
penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara
mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tentang
latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi
sosial yang terjadi didalamnya.13
Selain pendekatan masalah diatas, maka
dalam penulisan skripsi ini saya menggunakan penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian pada asas-asas hukum.
2. Sumber Data
a. Data primer: Data yang didapat dari hasil wawancara langsung
dengan para tokoh masyarakat yang dituakan yaitu Bapak Mad
Nur, pelaku perceraian yaitu Ibu Mahmudiyah, Ibu Dina Oktaviani,
Ibu Neneng Fauziyah, Ibu Siti Apiah, Lilis Triani dan aparatur
Desa yaitu Bapak adung sebagai sekretaris desa. Pengambilan data
hanya dibatasi kepada 5 orang pelaku perceraian perempuan dari
jumlah 89 janda karena memenuhi kriteria bahwa informan tersebut
melakukan perceraian pada tahun 2014 sampai dengan 2018, sudah
menikah untuk kedua kalinya dan dari hasil wawancara bahwa
jawaban informan tersebut yang paling sesuai dengan
permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini menggunakan teknik
wawancara secara mendalam dengan menggunakan pokok-pokok
permasalahan sebagai pedoman wawancara. Pokok-pokok tersebut
guna menghindari adanya penyimpangan dari pokok masa
penelitian dan kevakuman selama wawancara.
b. Data sekunder: Data yang memberikan bahan tidak langsung atau
data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan
melalui studi pustaka dengan membaca dan mempelajari buku-
12 M. Subana, Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: CV Pustaka Setia,,
2005), Cet, Ke-2, h.17. 13 Bambang Sanggona, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h.36.
9
buku yang berkaitan diantaranya: Fikih Keluarga, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan
dengan skripsi ini.
c. Tersier: Data yang diambil dari sumber yang dipublikasikan
seperti jurnal atau majalah penelitian, buku, dan media ilmiah
lainnya.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Mekarjaya Kecamatan
Rumpin Kabupaten Bogor Jawa Barat. Alasan mengapa penulis
memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian terbagi menjadi dua yaitu
alasan subjektif (subjective reason) dan alasan objektif (objective
reason). Subjective reason yang penulis gunakan, penelitian ini untuk
menjelaskan mindset yang ada dalam benak masyarakat Desa
Mekarjaya pada umumnya. Di lokasi ini juga sangat banyak pelaku
perceraian di luar Pengadilan Agama dan mempunyai perbedaan
dengan lokasi lain seperti perceraian tersebut menggunakan surat
kinayah seperti yang telah dijelaskan di latar belakang masalah. Di
samping itu karena jaminan akses atau pengumpulan data-data yang
penulis butuhkan dapat terpenuhi dengan baik.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara dikenal pula dengan istilah interview, yaitu: suatu
proses tanya jawab lisan, dalam masa dua orang atau lebih
berhadapan secara fisik. Yang satu dapat melihat muka yang lain
dan mendengar dengan telinga sendiri dengan suaranya.
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan
sesaat ataupun mungkin dapat diulang.
c. Dokumentasi
10
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang
ditujukan kepada subjek peneliti dokumen yang diketik dapat
berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi tapi juga
meliputi hukum primer dan hukum sekunder, juga data yang
diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema
penelitian ini.
F. Studi Review Terdahulu
Jika kita telaah lebih lanjut daftar kepustakaan, banyak penelitian yang
mengangkat tema serupa dengan yang diangkat penulis, namun tidak ada
yang membahas lebih lanjut permasalahan yang diangkat oleh penulis.
Adapun penelitian yang sudah dibahas antara lain:
Deprianto, fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dengan
judul skripsi”Pandangan Tokoh masyarakat Terhadap Thalak di Luar
Pengadilan Agama (Studi di Jorong Sitiung Kec. Sitiung Kab.
Dharmasyara)” tahun 2009. Skripsi ini menggunakan metode penelitian
lapangan (field research) dilakukan dengan pendekatan yuridis Normatif yang
bersifat deskriptif analitis. Pembahasan dalam skripsi ini lebih
mengedepankan pandangan Tokoh Masyarakat Desa Jorong Sitiung tentang
perceraian di luar Pengadilan Agama yang mana Tokoh Masyarakat tersebut
berpendapat bahwa perceraian cukup difasilitasi oleh tokoh masyarakat
setempat dan faktor penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama
karena kurangnya pengetahuan hukum masyarakat tentang perceraian, faktor
ekonomi yang rendah serta jauhnya jarak tempat tinggal masyarakat Desa
Sitiung dengan Pengadilan Agama14
. Sedangkan dalam skripsi ini penulis
membahas tentang dampak yang ditimbulkan dari Perceraian di luar
Pengadilan Agama.
14 Deprianto, pandangan tokoh masyarakat terhadap thalak di luar Pengadilan Agama
(Studi di Jorong Sitiung Kenagarian sitiung kec.Sitiung Kab. Dharmasyara), (skripsi fakultas
Fakultas Syariah UIN Kalijaga, Jogjakarta, 2009).
11
Mizzatul Izzah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh
Nurjati Cirebon dengan judul Skripsi “Perceraian Dari Perkawinan Resmi
yang Dilakukan di Luar Pengadilan Agama di desa Rengas Pendawa Kec.
Larangan Kab. Brebes (Studi Terhadap Faktor Penyebab dan Akibat yang
Ditimbulkan)”. Tahun 2015. Skripsi ini menggunakan metode penelitian
Lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun
langsung ke daerah objek penelitian guna memperoleh data. Skripsi ini lebih
membahas tentang faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari
Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama di Desa Rengas
Pandawa yang mana hasil penelitiannya menemukan bahwa faktor
penyebabnya adalah faktor ekonomi, masalah waktu, masalah pribadi yang
harus ditutupi dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat dan akibatnya
perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tersebut tidak mempunyai
Hukum tetap.15
Sedangkan yang akan dibahas penulis adalah prosedur
pernikahan selanjutnya setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama.
Miftahul Jannah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Nahdlatul Ulama dengan judul Skripsi “Cerai Tanpa Putusan Pengadilan
Agama Dalam Hukum Islam dan Positif)”. Tahun 2015. Skripsi ini
menggunakan metode penelitian library Research, dimana data-data yang
diambil dari buku yang ada yang berhubungan dengan judul yang telah
diambil oleh penulis untuk mencari jawaban atas masalah yang ada. Skripsi
ini lebih mengedepankan pembahasan tentang perceraian di luar Pengadilan
Agama ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif yang mana hasil
penemuannya menjelaskan bahwa perceraian yang dilakukan di luar
Pengadilan Agama dianggap sah oleh Agama sedangkan tidak sah menurut
Hukum positif.16
Sedangkan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini
15 Mizzatul Izzah, Perceraian dari perkawinan resmi yang dilakukan di luar Pengadilan
Agama di desa Rengas Pandawa kec. Larangan Kab. Brebes (studi terhadap faktor penyebab dan
akibat yang ditimbulkan), (Skripsi fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati,
Cirebon, 2015). 16 Miftahul Jannah, Cerai tanpa putusan Pengadilan Agama dalam Hukum Islam dan
Positif, (Skripsi Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Nahdlatul Ulama, 2015).
12
adalah faktor dan dampak yang ditimbulkan dari perceraian di luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini,
maka penulis mengklasifikasikan dan menjelaskan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatas dan perumusan
masalah, manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian, review studi
terdahulu, beserta sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan kajian teoretis tentang Perceraian perspektif
Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan. Di dalam Bab ini penulis
menjelaskan pembahasan pengertian perceraian, Dasar Hukum Perceraian,
macam-macam perceraian dan akibat hukumnya, syarat dan rukun perceraian,
Faktor – faktor perceraian, tata cara Perceraian menurut Undang-Undang dan
Kompilasi Hukum Islam.
Bab Ketiga, merupakan gambaran umum Desa Mekarjaya. Dalam bab
ini penulis menjelaskan tentang sejarah Desa Mekarjaya, letak geografis
demografis dan kondisi sosiologis.
Bab keempat, menjelaskan pembahasan faktor penyebab terjadinya
perceraian di luar Pengadilan Agama, prosedur pernikahan selanjutnya
setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama, dampak dari perceraian
di luar Pengadilan Agama dan Analisis penulis. Sedangkan pada Bab kelima
skripsi ini akan membahas kesimpulan dan saran.
13
BAB II
PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Islam mengatur keluarga dengan segala perlindungan dan
pertanggung syariat nya. Islam juga mengatur hubungan lain jenis yang
didasarkan pada perasaan yang tinggi, yakni pertemuan dua tubuh, dua
jiwa, dua hati, dan dua roh. Dalam bahasa yang umum, pertemuan dua
insan yang diikat dengan kehidupan yang bersama, cita-cita bersama,
penderitaan yang bersama, dan masa depan bersama untuk menggapai
keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi yang baru. Tugas ini
hanya dapat dilakukan oleh dua orang tua secara bersama yang tidak
dapat dipisahkan.17
Pada hakikatnya, dalam membina kehidupan berumah tangga
haruslah berprinsip pada nilai-nilai mawaddah, rahmah dan cinta kasih,
yaitu bahwa pasangan suami isteri harus dapat memerankan perannya
masing-masing, sehingga satu dengan lainnya saling melengkapi. Di
samping itu juga harus diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan
dan pengertian satu sama lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang
sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan
generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan seperti orang tuanya.
Namun dalam praktiknya, kehidupan berumah tangga tidak selalu
sesuai dengan yang dicita-citakan. Cobaan dalam hubungan kerap kali
dirasakan. Pertengkaran yang tidak diharapkan bahkan rasa kasih sayang
yang mulai memudar sehingga tidak lagi menjadikan hubungan
pernikahan itu harmonis. Perbaikan dan perdamaian sudah coba
17
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat,(Jakarta: Amzah, 2009), h.251.
14
dilakukan, bahkan upaya perdamaian sudah melibatkan keluarga kedua
belah pihak (keluarga suami & isteri) tetapi tidak juga membuahkan
hasil. Maka jalan terbaik agar tidak saling menyakiti adalah bercerai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan
pisah atau putus.18
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut thalak atau
furqah. Thalak berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian.
“Furqah” berarti “bercerai”, lawan dari berkumpul. Kemudian kedua
perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian
antara suami isteri.19
Dalam istilah fiqih, kata “thalak” dan “furqah” memiliki artian
umum dan artian khusus. Menurut artian umum bahwa thalak ialah
segala bentuk perceraian yang diucapkan seorang suami yang telah
ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya
seperti perceraian yang disebabkan karena meninggalnya seorang suami
atau seorang isteri. Kemudian dalam artian khususnya bahwa thalak ialah
perceraian yang diucapkan oleh seorang suami saja.
Ahli Fiqih terdahulu, yaitu ahli fiqih pada masa sebelum abad ke
20 Masehi, lebih menekankan arti “thalak” pada artian umum, bukan
artian khususnya. Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab Fiqih lama yang
menjelaskan soal bab perceraian dengan judul “Kitaabut Thalaq”.
Berbeda dengan para ahli Fiqih lama, para ahli Fiqih saat ini lebih
banyak menekankan arti “thalak” dengan artian khusus yang telah
dijelaskan di atas.20
Sedangkan menurut bahasa, thalak diambil dari kata ”ithlaq” yang
artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut syara, thalak yaitu:
18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Bandung:
Al-Ma‟arif, 1990), cet, Ke-7, h.9. 19 Kamal Muchtar Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang,
1974) Cet. Ke-3, h.156. 20 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, h.157.
15
بء ا اج سبطت اض جت ح عللت اض 21ا
Artinya: melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
isteri.22
Al-Jaziry mendefinisikan:
ص خص بفع ح مصب اطلق اصات اىح ا
Artinya: Thalak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-
kata tertentu.23
Ali Affandi SH berpendapat bahwa perceraian adalah salah satu
sebab putusnya perkawinan. Jadi kesimpulannya bahwa perceraian
adalah putusnya perkawinan ketika kedua belah pihak masih hidup
dengan didasarkan kepada alasan-alasan yang dibenarkan dan ditetapkan
di pengadilan. Maka dengan adanya perceraian ini, perkawinan antara
suami isteri putus dan tidak ada lagi hubungan diantara keduanya, akibat
logis nya, hak dan kewajiban mereka sebagai suami isteri tidak lagi
menjadi hak dan kewajiban mereka.24
Adapun thalak menurut KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan,
dengan cara-cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131
yakni mengenai pengajuan permohonan perceraian, upaya hukumnya dan
prosedur perceraian25
. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak dijelaskan secara terperinci mengenai pengertian thalak akan
tetapi dalam pasal 39 Ayat 2 dijelaskan bahwa perceraian dapat
dilakukan jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
21 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1990), cet, ke-7, h. 206. 22 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet-I, h.192. 23 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX,
h.864. 24
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, (Bandung: Tonis, 1983), h.16. 25 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 117.
16
2. Dasar Hukum Perceraian
Asal hukum perceraian ialah makruh, karena perceraian dapat
menghilangkan kemaslahatan perkawinan dan juga mengakibatkan
keretakan keluarga.26
Mengenai hal ini, Rasulullah Saw bersabda dalam
sebuah hadits:
اطلق. اب داد ج ص لبي: ابغض احلي اى الله عض اب ش ا ع اب ع
اب بج
Artinya: “Sesuatu yang halal yang sangat dibenci Allah adalah
perceraian.” (HR. Ibnu Majah).27
Namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan dasar
hukum thalak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa thalak itu terlarang
jika dilakukan dengan alasan yang tidak benar. Thalak dekat dengan
kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat yang telah diberikan
Allah Swt. Sedangkan perkawinan merupakan salah satu nikmat Allah.
Jadi tidak halal bercerai jika tidak dalam kondisi yang mengharuskan
bercerai. Kondisi tersebut ketika seorang suami meragukan tingkah laku
isterinya, tidak ada lagi rasa cinta di dalam keluarga dan pertengkaran di
dalam keluarga yang jika diteruskan hanya akan membawa kemudaratan.
Jika tidak didasari alasan-alasan itu, maka perceraian dianggap kufur
kepada nikmat Allah Swt.28
Allah SWT telah mengatur masalah perceraian dengan menurunkan
Ayat-ayat Al-Qur‟an diantaranya:
Q.S Al-Baqarah ayat 230:
26 Kamaluddin, Abu Hilmi, Menyingkap Tabir Perceraian, (Jakarta: Pustaka Al Shofwa,
2005), h.202. 27
Hakim, Irfan Maulana, Bulughul Maram, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h.437. 28 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h.158.
17
شۥ فئ طمب فل جبح ع ب غ ج بعذ حخى حىح ص ۥ ب فئ طمب فل حح
ع ب م ب ه حذد ٱلل ح ب حذد ٱلل أ خشاجعب إ ظب أ م
Artinya: “Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.” (Q.s Al-Baqarah ayat 230).
Ayat diatas menjelaskan bahwa jika seorang suami telah menthalak
isterinya sampai tiga kali, tidak dapat merujuk kembali isterinya kecuali
mantan isterinya tersebut sudah menikah dengan laki-laki lain dan
bercerai serta berakhir masa iddahnya.
Q.S Al-Baqarah ayat 231:
ٱسبء فبغ إرا طمخ ل عشف ب ح سش عشف أ ب سى فأ أج
ج ٱلل ا ءا ل حخخز فسۥ ه فمذ ظ ر فع
ضشاسا خعخذا سى ا ح ض
ى ع ج ٱلل ٱروشا ع ٱحما ٱلل ۦ ت عظى ب حى ٱ ب ىخ ٱ ى ب أضي ع
ء ع ش بى ٱلل ا أ ٱع
Artinya: “Apabila kamu menthalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan
cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu
jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat
18
Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi
pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.
Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.s Al-Baqarah
ayat 231).
Menurut tafsir dalam kitab Syaikh Muhammad Ali Ash-Sabuni,
ayat di atas menjelaskan bahwa suami dianjurkan untuk merujuk isteri
tanpa memberi mudarat dan tidak menyakiti atau tinggalkanlah mereka
hingga batas iddahnya habis dengan cara yang baik, yaitu dengan tidak
memperpanjang iddah mereka. Hal ini menjadi kecaman bagi manusia
karena dahulu ada suami meninggalkan isteri yang sedang berada dalam
masa iddah, lalu ketika masa iddah isterinya yang dicerai hampir
berakhir, dia merujuknya kembali untuk memberi kemudaratan
kepadanya, yaitu demi memperpanjang masa iddah bukan karena
kecintaan dia kepada isterinya. Merujuki dengan tujuan memberi mudarat
atau untuk membencinya dengan meminta tebusan merupakan tindakan
zalim terhadap dirinya sendiri karena menjerumuskan dirinya kepada
siksaan Allah.
Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan para wali perempuan
untuk tidak menghalang-halangi perempuan-perempuan yang ingin
kembali kepada suaminya jika keadaan di antara suami-isteri menjadi
baik dan ada tanda-tanda penyesalan dari kedua pihak, serta keduanya
rela untuk kembali menjadi suami isteri.29
Q.s Al-Baqarah ayat 232:
29
Syaikh Muhammad Ali Ash-Sabuni, Shafwatuttafsir, (Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010), h.304.
19
إرا طم ا ب ض إرا حش ج أص أ ىح فل حعض أج ٱسبء فبغ خ
أصوى ى ى ٱلخش ر ٱ بٲلل ؤ ى وب ه عع بۦ
عشف ر بٲ
أطش ل حع أخ ع ٱلل
Artinya: “Apabila kamu menthalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf.
Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Alah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”. (Q.s Al-Baqarah ayat 232).
Ayat di atas menganjurkan para wali dari seorang wanita yang
telah dicerai oleh suaminya dan telah selesai masa iddahnya untuk tidak
menghalang-halangi wanita itu untuk menikah kembali dengan bekas
suaminya atau dengan orang lain apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma‟ruf.30
Q.S At-Thalaq ayat 1:
ٱحما ٱلل ة عذ أحصا ٱ ح عذ ٱسبء فطم إرا طمخ ب ٱب أ ل سبى
إل ل خشج بح حخشج ه حذد ٱلل ح ت ب حةت بف أ أح
شا ه أ حذد بعذ ر ٱلل فسۥ ل حذسي ع فمذ ظ خعذ حذد ٱلل
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka
30 Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), Cet. Ke-1, h. 283.
20
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu yang baru”. (Q.s At-Thalaq ayat 1).
Ayat diatas menjelaskan bahwa thalak boleh dijatuhkan ketika
isteri dalam keadaan suci yang disebut juga dengan thalak sunny.
Dijelaskan dalam ayat ini pula bahwa Allah melarang menjatuhkan
thalak kepada isteri dalam keadaan tidak suci (dalam masa haid), thalak
ini disebut juga dengan thalak bid’i.31
Pada dasarnya hukum asal dari thalak itu adalah makruh, namun
hukum makruh tersebut dapat berubah dengan melihat keadaan dan
dalam situasi tertentu, maka hukum thalak itu adalah sebagai berikut:
a. Nadad atau Sunnah yaitu dalam rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudaratan yang
lebih banyak akan timbul.
b. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian
dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu
sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya.
c. Wajib atau harus dilakukan. Yaitu perceraian yang mesti dilakukan
oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak
menggauli isterinya sampai waktu tertentu, sedangkan ia tidak mau
pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan
isterinya. Tindakannya itu memudaratkan isterinya.
d. Haram thalak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan isteri dalam
keadaan haid, atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli32
31 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil (Tangerang Selatan: Yasmi, 2018), h.273. 32Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: prenada Media,
2007), Cet, ke-2, h.200.
21
Di Indonesia sendiri perceraian diatur Dalam UU No 1 Tahun
1974. Dalam pasal 39 menyebutkan bahwa:
3. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
4. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tatacara
perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan
Perundangan.33
Sama halnya dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115,
menyebutkan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.34
B. Macam-Macam Thalak dan Akibat Hukumnya
Menurut Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Munakahat, thalak terbagi dalam beberapa macam, diantaranya:
1. Waktu
Ditinjau dari segi waktu jatuhnya thalak, dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Thalak Sunny
Menurut Sayyid Sabiq thalak sunny adalah thalak yang berjalan
sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang yang menthalak
perempuan yang pernah dicampuri dengan sekali thalak di masa bersih
dan belum dicampuri selama bersih itu.35
Sama halnya dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 121
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan thalak sunny adalah
thalak yang dibolehkan, yaitu thalak yang dijatuhkan terhadap isteri
33 UU No 1 Tahun 1974 Pasal 39. 34
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 115. 35 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990) cet, ke-7, h.42.
22
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.36
Adapun syarat untuk memenuhi thalak sunny, sebagai berikut:
1) Isteri yang dithalak sudah pernah digauli,
2) Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah dithalak, yaitu
dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama syafi‟iyah,
perhitungan iddah bagi wanita berhaid adalah tiga kali suci, bukan
tiga kali haid,
3) Thalak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik di
permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci, kendati
beberapa saat lalu datang haid, Suami tidak pernah menggauli
isteri selama masa suci dimana thalak itu dijatuhkan.
b. Thalak Bid‟i
Thalak bid‟i adalah thalak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah. Senada dengan pengertian
diatas, dalam pasal 122 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan
thalak bid‟i adalah thalak yang dilarang, yaitu thalak yang dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci
tatapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.37
Adapun syarat untuk memenuhi thalak Bid‟i, sebagai berikut:
1) Thalak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid, baik di
permulaan haid maupun di pertengahannya,
2) Thalak yang dijatuhkan terhadap isteri ketika dalam keadaan suci,
namun ia pernah digauli oleh suaminya pada masa suci tersebut.38
2. Kehendak Mutlak Suami Menjatuhkan Thalak
Ditinjau dari segi kehendak mutlak suami menjatuhkan thalak, dibagi
menjadi dua macam yaitu:
a. Thalak Raj‟i
Menurut etimologi pengertian thalak raj‟i adalah thalak yang
dimana seorang suami dapat merujuk kembali mantan isterinya.39
36 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 121. 37
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 122. 38 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet.I, h.194.
23
Sedangkan menurut terminologi thalak raj‟i adalah thalak yang
dijatuhkan oleh pihak suami kepada pihak isteri yang pernah digauli
untuk pertama atau kedua kalinya. Pengertian tersebut sama dengan
yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 118 bahwa yang
dimaksud dengan thalak raj‟i adalah thalak kesatu atau kedua yang
dimana seorang suami dapat merujuk kembali mantan isterinya.
Dr. As-siba‟i mengatakan bahwa thalak raj‟i adalah thalak yang
tidak memerlukan akad nikah, mahar dan tidak memerlukan persaksian
untuk merujuk kembali mantan isterinya. Setelah jatuh thalak Raj‟i,
isteri wajib menjalankan masa iddah. Jika mantan suami hendak
merujuk kembali mantan isterinya maka rujuk tersebut dapat dilakukan
sebelum berakhir masa iddah dengan menyatakan rujuk. Namun jika
dalam masa iddah tersebut mantan suami tidak menyatakan rujuk,
maka untuk kembali merujuk mantan isterinya diperlukan akad nikah
baru dan mahar baru karena kedudukan thalak raj‟i telah berubah
menjadi thalak ba‟in. Thalak raj‟i hanya terjadi pada thalak pertama
dan kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat
229:
فئ حب ش ك ب ٱط أ حأخزا ى ل ح بئحس حسشح عشف أ سبن ب
ش خ فل ءاح ب حذد ٱلل أل م خفخ فئ ب حذد ٱلل أ خبفب أل م ب إل
ب ب ف جبح ع خعذ حذد ٱلل فل حعخذب ه حذد ٱلل ۦ ح ٱفخذث ب
ٱظ ئه
٢فأ
Artinya: “Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
39
Sayyid sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), cet, ke-7, h.58.
24
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-
Baqarah: 229).
Ayat diatas menjelaskan bahwa thalak yang bisa dirujuk hanya dua
kali dan thalak yang sesuai dengan syariat Islam adalah thalak satu
demi satu, tidak menjatuhkan thalak sekaligus. Jika suami ingin
merujuk kembali isterinya harus dengan cara yang ma‟ruf dan jika
ingin menceraikannya harus dengan cara yang baik juga.40
Isteri yang menjalani iddah raj‟iyah, jika ia taat dan baik terhadap
suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan
uang belanja dari suaminya. Tetapi jika ia durhaka, maka tidak berhak
mendapat apa-apa.41
b. Thalak Ba‟in
Thalak ba‟in yaitu thalak yang tidak memberi hak merujuk mantan
suami terhadap mantan isterinya. Untuk merujuk mantan isteri maka
diperlukan akad nikah baru, mahar baru, lengkap dengan rukun dan
syarat-syaratnya. Thalak ba‟in terbagi menjadi 2 macam :
1) Thalak ba’in sugro, yaitu thalak yang menghilangkan kepemilikan
bekas suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isteri.42
Yang
termasuk thalak bain sugro adalah thalak sebelum berkumpul,
thalak dengan penggantian harta (khulu’) dan thalak karena aib
(cacat badan). Seperti halnya yang disebutkan dalam Kompilasi
40 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta: Bina Cipta, 1987), h.60. 41 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali
pers, 2014), cet, Ke-4, h.308. 42
A. Zuhdi Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998)
Cet, Ke-30, h.55.
25
Hukum Islam Pasal 199 ayat 2 yang dimaksud dengan thalak bain
sugra adalah :
a) Thalak yang terjadi qabla al-dukhul (sebelum berhubungan
seksual)
b) Thalak dengan tebusan atau Khulu’‟
c) Thalak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama43
2) Thalak ba’in kubro yaitu thalak yang menghilangkan kepemilikan
bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya, kecuali
setelah bekas isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul
dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah
selesai menjalankan iddahnya.44
Dalam kompilasi Hukum Islam
pasal 120 menyebutkan bahwa pengertian thalak ba‟in kubra
adalah thalak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Thalak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‟da dukhul
dan habis masa iddahnya.45
Seorang perempuan yang menjalani masa idah thalak ba‟in,
jika dia hamil maka berhak mendapatkan tempat tinggal dan
nafkah, namun jika tidak hamil hanya berhak memperoleh tempat
tinggal. Bagi perempuan yang menjalani masa idah wafat dalam
kondisi hamil, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan
tempat tinggal dari mantan suaminya karena ia dan anak yang
dikandungnya menjadi pewaris harta yang ditinggalkan.
Sedangkan perempuan yang dithalak suaminya sebelum dikumpuli
(qabla al-dukhul) tidak memiliki masa iddah, Akan tetapi berhak
mendapatkan mut’ah atau pemberian. Selanjutnya baik mantan
43 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 119. 44 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(jakarta: Prenada Media Group, 2004), Cet, ke-3, h.224. 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 120.
26
suami atau mantan isteri harus memperhatikan kesejahteraan anak.
Jika anak itu masih dalam kandungan maka sang ibu harus
menjaga baik-baik, demikian juga ketika anak menyusui kepada
ibunya sampai anak itu bisa berdiri. Adapun tanggung jawab
nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Jika anak tersebut
sudah mengerti, maka dipersilahkan untuk memilih untuk
mengikuti ibunya atau bapaknya.46
3. Kehendak Isteri Menjatuhkan Thalak (Khulu’)
Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan karena pihak isteri telah
memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan.
Selain itu khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri
dengan memberi tebusan uang „iwad’ kepada dan atas persetujuan
suaminya. Oleh karena itu khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam
bentuk mengurangi jumlah thalak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini
berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan jalan khulu’
mengurangi jumlah thalak dan tidak dapat dirujuk.”47
Khulu’ terjadi harus berdasarkan alasan yang kuat berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 124 yang berbunyi: “khulu’ Harus
berdasarkan alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116”.48
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dijelaskan tentang akibat
putusnya perkawinan sebagai berikut.
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena thalak, maka berkas suami wajib:
(1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut belum dicampuri
(2) Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian)
kepada bekas isteri selama dalam idah, kecuali mantan isteri telah
dijatuhi thalak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
46 Tihami dan Sohari Sahrani Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, h.314. 47
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.79. 48 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 124.
27
(3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya atau separuhnya
apabila qabla al-dukhul.
(4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surah Al-Baqarah
ayat 235 dan 23649
Adapun akibat yang ditimbulkan dari perceraian menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 156 adalah
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
(a) Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukan digantikan oleh:
(1) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu
(2) Ayah
(3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
(4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
(5) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah
(b) Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk memilih
hadhanah dari ayah dan ibunya
(c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
(d) Semua biaya hadhanah nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
49 Zainudin Ali, Hukum perdata Islam di Indonesia, h.77.
28
(e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusan nya berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d).
(f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya banyak untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.50
Mengenai nafkah anak, undang-undang mengaturnya dalam pasal
45 UUPA yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban orang tua kepada
anak bahwa:
1. Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-
anak mereka dengan sebaik-baiknya.
2. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak-anaknya menikah dan dapat
berdiri sendiri dari kewajiban tersebut dan berlaku terus menerus
meskipun pernikahan orang tua putus.51
Sedangkan untuk pembagian harta bersama diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 97 yang berbunyi: janda atau duda cerai masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.52
4. Cara Penyampaian Thalak
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan thalak terhadap
isterinya terbagi dalam beberapa macam, yaitu:
a. Thalak dengan ucapan, yaitu thalak yang disampaikan oleh suami
dengan ucapan di hadapan isterinya dan isteri mendengar secara
langsung ucapan suaminya itu.
b. Thalak dengan tulisan, yaitu thalak yang disampaikan oleh suami
secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya kemudian
isterinya membaca dan memahami isi dan maksud surat tersebut.
50 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156. 51
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA) Pasal 45. 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 97.
29
c. Thalak dengan isyarat, yaitu thalak yang dilakukan dalam bentuk
isyarat oleh suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai
alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan
maksud dan isi hati.
d. Thalak dengan utusan, yaitu thalak yang disampaikan oleh suami
kepada isterinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan
untuk menyampaikan maksud suami itu kepada isterinya yang tidak
berada di hadapan suami.53
Thalak dianggap sah dengan mengirim
seorang utusan untuk menyampaikan kepada isterinya yang berada
di tempat lain bahwa ia telah dithalak. Dalam hal ini utusan tadi
bertindak selaku orang yang Menthalak. Karena itu thalaknya sah.54
C. Faktor-Faktor Perceraian
Untuk melakukan perceraian dibutuhkan alasan yang kuat. Setidaknya
ada 4 kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga
yang dapat memicu terjadinya perceraian. Diantaranya:
1. Terjadinya Nusyuz dari Pihak Isteri kepada Suami
Arti kata nusyuz ialah membangkang, menurut Slamet Abidin dan
H. Aminuddin berarti durhaka.55
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang
dilakukan seorang isteri kepada suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam
bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat
mengganggu keharmonisan rumah tangga.56
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan isteri yang termasuk
Nusyuz, antara lain sebagai berikut:
a. Isteri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah
yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau isteri
meninggalkan rumah tanpa seizin suami.
53 Zainudin Ali, Hukum perdata Islam di Indonesia, h.80. 54
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h.150. 55
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, h.185. 56
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h.209.
30
b. Apabila kedua tinggal di rumah isteri atas seizin isteri, kemudian
pada suatu ketika isteri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan
bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.
c. Isteri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang
disediakan tanpa alasan yang pantas.
d. Apabila isteri bepergian tanpa suami atau mahram ya walaupun
perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan
tidak dengan suami atau mahram nya termasuk maksiat.57
Apabila suami melihat bahwa isteri akan berbuat hal-hal
semacam itu, maka ia harus memberi nasihat dengan baik, kalau
ternyata isteri masih berbuat durhaka, hendaklah suami berpisah
ranjang. Kalau isteri masih berbuat semacam itu, dan meneruskan
kedurhakaan nya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak
melukai badannya.
Menurut Amir Syarifuddin, ada 3 tahapan yang harus dilakukan
untuk menghadapi isteri yang nusyuz, yaitu:
Pertama, jika melihat tanda-tanda isteri akan nusyuz, seorang suami
harus memperingati dan menasihati isterinya bahwa yang
dilakukannya dilarang oleh agama dan menimbulkan risiko yang
membuat dia kehilangan haknya sebagai isteri. Jika isteri kembali
menjadi isteri yang baik maka masalah terselesaikan dan tidak boleh
diteruskan.
Kedua, jika setelah dinasihati dan diberi peringatan tetap tidak ada
perbaikan dan tindakan nusyuznya semakin terlihat nyata, maka usaha
berikutnya yaitu pisah tempat tidur atau tidak melakukan hubungan
seksual.
Ketiga, jika setelah pisah ranjang tidak ada perbaikan bahkan tetap
nusyuz, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak
57 Tihami dan Sohari sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.186.
31
menyakiti.58
Dalam hal memukul, janganlah sampai melukai
badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang
membahayakan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti,
tetapi untuk memberi pelajaran (ta’jir).59
2. Terjadinya Nusyuz dari Pihak Suami kepada Isteri
Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat
datang juga dari suami. Selama ini sering di salah pahami bahwa
nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal nusyuz juga bisa
terjadi dari pihak suami.
Kemungkinan nusyuznya dari pihak suami dapat terjadi dalam
bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya
terhadap isterinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Seorang
suami harus memperlakukan isterinya dengan cara yang baik dan
dilarang menyakiti isterinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental.
Jika ini terjadi dapat dikatakan suatu bentuk nusyuz suami terhadap
isterinya.
3. Terjadinya Syiqaq
Jika dua kemungkinan yang sudah disebutkan diatas
menggambarkan satu pihak yang menggambarkan satu pihak yang
melakukan nusyuz sedangkan pihak lainnya dalam kondisi normal,
maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya
terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan
ekonomi sehingga keduanya sering bertengkar.
Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fikih, syiqaq
berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang
hakam, yaitu hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak isteri.60
Ada perbedaan antara nusyuz dan syiqaq seperti halnya yang
diungkapkan oleh Norzulali Mohd Ghazali, yaitu:
58 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, h.114. 59
Tihami dan Sohari sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah, h.187. 60 Tihami dan Sohari sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah, h.188.
32
Pertama, nusyuz hanya melibatkan satu pihak yaitu suami atau isteri
yang tidak menjalankan kewajibannya terhadap pasangan mereka.
Sedangkan syiqaq melibatkan antara keduanya, dalam arti lain suami
dan isteri sama-sama tidak menjalankan kewajibannya terhadap
pasangan mereka.
Kedua, nusyuz pada kebiasaannya belum sampai pada tahap kritikal
dan tidak memerlukan pihak luar untuk menyelesaikannya. Sedangkan
syiqaq memerlukan pihak luar untuk menyelesaikan masalahnya yang
disebut juga dengan hakam.
Dasar hukum syiqaq terdapat dalam firman Allah Swt Q.S Annisa
ayat 35 yang berbunyi:
ب ح ب إ شذا إص أ ب حى ۦ أ ب ب فٲبعثا حى شمبق ب خفخ إ
ا ب خبش ع وب ٱلل ب إ ب فك ٱلل
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan diantara
keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”. (Q.s An-Anisa ayat 35).
Ayat diatas menjelaskan bahwa tidak ada alternatif lain selain
islah dari hakam. Hakam berusaha sekuat tenaga untuk mendamaikan
suami dan isteri tersebut. Namun jika tidak berhasil, barulah
mengambil jalan perceraian sebagai alternatif lain.61
4. Salah Satu Pihak Melakukan Zina (Fahisyah)
Dalam hubungan rumah tangga, tidak menutup kemungkinan
salah satu pihak baik itu pihak suami maupun isteri melakukan perbuat
zina yang mengakibatkan saling tuduh menuduh antara keduanya, cara
61
Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, h.118.
33
menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan yang
didakwakan, dengan cara li‟an.62
Adapun faktor- faktor yang dapat memicu terjadinya perceraian
dalam kehidupan berumah tangga yang tercantum pada KHI Pasal 116
adalah sebagai berikut:
KHI pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat baban atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
7) Suami melanggar taklik thalak;
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.63
62
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h.212. 63 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116.
34
Sama halnya dengan KHI PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19
menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai
berikut:
1) salah satu pihak berbuat zina dan menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lainnya yang sukar untuk disembuhkan;
2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya;
3) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
4) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
5) Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.64
D. Syarat dan Rukun Perceraian
1. Syarat Thalak
a) Ikatan suami isteri
Syarat jatuhnya thalak adalah adanya ikatan suami isteri, jika tidak
ada ikatan suami isteri maka tidak sah thalaknya. Yang tidak
menyebabkan jatuhnya thalak ada 4 yaitu anak kecil, orang gila, orang
yang sedang tidur, dan orang mabuk.65
b) Baligh
Seseorang yang menjatuhkan thalak harus baligh atau telah
sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan. Ulama hanabilah
mengatakan bahwa thalak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati
umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti
thalak dan telah mengetahui akibat-akibatnya, maka thalak itu
dipandang jatuh66
64
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19. 65 Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, (Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005), h.102. 66 Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, h.202.
35
c) Berakal sehat
Seorang suami yang menjatuhkan thalak kepada isterinya harus
sedang dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, Suami yang gila tidak
sah menjatuhkan thalak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini
ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit. Baik kegilaannya terus
menerus atau hanya sewaktu-waktu yang diakibatkan oleh penyakit.
Bukan hanya gila, seorang suami dalam keadaan tidur pun masuk
dalam kategori tidak sah menjatuhkan Thalak
2. Rukun Thalak
Rukun thalak ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalak dan
terwujudnya thalak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang
dimaksud. Pada dasarnya rukun thalak terbagi kepada tiga, yaitu:
a. Suami, selain suaminya isteri yang dithalak tidak dapat menthalak.
b. Isteri, yaitu orang yang berada dibawah perlindungan suami dan dia
adalah objek yang akan mendapatkan thalak. Thalak tidak akan jatuh
jika dijatuhkan terhadap isteri orang lain.
c. Sighat, yaitu lafadz yang menunjukkan adanya thalak, baik itu ucapan
secara terang-terangan (sharih) maupun dilakukan melalui sindiran
(Kinayah), baik berupa ucapan, tulisan, isyarat (bagi suami yang tuna
wicara atau dengan suruhan orang) dengan syarat harus disertai adanya
niat.67
E. Prosedur Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI
1. Prosedur perceraian menurut UU Perkawinan
Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UU
Perkawinan dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya
perceraian ini. Untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu yang dibenarkan oleh undang-undang dan ajaran
agama. Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama.
67 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1996),Cet.Ke-1, h.437.
36
Sebagaimana yang disebut dalam pasal 1 UU No.1/1974
dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia,
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI
disebut dengan Mitsâqan gholîzan (Ikatan yang kuat), namun dalam
realitanya sering kali dalam perkawinan tersebut kandas di tengah jalan
yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun karena putusan Pengadilan berdasarkan syarat-syarat
yang telah di tetapkan oleh Undang-undang.68
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa perceraian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang jelas dan sesuai hum yang berlaku,
pasal 39 UUP menjelaskan bahwa: (1), perkawinan hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; (2). Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri; (3). Tata cara perceraian
didepan sidang diatur dalam peraturan perundangan sendiri.69
Prosedur perceraian jika dilihat dari aspek subjek hukum atau
pelaku yang mengawali perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu
sebagai berikut:
a. Cerai Thalak (Suami yang Memohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan
untuk menceraikan isterinya, kemudian sang isteri menyetujuinya
disebut cerai thalak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA
Pasal 66 UUPA:
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan
isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar thalak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
68 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Legal Center
Publishing, 2002), H.41. 69 Undang-Undang Perkawinan (UUP) Pasal 39.
37
kediaman ter mohon kecuali apabila ter mohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa
izin pemohon.
(3) Dalam hal ter mohon bertempat kediaman di luar negeri,
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan ter mohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan
harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai thalak ataupun sesudah ikrar thalak diucapkan70
.
Dengan demikian, kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam
mengadili gugat cerai thalak diatur dalam pasal 66 tersebut agar
gugatan tidak salah alamat, dan gugat cerai harus diajukan suami
kepada Pengadilan Agama yang berpedoman kepada petunjuk yang
telah ditentukan dalam pasal 66 diatas.
Dengan memperhatikan ketentuan yang digariskan dalam pasal
tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif Pengadilan
Agama dalam perkara cerai thalak didasarkan pada “tempat kediaman
ter mohon” hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam
keringanan kepada si isteri ( Peraturan Menteri Agama RI No. 01
Tahun 1975).71
Sesudah permohonan cerai thalak diajukan ke Pengadilan Agama,
Pengadilan Agama melakukan Pemeriksaan mengenai alasan-alasan
yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur
70
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995).Cet,
ke-5, h.279. 71 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara PA, (Jakarta Rajawali Press,1994), h.66.
38
dalam pasal 66 UUPA yang berbunyi: a). Pemeriksaan permohonan
cerai thalak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai thalak
didaftarkan di Kepaniteraan; b). Permohonan cerai thalak dilakukan
dalam sidang tertutup.72
Langkah terakhir dari pemeriksaan perkara cerai thalak ini ialah
penyelesaian perkara sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal
71 undang-undang No. 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama:
1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
thalak.
2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa
perkawinan putus sejak ikrar thalak diucapkan dan penetapan
tersebut tidak dapat di mintakan banding atau kasasi.
b. Cerai Gugat (Isteri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
permohonan yang diajukan isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian
ter mohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama
mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, Khulu’’ seperti
yang telah diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan
termasuk cerai gugat. Khulu’’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan
atas persetujuan suaminya. Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA
sebagai berikut.
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
kediaman bersama tanpa izin penggugat.
72 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakara: Sinar Grafika, 2006), h.81.
39
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.73
Asas pemeriksaan cerai gugat pada prinsipnya tunduk sepenuhnya
kepada tata tertib yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, dalam hal ini
HIR atau RBG, namun demikian khusus perkara perceraian, Undang-
undang No. 07 Tahun 1989 mengatur asas tersendiri. Di samping asas dan
tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat tunduk sepenuhnya pada
ketentuan hukum acara perdata serta ketentuan khusus yang diatur dalam
Undang-undang No.07 Tahun 1989 ini, tata tertib pemeriksaan juga harus
berpedoman pada asas-asas umum baik yang diatur dalam Undang-undang
No. 14 Tahun 1975, maupun asas-asas yang dicantumkan dalam UU No.
07 Tahun 1989 ini.74
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan
gugatan diatur dalam pasal 74, 75, dan 76 UUPA.
Pasal 74 UUPA: Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh
putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
utusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 75 UUPA: Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
bahwa tergugat mendapat catat badan atau akibat tidak dapat menjalankan
73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA) Pasal 73. 74 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1995), Cet. Ke 5, h.121.
40
kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat
untuk memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76 (ayat 2) UUPA: Pengadilan setelah mendengarkan
keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Pasal 76 ayat (2) UUPA diatas merupakan penjabaran garis hukum
dari firman Allah dalam Surat An-Nisa (4) ayat 35, yang kemudian
mengambil bentuk lembaga yang disebut BP4.
Dalam pasal 74, 75 dan 76 UUPA jelas bahwa dibutuhkan alasan-
alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan cerai. Alasan-alasan tersebut
diantaranya salah satu pihak mendapat pidana penjara, adanya cacat badan
dan akibatnya tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami. Dengan
alasan-alasan tersebut Pengadilan dapat mengangkat seorang atau lebih
dari keluarga masing-masing untuk menjadi hakim yang disebut BP4.75
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat
dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah berkas atau surat
gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. Hal itu diatur dalam pasal
80 ayat (1) UUPA bahwa Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh
Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas
atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
Akan tetapi, pasal 80 ayat (2) dan (3) hanya menjelaskan teknis
untuk menghindarkan ketidakhadiran pihak-pihak yang berperkara baik
penggugat maupun tergugat. Hal ini menunjukkan hanya merupakan
penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP Nomor 1975 sebagai berikut.
Pasal 80 ayat 2 UUPA: Dalam penetapan waktu sidang gugatan
perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
75 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA) Pasal 74, 75, 76.
41
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka
Pasal 80 ayat 3 UUPA: Apabila tergugat berada dalam keadaan
seperti pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian
diterapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan
Agama.76
Jika sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara
tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara
atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran
pemeriksaan perkara di persidangan.77
2. Prosedur Perceraian Menurut KHI
Sebagaimana halnya dengan Undang-undang, prosedur perceraian
menurut KHI dibagi menjadi 2 macam, yaitu cerai thalak dan cerai gugat.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Cerai Thalak
Cerai Thalak adalah cerai yang diajukan oleh pihak suami ke
Pengadilan Agama sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 129 KHI
yang dijelaskan jika Seorang suami yang akan menjatuhkan thalak
kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Selanjutnya dalam Pasal 130 KHI menjelaskan
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
76
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA) Pasal 80. 77 Zainudin Ali , Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakara: Sinar Grafika, 2006), h.80.
42
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi.78
Prosesnya sendiri terdapat dalam Pasal 131 KHI
dari butir 1 sampai butir 5;
Pasal 131 KHI
1. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga
puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud menjatuhkan thalak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah
pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan thalak serta
yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah
tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan thalak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami
mengikrarkan thalaknya didepan sidang Pengadilan Agama,
dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar thalak dalam tempo 6 (enam)
bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar
thalak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak
suami untuk mengikrarkan thalak gugur dan ikatan perkawinan
tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar thalak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya thalak rangkap empat yang
merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai
pertama beserta surat ikrar thalak dikirimkan kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk
diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing
78 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 129, 130.
43
diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh
Pengadilan Agama.79
b. Cerai Gugat
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
permohonan yang diajukan oleh pihak isteri ke Pengadilan Agama,
yang kemudian ter mohon (suami) menyetujuinya, sehingga
Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena
itu, Khulu’ seperti yang telah diuraikan pada sebab-sebab putusnya
ikatan perkawinan termasuk cerai gugat sebagaimana yang tercantum
dalam UU KHI Pasal 132 yang berbunyi;
1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua
Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat80
3. Biaya Perkara Pengadilan dan lamanya Proses Pengadilan
a. Biaya Perkara Pengadilan
Adapun mengenai biaya perkara Pengadilan di bebankan kepada
penggugat atau pemohon sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Menurut Pasal 90 Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 poin (1), biaya perkara meliputi:
1) Biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk
perkara itu;
2) Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
79
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 131. 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132.
44
3) Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan
tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam
perkara itu;
4) Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.81
Namun jika tergugat atau pemohon berasal dari masyarakat
miskin dan tidak mampu, maka penggugat berhak mengajukan prodeo
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1
Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi
Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Prodeo adalah pembebasan
biaya perkara pengadilan.82
b. Jangka waktu Proses Pengadilan
Menurut pendapat Dr. Moh. Ali Wafa,S.H., S.Ag., M.Ag. dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan di Indonesia menerangkan
bahwa lamanya proses pengadilan adalah: Pertama, pemeriksaan
gugatan perceraian di lakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian.
Kedua, dalam menetapkan waktu Pengadilan sidang Pemeriksaan
gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan
dan diterimanya panggilan tersebut oleh tergugat maupun tergugat
kuasa mereka. Ketiga, apabila tergugagat berada dalam keadaan
bertempat kediaman di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan
perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung
sejak dimasukannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan
Pengadilan.83
hal tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan Pasal 29.
81
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Pasal 90. 82 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014. 83
Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, h.284.
45
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA MEKARJAYA
A. Sejarah Desa Mekarjaya
Desa Mekarjaya merupakan pemekaran dari Desa Cidokom. Proses
pemekaran dimulai pada tahun 2010 melalui panitia yang berisikan tokoh
masyarakat, tokoh agama dan perwakilan setiap RT. Pada tahun 2012
diputuskan bahwa ada pemekaran desa yang diberi nama Desa Mekarjaya.
Penamaan Desa Mekarjaya ini melalui forum panitia yang dibentuk tersebut.
Pemekaran ini dilatarbelakangi karena Desa Cidokom merupakan desa yang
memiliki wilayah yang cukup luas sehingga pembangunan menjadi tidak
merata, akibatnya wilayah yang kini menjadi Desa Mekarjaya tidak tersentuh
pembangunan desa.84
Untuk pertama kalinya Desa Mekarjaya dipimpin oleh
seorang kepala desa yang bernama Cecep Ropiudin S.Pd. melalui pemilihan
Kepala Desa yang kini menjabat untuk periode kedua.85
B. Letak Geografis dan Kondisi Demografis
1. Letak Geografis
Desa Mekarjaya merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Rumpin Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 400 Ha, diatas permukaan
Laut 12 M, dan tinggi curah hujan 40 mm/t, yang terbagi dalam 3 Dusun, 7
Rukun Warga (RW) dan 25 Rukun Tetangga (RT). Desa Mekarjaya
berbatasan langsung dengan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin sebelah
timur, Desa Cidokom dan Desa Gobang Kecamatan sebelah utara, Kecamatan
Leuwiliang dan Kecamatan Cibungbulang sebelah selatan, dan dengan Desa
Leuwi Batu Kecamatan Rumpin sebelah utara.
84 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 85 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib.
46
Desa Mekarjaya merupakan desa yang jauh dari pusat administratif
seperti Kantor Kecamatan Rumpin yang berjarak 15 Km, Ibu Kota Kabupaten
Bogor yang berjarak 34 Km, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat yaitu Bandung
yang berjarak 147 dan Ibu Kota Negara Indonesia yaitu Jakarta yang berjarak
67 Km
2. Kondisi Demografis
Desa Mekarjaya memiliki jumlah penduduk total 4.960 Jiwa, yang
terdiri dari 2.559 Laki-laki dan 2.401 Perempuan dengan kepala keluarga
sebanyak 1.325 KK. Kepadatan penduduk Desa Mekarjaya sebanyak 1.200
jiwa/Km.86
Jika dikategorikan dalam kelompok umur, maka umur 0-4 tahun
memiliki jumlah 461 jiwa yang terdiri dari 245 laki-laki dan 246 perempuan,
umur 5-9 tahun memiliki jumlah 711 jiwa yang terdiri dari 361 laki-laki dan
350 perempuan, umur 10-14 tahun memiliki jumlah 575 jiwa yang terdiri dari
284 laki-laki dan 291 perempuan, umur 15-19 tahun memiliki jumlah 457
jiwa yang terdiri dari 286 laki-laki dan 271 perempuan, umur 20-24 tahun
memiliki jumlah 475 jiwa yang terdiri dari 236 laki-laki dan 249 perempuan,
umur 25-29 tahun memiliki jumlah 474 jiwa yang terdiri dari 252 laki-laki
dan 242 perempuan, umur 30-34 tahun memiliki jumlah 411 jiwa yang terdiri
dari 258 laki-laki dan 253 perempuan, umur 35-39 tahun memiliki jumlah
438 jiwa yang terdiri dari 237 laki-laki dan 201 perempuan, umur 40-44
tahun memiliki jumlah 308 jiwa yang terdiri dari 201 laki-laki dan 196
perempuan, umur 45-49 tahun memiliki jumlah 330 jiwa yang terdiri dari 189
laki-laki dan 141 perempuan, umur 50-54 tahun memiliki jumlah 241 jiwa
yang terdiri dari 117 laki-laki dan 124 perempuan, umur 55-59 tahun
memiliki jumlah 208 jiwa yang terdiri dari 107 laki-laki dan 101 perempuan,
umur 60-64 tahun memiliki jumlah 125 jiwa yang terdiri dari 63 laki-laki dan
62 perempuan, umur 65-69 tahun memiliki jumlah 127 jiwa yang terdiri dari
66 laki-laki dan 61 perempuan, sedangkan umur 70 tahun ke atas memiliki
jumlah 81 tahun yang terdiri dari 46 laki-laki dan 35 perempuan.
86 Profil Desa Mekarjaya Tahun 2017.
47
C. Kondisi Sosiologis
1. Kondisi Sosial Politik
Secara umum kondisi sosial politik serta ketentraman dan ketertiban di
wilayah Desa Mekarjaya cukup baik dan terkendali. Dalam hal ini, kehidupan
politik warga masyarakat dapat tersalurkan sesuai dengan aspirasinya seiring
dengan bergulirnya reformasi dan banyaknya partai politik yang berkembang
pada saat ini.
Berkaitan dengan masalah keamanan dan ketertiban, dapat disampaikan
bahwa pada tahun 2018, situasi dan kondisi Desa Mekarjaya terbilang aman
dan terkendali. Adapun jumlah anggota perlindungan masyarakat (Linmas)
tercatat sebanyak 10 orang. Dan sampai saat ini mendapat bantuan keuangan
insentif atau operasional oleh Pemerintah Kabupaten.87
2. Agama
Penduduk Desa Mekarjaya yang berjumlah 4964 jiwa semuanya
beragama Islam. Meskipun semuanya beragama Islam, mereka sangat toleran
terhadap penduduk lain yang beragama non Islam yang berkunjung ke Desa
Mekarjaya. Sikap toleransi beragama itu sesuai dengan ideologi Negara
Kesatuan Republik Indonesia Yaitu Pancasila. Karena pada dasarnya Negara
Indonesia berdiri diatas keragaman umat beragama.88
Kegiatan Agama Masyakat Desa Mekarjaya didukung sarana dan
prasarana yang memadai dengan adanya Masjid yang berjumlah 8 buah, dan
musholla 13 buah,
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting guna membangun
generasi bangsa yang lebih baik. Dengan pendidikan yang tinggi negara bisa
meningkatkan indeks pembangunan manusia menuju tingkat kesejahteraan.
Dengan pendidikan pula kesejahteraan hidup bisa tercapai karena tingkat
keterampilan masyarkat guna meningkatkan kesejahteraan hidup lebih
terbuka lebar. Oleh karena itu pemerintah mencanangkan wajib belajar
87
Profil Desa Mekarjaya Tahun 2017. 88 Profil Desa Mekarjaya Tahun 2017.
48
sembilan tahun. Namun, di Desa Mekarjaya pendidikan bukan menjadi
prioritas utama masyarakatnya. Masyarakat di desa ini memiliki tingkat
pendidikan yang cukup rendah, kesadaran akan pentingnya pendidikan
sangatlah kurang. Dari total 4964 jiwa masyarakat Desa Mekarjaya,
sebanyak 756 jiwa mengenyam pendidikan tidak lulus Sekolah
Dasar/sederajat, 421 jiwa mengenyam pendidikan tamat Sekolah
Dasar/sederajat, 193 jiwa mengenyam pendidikan tamat Sekolah Lanjut
Tingkat Pertama (SLTP)/sederajat, 93 jiwa mengenyam pendidikan tamat
Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA)/sederajat. Sedangkan untuk masyarakat
yang mengenyam pendidikan sampai lulus Perguruan tinggi jenjang S1 ada 9
jiwa dan lulusan Perguruan Tinggi jenjang S2 sebanyak 3 Jiwa.
Tingkat pendidikan yang rendah pula berpengaruh pada tingkat
pemahaman dan kesadaran Hukum masyarakat, sehingga di Desa Mekarjaya
banyak terjadi perceraian diluar Sidang Pengadilan Agama.89
Pendidikan masyarakat Desa Mekarjaya ditunjang dengan sarana dan
prasarana pendidikan Umum dan pendidikan Islam seperti Sekolah Dasar 1
buah, Sekolah Lanjut Tingkat Pertama 2 buah, Paud 3 buah, Madrasah
Ibtidaiyah 1 buah, Madrasah Tsanawiyah 1 buah, Pondok Pesantren 6 buah
dan majelis taklim 10 buah.
4. Ekonomi
Pada umumnya masyarakat di pedesaan berprofesi sebagai petani dan
buruh begitu juga dengan masyarakat Desa Mekarjaya. Mayoritas masyarakat
Desa Mekarjaya berprofesi sebagai Petani dan buruh. Tingkat pendapatan
ekonomi masyarakat Desa Mekarjaya mayoritas menegah ke bawah.90
89 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib. 90 Profil Desa Mekarjaya Tahun 2017.
49
BAB IV
FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK PERCERAIAN DI LUAR
PENGADILAN AGAMA
A. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
1. Faktor Ekonomi
Seperti yang kita ketahui bahwa untuk berperkara di Pengadilan
Agama membutuhkan biaya yang Cukup besar. Hal itu diatur dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk
perkara itu; biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;91
Serta biaya-
biaya lainnya seperti biaya advokat.
Walaupun Pemohon bisa mengajukan prodeo92
sesuai Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014, akan tetapi
biaya dikeluarkan tidak hanya meliputi biaya persidangan. Tapi
dibutuhkan juga biaya untuk ongkos ke Pengadilan dan lain-lain.
Biaya persidangan dan biaya yang lain-lain yang cukup besar
tersebut memicu banyaknya terjadi kasus perceraian di luar Pengadilan
Agama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mekarjaya yang mayoritas
kondisi ekonominya masih lemah.
Hal tersebut dirasakan oleh Ibu Mahmudiyah yang melakukan
perceraian di luar Pengadilan Agama karena terbebani biaya yang besar.
Ibu Mahmudiyah mengatakan: “saya tidak ada biaya untuk bercerai di
Pengadilan Agama, karena biaya yang harus dikeluarkan cukup besar”93
Hal serupa ditegaskan oleh Bapak Mad Enur, beliau berpendapat
bahwa salah satu faktor terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama
91 Undang-Undang No.7 Tahun 1989. 92 Prodeo adalah proses perkara di Pengadilan secara cuma-cuma (gratis). 93 Wawancara Dengan Ibu Mahmudiyah, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan Agama,
di Kediaman Ibu Mahmudiyah Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 31 Desember 2019. Pukul
14.00 Wib.
50
adalah faktor ekonomi, jika harus menghabiskan biaya berjuta-juta, lebih
baik uang tersebut dipakai untuk biaya menikah lagi.94
Dijelaskan di atas bahwa masyarakat yang kurang mampu dalam
ekonomi bisa mengajukan Prodeo, namun masyarakat Desa Mekarjaya
tetap melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama karena biaya yang
harus dikeluarkan bukan hanya untuk biaya persidangan, tetapi untuk
biaya akomodasi dan lain-lain.
2. Kurangnya Pengetahuan dan Kesadaran Hukum
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Mekarjaya
menjadi faktor minimnya wawasan pengetahuan. Hal ini bisa dilihat dari
data profil Desa Mekarjaya bahwa mayoritas masyarakatnya hanya
mengenyam pendidikan tidak lulus Sekolah Dasar (756 orang) dan
lulusan Sekolah Dasar (421). Hal ini juga yang membuat masyarakatnya
tidak mengetahui bahwa perceraian harus dilakukan di Pengadilan
Agama.
Menurut bapak Adung, “Pemahaman serta kesadaran hukum
masyarakat yang kurang menjadi salah satu alasannya”95
. Kurangnya
pengetahuan hukum tersebut juga dialami oleh ibu Neneng Fauziyah dan
Ibu Siti Apiah yang memberi jawaban tidak tahu ketika diwawancarai
dengan pertanyaan apakah mereka mengetahui kalau perceraian harus
dilakukan di Pengadilan Agama.
Meskipun ada juga masyarakat yang mengetahui bahwa perceraian
harus dilakukan melalui sidang Pengadilan Agama, namun mereka tidak
melakukannya karena kurangnya kesadaran hukum. Mereka beranggapan
bahwa perceraian cukup dilakukan secara kekeluargaan dan sah dalam
pandangan Agama.
94 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 95 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib.
51
Hukum adalah sebagai alat kontrol social dimana sosialisasi hukum
merupakan salah satu aspek penting dalam proses kontrol sosial sebab
untuk dapat mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, dibutuhkan suatu kesadaran
yang timbul dalam diri seseorang untuk mentaati dan melaksanakan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yang disebut dengan kesadaran
hukum. Indikator kesadaran hukum adalah kesadaran, pemahaman, sikap
dan perilaku.96
Artinya, tidak ada sosialisasi hukum yang diterima masyarakat
Desa Mekarjaya untuk memberikan pemahaman dan kesadaran hukum
sehingga tidak ada lagi kasus Perceraian di luar pengadilan Agama.
Perlunya program sosialisasi hukum dari pemerintah kepada masyarakat
untuk memberikan kesadaran hukum bagi masyarakat.
3. Proses yang Lama dan Jarak Tempuh yang Jauh
Dengan mekanisme yang berbelit-belit dan proses sidang yang
cukup panjang serta jarak rumah ke Pengadilan yang sangat jauh
membuat masyarakat Desa Mekarjaya enggan untuk melakukan
perceraian di Pengadilan Agama. berdasarkan data yang diperoleh dari
Profil Desa Mekarjaya, jarak dari Desa Mekarjaya ke Pengadilan Agama
34 Km. Alasan tersebut dibenarkan oleh Bapak Adung yang mengatakan
bahwa jarak Desa Mekarjaya ke Pengadilan cukup jauh dan proses
pengadilan yang lama dan berbeli-belit.97
Hal ini dialami oleh Ibu Dina Oktaviani yang melakukan praktik
perceraian di luar Pengadilan Agama. Beliau mengatakan: “Tempat
tinggal saya jauh dari Pengadilan Agama.”98
96 http://elfamurdiana.blogspot.com/2009/07/peranan-sosialisasi-hukum-dalam-
proses.html 97 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib. 98 Wawancara Dengan Ibu Dina Oktaviani, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama, di Kediaman Ibu Dini Oktaviani Kp Parung Panjang, Rt/Rw 002/005. Senin, 31 Desember
2018. Pukul 16.00 Wib.
52
Memang proses persidangan memakan waktu yang cukup lama,
dari proses pemeriksaan 30 (tiga puluh) hari sampai dengan putusan bisa
memakan waktu sampai 6 (enam) bulan seperti yang disebutkan di
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 29.
Artinya faktor jarak tempuh yang jauh dan proses persidangan
yang lama yang dijadikan alasan masyarakat Desa Mekarjaya melakukan
perceraian diluar Pengadilan Agama sejalan dengan undang-undang yang
berlaku dan jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka ke
Pengadilan.
4. Sudah Menjadi Kebiasaan (Budaya)
Praktik perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa
Mekarjaya sudah terjadi dari dulu, sehingga sudah menjadi budaya di
desa tersebut. Hal ini menjadi acuan masyarakat yang akan bercerai
mengikuti budaya tersebut.
Bapak Mad Enur berpendapat bahwa Sudah menjadi budaya di
kampung, bahkan setiap kampung yang ada di desa bercerai di luar
Pengadilan Agama. Kecuali warga tersebut seorang Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang harus ada penceraian resmi.99
Hal tersebut ditegaskan oleh
Bapak Adung selaku Sekretaris Desa Mekarjaya. Beliau berpendapat
bahwa sudah menjadi budaya di Desa Mekarjaya karena dari dulu hampir
tidak ada yang bercerai melalui Pengadilan Agama.100
Hal ini juga yang dijadikan alasan Ibu Siti Apiah. Beliau berkata:
“biasanya perceraian di kampung tidak ada yang bercerai melalui
Pengadilan Agama, jadi saya mengikuti yang lain.”101
99 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 100 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib. 101 Wawancara Dengan Ibu Siti Apiah, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan Agama, di
Kediaman Ibu Siti Apiah Kp Jengkol, Rt/Rw 002/002. Selasa, 31 Januari 2019. Pukul 21.00 Wib.
53
Menurut pendapat Lawrence M. Freidman bahwa Hukum yang
sudah hidup di masyarakat tidak bisa dikalahkan dengan hukum yang
tertulis (law in book living law).
Artinya, budaya hukum yang sudah ada di masyarakat Desa
Mekarjaya yaitu melakukan praktik perceraian tanpa sidang Pengadilan
Agama sejalan dengan pendapat Lawrence M Freidman bahwa Hukum
yang sudah hidup di masyarakat tidak bisa dikalahkan dengan hukum
yang tertulis.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
menjadi penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya adalah: Pertama, faktor Ekonomi masyakatnya yang
tergolong menengah ke bawah. Kedua, faktor kurangnya pengetahuan
tentang hukum dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan tidak adanya sosialisasi
hukum dari instansi terkait. Ketiga, karena proses pengadilan yang lama
sampai 6 (enam) bulan dan jarak tempuh yang jauh dari Desa Mekarjaya
Ke Pengadilan Agama Bogor. Keempat, karena faktor budaya yang sudah
terjadi dari dahulu. Dan budaya tersebut sesuai dengan pendapat
Lawrence M Freidman bawa hukum yang sudah hidup di masyarakat
tidak bisa dikalahkan dengan hukum yang tertulis.
B. Tata Cara Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya
Kec. Rumpin Bogor
Pada umumnya masyarakat Desa Mekarjaya melakukan perceraian
melalui jalan kekeluargaan. Perceraian tersebut dihadiri oleh wali dan saksi
dari pihak keluarga. Ada juga yang disaksikan oleh aparat setempat seperti
Ketua RT, Tokoh Agama, atau Tokoh Masyarakat. Ada juga proses taqlid
thalak dimana pihak suami berkata: “jika sudah tidak ada jodoh, saya
54
serahkan dan kembalikan anak bapak dari atas ujung rambut sampai bawah
ujung kaki karena sudah tidak ada jodoh”.102
Menariknya di sebagian masyarakat Desa Mekarjaya melampirkan
surat pernyataan bahwa mereka telah melakukan perceraian yang disebut
surat kinayah. Surat kinayah ini digunakan sebagai bukti bahwa pihak suami
telah menjatuhkan thalak satu, thalak dua maupun thalak tiga, namun pada
umumnya untuk thalak satu. Untuk memberi kekuatan hukum pada surat
kinayah tersebut dibubuhkan tanda tangan pihak yang bersangkutan di atas
materai. Jadi jika ada tuntutan dari salah satu pihak maka surat kinayah
tersebut menjadi bukti perceraian mereka.103
Artinya perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama oleh
Masyarakat Desa Mekarjaya tersebut tidak sesuai dengan undang-undang
yang berlaku yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.104
Begitu juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 yang
menyebutkan bahwa:
5. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
6. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tatacara
perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan
Perundangan.105
102 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 103 Cek Surat Kinayah Pada Lampiran. 104 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115. 105 UU No 1 Tahun 1974 Pasal 39.
55
Dengan kata lain, perceraian tersebut tidak sah menurut hukum
positif karena tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku yaitu
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115 dan Undang-Undang No 1 Tahun
1974 pasal 39.
Sedangkan mengenai surat kinayah yang dijadikan bukti perceraian
mereka digolongkan kedalam akta dibawah tangan106
dan tidak dapat
digolongkan kepada akta otentik.107
Surat tersebut tidak bisa dijadikan alat
bukti perceraian mereka karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukan
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang mengeluarkan Akta Perceraian
tersebut. Dalam hal ini Pengadilan Agama yang berwenang.
C. Tata Cara Pernikahan Selanjutnya Setelah Terjadi Perceraian di Luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
Sudah dijelaskan di atas bahwa sering terjadi bahkan sudah menjadi
budaya perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya. Artinya
perceraian mereka tidak sah dalam pandangan hukum positif dan dipastikan
perceraian tersebut tidak memiliki akta cerai yang dikeluarkan Pengadilan
Agama. Lantas bagaimana jika pelaku perceraian tersebut ingin menikah lagi
secara resmi?
Walaupun mereka bercerai di luar Pengadilan Agama, tetapi
masyarakat Desa Mekarjaya masih bisa menikah lagi secara resmi.
Pernikahan tersebut hampir dilakukan mayoritas informan.
Menurut pemaparan Bapak Mad Enur, ada dua cara yang membuat
mereka bisa menikah lagi secara resmi. Pertama, jika laki-laki atau
perempuan tersebut berumur dibawah 30 tahun dan memiliki anak, maka
statusnya dipalsukan menjadi lajang atau gadis lagi. Karena jika statusnya
106 Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja di buat untuk pembuktian oleh para
pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan
atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide
Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg). 107 Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim,
Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat.(vide Pasal 1868
KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), dan Pasal 285 Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg).
56
duda atau janda cerai thalak, maka harus ada bukti akta cerai dari Pengadilan
Agama. Kedua, jika laki-laki atau perempuan tersebut sudah mempunyai
anak, maka statusnya dipalsukan menjadi duda atau janda cerai mati atas
dasar persetujuan keluarga. Misalnya, jika perempuan tersebut ingin menikah
lagi, maka mantan suaminya berstatus meninggal untuk mempermudah
proses pernikahan.108
Surat kuning atau surat kematian diperoleh dari pihak
desa. Karena pihak desa yang berwenang mengeluarkan surat kematian
tersebut. Dalam arti lain, ada keterlibatan pihak desa dalam proses pernikahan
selanjutnya. Hal ini dibenarkan oleh Bapak Adung selaku Sekdes Mekarjaya.
Beliau berkata: “untuk proses pernikahan kedua secara resmi, pihak desa
terlibat membantu mengeluarkan surat-surat administrasi yang dibutuhkan
guna pernikahan tersebut.”109
Pada umumnya proses pernikahan tersebut ditangani oleh aparat
setempat seperti ketua RT atau P3N. Seperti halnya yang dilakukan Ibu Lilis
Triani dan Ibu Dina Oktaviani, ketika menikah proses pernikahannya
diserahkan kepada ketua RT setempat. Selanjutnya proses pernikahan
berjalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
meliputi 4 (empat) tahapan yaitu pelaporan, pengumuman, Pencegahan dan
pelaksanaan.110
Berdasarkan dari data yang ada, proses pernikahan selanjutnya setelah
terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan masyarakat Desa
Mekarjaya sesuai dengan tata cara Pernikahan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Hanya saja dalam proses tersebut ada
pemalsuan identitas terkait status perceraian mereka sebelum menikah lagi,
hal tersebut dapat dikategorikan perbuatan melanggar hukum yang diatur
108 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 109 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib. 110 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
57
dalam KUHP pasal 263 dan dapat dipidanakan dengan ancaman hukuman
penjara maksimal 6 (enam) tahun.
D. Dampak Dari Perceraian di Luar Pengadilan Agama
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti akan mempunyai
dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Begitu juga halnya
praktik perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Mekarjaya. Dari hasil wawancara yang dilakukan, ada beberapa dampak
yang diterima oleh para pelaku perceraian tersebut sebagai berikut:
1. Status Perceraian
Dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.111
Dari undang-undang tersebut jelas bahwa perceraian yang sah
adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Namun tampaknya Undang-Undang tersebut tidak berlaku bagi
masyarakat Desa Mekarjaya karena praktik perceraian yang mereka
lakukan tanpa melalui sidang Pengadilan Agama. Yang artinya mereka
tidak mendapatkan akta cerai dari Pengadilan Agama. Padahal perceraian
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif karena perceraian tersebut
tidak sah menurut hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bapak Adung selaku Sekretaris Desa
Mekarjaya. Beliau berkata: “sebetulnya perceraian tersebut kurang bagus,
bahkan tidak bagus. Karena harusnya perceraian tersebut diketahui
pemerintah untuk kepentingan administrasi.112
Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk
menjatuhkan talak, sehingga kapan dan dimanapun ia mengucapkannya,
talak itu jatuh seketika. Hal inilah yang menjadi landasan bagi masyarakat
Desa Mekarjaya untuk melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama.
111 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 112 Wawancara Dengan Bapak Adung, Sekretaris Desa Mekarjaya, di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Rabu, 2 Januari 2019. Pukul 14.00
Wib.
58
Seperti halnya pendapat Bapak Mad Enur yang mengatakan: “secara
agama sudah jelas sah. Namun secara Undang-Undang tidak sah”.113
Dari data di atas jelas bahwa perceraian yang dilakukan
Masyarakat Desa Mekarjaya bertentangan dengan Undang-Undang yang
mewajibkan perceraian dilakukan di depan Sidang Pengadilan Agama
2. Dampak Negatif Terhadap Isteri
Dampak perceraian di luar sidang Pengadilan Agama terhadap
isteri adalah tidak mendapatkan haknya setelah bercerai seperti nafkah
masa Iddah, tempat untuk tinggal, dan pakaian. Padahal semua itu sudah
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 yang menjelaskan akibat
putusnya perkawinan yaitu seorang suami wajib memberikan nafkah
mut’ah baik berupa uang atau benda kecuali bekas isterinya belum
dicampuri; memberikan nafkah iddah, tempat tinggal dan pakaian;
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya; dan memberikan
nafkah hadhanah kepada anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.114
Hampir seluruh informan yang berhasil penulis wawancara,
mereka semua tidak mendapatkan nafkah masa iddah. Seperti halnya yang
dialami oleh Ibu Dini Oktaviani. Beliau berkata: “saya sama sekali tidak
mendapatkan nafkah masa iddah, bahkan pakaian yang saya miliki
sebelum pernikahan dibawa semua oleh mantan suami saya”115
Selain permasalahan nafkah masa iddah, muncul juga
permasalahan yang lain, yaitu pembagian harta bersama. Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 97 dijelaskan bahwa janda atau duda cerai masing-
113 Wawancara Dengan Bapak Mad Enur, Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya, di
Kediaman bapak Mad Enur Kp Hegarmanah, Rt/Rw 003/003. Senin, 22 Oktober 2018. Pukul
20.00 Wib. 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149. 115 Wawancara Dengan Ibu Dini Oktaviani, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama, di Kediaman Ibu Dini Oktaviani Kp Parung Panjang, Rt/Rw 002/005. Senin, 31 Desember
2018. Pukul 16.00 Wib.
59
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.116
Namun praktik perceraian yang dilakukan di Desa Mekarjaya tidak
jelas pembagian harta bersama antara suami dan isteri. Ironisnya pihak
isteri sama sekali tidak mendapatkan harta bersama seperti yang dialami
oleh Ibu Neneng Fauziyah. Beliau mengatakan: “Saya tidak dapat harta
bersama, semua harta diambil oleh suami. Saya tidak diberikan apa-apa
walaupun punya motor dan lain-lain”117
Dari data di atas jelas bahwa dampak negatif perceraian di luar
Pengadilan Agama bagi seorang isteri adalah dia tidak mendapatkan
nafkah masa iddah, dan pembagian harta bersama. Hal ini bertentangan
dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 dan pasal 97.
3. Dampak Negatif Terhadap Anak
Perceraian orang tua dapat berdampak pada kondisi psikis anak.
Bahkan luka yang dialami anak mungkin saja terus dibawanya sampai
dewasa. Dampak yang mungkin terjadi kepada setiap anak berbeda-beda,
tergantung dari usia anak pada saat orang tua bercerai, kondisi perceraian,
serta kepribadian anak tersebut.118
Dampak negatif terhadap anak dari perceraian di luar Pengadilan
Agama bukan hanya saja berdampak pada kondisi psikis anak tersebut,
tetapi juga terhadap hak-hak yang harus terima anak tersebut diantaranya
hak anak dari ayah kandungnya seperti hak mendapatkan nafkah secara
teratur dan dalam jumlah yang tetap. Hal tersebut diatur pada Pasal 45
UUPA yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak
menentukan bahwa:
1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-
anak mereka dengan sebaik-baiknya.
116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 97. 117 Wawancara Dengan Ibu Neneng Fauziyah, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama, di Kediaman Ibu Neneng Fauziyah Kp Kemang, Rt/Rw 001/006. Senin, 31 Desember
2018. Pukul 17.30 Wib. 118 Hilangkan Ego, Ini Dampak Perceraian Terhadap Anak, aladokter.com.
60
2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak-anaknya menikah dan dapat
berdiri sendiri dari kewajiban tersebut dan berlaku terus menerus
meskipun pernikahan orang tua putus.119
Ironisnya anak-anak dari orang tua yang bercerai di luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya tidak mendapatkan haknya seperti
yang dialami hampir semua informan yang penulis wawancara seperti Ibu
Lilis Triani, beliau berkata “Nafkah anak juga tidak ada, paling setahun
sekali dapatnya, itu juga tidak tentu berapa.”120
Sedangkan mengenai
hadhanah, mayoritas responden yang memiliki anak, anak tersebut
dirawat ibunya.
Dari data di atas jelas bahwa anak-anak menjadi korban akibat dari
perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan masyarakat Desa
Mekarjaya. Yang seharusnya menjadi hak-hak anak tersebut tidak mereka
terima. Artinya hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 45
UUPA bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya sampai dia menikah dan dapat berdiri sendiri. Begitu juga
dengan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam bahwa seorang suami
berkewajiban memberikan biaya Hadhanah untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun. Sedangkan mengenai hadhanah, sesuai
dengan ketentuan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian diluar
Pengadilan Agama memberikan beberapa dampak negatif. Diantaranya:
Pertama, berdampak pada status perceraian mereka bahwa perceraian
tersebut tidak sah menurut Hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Kedua, dampak untuk isteri yang tidak mendapatkan nafkah masa
iddah dan pembagian harta bersama yang seharusnya menjadi haknya.
Ketiga, dampak terhadap anak bahwa anak tersebut tidak mendapatkan
119 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA) Pasal 45. 120 Wawancara Dengan Ibu Lilis Triani, Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan Agama,
di Kediaman Ibu Lilis Triani Kp Jengkol, Rt/Rw 002/002. Selasa, 1 Januari 2019. Pukul 20.00
Wib.
61
nafkah hadhanah dari ayahnya sesuai dengan ketentuan pasal 156
Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 45 UUPA.
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di luar Pengadilan Agama di
Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian di
luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya adalah: Pertama, faktor
Ekonomi masyarakatnya yang tergolong menengah ke bawah. Kedua,
faktor kurangnya pengetahuan tentang hukum dan rendahnya
kesadaran hukum masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat dan tidak adanya sosialisasi hukum dari instansi terkait.
Ketiga, karena proses pengadilan yang lama sampai 6 (enam) bulan
dan jarak tempuh yang jauh dari Desa Mekarjaya Ke Pengadilan
Agama Bogor. Keempat, karena faktor budaya yang sudah terjadi dari
dahulu. Dan budaya tersebut sesuai dengan pendapat Lawrence M
Freidman bawa hukum yang sudah hidup di masyarakat tidak bisa
dikalahkan dengan hukum yang tertulis.
2. Tata Cara Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya
Kec. Rumpin Bogor
perceraian masyarakat Desa Mekarjaya tidak melalui sidang
Pengadilan Agama dan mereka bercerai dengan hanya dengan cara
kekeluargaan yang artinya proses perceraian tersebut tidak sesaui
dengan ketentuan undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 115. Selajutnya perceraian tersebut
menggunakan surat kinayah sebagai bukti bahwa mereka telah
melakukan perceraian dan surat tersebut tidak bisa dijadikan bukti
63
otentik karena bukan dikuarkan oleh Pengadilan Agama yang
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan surat tersebut.
3. Tata Cara Pernikahan Selanjutnya Setelah Terjadi Perceraian di Luar
Pengadilan Agama di Desa Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
Proses pernikahan masyarakat Desa Mekarjaya setelah terjadi
perceraian di luar Pengadilan Agama yaitu dengan cara memalsukan
status perceraian mereka yang seharusnya berstatus janda atau duda
menjadi lajang dan yang seharusnya berstatus cerai talak atau cerai
gugat menjadi cerai mati. Hal tersebut bertentangan dengan KUHP
pasal 263. Setelah proses pemalsuan status perceraian tersebut
selanjutnya proses pernikahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
4. Dampak Dari Perceraian di Luar Pengadilan Agama di Desa
Mekarjaya Kec. Rumpin Bogor
Perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan
masyarakat Desa Mekarjaya berdampak negatif terhadap status
perceraian mereka bahwa perceraian tersebut tidak sah menurut
Hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan hukum. selain itu,
berdampak untuk isteri, bahwa isteri tersebut tidak mendapatkan
nafkah masa iddah dan pembagian harta bersama yang seharusnya
menjadi haknya. Dan dampak terhadap anak bahwa anak tersebut
tidak mendapatkan nafkah hadhanah dari ayahnya sesuai dengan
ketentuan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 45 UUPA.
B. Saran
Minimnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran hukum
masyarakat menjadi salah satu faktor banyak terjadi perceraian di kalangan
masyarakat. Kepada praktisi hukum perlunya memberikan konsultasi
hukum dan bimbingan hukum yang intensif kepada masyarakat luas baik
dalam advokasi birokrasi maupun advokasi praktisi untuk meminimalisir
kasus perceraian tersebut.
64
Dibutuhkannya penyuluhan kepada masyarakat oleh Kantor
Urusan Agama melalui BP4 tentang prosedur perceraian dan pernikahan
yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tidak
terjadi lagi ketidaktahuan masyarakat mengenai prosedur perceraian dan
pernikahan yang sesuai dengan undang-undang.
Bagi para akademisi, supaya lebih mengkaji hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia, agar tidak hanya praktisi hukum saja yang
menghiasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Terus melakukan simulasi
dan pelatihan lainnya.
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Sygma,
2005
B. Buku
Abu Hilmi Kamaluddin, Menyingkap Tabir Perceraian, Jakarta: Pustaka Al
Shofwa, 2005.
Ali Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Beirut: Dar al-Fikr.
Ash-Sabuni Syaikh Muhammad Ali, Shafwatuttafsir, Yogyakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010.
Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta, 2004.
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, Edisi
Revisi V, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Azzam Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas Abdul Wahhab Sayyed, Fiqih
Munakahat, Jakarta: Amzah, 2009.
Bungim Burhan, Metodologi penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Bandung: Al-Ma‟arif, 1990.
Furchan Arief, Pengantar, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha
Nasional, 1992.
Ghozali Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group,
2010.
Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamid Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1987.
Mardani, Tafsir Ahkam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Marpaung Happy, Masalah Perceraian, Bandung: Tonis, 1983.
66
Maulana Hakim Irfan, Bulughul Maram, Bandung: Mizan Pustaka, 2010.
Muchtar Kamal, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Nuruddin Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media Group, 2004.
Prodjohamidjodjo Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Legal
Center Publishing, 2002.
Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995.
Rosyid Roihan A., Hukum Acara Pengadilan Agama, Jakarta Rajawali
Press,1994.
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: Alma‟arif, 1990.
Said A. Zuhdi, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1998.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, Yogyakarta: PT. Liberti, 2004.
Subana M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2005.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: prenada
Media, 2007.
Syamsudin M, Operasional Penelitian Hukum, Jakarta: PT, Rajawali Press,
2007
Thalib Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: UI Press, 1995.
Tihami dan Sahrani Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Jakarta:
Rajawali pers, 2014.
Uwaidah Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1996.
Wafa Moh Ali, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian Dalam
Hukum Islam dan Hukum Materil, Tangerang Selatan: Yasmi, 2018.
67
C. Undang-Undang
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (UUPA).
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
D. Internet
http://elfamurdiana.blogspot.com/2009/07/peranan-sosialisasi-hukum-dalam-
proses.html
Hilangkan Ego, Ini Dampak Perceraian Terhadap Anak, aladokter.com.
68
PEDOMAN WAWANCARA
A. KEPALA DESA
1. Bagaimana Sejarah Desa Mekarjaya?
2. Jika warga bercerai apakah ada laporan ke pihak desa?
3. Bagaimana menurut pendapat anda tentang perceraian diluar Pengadilan
Agama/perceraian yang dilakukan hanya didepan Tokoh Agama dan
Keluarga kedua belah pihak?
4. Faktor apa saja yg membuat mereka bercerai di luar Pengadilan Agama?
5. Apakah perceraian di luar Pengadilan Agama sudah menjadi budaya di
Desa Mekarjaya?
6. Apakah orang yang bercerai di luar Pengadilan Agama bisa menikah lagi
di desa ini?
7. Pernikahannya dilakukan secara resmi atau tidak?
8. Apakah ada ketelibatan pihak desa dalam proses perceraian masyarakat
dan pernikahan selanjutnya setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan
Agama?
B. TOKOH MASYARAKAT
1. Berapa lama anda tinggal di desa ini?
2. Bagaimana sejarah Desa Mekarjaya?
3. Apakah ada perceraian yang disaksikan oleh anda?
4. Bagaimana proses perceraian di Desa Mekarjaya?
5. Bagaimana hukum perceraian tersebut?
6. Apa faktor masyarakat Desa Mekarjaya bercerai di luar Pengadilan
Agama?
7. Bagaimana menurut pandangan anda mengenai perceraian di luar
Pengadilan di Desa Mekarjaya?
8. Apakah perceraian di luar Pengadilan Agama sudah menjadi budaya di
Desa Mekarjaya?
9. Bagaimana proses pernikahan masyarakat Desa Mekarjaya setelah terjadi
perceraian di luar Pengadilan Agama?
69
C. PELAKU PERCERAIAN
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undangan-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai di luar Pengadilan Agama?
7. Menurut anda, apakah sah bercerai di luar Pengadilan Agama?
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
10. Bagaimana proses pernikahan kedua anda yang tercatat di KUA sedangkan
telah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
70
HASIL WAWANCARA
NAMA : Adung
JABATAN : Sekertaris Desa Mekarjaya
HARI/WAKTU : Rabu, 2 Januari 2019/ 14.00 WIB
TEMPAT : Puskesmas Pembantu Desa Mekarjaya
1. Bagaimana Sejarah Desa Mekarjaya?
Jawab: Desa Mekarjaya adalah pemekaran dari Desa Cidokom. Pemekaran
sudah direncanakan dari tahun 2010, resmi mekar pada tahun 2012 dan
langsung diadakan pemilihan Kepala Desa. Dari hasil pemilihan, terpilihlah
bapak Cecep Ropiudin sebagai kepala desa dan sekarang menjabat 2 periode
2. Jika warga bercerai apakah ada laporan ke pihak desa?
Jawab: Warga Desa Mekarjaya yang becerai tidak ada laporan ke desa dan
hanya diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakat karena perceraiannya tidak
melalui pengadilan. Jadi dianggap cukup oleh yang bersangkutan cerai hanya
melalui jalan kekeluargaan dan pihak desa tidak mempunyai data perceraian
warga desa.
3. Bagaimana menurut pendapat anda tentang perceraian di luar Pengadilan
Agama/ perceraian yang dilakukan hanya didepan Tokoh Agama dan
Keluarga kedua belah pihak?
Jawab: Sebetulnya kurang bagus, bahkan tidak bagus karena harusnya
perceraian tersebut diketahui oleh pemerintah untuk kepentingan
administrasi. Tapi langkah masyarakat belum sampai situ karena prosesnya
yang sulit jadi cukup melalui jalan kekeluargaan.
4. Faktor apa saja yg membuat mereka bercerai diluar Pengadilan Agama?
Jawab: Alasannya karena pemahaman masyarat yang kurang, proses yang
sulit dan lama, jarak yang jauh dari rumah ke Pengadilan, dan masyarakat
menilai perceraian itu bukan hal yang baik karena pada umumnya mereka
bercerai karena berselisih paham dan tidak ada yg mau bercerai secara baik-
baik.
71
5. Apakah perceraian diluar Pengadilan Agama sudah menjadi budaya di Desa
Mekarjaya?
Jawab: Iya sudah menjadi tradisi karena dari dulu tidak ada yang bercerai
melalui pengadilan
6. Apakah orang yang bercerai diluar Pengadilan Agama bisa menikah lagi di
desa ini?
Jawab: Kalau dibilang bisa nikah lagi atau tidak, pasti bisa.
7. Pernikahannya dilakukan secara resmi atau tidak?
Jawab: Ada yang menikah secara agama saja, tapi mayoritas menikah resmi
terdaftar di KUA.
8. Apakah ada ketelibatan pihak desa dalam proses perceraian masyarakat dan
pernikahan selanjutnya setelah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Untuk proses perceraian tidak ada, tetapi untuk pernikahan
selanjutnya secara resmi pihak desa terlibat membantu mengeluarkan surat-
surat adminitrasi yang dibutuhkan guna pernikahan tersebut.
Bogor, 2 Januari 2019
Informan
Adung
72
NAMA : Mad Enur
JABATAN : Tokoh Masyarakat
HARI/WAKTU : Senin, 22 oktober 2018/ 20.00 WIB
TEMPAT : Kediaman Bapak Mad Enur
1. Berapa lama anda tinggal di desa ini?
Jawab: Dari kecil saya sudah tinggal di desa ini
2. Bagaimana sejarah Desa Mekarjaya?
Jawab: Tahun 2012 mekar dari Desa Cidokom melalui forum tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang mengajukan pemekaran tersebut.
Sedangkan pemilihan nama desa melalui mekanisme pengajuan setiap
kampung menyodorkan nama yang akan disepakati dan akhirnya disepakati
nama menjadi Desa Mekarjaya Ada juga kesepakatan penambahan nama
kampung.
3. Apakah ada perceraian yang disaksikan oleh anda?
Jawab: Ada
4. Bagaimana proses perceraian di Desa Mekarjaya?
Jawab: Pada umumnya masyarakat Desa Mekarjaya melakukan perceraian
cukup melalui jalan kekeluargaan dan menggunakan surat yang yang
dibubuhi tanggal dan tanda tangan diatas materai yang disebut surat kinayah
sebagai bukti telah jatuh talak satu sampai talak tiga, namun pada umumnya
talak satu. Perceraian tersebut dihadiri oleh wali dan saksi dari pihak
keluarga, ada juga yang disaksikan oleh aparat setempat seperti ketua RT,
ketua RW, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ada juga proses serah terima
dimana pihak suami berkata “jika sudah tidak ada jodoh, saya pasrahkan dan
kembalikan anak bapak dari atas ujung rambut sampai bawah ujung kaki
karena sudah tidak ada jodoh”. Jika diterima oleh wali, maka dilampirkan
surat kinayah tersebut.
5. Bagaimana hukum perceraian tersebut?
Jawab: Secara agama sudah jelas sah, secara administrasi mungkin tidak
73
6. Apa faktor masyarakat Desa Mekarjaya bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Salah satunya karena faktor ekonomi, jika harus menghabiskan biaya
berjuta-juta untuk bercerai, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya menikah
lagi
7. Bagaimana menurut pandangan anda mengenai perceraian di luar Pengadilan
di Desa Mekarjaya?
Jawab: Tidak apa-apa karena sudah banyak contoh. Kecuali ada gugatan dari
pihak perempuan dan pihak perempuan mau membiayai biaya perceraian
tersebut.
8. Apakah perceraian diluar Pengadilan Agama sudah menjadi budaya di Desa
Mekarjaya?
Jawab: Sudah menjadi budaya di kampung, bahkan setiap kampung yang ada
di desa bercerai di luar Pengadilan Agama kecuali kecuali warga tersebut
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang harus ada peceraian resmi
9. Bagaimana proses pernikahan masyarakat Desa Mekarjaya setelah terjadi
perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawab: jika ingin menikah lagi dan tercetat di KUA, ada dua cara. Pertama,
jika laki-laki/perempuan tersebut berumur dibawah 30 tahun dan belum
mempunyai anak, maka statusnya dimanipulasi menjadi perjaka/perawan lagi.
Karena jika dibuat statusnua duda/janda cerai talak/gugat, maka harus ada
akta perceraian. Kedua, jika laki/perempuan tersebut sudah punya anak, maka
statusnya dimanipulasi menjadi duda/janda cerai mati atas dasar persetujuan
pihak keluarga. Misalnya perempuan ingin menikah lagi maka mantan
suaminya dimatikan statusnya untuk mempermudah proses pernikahan. Surat
kuning/surat kematian diperoleh dari pihak desa karena yang berwenang
mengeluarkan surat kematian adalah pihak desa. Surat kematian tersebut
dilampirkan ketika mengajukan pernikahan ke KUA Setelah itu proses
pernikahannya berjalan seperti biasa. Pada umumnya di perkampungan,
proses pernihakan dari mulai pendaftaran sampai menikah diurus oleh aparat
setempat seperti RT. Jadi orang yang akan menikah tinggal menunggu beres.
74
Bogor, 22 Oktober 2018
Informan
Mad Enur
75
NAMA : Dini Oktaviani
JABATAN : Pelaku Perceraian
HARI/WAKTU : Senin, 31 Desember 2018/ 16.00
TEMPAT : Kediaman Ibu Dina Oktaviani
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
Jawab: Resmi dan tercatat di KUA
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab: 2 Tahun
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
Jawab: Karena KDRT pihak suami dan suami tidak jujur dalam masalah
ekonomi
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undang-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
Jawab: Iya tahu
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai diluar Pengadilan Agama?
Jawab: Karena tempat tinggal saya jauh dari Pengadilan Agama dan tidak ada
biayanya
7. Menurut anda, apakah sah bercerai diluar Pengadilan Agama?
Jawab: Kalau menurut hukum islam sah, tapi tidak tau kalau menurut
pemerintah
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
Jawab: Nafkah iddah tidak dapat sama sekali. Nafkah anakpun sekedarnya.
Adapun nafkah bersama tidak dapat apa-apa karena semua harta dibawa
semua oleh suami, bahkan pakaian sayapun semuanya diambil suami.
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
76
Jawab: Sudah. Iya tercatat
10. Bagaimana proses pernikahan kedua anda yang tercatat di KUA sedangkan
telah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak tahu karena diurus sama ketua RT, tapi kemungkinan status
perceraiannya dibuat cerai mati
Bogor, 31 Desember 2018
Informan
Dini Oktaviani
77
NAMA : Mahmudiyah
JABATAN : Pelaku Perceraian
HARI/ WAKTU : Senin, 31 Desember 2018/ 14.00 WIB
TEMPAT : Kediaman Ibu Mahmudiyah
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
Jawab: Iya resmi
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab: 9 tahun
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
Jawab: Adanya kekerasan dalam rumah tangga, kalau faktor yang lain tidak
ada, karena ekonomi pun mencukupi
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undangan-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
Jawab: Tahu
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak melalui Pengadilan Agama
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Karena tidak ada biaya, karena bercerai di Pengadilan harus ada biaya
dan dari pihak laki-laki tidak mau, padalah saya siap saja jika harus bercerai
di Pengadilan Agama
7. Menurut anda, apakah sah bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Sah menurut Hukum Islam. Tapi mungkin tidak sah menurut
pemerintah
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
Jawab: saya menerima nafkah iddah selama masa iddah 3 bulan tersebut,
nafkah anak disatukan dengan nafkah iddah. Sedangkan harga bersama tidak
dapat, semua harta dibawa oleh suami.
78
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
Jawab: Sudah, tercatat
10. Bagaimana proses pernikahan kedua anda yang tercatat di KUA sedangkan
telah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Status percerainya dibuat cerai mati, hal yang sama juga dilakukan
pihak laki-laki jika dia ingin menikah lagi, sedangkan untuk mendapat surat
nikah harus menunggu waktu 7 bulan karena statusnya dibuat cerai mati.
Bogor, 31 Desember2018
Informan
Mahmudiyah
79
NAMA : Neneng fauziyah
JABATAN : Pelaku Perceraian
HARI/ WAKTU : Senin, 31 Desember 2018/ 17.30
TEMPAT : Kediaman Ibu Neneng Fauziyah
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
Jawab: Resmi
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab: 5 tahun
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
Jawab: intinya karena ada orang ketiga. walaupun ada kekerasan dalam
rumah tangga, tapi itu bukan pertimbangan untuk bercerai karena saya ada
anak. Kasian anak saya kalau sampai bercerai.
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undangan-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak tahu
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak, hanya secara kekeluargaan, itu juga talaknya disampaikan
kepada orang tua saya, bahkan saya tidak tahu kalau sudah diceraikan
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak mengerti, namanya juga di kampung
7. Menurut anda, apakah sah bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: kalau menurut saya sah-sah saja
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
Jawab: Tidak dapat, nafkah anak juga tidak dapat baik bulanan mupun
tahunan. Harta bersama juga tidak dapat, semuanya diambil suami. Saya tidak
diberikan apa apa oleh suami walaupun punya motor dan lain-lain
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
80
Jawab: Sudah, tidak tercatat
Bogor, 31 Desember 2018
Informan
Neneng Fauziyah
81
NAMA : Siti Apiah
JABATAN : Pelaku Perceraian
HARI/ WAKTU : Selasa, 1 Januari 2019/ 21.00 WIB
TEMPAT : Kediaman Ibu Siti Apiah
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
Jawab: Tercatat
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab: 7 bulan
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
Jawab: Karena ditinggal pergi suami tanpa ada kabar
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undangan-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
Jawab: Tahu, karena saya pernah melihat berita perceraian di televisi.
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Karena tidak tahu suaminya kemana dan biasanya diampung juga
tidak ada yang bercerai di Pengadilan Agama. Jadi saya mengikuti yang lain.
7. Menurut anda, apakah sah bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Sah-sah saja
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
Jawab: Saya tidak dapat nafkah iddah dan saya juga belum punya anak. Harta
bersamapun tidak punya karena usia pernikahan saya hanya 7 bulan.
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
Jawab: Sudah, tercatat
10. Bagaimana proses pernikahan kedua anda yang tercatat di KUA sedangkan
telah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
82
Jawab: saya tidak mengerti, karena pernikahannya diurus sama tokoh disini
dan ketika menikah saya dapat buku nikah.
Bogor, 1 Januari 2019
Informan
Siti Apiah
83
NAMA : Lilis Triani
JABATAN : Pelaku Perceraian
HARI/ WAKTU : Selasa, 1 Januari 2019/ 20.00
TEMPAT : Kediaman Ibu Lilis Triani
1. Apakah pernikahan anda secara resmi tercatat di KUA?
Jawab: Iya resmi, saya dapat buku nikah dari KUA
2. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab: 1 tahun 6 bulan
3. Faktor apa yang membuat anda bercerai?
Jawab: banyak masalah dalam rumah tangga saya dan sudah tidak ada
kecocokan lagi
4. Apakah anda mengetahui bahwa ada Peraturan Undangan-Undang yang
mengharuskan bercerai di Pengadilan Agama?
Jawab: Tahu
5. Apakah perceraian dilakukan di Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak melalui Pengadilan Agama
6. Jika tidak, apa alasan anda bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Karena tidak disuruh sama aparat setempat, kalau di kota bnyak yang
cerai di Pengadilan Agama, tapi kalau di kampung masih jarang. Kalau cerai
ya cerai aja tidak pakai sidang, cukup pakai surat talak (Kinayah) yang dibuat
ketika bercerai.
7. Menurut anda, apakah sah bercerai di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Kalau menurut Agama sah karena sudah keluar ikrar talak. Tapi kalau
menurut pemerintah mungkin masih diragukan sah atau tidaknya secara
hukum
8. Apakah anda menerima nafkah iddah, nafkah anak, dan pembagian harta
bersama yang jelas?
84
Jawab: nafkah iddah saya tidak dapat. Nafkah anak juga tidak ada. Anak juga
cuma setahun sekali dapatnya. Sedangkan kalau nafkah bersama tidak ada
yang dibagi karena tidak punya harta apa-apa
9. Apakah anda sudah menikah lagi dan Pernikahan anda yg kedua tercatat di
KUA?
Jawab: Sudah. Iya tercatat walaupun saya tidak ke KUA karena diurus oleh
aparat setempat
10. Bagaimana proses pernikahan kedua anda yang tercatat di KUA sedangkan
telah terjadi perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawab: Tidak tahu, karena sudah dipasarahkan kepada pengurus (aparat
setempat)
Bogor, 1 Januari 2019
Informan
Lilis Triani
85
DOKUMENTASI WAWANCARA
Foto Peneliti dengan Bapak Adung (Sekertaris Desa Mekarjaya) di Puskesmas
Pembantu Desa Mekarjaya
86
Foto Peneliti dengan Bapak Mad Enur (Tokoh Masyarakat Desa Mekarjaya) di
Kediaman Bapak Mad Enur
87
DOKUMENTASI WAWANCARA
Foto Peneliti dengan Ibu Dini Oktaviani (Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama) di Kediaman Ibu Dini Oktaviani
88
Foto Peneliti dengan Ibu Neneng Fauziyah (Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama) di Kediaman Ibu Neneng Fauziyah
89
DOKUMENTASI WAWANCARA
Foto Peneliti dengan Ibu Lilis Triani (Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama) di Kediaman Ibu Lilis Triani
90
Foto Peneliti dengan Ibu Siti Apiah (Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama) di Kediaman Ibu Lilis Triani
91
DOKUMENTASI WAWANCARA
Foto Peneliti dengan Ibu Mahmudiyah (Pelaku Perceraian di Luar Pengadilan
Agama) di Kediaman Ibu Mahmudiyah