perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIUM BERDASARKAN JENIS IMUNOGLOBULIN
PADA PENDERITA DEMAM
BERDARAH DENGUE
Oleh :
Dr. Sudaryono
S.9607019
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam berdarah (DB) dan demam berdarah dengue (DBD) hingga kini
masih merupakan masalah serius bagi pemerintah maupun masyarakat di
Indonesia. Sejak penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968,
penyakit ini meluas ke seantero wilayah Indonesia dan sering terjadi kejadian luar
biasa. Pada tahun 2006,tercatat 113.640 kasus DBD di Indonesia dengan jumlah
kematian 1184 (Kusriarti, 2007). Di Surakarta, jumlah kasus DBD pada anak-anak
yang dirawat di RS Dr.Moewardi pada tahun 2007 sebanyak 216 dan yang
meninggal adalah 8 orang , sedangkan pada orang dewasa jumlah penderita 112
orang dan yang meninggal 1 orang. Dari bulan januari sampai maret 2008 jumlah
kasus DBD pada anak-anak sebanyak 89 kasus, meninggal 2 orang dan pada
orang dewasa jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang (Guntur, 2008).
Demam berdarah dengue masih menjadi perhatian besar oleh karena
morbiditasnya yang masih tinggi, penyebarannya yang luas, dan pengetahuan
masyarakat terhadap penyakit ini yang masih rendah. Beberapa masalah klinis
timbul pada pasien rawat jalan oleh karena sulitnya memprediksi apakah akan
menjadi dengue klasik, DBD atau DBD dengan syok. Adanya keterbatasan
pemeriksaan diagnostik untuk menentukan adanya kebocoran plasma yang
berkaitan dengan tidak adanya biaya lebih menyulitkan untuk menegakkan
diagnosis, dilain pihak juga tidak ada data tentang nilai hematokrit yang normal
untuk masing-masing populasi berdasarkan usia dan jenis kelamin atau masing-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
masing individu sehat dan pasien yang keluar rumah sakit sebelum fase yang
normal (Guntur, 2008). Beberapa hal memerlukan perhatian serius. Pertama,
penyakit ini semula terjadi di seputar musim penghujan tetapi kini hampir pada
setiap situasi di berbagai daerah masih terjadi kasus demam berdarah dengue.
Kedua, adanya potensi pergeseran umur penderita demam berdarah dengue dari
anak ke dewasa. Ketiga, tingkat keseriusan penderita demam berdarah dewasa
yang juga semakin tinggi sehingga tidak sedikit yang mengancam jiwa
(Nasronudin, 2007).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat bervariasi. Spektrum
variasinya sedemikian luas mulai dari asimtomatis, demam ringan yang tidak
spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, hingga sindrom syok dengue,
serta ensefalopati dengue. Dalam penatalaksanaan sehari-hari juga dihadapkan
berbagai problem, selain diagnostik klinis saat penderita masuk rumah sakit, juga
problem untuk meramalkan atau menentukan perjalanan penyakit DBD, akankah
bermanifestasi ringan yang cepat sembuh dan segera berobat jalan, atau justru
memberat dan terjadi komplikasi-komplikasi yang berakibat fatal, atau terdapat
problem lain yaitu terjadi koinsiden dengan penyakit lain seperti hepatitis virus,
malaria, pneumonia, terutama pada penderita-penderita dengan kondisi
imunokompromais,misalnya pada pasien usia lanjut, gagal ginjal kronis, diabetes
melitus, dan sirosis hepatik (Hadi, 2007).
Berbagai faktor terlibat sehubungan masih tingginya angka kejadian dan
kematian akibat DBD. Pertama, faktor virus dengue yang akhir-akhir ini potensial
mengalami mutasi genetik ke arah lebih virulen yang menyebabkan tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
keseriusan penderita DBD dewasa semakin berat. Kedua, vektor nyamuk aedes
aegypti potensial mengalami perubahan gaya hidup yang cenderung menjadi lebih
ramah lingkungan. Ketiga, bagaimana respons imun host, apakah ada perubahan
dalam sistem kekebalan alamiah dan kekebalan didapat dalam memberikan
respons terhadap virus dengue (Nasronudin, 2007)
Walaupun sudah beberapa dekade dilakukan penelitian, patogenesis infeksi
virus dengue masih belum dipahami dengan baik. Beberapa hipotesis telah
dirumuskan untuk menjelaskan terjadinya DBD dan syok pada DBD. Teori
antibody-dependent enhancement (ADE) pada infeksi dengue merupakan hipotesis
yang paling diterima secara luas. Meskipun demikian,telah dibuat spekulasi juga
bahwa viremia memainkan peranan penting dalam patogenesis infeksi dengue
berat (Koraka dkk.,2001). Pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien DBD
yang dirawat di Rumah Sakit Siti Hajar Mataram pada tahun 2005, didapatkan
pasien dengan infeksi primer yang mengalami syok sebesar 6 %, sedangkan pada
pasien dengan infeksi sekunder syok terjadi pada 20 % pasien (Taufik dkk.,
2007).
Teori antibody-dependent enhancement memprediksikan bahwa individu
yang sebelumnya secara imunologis telah tersensitisasi terhadap satu serotipe
virus dengue akan membentuk antibodi non netralisasi yang akan memperhebat
masuknya virus dengue dengan serotipe yang berbeda (pada infeksi dengue yang
kedua) pada fagosit mononuklear, meningkatkan aktifasi komplemen dan kinin,
dan pelepasan berbagai mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular. Teori ini didukung oleh investigasi laboratorium dan beberapa penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
yang menunjukkan bahwa pada wabah sebagian besar penderita DBD
menunjukkan gambaran respon imun sekunder (Halstead,1989). Meskipun
demikian, kasus DBD juga dilaporkan pada penderita dengan infeksi dengue
primer (Gubler,1992). Semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa di suatu daerah lebih banyak virus
dengue 3, di daerah lain virus dengue 2, sedangkan virus dengue 1 dan virus
dengue 4 lebih jarang (Sutaryo, 2005).
Kami ingin meneliti perbedaan manifestasi klinis penderita DBD dengan IgM
positif dan IgG negatif antidengue, IgM negatif dan IgG positif antidengue, dan
IgM dan IgG positif antidengue pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit
Dr.Moewardi Surakarta.
1.2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium
antara penderita DBD dengan IgM positif dan IgG negatif antidengue, IgM
negatif dan IgG positif antidengue, dan IgM dan IgG positif antidengue pada
pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium antara penderita DBD
DBD dengan IgM positif dan IgG negatif antidengue, IgM negatif dan IgG positif
antidengue, dan IgM dan IgG positif antidengue pada pasien yang dirawat di
Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1.4. Manfaat Penelitian
Teoritis : Mengetahui hubungan antara respon imunopatologi pada
DBD dengan manifestasi klinis dan laboratorium.
Praktis : Dapat memberikan kontribusi terhadap pengelolaan pasien DBD
yang dirawat di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk
menurunkan angka kematian pasien DBD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue
2.1.1. Karakteristik Virus Dengue
Virus dengue termasuk virus RNA, genus flavivirus, termasuk famili
flaviridae. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
protektif seumur hidup untuk serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk
serotipe yang lain. Keempat serotipe virus tersebut ditemukan di berbagai daerah
di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan
ada hubungannya dengan kasus-kasus berat pada saat terjadi kejadian luar biasa
(Monath, 1991; Hadi, 2007)
Virus dengue mempunyai diameter envelope 40-60 nm dan mengandung
RNA untai tunggal (ssRNA). Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di
dalam cisternae retikulum endoplasma. Genom untai tunggal, tidak bersegmen.
Klasifikasi famili virus terutama tergantung pada jenis untaian maupun ukuran
asam nukleat (Noisakran dkk., 2007). Virus dengue termasuk dalam kelompok
virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta masa viremia
yang pendek, sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi virus sangat
bergantung kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan (Soegijanto, 2006)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Gambar 2.1 Virus dengue matur dengan pemeriksaan cryoelectron microscopy
(Kuhn dkk., 2002)
Pada virus dengue terdapat sekitar 10.700 basa di dalam genomnya. Di
dalam genom terdapat sebuah single open reading frame (SORF) yang mengkode
2 macam protein yaitu protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural
terdiri atas protein C (core), M (membrane), Prm (premembrane) dan E
(envelope). Protein nonstruktural terdiri atas 7 macam yaitu NS1, NS2a, NS2b,
NS3, NS4a, NS4b, NS5. Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa
fungsi penting. Fungsi utama adalah mempermudah perpindahan asam nukleat
virus dari sel host satu ke sel host yang lain. Protein ini juga berperan melindungi
gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus dan melengkapi partikel virus untuk
intervensi sel yang rentan. Respons imunitas host secara langsung akan melawan
faktor antigen protein atau glikoprotein virus yang tidak terlindungi di permukaan
partikel virus (Aryati, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Gambar 2.2 Struktur genom virus dengue. Protein struktural terdiri dari C, prM,
dan E. Protein non struktural terdiri dari 1,2A, 2B, 3, 4A, 4B, dan 5
(Noisakarn dan Perng, 2008)
Protein NS1 bukan bagian dari struktur virion, tapi diekspresikan pada
permukaan sel yang terinfeksi. NS1 adalah protein nonstruktur berupa glikoprotein
yang fungsinya belum jelas diketahui. Meskipun demikian, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa glikoparotein non struktural ini berperan dalam replikasi
RNA virus (Sekaran dkk., 2007; Utama, 2007). NS2 memiliki 2 protein (NS2A
dan NS2B) yang berperan pada proses proses poliprotein sedangkan NS3 berperan
sebagai serine proteinase. Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofob yang berperan
pada kompleks replikasi membran RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan
merupakan petanda protein Flavivirus (Utama, 2007)
Virus dengue ditularkan lewat gigitan nyamuk aedes. Ada bebreapa spesies
yang dapat berlaku sebagai vektor yaitu a.aegypti, a.albopictus, a.polynesiensis
dan a.ascutellaris. Nyamuk Aedes dapat menularkan virus dengue kepada
manusia, baik secara langsung (setelah menggigit orang yang sedang dalam fase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
viremia), maupun secara tidak langsung, setelah melewati masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Manusia bersifat infektif
hanya pada saat viremia saja (5-7 hari), tetapi nyamuk dapat infektif selama
hidupnya. Masa inkubasi penyakit infeksi ini 3-15 hari (rata-rata 7-10 hari)
(Monath, 1991; Sanford,2006; Hadi, 2007).
2.1.2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Beberapa hipotesa telah diajukan untuk menjelaskan mengapa
DBD terjadi pada sebagian individu yang terinfeksi virus dengue. Beberapa
hipotesa tersebut adalah (Gubler, 1992):
1. Perubahan atau perbedaan virulensi antara keempat serotipe virus dengue, atau
antara strain dari serotipe virus yang sama.
2. Interaksi antara virus dengue dengan lingkungan atau agen infeksius
lainnya.
3. Perbedaan kerentanan genetik atau faktor lain yang terdapat pada individu
yang terinfeksi.
4. Immunologic enchancement infeksi virus dengue oleh antibodi yang terbentuk
dari infeksi sebelumnya oleh serotipe dengue yang berbeda.
Teori virulensi virus didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang akan
terkena virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan virulensi virus cukup
kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Hal ini berdasarkan fakta yang ada
bahwa semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal. Artinya semua virus
dapat saja membuat kematian (Sutaryo, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Polimorfisme genetik juga berperan dalam mekanisme imunopatologi pada
patogenesis DBD (Sierra dkk.,2007). Adanya transmisi endemik beberapa serotipe
virus dengue di Haiti namun tidak ditemukan kasus DBD dan dengue syock
sindrome (DSS), selain berdasarkan pengamatan bahwa orang kulit hitam lebih
jarang dirawat di rumah sakit dengan DBD dan DSS daripada orang kulit putih
selama epidemi di Kuba,memunculkan hipotesis bahwa faktor genetik manusia
turut berperan terhadap kerentanan individu terhadap DBD dan DSS. Beberapa
polimorfisme genetik tersebut dapat melindungi atau sebaliknya menyebabkan
individu menderita DBD dan DSS (Wagenaar dkk.,2004).
Sejumlah penelitian menemukan variasi pada gen human leukocyte antigen
(HLA) dan beberapa gen lainnya berhubungan dengan beratnya infeksi virus
dengue. Beberapa produk gen HLA kelas I dan II berperan penting. Pada
penelitian di Thailand, HLA-A2 berkaitan dengan manifestasi infeksi dengue
yang lebih berat, sedangkan HLA-A0203 berkaitan dengan manifestasi yang lebih
ringan. Human leukocyte antigen yang terletak pada kromosom 6, mengkode
major histocompatability complex (MHC) yang akan membawa protein antigen
pada reseptor antigen limfosit T untuk mengaktifkan respon imun seluler. Dua
polimorfisme alel non-HLA yaitu reseptor Fc γ receptor II (Fc γ RII) dan vitamin
D receptor (VDR) juga berperan (Wagenaar dkk.,2004). Monosit dan sel-sel
sistem imun lainnya yang mengekspresikan Fc γ RII merupakan target penting
infeksi virus dengue. Oleh karena itu, polimorfisme gen Fc γ receptor ikut
menentukan beratnya manifestasi infeksi virus dengue (Sierra dkk.,2007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Sedangkan menurut teori imunopatologi, kalau seseorang mendapat infeksi
primer dengan satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder
dengan jenis serotipe virus yang lain maka mempunyai risiko lebih besar besar
akan terjadi infeksi yang berat. Halstead mengajukan hipotesis secondary
heterologous infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang
terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan
reaksi anamnestik antibodi sehingga menyebabkan konsentrasi kompleks imun
yang tinggi (Suhendro dkk., 2006).
Gambar 2.3 Hipotesis secondary heterologous infection (Dikutip dari Suhendro
dkk., 2006)
Teori yang kini dianut luas adalah teori immunologic enchancement atau
antibody dependent enhancement (ADE). Berdasarkan teori ini, bila ada antibodi
yang spesifik untuk satu jenis virus maka antibodi tersebut dapat mencegah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
penyakit oleh virus tersebut, tetapi kalau didalam tubuh seseorang terdapat
antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut justru dapat menimbulkan
manifestasi penyakit yang berat. Pada infeksi dengue didapatkan kedua tipe
antibodi tersebut. Yang pertama antibodi yang dapat menetralisir virus secara
spesifik, sedang yang kedua antibodi non neutralisasi yang memacu replikasi
virus. Teori infection enhancing antibody berdasar pada peran sel fagosit
mononuklear merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi
(Soegijanto, 2006). Virus mempunyai target serangan yaitu pada sel fagosit
seperti makrofag, monosit, dan sel kupfer. Antigen virus dengue lebih banyak
terdapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang
tinggal menetap di jaringan. Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non
neutralisasi, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya
sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel yang terinfeksi akan menjadi aktif dan
mengeluarkan pelbagai substansi sitokin proinflamasi dan tromboplastin yang
akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi faktor koagulasi
(Sutaryo, 2005).
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantaraan gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Masa inkubasi 3-15 hari (rerata 7-10
hari). Begitu memasuki tubuh, virus dengue ikut dalam sirkulasi sistemik dan
berusaha menemukan sel target. Makrofag merupakan sel target utama infeksi
virus dengue. Sebelum mencapai makrofag, virus dengue akan dihadang oleh
respons imun. Masuknya virus dengue akan direspons melalui mekanisme
pertahanan nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik akan melibatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pertahanan humoral dan seluler. Imunitas spesifik melalui respons limfosit timbul
lebih lambat (Nasronudin, 2007a).
Respons imun berusaha membatasi virus dengue mencapai sel target.
Salah satu upaya tubuh untuk menghadapi kehadiran virus dengue dilakukan oleh
komplemen. Dampak hiperaktivitas komplemen selain berpengaruh terhadap
endotel dan permeabilitas veskuler juga meningkatkan produksi dan sekresi
histamin, sehingga tidak jarang penderita DBD disertai keluhan gatal-gatal. Selain
komplemen, upaya mencegah internalisasi virus ke sel target juga dilakukan oleh
interferon-α (IFN-α) dan interferon-β (IFN-β) sehingga repiklasi virus dengue
dapat ditekan. Meskipun demikian bila kinerja komplemen, IFN-α dan IFN-β
serta berbagai sistem imun lain tidak efektif, maka virus dengue juga akan
berhasil mencapai makrofag (Nasronudin, 2007a).
Makrofag yang terpapar virus dengue mengalami aktivasi sehingga
meningkatkan produksi dan sekresi sitokin proinflamasi. Sekitar satu jam sejak
internalisasi virus dengue dalam makrofag terjadi aktivasi gen NFκB sehingga
terjadi peningkatan produksi dan sekresi interleukin-1β (IL-1β), kemudian diikuti
dengan peningkatan produksi dan sekresi tumor nekrosis factor-α (TNF-α) dan
interleukin-6 (IL-6) pada satu jam berikutnya. Melalui perantaraan reseptor Fc,
akan terjadi interaksi dan komunikasi lebih efektif antara makrofag dan limfosit T.
Sel T juga memproduksi dan mensekresi sitokin proinflamasi sehingga semakin
banyak mediator dan sitokin yang terlibat. Interleukin-1β akan menyebabkan
malfungsi endotel dan TNF-α akan menyebabkan destruksi endotel. Keadaan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mendorong perpindahan plasma
dari intravaskuler ke ekstravaskuler (Halstead, 2004; Sutaryo, 2005).
Hiperaktivitas makrofag yang dipicu oleh virus dengue juga menyebabkan
peningkatan produksi dan sekresi enzim PLA2. Enzim PLA2 dalam sirkulasi
darah akan memicu metabolisme asam arakhidonat, melalui jalur siklooksigenase,
sehingga terjadi peningkatan sintesis prostasiklin (PGI2), PGE2, tromboksan A2,
dan leukotrien. Sejalan dengan dampak metabolik akibat intervensi virus dengue
tersebut, terjadi tuntutan terhadap mitokondria untuk meningkatkan produksi
ATP guna memenuhi kebutuhan tubuh yang berada dalam kondisi hipermetabolik.
Efek samping dari produksi ATP berlebih tersebut adalah terbentuknya radikal
bebas. Radikal bebas dengan kadar berlebih juga berkontribusi terhadap terjadinya
kerusakan endotel. Radikal bebas yang berlebih tersebut juga bertindak sebagai
induktor terjadinya pembukaan mitochondrial permeability transition pore
(MPTP). Melebarnya celah MPTP memungkinkan radikal bebas masuk melalui
membran dalam (inner membrane) mitokondria dengan diikuti peningkatan
mobilitas kalsium ke intraseluler dan mendorong terjadinya peningkatan aktivitas
enzim proteolitik dan caspase 8,9, dan 3 sehingga terjadi fragmentasi DNA inti
dan kematian sel melalui apoptosis. Akhirnya secara bertubi-tubi endotel
mendapat terpaan sitokin proinflamasi, PLA2 dan radikal bebas yang secara
simultan akan menyebabkan malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel. Dalam
situasi seperti ini permeabilitas vaskuler terbuka lebar sehinnga terjadi terjadi
perpindahan plasma, selain juga terjadi gangguan elastisitas dinding vaskuler.
Malfungsi, disfungsi, dan destruksi endotel serta menurunnya kelenturan vaskuler
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
akan menentukan kondisi klinis penderita dengan berbagai gradasi beratnya
penyakit DBD yaitu derajat I, II, III, dan IV (Nasronudin, 2007a).
Respons imun humoral terhadap infeksi dengue terjadi dengan terbentuknya
antibodi. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Antibodi
terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5
meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah
60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh
karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14
sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada demam hari kedua.
Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder
dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG yang cepat
(Sathish dkk., 2003; Roche dkk., 2005; Mulyono, 2007; Anonim, 2009)
Gambar 2.4 Profil serologi infeksi dengue (Anonim, 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Antibodi terhadap virus dengue dapat dibagi menjadi dua :
1. Antibodi netralisasi (neutralizing antibodies), bersifat serotipe spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus yang sama berikutnya.
2. Antibodi non-netralisasi, yang dapat meningkatkan beratnya infeksi
berikutnya dengan serotipe yang berlainan, yang berperan dalam patogenesis
DBD dan syok.
Pada infeksi primer terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoklonal antibody terhadap NSI, Pre-M dan NS3 dari
virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus
tersebut melalui netralisasi atau aktivasi komplemen. Akhirnya virus dilenyapkan
dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur
hidup terhadap serotipe virus yang sama tersebut (Soegijanto, 2006).
Pada infeksi yang kedua oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda
terjadi proses sebagai berikut (Halstead, 2004; Soegijanto, 2006) :
1. Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell
(APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari
mayor histocompatibility complex (MHC II) A.
2. Antigen yang bermuatan peptide MHC II akan berikatan dengan CD4 (TH-1
dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR). Sebagai usaha tubuh
untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu IFN-γ, II-2
dan colony stimulating factor (CSF). Interferon-γ akan merangsang makrofag
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
untuk mengeluarkan IL-I dan TNF-α. Sedangkan CSF akan merangsang
neutrofil untuk beradesi dengan endotel dan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksid yang
termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria dan siklus GMPs. Akibatnya endotel menjadi nekrosis, sehingga
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadi
gangguan vaskuler.
3. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus
sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+. Limfosit akan teraktivasi yang
bersifat sitolitik, sehingga sel yang mengandung virus dihancurkan.
4. Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya antibodi non-netralisasi maka
partikel virus dengue dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-
antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc-γ pada sel
makrofag melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue.
5. Tumor necrosis factor-α akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan plasma ke dalam jaringan tubuh yang
disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan
syok.
6. Kompleks virus-antibodi (kompleks imun) yang terbentuk juga akan
merangsang komplemen, yang kemudian akan mengeluarkan bahan mediator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
C3a dan C5a. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Mekanisme imunopatologi tersebut dapat lebih dijelaskan sesuai gambar
berikut:
LPS bp
CD 14
IL 6
TNF ‐
IL ‐1
IL 8
APC
CD 4+ TCR
IFN ‐
SUPER ANTIGEN
IL ‐ 10 IL ‐ 4IL ‐ 5IL ‐ 6
Ig
NO ICAM ‐1
α
γ
IMUNOPATOGENESIS
TH ‐ 2TH ‐ 1B cell
CD 8+
LPS
IL‐2
CSF
Compl.
N ∅
NK
(Guntur, 2000)
C3a, C5a
PGE 2
TLR 4
TLR2
C7a MHC II
PAI‐1
Gambar 2.5 Imunopatologi (Guntur,2001)
Profil sekresi sitokin membedakan aktivasi sel T helper (Th) 1 atau sel T
helper (Th) 2. Sel Th1 mensekresikan IFN-γ, IL-2 dan TNF-β. Sel Th2
mensekresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 dan merangsang produksi
antibodi sel B. Pengaturan silang Th1 dan Th2 terutama diperantarai oleh IL-10
dan IFN- γ. Pada penyakit demam berdarah terjadi pergeseran dari respons sel
Th1 yang dominan pada kasus-kasus DF ke sel Th2 yang dominan pada kasus-
kasus DBD yang berat. Peningkatan kadar IL-4, IL-6 dan IL-10 diamati terutama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dalam kasus-kasus DBD kelas III dan IV. Sebaliknya, kadar IFN- γ dan IL-2
tertinggi pada kasus DF dan rendah pada DBD grade IV. Profil sitokin pada
pasien dengan DF menunjukkan peningkatan kadar IFN- γ danIL-2 dan kadar IL-
4, IL-6 dan IL-10 yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th1. Sedangkan
DBD derajad IV menunjukkan peningkatan kadarIL 4, IL-6 dan IL-10 dan kadar
IL-2 dan IFN- γ yang rendah, khas untuk tipe respons oleh sel Th2. Kadar IL-13
serum yang merupakan sitokin tipikal dari sel Th2, tidak ada pada pasien dengan
DF dan didapatkan tertinggi pada kasus-kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk.,
1999; Chaturvedi dkk.,2000; Chaturvedi dan Nagar, 2008)
Gambar 2.6 Kaskade sitokin yang diinduksi oleh virus dengue. Virus bereplikasi di makrofag dan dipresentasikan oleh makrofag tersebut untuk merekrut sel T CD4 (Chaturvedi dkk.,2000). Makrofag adalah sel utama tempat virus dengue bereplikasi dan
mempresentasikan antigen virus tersebut ke sel CD4. Sel CD4 menghasilkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
sitokin khas yaitu cytotoxic factor (CF), pada tikus disebut mice cytotoxic factor
(CF) dan pada manusia disebut human cytotoxic factor (hCF). Bila hCF dari
serum penderita DBD diinokulasikan ke tikus menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kerusakan sawar darah-otak, menunjukkan peran dalam
patogenisitasnya. Human cytotoxic factor menginduksi makrofag memproduksi
radikal bebas, nitrit, oksigen reaktif dan peroxynitrite. Radikal bebas, selain
membunuh sel-sel target dengan apoptosis, juga langsung meningkatkan produksi
sitokin proinflamasi (IL-1β, TNF-α, IL-8), dan peroksida hidrogen oleh makrofag.
Peningkatan permeabilitas vaskuler disebabkan oleh efek kombinasi dari histamin,
radikal bebas, sitokin proinflamasi, produk dari jalur komplemen, dan lain- lain
(Chaturvedi dkk.,2000)
Pengaturan produksi hCF belum diketahui, apakah oleh jumlah virus, faktor
humoral / sitokin, atau predisposisi genetik. Selain itu juga belum diketahui pasti
apakah sel yang menghasilkan hCF adalah sel Th1, sel Th2, atau subset sel T
CD4 yang lain (Chaturvedi dkk.,2000).
2.1.3. Trombositopenia Pada Demam Berdarah Dengue
Trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan
destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat
endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum
tulang (Sugianto,1994).
Perdarahan pada DBD disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama,
yaitu vaskulopati, kelainan trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan.
Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
trombositopenia, sedangkan pada fase syok dan syok lama, perdarahan disebabkan
oleh trombositopenia, kemudian diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat
koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolisis. Secara
klinis, vaskulopati bermanifestasi sebagai petekie, uji bendung positif,
perembesan plasma, dan elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler.
Penyebab utama dari vaskulopati adalah dikeluarkannya zat anafilotoksin C3a dan
C5a (Nasiruddin, 2006).
Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1
sampai dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Pada saat itu sumsum
tulang tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai
bentuk fase maturasi. Tampaknya,virus secara langsung menyerang mieloid dan
megakariosit. Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia
terutama disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks
imun yang melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran
trombosit oleh sistem retikuloendotelial dalam hati dan limpa, mengakibatkan
trombositopenia . Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh
kerusakan endotel, , antibodi trombosit spesifik, atau koagulasi intravaskular
diseminata (Suhendro, 2006; Nasiruddin, 2006).
Pada pemeriksaan sumsum tulang penderita DBD pada awal demam
terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan pematangan dari semua
sistem hemopoesis, terutama megakariosit. Setelah hari ke-5 sampai ke-8
perjalanan penyakit, terjadi peningkatan cepat eritropoesis dan megakariosit
muda. Pada fase konvalesen pada sumsum tulang terjadi hiperseluler dan terutama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
diisi oleh eritropoesis dengan pembentukan trombosis yang sangat aktif
(Djajadiman,1999)
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi antara antigen virus Dengue
dengan antibodi selain menyebabkan proses terjadinya trombositopenia juga akan
mengaktifkan sistem koagulasi. Proses ini dimulai dari aktivasi faktor XIIa
(hegemen) menjadi bentuk XIIa yang aktif, selanjutnya faktor XIIa akan
mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade
sehingga terbentuk fibrin. Di samping itu aktivasi faktor XII akan menggiatkan
sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Faktor XIIa juga
akan mengaktifkan sistem fibrinolisis melalui proses enzimatis sehingga terjadi
perubahan plasminogen menjadi plasmin, di mana plasmin mempunyai sifat
proteolik dengan sasaran khusus adalah fibrin. Aktivasi sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi
seperti fibrinogen II, V, VII, VIII, IX, dan X, serta plasminogen. Secara klinis
dapat dijumpai gejala perdarahan berat sebagai akibat trombositopenia berat, masa
perdarahan dan masa protombin yang memanjang, penurunan kadar faktor
pembekuan II, V, VII, VIII, IX, dan X bersama dengan hipofibrinogenemia dan
peningkatan produk pemecahan fibrin (Djajadiman,1999).
2.1.4. Gangguan Hepar Pada Demam Berdarah Dengue
Hepar merupakan salah satu organ target infeksi virus dengue.
Hepatomegali terjadi pada 90 % kasus DBD anak dan pada 60 % kasus DBD
dewasa, umumnya timbul pada demam hari ke- 3 – 4. Besarnya hepatomegali
tidak berkorelasi dengan derajat penyakit. Pada 30-90 % kasus terjadi peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
SGOT dan SGPT, dengan peningkatan SGOT lebih tinggi daripada SGPT dan
akan kembali normal setelah 2 minggu (Mulyono,2007).
Virus dengue mampu bereplikasi dalam sel hepar menyebabkan jejas
hepatoselular. Dampak virus Dengue terhadap hepatosit dan sel kupffer melalui
beberapa mekanisme yaitu efek langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek
radikal bebas atau ROS terhadap hepatosit dan sel kupfer. Virus dengue
menginduksi disfungsi mitokondria dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan
oleh protein virus atau produknya beinteraksi dengan membran mitokondria,
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria, perubahan
fisiologi mitokondria, dan produksi reactiv oxygen species (ROS) yang berlebihan.
Akibatnya sel mengalami gangguan fungsi. Terbentuk councilman bodies,
kemudian terjadi fragmentasi DNA dan apoptosis hepatosit, sehingga kadar
SGOT serum meningkat lebih tinggi. Proses kematian sel hepatosit dan kupffer
akibat DBD selain melalui apoptosis juga melalui nekrosis. Terjadi inflamasi,
nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hati. Nekrosis
tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan
hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin
proinflamasi dan berbagai mediator; serta dampak negatif oksidan dan kholestasis.
Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem retikuloendotelial,
kompleks imun, aktivasi komplemen, kompleks antigen-antibodi, agregasi
trombosit, perubahan endotel, dan berbagai komponen lain selama
berlangsungnya infeksi. Nekrosis ditandai oleh kerusakan membran plasma,
disfungsi mitokondria dan lisis sel, disertai proses inflamasi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
akumulasi sel fagosit. Proses nekrosis dapat terjadi pada sentrolobuler hepar.
Kelainan berupa hepatitis tersebut yang menyebabkan penderita sering mengeluh
nyeri pada hipokhondrium kanan, hepatomegali, dan peningkatan kadar
transaminase (Nasronudin,2007c; Osorio dkk.,2007; Higa dkk.,2008) .
2.2. Diagnosis Demam Berdarah Dengue
2.2.1. Manifestasi Klinis Infeksi Dengue
Rentang variasi klinis infeksi virus dengue sedemikian luas, mulai
asimtomatis, demam tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, dan
sindrom syok dengue. Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7
hari dengan dua atau lebih manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia
(Schroeder dkk., 1992; Halstead, 2004; Hadinegoro dkk., 2005).
Gambar 2.7 Manifestasi infeksi virus dengue (WHO, 1997)
Infeksi virus dengue
Simtomatis Asimtomatis
DBD dengan syok
Demam berdarah dengue Demam dengue
Dengan perdarahan
Demam tidak spesifik
Tanpa perdarahan
DBD tanpa syok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Pada demam berdarah dengue, perjalanan penyakit dapat menyerupai
kasus demam dengue dengan kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi
klinis atau lebih, yaitu (Hadinegoro dkk, 2005) :
1. Uji tourniquet positif
2. Petekie, ekimosis atau purpura
3. Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi)
4. Hematemesis atau melena
5. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/mm3)
6. Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler
dengan manifestasi satu atau lebih, yaitu:
1. Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
2. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat cairan.
7. Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura , asites atau proteinemia.
Kriteria sindrom syok dengue sama dengan yang telah disebutkan diatas,
ditambah dengan manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi menurun (< 20
mmHg), hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak
gelisah (Hadinegoro dkk, 2005).
Demam berdarah dengue mempunyai perjalanan penyakit yang sulit
diramalkan. Pada umumnya semua pasien mengalami fase demam selama 2-7hari,
kemudian diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada fase kritis ini suhu turun, dan
risiko terjadinya SSD meningkat yang kadang-kadang dapat bersifat fatal bila
tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Dengan memperhatikan perjalanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
penyakit dan memberikan pengobatan yang adekuat dapat menurunkan angka
kematian. Patofisiologi penting yang membedakan DBD dengan DD dan penyakit
lain adalah adanya gangguan hemostasis dan peningkatan permeabilitas vaskular
yang menyebabkan terjadinya perembesan plasma (Hadinegoro dkk, 2005).
Prognosis DBD tergantung dari saat diagnosis perembesan plasma
ditegakkan, yaitu saat terjadi penurunan trombosit disertai peningkatan
hematokrit. Fase kritis adalah saat suhu turun yaitu setelah dari sakit ketiga.
Penurunan junmlah trombosit menjadi kurang dari 100.000 /mm3 atau kurang dari
1-2 trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan
dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya terjadi sebelum terdapat peningkatan
hematokrit yaitu sebelum suhu turun. Peningkatan hematokrit lebih dari 20%
(misalnya dari 35% menjadi 42 %) menggambarkan perembesan plasma sehingga
diperlukan terapi cairan intravena. (Hadinegoro dkk, 2005).
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus,
berlangsung 2-7 hari. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40oC dan
dapat dijumpai kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada
DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat
pula sebagai awal fase syok.Penyebab perdarahan pada pasien penyakit DBD
ialah vaskulopati, trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi
intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah
perdarahan kulit seperti uji tourquet (uji Rumple Leede) positif, petekie, purpura,
ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie merupakan tanda perdarahan yang
sering ditemukan. Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dan melena. Perdarahan gastrointestinal biasanya terjadi menyertai syok. Kadang-
kadang dijumpai pula perdarahan subkonjungtiva (Hadinegoro dkk.,2005).
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah
lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap
hari. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan
dengan adanya perdarahan.Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), hipotensi, kulit dingin
dan lembab. Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian
serius, oleh karena bila tidak diatasi secepatnya dapat menyebabkan kematian
(Hadinegoro dkk., 2005).
2.2.3. Pemeriksaan Laboratorium Demam Berdarah Dengue
Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah pemeriksaan kadar hemoglobin,hematokrit,jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru. Jumlah leukosit dapat normal, tetapi
biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase
demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah
sel limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau
limfosit plasma biru >15% dapat dijumpai pada hari sakit ketiga, sebelum suhu
tubuh turun atau sebelum syok terjadi (Hadinegoro dkk., 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Terjadi penurunan jumlah trombosit menjadi kurang dari 100.000/mm3 atau
kurang dari 1-2 trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan rata-rata
pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopenia terjadi
sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Penurunan
jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3 biasanya ditemukan antara hari sakit
ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan dilakukan pertama pada aat pasien diduga
menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu
diulangi setiap hari sampai suhu turun(Hadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006)
Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsenstrasi selalu dijumpai pada
DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala. Hemokonsentrasi umumnya
dimulai pada hari ketiga demam. Pada umumnya penurunan trombosit
mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat
perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau
perdarahan (Hadinegoro dkk., 2005; Batra dkk., 2006).
Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus
pada DBD ternyata dapat mengaktifkan sistem koagulasi. Aktivasi sistem
koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai
faktor koagulasi seperti fibrinogen II,V, VII, VIII, IX dan X serta plasminogen.
Keadaan ini menyebabkan dan memperberat perdarahan pada pasien DBD,
ditambah lagi dengan adanya trombositopenia (Hadinegoro dkk,2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pada penderita DBD SGOT dan SGPT dapat meningkat. Disfungsi hati
dapat disebabkan efek langsung virus terhadap sel hati atau karena respon imun
tubuh melawan virus. Virus dengue dapat bereplikasi di hepatosit maupun di sel
Kupffer (Seneviratnea dkk., 2006). Pada infeksi virus dengue proses inflamasi
berasal dari lesi parenkim hati yang mengeluarkan marker ke darah. Pada fase
akut infeksi dengue terjadi peningkatan kadar aminotransferase, diikuti penurunan
kadar enzim hati setelah fase penyembuhan. Pada infeksi dengue diketahui kadar
SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT dengan rasio antara 1-1,5 (Tahono,2006).
Marker SGOT dan SGPT penting dan dapat digunakan sebagai parameter untuk
mengevaluasi derajat keparahan hati (Souza dkk.,2007). Peningkatan rata-rata
SGPT lebih tinggi untuk DENV-2, diikuti DENV-3, sedangkan aktifitas enzim
hati SGOT pada serum pasien yang terinfeksi DENV-2, 1 dan 3 secara statistik
lebih tinggi daripada aktivitas enzim pada kelompok kontrol. Pada infeksi dengue
perlu dideteksi adanya peningkatan enzim hati untuk mencegah terjadinya
ensefalopati hepatik yang tidak diinginkan (Pichardo dkk., 2006).
Pemeriksaan ureum dan kreatinin dilakukan bila didapatkan gangguan
fungsiginjal. Hipoproteinemia dapat terjadi akibat kebocoran plasma.Pemeriksaan
golongan darah dan cross match dilakukan bila akan diberikan tranfusi
(Suhendro dkk., 2006)
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis infeksi dengue
memainkan peranan penting pada perawatan pasien, surveilans epidemiologi,
pemahaman patogenesis infeksi dengue, dan riset formulasi vaksin.Saat ini,
pemeriksaan laboratorium infeksi dengue meliputi isolasi virus, deteksi genom
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
virus, deteksi antigen virus, dan pemeriksaan serologi(Shu dan Huang, 2004;
Dutra dkk., 2009).
1. Isolasi virus
Masa viremra virus dengue berlangsung singkat, biasanya terdeteksi dua atau
tiga hari sebelum onset demam sampai lima hari setelah demam. Diagnosis
spesifik infeksi dengue dibuat dengan isolasi virus dari darah pasien. Sampel
serum akut diinokulasikan ke dalam kultur jaringan sel nyamuk atau secara
langsung ke dalam nyamuk toxorhynchites, aedes aegypti atau aedes
albopictus hidup. Serotipe dengue dapat diidentifikasi dengan
indirect fluorecent antibody test, dengan teknik immunofluoresensi
menggunakan antibodi monoklonal spesifik serotipe (Gubler, 1992;
Guzman dan Kouri,1996; Shu dan Huang, 2004; Dutra dkk., 2009)
2. Deteksi antigen virus
Pemeriksaan antigen virus dengue dapat dilakukan dengan ELISA
streptavidin biotin system. Antigen virus dengue lebih sering terdeteksi
pada sel monosit darah perifer dibandingkan pada serum. Teknik pemeriksaan
yang lain adalah dengan teknik imunohistokimia(Dutra dkk.,2009).
3. Deteksi genom virus
Polymerase chain reaction (PCR) memainkan peranan penting untuk diagnosa
infeksi dengue, surveilans epidemiologi, penelitian vaksin dengue dan obat-
obat antiviral (Dutra dkk.,2009).
4. Pemeriksaan NS1 virus dengue. Pemeriksaan dengan capture ELISA dapat
mendeteksi antigen NS1 baik pada infeksi primer maupun sekunder. NS1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
terdeteksi pada hampir semua infeksi dengue antara hari 0-9 post infeksi. Hal
ini disebabkan karena antigen NS1 disekresikan dengan kadar yang lebih
tinggi selama infeksi, sehingga NS1 dapat tetap terdeteksi meskipun partikel
virus dengue telah dimusnahkan oleh sistem imun. Kadar antigen NS1 yang
tinggi pada hari ke 5 disebabkan karena lebih banyak pasien yang terinfeksi
virus dengue serotipe 1 dan 2 yang diketahui lebih banyak memproduksi NS1.
Sedangkan penurunana NS1 setelah hari ke 5 disebabkan oleh pembentukan
kompleks imun antara antigen NS1 dan antibodi spesifik NS1 (Shu dkk.,2003;
Alcon-Lepoder dkk., 2006).
5. Pemeriksaan serologi. Terdapat beberapa macam uji serologi yang biasa
dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue , yaitu:
1. Uji hambatan hemaglutinasi
Diantara uji serologis yang tersebut diatas, uji HI adalah uji serologis yang
paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada
pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada uji HI ini.Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji
serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 tahun),
maka uji ini baik dipergunakan pada studi seroepidemiologi.Untuk
diagnosis pasien, kenaikan titer konvaselen empat kali lipat dari titer
serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvaselen
dianggap sebagai presumptive positif, atau diduga keras positif infeksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dengue yang baru terjadi (recent dengue infection)
(Hadinegoro dkk,2005).
2. Uji komplemen fiksasi
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara
rutin, oleh karena selain rumit juga memerlukan tenaga pemeriksa
yang berpengalaman (Hadinegoro dkk,2005).
3. Uji netralisasi
Uji netralisasi rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga
tidak dipakai secara rutin (Hadinegoro dkk,2005).
4. IgM Elisa (IgM captured Elisa / Mac .Elisa)
Infeksi virus dengue pertama kali akan menyebabkan terjadinya respon
primer dengan ciri kenaikan titer antibodi yang lambat. Pada infeksi
primer IgM antidengue muncul pada hari ke 5 setelah timbulnya gejala
sampai 30-90 hari. IgG muncul kemudian dan bertahan seumur hidup.Pada
infeksi sekunder, kadar IgM lebih rendah dan pada sebagian kasus
tidak terdeteksi adanya IgM. Sebaliknya kadar IgG naik secara
cepat, dengan kadar yang jauh lebih tinggi dibanding pada infeksi primer
(Sanford, 1991; Roche, 2005;). Mac Elisa pada tahun terakhir ini
merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Pada perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti
dengan IgG. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat
dapat ditentukan diagnosis yang tepat.Ada kalanya hasil uji terhadap IgM
masih negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang. Imunoglobuli M dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
bertahan didalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG.
Mengingat alasan tersebut diatas maka uji IgM tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa
mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji Mac
Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja (Hadinegoro dkk,2005). Saat
ini tersedia uji cepat (rapid test) dalam bentuk kit yang mudah
penggunaannya ( Hadinegoro dkk, 2005 ). Klasifikasi yang lain
adalah berdasarkan rasio IgM/IgG. Bila rasio IgM/IgG lebih
besar dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi primer, sedangkan
bila kurang dari 1,78 disimpulkan sebagai infeksi sekunder (Vaughn
dkk.,1999; Neeraja dkk., 2006; Dutra dkk.,2009).
2.2.3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pada pemeriksaan radiologi bisa didapatkan efusi pleura terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura
dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dlam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada posisi badan sebelah
kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG
(Suhendro dkk.,2006).
2.2.4. Kriteria Diagnosis dan Derajad Demam Berdarah Dengue
Karena luasnya variasi dari manifestasi klinis DBD, kriteria diagnosis DBD
berdasarkan kriteria sebagai berikut (WHO, 1997) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
1. Demam tinggi mendadak berlangsung 2-7 hari, pola demam seperti
punggung pelana kuda.
2. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut :
1. Uji bendungan positif
2. Terdapat petekie, ekimosis, atau purpura pada kulit
3. Perdarahan spontan sedang seperti mimisan atau perdarahan gusi
4. Terdapat perdarahan spontan berat yaitu hematemesis dan atau melena.
3. Jumlah trombosit turun hingga kurang dari 100.000 sel/mm3
4. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda perpindahan plasma akibat
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler :
1. hematokrit meningkat > 20 % dibandingkan hematokrit rata-rata pada
usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama.
2. hematokrit turun hingga > 20 % dari hematokrit awal setelah pemberian
cairan.
3. terdapat tanda-tanda perembesan plasma seperti efusi cairan di rongga
pleura, asites, hiponatremia, dan hipoalbuminemia.
Sedangkan beratnya penyakit DBD dibagi menjadi 4 derajat yaitu
(WHO, 1997). :
Derajad I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang tidak khas disertai
perdarahan pada uji bendungan.
Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan biasanya pada bentuk
perdarahan kulit atau perdarahan lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi,
kulit terabadingin dan lembab serta gelisah.
Derajat IV : Syok berat, ditandai dengan nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi.
Sebelum mencapai kepastian diagnosis sering didapatkan problem yang
antara lain disebabkan manifestasi klinis DBD belum terlalu jelas pada fase awal,
seperti manifestasi perdarahan, demikian juga pada pemeriksaan darah tepi
mungkin masih dalam batas normal, sehingga masih sulit dibedakan dengan
penyakit infeksi akut lainnya.Demikian juga trombositopenia, demam,
hepatomegali yang terjadi pada penderita penyakit infeksi lain, misalnya malaria,
leukemia, demam tifoid, dan sepsis. Untuk itu pada kasus yang meragukan dalam
penentuan penatalaksanaan diperlukan pemantauan dan pemeriksaan lebih lanjut
sehingga diperoleh kepastian diagnosis (Hadi, 2007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka konsep
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian.
Keterangan: : menurunkan : menaikkan
3.2 Hipotesis
Penderita DBD dengan IgG (+) / IgM (+) antidengue mempunyai manifestasi
klinis dan laboratorium yang lebih berat dibanding penderita dengan
IgG (+) / IgM (-) dan IgG (-) / IgM (+) antidengue.
Infeksi dengue primer
Infeksi dengue sekunder ( serotype lain )
Antibodi anti dengue serotipe terkait ( antibodi netralisasi dan non netralisasi)
IgM (- )/IgG (+) anti dengue
IgM (+ )/IgG (+) anti dengue
Trombosit SGOT SGPT Derajad DBD Lama perawatan
IgM (+)/IgG(- ) anti dengue
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian observasional analitik prospektif dengan pendekatan kohor.
4.2 Populasi, kriteria inklusi dan eksklusi, ukuran sampel dan teknik
pengambilan sampel
4.2.1 Populasi
1. Populasi Sasaran : pasien demam berdarah dengue usia dewasa
2. Populasi Sumber : pasien demam berdarah dengue yang dirawat di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta.
3. Populasi Studi : pasien demam berdarah dengue yang dirawat di bangsal
Penyakit Dalam, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
4.2.2 Kriteria inklusi
1. Pasien demam berdarah dengue dengan usia 14 tahun ke atas.
2. Bersedia ikut dalam penelitian ini.
4.2.3 Kriteria eksklusi
Pasien dengan imunokompromis (diabetes melitus, sirosis hepatis, gagal
ginjal kronik, HIV AIDS, keganasan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
4.2.2 Ukuran sampel
Dengan analisis bivariat,diperlukan 60 subyek penelitian
4.2.3 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel adalah exhaustive sampling. Setiap pasien yang
dirawat di bangsal rawat inap penyakit dalam RS Dr. Moewardi Surakarta yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutkan dalam penelitian.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas
1. IgM (+) dan IgG (-) antidengue
2. IgM (-) dan IgG (+) antidengue
3. IgM (+) dan IgG(+) antidengue
2. Variabel tergantung
1. Jumlah trombosit
2. SGOT
3. SGPT
4. Derajat DBD
5. Lama perawatan
4.3.2 Definisi Operasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
1. Respons antibodi pada penderita terhadap antigen virus dengue,
dibagi menjadi tiga (Mulyono, 2007) :
1. IgM (+) dan IgG (-) antidengue : Infeksi dengue primer.
2. IgM (-) dan IgG (+) antidengue : Infeksi dengue sekunder.
3. IgM (+) dan IgG (+) antidengue : Infeksi dengue sekunder.
Imunoglobulin M dan imunoglobulin G diukur pada hari ke-5 demam dengan
alat diagnostik On sight dengue Combo (WB). Alat ini memiliki 3
pre-coated line, yaitu garis kontrol, garis tes IgG, dan garis tes IgM. Garis
kontrol digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis kontrol akan tampak jika
prosedur tes berjalan dengan baik. Garis IgG dan atau IgM akan tampak jika
terdapat cukup antibodi IgG dan atau IgM terhadap virus dengue pada sampel.
Jika tidak terdapat antibodi IgG dan atau IgM terhadap virus dengue, tidak
akan muncul garis IgG dan atau IgM. Prinsip kerja Onsight dengue Combo
(WB) adalah ketika sampel melewati membran pada alat, akan terjadi komplek
konjugasi antara dengue specific recombinant antigen colloidal gold dengan
antibodi spesifik IgM dan atau IgG terhadap virus dengue (bila terdapat pada
sampel). Kompleks ini kemudian akan bergerak dari membran menuju tempat
dimana komplek tersebut akan diimobilisasi oleh specific human IgM antibody
dan atau human IgG antibody, membentuk formasi yang tampak sebagai pita
atau garis berwarna sebagai penunjuk hasil tes positif. Cara kerja Onsight
dengue Combo (WB) adalah sebagai berikut :
1. Satu tetes whole blood diteteskan pada kaset bagian A.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
2. Empat tetes larutan buffer diteteskan pada kaset bagian B.
3. Hasil dibaca 15 menit kemudian.
4. Hasil test tidak boleh dibaca setelah 20 menit.
Interpretasi hasil test adalah sebagai berikut :
1. Hanya ada 1 garis yaitu pada kontrol (C), menunjukkan hasil test negatif
2. Terdapat 2 garis, yaitu pada garis control dan garis IgM, menunjukkan
adanya antibodi IgM terhadap virus dengue. Hal ini menunjukkan
adanya infeksi dengue primer akut.
3. Terdapat 3 garis, yaitu pada garis kontrol, garis IgM, dan garis IgG.
Hal ini menunjukkan terdapat antibodi IgM dan IgG terhadap virus
dengue. Hal ini menunjukkan adanya infeksi dengue sekunder.
4. Terdapat 2 garis yaitu pada garis kontrol dan garis IgG. Ini
menunjukkan terdapat antibodi IgG terhadap virus dengue. Hal
ini menunjukkan adanya infeksi dengue sekunder atau infeksi dengue
yang sudah lama terjadi.
2. Manifestasi klinis dan laboratorium penderita DBD, yang pada penelitian
ini diperiksa adalah jumlah trombosit, SGOT, SGPT, Derajat DBD dan
lama perawatan.
1. Jumlah trombosit diukur dengan metode flowcytometri dengan alat
advia 1200. Diukur setiap hari sampai pasien dipulangkan.
2. SGOT diukur dengan alat hitachi 912. Diukur pada hari kelima demam.
3. SGPT diukur dengan alat hitachi 912. Diukur pada hari kelima demam.
4. Derajat beratnya DBD diukur setiap hari mulai hari kelima demam sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
pasien dipulangkan. Derajat beratnya DBD dibagi 4 yaitu (WHO, 1997) :
Derajat I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang tidak
khas disertai perdarahan pada uji bendungan.
Derajat II: Derajat I disertai dengan perdarahan spontan biasanya
pada bentuk perdarahan kulit , atau perdarahan lain.
Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai denyut nadi cepat dan lemah,
hipotensi, kulit teraba dingin dan lembab serta gelisah.
Derajat IV : Syok berat, ditandai dengan nadi dan tekanan darah tidak
terdeteksi
5. Lama perawatan : lama penderita dirawat dihitung mulai emam hari ke-5
sampai dipulangkan. Kriteria dipulangkan yaitu (Hadinegoro dkk., 2005) :
1. Pasien tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlahtrombosit lebih dari 50.000/ul
7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis )
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Penelitian ini dilakukan di bangsal Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, mulai bulan desember 2009 sampai juni 2010.
4.5 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada pasien DBD hari ke-5 demam sampai
pasien dipulangkan.
Prosedur pengumpulan data terdiri dari :
4.5.1 Wawancara
Dilakukan wawancara baik pada pasien langsung (autoanamnesis) bila
pasien sadar dan /atau dengan keluarganya (alloanamnesis) bila pasien tidak
sadar/kesadaran menurun, sehingga didapat karakteristik responden mencakup
identitas, perjalanan penyakit, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan
sebelumnya serta adanya penyakit penyerta. Wawancara dilakukan untuk
memenuhi kriteria DBD menurut WHO tahun 1997.
4.5.2 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, tingkat kesadaran,
pemeriksaan sistem tubuh,dan Rumple leed test.
4.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi IgG dan Ig M antidengue,
hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, kreatinin, albumin, gula darah
sewaktu, SGOT,dan SGPT
4.6 Cara Pengolahan dan Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistik
dengan menggunakan program SPSS.13 for windows. Uji hipotesis menggunakan
uji anova untuk jumlah trombosit, SGOT, SGPT, dan lama perawatan, dan uji X2
untuk derajat DBD.
4.7 Alur Penelitian
Gambar 4.1 Alur Penelitian
Hasil
Pasien masuk dengan diagnosis DBD
Demam hari ke-5 : Pemeriksaan fisik dan laboratorium (IgG dan
IgM antidengue, darah rutin, albumin,kreatinin, SGOT,SGPT)
Pemeriksaan fisik, trombosit setiap hari sampai
pasien dipulangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Karakteristik Subyek Penelitian
Selama masa studi didapatkan 44 subyek penelitian, yang terdiri dari 3
kelompok:
Kelompok 1: penderita DBD dengan IgM (+) dan IgG (-) antidengue ,
didapatkan 1 orang penderita.
Kelompok 2 : penderita DBD dengan IgM (-) dan IgG (+) antidengue,
didapatkan 18 orang penderita.
Kelompok 3 : penderita DBD dengan IgM (+) dan IgG (+) antidengue,
didapatkan 25 orang penderita.
Seluruh pasien secara lengkap diikuti sampai pasien dipulangkan setelah
memenuhi kriteria untuk dipulangkan.
Penderita DBD kelompok 1 berjumlah 1 orang. Penderita tersebut adalah
seorang perempuan umur 18 tahun, dengan keluhan utama demam. Demam sudah
3 hari, dirasakan terus menerus. Penderita juga merasakan nyeri kepala dan nafsu
makan menurun. Tidak ada muntah, nyeri perut atau sesak nafas. Buang air besar
dan buang air kecil normal. Hasil pemeriksaan pada demam hari kelima adalah:
1. Keadaan umum baik, gizi cukup, compos mentis.
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 72 kali permenit
Suhu : 36,8 C
Respirasi : 20 kali permenit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
2. Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal. Tidak didapatkan
hepatomegali. Rumple leede positif.
Tabel 5.1 Hasil laboratorium penderita kelompok 1 pada demam hari kelima.
Penderita mengalami DBD derajad I dengan lama perawatan 3 hari. Karena
jumlah sampel hanya 1 orang, kelompok ini secara statistik tidak dapat
dibandingkan dengan kelompok lain.
Sedangkan perbandingan karakteristik antara kelompok 2 dan 3 adalah
sebagai berikut:
Tabel 5.2 Perbandingan karakteristik menurut jenis kelamin
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS N % n % X2 P
JENIS KELAMIN 18 100 25 100 Laki-laki 8 44,4 13 50 0,03 0.857 Perempuan 10 55,6 12 50
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hemoglobin 12,7 g/dl 12 – 16 Hematokrit 38 % 40 – 54
Jml lekosit 4,1 103 /mmk 4,5-12 Albumin 4,1 g/dl 3,5 - 5,0
Creatinin 0,6 mg/dl 0,6 – 1,1
Jml Trombosit(demam hari ke-5) 51 103 /mmk 150 - 450
Jml Trombosit(demam hari ke-6) 90 103 /mmk 150 - 450
Jml Trombosit(demam hari ke-7) 110 103 /mmk 150 - 450
SGOT 25 U/L 0,0 – 38
SGPT 13 U/L 0,0 – 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Tabel 5.3 Perbandingan karakteristik menurut rerata umur, tanda vital, dan
laboratorium.
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS Rerata SD Rerata SD t p
Umur (th) 29,00 9,49 22,46 6,69 -2,72 0.007 TDS (mmHg) 112,78 9,43 107,80 133,74 -1,02 0,308 TDD (mmHg) 73,89 6,31 72,20 9,02 -0,38 0,702 Nadi (x/mnt) 83,89 7.49 86.08 17,92 -0,04 0.970 Suhu (C) 36,66 0,36 36,73 0,51 -0,09 0,928 RR (x/mnt) 18,78 1,21 20,00 2,23 -2,24 0,025 Hb (g/dl) 14,06 1,97 15,56 1,87 -2,54 0.015 Hct (%) 42,51 7,04 46,76 5,75 -2,18 0,035 Lekosit (103 /mmk) 4,98 2,65 4,09 1,98 1,18 0.237 Albumin (g/dl) 3,73 0,48 3,72 0,37 -0,74 0,456 Creatinin (mg/dl) 0,80 0,23 0,87 0,24 -0,92 0,362
Pada tabel 5.2 tampak bahwa tidak didapatkan berbedaan yang secara
statistik bermakna untuk jenis kelamin kedua kelompok (p = 0,857). Pada tabel
5.3 tampak bahwa rata-rata umur pada kelompok IgM antidengue (-) dan IgG
antidengue (+) adalah 29,00 ± 9,49 , sedangkan pada kelompok IgM antidengue
(+)dan IgG antidengue (+)adalah 22,46 ± 6,69 dengan hasil uji statistik
didapatkan p = 0,007. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna untuk
umur pada kedua kelompok penelitian tersebut. Pada demam hari ke-5 tidak
didapatkan berbedaan yang secara statistik bermakna pada rerata variabel
tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik, nadi, suhu, kadar albumin,
kreatinin, dan jumlah lekosit. Sedangkan kadar hemoglobin dan hematokrit
pada kelompok 3 secara statistik lebih tinggi secara bermakna (p=0,015 dan
p= 0,035) dibandingkan kelompok 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
5.2 Hasil pemeriksaan jumlah trombosit, SGOT, SGPT, Derajad DBD, dan lama
perawatan kelompok 2 dan 3.
5.2.1 Jumlah trombosit.
Tabel 5.4 Perbedaan rerata jumlah trombosit hari ke 5, 6 dan 7.
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS Rerata SD Rerata SD t p
Jml trombosit h-5 (x 103 /mmk) 43,67 23,74 29,72 19,92 -2,18 0.029 Jml Trombosit h-6(x 103 /mmk) 53,06 33,88 36,04 23,22 -1,96 0,050 Jml Trombosit h-7(x 103 /mmk) 85,72 38,49 53,24 25,89 -2,99 0,003
0
20
40
60
80
100
120
hari ke 5 hari ke 6 hari ke 7
klmp 1klmp 2klmp 3
Gambar 5.1 Grafik jumlah trombosit pasien DBD kelompok 1 dan jumlah
trombosit rata- rata pasien DBD kelompok 2 dan 3.
Jumlah trombosit rata-rata kelompok 2 dibandingkan dengan kelompok 3
menunjukkan perbedaan yang bermakna untuk jumlah trombosit pada demam hari
ke 5, 6, dan 7, dengan p= 0,029 untuk jumlah trombosit hari ke-5, p= 0,05 untuk
jumlah trombosit hari ke-6, dan p= 0,003 untuk jumlah trombosit hari ke-7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Tabel 5.5 Perubahan rerata jumlah trombosit pada setiap hari pengukuran.
KelompokSubjek Jumlah Trombosit Analisis
Hari -5
SD Hari-6
SD Hari-7 SD F p
Klp 2(IgM - /IgG (+) 43,67 23,74 53,06 31,73 85,72 38,49 26,33 0,000* Klp3(Ig M + / IgG +) 29,72 19,92 36,04 23,22 53,24 25,89 25,04 0,000*
Tabel 5.6 Analisis pos hoc perubahan rerata jumlah trombosit setiap hari
pengukuran pada kelompok 2.
No Hari Pengukuran Jumlah Trombosit Analisis Rerata SD Rerata SD t p
1 Hari ke 5 & 6 43,67 23,74 53,06 31,73 -2,75 0,017* 2 Hari ke 5 & 7 43,67 23,74 85,72 38,49 -2,57 0,000* 3 Hari ke 6 & 7 53,06 31,73 85,72 38,49 -0,61 0,000*
Terdapat perbedaan jumlah trombosit (peningkatan) secara bermakna pada
setiap setiap hari pengukuran (p<0,05).
Tabel 5.7 Analisis pos hoc perubahan rerata jumlah trombosit setiap hari
pengukuran pada kelompok 3.
No Hari Pengukuran Jumlah Trombosit Analisis
Rerata SD Rerata SD t p
1 Hari ke 5 & 6 29,72 19,92 36,04 23,22 -2,75 0,006* 2 Hari ke 5 & 7 29,72 19,92 53,24 25,89 -2,57 0,000* 3 Hari ke 6 & 7 36,04 23,22 53,24 25,89 -0,61 0,000*
Terdapat perbedaan jumlah trombosit (peningkatan) secara bermakna pada setiap
setiap hari pengukuran (p<0,05).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
5.2.2 Kadar SGOT dan SGPT.
Tabel 5.8 Perbedaan rerata SGOT dan SGPT.
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS Rerata SD Rerata SD t p
SGOT 126,39 93,04 214,44 133,74 -2,81 0.005 SGPT 100,28 78,81 114,20 67,27 -1,09 0,273
Tampak pada tabel 5.5 terjadi peningkatan kadar SGOT pada kedua
kelompok penderita. Peningkatan kadar SGOT pada kelompok 3 dibandingkan
dengan kelompok 2 menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p = 0.005.
Kadar SGPT juga meningkat pada kedua kelompok. Peningkatan kadar SGPT
pada kedua kelompok penderita tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
dengan p = 0.273.
5.2.3 Derajad DBD Tabel 5.9 Perbedaan derajad DBD.
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS
OR
n % n % X2 p (95% CI)
DERAJAT
DBD 18 100 25 100 8,00
I 17 94,4 17 68,0 2,96 0.038 (0,90-71,11) ≥II 1 5,6 8 32,0
Terdapat perbedaan proporsi derajat DBD yang bermakna pada kedua
kelompok penderita dengan p = 0,038. Dibandingkan kelompok 2, kelompok 3
mempunyai resiko delapan kali mengalami DBD derajat II atau lebih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
5.2.4 Lama perawatan di Rumah Sakit. Tabel 5.10 Perbedaan rerata lama perawatan.
VARIABEL Klp.2(IgM-/IgG+) Klp.3(IgM+/IgG+) ANALISIS Rerata SD Rerata SD t p
Lama rawat (hari) 3,94 0,64 4,60 0,50 -3,21 0.001
Penderita DBD kelompok 3 menjalani perawatan di rumah sakit lebih lama
secara bermakna ( p = 0,001) dibandingkan kelompok 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui hubungan
imunopatologi demam berdarah dengue dengan manifestasi klinis yang
ditimbulkannya. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan jenis immunoglobulin
anti dengue yang ada pada penderita DBD, beberapa manifestasi klinis dan
laboratorium, proporsi derajad DBD, serta lama perawatan di rumah sakit.
Pada penelitian ini pasien DBD yang masuk ke bangsal Penyakit Dalam RS
Dr Moewardi Surakarta dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 yaitu pasien
infeksi dengue primer yang ditandai dengan IgM (+) dan IgG (-) antidengue pada
demam hari kelima. Kelompok 2 yaitu pasien infeksi dengue sekunder dengan
IgM (-) dan IgG (+) antidengue dan kelompok 3 yaitu pasien infeksi dengue
sekunder dengan IgM (+) dan IgG (+) antidengue. Kami lakukan pemeriksaan
fisik dan penunjang mulai saat pasien masuk rumah sakit sampai pasien
dipulangkan. Penilaian untuk penelitian ini kami lakukan mulai demam hari
kelima sampai pasien dipulangkan.
Kelompok 1 berjumlah 1 orang sehingga secara statistik tidak dapat
dibandingkan dengan kelompok lain. Kelompok 2 berjumlah 18 orang dan
kelompok 3 berjumlah 25 orang. Pada tabel 5.2 tampak bahwa pada kedua
kelompok tersebut tidak didapatkan perbedaan yang secara statistik bermakna
pada perbandingan karakteristik jenis kelamin penderita (p = 0,857). Pada tabel
5.3 tampak bahwa rata-rata umur pada kelompok 2 adalah 29,00 ± 9,49 tahun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
sedangkan pada kelompok 3 adalah 22,46 ± 6,69 tahun. Terdapat perbedaan yang
bermakna untuk rerata umur pada kedua kelompok (p = 0,007). Penderita DBD
pada penelitian ini terjadi sebagian besar pada usia dewasa muda dapat
dikarenakan orang pada usia muda memiliki aktifitas dan mobilitas yang tinggi
sehingga lebih beresiko tertular penyakit DBD. Sedangkan rerata usia kelompok 3
lebih muda dibanding kelompok 2, dimungkinkan karena pada usia lebih muda
memiliki respon imun yang lebih kuat, sehingga saat terinfeksi virus dengue
proses imunopatologi yang terjadi juga lebih hebat sehingga memiliki manifestasi
klnis yang lebih berat. Hematokrit pada kelompok 3 juga lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan kelompok 2 (p=0,035), menunjukkan terjadinya
kebocoran plasma yang lebih berat pada kelompok 3.
Tabel 5.4 menunjukkan penurunan jumlah trombosit pada kelompok 2 dan 3
pada hari ke-5, ke-6 maupun ke-7, dengan jumlah terendah pada hari ke-5. Jumlah
trombosit pada kelompok 3 lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan
kelompok 2 baik untuk jumlah trombosit pada demam hari ke 5 (p= 0,029), hari
ke-6 (p= 0,029), maupun hari ke-7 (p= 0,003). Sedangkan pada kasus dengan
infeksi dengue primer (1 orang), penderita mengalami penurunan jumlah
trombosit yang lebih ringan. Penurunan jumlah trombosit pada penelitian ini
sesuau dengan penelitian Chairulfatah dan kawan-kawan yang menemukan
trombositopenia pada demam hari ke-3 sampai hari ke-7 (Chairulfatah dkk, 2005)
Trombositopenia pada penderita DBD terjadi akibat peningkatan destruksi
trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat endotel
vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
(Sugianto,1994;Halstead,2007). Penurunan produksi trombosit pada fase awal
penyakit (hari sakit ke-1 sampai dengan ke-4) merupakan penyebab
trombositopenia. Pada saat itu sumsum tulang tampak hiposeluler ringan dan
megakariosit dalam berbagai bentuk fase maturasi. Pada hari sakit ke-5 sampai
dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran
trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan
trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikuloendotelial
dalam hati dan limpa, mengakibatkan trombositopenia. Tetapi, penghancuran
trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel atau disseminated
intravascular coagulation ( DIC ) ( Suhendro, 2006; Nasiruddin, 2006). Infeksi
dengue juga menginduksi terjadinya proses autoimun karena molecular mimicry.
Antibodi terhadap NS1 atau prM dapat bereaksi silang dengan trombosit dan sel
endotel. Ikatan dengan trombosit dengan perantaraan aktivasi komplemen akan
menyebabkan lisis trombosit sehingga terjadi trombositopenia (Lei dkk., 2008).
Pada tabel 5.8 tampak bahwa terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT
pada kedua kelompok penderita dengan infeksi dengue sekunder. Peningkatan
kadar SGOT pada kelompok 3 lebih tinggi secara bermakna ( p = 0.005)
dibandingkan dengan kelompok 2, sedangkan peningkatan kadar SGPT pada
kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p = 0.273).
Menurut Tahono, pada fase akut infeksi dengue terjadi peningkatan kadar
aminotransferase, diikuti penurunan kadar enzim hati setelah fase penyembuhan.
Kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT dengan rasio antara 1-1,5
(Tahono,2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Dampak virus dengue terhadap hepatosit dan sel kupffer melalui beberapa
mekanisme yaitu efek langsung, efek sitokin proinflamasi, dan efek radikal bebas
atau ROS (Nasronudin,2007c). Virus dengue menginduksi disfungsi mitokondria
dan kematian sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh protein virus atau produknya
berinteraksi dengan membran mitokondria, mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran mitokondria, perubahan fisiologi mitokondria, dan
produksi reactiv oxygen species (ROS) yang berlebihan. Akibatnya sel
mengalami gangguan fungsi. Terbentuk councilman bodies, kemudian terjadi
fragmentasi DNA dan apoptosis hepatosit, sehingga kadar SGOT serum
meningkat lebih tinggi (Higa dkk.,2008). Proses kematian sel hepatosit dan
kupffer selain melalui apoptosis juga melalui nekrosis. Terjadi inflamasi dan
nekrosis hepatoseluler pada zona tengah dan perifer hati. Nekrosis tersebut terjadi
akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan iskemia, inflamasi akut
akibat pengaruh sitokin proinflamasi dan berbagai mediator, serta dampak negatif
oksidan. Kelainan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan sistem
retikuloendotelial, kompleks imun, aktivasi komplemen, kompleks antigen-
antibodi, agregasi trombosit, perubahan endotel, dan berbagai komponen lain
selama berlangsungnya infeksi. Kelainan berupa hepatitis tersebut yang
menyebabkan penderita sering mengeluh nyeri pada hipokhondrium kanan,
hepatomegali, dan peningkatan kadar transaminase(Nasronudin,2007c; Osorio
dkk.,2007; Higa dkk.,2008) .
Tabel 5.6 menunjukkan terdapat perbedaan proporsi derajat DBD derajad I
dan derajad II atau lebih yang bermakna pada penderita DBD kelompok 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dibandingkan dengan kelompok 2 ( p= 0,038 dengan Odd ratio 8,00). Hal ini
berarti dibandingkan dengan kelompok 2, kelompok 3 mempunyai risiko delapan
kali mengalami DBD derajat II atau lebih. Dua kasus (8 %) penderita DBD
kelompok 3 mengalami DBD derajad III, sedangkan pada kelompok 2 tidak ada
penderita yang mengalami DBD derajad III.
Beratnya derajad DBD disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
kebocoran plasma, trombositopenia dan aktivasi sistem koagulasi. Perdarahan
pada DBD disebabkan oleh vaskulopati, penurunan jumlah trombosit, dan
penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam perdarahan
disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada fase syok
perdarahan disebabkan oleh trombositopenia dan koagulopati, terutama sebagai
akibat koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolisis.
(Halstead,2007, Nasronudin, 2007b).
Tabel 5.7 menunjukkan kelompok 3 menjalani perawatan di rumah sakit
lebih lama (rata-rata 4,6 hari), berbeda secara bermakna (p = 0,001) dibandingkan
dengan kelompok 2 (rata-rata 3,9 hari). Lama perawatan tegantung pada jumlah
trombosit, perbaikan klinis, nafsu makan, lama demam, dan komplikasi yang
terjadi.
Pada penelitian kami pasien DBD karena infeksi dengue primer hanya
berjumlah 1 orang, sedangkan pasien DBD karena infeksi sekunder mencapai 43
orang. Pasien infeksi dengue primer pada penelitian ini mempunyai
manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih ringan apabila dibandingkan
dengan manifestasi klinis dan laboratorium rata- rata pasien dengan infeksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dengue sekunder. Hasil penelitian kami konsisten dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang melaporkan bahwa infeksi dengue sekunder sebagai faktor
risiko untuk terjadinya manifestasi infeksi dengue yang berat (Nisalak dkk,2003;
Anantapreecha dkk.,2005). Hasil penelitian ini mendukung teori immunologic
enhancement/ antibody dependent enhancement (ADE).
Meskipun demikian, pasien dengan infeksi dengue primer juga dapat
bermanifestasi berat meskipun lebih jarang karena virulensi dan jumlah virus juga
turut berperan tehadap beratnya manifestasi yang terjadi. Penelitian yang
dilakukan di Thailand oleh Anantapreecha dkk melaporkan bahwa hampir semua
DBD yang disebabkan oleh virus DEN-2 dan DEN-4 merupakan infeksi dengue
sekunder, sedangkan seperlima DBD yang disebabkan oleh DEN-1 dan DEN-3
merupakan infeksi dengue primer. Hasil ini menunjukkan bahwa di Thailand
virus DEN-1 dan DEN-3 lebih virulen, dapat menyebabkan DBD baik pada
infeksi primer maupun sekunder, sedangkan virus DEN-2 dan DEN-4 di Thailand
jarang menyebabkan DBD pada infeksi primer (Anantapreecha dkk, 2005).
Pada infeksi dengue sekunder, berdasarkan teori immunologic enhancement/
antibody dependent enhancement, kalau di dalam tubuh seseorang terdapat
antibodi yang tidak mampu menetralisir virus tersebut, keadaan ini dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang berat. ( Guzman dan Kouri,1996, Sugianto,
2006). Sel T helper merangsang aktivitas sel B memproduksi antibodi spesifik
yang protektif dan juga antibodi non netralisasi yang berperan pada terjadinya
DBD. Pada infeksi dengue sekunder sel T memori berperan dominan
dibandingkan dengan sel T naive. Antibodi IgG yang terbentuk pada infeksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dengue terdiri atas antibodi yang berfungsi menghambat replikasi virus
(neutralizing antibody) dan antibodi yang berfungsi memacu replikasi virus dalam
makrofag (infection enhancing antibody). Pada infeksi sekunder, antibodi non
netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer menyebabkan kompleks antigen-
antibodi yang akan melekat pada membran sel makrofag (Halstead,2007;
Nasronudin, 2007a, Chaturvedi dan Nagar, 2008). Perlekatan itu mengakibatkan
makrofag akan memfagositosis virus yang berakibat makrofag terinfeksi virus
Dengue. Karena antibodi yang heterolog, virus tidak dapat dinetralisir dan bebas
bereplikasi di dalam makrofag. Selanjutnya infeksi virus ini akan mengaktivasi
makrofag (Gubler,1998). Makrofag yang terinfeksi virus akan mengekspresikan
dua macam MHC yaitu MHC kelas 1 dan MHC kelas 2 yang berisi protein virus.
Selanjutnya MHC kelas 2 akan direspons oleh TCR sel efektor CD4 atau sel T
Helper, yang akan mensekresi interferon gamma yang berakibat aktivasi lebih
lanjut dari makrofag. Aktivasi makrofag akan menyebabkan sel tersebut
mensekresi sitokin antara lain IL-1, IL-6, IL-12, IL-8 , TNF alfa dan pratelet
activating factor (PAF). TNF alfa, IL 1 dan IL 6 dikenal sebagai pro-inflamasi
sitokin, menyebabkan demam karena rangsangan di hipothalamus serta
merangsang hepatosit mensekresi protein fase akut, apoptosis endotel,
meningkatkan permeabilitas pada endotel kapiler dan ekspresi ICAM sehingga
terjadi kebocoran plasma dan perdarahan (Nasronudin, 2007a).
Pada penelitian ini, pasien kelompok 3, dibandingkan dengan kelompok 2,
mempunyai manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat secara bermakna
(penurunan jumlah trombosit, kadar SGOT, derajad DBD, dan lama perawatan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Menurut Chaturvedi dan kawan-kawan, pada penyakit demam berdarah terjadi
pergeseran dari respons sel Th1 yang dominan pada kasus-kasus DF ke sel Th2
yang dominan pada kasus-kasus DBD yang berat. Analisis kasus menunjukkan
66% kasus DF dengan tipe respon sel Th1, sedangkan 71% kasus DBD kelas IV
dengan tipe respon sel Th2. Kadar IL-13 serum yang merupakan sitokin tipikal
dari sel Th2, tidak ada pada pasien dengan DF dan didapatkan tertinggi
pada kasus-kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk., 1999, Chaturvedi dkk.,2000,
Chaturvedi dan Nagar, 2008)
Sel CD4 pada infeksi dengue pada manusia menghasilkan sitokin khas
yaitu human cytotoxic factor (hCF). Selama epidemi DBD di India utara selama
tahun 1996, hCF didapatkan pada 90% dari 333 kasus dengan kadar tertinggi
pada kasus DBD grade IV (Chaturvedi dkk., 2000). Human cytotoxic factor
menginduksi makrofag memproduksi radikal bebas, nitrit, oksigen reaktif dan
peroxynitrite. Radikal bebas, selain membunuh sel-sel target dengan apoptosis,
juga langsung meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (IL-1β, TNF-α, IL-8),
dan peroksida hidrogen oleh makrofag. Peningkatan permeabilitas vaskuler
disebabkan oleh efek kombinasi dari histamin, radikal bebas, sitokin proinflamasi,
produk dari jalur komplemen, dan lain- lain (Chaturvedi dkk., 2000).
Di sisi lain, infeksi virus dengue menginduksi terjadinya autoimun karena
molecular mimicry. Antibodi terhadap NS1 atau prM dapat bereaksi silang dengan
trombosit dan sel endotel. Ikatan dengan trombosit dengan perantaraan aktivasi
komplemen akan menyebabkan lisis trombosit sehinnga terjadi trombositopenia.
Ikatan ini juga akan menghambat agregasi trombosit. Sedangkan ikatan antibodi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
ini dengan sel endotel akan menyebabkan aktivasi signalling pathway yang
terlibat dalam ekspresi iNOS dan produksi NO, yang akan merangsang pelepasan
cytochrome c dan kemudian aktivasi caspase-3 sehingga terjadi apoptosis sel
endotel. Apoptosis sel endotel ini akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma (Lei dkk, 2008).
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini kelompok 3 memiliki
manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat dapat terjadi karena dominasi
sel Th2 yang akan lebih memacu sel limfosit B sehingga produksi
imunoglobulin lebih tinggi, baik IgM maupun IgG antidengue. Komplek
antigen antibodi yang terbentuk juga lebih tinggi sehingga proses
imunupatologi yang terjadi juga lebih berat.
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal waktu mulainya
pengambilan data dikaitkan dengan perawatan pasien. Pengambilan data dimulai
pada demam hari kelima, sedangkan penderita datang dan mulai dirawat di rumah
sakit dengan lamanya demam yang telah diderita bervariasi. Sehingga pada saat
pengambilan data pada hari kelima demam, sebagian belum mendapatkan
perawatan dan pengobatan, sedangkan sebagian yang lain telah mendapatkan
perawatan dan pengobatan baik di RSUD Dr Moewardi maupun di tempat
pelayanan kesehatan sebelumnya. Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Penderita DBD dengan IgG (+) / IgM (+) antidengue mempunyai
manifestasi klinis dan laboratorium yang lebih berat dibanding penderita
dengan IgG (+) / IgM (-) dan IgG (-) / IgM (+) antidengue.
7.2 Saran
1. Perlu pemeriksaan IgG dan IgM anti dengue terhadap pasien DBD yang
dirawat di rumah sakit sebagai salah satu prediktor beratnya DBD.
2 . Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemeriksaan IgG dan IgM
anti dengue kuantitatif dan hCF untuk lebih memahami imunopatologi pada
demam berdarah dengue .