PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL-
URBAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh:
MAYLI FAROH NABILA
1110101000032
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 06 November 2014
Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032
Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di
Kabupaten Bogor Tahun 2014
ABSTRAK
Latar Belakang: Perubahan gaya hidup pada masyarakat mengakibatkan
peningkatan angka kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat cepat
disinyalir karena adanya urbanisasi Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi
hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika dibandingkan dengan
masyarakat rural. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan
antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban di Kabupaten Bogor
tahun 2014.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan sampel
yang terbagi dalam 2 wilayah yakni rural dan urban. Wilayah rural diwakili oleh
Desa Pabuaran di Kecamatan Sukamakmur sedangkan wilayah urban diwakili
oleh Desa Jampang di Kecamatan Kemang. Analisis statistik yang digunakan
yakni uji chi-square.
Hasil: Kejadian hipertensi berdasarkan kelompok usia pada masyarakat urban dan
rural paling banyak pada kelompok usia yang sama, yakni 55-64 tahun. Kejadian
hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada masyarakat rural lebih banyak pada
perempuan, sedangkan pada masyarakat urban perbedaan pada laki-laki dan
perempuan tidak begitu jauh. Kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan asin,
konsumsi makanan berlemak, tidak konsumsi buah dan sayur, dan obesitas lebih
banyak terjadi pada masyarakat rural dibandingkan urban. Sedangkan kejadian
hipertensi akibat perilaku merokok dan kurang aktivitas fisik lebih banyak terjadi
pada masyarakat urban dibandingkan rural. Tidak ada perbedaan antara kejadian
hipertensi pada masyarakat rural dan urban (p=0,874).
Simpulan: Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural
dan urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Namun, perubahan gaya hidup
masyarakat rural yang mengikuti gaya hidup masyarakat urban harus segera
ditindaklanjuti dengan penanggulangan penyakit hipertensi seperti peningkatan
pengetahuan tentang hipertensi dan deteksi dini faktor risiko.
Kata kunci: Kejadian Hipertensi, Masyarakat Rural, Masyarakat Urban
Daftar Bacaan: 96 (1994-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, 06 November 2014
Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032
The Differences of Hypertension Occurrence On Rural-Urban Communities
in Kabupaten Bogor 2014
ABSTRACT
Introduction: The prevalence of hypertension increase as well as lifestyle
changes because of urbanization. The enhancement has shown in urban
community clearer than rural community. This study aim is to find the differences
of hypertension occurrence on rural-urban communities in Kabupaten Bogor
2014.
Method: This cross-sectional study has sample which is divide to two
communities, rural and urban. Rural area represented by Desa Pabuaran in
Kecamatan Sukamakmur, while urban community represented by Desa Jampang
in Kecamatan Kemang. Statistic analysis use chi-square test.
Result: Hypertension occurrence based on age group on rural and urban
communities has the most on 55-64 years old. Based on sex, on rural community,
women more than men, while on rural community, men and women have not too
difference. The occurrence hypertension on rural community higher on urban
community based on frequency of salty food consumption, frequency of fatty food
consumption, frequency of fruit and vegetable consumption, and obesity. While
the occurrence of hypertension on urban community higher on rural community
based on physical activity and smoking behavior. There is no difference between
hypertension occurrence on rural and urban communities (p=0,874).
Discussion: There is no difference between hypertension occurrence on rural and
urban communities in Kabupaten Bogor 2014. But, the lifestyle changes of rural
community must be solved by the improvement of knowledge and early detection
of hypertension.
Keyword: Hypertension Occurrence, Rural Community, Urban Community
Reading List: 96 (1994-2014)
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Mayli Faroh Nabila
Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 09 September 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Krajan 01 RT 003 RW 002 Desa
Karang Duren Kecamatan Balung Kabupaten
Jember 68161
Nomor Telepon : 085781334456
Email : [email protected]
B. Pendidikan Formal
1998-2004 : SD Islam Sabilillah Malang
2004-2007 : SMP Islam Sabilillah Malang
2007-2010 : SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI
Jombang
2010-2015 : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan di hadapan Allah, atas
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tetap tercurah dan terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jalan jahilliyah
menuju jalan yang terang benderang.
Skripsi ini berjudul Perbandingan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat
Rural-Urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Tema ini diangkat karena hingga
saat ini belum banyak orang yang meneliti tentang perbandingan kejadian
hipertensi pada masyarakat rural dan urban. Perbedaan kejadian hipertensi pada
dua golongan masyarakat ini akan berdampak pada perbedaan cara
penanggulangan hipertensi pada kedua wilayah tersebut. Penulis berharap adanya
skripsi ini dapat berkontribusi terhadap pengendalian penyakit hipertensi di
Indonesia.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-
banyaknya kepada:
1. Ibu Fajar Ariyanti, M. Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat serta penanggungjawab Mata Kuliah Skripsi
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014.
2. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku dosen pembimbing skripsi
atas konsultasi, arahan serta bimbingannya selama penyusunan skripsi.
3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes selaku
penanggungjawab Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan
vii
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing
skripsi atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini.
4. Keluarga penulis, Bapak H. Khariri Machmud, Ibu Nanik Ni’matus
Sa’diyah, dan Fika Hilmiyatu Durry, atas do’a serta dukungan yang tak
hentinya diberikan.
5. Keluarga besar penulis di Pondok Pesantren MHI, di Yayasan
Pendidikan Al-Hidayah, dan di Pondok Pesantren Mambaul Islah, atas
dukungan, semangat, motivasi, dan doanya. Semoga ilmu yang penulis
dapatkan bisa berguna di yayasan pendidikan milik keluarga ini.
Amiinn.
6. Bapak Wahyudi, Ibu Lilik Surti Purwani, Arga Indera dan Ainun
Anugerah, atas semangat dan doa yang terus diberikan kepada penulis.
7. Bapak Darmawan, Ibu, Firas, Yasmin, dan Zahra, atas dukungan teknis
dan support yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah membalas seluruh kebaikan kalian dengan
keberkahan dan kebaikan yang berlipat ganda. Amiinn.
8. Teman-teman Kesehatan Masyarakat tahun 2010 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang terus memberikan semangat dan dukungan
untuk menyelesaikan skripsi ini
9. Teman-teman seperjuangan di peminatan epidemiologi, Tika, Ati,
Rizka, Zata, Wiwid, Ii, Najah, Lutfi, Mba Putri, Ana, Nida, Karlina,
Harun, Bayu, yang memberikan segala bantuan yang diberikan, dan
selalu ada dalam suka dan duka.
viii
10. Teman-teman seperjuangan di CSS MoRA khususnya pengurus
nasional periode 2013-2015 dan CSS MoRA UIN Jakarta 2010,
teman-teman seperjuangan dari Pondok Pesantren Darul Ulum
Jombang (Puput, Fuad, Desy, dan Angger) yang tak hentinya
mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian pada skripsi ini
masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar penulis dapat
menyusun laporan penelitian yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Semoga segala keberkahan selalu dilimpahkan kepada kita semua, dan penulis
berharap, skripsi ini dapat membawa manfaat bagi banyak orang yang
membacanya.
Ciputat, 03 Juni 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS ............................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup .............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
2.1 Hipertensi ....................................................................................................... 9
1. Pengertian ................................................................................................. 9
2. Klasifikasi ............................................................................................... 11
3. Gejala ...................................................................................................... 13
4. Etiologi ................................................................................................... 13
5. Patogenesis ............................................................................................. 15
6. Tatalaksana ............................................................................................. 17
2.2 Epidemiologi Hipertensi .............................................................................. 20
2.3 Epidemiologi Deskriptif .............................................................................. 21
1. Variabel Orang ....................................................................................... 22
2. Variabel Tempat ..................................................................................... 41
3. Variabel Waktu ....................................................................................... 48
2.4 Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 50
2.5 Kerangka Teori ............................................................................................ 52
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 55
3.1 Kerangka Konsep......................................................................................... 55
x
3.2 Definisi Operasional .................................................................................... 58
3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 61
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 62
4.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 62
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................................... 62
4.3 Populasi dan Sampel .................................................................................... 62
4.4 Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 64
4.5 Alur Pengumpulan Data .............................................................................. 64
4.6 Instrumen Penelitian .................................................................................... 64
4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 65
BAB V HASIL ...................................................................................................... 67
5.1 Distribusi Karakteristik Responden Masyarakat Rural-Urban berdasarkan
Orang, Tempat, dan Waktu .......................................................................... 67
1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia ......... 67
2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin............ 67
3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok ..... 68
4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Asin ........................................................................................ 69
5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Berlemak ................................................................................ 69
6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Sayur dan Buah ...................................................................................... 70
7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik ........... 70
8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Indeks Massa
Tubuh ..................................................................................................... 71
9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .............. 72
5.2 Gambaran Epidemiologi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan
Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu .......................................... 72
1. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada
Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 73
2. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada
Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 73
3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada
Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 74
xi
4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban ...................................... 75
5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban ............................... 76
6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah
dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban .............................................. 76
7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada
Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 77
8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada Masyarakat
Rural-Urban............................................................................................ 78
5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .................. 78
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 80
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 80
6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada
Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 81
6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada Masyarakat
Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural, perempuan urban) ......... 83
6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada
Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 86
6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan
Asin pada Masyarakat Rural-Urban ........................................................... 88
6.6 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan
Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban .................................................... 90
6.7 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah dan
Sayur pada Masyarakat Rural-Urban........................................................... 92
6.8 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada
Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 93
6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada
Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 96
6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .................. 97
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 102
7.1 Simpulan .................................................................................................... 102
7.2 Saran .......................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104
Lampiran ............................................................................................................. 111
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010) 48 51
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia 67
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin 68
Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok 68
Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Asin 69
Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Berlemak 69
Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Sayur dan Buah 70
Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik 71
Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Obesitas 71
Tabel 5.9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan Urban 72
Tabel 5.10. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada
Masyarakat Rural-Urban 73
Tabel 5.11. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada
Masyarakat Rural-Urban 74
Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada
Masyarakat Rural-Urban 74
Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan
Asin pada Masyarakat Rural-Urban 75
Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan
Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban 76
Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Makanan Buah dan
Sayur pada Masyarakat Rural-Urban 77
Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada
Masyarakat Rural-Urban 77
Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada
Masyarakat Rural-Urban 78
Tabel 5.18. Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman, penyakit yang banyak diderita
masyarakat di Indonesia mulai bergeser dari penyakit menular menuju
penyakit tidak menular. Hal ini dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang menunjukkan adanya peningkatan kasus
penyakit tidak menular, antara lain penyakit kardiovaskuler dan kanker
secara cukup bermakna, menjadikan Indonesia mempunyai beban ganda
(double burden), sedangkan kontribusi penyakit menular terhadap angka
kesakitan dan kematian semakin menurun (Kemenkes, 2012). Penyakit
kardiovaskuler yang memiliki dampak paling besar adalah hipertensi,
karena penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut menjadi penyakit jantung
koroner dan stroke, yang dapat menyebabkan penderitanya mati mendadak.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia
adalah 37,1% untuk penduduk dewasa. Namun, hanya 7,2% penduduk yang
sudah mengetahui bahwa ia menderita hipertensi dan hanya 0,4% kasus
yang minum obat hipertensi (Kemenkes, 2007). Sedangkan berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi hipertensi di
Indonesia menurun menjadi 26,5%. Penduduk yang mengetahui bahwa ia
menderita hipertensi juga meningkat menjadi 9,4%. Namun, penduduk yang
mengkonsumsi obat antihipertensi menurun menjadi 0,1% (Kemenkes,
2013).
2
Penurunan prevalensi hipertensi di Indonesia, tidak diiringi dengan
penurunan proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Indonesia.
Faktor risiko penyakit hipertensi antara lain perilaku merokok, konsumsi
alkohol, kurangnya asupan sayur dan buah, konsumsi lemak tinggi, hingga
obesitas dan kurang olahraga (Aisyiyah, 2009). Berdasarkan Riskesdas
2013, proporsi perokok semua umur sebesar 29,3% dengan rata-rata jumlah
batang yang dihisap mencapai 12,3 batang. Penduduk laki-laki umur 10
tahun ke atas yang merupakan perokok tiap hari sebesar 47,5%. Menurut
pendidikan, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk tamat SMA (28,7%)
(Kemenkes, 2013).
Faktor risiko hipertensi selain merokok adalah aktivitas fisik. Proporsi
aktivitas fisik kurang aktif penduduk Indonesia adalah 26,1% (Kemenkes,
2013). Mayoritas penduduk Indonesia banyak yang melakukan perilaku
sedentari. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk,
berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja
di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll),
di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu
tidur.
Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu
terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan
bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Laporan Riskesdas 2013
menunjukkan sebanyak 42,0% penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan
perilaku aktifitas sedentari 3-5,9 jam, sedangkan sedentari ≥6 jam per hari
meliputi hampir satu dari empat penduduk (Kemenkes, 2013).
3
Konsumsi makanan asin dan berlemak juga merupakan faktor risiko
hipertensi. Konsumsi makanan asin di Indonesia meningkat dari 24,5%
menjadi 26,2% di 2007 ke 2013 (Kemenkes, 2013).
Dilihat dari faktor risikonya, memang secara garis besar dapat
dikatakan bahwa hipertensi disebabkan oleh gaya hidup seseorang. Gaya
hidup yang tidak sehat berkembang seiring dengan arus globalisasi. Efek
dari globalisasi ini secara nyata lebih terlihat efeknya di daerah urban
(Modesti, et al., 2013).
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di wilayah urban
lebih tinggi daripada rural. Prevalensi hipertensi di wilayah urban sebesar
26,1% sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5% (Kemenkes, 2013).
Namun hal ini tidak menjamin proporsi faktor risiko hipertensi pada
masyarakat Indonesia lebih tinggi di daerah urban dibandingkan rural.
Berdasarkan Riskesdas 2013, pada faktor risiko perilaku merokok,
proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah rural lebih tinggi
daripada wilayah urban. Proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah
urban sebesar 23,2%, sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5%. Pada
kategori perilaku sedentari, proporsi penduduk yang melakukan aktivitas
sedentari <3 jam dan 3-5,9 jam di wilayah rural jumlahnya lebih tinggi
dibandingkan wilayah urban. Aktivitas sedentari di wilayah rural <3 jam
sebesar 35,4% sedangkan di wilayah urban sebesar 32,3%. Aktivitas
sedentari 3-5,9 jam di wilayah rural sebesar 42,5% sedangkan di wilayah
urban sebesar 41,6%.
4
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 5 pulau besar
yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pusat
pemerintahan Indonesia berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Pulau Jawa
memiliki jumlah penduduk yang paling besar dibandingkan dengan pulau-
pulau besar lainnya.
Berdasarkan Riskesdas 2013, provinsi dengan prevalensi hipertensi
tertinggi di Pulau Jawa adalah Jawa Barat. Hal ini didukung dengan
proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Jawa Barat yang
menduduki peringkat atas dalam beberapa kategori. Dalam kategori
kebiasaan merokok, proporsi perokok setiap hari di Jawa Barat mencapai
27,1%, menjadi peringkat kedua nasional setelah Kepulauan Riau (27,2%),
dan menjadi peringkat pertama di Pulau Jawa. Untuk perilaku sedentari,
Jawa Barat menduduki peringkat empat tertinggi nasional proporsi
penduduk yang melakukan perilaku sedentari lebih dari 6 jam (33,0%).
Angka ini melebihi angka nasional perilaku sedentari yakni sebesar 24,1%
(Kemenkes, 2013).
Berdasarkan analisis Riskesdas 2013 mengenai konsumsi makanan
berlemak, berkolesterol tinggi, dan gorengan, provinsi Jawa Barat
menduduki peringkat ketiga tertinggi nasional (50,1%). Angka ini berada
diatas proporsi nasional yakni 40,7%. Untuk kategori konsumsi makanan
asin, proporsi provinsi Jawa Barat sebesar 45,3%, berada diatas rata-rata
nasional yakni 26,2%. Dalam kategori makanan hewani berpengawet,
proporsi Jawa Barat sebesar 5,4%, sedangkan rata-rata nasional sebesar
4,3%. Dalam kategori makanan berpenyedap, Jawa Barat memiliki proporsi
5
sebesar 87,1%, sedangkan rata-rata nasional sebesar 77,3%. Begitu juga
minuman berkafein, proporsi Jawa Barat sebesar 34,2% sedangkan rata-rata
nasional sebesar 31,5% (Kemenkes, 2013). Dari data ini, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Jawa Barat cukup berpotensi terkena hipertensi.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang cukup besar di
Jawa Barat. Wilayah Kabupaten Bogor berbatasan dengan wilayah
perkotaan seperti DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten
Bekasi. Hal ini menyebabkan arus urbanisasi di Kabupaten Bogor cukup
deras. Dampak dari urbanisasi ini juga terlihat dari wilayah Kabupaten
Bogor dimana sebagian dapat diklasifikasikan sebagai perkotaan, sedangkan
lainnya diklasifikasikan sebagai pedesaan (BPS, 2010). Pola penyakit yang
ada di masyarakat Kabupaten Bogor juga mulai bergeser dari penyakit
menular ke arah penyakit tidak menular (Dinkes Bogor, 2012).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012, penyakit
Hipertensi menempati urutan pertama pola penyakit penderita rawat jalan di
puskesmas pada kelompok umur 45-69 tahun (11,21%) dan kelompok umur
>70 tahun (18,7%). Penyakit hipertensi juga menempati urutan delapan
besar pola penyakit kasus rawat jalan di rumah sakit pada kelompok umur
5-44 tahun (3%), menjadi peringkat pertama pola penyakit rawat jalan di
rumah sakit pada kelompok umur 45-69 tahun (17,46%) dan kelompok
umur >70 tahun (19,02%). Pada kategori pola penyakit kasus rawat inap di
rumah sakit pada kelompok umur 5-44 tahun, hipertensi merupakan
penyakit terbanyak kedelapan (3,38%), menjadi penyakit kedua terbanyak
(7,51%) pada kelompok umur 45-69 tahun, serta peringkat pertama
6
(11,94%) pada kelompok umur >70 tahun. Dari segi faktor risiko,
berdasarkan Survei Kesehatan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2007,
diketahui persentase perokok aktif di Kabupaten Bogor sebesar 27,1%,
angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase perokok aktif di
Jawa Barat (26,7%) dan secara nasional (23,7%). Data ini menunjukkan
potensi besar adanya kemungkinan peningkatan angka morbiditas akibat
hipertensi di Kabupaten Bogor (Dinkes Bogor, 2012).
Menurut peneliti, perlu dilakukan penelitian mengenai hipertensi
rural-urban untuk mewaspadai prevalensi penyakit tidak menular agar tidak
menjadi fenomena gunung es, karena selama ini penelitian mengenai
penyakit tidak menular lebih difokuskan kepada daerah perkotaan (Pradono
dkk., 2013 dan Sirait dkk, 2012). Selain itu, penelitian yang membahas
tentang perbandingan hipertensi pada masyarakat rural-urban belum banyak
dilakukan (Badar, 2010). Oleh karena itu, peneliti akan mengangkat tema
tentang Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di
Kabupaten Bogor Tahun 2014
1.2 Rumusan Masalah
Peningkatan prevalensi hipertensi yang cepat disinyalir dikarenakan
adanya urbanisasi. Di Kabupaten Bogor, prevalensi hipertensi meningkat
dari tahun ke tahun. Hipertensi telah menjadi penyakit yang paling banyak
diderita oleh masyarakat. Faktor risiko yang dimiliki oleh masyarakat
berbanding lurus dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Faktor
geografis kini terbukti menjadi salah satu faktor risiko penyakit degeneratif,
seperti hipertensi. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang semakin
7
mendekati pusat pemerintahan, maka lebih berisiko terkena
hipertensi.Masalah yang hendak diangkat dari penelitian ini adalah
Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten
Bogor Tahun 2014
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada
masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu?
2. Apakah ada perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat rural
dan urban?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan
Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten
Bogor Tahun 2014
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada
masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan
waktu.
b. Mengetahui perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat
rural dan urban.
8
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Tambahan referensi dan acuan penelitian mengenai hipertensi
pada masyarakat rural-urban.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor
a. Bahan referensi dalam perencanaan program pengendalian
penyakit hipertensi dan memproyeksikan perkembangan
penyakit hipertensi.
3. Bagi Puskesmas Kecamatan Setempat
a. Acuan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan evaluasi
program pengendalian penyakit hipertensi.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Perbedaan Kejadian
Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2014. Metode penelitian
ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi cross-
sectional dengan jumlah sampel sebanyak 160 yang terdiri atas 80
responden masyarakat rural dan 80 responden masyarakat urban. Faktor
yang diteliti antara lain umur, jenis kelamin, konsumsi makanan asin,
konsumsi makanan berlemak, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik, dan
indeks massa tubuh. Kemudian, faktor-faktor tersebut dilihat perbedaannya
antara lokasi tempat tinggal responden di rural dan urban. Cara
pengambilan sampel menggunakan teknik multistage random sampling.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
1. Pengertian
Hipertensi adalah penyakit yang makin banyak dijumpai di
Indonesia, terutama di kota-kota besar. Hipertensi adalah
peningkatan tekanan sistole, yang tingginya tergantung umur
individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas
tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stres yang
dialami. Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang,
atau berat, berdasarkan tekanan diastole. Hipertensi ringan bila
tekanan darah diastole 95-104, hipertensi sedang tekanan diastole-
nya 105-114, sedangkan hipertensi berat jika tekanan diastole-nya
>115 (Tambayong, 2000).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dengan konsisten diatas 140/90 mmHg. Diagnosis
hipertensi tidak berdasarkan pada peningkatan tekanan darah yang
hanya sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi duduk dan
berbaring (Baradero, 2008).
Hipertensi dengan peningkatan sistole tanpa disertai
peningkatan tekanan diastole lebih sering pada lansia, sedangkan
hipertensi peningkatan tekanan diastole tanpa disertai peningkatan
tekanan sistole lebih sering terdapat pada dewasa muda. Hipertensi
10
dapat pula digolongkan sebagai essensial atau idiopatik, tanpa
etiologi spesifik, yang paling sering dijumpai. Bila ada penyebabnya,
disebut hipertensi sekunder (Tambayong, 2000).
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90
mmHg (Price & Wilson, 2006). Sedangkan menurut WHO,
hipertensi atau tekanan darah tinggi yaitu tekanan darah sistole sama
dengan atau diatas 140 mmHg, diastole di atas 90 mmHg (Mansjoer,
2000). Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat
abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang
berbeda (dilakukan 4 jam sekali). Dianggap mengalami hipertensi
apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140 mmHg sistolik atau
90 mmHg diastolik (Corwin, 2000).
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang
mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) (Basha, 2008). Hipertensi atau penyakit darah
tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi
seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena
termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-
gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Sustrani,
2006).
11
Ada dua macam hipertensi, yaitu hipertensi esensial (primer)
dan sekunder. Sembilan puluh persen dari semua kasus hipertensi
adalah primer. Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi
primer, sekalipun ada beberapa teori yang menunjukkan adanya
faktor-faktor genetik, perubahan hormon, dan perubahan simpatis.
Hipertensi sekunder adalah akibat dari penyakit atau gangguan
tertentu (Baradero, 2008).
2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua
golongan, yaitu (Mansjoer, 2000):
a. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik, terdapat sekitar
95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis,
sistem renin-angiotensin, efek dalam ekskresi Na, peningkatan
Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan
risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal, terdapat sekitar 5%
kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.
12
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu
hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik. Pertama yaitu hipertensi
sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat
meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut
jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat
dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan
atas yang nilainya lebih besar. Kedua yaitu hipertensi diastolik
terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,
sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang
melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah
diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada
dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan faktor
yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur,
obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam
keluarga (Arjatmo, 2001).
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua
yaitu primer dan sekunder. Hipertensi primer merupakan jenis yang
penyebab spesifik tidak diketahui. Sedangkan hipertensi sekunder
merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui.
Penderita hipertensi sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi
penyebab dan patofisiologinya sudah diketahui sehingga dapat
dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan (Arjatmo &
Hendra, 2001). Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder
13
adalah adanya kelainan dan keadaan dari sistem organ lain seperti
ginjal (gagal ginjal kronik, glomerolus nefritis akut), kelainan
endokrin (tumor kelenjar adrenal, sindroma cushing) serta bisa
diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan (kortikosteroid dan
hormonal) (Sustrani, 2006).
Ada lagi istilah hipertensi benigna dan maligna, tergantung
perjalanan penyakitnya. Bila timbulnya berangsur, disebut benigna;
bila tekanannya naik secara progresif dan cepat, disebut hipertensi
maligna, dengan banyak komplikasi, seperti gagal ginjal, CVA,
hemoragi retina, dan ensefalopati (Tambayong, 2000).
3. Gejala
Bila timbul gejala, penyakit ini sudah lanjut. Gejala klasik
yaitu sakit kepala, epistaksis, pusing, dan tinitus yang diduga
berhubungan dengan naiknya tekanan darah, ternyata sama
seringnya dengan yang terdapat pada yang tidak dengan tekanan
darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata
kabur, depresi, dan nokturia, ternyata meningkat pada hipertensi
yang tidak diobati. Empat sekuele utama akibat hipertensi adalah
stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati (Tambayong,
2000).
4. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak
diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini
14
tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari
populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang
khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-
pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer adalah suatu peningkatan persisten
tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan
mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak
diketahui penyebabnya dan mencakup ± 90% dari kasus
hipertensi. Pada umumnya hipertensi esensial tidak disebabkan
oleh faktor tunggal, melainkan karena berbagai faktor yang
saling berkaitan. Salah satu faktor yang paling mungkin
berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial adalah
faktor genetik karena hipertensi sering turun temurun dalam
suatu keluarga. (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
2006).
b. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan
penderita hipertensi sekunder dari berbagai penyakit atau obat-
obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
15
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.
Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat
diidentifikasi, dengan menghentikan obat atau
mengobati/mengoreksi penyakit yang menyertai merupakan
tahap awal penanganan hipertensi sekunder (Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
5. Patogenesis
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan
tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan
garam yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel.
Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah
dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak
mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang
berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang.
(Beevers et al, 2002).
Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat
misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek
kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari
16
atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang
bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi
kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler
dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan
vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan
berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan
darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh
beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal
dan membrane sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin
yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan
metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel.
(Beevers et al, 2002).
Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain
penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal
ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan
mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat
menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan
kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat
mengakibatkan kebutaan (Beevers et al, 2002). Gejala–gejala
hipertensi antara lain sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit
bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah
17
lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering
buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus)
dan dunia terasa berputar (Sustrani, 2006).
6. Tatalaksana
Penatalaksanan untuk menurunkan tekanan darah pada
penderita tekanan darah tinggi dapat dilakukan dengan farmakologi
dan non farmakologi.
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi adalah penatalaksanaan
tekanan darah tinggi dengan menggunakan obat-obatan
kimiawi. Beberapa jenis obat antihipertensi yang beredar saat
ini, antara lain:
1). Diuretik
Diuretik adalah obat antihipertensi yang efeknya
membantu ginjal meningkatkan ekskresi natrium, klorida
dan air (Setiawati & Bustami, 2005). Meningkatkan
ekskresi pada ginjal akan mengurangi volume cairan di
seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah (Sheps,
2002).
2). Penghambat Adrenergik
Menurut Sheps (2002), penghambat adrenergik merupakan
sekelompok obat yang terdiri dari alfa-bloker, beta-bloker,
dan alfa-beta-bloker (abetol). Penghambat adrenergik
berguna untuk menghambat pelepasan rennin, angiotensin
18
juga tidak akan aktif. Angiotensin I tidak akan dibentuk
dan angiotensin II juga tidak akan berubah. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan TD
(Setiawati dalam Rezky, 2011).
3). Vasodilator
Vasodilator adalah obat-obat antihipertensi yang efeknya
memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan
tekanan darah secara langsung (Setiawati dalam Rezky,
2011). Obat vasodilator mempengaruhi pembuluh darah
untuk melebar dengan merelaksasikan otot-otot polos
arteriol (Setiawati dalam Rezky, 2011).
4). Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
Penghambat ACE mengurangi pembentukan angiotensin
II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium
dan air, serta retensi kalsium. Akibatnya terjadi penurunan
tekanan darah pada penderita hipertensi (Setiawati dalam
Rezky, 2011).
5). Antagonis Kalsium
Menurut Sheps (2002), cara kerja antagonis kalsium
hamper sama dengan vasodilatot. Antagonis kalsium
adalah obat antihipertensi yang memperlebar pembuluh
darah.
19
b. Penatalaksanaan Non Farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologis merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah
tinggi. Beberapa contoh penatalaksanaan non farmakologis
antara lain:
1). Berhenti Merokok
Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat
antihipertensi. Obat bisa tidak bekerja dengan optimal atau
tidak memberi efek sama sekali. Dengan berhenti merokok
efektifitas obat akan meningkat (Sheps, 2002).
2). Tidak Mengkonsumsi Alkohol
Alkohol dalam darah merangsang pelepasan epineprin
(adrenalin) dan hormon-hormon lain yang membuat
pembuluh darah menyempit dan penumpukan lebih
banyak natrium dan air. Minum minuma beralkohol yang
berlebihan juga menyebabkan kekurangan gizi yaitu
penurunan kadar kalsium dan magnesium (Sheps, 2002).
3). Diet
Penurunan diet natrium dari 180 mmol (10,5 gr) per hari
menjadi 80-100 mmol (4.7 - 5.8 gr) per hari dapat
menurunkan tekanan darah sistolik 4-6 mmHg (Joewono,
2003). Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus
membatasi asupan natrium dalam makanan. Selain
membatasi natrium, mengurangi makanan berlemak,
20
makan lebih banyak biji-bijian, buah-buahan, sayuran dan
produk susu rendah lemak akan meningkatkan kesehatan
kita secara menyeluruh dan memberikan manfaat khusus
bagi penderita tekanan darah tinggi (Sheps, 2002).
4). Olahraga teratur
Olahraga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta
meningkatkan kekuatan otot terutama otot jantung.
Berkurangnya lemak dan volume tubuh, berarti
mengurangi resiko tekanan darah tinggi juga (Shep, 2002).
5). Penanganan Faktor Psikologis dan Stress
Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress
menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan
menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut
jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung
pada beratnya stress dan sejauh mana kita dapat
mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat dapat
berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah
(Sheps, 2002).
2.2 Epidemiologi Hipertensi
Pada awal mula istilah epidemiologi hanya terbatas pada penyakit
menular, namun sesuai dengan perkembangan zaman, terjadi transisi
epidemiologi ke arah penyakit tidak menular, seperti penyakit degeneratif,
penyakit akibat populasi, penyakit kanker, bahkan kecelakaan lalu lintas
(Wahyuningsih, 2009).
21
Pada penyakit hipertensi, diperkirakan 80% kenaikan kasus hipertensi
terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di
tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi
ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan
penduduk saat ini (Armilawati et al., 2007).
Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak
dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita
yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case
finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat
terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.
Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka
prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan
Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%
sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8%
(Wade, 2003 dalam Levanita, 2010).
2.3 Epidemiologi Deskriptif
Penelitian deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi individu dan
populasi yang memiliki risiko paling besar terkena suatu penyakit, untuk
menentukan tanda-tanda sebagai etiologi penyakit, serta untuk memprediksi
kejadian penyakit melalui pemahaman hubungan antara suatu penyakit
dengan beberapa faktor risiko yang ada (Arias, 2009). Epidemiologi
deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau
frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel
orang, tempat, dan waktu (Masriadi, 2012).
22
Menurut Mausner dan Bahn, epidemiologi deskriptif mencakup orang,
tempat, dan waktu, sebagai konsep-konsep dasarnya yang akan digunakan
untuk mendeskripsikan kejadian dan kegiatan yang melingkupi atau
mungkin mempengaruhi terjadinya KLB penyakit (Timmreck, 2004).
Analisis data epidemiologis berdasarkan variabel orang, tempat, dan
waktu digunakan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang
morbiditas dan mortalitas yang dihadapi. Dengan demikian, memudahkan
untuk mengadakan penanggulangan, pencegahan, atau pengamatan
(Budiarto, 2002).
1. Variabel Orang
Variabel orang dalam menjawab siapa yang terkena masalah,
biasanya berupa variabel umur, jenis kelamin, suku, agama,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor tersebut biasa disebut
sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang
potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapat
risiko biasanya disebut population at risk (Masriadi, 2012).
Untuk mengidentifikasi seseorang terdapat variabel yang tak
terhingga banyaknya, tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat
digunakan sebagai indikator untuk menentukan ciri seseorang. Untuk
menentukan variabel mana yang dapat digunakan sebagai indikator,
hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta
sarana yang ada (Budiarto, 2002). Dalam penelitian ini, variabel
orang dijelaskan sebagai faktor risiko hipertensi.
23
Faktor risiko hipertensi meliputi umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga mengalami hipertensi, obesitas yang dikaitkan dengan
peningkatan volume intravaskular, aterosklerosis (penyempitan
arteria-arteria dapat membuat tekanan darah meningkat), merokok
(nikotin dapat membuat pembuluh darah menyempit), kadar garam
tinggi (natrium membuat resistensi air yang dapat menyebabkan
volume darah meningkat), konsumsi alkohol dapat meningkatkan
plasma katekolamin, dan stres emosi yang merangsang sistem saraf
simpatis (Baradero, 2008)
Menurut beberapa penelitian yang pernah dilakukan, faktor
risiko hipertensi antara lain usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin
(Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan
tertentu (asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012),
berkolesterol tinggi (Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)),
kurangnya asupan sayur dan buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku
merokok (Pradono, 2013), konsumsi alkohol (Hartono, 2006),
perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya aktivitas fisik
(Rabaity, 2012), obesitas (Syahrini, 2012), faktor genetik
(Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Faktor-faktor risiko
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Usia
Usia atau umur adalah lamanya keberadaan seseorang
diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik,
individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan
24
anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998 dalam
Manurung, 2013). Insidens hipertensi berbanding lurus dengan
usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan
jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian
prematur (Tambayong, 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Farida Nur Aisyiyah (2009), yang
menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka
semakin tinggi pula tekanan darahnya . Penelitian yang dilakukan
oleh Nurlyna Nur Syahrini, dkk (2012), yang menyatakan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara umur dengan hipertensi.
Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya
usia, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin
besar. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang
yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup
kemungkinan diderita oleh orang berusia muda. Boedhi Darmoejo
dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian yang
dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8%-28,6%
penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita
hipertensi (Beevers at al, 2002).
Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami
perubahan seiring pertambahan umurnya. Pembuluh darah
manusia saat umur 1-10 tahun akan bersifat licin dan elastis. Pada
usia ini pembuluh darah berfungsi normal. Memasuki usia 10-20
tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah. Hal ini
25
dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak
lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian akan terus
berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma.
Proses ini muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di
pembuluh darah ini menyebabkan penyempitan, sehingga ketika
volume darah yang melewati pembuluh darah ini tetap, maka
akan muncul kenaikan tekanan darah (Price & Wilson, 2006).
Perubahan struktur dan fungsional pada sistem perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, yang kemudian menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa jantung,
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Bruner dan Suddarth, 2001 dalam Sagala, 2010).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status
biologis seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan
antara pria dengan wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom
seks), hormon seks, organ kelamin interna dan genitalia eksterna
(Henderson, 2005). Pada umumnya insidens pria lebih tinggi
daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua,
26
insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas
65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000).
Banyak penelitian juga telah menyatakan ada hubungan antara
jenis kelamin dengan hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan
oleh Wahiduddin, dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebagian
besar kasus hipertensi berjenis kelamin laki-laki.
Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada
laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa
kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak
mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita.
Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan,
seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia
55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi
dibandingkan wanita. Menurut Edward D. Frohlich seorang pria
dewasa akan mempunyai peluang lebih besar yakni satu di antara
5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).
Munculnya perbedaan risiko seseorang terkena hipertensi
berdasarkan jenis kelamin dikarenakan adanya perbedaan hormon
yang dihasilkan antara pria dan wanita. Adanya hormon estrogen
sebelum awitan menopause dianggap merupakan faktor pelindung
utama untuk menghindari timbulnya penyakit kardiovaskular
(Price&Wilson, 2006).
27
c. Ras/Suku
Secara garis besar ras penduduk dunia dibagi berdasarkan
warna kulit yaitu kelompok Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.
Ada penyakit yang diturunkan secara genetik pada ras tertentu
seperti Sickle Cell Anemia pada ras Negroid, kanker lambung
pada orang Amerika keturunan Jepang dan Hemofilia pada
keturunan Tsar Rusia. Selain faktor keturunan, terdapat faktor lain
yang ikut mempengaruhi terjadinya penyakit atau kematian pada
ras dan etnis tertentu, seperti adat istiadat, kebudayaan, gaya
hidup, hobi, dan lain-lain (Chandra, 2009).
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua
kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya
lebih berat daripada yang berkulit hitam (Tambayong, 2000). Ras
di Indonesia tidak terlalu beragam. Sebagian besar ras orang
Indonesia adalah ras Mongoloid, bagian dari ras Asia (Sumolang,
2010). Namun, jika berbicara mengenai ras, maka Indonesia
memiliki keragaman lain, yakni suku. Keragaman suku yang ada
di Indonesia mempengaruhi ragam kuliner yang ada.
Dalam bidang makanan, apa yang kita konsumsi tidak
hanya masalah ekonomi atau lingkungan tetapi juga merupakan
suatu kategori budaya sehingga menjadi salah satu faktor
penyebab penyakit degeneratif (hipertensi) (Fitriani, 2012).
Kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat mengenai
makanan, terkadang tidak mempertimbangkan nilai gizi yang
28
terkandung di dalam makanan tersebut, sehingga masyarakat
tersebut rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh suatu zat
makanan tertentu.
d. Konsumsi Makanan Tertentu
Konsumsi makanan yang mempengaruhi tekanan darah
adalah konsumsi makanan bergaram tinggi, berlemak, atau
berkolesterol tinggi. Konsumsi makanan yang seperti ini
mengandung zat-zat yang dapat meningkatkan tekanan darah
seperti natrium dan kolesterol.
Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan
adanya peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat
perdesaan yang mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil
(70mEq/hari) terbukti memiliki riwayat hipertensi yang lebih
rendah, yang mengalami peningkatan tekanan darah seiring
dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat.
Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi
jumlah natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam,
berhubungan dengan penurunan 10 mmHg TDS pada orang
dewasa berumur 60-69 tahun. Peningkatan TDS karena penuaan
(umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan peningkatan TDD
berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium lebih
rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004). Salah satu
rekomendasi pencegahan hipertensi di Amerika adalah dengan
29
membatasi konsumsi garam 6 g/hari (100 mEq atau 2400 mg Na
per hari) (Aisyiyah, 2009).
WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam
dapur hingga 6 gram sehari (sama dengan 2400 mg Natrium).
Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah.
Masyarakat yang mengkonsumsi garam yang tinggi dalam pola
makannya juga adalah masyarakat dengan tekanan darah yang
meningkat seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, masyarakat
yang konsumsi garamnya rendah menunjukkan hanya mengalami
peningkatan tekanan darah yang sedikit, seiring dengan
bertambahnya usia (Beevers et al, 2002).
Natrium bersama klorida yang terdapat dalam garam dapur
dalam jumlah normal dapat membantu tubuh mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah.
Namun natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air
(retensi), sehingga meningkatkan volume darah. Akibatnya
jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan
tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006).
Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying)
berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan
yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak dan kaya
lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus
menerus, sehingga memiliki densitas energi yang tinggi dan
tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasan dapat
30
berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin,
hormon yang menstimulasi rasa lapar-kenyang (Aisyiyah, 2009).
Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan
aterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun
dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid).
Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan
penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah.
Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya
berkurang. Kandungan lemak atau minyak yang dapat
mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah:
kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier
2003)
e. Konsumsi Sayur dan Buah
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan
pembuluh darah bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan
sejak dini. Dalam hal ini antioksidan mampu menangkap radikal
bebas dan mencegah dimulainya proses kerusakan pembuluh
darah. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom
pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan.
Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak
stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini, antioksidan mampu
menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan
elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
31
pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress
oksidatif. Antioksidan terbagi atas dua jenis, yakni antioksidan
endogen dan eksogen. Antioksidan endogen berupa enzim dalam
tubuh, misalnya superoksida dismutase (SOD), glutathion, dan
katalase. Sedangkan, antioksidan eksogen mencakup beta karoten,
vitamin C, vitamin E, zinc (Zn), dan selenium (Se). Menkonsumsi
sayur-sayuran dan buah-buahan dalam porsi yang memadai akan
menjadi sumber asupan antioksidan bagi tubuh (Almatsier 2003).
Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat
menurunkan risiko hipertensi dengan semakin bertambahnya
umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan
dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain
seperti serat, mineral kalium, dan magnesium. Orang yang
mengkonsumsi buah dan sayur biasanya memiliki kebiasaan yang
lebih sehat, seperti: melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak
merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol; yang secara
keseluruhan dapat menurunkan risiko hipertensi (Dauchet et al.
2007). Pasien hipertensi dianjurkan mengkonsumsi sayur dan
buah yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari
(Hartono 2006).
Tingginya konsumsi biji-bijian dengan kulit berhubungan
dengan penurunan hipertensi pada orang dewasa dan lansia
wanita (Wang et al. 2007). Konsumsi tinggi sayur dan buah serta
rendah karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai pola
32
makan untuk penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan
oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita prehipertensi
dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara
konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan
penurunan berat badan (p<0.001). Pola konsumsi rendah densitas
energi dapat menurunkan asupan energi dan penurunan berat
badan. Pola konsumsi rendah densitas energi dapat dilakukan
dengan peningkatan konsumsi buah, sayur, serat, vitamin dan
mineral. Serat pangan dapat membantu meningkatkan
pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan
waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu,
konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa
kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi
pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan
risiko hipertensi (Krisnatuti & Yenrina 2005).
Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang
bekerja dan tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup
yang serba cepat dan instan. Keadaan yang seperti ini
dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat saji. Oleh karena itu,
tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah perkotaan.
(Genis Ginanjar,2009).
Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu
karbohidrat tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat
perkotaan menimbulkan masalah gizi lebih, selain itu pola makan
33
yang tidak seimbang ini juga meningkatkan timbulnya penyakit
degenerative, misalnya hipertensi, diabetes, dan jantung.
(Rahmat,2004).
f. Perilaku Merokok
Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah
merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga
dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke
jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok
dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit
jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002).
Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu
sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan
merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung,
tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung; merangsang
pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung.
Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian
tubuh lainnya.
Merokok dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah
aterogenik. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah
dan dapat menurunkan kadar HDL Rokok dapat meningkatkan
kadar LDL dalam darah dan menurunkan kada HDL.
Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20
34
– 49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah
4.5 – 6.5 % pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa
pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami
penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok
(Karyadi 2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan
pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan 2004).
Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang
dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang
merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi dua kali lebih
rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka yang
tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh
nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom.
Namun efek nikotin tidak bersifat kumulatif, mantan perokok
tampaknya berisiko rendah seperti pada bukan perokok
(Price&Wilson, 2006).
g. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang
berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi alkohol
harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan darah
(Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan
peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan
dalam hal tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3 kali per
hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah, dan
berhubungan dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol
35
seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau
2 oz whiskey murni) pada laki-laki untuk pencegahan
peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang
memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari
1 kali minum per hari (Krummel 2004). Namun akan lebih baik
jika konsumsi alkohol tidak dilakukan.
h. Perilaku Sedentari
Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap
salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah,
penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup.
Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk,
berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat
kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton
TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta,
motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur (Kemenkes, 2013).
i. Kurang Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot
tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas
fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk
bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen
ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh
(Supariasa 2001).
36
Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki
kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka
yang aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan
bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian
stroke. Selain itu, dua meta-analisis yang telah dilakukan juga
menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama
menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan
darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis
kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas
aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan
2 mmHg TDD pada pasien dengan dan tanpa hipertensi
(Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 –
45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi untuk
pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas
fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan
meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4
mmHg (Khomsan 2004).
Kemajuan teknologi seperti transportasi dan alat bantu
komunikasi berkontribusi pada meningkatnya prevalensi
kegemukan. Tersedianya sarana transportasi membuat orang
lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun
pada jarak yang tidak jauh. Orang lebih memilih naik eskalator
atau lift daripada naik tangga. Selain itu, diciptakannya mesin-
mesin yang dapat menggantikan tugas manusia semakin
37
membuat ”manja”, serta membuat enggan mengeluarkan
tenaganya. Akibatnya aktivitas fisik menurun yang berarti
makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi
yang ditimbun (Rimbawan dan Siagian 2004). Hasil analisis
Korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan antara
aktivitas fisik (pengeluaran energi) dengan status gizi remaja
(p<0.01). Hal ini membuktikan bahwa semakin aktif secara fisik
maka kemungkinan semakin baik status gizi (Amelia 2008).
Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tekanan darah. Kurangnya melakukan olahraga
akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika
asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya
hipertensi (Arjatmo & Hendra, 2001). Meskipun tekanan darah
meningkat secara tajam ketika sedang berolahraga, namun jika
berolahraga secara teratur akan lebih sehat dan memiliki tekanan
darah lebih rendah dari pada mereka yang melakukan olah raga.
Olahraga yang teratur dalam jumlah sedang lebih baik dari pada
olahraga berat tetapi hanya sekali (Beevers et al, 2002).
j. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh dipakai sebagai standar klinis dalam
menilai kelebihan bobot badan dan obesitas seseorang. IMT
didefinisikan sebagai bobot badan dalam kilogram dibagi
dengan luas permukaan tubuh yang diukur dalam meter. IMT
38
biasanya dinyatakan tanpa satuan, namun satuan yang disepakati
adalah kg/m2
(Ansel, 2006).
Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi
dapat dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi
insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan
sistem renin-angiotenin; serta perubahan organ ginjal.
Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan
peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor
natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium
ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah
(Krummel 2004).
Pada orang yang terlalu gemuk, tekanan darahnya
cenderung tinggi karena seluruh organ tubuh dipacu bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar
jantungpun bekerja ekstra karena banyaknya timbunan lemak
yang menyebabkan kadar lemak darah juga tinggi, sehingga
tekanan darah menjadi tinggi Cara mudah untuk mengetahui
termasuk obesitas atau tidak yaitu dengan mengukur Indeks
Masa Tubuh (IMT) Rumus untuk IMT adalah berat badan (kg)
dibagi dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) (Soeharto, 2001).
. Obesitas mempengaruhi tekanan darah karena obesitas
meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan
berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan
39
(terutama obesitas abdominal) dan ketidak-aktifan fisik berperan
dalam terbentuknya resistensi insulin (Price&wilson, 2006).
k. Faktor Genetik
Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang
tuanya. Apabila riwayat hipertensi di dapat pada kedua orang
tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar bagi seseorang
yang kedua orang tuanya menderita hipertensi ataupun pada
kembar monozygot (sel telur) dan salah satunya menderita
hipertensi maka orang tersebut kemungkinan besar menderita
hipertensi. Penelitian yang dilakukan pada orang kembar yang
dibesarkan secara terpisah atau bersama dan juga terdapat pada
anak-anak bukan adopsi telah dapat mengungkapkan seberapa
besar tekanan darah dalam keluarga yang merupakan akibat
kesamaan dalam gaya hidup. Berdasarkan penelitian tersebut
secara kasar, sekitar separuh tekanan darah di antara orang-
orang tersebut merupakan akibat dari faktor genetika dan
separuhnya lagi merupakan akibat dari faktor pola makan sejak
masa awal kanak-kanak (Beevers et al, 2002).
l. Stress
Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang
mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat
meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah,
dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006).
Pada saat stress, sekresi katekolamin semakin meningkat
40
sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga
semakin meningkat (Klabunde 2007). Peningkatan sekresi
hormon tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah.
Faktor psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi
kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah
berhubungan dengan kejadian hipertensi. Studi kohort pada
orang dewasa berusia 18-30 tahun menunjukkan adanya
hubungan nyata antara tingginya waktu terdesak/tidak sabar dan
permusuhan terhadap kejadian hipertensi pada keseluruhan
sampel yang diikuti selama 15 tahun. Nilai OR dari
perbandingan waktu terdesak/tidak sabar terhadap skor terendah
sebesar 1.51 (95% CI, 1.12-2.03) p<0.01, dan permusuhan 1.06
(95% CI, 0.76-1.47) p<0.01 (Yan et al. 2003). Penelitian
Gangwisch et al. (2006) pada subjek berusia 32-59 tahun
menyebutkan bahwa waktu tidur yang sedikit (≤ 5 jam per
malam), berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian
hipertensi (hazart rasio, 2.19; 95% CI, 1.58-2.79).
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka
mengalami stress berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal
ini dapat dipengaruhi karena tuntutan kerja yang terlalu banyak
(bekerja terlalu keras dan sering kerja lembur) dan jenis
pekerjaan yang harus memberikan penilaian atas penampilan
kerja bawahannya atau pekerjaan yang menuntut tanggungjawab
bagi manusia. Stres pada pekerjaan cenderung menyebabkan
41
hipertensi berat. Sumber stres dalam pekerjaan (Stressor)
meliputi beban kerja, fasilitas kerja yang tidak memadai, peran
dalam pekerjaan yang tidak jelas, tanggungjawab yang tidak
jelas, masalah dalam hubungan dengan orang lain, tuntutan kerja
dan tuntutan keluarga (Smet, 1994).
Beban kerja meliputi pembatasan jam kerja dan
meminimalkan kerja shift malam. Jam kerja yang diharuskan
adalah 6-8 jam setiap harinya. Sisanya (16-18 jam setiap
harinya) digunakan untuk keluarga dan masyarakat, istirahat,
tidur, dan lain-lain. Dalam satu minggu seseorang bekerja
dengan baik selama 40-50 jam, lebih dari itu terlihat
kecenderungan yang negatif seperti kelelahan kerja, penyakit
dan kecelakaan kerja (Suma’ mur, 1998 dalam Wahyudi, 2014).
Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang
pendek, tetapi kemungkinan bukan penyebab meningkatnya
tekanan darah dalam waktu yang panjang. Dalam suatu
penelitian, stres yang muncul akibat mengerjakan perhitungan
aritmatika dalam suatu lingkungan yang bising, atau bahkan
ketika sedang menyortir benda berdasarkan perbedaan ukuran,
menyebabkan lonjakan peningkatan tekanan darah secara tiba-
tiba (Beevers et al, 2002).
2. Variabel Tempat
Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam
epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau
42
lokasi kejadian luar biasa atau lokasi penyakit-penyakit endemis
sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui
sebaran berbagai penyakit di suatu wilayah. Batas wilayah dapat
ditentukan berdasarkan (Budiarto, 2002):
a. Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif
atau fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat
dibedakan negara yang beriklim tropis, sub tropis, dan negara
dengan empat musim. Hal ini penting karena dengan adanya
perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola
penyakit baik distribusi frekuensi maupun jenis penyakit.
b. Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor, dan
lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan.
Tempat terjadinya penyakit dapat menyebabkan adanya perbedaan
antara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau
kelompok masyarakat berdasarkan tempat tinggal. Perbedaan ini
dapat bersifat internasional antara negara dengan negara, nasional
dengan propinsi, kabupaten, kotamadya atau lokal antara kota
dengan desa. Tempat tinggal di kota dan di desa juga dapat
menimbulkan terjadinya perbedaan angka kesakitan dan kematian
(Chandra, 2009).
Faktor tempat atau distribusi geografis memegang peran yang
sangat penting dalam melakukan penelitian karena pada geografis
yang berbeda, maka akan berbeda pula pola penyakitnya, misalnya
pola penyakit daerah perkotaan dengan pedesaan, demikian pula
43
terjadi perbedaan antara daerah pantai dengan pegunungan
(Budiarto, 200).
Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan modernisasi
menyebabkan penyakit degeneratif banyak terjadi di kalangan
masyarakat perkotaan. Menurut WHO, penyakit degeneratif
menambah peliknya kondisi kesehatan sebagian negara di dunia
yang selama ini dihimpit dengan banyaknya kasus penyakit menular
dan infeksi yang tergolong non degeneratif (Purwanto, 2011 dalam
Firdausi, 2012).
Prevalensi hipertensi meningkat cepat di negara berkembang
karena adanya transisi epidemiologi, peningkatan ekonomi,
urbanisasi, dan harapan hidup yang lebih panjang. Beberapa
penelitian di China juga telah menduga bahwa ada westernisasi gaya
hidup masyarakat. Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi
hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika
dibandingkan dengan masyarakat rural (Ma et al.,2013).
Urbanisasi umumnya diasosiasikan dengan peningkatan
pendapatan serta adopsi gaya hidup yang tidak sehat. Salah satunya
adalah tren konsumsi makanan tidak sehat, yaitu yang kaya akan
kandungan garam, lemak jenuh dan karbohidrat kualitas rendah
(seperti makanan cepat saji). Hal ini diperparah dengan kurangnya
aktivitas fisik akibat tuntutan pekerjaan (Bharati, et al., 2010).
Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi
kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti
44
bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan
tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding
masyarakat barat (Gray, 2005).
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37
Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di
Indonesia, wilayah Indonesia dibagi kedalam beberapa tingkat
wilayah administratif, yaitu provinsi, kabupaten/kota (dahulu disebut
kotamadya), kecamatan, dan desa atau disebut dengan nama lain
yang merupakan wilayah administratif terkecil. Sebagai wilayah
administratif terkecil, desa sering kali dijadikan sebagai unit
penelitian. Seperti diketahui, pada setiap desa mempunyai
karakteristik sosial ekonomi, kondisi dan akses ke fasilitas
perkotaan, ciri dan tipologi lingkungan yang berbeda-beda dan akan
terus berubah seiring dengan kemajuan tingkat pembangunan di
suatu desa. Kondisi yang berbeda dan terus berubah tersebut oleh
BPS dijadikan sebagai indikator untuk menggolongkan suatu desa
kedalam desa perkotaan atau desa perdesaan (BPS, 2010).
Penggolongan desa menjadi desa perkotaan dan desa perdesaan
biasanya dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan
lainnya yang berhubungan dengan analisis dan perencanaan
pembangunan. Sebagai contoh, BPS biasanya menggunakan
klasifikasi desa perkotaan perdesaan sebagai dasar untuk
merencanakan kegiatan sensus atau survei. Disamping itu bila
sampelnya memungkinkan, dalam penyajian dan analisis data juga
45
dibedakan menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan (BPS,
2010).
Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat
desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah
perkotaan. Sedangkan perdesaan adalah status suatu wilayah
administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria
klasifikasi wilayah perkotaan. Desa adalah wilayah administrasi
terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia
di bawah kecamatan. Kelurahan adalah wilayah administrasi
terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia
di bawah kecamatan. Wilayah administrasi terendah dalam hierarki
pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan,
selain desa/kelurahan adalah Nagari, Unit Pemukiman Transmigrasi
(UPT), dan Pemukiman Masyarakat Terasing (PMT) (BPS, 2010).
Kriteria wilayah perkotaan adalah persyaratan tertentu dalam hal
kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan
keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan, yang dimiliki suatu
desa/kelurahan untuk menentukan status perkotaan suatu
desa/kelurahan. Fasilitas perkotaan sebagaimana dimaksud adalah
(BPS, 2010):
a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK);
b. Sekolah Menengah Pertama;
c. Sekolah Menengah Umum;
d. Pasar;
46
e. Pertokoan;
f. Bioskop;
g. Rumah Sakit;
h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon;
i. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon; dan
j. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik.
Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah
perkotaan dan perdesaan atas desa/kelurahan, yaitu:
a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase
rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas
perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh)
atau lebih; dan
b. Wilayah perdesaan, apabila dari kepadatan penduduk,
persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada
fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor di
bawah 10 (sepuluh).
Nilai/skor kepadatan penduduk, persentase rumah tangga
pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang
dimiliki ditetapkan sebagai berikut:
47
Kriteria Keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan
Kepadata
n
pendudu
k per
km2
Nilai
/
Skor
Persentase
rumah
tangga
pertanian
Nilai
/
Skor
Fasilitas perkotaan Kriteria Nilai/
Skor
< 500 1 >70,00 1 a. Sekolah Taman
Kanak-Kanak Ada atau
≤ 2,5
km*)
>2,5
km*)
1
0
500-
1249
2 50,00-
69,99
2 b. Sekolah Menengah
Pertama
1250-
2499
3 30,00-
49,99
3 c. Sekolah Menengah
Umum
2500-
3999
4 20,00-
29,99
4 d. Pasar Ada atau
≤ 2 km*)
>2 km*)
1
0 4000-
5999
5 15,00-
19,99
5 e. Pertokoan
6000-
7499
6 10,00-
14,99
6 f. Bioskop Ada atau
≤ 2 km*)
>2 km*)
1
0 7500-
8499
7 5,00-9,99 7 g. Rumah Sakit
>8500 8 <5,00 8 h. Hotel/Bilyard/Diskote
k/
Panti Pijat/Salon
Ada
Tidak
Ada
1
0
i. Persentase RT
Telepon ≥ 8,00
< 8,00
1
0
j. Persentase RT Listrik ≥90,00
<90,00
1
0
Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010)
Kriteria wilayah perkotaan diimplementasikan pada seluruh wilayah
administrasi setingkat desa/kelurahan untuk menghasilkan klasifikasi
perkotaan/perdesaan desa/kelurahan seluruh Indonesia. Apabila ada
pemekaran desa/kelurahan, maka status perkotaan/perdesaan
desa/kelurahan baru, mengikuti status perkotaan/perdesaan
desa/kelurahan induk. Apabila ada pembentukan
desa/kelurahan/UPT baru, di mana desa/kelurahan baru tidak
memiliki desa/kelurahan induk, maka status perkotaan/perdesaan
48
dari desa/kelurahan baru tersebut harus ditentukan dengan
mengimplementasikan kriteria wilayah perkotaan yang sama.
3. Variabel Waktu
Variabel waktu merupakan variabel penting dalam epidemiologi
yang berkaitan erat dengan perubahan meteorologi, migrasi
penduduk, bencana alam dan perang, program pelayanan kesehatan,
dan lain-lain (Budiarto, 2002). Kejadian suatu penyakit berhubungan
juga dengan waktu. Faktor waktu dapat berupa satuan jam, hari,
minggu, bulan, hingga tahun dan musim. Beberapa hal yang
berkaitan dengan timbulnya penyakit yang mengalami perubahan
dari waktu ke waktu antara lain:
a. Adanya kegiatan faktor penyebab penyakit pada waktu tertentu
b. Adanya perubahan komposisi dan jumlah penduduk menurut
waktu
c. Adanya perubahan lingkungan menurut waktu (lingkungan fisik,
biologis, dan sosial)
d. Adanya perubahan kriteria dan alat diagnosis, kemajuan
pengobatan, teknologi kedokteran dari waktu ke waktu (Masriadi,
2012).
Dalam penelitian ini, variabel waktu digunakan untuk mengetahui
tren penyakit hipertensi yang ada pada daerah rural dan urban.
Kapan terjadinya penyakit dihitung dalam satu periode waktu
tertentu, dapat berupa waktu yang pendek atau panjang bahkan dapat
sampai bertahun-tahun atau dekade. Berdasarkan lamanya waktu dan
49
besar kecilnya frekuensi penyakit yang terjadi di masyarakat, maka
terdapat suatu kecenderungan atau trend penyakit yang akan terjadi
di masyarakat yaitu (Chandra, 2009):
a. Tren Sekuler (Secular Trend)
Perubahan pada frekuensi penyakit dihitung dalam suatu periode
waktu yang lama sampai bertahun-tahun atau dekade. Sebagai
contoh frekuensi penyakit TBC dan Demam Tifoid di negara
barat dalam waktu 50 tahun belakangan ini cenderug menurun,
sebaliknya frekuensi penyakit organik seperti diabetes melitus,
kanker dan sistem kardiovaskular cenderung meningkat.
b. Tren Musiman (Seasonal Trend)
Berhubungan dengan perubahan musim. Puncak dari epidemi
kolera terjadi pada musim kemarau dan berangsur-angsur
menurun setelah datang musim penghujan.
c. Tren Siklus (Cyclic Trend)
Frekuensi penyakit berfluktuasi dalam periode waktu yang
pendek seperti frekuensi penyakit campak mempunyai siklus
setiap 2-3 tahun.
Kecenderungan yang akan dibahas dalam penelitian ini termasuk
dalam Tren Sekuler. Hal ini dikarenakan penyakit hipertensi
memiliki masa inkubasi yang lama, tergantung pada banyaknya
faktor risiko yang dimiliki seseorang.
50
Pengetahuan tentang pergeseran tren penyakit yang tampak pada
tren sekuler dapat digunakan dalam penilaian keberhasilan upaya
pemberantasan dan pencegahan penyakit. Kecenderungan sekuler
juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada
mortalitas. Dalam mempelajari kecenderungan sekuler tentang
mortalitas, harus dikaitkan dengan sejauh mana perubahan pada
insidensi dan sejauh mana perubahan tersebut menggambarkan
kelangsungan hidup penderita. Angka kematian akan sejalan dengan
angka insidensi pada penyakit yang fatal dan bila kematian terjadi
tidak lama setelah diagnosis karena memenuhi kriteria diatas
(Budiarto, 2002).
2.4 Masyarakat Rural-Urban
Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk
karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu
wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan
pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap
sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba
modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan
masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu, baik desa maupun
kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk
dengan segala aktivitasnya (Purnandias, dkk., 2012).
Pedesaan adalah gambaran orang, tempat dan hal – hal yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat desa yang sebagian besar
bermatapencaharian bertani.
51
Menurut Paul H. Landis, desa adalah pendudunya kurang dari 2.500
jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:
1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara
ribuan jiwa.
2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap
kebiasaan
3. Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang
sangat
4. Dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam,
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan
(Gunawan, dkk., 2007)
Komunitas desa adalah, sekumpulan orang yang tinggal jauh dari
daerah perkotaaan yang jumlah penduduknya kurang dari 2500 jiwa dan
sebagian besar bermatapencaharian bertani karena masih sangat bergantung
pada alam.
Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan
kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan
corak kehidupan yang materialistik.
Masyarakat perkotaan sering juga disebut urban community.
Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta
ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Masyarakat kota memiliki tatanan yang heterogen sehingga kelompoknya
lebih dinamis. Masyarakat kota mempunyai daya tarik bagi masyarakat desa
untuk melakukan urbanisasi.
52
Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek
seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih
luas lagi.
2.5 Kerangka Teori
Kerangka teori berisi prinsip-prinsip teori yang mempengaruhi dalam
pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu gambaran
langkah dan arah kerja. Kerangka teori akan membantu penulis dalam
membahas masalah yang diteliti. Kerangka teori itu harus dapat
menggambarkan tata kerja teori tersebut (Arifin, 2008).
Faktor risiko hipertensi secara epidemiologi deskriptif dapat dijabarkan
menurut variabel orang, tempat, dan waktu. Berdasarkan variabel orang,
faktor risiko hipertensi adalah usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin
(Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan tertentu
(asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012), berkolesterol tinggi
(Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)), kurangnya asupan sayur dan
buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku merokok (Pradono, 2013), konsumsi
alkohol (Hartono, 2006), perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya
aktivitas fisik (Rabaity, 2012), IMT berlebih (Syahrini, 2012), faktor genetik
(Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Variabel ini menggambarkan
karakteristik seseorang yang berisiko terkena hipertensi. Berdasarkan
variabel tempat, diihat dari tempat tinggal masyarakat, yakni wilayah urban
dan rural (BPS, 2010). Seseorang akan semakin besar kemungkinannya
terkena hipertensi ketika tempat tinggalnya semakin dekat dengan pusat
pemerintahan (Modesti, et al., 2013) atau tinggal pada daerah yang lebih
53
makmur (Gray, 2005). Sedangkan berdasarkan variabel waktu, dapat dilihat
kecenderungan (tren) sekuler, dimana kecenderungan dapat dilihat dalam
periode waktu yang lama. Kecenderungan ini dapat menggambarkan
penilaian keberhasilan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit
(Budiarto, 2002).
Adapun skema yang didapat adalah sebagai berikut:
54
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Sumber: Masriadi (2012), Syahrini (2012), Sigarlaki (2006), Fitriani (2012), Wahiduddin (2012), Almatsier (2003), Lewa (2010),
Rabaity (2012), Aisyiyah (2009), Dauchet (2007), Pradono (2013), Kemenkes (2013), dan Hartono (2006)
Kejadian Hipertensi
Tempat
1. Geografis (rural, urban)
2. Institusi (sekolah,
kantor)
Orang
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Ras/Budaya
d. Konsumsi Makanan
Tertentu
e. Kurangnya Asupan
Sayur dan Buah
f. Perilaku Merokok
g. Konsumsi Alkohol
h. Perilaku Sedentari
i. Kurangnya aktivitas fisik
j. IMT
k. Faktor Genetik
l. Stres
Waktu
1. Tren Sekuler
2. Tren Musiman
3. Tren Siklik
55
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian epidemiologi deskriptif merupakan penelitian yang
bertujuan menggambarkan suatu penyakit yang ditinjau dari aspek orang,
tempat dan waktu. Variabel orang menjelaskan siapa yang berisiko terkena
penyakit hipertensi, yang kemudian dijabarkan dalam faktor risiko
hipertensi, yang secara statistik bermakna dan secara biologis terbukti dapat
mempengaruhi tekanan darah seseorang, yakni usia, jenis kelamin,
ras/budaya, konsumsi makanan tertentu, kurangnya asupan sayur dan buah,
perilaku merokok, konsumsi alkohol, perilaku sedentari, kurangnya aktivitas
fisik, obesitas, faktor genetik, dan stres. Dalam penelitian ini, variabel yang
diteliti adalah usia, jenis kelamin, konsumsi makanan asin, Konsumsi
makanan berlemak, kurangnya asupan sayur dan buah, perilaku merokok,
kurangnya aktivitas fisik, dan IMT.
Variabel tempat menjelaskan dimana seseorang tinggal dan
menjalani hidupnya. Tempat tinggal dan lingkungan seseorang
mempengaruhi perilaku dan gaya hidupnya. Sebagai contoh, tempat tinggal
masyarakat dimana ketika masyarakat tinggal di daerah yang semakin dekat
dengan pusat pemerintahan (daerah urban), maka kecenderungan untuk
melakukan gaya hidup yang modern dan serba instan akan meningkat,
sehingga probabilitas untuk terkena penyakit degeneratif seperti hipertensi
56
makin tinggi. Pada penelitian ini, variabel tempat dilihat dari letak geografis
ia tinggal yang dikelompokkan menjadi wilayah rural dan urban.
Variabel waktu menjelaskan kecenderungan penyakit hipertensi
dalam suatu batasan waktu. Namun dalam penelitian ini tidak diteliti karena
desain studi yang digunakan adalah desain studi cross-sectional dimana
antara pajanan dan efek diteliti secara bersamaan.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai variabel penelitian yang
tidak diteliti akan dibahas sebagai berikut:
1. Variabel ras tidak diteliti karena penduduk Indonesia merupakan
keturunan ras Mongoloid, begitu juga penduduk Kabupaten Bogor.
Dalam segi suku, penduduk Kabupaten Bogor mayoritas adalah suku
Sunda, sehingga tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan
antara adat istiadat dan kuliner yang mereka konsumsi sehari-harinya.
2. Variabel konsumsi alkohol tidak diteliti karena terdapat perbedaan
kadar alkohol pada masing-masing minuman keras, sedangkan kadar
alkohol ini mempengaruhi risiko seseorang terkena hipertensi.
3. Perilaku sedentari tidak diteliti karena variabel ini berbanding terbalik
dan saling berkaitan dengan variabel aktivitas fisik. Jika aktivitas fisik
seseorang tinggi, maka perilaku sedentarinya akan rendah, dan
begitupun sebaliknya. Peneliti sudah meneliti aktivitas fisik
responden, sehingga dirasa tidak perlu meneliti variabel perilaku
sedentari.
4. Faktor genetik atau riwayat hipertensi pada keluarga tidak diteliti
karena variabel ini memerlukan penelitian lebih lanjut menggunakan
57
sampel biologis untuk membuktikan faktor genetik terhadap kejadian
hipertensi.
5. Variabel stres tidak diteliti karena menurut peneliti variabel ini tidak
bisa diukur dalam sekali pengukuran. Selain itu, penyebab,
penanggulangan, serta dampak stres pada masing-masing individu
akan berbeda, bergantung pada latar belakang seseorang dan
metabolisme tubuhnya, sehingga dikhawatirkan akan menjadi bias.
Pada kerangka teori, telah dijelaskan bahwa penelitian ini ditinjau
dari aspek orang, tempat, dan waktu. Peneliti bermaksud membandingkan
gambaran epidemiologi penyakit hipertensi pada masyarakat yang tinggal di
wilayah rural dan masyarakat yang tinggal di wilayah urban. Adapun
kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
Kejadian Hipertensi di
wilayah rural dan urban
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Perilaku Merokok
d. Konsumsi Makanan Asin
e. Konsumsi Makanan Berlemak
f. Konsumsi Buah dan Sayur
g. Aktivitas Fisik
h. Indeks Massa Tubuh
58
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Kejadian
Hipertensi pada
masyarakat rural
urban
Status hipertensi yang
dinyatakan oleh tenaga
kesehatan yang diderita oleh
masyarakat yang tinggal di
wilayah rural dan urban
Sphygmomanomter Mengukur
tekanan darah
responden dalam
keadaan duduk
1. Hipertensi
2. Tidak Hipertensi
Ordinal
2 Usia Lamanya hidup responden
dalam tahun yang dihitung
sejak dilahirkan
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. 25-34 tahun
2. 35-44 tahun
3. 45-54 tahun
4. 55-64 tahun
5. 65-74 tahun
6. >75 tahun
(Kemenkes, 2013)
Ordinal
3 Jenis Kelamin Identitas responden sesuai
dengan ciri-ciri biologis dan
fisiknya
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Laki-Laki
2. Perempuan
(Kemenkes, 2013)
Ordinal
4 Perilaku
Merokok
Kegiatan menghisap rokok
yang dilakukan oleh responden
selama hidupnya
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Ya, jika responden merokok
setiap hari, merokok kadang-
kadang, dan pernah merokok
2. Tidak, jika responden tidak
pernah merokok sama sekali
selama hidupnya
(Kemenkes, 2013)
Ordinal
5 Konsumsi
Makanan Asin
Asupan makanan yang
mengandung natrium yang
berlebihan yang dikonsumsi
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Sering, jika responden
mengkonsumsi makanan asin
≥ 1 kali sehari
Ordinal
59
oleh responden. Makanan asin
yang dimaksud antara lain telur
asin, ikan asin, sayur asin,
kecap asin, kripik kentang,
keju, daging kaleng, saos tomat,
saos cabe, mie instan, dll.
2. Jarang, jika responden tidak
mengkonsumsi makanan asin
< 1 kali sehari
(Kemenkes, 2013)
6 Konsumsi
Makanan
Berlemak
Asupan makanan yang
mengandung lemak yang
berlebihan yang dikonsumsi
oleh responden. Makanan
berlemak yang dimaksud antara
lain sop buntut, sate, pizza,
burger, makanan gorengan,
daging sosis, daging kaleng,
kulit ayam/bebek, daging
kambing, jeroan, makanan
bersantan, kuning telur, susu
dan sejenisnya, mentega,
minyak kelapa sawit, gajih.
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Sering, jika responden
mengkonsumsi makanan
lemak ≥ 1 kali sehari
2. Jarang, jika responden tidak
mengkonsumsi makanan
lemak < 1 kali sehari
(Kemenkes, 2011)
Ordinal
6 Konsumsi Buah
dan Sayur
Jumlah porsi buah dan sayur
yang dikonsumsi oleh
responden dalam sehari yang
diakumulasikan dalam
seminggu.
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Sering, jika konsumsi sayur
dan buah <5 porsi/minggu
2. Jarang, jika konsumsi sayur
dan buah ≥5 porsi per minggu
(Kemenkes, 2013)
Ordinal
7 Aktivitas Fisik Kegiatan yang dilakukan oleh
responden setiap hari pada saat
olahraga, bekerja, dan waktu
luang.
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Aktivitas ringan
2. Aktivitas sedang
(Baecke, 1982)
Ordinal
60
8 Indeks Massa
Tubuh
Rasio standar antara berat
badan dan tinggi badan yang
digunakan sebagai indikator
status gizi responden
Kuesioner Wawancara
dengan
responden
1. Obesitas, jika IMT responden
≥ 25
2. Tidak obesitas, jika IMT
responden <25
(Ansel, 2006)
Ordinal
61
3.3 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian yang dibangun pada penelitian ini
adalah ada perbedaan kejadian hipertensi antara masyarakat rural dan urban.
62
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
studi cross-sectional. Desain studi cross-sectional disebut juga studi
prevalensi, karena dapat memberikan gambaran sekilas tentang populasi,
memperlihatkan distribusi relatif dari kondisi, penyakit, cedera, dan
ketidakmampuan dalam kelompok dan populasi. Desain studi ini juga
bermanfaat untuk memprediksi penyebaran penyakit tertentu di masa depan
dalam populasi (Timmreck, 2004).
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan bulan Juni-November 2014. Penelitian ini dilakukan
di dua kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor yakni Kecamatan
Sukamakmur dan Kecamatan Kemang. Kecamatan Sukamakmur dipilih
sebagai representasi dari wilayah rural, sedangkan kecamatan Kemang
dipilih sebagai representasi dari daerah urban.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Kabupaten
Bogor. Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini berusia ≥ 25 tahun dan
tidak sedang hamil.
Sedangkan sampel penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan
dihitung berdasarkan rumus berikut (Dahlan, 2010):
63
( √ √
)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di India, diperoleh
proporsi masyarakat urban yang menderita hipertensi sebesar 15,3%,
sedangkan proporsi masyarakat rural yang menderita hipertensi sebesar
5,1% (Millet, 2013), α=5% (Zα= 1,96), β= 20% (Zβ=0,84), dan P1-
P2=10,2%, sehingga,
( √ ( )( ) √( )( ) ( )( )
)
n = 136 responden.
Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan desain
kompleks, sehingga peneliti juga harus memperhitungkan desain efek.
Desain efek atau yang sering disingkat deff, adalah rasio antara varians yang
diperoleh pada teknik survei dengan sampel yang kompleks dengan varians
yang diperoleh jika survei tersebut dilakukan dengan teknik acak sederhana.
Nilai deff untuk penelitian ini adalah 2, sehingga jumlah sampel harus
dikalikan 2 menjadi 272 responden pada wilayah rural dan 272 responden
pada wilayah urban.
Sampel dipilih dengan metode cluster random sampling. Peneliti
memilih secara acak kecamatan dimana seluruh kelurahannya tergolong
dalam kategori pedesaan dan kecamatan yang seluruh kelurahannya
tergolong dalam kategori perkotaan berdasarkan klasifikasi dari BPS
mengenai pedesaan dan perkotaan. Dari proses tersebut, terpilihlah
Kecamatan Sukamakmur sebagai representasi dari wilayah rural dan
64
Kecamatan Kemang sebagai representasi dari wilayah urban. Selanjutnya,
peneliti mencari 272 orang responden yang tinggal di sekitar Kantor
Kecamatan tersebut.
4.4 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data primer. Data
primer diperoleh dengan mengumpulkan data dari responden menggunakan
kuesioner. Kuesioner yang digunakan peneliti berisi tentang faktor risiko
hipertensi yang ada pada diri responden.
4.5 Alur Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data di wilayah sekitar
Kantor Kecamatan Sukamakmur atau Kantor Kecamatan Kemang.
Kuesioner diberikan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kantor
tersebut yang diberikan secara acak. Pengumpulan data ini dilakukan hingga
jumlah sampel yang dibutuhkan peneliti terpenuhi.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sphygmomanometer dan kuesioner. Sphygmomanometer digunakan untuk
mengukur tekanan darah responden. Kuesioner yang digunakan berisi
tentang pertanyaan-pertanyaan seputar faktor risiko hipertensi yang ada
pada diri responden.
Kuesioner yang digunakan peneliti berupa 3 macam kuesioner. Kuesioner
pertama merupakan pertanyaan tentang data diri responden dan perilaku
merokok. Kuesioner kedua merupakan adaptasi dari instrumen deteksi dini
65
PJPD yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan. Kuesioner ketiga
mengenai aktivitas fisik responden yang diadaptasi oleh peneliti dari Baecke
(1982).
4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pada pengolahan data, peneliti menggunakan alat perangkat lunak
yaitu software komputer dan EpiData. Selanjutnya, data yang telah
dikumpulkan akan diolah dengan melalui tahapan-tahapan berikut ini:
1. Editing data
Dilakukan pengecekan data yang telah terkumpul, Bila terdapat
kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data, maka akan dilakukan
pengumpulan data ulang.
2. Coding Data
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
komputer.
3. Entry Data
Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program
komputer.
4. Cleaning Data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan kedalam komputer guna
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. Analisis
univariat bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit
hipertensi pada masyarakat rural dan masyarakat urban. Analisis bivariat
66
bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara
kejadian hipertensi di wilayah urban dan rural. Uji statistik yang digunakan
adalah uji chi-square.
67
BAB V
HASIL
5.1 Distribusi Karakteristik Responden Masyarakat Rural-Urban
berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu
1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok
Usia
Distribusi karakteristik responden berdasarkan usia dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan
Kelompok Usia
Dari tabel diatas diketahui bahwa responden di wilayah urban
dan rural paling banyak berusia 25-34 tahun, yakni sebanyak 32,5%
di daerah rural dan sebanyak 33,8% di daerah urban.
2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat dari tabel berikut:
Usia (Tahun) Rural Urban Jumlah
n % n % n %
25-34 26 32,5 27 33.8 53 33,125
35-44 21 26,2 15 18.8 36 22,5
45-54 15 18,8 20 25 35 21,875
55-64 12 15 14 17,5 26 16,25
65-74 6 7,5 2 2,5 8 5
>75 0 0 2 2,5 2 1,25
Total 80 100 80 100 160 100
68
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis
Kelamin
Berdasarkan tabel, diketahui bahwa responden di kedua
wilayah lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan
laki-laki. Proporsi jumlah responden perempuan di wilayah rural
yakni 83,8%, sedangkan proporsi jumlah responden perempuan di
wilayah urban yakni 57,5%.
3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku
Merokok
Distribusi karakteristik responden berdasarkan perilaku
merokok dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku
Merokok
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara wilayah rural
dan urban, proporsi responden yang merokok di wilayah urban lebih
besar daripada responden di wilayah rural, meskipun proporsi
responden yang tidak merokok lebih besar di kedua wilayah.
Proporsi responden yang merokok yakni sebesar 36,2% pada
wilayah urban dan hanya 10% di wilayah rural.
Jenis Kelamin Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Laki-Laki 13 16,2 34 42,5 47 29,375
Perempuan 67 8 3,8 46 57,5 113 70,625
Total 80 100 80 100 160 100
Perilaku Merokok Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Ya 8 10 29 36,2 37 23,125
Tidak 72 90 51 63,8 123 76,875
Total 80 100 80 100 160 100
69
4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Asin
Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan asin dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Asin
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden di
wilayah rural lebih sering mengkonsumsi makanan asin daripada
responden di wilayah urban. Proporsi responden yang sering
mengkonsumsi makanan asin di wilayah rural sebesar 85%,
sedangkan di wilayah urban hanya 45%.
5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Berlemak
Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan berlemak dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Berlemak
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden di
wilayah rural lebih sering mengkonsumsi makanan berlemak
Konsumsi Makanan
Asin
Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Sering 68 85 36 45 104 65
Jarang 12 15 44 55 56 35
Total 80 100 80 100 160 100
Konsumsi Makanan
Berlemak
Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Sering 64 80 36 45 100 62,5
Jarang 16 20 44 55 60 37,5
Total 80 100 80 100 160 100
70
daripada responden di wilayah urban. Proporsi responden yang
sering mengkonsumsi makanan berlemak di wilayah rural sebesar
80%, sedangkan di wilayah urban hanya 45%.
6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Sayur dan Buah
Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi
konsumsi sayur dan buah dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Sayur dan Buah
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua
wilayah, kejadian hipertensi pada masyarakat rural lebih banyak
yang jarang mengkonsumsi sayur dan buah daripada responden di
wilayah urban, meskipun proporsi responden yang sering
mengkonsumsi sayur dan buah lebih banyak di kedua wilayah.
Responden di wilayah rural yang jarang mengkonsumsi sayur dan
buah sebanyak 41,2% sedangkan responden di wilayah urban
sebanyak 38,8%.
7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik
Distribusi karakteristik responden berdasarkan aktivitas fisik
dapat dilihat dari tabel berikut:
Konsumsi Sayur dan
Buah
Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Sering 47 58,8 49 61,2 96 60
Jarang 33 41,2 31 38,8 64 40
Total 80 100 80 100 160 100
71
Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas
Fisik
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa responden di wilayah
urban memiliki tingkat aktivitas fisik ringan lebih banyak jumlahnya
dibandingkan di wilayah rural. Responden di wilayah rural yang
aktivitas fisiknya tergolong pada aktivitas fisik ringan sebanyak
66,2% sedangkan responden di wilayah urban aktivitas fisiknya
tergolong pada aktivitas fisik ringan sebanyak 76,2%.
8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Indeks
Massa Tubuh
Distribusi karakteristik responden berdasarkan status indeks
massa tubuh dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status
Indeks Massa Tubuh
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua
wilayah, responden di wilayah rural lebih banyak yang obesitas
daripada responden di wilayah urban, meskipun responden di kedua
wilayah lebih banyak yang tidak obesitas. Responden di wilayah
Aktivitas Fisik Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Aktivitas Ringan 53 66,2 61 76,2 114 71,25
Aktivitas Sedang 27 33,8 19 23,8 46 28,75
Total 80 100 80 100 160 100
Indeks Massa Tubuh Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Obesitas 5 6,2 2 2,5 7 4,375
Tidak Obesitas 75 93,8 78 97,5 153 95,625
Total 80 100 80 100 160 100
72
rural yang obesitas sebanyak 5 responden (6,2%) sedangkan
responden di wilayah urban yang obesitas sebanyak 2 responden
(2,5%).
9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban
Distribusi karakteristik responden berdasarkan kejadian
hipertensi dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan
Urban
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua
wilayah, responden di wilayah urban lebih banyak yang menderita
hipertensi daripada responden di wilayah rural, meskipun di kedua
wilayah, responden lebih banyak yang tidak hipertensi. Responden
di wilayah rural yang hipertensi sebanyak 43,8% sedangkan
responden di wilayah urban yang hipertensi sebanyak 46,2%.
5.2 Gambaran Epidemiologi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural
dan Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu
Gambaran epidemiologi penyakit hipertensi pada masyarakat rural
dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu akan dijelaskan sebagai
berikut:
Hipertensi Rural Urban Jumlah
n % n % n %
Ya 35 43,8 37 46,2 72 45
Tidak 45 56,2 43 53,8 88 55
Total 80 100 80 100 160 100
73
1. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia
pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan usia pada
masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.10. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok
Usia pada Masyarakat Rural-Urban
Simpulan yang dapat diambil dari tabel diatas adalah bahwa
pada masyarakat rural dan urban, kejadian hipertensi paling banyak
terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun. Dari 35 kejadian hipertensi
pada masyarakat rural, sebanyak 28,6% berusia 55-64 tahun. Begitu
juga dengan 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak
29,7% berusia 55-64 tahun.
2. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin
pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin
pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:
Usia (Tahun)
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
25-34 tahun 4 11,4 4 10,8 22 48,9 23 53,5
35-44 tahun 8 22,9 8 21,6 13 28,9 7 16,3
45-54 tahun 9 25,7 10 27 6 13,3 10 23,3
55-64 tahun 10 28,6 11 29,7 2 4,4 3 7
65-74 tahun 4 11,4 2 5,4 2 4,4 0 0
>75 tahun 0 0 2 5,4 0 0 0 0
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
74
Tabel 5.11. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin
pada Masyarakat Rural-Urban
Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak
85,7% adalah perempuan. Namun, pada masyarakat urban, dari 37
kejadian hipertensi perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak
terlalu besar. Proporsi kejadian hipertensi pada perempuan di
wilayah urban sebesar 48,6%.
3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok
pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan perilaku
merokok pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku
Merokok pada Masyarakat Rural-Urban
Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat
rural dan urban, kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada
responden yang tidak merokok. Dari 35 kejadian hipertensi pada
masyarakat rural, sebanyak 88,6% responden yang tidak merokok.
Jenis
Kelamin
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Laki-Laki 5 14,3 19 51,4 8 17,8 15 34,9
Perempuan 30 85,7 18 48,6 37 82,2 28 65,1
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
Perilaku
Merokok
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Ya 4 11,4 18 48,6 4 8,9 11 25,6
Tidak 31 88,6 19 51,4 41 91,1 32 74,4
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
75
Sedangkan dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban,
perbedaan antara responden yang merokok dan tidak merokok tidak
begitu berbeda.
4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan asin pada masyarakat rural-urban dapat dilihat
dari tabel berikut:
Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban
Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak
80% mengkonsumsi makanan asin. Sedangkan dari 37 kejadian
hipertensi pada masyarakat urban, hanya 35,1% yang
mengkonsumsi makanan asin. Dari data tersebut, dapat disimpulkan
bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat rural yang
sering mengkonsumsi makanan asin lebih banyak dibandingkan pada
masyarakat urban.
Konsumsi
Makanan
Asin
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Sering 28 80 13 35,1 40 88,9 23 53,5
Jarang 7 20 24 64,9 5 11,1 20 46,5
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
76
5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural-urban dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban
Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak
74,3% mengkonsumsi makanan berlemak. Sedangkan dari 37
kejadian hipertensi pada masyarakat urban, hanya 43,2% yang
mengkonsumsi makanan berlemak. Dari data tersebut, dapat
disimpulkan bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat
rural yang sering mengkonsumsi makanan berlemak lebih banyak
dibandingkan pada masyarakat urban
6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan buah dan sayur pada masyarakat rural-urban
dapat dilihat dari tabel berikut:
Konsumsi
Makanan
Berlemak
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Sering 26 74,3 16 43,2 38 84,4 20 46,5
Jarang 9 25,7 21 56,8 7 15,6 23 53,5
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
77
Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi
Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa proporsi kejadian
hipertensi pada masyarakat rural yang jarang mengkonsumsi buah
dan sayur lebih banyak dibandingkan pada masyarakat urban. Dari
35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 42,9% tidak
mengkonsumsi buah dan sayur. Begitu juga dengan 37 kejadian
hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 37,8% tidak
mengkonsumsi buah dan sayur.
7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik
pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan aktivitas fisik
pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas
Fisik pada Masyarakat Rural-Urban
Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak
71,4% memiliki tingkat aktivitas fisik ringan. Begitu juga dengan 37
Konsumsi
Buah dan
Sayur
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Sering 20 57,1 23 62,2 27 60 26 60,5
Jarang 15 42,9 14 37,8 18 40 17 39,5
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
Aktivitas Fisik
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Aktivitas Ringan 25 71,4 27 73 28 62,2 34 79,1
Aktivitas Sedang 10 28,6 10 27 17 37,8 9 20,9
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
78
kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 73% memiliki
tingkat aktivitas fisik ringan. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada perilaku aktivitas fisik, masyarakat rural dan urban
memiliki perilaku yang tidak jauh berbeda.
8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada
Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan indeks massa
tubuh pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks
Massa Tubuh pada Masyarakat Rural-Urban
Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak
8,6% memiliki status gizi obesitas. Namun, dari 37 kejadian
hipertensi pada masyarakat urban, semua responden tidak memiliki
status gizi obesitas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
masyarakat rural memiliki peluang yang lebih besar terkena
hipertensi akibat obesitas daripada masyarakat urban.
5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban
Perbandingan kejadian hipertensi pada masyarakat rural urban dapat
dilihat pada tabel berikut:
Indeks Massa
Tubuh
Hipertensi
Ya Tidak
Rural Urban Rural Urban
n % n % n % n %
Obesitas 3 8,6 0 0 2 4,4 2 4,7
Tidak Obesitas 32 91,4 37 100 43 95,6 41 95,3
Total 35 100 37 100 45 100 43 100
79
Tabel 5.18. Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban
Wilayah
Tekanan Darah
Total P-
value Hipertensi
Tidak
Hipertensi
n % n % n %
Rural 35 43,8 45 56,2 80 100
0,874 Urban 37 46,2 43 53,8 80 100
Total 72 45 88 55 160 100
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural
yang menderita hipertensi sebanyak 43,8%. Sedangkan masyarakat urban
yang menderita hipertensi sebanyak 46,2%. Hasil uji statistik menunjukkan
nilai p-value sebesar 0,874, artinya pada alpha 5%, tidak ada perbedaan
antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban.
80
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini terletak pada saat pengambilan
sampel. Jumlah sampel yang diteliti tidak memenuhi jumlah minimal
sampel sehingga penelitian ini tidak dapat digeneralisir. Selain itu, proses
pengambilan sampel pada penelitian ini tidak menggunakan prosedur yang
seharusnya. Dalam penelitian ini, peneliti seharusnya menggunakan teknik
multistage random sampling, dimana pemilihan sampel dilakukan
bertingkat. Kemudian, untuk memilih unit elementer, peneliti seharusnya
menggunakan teknik simple random sampling atau mengambil seluruh
masyarakat yang tinggal di kecamatan terpilih sebagai sampel. Namun
kenyataannya, peneliti hanya mencari responden yang berada di sekitar
kantor kecamatan terpilih. Hal ini mengakibatkan seluruh masyarakat di
kecamatan terpilih tidak memiliki probabilitas yang sama untuk dipilih
menjadi sampel.
Keterbatasan pada penelitian ini juga terletak pada saat peneliti
mengukur variabel konsumsi makanan berlemak. Penelitian ini dilakukan
pada saat masyarakat sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri (lebaran),
sehingga pada saat mengukur konsumsi makanan berlemak, peneliti harus
memberikan penjelasan yang lebih rinci kepada responden mengenai pola
81
konsumsi makanan berlemak yang dilakukan oleh responden di hari-hari
biasa (bukan lebaran).
6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada
Masyarakat Rural-Urban
Usia atau umur adalah lamanya hidup seseorang diukur dalam satuan
waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang
memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama
(Nuswantari, 1998 dalam Manurung, 2013). Tekanan darah cenderung
meningkat seiring bertambahnya usia. Seiring dengan bertambahnya usia
seseorang kemungkinan menderita hipertensi juga semakin besar. Pada
umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun
namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia
muda (Beevers at al, 2002)
Pada penelitian ini, kelompok umur yang paling banyak terkena
hipertensi adalah kelompok umur 55-64 tahun dan sama kejadiannya baik di
masyarakat rural (28,6%) maupun urban(29,7%). Pada penelitian ini juga
ditemukan fakta bahwa semakin tinggi kelompok umur, maka proporsi
hipertensi juga meningkat. Hal ini juga terjadi pada kedua kelompok
masyarakat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Aisyiyah (2009) dan Syahrini dkk (2012). Penelitian yang dilakukan oleh
Aisyiyah (2009) menyatakan bahwa meningkatnya umur akan diikuti oleh
meningkatnya tekanan darah seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh
Syahrini dkk (2012), juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara umur dengan kejadian hipertensi (p=0,0001).
82
Usia seseorang adalah hal yang secara alami akan bertambah tanpa
ada pengaruh dari wilayah dimana ia tinggal. Lanjut usia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
stres lingkungan. Penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi dan sistem
tubuh itu bersifat alamiah. Menjadi tua adalah suatu proses alami dan
kadang – kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua
sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran
pada waktu yang bersamaan (Zein, 2014).
Peningkatan jumlah kasus pada kelompok usia yang lebih tua
dimungkinkan karena adanya faktor fisiologis pembuluh darah manusia.
Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami perubahan seiring
pertambahan umurnya. Pembuluh darah manusia saat umur 1-10 tahun akan
bersifat licin dan elastis. Pada usia ini pembuluh darah berfungsi normal.
Memasuki usia 10-20 tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah.
Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak
lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian lainnya akan terus
berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Proses ini
muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di pembuluh darah ini
menyebabkan penyempitan, sehingga ketika volume darah yang melewati
pembuluh darah ini tetap, maka akan muncul kenaikan tekanan darah (Price
& Wilson, 2006).
Dari hasil penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa baik pada
masyarakat urban maupun masyarakat rural sama-sama memiliki faktor
83
risiko hipertensi. Masyarakat rural cenderung memiliki pola konsumsi
natrium, lemak, serta sayur dan buah yang lebih buruk dibanding
masyarakat urban. Sedangkan masyarakat urban memiliki tingkat aktivitas
fisik dan perilaku merokok yang lebih buruk dibandingkan masyarakat
rural. Adanya faktor risiko hipertensi pada kedua kelompok masyarakat
tersebut menyebabkan kejadian hipertensi pada kelompok umur yang sama.
Oleh karena itu, langkah preventif yang dapat diambil adalah dengan
meminimalisisr faktor risiko pada kedua kelompok masyarakat sedini
mungkin. Akumulasi faktor risiko hipertensi yang semakin lama
meningkatkan risiko seseorang menderita hipertensi.
6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada
Masyarakat Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural,
perempuan urban)
Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis
seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara pria dengan
wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom seks), hormon seks, organ
kelamin interna dan genitalia eksterna (Henderson, 2005). Penelitian
mengenai hubungan antara hipertensi dan jenis kelamin sudah banyak
dilakukan. Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita,
namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai
meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih
tinggi (Tambayong, 2000).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi pada
masyarakat rural lebih banyak terjadi pada perempuan (83,8%), sedangkan
kejadian hipertensi pada masyarakat urban terjadi pada laki-laki dan
84
perempuan dengan proporsi yang tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena
pada penelitian ini, jumlah sampel antara perempuan dan laki-laki pada
masyarakat rural dan urban berbeda. Pada masyarakat rural, peneliti
mengambil 13 responden laki-laki dan 67 responden perempuan, sedangkan
pada masyarakat urban, peneliti mengambil 34 responden laki-laki dan 46
responden perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Modesti (2013) menyatakan bahwa
secara hitungan kasar, wanita lebih berpeluang terkena hipertensi 1,2 kali
daripada laki-laki. Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari
pada laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa kerusakan
jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan
menderita hipertensi dari pada wanita. Pada pria hipertensi lebih banyak
disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap
pekerjaan. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi
dibandingkan wanita. Seorang pria dewasa akan mempunyai peluang lebih
besar yakni satu di antara 5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).
Dari hasil analisis lebih lanjut pada penelitian ini, angka kejadian
hipertensi pada masyarakat rural dan urban yang lebih tinggi pada
perempuan diduga karena perempuan lebih banyak memiliki faktor risiko
hipertensi dibandingkan laki-laki. Faktor risiko yang dimaksud adalah
konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi
sayur dan buah, tingkat aktivitas fisik ringan, dan obesitas. Namun, diantara
kedua kelompok masyarakat, perempuan yang tinggal di wilayah rural
memiliki proporsi faktor risiko yang lebih tinggi.
85
Penelitian yang dilakukan pada perempuan di Nepal menyatakan
bahwa masyarakat rural yang memiliki status sosial ekonomi rendah
semakin berisiko untuk terkena hipertensi (OR=1,14 untuk status sosial
ekonomi menengah dan OR=1,40 untuk status sosial ekonomi rendah).
Perilaku merokok, konsumsi alkohol, dan tidak bekerja diluar rumah
merupakan faktor yang meningkatkan risiko terkena hipertensi pada
perempuan Nepal yang tinggal di wilayah urban (Khan, 2013).
Pada penelitian ini, proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi
makanan asin sebesar 83,8% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural
yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 87,5% adalah perempuan.
Masyarakat rural yang tidak mengkonsumsi buah dan sayur sebesar 87,9%
adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang beraktivitas fisik ringan
sebesar 92,5% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang obesitas
sebanyak 100% adalah perempuan.
Sedangkan pada masyarakat urban, proporsi masyarakat yang
mengkonsumsi makanan asin sebesar 75,0% adalah perempuan. Proporsi
masyarakat urban yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 72,2%
adalah perempuan. Masyarakat urban yang tidak mengkonsumsi buah dan
sayur sebesar 41,9% adalah perempuan. Proporsi masyarakat urban yang
beraktivitas fisik ringan sebesar 65,6% adalah perempuan. Proporsi
masyarakat urban yang obesitas sebanyak 100% adalah perempuan.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang tinggal
didaerah rural memiliki peluang terkena hipertensi lebih besar daripada
perempuan yang tinggal di wilayah urban. Hal ini dikarenakan mereka lebih
86
banyak memiliki faktor risiko hipertensi. Selain itu, faktor kurangnya
pengetahuan masyarakat rural mengenai hipertensi juga menjadi salah satu
faktor yang mendukung tingginya faktor risiko hipertensi yang dimiliki oleh
masyarakat rural. Langkah penanggulangan hipertensi yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir dampak yang akan muncul akibat faktor risiko tersebut
adalah dengan mengurangi perilaku yang menjadi faktor risiko hipertensi
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa
melakukan modifikasi gaya hidup dengan mengurangi risiko meningkatnya
berat badan dan lingkar perut, memegang peranan penting dalam mencegah
terjadinya hipertensi di Kabupaten Bogor. Hal lain yang juga dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
hipertensi, dengan penyuluhan maupun penempelan poster disekitar rumah
masyarakat.
6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada
Masyarakat Rural-Urban
Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan darah
sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/menit
(Sitorus, 2005). Sitepu (2012) juga menyatakan bahwa orang yang
mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko 5,320 kali lebih besar untuk
terjadinya hipertensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat
perilaku merokok lebih banyak terjadi pada masyarakat urban (48,6%)
dibandingkan dengan masyarakat rural (11,4%). Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban berpeluang lebih besar untuk
87
terkena hipertensi akibat perilaku merokok dibandingkan dengan
masyarakat rural.
Penelitian mengenai hubungan rokok dan hipertensi dilakukan oleh
Anggraini, dkk (2009). Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Sebanyak
18% kejadian hipertensi ditentukan oleh besarnya kebiasaan merokok dan
82% oleh faktor lain.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi akibat
perilaku merokok pada masyarakat urban proporsinya lebih tinggi
dibandingkan pada masyarakat rural. Hal ini diduga karena tuntutan hidup
dan tingkat stress di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di
pedesaan, sehingga masyarakat cenderung melampiaskan stress yang
mereka alami kepada hal negatif seperti rokok. Penelitian yang dilakukan
oleh Novi Indra Sari (2011) pada siswa SMK menyatakan bahwa semakin
berat stress yang dialami siswa SMK, maka semakin kuat dorongan untuk
merokok (p=0,000). Hal ini juga didukung dengan karakteristik wilayah
urban dimana lingkungan kota cenderung sudah terjadi pencampuradukan
budaya yang dibawa pendatang sehingga lebih mengalami akulturasi,
asimilasi, dan adaptasi oleh karena itu lebih bisa menerima perilaku
merokok (Lestari, dkk., 2012).
Karakteristik masyarakat urban yang diduga berperan dalam
tingginya angka perilaku merokok adalah tingkat religiusitas. Kehidupan
keagamaan pada masyarakat urban telah berkurang, kadangkala tidak terlalu
dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan
88
saja (Mahfiroh, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013) pada
anak jalanan menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas
dengan perilaku merokok anak jalanan. Tingkat religiusitas merupakan
salah satu faktor internal yang bersifat protektif yang dapat mempengaruhi
keputusan anak jalanan untuk melakukan tindakan berisiko seperti perilaku
merokok.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya
angka kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat rural
dan urban antara lain dengan mengadakan penyuluhan yang lebih intensif
kepada masyarakat mengenai bahaya merokok, serta bahaya merokok baik
jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini bertujuan untuk memotivasi
masyarakat, baik yang berusia dewasa maupun usia remaja, untuk berhenti
merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Sirait (2002) mengatakan bahwa
prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada mereka yang berpindidikan
rendah. Hal ini dikarenakan mereka kurang mengetahui bahaya merokok
dari sudut pandang kesehatan.
6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban
Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan adanya
peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat perdesaan yang
mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil (70mEq/hari) terbukti memiliki
riwayat hipertensi yang lebih rendah, yang mengalami peningkatan tekanan
darah seiring dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat.
Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi jumlah
natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam, berhubungan dengan
89
penurunan 10 mmHg TDS pada orang dewasa berumur 60-69 tahun.
Peningkatan TDS karena penuaan (umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan
peningkatan TDD berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium
lebih rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa proporsi kejadian hipertensi
akibat konsumsi makanan asin lebih tinggi pada masyarakat rural (80%)
dibandingkan pada masyarakat urban (35,1%). Hal ini diduga dikarenakan
karakteristik masyarakat rural dimana masih memegang teguh adat-istiadat,
dimana masyarakat suku sunda memiliki budaya konsumsi ikan asin.
Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh seorang dokter, konsumsi ikan
asin Kabupaten Bogor dalam sehari mencapai puluhan ton (Nadesul, 2012).
Ia juga mengatakan bahwa banyak masyarakat rural yang terkena hipertensi
akibat konsumsi makanan asin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat rural berpeluang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan
mayarakat urban.
Penelitian yang dilakukan oleh Astuti, dkk (2010) pada siswi SLTP
di Semarang menyatakan bahwa konsumsi ikan asin pada siswi di pinggir
kota lebih tinggi dibandingkan pada siswi yang tinggal di pusat kota
(p=0,01). Hal ini dikarenakan siswi yang sekolah di pusat kota memiliki
akses pangan dan kondisi sosial ekonomi orang tua yang lebih baik
dibandingkan dengan siswi yang sekolah di pinggir kota.
Tingginya konsumsi makanan asin yang dilakukan oleh masyarakat
rural diduga karena masyarakat rural di Kabupaten Bogor belum memiliki
pengetahuan yang lebih baik mengenai dampak konsumsi makanan asin
90
yang berlebihan, sehingga mereka tidak mengurangi konsumsi makanan
tersebut. Tingkat pengetahuan yang kurang ini dikarenakan sarana-
prasarana yang kurang lengkap dibandingkan wilayah urban (Perdana,
2013). Untuk menanggulangi dampak konsumsi makanan asin yang
berlebihan, perlu dilakukan tindakan antisipasi yang harus dilakukan oleh
berbagai pihak terkait, seperti masyarakat dan puskesmas setempat.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat perlu
memberikan edukasi pada masyarakat terkait dampak konsumsi makanan
asin yang berlebihan. Edukasi yang dimaksud dapat berupa pemasangan
poster yang menarik di sekitar pemukiman warga atau penyuluhan.
Puskesmas juga bisa melakukan deteksi dini faktor risiko hipertensi melalui
program posbindu. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendeteksi masyarakat
yang berisiko tinggi terhadap penyakit hipertensi agar segera mendapatkan
tindakan yang tepat.Sedangkan masyarakat, dapat mencegah dampak buruk
konsumsi makanan asin dengan memulai mengurangi konsumsi makanan
asin tersebut. Masyarakat juga bisa mulai mencari informasi mengenai
dampak konsumsi makanan asin berlebihan baik melalui TV, atau
konsultasi dengan pihak puskesmas.
6.6 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban
Konsumsi pangan tinggi lemak dapat menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Lemak yang berasal
dari minyak goreng tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-
saturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan
menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah.
91
Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya berkurang.
Kandungan lemak atau minyak yang dapat mengganggu kesehatan jika
jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol, trigliserida, low density
lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003)
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kejadian hipertensi
akibat konsumsi makanan berlemak lebih tinggi pada masyarakat rural
(74,3%) dibandingkan pada masyarakat urban (43,2%). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardinsyah (2011) yang menyatakan
bahwa proporsi konsumsi lemak di wilayah desa sedikit lebih tinggi
daripada wilayah kota.
Tingginya konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural
diasumsikan karena masyarakat rural belum mengetahui dampak konsumsi
makanan berlemak yang berlebihan sehingga mereka tidak membatasi
konsumsi makanan berlemak. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dasuki (2002) menyatakan bahwa pengetahuan gizi tentang
lemak di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Dari 10 pertanyaan
yang diajukan, persentase jawaban benar yang terkecil ada pada jenis
pertanyaan “resiko akibat konsumsi lemak kolesterol yang berlebihan”.
Tingkat pengetahuan yang kurang ini diduga disebabkan oleh sarana
dan pra sarana yang kurang lengkap dibandingkan wilayah urban (Perdana,
2013). Untuk mencegah kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan
berlemak yang berlebih, alangkah lebih baiknya jika puskesmas di daerah
rural memberikan edukasi mengenai dampak konsumsi makanan berlemak
yang berlebihan.
92
6.7 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi
Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban
Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang bekerja dan
tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup yang serba cepat dan
instan. Keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat
saji. Oleh karena itu, tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah
perkotaan. (Wahyu,2009).
Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu karbohidrat
tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat perkotaan menimbulkan
masalah gizi lebih, selain itu pola makan yang tidak seimbang ini juga
meningkatkan timbulnya penyakit degenerative, misalnya hipertensi,
diabetes, dan jantung (Rahmat,2004).
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa angka kejadian
hipertensi akibat tidak mengkonsumsi buah dan sayur pada masyarakat rural
sebesar 42,9%, sedangkan angka kejadian hipertensi akibat tidak
mengkonsumsi buah dan sayur pada masyarakat urban sebesar 37,8%. Dari
data diatas dapat disimpulkan bahwa kurangnya konsumsi buah dan sayur
baik pada masyarakat rural maupun pada masyarakat urban tidak jauh
berbeda. Namun ada kecenderungan masyarakat rural lebih rentan terkena
hipertensi dibandingkan masyarakat urban akibat kurangnya asupan buah
dan sayur. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmat (2004) menyatakan
bahwa konsumsi buah dan sayur menurunkan resiko seseorang terkena
hipertensi.
Penyebab masyarakat tidak mengkonsumsi sayur dan buah di daerah
rural diduga karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat rural tentang
93
makanan seimbang yang harus dikonsumsi setiap hari. Hal ini juga dapat
dilihat dari dua variabel sebelumnya, dimana pada variabel konsumsi
makanan asin dan berlemak, proporsi masyarakat rural lebih banyak
daripada masyarakat urban.
Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), menyatakan bahwa
konsumsi buah dan sayur di pedesaan lebih sedikit dibandingkan konsumsi
buah dan sayur di perkotaan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang rendah
dari masyarakat rural mengenai konsumsi buah dan sayur. Padahal,
ketersediaan buah dan sayur lebih banyak di wilayah rural dibandingkan
wilayah urban.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban
memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan
masyarakat urban. Hal ini diduga dikarenakan pengetahuan masyarakat
yang kurang memadai tentang gaya hidup yang sehat. Pengetahuan
masyarakat yang rendah inilah hendaknya menjadi hal yang pertama kali
ditanggulangi agar perilaku masyarakat dapat mulai berubah. Peningkatan
pengetahuan masyarakat dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan
terkait pola konsumsi yang sehat.
6.8 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada
Masyarakat Rural-Urban
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan
sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan
energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru
memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen
94
ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa
2001).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat
kurangnya aktivitas fisik tidak jauh berbeda pada masyarakat rural (71,4%)
dan urban (73%). Namun, proporsi aktivitas fisik ringan pada masyarakat
urban lebih tinggi daripada masyarakat rural. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2012) yang menyatakan bahwa
masyarakat yang melakukan aktivitas fisik di wilayah rural lebih banyak
dibandingkan wilayah urban.
Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki
kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif.
Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan bahwa aktivitas fisik
sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, dua meta-
analisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil
analisis pertama menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan
tekanan darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua
pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan
tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien
dengan dan tanpa hipertensi (Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas
aktivitas fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi
untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas fisik
yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density
lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan 2004).
95
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya aktivitas fisik yang
tidak jauh berbeda antara masyarakat rural dan urban. Hal ini diduga karena
jumlah sampel yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Pada
variabel jenis kelamin, juga telah disebutkan bahwa pengambilan sampel
pada wilayah rural lebih banyak berjenis kelamin perempuan (67
responden). Aktivitas fisik yang dilakukan oleh perempuan yang tinggal di
wilayah rural sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Namun, keterbatasan
fasilitas pada wilayah rural untuk melakukan aktivitas rumah tangga, seperti
mencuci baju, dimana masyarakat rural masih harus melakukannya di
sungai, membuat aktivitas fisik yang dilakukan oleh masyarakat rural lebih
membakar kalori dibandingkan dengan masyarakat urban.
Pada masyarakat urban, masyarakat terlalu banyak yang bekerja di
kantor, sehingga waktu yang digunakan untuk beraktivitas fisik selama
seharian berkurang. Adanya fasilitas yang memudahkan seperti lift atau
transportasi yang memadai, membuat masyarakat enggan mengeluarkan
energi lebih untuk naik tangga, berjalan kaki, atau bersepeda, sehingga
risiko untuk terkena hipertensi akibat kurangnya aktivitas fisik pun
meningkat.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas adalah bahwa
peluang masyarakat rural dan urban untuk terkena hipertensi akibat
kurangnya aktivitas fisik adalah hampir sama. Namun, ada kecenderungan
bahwa masyarakat urban lebih rentan terkena hipertensi akibat kurangnya
aktivitas fisik dibandingkan dengan masyarakat rural. Dengan demikian,
sebaiknya aktivitas fisik di masyarakat digalakkan lagi. Misalnya, dengan
96
penempelan poster di kantor-kantor mengenai manfaat aktivitas fisik. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan aktivitas
fisik bersama, seperti jalan sehat atau senam pagi bersama, yang akan
mengurangi risiko masyarakat terkena hipertensi akibat kurangnya aktivitas
fisik.
6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh
pada Masyarakat Rural-Urban
Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi dapat
dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan
hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin;
serta perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan
dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik
dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga
menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat
obesitas lebih tinggi pada masyarakat rural (8,6%) dibandingkan dengan
masyarakat urban (0%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Diana, dkk
(2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang tinggal di wilayah
perkotaan lebih berisiko 1,3 kali terkena obesitas dibandingkan perempuan
yang tinggal di pedesaan.
Pada penelitian ini, kejadian hipertensi akibat obesitas justru lebih
tinggi pada masyarakat rural dibandingkan dengan masyarakat urban. Hal
ini diduga karena proporsi masyarakat rural yang tingkat aktivitas fisiknya
ringan sebesar 66,2%. Selain itu, pada penelitian ini juga ditemukan fakta
bahwa proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi makanan lemak
97
tinggi cukup besar, yakni 80%. Sehingga, masyarakat rural memiliki
peluang yang lebih besar untuk terkena obesitas dibandingkan dengan
masyarakat urban.
Tingginya konsumsi lemak tinggi pada masyarakat rural
diasumsikan karena pengetahuan masyarakat rural mengenai gizi berbeda
dengan masyarakat urban, sehingga pola konsumsi yang tidak seimbang
menyebabkan obesitas (Saraswati, 2012). Oleh karena itu, sebaiknya
masyarakat rural mulai membatasi konsumsi makanan berlemak. Selain itu,
puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat bisa
memberikan penyuluhan mengenai pola konsumsi yang seimbang agar
masyarakat memiliki risiko yang lebih kecil untuk terkena obesitas.
6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban
Secara garis besar, wilayah Indonesia terbagi atas dua karakteristik
wilayah, yakni desa dan kota. Wilayah desa dianggap sebagai wilayah yang
cenderung tradisional, sedangkan wilayah kota dianggap sebagai wilayah
yang serba modern (Gunawan, 2007). Hal ini dikarenakan wilayah
perkotaan di Indonesia lebih terbuka terhadap adanya perubahan
(globalisasi) (Saraswati, 2012). Keterbukaan terhadap globalisasi
berpengaruh terhadap perkembangan penyakit yang diderita oleh
masyarakat, terutama penyakit degeneratif, seperti hipertensi.
Globalisasi berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi
hipertensi secara tidak langsung, dengan menyebarkan gaya hidup dan pola
makan yang tidak sehat (Modesti, 2013). Hipertensi menjadi masalah
kesehatan masyarakat seiring dengan meningkatnya Angka Harapan Hidup
98
dan pertumbuhan ekonomi. Prevalensi hipertensi di negara berkembang
dewasa ini telah menunjukkan angka yang sama dengan prevalensi di
negara maju (Addo, 2012).
Hasil uji chi-square yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan antara prevalensi hipertensi di wilayah rural dan
wilayah urban (p-value=0,874). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Carolina Badar (2013) di Minahasa Selatan yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah antara masyarakat
yang tinggal di wilayah sub urban dan rural (p=0,033). Perbedaan hasil
penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti jumlah sampel
yang sedikit dan pemilihan wilayah yang kurang spesifik. Dalam penelitian
ini, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 160 responden, yang terdiri
dari 80 responden dari wilayah rural dan 80 responden dari wilayah urban.
Jumlah sampel yang banyak akan lebih merepresentasikan keadaan populasi
yang sebenarnya, sehingga, kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang
berbeda juga lebih besar.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan
antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban adalah pemilihan
wilayah. Pemilihan wilayah sebagai representasi wilayah rural dan urban
menggunakan pedoman dari BPS. Pada pedoman ini, menurut peneliti perlu
dilakukan tinjauan ulang. Pada klasifikasi wilayah rural berdasarkan
pedoman BPS, wilayah rural yang peneliti ambil telah memenuhi standar
indikator yang ditetapkan. Namun, pada kenyataannya di lapangan, peneliti
menemukan bahwa wilayah rural yang dipilih merupakan salah satu daerah
99
wisata (Puncak 2), dimana gaya hidup masyarakat sudah mengikuti gaya
hidup perkotaan akibat arus mobilisasi yang deras.
Pada penelitian ini, ditemukan fakta bahwa faktor risiko hipertensi
justru banyak dimiliki oleh masyarakat rural, seperti konsumsi makanan
asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi sayur dan buah,
dan obesitas. Proporsi konsumsi makanan asin pada masyarakat rural
sebesar 85%. Proporsi konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural
sebesar 80% . Kurangnya asupan sayur dan buah pada masyarakat rural
mencapai 41,2%. Status obesitas pada masyarakat rural sebesar 6,2%.
Menurut penelitian Aisyiyah (2009), seseorang yang memiliki faktor risiko
hipertensi lebih berisiko mengidap hipertensi.
Dengan demikian, adanya perubahan perilaku masyarakat rural yang
mengikuti perilaku masyarakat urban tentunya harus segera ditindaklanjuti.
Penelitian ini hanya menggambarkan faktor risiko yang banyak dilakukan
pada masyarakat. Alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya dapat
melihat faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian hipertensi
pada masyarakat rural dan urban, sehingga penanggulangan hipertensi dapat
lebih spesifik.
Penanggulangan hipertensi tentunya harus dilakukan secara sinergis
oleh pihak-pihak terkait seperti Dinkes Kabupaten Bogor, Puskesmas
Kecamatan Kemang dan Sukamakmur, dan masyarakat itu sendiri. Dinkes
Kabupaten Bogor hendaknya memprioritaskan program penanggulangan
penyakit tidak menular, agar angka kejadian hipertensi dapat ditekan secara
optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013), program
100
penanggulangan penyakit tidak menular belum menjadi prioritas utama di
tingkat Kabupaten. Hal ini menyebabkan pelayanan medis untuk PTM atau
hipertensi khususnya masih bersifat pasif yaitu hanya memberikan obat
pada penderita yang datang berobat, baik kegiatan di dalam maupun diluar
gedung.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat
dapat mengadakan promosi kesehatan yang lebih intensif, dan mudah
dimengerti oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan hipertensi dan faktor risikonya. Penelitian
yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa masyarakat
kabupaten bogor memiliki pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko
hipertensi serta akibat yang ditimbulkannya. Hal ini menyebabkan tingkat
kepedulian untuk melakukan pengobatan dan kontrol tekanan darah menjadi
rendah, yang kemudian berkontribusi terhadap angka kejadian hipertensi.
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hipertensi,
pemerintah telah mengadakan program CERDIK. CERDIK merupakan
akronim dari cara penanggulangan faktor risiko hipertensi, yakni Cek
kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Diet sehat dengan kalori
seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres. Program ini diharapkan lebih
efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pesan yang
ingin disampaikan diringkas dalam satu kata yang sering digunakan
sehingga lebih mudah diingat.
Faktor risiko yang berbeda pada masyarakat rural dan urban juga
hendaknya menjadi pertimbangan bagi puskesmas setempat dalam
101
memfokuskan materi penyuluhan yang akan dilakukan, agar penyuluhan
tepat sasaran dan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Namun, perbedaan
proporsi faktor risiko pada masyarakat rural dan urban hendaknya juga
menjadi pertimbangan agar kegiatan posbindu dapat lebih maksimal.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi dini masyarakat dari penyakit
hipertensi, agar segera ditanggulangi. Sasaran dari kegiatan posbindu ini
sebaiknya dimulai dari usia >18 tahun. Deteksi faktor risiko penyakit
hipertensi yang semakin dini akan mengurangi angka kesakitan akibat
hipertensi di masa mendatang.
Kemauan untuk merubah gaya hidup tidak sehat yang menjadi faktor
risiko hipertensi juga harus datang dari kemauan masyarakat sendiri.
Masyarakat rural, dimana sarana dan pra sarananya kurang lengkap
dibandingkan dengan wilayah urban, hendaknya dapat pro aktif dalam
setiap kegiatan yang dilakukan puskesmas, baik dalam kegiatan penyuluhan
tentang hipertensi maupun kegiatan posbindu.
102
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Adapun simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kejadian hipertensi pada masyarakat urban (46,2%) lebih tinggi
daripada di masyarakat rural (43,8%)
2. Berdasarkan usia, kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban
paling banyak terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun.
3. Berdasarkan jenis kelamin, pada masyarakat rural kejadian hipertensi
paling banyak pada perempuan, sedangkan pada masyarakat urban
perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.
4. Berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin, frekuensi konsumsi
makanan berlemak, frekuensi konsumsi buah dan sayur, dan obesitas,
kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat rural
dibandingkan urban.
5. Berdasarkan perilaku merokok dan tingkat aktivitas fisik, kejadian
hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat urban dibandingkan
rural.
6. Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural
dan urban.
103
7.2 Saran
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor
a. Menghimbau kepada puskesmas untuk mulai memprioritaskan
program penanggulangan penyakit tidak menular, khususnya
hipertensi
b. Melakukan pelatihan deteksi dini dan tatalaksana secara berkala
pada tenaga kesehatan di puskesmas.
2. Puskesmas Kecamatan Sukamakmur
a. Memfokuskan penyuluhan mengenai faktor risiko hipertensi
kepada pola makan gizi seimbang.
b. Menggalakkan edukasi kepada masyarakat mengenai program
CERDIK.
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas posbindu sehingga
masyarakat dapat terdeteksi sedini mungkin akan ancaman
hipertensi.
3. Puskesmas Kecamatan Kemang
a. Memfokuskan penyuluhan mengenai faktor risiko hipertensi
kepada bahaya perilaku merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
b. Menggalakkan edukasi kepada masyarakat mengenai program
CERDIK.
c. Meningkatkan kualitas posbindu sehingga masyarakat dapat
terdeteksi sedini mungkin akan ancaman hipertensi.
104
DAFTAR PUSTAKA
Addo, et al.2012. A Review of Population-Based Studies on Hypertension in
Ghana. Ghana Medical Journal. 2012:46 (2)
Aisyiyah, Farida Nur. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat
Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Jawa
dan Sumatera. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Amelia. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktivitas Fisik dan
Status Gizi pada Remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci
Propinsi Jambi. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor
Anggraini, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Dewasa
Puskesmas Bangkinang Periode Januari sampai Juni 2008.
Makalah. Universitas Negeri Riau.
Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan
dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia, 2006.
Ansel, Howard C. 2006. Kalkulasi Anastetik:Panduan untuk Apoteker.
Jakarta: EGC
Arias. 2009. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: EGC, 2009
Arifin, Zaenal. 2008. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Grasindo
Arjatmo T, Hendra U. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI.
Armilawati, dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian
Epidemiologi. Makassar: Bagian Epidemiologi FKM UNHAS
Astuti, Rahayu, dkk. 2010. Usia Menarche, Indeks Masa Tubuh, Frekuensi
Konsumsi, Dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Pada Siswi Sltp
Di Pinggir Dan Pusat Kota, Kota Semarang. Prosiding Seminar
Nasional UNIMUS 2010
105
Badan Pusat Statistik. 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor
37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di
Indonesia.
Badar, Carolina Juanita. 2013. Perbandingan Rata-Rata Tekanan Darah pada
Masyarakat Sub Urban dan Masyarakat Rural di Kabupaten
Minahasa Selatan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC, 2008.
Basha, Adnil. 2008.Hipertensi: Faktor Risiko dan Penatalaksanaannya.
Diakses dari http://www.pjnhk.go.id/content/view/788/36/
Beevers, et al. 2002. ABC of Hypertension, 5th
ed. Blackwell Publishing
Budiarto, Eko. 2002. Pengantar Epidemiologi, E/2. Jakarta: EGC
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Terjemah Brahman U.
Jakarta: EGC
Dahlan, M. Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.
Jakarta: Salemba Medika, 2010.
Dalimartha, dkk. 2008. Care Your Self, Hipertensi. Jakarta: Penebar Plus+,
2008
Dasuki. 2002. Konsumsi Lemak dan Status Gizi Remaja di Bogor. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Dauchet, et al. 2007. Dietary Patterns and Blood Pressure Change Over 5-y-
follow-up in the SU.VI.MAX Cohort. Am J Clin Nutr 85: 1650-6
Diana, Rian, dkk. 2013. Faktor Risiko Kegemukan pada Wanita Dewasa
Indoneisa. Jurnal Gizi dan Pangan. 8(1):1-8
Dinkes Bogor, 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor.
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care
Hipertensi. Departemen Kesehatan RI
Dwiningsih. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat,
dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah Perkotaan
106
dan Pedesaan. Artikel Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Firdausi, Nadhifa. 2012. Interaksi Allopurinol dengan Infusa Daun Salam
(Eugenia polyanta Wight) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada
Tikus Putih Jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Fitriani, Erda. 2012. Pola Kebiasaan Makan Orang Lanjut Usia (Studi Kasus:
Penderita Penyakit Hipertensi Sukubangsa Minangkabau di
Jakarta). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora (Humanus). 2012:11
(2)
Gangswich et al. 2006. Short Sleep Duration as a Risk Factor for
Hypertension Analysis of the First National Health and Nutrition
Examination Survey. J Hypertension. 47:833
Gray, et al. 2005. Lecture Notes: Kardiologi. Jakarta: Erlangga
Gunawan, dkk. 2007. Fakta dan Konsep Geografi. Jakarta: Inter Plus
Hardinsyah. 2011. Analisis Konsumsi Lemak, Gula, dan Garam Penduduk
Indonesia. Gizi Indon 34(2):92-100
Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC
Henderson, Christine. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC
Joewono, Budi Soesetyo. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga
University Press
Karyadi E. 2002. Hidup bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung
Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama
Kelley. 2001. Walking and Resting Blood Pressure in Adults: A Meta-
Analysis. Preventive Med 33:120-7
Kementerian Kesehatan, 2012. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2012.
Kementerian Kesehatan. 2007. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2007.
Kementerian Kesehatan. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2013.
107
Khan, et al. 2013. A Cross-Sectional Study Of The Prevalence And Risk
Factors For Hypertension In Rural Nepali Women. BMC Public
Health. 13:55
Khomsan. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta:
Grasindo
Klabunde. 2007. Cardiovascular Physiologi Concept: Renin-Angiotensin-
Aldosteron.
Krisnatuti D, Yenrina R. 2005. Perencanaan Menu Bagi Penderita Jantung
Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya
Krummel. 2004. Medical Nutrition Therapy in Hypertension. Di dalam:
Mahan LK dan Escott-Stump S, editor. 2004. Food, Nutrition and
Diet Therapy.USA: Saunders co. Hlm. 900-918
Ledikwe at al. 2007. Reductions in Dietary Energy Density are Associated
with Weight Loss in Overweight and Obesitas Participants in the
Premier Trial. Am J Clin Nutr. 85:1212-21
Lestari, dkk. 2012. Perilaku Merokok pada Remaja SMA/SMK di Kota dan
Luar Kota. Artikel Penelitian. Proceeding Temu Ilmiah Nasional
VIII IPPI Yogyakarta, 8-10 November 2012, 136-145
Lestari, dkk. 2014. Gambaran Pengetahuan, Sikap pada Remaja SMA,
Ketersediaan Buah dan Sayur di Tingkat Rumah Tangga dan Pola
Konsumsi Buah dan Sayur di Kabupaten Bantaeng. Artikel
Penelitian. Universitas Hasanuddin.
Levanita, Shanthi. 2010. Prevalensi Retinopati Hipertensi di RSUP H. Adam
Malik Medan Periode Agustus 2008- Agustus 2010. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Lewa. 2010. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lanjut
Usia. Berita Kedokteran Masyarakat. 2010: 26 (4) 171-178
Mansjoer A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid II.Jakarta:Media
Aesculapius.
Manurung, Sondang April Yani. 2013. Gambaran Pengetahuan Ibu
Primigravida Tentang Adaptasi Fisiologis Selama Kehamilan di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematang
Siantar Tahun 2012. Skripsi.
Masriadi. 2012. Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
108
Millet, et al. 2013. Associations between Active Travel to Work and
Overweight, Hypertension, and Diabetes in India: A Cross-
Sectional Study. PLOS Medicine. 2013:10 (6)
Modesti, et al. 2013. Epidemiology of hypertension in yemen: effects of
urbanization and geographical area. The Japanese Society of
Hypertension. 2013: 36 711-717
Nadesul, Handrawan. 2013. Jantung dan Garam. Diakses dari
http://inspiration-of-freedom.blogspot.com/2012/03/jantung-
garam-penulis-dr.html
Perdana, Dimas Nagara. 2013. Perbandingan Karakteristik, Pengetahuan dan
Tindakan Swamedikasi pada Penyakit Diare Akut antara
Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota. Skripsi. Fakultas Farmasi.
Universitas Negeri Jember.
Pradono, dkk. 2013. Permasalahan dan Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan terjadinya Hipertensi di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat. Buletin Penelitian Kesehatan. 2013:41 (2) 61-71
Price&Wilson. 2006. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta:EGC
Purnandias dkk. 2012. Rural Community and Urban Community. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Rabaity. 2012. Konsumsi Gula Sederhana dan Aktivitas Fisik sebagai Faktor
Risiko Kejadian Hipertensi Obesitik pada Remaja Awal. Journal of
Nutrition College. 2012: 1 (1) 408-420
Rezky, Aisyah. 2011. Efektivitas Bunga Rosella untuk Menurunkan Tekanan
Darah Tinggi di Desa Sunggal Kanan Dusun V Deli Serdang.
Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Rimbawan, dkk. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Bogor: Panebar Swadaya
Rukmana, Rahmat. 2004. Usaha Tani Kapri: Kanisius
Sagala, LMB. 2009. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah oleh Keluarga
Suku Batak dan Suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe.
Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Saraswati, Indira. 2012. Perbedaan Karakteristik Usia, Asupan Makanan,
Aktivitas Fisik, Tingkat Sosial Ekonomi, dan Pengetahuan Gizi
pada Wanita Dewasa dengan Kelebihan Berat Badan antara di
Desa dan Kota. Artikel Penelitian. Universitas Diponegoro.
109
Sari, Novi Indra. 2011. Hubungan Antara Tingkat Stres dengan Perilaku
Merokok pada Siswa Laki-Laki Perokok SMKN 2
Batusangkar.Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sheps, Sheldon G. 2002. Mayo Clinic Hipertensi. Jakarta: Intisari
Sigarlaki. 2006. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi di
Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen,
Jawa Tengah, Tahun 2006. Makara. 2006: 10 (2) 78-88
Sirait, dkk. 2002. Perilaku Merokok di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan. 30(3): 139-152
Sirait, dkk. 2012. Insiden Hipertensi pada Kohor Prospektif di Kelurahan
Kebon Kalapa Bogor. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
2012:16 (1)
Sitepu, Rahmadani. 2005. Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Status Gizi
Terhadap Hipertensi pada Pegawai Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Universitas Sumatera
Utara.
Sitorus, Ronald. 2005. Gejala Penyakit dan Pencegahannya. Bandung:Yrama
Widya.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Soeharto I. 2001. Kolesterol & Lemak Jahat Kolesterol & Lemak Baik.
Yayasan Pembina Kardiovaskuler Indonesia.
Sulchan, dkk. 2012. Asupan Tinggi Lemak Dan Aktivitas Olahraga Sebagai
Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Obesitik Pada Remaja Awal.
Journal of Nutrition College. 1(1):382-387
Sumolang, Steven. 2010. Studi Budaya Konsumen Masyarakat Kota Manado
dalam Mengonsumsi Minuman Ringan Coca-Cola. Tesis.
Universitas Sam Ratulangi Manado
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Sustrani L, 2006. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Syahrini. 2012. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas
Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
2012: 1 (2) 315-325
110
Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3.
Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC, 2000
Tandra H. 2003. Merokok dan Kesehatan. Diakses dari
http:/www.antirokok.or.id/berita/beritarokokkesehatan.htm. pada
tanggal 28 Mei 2014
Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi:Suatu Pengantar. Jakarta: EGC
Wahiduddin. 2013. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012.
Universitas Hasanudin.
Wahyu, Genis Ginanjar. 2009. Obesitas pada Anak. B First
Wahyudi, Arga Indera. 2014. Gambaran Tekanan Darah berdasarkan Faktor
Pemberat Hipertensi pada Pasien Hipertensi Perokok di Wilayah
Kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan. Skripsi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Wahyuningsih, dkk. 2009. Dasar – dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam
Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya
Wang et al. 2007. Whole-and Refine-Grain Intakes and The Risk of
Hypertension in Women. Am J Clin Nutr 86(2):472-479
Whelton SP, dkk. 2002. Effect of Aerobik Exercise and Blood Pressure: A
Meta Analysis of Randomized Controlled Trials. Ann Intern Med
136(7):493-503
Widjaja, dkk. 2013. Prehypertension And Hypertension Among Young
Indonesian Adults At A Primary Health Care In A Rural Area.
Medical Journal Indonesia. 22(1):39-45
Yan Lijing et al. 2003. Psychosocial Factors and Risk of Hypertension:The
Coronary Artery Risk Development in Young Adult (CARDIA)
study. JAMA. 290(16):2138-2148
Yu-Quan Ma, et al. 2013. Prevalence of Hypertension in Chinese Cities: A
Meta-Analysis of Published Studies. PLOS ONE. 2013:8 (3)
Zein, Anastasha Oktavia Sati. 2014. Kemunduran Fisiologis Lansia dan
Pengaruhnya terhadap Keselamatan di Kamar Mandi. Artikel
Penelitian. Sekolah Tinggi Desain Indonesia.
111
Lampiran
LEMBAR KUISIONER
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Saya adalah mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya memohon kepada
Ibu/Bapak/Saudara/Saudari untuk membantu penelitian saya dalam rangka
memenuhi tugas akhir (Skripsi) yang berjudul Perbedaan Kejadian Hipertensi
pada Masyarakat Rural-Urban di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Saya menjamin
kerahasiaan data yang anda berikan. Untuk itu, dimohon kesediaan
Ibu/Bapak/Saudara/Saudari untuk membantu penelitian ini. Demikianlah
permohonan ini saya sampaikan. Atas kesediaannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Saya yang bertandatangan dibawah ini, bersedia menjadi responden penelitian
yang berjudul Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di
Kabupaten Bogor Tahun 2014. Demikian pernyataan ini saya buat dengan
sukarela, dan adapun data yang saya berikan merupakan data yang sebenar-
benarnya.
Bogor, ______________2014
(_______________________________)
112
Petunjuk Pengisisan
a. Isilah terlebih dahulu biodata anda pada tempat yang telah disediakan !
b. Bacalah dengan seksama setiap pertanyaan, sebelum anda menjawabnya !
c. Berilah tanda check list (√ ) pada jawaban yang menurut anda benar !
A. IdentitasResponden
No Pertanyaan Jawaban Diisi oleh Peneliti
A1 Nama Responden
A2 Tanggal Wawancara
A3 TTL/Umur
A4 Jenis Kelamin L/P [ ]
A5 Alamat [ ]
A6 Berat Badan
A7 Tinggi Badan
A8 Tekanan Darah
B. Perilaku Merokok
No Pertanyaan Jawaban Diisi oleh
Peneliti
B1 Apakah anda merokok? 1. Ya
2. Tidak*
*) Jika tidak, lanjut ke
halaman berikutnya
[ ]
B2 Apakah anda merokok setiap
hari?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
B3 Berapa batang rokok yang anda
konsumsi setiap hari?
113
Kuesioner Food Frequency Questionnaire Semi Kuantitatif
Petunjuk: Berilah tanda checklist (√) pada kolom frekuensi yang sesuai berdasarkan jenis bahan makanan dan frekuensi makan yang
tersedia.
Bahan Makanan
Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali
Konsumsi
>1 x
sehar
i
1x
sehar
i
3-6x
semingg
u
1-2x
semingg
u
2
minggu
sekali
Sebulan
sekali
Tidak
pernah URT Gram
Makanan Asin
Telur Asin
Ikan Asin
Sayur Asin
Kecap Asin
Kripik Kentang dan sejenisnya
Keju
Daging kaleng
Saos Tomat
Saos Cabe
Lainnya, sebutkan..........
Makanan Tinggi Lemak
Sop Buntut
Sate
Pizza
Burger
Makanan Gorengan
Daging Sosis
Daging Kaleng
Kulit ayam/bebek
114
Daging kambing
Bahan Makanan
Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali
Konsumsi
>1 x
sehar
i
1x
sehar
i
3-6x
semingg
u
1-2x
semingg
u
2
minggu
sekali
Sebulan
sekali
Tidak
pernah URT Gram
Jeroan
Makanan kare/bersantan
Kuning telur
Susu dan sejenisnya
Mentega
Minyak Kelapa Sawit
Gajih
Lainnya, sebutkan.............
Sayur dan Buah
Bayam
Kangkung
Daun singkong
Sawi hijau
Timun
Kacang panjang
Buncis
Wortel
Jeruk
Pepaya
Apel
Pisang
Mangga
Lainnya, sebutkan........
115
Lain-lain
Gula
Bahan Makanan
Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali
Konsumsi
>1 x
sehar
i
1x
sehar
i
3-6x
semingg
u
1-2x
semingg
u
2
minggu
sekali
Sebulan
sekali
Tidak
pernah URT Gram
Garam
Penyedap rasa
116
Kuesioner Tingkat Aktivitas Fisik
Indeks Pekerjaan
Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-
hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.
Pertanyaan Respon Poin
1. Apa pekerjaan
utama anda?
a. Aktivitas Rendah 1
b. Aktivitas Sedang 3
c. Aktivitas Berat 5
2. Di tempat kerja,
seberapa banyak
anda duduk?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Selalu 5
3. Di tempat kerja,
seberapa banyak
anda berdiri?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Selalu 5
4. Di tempat kerja,
seberapa banyak
anda berjalan?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Selalu 5
5. Di tempat kerja,
berapa kali anda
mengangkat benda
berat?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Selalu 5
6. Setelah bekerja,
apakah anda merasa
lelah?
a. Sangat sering 5
b. Sering 4
c. Kadang-kadang 3
d. Jarang 2
e. Tidak pernah 1
7. Di tempat kerja,
apakah anda
berkeringat?
a. Sangat sering 5
b. Sering 4
c. Kadang-kadang 3
d. Jarang 2
e. Tidak pernah 1
8. Bila dibandingkan
orang yang sebaya
dengan saya,
pekerjaan saya
termasuk?
a. Lebih sangat berat 5
b. Lebih berat 4
c. Sama berat 3
d. Lebih ringan 2
e. Lebih sangat ringan 1
117
Indeks Olahraga
Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-
hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.
Pertanyaan Respons Poin
9. Apakah anda
berolahraga?
Jika iya, hitung skor
olahraga anda
(Lihat dibawah ini)
a. Skor olahraga ≥12 5
b. Skor olahraga 8-12 4
c. Skor olahraga 4-8 3
d. Skor olahraga 0,01-4 2
e. Skor olahraga = 0 1
f. Tidak 1
10. Bila dibandingkan
dengan orang yang
sebaya dengan saya,
aktivitas saya
selama waktu
lenggang?
a. Sangat banyak 5
b. Banyak 4
c. Sama 3
d. Sedikit 2
e. Sangat sedikit 1
11. Selama waktu
senggang, apakah
anda berkeringat?
a. Sangat sering 5
b. Sering 4
c. Kadang-kadang 3
d. Jarang 2
e. Tidak pernah 1
12. Selama waktu
senggang, apakah
anda berolahraga?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Selalu 5
118
Data pada olahraga
tersering
Respon Poin
13. a. Termasuk dalam
apakah olahraga
tersering yang anda
lakukan?
a. Intensitas rendah 0,76
b. Intensitas medium 1,26
c. Intensitas tinggi 1,76
b. Berapa jam anda
berolahraga
dalam seminggu?
a. < 1 jam 0,5
b. 1-2 jam 1,5
c. 2-3 jam 2,5
d. 3-4 jam 3,5
e. >4 jam 4,5
c. Berapa bulan
anda berolahraga
dalam setahun?
a. <1 bulan 0,04
b. 1-3 bulan 0,17
c. 4-6 bulan 0,42
d. 7-9 bulan 0,67
e. >9 bulan 0,92
119
Data pada olahraga
kedua tersering
Respon Poin
14. a. Termasuk dalam
apakah olahraga
tersering yang anda
lakukan?
a. Intensitas rendah 0,76
b. Intensitas medium 1,26
c. Intensitas tinggi 1,76
b. Berapa jam anda
berolahraga
dalam seminggu?
a. < 1 jam 0,5
b. 1-2 jam 1,5
c. 2-3 jam 2,5
d. 3-4 jam 3,5
e. >4 jam 4,5
c. Berapa bulan
anda
berolahraga
dalam setahun?
a. <1 bulan 0,04
b. 1-3 bulan 0,17
c. 4-6 bulan 0,42
d. 7-9 bulan 0,67
e. >9 bulan 0,92
120
Indeks senggang
Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-
hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.
Pertanyaan Respon Nilai
15. Selama waktu
senggang, apakah
anda menonton
televisi?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Sangat sering 5
16. Selama waktu
senggang, apakah
anda berjalan-jalan?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Sangat sering 5
17. Selama waktu
senggang, apakah
anda bersepeda?
a. Tidak pernah 1
b. Jarang 2
c. Kadang-kadang 3
d. Sering 4
e. Sangat sering 5
18. Berapa menit anda
berjalan/bersepeda
per hari saat ke dan
dari bekerja, sekolah,
atau berbelanja?
a. <5 menit 1
b. 5-15 menit 2
c. 15-30 menit 3
d. 30-45 menit 4
e. >45 menit 5
121
Crosstabs
[DataSet3] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\Data Rural.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
OBESITAS *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
B1 ROKOK *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
C2 LEMAK *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
C3 SAYUR BUAH *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
UMURKAT *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
AKTIVITASKAT *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
ASINFIX * WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
Jenis Kelamin * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
Jenis Kelamin Laki-Laki Count 13 13
% within
WILAYAH 16.2% 16.2%
122
Perempuan Count 67 67
% within
WILAYAH 83.8% 83.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
OBESITA
S
Obesitas Count 5 5
% within
WILAYAH 6.2% 6.2%
Tidak Obesitas Count 75 75
% within
WILAYAH 93.8% 93.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
B1 ROKOK * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
B1 Ya Count 8 8
123
ROKOK % within
WILAYAH 10.0% 10.0%
Tidak Count 72 72
% within
WILAYAH 90.0% 90.0%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
C2 LEMAK * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
C2
LEMAK
Ya Count 64 64
% within
WILAYAH 80.0% 80.0%
Tidak Count 16 16
% within
WILAYAH 20.0% 20.0%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
C3 SAYUR BUAH * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
C3 SAYUR
BUAH
Ya Count 47 47
% within
WILAYAH 58.8% 58.8%
124
Tidak Count 33 33
% within
WILAYAH 41.2% 41.2%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
UMURKAT * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
UMURKA
T
65-74 tahun Count 6 6
% within
WILAYAH 7.5% 7.5%
55-64 tahun Count 12 12
% within
WILAYAH 15.0% 15.0%
45-54 tahun Count 15 15
% within
WILAYAH 18.8% 18.8%
35-44 tahun Count 21 21
% within
WILAYAH 26.2% 26.2%
25-34 tahun Count 26 26
% within
WILAYAH 32.5% 32.5%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
125
AKTIVITASKAT * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
AKTIVITAS
KAT
Aktivitas
Ringan
Count 53 53
% within
WILAYAH 66.2% 66.2%
Aktivitas
Sedang
Count 27 27
% within
WILAYAH 33.8% 33.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
ASINFIX * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Rural
ASINFI
X
Ya Count 68 68
% within
WILAYAH 85.0% 85.0%
Tidak Count 12 12
% within
WILAYAH 15.0% 15.0%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
126
Crosstabs
[DataSet2] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\Data Urban.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
OBESITAS *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
B1 ROKOK *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
C2 LEMAK *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
C3 SAYUR BUAH *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
UMURKAT *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
AKTIVITASKAT *
WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
ASINFIX * WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%
Jenis Kelamin * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
Jenis Kelamin Laki-Laki Count 34 34
% within
WILAYAH 42.5% 42.5%
Perempuan Count 46 46
127
% within
WILAYAH 57.5% 57.5%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
OBESITA
S
Ya Count 2 2
% within
WILAYAH 2.5% 2.5%
Tidak Count 78 78
% within
WILAYAH 97.5% 97.5%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
B1 ROKOK * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
B1
ROKOK
Ya Count 29 29
% within
WILAYAH 36.2% 36.2%
128
Tidak Count 51 51
% within
WILAYAH 63.8% 63.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
C2 LEMAK * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
C2
LEMAK
Ya Count 36 36
% within
WILAYAH 45.0% 45.0%
Tidak Count 44 44
% within
WILAYAH 55.0% 55.0%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
C3 SAYUR BUAH * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
C3 SAYUR
BUAH
Ya Count 49 49
% within
WILAYAH 61.2% 61.2%
Tidak Count 31 31
129
% within
WILAYAH 38.8% 38.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
UMURKAT * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
UMURKA
T
> 75 tahun Count 2 2
% within
WILAYAH 2.5% 2.5%
65-74 tahun Count 2 2
% within
WILAYAH 2.5% 2.5%
55-64 tahun Count 14 14
% within
WILAYAH 17.5% 17.5%
45-54 tahun Count 20 20
% within
WILAYAH 25.0% 25.0%
35-44 tahun Count 15 15
% within
WILAYAH 18.8% 18.8%
25-34 tahun Count 27 27
% within
WILAYAH 33.8% 33.8%
Total Count 80 80
130
OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
OBESITA
S
Ya Count 2 2
% within
WILAYAH 2.5% 2.5%
Tidak Count 78 78
% within
WILAYAH 97.5% 97.5%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
AKTIVITASKAT * WILAYAH Crosstabulation
WILAYA
H
Total Urban
AKTIVITAS
KAT
Aktivitas
Ringan
Count 61 61
% within
WILAYAH 76.2% 76.2%
Aktivitas
Sedang
Count 19 19
% within
WILAYAH 23.8% 23.8%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
ASINFIX * WILAYAH Crosstabulation
131
WILAYA
H
Total Urban
ASINFI
X
Ya Count 36 36
% within
WILAYAH 45.0% 45.0%
Tidak Count 44 44
% within
WILAYAH 55.0% 55.0%
Total Count 80 80
% within
WILAYAH 100.0% 100.0%
Crosstabs
[DataSet3] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\SKRIPSI BEBE.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
WILAYAH *
TKDARKAT 160 100.0% 0 .0% 160 100.0%
WILAYAH * TKDARKAT Crosstabulation
TKDARKAT
Total
Hipertensi
Tidak
Hipertensi
WILAYA
H
Rural Count 35 45 80
% within
WILAYAH 43.8% 56.2% 100.0%
132
Urban Count 37 43 80
% within
WILAYAH 46.2% 53.8% 100.0%
Total Count 72 88 160
% within
WILAYAH 45.0% 55.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .101a 1 .751
Continuity Correctionb .025 1 .874
Likelihood Ratio .101 1 .751
Fisher's Exact Test .874 .437
Linear-by-Linear
Association .100 1 .751
N of Valid Casesb 160
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,00.
b. Computed only for a 2x2 table