Download - Peranan Masyarakat Adat Halmahera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi masyarakat adat di beberapa wilayah NKRI merupakan kekayaan bangsa yang
tidak dapat dibandingkan dengan negara lainnya di dunia. Oleh karena itu sangat tepat hal ini
dicantumkan secara nyata dalam amandemen UUD 1945, didalam pasal 18 B ayat (2) digariskan
bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dalam prinsip NKRI yang di atur dalam undang-undang, dan pada pasal 28 I ayat (3)
menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.
Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia di tahun 1993 setelah
sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat
(JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis ornop menyepakati
penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam.
Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku
terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah dan peladang liar. Sedangkan
pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama
suku mereka masing-masing. JAPHAMA yang lahir sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi
yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat di tanah air yang menghadapi permasalahan
serupa, dan juga sebagai tanggapan atas menguatnya gerakan perjuangan mereka di tingkat
global. Dalam pertemuan itu disepakati juga bahwa istilah yang sesuai untuk menerjemahkan
istilah indigenous peoples dalam konteks Indonesia adalah masyarakat adat (JAPHAMA, 1993).
Dengan konteks yang demikian, tulisan ini disusun. Artinya ketika kita berbicara tentang hak-
hak masyarakat adat di Indonesia, acuannya adalah hak-hak dari indigenous peoples yang
berlaku secara universal (http://www.huma.or.id).
Sebagaimana ditetapkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang
diselenggarakan pada bulan Maret 1999 lalu, disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok
masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu,
serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri
(Keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan
keanggotaan). Di tingkat negara-negara lain banyak istilah yang digunakan, misalnya orang
pertama (first peoples) di kalangan antropolog dan pembela, bangsa pertama (first nation) di
Amerika Serikat dan Kanada, Komunitas budaya (indigenous cultural communities) di Filipina,
bangsa asal dan orang asli di Malaysia dan di Indonesia sendiri di sebut dengan penduduk
asli/Pribumi. Sedangkan di tingkat PBB telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples
sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi
PBB, yaitu rancangan Deklarasi atas Hak-hak Masyarakat Adat (draft of the UN Declaration on
the Rights of the Indigenous Peoples) (http://www.huma.or.id).
Maka yang menjadi landasan konstitusi bergeraknya organisasi masyarakat adat ini
adalah hak-hak dari masyarakat asli (indigenous peoples) yang berlaku secara universal, di
tingkat internasional dan pada tingkat konstitusi nasional dengan adanya UU No 32 tentang
Pemerintahan Daerah tahun 2004, dimana di dalamnya memberikan ruang bagi exercise
otonomi-otonomi asli. Sifat otonomi asli komunitas-komunitas masyarakat adat adalah menjaga
kelangsungan ruang hidup komunitas.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, otonomi daerah dirumuskan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5). Jelas bahwa otonomi
di sini diletakkan sebagai sebuah kondisi yang diberikan oleh Negara kepada sebuah Daerah
Otonom. Mengenai daerah otonom, UU yang sama menyebutkan: Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 6).
Adanya kebijakan otonomi daerah, dapat merupakan tantangan sekaligus peluang untuk
menata kembali sistem pemberdayaan masyarakat adat. Kebijakan ini di samping sebagai respons
terhadap aspirasi yang berkembang, juga sesuai dengan (trend) pembangunan yang lebih bernuansa
pemberdayaan regional atau lokal. Implikasinya adalah bahwa kebijakan-kebijakan cetakbiru
(blueprint policies) yang lebih bersifat dari atas kebawah (top-down) akan berkurang dan partisipasi
daerah menjadi tujuan utama (mainstream) perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program
pemberdayaan masyarakat pada masa yang akan datang.
Dalam implementasi otonomi daerah, idealnya Masyarakat Adat/Lembaga Adat dapat
memiliki kontribusi dalam menyusun perencanaan pembangunan, agar pembangunan daerah
yang dilaksanakan dapat membawa prospek baik bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Karena
untuk mencapai hal tersebut, sangatlah dipengaruhi oleh kapasitas dan partisipasi dari para
pemangku jabatan (stakeholders) di daerah.
Lembaga Adat merupakan organisasi kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai wadah
organisasi permusyawaratan/permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka adat/masyarakat
yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan. Adapun tugas lembaga adat, menurut
rumusan dari PERMENDAGRI No.3 Tahun 1997 adalah:
a). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah
serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
b). Memberdayakan, melestarikan, dan mengem-bangkan adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan
masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
dan pembinaan kemasyarakatan.
c). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala
adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di
daerah.
Selanjutnya Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut :
a). Mewakili masyarakat adat ke luar. yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan
mempengaruhi adat.
b). Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan
taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik.
c). Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Halmahera Utara merupakan tempat dimana peradaban suku-suku setempat bermula dan
berada di bawah payung adat/lembaga adat "HIBUALAMO" sebagai komunitas masyarakat
adat yang sangat menjunjung nilai–nilai kekeluargaan dengan slogan "ngone oria dodoto" yang
berarti kita semua bersaudara. Adapun suku-suku yang berada di Halmahera Utara adalah 9
(sembilan) suku antara lain: Suku Boeng (Tobelo), Suku Galela (Morodai), Suku Loloda
(Tobaru), Gura (tobelo), Huboto (tobelo) dan Kao. Di kecamatan Kao sendiri terdapat 4 (empat)
suku antara lain: Suku Boeng (Kao Utara), Suku Pagu (Kao Selatan), Suku Modole (Kao Barat),
Suku Towiliko (Kao Induk). Walaupun terpisah-pisah, tetapi mereka selalu dipersatukankan
dalam satu pertemuan disebuah rumah besar sehingga tempat itupun dinamakan Hibualamo yang
artinya tempat pertemuan dari berbagai suku-suku yang ada di Halmahera Utara, sehingga
HIBUALAMO di sebut payung adat/ lembaga adat, kemudian inilah yang menjadi kearifan lokal
masyarakat Halmahera utara, dan lembaga adat hibualamo ini dikepalai oleh seorang Dewan
Adat yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPRD Propinsi Maluku Utara.
Kemudian ke sembilan suku yang ada di Halmahera Utara mempunyai batas wilayah
kekuasaan/hak ulayat masing-masing yang dikepalai oleh kepala Adat/suku yang ada di masing-
masing Kecamatan dan Desa. Dan dari keseluruhan suku-suku/adat, Hibualamo yang ada di
Halmahera Utara di pimpin oleh seorang Kepala Adat Halmahera Utara yang di sebut dengan
nama Djiko Makolano yang saat ini memegang jabatan sebagai Kepala Daerah Kabupaten
Halmahera Utara. Namun keunikan suku/adat yang ada di Kecamatan bukan di pegang oleh
Camat tapi di pegang Oleh Keturunan Asli Masyarakat Adat, begitu juga dengan yang ada di
Desa. Dengan adanya masyarakat adat yang ada di Halmahera Utara, maka pemerintah daerah
mengupayakan adanya pemberdayaan masyarakat adat/lembaga adat Hibualamo dalam bidang
ekonomi, politik, social, budaya, dan keamanan. untuk mencapai pembangunan daerah ke arah
yang baik. Adapun Masyarakat adat/lembaga adat Hibualamo mendirikan PT. Hibualamo,
mengembangkan kepariwisataan, Pemerintah Daerah juga berusaha untuk mengembangkan
nilai-nilai budaya dan adat istidat Hibualamo, merekonsiliasi kedua belah pihak yang bertikai.
Olehnya itu harapan Pemerintah Daerah bahwa untuk melibatkan msayarakat adat/lembaga
adat, daerah dapat mengalami peningkatan pembangunan dan menuju pada kesejahteran rakyat.
Namun yang menjadi kendala bagi masyarakat adat Halmahera Utara, hak-hak ulayatnya belum
diatur dalam PERDA, sehingga pemberdayaan masyarakat adat Halmahera Utara masih belum
merata dan belum tertata dengan baik. Harapan masyarakat adat halmahera utara adat yang di
pegang oleh politisi jangan sampai hanya memanfaatkan isu masyarakat adat untuk legitimasi
kembalinya feodalisme, Politisasi “ adat dan adat-istiadat”, seperti pemberian gelar-gelar
kehormatan adat kepada elite-elite politik.
Kondisi masyarakat adat/lembaga adat Halmahera Utara yang dikembangkan pemerintah
daerah sangatlah dibanggakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di Halmahera
Utara, sehingga lambang hibualamo pun dijadikan salah satu atribut pemerintah daerah untuk
digunakan di pakaian dinas pegawai, baik di pemerintah daerah, kecamatan, maupun di desa.
Olehnya itu, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan ingin mengetahui
bagaimana: Peranan Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pembangunan Daerah di
Kabupaten Halmahera Utara.
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana peran Masyarakat Adat
dalam pelaksanaan pembangunan Daerah di Kabupaten Halmahera Utara?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat adat dalam pelaksanaan Pembangunan
Daerah di Kabupaten Halmahera Utara, penulis membatasi penulisan ini hanya pada 2
(dua) indikator antara lain sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekonomi Masyarakat
b. Terlibat dalam pengambilan keputusan
Manfaat Penelitian
Secara Ilmiah, penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu Pemerintahan yang berkaitan dengan
Adat istiadat.
Secara Praktis, diharapkan dapat menjadi kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Halmahera Utara dan Masyarakat Adat di Halmahera Utara.
Selain itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi siapa saja yang peka dengan
masalah Pemberdayaan masyarakat adat.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
1. Konsep Masyarakat Adat
Pada umumnya, lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam gerakan masyarakat
adat memiliki konsepsi yang sama tentang siapa yang di sebut masyarakat adat. Masyarakat Adat
adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di
atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
social budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan
kehidupan masyarakat. (Bambang Hendarta S. P, 2005: 21).
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara
turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi,
politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. (Hasil kesepakatan pada sebuah Kongres Masyarakat
Adat Nusantara I yang pernah diselenggarakan pada bulan Maret 1999.
Istilah masyarakat adat diartikan sebagai terjemahan dari kata ‘Indigenous
people’. Banyak orang yang membedakannya dengan istilah masyarakat hukum adat yang merup
akan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu rechtgemencshap. Pada sisi lain para aktivis
NGO dan organisasi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) memandang istilah
masyarakat hukum adat pada akhirnya akan mempersempit entitas masyarakat adat hanya pada
entitas hukum, sementara istilah masyarakat di percaya terdapat dimensi yang luas lebih dari
sekedar hukum. Misalnya dimensi kultur dan religi. Persoalan tanah memang menjadi potensi
konflik, hal ini dapat dipahami karena tanah memiliki “nilai” dan makna yang multi dimensional.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_Adat")
Masyarakat Adat adalah (1) penduduk asli ; (2)kaum minoritas ; dan (3) kaum tertindas
atau termarginal karena identitas mereka yang berbeda dari indentitas yang dominan di suatu
negara atau wilayah. Arti dari masing-masing kelompok ini dijelaskan dalam buku ini. Cakupan
pemahaman yang sama juga terdapat dalam pembatasan yang diberikan dalam Deklarasi
dimaksud. Istilah indigenous peoples yang diterjemahkan dalam buku ini sebagai "masyarakat
adat" mengandung makna:
- Masyarakat yang tidak dominan atau termarginalkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara;
- Oleh karena masyarakat dimaksud tidak dominan, maka mereka rentan terhadap berbagai
pelanggaran hak asasi mereka sebagai sebuah entitas sosial (kelompok) atau anggota dari
entitas tertentu;
- Entitas sosial yang tidak dominan, termarginalkan dan rentan terhadap berbagai
pelanggaran hak asasi dimaksud sering dikelompokkan sebagai kaum minoritas dari sisi
asal-usul (tanah air), etnik, agama, suku-bangsa dan agama;
- Sementara dari kacamata ekonomi pembangunan, menurut pengelompokkan dalam
pembangunan di Indonesia, maka definisi dalam buku ini termasuk kelompok masyarakat
atau wilayah tanah air terbelakang dan yang paling terbelakang;
- Mereka yang terbelakang dan paling terbelakang dalam kacamata pembangunan di
Indonesia (dan dalam pembangunan semesta) semuanya adalah penduduk pribumi:
mendiami suatu wilayah ulayat sejak dahulu kala, sebelum pembentukan negara-bangsa
Indonesia sampai hari ini, dan hidup di dalam tatanan, norma, hukum serta batas wilayah
ulayat mereka sendiri;
- Mereka yang dipandang sebagai penduduk pribumi itu selama ini, dalam proses
pembangunan dan atau modernisasi telah mengalami banyak nasib malang karena hak-hak
mereka sebagai sesama manusia diabaikan, dilecehkan dan dilanggar, bahkan nyawa
mereka dikorbankan atas nama dan demi keutuhan wilayah negara-bangsa dan
pembangunan;
- Mereka juga kebanyakan menjadi kaum minoritas dalam kelompok nasional dalam konteks
negara-bangsa;
- Nasib dan pengalaman kemalangan di tangah penguasa negara-bangsa itu telah
menyebabkan perlawanan yang berkepanjangan dari entitas sosial
dimaksud, yang berakibat kelanjutan penindasan dan penderitaan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_Adat")
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
(Konvensi International Labour Organisation (ILO) 169, 1989, Masyarakat Adat)
adalah “masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan
ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan
statusnya diatur, baik seluruh maupun sebahagian oleh masyarakat adat dan tradisi.
(Pasal 1 poin 3 Peraturan Menteri Agraria/Ka BPN no. 5 Tahun 1999 masyarakat)
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau pun atas dasar
keturunan.
(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) memberikan defenisi masyarakat adat sebagai
“komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang
khas”.
Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di Tana Toraja,
1993. Kemudian dipertegas lagi dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN),
Maret 1999: Masyarakat Adat adalah: “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul
leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan
kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang
mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.”
Institute For Research And Empowerment (IRE)- Pemberdayaan Masyarakat
Adat: Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk
maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang
bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak
atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan
dengan dan mengacu pada adat istiadat
dan hokum adat yang berlaku (http://www.rimbawan.com/konflik_lisman_v115/pdf/700analisa 4
0 masy.pdf+Definisi+Masyarakat+Adat&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id).
2. Konsep Pembangunan Daerah
Secara sederhana pembangunan sering diartikan dengan sebagai suatu upaya untuk
melakukan perubahan yang lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju kearah
peningkatan dari keadaan semula. Tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa
pembangunan adalah pertumbuhan.
Siagian (Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusuma, 2005 : 7) mengatakan, “Pembangunan
sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih
baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukan
suatu kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitas maupun
kuantitatif dan merupakan suatu yang mutlak yang harus terjadi dalam pembangunan”.
Menurut Santoso Suruso (2005:27) mengatakan bahwa pembangunan merupakan suatu
proses yang dinamis.
Siagian (Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusuma, 2005 : 4) memberi pengertian tentang
pembangunan sebagai “suatu usaha atau rangkaian pertumbuhan dan perubahan yang berencana
dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam
rangka pembangunan bangsa (nation bulding).
Ginanjar Kartasasmita (Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusuma, (2005: 4) memberikan
pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan kearah yang lebik baik
melalui upaya yang dilakukan secara sederhana”.
Baratha (Koirudin, 2005 : 210) menyatakan pembangunan sebagai usaha perusahaan untuk
menuju keadaaan yang lebih baik, berdasarkan pada norma-norma tertentu. Perubahan-
perubahan tersebut dilaksanakan melalui potensi alam, manusia dan sosial budaya. Oleh karena
itu pembangunan tidak hanya bermakna pembangunan ekonomi dan industrialisasi saja. Ada
pula yang menyatakan pembangunan sebagai perubahan sosial yang besar dari suatu keadaan
lainnya yang dipandang lebih bernilai. Dengan demikian pembangunan adalah proses
pembaharuan yang terus-menerus dari suatu keadaan tertentu kepada keadaan lain yang lebih
baik.
Didalam suatu proses pembangunan terkandung nilai-nila pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan dilaksanakan kepada kelompok masyarakat yang berada dilapisan bawah, yang
biasanya dinamika pembangunan yang sulit diikuti oleh akses yang mereka miliki. Di sini
muncul sebuah konsep pembangunan masyarakat (community development). Kartasasmita
(dalam Koirudin, 2005 : 22) mengatakan pembangunan masyarakat sebagai sebuah usaha
meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kodisi yang tidak mampu melepaskan diri
dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti mampu
mendirikan mereka. Dengan dimulai dari pembangunan masyarakat diharapkan memacu
partisipasi dalam proses pembangunan itu sendiri. Sebab pembangunan tanpa melibatkan
masyarakat maka pembangunan tersebut tidak menemui sasaran yang tepat dan efektif.
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan proses pengambilan keputusan
menyangkut diri dan masyarakat.
Untuk tujuan-tujuan seperti itulah pembanguan daerah sangat diperlukan. Dalam konteks
seperti desentralisasi/otonomi daerah, pembangunan daerah dalam pengertian yang dirumuskan
dijalankan dan dikontrol oleh daerah menjadi pijakan dasar untuk meningkatkan kesejahtaraan
masyarakat secara lebih tepat. Pembangunan daerah dan percepatannya untuk mengikuti
kecepatan pembangunan secara global jelas tidak mungkin jika hanya mengandalkan pemerintah
pusat semata-mata.
Pembangunan daerah dimaknai sebagai proses perubahan yang dilakukan dalam skala
lokal atau otonomi daerah itu sendiri. Pembangunan daerah dipandang penting dalam rangka
menciptakan target pembangunan nasional pada umumnya. Pembangunan nasional akan
mengalami kegagalan jika tidak searah. Karena itu otonomi daerah amat bermanfaat dan sangat
mendukung bagi pembangunan secara nasional pula.
Faktor penting dalam melakukan pembangunan daerah adalah pembiayaan atau pendanaan.
Pembangunan yang dilakukan memerlukan jumlah keuangan yang cukup memadai karena setiap
program kegiatan tertentu selalu membutuhkan dana untuk operasional dan pengembangannya.
Masalah keuangan daerah merupakan masalah yang sangat krusial yang semestinya mendapat
perhatian dari pemerintah daerah terutama dalam melaksanakan desentralisasi/otonomi daerah
(Koirudin, 2005 : 23-24).
Pembangunan seyogyanya dimulai dengan menemukan potensi dan kebutuhan dari
masyarakat penerima manfaat dan penanggung resiko. Langkah selanjutnya mencari cara dan
upaya mewujudkannya. Dengan demikian kegiatan pembangunan yang mencakup perencanaan,
pembiayaan, pelaksanaan, dan pemantauan serta evaluasi seharusnya beranjak dari keinginan dan
kemampuan masyarakat penerima manfaat dan penanggung resiko itu sendiri.
Peran aktif masyarakat dapat berarti berperan langsung dalam berbagai prospek politik dan
perwakilan, dalam proses perumusan program, dalam pelaksanaan, dan berperan dalam
pengawasan. Peran juga dilakukan secara tidak lansung misalnya dengan memberdayakan
masyarakat (motivator), menjadi penasihat dan juru bicara masyarakat (advocate), menjadi
penengah antara masyarakat dan pengambil keputusan (mediator), menjadi penyebar informasi
(propagandist) dan/atau menjadi tokoh masyarakat informal (informal leader).
Menurut Abdul Syukur Ahmad (CSIS, 2006 : 101) prinsip dasar penyelengaraan
pembangunan daerah adalah didasarkan pada perbaikan dan pengembangan pada penguatan
sumberdaya wilayah.
M. T. Zen yang dikutip oleh Daniel George Lauhenapessy (CSIS 2006 : 242) mengatakan
bahwa pada hakekatnya, pembangunan merupakan perubahan yang disengajakan (intended
change) atau perubahan yang direncanakan (planed change) secara sistematis, komprehensif
(terpadu) dan menyatu (terintegrasi) untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam konteks ini
pembangunan berarti suatu rekayasa sosial maupun teknis (social and technical engineering),
yang dimaksudkan sebagai tindakan interventif untuk mengatasi masalah dan atau memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dinamika pembangunan mencerminkan upaya-upaya konstruktif dan produktif dari sisi
peran pemerintah untuk memanfaatkan seoptimal mungkin berbagai potensi yang tersedia. Ini
berarti pembangunan memerlukan suatu tata rencana yang tepat dan realistis untuk mengarahkan
perubahan-perubahan di dalam masyarakat untuk menuju pencapaian tujuan sebagaimana yang
dicita-citakan.
Pembangunan atau pengembangan dalam arti development, bukan suatu kondisi atau suatu
keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya, dalam hal ini penduduk setempat.
Sebaliknya pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka
lakukan dengan apa yang mereka miliki, guna meningkatkan kualits hidupnya, dan juga kualitas
hidup orang lain. Jadi pembangunan/pengembangan harus diartikan sebagai keinginan untuk
memperoleh perbaikan, serta kemampuan untuk merealisasikannya.
Apabila kita memandang suatu wilayah/daerah maka ada tiga komponen penting yang
perlu diperhatikan yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Selanjutnya
disebut tiga pilar dalam pembangunan daerah.
Tujuan Pembangunan daerah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Di sisi ekonomis
pembangunan daerah adalah upaya memberikan kesejahtraan kualitas hidup masyarakat,
misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan layanan
logistik, dan sebagainya. Di sisi lain, secara okologis pembangunan daerah juga bertujuan untuk
menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap
lingkungan.
Menurut Cheena dikutip Charles Simubara (CSIS, 2006 : 172) ada empat faktor yang
mempengaruhi pembangunan daerah yakni: (1). Aspek individu (individual aspect) seperti
keahlian teknis, nilai-nila, tingkah laku dan kepercayaan dari individu yang ada di tengah
masyarakat; (2). aspek lingkungan (environmental) seperti struktur sosial politik; (3). Kesediaan
sumber yang mendorong sumber yang inovatif dan program-program; (4). Aspek institusional
(institusional aspect) sebagai mesin pembangunan.
3. Peranan Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pembangunan Daerah
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dapat menjadi hambatan bagi
tercapainya cita-cita bangsa yakni mewujudkan masyarakat yang berkecukupan dan
berkesinambungan, baik dari segi material maupun immaterial. Kondisi yang berbeda secara
etnis, adat istiadat dan kultur memerlukan suatu pendekatan yang berbeda pula dalam
melaksanakan pembangunan. Sentralisasi pembangunan dari pemerintah pusat dan kurangnya
pemerataan pembangunan, apalagi yang sesuai dengan kebutuhan setempat bukan tidak mungkin
akan menciptakan pola pembangunan yang tidak seimbang.
Penekanan pembangunan pada daerah dengan memberikan otonomi kepada daerah tidak
lain karena daerahlah yang langsung berhubungan dengan masyarakat sungguh lebih mampu
memahami dan memenuhi asprasi-aspirasi masyarakat tersebut. Konsep otonomi daerah, dengan
memberikan kewenangan yang lebh luas kepada daerah dalam menggali segenap potensi, lebih
banyak sebagai usaha untuk merangsang dan memperdayakan masyarakat di daerah agar
pembangunan itu dapat dirasakan sampai pelosok negeri. Artinya bahwa dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijakan suatu pembangunan pemerintah daerah harus melibatkan dan
memerlukan peran serta dari masyarakat terutama tokoh-tokoh dan elt-elit kelompok masyarakat
yang kritis, sehingga kebijaksanaan pembangunan tanpa harus mendapat arahan atau diarahkan
oleh pusat.
Dengan demikian, peran serta masyarakat dalam proses pembangunan di sebuah daerah
otonom telah menempatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dari pembangunan itu
sendiri. Artinya bahwa berbagai keputusan yang menyangkut masyarkat bukan lagi merupakan
monopoli pemerintah semata, melainkan juga harus memperhatikan aspirasi-aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat.
Di Halmahera Utara terdapat suatu lembaga Adat yang di sebut dengan nama Hibualamo
sifatnya membawahi seluruh masyarakat adat yang ada di Kecamatan dan desa di kabupaten
Halmahera Utara. dimana lembaga tersebut menjalankan tugas, fungsi, hak dan wewenangnya
dalam setiap pengambilan keputusan yang ada di derah demi kepentingan masyarakat adat
setempat.
Bertitik tolak pada konsep ini, penulis mencoba untuk mengamati dan lebih untuk
memahami peran masyarakat adat di daerah Kabupaten Halmahera Utara dalam pelaksanaan
pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan karakteristiknya dan kultur masyarakat adat pada
umumnya serta status masyarakat adat dalam kehidupan masyarakat Halmahera Utara pada
khususnya.
Hibualamo merupakan kearifan lokal seluruh masyarakat Halmahera Utara yang sangat
dijunjung tinggi, juga mempunyai peran penting dalam pembangunan daerah. Peran yang
dimainkan oleh lembaga adat tidak hanya peran adat atau masalah-masalah adat istiadat saja,
melainkan peran yang meraka mainkan juga menyangkut bidang-bidang lain seperti, bidang
pemerintahan/politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Adapun peran lembaga adat antara
lain merekonsiliasi kedua belah pihak yang bertikai, terlibat dalam setiap
pertemuan-pertemuan/acara-acara besar oleh pemerintah daerah, membangun PT. Hibualamo
jaya untuk mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat setempat dan mengembangkan
ekonomi masyarakat, menyalurkan aspirasi masyarakat, terlibat dalam setiap pengambilan
keputusan yang menyangkut dengan tanah adat dan kepentingan masyarakat adat.
Konsep kerja sama, yang melahirkan persatuan dan kesatuan, disadari atau tidak,
merupakan langkah yang baik dalam rangka menunjang jalannya pembangunan di suatu daerah
ataupun negara. Karena suatu kerja sama pada dasarnya adalah membangun kekuatan dan
menghilangkan hambatan-hambatan dalam pembangunan. Tujuan pembangunan yang mencoba
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta berkeadilan sosial, sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Dasar dan Pancasila, tidak akan pernah terwujud apabila tidak ada
kekompakan antar komponen bangsa.
Peran yang mereka mainkan sebagai lembaga adat adalah menjadi pembela yang
menguatkan aspiras-aspirasi dari masyarakat yang dipimpimnya. Peran yang mereka mainkan
telah menimbulkan dinamika tersendiri dalam proses pembangunan sebagai kekuatan lokal
masyarakat yang perlu diperhitungkan. Keikutsertaan mereka telah menunjukkan supremasi
mereka sebagai wakil informal masyarakat yang mendapat kepercayaan untuk dilibatkan dalam
proses pembangunan. Sekaligus merupakan wadah masyarakat adat dalam menyampaikan
aspirasi mereka kepada pemerintah daerah.