perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Skripsi
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO
X 4406008
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO
X 4406008
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, 30 Juli 2010
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hermanu. J, M.Pd Drs. Djono, M.Pd
NIP. 195603031986031001 NIP. 196307021990031005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari : Jumat
Tanggal : 30 Juli 2010
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ………………
Sekretaris : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ........................
Anggota I : Dr. Hermanu. J, M.Pd ………………
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ……………....
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.
NIP. 19600727 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Indri Retno Sutopo. PERAN PAKU BUWONO X DALAN PERGERAKAN
NASIONAL. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Usaha-usaha yang
dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta; (2)
Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-
1939; (3) Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan
Kebangsaan di Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). yaitu prosedur
dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau
berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-
langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan
jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang
mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah. Langkah-langkah analisis
data dilakukan dengan cara: (1) menyediakan sumber sejarah yang mendukung
penelitian proses perbandingan sumber; (2) mengklasifikasikan data yang sudah
terkumpul dengan pendekatan kerangka berpikir atau kerangka referensi yang
mencakup berbagai konsep atau teori politik, ekonomi dan sosial sehingga
didapatkan suatu fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya; (3)
mempertinggi kredibilitas penulis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi politik
yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik
sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa yang berhubungan dengan
pemerintah kolonial Belanda. Usahanya membangun landasan politik di Surakarta
dilakukan Sunan dengan cara mendirikan madrasah Mamba’ul Ulum pada tahun
1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah
Kasatrian, Sekolah Pamardi Siwi, Pamardi Putri, sekolah pertanian dan
perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan incognito yang dinamakan dengan
politik Ngideri Buwono.; (2) Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak
bisa dilepaskan dari peranan Sunan Paku Buwono X. Paku Buwono X merangkul
kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam
pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan
kekuasaan Belanda, melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi
Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang
dilakukan oleh Sarekat Islam; (3) Reaksi Pemerintah Belanda terhadap peran Paku
Buwono X yaitu membatasi gerakan politik Paku Buwono X dengan tidak leluasa
berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah Belanda.
RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Paku Buwono X yang duduk
dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran Hangabehi, salah seorang putra Paku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan
jabatannya. Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri
Buwono yang dilakukan oleh Paku Buwono X. Belanda memikirkan masalah
uang yang dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
Indri Retno Sutopo. THE ROLE OF PAKU BUWONO X IN THE
NATIONALISM MOVEMENT. Thesis, Surakarta: Teacher Training and
Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, July 2010.
The objective of research is to find out: (1) the attempts the Paku Buwono
X had taken to build the political life in Surakarta; (2) the role of Paku Buwono X
in the Nationalism Movement in Surakarta in 1909-1939; (3) the Dutch‟s reaction
to the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta.
This study employed a historical method, that is, the one deriving from the
historian‟s procedure of work to produce the past story based on the traces
abandoned by the past. The procedures of historical method include heuristic,
criticsm, interpretation, and historiography. Technique of collecting data
employed was library study. The data source used was the written one. In line
with the type of research, the technique of analyzing data used was historical
analysis technique. It is the one emphasizing on the incisiveness of history
interpretation. The procedure of analysis was done by: (1) providing the data
source supporting the research of source comparison process; (2) classifying the
data collected using framework and reference-frame approach involving various
concepts or political, economical and social theories so that a reliable fact of
history is obtained; (3) enhancing the writer‟s credibility.
Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the
political condition built by Paku Buwono X Surakarta is affected by the political
condition before twentieth century in relation to Dutch Colonial government. The
attempt of bulking political foundation in Surakarta taken by Paku Buwono X
included by establishing Mamba‟ul Ulum madrasah in 1905 and the school for
people and for the sentana: Kasatrian, Pamardi Siwi, Pamardi Putri schools,
farming and planting schools, as well as by conducting incognito journey named
politically Ngideri Buwono: (2) the local political dynamics emerging in Surakarta
is inseparable from the role of Paku Buwono X. Paku Buwono embraces the
nationalist in its movement to resist the Dutch‟s power, doing through the
nationalism movement, as done by Boedy Oetomo or through the economic and
social improvement movement as done by Sarekat Islam; (3) the Dutch
Government‟s reaction to Paku Buwono‟s role was to limit the political
movement of Paku Buwono X in establishing the relation to other country or
nation except to Dutch Government. RM. Woerjaningrat is the nephew and even
son-in-law of Paku Buwono sitting in the Sarekat Islam leadership and Hangebehi
prince, the son of Paku Buwono X who protects the Sarekat Islam was asked to
resign. Many criticism proposed by the Dutch officials about Ngideri Buwono
conducted by Paku Buwono X. Dutch government thought of the money
expended and the political effect of this invasion.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
MOTTO
”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa
pahlawannya”.
(Ir. Soekarno)
”Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan
melawan kebodohan dan ketidaktahuan”.
(Pramoedya Ananta Toer dalam ”Anak Semua Bangsa”)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini
kupersembahkan kepada:
Ibu, ayah dan adik Indra tercinta yang senantiasa memberi doa dan kasih sayang.
Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’06.
Almamater.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan lancar guna
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu disampaikan terima
kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui
atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan
skripsi ini.
4. Dr. Hermanu. J, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu, ayah,adik Indra, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi
doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.
7. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ‟06 terima kasih atas segala
doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.
8. Doni Setyawan terimakasih buat semangat dan dukungannya.
9. Sahabat Bandenx-Ku tercinta: Citra, Ste, Irma, Riana kebersamaan kita akan
selalu aku rindukan.
10. FC. Mandiri termakasih atas kerjasamanya selama ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
11. Buat sahabat-sahabatku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih untuk semuanya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan
Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, 30 Juli 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv
ABSTRAK .... ….. ......................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................. x
DAFTAR ISI ................ ................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 9
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 10
1. Nasionalisme ................................................................. 10
2. Pergerakan Nasional ..................................................... 14
3. Agen dalam Pergerakan Nasional .................................. 18
B. Kerangka Berfikir ................................................................ 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 23
B. Metode Penelitian ................................................................ 24
C. Sumber Data ......................................................................... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 27
E. Teknik Analisis Data ............................................................ 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
F. Prosedur Penelitian .............................................................. 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Usaha-usaha Paku Buwono X Membangun Kehidupan Politik
1. Keadaan Geografis Surakarta………………………….. 33
2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke-20…………………. 36
3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X……..…………….. 43
a. Latar Belakang Keluarga…………………….…..…. 43
b. Kepribadian…………....…………………………… 45
4. Membangun Landasan Kehidupan Politik…..………….. 50
a. Pendirian Madrasah dan
Sekolah…………………….………………………… 50
b. Usaha-usaha dalam Bidang
Politik………………………….…………………….. 56
c. Politik Ngideri Buwono……..………………………. 57
B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan
1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku
Buwono X…...………………………………………….. 59
2. Peran Paku Buwono X dalam Organisasi Sosial dan
Politik…………………………………………………… 61
a. Sarekat Islam
1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam……. 61
2) Faktor Ekonomi…………………………………. 66
3) Faktor Agama…………………………………… 68
4) Pasang Surut Sarekat Islam……………………… 69
5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam……………… 71
b. Boedi Oetomo
1) Latar Belakang Terbentuknya Boedi Oetomo …… 73
2) Pasang Surut Boedi Oetomo………….....………... 76
3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo……………. .. 81
C. Reaksi Belanda Terhadap Peran Paku Buwono X Dalam
Pergerakan Kebangsaan di Surakarta………………………… 83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 89
B. Implikasi………………………………………………………... 92
C. Saran…………………………………………………………… 93
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 94
LAMPIRAN………………………………………………………………. 98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ........................... 99
Lampiran 2 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ............................... 100
Lampiran 3 : Paku Buwono X ..................................................................... 101
Lampiran 4 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ............................... 102
Lampiran 5 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ..................... 103
Lampiran 6 : Surat Perijinan ........................................................................ 104
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)
pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran
akibat perang perebutan tahta (Ari Dwipayana, 2004: 26). Walaupun keraton
sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan
VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku
Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram (1749-
1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-1788).
Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan
Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama
sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian
Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram
dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan
Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu
dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk
menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan
Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu
merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan
meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari
(pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi,
Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang
yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi
beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu,
terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat
menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan
berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang dipinjamkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman,
2000: 27-29).
Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan
kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih
banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua
istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.
Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan
panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan
tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak
menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang
memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama,
sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial
yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808
Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan
mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang
Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana
itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah
dari para penguasa Jawa dalam protokol.
Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah
dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.
van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah
mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau
tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya
luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.
Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan
tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak
di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi
finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang-
orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif
dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya
menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:
18-20).
Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan
politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi
di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai
terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda
Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang
berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari
Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran
Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).
Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun
di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro
dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika
patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung
suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-
serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus
pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil
meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya
perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik
kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan
oleh pihak Belanda.
Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan
Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang sia-
sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan
kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang
mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh
kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah
merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan
membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991: 178-
181).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai
rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan
cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan
semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta
maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang
menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam ekspresi-
ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu
sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan
gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada
ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar
lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang
terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.
Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan
sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada
saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX (1861-1893). Paku Buwana IX
(1861-1893), memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja
sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan
mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul
agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat
kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang
menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal
ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan
asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing
mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para
pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja
di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan
diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada
sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan
lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara (1866-1887), memangku
jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya (1867) di Kasunanan terjadi
sembilan kali perampokan dan sekali di daerah Mangkunegaran. Pada periode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah
untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872,
tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi
pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap
urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas,
maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka
perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu
sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua
pihak (Darsiti Soeratman, 2000: 45-46).
Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial
yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki
tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori
kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an
masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen
Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun
meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan
regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang
mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan
lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.
Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas
kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh
insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu
ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah
perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi
dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent
J.H. Houben, 2002: 440-444).
Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak
Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan
Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta
terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang
menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir
kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya
berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan
besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah
otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi
dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,
walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan
swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait
dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah
Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata
rakyat.
Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk (2009: 1-
2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X
pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi
besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki
kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di
muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan
keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.
Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah
tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan,
kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa
karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat
Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan, ia selalu mau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani,
salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan
tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan
tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang
pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan
pemerintah Hindia-Belanda (George D. Larson, 1990: 44).
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan
politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa
negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan
hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X
dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga
sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat
mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa
didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi
para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School
(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda). Selain
mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk
mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama
“Mamba‟ul Ulum”. (R.M Karno, 1990: 45-46).
Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di
seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya
lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi
Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional.
Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup
besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton
didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern.
Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada
perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara
terbuka terjadi pada kongres Syarikat Islam tahun 1913 yang diselenggarakan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari
pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan
sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan
rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo (Purwadi, dkk , 2009: 20).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi
yang berjudul “PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN
NASIONAL’’.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan
penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk
membangun kehidupan politik di Surakarta?
2. Bagaimana peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di
Surakarta tahun 1909-1939 ?
3. Bagaimana reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam
Pergerakan Kebangsaan di Surakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah
dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :
1. Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun
kehidupan politik di Surakarta.
2. Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun
1909-1939.
3. Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan
Kebangsaan di Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu
penelitian. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ni diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya
tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.
b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan
sumber data dalam bidang sejarah.
Manfaat Praktis
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah khazanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
b. Dapat memberikan informasi tentang peran Paku Buwono X dalam
Pergerakan Nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Pustaka
1. Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa
mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan
dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah
suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri
dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,
bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam
pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar
dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).
Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang
menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang
menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan
kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya
suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga,
teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena
adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam
ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama
(Suhartono, 2001: 7).
Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau
perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan
untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur
Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang
pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam
Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang
mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas.
Nasionalisme menjadi pusat kesetiaan tertinggi bagi mayoritas orang pada satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan. Di sisi
lain, Lynan Tower Sargent (1978: 19) mengemukakan :
Nasionalisme merupakan salah satu cara dimana individu
mengidentifikasikan diri dengan kelompok dimana ia berada, baik karena
kelahiran maupun karena lama tinggal di suatu tempat tertentu.
Nasionalisme meliputi pola permintaan akan tindakan untuk memperkuat
negeri dan permintaan akan patriotik.
Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan
akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan
dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik.
Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31)
bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar
perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi
kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang
mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan
yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan
kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu
bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77)
bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.
Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang
tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat
nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia.
Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita
yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan
persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)
perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari
kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari kekuasaan-
kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan
bangsa dan negara. (3) perjuangan mewujudkan kemandirian, pembedaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan
perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh
kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung
sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk
bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat
macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk
mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi,
sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)
Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari
penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses),
pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau
keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara bangsa-
bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan,
gengsi dan pengaruh.
Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya
yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa.
Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1)
Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada
nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu
panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak
hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan
jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra
sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di
antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa,
ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap
satu sama lain.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat.
Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang
tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John
Locke menyeberang ke Perancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan
pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan
untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad ke-
18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan
batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain.
Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di negara-
negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995:
17-18).
Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad
ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan
pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia
dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar
mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk
organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi,
1998: 21-162).
Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil
perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme
itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa.
Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa
Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu
bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif
dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.
Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan
nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk
dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara
eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara
penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam
konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap
kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T
Kansil & Julianto, 1984: 16).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap
pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang
Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu.
Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia
beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi
satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis
perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau
menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga
mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin
Abdul Rashid, 1980: 49-51).
Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapakan
tiap-tiap bentuk kekuaaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari
nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme
tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional.
2. Pergerakan Nasional
a. Pengertian
Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang
dilakukan dengan organisasi modern kearah kemerdekaan. Sedangkan menurut
A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi
yang dilakukan dengan organisasi secara modern kea rah perbaikan hidup suatu
bangsa. Sedikit berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Suhartoyo Hardjosatoto
(1985: 32-33) menyatakan bahwa “ pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua
pengertian. Pengertian pertama yakni pergerakan merupakan suatu proses yang
dinamis menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian
lainnya yaitu mengacu pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”.
Kata nasional berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya
diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan.
Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai asal-
usul yang sama atau sekelompok manusia dari keturunan atau ras yang sama.
Dalam hubungannya dengan pergerakan nasional Indonesia, “nasional” ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dimaksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo
Hardjosatoto, 1985: 33-34).
Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa
yang dijajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara
merdeka. Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor
yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yamg dijajah yang bersifat obyektif
maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat
materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada
bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif
mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan
perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor
obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari
tanah airnya dan kemauan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri dari
penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dalam
negerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu
bangsa itu sendiri (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85).
b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional
Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh dua faktor.
Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (eksternal). Tetapi
faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul
dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor luar negeri hanya bersifat
mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa
sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul,
hanya waktunya agak terlambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain
(Sudiyo, 1997: 14).
Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) (G Moejanto, 1988:
26) ialah:
1. Penderitaan akibat penjajahan, bangsa Indonesia merasa senasib
sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap
penjajah.
2. Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah
kesatuan bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan
makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
4. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda dikalangan
pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan
di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka
ini menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat
kesatuan bangsa yang ampuh.
5. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur
pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan
kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi
yang modern.
6. Pergerakan kebangsaan Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi
terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi
perjuangan kemerdekaan (semangat kemerdekaan membuat kita terpecah
bekah dan lemah).
7. Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan
nasional itu (Sudiyo, 1997: 15), adalah sebagai berikut:
1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights, akibat perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789).
2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksanaan Politik Etis
(1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia
walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.
3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan
rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa
penjajah (bangsa kulit putih).
4. Gerakan Turki muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan
mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara
kebangsaan yang bulat dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu
bahasa, ialah Turki.
5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin al-Afgani
bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk
membentuk persatuan semua umat islam dibawah satu pemerintah Islam
pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-
imperialisme.
6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan
Philipina
Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya
pergerakan nasional, maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan
corak dan organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan
corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu
mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Dalam dua abad terakhir sebelum mencapai kemerdekaannya, sejarah
bangsa Indonesia diwarnai oleh rangkaian usaha yang terus menerus baik secara
fisik maupun nonfisik, baik secara moril maupun materiil, dari masyarakat
terjajah untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajah yang sangat
menyengsarakan. Dalam kurun waktu yang lama itu, segala upaya yang dilakukan
bangsa Indonesia dalam menentang penjajah seolah-olah menghadapi batu karang
yang demikian keras tak tergoyahkan. Perlawanan-perlawanan fisik yang muncul
di berbagai daerah segera diredam oleh pemerintah kolonial Belanda. Keadaan
seperti itu terus berlangsung sampai munculnya suatu gagasan baru, suatu gerakan
baru untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Gagasan, cara dan gerakan
baru tersebut adalah perjuangan dengan menggunakan organiasai modern. Tanda-
tanda perubahan itu muncul di awal abad ke-20 yang ditandai dengan lahirnya
sebuah organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama pada tanggal 20 Mei
1908 yang bernama Boedi Oetomo (Cahyo Budi Utomo, 1995: 37).
Perjuangan bangsa Indonesia yang disebut sebagai Pergerakan
Kebangsaan pada permulaan abad ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi perjalanan pergerakan kebangsaan
Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi
tersebut, salah satu faktor yang mempunyai peranan penting adalah diterapkannya
Politik Etis di Indonesia yang secara perlahan mengubah pemikiran tradisional
rakyat pribumi melalui pendidikan barat yang diterapkan Belanda.
Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang
dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi
kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak
zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan bangsa
Indonesia dikeruk dan dibawa ke negeri Belanda. Walaupun tujuan utama politik
Etis sangat mulia, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Tetapi dengan segala
kelemahan tersebut, politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan
penduduk pribumi. Hal itu disebabkan banyak penduduk bumi putera yang
kemudian mengenyam pendidikan barat, sebagai suatu cara untuk mengubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan
pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, dari sudut
kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit
Baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit inilah yang kemudian
menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan
Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995:
40-43).
Embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan
Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia menyebar keseluruh wilayah
Indonesia, tidak ketinggalan dengan Surakarta yang merupakan salah titik penting
sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat
perhatian penting dar Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai raja di keraton
Kasunanan Surakarta.
3. Agen dalam Pergerakan Nasional
Timbulnya peristiwa akibat dari tindakan manusia yang terjalin melalui
aktivitas antar mereka yaitu aktivitas budaya, ekonomi, politik, dan sosial.
Berpijak dari pengertian ini, Anthony Gidden dalam George Ritzer berpendapat
bahwa manusia adalah aktor dari seluruh peristiwa sosial budaya, sosial ekonomi,
dan sosial politik (George Ritzer, 2004: 507-508).
Manusia tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri,
dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang
mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens
menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen
fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak
dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam
ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang
membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi
olehnya (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16
Februari 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti
struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan
tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, garis
kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang
mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari
aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, aturan membatasi
tindakan.
Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga
memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens
menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada
umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi
tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka,
menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda
(http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).
Tindakan aktor adalah akibat dari kesadaran diskursif dan kesadaran
praktis (George Ritzer, 2004: 509). Kesadaran Diskursif memerlukan kemampuan
untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata, sedangkan kesadaran praktis
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan
dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.
Aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya
mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan
ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam
interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak
dapat diprediksi, tetapi diterapkan secara tiba-tiba oleh aktor berpengetahuan.
Maka hasil dari tindakan ini juga tidak sepenuhnya dapat diprediksi.
Konsep agen (agency) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau
makro manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas
(makro) yang bertindak. Agen manusia dapat meliputi individu maupun kelompok
terorganisir, organisasi, dan bangsa. Agen (aktor) dalam tindakannya dipengaruhi
oleh kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan
kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan
dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan (George Ritzer, 2004: 506-
508).
Dalam hubungan dengan pergerakan nasional, pada awal abad ke-20,
muncul kaum intelektual yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran
praktis tentang bangsanya sendiri. Kesadaran kaum intelektual timbul karena: (1)
penindasan ekonomi, politik dan sosial akibat kolonialsme bangsa barat, (2)
diskriminasi dalam pendidikan untuk penduduk pribumi.
Salah satu tokoh yang memiliki kesadaran diskursif dan kesadaran praktis
adalah Paku Buwono X. Berbagai tindakan dilakukan Sunan dalam upayanya
untuk memberdayakan masyarakat Surakarta di bidang ekonomi maupun
pendidikan yang ditandai dengan munculnya elit intelektual yang nantinya
merupakan pendukung utama yang sangat aktif dalam pergerakan kebangsaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda di Indonesia telah membawa
dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup rakyat Indonesia,
demikian juga terhadap kehidupan Keraton Surakarta yang merupakan salah satu
kerajaan yang mempunyai peranan penting di tanah Jawa. Segala upaya dilakukan
untuk mengusir penjajah dari Indonesia, baik perlawanan yang dilakukan secara
Penjajahan Belanda
di Indonesia
Paku Buwono X Interaksi Kaum
Intelektual dan
Pengusaha Batik
Lawean
Keraton Kasunanan
Surakarta
Nasionalisme
Pembangunan
Bidang
Pendidikan
Pembangunan
Bidang
Ekonomi
SI (Sarekat
Islam) 1912
Boedi Oetomo
(BO) 1914
Kesadaran
Diskursif
Kesadaran
Praktis
Pergerakan
Nasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tradisional/ fisik dari berbagai daerah. Perlawanan yang dilakukan secara terus
menerus dalam upayanya mengusir penjajah dari Indonesia semakin lama
semakin mengalami perubahan dari yang bersifat tradisional manjadi terorganisir.
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik
terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara
Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu
Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sunan yang mempunyai
kesadaran diskursif dan kesadaran praktis yang tinggi dapat melihat perubahan
dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda
harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang
Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.
Berbagai upaya dilakukan Sunan untuk tujuannya tersebut yaitu dengan
cara perubahan dan pembangunan ekonomi Surakarta agar dapat mendorong
kemajuan masyarakat Surakarta. Selain pembangunan ekonomi, bidang lain yang
sangat diperhatikan oleh Sunan adalah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya
politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda, memberikan kesempatan besar bagi
Sunan untuk memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah
rakyat, maupun sekolah-sekolah berbasis agama Islam. Hal tersebut dilakukan
untuk membentuk kaum elite intelektual Indonesia yang mampu mengusir
kekeuasaan Barat di Indonesia. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio
munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke
arah kemerdekaan Indonesia di Surakarta yang bekerjasama dengan pengusaha
batik Lawean berinteraksi dengan Keraton Surakarta yang nantinya mendorong
berdirinya organisasi politik di Surakarta yaitu Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912
dan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1914.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dalam rangka penelitian skripsi yang berjudul “Peran
Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan
metode historis, maka untuk memperoleh data penelitian, penulis sebagian besar
memperoleh data dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan
sebagai obyek penelitian adalah sebagai berikut:
a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret
c. Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret
d. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
e. Perpustakaan Sasono Poestoko Keraton Kasunanan Surakarta
f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
g. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta
h. Buku-buku koleksi pribadi
2. Waktu Penelitian
Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal
disetujui pembimbing yaitu bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010. Adapun
kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah
mengumpulkan sumber, baik sumber primer maupun sekunder, melakukan kritik
untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
B. Metode Penelitian.
Metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja,
yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997: 7). Dalam penelitian peranan metode
sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari
penggunaan metode yang tepat. Dalam hal ini dipilih dengan mempertimbangkan
kesesuainnya dengan objek yang diteliti bukan sebaliknya. Berdasarkan
permasalahan yang dikaji serta tujuan yang dicapai, maka metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan
pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk
direkonsruksi menjadi cerita sejarah melalui langkah aau metode hisoris.
Menurut Gilbert J. Gharagan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)
metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,
dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Sejalan dengan pendapat ini, Louis Gottschalk (1986: 32) mendefinisikan metode
historis sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau. Sartono Kartodirdjo (1992: 37), berpendapat bahwa
metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk
menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh
masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu
kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami
lagi fakta yang diselidikinya.
Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode
historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi
peristiwa Pergerakan Nasional di Surakarta yaitu, “Peran Paku Buwono X Dalam
Pergerakan Nasional‟‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah.
Sumber sejarah sering kali disebut sebagai data sejarah. Menurut Kuntowijoyo
dalam Dudung Abdurrahman(1999: 30), perkataan data berasal dari bahasa latin
datum yang berarti pemberitaan. Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah
yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.
Menurut Helius Syamsuddin (1996: 73) dalam penelitian sejarah, yang
menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan
mentah (raw material) sejarah yang mencakup segala evidensi atau bukti yang
telah ditinggalkan oleh menusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di
masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/
lesan.
Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak
dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas,
(3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan
berupa seperti candi dan prasasti.
Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yatu : (1)
kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal
(tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi
(mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih
lanjut menurut waktu, tempat dan cara/produknya. Sumber sejarah secara garis
besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan
catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996 : 74 ).
Berbagai cara ditempuh untuk mengklasifikasikan sumber data, salah satu
cara mengklasifikasikannya yaitu dengan meninjau atau melihat sumber data itu
dari sudut kegunaannya yang langsung untuk penelitian historis. Klasifikasi
sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu
sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tersebut menurut urutan
penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan dan sumber
sekunder (Dudung Abdurrahman, 1999: 31).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Menurut Nugroho Notosusanto (1986: 35), sumber primer adalah
kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat
mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W.
Best dalam Louis gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan
para saksi mata atau pengamat atau partisipan dan juga berisi catatan-catatan para
saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak
langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu
kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber
sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit
didapat (Nugroho Notosusanto, 1986: 35)
Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik
studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dari buku-buku dan
bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka,
analisis dan lain-lain.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder,
karena sulitnya memperoleh sumber primer. Sumber sekunder yang yang
digunakan antara lain: Hans Van Miert judul buku Dengan semangat Berkobar
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930; George D. Larson
judul buku Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912-1942; RM. Karno judul buku Riwayat dan Falsafah Hidup
Ingkang Sinuwun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939; Darsiti Soeratman
judul Buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939; Denys Lombard
judul buku Nusa Jawa Silang Budaya jilid I, II, III; G.P Rouffaer judul buku
Vorstenlanden; Vincent J.H. Houben judul buku Keraton Dan Kompeni Surakarta
Dan Yogyakarta 1830-1870; M.C Ricklefs judul buku Sejarah Indonesia Modern;
A.P.E.Korver judul buku Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?; Suhartono judul
buku Apanage dan Bekel; Kuntowijoyo judul buku Raja, Priyayi dan Kawula; AA
GN Ari Dwipayana judul buku Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat
di dua Kota; John Pemberton judul buku On The Subject of “Java”; A.K
Pringgodigdo judul buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Cahyo Budi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Utomo judul buku Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah tehnik studi pustaka. Menurut Kartini Kartono (1990: 33)
Studi pustaka merupakan sebuah penelitian yang bertujuan mengumpulkan data
dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan
misalnya: buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data-data yang telah
terkumpul berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas
dalam penelitian.
Menurut Koentjaraningrat (1997: 64), teknik studi pustaka adalah suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau
fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip,
surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka
merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke
perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan
penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu dilakukan
dalam persiapan penelitian adalah memanfaatkan dengan maksimal sumber
informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Dalam
penelitian ini data sebagian besar diperoleh dari perpustakaan yang tedapat di
Surakarta dan Yogyakarta.
Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam
kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam
pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan
sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya
penggulangan suatu penelitian ( Koentjaraningrat, 1986: 36).
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisis data
sehingga akan menghasilkan data yang benar dan dapat dipercaya. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
penelitian ini, digunakan analisis data historis. Analisis data historis lebih dikenal
dengan penafsiran atau analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan dan
secara terminologi berbeda dengan sistesis yang berarti menyatukan, namun
keduanya dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi
(Kuntowijoyo, 1995: 100).
Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 14), teknik analisis data adalah
analisis dengan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber yang
digunakan untuk mengadakan penulisan sejarah. Analisis dilakukan dengan
meneliti semua bahan yang dipakai, setelah identitasnya dapat dibuktikan asli,
baru dapat diteliti apakah pernyataan, fakta dan ceritanya dapat dipercaya.
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah
yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyekifitas dalam menganalisis data sejarah
dapat diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur
yang sesuai dengan sumber data sejarah dan kredibilitas unsur tersebut. Unsur
yang kredibel, maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya
berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis
Gottchalk, 1986: 95)
Analisis data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus
seleksi, disusun, diberi, atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan
ditempatkan dalam aturan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut,
seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih dan
memilah fakta mana yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman,
1999: 25).
Interpretasi data sejarah dilaksanakan dengan cara melaksanakan
pengumpulan terhadap berbagai materi/ data yang sesuai dengan tema penelitian
ini. Dari data yang telah terkumpul tersebut kemudian dlaksanakan kritik sumber
dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain untuk
mendapatkan data yang yang seobyektif mungkin. Data yang telah diseleksi
tersebut kemudan ditafsirkan sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta
merupakan bahan utama bagi sejarawan untuk menyusun historiografi, sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
fakta sejarah selalu mengandung unsur subyektivitas sehingga dalam menganalisa
data diperlukan konsep dan teori sebagai ceritera penyeleksian, pengidentifikasian
dan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo, 1992: 92).
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan
sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Langkah selanjutnya adalah kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern.
Sumber data itu kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna
mempreroleh kredibilitas sumber data. Mengacu pada kajian teori, fakta diberi
keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling
menunjukan hubungan yang relevan guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh
untuk sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus
dijalani mulai dari pengumpulan data sampai penulisan hasilnya. Berkaitan
dengan tema penelitian langkah-langkah yang dilakukan adalah :
Heuristik Kritik Sumber Interpretasi Historiografi
Jejak Peristiwa Fakta Sejarah
1. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa yunani “Heurishein” yang artinya
memperoleh. Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau
dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang
relevan dengan penelitian ini. G.J Renier yang dikutip Dudung Abdurrahman
(1999: 55) menyatakan heuristic merupakan suatu teknik, suatu seni dan bukan
suatu ilmu. Oleh karena itu heuristic tidak mempunyai peraturan umum menurut
Sidi Gazalba (1981: 115) heuristik adalah mencari bahan atau menyelidiki sumber
sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Pada tahap ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan sumber-
sumber yang sesuai dengan penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur
diperoleh dari beberapa perpusakaan diantaranya perpustakaan Program Studi
Pendidikan Sejarah Universias Sebelas Maret Surakarta, Perpusakaan Pusat
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta,
Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Ignatius Yogyakarta.
2. Kritik
Setelah sumber yang diperlukan terkumpul, maka langkah berikutnya
adalah melakukan kritik sumber yaitu mengadakan penilaian atau pengujian
terhadap sumber-sumber sehingga dapat diketahui apakah sumber tersebut dapat
dijadikan sebagai data bagi penelitian tersebut atau tidak. Menurut Dudung
Abdurrahman (1999: 58) kritik sumber ini meliputi:
a. Kritik Intern
Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari
suatu sumber sejarah (Hellius Sjamsudin, 1996: 118). Dalam kritik intern, hal
yang dilakukan adalah menyelediki isi dari sumber sejarah. Kritik ini
bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah
dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik
intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah
keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain,
dari tahap ini akan didapat validitas data.
Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sumber
tersebut sesuai dengan yang ada atau banyak dipengaruhi oleh subjektifitas
pengarang, dan apakah sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau
tidak. Misalnya buku Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuwun Sri
Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939 karangan R.M Karno yang memuat
tentang Silsilah dan riwayat Paku Buwono X dibandingkan dengan Buku
Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 karangan Darsiti Soeratman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
b. Kritik ekstern
Kritik Ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang
berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan
(kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi
penampilan yang lain. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 59), uji otensitas
minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, dimana, siapa, bahan apa serta
bentuknya bagaimana sumber itu dibuat. Sebelum semua kesaksian dikumpulkan
oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa lalu, maka terlebih
dahulu dilakukan pemerikasaan ketat.
Kritik ekstern dilakukan dengan cara melakukan pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sebuah sumber sejarah. Kritik ekstern berguna untuk
memeriksa sumber sejarah dan menjaga keaslian serta keutuhan sumber tersebut.
Dalam kritik ekstern dilakukan pengujian sumber dari aspek luarnya seperti
pengarang dan asal sumber. Dalam penelitian ini kritik ekstern dilakukan dengan
menyeleksi bentuk sumber data tertulis berupa buku dan literatur. Aspek fisik
kedua sumber dilihat dari pengarang, tahun, tempat penerbitan sumber, gaya
bahasa dan ejaan yang digunakan. Misalnya buku Een Koel Hoofd En Een Warm
Hart Nationalisme, Javanisme En Jeugdbeweging In Nederlands-Indie, 1981-
1930 karangan Hans van Miert tahun 1995 diterbitkan De Bataafsche Leeuw
diterjemahkan oleh Sudewo Satiman judul Dengan semangat Berkobar
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930 tahun 2003 dengan
hak terjemahan Indonesia pada Perwakilan KITLV dan Penerbit Hasta Mitra
menggunakan gaya bahasa dan ejaan yang disempurnakan.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut pula dengan analisis sejarah.
Interpretasi merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari
data yang telah diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya análisis data.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menafsirkan data yang diperoleh,
kemudian mencari kaitan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Setelah
itu data yang salin berkaitan dihubungkan sehingga akan diperoleh gambaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
yang jelas dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah yang dapat
dijadikan sebagai data sejarah.
4. Historiografi
Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau
prosedur penelitian sejarah, historiografi merupakan karya sejarah dari hasil
penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan
apa yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam historiografi
seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis, penggunaan
kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut menggunakan
pikiran kritis dan analisis (Hellius syamsudin, 1992: 153).
Historiografi merupakan langkah merangkai fakta sejarah menjadi cerita
sejarah yang dilakukan dengan cara menyalin buku-buku linteratur,surat kabar,
dan sumber tertulis lainnya. Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan untuk
merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu kisah
sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Tahap historiografi ini
merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis.
Dari data-data yang sudah berhasil dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti
berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan
menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis. Dalam
penelitian ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi
dengan judul “Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional‟‟.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. USAHA-USAHA PAKU BUWONO X MEMBANGUN
KEHIDUPAN POLITIK
1. Keadaan Geografis Surakarta
Karesidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan wilayah
Mangkunegaran. Batas wilayah sebagian dibentuk oleh Gunung Lawu di sebelah
Timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah Barat. Di bagian tengah
karesidenan berjajar deretan bukit kapur dan pegunungan Sewu. Sementara di
sebelah Utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian pegunungan Kendeng.
Bengawan Surakarta mengalir melalui dataran Surakarta dari Selatan ke Utara.
Dalam perjalanannya ke Jawa Timur dan laut Jawa, sungai ini melintasi kota
Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Surakarta. Luas
Karesidenan Surakarta adalah 6217 𝑘𝑚2 dan separo dari daerah itu merupakan
milik Kasunanan, dan lainnya masuk daerah Mangkunegaran (M. Hari Mulyadi,
dkk 1999: 20).
Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut,
di sebelah kiri Bengawan Solo, dan pada kedua belah tepi sungai Pepe. Sebagian
besar kota tersebut masuk ke wilayah Kasunanan dan hanya seperlima saja, yaitu
sebelah barat laut merupakan daerah Mangkunegaran. Di kalangan penduduk,
daerah Kasunanan di dalam kota dikenal dengan nama daerah Kidulan, walaupun
daerah milik Sunan ini terbentang diseluruh kota, selain bagian barat laut. Sebutan
Kidulan ini mungkin dihubungkan dengan letak keraton yang berada di sebelah
selatan, sedangkan Istana Mangkunegaran di sebelah utara jalan raya Purwosari
(sekarang Jl. Slamet Riyadi) dan jalan term yang menghubungkan Boyolali dan
Wonogiri seakan-akan menjadi batas kedua daerah itu (Darsiti Soeratman 2000:
83-84). Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten
Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di
sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta#Geografi, diunduh pada Rabu 9 Juni
2010).
Pada awal abad ke-20 luas kota Surakarta tercatat 24 𝑘𝑚2 dengan ukuran
panjang 6 𝑘𝑚2, membentang dari arah Barat ke Timur dan 4 𝑘𝑚2 dari arah utara
ke Selatan. Bagian tengah yang merupakan kota lama didiami oleh beberapa
etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing menempati daerah
tertentu secara terpisah. Di sebelah utara keraton terletak kepatihan, tempat
kediamana pepatih dalem sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi
pemerintahan. Istana mangkunegaran terletak disebelah selatan sungai Pepe,
demikian pula perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen,
kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan (sositet), gedung-gedung sekolah, toko-
toko, dan Benteng Vastenburg yang berkedudukan sebagai pusatnya.
Perkampungan orang Eropa di sekitar benteng Vastenberg yang disebut Loji
Wetan, karena bangunannya berbentuk loji, menggunakan bahan batu bata.
Pacinan terletak di sekitar Pasar Gedhe, diurus oleh kepalanya yang diambil dari
etnik yang sama, dan diberi pangkat mayor. Demikian pula halnya dengan orang-
orang Arab, mereka diberi wilayah tertentu di sekitar Pasar Kliwon, diurus oleh
kepalanya seoarang Arab dengan pangkat kapten. Perkampungan untuk penduduk
Bumi Putera terpencar di seluruh kota di Surakarta (Darsiti Soeratman, 2000: 83-
85).
Letak Keraton Surakarta, istana Mangkunegaran, rumah residen, dan
kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun dekat dengan keraton
dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana Mangkubegaran yang
menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan
besar. Selain itu juga dapat dilihat bahwa jarak dari kepatihan ke rumah residen
lebih dekat daripada jarak dari kepatihan ke keraton. Untuk melewati keraton,
pepatih dalem harus melewati rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu
adalah untuk kepentingan dan keamanan pemerintahan kolonial Belanda di
Surakarta (Depdikbud, 1999: 10).
Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: penduduk
pribumi 2.535.594 orang, warga Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
orang, jumlah 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi
149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang da Timur Asing 1.388
orang, jumlah semua 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri atas 3.225
orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan perincian terdiri atas Belanda
Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon untuk
panggilan orang-orang Ambon yang bekerja, yang pada umunya menjadi tentara
Belanda. Orang-orang Belanda berkumpul di Lojiwetan dan sekitarnya,yaitu
daerah yang terletak di sebelah selatan kali-pepe, kali yang membelah kota
menjadi dua. Mereka bertempat tinggal disekitar benteng Belanda, benteng
Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman. Mereka memliki gereja sediri
yang letaknya di Gladak, depan benteng. Disampingnya berjejer rumah-rumah
orang kaya Belanda, Rade Maker, Javasche Bank, kantor Residen. Ada
sekelompok orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Mangkoenegaran,
mereka berkumpul di Vila-park (Banjarsari). Belanda juga ada yang bekerja di
onder-neming, gula atau tembakau, tinggalnya dikomplek onder-neming (R.M
Karno, 1990: 115-116).
Golongan Timur-asing terdiri atas Arab, India dan Pakistan. Biasanya
orang-orang India dan Pakistan memiliki toko-toko dengan berjualan bahan
pakaian. Mereka tinggal di toko-tokonya sendiri. Orang-orang Arab berkumpul di
pasar-kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang selatan rel kereta api yang
membelah Surakarta. Usaha mereka umumnya dibidang industri kain batik,
biasanya dikerjakan dirumahnya sendiri. Golongan ini umumnya tertutup, tidak
suka bergaul dengan golongan lain. Rumah-rumahnya dikelilingi pagar tinggi dan
tertutup rapat. Mereka juga memiliki masjid sendiri di pasar Kliwon. Sedangkan
orang-orang Cina berkumpul diseberang utara kali-Pepe, yaitu Balong,
Warungmiri, dan di daerah-daerah sekitar Pasar Gedhe. Kedatangan orang-orang
Tionghoa semula sebagai pendatang, dan mula-mula hanya pedagang kecil-kecil
saja (R.M Karno, 1990: 116-118).
Perkampungan untuk penduduk bumiputera terpencar di seluruh kota.
Beberapa di antaranya disebut menurut nama pangeran yang mendiami tempat itu
antara lain Adiwijayan, Mangkubumen, Jayakusuman, Suryabratan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Kusumabratan, Sumadiningrat, Cakranegaran dan termasuk nama kampung
Kalitan yang mengikuti nama Kandjeng Ratu Alit, putri sulung Sunan Paku
Buwono X yang lahir dari priyantun dalem atau selir. Disamping itu terdapat pula
kampung-kampung yang disebut menurut abdi dalem yang pangkatnya lebuh
rendah, antara lain Secayudan, Derpayudan, Nonongan, Mangkuyudan,
Selakerten yang disingkat menjadi Kerten dan Jamsaren (R.M Sajid, 1984: 60-
64).
Penduduk pribumi ditemukan dalam berbagai kelompok dan kampung
yang tidak teratur diseluruh kota, kebanyakan di antaranya mencari nafkah dari
industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan. Yang juga tersebar di seluruh
kota adalah tempat para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka (George D.
Larson, 1990: 23).
2. Keadaan Politik Sebelum abad ke-20
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)
pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran
akibat perang perebutan tahta (AA GN Ari Dwipayana, 2004: 26). Keraton
Surakarta merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang didirikan oleh
Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama
pada akhir abad XVI. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali
perpindahan temapt. Mula-mula di kota Gedhe kemudian, pindah ke Plered, ke
Kartasura, dan terakhir di Surakarta.
Setelah Paku Buwono II memindahkan keraton dari Kartasura ke
Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa
kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan
sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalama wilayah inti
Kerajaan Mataram Surakarta, karena patih yang seharusnya mengurus wilayah
kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC (M. Hari Mulyadi,
dkk, 1999: 20). Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-
perang antara Mataran dengan VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat
dan diagantikan oleh Paku Buwono III yang memerintah selama enam tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
sebagai raja Mataram (1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-
1788).
Peperangan antara Mataram dan VOC dilanjutkan pada masa
pemerintahan Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang
berlangsung selama Sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan
tercapainya Perjanjian Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755),
Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu
Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum
perjanjian itu dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob
Mossel untuk menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran
Mangkubumi, dan Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi
perjanjian itu merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus
dilepaskan meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa
Palihan Nagari (pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran
Mangkubumi, Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena
berakhirnya perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755)
itu dapat mengurangi beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan
mundur. Selain itu, terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan
kompeni untuk dapat menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima
oleh Sultan berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang
dipinjamkan dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti
Soeratman, 2000: 27-29).
Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan
kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih
banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua
istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.
Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan
panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan
tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa (Vincent J.H. Houben,
2002: 18).
Faktor-faktor yang memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam
dua hal pokok, yaitu: (1) Sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana
sebuah kekuatan kolonial yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di
Jawa. Pada masa itu, Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono IV (1788-1820) yang
mengalami pemerintahan Gubjen H.W Daendels (1808-1811) dan Letgub Th. S.
Raffles (1811-1816); (2) penguasa asing ini berusaha membawa perubahan dalam
pemerintahan pribumi dan menggantinya dengan pemrintahan model Barat
(Darsiti Soeratman, 2000: 29). Pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jenderal H.W.
Deandels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai tata etiket perilaku,
sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang Jawa. Etiket itu menyatakan
bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana itu para Residen Eropa tidak
lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa Jawa
dalam protokol (Vincent J.H. Houben, 2002: 18-19).
Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah
dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.
van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah
mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau
tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya
luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.
Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan
tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak
di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi
finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang-
orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif
dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan
orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya
menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:
19-20).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dua dekade setelah kekuasaan Deandels membawa Jawa pada kejadian-
kejadian yang secara langsung menantang otoritas Belanda, Pertama dari luar
selama Pendudukan Inggris atas Hindia Belanda (1811-1816), dan kemudian dari
dalam selama Perang Jawa yang berlangsung lama (1825-1830). Keraton
Surakarta (berbeda dengan saingannya Keraton Yogyakarta) tidak pernah berada
dalam konflik terbuka dengan Belanda. Meski ada berbagai rumor yang
mengelilingi istana Paku Buwono, kaeadaan tertib serimonial yang diperoleh dari
struktur kekuatan protokol yang sudah sangat jauh berkembang sekarang telah
menjadi sedemikian tertanam sehingga tampak adanya tata. Ketika dalam tahun
1816, bendera Inggris dimuka benteng kediaman Residen Surakarta diganti oleh
bendera Belanda yang telah kembali (John Pemberton, 2003: 80-81).
Faktor lain yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan politik
di dalam Istana Yogya itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi di antara
para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai terlihat
setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda
Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang
berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari
Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran
Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).
Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun
di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro
dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika
patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung
suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-
serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus
pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil
meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya
perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik
kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan
oleh pihak Belanda. Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite
bangsawan Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
usaha yang sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum
meningkatnya kekuatan kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya
gerakan protes sosial yang mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan,
dengan menoleh kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi
penjajahan itu sudah merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang
Jawa seakan-akan membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C
Ricklefs, 1991: 178-181).
Berakhirnya Perang Jawa (1930), Belanda semakin memikirkan berbagai
rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan
cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan
semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta
maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang
menyudutkan pemerintahannya. Pemerintah kolonial secara efektif mewajibkan
agar dibayar dengan tanaman ekspor sebagai pembayaran sewa tanah yang baru
saja telah diterapkan oleh Belanda, dan aneksasi ekstensif daerah yang jauh dari
ibu kota yang dimiliki oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta (John Pemberton,
2003: 95).
Kekalahan politis pada medan Perang Jawa telah menjinakkan raja-raja
Jawa dan membuat mereka hanya menjadi tokoh pelaku ritual. Walau tahun 1830
tampak menandakan suatu keberhasilan baru bagi Belanda menjinakkan para raja
Jawa Tengah, tetapi ini juga mengungkapkan adanya suatu titik penting yang
merupakan suatu penjinakkan yang, dalam berbagai hal, jauh lebih kuat, suatu
bentuk yang diciptakan secara diskursif dalam sosok “Jawa” oleh orang-orang
Jawa sendiri. Walau tahun 1830 mengantarkan kondisi-kondisi kolonial yang
didalamnya “Jawa” yaitu negeri ideal itu, yang secara ritual tidak pernah
ditaklukkan. Menjadi semakin makmur, sejak tahun 1745 dan seterusnya Keraton
Surakarta sudah menjadi “lembaga ritual”, tetapi dalam arti rangkap. Keraton
adalah produk dari suatu prosese ritual unik yang mengubah suatu kontradiksi
menjadi kerajaan, dan pada saat yang sama, merupakan lokasi tempat proses ini
ditetapkan sebagai ritual. Setelah proses ini maka dunia “Jawa” menjadi semakin
dikenal, akrab, dan dapat dihuni sebagaimana peristiwa-peristiwa ritual menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bahan-bahan periwayatan yang dikehendaki dalam babad-babad Jawa. Sejak 1830
keraton-keraton Jawa Tengah hanya merupakan lembaga-lembaga ritual, sebagai
tanda-tanda berbunga-bunga ketunakuasaan atau sebagai penanda kepatuhan,
betapapun jinaknya sikap para raja yang berkuasa. (John Pemberton, 2003: 96-
98).
Pecahnya Perang Jawa (1825) selain menambah beban anggaran
pengeluaran juga mendorong pada perubahan kebijakan pemerintah Hindia
Balanda. Apa yang sekarang dikenal “Laporan Kolonialisasi” tahun 1827, saat itu
sangat mengandalkapengusaha-pegusaha swasta Eropa dan Cina yang bergerak di
tanah-tanah sewa-guna dalam memajukan penananman komoditas yang dapat
diekspor. Namun sebelum kebijakan ini terlaksana di lapangan, suatu rancangan
“lebih baik” yang dinilai bisa segera mendatangkan keuntungan diusulkan oelh J.
van den Bosch. Raja William I menerima rancangan baru ini dan mengirim
penggagasnya ke Jawa sebagai gubernur jenderal (kemudian komisaris jenderal)
pada tahun 1830. Rancangan yang terkenal itu kelak disebut sistem Tanam Paksa
(cultuurstelsel) (Robert van Niel, 2003: 220).
Selama tahun 1830-an dan 1840-an, Jawa diatur dengan meletakkan
kepercayaan besar pada otokrasi pribadi tanpa mengacu pada bentuk hukum yang
jelas, keseragaman pemerintahan, dan kesetaraan manusia sebagaimana dikenal
dan diterima cukup luas di Negeri Belanda waktu itu (Robert van Niel, 2003: 37).
Di Vorstenlanden, sistem Tanam Paksa tidak dijalankan dalam kurun waktu 1830
dan 1870, tetapi perkebunan swasta Belanda dapat bergerak bebas melakukan
usahanya. Sebelum tahun 1830, telah ada sejumlah orang Cina dan Eropa
menyewa tanah dari penguasa dan pemegang lungguh, tetapi hanya dalam jumlah
kecil dan letaknya di pinggiran negara (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 49).
Sistem Tanam Paksa merupakan penerapan prinsip lama dengan corak
baru. Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah, sistem ini melanjutkan lebih giat
prinsip bahwa penguasa adalah pemilik semua tanah. Sistem Tanam paksa terus
memakai penyelesaian sewa tanah berdasarkan desa, tetapi sekarang ditambah
perjanjian kontrak dengan desa untuk menanam komoditas ekspor di tanah-tanah
desa (Robert van Niel, 2003: 220).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Periode pasca-1830, ditemukan juga ekspresi-ekspresi protes sosial di
Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu sendiri) maupun
pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan gerakan periferal
dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada ekspresi-ekspresi
perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar lingkungan
pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang terang-terangan
dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana (Vincent J.H.
Houben, 2002: 430-437).
Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial
yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki
tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori
kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an
masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen
Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun
meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan
regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang
mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan
lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.
Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas
kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh
insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu
ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah
perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi
dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent
J.H. Houben, 2002: 440-444).
Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak
Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan
Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta
terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang
menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.
Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya
berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan
besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.
3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X
a. Latar Belakang Keluarga
Sri Susuhunan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono
IX dari permaisuri Kangjeng Ratu Paku Buwono, putri dari Pangeran Hadiwidjojo
ke-II. Sinuhun Paku Buwono IX adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono ke-VI,
yang dibuang ke Ambon karena melawan Belanda. Jadi Sinuhun Paku Buwono X
adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI, maka dalam garis perjuangannya
melawan kekuasaan Belanda, Sinuhun tidak pernah mengabaikan pesan dan terus
melanjutkan perjuangan jejak kakeknya. Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku
Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22 Rejeb 1795 Jawi, atau 29
Nopember 1866 M jam 7 pagi dan dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom.
Setelah dinobatkan menjadi Pangeran Adipati Anom, sang Adipati diberi gelar
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibjo Rojo Putro
Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk kerajaan Surakarta Hadiningrat.
Sinuhun Paku Buwono IX keras dalam mendidik puteranya. Sang putra
digembleng dalam segala ilmu, dalam ilmu kebathinan, dalam ilmu menuntut
ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak tumbuh menjadi manusia yang
berbudi luhur, berwatak utama, adil dan bijaksana, hal yang merupakan syarat
menjadi Ratu. Pendidikan untuk ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan
guru-guru di keraton, karena semua pendidikan dilakukan dalam keraton (R.M
Karno, 1990: 24-27).
K.G.P. Adipati Anom menyadari bahwa syarat untuk menjadi Raja ialah
menguasai segala ilmu yang ada, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur
negara, baik itu ilmu kebatinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan
dari leluhur, agar kelak menjadi manusia yang berbudi luhur dan berwatak utama,
maupun ilmu dari barat agar dapat mangikuti dan memahami keadaan dunia.
Segalanya ini dipelajari di Dathulojo (keraton), segala macam guru baik dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
ilmu barat maupun ilmu ketimuran didatangkan ke Keraton. Karena itu setelah
K.G.P. Adipati Anom naik tahta menjadi Raja, maka beliau menjadi raja yang
arif, adi dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono dan waskito (R.M Karno,
1990: 35).
Pendidikan diberikan secara Jawa yang diikuti Pangeran Adipati Anom,
meliputi berbagai bidang, antara lain: (1) pengetahuan mengenai kesusateraan,
agama termasuk mengaji, besi aji, dan segala hal tentang kuda; (2) kesenian
termasuk seni tari; (3) keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang,
dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secara Barat; (4)
olahraga, seperti berenag dan bermain kuda; (5) pendidikan dari buku-buku lama
dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa; (6)
pengetahuan psikologi, kejiwaan; (7) pelajaran bahasa seperti Arab, Melayu,
Belanda (Purwadi, dkk, 2009: 5).
Ayahanda Sunan yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat pada hari Jumat
Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 1893 M. Pada tahun yang sama, hari kamis Wage
tanggal 12 bulan Siyam, K.G.P Adipati Anom dinobatkan menjadi Noto (Raja)
manggantikan sang ayah dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Sunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo
Ingkan Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau
ringkasnya Sunan Paku Buwono X. Adapun sebutan “Sajidin Panotogomo” tidak
hanya sebutan tradisional belaka, sebab semalam sebelum upacara penobatan
Sang Calon Raja pergi ke masjid Paromosono (sekarang Bandengan, dahulu
sebelah barat dari pandopo Parangkarso) dengan pakaian serba putih (R.M Karno,
1990: 28). Pemerintah Hindia Belanda menaikkan pangkat militernya menjadi
Mayor Jenderal. Pemberian pangkat militer secara tituler oleh Belanda kepada
raja-raja Jawa telah dimulai sejak pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama
kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara (Purwadi, dkk,
2009: 7).
Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya
pertama-tama adalah ayahanda sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Selain itu juga
para kesepuhan yang oleh Sinuhun sering diajak sarasehan tukar ilmu, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
eyang dalem Kusumoyudo ke-II, yang dimakamkan di Lawean, Kyai Surosemito
dan Ngabehi Reksoniti. Jika ayahanda Paku Buwono IX, digambarkan sebagai
Prabu Bolodewo, sakti mendoroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku
Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin,
wicaksono narendrotomo sang Jayeng Katon (R.M Karno, 1990: 42).
b. Kepribadian
Banyak anggapan yang menilai Sunan Paku Buwono X adalah seorang
raja yang hanya berkuasa dalam lingkup keraton. Sekalipun menjadi raja,
berkuasa di keraton dan dan di wilayahnya, tetapi Paku Buwono X bukan orang
yang merdeka sepenuhnya. Raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun
Paku Buwono X tidak pernah menjadi orang bebas. Sunan terikat bermacam
bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia
adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian beliau
mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif
(Kuntowijoyo, 2004: 19).
Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar dipahami),
membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur
yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya yang panjang
(1893-1939). Beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang Sunan.
Seperti yang diperlihatkan dalam uraian Residen G.F van Wijk (1909-1914)
dalam George D. Larson (1990: 43-44) yang menilai Sunan Paku Buwono X:
Raja ini menurut dan mempunyai perangai yang sangat lemah. Ia ingin
melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjolkan dirinya karena
takut akan konflik dengan anggota keluarganya atau dengan pegawai
tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang
anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putra mahkota
pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu
yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan yang
sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya
mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semuanya disajikan
kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan
bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu memberi asuhan
yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan melayu;
berhitung ia tak tau sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa
banyak tombak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari
pandangan mata pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa
tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya
dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa
Belanda sedikit secara diam-diam, ayahnya melarangnya tetapi hasilnya
amat kurang. Perhatian satu-satunya adalah „perempuan‟, dan keadaan ini
agaknya akan tetap begitu… Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang
akan dihasilkan oleh seorang yang berperangai lemah dan dibesarkan
dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan demikian. Supaya
sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak
lama…Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang
dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia
juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah bahwa ia
tak mengenal nilai uang…Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun
tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu
secara pribadi merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan
tetapi ia tak pernah berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut
terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir.
Paku Buwono X merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak
tampak disekelilingnya setiap hari dibangun wibawa. Namun ada desas-desus
bahwa raja diam-diam memiliki kesenangan tambahan dari medali-medalinya,
suatu kesenangan yang melebihi kesenangan normal yang diperoleh dari memiliki
dari sedemikian banyak medali itu. Setelah tugas-tugas hari itu selesai dan
dibagian dalam keratonnya, Pakubuwono X dikatakan sering memerintahkan abdi
dalem keraton untuk menyematkan jajaran medali-medali kehormatan
dipunggungnya, Raja kemudian duduk megah, tersenyum-senyum sendiri.
Beberapa abdi dalem mengatakan bahwa ini adalah tindakan protes terhadap
campur tangan Belanda dalam urusan-urusan keraton, yang lain mengatakan
bahwa walau Pakubuwono X dianugerahi tubuh yang sedemikian besar, namun
Raja masih kekurangan tempat untuk memasang semua kehormatan yang
dipersembahkan kepadanya. Apapun kebenarannya, desas-desus itu manunjukkan
adanya status yang terlalu berlebihan dari wibawa para Pakubuwono abad-20, dan
terutama adanya suatu dunia tersembunyi yang terletak dibalik penampilan-
penampilan keagungan seremonial keraton. Pakubuwono X lebih merupakan
serang eksentrik dalam ruang tertutup, yang kosmos pribadinya membatasi dirinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
sementara kosmos itu sendiri juga terbatas, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah
medali-medali kehormatan itu (John Pemberton, 2003: 166-167).
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai
seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda
dan pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu terbukti dari kebiasaannya memamerkan
tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya menggunakan
pakaian resmi (George D. Larson, 1990: 44). Meskipun ia tidak banyak memiliki
pengetahuan teknis atau minat terhadap soal keuangan dan administrasi
kerajaannya, tetapi ia sangat menaruh perhatian terhadap dua hal yaitu upacara da
politik. Hal ini terlihat dari peranan Susuhunan paku Buwono X yang selalu
memberikan bantuan moril dan keuangan kepada Sarekat Islam Suarakarta.
Pada dasarnya Sri Susuhunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang
patut ditiru, antara lain:
1. Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri
yang kuat. Jika menghadapi orang yang bertentangan dengan pendirian
sendiri tidak dihadapi secara keras, seolah-olah mengadu kekuatan,
melainkan dihadapi dengan sikap yang lentur walaupun tanpa mengubah
pendirian diri sendiri.
2. Kemampuan menganalisa yang tajam, hingga dapat menyadari apa yang
sungguh penting bagi masa depan.
3. Perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, lebih suka
membuat orang lain senang, hingga member kesan yang keliru bahwa
beliau seolah-olah tidak memiliki keberanian.
4. Keterbukaan terhadap hal-hal yang baru yang bermanfaat bagi rakyat dan
negaranya.
5. Rasa keadilan yang tinggi. (R.M Karno, 1990: 42)
Sri Susuhunan Paku Buwono X yang setelah wafat berganti nama menjadi
Minulyo soho Wicaksono. Hasil karyanya berupa:
a. Pemugaran dan pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat.
b. Pemugaran listrik di keraton dan di tempat-tempat yang penting.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
c. Pembangunan Taman Sriwedari, Museum Radyapustaka, Stadion
Sriwedari, pemancar radio, S.R.I
d. Membangun pasar-pasar (pasar Gedhe Harjonagoro), sekolah-sekolah,
masjid-masjid, jembatan-jembatan besar, tanggul dan irigasi.
e. Macam-macam pembangunan lainnya dibidang pertanian,
pendidikan,sosial budaya.
f. Dibidang Pendidikan
g. Dibidang politik
h. Dalam Bidang Ekonomi
Sinuhun memerintahkan untuk mendirikan sebuah bank yang diberi nama
“Bondo Lumakso” yang secara harfiah barati “harta berjalan atau
bergerak”. Sinuhun juga mendirikan sebuah pabrik gula di Delanggu dan
sebuah pabrik serat nanas di Karanggeneng yang masing-masing dipimpin
oleh seorang Belanda. Selain itu juga didirikan pabrik teh beserta
kebunnya di Ampel, dibawah pimpinan R.M Sayogo Brotodjojo yang
telah disekolahkan pada Cultuur School di Deventer, Belanda. Dan juga
diadakan pula penanaman tembakau untuk pembuatan cerutu dibawah
pimpinan seorang Belanda.
i. Dalam Bidang Sosial
Secara rutin setiap hari kamis malam, Sinuhun beserta pengikutnya
mengadakan perjalanan keliling Solo, semula dengan naik kereta,
kemudian dengan naik mobil untuk mencari angin sambil menyebar mata
uang sen, gobang dan sebagainya kepada rakyat yang berkerumun
dipinggir jalan melihat rajanya berlalu dengan pelan-pelan. Orang-orang
miskin dan para pengemis tidak dilupakan oleh Sinuhun. Mereka
dibuatkan sebuah rumah besar oleh Sinuhun yang diberi nama
“Wangkoeng” disebelah barat Lawean. Di rumah itu mereka mendapatkan
pendidikan ketrampilan dalam membuat peralatan rumah tangga (R.M
Karno, 1990: 46-49).
Anggapan orang bahwa keraton adalah tempat untuk makan enak dan
berfoya-foya saja, atau putra raja makan enak dan berfoya-foya saja adalah salah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan tempat untuk mendidik dan
menggembleng para putra, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni
keraton diwajibkan tekun menuntut ilmu termasuk ilmu kebatinan, belajar topo
broto, sesirik dan segala ilmu kejawen lainnya termasuk menekuni segala
kesenian, agama dan lainnya. Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam hidupnya
sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya tetap sama tidak pernah
berubah (ajeg), sangat disiplin dan memiliki rasa tanggungjawab besar, selalu
bersikap keras terhadap putra-putrinya akan tetapi penuh kasih sayang. (R.M
Karno, 1990: 97).
Orang-orang Surakarta dewasa ini mengenang Pakubuwono X (bertahta
1893-1939) sebagai Paku Buwono yang terbesar. Penilaian ini sebagian adalah
karena Paku Buwono X satu-satunya Paku Buwono yang berasal dari zaman
penjajahan yang masih diingat oleh orang-orang tua Surakarta sekarang ini,
termasuk orang-orang yang dulu mengabdi di keratonnya yang sibuk dengan
segala macam upacara. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir
yang memiliki kewibawaan sejati seorang raja. Dengan demikian, Paku Buwono
yang “sejati” yang terakhir dan karena itu, dari perspektif orang Surakarta, raja
Jawa sejati yang terakhir. Lamanya bertahta menyebabkan Paku Buwono
mengalami masa perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam
kehidupan Surakarta sehari-hari (John Pemberton, 2003: 155).
Paku Buwono X hidup dalam sampai usia tujuh puluh dua tahun, walau
menjelang usia tiga puluh tiga pada tahun 1899 kesehatannya dinilai kurang
karena suka minum-minum. Namun sampai lama Paku Buwono X dapat bertahan
dalam dunia yang seperti itu, semakin terlihat wibawanya sebagai raja dimata
beberapa generasi rakyat Surakarta yang menjadi dewasa selama kekuasaannya.
Yang seakan-akan semakin menonjolkan wibawanya yang besar itu adalah
kebesaran tubuh Kanjeng Sunan ini. Sebuah tubuh yang menggelembung yang
semakin tahun semakin membesar seakan-akan untuk memberi tempat medali-
medali kehormatan dari luar negeri yang semakin bertambah jumlahnya.
Pakubuwono X hidup seakan-akan sebagai perwujudan puncak sejarah
Pakubuwanan, tetapi dia melakukan itu sebagai suatu peringatan besar bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
sebuah transformasi besar sedang berlangsung , bahwa dunia sedang akan berlalu
(John Pemberton, 2003: 156-157).
Paku Buwono sangat mementingkan simbol-simbol budaya. Kalau Paku
Buwono X sungguh-sungguh menjalankan kerajaaannya, maka ia akan dituduh
berusaha jadi kaisar Jawa atau terpengaruh cita-cita Pan-Islamisme (bersimpati
pada Sarekat Islam) (Kuntowijoyo, 2004: 21). Dengan sifat beliau yang bijaksana
serta berbagai hasil karya dan perannnya dalam berbagai bidang, terutam dalam
bidang pendidikan dan politik inilah yang nantinya membawa Sunan dalam peran
yang sangat besar yaitu dalam usahanya membangun kehidupan politik di
Surakarta dan perjalanan Pergerakan Kebangsaan di Surakarta pada abad ke-20.
4. Membangun Landasan Kehidupan Politik
a. Pendirian Madrasah dan Sekolah
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah
otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi
dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,
walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan
swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait
dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah
Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata
rakyat.
Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip Purwadi (2009: 1-2)
mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sri Susuhunan Paku
Buwono X pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah
memberi kontribusi besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum,
pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai
„wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial,
budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang
berkuasa.
Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik
yang menantang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung
oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi, dan
perekonomian yang dengan cepat mempertinggi kesadaran Surakarta atas adanya
suatu dunia Internasional yang tentu saja tidak berpusat di Surakarta, apalagi
diwakili oleh sebuah Sumbu Semesta yang tinggal dalam keraton (John
Pemberton, 2003: 156).
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan
politik terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh van
Deventer. Pemikiran ini berdasarkan bahwa negara Belanda mempunyai hutang
budi kepada Indonesia. Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan maupun
pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa
Belanda dilontarkan dalam berbagai pengungkapan. Semakin banyak suara
Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa
yang tertindas. Selama zaman liberal (1870-1900) kapitalisme swasta memainkan
pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri
Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar
hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, maka kepentingan-kepentingan
perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif
untuk mencapai ketentraman, keadilan, modernitas dam kesejahteraan. Pihak yang
beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan kalangan pengusah itu
akan menguntungkan, maka lahirlah Politik Etis tersebut (M. C Ricklefs, 1991:
227-228).
Politik Etis yang mengandung konsep tentang Hutang Kehomatan yang
harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti harta kekayaan yang
pernah diambilnya. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
politik baru itu yang memerlukan campur tangan yang lebih langsung dan lebih
tegas oleh gubernemen dalam masyarakat setempat. Pegawai Belanda seakan-
akan diilhami oleh suatu dorongan misi yang khusus untuk mengangkat orang
pribumi, “mengubah” dan “memperbaiki” masyarakat. Di Vorstenlanden para
residen tiba pada suatu pandangan bahwa tugas utamanya adalah untuk
menyadarkan pemerintah swapraja bahwa pemerintahannya harus diatur untuk
kepentingan kemakmuran rakyat umumnya, dan bahwa jika mereka yaitu raja-raja
“yang memerintah sendiri” ternyata kurang berhasil, maka pemerintah Eropa akan
ikut campur dan melaksanakan apa yang diperlukan (George D. Larson, 1990: 27-
28).
Menurut Wertheim yang dikutip Hermanu. J, (2005: 99) mengatakan
“Politik Etis pada intinya adalah memperluas dan memperbaiki program-program
yang sudah ada, yaitu: perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan
pelayanan kesehatan, dan meningkatakan pertumbuhan industrialisasi”. Banyak
sekali usaha yang dijalankan dibidang pendidikan, dan hasil-hasilnya sering kali
membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung Politik Etis menyetujui
ditingkatkannya ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia (M. C
Ricklefs, 1991: 236). Perkembangan abad ke-20 ini ditandai dengan timbulnya
berbagai studi club (perkumpulan) untuk kepentingan belajar yang
membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia dan lambat laun menjadi partai-partai
politik yang menumbuhkan keinginan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Paku Buwono X dapat melihat perubahan dan perkembangan-
perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda harus harus menjadi
orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga
suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Paku
Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama. Pelaksanaan
Politik Etis di Hindia Belanda justru menjadi landasan bagi Sunan untuk
melaksanakan politik simbolis dengan mendirikan sekolah khusus untuk
mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama
“Mamba’ul Ulum” pada tahun 1905. Madrasah itu dibangun dibagian selatan
halaman masjid besar di Surakarta, seberang jalan dari pasar Klewer sekarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Lulusan madrasah ini dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al Azhar di
Kairo, juga ada beberapa Universitas lain diluar negeri yang menerima siswa
lulusan “Mamba’ul Ulum” dengan melalui tambahan kursus pendidikan umum. Di
Solo juga terdapat pesantren terkenal yang didirikan oleh Kyai Djamsari di
kampung Djamsaren. Pesantren ini juga tidak hanya dikenal diseluruh Jawa
melainkan juga di Pulau-pulau diluar Jawa, bahkan dikenal di Malaysia” (R.M
Karno, 1990: 45-46). Selain pondok Pesantren Djamsaren juga ada satu lagi
pondok pesantren yang terkenal di Solo yaitu Pesantren Gebang Tinatar yang
diasuh oleh Kyai Hasan Basri (Purwadi, dkk, 2009: 58).
Pendirian madrasah Mamba’ul Ulum merupakan kebijakan politik yang
cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie 1893, No. 125,
pasal 5, dikemukakan adanya larangan terhadap pengajaran agama islam di
sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, baik di dalam
maupun di luar kelas. Bertumpu pada staatsblad tersebut di atas, muncul
pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar keraton),
yaitu:
1) Dengan tidak diajarkannya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah
dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Pengajaran agama
merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap
akhlakul kharimah yang bermakna bagi kehidupan masa depan.
2) Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan zendeling atau pngabar
injil meluas di kota-kota Vorstenlanden. Di antara raja-raja
Vorstenlanden terdapat perbedaan dalam menyikapi gerakan
zendeling. Sunan Paku Buwono X yang baru saja naik tahta pada tahun
1893 sangat menolak gerakan zendeling. Keinginan pendeta Bakker
untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit Kristen pada tahun1910, di
ditrict dan onderdistrict Kasunanan, ditolak oleh Sunan. Namun
keinginan Pendeta Bakker ditanggapi positif oleh Sri Mangkunegoro,
dan Bakker diijinkan mendirikan sekolah Kristen di kawasan
kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit diizinkan didirikan di
kawasan Kelurahan jebres (MT. Arifin dkk, 2005: 102).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Penolakan Sunan Paku Buwono X dilandasi pemikiran bahwa:
a) Sunan sebagai Sayidin Panotogomo, sehingga tidak mingkin member
izin agama lain untuk mendirikan sekolah agama di wilayah
kekuasaannya.
b) Gerakan zendeling dapat mendorong dan memicu radikalisme dan
fanatisme Islam di Kasunanan Surakarta.
c) Hampir disemua kota-kota Vorstenlanden sedang tidak aman, banyak
penggarongan, perampokan, dan pembakaran rumah, yang sudah
bersifat endemis, sehingga gerakan zendeling dikhawatirkan dapat
memperkeruh suasana (MT. Arifin dkk, 2005: 103). Munculnya
berbagai kerusuhan sosial di Vorstenlanden adalah sebagai akibat
meluasnya kemiskinan dan hilangnya keteladanan di Surakarta.
Masyarakat maupun bangsawan yang telah jatuh miskin bisa saja
tersulut keinginan untuk bergabung dengan gerombolan perampok atau
kecu (George D. Larson, 1990: 27-61).
Di dalam kurikulum Mamba’ul Ulum dapat ditafsirkan adanya upaya
memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Menurut Taufik
Abdullah yang dikutip Hermanu. J (2005: 106) mengatakan “Penambahan
pelajaran bahasa, berhitung, dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam)
menunjukkan adanya perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantern yang
mengutamakan mempelajari kitab-kitab agama Islam serta intensifikasi ritual
peribadatan”. Dengan demikian dapar dikatakan bahwa Madrasah Mamba’ul
Ulum adalah bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.
Sementara itu, di kampung dan di desa didalam wilayah Kasunanan
Surakarta pada 1914 didirikan sekolah-sekolah dasar bagi rakyat dan bagi para
sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandsche School
(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda) didalam
Baluwarti, Sekolah Parmadi Siwi (Taman kanak-kanak) bagi putra-putri dan cucu
raja dan sekolah “Parmadi Putri” setaraf HIS khusus bagi wanita, anak, cucu dan
sentana. Sebelum Parmadi Putri dibuka, para putri raja mendapat pendidikan
dalam bahasa Belanda, masak memasak makanan Barat dan kerajian tangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
misalnya merajut, menyulam, merenda dan sebagainya oleh wanita-wanita
Belanda yang datang pada hari-hari tertentu di Keraton untuk memberi les (R.M
Karno, 1990: 45).
Pengurusan sekolah “Pamardi Siwi”, ”Pamardi Putri” dan “Kasatrian”
dilakukan oleh G.P.H Kusumobroto atas perintah Paku Buwono X, karena
dibiayai dengan uang dari kas keraton. Sedangkan sekolah-sekolah dasar untuk
umumyamg tersebar diseluruh Kasunanan Surakarta, termasuk juga sekolah
“Mamba’ul Ulum” dibiayai dengan uang kas negara Kasunanan (Rijkskas) di
kantor Kepatihan. G.P.H Kusumobroto juga mendapat tugas untuk mengurus
bersekolahnya para putar raja dan beberapa keponakan serta cucu pria yang
dibiayai oleh Paku Buwono X. Dari uang pribadi Paku Buwono X membentuk
dana “beasiswa“ bagi anak-anak pandai dari para abdi dalem (pegawai
Kasunanan) yang kurang mampu. G.P.H Hadiwidjojo lah yang mengurusi
masalah beasiswa itu. Menurut beliau yang berhasil menggunakan dengan baik
beasiswa itu ialah 1. Prof. Dr. Mr. Soepomo (penyusun UUD 1945, Menteri
Kehakiman), 2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Gubernur Nusa Tenggara di Bali,
Menteri Kehakiman), 3. Prof. Dr. Mr. Wirjono Prodjodikoro (Ketua Mahkamah
Agung, Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri), 4. Prof.
Dr. Mr. Notonagoro (penjabar Pancasila dan Guru Besar Universitas Gajah
Mada), 5. Dr. Radjiman Widiodiningrat (ketua BPUPKI), 6. Domo Pranoto
(Mayor Jendral Polisi, Anggota DPR), dan lain-lainnya (R.M Karno, 1990: 46).
Para putra raja tidak dimasukkan ke sekolah Kasatriaan atau HIS umum,
melainkan ke Europesche Lagere School (Sekolah dasar untuk orang barat dengan
bahasa Belanda) dan mereka dipondokkan pada kluarga Eropa, selanjutnya ke
MULO (SMP) ke AMS (SMA) atau HBS (5 tahun) di Semarang atau Bandung,
baru ke Perguruan Tinggi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda (Darsiti
Soeratman, 2000: 369-370). Untuk keperluan tenaga pertanian dan perkebunan,
maka Paku Buwono X merasa perlu diadakan sebuah sekolah yang mengajarkan
kepada sisiwanya tentang pertanian dan perkebunan. Ide ini disambut masyarakat
dengan antusias. Untuk pertama kalinya didirikanlah sekolah pertanian dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
perkebunan ini di Tegalgondo, Delanggu pada tahun 1929 (Purwadi, dkk, 2009:
59).
b. Usaha-Usaha Dalam Bidang Politik
Usaha-usaha yang dilakukan Sunan Paku Buwono X dalam rangka
membangun kehidupan politik di Surakarta menjadi lebih lengkap dengan
perannya membantu dan mengayomi organisasi-organisasi nasional, dalam
usahanya melawan Belanda dan mengusirnya dari bumi tanah Jawa. Baik G.P.H
Hangabehi maupun G.P.H Kusumoyudo pernah menjadi Anggota Pengurus Besar
Sarekat Islam yang diketuai R.M HOS Tjokroaminoto, maupun anggota Boedi
Oetomo. G.P.H Hadiwidjojo, R.M.T Woerjaningrat (keponakan dan menantu sang
Raja) juga merupakan tokoh-tokoh terkenal dalam kepengurusan Boedi Oetomo.
Lingkungan keluarga keraton dibentuk juga perkumpulan dengan nama
“Narpawandawa” dan bagian keputrian dinamakan “Poetri Narpawandawa”.
R.M.T Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwidjojo masing-masing pernah menjabat
sebagai ketua Narpawandawa, sedangkan B.R.A Woerjaningrat adalah ketua
pertama Poetri Narpawandawa (R.M Karno, 1990: 46-47). Paku Buwono X
secara diam-diam memberi sokongan kepada perkumpulan-perkumpulan politik
itu. Disebelah utara pasar Singosaren dididirikan sebuah gedung pertemuan
“Habipraya” yang dapat digunakan untuk mengadakan rapat-rapat atau
pertemuan oleh masyarakat Solo dengan uang sewa. Bung Karno pernah
berpidato di tempat itu, tanpa bisa dihalangi oleh Belanda. Selain dari pada itu, di
tempat yang sama terdapat sebuah ruangan untuk bermain bilyard untuk penduduk
Solo yang berminat (Purwadi, dkk, 2009: 20).
Paku Buwono X sungguh makin menyadari bahwa perwakilan rakyat
sebagai salah satu sarana demokrasi dalam pengambilan keputusan oleh rakyat
yang dapat dijadikan landasan bagi arah melaksanakan kekuasaan eksekutif
kekuasaan memerintah. Dalam rangka melaksanakan kesadaran itu beliau
mendirikan “Bale Agung” pada tanggal 21 Maret 1935, yang semula berfungsi
sebagai lembaga memberi pertimbangan, dan secara bertahap akan diberi fungsi
sebagai perwakilan rakyat sepenuhnya. Dengan lahirnya Bale Agung , dihapuslah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Dewan kerajaan yang sebagian besar terdiri dari anggota keluarga raja. Bale
Agung ini terdiri dari seorang ketua diantara 10 orang yang ditunjuk oleh raja, dua
orang adalah putranya, 5 orang pegawainya dan 3 orang selebihnya semua
pegawai Gubernemen berkebangsaan Belanda. G.P.H Hadiwidjojo yang pada
waktu itu anggota Volksraad, terpaksa melepaskan kedudukannya karena ditunjuk
oleh Paku Buwono X sebagai ketua Bale Agung yang pertama dan R.T. Mr.
Wironegoro sebagai sekretaris (R.M Karno, 1990: 46-49).
c. Politik Ngideri Buwono
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Paku Buwono X yang merupakan
strateginya yaitu dengan melakukan perjalanan kerja ke berbagai daerah yang
disebut dengan perjalanan incognito atau disebut dengan Ngideri Buwono
(Kuntowijoyo, 2004: 94). Dalam kajian Islam Ngideri Buwono adalah tindakan
diplomatis untuk menciptakan strategi pergolakan. Dalam Islam, diplomasi adalah
Kayfiyah (cara) untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai bagian dari uslub
kifahi (strategi pergolakan)untuk menghadapi pemerintah Belanda (Muhammad
Hawari, 2003: 14-15).
Dalam menjalankan pekerjaan raja, jaman dahulu juga termasuk
kewajibannya untuk secara berkala pada malam hari melakukan perjalanan dinas
rahasia mengelilingi kota Raja dan sekitarnya agar dapat menangkap suka duka
dan keluhan rakyat. Pekerjaan ini merupakan tugas setiap raja dari keturunan
Mataram. Pada suatu malam dalam melaksanakan kewajibannya tersebut Sri
Susuhunan Paku Buwono X dalam kegelapan harus melompati parit dan
tergelincir jatuh di kampug Ngruki, daerah Kedawung Barat. Akibat jatuh itu kaki
Sinuhun menjadi cacat, tidak dapat disembuhkan dan tidak begitu kuat jika
dipakai berjalan. Setelah cacat pada kakinya Sri Susuhunan Paku Buwono X
merubah taktik, untuk dapat mendapat informasi tentang pendapat rakyat dengan
menyebar pegawai keraton yang buta untuk mendengarkan pendapat rakyat di
warung-warung dan di tempat-tempat yang dikunjungi orang banyak, kemudian
mereka menghadap Sinuhun dan mereka bercerita tentang pengalaman mereka
tidak dalam bentuk laporan. Dari omongan bebas mereka itu Paku Buwono X
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
dapat mengambil gambaran tentang apa yang menjadi pikiran rakyat kecil (R.M
Karno, 1990: 49).
Proses Ngideri Buwono meliputi perjalanan di berbagai wilayah di Jawa,
Sumatera Selatan, Bali, dan Lombok, dengan menggunakan jasa transportasi
kereta api dan kapal laut. Pada awal abad ke-20 ini, pada masa jabatan Residen
Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang dengan membawa dua ratus
pengiring. Pada tahun 1916 Sunan merencanakan untuk pergi ke Buitenzorf
(Bogor) untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada Sri Maharatu
Wilhelmina atas pemberian bintang Grootkruis in de Orde van Oranje Nasaau
lewat Gubjen De Fock. Dua tahun kemudian pada 1924 sunan melakukan perjalan
ke Malang. Pada 1929 Paku Buwono X dan rombongannya mengunjungi pulau
Bali dan pulau Lombok. Di pulau Bali, Paku Buwono X mengunjungi I Gusti
Gede Bagus Jelantik di Karangasem dan Anak Agung I Gusti Gede Taman di
Kabupaten Bangli. Selain itu juga berkunjung ke tempat asisiten Residen
Mataram (Lombok). Pada tahun 1935 PakuBuwono X berkunjung ke Lampung.
Setahun kemudian pada tahun 1936, dengan alasan meninjau Gubernur Surakarta
yang dirawat di rumah sakit di Surabaya, Paku Buwono X bersama rombongan
pergi ke Surabaya, kemudian sunan singgah di kabupaten Gresik (Darsiti
Soeratman, 2000: 383-385).
Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono
yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang
dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun Paku
Buwono X dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya
sebagai kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Semua itu dilakukan oleh
Paku Buwono X dalam rangka membangun kehidupan politik di Surakarta dan
nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
B. PERAN KERATON DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN
1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku
Buwono X
Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan
serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial. Kunci
perkembangan pada awal abad ke-20 adalah munculnya ide-ide baru mengenai
organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang
identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang
baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi
analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan
ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia
yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang
sangat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sangat
sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah
memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak
Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban
terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menujukkan
pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indonesia itu
mengenai diri sendiri dan masa depannya (M. C Ricklefs, 1991: 247).
Sejak permulaan abad ke-17 sampai abad-20 kerap sekali timbul
peperangan dan pemberontakan, yang tidak berhasil karena jeleknya senjata kita
dan baiknya taktik-taktik Belanda mengarang barisan Indonesia. Akan tetapi juga
setelah peperangan- peperangan dan pemberontakan-pemberontakan habis, nasib
rakyat yang sangat jelek itu tetap menimbulkan rasa sedih dan sengsara, yang
kadang-kadang sebagai keadaan yang menjelma menjadi bermacam-macam aksi
dari rakyat (A.K Pringgodigdo, 1994: VII).
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah
otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi
dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan
swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait
dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah
Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata
rakyat. Daerah Surakarta menjadi salah satu pusat tumbuhnya organisasi-
organisasi sosial politik yang diantaranya yaitu Sarekat Islam dan Boedi Oetomo.
Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Sarekat Islam pada tahun 1912di
Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan pengaruh adanya revolusi di negara-
negara maju.
Kota Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan
menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan
Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Di Yogyakarta terdapat Keraton Kasultanan
dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota tersebut dalam
peregerakan nasional sangat menonjol, bahkan menjadi pusat pergerakan.
Sunan Paku Buwono X telah mendorong masyarakat Jawa memasuki
zaman baru. Masuknya zaman modernisasi yang berhembus dari bumi Eropa,
dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan
melakukan modernisasi di sebagian tanah Jawa yang dinaunginya., dengan
Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya terhadap gerakan kaum republik
semakin lama semakin membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan
keraton disekolahknnya ke berbagai belahan dunia, telah menjadi kader-kader
perjuangan yang tangguh. Sunan sangat banyak sekali memberikan dorongan dan
fasilitas untuk belajar dan melakukan gerakan perjuangan, meskipun seolah-olah
tidak dikoordinasi oleh keraton (Purwadi, dkk , 2009: 16-20).
Keraton adalah komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Di dalam
komunitas itu terjadi interaksi, baik secara individual maupun kolektif. Anggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
komunitas itu berhubungan satu dengan yang lainnya. Selain terjadi interaksi
secara individual dan kolektif, berlangsung pula interaksi yang dilakukan lewat
organisasi sosial. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan merupakan tempat
yang subur bagi pertumbuhan organisasi-organisasi sosial politik. Keadaan ini
disebabkan karena Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi
pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta
merupakan kota yang strategis.
Untuk mengenyahkan Belanda dari bumi Indonesia, Sunan merangkul
kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam
pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasonalis mendekati keraton untuk dapat
menggaet masa, oleh karena itu memang harus diakui bahwa untuk menarik
rakyat menjadi anggota suatu gerakan, rakyat harus diyakinkan dulu bahwa ada
orang dikalangan keraton yang duduk dalam pimpinan organisasi. Memang
demikianlah keadaan pada saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap keraton,
khususnya keraton Surakarta memang masih sangat kuat. Bahkan sampai di
daerah-daerah gubernemen diluar negeri Surakarta dan dimana saja, masyarakat
Jawa masih menganggap bahwa pusat kerajaan ada di keraton Surakarta. Kaum
nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan
gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasioanl pada rakyat. Ini
dapat dilakukan melaui pandidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti yang
dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial
seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam (R.M Karno, 1990:159).
2. Peran Paku Buwono X Dalam Organisasi Sosial dan Politik
a. Sarekat Islam
1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam
Gerakan Nasional pertama yang muncul di Surakarta adalah Sarekat Islam
pada tahu 1912. Gerakan ini langsung disongsong oleh Paku Buwono X tentunya
dengan caranya sendiri. Gerakan organisasi politik di Indonesia yang menonjol
sebelum Perang Dunia Kedua dan layak mendapat perhatian adalah Sarekat Islam
(SI). organiasasi ini segera mengalami perkembangan yang tiada taranya ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
itu. Dari semua gerakan emansipasi Indonesia ketika itu partai inilah yang paling
dinamis. Namun, masa perkembangan perkumpulan ini kiranya singkat. Pada
tahun 1915 ia telah melampaui titik puncaknya. Kegairahan massa pengikutnya
mengendur. hanya sedikit saja lagi bertambah cabang-cabang baru dan masalah
keuangan mulai tidak teratasi (A.P.E Korver, 1985: 1).
Pokok utama perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk
penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang
merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah, maka Sarekat Islam
berhasil sampai pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-
abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita (Marwati
Djoened Poesponegoro&Nugroho Notosusanto, 1993: 183).
Organisasi Sarekat Islam ternyata merupakan gerakan massa yang pertama
di Hindia Belanda. Daya dorong bagi terbentuknya organisasi ini lebih bersifat
dagang ketimbang agama. Agaknya sebagai reaksi terhadap kegiatan
perekonomian imigran Cina yang berkeembang dengan cepat diseluruh Jawa.
Bangsa Cina di Hindia Belanda, dibangkitkan oleh gerakan nasionalisme Cina dan
oleh kejengkelannya melihat bangsa Jepang di Hindia yang mendapat kedudukan
lebih tinggi, sejak pergantian abad ini terus menerus melakukan tekanan terhadap
pemerintah. Tuntutan-tuntutan mereka berhasil dengan dihapuskannya sistem
pajak-jalan yang berat dan merintangi kegiatan perdagangan mereka.
Keberhasilan imigran-imigran Cina ini menimbulkan kekaguman sekaligus
kerisauan kalangan penduduk pribumi. Meningkatnya kegiatan perekonomian
Cina itu selanjutnya berakibat persaingan yang semakin menajam antara pengrajin
dan pedagang Cina dan bukan Cina, khususnya di daerah Vorstenlanden. Gagasan
mendirikan organisasi untuk mengembangkan perdagangan dikalangan penduduk
pribumi semula berasal dari Raden Mas Tirtoadisoerjo, seorang wartawan dan
pengusaha di Bandung. Pada tahun 1909, ia mendirikan Sarekat Dagang
Islamiyah di Batavia dan 1911 organisasi kedua, Sarekat Dagang islam di Bogor.
Ia kemudian pindah pindah ke Surakarta mengorganisasi pedagang batik (Akira
Nagasumi, 1989: 128).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
R.M Tirtoadisuryo, orang Solo yang merantau dan juga redaktur majalah
Medan Priyayi. Ia pernah mendirikan Sarekat Dagang Islam di Batavia pada tahun
1909 dan juga di Bogor, dan pada awal 1912 mendirikan Sarekat Dagang Islam di
Surakarta. Kedatangan R.M Tirtoadisuryo di Surakarta sebenarnya atas undangan
Haji Samanhudi, seorang pengusaha batik terkemuka di Lawean. Setelah Sarekat
Dagang Islam berdiri di Surakarta, R.M Tirtoadisuryo kembali ke Batavia dan
pimpinan Sarekat Islam diserahkan kepada Haji Samanhudi, dan sesuai dengan
tujuan organisasi, maka namanya diganti menjadi Sarekat Islam disingkat SI.
Tujuan utama mendirikan Sarekat Islam di Surakarta mula-mula agak kurang
jelas. Semula diperkirakan bahwa berdirinya Sarekat Islam karena adanya
perasaan tidak senang dari rakyat atas tindakan-tindakan dari para kerabat keraton
yang dianggap mempersulit kehidupan petani dengan macam-macam aturan yang
dianggapnya bersumber pada kebiasaan-kebiasaan keraton yang sudah usang.
Tetapi dari bahan-bahan arsip pemerintah negeri Belanda yang berupa kumpulan-
kumpulan laporan dari para residen dan gubernur Surakarta, ternyata tidak ada
yang menyinggung mengenai hal itu, sebaliknya dalam laporan-laporan Sarekat
Islam nantinya akan diketahui bahwa tidak hanya keterkaitan saja dari keraton
dengan gerakan nasional, tetapi sudah dalam bentuk keterlibatan (R.M Karno,
1990: 171-172).
Meskipun masih dalam cengkeraman kolonial, pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, telah muncul “embrional” pengusah-pengusah di Surakarta.
Gejala itu dimulai pada tahun 1840-an, ketika metode membatik yang baru
diperkenalkan oleh seorang pedagang batik Semarang ke pengrajin batik Kauman
Surakarta. Metode baru ini menggunakan alat cap yang terbuat dari garis-garis
tembaga, sehingga mampu membuat batik dalam jumlah banyak denga tenaga
yang sedikit. Munculnya permintaan dan penawaran yang cepat, telah
meningkatkan produksi kain batik dengan berbagi implikasinya. Bagi kalangan
pengusaha batik di Surakarta, kondisi ekonomi itu memunculkan “api semangat
islam” yang sempat padam semenjak VOC memporak-porandakan jaringan
perdagangan muslim. Semangat itu lahir kembali dalam gerakan nasionalisme
modern Sarekat Dagang islam. Organisasi pedagang dengan fasilitas dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Djokomono alias RM. Tirtoadisuryo, pada tanggal 9 November 1911 didirikanlah
oleh Wirjowikoro yang kemudian dikenal dengan mana Haji Samanhoedi, yang
dalam perkembangannyaorganisasi itu menjadi Sarekat Islam. Melalui ketokohan
HOS. Tjokoaminoto, organisasi ini dianggap berhasil meletakkan fondasi paling
awal pandangan kebangsaan Indonesia (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 37-39).
Sarekat Islam mulai tumbuh disebabkan oleh beberapa hal khusus, yaitu:
a) Perdagangan bangsa Tionghoa adalah suatu halangan untuk
perdagangan Indonesia (monopoli bahan-bahan batik) ditambah pula
dengan tingkah laku sombong bangsa Tionghoa setelah Revolusi di
Tiongkok.
b) Kemajuan gerak-langkah penyebaran agama Kristen dan juga ucapan-
ucapan yang menghina dalam parlemen negeri Belanda tentang
tipisnya kepercayaan agama bangsa Indonesia.
c) Cara adat-lama yang terus dipakai di daerah kerajaan-kerajaan Jawa,
makin lama makin dirasakan sebagai penghinaan (A.K Pringgodigdo,
1994: 5).
Ketika orang-orang Tionghoa mulai membangkitkan kembali kegiatan
dagang mereka setelah dilonggarkan dan kemudian dihapuskannya sistem pas
jalan, industri batik di Surakarta yang mengontrol pasar “nasional” menjadi salah
satu lahan utama bagi penanaman modal mereka. Persaingan orang Tionghoa ini
sangat dirasakan oleh pengusaha dan pedagang batik pribumi, terlebih lagi karena
bahan-bahan katun dan lainnya yang diimpor oleh firma-firma Eropa dari luar
negeri dibawa oleh pedaganpedagang Tionghoa dan Arab. Saat cabang Boedi
Oetomo di Surakarta didirikan, H. Samanhoedi, seorang pedagang batik
terkemuka di Lawean, dan H. Bakri dari Kauman diundang untuk bergabung
dengan Boedi Oetomo. Ketika mereka mengusulkan pembentukan pembentukan
kopersi Bumiputera, kedua orang ini bergabung dengan Boedi Oetomo di
Surakarta bersama sejumlah teman, saudara, dan pengikut, dan hasilnya adalah
peningkatan jumalah anggota Boedi Oetomo di Surakarta sampai 800 orang.
Melihat H. Samanhoedi bergabung dengan Boedi Oetomo dan khawatir bahwa
organisasi ini tentunya akan mendirikan toko koperasi sebagai saingan mereka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
orang-orang Tionghoa menawarkan kepadanya untuk bergabung dengan
perkumpulan tolong menolong mereka yaitu Kong Sing. H. Samanhoedi
menerima tawaran ini dan meninggalkan BO lalu bergabung dengan Kong Sing,
dan menjadi salah satu komisaris perkumpulan itu. Secara formal Kong Sing
adalah perkumpulan tolong menolong untuk pemakaman, tetapi sesugguhnya itu
merupakan sisa jaringan ladang opium yang pernah sangat kuat yang dibangun
atas model serikat rahasia Cina. Tolong menolong tidak hanya terbatas pada
pemakaman dan pesta, tetapi jua untuk perdagangan, perkelahian, dan pembalasan
dendam. Setelah H.Samanhoedi dan para pengikutnya bergabung dengan Kong
Sing, jumlah anggota Jawa makin membengkak dua kali lipat dibandingkan
dengan jumlah anggota Tionghoa. Bagaimanapun anggota Tionghoa tetap
berkuasa, dan ketika berita tentang revolusi Tiongkok mencapai Hindia, mereka
mulai bersikap “arogan” dan memperlakukan anggota Jawa secara kurang layak.
Dengan marah, H. Samanhoedi menyuruh bebrapa temannya mendirikan
perkumpulan serupa yang bertujuan saling menolong dan membantu pada saat
perkelahian. Perkumpulan itu dinamakan Rekso Roemekso. Ketika H. Samanhoedi
yakin bahwa perkumpulan ini akan berhasil, ia meninggalkan Kong Sing dengan
dalih bahwa ia harus pindah ke Surabaya. Sekembalinya dari Surabaya, ia menjadi
ketua Rekso Rumekso, yang disebut orang-orang Tionghoa dengan nama Kong
Sing Jawa. Polisi lalu memeriksa apakah Rekso Roemekso telah memakai status
perkumpulan raden Ngabehi Djojomargono, seorang anggota Rekso Roemekso
dan saudara jauh patih, meminta bantuan R. Martodharsono, yang pada gilirannya
meminta bantuan kepada Tirtoadisoerjo, Sarekat Dagang Islam saat itu hampir
berdiri. Akarnya tentu berasal dari pengusaha dan pedagang batik di Lawean
(Takashi Shiraishi, 1997: 52-54).
Sarekat Islam tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso. Organisasi
ini merupakan sebuah perkumpulan tolong-menolong untuk menghadapi para
kecu yang membuat daerah Lawean tidak aman, indikasinya karena adanya
pencurian kain batik yang dijemur di halaman tempat pembuatan batik. Jadi Rekso
Roemekso adalah sebuah organisasi ronda yang bertugas mengawasi keamanan
daerah. Selain mengawasi keamanan, anggota Rekso Roemekso harus saling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
membantu pada perkawinan, kelahiran dan kematian. Dengan berdirinya Rekso
Roemekso semakin meningkatkan persaingan bahkan mengarah pada permusuhan
dengan organisasi serupa, yaitu Kong Sing milik orang-orang Cina. Di bulan-
bulan akhir tahun 1911 dan bulan-bulan awal tahun 1912 timbul perkelahian kecil
di jalan antara orang-orang Jawa dari Rekso Roemekso dengan orang-orang Cina
dari Kong Sing. Serangkaian perkelahian jalanan itu mengundang penyelidikan
polisi terhadap status hokum Rekso Roemekso, sebuah penyelidikan yang
kemudian mengubah Rekso Roemekso dari sebuah organisasi ronda yang
sederhana menjadi Sarekat Islam (SI) (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 22). Tujuan
utama didirikan Sarekat Islam di Surakarta berpangkal dari faktor ekonomi dan
faktor politik agama.
2) Faktor Ekonomi
Faktor yang mendorong berdirinya Sarekat Islam semula bersumber pada
saingan antara pedagang Cina dan pedagang batik Jawa yang berkedudukan di
Lawean. Lawean adalah tempat berkumpulnya para pedagang batik Jawa.
Dimulainya dengan munculnya kain halus, cambrics cx impor yang menggeser
kain batik lokal. Juga bahan celupan nila digeser dengan bahan sintetis buatan
Eropa. Dua jenis barang ini merupakan bahan pokok industri batik yang mulai
dikuasai pedagang-pedagang Cina dalam penguasaan perdagangan dibidang
kebutuhan-kebutuhan pokok industri batik ini, yang kemudian muncul sebagai
Sarekat Islam (R.M Karno, 1990: 172).
Konflik antara etnis Jawa dan Cina ini dilatarbelakangi oleh motif sosial
dan ekonomi. Ketegangan ini berpangkal dari persaingan antara saudagar Jawa
dengan pedagang Cina, semula dibidang industri batik. Penggantian kain lokal
dengan bahan impor yang dibeli pengusaha batik melalui broker (pedagang
perantara Cina) mengakibatkan seluruh perusahaan harus membeli kain dari
pedagang Cina. Disamping itu. Sejak abad ke-20 bahan celupan kimia mulai
menggantikan nila. Bahan celupan ini harus didatangkan dengan cara impor dan
distribusinya ditangani oleh para pedagang Cina. Etnis Cina semakin lama
menjadi semakin kuat posisinya untuk menguasai bahan baku industri batik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
sehingga dapat mengendalikan barang-barang impor yang sangat diperlukan bagi
indutri batik. Untuk melawan dominasi pedagang Cina maka pengusaha batik
Jawa di kota Surakarta mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 (M. Hari
Mulyadi, dkk 1999 : 565-566).
Berdirinya Sarekat Islam (SI) lebih tepat bila dikatakan sebagai reaksi
terhadap pemerintah Kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.
Sarekat Islam (SI) dibentuk dan merupakan wadah solidaritas untuk menghadapi
pengusaha asing dan Cina (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 23). Tentang tepatnya
pembentukan SI tidak terdapat kepastian. Organisasi ini didirikan pada akhir
tahun 1911 atau awal tahun 1912 di Surakarta. Secara umum diterima bahwa
gerakan ini dibentuk H. Samanhoedi, seorang pengusaha batik yang mampu di
Kampung Lawean di Solo. Kerajinan batik Surakarta berada dalam tangan
pengusaha-pengusaha Jawa, Arab, dan Cina. Jumlah pengusaha Jawa merupakan
mayoritas. Tenaga kerja di semua perusahaan adalah orang Jawa. Di Lawean di
samping usaha-usaha kecil terdapat beberapa perusahaan besar dengan ratusan
buruh. H. Samanhoedi tergolong pemilik usaha yang besar. Di Lawean usahanya
terutama ditujukan pada produksi besar-besaran barang yang murah (A.P.E
Korver, 1985: 11-12).
Meningkatnya kegiatan perekonomian Cina berakibat pada persaingan
yang semakin menajam antara Cina dan Pribumi khususnya di Vorstelanden.
Dengan dikuasainya perdagangan dan pemasaran menengah oleh orang-orang
Cina, maka mereka dapat mempermainkan para konsumen yang kebanyakan
terdiri atas orang-orang pribumi.
Di Surakarta, orang Cina mulai dibenci oleh orang Jawa karena sikap
mereka berubah sesudah Revousi Tiongkok bulan Oktober 1911 dan berdirinya
republik dalam Februari 1912. Banyak diantara orang Cina setempat bersikap
angkuh terhadap orang Jawa. Dan beberapa diantara mereka sangat tidak
bijaksana denagan membual bahwa republik baru itu akan segera mengusir orang
Belanda dari Jawa dan kemudian mereka (orang Cina) akan menjadi penguasa
yang baru. Surakarta dengan cepata menjadi kancah serentetan pemboikotan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pemogokan, perkelahian jalanan dan kerusuhan anti Cina (George D. Larson,
1990: 60).
3) Faktor Agama
Dengan terbentuknya Sarekat Islam yang berbasis agama Islam yang
sangat kuat, Belanda mulai merasa takut akan timbulnya pemberontakan orang-
orang Islam fanatik. Oleh karena itu, Belanda segera mengambil sikap dengan
cara Kristenisasi masyarakat pribumi yang diharapakan dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
Peranan Paku Buwono X sebagai kepala agama Islam di Surakarta
merupakan suatu peranan yang membuat hubungannya dengan Sarekat Islam
sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan demikian diperkuat lagi dengan
perlawanan terhadap kegiatan para penginjil Kristen. Ia masih dianggap sebagai
Raja tradisional yang sah dimata penduduk Jawa di seluruh Jawa Tengah, dan tak
kurang pentingnya, Paku Buwono X adalah Kepala Agama Islam (Panotogomo)
(George D. Larson, 1990: 50).
Hal ini terlihat dari keputusan Gubernur Djendral Idenburg, yang memberi
izin kepada suatu kelompok penginjil untuk membuka cabangnya di Surakarta.
Sinuhun juga mempunyai pikiran yang sama dengan para pedagang Lawean,
maka penginjil akan tanah untuk mendirikan rumah sakit ditolak, tetapi akhirnya
rumah sakit itu berdiri mendapatkan tanah dari istana Mangkunegaran dan
berdirilah rumah sakit Jebres. Dengan diizinkannya sebuah penginjil beroperasi di
Surakarta merupakan termasuk taktik Belanda menerapkan Politik Verdeel En
Heers, lebih-lebih jika diperhatikan, izin itu datangnya langsung dari Gubernur
Jendral sendiri. Jadi orang Jawa akan dipecah lagi dari segi agama, Sinuhun
mencium akal busuk dari Belanda ini, maka Paku Buwono X mencegahnya
dengan menolak memberi tanah untuk mendirikan Rumah Sakit. Segi baiknya
masalah ini adalah, dengan masuknya penginjil ke Surakarta sebaliknya malah
merangsang timbulnya kesadaran nasional, nasionalisme Jawa dikalangan
masyarakat (R.M Karno, 1990: 172-173).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
4) Pasang Surut Sarekat Islam
Munculnya organisasi kebangsaan di daerah Surakarta dan Yogyakarta,
yang juga dinamakan daerah Vorstenlanden, bukan hal mengherankan. Sekalipun
wilayah kerajaan ini kurang maju dalam pemanfaatan teknologi dibanding dengan
wilayah gubernemen, namun secara cultural daerah kerajaan ini sangat besar
potensinya. Bagi rakyat daerah kerajaan, maupun bagi penduduk di tanah
gubernemen di pulau Jawa, Paku Buwono X diakui sebagai tokoh yang
menempati kedudukan sentral dari kewibawaan dan kekuasaan nasonalisme Jawa
yang sedang tumbuh, tumpuan harapan untuk menegakkan kembali kerajaan
Jawa. Jadi sejalan dengan pemikiran Paku Buwono X. Sementara itu pada tanggal
10 September 1912 muncul tokoh nasionalis baru di Surakarta, HOS
Tjokroaminoto, seorang penguasa dari Surabaya, bertindak atas namanya sendiri
maupun sebagi wakil dari Surabaya. Gerakan Sarekat Islam mulai meluas ke
daerah lain di pulau Jawa.
Pada bulan September, berdasarkan akta notaris ditetapkan anggaran dasar
baru SI oleh Tjokroaminoto, serta dimajukannya permohonan resmi untuk
mendapatkan pengakuan badan hukum bagi perkumpulan baru ini murah (A.P.E
Korver, 1985: 22). Menurut akta baru ini, Tujuan Sarekat Islam adalah: (1)
memajukan semangat perdagangan dikalangan penduduk bumiputera; (2)
membantu anggota-anggota yang dalam kesulitan yang bukan karena kesalahan
sendiri; (3) memajukan perkembangan spiritual dan minat dibidang dikalangan
orang Indonesia, dan dengan berbuat demikian akan meningkatkan standar hidup
meraka; (d) menentang salah paham tentang Islam dan memajukan kehidupan
beragama dikalangan orang Indonesia yang sesuai dengan hukum-hukum dan
kebiasaan agama tersebut (Robert van Niel, 1984: 128).
Pada kongres pertamanya yang diadakan pada tanggal 26 Januari 1913 di
Surabaya, kongres dihadiri oleh 8000 sampai 10.000 peserta dari seluruh anggota
yang berjumlah 80.000 orang, 64.000 berasal dari Surakarta. Kongres kedua
diadakan pada tanggal 23 Maret 1913 di Surakarta bertempat di Taman Sriwedari.
Pada kongres ini diputuskan untuk membentuk badan baru yang dinamakan
Central Sarekat Islam (CSI) dibawah komite pusat. Komite pusat membawahi 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
departemen yang masing-masing mempunyai pengurus pusat dan berkedudukan
di Surabaya, Surakarta, dan Batavia. Tiga departemen lama untuk Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat dihapus, dan untuk gantinya adalah Central Sarekat
Islam ini. Sekitar tahun 1916 cabang Sarekat Islam sudah berjumlah 180 dan
anggotanya 700.000 orang (R.M Karno, 1990: 173-174).
Pada awal berdirinya Sarekat Islam, dari pimpinan yang terdiri dari 11
orang dan 4 orang diantaranya adalah pegawai Kasunanan. Bahkan pada kongres
kedua yang diadakan pada tanggal 23 Maret 1913 di Surakarta, Sarekat Islam
menawarkan kapada RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu
Sinuhun untuk duduk dalam pimpinan Sarekat Islam, RM. Woerjaningrat sendiri
adalah bupati nayoko keraton Surakarta. Van Wijk tiba-tiba mendengar bahwa
pangeran Hangabehi, salah seorang putra Sinuhun diangkat menjadi pelindung
Sarekat Islam. Oleh residen Van Wijk, pangeran Hangabehi diminta untuk
meletakkan jabatannya sebagai pelindung, bahkan untuk menjaga agar tidak
timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri
Belanda dengan alasan belajar.
Dalam kongres yang diadakan di Surakarta pada tanggal 2 Maret 1913
dipilih kepengurusan yang terdiri dari Haji Samanhudi sebagai ketua, sedangkan
HOS Tjokroaminoto sebagai wakil ketua dan sebagai pengurus pusat untuk Jawa
Tengah dipilih RMA. Poesponingrat, putra dari salah satu penasehat terpercaya
Paku Buwono X yang bernama RT. Wiriodingrat, Poespodiningrat pada saat itu
jabatannya sebagai bupati Nayoko di Kasunanan, dan terkenal semangat islamnya
yang kuat dan bersikap antipasti terhadap Belanda dan orang-orang Eropa. Haji
Samanhudi sebenarnya termasuk pandai, kerjanya efektif, tetapi sebagai pimpinan
organisasi besar tidak memiliki kemampun berorganisasi, tidak pandai pidato.
Jadi untuk memimpin suatu organisasi masa yang sedang mananjak, agal diluar
kemampuannya. Lain dengan HOS. Tjikroaminoto, seorang bekas wedana
Madiun adalah seorang politikus sejati, pandai berorganisasi dan mahir berpidato,
memliki kharisma sebagai pemimpin. Sejak kongres kedua, Tjokroaminoto
sebenarnya sudah berminat menggantikan Haji Samanhudi sebagai ketua Central
Komite. Untuk itu dia berusah menarik perhatian para anggota dengan cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
menggugah kembali kepercayaan psiko-religius tradisional yang dimiliki orang
Jawa, denga cara membangkitkan kembali semangat nasionalisme dari masa
dinasti Majapahit yang silam, nasionalisme dari emporium pra Mataram yang
berpusat di Jawa Timur. Kata-katanya serta pandangannya ini emninggalkan
kesan yang mendalam pada rakyat, sehingga membangkitkan semangat yang
meluap-luap. Dalam kongres lokal yang diadakan di Yogyakarta pada bulan April
1914, HOS. Tjokroaminoto terpilih sebagai ketua Central Komite Sarekat Islam
menggantikan Haji Samanhudi, sedangkan Haji Samanhudi sendiri tetap duduk
sebagai ketua cabang Sarekat Islam Surakarta. Pimpinan Sarekat Islam
selanjutnya berpindah ke Surabaya (R.M Karno, 1990:171-176).
5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam
Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara
tepat digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat, paling tidak telah
dimulai sejak September 1912 ketika dari pimpinan Sarekat Islam yang terdiri
dari sebelas orang ada empat pegawai Susuhunan. Puncaknya tercapai setahun
kemudian pada kongres Sarekat Islam yang kedua tanggal 23 Maret yang
diselenggarakan di Surakarta di Sriwedari, taman hiburan dan pusat pertemuan
yang termasuk dalam wilayah Susuhunan (George D. Larson, 1990: 66).
Sarekat Islam ini benar-benar gerakan massa. Macam-macam cerita
beredar mengenai Sarekat Islam dalam kaitannya dengan keraton Surakarta,
dengan Paku Buwono X baik yang berasal dari laporan-laporan residen maupun
bupati pesisiran. Laporan yang masuk dari para pegawai gubernemen seluruh
Jawa dan Madura bahwa hubungan Sarekat Islam dengan keraton menyebabkan
penduduk mulai gelisah dibawah pemerintah Belanda, ini menyebabkan kerisauan
para bupati. Residen Madiun beranggapan bahwa perlu diberi perhatian serius
terhadap desas-desus yang santer di daerahnya, bahwa Paku Buwono X adalah
anggota Sarekat Islam. Di daerah Surakarta orang beranggapan bahwa Sarekat
Islam didirikan oleh perintah Paku Buwono X.
Berdirinya Sarekat Islam (SI) lebih tepat bila dikatakan sebagai reaksi
terhadap pemerintah Kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Sarekat Islam (SI) dibentuk dan merupakan wadah solidaritas untuk menghadapi
pengusaha asing dan Cina. Sarekat Islam (SI) sendiri juga mendapat dukungan
dari Sunan Pakubuwono X sehingga sempat tersiar sebutan “SI-nya Sunan”
karena beberpa orang elit istana ada yang menjadi anggota SI antara lain adalah
Wuryaningrat (anggota kehormatan). Selain itu, beberapa hari sebelum kongres SI
ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913, seorang menantu Sunan, pangeran
Hangabehi diangkat sebagai anggota kehormatan dan pelindung SI. Semenjak itu
SI meluas bukan hanya terbatas pada kalangan bangsawan tetapi juga sudah
sampai pada rakyat kebanyakan. Pada tahun 1913, anggota SI cabang Surakarta
berjumlah 35.000 orang (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 24).
Seorang bekas anggota Sarekat Islam yang diperiksa mengatakan bahwa
Sarekat Islam didirikan untuk membentuk pemerintahan baru yang akan
melancarkan perang mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Seorang bekas
anggota pengurus Sarekat Islam di Surabaya mengatakan bahwa Sarekat Islam
bertujuan merebut tanah Jawa dari tangan Belanda lewat revolusi dan akan
menyerahkannya kembali kepada Paku Buwono X. Asisten residen di Nganjuk
melaporkan bahwa anggota Sarekat Islam baru, sesudah diambil sumpahnya
secara resmi, selalu diingatkan: “Jangan lupa bahwa di pulau Jawa hanya ada satu
Ratu yang dapat memerintah secara adil”. Bupati Demak sangat tidak setuju
bahwa pemerintah Hindia Belandamengesahkan anggaran dasar Central Comite
Islam yang berkedudukan di Surakarta, karena dianggap bahwa Surakarta sebagai
kota tradisional Jawa, masih memiliki pengaruh besar yang tidak dikehendaki
bagi rakyat yang kurang pendidikan.
Di Batavia seorang asisiten residen melaporkan bahwa para anggota
Sarekat Islam dilarang menghormati pemerintah Hindia Belanda. Jika terjadi
sesuatu ada seseorang yang akan menolongnya, siapa itu orangnya tidak
diberitahu. Residen Batavia juga menerima laporan tentang banyaknya desas-
desus mengenai Sarekat Islam yang akan mengadakan pemberontakan yang
didukung oleh Paku Buwono X. Kabar angin itu tidak hanya beredar diantara
orang-orang Eropa yang kurang pendidikan tetapi juga dikalangan yang terpelajar.
Belanda masih menyangsikan kebenaran berita-berita ini, karena tidak cocok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dengan kepribadian dan penampilan Paku Buwono X yang diperlihatkan selama
ini. Oleh karena itu didalam laporan-laporan gubernur Surakarta dikatakan tidak
ada tanda-tanda yang mencurigakan pada diri Paku Buwono X. Jika dipikir
dalam-dalam, adanya Sarekat Islam sebenarnya sangat membantu kedudukan
Paku Buwono X. Perhatian jutaan penduduk Jawa tertuju pada Surakarta, tertuju
kepada Paku Buwono X lewat gerakan nasional ini. Keraton Surakarta tetap
dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional yang mana sangat
memeprtinggi kedudukan Paku Buwono X.
Suara-suara tentang hubungan Sarekat Islam dengan Keraton Surakarta
akhirnya juga sampai telinga residen Surakarta Van Wijk. Karena itu Van Wijk
mendesak agar Paku Buwono X mengurangi keterlibatannya dengan Sarekat
Islam. Dan atas anjuran Van Wijk, Gubernur Jendral juga melarang Paku Buwono
X mengadakan perjalanan keluar Vorstenlanden, karena dianggap bahwa
perjalanan-perjalanan Paku Buwono X inilah yang membuat gerakan Sarekat
Islam meluap-luap. Sementara itu bersama dengan larangan bagi Sinuhun untuk
mengadakan perjalanan keliling, ternyata didalam pimipinan Sarekat Islam
sendiri, timbul keretakan yang mengakibatkan agak mundurnya Keraton Surakarta
dengan Sarekat Islam. Ada insiden-insiden kecil di Surakarta. Sri Mangkunegara
yang takut melihat tambah besarnya keanggotaan Sarekat Islam yang pro
Kasunanan, mencoba mendirikan Sarekat Islam tandingan yang diberi nama
Darmo Hatmoko. Tetapi Darmo Hatmoko ini tidak dapat berkembang karena
terkenal atas sifat kekerasannya (R.M Karno, 1990: 175-176).
Keterlibatan Paku Buwono X dengan organisasi nasional pertama yang
ada di Surakarta ini merupakan suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun
dapat dirasakan secar meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah
disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.
b. Boedi Oetomo
1) Latar Belakang terbentuknya Boedi Oetomo
Boedi Oetomo secara resmi didirikan oleh sekelompok mahasiswa
didalam sebuah ruangan kelas di Sekolah kedokteran Stovia di Batavia dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
bulan Mei 1908, dan merupakan organisasi yang pertama di Hindia Belanda
(George D. Larson, 1990: 78). Boedi Oetomo menempati tempat tersendiri dalam
sejarah Indonesia, karena organisasi ini menandakan awal kebangkitan nasional di
Nusantara. Namun kebangkitan nasional ini pada awalnya bukan kebangkitan
nasional Indonesia melainkan kebangkitan nasional Jawa. Jadi pada awalnya
kebangkitan nasional ini adalah kebangkitan nasional Jawa, bahkan secara samar-
samar mengandung tujuan merestorasi kerajaan Jawa (R.M Karno, 1990: 190).
Di antara pendirinya terdapat orang-orang yang kemudian menjadi
pimpinan-pimpinan nasional yang terkenal yaitu Raden Soetomo, Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan saudaranya Goenawan Mangoenkoesoemo. Mereka
didesak oleh dokter Jawa Wahidin Soedirohoesoedo yang telah menjelajahi
berbagai kota di Jawa untuk mengajak membangkitkan bangsa Jawa. Terjemahan
nama Jawa Boedi Oetomo dalam bahasa Belanda dengan segera menjadi umum,
yaitu “het schooner streven”, namun mempunyai konotasi yang lebih luas, dan
berarti juga “pengertian”, “kemampuan memahami”, “pembawaan”. “Oetomo”
berarti tinggi atau luhur. Boedi Oetomo berarti kata-kata dengan arti yang dalam
bagi priyayi Jawa, kata yang mengacu pada etika yang lebih tinggi. Ini tercermin
juga dalam semboyan dan lambang perkumpulan itu. Semboyan “Santoso
Waspodo nggajoeh Oetomo” berarti “Dengan kekuatan dan kecerdasan mencapai
keutamaan”. Lambang yang dirancang tahun 1917 itu terdiri dari huruf-huruf B.O.
(singkatan Boedi Oetomo) yang ditembus oleh anak panah bermakna wahyu
Tuhan, dan dikelilingi bulu yang menjadi lambang antara lain Masa Lalu, Masa
Kini, dan Masa Depan, juga lambang perkembangan badaniah, rohaniah, dan
susila. Lambang itu tergantung pada pita panca warna: menggambarkan keuletan
(hitam), keberanian (merah), kekayaan material (kuning), kemakmuran (hijau),
dan kesucian (putih). Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat
kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak
diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai
priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu
pemerintah (Hans van Miert, 2003: 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter Jawa dari
Yogyakarta, adalah yang pertama mengemukakan gagasan agar berupaya
menghimpun orang-orang Jawa agar mempunyai pandangan ke depan,
mempunyai tujuan bersama yaitu kemajuan rakyat Jawa. Gagasan ini
meninggalkan kesan yang dalam pada para mahasiswa kedokteran Batavia, dan
gagasan inilah yang akhirnya mendorong kepada pembentukan Boedi Oetomo.
Sementara itu pers juga sedang gencar memuat karangan-karangan yang
menggambarkan perkembangan pesat di Jepang dan Tiongkok, dan yang sangat
menggemparkan ialah kemenangan Jepang atas Rusia (1904-1905). Sebagai
organisasi politik yang mempunyai arti sangat penting karena mewakili suatu
bangsa yang mengejar kemerdekaan, terutama bagi orang Jawa, Boedi Oetomo
tidak boleh tidak harus mencantumkan kemerdekaan nasional sebagai program
partainya. Namun karena keadaan belum mengizinkan, maka keinginan
diwujudkan dalam suatu klausul dalam anggaran dasar yang mengatakan bahwa
perhimpunan ini akan memperjuangkan tingkat hidup yang layak bagi rakyat
lewat pembangunan nasional (R.M Karno, 1990: 190-191).
Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Boedi Oetomo sebagai
tanda keberhasilan poltik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya, suatu
organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat
yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Boedi Oetomo atau
semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada
bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah.
Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia
yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Boedi Oetomo itu.
Sepanjang sejarahnya sebenarnya Boedi Oetomo sering kali tampak sebagai partai
pemerintah yang seakan-akan resmi (M. C Ricklefs, 1991: 227-228).
Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa.
Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya
Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan
yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam
masyarakat Jawa (Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53).
Sampai tahun 1917 Boedi Oetomo bukanlah partai politik. Para priyayi
adalah abdi negara kolonial Belanda, pelestari tradisi Jawa. Berbagai organisasi
pribumi, dengan semangat yang semakin besar memasuki kehidupan politik yang
bergelora yang oleh kaum priyayi dipersamakan dengan kekacauan,
pemberontakan, dan kemelut. Provokasi politik berarti gangguan terhadap
keseimbangan, ancaman terhadap keserasian, karenanya bertentangan dengan apa
yang mereka anggap sebagai watak orang Jawa. Lebih lagi aksi politik itu
biasanya bersifat melawan pemerintah, majikan kaum priyayi. Tetapi Boedi
Oetomo yang menghimpun kaum priyayi menengah dan rendah dengan
bersemangat memutuskan untuk memasuki arena politik, lengkap dengan program
partainya. Sejak 1918 nasionalisme Jawa seperti yang diangkat oleh Boedi
Oetomo memiliki komponen politik yang kuat (Hans van Miert, 2003: 24-26).
Boedi Oetomo pada pokoknya adalah pendukung kebudayaan Jawa.
Organisasi ini mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggap
masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang
keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa) menuju
kepada suatu perkembangan yang harmonis (Robert van Niel, 1984: 84).
2) Pasang Surut Boedi Oetomo
Periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode awal
pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini
diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menunutut pelajaran
dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Paham-paham baru mulai
berlaku, timbul keberanian meniggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang
semakin kuat untuk memperoleh kemajuan. Boedi Oetomo sebagai suatu
pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan
kemajuan yang direfleksi dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya suatu
jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kolonialismenya
(Cahyo Budi Utomo, 1995:49).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Kongres Boedi Oetomo yang pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada
bulan Oktober 1908 dan diketuai oleh Dr. Wahidin Soedirihoesodo. Kongres
pertama ini diadakan di daerah Vorstenlanden karena mendapat dukungan dari
Pangeran Notodiredjo dari keluarga Pakualaman. Kongres ini diadakan untuk
mengesahkan anggaran dasar dan untuk memilih pengurus. Kongres ini dihadiri
oleh kira-kira 300 orang Jawa, sebagian besar sendiri dari para priyayi yang
datang dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pembesar yang hadir
adalah Pangeran Notodiredjo. Dalam kongres pertama ini banyak diadakan
diskusi mengenai pendidikan barat terhadap masyarakat. Banyak pro dan kontra
mengenai hal ini. Dr. Wahidin dan Dr. Tjiptomangoenkoesoemo, mereka adalah
dokter keraton dari keraton Kasunanan Surakarta, termasuk yang kontra. Juga ikut
bicara Goenawan Mangoenkoesoemo dan Dr. Soetomo. Usul dari Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo agar Boedi Oetomo melangkah keluar, jangan hanya
membatasi pada pebdidikan dan kebudayaan saja, melainkan juga harus terjun
dalam bidang politik, tidak diterima oleh kongres. Mungkin kongres tidak berani
mengambil resiko jika permohonan mendirikan partai ditolak oleh pemerintah
Belanda (R.M Karno, 1990: 191).
Kongres itu menetapkan tujuan perumpulan adalah kemajuan yang selaras
(harmonis) untuk negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industry, kebudayaan (kesenian dan
ilmu). Sebagai ketua pengurus Besar yang pertama dipilih R.T Tirtokusumo
bupati Karanganyar dan Wahidin Soedirohoesoedo sebagai wakil ketuanya.
Sedang anggota-anggota pengurus besar yang lain adalah para pegawai negeri
atau bekas pegawai negeri. Pusat perkumpulan ditempatkan di Yogyakarta (A.K
Pringgodigdo, 1994: 1-2).
Dari kongres itu akhirnya berhasil diambil keputusan bahwa:
1) Boedi Oetomo tidak ikut mengadakan kegiatan politik.
2) Kegiatan terutama ditujukan kepada bidang pendidikan dan kebudayaan.
Ruang gerak terbatas hanya untuk daerah Jawa dan Madura (kemudian
diluaskan melingkupi Bali karena dianggap mempunyai kebudayaan yang sama)
(Cahyo Budi Utomo, 1995:49).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Menjelang akhir tahun 1908 Boedi Oetomo telah mempunyai 10.000
anggota dalam 40 cabang, tetapi karena kepemimipinan Tirtokoesoemo yang
kurang bersemarak maka organisasi ini merana hingga ia mengundurkan diri pada
tahun 1911 atau 1912. Sesudah ia diganti sebagai ketua dalam bulan Agustus
1912 oleh Pangeran Notodirojo maka Boedi Oetomo memperlihatkan semangat
baru di Vorstenlanden, dengan segera mendirikan dua sekolah di Yogyakarta dan
sebuah di Surakarta (George D. Larson, 1990: 85).
Pendirian Boedi Oetomo di Surakarta tidak begitu jelas kapan tepatnya,
tetapi banyak kemungkinan hal ini terjadi kira-kira sekitar paruh terakhir tahun
1908. Kita tahu dengan pasti bahwa sudah ada cabang pada tahun 1909 yang
dianggap luar biasa kuatnya. Akan tetapi pada tahun yang sama cabang ini tidak
meneruskan kegiatannya sebab tidak bisa setuju dengan policy yang ditetapkan
oleh pengurus pusat. Penghentian ini hanya bersifat sementara, dan kemudian
cabang Surakarta tampil sebagai salah satu cabang yang paling penting. Misalnya,
sekitar tahun 1912 kantor percetakan dari cabang Surakarta telah mengambil alih
Darmo Kondo, sebuah surat kabar Melayu Jawa yang didirikan pada tahun 1904
di bawah manajemen Cina. Pada bulan November 1913 ketika Jurnal resmi Boedi
Oetomo menghentikan publikasi selam dua tahun, maka peranannya dipegang
oleh Darmo Kondo (George D. Larson, 1990: 85-86).
Orang besar di belakang layar kebangunan kembali budaya Jawa adalah
Prangwedana, kepala pura kedua di Surakarta yang maju, yaitu Mankunegaran.
Ketika Prangwedana masih dengan nama R.M.A Soerjosoeparto, dari tahun 1914
sampai 1915 R.M.A Soerjosoeparto tinggal di negeri Belanda dan belajar di
Leiden. Sekembalinya di Hindia, bulan Agustus 1915 ia menjadi ketua Boedi
Oetomo, Maret 1916 ia menggantikan pamannya, Mangkunegoro VI. Akibatnya
Soerjosoeparto harus melepaskan jabatan-jabatan politiknya. Soerjosoeparto
adalah orang modern dan berpendidikan, yang berlainan dengan raja-raja lain
secara aktif ikut campur dalam pemerintahan negerinya.Semangatnya untuk tidak
hanya di dalam nama menjadi kepala swapraja menyebabkannya sering bentrok
dengan residen-residen Surakarta yang konservatif seperti F.P Sollewijn Gelpke
(1914-1918) dan A.J.W. Harloff (1918-1922). Sunan Paku Buwono X sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
penguasa kerajaan yang lebih besar di Surakarta sama sekali tidak suka dengan
aktivitasnya. Usaha-usaha Sunan untuk mengingatkan Prangwedana selalu
mengakibatkan konflik (Hans van Miert, 2003: 120-121).
R.M.A Soerjosoeparto (calon Mangkunegoro VII) memainkan peran yang
sangat menonjol dalam tahun-tahun pertama Boedi Oetomo cabang Surakarta.
Pada tahun 1917 Pangeran Hadiwidjojo, salah seorang putra Paku Buwono X
yang lebih terkenal, menjadi ketua cabang, dan sekitar Juni 1919 kedua calon
terpenting untuk tahta Surakarta juga telah menjadi peserta. Pangeran Hangabehi,
putra sulung Paku Buwono X, masuk dalam pengurus cabang, sedangkan putra
kedua, Pangeran Koesoemojoedo, telah menjadi pelindung. Dibawah pimpinan
dua ketua nasional yang pertama Boedi Oetomo membatasi dirinya pada soal
sosio-kultural dan menjadi relative kurang dikenal karena munculnya organisasi
lain, terutama Sarekat Islam yang mendapat dukungan massa.Tetapi dalam bulan
September 1914 Boedi Oetomo untuk pertama kalinya mencoba memasuki dunia
politik di bawah pimpinan Dr. Radjiman, dokter Istana Kasunanan Surakarta yang
memegang kedudukan sebagai pejabat ketua dalam bulan Agustus 1914 sesudah
Notodirodjo mengundurkan diri karena sakit. Radjiman adalah seorang nasionalis
yang bergairah tetapi konservatif dengan loyalitas yang mendalam terhadap
Susuhunan (George D. Larson, 1990: 86).
Pada kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya, Soerjosoeparto
mengundurkan diri sebagai ketua Boedi Oetomo. Sebagai penggantinya terpilih
RMA. Woerjaningrat, seirang yang terkenal anti Belanda dari Keraton Surakarta.
Woerjaningrat memegang jabatan ketua sampai 9 tahun, dengan diselingi berhenti
sebentar. Woerjaningrat sangat dongkol terhadap Belanda dalam masalah
penggantian pepatih-dalem lama kepada yang baru Djojonegoro. Woerjaningrat
merasa lebih berhak menggantikan Sosrodiningrat, bahkan sebenarnya sudah
dicalonkan oleh Sinuhun. Tetapi Belanda tidak suka dengan Woerjaningrat karena
selalu menentang Belanda, sampai-sampai salah seorang gubernur Surakarta
member sebutan padanya “setan jahat dari keraton”. Dengan tidak diangkatnya
menjadi pepatih-dalem, Woerjaningrat semakin membenci Belanda. Pepatih-
dalem keraton merupakan abdi-dalem Sinuhun. Berhubung pentingnya kedudukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
pepatih-dalem, pengangkatannya benar-benar dilakukan oleh Sinuhun sendiri,
namun dari calon yang dipilh Belanda. Dibawah pimpinan Woerjaningrat, Boedi
Oetomo menjadi lebih mantap. Pada tahun 1918 Boedi Oetomo cabang Surakarta
berada digaris depan. Cabang Surakarta memiliki 315 anggota, Yogyakarta 70
anggota, Surabaya 139 anggota, Batavia 94 anggota dan weltevreden paling
banyak yaitu 601 anggota, dengan keseluruhan anggota sekitar 10.000 orang.
Cabang-cabangnya meningkat, yang tercatat pada tahun 1918 dari 40 menjadi 51
cabang. Ini menunjukan bahwa Boedi Oetomo bukan partai massa. Inilah
sebenarnya yang kurang disukai Woerjaningrat, karena itu Weorjaningrat
berupaya memperbesar basis partai. Pada tahun 1920 cabang partai meningkat
menjadi 65 cabang dan 14 calon cabang, pada tahun 1921 manjadi 90 cabang
(R.M Karno, 1990: 192-193).
Pada kongres Boedi Oetomo antara 5-7 Juli 1917 Pengurus Besar
mengusulkan agar paragraf keagamaan yang bersifat netral dalam program partai
digantikan dengan paragraf yang menguntungkan Islam. Tujuannya adalah untuk
meluaskan keanggotaan. Sesudah Radjiman Widiodiningrat mengucapkan pidato
garang, dimana ia mengemukakan pendiriannya bahwa budaya Jawa bukanlah
budaya Islamis, melainkan Hinduis-Buddhis, maka versi lama dipertahankan
(Hans van Miert, 2003: 165-166).
Pada tahun 1920 muncul muka baru di Keraton RT. Mr. Wongsonegoro,
pimpinan pusat Jong Java, dan juga merupakan tangan kanan Woerjaningrat. Dr.
Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya pada tahun 1924. Dua
tahun kemudian Surakarta menyusul mendirikan Studi Club ini. Keanggotaannya
tidak besar, hanya beberapa politisi terkemuka diantaranya Woerjaningrat dan Dr.
Rajiman Widiodiningrat. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah
Timboel, yang pro keraton Surakarta dan nasionalistis. Terbit dua bulan sekali
sejak Januari 1927. Redaksinya Dr. Rajiman dan RP. Mr. Singgih. Majalah ini
menerima subsidi 200 gulden tiap bulan dari kas keraton Surakarta dan dana
pribadi dari Pangeran Koesoemojudo. Timboel berkampanye menyerang politik
Belanda dan terus menuntut otonomi yang lebih longgar. Mr. Singgih, redaktur
Timboel merupakan tokoh baru yang memperkuat suara keraton Surakarta. Ia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
sendiri berasal dari Pasuruan, sejak belajar ilmu hukum di negeri Belanda sudah
menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, suatu perkumpulan mahasiswa –
mahasiswa Indonesia yang nasionalistis dan militant. Sekembalinya di Indonesia
banyak diantara mereka yang menjadi pemuka gerakan nasional. Mr. Singgih juga
ikut aktif di Boedi Oetomo sekretaris pertama pimpinan pusat. Dengan
kembalinya Mr. Singgih ke Surakarta pada 28 April 1928, keraton Surakarta
kembali akrab dengan Boedi Oetomo. Dalam pimpinan pusat Boedi Oetomo
nampak duduk banyak tokoh-tokoh keraton Surakarta. RMA. Koesoemo Oetojo:
ketua; RM. Woerjaningrat : wakil ketua; RP. Mr. Singgih : sekretaris pertama; M.
Seodarjo : sekretaris kedua; S. Martodiharjo : sekretaris kedua; Dr. Radjiman;
Widiodiningrat : komisaris; R. Mr. Soepomo : komisaris; R. Slamet : komisaris
(R.M Karno, 1990: 196).
3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo
Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan
berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh
karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai priyayi
baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu
pemerintah. Pengurus pusat Boedi Oetomo berada di Surakarta dan Yogyakarta,
kecuali di tahun 1925 dan 1926. Pengurus itu didominasi oleh amtenar menengah
dan tinggi yang kadang-kadang tidak bekerja pada pemerintah, melainkan pada
salah satu dari keempat kerajaan itu. Hubungan dengan keluarga raja cukup kuat.
Ketua tahun 1915 sampai 1916 adalah R.M.A Soerjosoeparto, yang harus
melepaskan jabatannya karena di tahun 1916 ia menggantikan pamannya sebagai
prangwedana, yaitu penguasa Pura Mangkunegaran (Hans van Miert, 2003: 17).
Peranan bangsawan Surakarta di Boedi Oetomo setelah itu diteruskan
dengan keterlibatan Wuryaningrat sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Surakarta,
yang dilanjutkan sebagai Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo (1916-1921) (AA
GN Ari Dwipayana, 2004: 93). Menurut Sanusi Pane yang dikutip oleh Purwadi,
dkk (2009: 24) mengatakan bahwa “Di Solo, nama yang dapat dihubungkan
dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden Mas Arya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sri Susuhunan Paku
Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya adalah putri Paku
Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan mendorong Raden Mas Arya
Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini”.
Keterlibatan keraton (istana) Surakarta adalah yang terbesar. Beberapa
putra Susuhunan Paku Buwono X adalah anggota. Putra dan calon pengganti Paku
Buwono X, yaitu Pangeran Hadiwidjojo bertahun-tahun memimpin cabang
Surakarta, dan antara tahun 1921-1922 sebentar menjadi ketua pengurus pusat.
Salah satu pejabat tertinggi keraton, R.M.A Woerjaningrat, bahkan memimpin
Boedi Oetomo sampai tiga kali, yaitu 1916-1921, 1923-1925, 1934-1935. Tokoh-
tokoh penting Surakarta yang lain yang bersangkutan dengan Boedi Oetomo
adalah Radjiman Wideodiningrat, dokter pribadi Sunan, dan R.M Soetatmo
Soeriokoesoemo, pengawas Departemen Pekerjaan Umum. Soetatmo adalah
kerabat pura Pakualaman, yang menjadi orang kepercayaaan Prangwedana. Di
kalangan priyayi Solo inilah di awal abad yang muncul nasionalisme Jawa yang
khas. Nasionalisme ini pertama-tama memperjuangkan renaisans budaya.
Kalangan Priyayi yang mengagungkan budaya Jawa itu menyadari bahwa sedang
terjadi krisis yang mendalam di tengah dunia Jawa sebagai akibat kemerosotan
politik raja-raja dan priyayi Jawa. Keraton dan penghuninya yang berada dibawah
kekuasaan Belanda telah menjadi contoh ketidakberdayaan politik yang
menimbulkan rasa kasihan (Hans van Miert, 2003: 17-18).
Boedi Oetomo yang mewakili budaya afirmatif memandang Paku Buwono
X sebagai personifikasi nasionalisme Jawa. Kepriyayian Boedi Oetomo dengan
maksud untuk menunjukkan bahwa Boedi Oetomo setuju dengan stratifikasi
zamannya dan Boedi Oetomo menjadi pengajur dari milite plicht. Jadi bukan saja
afirmatif pada Sunan dan stratifikasi sosial, tetapi juga pada pemerintah Belanda
(Kuntowijoyo, 2004: 94-96).
Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi
Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan
Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau
Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah
berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Paku Buwono X mengadakan
kunjungan yang lama di Garut dan Tasikmalaya. Massa sangat tertarik untuk
membeli air bekas dan sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat
rendah maupun pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap
mengandung kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang
memilikinya (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 565-566).
Pada tahun 1922, Paku Buwono X mengadakan perjalanan ke Jawa Barat
dan Jawa Timur, yang menimbulkan peningkatan semangat radikalisme Boedi
Oetomo, setelah itu Sinuhun berhenti melakukan perjalanan. Tetapi pada tahun
1924 Sinuhun berangkat lagi ke Malang. Gubernur Jendral Fock menyuruh
residen Surakarta Nieuwenhuis menyusul dan menghubungi Paku Buwono X
untuk mempersilahkan pulang. Setelah Nieuwenhuis pindah dari Surakarta, Paku
Buwono X pada tahun 1927 kembali mengadakan perjalanan ke Gresik, Surabaya
dan Bangkalan selama satu minggu, dengan diiringi 44 pengikut. Pada tahun 1929
selama dua minggu, Paku Buwono X pergi ke Bali dan Lombok , juga dengan 44
pengiring. Kemudian pada tahun1935 ke Bogor, Batavia dan Lampung dengan 51
pengikut. Paku Buwono X terus melakukan perjalanan sampai wafatnya pada
tahun 1939 (R.M Karno, 1990: 195).
C. REAKSI BELANDA TERHADAP PERAN PAKU BUWONO X
DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN DI SURAKARTA
Pada awal pergerakan, pemerintah Belanda memangcukup dibuat bingung
oleh ulah organisasi-organisasi yang bermunculan. Salah satunya adalah Sarekat
Islam. SI menjadi satu payung raksasa bagi para pribumi. Keterikatan hubungan
dagang dan agama menjadikan organisasi ini cepat tumbuh. Kolonial Belanda pun
melihatnya sebagai sebuah ancaman berbahaya yang harus segera diatasi. Apalagi
pengaruhnya bahkan sudah masuk ke dalam keraton Kasunanan Surakarta. Demi
memukul mundur kekuatan SI ini, diperlukan strategi untuk menggeser
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
keberpihakan kaum bangsawan Jawa. Boedi Oetomo dipandang oleh pemerintah
kolonial sebagai arus untuk menyedot kembali keberpihakkan tersebut.
Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai
dengan gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasional pada rakyat.
Ini dapat dilakukan melaui pandidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti
yang dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial
seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Berdasarkan keputusan ini semua
organisasi yang akan didirikan harus mendapat izin dulu dari Gubernur Djendral,
dengan mengajukan permohonan serta melampirkan anggaran dasar dan
penjelasan mengenai tujuan organisasi. Boedi Oetomo telah memenuhi
persyaratan ini, sebaliknya pada Sarekat Islam, hal ini sangat menimbulakn
ketakutan dan panik diantara penduduk Belanda. Orang-orang Belanda melihat
Sarekat Islam adalah suatu organisasi berbahaya yang merencanakan
pemberontakan, dibarengi dengan melancarkan teror terhadap masyarakat asing.
Maka setelah Sarekat Islam akhirnya diberi izin berdiri oeh Gubernur Djendral,
masyarakat Belanda menuduh jika terjadi apa-apa maka ini adalah kesalahan dari
Gubernur Djendral. Maka SI oleh orang-orang Belanda sempat diartikan “salah
Idenburg”, karena Gubernur Djendral yang memberi izin bernama Idenburg (R.M
Karno, 1990: 176).
Kekuasaan Pemerintah Belanda tidak pernah memberikan peluang usaha
kepada dunia usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi
rakyatnya yang bisa amembawa rakyatnya hidup lebih baik. Karena sesungguhnya
yang bisa menciptakan kemakmuran rakyatnya adalah dunia usaha. Pemerintah
kolonial menggunakan dunia usaha sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Pengaruh politik Belanda terhadap Vorstenlanden adalah suksesnya Belanda
dalam aksi milternya di daerah seberang. Nusantara kaya akan kekayaan alam,
maka Belanda memanfaatkan sebagai lahan penghasilan bagi negaranya.
Meskipun tujuan utamanya perdagangan, namun hasil alam Indonesia sangat
menngiurkan. Sehingga mereka mempunyai pikiran untuk menguasai da
memonopoli perdagangan Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi
yang membahayakan. Karena pada dasarnya SI adalah gerakan untuk untuk
membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang dan mengusir
Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk merebut Jawa dari
Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan kembali pada Susuhunan
(George D. Larson, 1990: 66).
Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta berkeinginan memonopoli
hubungan pemerintah. Dengan demikian gerakan politik Paku Buwono X sangat
terbatas, yaitu tidak leluasa berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali
pada pemerintah Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan
untuk berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X
memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karna tidak adanya bantuan dari
negara lain.
RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Sinuhun untuk duduk
dalam pimpinan Sarekat Islam, RM. Woerjaningrat sendiri adalah bupati nayoko
keraton Surakarta. Van Wijk tiba-tiba mendengar bahwa pangeran Hangabehi,
salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam.
Oleh residen Van Wijk, pangeran Hangabehi diminta untuk meletakkan
jabatannya sebagai pelindung, bahkan untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal
yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda
dengan alasan belajar.
Di Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan terdapat permasalahan yang
cukup serius. Hal ini berkaitan dengan adanya sisitem penjajahan Belanda di
Indonesia. Apabila dipandang dari sudut luar, maka keraton Kasunanan Surakarta
merupakan alat bagi sistem penjajahan Belanda. Raja-raja yang berkuasa selalu
bekerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini terlihat dari adanya
perjanjian-perjanjian antara setiap raja yang berkuasa dengan pemerintah Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda selalu mengawasi perkembangan organisasi-
organisasi yang berkembang di Surakarta, seperti halnya perkembangan
organisasi Sarekat Islam yang berkembang pest di Surakarta karena mereka takut
apabila organisasi ini cepat menyebar memperoleh banyak massa dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
mempengaruhi rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Bealanda. Mengenai
status hukum yang diajukan Sarekat Islam sejak tahun1913 sealau ditolak oleh
gubernur Jenderal Idenberg dikarenakan berbagai alasan, dan baru diakui pada
tahun 1916, itupun hanya Sarekat Islam lokal, sedang Sentral Sarekat Islam
beranggotakan Sarekat Islam lokal.
Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi
Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan
Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau
Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan
rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah
berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, ia mengadakan kunjungan yang
lama di Garut dan Tasikmalaya. Masa sangat tertarik untuk membeli air bekas dan
sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat rendah maupun
pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap mengandung
kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang memikinya.
Perlawatan-perlawatan ini sangat memusingkan residen Harloff. Ia berusaha
untuk membatasi ulah Sunan yang sangat mahal dengan menunjukkan keadaan
raja bahwa biaya Sunan itu luar biasa besarnya, tidak sesuai dengan peranan raja
yang pantas menurut semangat baru yang demokratis.
Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono
yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang
dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun ia
dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya sebagai
kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Hal tersebut Pada awal abad ke-20
ini, pada masa jabatan Residen Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang
dengan membawa dua ratus pengiring. Melihat itu, residen-residen yang menjabat
berikutnya selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan apabila bepergian,
dan Residen Van Der Wijk berhasil menekannya menjadi 36 orang. Penekanan
jumlah pengawal ini terus dilakukan oleh pemerintah Belanda sepanjang Sunan
melakukan perjalanan. Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sangat keberatan,
apabila Sunan pergi ke daerah-daerah lain, karena walaupun kunjungan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
dilakukan secara incognito, tetapi kenyataannya Suanan selalu menampilkan diri
sebagai Maharaja di Jawa (Darsiti Soeratman, 2000: 383-385).
Pemerintah Kolonial memiliki dua tujuan utama untuk perluasan
pengaruhnya di Surakarta. Tujuan ini adalah menjamin posisi politisnya terhadap
anacaman yang muncul baik dari para raja pribumi maupun dari kekuatan asing,
yang memungkinkan bisa membahayakan kedudukannya. Dasar kedua yang
melandasi tindakan Pemerintah kolonial Belanda adalah faktor ekonomi.
Kepentingan ekonomi modal swasta telah memperluas aktivitasnya di seluruh
wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, mereka meminta bantuan
kepada pemerintah Belanda untuk pengamanan daerah usahanya. Atas permintaan
ini pemerintah Belanda memandang bukan hanya untuk mengamankan secara
fisik dengan menggunakan kekuatan senjata, melainkan mengamankan secara
politis kawasan dunia usaha ini. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan
terciptanya keamanan di kawasan usaha tersebut adalah melalui intervensi
permasalahan dalam negeri raja-raja pribumi setempat, khususnya dikalangan elit
politiknya.
Dengan perjanjian-perjanjian dan pernyataan Paku Buwono X kepada
pemerintah kolonial Belanda, maka dapat digarisbawahi yaitu aktualisasi janji
setia dan mengakui bahwa kekuasaan di Surakarta bersumber pada pemerintah
kolonial Belanda. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa Belanda sudah
mempengaruhi Keraton Surakarta lama sebelum paku Buwono X. Kekhawatiran
Pemerintah kolonial Belanda tersebut juga untuk menghalang-halangi supaya
Paku Buwono X tidak menuntut terhadap pemerintah kolonial Belanda, bahkan
pertahanan akan dikuatkan lagi. Dalam pelaksanann administrasi pemerintahan di
Kasunanan juga di awasi dengan ketat. Yang dimaksud dengan administrasi disini
adalah segala kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
pemerintah dari terciptanya suatu kelancaran dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam pelaksanaan administrsi pemerintahan, meskipun pada waktu itu
dijajah Belanda, namun pemegang kekuasaan di daerah Kasunanan Surakarta
masih ada pada tangan Sunan Paku Buwono X. Sedangkan pelaksanaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
pemerintahan diserahkan kepada patih dalem. Maka disini patih berfungsi sebagai
wakil Paku Buwono X. Meskipun patih dalem mempunyai wewenang yang
didapat dari Paku Buwono X, namun dengan adnya ketentuan tersebut maka patih
juga harus tunduk terhadap kebijaksanaan Belanda atau tuan residen. Dengan
demikian patih dalem tidak bisa berbuat banyak hal dalam menjalankan tugasnya
sebelum mendapat ijin atau sepengetahuan pemerintah kolonial Belanda. Selain
dari raja, pengesahan program kerja patih dalem harus sepengetahuan residen atau
pemerintah kolonial Belanda.Hal ini jelas bahwa pemerintah kolonial Belanda
selalu mengawasi kegiatan politik dalam rangka memutar roda pemerintahan di
Kasunann Surakarta.
Proses yang terjadi selama setengah abad sejak tahun 1890-an ini telah
menciptakan ketegangan baik secara ekspresif maupun terselubung di kalangan
stratifikasi sosial yaitu masyarakat bawah khususnya di wilayah Kasunanan
Surakarta. Beberapa reaksi bersifat menentang intevensi kolonial baik secara
terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi muncul dalam benturan yang terjadi.
Berbagai kebijakan kolonial yang diterapkan untuk masyarakat Surakarta telah
menciptakan konflik meluas yang berpengaruh dan menyebar ke daerah pinggiran
bahkan daerah penopang di Surakarta. Kalangan kelompok masyarakat bawah
lebih cenderung mengungkapkan reaksi keras yang terjadi ini dengan melakukan
letupan perlawanan fisik di kota Surakarta yang menggunakan simbol-simbol
kolonial sebagai sasarannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Usaha-usaha Paku Buwono X membangun kehidupan politik di Surakarta
dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu keadaan Surakarta terdiri atas wilayah
Kasunanan dan Mangkunegaran, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan
besar. Bagian tengah Surakarta yang merupakan kota lama didiami oleh
beberapa etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing
menempati daerah tertentu secara terpisah. Etnik tersebut memiliki
komunitas sendiri di daerahnya masing-masing, baik dari mata
pencaharian maupun peranan dalam hubungannya dengan Keraton
Kasunanan. Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta
dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan
peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial
Belanda, yaitu gerakan Islam pada abad ke-19. Paku Buwono X yang
mempunyai gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku
Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo Ingkan
Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat. Paku
Buwono X memiliki Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau
memiliki disiplin diri yang kuat dan bijaksana. Sunan memiliki andil besar
dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi
politik di Surakarta. Dalam usahanya membangun landasan politik di
Surakarta dilakukan Sunan dengan cara Mendirikan madrasah Mamba’ul
Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para
sentana yaitu sekolah Kasatrian, Sekolah Parmadi Siwi, Parmadi Putri,
sekolah pertanian dan perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan
incognito yang dinamakan dengan politik Ngideri Buwono. Semua itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
dilakukan oleh Sunan dalam rangka membangun kehidupan politik di
Surakarta dan nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.
2. Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan
serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial.
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Sunan Paku Buwono X telah mendorong masyarakat Jawa memasuki
zaman baru. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan merupakan tempat
yang subur bagi pertumbuhan organisasi-organisasi sosial politik. Untuk
mengenyahkan Belanda dari bumi Indonesia, Paku Buwono X merangkul
kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda
dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya
melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan gerakan-gerakan
membangkitkan dan menanam jiwa nasioanl pada rakyat. Ini dapat
dilakukan melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi
Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang
dilakukan oleh Sarekat Islam. Gerakan Nasional pertama yang muncul di
Surakarta adalah Sarekat Islam pada tahu 1912. Gerakan ini langsung
disongsong oleh Sinuhun tentunya dengan caranya sendiri. Kerjasama
antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara tepat
digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat. Beberapa orang
elit istana ada yang menjadi anggota Sarekat Islam antara lain adalah
Woeryaningrat yang merupakan kemenakan dan bahkan menantu
Susuhunan menjadi anggota kehormatan. Selain itu, beberapa hari sebelum
kongres Sarekat Islam ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913,
seorang menantu Sunan, pangeran Hangabehi diangkat sebagai anggota
kehormatan dan pelindung Sarekat Islam. Selain itu peran Sunan juga
terlihat pada organisasi Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah gerakan
priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang
mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah
keturunan keluarga pangreh praja lama. Di Surakarta, nama yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
dihubungkan dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden
Mas Arya Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu
Sunan Paku Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya
adalah putri Paku Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan
mendorong Raden Mas Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan
melalui organisasi ini. Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton
Surakarta dalam Boedi Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir
1921 ketika Sunan Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke
daerah-daerah lain di pulau Jawa yang menimbulkan peningkatan
semangat radikalisme Boedi Oetomo.
3. Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi
yang membahayakan. Karena pada dasarnya Sarekat Islam adalah gerakan
untuk untuk membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang
dan mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk
merebut Jawa dari Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan
kembali pada Susuhunan. Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta
berkeinginan memonopoli hubungan pemerintah. Dengan demikian
gerakan politik Paku Buwono X sangat terbatas, yaitu tidak leluasa
berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah
Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan untuk
berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X
memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karena tidak adanya bantuan
dari negara lain. RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu
Paku Buwono X yang duduk dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran
Hangabehi, salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi
pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. bahkan
untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran
Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda dengan alasan belajar. Selain
itu Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono
yang dilakukan oleh Sunan yang menimbulkan peningkatan semangat
radikalisme Boedi Oetomo. Belanda memikirkan masalah uang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena
meskipun ia dianggap mengadakan perjalanan incognito. Melihat itu,
pemerintah Belanda selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan
apabila bepergian.
B. IMPLIKASI
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka muncul implikasi yang
dapat dipandang dari berbagai segi:
1. Teoritis
Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan
serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial.
Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme
di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau
antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang
menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang
di jajah. Keraton Surakarta dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional
yang mana sangat mempertinggi kedudukan Sinuhun. Sunan memiliki andil besar
dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi politik di
Surakarta, yaitu dalam organisasi Sarekat Islam dan Boedi Oetomo.
2. Praktis
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah Hindia-Belanda tentu sangat
memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat. Paku Buwono X
merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak tampak disekelilingnya setiap
hari dibangun wibawa. Keterlibatan Sinuhun dengan organisasi nasional yang ada
di Surakarta ini suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun dapat dirasakan
secara meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah disekitarnya. Figur
Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
C. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diajukan saran sebagai
berikut:
1. Bagi mahasiswa sejarah dan generasi muda, semoga penelitian ini akan
dapat digunakan sebagai salah satu literatur dalam memahami masalah
yang terjadi di Indonesia, khususnya Surakarta. Dengan demikian
mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan yang monoton terutama
yang berkaitan dengan sejarah Surakarta yang sebenarnya cukup
kompleks.
2. Kepada pengelola perpustakaan program studi Sejarah, mohon referensi
buku tentang sejarah Surakarta, khususnya tentang tokoh-tokoh yang
mempunyai peranan penting di Surakarta ditambah, karena masih sulit
mencari sumber tentang tokoh-tokoh Surakarta di sana.
3. Bagi pemerintah kota Surakarta hendaknya menjaga dan melestarikan
peninggalan-peninggalan Paku Buwono X serta meneladani jiwa
nasionalisme Paku Buwono X bagi perkembangan Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ari Dwipana, AA GN. 2004. Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat
dari Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.
Arifin, MT, dkk. 2005. Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu.
Cahyo Budi Utomo, 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. IKIP
Semarang Press.
Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional
Surakarta. Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Gottchalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.
Helius Syamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Jalan Pintu Satu,
Direktorat jendral dikti depdikbud.
Houben, Vincent J. H. 2002. Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta,
1830-1870. Terjemahan E. Setiawati Alkhatab. Yogyakarta: Bentang
Budaya, KITLV.
Hutauruk. 1984. Gelora Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta
Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia. Surakarta: UNS-
Press.
Kansil, C. S. T & Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Kebangsaan Indonesia.
Jakarta : Erlangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Karno. 1990. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku
Buwono X 1893-1939. Jakarta.
Kartini Kartono. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Koentjaraningrat. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia.
. 1997. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta. Gramedia.
Kohn. Hans. 1961. Nasionalisme. Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT Pembangunan.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, Jakarta: Grafiti Pers.
Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
. 2004. Raja, Priyayi, Dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.
Larson, George D. 1990. Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan
Politik di Surakarta, 1912-1942. Terjemahan Dr. A. B. Lapian.
Yogyakarta : UGM Pres.
Miriam Budihardjo. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke-21 I, Dari Kebangkitan Nasional Sampai
Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius.
Muhammad Hawari. 2003. Politik Partai. Merentas Jalan Baru Perjuangan
Partai Politik Islam. Terjemahan. Bogor: Idea Pustaka.
Mulyadi, Hari M, dkk. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit” (Studi
Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta).
Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan.
Nagasumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-
1918. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Nugroho Notosusanto. 1971. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Depdikbub
. 1986. Norma-Norma Dasar Penelitian Dan Penulisan
Sejarah. Jakarta: Dephankam.
Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian
Rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Pemberton, John. 2003. “Jawa” On The Subject Of Java. Terjemahan Hartono
Hadikusumo.Yogyakarta: Mata Bangsa.
Poesponegoro, Marwati Djoened &Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X Perjuangan, Jasa &
Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: Bangun Jasa.
Ricklefs, 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta:
Prenada Media.
Sajid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Mangkunegaran.
Sargent, Lynan Tower. 1987. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta:
Gramedia.
Sartono Kartodirjo. 1984. Pengantar Sejarah Nasional : Dari Emporium ke
Imperium. Jakarta : Balai Pustaka.
. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-
pemikiran priyayi nasionalisme jawa awal abad XX. Terjemahan Jiman S.
Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-
1926. Terjemahan Hilmar Farid. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara.
Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada :
Jakarta.
Sudiyo. 1997. Perhimpunan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta dan Bina Adi
Aksara.
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan 1830-1930.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai
Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Liberty.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia : Suatu
Analisis Ilmiah. Yogyakara: Liberti.
Van Miert, Hans. 2003. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme Dan Gerakan
Pemuda Di Indonesia, 1918-1930. Terjemahan Sudewo Satiman. Jakarta:
Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, KITLV.
Van Niel, Robert. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka
Jawa.
. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka
LP3ES.
B. Makalah
Hermanu Joebagio. 2010. Merajut Nusantara: Menguak Peran Paku Buwono X
dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan di Surakarta. Makalah Seminar
Bertajuk “Manggali Nilai-Nilai Kepahlawanan, Kebangsaan dan
Keteladanan Sri Susuhunan Paku Buwono X” 2010, 1-16.
C. Intenet
http://www.yudhieharyono.com/?p=343,/16 Februari 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta#Geografi,/9 Juni 2010
http://www.gcmtoy.com/Pakubuno.htm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Lampiran 1
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
(http://wisatasolo.netne.net/wisata.html)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Lampiran 2
Lambang Keraton Kasunanan Surakarta
(http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah06.shtml)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Lampiran 3
Paku Buwono X
Raja Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939)
(http://smansalingga82.wordpress.com/2010/02/21/ruasia-kagagahan-raja-nu-
ngagaduhan-45-garwa/)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Lampiran 4
Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas (Permaisuri Paku Buwono X)
(http://www.gcmtoy.com/Pakubuno.htm)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Lampiran 5
Sunan Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897)
(http://indonesian-history.blogspot.com/2009/05/history-of-dutch-in-
indonesia.html)