Download - Penyelesaian sengketa ekonomi syariah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang
ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi
absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah.
Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus
peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena
selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun
sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka
bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri
dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang
terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah.
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia menghalami
perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini.
Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang
dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.
Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha', eksekusinya harus
dikuatkan oleh Peradilan Umum, Para hakimnya hanya berpendidikan
Syari'ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak
berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain. Sekarang keadaan sudah
berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan
kewenangan PA dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru, antara
lain bidang ekonomi syari'ah.1
Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positive yang secara
terperinci mengatur tentang acara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,
namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya atau dengan kata
lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada
asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili2
Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga
yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sudah seharusnya mengerahkan
segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ini kiranya pengadilan agama harus
berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam,
1 ? Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, dalam Varia Peradilan . tahun ke XXI, NOMOR245 April, 2006,hal. 12.2 ?Lihat pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2
baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh
/ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui
Dewan Syari’ah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
diseputar ekonomi syari’ah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan
pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Mengapa sengketa ekonomi syari’ah mesti diselesaikan melalui Badan
Peradilan Agama ?
2. Bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
di Pengadilan Agama ?
3. Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah (kompetnsi relative) ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang sengketa ekonomi syari’ah dan penyelesaiannya di
Pengadilan Agama mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengapa Pengadilan Agama lebih
berwenang dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah ?
2. Untuk menganalis lebih jelas bagaimana cara-cara dan proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.
3
3. Untuk memperoleh informasi yang pasti tentang Pengadilan Agama
mana yang paling berwenang (kompetensi relatif) memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syari’ah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan
Pengadilan agama diharapkan memiliki manfaat tertentu.. Manfaat tersebut
sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu:
1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk :
a. Memberi gambaran atau pedoman awal bagi lembaga Peradilan Agama
tentang bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah.
b. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada
umumnya, khususnya para pelaku bisnis syari’ah tentang cara-cara
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah melalui pengadilan agama.
c. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam
hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi
syariah.
2. Manfaat akademik (academic value)
a. Diharapkan penulisan tesis tentang proses penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai
pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Studi
Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia.
4
b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah
khazanah keilmuan dalam bidang penyelesaian sengkerta ekonomi
syari’ah.
E. Telaah Pustaka
Dari penelusuran referensi yang ada tidak banyak dijumpai karya-karya
ilmiyah yang membahas persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di
lingkungan Pengadilan Agama . Hal ini bisa dimaklumi karena persoalan ini
relatif masih baru. Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya
dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat dijumpai pada beberapa
karya ilmiyah, diantaranya adalah tulisan Dr. Dadan Muttaqien tentang
“Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan”.
Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi) ada dua cara yang
bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui
lembaga arbitrase (al-Tahkim). 3
Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah
3 ? Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266 Januari 2008 (Jakarta : IKAHI, 2008) Hal. 60.
5
sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi,
mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.4
Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1. Penagajuan Permohonan
Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk
mengadakan arbitrase oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat permohonannya tersebut
harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau
tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang
salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika
diajukan oleh kuasa hukum.
2. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) , untuk menentukan apakah Badan
Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan
memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal
perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan
dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk
memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat
diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah
4 ?Ibid.
6
penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan
oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal
pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula
arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk
arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa
berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut
dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus
yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan
suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula
dalam bentuk tunggal atau majelis.
3. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat
permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi
permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis
selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah
diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau
Ketua ArbiterMajelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada
Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak
untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan,
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa
7
mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing
dengan surat kuasa khusus.
4. Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), kecuali ada
persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di
tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan sidang
ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang
mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan
harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
5. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter
tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang
sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk
membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya.
Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak
dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi,
termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak,
setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada
Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak
lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing).
Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik),
pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter
Tunggaal atau Majelis.
8
6. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan,
Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie).
Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan
jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional
Claim) asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung
dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi
Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan
konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus
oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya
perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal
akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk
memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya,
apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis
akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang
diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap
perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara
tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7. Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa
arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan
yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak
menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open)
sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
9
8. Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua
belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak
ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses
pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau
Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6
(enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak
untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9. Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali para
pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal
atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai
dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang
menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat
final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib
mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas.
Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan
dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal
639 RV. 5
Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada
salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan
putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan
kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan
sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat
5 ?Ibid, hal. 65.
10
dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali
mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam
waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan
putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai
berikut:
a. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan
ketentuan,
b. Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,
c. Putusan melebihi yang diminta para pihak,
d. Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,
e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak
memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.6
Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul”
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun
Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman
BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan
kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah
BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam
seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-
pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan
6 ? Ibid.
11
perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi
syari’ah secara umum.7
Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang
disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan
Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam
pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan
syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga,
bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya.
Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan,
bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua
lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal
level. Hal ini dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan
akad secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara
materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.8
Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dilingkungan Peradilan Agama.
Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun untuk menyusun tesis ini
dalam rangka untuk menambah khazanah keilmuan dalam hal penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.
7 ? Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah …,hal. 20. 8 ? Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , Tesis MSI-UII Yogyakarta, 2007, hal. 148.
12
F. Kerangka Teori
Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu
ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini, karena yang
pertama terikat kepada nilai-nilai Islam dan yang kedua memisahkan diri dari
agama semenjak negara-negara Barat berpegang kepada sekularisme dan
menjalankan politik sekularisasi.9 Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi
yang terpisah dari nilai atau tingkah laku manusia, tetapi pada ekonomi
konvensional, nilai yang digunakan adalah nilai duniawi semata (profane,
mundane).
Yang dimaksud dengan kata syari'ah dalam ekonomi syari'ah sebenarnya
adalah fiqh para fuqaha'. Hal itu karena salah satu pengertian syari'ah yang
berkembang dalam sejarah adalah fiqh dan bukan ayat-ayat dan/atau hadits-
hadits semata sebagai inti agama Islam atau ayat-ayat dan/atau hadts-hadits
hukum saja secara khusus. Pemakaian kata syari'ah sebagai fiqh tampak
secara khusus pada pencantuman syari'ah Islam sebagai sumber legislasi di
beberapa negara muslim (dan juga pada 7 kata dalam Piagam Jakarta),
perbankan syari'ah, asuransi syari'ah, ekonomi dan keuangan syari'ah secara
umum di Indonesia, serta Pengadilan Syari'ah (Mahkamah Syar'iyah) di
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Inilah yang diistilahkan dalam
bahasa Barat sebagai Islamic Law, de Mohammadan wet/recht, la loi
islamique, dan lain-lain.10
9 ?Khurshid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economics , dalam Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah., hal. 12.10 ?Rifyal Ka'bah,Hukum Islam di Indonesia, (Buletin Dahwah) DDII, DKI Jakarta, Mei 2006.
13
Ada pun pengertian ekonomi Islam adalah merupakan suatu ilmu yang
mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam
yang mengikuti Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW., ijma’ dan qiyas.11
Islam memang sebagai suatu sistem nilai yang sedemikian lengkap dan
menyeluruh dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia ini, tak
terkecuali di dalam persoalan perekonomian. Dalam hal ini Islam telah
mengatur bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem
perekonomian Islam tersebut. Untuk ini Muhammad Syafi'i Antonio dalam
bukunya Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, telah menguraikan :12
1. Perekonomian masyarakat luas – bukan hanya masyarakat Muslim – akan
menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-norma
Islami.
Banyak ayat Al-Qur'an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja
perekonomian Islam, diantaranya adalah :
13
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Semua ayat tersebut merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan
Al-Qur'an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat difahami
11 ?Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, Buku Saku Lembaga Bisnis Syari’ah , (Jakarta: PKES, 2006), hal.112 ?Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, Cet.kesembilan (Jakarta: Gema Insani, 2005)hal. 10. 13 ? Q.S. Al-Baqarah (2): 87-88.
14
bahwa Islam mendorong penganutnya untukmenikmati karunia yang telah
diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan ,baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan
materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang
telah ditetapkan.
Salah satu hadits Rasulullah SAW menegaskan :
اواحل حالال حرم اال شروطـهم على االمســلمون
حـــرامـا
Artinya :"Kaum Muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."14
Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak
menggunakan cara batil; tidak berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak di
zhalimi maupun menzhalimi; menjauhkan diri dari unsur riba; maisir
(perjudian dan intended speculation); dan gharar (ketidak-jelasan dan
manipulatif ) serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak
dan sedekah. Ini yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan
perekonomian konvensional yang menggunakan prinsip self interest
(kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.
2. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
14 ? H.R. At-Turmudzi, dalam kitab Subulus Salam,Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Juz III, Jilid II, disusun oleh Imam Muhammad ibn Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy (t.t.p., Dar al-Fikr, t.t.)hal. 59.
15
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang
solid. Dalam tatanan itu setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih
sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak
diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
a. Keadilan Sosial;
b. Keadilan Ekonomi;
3. Keadilan Distribusi Pendapatan.
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat,
berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan
keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan
cara yang ditekankan Islam.
4. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial.
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya tidak ada
seorang pun – bahkan negara mana pun – yang berhak mencabut kemerdekaan
tersebut dan membuat hidup manusia menjadi terikat. Dalam konsep ini setiap
individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada
dalam kerangka norma-norma Islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan
tersebut dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan
Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” menurut Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
16
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah” perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilakukan menurut prinsip syari’ah,” 15 antara lain meliputi :
a.bank syari’ah;
b.asuransi syari’ah;
c.reasuransi syari’ah;
d.reksadana syari’ah;
e.lembaga keuangan mikro syari’ah;
f.obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g.sekuritas syari’ah;
h.pembiayaan syari’ah;
i.pegadaian syari’ah;
j.dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
k.bisnis syari’ah.
Menegenai sendi-sendi Islam, menurut catatan Abu A’la Al-Maududi
terdapat tujuh hal sebagai berikut :
a. Adanya prinsip perbedaan antara yang halal dan yang haram mengenai jalan-
jalan mencari kekayaan. Dalam hal ini Islam tidak membenarkan bagi
umatnya untuk mencari kekayaan semau-mau mereka, tetapi Islam
menegaskan perbedaan antara mereka dalam mencari penghidupan melalui
jalan-jalan yang sah dan yang tidak sah. Prinsip ini diterangkan oleh Allah
dalam firman-Nya :
15 ?Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49 huruf i.
17
16
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu17; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Ayat ini telah menetapkan dua perkara sebagai syarat bagi
sahnya perdagangan. Pertama, hendaklah perdagangan itu
dilakukan dengan suka sama suka diantara kedua belah
pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak, tidak berdiri
di atas dasar kerugian pihak yang lain. Maksudnya adalah
bahwa tiap-tiap orang yang merugikan orang lain untuk
membela kepentingan pribadinya, maka seolah-olah ia
menumpahkan darahnya dan membukakan jalan kebinasaan
bagi dirinya akhir kesudahannya. Pencurian, penyuapan,
perjudian, jual beli secara gharar 18 , penipuan, pemalsuan,
membungakan uang dan lain-lain jalan mencari kekayaan,
apabila terdapat di dalamnya kedua sebab ini menjadikan dia
tidak sah. Dan jika hanya terdapat sebagian syarat , misalnya
16 ? Q.S. An-Nisa’ (4) : 29-30. 17 ?Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
18 ? Jual beli secara gharar, artinya jual beli yang membawa kebinasaan (resiko), seperti tidak diketahuinya ketentuan barang yang diperjual belikan, atau tidak diketahui harganya,banyaknya, temponya kalau di sana ada tempo, atau tidak diketahui kepastian adanya barang itu dan keselamatannya.
18
“suka sama suka”, diantara kedua belah pihak, maka ia masih
membutuhkan satu syarat lagi, yaitu sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.”
b. Larangan menumpuk / mengumpulkan harta.
Bahwa seyogyanya seseorang yang baik tidak mengumpulkan harta yang
didapatnya dengan jalan yang sah, karena yang demikian itu menghambat
perputaran kekayaan dan merusak keseimbangan dalam pembagiannya
dikalangan masyarakat ramai. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak
membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya ke dalam berbagai
penyakit moril saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan yang besar
terhadap masyarakat seluruhnya, dimana madharatnya dan keburukannya akan
kembali menimpa dirinya juga. Oleh karena itu Islam sangat mencela dan
memerangi sifat kebakhilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an:
19
Artinya :” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
19 ?Q.S. Ali Imran (5): 180.
19
c. Perintah untuk membelanjakan harta. Tetapi walaupun demikian Islam tidak
membenarkan umatnya membelanjakan hartanya dengan jalan boros, semata-
mata untuk memuaskan hawa nafsu. Akan tetapi didalam membelanjakan
harta tersebut haruslah didasari “fi sabilillah”. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :
20
Artinya : “…. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
21
Artinya : “ Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”
22 Artinya : “ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
d. Zakat.
Kewajiban zakat dimaksudkan agar supaya kekayaan tidak dibiarkan
terkumpul disalah satu tempat dalam masyarakat.20 ? Q.S. Al-Baqarah (2) : 219.21 ? Q.S. Al-Ma’arij (70) : 24-25.22 ? Q.S. Al-Baqarah (2) : 272.
20
e. Hukum Waris.
Yang dikehendaki dalam aturan ini adalah apabila seseorang meninggalkan
harta benda, maka harta bendanya tersebut dibagi-bagikan kepada sanak
kerabatnya yang terdekat, dan apabila tidak meninggalkan sanak kerabat
semua harta peninggalannya harus diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin,
supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat.
f. Pembagian rampasan perang.
Islam telah mengatur harta-harta yang diperoleh dari hasil rampasan perang,
secara lebih adil dan lebih bermanfaat bagi sesama pihak.
g. Perintah untuk berhemat dalam perbelanjaan.
Islam menghendaki, bahwa tidak seyogyanya seseorang membelanjakan
hartanya kecuali dalam batas-batas kemampuan ekonominya 23
Berangkat dari uraian di atas, dapat dimunculkan kerangka teori sebagai
berikut :“Bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat adalah erat-semata-mata karena fitrah keduanya. Antara keduanya
harus ada keselarasan dan keserasian, bukan persaingan dan pertarungan.”24
Sementara itu, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi/bisnis syari’ah pada
umumnya pihak penggugat menuntut ganti rugi dari pihak tergugat atas tidak
terpenuhinya “prestasi” yang telah disepakati bersama dalam suatu akad
perjanjian yang telah dibuat oleh mereka. Oleh karena itu disini perlu
dijelaskan beberapa teori ganti rugi (ta’wid, daman).
23 ?Abu A’la Al-Maududi, Dasar-Dasar Ekonomi Islam dan Berbagai System Masa Kini,alih bahasa Abdullah Suhaili, cet. Kedua (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984) hal . 13624 ?Ibid, hal. 13.
21
Berkaitan dengan hal tersebut definisi .daman mengandung makna-makna
sebagai berikut:
1. Objek wajib Odaman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban .daman
tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak
yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan
(mutadarrar) berhak mengadukan ke pengadilan untuk memaksa pihak
yang menyebabkan terjadinya kerugian (mutasabbib) agar memenuhi
kewajibannya. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau
keagamaan di mana Syari’ hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa
implikasi hukuman keduniaan atas pelenggaran itu. Hal ini termasuk
katagori khitab al-targib yang meliputi, dalam istilah kaum ushuli,
makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al-aqdu
(perjanjian). Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatau sifat yang
menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima hak atau
melakukan kewajiban.
2. Hak yang dibebankan kepada seseorang berdasarkan .daman berbeda
dengan kewajiban seseorang berdasarkan ‘uqubah baik pada karakter
maupun tujuannya. Wajib karena .daman disyariatkan untuk melindungi
hak-hak individu. Pada saat yang sama ‘uqubah disyariatkan karena
adanya unsur pelanggaran (al-ta’addi) terhadap hak-hak Allah SWT.
Wajib pada .daman disyariatkan untuk mengganti atau menutupi (al-ajru)
kerugian yang terjadi pada seseorang. Sementara ‘uqubah ditetapkan
22
untuk menghukum pelaku agar jera dan tidak melakukan perbuatan itu
kembali (al-zajru).
3. Sebab-sebab .daman adalah adanya unsur al-ta’adi , yaitu melakukan
perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan suatu kewajiban menurut
hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad
yang semestinya harus dipenuhi. Misalnya, tempat penitipan barang (al-
muda) tidak memelihara barang sebagaimana mestinya, seorang al-ajir
(buruh upahan, orang sewaan) dengan al-musta’jir (penyewa) sama-sama
meyalahi akad. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum
syari’ah (mukhalafatu ahkam syari’ah) seperti pada kasus perusakan
barang (al-itlaf), perampasan(al-gash), maupun kelalaian atau penyia-
nyiaan barang secara sengaja (al-ihmal).
4. Ta’addi yang mewajibkan .daman benar-benar menimbulkan ..darar
(kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada .daman,
karena secara fatual tidak ada .darar yang harus digantirugikan. Itulah
sebabnya jika seorang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain
tetapi tidak menimbulkan kerusakan, tidak diwajibkan untuk memberikan
.daman. Namun demikian, tedapat suatu perbuatan dengan sendirinya
mewajibkan .daman seperti al-gasbu (perampasan) . Menurut jumhur
ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat barang yang
dirampas walaupun tidak memanfaatkannya. Ini adalah bagian dari adanya
asumsi bahwa kerugian akan selalu ada pada kasus-kasus perampasan.
Damikian pula diduga kuat akan terjadi kerugian (.darar) bagi seseorang
23
yang dibatasi kebebasannya atau seseorang yang ditahan secara ilegal
menurut fuqaha’ Hanabilah. Hal ini mirip dengan Strict Liability dalam
hukum Inggris. Pengecualian ini memperkuat kaidah bahwa al-.darar
syarthum liwujubi .daman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan
ganti rugi).
5. Antara ta’addi (pelanggaran) dengan .darar (kerugian) harus memiliki
hubungan kausalitas. Artinya, .darar dapat dinisbatkan kepada pelaku
pelanggaran secara langsung. Jika .darar dinisbatkan kepada sebab-sebab
lain, bukan perbuatan pelaku pelanggaran (muta’addi) sendiri,
maka .daman tidak dapat diberlakukan , karena seseorang tiadak dapat
dibebani tanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain. Kaidah syariah
mengenai masalah ini adalah:
غيره بجريرة احد يؤاخذ ال ؛ اخر وزر وازرة .التزر
6. .darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadit Nabi:
laa .darara wa la .dirara (tidak boleh merugikan diri sendiri dan
merugikan orang lain). Tingkat .darar diukur berdasarkan ‘urf
(kebiasaan) yang berlaku. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul: yajibu
hamlu al-laf.zi ‘ala ma’nahu al-muhaddah fi as-syar’i in wujida, wa illa
wajaba hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan membawa kata
kepada maknanya yang definitif secara syara’ jika ditemukan, tetapi kalau
tidak ada harus dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf).
Karena Syari’ tidak menetapkan makna .darar , sehingga ukurannya, baik
kualitas maupun kuantitas, mengaju kepada ‘urf. Dengan demikian, .darar
24
yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa,
dan hak-hak yang berkaitan dengan keharta-bendaan jika selaras dengan
‘urf yang berlaku di tengah masyarakat.
7. Kualitas dan kuantitas .daman harus seimbang dengan .darar. Hal ini
sejalan dengan filosofi .daman, yaitu untuk mengganti dan menutupi
kerugian yang diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar jera.
Kendati demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau
hanya bersifat konvensional.25
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Oleh karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka ( Library Research),
maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki
adalah dengan jalan menggali/mengeksplorasi nilai-nilai maupun norma-
norma hukum Islam yang berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti,
baik yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-
kitab fiqh/ushul fiqh, peraturan perUndang-Undangan, fatwa Majelis Ulama
Indonesia maupun sumber-sumber lain yang berkaitan.
2. Jenis Penelitian
Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini lebih tepat
dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (Applied Research), yakni
25 ?Asmuni Mth, Teori Ganti Rugi (.daman) Perspektif Hukum Islam, diktat kuliah pada program Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Hal. 8.
25
jenis penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan
memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat
juga di sebut dengan operational research (penelitian operasi) atau action
research (penelitian kerja).26
3. Pendekatan
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang
telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan perUndang-Undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan
sekiranya dalam proses penulisan tesis ini muncul kasus tentang sengketa
ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama, maka tidak menutup
kemungkinan juga akan dipergunakan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan
praktis, pendekatan Undang-Undang ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara Undang-
Undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-
Undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk
memecahkan suatu isu yang dihadapi. 27
26 ?Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cet.1 (Yogyakrta: UII Press,2005) ,hal. 26 27 ? Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana,2005), hal. 93
26
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam
suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi.28
Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di
negara lain. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah
ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk
sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupuin
untuk kajian akademis, ractio decidendi atau reasonimg tersebut
merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu
hukum. Perlu dikekmukakan di sini bahwa pendekatan kasus tidak sama
dengan studi kasus (case study). Didalam pendekatan kasus (case
approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.
28 ?Ibid, hal. 95
27
Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagi
aspek hukum, …29
4. Metode Analisis Data
Lebih lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan
metode induktif, yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun
norma-norma hukum yang terdapat dalam pustaka yang terkait untuk
dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum tertentu yang bisa diberlakukan
untuk menyelesaikan kasus sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan
Agama.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan tesis ini
disusun berdasaarkan sisitematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan; dalam bab ini dibahas tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan
kerangka teori serta metode penelitian dan sisitematika pembahasan.
BAB II : Tinjauan Umum tantang Ekonomi Syariah; dalam bab ini
dibahas tentang konsep dan sistem ekonomi syari’ah, macam-macam aktivitas
ekonomi syari’ah, sumber-sumber hukum ekonomi syari’ah dan ragam
konflik ekonomi syari’ah, bab ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan
hal-hal apa saja yang rawan terjadinya konflik atau sengketa dalam aktivitas
perekonomian yang berbasis syari'ah, serta prinsip-prinsip ekonomi syari’ah.
29 ?Ibid, hal. 94
28
BAB III : Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah; dalam bab ini
dibahas tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dengan jalan
musyawarah, melalui badan arbitrase dan penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah melalui Badan Peradilan Agama. Dalam bab ini dimaksudkan untuk
menjelaskan dan menjawab persoalan bagaimana mestinya sengketa dibidang
perekonomian syari'ah tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai
yang Islami yang menjunjung tinggi rasa keadilan serta Pengadilan Agama
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa dimaksud .
BAB IV : Analisis Data; Dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis
data yang diperoleh sepanjang penelusuran pustaka yang relevan mapun dari
hasil wawancara dengan praktisi hukum yang berkompeten dalam
penyelesaian perkara sengketa ekonom syari'ah.
BAB V : Penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun
hasil analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI SYARI'AH
A. Konsep dan Sistem Ekonomi Syari'ah.
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu,
negara-negara muslim sangat membutuhkan suatu sistem yang lebih baik
yang mampu memberikan semua elemen berperan dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati. Sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Qur’an :
29
.30
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu31, Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya 32dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “.
Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada
ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah berisi tentang nilai
persaudaraan, rasa cinta, penghargaan kepada waktu, dan
kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara
lain :
1.Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan
masyarakat.
2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan
berdasarkan potensi masing-masing.
3.Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat
terutama dalam pemenuhan kebutuihan pokok manusia .
4.Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil
orang yang memiliki kekuasaan lebih.
5. Melarang praktek penimbunan barang sehingga
mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
30 ? Q.S. Al-Anfal (8) : 24. 31 ?Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. juga berarti menyeru kamu kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
32 ? Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia
30
6. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).33
B.Macam-Macam Aktivitas Ekonomi Syari’ah
Aktivitas ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan banyak
sebanyak aktivitas kehidupan manusia didalam memperoleh kesejahteraan
kehidupan di dunia ini, sebab menusia memang diperintahkan untuk
memenuhi kesejahteraannya di dunia ini tanpa melupakan kebahagiannya di
akhirat kelak. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-
Qoshosh ayat 77 :
Artinya :” Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi
syari’ah yang sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang
tercantum didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk itu berikut ini akan diuraiakan beberapa aktivitas ekonomi syari’ah
yang berkembang di Indonesia , diantaranya :
1. Bank Syari’ah33 ? Gita Danupranata, Ekonomi Islam, cetakan pertama (Yogyakarta : UPFE-UMY,2006) hal 26-27.
31
a.Pengertian
Bank Islam atau bank syari’ah secara teknis mempunyai persamaan
pengertian. Para Pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi.
Menurut Karnaen A. Perwaatmadja, bank syari’ah adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata
cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah
satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-
praktik yang mengandung unsur riba.34
Sedangkan Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti
bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah
secara Islami, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan
hadits. Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau
berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada zaman
Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak
dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad
para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari
ketentuan Al-Qur’an dan hadits.35
Senada dengan pengertian di atas, Amin Azis juga berpendapat bahwa
bank Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan
operasi berdasarkan syariah Islam. Hal ini berarti, operasional bank syari
’ah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun hadits, yaitu
34 ?Karnaen A. Perwaatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, dalam Sofiniyah Ghufron (Penyunting) Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, cet. 1, (Jakarta : Renaisan, 2005), hal.18. 35 ? Ibid, hal.19.
32
menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya sesuai dengan
syari’ah Islam.36
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang
berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada
masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan usahanya
berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan secara
eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu
yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan
kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat,
shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang
memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan
ekonomi.37
Sedangkan dilihat dari sisi ahlak, Al-Qu’an juga menyebutkan sebuah
konsep yang secara eksplisit disebutkan dalam bentuk kisah maupun
perintah. Konsep accountability merupakan contoh kongkrit yang tertera
dalam beberapa ayat, misalnya QS al-Baqarah(2):282-283,
36 ? Ibid.37 ?Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, dalam Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Ibid, hal. 20.
33
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah38 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
38 ? Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
34
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang 39
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Surat Al-Baqarah: 282-283)
Konsep trust (amanah) dalam QS al-Baqarah (2): 283, dan masih
banyak ayat lain yang berkaitan dengan konsep keadilan, amar ma’ruf
nahi mungkar, menegakkan kebenaran, dan berlaku sabar dalam rangka
menjaga stabilitas lembaga tersebut.40
b.Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syari’ah
Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah
semestinya diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini
praktek perbankan Islam, lima prinsip sebagai berikut :
1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);
2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat;
3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem
nilai Islam (haram);
39 ?barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
40 ? Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005) hal.20.
35
4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir (judi) dan
gharar (ketidakpastian);
5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam).41
2. Reksadana Syari’ah
a. Memahami Reksadana Syari’ah
Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor8 Tahun 1995, Pasal 1
ayat 27, Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang telah
mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai
macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen
pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen di atas.
Dengan demikian, sebuah reksadana merupakan hubungan trilateral
karena melibatkan beberapa pihak yang terikat sebuah kontrak atau trust
deed secara legal. Mereka adalah pemilik modal, manajer investasi, dan
bank kustodian.
Manajer investasi biasanya berbentuk perusahaan yang kegiatan
usahanya mengelola portofolio efek. Perusahaan pengelola disebut
dengan fund management company. Di samping sebagai pengelola
investasi, fund management company juga menangani masalah-masalah
yang berhubungan dengan pemasaran dan adaministrasi dana. Portofolio
41 ? Latifa M. Algaud dan Mervyn K. Lewis, Islamic Banking, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dengan judul Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek, Pospek, cet.II (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 48.
36
efek adalah kumpulan (kombinasi) sekuritas, atau surat berharga atau
efek, atau instrumen yang dikelola.
Reksadana Syari’ah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini
memiliki pengertian yang sama dengan reksadana konvensional, hanya
saja cara pengelolaan dan kebijakan investasinya harus berdasarkan
pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun
dari segi pembagian keuntungan.
Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaris yang
membantu surplus unit melakukan penempatan dan untuk
diinvestasikan. Salah satu tujuan dari Reksadana Syari’ah adalah
memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh
pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat
dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-
prinsip syari’ah.
Dengan demikian, Reksadana Syari’ah adalah suatu wadah yang -
digunakan oleh masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, di mana
pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syri’at Islam.
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang
ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif
kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksadana
memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena
dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan
perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi
37
lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa
keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan
material.
Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial
Responsible Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware
Investment, dan Value-based investment. Tujuan utama Reksadana
Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga memiliki
tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-
nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.
Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan
dananya pada bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam,
misalnya saham-saham atau obligasi-obligasi dari perusahaan yang
pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam; pabrik
makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok,
tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta
bisnis hiburan yang berbau maksiat.42
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-
MUI/IV/2001, Reksadana Syari’ah adalah :
“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”
b. Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
42 ? Sofiani Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Investasi Halal di Reksa Dana Syari’ah, cet.1 (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 16.
38
Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :
1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan
kegiatan Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan
syariah Islam.
2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem
mudharabah, di mana satu pihak menyediakan 100% modal
(investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai pengelola (manajer
investasi).
3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan
reksadana syari’ah adalah terletak tada proses screening dalam
mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah adalah
mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti
riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain
sebagainya. Di samping itu, proses filterisasi juga dilakukan dengan
cara membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh dari kegiatan
haram dan membersihkannya dengan cara charity.
Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan, yaitu:
39
1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi
ini bertanggungjawab atas kegiatan investasi, yang meliputi
analisa dan pemilihan jenis investasi, mengambil keputusan-
keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan melakukan
tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,.
Manajer investasi (perusahaan pengelola) dapat berupa:
a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri
atau PT yang khusus menangani reksa dana.
b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan
manajemen investasi (PMI) atau investment manajemen
company.
2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang
bertindak sebagai penyimpan kekayaan (safe keeper) serta
administrator reksadana. Dana yang terkumpul dari sekian banyak
investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer investasi
maupun bank kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan
atas nama reksadana dari bank kustodian. Baik manajer investasi
maupun bank kustodian yang akan melakukan kegiatan ini terlabih
dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.
3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun
di pasar uang (bank) dan pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.
c. Jenis dan Instrumen Investasi
40
Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai
dengan syari’ah Islam, yaitu :
1).Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan
pembagian deviden didasarkan atas tingkat laba usaha.
2).Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syari’ah.
3) Surat hutang jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan
prinsip syari’ah. 43
Berikut ini adalah kaidah-kaidah syari’ah yang telah dipenuhi dalam
instrumen saham :
1). Kaidah syar’iah untuk saham :
a). Bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara terbatas;
b). Bersifat mudharabah jika saham ditawarkan secara terbatas.
c).Tidak boleh ada perbedaan jenis saham karena resiko harus
ditanggung oleh semua pihak.
d).Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan
dibagi rugi bila perusahaan dilikuidasi.
e). Investasi pada saham tidak dapat dicairkan kecuali setelah likuidasi.
2). Kaidah syari’ah untuk emiten :
a). Produk/jasa yang dihasilkan dikategorikan halal. Dalam hal ini, JII
(Jakarta Islamic Index) telah melakukan penyaringan terhadap
saham yang listing. Berdasarkan fatwa DSN, BEJ memilih emiten
yang unit usahanya sesuai dengan syari’ah.
43 ? Ibid, hal.32.
41
b). Hasil usaha tidak mengandung unsur riba dan tidak bersifat zalim.
c). Tidak menempatkan investor dalam kondisi gharar atau maysir.
_ Memberi informasi yang transparan
_ Resiko usaha yang wajar dan memenuhi ketentuan.
_ Manajemen Islami
_ Menghormati HAM
_ Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3). Kaidah syariah untuk pasar perdana :
a). Semua akad harus berbasis pada transaksi yang riil (dengan
penyerahan) atas produk dan jasa yang halal dan bermanfaat.
b). Tidak boleh menertibkan efek hutang untuk membayar kembali
hutang.
c). Dana hasil penjualan efek yang diterbitkan akan dietrima oleh
perusahaan.
d). Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan
manfaat yang diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana
hasil penjualan efek dan tidak boleh semata-mata merupakan fungsi
dari waktu..
4). Kaidah syariah untuk pasar sekunder :
a). Semua efek harus berbasis pada transaksi riil (dengan penyerahan)
atas produk dan jasa yang halal.
b). Tidak boleh membeli efek hutang dengan dana dari hutang atau
menerbitkan surat hutang.
42
c). Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indek.
d). Tidak boleh memperjual belikan hasil yang diperoleh dari suatu efek
(misalnya kupon, dividen) walaupun efeknya sendiri dapat
diperjualbelikan.
e). Tidak boleh melakukan transaksi murabahah dengan menjadikan objek
transaksi sebagai jaminan.
f). Transaksi tidak menyesatkan, seperti penawaran palsu dan cornering
Salah satu faktor utama yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil
dalam harga saham adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral
saham dengan harga marjinal. Para spekulan mencari keuntungan perbedaan
harga dalam transaksi jangka pendek.
Spekulan berbeda kontras dengan investor. Tujuan investor yang sungguh-
sungguh adalah mencari jalan keluar dari tabungan saham yang mereka miliki
jika mereka benar-benar mau menjual di kemudian hari. Investor yang
sesungguhnya tidak tertarik pada transaksi berjangka pendek dan tujuan
mereka, setidaknya saat pembelian, adalah memegang saham dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, ada tiga hal yang mencirikan suatu inventasi di pasar
modal yaitu ;
a). Mengambil saham yang telah dibeli,
b) Melakukan pembayaran penuh,
c) Keinginan pada saat membeli untuk memegang saham dalam jangka waktu
yang tidak tertentu.44
44 ? Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Sistem Keuangan dan Investasi Syari’ah, cet.I,(Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 33-36.
43
3. Gadai Syari’ah
a. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan
oleh para ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini,
namun secara syarat syah dan rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai
berikut:
Rukun Gadai :
1). Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang
yang menerima gadai (murtahin).
3). Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Hutang (Marhun bih)
Syarat Sah Gadai :
1). Shigat
Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan
masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang
waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin
dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung
kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar
akad itu disaksikan oleh dua orang.
44
2). Orang yang berakad. Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam
melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu
melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang
mumayyis dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang
baik dan yang buruk.
3). Marhun bih
a). Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
b).Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat
dimanfaatkan, maka tidak syah.
c). Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4). Marhun
a). Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
marhun bih.
b). Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c). Harus jelas dan spesifik.
d). Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.
e). Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
b. Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
(a).Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang
45
gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun
bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
(b).Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
(c).Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan
barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
(a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya
barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
(b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan sendiri.
(c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum
diadakan pelelangan barang gadai.
c. Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1). Hak pemberi gadai adalah:
(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia
melunasi pinjaman.
(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan
hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima
gadai.
(c). Pembari gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
46
(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima
gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
2). Kewajiban pembari gadai:
(a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam
tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan
oleh penerima gadai.
(b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya,
apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak
dapat melunasi pinjamannya.
d. Akad Perjanjian Transaksi Gadai
Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi
gadai) dan murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan tiga akad
perjanjian, antara lain:
1). Akad Qard al-Hasan
Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan
barangnya untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan
biaya berupa upah / fee kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah
menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).
Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut
biaya kecuali biaya administrasi. Namun demikian, ketentuan untuk biaya
administrasi pada pinjaman dengan cara:
Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.
47
Sifatnya harus jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada
hal-hal yang mutlak diperlukan dalam kontrak.
Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:
(a). Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan,
kecuali dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja,
seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.
(b). Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat sosial. Tetap
diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi
yang biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima
gadai.
.
2). Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang
menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau
pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini, nasabah (rahin)
akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat
nasabah kepada pegadaian (marhum) sesuai dengan kesepakatan, sampai
modal yang dipinjam dilunasi.
Jika barang gadai (marhun) dapat dimanfaatkan, maka dapat
diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang gadai, dengan
jenis akad yang dapat disesuaikan dengan jenis barangnya. Jika pemilik
barang gadai tidak berniat memanfaatkan barang gadai tersebut, penerima
48
gadai dapat mengelola dan mengambil manfaat dari barang itu. Akan
tetapi hasilnya harus diserahkan kepada pemilik barang gadai sebagian.
Ketentuan akad mudharabah:
.(a). Jenis barang gadai dalam akad ini adalah semua jenis barang asal bisa
dimanfaatkan, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak. Seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, tanah,
rumah, bangunan dan lain sebagainya.
(b). Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah
keuntungan setelah dikurangi biaya pengelolaan. Adapun ketentuan
persentase nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara kedua
belah pihak.
3). Akad Ba’i Muqayyadah
Akad Ba’i Muqayyadah adalah akad yang dilakukan apabila nasabah
(rahin) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti
pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman,
nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-
barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin.
Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas
barang yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin
(pihak pegadaian) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh
nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil
keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan
kesepakatan antara keduanya.
49
4). Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat
untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat. Dalam kontrak ini ada kebolehan untuk
menggunakan manfaat atau jasa dengan ganti berupa kompensasi.
Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan
tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang
titipan dapat berupa barang yang menghasilkan manfaat maupun tidak
menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajjir
(pegadaian), sementara nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu
yang diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas
jasa disebut ajron atau ujrah.45
4. Asuransi Syari’ah
a. Pengertian Asuransi Syari’ah
Sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu, dalam konsep
agama Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan
manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya
(hablum minal alam) di sisi lainnya. Hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah
bersifat limitatif (ta’abudi) artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk
45 ?Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syari’ah, cet. I (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 31.
50
mengembangkannya. Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya adalah
bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-qur’an hanya memberikan
aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi
mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha
perasuransian, digolongkan di dalam hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum
muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.46
Pengertian kehidupan ekonomi dalam konteks perusahaan asuransi
menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi
konvensional maupun asuransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu
perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural
antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima
pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering
diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip
operasionalnya didasarkan pada syarat Islam dengan mengacu kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah.47
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam
terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa
46 ?Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia , cetakan ke-4 (Jakarta : Kencana, 2007),hal. 135. 47 ?H.A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 120.
51
arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada
dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna
pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang
paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling
banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah
tafakul. Istilah tafakul ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Islami ,
sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun
1983.48
Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-
takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau
menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an namun
demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti
misalnya dalam QS. Thaha (20) : 40 :
Artinya :"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan
memeliharanya?"
Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan
muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu
saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu
dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan
demikian, gagasan mengenai asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling
menanggung resiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang
satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung
resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan
48 ? Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum...., hal. 136.
52
dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk
menanggung resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak
sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal
inilah salah satu yang membedakan antara asuransi tafakul dengan asuransi
konvensional, di mana dalam asuransi konvensional terjadi saling
menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.
b. Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Prinsip utama dalam asuransi syari’ah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa
al-taqwa (tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa)
dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta
asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya
saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang
dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling menanggung),
bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh
asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang
pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau
asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1). Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful
memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong
peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas,
karena memikul tanggung jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.
53
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap
muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling
menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan
kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam
mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah
SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang
kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata
tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2). Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta
asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan
saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena
sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-
Maidah ayat 2 :
Artinya :”... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah
SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang
kewajiban hidap bersama dan saling menolong di antara sesama unat
manusia.
54
3). Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para
peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah
yang di deritanya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Quraisy (106)
ayat 4:
Artinya :”Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT tentang
kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi
takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang
telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba.
Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yaitu:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.49
Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi
dapat terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.
1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk:
a. Bentuk akad syari’ah yang melandasi penutupan polis. Secara
konvensional, kontrak dan perjanjian dalam asuransi jiwa dapat
49 ? Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful dalam Arbitrase Islam di Indonesia (Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat indonesia,1994), hal. 148.
55
dikatagorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara
harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan
berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena
kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan),
tetapi tiadak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh
premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan
meninggal. Dalam konsep syari’ah keadaan ini akan lain karena akad
yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong menolong dan saling
menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan
penjamin satu sama lainnya.
b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang
klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak
mengetahui dari dana pertanggungan ysng diberikan perusahaan
asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang
akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi
sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan
satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang harus di
niatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain.
Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana
tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang di berikan
oleh para peserta.
56
2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di
pihak lain justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi
konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak
mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak
mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan,
keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota
(jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim
yang jauh lebih besar.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau
musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan
premi yang disetor kecuali dana yang di masukkan ke dalam dana tabarru’.
3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional
melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang
terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang
terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah
dan musyarakah.50
4.Baitul Mal Wa at-Tamwil (BMT)
a. Pengertian
Baitul Maal Wat at Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri
Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang di oprasikan dengan
prinsip bagai hasil, menumbuh-kembangkan bisnis usaha mikro dalam
rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan
50 ? Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum ....,hal. 150.
57
kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem
ekonomi yang salam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian,
dan kesejahteraan.
b. Asas dan prinsip dasar
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salam, yaitu
penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Prinsip Dasar BMT, adalah :
1). Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu
‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai
salam: keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan
2). Barokah, artinya berdayaguna, berhasil guna, adanya penguatan
jaringan, transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab
sepenuhnya kepada masyarakat.
3). Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
4). Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
5). Keadilan sosial dan kesetaran jender, non-diskriminatif.
6). Ramah lingkungan.
7). Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta
keanekaragaman budaya.
8). Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan
kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
c. Sifat, peran dan fungsi
58
BMT bersifat terbuka, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan
tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif
bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha
mikro dan fakir miskin.
Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai berikut:
1). Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
2). Ujung tombak pelaksanaan sitem ekonomi syari’ah.
3). Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
4).Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang berkah,
ahsanu ‘amala, dan salam melalui spiritual communication dan dzikir
qalbiyah ilahiah.
Fungsi BMT di masyarakat adalah untuk:
1). Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi
lebih profesional, salam (selamat, damai dan sejahtera), dan amanah
sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha
(beribadah) menghadapi tantangan hidup.
2). Mengorganir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh
masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar
organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
3). Mengembangkan kesempatan kerja.
4). Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk
anggota.
59
5). Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan
sosial masyarakat banyak.
d. Pendiri BMT
BMT dapat didirikan oleh :
1). Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
2. Satu pendiri dengan yang lainnya tidak memiliki hubungan keluarga
vertikal dan horisontal satu kali.
3). Sekurang-kurangnya 70% anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar
daerah kerja BMT.
4). Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh
rapat para pendiri.
e.Permodalan BMT
Modal BMT, terdiri dari:
1). Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua
anggota.
2) Simpanan Pokok Khusus (SPK) , yaitu simpanan pokok yang khusus
diperuntukkan untuk mendapatkan sejumlah modal awal sehingga
memungkinkan BMT melakukan persiapan-persiapan pendirian dan
memulai operasinya. Jumlahnya dapat berbeda antar anggota pendiri.
Pada pendirian BMT, para pendiri dapat bersepakat agar dalam waktu 4
(empat) bulan sejak disepakati dapat berkumpul uang sejumlah:
(a). Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK.
(b). Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi.
60
(c). Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten / kota.
(d). Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan
(e). Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan.
f.Status BMT
Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut:
1). Pada awal pendiriannya hingga mencapai aset lebih kecil dari Rp 100 juta
BMT adalah Kelompok Swadaya masyarakat yang berhak meminta
/mendapakan Sertifikat Kemitran dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil).
2). Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT
diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris
setempat, antara lain dapat berbentuk:
a). Koperasi Syari’ah (KOPSYAH).
b).Unit Usaha Otonomi Syari’ah dari KSP (koperasi Simpan Pinjam), KSU
(Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren
(Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi
otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.
g.Anggota BMT
Anggota BMT, terdiri dari :
1). Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok,
simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4% dari
jumlah modal awal BMT yang direncanakan.
61
2). Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan
simpanan wajib.
3). Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum
melunasi simpanan wajib.
4). Anggota kehormatan, Yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk
ikut serta memajukan BMT baik moral amupun materiil tetapi tidak bisa
ikut serta secara penuh sebagai anggota BMT.
h. Cara Kerja BMT
Cara kerja BMT adalah sebagai berikukt:
1). Pendamping atau beberapa pemrakarsa yang mengetahui tentang BMT,
menyampaikan dan menjelaskan ide atau gagasan ini kepada rekan-
rekannya sebagai upaya untuk menarik beberapa orang sebagai pemrakarsa
awal hingga mencapai lebih dari 20 (dua puluh) orang.
2). Dua puluh orang atau lebih tersebut kemudian menyepakati pendirian BMT
di desa, kecamatan, pasar, atau masjid dan bersepakat mengumpulkan
modal awal pendirian BMT.
3). Modal awal kemudian ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak
harus sama jumlahnya antara pemrakarsa, hingga mencapai jumlah yang
telah ditentukan untuk pendirian sebuah BMT.
4). Pemrakarsa membuat rapat untuk memilih pengurus BMT.
5). Pengurus BMT kemudian merapatkan dan merekrut pengelola / manajeman
BMT dari lingkungan tersebut yang memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh,
62
fatonah dan benar-benar menguasai visi, misi, tujuan, dan usaha-usaha
BMT, serta memiliki keinginan keras dan dengan sepenuh hati untuk
mengembangkan BMT.
6). Pengurus BMT menghubungi PINBUK setempat untuk memberikan
pelatihan kepada calon pengelola / manajemen BMT tersebut (umumnya 2
minggu pelatihan dan magang).
7). Pengelola yang telah diberi pelatihan kemudian membuka kantor dan
menjalankan BMT, dengan giat menggalakkan simpanan masyarakat dan
memberikan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil di sekitarnya.
8). Pembiayaan pada usaha mikro dilakukan dengan menerapkan sistem bagi
hasil yang disampaikan sesuai dengan akad yang telah disepakati.
9). Hasil bagi hasil ini kemudian digunakan oleh para pengelola untuk
membayar honor para pengelola dan membayar kegiatan operasional BMT.
10).Hasil bagi hasil juga digunakan untuk membayar bagi hasil kepada
penyimpan dana, diupayakan agar nilai bagi hasil yang diperoleh para
penyimpan dana busa kebih besar dari bunga konvensional.51
C. Sumber-Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah
Ajaran Islam memberikan jalan tengah yang adil untuk berbagai pasangan ,
antara dunia dan akhirat, antara rasio dan hati, antara rasio dan norma, antara
idialisme dan fakta, antara individu dan masyarakat, dan lain sebagainya.
Ajaran Islam mengacu pada berbagai sumber yang telah ditetapkan
51 ?Buku Saku Lembaga Bisnis Syari’ah (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, 2006),hal. 28.
63
Al-Qur’an adalah sumber utama pengetahuan sekaligus sumber hukum
yang memberi inspirasi pengaturan segala aspek kehidupan.
Artinya: “Kitab (Al Quran)52 Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.53
Artinya : “ (Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. 54
Dengan menggunakan Al-Qur’an berarti manusia menjalani
hidup dengan mengacu pada buku pedoman dari yang
menciptakan manusia karena yang paling tahu tentang
manusia .
Sunnah Rasul, berarti, kebiasaan yang merujuk pada
perintah (fi’il), ucapan (qaul), dan ketetapan (taqrirat) dari
Rasulullah Muhammad SAW. Sunnah Rasul merupakan
sumber hukum yang berisi banyak tentang penjelas yang
disampaikan dalam Al-Qur’an disamping pedoman hidup
manusia yang belum diatur dalam Al-Qur’an.
Ijma’ adalah konsensus opini dari sahabat dan atau ahli
hukum Islam (fuqoha’, mufti) atas masalah tertentu yang
tidak secara eksplisit dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Salah
52 ? Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.53 ? takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. ( Q.S.Al-Baqarah (2) :2)54 ? Q.S.Ali Imran (3): 138
64
satu contoh adalah ijma’ tentang keabsahan kontrak jual beli
komoditi yang belum diproduksi (aqad Al-Istisna).
Ijtihad, adalah penggunaan alasan logika rasional dalam
melakukan interpretasi atas teks Al-Qur’an dan Hadits. Dalam
Al-Qur’an disebutkan tentang kedudukan dan fungsi akal
sebagai berikut :
Artinya :” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”55
Dengan terbukanya kembali pintu ijtihad maka akan
semakin meningkatkan keeratan Ilmu Ekonomi Islam dengan
fiqh, karena disebabkan adanya ilmu ekonomi konvensional
yang banyak dianut negara-negara muslim dan kekuatan
fiqh. Analisis ekonomi akan memberikan berbagai cara
menyelesaikan permasalahan yang selalu berkembang,
sementara fiqh akan merespon dengan ikut memberikan
solusi yang merekomendasikan perkembangan zaman.
Apabila ini dapat terbentuk akan mendorong interaksi antara
55 Q.S. Ali Imran (3) :190-191
65
para ekonom dengan fuqaha yang selanjutnya akan
memberikan pemahaman pada masing-masing untuk dapat
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul saat ini.
Pada tahapan yang lebih jauh akan terwujud yang sering
disebut saintifikasi ilmu agama dan Islamisasi ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi.
D. Ragam Konflik Aktivitas Ekonomi Syari’ah
Walaupun dalam kontrak atau akad bisnis syari’ah telah
diatur sedemikian rupa guna menjamin terpenuhinya rasa
keadilan bagi semua pihak yang terkait, namun dalam
perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal
yang tidak memuaskan bagi sebagian pihak yang lain. Hal ini
dikarenakan salah satu pihak atau sebagian pihak yang lain
telah melakukan ingkar janji atau wan prestasi terhadap
perjanjian atau kontrak yang telah dibuatnya sehingga pihak
yang lain merasa dirugikan hak-haknya.
Berdasarkan informasi dari hasil penelitian di Pengadilan
Agama Purbalingga baik melalui wawancara dengan Ketua
Pengadilan Agama maupun dari penelusuran putusan atas
perkara sengketa ekonomi syari:ah dapat dinformasikan
bahwa ragam konflik yang terjadi dalam aktivitas ekonomi
syari:ah adalah berpangkal dari adanya perbuatan ingkar
66
janji atau wan prestasi dari pihak-pihak yang terkait,
sehingga akibatnya pihak yang lainnya akan merasa
dirugikan hak-haknya akibat dari perbuatan ingkar janji
tersebut .
Ragam dari perbuatan ingkar janji atau wan prestasi
tersebut bisa berupa kridit macet, penyalahgunaan dana
pembiayaan, seperti dalam akad disebutkan pembiayaan
untuk usaha perdagangan, tetapi pada kenyataannya
dipergunakan untuk membiayai konser musik dangdut, dan
lain-lain.56
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sengketa ekonomi syari’ah itu ?
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”dan
“dispute”yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan.
Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”,
sedangkan kosa kata dispute”dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa.”
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan 56 ?Wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Purbalingga, hari Rabu, tanggal 9 Januari 2008.
67
pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa
apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau
keprihatiannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah
sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas
atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai
penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 57
Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan
berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan
“pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau
tidak terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka.
Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik,
maka sengketa tidak akan terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak
dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka
sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengkata dapat dilakukan melalui beberapa
cara, yakni melalui badan Peradilan (Litigasi) dan di luar badan Peradilan (Non
Litigasi).
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan
manusia itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh
Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu ke dalam bermacam-macam
konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya
sendiri. Namun, karena kodrat manusia juga,maka manusia selalu berusaha
mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi
57 ? Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, (Jakarta : Indonesian Center for Environmental Law, 1997)hal.1.
68
keseimbangan dan agar tetap dapat berusaha hidup. Sejarah menunjukkan bahwa
peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya,
kebutuhannya, serta nilai-nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula
konflik dan cara-cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan
perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas
manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia
dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu
lain dari kelompok yang berbeda, akan ditransformasi manjadi konflik kelompok
dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia
yang berkembang semakin komplek membawa serta perubahan posisi manusia
dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi individu-
individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak dapat
begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara
penyelesaiannya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut
mengalami perkembangan.58
Pada saat kepentingan manusia masih bertumpu pada kekuasaan atau kekuatan
fisik, nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu menang atau kalah, jaya
atau hancur, tanpa kompromi. Setelah kekuasaan atau kekuatan fisik itu mulai
ditransformasiakan ka dalam hukum, nilai menang atau kalah masih kuat melekat
pada tujuan menyelesaikan konflik tersebut, meskipun cara penyelesaiannya tidak
lagi mengandalkan pada kekuatan atau kekuasaan fisik, tetapi dengan mengadu
pembuktian di depan hukum. Ekses perkembangan hukum yang semakin
58 ? Roedjiono, Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Se-Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, 1996) hal. 1-2.
69
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dimiliki oleh seseorang dari
perbuatan orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru pasca Perang
Dunia 11, semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable business
relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara
penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau
kalah, jaya atau hancur sama sekali.59
Penyelesain sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses
penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan,
kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama
(kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang
bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama,
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan
di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat “ win-win solution” , dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena
hal proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif
dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-
negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses
nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil
keputusannya pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
59 ? Ibid.
70
Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution (ADR) ini
merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian
sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara-
cara yang “informal procedure and be put in motion quickly” . Sejak tahun 1980,
di berbagai negara Alternative Dispute Resolution (ADR) ini dikembangkan
sebagai jalan terobosan alternatif atas kelemahan penyelesaian litigasi dan
arbitrase, mengakibatkan terkuras sumberdaya, dana, waktu dan pikiran dan
tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha ke arah kehancuran.60 Atas
dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar
proses litigasi.61
Sengketa berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau
lebih yang saling terkait. Baik antara pihak Bank dengan Nasabah atau antara
mudharib dengan baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini
dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya
oleh pihak-pihak yang terkait. Sungguh pun aktivitas ekonomi syari’ah telah
dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam
proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang dimaksudkan dengan sengketa dalam
bidang ekonomi syari’ah adalah sengketa didalam pemenuhan hak dan kewajiban
bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas ekonomi syari’ah.
60 ? M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 280-281. 61 ? Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 4.
71
Menurut Hakim Agung Habiburrahman, sengketa di bidang ekonomi
syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi :
1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara sesama lembaga keuangan
dan lembaga pembiayaan syariah;
3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama
Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa
perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip
syari’ah.
Oleh karena itulah dalam hal ini diperlukan suatu konsep penyelesaian sengketa
yang menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Uraian berikut
ini dicoba untuk memaparkan beberapa alternatif penyelesaian sengketa dalam
bidang perekonomian syari’ah.
A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Musyawarah
Jalan musyawarah adalah merupakan jalan yang paling aman, tanpa resiko
didalam menyelesaian setiap persoalan kehidupan. Tak terkecuali dalam
persoalan sengketa ekonomi syari'ah. Walau pun akad atau kontrak bisnis
telah dibuat atau dirumuskan sedemikian rupa, lengkap, cermat dan sempurna,
namun dalam perjalanannya sering mengalami kendala-kendala maupun
hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi salah
satu atau bahkan kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut. Kendala-
72
kendala yang muncul tersebut tidak jarang meruncing menjadi sebuah
sengketa antar pihak-pihak yang bersangkutan. Setiap sengketa atau konflik
selalu meminta penyelesaian. Dan penyelesaian sengketa dengan jalan
musyawarah merupakan jalan yang terbaik dan pasti menguntungkan bagi
semua pihak, sehingga boleh dikatakan jalan musyawarah merupakan
"mahkota" bagi setiap penyelesaian sengketa.
Konsep shulh (perdamaian) merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam
di bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah
merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan masyarakat manapun,
karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka,
melainkan berupa fitrah dari manusia.62
Musyawarah atau perdamaian selalu menjadi target pertama dan utama
dalam setiap menyelesaikan sengketa. Hal ini telah lama diatur baik dalam
kitab suci Al-Qur'an maupun peraturan perundangan yang berlaku.
Kitab suci Al-Qur'an telah mengisyaratkan supaya menempuh jalan
musyawarah untuk menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Sebagaimana
teruraikan dalam beberapa ayat berikut ini :
Artinya: “ Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
62 ? Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah,… Hal. 60.
73
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Q.S. Al-Hujurat ayat :9-10)
Artinya : “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.(Q.S.Asy-Syuraa ayat: 38)
Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat difahami, bahwa penyelesaian
sengketa melalui jalan musyawarah dan perdamaian adalah merupakan cara-
cara yang terbaik yang dikehendaki oleh Allah SWT. Karena cara-cara/jalan
tersebut lebih mendatangkan manfaat dan ketenangan bagi pihak-phak yang
bersengketa (win-win solution). Bahkan Kholifah Umar ibn Khottob telah
memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan :
lحn nنt جـائزpالصlل tي لمينt ب nسlلمn اآحــلt ا wصلحt وn حtرامـا االtt مt آ pـرtح w ttال حtـال
Artinya : Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali
perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.63
Penyelesaian sengketa dengan melalui jalan musyawarah dan perdamaian ini
dalam dunia hukum positif sering disebut dengan istilah “mediasi”.
Trend dunia masa kini adalah "effective judiciary" atau badan peradilan yang
63 ?Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,diindonesiakan oleh Drs. Mudzakir AS dengan judul Fikih Sunnah, Jilid X IV,(Bandung: Alma’arif,1993), hal.36.
74
efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif.
Hanya sengketa perdata yang benar-benar memerlukan suatu putusan
pengadilan saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya
diupayakan perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa
tertentu tersebut.
Sebagai perbandingan dapat kita lihat bahwa di Singapura lebih dari 90%
perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama dapat
diselesaikan melalui perdamaian, begitupula di Filipina sekitar 75% dan di
Jepang lebih kurang 33%.64
Selain Pengadilan, lembaga-lembaga seperti Bar Association di Jepang
ataupun Advokat. Tokoh masyarakat dapat juga mengupayakan perdamaian
(Alternative Dispute Resolution).
Bagaimana keadaannya di Indonesia?
Berbeda dengan hukum acara perdata di negara-negara lain, HIR/R.Bg
yang merupakan hukum acara perdata di Pengadilan Negeri mewajibkan
Hakim pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang
berperkara, untuk mendamaikannya (Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154 R.Bg).
Jika perdamaian tercapai, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang
diajukan ke sidang Pengadilan, di mana para pihak yang wajib
mentaati/memenuhi perjanjian tersebut yang berkekuatan sebagai putusan
Hakim yang tidak dapat dimintakan banding, maka sesuai dengan pasal 43
ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah
64 ? Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 di Batam.
75
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juga tidak dapat
dimintakan kasasi. Secara tidak langsung putusan perdamaian dapat
membatasi perkara-perkara kasasi.65
Di samping itu, oleh karena putusan perdamaian bersumber peda
kesepakatan para pihak yang bersengketa (win-win solusion) maka diharapkan
akan dapat mengurangi fitnah tentang putusan direkayasa. Keuntungan lain,
khusus bagi pencari keadilan, adalah bahwa putusan perdamaian tersebut
langsung berkekuatan hukum tetap dan karenanya jika ada pihak yang lalai
atau tidak bersedia melaksanakan perjanjian yang telah disepakatinya itu,
maka atas permohonan pihak lainnya putusan perdamaian tersebut dapat
dieksekusi oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 130 ayat (1) HIR hanya mewajibkan Hakim untuk mendamaikan
para pihak, namun tidak ada ketentuan lain tentang apa dan bagaimana
perdamaian tersebut. Karena itu Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan
yang ada padanya, yang salah satunya "Membuat peraturan sebagai
pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan" telah membuat Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung
pada tanggal 11 September 2003. Dalam PERMA tersebut diatur prosedur
pada tahap pra mediasi dan tahap mediasi sehingga memudahkan Mediator
(bukan Hakim litigasi) untuk melaksanakannya. Pasal 18 PERMA tersebut
menegaskan bahwa PERMA tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan,
65 ? Ibid.
76
karenanya para Ketua Pengadilan Negeri ( jika diperlukan juga Ketua
Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 16 PERMA) melaksanakan PERMA
tersebut dengan penuh tanggung jawab. Sediakanlah suatu ruangan kecil dan
ditata agar nyaman sebagai suatu ruangan mediasi. Mahkamah Agung
menyadari bahwa banyak sekali Hakim yang belum memperoleh pelatihan
mediator mengingat keterbatasan biaya, namun janganlah hal tersebut menjadi
penghalang pelaksanaan PERMA . Tentunya para Hakim yang telah
mengikuti pelatihan mediasi membagi pengetahuannya kepada teman-
temannya.66
B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Arbitrase
1. Pengertian Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa.
Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas
sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :67
a. Perbedaan Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
berupa :
1). Kontraversi pendapat (controversy);
2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);
3). Ketidaksepakatan (disagreement).
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya
adalah :
66 ?Ibid.
67 ? M. Yahya Harahap, Arbitrase , (Jakarta : Pustaka Kartini, 1991)hal. 106.
77
1). Sah atau tidaknya kontrak;
2). Berlaku atau tidaknya kontrak.
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum.
Sedangkan menurut Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa .68
Dalam literatur lain dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
“arbitrase” adalah “submission of controversies by agreement of the
parties there to persons chosen by themselves for determination.” 69
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik beberapa
karakteristik yurudis dari arbitrase, sebagai berikut :70
Adanya kontroversi di antara para pihak;
Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;
Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;
Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum;
Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;
Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;
68 ?Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 69 ? Maksudnya adalah suatu pengajuan sengketa , berdasarkan perjanjian antara para pihak kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan. Lihat, Steven H. Gifis, Law Dictionary, (New York USA, Barron’s Educational Series Inc, 1984) hal.27.70 ? Munir Fuady, SH, MH, LL.M, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, cet. 1 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2000), hal. 13
78
Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase
tersebut dan mengikat para pihak.
2.Prinsip-prinsip Arbitrase
Agar dapat menjadi badan penyelesaian yang ampuh, Arbitrase
seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut :71
a.Efisien
Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badang
peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien,
yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.
b.Accessibilitas
Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.
c.Proteksi Hak Para Pihak
Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan
saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal , harus
mendapatkan perlindungan yang wajar.
d.Final and Binding
Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para
pihak tidak menghendaki demikian atau jika ada alasan-alasan yang
berhubungan dengan “due proses”.
e.Fair and Just
71 ? Ibid, hal. 93.
79
Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.
f.Sesuai Dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat.
Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si
pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.
g.Credibilitas
Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-
orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih
dihormati.
3. Kelebihan – Kelebihan Arbitrase
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase
mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain :
a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai
dalam waktu relatif singkat
b. Biaya lebih murah.
c. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.
d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan
oleh arbitrase.
f. Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.
g. Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
h. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
80
i. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik
banding atau kasasi).
j. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat diberlakukan dan
dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama
sekali.
k. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat
luas.
l. Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.
4. Kekurangan-kekurangan Arbitrase
Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-
kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan,
antara lain sebagai beikut :
a. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-
perusahaan bonafide.
b. Due prosess kurang terpenuhi.
c. Kurangnya unsur finality.
d. Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
e. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan
lain-lain.
f. Kurangnya power untuk hak law enforcement dan eksekusi
keputusan.
81
g. Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.
h. Tidak dapat menghasikan solusi yang bersifat preventif.
i. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu
sama lain karena tidak ada sistem “presedent” terhadap keputusan
sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbiter.
Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.
j. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para
arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga
standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan
“An arbitration is as good as arbitrators”.72
k. Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan
konvensional yang ada.
l. Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya telah
diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan
diselesaikannya suatu sengketa melalui badan arbitrase.
Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan karenanya
mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999, namun dibeberapa
Pengadilan Negeri masih saja ada Hakim yang kurang memahaminya.
Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa
72 ?Haula Adolf dan A. Candrawulan, Yurisdiksi Badan Arbitrase ICSID, DALAM Varia Peradilan , Nomor 54, Maret 1990, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 1990), hal. 18.
82
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan menurut pasal 11
Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999.
5. Upaya Hukum Putusan Arbitrase
Terhadap suatu putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut mengandung unsur-unsur
sebagaimana yang tertera pada pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999. Meskipun dalam paal 70 tersebut tertera permohonan pembatalan,
namun oleh karena suatu putusan arbitrase mengikat baik Pemohon maupun
Termohon Arbitrase, maka permohonan pembatalan putusan tersebut harus
dalam bentuk gugatan yang pihak-pihaknya adalah pihak-pihak dalam
putusan arbitrase. Selain dari permohonan pembatalan putusan arbitrase,
Undang-Undang juga menentukan bahwa tuntutan ingkar terhadap Arbiter
yang diangkat oleh KETUA Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 23 ayat (1) dan dalam hal yang seperti tertera dalam pasal 25 ayat (1)
83
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan upaya ini dilakukan
sebelum adanya putusan arbitrase.
Ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase tersebut jelas, tetapi masih saja
ada Hakim yang dalam memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum
antara para pihak dalam putusan arbitrase mengabulkan tuntutan provisi
dengan "Menangguhkan berlakunya putusan arbitrase". Bahkan Arbiter
Tunggal yang memutus arbitrase juga digugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa
arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum
apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan
berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakan
tersebut.73
6. Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Acara Arbitrase
Berikut ini penjelasan dari masing-masing masalah dalam acara bagi
arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999,
yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Tertutup
Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda
dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan
73 ? Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 di Batam
84
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang
pemeriksaan perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu
ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari
para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat
bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga menyebabkan
cukup banyak pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain
mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa.
Pasal 27 dari Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 tidak
memberikan kekecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan
dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga tidak boleh
mengenyampingkan ketentuan ketertutupan ini. Hal ini disebabkan
formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat
memaksa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan
bahwa “semua” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup. Jadi, menutup kemungkinan adanya
penyimpangan. Artinya, jika para pihak menghendaki agar putusan
tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk
mempublikasikan.
b. Bahasa Yang Digunakan
Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan oleh arbiter adalah
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dapat
dilakukan jika:
85
1). Para pihak bersengketa menghendaki penggunaan bahasa lain dan
hal tersebut disetujui oleh para arbiter, atau
2). Terhadap arbitrase yang tidak berlaku Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999, misalnya terhadap arbitrase Internasional, di mana
bahasa Inggris sering digunakan.
c. Keterlibatan Para Pihak
Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diperlakukan
secara sama satu sama lain. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk
didengar oleh para arbiter. Di samping itu, mereka juga dapat diwakili
oleh pihak pengacaranya ( dengan kuasa khusus) jika hal tersebut
diinginkannya.74
d. Keterlibatan Pihak Ketiga.
Selain dari keterlibatan para pihak kuasanya, pihak ketiga diluar
perjanjian arbitrase juga dapat ikut serta dan menggabungkan diri
dalam suatu proses arbitrase. Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu
perkara perdata sebenarnya juga merupakan hal yang lazim dalam
proses peradilan umum di Pengadilan Negeri. Undang-Undang
Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 memberikan beberapa syarat agar pihak
ketiga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam suatu proses
arbitrase. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1). Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan perkara yang
bersangkutan;
2). Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa;
74 Lihat Pasal 29 Undang-Undamg Arbitrase Nomor30 Tahun 1999.
86
3). Keikutsertaannya disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang
bersangkutan.75
e. Penggunaan Acara Arbitrase
Sesuai dengan praktek arbitrase dan ketentuan dalam Undang-Undang
tentang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, maka pemilihan acara untuk
arbitrase adalah sebagai berikut;
1). Dengan suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, para pihak bebas
menentukan sendiri secara arbitrase yang digunakan dalam proses
penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
2). Para pihak dapat juga memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga
arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian
sengketanya.
3). Jika para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
(a).Berlaku ketentuan dari lembaga arbitrase (nasional atau
internasional) yang dipilih oleh para pihak;
(b).Jika tidak dipilih arbitrase lembaga (seperti BANI), maka para
arbiter sendiri yang akan menentukan acara arbiter tersebut
dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang
Arbitrase Nomor30 Tahun 1999dan peraturan yang berlaku
75 Lihat Pasal 30 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
87
lainnya. Lihat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase
Nomor 30 Tahun 1999.76
4). Khusus tentang jangka dan tempat arbitrase juga ditentukan sendiri
oleh para pihak yang bersengketa..
5). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri jangka waktu dan
tempat arbitrase, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan tempat dan waktunya, dengan ketentuan bahwa
pemeriksaan atas sengketa tersebut harus sudah selesai dalam waktu
maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari.
Namun demikian, jangka waktu tugas dari arbitrase dapat
diperpanjang jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat
sebagaimana disebut dalam Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase
Nomor30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
(a). Apabila diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai
hal khusus tertentu. Hal khusus tertentu ini, misalnya karena
adanya gugatan atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa,
seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Perdata.77
(b).Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan
selainnya.
76 ?Lihat Pasal 31 ayat (3) juncto Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999. 77 ? Lihat penjelasan Pasal 33 (a) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun
1999.
88
(c)Untuk kepentingan pemeriksaan, apabila dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
.f. Putusan Provisi
Seperti juga badan pengadilan (konvensional), maka arbitrase di
samping dapat menjatuhkan putusan final, dapat juga menjatuhkan
putusan provisional atau putusan sela untuk mengatur ketertiban
jalannya pemeriksaan sengketa. Termasuk ke dalam putusan sela
tersebut adalah perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, menjual
barang yang mudah rusak dan lain-lain. Karena pelaksanaan putusan
sela memerlukan jangka waktu tertentu, maka jangka waktu pelaksanaan
putusan sela ini di luar dari jangka waktu arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun
1999.
g. Terjemahan Alat Bukti
Apabila terdapat kesulitan masalah bahasa, maka arbiter atau majelis
arbitrase dapat menginstruksikan agar terhadap setiap dokumen alat
bukti dibuat juga terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
h. Pemeriksaan Lisan / Tertulis
Pada prinsipnya, suatu pemeriksaan arbitrase haruslah dilakukan
secara tertulis. Maksudnya adalah bahwa pihak pemohon harus
mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase secara tertulis.
Demikian pula pihak termohon harus mengajukan bantahannya secara
89
tertulis pula. Keterangan saksi ahli pun dilakukan secara tertulis (Pasal
50 ayat (1)), kecuali dianggap perlu oleh arbiter untuk didengar saksi
ahli secara lisan. Sedangkan pemeriksaan saksi lainnya dapat
dilakukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan, bila dianggap
perlu oleh arbiter atau bila disetujui oleh para pihak.
Pemeriksaan seluruh acara arbitrase secara lisan ( tanpa perlu surat
permohonan atau surat tuntutan tertulis misalnya) dapat saja dilakukan
jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Jika disetujui oleh para pihak yang bersengketa, atau
2) Jika dianggap perlu oleh pihak arbiter.78
i. Penentuan Tempat Arbitrase
Mengenai tempat dilangsungkannya pemeriksaan arbitrase, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1). Tempat yang ditentukan oleh para pihak, jika para pihak ada yang
menentukannya , atau jika para pihak tidak menentukannya.
2). Berlaku tempat yang dilakukan oleh para arbiter;
3). Atau jika yang dipilih adalah arbitrase kelembagaan, berlaku tempat
sebagaimana berlaku untuk lembaga arbiotrase yang bersangkutan.
4). Bila perlu, pemeriksaan saksi dan saksi ahli dapat dilakukan di
tempat tertentu di luar tempat arbitrase.
5). Bila perlu, pemeriksaan setempat dapat dilakukan, yakni di tempat
lokasi objek yang bersangkutan.
78 ? Lihat Pasal 36 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
90
( vide Pasal 37 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999)
j. Pemeriksaan Setempat
Seperti telah disebutkan bahwa pemeriksaan setempat (site visit)
dapat saja dilakukan jika dianggap perlu oleh arbiter dan hal tersebut
memang dimungkinkan oleh Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Dalam hal ini, bahkan bila dianggap
perlu, para arbiter dapat juga memanggil para pihak untuk datang dan
hadir ke lokasi pemeriksaan. Yakni ke lokasi di mana objek yang akan
diperiksa terletak.
k. Surat Tuntutan oleh Pemohon.
Apabila permohonan dari pihak pemohon untuk dilakukan
pemeriksaan arbitrase disetujui oleh pihak arbiter dan arbiter atau
majelis arbitrase sudah dibentuk, pemeriksaan ditingkatkan ke fase
pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Surat tuntutan (Statement of
claim) tersebut diajukan kepada pihak arbiter dalam jangka waktu yang
telah ditentukan.
Syarat minimal dari isi surat tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nama lengkap dan tempat tinggal/kedudukan para pihak;
2. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-
bukti pendukung.
3. Isi tuntutan yang jelas.79
l.Jawaban dari Termohon
79 ?Lihat pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
91
Atas surat tuntutan yang diajukan oleh pemohon, termohon dapat
mengajukan bantahan tertulisnya. Bantahan tertulis ini diajukan oleh
termohon dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah termohon
menerima salinan Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).tuntutan tersebut dari
arbiter atau dari ketua majelis arbitrase.80
m. Penetapan Hari Sidang
Setelah diterimanya jawaban atas tuntutan dari pemohon arbitrase,
maka satu salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon
oleh arbiter atau oleh ketua majelis arbitrase. Setelah itu pihak arbiter
baru menentukan hari sidang dan memerintahkan agar para pihak
atau kuasanya menghadap di depan sidang. Hari sidang harus
ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
dikeluarkannya perintah itu.81
n. Tuntutan Balasan
Disamping memberikan jawaban atas tuntutan dari pihak pemohon,
pihak termohon dapat juga mengajukan tuntutan balasan (counter
claim, rekonvensi) jika memang ada sesuatu yang dituntut kepada
pihak pemohon arbitrase. Pengajuan tuntutan balasan oleh pihak
termohon ini dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut :
1). Diajukan dalam jawabannya, atau
2). Diajukan selambat-lambatnya pada sidang arbitrase yang pertama.
80 ? Lihat Pasal 39 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
81 ?Lihat Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Arbitrse Nomor 30 Tahun 1999.
92
Terhadap tuntutan balasan ini , oleh pihak pemohon arbitrase dapat
mengajukan tanggapan. Ditentukan juga, bahwa tuntutan balasan dari
pihak termohon bersama dengan tanggapan pemohon atas tuntutan
balasan tersebut haruslah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan
pokok sengketa.82
o. Usaha Perdamaian oleh Arbiter
Seperti untuk proses peradilan biasa, maka pada sidang pertama
dari Arbiter juga diusahakan dan ditawarkan perdamaian kepada para
pihak yang bersengketa oleh pihak arbiter. Apabila usaha perdamaian
tersebut tercapai, maka oleh pihak arbiter atau mahelis arbitrase dibuat
suatu akta perdamaian yang berkekuatan final dan mengikat (final and
bindang). Selanjutnya, pihak arbiter memerintahkan kepada para pihak
yang bersengketa untuk melaksanakan isi perdamaian tersebut.
p. Jika Perdamaian Tidak Tercapai
Bagaimana halnya jika perdamaian di muka arbiter tidak tercapai.
Untuk itu, pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan oleh arbiter
Dalam hal ini mulailah dilakukan hal-halk sebagai berikut :
1). Para pihak dalam suatu jangka waktu tertentu diberikan kesempatan
lagi untuk terakhir kalinya menjelaskan secara tertulis pendirian
masing-masing disertai dengan pengajuan bukti-bukti.
82 ? Lihat Pasal 42 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
93
2). Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak
dokumen tambahan, bukti lain atau penjelasan secara tertulis dalam
jangka waktu tertentu.83
q. Jika Pemohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana seandainya pada hari sidang pihak pemohon tidak datang
untuk menghadap sidang, padahal yang bersangkutan sudah dipanggil
secara patut. Dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 43 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, dimana tuntutan dinyatakan gugur, dan
tugas arbiter atau majelis arbutrase dianggap seleai ampai disitu.
r. Jika Termohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana pula seandainya pihak termohon yang tidak datang untuk
menghadap pada sidang pertama padahal yang bersangkutan sudah
dipanggil secara patut. Dalam hal pihak termohon haruslah dipanggil
sekali lagi secara patut. Apabila 10 (sepuluh) hari setelah pemannggilan
kedua pihak termohon belum juga datang menghadap tanpa alasan yang
jelas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya pihak
termohon (verstek) dan tuntutan akan diterima seluruhnya. Tuntutan
akan ditolak oleh arbiter atau majelis arbitrase jika tuntutannya tidak
beralasan atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.84
s. Pencabutan surat Permohonan Arbitrase
83 ?Lihat Pasal 46 Undang-Undang Arbitraae Nomor 30Tahun 1999.84 ?Lihat Pasal 44 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
94
Pada prinsipnya pemohon arbitrase dapat mencabut surat
permohonan, menambah atau mengubah surat tuntutan untuk
penyelesaian sengketa tersebut. Hanya saja, bagaimana tata cara
pencabutan, penambahan atau perubahan tersebut sangat bergantung
pada waktunya dilakukan. Prosesnya adalah sebagai berikut:
1). Jika diajukan sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat
mencabut surat permohonan arbitrase tanpa perlu persetujuan dari
pihak termohon.
2). Jika sudah ada jawaban dari pemohon, maka perubahan atau
penambahan atas urat tuntutan arbitrase hanya dapat dilakukan jika
a). Ada persetujuan dari termohon; dan
b). Perubahan atau penambahan tersebut hanya bersangkutan dengan
hal-hal yang bersifat fakta, tidak bersangkutan dengan dasar-
dasar hukum dari permohonan.85
t. Batas Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Oleh Arbiter
Pemeriksaan sengketa di depan arbitrase harus dituntaskan dalam
waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase dibentuk.
Lihat Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
Namun demikian, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jika
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1). Diajukan permohonan perpanjangan pemeriksaan oleh salah satu
pihak mengenai hal khusus tertentu.Contoh dari “hal khusus
85 ? Lihat Pasal 47 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
95
tertentu” misalnya karena gugatan insidentil di luar pokok sengketa,
seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam hukum
acara perdata. Lihat penjelasan atas pasal 33 huruf (a) dari Undang-
Undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
2). Apabila hal tersebut sebagai akibat ditetapkannya putusan
provisional atau putusan sela lainnya.
3). Apabila hal tersebut dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.86
C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Peradilan
Agama
Mengapa mesti ke Pengadilan Agama ?
Hal ini didasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Dalam Penjelasan Pasal 49 dinyatakan :
86 ?Lihat Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
96
“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga
keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, atau bank konvensional yang
membuka unit usaha syari’ah (seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah,
dan lain-lain) dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah,
baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Setelah diuraikan secukupnya tentang penyelesaian sengketa ekonomi
syari'ah secara non-litigasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, berikut ini
adalah sebuah tawaran penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah secara litigasi
yang dalam hal ini adalah melalui Badan Peradilan Agama.
Apa dan bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah melalui
Pengadilan Agama itu ?
Sebelum sampai kepada jawaban atas pertanyaan diatas ada baiknya
dikemukakan terlebih dahulu sekilas tentang kedudukan Peradilan Agama
sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
1. Kedudukan Peradilan Agama Sebelum Berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perbedaan yang sangat mendasar pada kedudukan Peradilan Agama
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, adalah
97
terletak pada kewenangan absolutnya. Ketika masih diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai payung hukum terakhir bagi
tugas-tugas Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama hanya
sebatas menyelesaian perkara-perkara sebagai berikut:
a.Perkara di bidang perkawinan; yang meliputi :
1). Izin beristeri lebih dari seorang;
2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3). Dispensasi kawin;
4). Pencegahan perkawinan;
5). Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6). Pembatalan perkawinan;
7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8). Perceraian karena talak;
9). Gugatan perceraian;
10). Penyelesaian harta bersama;
11). Mengenai penguasaan anak-anak;
12). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
98
13). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas
isteri;
14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16). Pencabutan kekuasaan wali;
17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18). Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan delas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
padahal tidak adanya penunjukan wali oleh orang tuanya;
19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya;
20). Penetapan asal usul seorang anak;
21). Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
b. Perkara dibidang kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam.
99
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan perkara dibidang
kewarisan adalah meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melakanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.
c. Perkara dibidang wakaf dan shadaqah.
2. Kedudukan Peradilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kedudukan
Badan Peradilan Agama semakin eksis. Hal ini seiring bertambahnya
kewenangan absolut peradilan agama dalam menangani perkara-perkara
tertentu. Lebih jelasnya, perbedaan mendasar tersebut adalah peradilan
agama semakin mendapatkan kepercayaan masyarakat dan negara
Indonesia untuk mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara selain yang
telah diuraikan di atas juga terhadap perkara-perkara sebagai berikut :
a. Perkara zakat;
b. Perkara infaq;
c. Perkara dibidang ekonomi syari’ah; dan
d. Perkara Penetapan Pengangkatan Anak berdasarkan Hukum Islam.
Selain perkara-perkara tersebut dengan berlakunya Undang-Undang
tentang peradilan agama yang terbaru tersebut, pengadian agama juga
100
diberi tugas khusus terkait dengan penetapan kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama juga dapat
memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah
kiblat dan penentuan waktu shalat.
Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan tersebut
dibagi dua yaitu:87
1. Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara
yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan
mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur
pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan
Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga
untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan
Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan
kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa
Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van
rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum
rei”.88
Berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
87 ?Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah,…. hal.103-104.88 ? Maksudnya adalah yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama tempat tinggal tergugat, Baca Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Pedata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung Mandar Maju, 1989), hal. 8.
101
menyatakan bahwa wilayah hukum Pengadilan Agama adalah meliputi
wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan untuk Pengadilan Tinggi
Agama wilayah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu
khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat
tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex
specialis derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat
mengalahkan aturan yang umum.
2. Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah
wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh
badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk
menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya
sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam
bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van
rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.
Setelah reformasi bergulir dan dilakukan amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang
mengukuhkan Badan Peradilan Agama masuk dalam
102
dalam sistem hukum nasional, maka politik hukum
Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan
hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya.,
kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Perubahan yang terpenting dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 adalah sebagimana telah diuraikan di atas.
Kegiatan-kegiatan usaha ekonomi syari’ah sebagaiman
tersebut di atas, pada dasarnya lahir karena adanya akad
atau perjanjian yang didasarkan kepada prinsip syari’ah.
Sedangkan makna prinsip syari’ah adalah sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam kaitannya menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah, Pengadilan Agama berwenang pula mengadili
tentang tuntutan ganti rugi (ta’wid, .daman) baik yang
disebabkan oleh adanya wanprestasi ataupun karena adanya
perbuatan melawan hukum. Acuan untuk mengadili ganti rugi
ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 19 jo
Peraturan Bank Indonesia Nomor7/46/PBI/2005 dan Fatwa
DSN Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004. Dalam Pasal 19 Peraturan
Bank Indonesia tersebut ditentukan hal-hal sebagai berikut:
103
a. Pada dasarnya pihak bank dapat mengenakan ganti
kerugian (ta’wid) hanya atas kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan
kerugian pada pihak bank.
b. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan
bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil yang
berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh
pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang
hilang.;
c. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan
akad yang menimbulkan utang-piutang seperti: salam,
istishna’, serta murabahah yang pembayarannya tidak
dilakukan secara tunai;
d. Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah,
hanya boleh dikenakan bank sebagai shahibul mal apabila
bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak
dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e. Mengenai ganti rugi atas sesuatu kerugian harus
ditetapkan secara jelas dalam klausula akad yang
dipahami secara jelas pula oleh nasabah;
104
f. Besarnya ganti rugi atas suatu kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara bank dan nasabah.
Sumber Hukum Dalam menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan
Pengadilan Agama, perlu dicermati sumber-sumber hukum yang berkaitan.
Sumber-sumber hukum tersebut meliputi sumberber hukum formil (acara) dan
sumber hukum materiil.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada pokoknya
menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara
khusus dalam Undang-Undang tersebut. Untuk mengadili sengketa ekonomi
syari’ah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbarui dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 belum mengatur secara khusus,
sehingga berpedoman kepada Hukum Acara yang sekarang berlaku di
Peradilan Umum. Pada dasarnya hukum acara yang dipergunakan mengacu
kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum, selain itu
juga dipedomani kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkaitan.89
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Niaga) adalah antara lain:
a. Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa-Madura;
89 ?Hasil wawancara dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Purbalinga yang mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah pada tahun 2006.
105
b. Rechtsrglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk daerah luar Jawa-
Madura;
c. Burgerlijk Wetboek (BW), dikenal dengan KUHP Perdata khususnya
buku IV tentang Pembuktian;
d. Reglement op de Bourgerlijke Rechtsvordering (Rv);
e. Wetboek Van Koophandel (WvK) dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang, khususnya tentang Acara Kepailitan;
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Selain itu perlu diperhatikan pula asas-asas yang berlaku dalam hukum acara
perdata, sehingga seorang hakim maupun para pihak pencari keadilan didalam
beracara tidak perlu harus melanggar asas yang berlaku yang oleh karenanya
putusan hakim bisa dinyatakan batal demi hukum.
Asas-asas tersebut adalah denagai berikut :
1. Hakim Bersifat Menunggu
Nemo Yudek Sine Aktore : Tak ada tuntutan hak, tak ada hakim
Ius curia novit : Hakim dianggap tahu
2. Hakim Pasif
Verharlungs maxime : Para pihak yang wajib membuktikan
Unterlungs maxime : Hakim wajib mengumpulkan bahan.
3. Sifat Terbuka Persidangan: Terbuka untuk umum, tujuan memberi
perlindungan hak asasi manusia, menjamin obyektifitas, pemeriksaan fair,
tidak memihak, putusan yang adil.
106
4. Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970)
5. Tidak memihak (audi et alteram partem) : Tidak boleh menerima keterangan
satu pihak sebagai benar, pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri kedua pihak (Pasal 132a,121 ayat (2) HIR, 145 ayat(2),
157 RBg., Pasal. 47 Rv).
6. Beracara Dengan Biaya : (Pasal 4 ayat(2) ,Pasal 5 ayat(2) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 , Pasal 121 ayat ( 4 ) ,182,183, HIR).
7. Putusan Harus Disertai Alasan (Pasal 23. Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970, Pasal 184 ayat (1), 319 HIR) : Sebagai pertanggungjawaban hakim,
nilai obyektif.
8. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan : yang bersangkutan yang tahu persoalan
9. Sederhana, Cepat, Biaya Ringan:
Sederhana : Acara yang jelas, mudah difahami, tidak berbelit-belit, sederhana
formalitasnya.
Cepat : Jalannya peradilan, baik di muka sidang, penyelesaian berita acara
sampai dengan penandatanganan putusan hakim.
Biaya ringan: terpikul oleh rakyat.
10. Obyetifitas, Fair Trial : (Pasal. 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) :
dikenal hak ingkar, susunan majelis, 2 tingkat pemeriksaan, tingkat pertama
dan tingkat banding sebagai yudex facti.
Nemo yudex idoneus in propria causa : tak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam perkaranya sendiri.
107
Wraking : Penolakan memimpin persidangan sampai derajat tertentu oleh
hakim dengan alasan sebagai berikut:
a.Punya kepentingan secara pribadi.
b.Karena hubungan suami istri, keluarga derajat dengan pihak-
pihak yang berperkara.
Tingkat pertama : Pengadilan Agama : Original yuridiction Segi
peristiwa dan hukum.
Tingkat banding : Pengadilan Tinggi Agama : Apellate yurisdiction
mengulangi.
Tingkat Kasasi : M.A terakhir: penerepan hukum : sebagai yudex
yuris.
11. Bebas dari campur tangan diluar kekuasaan Kehakiman.90
2. Sumber Hukum Materiil
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah khususnya yang berkaitan dengan muamalat atau
ekonomi Islam;
b. Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku terdiri dari:
1).Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan beserta aturan pelaksanaannya baik
peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia;
2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria ;
90 ?Widan Suyuthi Musthofa, Kajian Hukum Acara Perdata, Makalah disampaikan pada kegiatan Kajian Hukum Acara Perdata Agama Para Ketua PA Kelas I Se-Jawa tanggal 4-6 Juni 2007 di Yogyakarta., hal.5-6. Telaah pula Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedua (Yogyakarta : Liberty, 1985),hal. 9 dst.
108
3). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang BUMN;
4).Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan;
5).Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Perasuransian
6).Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
7 ).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
8).Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia;
9 ).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
10).Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS;
11 ).Beberapa peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan
pertanahan, perusahaan, perseroan terbatas dan pasar modal;
12).Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (Fatwa
DSN-MUI ) yang hingga tahun 2006 sudah mencapai 53 buah;
c. Aqad/Perjanjian (Kontrak)
Salah satu asas dari akad / perjanjian adalah keridhaan kedua belah
pihak,91 konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama dalam akad
harus dilaksanakan.
Menurut Taufiq, dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah,
termasuk di dalamnya perbankan syari’ah, sumber hukum utamanya
adalah perjanjian, kedudukan perjanjian sama dengan Undang-Undang.
Isi perjanjian lebih khusus jika dibanding dengan Undang-Undang.
91 ?Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia , (Jakarta : Kencana, 2005) hal.36.
109
Sesuai kaidah lex specialis derogat legi generalis, maka isi perjanjian
didahulukan daripada Undang-Undang.92 Dalam hubungan ini berlaku
asas “Pacta Sunt Servanda” yaitu perjanjian yang sah merupakan
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam hukum bisnis, perjanjian sering disebut dengan nama
“kontrak”93, sedangkan dalam hukum perikatan Islam, perjanjian dikenal
dengan nama “akad”. Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
obyeknya. Akad merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang
disebut “tasharruf” . Sedangkan tasharruf adalah segala sesuatu
(perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.94
d. Yurisprudensi
Yurisprudensi mengandung banyak arti, di antaranya adalah:
1). Putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge’s decesion in
aparticular case).
2). Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan
perkembangan hukum, sehingga pada hakekatnya kasus yang
diputuskan berkaitan erat dengan perubahan sosial;
92 ?Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah, Makalah disampaikan pada acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisma bagi Para Ketua Pengadilan Agama se Jawa di Malang pada tanggal 2 Mei 2006 (Jakarta : Pusdiklat Mahkamah Agung RI), hal 3. 93 ?Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003), hal. 27. 94 ?Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan, hal. 47-48.
110
3). Putusan terhadap kasus yang kemungkinan besar belum diatur dalam
Perundang-Undangan, sehingga diperlukan penciptaan hukum baru.95
Di Indonesia, Yurisprudensi diartikan sebagai putusan pengadilan
atau hukum pengadilan (rechterrechts/judge made law). Menurut
Subekti, yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan
negara tertinggi.96
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang berhubungan dengan
sengketa ekonomi syari’ah atau khususnya perbankan syari’ah.
Yurisprudensi yang ada hanya putusan dari lingkungan Peradilan Umum
termasuk di dalamnya putusan Pengadilan Niaga tentang perbankan
konvensional atau ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat
dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara niaga syari’ah atau perbankan syari’ah.
e. Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah termasuk perbankan syari’ah.
Demikian pula kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh, sebab kaidah-kaidah ini
sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa perkara muamalat. Kitab-
kitab fiqh yang dapat dipedomani antara lain :
Fiqhul Islam Waadillatuhu oleh Wahbah Zuhaili Juz IV dan V;
95 ?Mahkamah Agung RI, Pustaka Peradilan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1995), Jilid VIII, hal.38.96 ?Subekti, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Pradnza Paramita, 1987), hal.97.
111
Fiqhus-Sunnah oleh Sayyid Sabiq Juz II;
Al-Milkiyah wa Nadhariyyatul Uqud oleh Abu Zahroh;
Hukum Muamalat oleh Ahmad Azhar Basyir;
Kitab Hukum Perdata Islam, terjemahan dari Majallah al-‘Adliyyah
oleh Prof. Djazuli.
Fiqh Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih;
Pertumbuhan Hukum Bisnis Syari’ah Indonesia oleh Prof.Dr. Sholah
as-Shawi.97
f. Perjanjian Internasional.
Adanya perjanjian antara Indonesia dengan negara lain, misalnya
kesepakatan mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-
dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam perkara hukum
perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat
keleluasaan berperkara dan menghadap pengadilan di wilayah pihak
lainnya dengan syarat-syarat yang sama seperti warga negara pihak itu.
g. Ilmu Pengetahuan atau Doktrin.
Kewibawaan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh para ahlinya,
dan didukung oleh para pengikutnya, dan juga karena sifatnya yang
obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim
bernilai obyektif juga. Doktrin bukanlah hukum, melainkan menjadi
97 ? Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah,...hal. 3.
112
sumber hukum di mana hakim dapat menggali hukum dari doktrin atau
pendapat para ahli hukum.98
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa
Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi
syari’ah didasarkan atas ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; dst i. Ekonomi
syari’ah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 tersebut, Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah . Oleh karena itu, terhitung mulai tanggal 20 Maret 2006
penyelesaian perkara ekonomi syari’ah menjadi kewenangan absolut
Pengadilan Agama. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan Perundang-
98 ?Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan, hal.116.
113
Undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan
tertentu untuk memeriksa daan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Namun demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah,
ternyata hal tersebut tidak dibarengi pula dengan perangkat hukum yang
mengaturnya lebih lamjut, baik perangkat hukum materiil maupun perangkat
hukum formil. Oleh sebab itu dalam rangka pelayanan kepada masyarakat
dan supaya Pengadilan Agama dapat segera melakukan tugas-tugas barunya,
maka harus dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat.
Terobosan tersebut adalah :
1. Dengan melakukan penafsiran argumentum per-analogian (analogi), yakni
dengan memperluas berlakunya peraturan perUndang-Undangan yang
mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan
ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya.
2. Dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa
hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian,
maka ketentuan-ketentuan hukum yang lama yang dahulu tidak berlaku
pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-
kesamaan antara keduanya dan atauran-aturan yang berkaitan dengan
ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan
Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan
114
adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan
dengan ekonomi syari’ah.
Diantara peraturan Perundang-Undangan yang mengatur kegiatan ekonomi
adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Melalui penafsiran
argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut
diberlakukaan pada Pengadilan Agama. Kata-kata “Pengadilan Negeri”
atau “Pengadilan Umum” dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan
pada “Pengadilan Agama” atau “Peradilan Agama” sepanjang menyangkut
ekonomi syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase dalam
Undang-Undang tersebut secara mutatis mutandis diterapkan pada Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebagai satu-satunya badan
arbitrase dalam ekonomi syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga
halnya tentang kepailitaan. Dengan mengadopsi dua Undang-Undang tersebut
maka dapat dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara yang
berkaitaaan dengan alternatif penyalesaian sengketa, arbitrase, dan kepailitan
di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan Agama.
115
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilaan
Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai
kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuaan yang
dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-14 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999).
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari
mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama
(Pasal 22-25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
3. Membatalkan keputusan BASYARNAS manakala dalam putusan
BASYARNAS terdapat hal-hal yang menjadikan keputusan itu tidak
valid lagi karena: (1). Adanya surat (dokumen) palsu yang menjadi dasar
keputusan, (2). Ada dokumen yang ternyata disembunyikan oleh pihak
lawan sehinggaa merugikan pihak lain, atau (3) Karena keputusaan
didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan sehingga merugikan pihak
lainnya (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR)
dan keeputusan BASYARNAS melalui eksekussi paksa manakala
diperlukan (Pasal 59-63 Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999).
Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama selambat-
lambatnyaa 30 hari setelaah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6
ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini
116
tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59
ayat (4) Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999);
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah
(Pasal 49 Undang-Undang Nomor3 Tahun 2006).99
Uraian di atas telah menjelaskan tentang hal ihwal yang terkait dengan
kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah. Sedangkan mengenai Pengadilan Agama mana yang paling berwenang
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah apabila ternyata antara pihak
penggugat dan pihak tergugat berbeda alamat tempat tinggal bahkan obyek
sengketa juga berada di tempat yang berlainan dengan kedua belah pihak yang
berperkara. Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal
142 ayat (1) RBg., Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal tergugat, sesuai asas actor sequitur forum rei. Sedangkan apabila
obyek gugatannya itu mengenai benda tetap berlaku aturan sebagaimana diatur
dalam pasal 118 ayat (3) HIR/pasal 142 ayat (5) RBg., yakni gugatan dapat
diajukan ke Pengadilan Agama dimana letak atau lokasi obyek sengketa tersebut
berada di wilayah hukumnya, sesuai dengan asas forum rei sitae. Atau dapat juga
diajukan gugatan ke Pengadilan Agama tertentu yang telah menjadi kesepakatan
99 ?Abdullah Dhia, dkk, Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama, Makalah Dalam Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Sengketa Bisnis Syari’ah pada Program Pascasarjana MSI-UII Yogyakarta, 2006, hal. 8.
117
kedua belah pihak yang tertuang didalam akta perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya ( Pasal 118 ayat (4) HIR/pasal 142 ayat (4) RBg.).
Apabila ternyata para tergugat berada pada tempat tinggal yang berlain-lainan,
maka gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat yang ada (Pasal 118 ayat (2)
HIR/Pasal 142 ayat (3) RBg.).
B. Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan
Agama
Apabila perkara ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka
Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara
profesional, yakni pertama: dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara resmi,
adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga: dengan
hasil (keputusan) yang tuntas, final dan memuaskan.
Dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama
harus menjalankan fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayaan hukum
dan keadilan kepada para pencari keadilan, sebagai penegak hukum dan
keadilan terhadap perkara yang dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian
antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta
memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa melalui
118
proses peradilan. Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk
memeriksa (mengkonstatir) apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat
dan rukun sahnya suatu perjanjian yang berupa: 1. asas kebebasan
berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas keadilan, 4. asas
kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan
segala bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas
tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm atau
ketidak- adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai dengan obyek
(jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian (akad)
tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad) tersebut
adalah syah dan mempunyai kekuataan hukum. Namun jika ternyata tidak
memenuhi syarat dan rukunnyaa, maka akad tersebut tidak sah dan karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah
pihak. Dalam hal ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk
mengesampingkan bagian-bagian yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat
rukunnya tersebut untuk kemudian mengambil langkah-langkah yang sejalan
dengan ketentuan syari’ah Islam dan mengembalikan kepada asas-asas
tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen recht ditegakkan secara
imperatif, sedangkan asas-asas yang bersifat anvullen recht ditegakkan
secara fakultatif.
Sebagai penegak keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan
membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar
119
tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan fakta-fakta yang dijadikan
dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi
untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi
yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan dan terciptalah
rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib
menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kedua
belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena: kesahpahaman,
perbedaan penafsiran, ketidakjelasan perjanjian (akad),
kecurangan/ketidakjujuran/ketidakpatutan, ketersinggungan, kesewenang-
wenangan atau ketidakadilan, ketidakpuasan, kejadian tak terduga, prestasi
tidak sesuai dengan penawaran, prestasi tidak sesuai dengan spesifikasinya,
prestasi tidak sesuai dengan waktunya, prestasi tidak sesuai dengan aturan
main yang diperjanjikan, prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi
yang tidak masuk dalam akad, lambatnya proses kerja, atau wanprestasi
sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab
timbulnya sengketa maka hakim akan apat memilih dan menemukan cara
yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan
menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-
pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing
pihak yang berperkara dan terwujud pula tegaknya hukum pada perkara yang
diperiksa dan diputus tersebut.
120
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik,
hakim menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata
yang ada dengan penyesuaian pada karakteristik sengketa ekonomi syari’ah.
Proses peradilannya dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yang
berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah dilakukan hakim
dengan tata urutan sebagai berikut :
1. Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum .
Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah
dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara,
penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat
tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk
dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang
dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir
dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat
Penetapan Hari Sidang (PHS).
2. Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan
kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik
secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat
(tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara
yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak
terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh Undang-Undang
121
untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak
telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak
berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999).
3. Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan
untuk memeriksaa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama
dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah pihak
sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1
Tahun 2002.
Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian.
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke
tahap berikutnya.
4. Hakim melakukan konstatiring terhadaap dalil-dalil gugat dan
bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban
tergugat, replik, duplik, dan pembuktian.
5. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan
musyawarah hakim.
6. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.100
C. Hukum Acara Yang Berlaku Pada Pengadilan Agama
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan : “Hukum
acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
100 ?Ibid, hal. 11.
122
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang ini.
Dengan demikian maka pada dasarnya tehnis peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah sama dengan tehnis peradilan dalam perkara perdata
dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Oleh karenanya
Pedoman Pelaksanaan tugas Bidang tehnis Peradilan Angka I Peradilan
Umum huruf A. Perdata dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan Buku II dapat pula dipedomani, kecuali hal-hal
yang secara telah diatur di dalam dan atas dasar Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 dan peraturan perundangan yang lainnya. 101
101 ? Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Edisi Revisi, cetakan ke 13 (Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998), hal. 215.
123
BAB IV
P E N U TU P
A. Kesimpulan
Berdasarkan data dan hasil analisa di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah karena sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 ayat (2) joncto pasal 2 dan
pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama.
2. Bahwa hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama didalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sebelum diberlakukannya atau
diundangkannya peraturan perundangan yang khusus untuk itu adalah
hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum.
3. Bahwa Peradilan Agama yang paling berhak menyelesaikan suatu sengketa
ekonomi syari’ah adalah Peradilan Agama yang wilayah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal tergugat dan/atau tempat obyek sengketa
berada.
124
B. Saran dan rekomendasi
1. Untuk lembaga Eksekutif dan Legislatif :
a. Bahwa mengingat penting dan mendesaknya perangkat peraturan
perundangan yang mengatur tentang cara-cara penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah melalui badan Peradilan Agama, maka dipandang
perlu dan mendesak untuk segera diatur dan diundangkannya Peraturan
Perundangan yang mengatur Acara Pemeriksaan dan Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah melalui Pengadilan Agama.
b. Bahwa untuk segera merealisir maksud di atas perlu dibentuk tim
khusus yang terdiri dari pakar-pakar hukum acara baik dari kalangan
akademisi maupun para praktisi hukum.
2. Untuk lembaga Peradilan Agama dan Perguruan Tinggi :
a. Mengingat latar belakang akademis para hakim Peradilan Agama pada
umumnya adalah sarjana syari’ah dan sarjana hukum, maka untuk lebih
memantapkan profesionalitas Hakim dibidang penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah dipandang perlu untuk membekali setiap Hakim ilmu-
ilmu ekonomi Islam, baik melalui pendidikan formal maupun kursus-
kursus dan pelatihan singkat tentang penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah.
b. Untuk memudahkan para Hakim didalam mencari dan menemukan
referensi hukum-hukum ekonomi syari’ah, disarankan setiap kantor
Pengadilan Agama melengkapi diri dengan perpustakaan yang
125
memadai, khususnya referensi yang terkait dengan bidang penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah.
c. Bagi Perguruan Tinggi yang mencetak sarjana hukum (fakultas syari’ah
dan/atau fakultas hukum) hendaknya memasukkan mata kuliah hukum
bisnis syari’ah sebagai mata kuliah inti, sehingga diharapkan nantinya
akan melahirkan praktisi-praktisi hukum maupun akademisi hukum
yang handal dan mumpuni dalam melaksanakan tugasnya, khususnya
yang berkaitan dengan persoalan ekonomi syari’ah.
126