PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
Yunia KandySarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya
e-mail : khenycabylita @gmail.com
ABSTRACT - The Verdict of Judicial Review Number 97 PK / Pid.Sus / 2012 on the Cassation Decision Number 434 K / Pid / 2003 for the ST defendant attracted the public's attention. PK petition for ST is filed by his wife as heir. This petition is granted by an amar declaring the act of indictment to the convicted "proven" but the act is not a crime, and therefore releases the convict from all lawsuits. This is surprising, meaning the ruling dismissed the decision of the previous cassation. One consideration of the judges of the Court of Appeal granting the petition is the status of ST's wife as the legitimate heir of ST based on Yahya Harahap's view that the wife may become an heir. Such views are not quoted in full. This PK ruling sparked cynicism against a judge's decision aimed at providing justice, certainty, and expediency. But also for the status of the DPO DP is still reaping debate in many circles.
Keywords: Review, Search List of People, Heirs
PENDAHULUAN
Pada saat berkembangnya zaman
saat ini banyak aspek yang mengalami
pertumbuhan maupun penurunan.
Manusia misalnya, sebagai subyek
hukum yang hidup secara berkelompok
dan saling berdampingan dalam suatu
komunitas tertentu di dalam suatu
wilayah disebut dengan masyarakat.
Ketertiban dan keamanan masyarakat
dalam lingkungan akan terpelihara
bilamana tiap – tiap anggota masyarakat
menaati peraturan yang sudah ada di
dalam lingkungan masyarakat.
Tertib masyarakat dapat tercapai
apabila hukum bersifat dinamis dan
mengikuti perkembangan kebutuhan
masyarakat. Peraturan perundang-
undangan yang merupakan produk
hukum harus mampu mengatur hal-hal
yang saat ini memang dibutuhkan oleh
masyarakat, karena hukum dibentuk
untuk menjamin terciptanya ketertiban
dalam masyarakat. Maka dari itu
peraturan – peraturan ini dikeluarkan
oleh suatu badan yang berkuasa dalam
masyarakat itu disebut pemerintah.
Bermacam-macam bentuk dan
sifat kebudayaan di negara ini
menimbulkan berbagai macam dasar
hukum yang melekat. Salah satunya
hukum pidana dimana tujuan dari
hukum pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan setidaknya kebenaran
materiil atau kebenaran yang hakiki dari
suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang didakwakan melakukan pelanggaran
hukum.
Setiap pelaku tindak pidana wajib
untuk dikenakan sanksi pidana yang sesuai
dengan peraturan Negara yang telah
diterapkan dan ditetapkan. Dibalik
penjatuhan sanksi atau hukuman untuk
para pelaku tindak pidana, pelaku juga
memiliki hak-hak asasi untuk memperoleh
keadilan seadil-adilnya atas putusan yang
telah dijatuhkan.
Putusan hakim terhadap subjek
hukum yang melakukan tindak pidana
yang secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pindana dapat berupa
putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan
yang dijatuhkan oleh hakim terhadap
subjek hukum harus berdasarkan regulasi
yang sudah ditetapkan yang dalam hal ini
adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP).
Ketika pelaku sudah mendapatkan
putusan yang telah dijatuhkan masih ada
beberapa hukum untuk membela hak asasi
manusianya sehingga dapatlah putusan
tersebut diangap sebagai implementasi atas
konsep fair trial. Dimana jika proses
hukum tindak pidana tidak menjamin dan
melindungi hak asasi individu maka dapat
terjadi perbuatan kesewenang – wenangan
yang berpengaruh pada penegakan hukum
itu sendiri dan juga dalam proses
persidangan yang mengabaikan prinsip
fair trial maka hal tersebut akan merusak
tegaknya suatu keadilan. Prinsip fair
trial dalam proses hukum pidana diatur
dalam Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia (DUHAM).1
Ada beberapa upaya hukum yang
dapat ditempuh, salah satunya adalah
pengajuan upaya hukum peninjauan
kembali (PK)/Herziening KUHAP
bahwa upaya hukum peninjauan kembali
(PK)/Herziening dilakukan oleh
terpidana (dapat juga diajukan melalui
penasehat hukumnya) ataupun ahli
warisnya namun tetap dihadiri oleh
terpidana. Pelaksanaan upaya hukum
peninjauan kembali (PK)/Herziening
oleh ahli waris dimana pewaris masih
belum disebut meninggal sudah bisa
dianggap sebagai ahli waris dan hak
hukum yang diberikan pada pelaku
criminal yang bisa seenaknya sendiri
tidak patuh pada putusan hakim yang
menjeratnya dipandang oleh penulis
sebagai bukti perkembangan hukum di
Indonesia. Hal yang sangat mencolok ini
kemudian menarik perhatian penulis
untuk mengkaji mengenai aturan
yuridis tentang upaya hukum peninjauan
kembali (PK)/Herziening oleh DPO,
serta menganalisa putusan Putusan
MA.RI No. 97/PK/Pid.Sus/2012, dengan
harapan agar tulisan yang ditulis oleh
penulis akan bermanfaat bagi
1 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta,2005.
perkembangan kemajuan hukum pidana di
Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung tingkat
kasasi bukanlah upaya hukum terakhir
yang bisa ditempuh oleh terpidana
melainkan masih ada PK yang dapat
diajukan. Maka berdasarkan latar belakang
tersebut penulis dapat mengambil dua pokok
permasalahan yang terdiri :
1. Bagaimana pengaturan tentang
pengajuan peninjauan kembali DPO
oleh ahli waris terpidana tindak
pidana korupsi?
2. Apakah status “Istri” dalam Putusan
No. 97/PK/PID.SUS/2012 dapat
dikatakan sebagai “Ahli Waris”
sesuai dengan Pasal 263 ayat 1
KUHAP?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
yuridis-normatif, yaitu penelitian yang
meneliti norma yang berlaku di masyarakat.
Penelitian normatif tersebut juga disebut
dengan penelitian doktrinal. Penelitian
Doktrinal adalah penelitian yang melakukan
evaluasi terhadap peraturan perundang-
undangan, menjelaskan permasalahan
dalam peraturan tersebut, dan melakukan
prediksi efektifitas peraturan tersebut di
masa yang akan datang.2
Penelitian hukum ini bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan normatif tentang
hubungan antara satu peraturan dengan 2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Kencana, Jakarta, 2008, hlm.32
peraturan lain dan penerapan dalam
prakteknya sehingga penelitian hukum ini
membutuhkan data primer dan data
sekunder.
SUMBER BAHAN HUKUM
Bahan hukum primer yaitu bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas3 terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD 1945),
2. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP),
3. Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP),
4. Undang-Undang No. 14 tahun I985
tentang Mahkamah Agung,
5. Surat Edaran Mahkamah Agung No
1 Tahun 2012.
Bahan hukum sekunder yaitu
semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi.4 Publikasi ilmiah tersebut terdiri
dari buku, jurnal, artikel ilmiah, kamus
hukum serta publikasi ilmiah lainnya
yang mempunyai relevansi dengan
penelitian ini, dapat digunakan sebagai
penjelasan atas sumber hukum sekunder
PEMBAHASAN
PENGATURAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
3 Ibid, hlm 1414 Ibid.
Sejarah Pengajuan Peninjauan Kembali
Pada zaman Hindia Belanda,
peninjauan kembali (herziening) terdapat
dalam Reglement op de Strafvordering
(RSv)-Stb. Nomor 40 jo 57 tahun 1847
khususnya dalam title 18, Pasal 356 sampai
dengan Pasal 360. RSv adalah hukum acara
pidana pada Raad van Justitie, peradilan
bagi Golongan Eropa. Lembaga herziening
yang terdapat dalam RSv tersebut tidak
berlaku pada Landraad, peradilan untuk
golongan Bumiputra.
Menurut Pasal 356 RSv, herziening
dapat diajukan terhadap putusan
pemidanaan (veroordeling) yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kract
van gewijsde) dengan alasan:
1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam
berbagai putusan terdapat pernyataan yang
telah dinyatakan terbukti, ternyata
bertentangan satu dengan yang lainnya.
2. Atas dasar keadaan yang pada waktu
pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui
dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri
sendiri maupun sehubungan dengan bukti-
bukti yang telah diajukan. Apabila keadaan
itu diketahui, pemeriksaan akan berupa
putusan bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, atau terhadap perkara
itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan. Alasan-alasan tersebut dapat
diajukan dalam suatu permohonan
peninjauan kembali, bila dalam suatu
putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
tetap suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti,
tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
Menurut Pasal 357 RSv, upaya
peninjauan kembali dapat diajukan
dengan suatu permohonan ke Mahkamah
Agung oleh Jaksa Agung (door den
procureur general) atau seorang
terpidana yang dijatuhi pidana dengan
putusan yang telah tetap dengan melalui
kuasa khusus untuk keperluan tersebut.5
Setelah kemerdekaan, ketentuan
peninjauan kembali pertama kali terdapat
dalam Perma Nomor 1 tahun 1969
tentang peninjauan kembali keputusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Latar
belakang dikeluarkannya Perma ini, dapat
diketahui dari dasar pertimbangannya
sebagai berikut :6
1. Lembaga peninjauan kembali
menjadi kebutuhan hukum yang
mendesak. Terbukti banyak sekali para
pencari keadilan mengajukan
permohonan peninjauan kembali kepada
Pengadilan Negeri atau secara langsung
kepada Mahkamah Agung. Banyak di
antara permohonan peninjauan kembali
tersebut mempunyai dasar-dasar yang
kuat, sementara belum ada hukum acara
mengenai peninjauan kembali.
Mahkamah Agung akhirnya
memberanikan diri untuk menetapkan
Peraturan Mahkamah Agung tentang
peninjauan kembali tersebut.5 Ibid6 H. Adam Chazawi, Op-cit, hal. 15
2. Untuk mengisi kekosongan hukum
dan bersifat sementara sebelum adanya
Undang-Undang yang mengatur tentang
peninjauan kembali, agar dapat menampung
kebutuhan hukum bagi pencari keadilan
untuk mengajukan peninjauan kembali.
3. Mahkamah Agung mengeluarkan
peraturan tersebut dengan maksud untuk
menambah hukum acara Mahkamah Agung
dengan hukum acara pidana peninjauan
kembali yang telah terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung.
Berdasarkan isi Pasal 3 Perma Nomor 1
tahun 1969, bahwa Mahkamah Agung dapat
meninjau kembali atau memerintahkan
ditinjau kembali suatu putusan pidana yang
tidak mengandung pembebasan dari semua
tuduhan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap atas dasar alasan :7
1. Apabila putusan dengan jelas
memperlihatkan kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang mencolok;
2. Apabila dalam putusan terdapat
keterangan-keterangan yang dianggap
terbukti akan tetapi ternyata satu sama lain
saling bertentangan;
3. Apabila terdapat keadaan baru;
4. Apabila perbuatan yang telah
dituduhkan telah dinyatakan terbukti akan
tetapi tanpa diikuti oleh suatu pemidanaan.
7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap. http://pa-rantau.pta- banjarmasin.go.id/index.php?content=umum&id=39, diunduh tanggal 15 Mei 2017
Dalam Pasal 4 ayat (1) Perma
Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan
Kembali Keputusan Pengadilan Yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum
Tetap, dijelaskan bahwa permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana
yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap harus diajukan oleh :8
1. Terpidana;
2. Pihak yang berkepentingan, dan
3. Jaksa Agung.
Perma Nomor 1 tahun 1969, tidak
berumur panjang karena pada tanggal 30
Nopember 1971 Mahkamah Agung
mencabut Perma tersebut melalui Perma
Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya
Perma Nomor 1 tahun 1969 adalah
Mahkamah Agung menyadari bahwa
ketentuan mengenai peninjauan kembali
yang diatur melalui Perma merupakan
suatu kekeliruan. Kekeliruan tersebut
dikarenakan Mahkamah Agung merasa
tidak berwenang untuk mengeluarkan
Perma mengenai peninjauan kembali dan
pengaturan hukum acara mengenai
peninjauan kembali harus melalui
undang-undang. Dengan dicabutnya
Perma Nomor 1 tahun 1969 maka terjadi
kekosongan hukum mengenai peninjauan
kembali, akan tetapi pada tanggal 1
Desember 1980 dikeluarkan Perma
Nomor 1 tahun 1980 yang isinya jauh
lebih lengkap dari Perma Nomor 1 tahun
8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
1969.9
Syarat Formil Mengajukan Permintaan
Peninjauan Kembali
Terdapat 3 (tiga) syarat formil secara
kumulatif untuk mengajukan permohonan
upaya hukum Peninjauan Kembali dalam
Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yaitu :
1. Dapat dimintakan pemeriksaan di tingkat
Peninjauan Kembali hanya terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde).
2. Hanya terpidana atau ahli warisnya yang
boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali.
3. Boleh diajukan Peninjauan Kembali
hanya terhadap putusan yang
menghukum/mempidana saja.10
Lebih lanjut Adami Chazawi
mengatakan, bahwa tiga syarat formil
tersebut bersifat limitatif dan sangat tegas.
Ketentuan isi rumusan pasal tersebut juga
bersifat tertutup, tidak dapat ditambah oleh
hakim melalui penafsiran, meskipun dengan
alasan mencari untuk menemukan hukum.11
Syarat Materiil dalam Mengajukan 9 Ibid10 Adam Chazawi, Lembaga Peninjauan
Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 26.
11 Ibid
Permohonan Peninjauan Kembali
Syarat-syarat materiil mengajukan
permohonan upaya hukum Peninjauan
Kembali secara limitatif dicantumkan
dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
Penuntut Umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam berbagai putusan
terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Dengan kata lain, syarat materiil agar
permohonan Peninjauan Kembali dapat
diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah
Agung, yaitu
(1) Adanya keadaan baru (novum);
(2) Ada beberapa putusan yang saling
bertentangan (conflict van rechtspraak)
dan;
(3) Putusan yang memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan
nyata.
Pengertian Daftar Pencarian Orang
dan Dasar Hukumnya
Menurut Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tidak mengenal istilah
DPO. KUHAP hanya mengatur mengenai
tersangka. Pasal 1 angka 14 KUHAP
dijelaskan bahwa tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Terhadap
tersangka tersebut bisa dilakukan
penangkapan atau pemanggilan terlebih
dahulu jika sebelumnya belum pernah
diperiksa sebagai tersangka. Nah jika
tersangka telah dipanggil tiga kali untuk
pemeriksaan tetapi tidak datang dan tidak
jelas keberadaannya maka tersangka
tersebut bisa ditetapkan sebagai DPO. Hal
ini diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14
tahun 2012 (Perkap 14/2012) tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Dalam Pasal 31 ayat (1) Perkap
14/2012 dinyatakan bahwa tersangka yang
telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam
rangka penyidikan perkara sampai lebih
dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas
keberadaannya, dapat dicatat di dalam
Daftar Pencarian Orang (DPO) dan
dibuatkan Surat Pencarian Orang.
Kemudian dalam ayat (3) nya dikatakan
bahwa dalam hal tersangka dan/atau orang
yang dicari sudah ditemukan atau tidak
diperlukan lagi dalam penyidikan maka
wajib dikeluarkan Pencabutan DPO.
Pengertian Ahli Waris pada Putusan MA
No.97/PK/PID.SUS/2012
Pengertian Ahli Waris yang di
tafsirkan oleh Hakim pada Putusan
tersebut ada 2 penafsiran. Pertama,
seseorang dapat disebut sebagai ahli
waris walaupun terpidana belum
meninggal dunia. Kedua, seseorang tidak
dapat disebut sebagai ahli waris apabila
terpidana belum meninggal dunia atau
masih dalam keadaan hidup. Dari kedua
tafsir tersebut, maka penulis lebih sepakat
dengan pendapat kedua yang
mengategorikan seseorang sebagai ahli
waris apabila terpidana telah meninggal
dunia. Pendapat penulis itu didasarkan
pada makna istilah “ahli waris” dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang
ditafsirkan dengan metode penafsiran
gramatikal (gramatical interpretatie) atau
yang sering disebut penafsiran menurut
tata bahasa dan penafsiran sistematis
(systematic interpretatie).
Metode interpretasi menurut bahasa
(gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran
undang-undang menurut arti kata-kata
(istilah) yang terdapat dalam undang-
undang. Hukum wajib menilai arti kata
yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-
hari yang umum. Penafsiran gramatikal
(tata bahasa) digunakan untuk
mengetahui makna ketentuan undang-
undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susun kata atau bunyinya.
Penafsiran gramatikal dilakukan dengan
mencari arti kata-kata dalam kamus atau
minta penjelasan-penjelasan dari para ahli
Bahasa. Dengan menggunakan penafsiran
gramatikal, maka untuk mengetahui arti
atau makna istilah “ahli waris” yang
digunakan oleh KUHAP dalam pembahasan
ini akan dilihat dari kamus bahasa dan
dibantu dengan kamus lainnya. Istilah “ahli
waris” merupakan gabungan dari 2 (dua)
unsur kata, yaitu “ahli” dan “waris.”
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata “ahli” berarti mahir, pandai sekali,
paham sekali tentang suatu disiplin negara,
orang yang mempunyai ilmu khusus.
Kemudian kata “waris” berarti orang yang
berhak menerima harta dari orang yang
telah meninggal dunia. Menurut Kamus
Ilmiah Populer, waris berarti: 1) orang yang
berhak menerima harta benda pusaka orang
yang telah meninggal; 2) warisan, harta
peninggalan, asli waris yang sesungguhnya
seperti anak, dsb; karib waris yang dekat
kepada anak cucu dsb; sah penerima waris
berdasarkan hukum (agama, adat).
Selanjutnya di dalam Kamus Hukum,
yang dimaksud dengan ahli waris adalah
orang-orang yang berhak menerima harta
warisan (harta pusaka). Adapun yang
dimaksud dengan harta pusaka adalah harta
benda peninggalan baik benda bergerak
maupun benda tetap; harta warisan. Sesuai
dengan penjelasan dalam Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Ilmiah Populer, dan
Kamus Hukum di atas, maka secara
gramatikal istilah “ahli waris” memiliki arti
atau makna sebagai orang yang berhak
menerima harta benda atau harta pusaka
milik orang yang telah meninggal dunia.
Orang yang meninggal dunia yang
meninggalkan harta benda lazimnya
jugadisebut sebagai “pewaris.” Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara
gramatikal seseorang baru dapat
dikategorikan sebagai ahli waris apabila
termasuk ke dalam orangorang yang
berhak menerima harta warisan atau harta
pusaka milik orang yang telah meninggal
dunia. Oleh karena itu, seseorang tidak
dapat dikategorikan sebagai ahli waris
apabila bukan termasuk orang yang
berhak menerima harta warisan dan
pemilik harta warisan masih hidup atau
belum meninggal.
STATUS ISTRI PADA PUTUSAN MA
NO. 97/PK/PID.SUS/2012 DITINJAU
DARI PASAL 263 AYAT 1 KUHAP
Disposisi Kasus
Berikut ini adalah uraian mengenai
posisi kasus Terdakwa Sudjiono Timan
yang menjadi obyek pengajuan
permohonan Peninjauan Kembali oleh
Istri terdakwa kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Uraian ini diolah
dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel, Putusan
Mahkamah Agung RI Tingkat Kasasi
Nomor : 434 K/PID/2003, Memori
Permohonan Peninjauan Kembali, dan
Putusan Peninjauan Kembali dengan
Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Dengan
demikian, data dan fakta yang terurai
disini merupakan data dan fakta yang
terungkap di dalam persidangan
sebagaimana telah termuat di dalam
putusan Peninjauan Kembali tersebut.
Uraian selengkapnya mengenai posisi kasus
tersebut adalah sebagai berikut :
Perbuatan yang dilakukan Sudjiono
Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,
Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman dan
bersama-sama pula dengan Agus Anwar
dalam pengaliran dana kepada Kredit Asia
Finance Limited dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum yang telah
mengakibatkan kerugian Negara sebesar
USD 73,841,119.70 (tujuh puluh tiga juta
delapan ratus empat puluh satu ribu seratus
sembilan belas Dollar Amerika Serikat dan
tujuh puluh sen) dan Rp.116.391.349.560,-
(seratus enam belas miliar tiga ratus
sembilan puluh satu juta tiga ratus empat
puluh sembilan ribu lima ratus enam puluh
rupiah), dengan perincian :
1. Sehubungan dengan Transaksi
pengaliran dana dari PT. BPUI
menggunakan cara penempatan dana pada
Promissory Notes Kedit Asia Finance
Limited (KAFL) menyebabkan kerugian
Negara sebesar USD 46,027,052.39 (empat
puluh enam juta dua puluh tujuh ribu lima
puluh dua Dollar Amerika Serikat dan tiga
puluh sembilan sen) dan
Rp.116.391.349.560,- (seratus enam belas
miliar tiga ratus sembilan puluh satu juta
tiga ratus empat puluh sembilan ribu lima
ratus enam puluh rupiah).
2. Sehubungan dengan Transaksi
pengaliran dana dari PT. BPUI
menggunakan perusahaan KAFL untuk
mengalirkan dana kepada PT. Primawira
Insan Persada menimbulkan kerugian
Negara sekurang-kurangnya sebesar USD
27,814,199.70 (dua puluh tujuh juta
delapan ratus empat belas juta seratus
sembilan puluh sembilan Dollar Amerika
Serikat dan tujuh puluh sen). Pada
tanggal 20 November 1995 sampai
dengan 30 Mei 1996.
Bahwa akibat perbuatan Sudjiono
Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,
Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman
dan bersama-sama pula dengan Prajogo
Pangestu, aliran dana kepada Festival
Company Inc. tersebut dianggap telah
menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi
PT. BPUI, antara lain adalah :
1. Dalam kaitannya dengan pengaliran
dana kepada Festival Company Inc.
secara dua tahap (two-step) melalui
KAFL senilai US$ 30,250,005.
a. Bukti tagihan yang dimiliki Bahana
atas KAFL hanya Promissory Notes,
sehingga ketentuan-ketentuan yang
mengatur hak dan kewajiban para pihak
tidak diatur terperinci.
b. KAFL merupakan badan hukum
asing apabila KAFL tidak dapat
membayar hutang kepada Bahana dan
Bahana akan melakukan penuntutan
sesuai prosedur hukum, akan mendapat
kesulitan.
2. Dalam kaitannya dengan
Pemberian Fasilitas Pinjaman
Penjembatanan kepada Festival Co.
sebesar USD 37,000,000.00.
a. Dokumen pendukung yang ada di
BPUI sangat terbatas sehingga sulit untuk
mengetahui pihak yang berwenang untuk
mewakili Festival Co.
b. Berdasarkan Penjanjian Kredit dan
Perjanjian Gadai Saham, saham yang
dijaminkan kepada Bahana adalah saham
APC Group milik Festival Co, tetapi
sertifikat saham yang diserahkan kepada
Bahana adalah saham APC Group milik
Festival Equities.
c. Dokumen pendukung Festival
Equities tidak dimiliki Bahana.
Bahwa akibat perbuatan Sudjiono
Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,
Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman, dan
bersama-sama pula dengan Prajogo
Pangestu dalam pengaliran dana kepada
Festival Company Inc. dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum yang telah
mengakibatkan kerugian Negara sebesar
USD 79,914,265.15 (tujuh puluh sembilan
juta sembilan ratus empat belas ribu dua
ratus enam puluh lima dan lima belas sen
Dollar Amerika Serikat), dengan perincian :
a. Sehubungan dengan pengaliran dana
pada Festival Company Inc. melalui Kredit
Asia Finance Limited menimbulkan
kerugian Negara sebesar USD
34,509,505.06. (tiga puluh empat juta lima
ratus sembilan ribu lima ratus lima dan
enam sen Dollar Amerika Serikat).
b. Sehubungan dengan Pemberian
Fasilitas Pinjaman Penjembatanan kepada
Festival Co. sebesar USD 37,000,000.00
menimbulkan kerugian Negara sekurang-
kurangnya sebesar USD 45,404,760.09.
(empat puluh lima juta empat ratus empat
ribu tujuh ratus enam puluh dan Sembilan
sen Dollar Amerika Serikat).
Perbuatan Sudjiono Timan yang
dianggap dilakukan secara melawan
hukum dimana dalam pengaliran dana
dianggap telah memperkaya Penta
Investment Limited dan atau Jubilee
Venture Capital dan atau Roberto V.
Ongpin serta dianggap mengakibatkan
kerugian Negara sebesar USD
25,187,417.08. (dua puluh lima juta
seratus delapan puluh tujuh ribu empat
ratus tujuh belas dan delapan sen Dollar
Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya
USD 19,025,502.00 (sembilan belas juta
dua puluh lima ribu lima ratus dua Dollar
Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 15
Desember 1997, PT. BPUI melalui
suratnya No.059/HR/BPUI/1997,
ditujukan kepada Menteri Keuangan u.p.
Direktur Jendral Lembaga Keuangan
(DJLK) yang ditandatangani oleh Hadi
Rusli (Direktur PT. BPUI),
mengajukan permohonan untuk
memperoleh fasilitas pendanaan
subordinasi dari Rekening Dana Investasi
(RDI) dengan maksud dan tujuan untuk
digunakan dalam program stabilisasi
pasar modal dan uang oleh PT. BPUI,
yaitu sebesar Rp.250.000.000.000,- (dua
ratus lima puluh miliar), dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan tingkat bunga
tahun pertama sebesar 20% sedangkan
tingkat bunga tahun kedua dan tahun ketiga
disesuaikan dengan kondisi pasar.
Pengembalian pinjaman, pokok dan bunga
sekaligus pada akhir tahun ketiga. Terhadap
surat tersebut, Direktur Jendral Lembaga
Keuangan (Sdr. Bambang Subianto),
membuat Nota Dinas No.ND-667/LK/97,
tertanggal 15 Desember 1997 kepada
Menteri Keuangan (Sdr. Mar’ie
Muhammad) yang isinya mendukung
permohonan dan untuk meminta
persetujuan terhadap permohonan dari PT.
BPUI tersebut.
Sudjiono Timan dianggap telah
mengelola dana tersebut secara melawan
hukum, dalam hal ini Timan tidak
mengelola dana tersebut sebagaimana
persyaratan yang ditentukan oleh
Pemerintah cq. Departemen Keuangan R.I.
dan telah menggunakan dana tersebut
menyimpang dari maksud dan tujuan
pemberian fasilitas dana sebagaimana
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dalam
hal ini :
1. Sudjiono Timan tidak menempatkan
pada rekening khusus sebagaimana
ditentukan oleh Menteri Keuangan,
sehingga penggunaan dananya tidak bisa
diawasi oleh Menteri Keuangan.
2. Dana tersebut tidak digunakan untuk
stabilisasi pasar modal dan uang melainkan
digunakan untuk :
a. Membayar hutang MTN I, di mana
Sudjiono Timan dan Direktur Keuangan
PT. BPUI : Hadi Rusli mengatur
pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI
pada tanggal 22 Desember 1997 ke
BNI sebesar Rp.190,5 miliar, yang
digabungkan dengan dana dari Bank
Tiara sebesar Rp.23 miliar dan dari Bank
Niaga sebesar Rp.3 miliar, antara lain
digunakan membeli dollar sebesar
Rp.106,5 miliar atau setara USD 20 juta
untuk membayar hutang PT. BPUI
tersebut, dan sisanya sebesar Rp.110
miliar di simpan dalam bentuk Time
Deposit yang keesokan harinya dicairkan
dan ditransfer lagi ke BRI Kantor cabang
khusus.
b. Investasi di PUAB (Pasar Uang
Antar Bank), di mana Sudjiono Timan
dan Direktur Keuangan PT. BPUI : Hadi
Rusli mengatur pelaksanaan transfer dana
fasilitas RDI pada tanggal 22 Desember
1997 sebesar Rp.31,15 miliar ke rekening
PT. BPUI di Bank Niaga, untuk
selanjutnya dana tersebut di transfer ke
socgen sebesar Rp.5 miliar dan Standard
Chartered Bank sebesar Rp.26,5 miliar.
c. Investasi di PUAB (Pasar Uang
Antar Bank) serta operasional PT.
Bahana Sekuritas, di mana Sudjiono
Timan dan Hadi Rusli mengatur
pelaksanaan :
- Transfer dana fasilitas RDI pada
tanggal 24 Desember 1997 ke rekening
PT. BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.30
miliar.
- Pencairan Time deposit sebesar
Rp.20 miliar.
Untuk selanjutnya dana tersebut sebesar
Rp.30 miliar ditransfer ke Bank BII untuk
investasi PUAB (Pasar Uang Antar Bank)
dan Rp.20 miliar ditransfer ke Bahana
Sekuritas.
d. Deposit pada Bank PDFCI sebesar
Rp.15 miliar, di mana Sudjiono Timan dan
Hadi Rusli mengatur pelaksanaan transfer
dana fasilitas RDI pada tanggal 30
Desember 1997 ke rekening PT. BPUI di
Bank Niaga sebesar Rp.10 miliar,
sedangkan yang Rp.5 miliar berasal dari
dana PT. BPUI di Bank lain.
e. Deposit pada Bank PDFCI, Bank
Tiara dan Bank Umum Nasional, di mana
Sudjiono Timan dan Hadi Rusli mengatur
pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI
pada tanggal 7 Januari 1998 ke rekening
PT. BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.145
miliar, selanjutnya dana tersebut
ditempatkan/didepositokan pada Bank
PDFCI sebesar Rp.115 miliar, pada Bank
Tiara sebesar Rp.15 miliar, dan pada Bank
Umum Nasional Cabang Rasuna Said
sebesar Rp.10 miliar.
Melalui perbuatan yang dianggap
melawan hukum tersebut, Sudjiono Timan
telah memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan dalam hal ini PT.
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau
PT. Bahana Sekuritas atau dan atau PT.
Bahana Artha Ventura, dan atau Bank
PDFCI, dan atau Socgen, dan atau Standard
Chartered Bank (SCB) dan atau Bank
Internasional Indonesia (BII) dan atau Bank
Tiara dan atau Bank Umum Nasional
(BUN) karena :
a. Pada tanggal 22 Desember 1997,
Sudjiono Timan bersama-sama Hadi
Rusli menyetujui dua kali transfer dana
RDI ke rekening PT. BPUI di BNI 46
No.070780115264901 sebesar Rp.170,5
miliar dan sebesar Rp.20 miliar,
kemudian dana tersebut digunakan untuk
membayar hutang MTN I sebesar
Rp.106,5 miliar, sisanya didepositokan
dan dicairkan serta ditransfer kembali
tanggal 23 Desember 1997 ke BRI KC
Khusus.
b. Pada tanggal 22 Desember 1997,
Sudjiono Timan bersama-sama Hadi
Rusli menyetujui transfer dana RDI ke
rekening PT. BPUI di Bank Niaga,
No.64-1-0078-9 sebesar Rp.31,15 miliar,
untuk kemudian pada hari yang sama
ditransfer ke Socgen Rp.5 miliar dan
SCB sebesar Rp.26,5 miliar.
c. Pada tanggal 24 Desember 1997,
Sudjiono Timan bersama-sama Hadi
Rusli menyetujui transfer dana RDI ke
rekening PT. BPUI di Bank Niaga No.64-
1-0078-9, sebesar Rp.30 miliar.
Selanjutnya setelah bercampur dengan
dana dari pencairan Time deposit sebesar
Rp.20 miliar, kemudian ditransfer ke BII
sebesar : Rp.30 miliar dengan keterangan
PUAB dan ditransfer ke PT. Bahana
Sekuritas sebesar Rp.20 miliar.
d. Pada tanggal 30 Desember 1997,
Sudjiono Timan bersama- sama Hadi
Rusli menyetujui transfer dana RDI ke
rekening PT. BPUI di Bank Niaga,
No.64-1-0078-9 sebesar Rp.10 miliar,
kemudian setelah bercampur dengan dana
dari Bank lain sebesar Rp.17,5 miliar,
kemudian didepositokan ke Bank PDFCI
sebesar Rp.15 miliar.
e. Pada tanggal 7 Januari 1998,
Sudjiono Timan bersama-sama Hadi Rusli
menyetujui transfer dana RDI ke rekening
PT. BPUI di Bank Niaga No.64-1-0078-9
sebesar Rp.145 miliar, selanjutnya
ditempatkan/ didepositokan di Bank PDFCI
sebesar Rp.115 miliar, Bank Tiara Rp. 15
miliar dan BUN Rp.10 miliar.
Perbuatan Sudjiono Timan yang
dianggap dilakukan secara melawan hukum
sebagaimana telah diuraikan di atas,
dianggap telah memperkaya PT. (Persero)
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan
atau PT. Bahana Sekuritas, dan atau pihak-
pihak lain sebagaimana tersebut di atas
yang menerima aliran dana dari PT. BPUI
menggunakan dana pinjaman RDI tersebut
di atas.
Dari perbuatan Sudjiono Timan yang
dilakukan sebagaimana diuraikan di atas
dianggap telah mengakibatkan kerugian
keuangan Negara dalam hal ini Departemen
Keuangan yaitu sebesar Rp.
253.055.555.555,56 (dua ratus lima
puluh tiga miliar lima puluh lima juta
lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus
lima puluh lima rupiah lima puluh enam
sen).
Oleh karena Sudjiono Timan
dianggap telah melakukan perbuatan
melawan hukum, yaitu dalam penyaluran
dana kepada Kredit Asia Finance Limited,
Festival Company Inc. dan Penta
Investment Limited, serta penggunaan
fasilitas Rekening Dana lnvestasi (RDI),
dan perbuatan tersebut dianggap telah
memperkaya pihak-pihak sebagaimana
yang diuraikan tersebut di atas, serta
dianggap mengakibatkan kerugian
keuangan Negara sebesar USD 178,942,
801.93 (seratus tujuh puluh delapan juta
sembilan ratus empat puluh dua ribu
delapan ratus satu Dollar Amerika Serikat
dan sembilan puluh tiga sen) dan
Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam
puluh sembilan miliar empat ratus empat
puluh enam juta sembilan ratus lima ribu
seratus lima belas rupiah dan lima puluh
enam sen), maka Sudjiono Timan
didakwa dengan dakwaan :
1. Primair, telah melakukan tindak
pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat
(1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55
Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1)
KUHP.
2. Subsidair, telah melakukan tindak
pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat
(1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun1
999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal
55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1)
KUHP.
Di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, terdakwa Sudjiono Timan
diputus bebas. Terhadap putusan itu
kemudian Jaksa Penuntut Umum
mengajukan Kasasi. Oleh Majelis Hakim
kasasi, terdakwa Sudjiono Timan diputus
bersalah dan dijatuhi hukuman 15 (lima
belas) tahun beserta denda Rp 50 juta dan
membayar uang pengganti sebesar Rp 369
miliar.
Terhadap putusan kasasi tersebut
setelah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Isteri dari Sudjiono Timan mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali. Majelis
Hakim Peninjauan Kembali memutus
bahwa Isteri Sudjiono Timan adalah sah
sebagai pemohon Peninjauan Kembali
berdasarkan kedudukannya sebagai ahli
waris dari terpidana Sudjiono Timan.
Kedudukan Istri Sebagai Ahli Waris
dalam Sistem Pewarisan
1. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat di Indonesia dikenal
adanya 3 (tiga) sistem kekeluargaan dan
waris adat, yaitu :
a) Sistem Patrilineal.
b) Sistem Matrilineal.
c) Sistem Parental atau Bilateral.
Sistem patrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan
nenek moyang pihak laki-laki. Di dalam
sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak
laki-laki sangat menonjol, dimana yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki.
Sistem matrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan
nenek moyang pihak perempuan. Di dalam
sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki
tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya.
Anak-anak menjadi ahli waris dari garis
perempuan atau garis ibu karena anak-
anak mereka merupakan bagian dari
keluarga ibunya, sedangkan ayahnya
masih merupakan anggota keluarganya
sendiri.
Sistem parental atau bilateral
adalah sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan dari dua sisi, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di
dalam sistem ini kedudukan anak laki-
laki dan perempuan dalam hukum waris
sama dan sejajar.
Selain anak-anak yang menjadi ahli
waris kedudukan Isteri sebagai ahli waris
sangat ditentukan oleh sistem
kekeluargaan yang dianutnya. Dalam
masyarakat adat yang menganut sistem
kekeluargaan parental, janda tidak dapat
dianggap sebagai ahli waris almarhum
suaminya, akan tetapi ia berhak
menerima penghasilan dari harta
peninggalan si suami jika ternyata bahwa
harta gono-gini tidak mencukupi. Janda
berhak untuk terus hidup seperti
keadaannya pada waktu perkawinan.
Pertimbangan Hakim dalam Putusan
No.97/PK/PID.SUS/2012 Berkaitan
dengan Kedudukan Istri Tepidana
sebagai Ahli Waris
Majelis Hakim yang memeriksa
perkara Peninjauan Kembali sebagaimana
putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012
berpendapat bahwa pemohon Peninjauan
Kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono
Timan yang dalam kedudukannya sebagai
Ahli Waris berhak mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali. Pendapat
Majelis Hakim ini didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:
Pertama, dalam Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP ditentukan pihak- pihak yang
berhak mengajukan Peninjauan Kembali
terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang
bukan putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli
Warisnya.
Kedua, Pemohon Peninjauan Kembali
adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono
Timan yang hingga saat diajukannya
permohonan tidak pernah melakukan
perceraian.
Ketiga, KUHAP tidak memberikan
pengertian siapa yang dimaksud “Ahli
Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1) tersebut.
Keempat, dalam sistem hukum yang
berlaku di Negara RI, selain anak yang sah
sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri
juga merupakan Ahli Waris dari suaminya.
Kelima, makna istilah “Ahli Waris”
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut
dimaksudkan bukan dalam konteks
hubungan waris mewaris atas harta benda
Terpidana, melainkan istilah tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang
mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli
Waris dari Terpidana berhak pula untuk
mengajukan Peninjauan Kembali.
Keenam, menurut M. Yahya Harahap
dalam bukunya “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,
Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara
lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris
untuk mengajukan Peninjauan Kembali
bukan merupakan “hak substitusi” yang
diperoleh setelah Terpidana meninggal
dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil”
yang diberikan undang-undang kepada
mereka demi untuk kepentingan
Terpidana.
Ketujuh, berdasarkan pendapat M.
Yahya Harahap tersebut, baik Terpidana
maupun Ahli Waris sama-sama
mempunyai hak mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih
hidup atau tidak, lagi pula undang-
undang tidak menentukan kedudukan
prioritas di antara Terpidana dengan Ahli
Waris.
Kedelapan, Isteri atau Ahli Waris
Terpidana selaku pemohon Peninjauan
Kembali yang didampingi oleh Kuasa
Hukumnya telah hadir di sidang
pemeriksaan Peninjauan Kembali pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai
dengan Berita Acara Persidangan masing-
masing tanggal 20 Februari 2012 dan
tanggal 29 Februari 2012.
Terhadap pertimbangan dari
Majelis Hakim tersebut, Sri Murwahyuni,
S.H., M.H., salah satu anggota Majelis
Hakim berpendapat berbeda (dissenting
opinion) dengan menyatakan bahwa Isteri
dari Terpidana Sudjiono Timan tidak bisa
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut :
- Bahwa permohonan Peninjauan
Kembali diajukan oleh Isteri terpidana.
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali adalah Terpidana atau Ahli
Warisnya, artinya Ahli Waris dapat
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali apabila Terpidana sudah
meninggal dunia.
- Bahwa dalam perkara a quo, tidak ada
keterangan yang menyatakan terpidana
sudah meninggal dunia, karena terpidana
tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri
untuk menghindari kewajibannya
melaksanakan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 434
K/PID/2003 yang telah menjatuhkan pidana
penjara selama 15 (lima belas) tahun karena
terbukti melakukan korupsi, sehingga
barang bukti dirampas untuk Negara.
- Bahwa adalah ironis apabila Ahli
Waris terpidana menuntut haknya,
sementara kewajiban terpidana
melaksanakan putusan Mahkamah Agung
tidak dipenuhi atau dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, pertimbangan
dan pendapat Majelis Hakim mengenai
kedudukan ahli waris dari Isteri Terpidana
Sudjiono Timan belumlah sama, karena
terdapat perbedaan pendapat (dissenting
opinion) dari salah seorang anggota Majelis
Hakim.
Analisis Dasar Pertimbangan Hakim
Secara teoritis, beberapa pertimbangan
Majelis Hakim Peninjauan Kembali
sebagaimana yang termuat dalam Putusan
Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 dapat
diklasifikasikan ke beberapa aspek, yaitu
aspek filosofis, aspek sosiologis, aspek
yuridis, dan aspek teoritik.
Menurut pendapat penulis Majelis
Hakim Peninjauan Kembali tidak memuat
pertimbangan dari aspek filosofis dan
aspek sosiologis, tetapi lebih
mempertimbangkan aspek yuridis dan
aspek teoritik. Dari 8 (delapan)
pertimbang an Majelis Hakim Peninjauan
Kembali yang termuat di dalam putusan
tersebut, pertimbangan dari aspek yuridis
lebih dominan daripada aspek teoritik.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa
pertimbangannya yang menunjukkan
bahwa terdapat 6 (enam) pertimbangan
yang merupakan aspek yuridis dan 2
(dua) pertimbangan yang merupakan
aspek teoritik. Klasifikasi pertimbangan
Hakim tersebut akan penulis uraikan
lebih lanjut dalam bagian analisis di
bawah ini.
Syarat formil pengajuan
permohonan Peninjauan Kembali diatur
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yaitu :
“Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.”
Salah satu syarat formil yang
berkaitan adalah mengenai ahli waris
sebagai pihak yang mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali. Menurut
M. Yahya Harahap, hak yang dimiliki oleh
ahli waris tersebut merupakan hak orisinil
bukan hak substitusi. Yang dimaksud “hak
orisinil” adalah hak yang diberikan oleh
undang- undang kepada mereka demi untuk
kepentingan terpidana. Sedangkan, yang
dimaksud dengan “hak substitusi” adalah
hak yang diperoleh setelah terpidana
meninggal dunia.
Dengan demikian, apabila dikatakan
bahwa hak untuk mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali dari ahli waris adalah
hak orisinil, sehingga hak tersebut adalah
hak yang didapatkan ahli waris walaupun
terpidana masih hidup dan bukanlah hak
substitusi yang diperoleh ahli waris setelah
meninggal dunia.
Persoalannya disini adalah kapan
seseorang dapat dikatakan sebagai ahli
waris. Penjelasan mengenai kapan
seseorang dapat dikatakan sebagai ahli
waris tidak pernah diketemukan di dalam
KUHAP. Bahwa KUHAP hanya
menyatakan : ”Yang dapat mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali adalah
terpidana atau ahli warisnya”, sehingga
tidak dapat diketahui apa dan siapa ahli
waris yang dimaksud. Untuk mengetahui
jawaban kapan seseorang bisa disebut
sebagai ahli waris kiranya dapat merujuk
sistem pewarisan menurut Hukum Perdata
(KUHPerdata), Hukum Adat, dan Hukum
Islam yang berlaku saat ini di Indonesia.
Sistem pewarisan yang diatur di
dalam KUHPerdata mengatur pewarisan
apabila pewaris meninggal dunia. Hal itu
berarti kedudukan seseorang menjadi ahli
waris terjadi pada saat pewaris meninggal
dunia. Dengan demikian dalam perkara a
quo, Isteri terpidana Sudjiono Timan
yang telah mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung RI sebenarnya tidak dalam
kedudukannya sebagai ahli waris karena
Sudjiono Timan belum meninggal atau
setidak-tidaknya tidak ada penetapan dari
pengadilan yang menyatakan bahwa
Sudjiono Timan telah meninggal dunia.
Hal ini juga dapat diketemukan di dalam
buku “Perumusan Memori Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Pidana”,
yang menyatakan : Jika yang mengajukan
Peninjauan Kembali adalah ahli waris,
maka harus dapat membuktikan bahwa
yang mengajukan tersebut adalah ahli
waris terpidana. Sebaliknya hal ini
dibuktikan dengan penetapan Pengadilan
Negeri. Sebelum mengajukan Peninjauan
Kembali, ahli waris terlebih dahulu
mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk
memperoleh penetapan Pengadilan
Negeri.
Oleh karena, permohonan
Peninjauan Kembali telah diajukan oleh
Isteri terpidana Sudjiono Timan tidak
dalam kedudukannya sebagai ahli waris,
maka permohonan Peninjauan Kembali
tersebut tidak memenuhi syarat formil
sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat
(1) KUHAP.
Selanjutnya, jika dilihat dalam sistem
pewarisan menurut hukum adat di
Indonesia dikenal ada 3 (tiga) sistem
kekeluargaan dan waris adat, yaitu :
a. Sistem Patrilineal
b. Sistem Matrilineal
c. Sistem Parental atau Bilateral
Sistem Patrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan
nenek moyang pihak laki-laki. Di dalam
sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak
laki-laki sangat menonjol, dimana yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki.
Sistem Matrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan
nenek moyang pihak perempuan. Di dalam
sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki
tidak menjadi pewaris untuk anak- anaknya.
Anak-anak menjadi ahli waris dari garis
perempuan atau garis ibu karena anak-anak
mereka merupakan bagian dari keluarga
ibunya, sedangkan ayahnya masih
merupakan anggota keluarganya sendiri.
Sistem Parental atau Bilateral adalah sistem
kekeluargaan yang menarik garis
keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah
maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini
kedudukan anak laki-laki dan perempuan
dalam hukum waris sama dan sejajar.
Dalam hukum adat di Indonesia,
Isteri dapat dikatakan sebagai ahli waris
ditemukan dalam putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 2 Nopember 1960 Reg
Nomor 302 K/SIP/1960 yang
memutuskan sebagai berikut :
Hukum Adat di seluruh Indonesia perihal
warisan mengenai seorang janda
perempuan dapat dirumuskan sedemikian
rupa bahwa seorang janda perempuan
selalu merupakan ahli waris terhadap
barang asal suaminya dalam arti bahwa
sekurang-kurangnya dari barang asal itu
sebagian harus tetap berada ditangan
janda sepanjang perlu untuk hidup secara
pantas samapai ia meninggal dunia atau
kawin lagi, sedang dibeberapa daerah di
Indonesia disamping penentuan ini
mungkin dalam hal barang-barang
warisan adalah berupa amat banyak
kekayaan maka si janda perempuan
berhak atas sebagian dari barang-barang
warisan seperti seorang anak kandung
dari sipeninggal warisan.
Dalam perkara a quo, Isteri
terpidana Sudjiono Timan telah
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung RI.
Bila dilihat dalam sistem pewarisan
menurut hukum adat, Isteri Sudjiono
Timan tidak dapat dikatakan menjadi ahli
waris dikarenakan Isteri akan
berkedudukan sebagai ahli waris dari
suaminya pada saat suami meninggal
dunia, sehingga status Isteri akan menjadi
janda. Oleh karena itu, permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Isteri terpidana Sudjiono Timan tidak
bisa dikatakan dapat memenuhi syarat
formil sebagaimana diatur dalam Pasal
263 Ayat (1) KUHAP.
Adapun, di dalam sistem pewarisan hukum
Islam terdapat kriteria pewarisan menurut
Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
1. Anak-anak si pewaris bersama-sama
dengan orang tua si pewaris serentak
sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem
hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak
mungkin sebab orang tua baru mungkin
menjadi ahli waris jika pewaris meninggal
dunia.
2. Jika pewaris meninggal dunia tanpa
mempunyai keturunan, maka ada
kemungkinan saudara-saudara pewaris
bertindak bersama-sama sebagai ahli waris
dengan orang tuanya, setidak- tidaknya
dengan ibunya. Prinsip tersebut mempunyai
maksud, jika orang tua pewaris, dapat
berkonkurensi dengan anak-anak pewaris,
apabila dengan saudara-saudaranya yang
sederajat lebih jauh dari anak-anaknya.
Menurut sistem hukum waris di luar Al-
Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab
saudara si pewaris tertutup haknya oleh
orang tuanya.
3. Bahwa suami-istri saling mewaris,
artinya pihak yang hidup paling lama
menjadi ahli waris dari pihak lainnya.
Peninjauan Kembali yang diajukan Isteri
terpidana Sudjiono Timan kepada
Mahkamah Agung RI dalam perkara a quo,
tidak memenuhi syarat formil perihal
pengajuan permohonan Peninjauan
Kembali. Dapat diperhatikan dalam sistem
pewarisan hukum Islam, kedudukan Istri
dapat menjadi ahli waris dari suaminya jika
pewaris (suami) meninggal dunia dimana
hal ini ditegaskan juga pada Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Berlakunya
Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan
mengenai pengertian Ahli Waris yang
termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah
“Orang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli
pewaris.”
Dalam putusan Peninjauan Kembali
Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012., Majelis
Hakim Peninjauan Kembali, dalam
pertimbangannya, berpendapat bahwa
ahli waris sebagaimana diatur dalam
Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dimaksudkan
bukan dalam konteks hubungan waris
mewaris atas harta benda terpidana,
melainkan istilah tersebut ditujukan
kepada orang-orang yang mempunyai
kedudukan hukum sebagai ahli waris dari
terpidana berhak pula untuk mengajukan
Peninjauan Kembali.
Dalam pertimbangannya Majelis
Hakim juga berpendapat bahwa pemohon
Peninjauan Kembali terhadap perkara a
quo adalah Istri sah dari terpidana
Sudjiono Timan yang hingga saat
diajukannya permohonan tidak pernah
melakukan perceraian (berdasarkan akte
perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28
Desember 1991). Berdasarkan
pertimbangan ini Majelis Hakim
berkesimpulan, dalam pertimbangannya,
bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di
negara Republik Indonesia, selain anak
yang sah sebagai ahli waris dari orang
tuanya, Istri juga merupakan ahli waris dari
suaminya.
Menurut pendapat penulis,
pertimbangan Hakim yang menyatakan
bahwa pemohon Peninjauan Kembali ialah
Istri sah dari Sudjiono Timan adalah benar,
karena pemohon Peninjauan Kembali
adalah Istri dari terpidana Sudjiono Timan
dan belum pernah bercerai berdasarkan
Akte Perkawinan Nomor 542/1991 tanggal
28 Desember 1991. Sebaliknya,
pertimbangan Majelis Hakim menyatakan
bahwa pemohon Peninjauan Kembali ialah
ahli waris dari terpidana Sudjiono Timan
adalah tidak tepat, karena kedudukan ahli
waris secara hukum baik menurut Hukum
Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat
baru timbul pada saat pewaris meninggal
dunia. Pada saat Istri dari terpidana
Sudjiono Timan mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali kedudukannya adalah
sebagai Istri dan bukan ahli waris.
Penulis tidak sependapat dengan
pertimbangan Majelis Hakim yang
menyatakan bahwa ketentuan ahli waris
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263
Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan
dalam konteks hubungan waris mewaris
atas harta benda terpidana, melainkan
ditujukan kepada orang-orang yang
mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli
waris, karena Majelis Hakim dalam
pertimbangannya tidak menguraikan
rujukan atau acuan yang bisa menjadi
dasar dari pendapat tersebut.
Penafsiran “Ahli Waris” dikaitkan
pada putusan MA
No.97/PK/PID.SUS/2012
Berkaitan dengan kedudukan Istri
dari terpidana Sudjiono Timan dalam
perkara a quo, majelis Hakim yang
memutus Peninjauan Kembali memiliki
pendapat yang berbeda satu dengan
lainnya. Dalam putusannya Majelis
Hakim berpendapat bahwa pemohon
Peninjauan Kembali adalah Istri
Terpidana Sudjiono Timan yang dalam
kedudukannya sebagai ahli waris
berhak mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali. Pendapat Majelis
Hakim ini didasarkan pertimbangan
sebagai berikut :
a. Bahwa dalam Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP ditentukan pihak-pihak yang
berhak mengajukan Peninjauan kembali
terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang
bukan putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, adalah Terpidana
atau Ahli Warisnya.
Pertimbangan Majelis Hakim ini
merupakan pertimbangan dari aspek
yuridis, karena Majelis Hakim
menempatkan Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP sebagai dasar untuk mengambil
putusan dalam perkara ini.
b. Bahwa Pemohon Peninjauan
kembali adalah Istri sah dari Terpidana
Sudjiono Timan yang hingga saat
diajukannya permohonan tidak pernah
melakukan perceraian (vide Akte
Perkawinan No.542/1991 tanggal 28
Desember 1991). Pertimbangan Majelis
Hakim ini merupakan pertimbangan dari
aspek yuridis, karena pemohon Peninjauan
Kembali yang merupakan Istri sah dari
terpidana Sudjiono Timan berdasarkan Akte
Perkawinan No. 542/1991 tanggal 28
Desember 1991.
c. Bahwa KUHAP tidak memberikan
pengertian siapa yang dimaksud “Ahli
Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1) tersebut.
Pertimbangan Majelis Hakim ini
merupakan pertimbangan dari aspek
yuridis, karena Pasal 263 Ayat (1) KUHAP
yang tidak memberikan pengertian siapa
yang dimaksud dengan ahli waris telah
menempatkan Majelis Hakim dalam
keadaan yang bebas untuk menafsirkan
siapa ahli waris yang dapat mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali.
d. Bahwa dalam sistem hukum yang
berlaku di Negara RI, selain anak yang sah
sebagai ahli waris dari orang tuanya, Istri
juga merupakan ahli waris dari suaminya.
Pertimbangan Majelis Hakim ini
merupakan pertimbangan dari aspek
yuridis, karena sistem pewarisan yang
berlaku di Indonesia menjadi acuan Hakim
untuk memberikan putusan sehingga
mengakui Istri dari terpidana Sudjiono
Timan adalah ahli warisnya.
e. Bahwa makna istilah “Ahli Waris”
dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut
dimaksudkan bukan dalam konteks
hubungan waris mewaris atas harta benda
Terpidana, melainkan istilah tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang
mempunyai kedudukan hukum sebagai
ahli waris dari terpidana berhak pula
untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Pertimbangan Majelis Hakim ini
merupakan pertimbangan dari aspek
yuridis. Dalam pertimbangan ini Majelis
Hakim tetap mengacu pada ketentuan
Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang tidak
menjelaskan mengenai siapa ahli waris.
Oleh karena itu, dalam kebebasannya
Majelis Hakim berpendapat bahwa ahli
waris bukan dalam konteks hubungan
waris mewaris terhadap harta benda
terpidana, melainkan ditujukan kepada
orang-orang yang mempunyai
kedudukan hukum sebagai ahli waris dari
terpidana berhak pula untuk mengajukan
Peninjauan Kembali.
f. Bahwa menurut M. Yahya
Harahap, SH. dalam bukunya
“Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012,
halaman 617, antara lain menyatakan
bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan
Peninjauan kembali bukan merupakan
“hak substitusi” yang diperoleh setelah
Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut
adalah “hak orisinil” yang diberikan
undang-undang kepada mereka demi
untuk kepentingan terpidana.
Pertimbangan Majelis Hakim ini
merupakan pertimbangan dari aspek
teoritik, karena Majelis Hakim
menggunakan pendapatnya M. Yahya
Harahap sebagai acuan untuk menjadi dasar
adanya putusan perkara ini.
Meskipun pertimbangan ini menjadi
dasar putusan Peninjauan Kembali karena
disetujui oleh sebagaian besar anggota
Majelis Hakim, dalam musyawarah Majelis
Hakim Agung terdapat perbedaan pendapat
(dissenting opinion) dari anggota majelis
yang memeriksa dan memutus perkara ini,
yaitu Sri Murwahyuni, S.H., M.H yang
berpendapat :
- Bahwa permohonan Peninjauan
Kembali diajukan oleh Istri terpidana.
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali adalah Terpidana atau Ahli
Warisnya, artinya Ahli Waris dapat
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali apabila Terpidana sudah
meninggal dunia.
- Bahwa dalam perkara a quo tidak ada
keterangan yang menyatakan terpidana
sudah meninggal dunia, karena terpidana
tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri
untuk menghindari kewajibannya
melaksanakan putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 434 K/PID/2003 yang telah
menjatuhkan pidana penjara selama 15
(lima belas) tahun karena terbukti
melakukan korupsi, sehingga barang bukti
dirampas untuk Negara.
- Bahwa adalah ironis apabila Ahli
Waris terpidana menuntut haknya,
sementara kewajiban terpidana
melaksanakan putusan Mahkamah Agung
tidak dipenuhi atau dilaksanakan.
Terhadap perbedaan pendapat
tersebut dalam pertimbangan Majelis
Hakim, penulis berpendapat bahwa
kiranya pendapat Sri Murwahyuni, S.H.,
M.H lebih tepat karena Istri dari terpidana
Sudjiono Timan, saat mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali belum
berkedudukan sebagai Ahli Waris. Saat
permohonan Peninjauan Kembali
diajukan oleh Istri terpidana Sudjiono
Timan, terpidana belum meninggal dunia
atau setidak-tidaknya belum ada
penetapan pengadilan yang menyatakan
Sudjiono Timan meninggal dunia.
Kedudukan Istri sebagai ahli waris
dari terpidana Sudjiono Timan akan
muncul pada saat Sudjiono Timan telah
meninggal dunia atau terdapat penetapan
pengadilan yang menyatakan bahwa
Sudjiono Timan telah meninggal dunia.
Hal ini sejalan dengan putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 20 April
1960 Reg Nomor 110 K/SIP/1960
kedudukan janda diakui sebagai ahli
waris dari almarhum suaminya
sebagaimana ditetapkan :”bahwa menurut
hukum adat seorang janda adalah juga
menjadi ahli waris dari almarhum
suaminya.”
Selain itu pula, KUHPerdata
mengatur pewarisan terjadi apabila
pewaris meninggal dunia dan ditegaskan
juga di dalam Pasal 830 KUHPerdata
yang menyatakan “Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian.” Dengan
demikian, Isteri terpidana Sudjiono Timan
baru berhak mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali pada saat terpidana
Sudjiono Timan meninggal dunia.
Demikian pula menurut sistem
pewarisan hukum Islam, berdasarkan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Berlakunya
Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan
mengenai pengertian Ahli Waris yang
termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah :
“Orang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli pewaris.”
Jadi, Istri Sudjiono Timan
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali dalam sistem pewarisan menurut
hukum Islam, kedudukan Istri menjadi ahli
waris terjadi pada saat suami meninggal
dunia.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
berpendapat bahwa dalam perkara a quo,
Istri terpidana Sudjiono Timan tidak
memenuhi syarat formil permohonan
Peninjauan Kembali dikarenakan beberapa
alasan sebagai berikut :
1. Istri terpidana Sudjiono Timan tidak
dapat mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali dengan status sebagai ahli waris
dari terpidana.
2. Kedudukan istri dapat menjadi ahli
waris dari suaminya, jika suaminya telah
meninggal dunia atau setidak-tidaknya ada
penetapan dari pengadilan yang
menyatakan pewaris telah meninggal
dunia.
3. Dasar yang menjadi acuan Istri
terpidana Sudjiono Timan dapat
mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali mengacu kepada sistem
pewarisan menurut Hukum perdata
dikarenakan jelas dalam Pasal 830
KUHPerdata menyatakan Pewarisan
hanya berlangsung karena kematian.
Pengertian ahli waris haruslah dilihat
dalam satu kesatuan sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori
penafsiran, yang dalam hal ini penafsiran
sistematik, pengertian ahli waris harus
dilihat dari aspek hukum perdata. Dilihat
dari aspek perdata baik berdasarkan
KUHPerdata, Hukum Adat, Hukum
Islam, kedudukan ahli waris baru timbul
pada saat pewaris meninggal dunia.
Oleh karena itu, dalam perkara a
quo, Istri terpidana Sudjiono Timan
tidak memenuhi syarat formil
sebagai pemohon Peninjauan Kembali
karena kedudukannya sebagai Istri bukan
sebagai ahli waris sebagaimana
disyaratkan oleh Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP.
Peninjauan kembali adalah upaya
hukum luar biasa bagi seorang terpidana
untuk memohon peninjauan ulang atas
putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Putusan itu dapat berupa putusan
pengadilan negeri atau pengadilan tinggi,
juga dapat berupa putusan Mahkamah
Agung yang telah berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde). UU No. 8
Tahun 1981 (KUHAP) sebagai hukum
acara pidana hanya membolehkan terpidana
atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat
mengajukan upaya hukum luar biasa PK
kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat
(1).
Adapun alasan untuk dapat mengajukan PK
adalah:
1. Apabila terdapat “keadaan baru” atau
novum;
2. Apabila dalam pelbagai putusan
terdapat saling pertentangan;
3. Apabila terdapat kekhilafan hakim
atau kekeliruan yang nyata dalam putusan
(Pasal 263 ayat (2)). Ketentuan KUHAP
sudah jelas bagi seorang terpidana yang
dihukum bersalah diberi kesempatan
terakhir untuk menempuh upaya hukum
PK. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa
dalam negara hukum (rechsstaat), negara
dan individu ditempatkan sejajar (equality
before the law), mengingat negara diberi
kekuasaan untuk menjalankan hukum
termasuk menghukum terpidana melalui
putusan pengadilan, maka hak mengajukan
upaya PK itu hanya diberikan kepada
seorang terpidana atau ahli warisnya.
Sebelum putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dijatuhkan, yang
menghukum seorang terdakwa, instansi lain
yaitu Kepolisian sudah melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadapnya,
yang disusul dengan dakwaan dan tuntutan
oleh kejaksaan, serta pemenjaraan oleh
lembaga pemasyarakatan. Dengan proses
tersebut, negara telah diberi kekuasaan
dan kewenangan yang begitu besar untuk
memenjarakan seseorang, yang berarti
merampas dan membatasi kemerdekaan
seseorang demi hukum. Dengan
demikian, seorang yang diancam
hukuman atau sedang menjalani hukuman
perlu diberi hak untuk membela diri yang
terakhir atau paling akhir agar ada
keseimbangan dan keadilan bagi individu
yang diancam hukuman atau sedang
menjalankan hukuman. Oleh karena itu,
KUHAP tidak mengatur mengenai
batasan waktu untuk mengajukan
Peninjauan Kembali.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dari
kedua rumusan masalah diatas maka
dapat di ambil dua kesimpulan yaitu:
1. Pengaturan tentang
pengajuan Peninjauan Kembali oleh Ahli
Waris yakni “Ahli Waris” dalam syarat
formil permohonan Peninjauan Kembali
dalam perkara pidana haruslah dilihat
sebagai sebuah sistem hukum yang
berlaku. Dalam pemikiran yang
demikian, mesikpun KUHAP tidak
menjelaskan secara tegas mengenai apa
dan siapa “Ahli Waris” sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 263 Ayat (1),
maka untuk menemukan pengertian apa
dan siapa “Ahli Waris” tersebut dapat
diacu dalam aspek keperdataan melalui
penafsiran sistematik. Berdasarkan
penafsiran sistematik ini, apa dan siapa
“Ahli Waris” dapat ditemukan, yaitu “Ahli
Waris” baru akan timbul pada saat pewaris
meninggal dunia. Dengan kata lain, dari
aspek keperdataan baik KUHPerdata,
Hukum Adat, dan Hukum Islam ditegaskan
bahwa “Ahli Waris” baru akan timbul pada
saat pewaris meninggal dunia. Hal ini
berarti bahwa “Ahli Waris” menurut Pasal
263 Ayat (1) KUHAP pun akan timbul pada
saat pewaris meninggal dunia.
2. Status Istri dalam Putusan MA
No. 97/PK/PID.SUS/2012 jika dikaitkan
dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maka
kedudukan Istri dalam pengajuan PK kasus
ST harus ditafsirkan sebagai orang yang
mempunyai hubungan (perkawinan) dengan
terpidana dan terpidana telah meninggal
dunia. Penafsiran itu didasarkan pada
metode penafsiran gramatikal (gramatical
interpretatie) dan penafsiran sistematis
(systematize interpretatie). Walaupun
majelis hakim MA juga menggunakan
metode penafsiran sistematis, namun tidak
konsisten. Sesuai dengan kedua metode itu,
maka seseorang harus dapat dikategorikan
sebagai ahli waris apabila memenuhi 2
(dua) syarat, yaitu mempunyai hubungan
darah atau perkawinan dengan pewaris
(terpidana) dan pewaris (terpidana) telah
meninggal dunia. Apabila terpidana belum
meninggal dunia, maka seseorang tidak
dapat dikategorikan sebagai ahli waris
walaupun mempunyai hubungan dengan
terpidana baik hubungan darah atau
perkawinan. Dalam hal demikian, maka
69
seseorang tidak dapat mengajukan PK
dengan kedudukan sebagai ahli waris.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas
maka terdapat dua saran yang berkaitan
dengan rumusan masalah di atas yaitu:
1. Pengaturan pengajuan
Peninjauan Kembali oleh Ahli Waris
haruslah di pertegas dan dituangkan
dalam aturan hukum yang jelas
sehingga tidak terdapat celah hukum
lagi dan perkara serupa tidak terjadi
lagi.
2. Untuk selajutnya status Istri
maupun keluarga yang lain harus
dijelaskan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Perubahan atas
KUHP dan KUHAP sangatlah
diperlukan karena sudah tidak relevan
lagi dengan hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Z, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Chazawi, Adam, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Effendy, M, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan terhadap beberapa perkembangan hukum pidana), Jakarta, 2012.
Hadjon, P.M., & Djatmiati, T.S, Argumentasi hukum (Legal argumentation/legal reasoning): Langkah-langkah legal problem solving dan penyusunan legal opinion, Gajah Mada University
Press. Yogyakarta, 2005.Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta, 2005.
Lamintang, P.A.F., & Lamintang, T, Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hukum pidana dan yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Marpaung, Leden, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.
Mertokusumo, S., & Pitlo, A, Bab-bab tentang penemuan hukum. Citra Aditya, Bandung, 2013.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Mulyadi, L, Hukum acara pidana (Normatif, teoritis, praktik, dan permasalahannya), Bandung, 2012.
Mulyadi, L, Hukum acara pidana suatu tinjauan khusus terhadap: Surat dakwaan, eksepsi, dan putusan peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Purba, Bona.P, Fraud dan Korupsi, Lestari Kiranatama, Jakarta, 2015.
Soekanto. S., & Mamudji, S, Penelitian hukum normatif (Suatu tinjauan singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Soeparman, P, Pengaturan hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana bagi korban kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Soeroso, R. (2013). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Van Mourik, M.J.A., Studi Kasus Hukum Waris,Eresco, Bandung, 2012.
Wijayanta, T., & Firmansyah, H, Perbedaan pendapat putusan pengadilan, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, 2011.
Zulfa, E.A, Upaya peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum sebagai wujud perlindungan terhadap hak korban. Makalah presentasi dalam rangka penelitian tentang peninjauan kembali putusan pidana oleh jaksa penuntut umum: Penelitian asas, teori, norma, dan praktik penerapannya dalam putusan pengadilan. Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Palembang Sumatera Selatan, 2012
Undang-Undang. Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang No. 14 tahun I985 tentang Mahkamah Agung.
Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2012.
Trijono, Rachmat, Kamus Hukum, Pustaka Kemang, Jakarta, 2016.
Mappong H. A. Kadir, Makalah Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Tentang Peninjauan Kembali, Jakarta, 2011.
Forum Keadilan, Suhandi Cahaya, PK Sudjiono Timan Kemunduran Hukum Indonesia, Diakses dari http://forumkeadilan.com/hukum/suhandi-cahaya-pk-sudjionotiman-kemunduran-hukum-indonesia , diakses pada tanggal 21 April 2017.
Pengertian Pengajuan, http://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2017.