Download - Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan
PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN
KAWASAN HUTAN
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN
KAWASAN HUTAN
Ir. Nanang Suwandi, MP.
Dr. Ir. Rahmanta Setiahadi, MP.
PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN
Nanang Suwandi Rahmanta Setiahadi
Desain Cover : Rulie Gunadi
Sumber : Penulis
Tata Letak :
Zulita Andan Sarri
Proofreader : Avinda Yuda Wati
Ukuran :
viii, 58 hlm, Uk: 15.5x23 cm
ISBN : 978-623-02-2700-4
Cetakan Pertama :
April 2021
Hak Cipta 2021, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2021 by Deepublish Publisher All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga modul Pengukuhan dan
Penatagunaan Kawasan Hutan dapat diselesaikan dengan baik. Sejalan
dengan Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Sumber daya Hutan,
Perum Perhutani berkomitmen memenuhi persyaratan Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL). Selain itu, perkembangan dunia usaha menuntut
adanya tenaga kerja yang profesional. Melalui Pusdikbang SDM Perum
Perhutani, dididik dan dilatih tenaga-tenaga teknis dari aspek pengetahuan,
keterampilan maupun akhlak. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya
sertifikat dan SIM Ganis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Modul ini disusun untuk Diklat Tenaga Teknis Pengelolaan
Hutan Lestari Pengukuran dan Perpetaan.
Modul Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan ini
merupakan bagian tak terpisahkan dengan modul Inventarisasi Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan. Diharapkan kedua
modul tersebut dapat pula diterbitkan dalam waktu dekat. Kepada para
pembaca diharapkan kritik dan saran agar perbaikan ke depan dapat
dilakukan untuk penyempurnaan modul ini lebih lanjut. Atas kritik dan
saran tersebut diucapkan terima kasih.
Di samping itu, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang membantu dan mendorong sehingga modul ini dapat ditulis dan
diselesaikan. Mudah-mudah modul ini memberikan bermanfaat bagi para
pembaca khususnya peserta Diklat Ganis Pengukuran dan Perpetaan di
Pudikbang SDM Perum Perhutani dan para pembaca lainnya, sehingga
akhirnya bermanfaat bagi pembangunan sumber daya hutan dan
perusahaan di Perum Perhutani.
Madiun, Maret 2021
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
2. Deskripsi Singkat ................................................................................. 2
3. Tujuan Pembelajaran ............................................................................ 3
4. Materi Pokok dan Sub Bahasan Pokok ................................................ 3
1. Pengertian............................................................................................. 4
2. Dasar Hukum Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan .................... 5
3. Penunjukan Kawasan Hutan ................................................................ 7
4. Penataan Batas Kawasan Hutan ........................................................... 9
5. Penetapan Kawasan Hutan ................................................................. 21
6. Pemetaan Kawasan Hutan .................................................................. 22
Rangkuman ................................................................................................ 23
Latihan ....................................................................................................... 24
Evaluasi ...................................................................................................... 25
Umpan Balik dan Tindak Lanjut................................................................ 26
1. Pengertian........................................................................................... 27
2. Penetapan Fungsi Kawasan Hutan ..................................................... 28
3. Metode Skoring Penentuan Fungsi Kawasan Hutan .......................... 31
Rangkuman ................................................................................................ 40
Latihan ....................................................................................................... 41
Evaluasi ...................................................................................................... 41
Umpan Balik dan Tindak Lanjut................................................................ 43
vii
1. Pengertian. ......................................................................................... 44
2. Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemantapan Kawasan
Hutan.................................................................................................. 45
3. Peran Unit Pengelola dalam Pemantapan Kawasan Hutan. ............... 47
4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan .................................................... 48
Rangkuman ................................................................................................ 49
Latihan ....................................................................................................... 50
Evaluasi ..................................................................................................... 50
Umpan Balik dan Tindak Lanjut ............................................................... 52
PENUTUP ................................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 54
PROFIL PENULIS .................................................................................. 57
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perencanaan Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang nomor 41 tahun 1999 Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Inventarisasi hutan;
b. Pengukuhan kawasan hutan;
c. Penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan
hutan;
d. Penyusunan rencana kehutanan.
Dalam kegiatan perencanaan hutan, pemerintah menyusun rencana
umum kehutanan (RUK) yang berisi: peruntukan penyediaan, pengadaan
dan penggunaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Atas dasar RUK
disusun rencana pengukuhan hutan, dan rencana penatagunaan hutan.
Pengukuhan dan penatagunaan hutan dilaksanakan berdasarkan peta
Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH). Untuk luar Jawa
peta RPPH adalah peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan). Dengan
tersusunnya RTRWP dan RTRWK, dilakukan pemaduserasian antara
TGHK dengan RTRWP dan RTRWK, sehingga diperoleh TGH (Tata
Guna Hutan) yang mempunyai kepastian hukum yang mantap dan menjadi
bagian integral dari rencana tata ruang wilayah. Peta TGH
menggambarkan delineasi kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsi hutan
yang disusun secara teknis berdasarkan data dan informasi yang tersedia.
Pengukuhan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan
penataan batas wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan, guna
memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan.
Rencana pengukuhan hutan adalah rencana yang memuat kegiatan
pengukuhan hutan.
2
Penatagunaan hutan adalah kegiatan perencanaan tata guna hutan,
pemanfaatan hutan dan pengendalian pemanfaatan hutan sesuai dengan
fungsinya, yaitu sebagai: Suaka alam (suaka margasatwa dan cagar alam)
kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam), kawasan hutan taman buru, kawasan hutan lindung, kawasan
hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan
produksi yang dapat dikonversi). Rencana penatagunaan hutan adalah
rencana yang memuat kegiatan penatagunaan hutan.
2. Deskripsi Singkat
Secara umum modul ini membahas tentang tahapan kegiatan
Pengukuhan Kawasan Hutan atau dikenal dengan istilah „TATA BATAS‟ dan Penatagunaan Kawasan Hutan atau dikenal dengan istilah „TATA
GUNA‟, serta Pemantapan Kawasan Hutan. Modul ini berisi 4 (empat) Bab, terdiri atas: Bab I Pendahuluan
diuraikan mengenai latar belakang pengukuhan dan penatagunaan kawasan
hutan dan upaya-upaya pemerintah yang dituangkan dalam beberapa
peraturan kehutanan, manfaat modul dan tujuan pembelajaran. Bab II
Materi Pokok 1 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, diuraikan mengenai
Pengertian, Dasar Hukum dan Tahapan Proses Pengukuhan Kawasan
Hutan, yang dimulai dari penunjukkan Kawasan Hutan, Penataan Batasan
Kawasan Hutan, dan Penetapan Kawasan Hutan serta Pemetaan Kawasan
Hutan. Selanjutnya, Bab III Materi Pokok 2 tentang Penatagunaan Kawasan
Hutan, diuraikan mengenai Pengertian, Penetapan Fungsi Suatu Kawasan
Hutan dan Metode Penentuan Fungsi Kawasan Berdasarkan Skoring. Dan
terakhir, Bab IV Materi Pokok 3 tentang Pemantapan Kawasan Hutan,
diuraikan mengenai Kebijakan Menteri terhadap Pemantapan Kawasan
Hutan, Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Peran
Unit Pengelola dalam Pemantapan Kawasan Hutan, serta Panitia Tata
Batas Kawasan Hutan.
Modul Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses pembelajaran para peserta diklat
agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Selanjutnya bermanfaat sebagai bekal bagi para peserta diklat dalam
3
melaksanakan tugasnya di unit kerjanya masing-masing.
3. Tujuan Pembelajaran
Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta
diklat mampu menjelaskan proses pengukuhan dan penatagunaan kawasan
hutan.
Indikator Keberhasilan: Setelah menyelesaikan pembelajaran ini,
peserta dapat:
a. Menjelaskan prosedur pengukuhan kawasan hutan;
b. Menjelaskan prosedur penatagunaan kawasan hutan;
c. Menjelaskan pemantapan kawasan hutan.
4. Materi Pokok dan Sub Bahasan Pokok
Mengacu pada tujuan pembelajaran di atas, pokok bahasan dan sub
pokok bahasan mata diklat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan
adalah:
a. Pengukuhan Kawasan Hutan
1) Pengertian;
2) Dasar Hukum Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan hutan;
3) Penunjukan Kawasan Hutan;
4) Penataan Batas Kawasan Hutan;
5) Penetapan Kawasan Hutan;
6) Pemetaan Kawasan Hutan.
b. Penatagunaan Kawasan Hutan.
1) Pengertian;
2) Penetapan Fungsi Kawasan Hutan;
3) Metode Skoring Penentuan Fungsi Kawasan Hutan.
c. Pemantapan Kawasan Hutan.
1) Pengertian;
2) Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemantapan Kawasan Hutan;
3) Peran Unit Pengelolaan dalam Pemantapan Kawasan Hutan;
4) Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
4
BAB II
PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat dapat menjelaskan proses
Pengukuhan Kawasan Hutan
1. Pengertian
Kegiatan pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam bidang kehutanan sebagai dasar dalam menentukan status
hukum hutan, apakah menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka
alam, maupun hutan wisata. Pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang
berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk
sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status
dan batas kawasan hutan. Perintah pengukuhan hutan diatur dalam pasal
14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, yang berbunyi: “Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan, kegiatan pengukuhan
kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan”.
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 16 tentang
peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, Menteri
menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah. Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan
oleh Menteri Kehutanan untuk memberikan kepastian hukum mengenai
status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan pada pasal 2, menyatakan pengukuhan hutan dilakukan
melalui tahapan:
a. Penunjukan kawasan hutan;
b. Penataan batas kawasan hutan; dan
c. Penetapan kawasan hutan.
5
Sedangkan pemetaan kawasan hutan dilakukan pada setiap tahapan
pengukuhan kawasan hutan di atas. Proses pengukuhan kawasan hutan
dapat dikelompokkan menjadi dua kegiatan yaitu pekerjaan fisik definitif
di lapangan dan kegiatan administratif.
Kegiatan pekerjaan fisik di lapangan berupa pemancangan dan
penataan batas berupa pemancangan patok batas, pemasangan pal batas
dan pengukuran pal batas yang telah dipancang.
Kegiatan administratif merupakan legal aspek atau bukti hukum
tertulis atas bukti hukum fisik yang telah dilaksanakan di lapangan yaitu
berupa penyusunan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas oleh
Panitia Tata Batas dan dilanjutkan dengan penetapan kawasan hutan
dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
2. Dasar Hukum Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan
Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan didasarkan pada peraturan
dan perundangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan;
d. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 Jo.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996 tentang
Pedoman Pengukuhan Hutan;
e. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan;
f. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/2001 tentang
Tukar Menukar kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2009;
g. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 900/Kpts-II/1999 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan
Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan;
h. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57/Kpts-II/1994 tentang
Pedoman Penataan Batas Fungsi Hutan;
6
i. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang
Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan;
j. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan;
k. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan;
l. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.25/Menhut-II/2014 tentang
Panitia Tata Batas Kawasan Hutan;
m. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan;
n. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan ketiga atas peraturan menteri kehutanan Nomor
P.33/Menhut-II/2010 tentang tata cara pelepasan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi;
o. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-
II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;
p. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
q. Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan
Kebun Nomor 82/VII-1/1998 tanggal 25 Juni 1998 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Hutan;
r. Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan
Kebun Nomor 130/Kpts/VII-1/1998 tanggal 18 Agustus 1998
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Prosedur Pembiayaan
Tata Batas Areal Kerja HPH, HPHTI, HPPA, HPTB, dan
Pengusahaan hutan lainnya;
s. Surat Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan Nomor
467/A/VII-3/96 tanggal 17 Mei 1996 perihal tata batas kawasan
hutan yang bersekutu dengan batas HPH;
t. Surat Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor
420/A/VII-3/96 tanggal 10 Mei 1996 perihal penyelesaian berita
acara tata batas;
7
u. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001
tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi
Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Nomor
48/Menhut-II/2004;
v. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 613/Kpts-II/1997
tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan kawasan
Pelestarian Alam Perairan.
3. Penunjukan Kawasan Hutan
Penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah
tertentu menjadi kawasan hutan. Pada jaman Hindia Belanda, penunjukan
kawasan hutan didasarkan pada Government Besluit (GB), selanjutnya
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 1970 tentang Perencanaan Huta, penunjukan kawasan hutan
didasarkan pada peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, pelaksanaan penunjukan kawasan hutan didasarkan pada peta hasil
padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Penunjukan kawasan hutan meliputi penunjukan Wilayah Provinsi
dan penunjukan wilayah tertentu secara parsial. Penunjukan kawasan hutan
wilayah provinsi didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
dan atau pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Penunjukan wilayah
tertentu secara parsial merupakan konsekuensi dari kegiatan penunjukan
areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, meliputi:
a. Areal pengganti dari tukar menukar kawasan hutan,
b. Areal kompensasi dari izin pinjam pakai kawasan hutan dengan
kompensasi lahan,
c. Areal bukan kawasan hutan seperti tanah timbul,
d. Tanah milik yang diserahkan.
8
Penunjukan kawasan hutan wilayah tertentu secara parsial menjadi
kawasan hutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Usulan atau rekomendasi gubernur dan bupati/walikota,
b. Secara teknis dapat dijadikan hutan.
Penunjukan wilayah tertentu untuk dapat dijadikan kawasan hutan
dapat dilakukan oleh Menteri dan dapat dilampiri oleh peta penunjukan
kawasan hutan.
a. Kriteria Penunjukan Kawasan Hutan
Kriteria penunjukan kawasan hutan dirinci menurut status, keadaan,
letak, batas dan luas areal yang akan ditunjuk. Kriteria status areal yang
ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:
1) Belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan
hutan (penunjukan parsial),
2) Tidak dibebani hak-hak atas tanah,
3) Tergambar dalam peta penunjukan kawasan hutan dan perairan
provinsi yang ditetapkan oleh Menteri atau Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/RTRWK).
Kriteria keadaan areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan adalah:
1) Berhutan dan/atau tidak berhutan (%),
2) Dapat dihutankan secara konvensional.
Kriteria letak, batas dan luas areal yang ditunjuk sebagai kawasan
hutan adalah:
1) Daratan dan perairan,
2) Batas dan luasnya jelas dan terukur.
Kriteria fungsi hutan areal yang akan ditunjuk sebagai kawasan
hutan adalah:
1) Ditentukan berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional sepanjang menyangkut Taman Buru
(TB), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan
Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi
(HPK);
9
2) Ditentukan berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sepanjang
menyangkut Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman
Nasional (TN), Tahura dan Taman Wisata Alam (TWA).
b. Standar Penunjukan Kawasan Hutan
Standar penunjukan kawasan hutan terhadap areal yang akan
ditunjuk adalah diusulkan oleh Pemda dan DPRD berdasarkan Peta
Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi dan atau Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/RTRWK) dan nama
kelompok hutannya. Peta Penunjukan dibuat dengan minimal skala 1:
250.000 tergantung luas kawasan yang ditunjuk serta memenuhi kaidah-
kaidah pemetaan.
Keputusan penunjukan kawasan hutan oleh Menteri apabila
Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru dan
Hutan Lindung serta Hutan Produksi lintas provinsi. Gubernur apabila
Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam wilayah provinsi.
4. Penataan Batas Kawasan Hutan
Setelah dilakukan penunjukan kawasan hutan, maka proses
selanjutnya adalah penataan batas kawasan hutan. Penataan batas kawasan
hutan di lapangan merupakan proses yang sangat krusial dan banyak
permasalahan yang dijumpai yang sulit dan kadang tidak bisa diselesaikan
dengan baik.
Tahapan-tahapan dalam kegiatan penataan batas meliputi:
a. Pemancangan patok batas sementara;
b. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara;
c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang di
sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan;
d. Penyusunan berita acara hasil pemancangan pato sementara;
e. Penyusunan Berita acara pemancangan batas sementara yang
disertai dengan pemancangan patok sementara;
f. Pemasangan Pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas;
g. Pemetaan hasil penataan batas;
10
h. Pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata
batas;
i. Pelaporan kepada menteri dengan tembusan kepada gubernur Dalam
Pasal 14 ayat 3 dalam Permenhut No.P.44/Menhut-II/2012 tentang
Pengukuhan Hutan, bahwa penataan batas dilakukan terhadap:
1) Batas luar kawasan hutan,
2) Batas fungsi kawasan hutan,
3) Batas kawasan konservasi perairan.
Pemasangan tanda batas dan pengukuran batas kawasan hutan
dilakukan oleh:
a. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) secara swakelola; atau
b. Rekanan pelaksana yang mempunyai kompetensi di bidang
pengukuran tanah dan pemetaan.
Sebelum pelaksanaan batas kawasan hutan di lapangan perlu
dilakukan kegiatan persiapan-persiapan di antaranya:
a. Persiapan Instansi Pemerintah
Unit Eselon I Kementerian Kehutanan yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi dalam pengukuhan/penataan batas kawasan hutan adalah
Direktorat Jenderal Planologi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Pengajuan pelaksanaan
penataan batas diajukan oleh pengelola kawasan hutan di daerah
provinsi/kabupaten/kota kepada Ditjen Planologi melalui BPKH.
b. Pembentukan Panitia Tata Batas
Panitia Tata Batas dibentuk oleh Menteri yang wewenang
pembentukannya dilimpahkan kepada Gubernur (Permenhut
No.P.47/Menhut-II/2010). Persiapan administrasi pembentukan Panitia
Tata Batas dilakukan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan
disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan
untuk diusulkan kepada Gubernur. Panitia Tata Batas dibentuk untuk
melakukan penyelenggaraan tata batas di setiap kabupaten/kota.
Panitia Tata Batas Kawasan Hutan bertanggung jawab kepada
Menteri melalui Gubernur. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan terdiri dari:
1) Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan,
11
2) Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan, dan
3) Panitia Tata Batas Kawasan Konservasi Perairan.
Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan terdiri dari:
1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;
2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai
sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang
menangani urusan kawasan hutan konservasi sebagai sekretaris
merangkap anggota untuk kawasan hutan konservasi;
3) Unsur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai anggota;
4) Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota;
5) Unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota,
sebagai anggota;
6) Camat setempat, sebagai anggota; dan
7) Kepala Desa/Lurah setempat, sebagai anggota.
Penyelenggaraan penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan
yang berimpit dengan batas luar kawasan hutan yang belum ditata batas,
dilakukan oleh pemegang izin yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan
disahkan oleh Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan. Penyelenggaraan
penataan batas izin penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan
kawasan hutan yang berimpit dengan batas luar kawasan hutan yang belum
ditata batas, dilakukan oleh pemohon yang bersangkutan serta hasilnya
dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan.
Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan terdiri dari:
1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;
2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai
sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan
hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani
urusan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota
untuk hutan konservasi;
3) Unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai anggota; dan
4) Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota.
12
Penyelenggaraan penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan
yang berimpit dengan batas fungsi kawasan hutan yang belum ditata batas,
dilakukan oleh pemegang izin yang bersangkutan serta hasilnya dinilai dan
disahkan oleh Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan. Penyelenggaraan
penataan batas izin penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan
kawasan hutan yang berimpit dengan batas fungsi kawasan hutan yang
belum ditata batas, dilakukan oleh pemohon yang bersangkutan serta
hasilnya dinilai dan disahkan oleh Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan
Hutan. Hasil tata batas sekaligus merupakan batas fungsi kawasan hutan.
Panitia Tata Batas Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari:
1) Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;
2) Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan hutan
konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota;
3) Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, sebagai
anggota;
4) unsur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai anggota;
5) unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota,
sebagai anggota;
6) unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota;
7) unsur Distrik/Sub Distrik Navigasi setempat, sebagai anggota;
8) unsur Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kelautan dan
Perikanan, sebagai anggota;
9) unsur Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Perhubungan,
sebagai anggota;
10) Camat setempat, sebagai anggota; dan
11) Kepala Desa/Kelurahan setempat, sebagai anggota.
Panitia Tata Batas Kawasan Hutan mempunyai tugas:
1) Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan
pelaksanaan di lapangan;
2) Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan
pekerjaan tata batas di lapangan;
3) Mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak ketiga di
sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan;
13
4) Memberi arahan kepada pelaksana dalam membuat trayek batas
berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi
dan hasil inventarisasi hak-hak pihak ketiga;
5) Mengesahkan rencana trayek batas dalam jangka waktu paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat pembahasan trayek batas; dan
6) Menilai hasil tata batas.
Pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan dikoordinasikan oleh
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Dalam melaksanakan tugasnya,
Panitia Tata Batas berwenang:
1) menetapkan trayek batas kawasan hutan;
2) menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah terkait
hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas
lahan/tanah di dalam kawasan hutan;
3) menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta
Tata Batas Kawasan Hutan; dan
4) mengesahkan hasil tata batas.
Lebih lanjut dapat dipelajari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.25/Menhut-II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
c. Persiapan Masyarakat
Persiapan masyarakat dilakukan terutama masyarakat yang berada di
sekitar atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Tahapan yang
dilakukan dalam persiapan masyarakat adalah:
1) Penggalian aspirasi masyarakat, berkaitan dengan batas kawasan
hutan dan akses masyarakat ke dalam kawasan hutan, terutama
berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan.
2) Sosialisasi penataan batas kawasan hutan dilakukan agar masyarakat
dapat mengetahui dan memahami proses penataan batas, mengetahui
maksud dan tujuan serta tahapan pelaksanaan penataan batas,
termasuk hak dan peran aktif masyarakat.
3) Sebagai wakil masyarakat dalam keanggotaan Panitia Tata Batas
(PTB) adalah kepala desa dan tokoh masyarakat/ketua adat
masyarakat setempat.
14
d. Persiapan Proyeksi Batas
Persiapan proyeksi batas perlu dilakukan terlebih dahulu dengan
melihat bukti-bukti fisik dan nonfisik batas-batas wilayah yang ada.
Langkah-langkah persiapan proyeksi batas, sebagai berikut:
1) Penyiapan konsep proyeksi batas sebagai bahan rencana trayek
batas. Konsep proyeksi batas disusun oleh Ditjen Planologi/BPKH
untuk membuat rencana tata batas dan peta kerja berdasarkan
kompilasi proyeksi peta-peta yang ada, terutama peta penunjukan
kawasan hutan (sesuai Keputusan Menteri Kehutanan) dan peta-peta
batas kawasan yang telah dikukuhkan (Peta Tata Guna Hutan
Kesepakatan). Selain itu terdapat juga rencana penyelesaian hak-hak
pihak ketiga berdasarkan data sekunder (hasil pengkajian desa)
selanjutnya peta proyeksi batas dibahas dalam rapat Panitia Tata
Batas. Peta Proyeksi Batas yang disetujui di tingkat Provinsi akan
dibahas kembali di tingkat Kabupaten/Kota dalam rapat Panitia Tata
Batas.
2) Rapat Panitia Tata Batas untuk membahas rencana proyeksi batas.
Rapat Panitia Tata Batas dilakukan untuk membahas persiapan
pelaksanaan penataan batas sekaligus menyampaikan trayek batas.
Pada pertemuan ini wakil masyarakat yang hadir akan
menyampaikan permasalahan dan aspirasi masyarakat yang terkait
dengan batas, pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan di dalam
kawasan hutan yang ditunjuk. Hasil pembahasan dari rapat Panitia
Tata Batas digunakan sebagai dasar pelaksanaan penataan batas.
e. Pelaksanaan
Setelah semua persyaratan dan prosedur sudah tercukupi dan
terpenuhi, pelaksanaan penataan batas dapat dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Pertemuan Teknis dan Sosialisasi rencana kerja.
Sebelum pembuatan batas, baik sementara maupun definitif,
dilakukan pertemuan teknis untuk membahas rencana kerja
pembuatan batas, permasalahan batas, pemanfaatan lahan dan
sumber daya hutan di dalam kawasan hutan, serta hasil pembahasan
dari rapat Panitia Tata Batas yang digunakan sebagai acuan awal
15
penyesuaian batas di atas peta. Selain itu, dilaksanakan sosialisasi
rencana kerja kepada masyarakat untuk menyampaikan rencana
kerja pembuatan batas berdasarkan peta proyeksi batas, termasuk di
dalamnya bentuk keterlibatan masyarakat, penggalian permasalahan
pihak ketiga (bila masih ada), serta konsekuensi dari pembuatan
batas terhadap pemanfaatan lahan masyarakat dan sumber daya
hutan di dalam kawasan hutan.
2) Pembuatan batas sementara.
Pengukuran dan pemancangan patok batas sementara dilakukan
oleh Panitia Tata Batas didampingi pengelola kawasan hutan dengan
melibatkan/mengikutsertakan pemerintah desa dan tokoh
masyarakat setempat yaitu masyarakat yang mengetahui trayek batas
TGHK dan masyarakat yang memiliki lahan dalam kawasan.
Dengan keterlibatan masyarakat desa dalam pembuatan batas
sementara maka dapat diketahui ada atau tidaknya hak-hak pihak
ketiga di sepanjang trayek batas yang didasarkan atas data sekunder
hasil pengkajian desa dan data hasil sosialisasi. Bila ternyata
terdapat hak-hak pihak ketiga dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti hak (seperti sertifikat atau tanda-tanda lapangan), maka areal
tersebut akan diupayakan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan.
Untuk mengetahui luasan yang masuk ke dalam kawasan hutan,
maka dilakukan dua kali pengukuran dan pemancangan patok batas
sementara yaitu berdasarkan:
a) Buku ukur atau TGHK; dan
b) Usulan masyarakat atau lahan yang masuk ke dalam kawasan
hutan, dalam hal ini lahan yang berbatasan langsung dengan
batas kawasan hutan.
Hasil dari kegiatan pengukuran dan pemancangan batas
sementara adalah data jalur batas sementara dan data hak-hak pihak
ketiga berdasarkan kondisi di lapangan. Setelah pembuatan batas
sementara, dilakukan sosialisasi hasil penataan batas sementara
termasuk perubahan yang terjadi berdasarkan usulan masyarakat,
baik yang disetujui maupun yang belum atau tidak disetujui. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh persetujuan dan keberatan dari pihak
ketiga, dalam hal ini masyarakat.
16
Persetujuan dan keberatan pihak ketiga serta hasil penataan batas
sementara dimasukkan dalam Berita Acara Pembuatan Batas
Sementara. Berita Acara tersebut menjadi bahan pemeriksaan trayek
batas di lapangan oleh Panitia Tata Batas apabila ada keberatan dari
pihak ketiga. Hasil penataan batas dan pemeriksaan trayek batas
oleh Panitia Tata Batas akan dibahas pada Rapat Panitia Tata Batas.
3) Rapat Panitia Tata Batas (PTB)
Hasil penataan batas dan pemeriksaan trayek batas sementara
oleh Panitia Tata Batas dibahas kembali pada rapat Panitia Tata
Batas. Hal yang dibahas adalah mengenai:
a) Perubahan batas yang terjadi berdasarkan usulan masyarakat;
b) Penyelesaian pihak-pihak ketiga; dan
c) Memutuskan trayek batas definitif serta bentuk pemanfaatan
lahan dan sumber daya hutan yang berada di dalam kawasan
hutan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai
kebijakan yang berlaku dan diterima oleh masyarakat dan
pemerintah.
Keputusan dari rapat Panitia Tata Batas definitif, di mana ada
kemungkinan trayek batas akan definitif sesuai dengan trayek batas
sementara atau terjadi perubahan sesuai kesepakatan bersama,
namun bila permasalahan terlalu besar, maka akan dibawa ke tingkat
pemerintah pusat untuk dibahas dan diputuskan lebih lanjut.
Selanjutnya dilakukan pembuatan dan penandatanganan Berita
Acara Tata Batas sementara oleh seluruh anggota PTB
4) Pembuatan Batas Definitif
Pengukuran dan pemancangan pal batas definitif dilakukan oleh
Panitia Tata Batas (PTB) didampingi oleh pengelola kawasan hutan
dengan mengikutsertakan pemerintah desa, tokoh masyarakat dan
wakil masyarakat yang ditunjuk pada saat pengukuran dan
pemancangan patok batas sementara. Kegiatan pemancangan pal
batas definitif dilakukan berdasarkan keputusan rapat Panitia Tata
Batas yang dituangkan dalam peta trayek batas definitif. Hasil
penataan batas definitif dimasukan dalam Berita Acara Pembuatan
Tata Batas Definitif. Berita Acara tersebut menjadi bahan dalam
pembuatan Berita Acara Tata Batas.
17
5) Pembuatan dan Penandatanganan Berita Acara Tata Batas (BATB)
Berita Acara Tata Batas (BATB) dibuat dan ditandatangani oleh
seluruh anggota Panitia Tata Batas (PTB) sebagai bahan dalam
pengesahan batas kawasan hutan secara parsial dan penetapan
kawasan hutan.
f. Kriteria Penataan Batas
Kriteria penataan batas dirinci menurut status, trayek batas, patok
dan pal batas, dan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Kriteria status areal
yang ditata batas sebagai kawasan hutan adalah:
1) Kawasan hutan yang telah ditunjuk;
2) Bebas dari hak-hak pihak ketiga;
3) Memperoleh pengakuan para pihak (masyarakat, badan hukum,
pemerintah) di sepanjang trayek penetapan batas.
Kriteria trayek batas areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan adalah:
1) Mempunyai titik ikat yang pasti di lapangan;
2) Mengikuti azimut dan jarak yang terukur menyesuaikan dengan
batas alam (sungai, tepi pantai, tepi danau, dll.) lain;
3) Mempunyai lorong batas.
Kriteria patok dan pal batas areal yang ditata batas sebagai kawasan
hutan adalah:
1) Patok batas dan pal batas mempunyai koordinat;
2) Patok batas digunakan untuk penataan batas sementara;
3) Pal batas digunakan untuk penataan batas definitif.
g. Standar Penataan Batas
Standar penataan batas kawasan hutan dirinci menurut status, trayek
batas, patok dan pal batas (kawasan hutan), patok dan pal batas (kawasan
perairan) dan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Standar status areal yang
ditata batas sebagai kawasan hutan adalah:
1) Dibuat Berita Acara Pengakuan Hasil Pembuatan batas yang
ditandatangani oleh Wakil/Tokoh/Ketua adat masyarakat setempat,
Kepala Desa, Instansi Kehutanan Daerah, Camat, Ketua Tim
Pelaksana Tata Batas, dan Bupati/Walikota.
18
2) Dibuat Berita Acara Persetujuan Hasil Pembuatan Batas Sementara
yang ditandatangani Panitia Tata Batas.
Standar trayek batas areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan adalah:
1) Titik ikat meliputi titik triangulasi, titik dopler, titik hasil
perhitungan dengan alat GPS, titik markant (keberadaannya di
lapangan kedudukannya tepat dengan yang tergambar di peta dasar).
2) Rintis batas dibuat dengan cara melakukan pembersihan selebar ± 2
meter sehingga menyerupai jalur.
3) Lorong batas dibuat dengan ukuran 150 cm dengan selokan/parit
berukuran (30 x 30 x 30) cm kiri kanan lorong batas.
Standar patok dan pal batas (kawasan hutan) areal yang ditata batas
sebagai kawasan hutan adalah:
1) Patok batas dipancang sepanjang rintis batas dengan jarak 25 meter
sampai 150 meter kecuali di Pulau Jawa dan Pulau Madura dengan
jarak 25 meter sampai 75 meter.
2) Pal batas dibuat dari: Beton bertulang besi ukuran 10 cm x 10 cm
dengan panjang 130 cm termasuk bagian yang ditanam dalam tanah
sedalam 60 cm (lihat gambar 1).
3) Kayu kelas awet I dan atau awet II atau kayu hasil pengawetan
dengan ukuran 15 cm x 15 cm dengan panjang 130 cm termasuk
bagian yang ditanam dalam tanah 60 cm sedang bagian yang
ditanam dipoles dengan residu/cat meni.
4) Cara penulisan huruf dan nomor pal batas yang tercantum dalam
Permenhut P.60/Menhut-II/2013 tentang Perubahan sebagai berikut
(lihat gambar 2):
a) Pal batas yang membatasi kawasan hutan dengan areal bukan
kawasan hutan (batas luar kawasan hutan) ditulis huruf B pada
sisi pal yang menghadap ke arah luar kawasan hutan.
b) Pada sisi pal batas yang menghadap ke dalam kawasan hutan
ditulis inisial/kode singkatan huruf fungsi hutan yang
bersangkutan sebagai berikut:
CA = Cagar Alam
SM = Suaka Margasatwa
TN = Taman Nasional
19
TWA = Taman Wisata Alam
THR = Taman Hutan Raya
TB = Taman Buru
HL = Hutan Lindung
HPT = Hutan Produksi Terbatas
HP = Hutan Produksi Tetap
HPK = Hutan produksi yang dapat dikonversi
Standar patok dan pal batas (kawasan perairan) yang ditata batas
sebagai kawasan perairan adalah:
1) Titik Referensi:
a) Penentuan Lokasi Titik Referensi;
b) Pada kondisi tanah yang relatif stabil;
c) Terhindar dari bahaya erosi/abrasi gelombang laut;
d) Mudah diketemukan;
e) Mudah untuk dijangkau;
f) Di daerah terbuka;
g) Ruang pandang ke arah area lokasi cukup luas;
h) Pada status kepemilikan tanah yang jelas atau tanah milik
pemerintah.
2) Bentuk dan dimensi pilar terdiri dari:
a) Pagar titik referensi;
b) Bangunan titik referensi;
c) Pilar titik referensi;
d) Pilar titik bantu;
e) Pilar titik referensi dan pilar bantu;
f) Brass tablet;
g) Tanda sisi pilar.
20
Gambar 1. Pal batas hutan
Gambar 2. Penulisan huruf pada pal batas hutan
21
5. Penetapan Kawasan Hutan
Adalah penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak
batas, dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk sebagai kawasan
hutan tetap dengan keputusan Menteri.
a. Kriteria Penetapan Kawasan Hutan.
Kriteria penetapan kawasan hutan dirinci menurut peta penetapan
kawasan hutan, BATB kawasan hutan dan keputusan penetapan kawasan
areal yang akan ditetapkan. Kriteria peta penetapan kawasan hutan yang
akan ditetapkan sebagai kawasan hutan adalah:
1) Peta dasar yang digunakan ditentukan berdasarkan urutan
ketersediaan liputan peta atas kawasan hutan yang dipetakan yaitu
Peta Rupa Bumi (RBI), Peta Topografi (TOP) dan Peta Joint
Operation Graphic (JOG).
2) Dapat menggunakan kombinasi batas dari hasil penataan batas
definitif dengan batas lainnya seperti batas administrasi
pemerintahan (kabupaten atau provinsi).
Kriteria BATB kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan
hutan adalah BATB definitif yang telah disahkan oleh Menteri. Kriteria
keputusan penetapan kawasan hutan areal yang ditetapkan sebagai
kawasan hutan adalah memuat keputusan penetapan kawasan hutan sesuai
yang tercantum dalam BATB kawasan hutan dan tergambar dalam peta
penetapan kawasan hutan.
b. Standar Penetapan Kawasan Hutan
Standar penetapan kawasan hutan dirinci menurut peta penetapan
kawasan hutan dan keputusan penetapan kawasan hutan yang akan
ditetapkan. Standar peta penetapan kawasan hutan areal yang ditetapkan
sebagai kawasan hutan adalah:
1) Peta kawasan hutan yang akan ditetapkan bersumber dari hasil
penataan batas temu gelang, tercantum dalam BATB dan peta tata
batasnya serta mempunyai legalitas pengesahan.
2) Diperoleh luas kawasan hutan dari kombinasi batas yang telah
ditandatangani Panitia Tata Batas dan batas administrasi
22
pemerintahan yang tercantum dalam peta dasar (kabupaten dan
provinsi).
Standar keputusan penetapan kawasan hutan areal yang ditetapkan
sebagai kawasan hutan adalah dibuat rangkap 8 (delapan) diperuntukkan bagi:
1) Pejabat Eselon I terkait di Departemen Kehutanan;
2) Gubernur;
3) Dinas Kehutanan Provinsi;
4) Bupati/Walikota;
5) Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan;
6) Instansi Kehutanan yang menangani pengukuhan kawasan hutan di
daerah.
6. Pemetaan Kawasan Hutan
Pemetaan kawasan hutan dilakukan pada setiap tahapan pengukuhan
kawasan hutan. Peta penunjukan kawasan hutan dan peta kawasan hutan
dilakukan penyempurnaan dengan menambah informasi yang berasal dari:
a. Citra pengindraan jauh resolusi tinggi skala 1:50.000 atau skala
lebih besar yang telah mengindikasikan adanya hak-hak pihak ketiga
dan detail bentang alam lainnya;
b. Pelaksanaan tata batas; atau
c. Orientasi lapangan.
Dalam rangka pemantauan pengukuhan kawasan hutan sesuai
dengan tahapannya, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan wajib
membuat dan memetakan perkembangan pengukuhan kawasan hutan. Peta
perkembangan pengukuhan kawasan hutan memuat informasi:
a. Kawasan hutan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan
provinsi, peta penunjukan kawasan hutan parsial, serta peta hasil
perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan secara
parsial;
b. Kawasan hutan yang belum ditata batas;
c. Kawasan hutan yang telah ditata batas;
d. Kawasan hutan yang telah ditata batas dan disahkan oleh Direktur
Jenderal atas nama Menteri; dan
e. Kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri.
23
Peta perkembangan pengukuhan kawasan hutan dipetakan dengan
skala minimal 1:250.000. Peta perkembangan pengukuhan kawasan hutan
pada setiap awal tahun anggaran berikutnya disampaikan kepada Direktur
Jenderal. Peta perkembangan pengukuhan kawasan hutan ditandatangani
oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Rangkuman
1. Pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan
penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah
hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas
kawasan hutan.
2. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan pada pasal 2,
menyatakan pengukuhan hutan dilakukan melalui tahapan:
a. Penunjukan kawasan hutan;
b. Penataan batas kawasan hutan; dan
c. Penetapan kawasan hutan.
3. Proses pengukuhan kawasan hutan dapat dikelompokkan menjadi
dua kegiatan yaitu pekerjaan fisik definitif di lapangan dan kegiatan
administratif.
4. Kegiatan pekerjaan fisik di lapangan berupa pemancangan dan
penataan batas berupa pemancangan patok batas, pemasangan pal
batas dan pengukuran pal batas yang telah dipancang.
5. Kegiatan administratif merupakan legal aspek atau bukti hukum
tertulis atas bukti hukum fisik yang telah dilaksanakan di lapangan
yaitu berupa penyusunan dan penandatanganan Berita Acara Tata
Batas oleh Panitia Tata Batas dan dilanjutkan dengan penetapan
kawasan hutan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
6. Penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi didasarkan atas Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau pemaduserasian Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP). Konsekuensi dari kegiatan penunjukan areal
bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, meliputi:
a. Areal pengganti dari tukar menukar kawasan hutan,
24
b. Areal kompensasi dari izin pinjam pakai kawasan hutan dengan
kompensasi lahan,
c. Areal bukan kawasan hutan seperti tanah timbul,
d. Tanah milik yang diserahkan.
7. Wilayah tertentu yang ditunjuk menjadi kawasan hutan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Usulan atau rekomendasi gubernur dan bupati/walikota,
b. Secara teknis dapat dijadikan hutan.
8. Setelah dilakukan penunjukan kawasan hutan, maka proses
selanjutnya adalah penataan batas kawasan hutan. Penataan batas
kawasan hutan di lapangan merupakan proses yang sangat krusial
dan banyak permasalahan yang dijumpai yang sulit dan kadang
tidak bisa diselesaikan dengan baik.
9. Penetapan kawasan hutan adalah penegasan tentang kepastian
hukum mengenai status, letak batas, dan luas suatu wilayah tertentu
yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap dengan keputusan
Menteri.
10. Pemetaan kawasan hutan dilakukan pada setiap tahapan pengukuhan
kawasan hutan.
Latihan
Untuk membantu Anda memahami dalam uraian materi Pengukuhan
Kawasan Hutan. Cobalah Anda kerjakan latihan di bawah ini dengan
membentuk kelompok. Setiap kelompok sebanyak 4-5 peserta diklat. Lalu
perhatikan dan laksanakan tugas di bawah ini, kemudian diskusikan
dengan anggota kelompoknya.
1. Carilah lokasi yang sudah dilakukan kegiatan pengukuhan di
lingkungan kerja saudara, kemudian buatlah rangkuman dari
kegiatan pengukuhan kawasan hutan lokasi tersebut. Kemudian
bandingkan dengan proses yang ada dalam buku ini.
2. Berkaitan dengan butir 1 di atas, buatlah perbandingannya antara
proses yang ada pada modul ini dan realisasi proses penunjukan
sampai dengan penetapan serta penyajian petanya, lalu sebutkan
alasan-alasan terjadinya perbedaan tersebut!
25
Evaluasi
1. Petunjuk soal dengan jawaban singkat:
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini pada lembar jawaban yang
disediakan dengan singkat dan jelas.
b. Posisikan alat komunikasi hp dengan getar pada saat uji
berlangsung.
Pertanyaan:
a. Sebutkan pengertian pengukuhan kawasan hutan?
b. Guna menjamin mantapnya kawasan hutan (memberikan
kepastian hukum) antara lain dilakukan melalui?
c. Pengecekan lapangan hasil pemetaan tata batas kawasan hutan
yang dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih,
misalnya; Global Positioning System atau singkatnya sering
disebut …………, dapat saja ditemukan perbedaan‐ perbedaan. d. Proyeksi batas di lapangan, dilaksanakan dengan membuat rintis
batas, dan memasang tandatanda batas berupa ajir‐ajir dan/atau pal‐pal. Ajir‐ajir dan/atau pal‐pal dipasang sepanjang rintis batas dengan jarak di lapangan antara 25 s.d. ................meter
e. Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dibuat dan dicetak oleh......
2. Petunjuk soal dengan jawaban Benar/Salah:
Bacalah masing-masing soal di bawah ini. Jika pernyataan betul
lingkari huruf B. Jika pernyataan salah lingkari huruf S pada
lembaran jawaban.
Pertanyaan:
a. Pernyataan “Kawasan hutan dikatakan mantap apabila telah dikukuhkan”. (B/S)
b. Pengakuan terhadap mantapnya suatu kawasan hutan mestilah
secara “de‐facto” dan “de‐jure” oleh seluruh pemangku kepentingan sampai dengan oleh masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan. (B/S)
c. Pada dasarnya penyelenggaraan pengukuhan hutan melalui 4
tahapan pokok, yaitu: a) penunjukan kawasan, b) panitia tata
batas, c) pemetaan, dan d) penetapan. (B/S)
26
d. Bukti hukum secara administratif dan fisik kegiatan penataan
batas kawasan hutan di lapangan harus dilengkapi Berita Acara
Tata Batas dengan Peta Hasil Tata Batas. (B/S)
e. Sekitar tahun 1980‐an sejarah perjalanan kehutanan sangat fenomenal. Dalam hal itu ditandai adanya penataan hutan yang
dikukuhkan melalui pola Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK). (B/S).
Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Hasil
Belajar materi pokok 1 yang terdapat pada bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian hitunglah persentase
jawaban yang benar tersebut. Bandingkan penguasaan yang Anda capai
dengan arti tingkat penguasaan berikut:
1. > 90% = Baik sekali
2. 80%-90% = Baik
3. 70%-79% = Cukup
4. < 70% = Kurang.
Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai 80% ke atas, Bagus.
Berarti Anda dapat meneruskan dengan materi pokok berikutnya. Tetapi
bila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi lagi materi pokok 1 ini, terutama bagian yang belum Anda
kuasai.
27
BAB III
PENATAGUNAAN KAWASAN HUTAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat dapat menjelaskan prosedur
Penatagunaan Kawasan Hutan
1. Pengertian
Kebijakan penatagunaan kawasan hutan di Indonesia telah
mengalami beberapa kali penyempurnaan sejalan dengan berubahnya
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan nasional di
Indonesia. Perkembangan kebijakan tersebut di antaranya; sampai dengan
tahun 1980 berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5
Tahun 1967, kawasan hutan dikelola berdasarkan register dan penunjukan
kawasan hutan secara parsial. Setelah itu (tahun 1980 s.d. 1992), penataan
kawasan hutan ditentukan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, maka dilakukan padu serasi antara RTRWP dengan
TGHK.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, penataan kawasan hutan di dasarkan pada penunjukan kawasan
hutan dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Di dalam
Pasal 15 UU Nomor 41 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa;
Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan
penggunaan kawasan hutan. Pemerintah menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan minimal sebagai berikut:
a. 30% dari luas daratan untuk pulau kecil (luas pulau kurang dari 10
km2).
b. 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk pulau besar.
Bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas hutannya melebihi 30%
dari luas wilayahnya, tidak boleh secara bebas mengurangi kawasan hutan
28
yang telah ditetapkan. Untuk mengoptimalkan fungsi lindung dan tata air,
dapat dikembangkan pembangunan hutan di luar kawasan hutan.
Demikian seterusnya, dinamika perubahan itu terjadi sangat cepat
karena adanya penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan
pembangunan nasional serta semakin kuat dan terbukanya aspirasi
masyarakat, sehingga prinsip kawasan hutan cenderung ke arah dapat
diubah peruntukan dan/atau fungsinya, misal pada tahun 2010 terbit
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Thun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Di dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999, penatagunaan kawasan hutan adalah
kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
2. Penetapan Fungsi Kawasan Hutan
Dengan adanya pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi
pokoknya, maka usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi
RTRWP harus memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing fungsi
pokok kawasan hutan tersebut. Posisi kawasan hutan di dalam pola ruang
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
RTRWN adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008,
kawasan lindung terdiri dari:
1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya, dan berdasarkan Pasal 52 lebih lanjut dirinci, yaitu:
a) Kawasan Hutan Lindung,
b) Kawasan Bergambut, dan
c) Kawasan Resapan Air;
2) Kawasan Perlindungan Setempat;
3) Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya;
4) Kawasan Rawan Bencana Alam;
5) Kawasan Lindung Geologi, dan Kawasan Lindung Lainnya.
29
b. Berdasarkan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008,
kawasan budidaya terdiri dari:
1) Kawasan peruntukan hutan produksi;
2) Kawasan peruntukan hutan rakyat;
3) Kawasan peruntukan pertanian;
4) Kawasan peruntukan perikanan;
5) Kawasan peruntukan pertambangan;
6) Kawasan peruntukan industri;
7) Kawasan peruntukan pariwisata;
8) Kawasan peruntukan pemukiman;
9) Kawasan peruntukan lainnya.
Keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian
dari wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh
karenanya kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
akan memberikan implikasi terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut.
Gambar 3. Keterkaitan antara pembangunan hutan dan pembangunan nasional.
Pada waktu dahulu, penunjukan/penetapan kawasan hutan di setiap
provinsi di Indonesia didasarkan pada kesepakatan antar instansi terkait
dan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menyangkut
kawasan hutan dan non hutan yang dikenal dengan Tata Guna Hutan
Kesepakatan. Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) diawali
dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
Pembangunan
Hutan
Pembangunan
Nasional
TGHK
Paduserasi
RTRWP
30
680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan
(TGHK).
Tata cara penetapan TGHK ini secara operasional diatur dengan
terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Kriteria dan Tata
Cara Penetapan Fungsi Hutan yaitu:
1) Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung;
2) Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81
Tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi; dan
3) Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
pasal 6 (2) bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok
yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Namun
demikian hingga saat ini penetapan kriteria kawasan hutan masih
didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/11/80 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
683/Kpts/Um/8/81 dengan menggunakan faktor penentu kelerengan, jenis
tanah, dan curah hujan. Nampaknya, dengan perkembangan pembangunan
serta permasalahan yang ada, khususnya peningkatan kebutuhan lahan bagi
kepentingan sektor ekonomi lainnya seperti pertanian, perumahan,
infrastruktur, dan lain-lain yang memerlukan lahan-lahan baru, tentunya
penyesuaian kriteria-kriteria yang lebih tepat sangat dibutuhkan, agar lebih
menjamin keberlanjutan pembangunan dengan memperhatikan ekosistem
wilayah secara komprehensif.
Selain penatagunaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi-fungsinya
seperti tersebut di atas, terdapat kemungkinan adanya penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan di luar kegiatan kehutanan, yaitu antara lain:
1) Untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan:
a) Hal ini hanya dapat dilakukan dalam hutan produksi dan hutan
lindung;
b) Tidak boleh mengubah fungsi dari kawasan hutan.
2) Untuk kegiatan pertambangan:
a) Diterbitkan izin pinjam pakai, dengan luas dan waktu tertentu;
b) Pada dasarnya tidak boleh dengan pola pertambangan terbuka;
31
c) Pada hutan produksi, secara selektif diperbolehkan dengan pola
pertambangan terbuka;
d) Harus dilakukan reklamasi dan penghutanan kembali dari areal
bekas pertambangan.
3. Metode Skoring Penentuan Fungsi Kawasan Hutan
Metode skoring untuk penentuan fungsi kawasan hutan diawali
penerbitan beberapa peraturan oleh Menteri Pertanian dan Menteri
Kehutanan tahun 1980-an. Beberapa aturan dimaksud adalah:
a. Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung diatur dalam
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80,
b. Kriteria dan tata cara penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata
diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor
681/Kpts/Um/8/81,
c. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi konversi diatur
dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
682/Kpts/Um/8/81,
d. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi diatur dalam
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81.
Kriteria hutan produksi dan hutan lindung yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian dengan memberikan kriteria fungsi kawasan hutan
berdasarkan sistem skoring. Faktor-faktor yang dinilai mencakup 3
komponen utama:
a. Kelerengan (%),
b. Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan
c. Curah hujan rata-rata (mm/hari hujan)
Tiga komponen utama (kelerengan, jenis tanah, curah hujan) diberi
angka penimbang (bobot) masing-masing, yaitu; faktor kelerengan = 20,
jenis tanah = 15 dan intensitas hujan = 10. Adapun skor parameter menurut
aturan-aturan di atas untuk tiap komponen faktor (kelerengan) adalah
sebagaimana tabel 1 di bawah.
32
Tabel 1. Skor setiap kelerengan sesuai SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/80.
Kelas Tingkat Kelerengan Persen Kelerengan (%) Skor
I Datar 0–8 20
II Landai 8–15 40
III Agak Curam 15–25 60
IV Curam 25–40 80
V Sangat Curam > 40 100
Selanjutnya, menurut kepekaan jenis tanah terhadap erosi, maka
kelas-kelas jenis tanah dibagi ke dalam 5 (lima) kelas sebagaimana tabel 2
di bawah.
Tabel 2. Skor setiap jenis tanah sesuai SK Mentan no. 837/Kpts/Um/11/80.
Kelas Kepekaan terhadap
Erosi Jenis Tanah Skor
I Rendah/tidak peka Alluvial, Glei, Olanosol, Hidromorf
Kelabu, Laterit air tanah
15
II Sedang/kurang peka Latosol 30
III Tinggi/agak peka Kambisol, Mediteran, Brown Forest,
Non Calcic Brown
45
IV Sangat tinggi/peka Vertisol, Andosol, Grumosol, Laterit,
Podsol, Podsolik
60
V Amat sangat peka Litosol, Organosol, Rendzina, Regosol 75
Intensitas hujan, yaitu rata-rata curah hujan dalam milimeter (mm)
setahun dibagi dengan rata-rata jumlah hari hujan setahun, dibagi ke dalam
kelas-kelas sebagaimana tabel 3 di bawah.
Tabel 3. Skor setiap kelas curah hujan sesuai SK Mentan no. 837/Kpts/Um/11/80.
Kelas Tingkat Curah Hujan Curah Hujan (mm) Skor
I Sangat rendah < 13,6 mm 10
II Rendah 13,6–20,7 mm 20
III Sedang 20,7–27,7 mm 30
IV Tinggi 27,7–34,8 mm 40
V Sangat tinggi > 34,8 mm 50
33
Makin tinggi nilai kelas sesuatu faktor, makin besar pengaruh faktor
tersebut terhadap kepekaan wilayah yang bersangkutan terhadap erosi.
Untuk membuat rekomendasi fungsi kawasan hutan, hal pertama yang
perlu dilakukan adalah penentuan batas area yang akan dianalisis. Area
tersebut dapat berstatus sebagai kawasan hutan atau calon kawasan hutan.
Idealnya, kawasan yang akan dilakukan proses skoring (hutan produksi
tetap dan hutan produksi terbatas) hendaknya berada di luar kawasan
lindung sesuai aturan yang berlaku, seperti:
a. Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan > 40 %
b. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian lapangan di atas
permukaan air laut 2.000 m atau lebih.
c. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol,
organosol, renzina dengan lereng lapangan > 15 %
d. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya
100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air
e. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari
200 meter di sekeliling mata air
f. Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat
dihulu sungai dan rawa
g. Daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan
bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang
tertinggi ke arah darat
h. Memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan konservasi, seperti;
Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dll.
i. Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri
sebagai hutan lindung.
Berkenaan pengecualian tersebut maka area-area yang memenuhi
syarat-syarat di atas secara otomatis memenuhi kriteria kawasan lindung
dan tidak memerlukan sistem skoring untuk rekomendasi fungsi kawasan
hutan.
34
Langkah-langkah penentuan fungsi kawasan hutan secara umum
dapat digambarkan oleh skematik bagan alir pada gambar 4 di bawah.
Catatan: HL – Hutan Lindung; HP – Hutan Produksi; HPT – Hutan Produksi
Terbatas
Gambar 4. Skema langkah-langkah penentuan fungsi kawasan hutan secara umum
Kawasan Hutan
Analisis Kriteria Kawasan
Lindung
Memenuhi Kriteria Kawasan
Lindung Sisa Area–Analisis Lanjutan
Taman Nasional, Cagar
Alam, Suaka Margasatwa,
Cagar Budaya Perlindungan
Setempat, dll
Metode Skoring
H P T H P H L
Ditambahkan sbg
Kawasan Lindung
35
Adapun nilai skor masing-masing fungsi kawasan hutan (hutan
lindung, hutan produksi dan hutan produksi terbatas) adalah sebagai
berikut:
a. Skor ≥ 175, maka dicadangkan sebagai hutan lindung. b. Skor 125-174, maka dicadangkan sebagai hutan produksi terbatas.
c. Skor ≤ 124, maka dicadangkan sebagai hutan produksi tetap.
Kawasan yang memenuhi kelayakan skor hutan produksi tetap dapat
saja dicadangkan sebagai kawasan hutan produksi konversi dengan
pertimbangan khusus, seperti pengembangan transmigrasi, permukiman,
pertanian, dan perkebunan.
Dari hasil penjumlahan nilai kelerengan, jenis tanah dan intensitas
hujan maka jika didapat nilai yang sama dengan atau lebih dari 175
menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan perlu dijadikan, dibina
dan dipertahankan sebagai hutan lindung.
Sedangkan jika nilai penjumlahan didapat angka 124–174 maka
kawasan hutan tersebut cocok dengan fungsi Hutan Produksi Terbatas dan
jika nilai penjumlahan didapat angka lebih kecil dari 124 maka kawasan
hutan tersebut cocok dengan fungsi Hutan Produksi (Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81 tentang Kriteria dan Tata
Cara Penetapan Hutan Produksi)
a. Kriteria Hutan Produksi
Hutan Produksi adalah areal hutan yang dipertahankan sebagai
kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan. Hutan
Produksi terbagi dua kelompok besar yaitu Hutan Produksi (HP) dan
Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kriteria Umum:
1) Keadaan fisik areal hutan dimungkinkan untuk dilakukan eksploitasi
secara ekonomis;
2) Lokasinya secara ekonomi mudah dikembangkan sebagai hutan
produksi;
3) Hutan Produksi dapat berupa areal kosong/tidak bertegakan hutan,
namun dapat dikembangkan sebagai hutan produksi;
4) Penetapan sebagai hutan produksi tidak merugikan segi
ekologi/lingkungan hidup.
36
Persyaratan suatu lahan dapat dijadikan kawasan hutan produksi
terbatas (HPT) adalah lahan yang setelah ketiga nilai faktornya dikalikan
dengan angka penimbang masing-masing mempunyai jumlah nilai (skor)
antara 124-174 di luar kawasan Suaka Alam, Hutan Wisata dan Hutan
Konservasi lain.
Persyaratan suatu lahan dapat dijadikan kawasan hutan produksi
(HP) adalah lahan yang setelah ketiga nilai faktornya dikalikan dengan
angka penimbang masing-masing mempunyai jumlah nilai (Skor) 124 ke
bawah di luar kawasan Suaka Alam, Hutan Wisata, dan Hutan Konservasi
lainnya.
Sesuai kewenangannya Menteri menunjuk hutan produksi untuk
kemudian setelah melalui proses penataan batas di lapangan, menetapkan
hutan produksi tersebut dengan Surat Keputusan Menteri.
b. Kriteria Kawasan Konservasi
Kawasan Suaka Alam meliputi Cagar Alam, Suaka Margasatwa,
Hutan Wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian
satwa. Istilah yang berbeda digunakan oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990, dalam hal ini Kawasan Suaka Alam hanya merepresentasikan
Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan istilah Taman Nasional,
Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya diklasifikasikan sebagai
Kawasan Pelestarian Alam.
Beberapa kriteria kawasan konservasi sebagaimana dinyatakan oleh
Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 sebagai berikut:
1) Kriteria Cagar Alam
Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau
keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya
yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar
keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami.
a) Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar
yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;
b) Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar
yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;
37
c) Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta
ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam
punah;
d) Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
e) Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat
menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin
berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau
f) Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh
ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Terkait apa saja hal-hal yang dapat dilakukan di dalam kawasan
hutan, maka Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-
kegiatan yang berupa:
a) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b) Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c) Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d) Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
2) Kriteria Suaka Margasatwa
Suaka Margasatwa adalah Kawasan Suaka Alam yang
mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau
keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya
memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi
dan habitatnya.
Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa,
suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
a) Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau
beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah;
b) Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c) Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi
tertentu; dan/atau
d) Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b) Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
38
c) Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta
energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan
d) Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Pengelolaan Blok dan Perlindungannya, maka Penataan Kawasan
Suaka Alam dilakukan membentuk blok-blok pengelolaan. Blok
pengelolaan Kawasan Suaka Alam meliputi:
a) Blok perlindungan;
b) Blok pemanfaatan; dan
c) Blok lainnya.
Khusus terkait upaya perlindungan, perlindungan Kawasan
Suaka Alam mencakup 4 tujuan:
a) Terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan
hidup dari flora, fauna, dan ekosistemnya;
b) Menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan keutuhan potensi dan kawasan serta
perubahan fungsi kawasan, baik yang disebabkan oleh manusia,
ternak, kebakaran, alam, spesies invasif, hama, dan penyakit;
c) Menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi,
kawasan, ekosistem, investasi, dan perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam;
d) Menjamin keutuhan potensi, kawasan, dan fungsi kawasan.
Upaya perlindungan yang dilakukan tersebut melalui:
a) Pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang
disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama,
dan penyakit;
b) Melakukan pengamanan kawasan secara efektif.
3) Kriteria Hutan Wisata
Kriteria penentuan Hutan Wisata, sebagai berikut:
a) Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan
indah baik secara alamiah maupun buatan manusia;
b) Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta
terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk;
39
c) Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga
memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan
segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa;
d) Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak
membahayakan.
4) Kriteria Daerah Perlindungan Plasma Nutfah
Kriteria penentuan Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, sebagai
berikut:
a) Areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang
belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah
ditetapkan:
b) Merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan
tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut;
c) Mempunyai luas cukup dan lapangannya tidak membahayakan.
d) Kriteria daerah pengungsian satwa adalah:
e) Areal yang ditunjuk merupakan wilayah kehidupan satwa yang
sejak semula menghuni areal tersebut.
f) Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya
proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa
tersebut.
Pada tahun 2011 baru dilakukan penyempurnaan terhadap
kriteria kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Kriteria suatu kawasan dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai
kawasan Taman Nasional meliputi:
a) Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan
unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b) Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh
c) Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan
proses ekologis secara alami;
d) Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan atau zona lainnya sesuai
keperluan.
40
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai
kawasan Hutan Raya meliputi:
a) Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
b) Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk
pengembangan koleksi tumbuhan dan atau satwa; dan
c) Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan,
pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah
yang ekosistemnya sudah berubah.
Rangkuman
1. Penatagunaan kawasan hutan adalah kegiatan penetapan fungsi dan
penggunaan kawasan hutan. Penataan kawasan hutan di dasarkan
pada penunjukan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan olen
Menteri Kehutanan. Penataan kawasan hutan ditentukan melalui
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dengan terbitnya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka
dilakukan padu serasi antara RTRWP dengan TGHK.
2. Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) diawali dengan
terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan
Kesepakatan (TGHK). Tata cara penetapan TGHK ini secara
operasional diatur dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri
Pertanian tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Fungsi Hutan
yaitu:
a. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80
tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung;
b. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81
tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi;
c. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
3. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan meliputi;
a. Hutan konservasi,
b. Hutan lindung, dan
c. Hutan produksi.
41
4. Kriteria hutan produksi dan hutan lindung yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian dengan memberikan kriteria fungsi kawasan
hutan berdasarkan sistem skoring. Faktor-faktor yang dinilai
mencakup 3 komponen utama:
a. Kelerengan (%),
b. Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan
c. Curah hujan rata-rata (mm/hari hujan).
5. Adapun nilai skor masing-masing fungsi kawasan hutan (hutan
lindung, hutan produksi dan hutan produksi terbatas) adalah sebagai
berikut:
a. Skor ≥ 175, maka dicadangkan sebagai hutan lindung;
b. Skor 125-174, maka dicadangkan sebagai hutan produksi
terbatas;
c. Skor ≤ 124, maka dicadangkan sebagai hutan produksi tetap.
Latihan
Untuk membantu Anda memahami dalam uraian materi dasa-dasar
geometri dan dasar-dasar trigonometri di atas. Cobalah Anda kerjakan
latihan di bawah ini dengan membentuk kelompok. Setiap kelompok
sebanyak 4-5 peserta diklat. Lalu perhatikan dan laksanakan tugas di
bawah ini, kemudian diskusikan dengan anggota kelompoknya.
1. Carilah beberapa lokasi fungsi suatu kawasan, kemudian carilah
informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan fungsi suatu
kawasan pada contoh lokasi yang saudara pilih, kemudian lakukan
perhitungan terhadap nilai skoring yang diperoleh, lalu bandingan
dengan fungsi kawasan hutan tersebut.
2. Diskusikan faktor-faktor terjadinya perbedaan fungsi kawasan hutan
antara yang tertera pada peta dengan hasil perhitungan skoring.
Evaluasi
1. Petunjuk soal dengan jawaban singkat:
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini pada lembar jawaban yang
disediakan dengan singkat dan jelas.
42
b. Posisikan alat komunikasi hp dengan getar pada saat uji
berlangsung
Pertanyaan:
a. Jelaskan pengertian penatagunaan kawasan hutan!
b. Apa saja faktor-faktor yang dinilai untuk menentukan fungsi
kawasan hutan?
c. Jelaskan pengertian fungsi pokok suatu kawasan hutan?
d. Apabila perhitungan hasil skoring pada suatu wilayah bernilai
123, maka wilayah tersebut ditetapkan fungsi kawasan hutan
sebagai.........
e. Kapan suatu wilayah dikatakan sebagai fungsi pokoknya hutan
lindung?
2. Petunjuk soal dengan jawaban Benar/Salah:
Bacalah masing-masing soal di bawah ini. Jika pernyataan betul
lingkari huruf B. Jika pernyataan salah lingkari huruf S pada
lembaran jawaban.
Pertanyaan:
a. Penataan kawasan hutan di dasarkan pada penunjukan kawasan
hutan dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. (B-
S)
b. Penataan Ruang, maka dilakukan padu serasi antara RTRWP
dengan TGHK. (B-S)
c. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan meliputi hutan
produksi, hutan lindung dan hutan produksi terbatas. (B-S)
d. Faktor yang dinilai dalam sistem skoring untuk menetapkan
fungsi suatu kawasan, mencakup kelerengan, jenis tanah, dan
curah hujan rata-rata. (B-S)
e. Persyaratan suatu lahan dapat dijadikan kawasan hutan produksi
terbatas (HPT) adalah lahan yang setelah ketiga nilai faktornya
dikalikan dengan angka penimbang masing-masing mempunyai
jumlah nilai (Skor) antara ≥ 175 di luar kawasan Suaka Alam, Hutan Wisata dan Hutan Konservasi lain. (B-S).
43
Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Hasil
Belajar materi pokok 1 yang terdapat pada bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian hitunglah persentase
jawaban yang benar tersebut. Bandingkan penguasaan yang Anda capai
dengan arti tingkat penguasaan berikut:
1. > 90% = Baik sekali
2. 80%-90% = Baik
3. 70%-79% = Cukup
4. < 70% = Kurang.
Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai 80% ke atas, Bagus.
Berarti Anda dapat meneruskan dengan materi pokok berikutnya. Tetapi
bila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi lagi materi pokok 1 ini, terutama bagian yang belum Anda
kuasai.
44
BAB IV
PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat dapat menjelaskan prosedur
Pemantapan Kawasan Hutan
1. Pengertian.
Salah satu yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan
hutan yang lestari adalah kawasan hutan mantap melalui pemantapan
kawasan hutan. Pemantapan kawasan hutan saat ini menjadi penting dan
jika dilihat dari perkembangan kebijakan Kementerian Kehutanan pada
Tahun 2010-2014 menjadi kebijakan prioritas pertama dari enam
kebijakan prioritas, sedangkan pada tahun sebelumnya yaitu Tahun 2005-
2009 pemantapan kawasan hutan merupakan kebijakan prioritas kelima.
Jika diperhatikan maka kementerian kehutanan telah memiliki komitmen
untuk berjuang membuat kawasan hutan mantap sejalan dengan visi
penyelenggaraan pembangunan kehutanan.
Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi dalam bidang
pemantapan kawasan adalah memantapkan kepastian status kawasan hutan
serta kualitas data dan informasi kehutanan. Tujuannya meningkatkan
kepastian kawasan hutan sebagai dasar penyiapan prakondisi pengelolaan
sumber daya hutan secara lestari. Selain itu juga ditetapkan 8 program,
satu di antaranya adalah program Perencanaan Makro Bidang Kehutanan
dan Pemantapan Kawasan Hutan. Rencana Makro Pemantapan Kawasan
Hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Kehutanan
Tingkat Nasional (RKTN) 2013-2032 yang menjabarkan arahan yang
bersifat penting, strategis dan lebih detail dari RKTN 2011-2030 dalam
Pemantapan Kawasan Hutan (Nomor: P.32/Menhut-II/2013).
Untuk itu pemantapan kawasan hutan sebagai modal dasar menuju
hutan yang lestari perlu didukung oleh pihak-pihak lain yang terkait. Unit
Pelaksana teknis yang menangani pemantapan kawasan hutan pada
45
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah Balai Pemantapan
Kawasan Hutan.
2. Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemantapan Kawasan
Hutan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.6/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (disingkat BPKH) adalah unit pelaksana
teknis di bawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian
Kehutanan Indonesia. Lembaga ini memiliki tugas melaksanakan
pemantapan kawasan hutan, penilaian perubahan status dan fungsi hutan,
serta penyajian data dan informasi sumber daya hutan. Struktur
Organisasinya di Kepalai oleh seorang Kepala Balai membawahi Kepala
Sub bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Pemolaan Kawasan Hutan, Kepala
Seksi Informasi Sumber Daya Hutan, serta kelompok jabatan Fungsional.
Untuk mencapai fungsi hutan secara optimal dan lestari, dalam
melaksanakan tugas Balai Pemantapan Kawasan Hutan menyelenggarakan
fungsi antara lain:
a. Pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi potensi lokasi yang akan
ditunjuk sebagai kawasan hutan;
b. Pelaksanaan penataan batas dan pemetaan kawasan hutan;
c. Pelaksanaan penilaian perubahan status dan fungsi kawasan hutan;
d. Pelaksanaan penilaian penggunaan kawasan hutan;
e. Penilaian teknis tata batas areal pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan hutan dan perubahan status/peruntukan kawasan hutan;
f. Pelaksanaan inventarisasi hutan skala Nasional di wilayah;
g. Penyusunan dan penyajian data informasi Sumber Daya Hutan
(SDH) serta Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH);
h. Pengelolaan sistem informasi geografis dan perpetaan kehutanan;
i. Penyiapan dan penyajian data dan informasi perencanaan kehutanan,
penunjukan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, wilayah
pengelolaan hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan;
j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.
46
Balai Pemantapan Kawasan Hutan terdiri dari 22 (dua puluh dua)
Balai dalam ruang lingkup wilayah Indonesia dengan nama dan wilayah
kerja secara rinci sajikan pada tabel berikut.
Tabel 4. Nama, Lokasi dan Wilayah Kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
No Nama Lokasi Wilayah Kerja
1 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah I
Medan Sumatera Utara dan
Sumatera Barat
2 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah II
Palembang Sumatera Selatan
3 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah III
Pontianak Kalimantan Barat
4 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah IV
Samarinda Kalimantan Timur
5 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah V
Banjarbaru Kalimantan Selatan
6 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah VI
Manado Sulawesi Utara dan
Maluku Utara
7 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah VII
Makasar Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat
8 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah VIII
Denpasar Bali dan Nusa Tenggara
Barat
9 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah IX
Ambon Maluku
10 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah X
Jayapura Papua
11 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XI
Yogyakarta Jabar, Jateng, Jatim,
DIY, DKI, Banten
12 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XII
Tanjungpinang Kepulauan Riau
13 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XIII
Pangkal Pinang Bangka Belitung dan
Jambi
14 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XIV
Kupang Nusa Tenggara Timur
15 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XV
Gorontalo Gorontalo
16 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XVI
Palu Sulawesi Tengah
17 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XVII
Manokwari Papua Barat
18 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XVIII
Banda Aceh Aceh
47
No Nama Lokasi Wilayah Kerja
19 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XIX
Pekanbaru Riau
20 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XX
Bandar
Lampung
Lampung dan Bengkulu
21 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XXI
Palangkaraya Kalimantan Tengah
22 Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah XXII
Kendari Sulawesi Tenggara
3. Peran Unit Pengelola dalam Pemantapan Kawasan Hutan.
Sesuai dengan Rencana strategi Kemenhut 2010-2014 maka terdapat
prioritas untuk menyelamatkan hutan salah satunya adalah Pemantapan
kawasan hutan yang berbasis pengelolaan hutan lestari, dan dikuatkan lagi
dalam Permenhut nomor P.32/Menhut-II/2014 tentang Rencana Makro
Pemantapan Kawasan Hutan.
Sistem pengelolaan yang dirasa tidak efektif mendorong terjadinya
tingkat deforestasi yang tinggi mendorong lahirnya sistem pengelolaan
unit terkecil di tingkat tapak yang diamanatkan oleh UU nomor 41/1999
pasal 10, 12, dan 17 ayat (1) yang sekarang disebut Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH). Dalam konteks ini KPH diharapkan berperan dalam konteks
perbaikan tata kelola hutan yang menjamin kepastian usaha dan juga
keadilan bagi masyarakat adat/lokal.
Berdasarkan Permenhut P.6/2010 tentang Norma, Standard,
Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL (lindung) dan KPHP
(produksi), maka fungsi kerja KPH dalam kaitannya dengan tata kelola
hutan di tingkat tapak adalah: (1) Melaksanakan penataan hutan dan tata
batas di wilayah KPH, (2) Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat
wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH, (3)
Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kerja pengelolaan
hutan yang dilaksanakan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, (4) Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi
hutan, (5) Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam, (6)
Melaksanakan pengelolaan hutan bagi KPH yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), (7) Menjabarkan
kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan, (8)
48
Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan
kawasan, (9) Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya
tujuan pengelolaan hutan lestari.
4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
Sejak diterbitkannya Permenhut nomor P.25/Menhut-II/2014, maka
Permenhut nomor P.47/Menhut-II/2010 dinyatakan tidak berlaku lagi,
namun Panitia Tata Batas Kawasan Hutan yang telah dibentuk berdasarkan
Permenhut Nomor P.47/Mehut-II/2010 (sebagaimana diuraikan pada bab
sebelumnya dalam modul ini) tetap melaksanakan tugas sampai dengan
terbentuknya Panitia Tata Batas Kawasan hutan berdasarkan permenhut di
atas (terkini).
Pada pasal 2 ayat (2) Permenhut nomor P.25/Menhut-II/2014, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan, bertugas menyusun Panitia Tata Batas
Kawasan Hutan pada setiap kabupaten/kota yang diusulkan ke Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan. Selanjutnya Panitia Tata Batas Kawasan
Hutan dibentuk oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Susunan anggota Panitia Tata Batas
a. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan diketuai oleh Kepala Balai
Pemantapan Kawasan Hutan.
b. Anggota Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, terdiri dari unsur:
1) Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai
sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung, atau Unit Pelaksana Teknis yang menangani
urusan kawasan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap
anggota untuk kawasan hutan konservasi;
2) Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan;
3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota
4) Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
5) Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan terkait;
6) Perum Perhutani apabila kawasan hutan merupakan wilayah kerja
Perum Perhutani; dan
7) Camat setempat
49
c. Tugas Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
1) menilai rencana trayek batas;
2) menilai hasil identifikasi dan inventarisasi hak-hak pihak ketiga;
3) menilai peta kerja tata batas;
4) menilai peta hasil tata batas.
5) menetapkan rencana trayek batas;
6) menetapkan hasil identifikasi dan inventarisasi hak-hak pihak
ketiga;
7) menetapkan peta kerja tata batas;
8) menandatangani berita acara dan peta hasil tata batas
Rangkuman
1. Pemantapan kawasan hutan adalah memantapkan kepastian status
kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan.
Tujuannya meningkatkan kepastian kawasan hutan sebagai dasar
penyiapan prakondisi pengelolaan sumber daya hutan secara lestari.
Pemantapan Kawasan Hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2013-2032 yang
menjabarkan arahan yang bersifat penting, strategis dan lebih detail
dari RKTN 2011-2030 dalam Pemantapan Kawasan Hutan.
2. Untuk itu pemantapan kawasan hutan sebagai modal dasar menuju
hutan yang lestari perlu didukung oleh pihak-pihak lain yang terkait.
Unit Pelaksana teknis yang menangani pemantapan kawasan hutan
pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah Balai
Pemantapan Kawasan Hutan.
3. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.6/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan memiliki tugas melaksanakan
pemantapan kawasan hutan, penilaian perubahan status dan fungsi
hutan, serta penyajian data dan informasi sumber daya hutan.
4. Selain BPKH yang terlibat dalam Pemantapan Kawasan Hutan,
beberapa stakeholder lainnya adalah Unit Pengelola Kawasan
Hutan.
50
Latihan
1. Carilah Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.
P.32/Menhut-II/2013 tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan
Hutan dan aturan lainnya yang terkait, kemudian pelajari dan
diskusikan dengan beberapa peserta lalu buat resume.
2. Carilah informasi sebanyak mungkin untuk mengetahui, kendala-
kendala yang dihadapi dalam melakukan aktivitas pemantapan
kawasan hutan di lingkunganmu.
Evaluasi
1. Petunjuk soal dengan jawaban singkat:
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini pada lembar jawaban yang
disediakan dengan singkat dan jelas
b. Posisikan alat komunikasi hp dengan getar pada saat uji
berlangsung
Pertanyaan:
a. Apa tujuan pemantapan kawasan hutan?
b. Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemantapan kawasan
hutan?
c. Apa nama unit pelaksana yang bertugas dalam pemantapan
kawasan?
d. Wilayah kerja Perum Perhutani masuk pada lokasi mana dan
siapa yang bertanggung jawab dalam pemantapan kawasan
hutan?
e. Apakah Perum Perhutani juga bertanggung jawab terhadap tugas
pemantapan kawasan? Kalau “ya” dengan cara apa?
2. Petunjuk soal dengan jawaban Benar/Salah:
Bacalah masing-masing soal di bawah ini. Jika pernyataan betul
lingkari huruf B. Jika pernyataan salah lingkari huruf S pada
lembaran jawaban.
51
Pertanyaan:
a. Permen KLHK Nomor: P.32/Menhut-II/2013, merupakan bukti
keseriusan Pemerintah Pusat dalam hal Pemantapan Kawasan
Hutan. (B/S)
b. Balai Pemantapan Kawasan Hutan X, merupakan unit pelaksana
teknik yang bertanggung jawab terhadap pemantapan kawasan
hutan wilayah kerja Perum Perhutani. (B/S)
c. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan adalah dibentuk oleh
Gubernur dan bertanggung jawa kepada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. (B/S)
d. Salah satu tugas Panitia Tata batas adalah menerbitkan BATB.
(B/S}
e. Pemantapan Kawasan Hutan merupakan bagian dari kegiatan
Pengukuhan Hutan. (B/S)
f. Permen KLHK Nomor: P.32/Menhut-II/2013, merupakan bukti
keseriusan Pemerintah Pusat dalam hal Pemantapan Kawasan
Hutan. (B/S)
g. Balai Pemantapan Kawasan Hutan X, merupakan unit pelaksana
teknik yang bertanggung jawab terhadap pemantapan kawasan
hutan wilayah kerja Perum Perhutani. (B/S)
h. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan adalah dibentuk oleh
Gubernur dan bertanggung jawab kepada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. (B/S)
i. Salah satu tugas Panitia Tata batas adalah menerbitkan BATB.
(B/S)
j. Pemantapan Kawasan Hutan merupakan bagian dari kegiatan
Pengukuhan Hutan. (B/S)
52
Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Hasil
Belajar materi pokok 1 yang terdapat pada bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian hitunglah persentase
jawaban yang benar tersebut. Bandingkan penguasaan yang Anda capai
dengan arti tingkat penguasaan berikut:
1. > 90% = Baik sekali
2. 80%-90% = Baik
3. 70%-79% = Cukup
4. < 70% = Kurang
Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai 80% ke atas, Bagus.
Berarti Anda dapat meneruskan dengan materi pokok berikutnya. Tetapi
bila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi lagi materi pokok 1 ini, terutama bagian yang belum Anda
kuasai.
53
PENUTUP
Pemahaman proses Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penatagunaan
hutan kawasan hutan, merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh
petugas lapangan. Lebih-lebih bagi para petugas Perum Perhutani,
mengingat banyaknya kasus pemakaian kawasan hutan baik legal maupun
illegal yang perlu disikapi dengan bijaksana, untuk itu dibutuhkan
pemahaman tentang proses pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan.
Di samping itu hal ini juga merupakan kewajiban bagi Unit
Pengelola Kawasan Hutan–khususnya Perum Perhutani–untuk
melaksanakan pemantapan kawasan hutan dengan cara melakukan
rekonstruksi batas kawasan hutan yang bertujuan untuk memastikan batas
kawasan hutan yang dikelola, dalam rangka mengurangi konflik
penggunaan lahan hutan oleh masyarakat secara illegal, di samping itu
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Perusahaan dalam
mengelola hutan secara lestari.
Akhirnya kata karena keterbatasan waktu dan pengetahuan bagi
penulis, maka peserta diklat disarankan untuk menggali informasi dari
sumber-sumber lain, terutama peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi di atas. Semoga bermanfaat.
54
DAFTAR PUSTAKA
Dwi, 2011. Kawasan Hutan Mantap Syarat Hutan Lestari. http://dwinotes.
blogspot.co.id/2011/07/kawasan-hutan-mantap-syarat-hutan.html.
diakses tanggal 4 Maret 2019.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.25/Menhut-II/2014 tentang Panitia
Tata Batas Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.33/Menhut-II/2010 tentang tata cara pelepasan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.34/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia
Tata Batas Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.44/Menhut-
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
55
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.25/Menhut-
II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/Menhut-
II/2013 tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.43/menhut-
II/2013 tentang Penataan Batas Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.6/MenLkh/Setjen/OTL.0/2016 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan.
Santotoso, P. 2016. Pengukuhan dan Penataan Kawasan Hutan. Pusat
Diklat SDM Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bogor. Bahan Ajar.
Surat Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor
420/A/VII-3/96 tanggal 10 Mei 1996 perihal penyelesaian berita
acara tata batas.
Surat Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan Nomor 467/A/VII-
3/96 tanggal 17 Mei 1996 perihal tata batas kawasan hutan yang
berse-kutu dengan batas HPH.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan
Kebun Nomor 82/VII-1/1998 tanggal 25 Juni 1998 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Hutan.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi, Tata Guna Hutan dan
Kebun Nomor 130/Kpts/VII-1/1998 tanggal 18 Agustus 1998
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Prosedur Pembiayaan
Tata Batas Areal Kerja HPH, HPHTI, HPPA, HPTB, dan
Pengusahaan hutan lainnya.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/2001 tentang
Tukar Menukar kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2009.
56
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 Jo.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996 tentang
Pedoman Pengukuhan Hutan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57/Kpts-II/1994 tentang
Pedoman Penataan Batas Fungsi Hutan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 613/Kpts-II/1997 tentang
Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan kawasan
Pelestarian Alam Perairan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang
Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan
Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Nomor 48/Menhut-
II/2004.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 900/Kpts-II/1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan
Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang
Kehutanan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang
Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/81 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Suaka Alam dan Hutan
Wisata.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/81 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi Konversi.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan.
57
PROFIL PENULIS
Nanang Suwandi. Pria kelahiran Jakarta,
menempuh pendidikan sarjana S-1 diraihnya dari
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor
pada tahun 1991. Kemudian ia meneruskan jenjang
S-2 Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan UGM
di Yogyakarta tahun 2000. Saat ini penulis sebagai
tenaga profesional di Pusdikbang SDM Perhutani
sejak 2012-sekarang, yang menggeluti di bidang Perencanaan Hutan.
Sebelumnya menjadi Kepala Teknik Kehutanan Umum (KTKU) pada
Satuan Hutan Kemasyarakatan di Kupang Nusa Tenggara Timur.
Kemudian menjadi Kepala Seksi Perencanaan dan Kebijakan Perusahaan
di Kantor Pusat Perum Perhutani Jakarta, Wakil Kepala Biro Perencanaan
dan Pengembangan Hutan di Divisi Regional Jawa Barat dan Banten di
Bandung, Administratur/KKPH Bandung Utara, Adminstratur/KKPH
Malang dan Administratur/KKPH Semarang. Di samping itu, ia juga
sebagai tenaga Asesor Soft Competency pada Asesmen Center dan Asesor
Hard Competency pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pusdikbang
SDM Perhutani. Pengalamannya di dunia pendidikan serta menggali
pengalaman orang dan beberapa referensi dituangkan dalam tulisan ini
dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi pembaca, khusus yang
menggeluti bidang perencanan hutan.
Rahmanta Setiahadi. H-Index: 3; ID-Scopus:
57194606572; ID-Sinta: 6023219; ID-Google:
y6EIuIAAAAJ; ID-ORCID: 0000-0002-7712-4859.
Sejak tahun 1989–sekarang, sebagai Dosen
L2DIKTI Wilayah VII pada Fakultas Pertanian
Universitas Merdeka Madiun. Pendidikan S-1
Agronomi dari Fakultas Pertanian Universitas
58
Muhammadiyah Malang (1986), S-2 Manajemen Hutan (2000), dan S-3
(2012) Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
Pertanian (1999–2001), Pembantu Rektor III (2002-2006) dan Rektor
(2015-2019). Selain itu, juga sebagai pengajar pada Perhutani Forestry
Institute (2002–sekarang). Beberapa buku monograf dan modul telah
dicetak dan dipublikasikan. Demikian juga, artikel yang dihasilkan telah
dipublikasikan pada jurnal dan prosiding ilmiah, seperti International
Journal of Forest Research (Scopus Q2), International Journal on
Advanced Science, Engineering and Information Technology (Scopus
Q2/Sinta 2), Biodiversitas (Scopus Q3/Sinta 2), IOP Publisher (Scopus
Q4), dll. Aktivitas profesi selain dosen, yaitu sebagai Research Consultant
pada beberapa lembaga donor international, seperti MFP (Multistakeholder
Foresty Program), FAO (Food and Agriculture Organization of the United
Nations), USAID-BIJAK, FIP (Forest Invesment Program) World Bank.