1
PENGGUNAAN METEDOLOGI STUDI KASUS; FILOSOFI, METODELOGI DAN
METODE
OLEH:
GDE INDRA BHASKARA, SST.PAR., M.Sc., Ph.D
NIP: 197812192008011007
PROGRAM STUDI DESTINASI PARIWISATA
FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
2
PENGGUNAAN METODELOGI STUDI KASUS: Filosofi, Metodelogi dan Metode
Oleh:
Gde Indra Bhaskara, SST.Par., MSc., Ph.D
Pendahuluan
Artikel ini membahas tentang pendekatan metodelogi studi kasus untuk meneliti suatu kelompok
atau komunitas. Pada tulisan ini tidak hanya dibahas tentang arti, kekuatan dan kelemahan dari
suatu pendekatan studi kasus akan tetapi juga hubungan studi kasus dengan filosofi yang
mendasarinmya serta metode pengumpulan data yang dipakai di dalamnya. Dibahas pula tentang
isu-isu reabilitas dan validitas yang berkaitan erat dengan pemilihan studi kasus sebagai
pendekatan dalam mengumpulkan data. Berikutnya akan dibahas tentang filsafat, metodelogi,
metode serta isu-isu yangberkaitan dengan teknik pengumpulan data, validitas dan reabilitas
serta
Filsofi
Filsafat berkaitan dengan cara pandang kita terhadap dunia dan kepercayaan kita tentang
bagaimana kita melihat dunia (Williams 1996; Denzin dan Lincoln 2011). Dalam hal ini, hasil
investigasi filosofis ontologis dan epistemologis akan berdampak langsung pada fenomena
sosial; Dengan demikian,filasafat memberi kesempatan bagi peneliti untuk membuat kerangka
acuan atau metodologi (Williams 1996; Bryman 2008; Denzin dan Lincoln 2011). Filsafat dapat
memberi pendekatan metodologis yang diadopsi untuk menjawab suatu tujuan penelitian,
3
Namun, sebelum secara khusus membahas ontologi dan epistemologi suatu penelitian, ada
baiknya untuk mengetahui sejarah umum suatu sikap ontologis, agar memiliki pemahaman yang
luas tentang isu ontologis dan epistemologis.
Sexton (1997) membagi sejarah manusia menjadi tiga era, yaitu pra-modern, modern dan post
modern, di mana setiap era menekankan sikap ontologis yang berbeda yang membentuk
bagaimana orang mengatasi masalah dan solusi. Pertama, era pra-modern menekankan idealisme
dan rasionalisme dimana agama memainkan peran utama. Kedua, era modern (dari Renaisans
sampai akhir abad kesembilan belas) menekankan positivisme logis, metodologi ilmiah dan
identifikasi kebenaran obyektif. Ketiga, era postmodern / konstruktivis menekankan partisipasi
manusia dalam membangun pengetahuan. Proses pengetahuan dan pemahaman bersifat sosial,
induktif dan kualitatif. Era pasca modern ini berfokus pada metode dimana orang dan masyarakat
membangun realitas (ibid); Oleh karena itu, semua konstruktivis berbagi gagasan bahwa tidak
ada pandangan objektif di dunia ini (Raskin 2008). Semua makna yang diciptakan
mencerminkan sudut pandang seseorang (ibid).
Konstruktivis dan konstruktor sosial memiliki pandangan yang sama terhadap kebeneran;
Mereka berdua percaya bahwa kenyataan dan kebenaran tidak dapat dipercaya atau diamati
secara langsung namun dibentuk/dibangun (Raskin 2008). Namun, hubungan antara dua aliran
ini tetap tidak harmonis karena para konstruktivis memfokuskan pada pengetahuan individu,
sementara konstruktor sosial percaya bahwa pengetahuan berasal dari hubungan (ibid). Plotkin
(2001) membuat sebuah pernyataan untuk membantu menjembatani ketidakharmonisan antara
konstruktivisme dan konstruksionisme sosial, yang menekankan pentingnya konstruktivisme
4
sosial atas konstruktivisme individual. Dia menyatakan bahwa kesepakatan dan pengaruh sosial
berkembang untuk meningkatkan harmonisasi kelompok, yang pada gilirannya membantu
kelangsungan hidup individu.
Konstruksionis sosial menekankan Pengetahuan itu dibangun secara sosial melalui wacana
(Stead 2004) dan secara historis dan budaya spesifik (Young and Collin 2004). Konstruksionis
sosial percaya bahwa realitas diciptakan oleh bahasa sebagai bentuk tindakan sosial (Young and
Collin 2004) yang bersifat deskriptif, sosial dan kontekstual dan tidak mencerminkan
kenyataan/kebenaran (Durrheim 1997 di Stead 2004). Oleh karena itu, konstruksi sosial menolak
bahwa hanya ada satu kenyataan, seperti yang diyakini oleh kaum positivis, namun ada banyak
realitas yang berada dalam suatu hubungan sosial (Stead 2004).
Karena berada dalam hubungan dan terekam secara kontekstual (Stead 2004), fokus penyelidikan
adalah pada proses kolaborasi, proses dan sosial (Young and Collin 2004) dan menekankan dialog,
kolaborasi dan pembangunan masyarakat (Gergen 2001). Menurut Burr (2003), kenyataan/kebenaran
bukan sekadar cerminan dari apa yang dipikirkan orang; bukan pula cerminan dunia saat orang
melihatnya tapi muncul dari wacana dan interaksi antar manusia. Dengan kata lain, konstruktor sosial
lebih tertarik pada bagaimana hubungan dibangun, jenis hubungan dan pengaruhnya (Gergen 2001).
Konstruksi sosialisme adalah epistemologi untuk suatu penelitian yang melibatkan keterlibatan
masyarakat karena fokus penelitian semacam ini adalah pada kolaborasi, proses sosial dan aksi sosial
budaya. Oleh karena itu, paradigma konstruksi sosial lebih tepat untuk penelitian partisipasi
masyarakat karena menekankan pada pemahaman bahwa realitas sosial dibangun dan dipatuhi oleh
peraturan sosial yang diperoleh dalam situasi sosial oleh semua pelaku sosial yang terlibat
(Greenwood 1994 di Crotty 1998).
5
Metodologi Penelitian
Case Study atau dikenal dengan studi kasus dianggap sebagai metodologi empiris yang sesuai untuk
melakukan penelitian yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat karena menggunakan berbagai
metode penilitian, mulai dari wawancara, observasi, pengumpulan data sekunder. Creswell (1998)
mendefinisikan sebuah studi kasus sebagai "eksplorasi sistem yang dibatasi oleh kasus (atau
beberapa kasus) dari waktu ke waktu, melalui pengumpulan data rinci yang melibatkan banyak
sumber yang kaya informasi dalam suatu konteks. Studi kasus harus berfokus pada subyek / unit,
waktu dan tempat yang dibatasi, sangat representatif, atau sangat unik atau penting (Creswell 1998;
Burns 2000). Misalnya, beberapa studi kasus (studi multi-situs) atau satu studi kasus(studi di dalam
satu tempat) dapat berfungsi sebagai objek penelitian (Creswell 1998; Yin 2009).
Menurut Burns (2000) dan Denscombe (2007), sebuah studi kasus yang baik perlu mengandung visi
yang jelas tentang batasan-batasan untuk kasus itu dan memberikan penjelasan eksplisit tentang apa
adanya. Pendekatan studi kasus lebih sering digunakan untuk penelitian kualitatif daripada kuantitatif
(Denscombe 2007); Namun, studi kasus tidak secara khusus berkaitan dengan metode kualitatif;
Semua bukti disertakan dalam pengumpulan data (Gillham 2010). Meskipun istilah 'kualitatif' dan
'studi kasus' sering digunakan secara abu-abu (misalnya Yin 2009), penelitian studi kasus mungkin
hanya melibatkan data kualitatif, hanya data kuantitatif, atau keduanya (Burns 2000; Yin 2009). Data
kuantitatif memiliki tempat khusus dalam penelitian studi kasus karena memungkinkan peneliti untuk
memperluas jangkauan bukti terhadap berbagai topik yang sedang diselidiki dan memenuhi syarat
apa yang dapat dipelajari dari sumber lain (Gillham 2010). Referensi silang semacam itu merupakan
bagian integral dari validitas internal studi kasus karena semua data perlu disesuaikan bersama
sementara teori (penjelasan) harus memperhitungkan semua data ini (ibid). Namun demikian,
6
kebanyakan studi kasus terletak di dalam ranah metodologi dan metode kualitatif (Burns 2000;
Gillham 2010).
Pendekatan studi kasus untuk meneliti studi tentang partisipasi masyarakat dirasakan lebih ampuh
dibandingkan metode penelitian lainnya, seperti survei, yang berfokus pada generalisasi dengan
deskripsi kecil, atau analisis arsip / sejarah, yang hanya mengandalkan data sekunder sebagai sumber
bukti utama. Selain itu, penelitian tarhdapa partisipasi masyarakat mengharuskan peneliti untuk
menyelidiki perspektif masyarakat untuk mengidentifikasi dan memeriksa partisipasi mereka;
Dengan demikian, sebuah studi kasus memenuhi kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik mengenai partisipasi masyarakat. Selain itu, sikap ontologis peneliti adalah konstruktivisme,
dimana tidak ada pandangan objektif semata tentang dunia; Oleh karena itu, studi kasus kualitatif
adalah metodologi yang paling sesuai untuk melakukan penelitian tentang partisipasi masyarakat
karena menggunakan banyak sumber bukti (wawancara, observasi, catatan lapangan, administrasi,
statistik, dan data demografi). Oleh karena itu, dengan menerapkan metodologi studi kasus, suatu
penilitian tentang partispasi masyarakat mendukung sikap konstruktivisme, di mana tidak ada
pandangan objektif semata (objektivisme / materi terlalu dalam pikiran) atau pandangan subyektif
(idealisme / pikiran atas materi). Penggunaan berbagai sumber bukti menunjukkan penggunaan
berbagai metode untuk mendapatkan tujuan.
Pendekatan studi kasus digunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang menyangkut partisipasi
masyarakat karena, menurut Yin (2009), metodelogi berguna saat mengidentifikasi kejadian
kontemporer tertentu, karena mencakup pengamatan langsung terhadap suatu peristiwa sosial dan
memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara masyarakat.
Istilah 'studi kasus' telah digunakan dalam literatur sebagai sinonim untuk etnografi, observasi
partisipan, penyelidikan naturalistik dan kerja lapangan (Burns 2000). Hal ini karena studi kasus
7
merupakan pendekatan yang dapat digunakan dengan mudah di sebagian besar wilayah penelitian
pendidikan (ibid). Perbedaannya adalah bahwa, dalam etnografi, keseluruhan sistem budaya atau
sosial adalah fokus utama perhatian; Sebaliknya, pendekatan studi kasus tidak secara khusus
berkonsentrasi pada system yang melibatkan kehidupan yang lebih dalam pada suatu masyarakat
(Creswell 1998).
Dalam penelitian studi kasus, seseorang bekerja dengan unit yang lebih kecil, seperti proyek,
program, aktivitas atau individu dan menyelidiki berbagai topik, hanya satu yang mungkin
merupakan perilaku budaya, bahasa, atau artefak (Creswell 1998; Willis 2007). Perbedaan lain
adalah bahwa etnografi kebanyakan memerlukan periode waktu tertentu dalam penelitian lapangan
dan detil bukti dari pengamatan. Etnografer dapat menggunakan wawancara sebagai metode
tambahan untuk mendapatkan keseluruhan sudut pandang peserta (Suryani 2008). Sebaliknya, studi
kasus tidak semata-mata bergantung pada data observasi; namun, menggunakan wawancara juga.
Saat ini, sangat dimungkinkan untuk melakukan studi kasus yang valid dan bermutu tinggi dengan
menggunakan wawancara Internet dan telepon (ibid).
Kekuatan Pendekatan Studi Kasus
Penggunaan berbagai sumber adalah kekuatan utama metodologi studi kasus (Stake 1995; Creswell
1998; Yin 2009). Beberapa sumber memungkinkan triangulasi dan meningkatkan reliabilitas dan
validitas temuan penelitian, membuat studi kasus lebih meyakinkan (Creswell 1998; Burns 2000;
Denscombe 2007). Lebih banyak diskusi tentang bukti multi sumber dalam penelitian ini dapat
ditemukan di bagian 4.5.2 tentang validitas, karena banyak sumber bukti adalah satu dari tiga
pendekatan validitas konstruk untuk studi kasus.
8
Menurut Gillham (2010), sebuah studi kasus membantu menyelidiki situasi di mana sedikit yang
diketahui tentang apa yang ada atau apa yang sedang terjadi. Hal ini juga berguna untuk berada di
bawah kulit kelompok atau organisasi, untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi dan untuk
mendapatkan pandangan orang dalam terhadap kasus ini, sehingga melihat situasi dari sudut pandang
orang-orang yang terlibat. Agar berada di bawah kulit kelompok dan untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi, peneliti menggunakan beberapa jenis metode penelitian, seperti wawancara,
observasi, catatan lapangan dan data sekunder (risalah rapat dan data administratif dan demografi)
dalam penelitian ini. . Seperti Burns (2000, p.460) menyatakan, "Singkatnya, studi kasus
memungkinkan penyelidikan untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari
peristiwa kehidupan nyata". Yang penting, Burns (2000) berpendapat bahwa studi kasus secara tidak
tepat telah digunakan sebagai kategori 'catch-all' untuk segala hal yang tidak sesuai dengan metode
eksperimen, survei atau historis; Dalam tesis ini, studi kasus digunakan untuk mengidentifikasi
partisipasi masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan dalam proses nominasi Situs
Warisan Dunia karena beberapa alasan. Pertama, masyarakat setempat bukanlah obyek eksperimen
melainkan peserta. Kedua, metode survei tidak cukup untuk mengidentifikasi 'apa yang sedang
terjadi' dalam proses nominasi karena tidak hanya untuk 'mengetahui' tetapi juga untuk memeriksa,
mengeksplorasi dan mengamati. Metode historis tidak bisa digunakan karena proses nominasi untuk
Situs Warisan Dunia di Jatiluwih ini merupakan acara kontemporer / terkini di Bali. Oleh karena itu,
studi kasus, yang memanfaatkan banyak sumber bukti, dianggap sebagai metode yang tepat dalam
tesis ini. Bagian tentang keandalan (bagian 4.5.1) dan validitas (bagian 4.5.2) menunjukkan
bagaimana pendekatan holistik digunakan untuk penelitian ini melalui banyak sumber bukti dan
rangkaian bukti.
Kelemahan Pendekatan Studi Kasus
9
Kurangnya ketelitian yang dikaitkan dengan penelitian studi kasus sering disebut sebagai kelemahan
utama dari pendekatan ini. Woodside (2010) berpendapat bahwa, dari sudut pandang positivis,
penelitian studi kasus memiliki empat kelemahan mendasar. Pertama, penelitian studi kasus tidak
mencantumkan langkah yang jelas untuk menghasilkan dan menguji suatu teori. Selain itu, sudut
pandan dan nilai-nilai dasar yang dimiliki peneliti dapat mempengaruhi interpretasi. Menurut Burns
(2000), pandangan/opini pribadi seorang peneliti dapat dengan mudah mempengaruhi temuan dan
kesimpulan penelitian. Namun, yang dilupakan adalah bias juga terdapat pada rancangan kuesioner
(ibid).
Kedua, penelitian studi kasus mencerminkan kompleksitas yang ‘kacau’ karena 'pendeskripsian yang
terlalu banyak' yang digunakan untuk meningkatkan keakuratan temuan. Seperti Blaxter dkk. (2010,
hal.74) menyatakan "... segala sesuatu tampak relevan; Namun, ada suatu kebutuhan untuk
menunjukkan koneksi tapi tidak melupakan keseluruhannya". Burns (2000) mengemukakan bahwa
penggunaan beberapa sumber memberi kerja ekstra yang cukup besar pada para peneliti dalam
menggunakan pendekatan studi kasus.
Peneliti harus kompeten dalam menggunakan berbagai metode pengumpulan data, seperti
wawancara, observasi, analisis catatan dan kuesioner survei (ibid). Dalam penelitian terhadap
partisipasi masyarakat, peneliti hedaknya menggunakan berbagai metode pengumpulan data,
termasuk wawancara, observasi dan database sekunder (berkas, peta, foto, data administratif, berita
utama dan klip video). Ketiga jenis pengumpulan data saling terkait dan saling terikat satu sama lain.
Semua database sekunder dikumpulkan berdasarkan wawancara dan observasi. Bagian database studi
kasus membahas mengapa dan bagaimana database sekunder ini dikumpulkan; oleh karena itu,
dengan mengenali alasan mengapa mengumpulkan basis data, jelas ada kaitan antara berbagai
database di dalam penelitian. studi kasus.
10
Ketiga, penelitian studi kasus menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam metodelogi dan
mengumpulkan interpretasi beberapa orang yang disajikan dengan penyajian deskriptif yang kaya
akan informasi. Kompleksitas kasus dan interpretasi beberapa orang terhadap data menghambat
analisis (Blaxter et al., 2010). Yin (2009) berpendapat bahwa protokol studi kasus dapat
memecahkan masalah ini dan dia berpendapat bahwa protokol studi kasus dapat digunakan untuk
mengarahkan peneliti dan untuk mempertahankan fokus mereka pada tujuan dan sasaran penelitian
mereka. Sebuah protokol studi kasus dapat menanggulangi isu reabilitas dalam suatu penilitian yang
menyakut tentang parisipasi masyarakat.
Keempat, penelitian studi kasus sering memberikan replikasi yang tidak memadai untuk mendukung
generalisasi atau relevansi praktis suatu penelitian. Temuan studi kasus tidak dapat dipastikan karena
peneliti tidak selalu mengikuti prosedur metode yang ditentukan atau memungkinkan bukti atau
pandangan subjektif dilihat untuk mempengaruhi temuan dan kesimpulan (Yin
su lainnya adalah penelitian kasus dapat dicampur dengan pengajaran studi kasus. Dalam
mengajarkan bagaimana melakukan studi kasus, materi dapat dengan sengaja diubah untuk
menggambarkan secara lebih baik titik spesifik (Garvin 2003 di Yin 2009). Sebaliknya, perubahan
materi dalam penelitian studi kasus sangat tidak diijinkan dan peneliti
Studi Kasus dan Isu Generalisasi
Isu generalisasi adalah isu yang paling sering dikaitkan dengan pendekatan studi kasus (Sarantakos
2005; Bryman 2008). Seperti metode penelitian lainnya (misalnya: eksperimen), studi kasus dapat
digeneralisasikan dengan proposisi teoritis, bukan pada populasi atau alam semesta beserta isi dunia
(Sarantakos 2005). Seperti yang dinyatakan oleh Yin (2009), tujuan utama melakukan studi kasus
adalah mengembangkan dan menggeneralisasi teori (yang disebut generalisasi analitik) dan tidak
menghitung frekuensi (yang disebut generalisasi statistik).
11
Menurut Burns (2000), tujuan utama penelitian studi kasus adalah untuk memungkinkan penggunaan
data yang dikumpulkan dengan tujuan meningkatkan pemahaman melalui generalisasi naturalistik.
Generalisasi naturalistik menyiratkan bahwa peneliti berusaha untuk memfasilitasi analisis pembaca
tentang suatu situasi, dan bukan memberikan pernyataan umum. Stake (1995) mengemukakan,
"kualitas dan kegunaan dari penelitian ini tidak didasarkan pada reproduktifitasnya, namun apakah
makna yang dihasilkan oleh peneliti dapat dipahami dan dihargai oleh pembaca". Ini sesuai dengan
Burns (2000), yang mengemukakan bahwa sebuah studi kasus digunakan untuk mendapatkan
pemahaman mendalam, diberikan dengan maksud untuk berfokus pada proses, bukan hasil dan
bukan untuk mengkonfirmasikan sesuatu .
Punch (2005) mengutarakan dua jenis situasi studi kasus dimana generalisasi bukan menjadi tujuan
pokoknya. Pertama, kasus ini mungkin penting, memotivasi, atau pernah dibicarakan/diteliti di masa
lalu. Kemungkinan lain adalah bila kasusnya unik dan karena itu menjamin sebuah studi yang
mengkhusus dan terpisah.
Pernyataan terakhir didukung oleh Stake (1995), yang mengklaim bahwa cara penanganan kasus dan
peneliti dianggap unik dan tidak harus dapat direproduksi untuk kasus lain. Terakhir, Burns (2000)
berpendapat bahwa studi kasus harus berfokus pada keunikan insidental dan bukan pada
ketidakberdayaan representasi massa.
Studi Kasus dan Teori
Bryman (2008) menyatakan bahwa penelitian ilmu sosial harus diarahkan oleh hubungan antara teori
dan data saat data dikumpulkan untuk memverifikasi teori yang ada atau untuk membangun teori
baru. Tidak ada kesepakatan dalam literatur mengenai hubungan antara studi kasus dan teori. Stake
(1995) mengemukakan bahwa teori dapat diabaikan dari penelitian yang menekankan pada
penggambaran kasus dan permasalahannya. Yin (2009) menyatakan teori dapat digunakan untuk
memandu studi kasus secara eksploratif. Terakhir, Creswell (1998) mengemukakan teori harus
12
digunakan pada akhir penelitian untuk memberikan sudut pandang 'pasca-teori' di mana teori-teori
lain dibandingkan dengan teori yang dikembangkan dalam suatu studi kasus.
Menurut Denscombe (2007), sebuah studi kasus dapat digunakan untuk lebih memahami bagaimana
teori tertentu diterapkan dalam lingkungan kehidupan nyata dan untuk menjelaskan proses atau
hubungan dalam suatu lingkungan yang diteliti. Namun, pendekatan studi kasus telah banyak
digunakan untuk menemukan informasi baru; Pemanfaatan pendekatan studi kasus dengan tujuan
pengujian teori bersifat kurang umum (ibid).
Studi Kasus dan Sampling
Teknik sampling non-probability / purposive paling sering digunakan dalam studi kasus (Burns
2000). Kasus tertentu dipilih karena memfasilitasi pemenuhan tujuan dan mencapai tujuan penelitian
dan bertujuan untuk menemukan, mendapatkan wawasan dan memahami fenomena yang ada (ibid).
Dengan kata lain, peneliti mewawancarai orang yang berhubungan langsung dengan pertanyaan
penelitian (Bryman 2008). Keterbatasan utama dari purposive sampling adalah kesulitan dalam
membangun pada awal berapa banyak orang yang diwajibkan untuk wawancara dan berapa banyak
jumlah orang yang bisa disebut mewakili atrau representatif untuk suatu penelitian (ibid). Warren
(2002 di Bryman 2008) menyatakan bahwa, untuk sebuah studi wawancara kualitatif yang dapat
dipublikasikan, diperlukan sedikitnya 20-30 wawancara. Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun
purposive sampling penting dalam penelitian kualitatif, persyaratan sampel ukuran minimum tetap
berlaku. Penelitian yang berhubungan dengan pendekatan studi kasus menggunakan lima strategi
sampling, yaitu snowball, waktu / lokasi, kriteria, heterogen dan kenyamanan. Penggunaan kelima
strategi sampling tersebut akan dijelaskan pada paragraf berikut.
13
Pertama, menurut Aveyard (2010), snowball sampling adalah strategi pengambilan sampel dimana
sampel dikembangkan karena orang yang potensial untuk diwawancarai baru diidentifikasi saat studi
berlangsung. Gagasan utama di balik teknik snowball sampling adalah bahwa beberapa anggota
populasi saling mengenal satu sama lain; Prosedur bagaimana cara kerja teknik snowball sampliong
adalah sebagai berikut. Pertama, beberapa anggota populasi diidentifikasi; Anggota ini kemudian
diminta untuk mengidentifikasi anggota lain, yang, pada gilirannya, mengidentifikasi anggota lainnya
(Ostrow dan Kessler 1993).
Kedua, strategi sampling waktu / lokasi / tempat menunjukkan bahwasuatu penelitian
mengidentifikasi sampel / peserta di lokasi / tempat tertentu di mana beberapa aktivitas penting
terjadi (Gray et al., 2003). Pengambilan waktu / lokasi digunakan untuk memastikan bahwa
wawancara dilakukan dalam situasi yang kondusif, tanpa gangguan besar dari lingkungan sekitar dan
kemungkinan peneliti mengamati kegiatan di area dimana wawancara dilakukan.
Ketiga, kriteria sampling adalah, menurut Cohen et al. (2007) dan Palys (2008), sebuah strategi
sampling yang digunakan untuk mengidentifikasi beberapa kriteria lain untuk keanggotaan kelompok
atau kelas yang diteliti, yang melibatkan kasus atau individu yang memenuhi kriteria tertentu.
Beberapa peserta dipilih berdasarkan kriteria menjadi kepala organisasi di desa Jatiluwih dan
ditemukan oleh penjaga gerbang peneliti. Alasan untuk menetapkan kriteria ini adalah mendapatkan
informasi yang kaya dari orang-orang di tingkat atas yang biasanya akrab dengan proses
pengambilan keputusan dan partisipasi.
Keempat, menurut Holloway dan Wheeler (2010), kesepakatan sampling heterogen dengan individu
atau kelompok individu yang berbeda secara signifikan satu sama lain. Teknik pengambilan sampel
ini sering disebut sebagai variasi sampling maksimum (Patton 2002) karena melibatkan pencarian
individu dengan pengalaman yang sangat berbeda.
14
Keempat, menurut Holloway dan Wheeler (2010), kesepakatan sampling heterogen dengan individu
atau kelompok individu yang berbeda secara signifikan satu sama lain. Teknik pengambilan sampel
ini sering disebut sebagai variasi sampling maksimum (Patton 2002) karena melibatkan pencarian
individu dengan latar belakang yang berbeda.
Tipe terakhir adalah convenience sampling dan teknik ini menunjukkan bahwa pemilihan orang yang
diwawancarai dibuat sesuai dengan kenyamanan peneliti (Denscombe 2007).
Metode Pengumpulan Data
Pendekatan studi kasus telah diadopsi sebagai strategi penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian
dan konteks penelitian.
Wawancara
Wawancara penting karena kebanyakan studi kasus adalah tentang orang dan aktivitas mereka (Burns
2000). Sebagian besar studi kasus menggunakan wawancara tidak terstruktur / semi-terstruktur (atau
terbuka) untuk memastikan peserta lebih berperan sebagai informan daripada peserta (ibid). Dalam
wawancara semi terstruktur, peneliti biasanya memproduksi beberapa pra-
Pertanyaan yang ditentukan diajukan secara sistematis dan konsisten. Wawancara dilakukan dalam
gaya percakapan yang bersifat alami bagai aliran percakapan umum (Berg 2006; O'Leary 2009).
Keuntungan dari wawancara semi terstruktur adalah lamanya waktu yang dihabiskan dengan
informan, yang meningkatkan hubungan erat antara pewawancara dan yang diwawancarai (Burns
2000). Wawancara semi terstruktur membantu mendapatkan sudut pandang informan, dan bukan
sudut pandang peneliti; Selanjutnya, informan menggunakan bahasa alami dan tidak berusaha untuk
memahami dan sesuai dengan konsep pembelajaran (ibid).
15
Status informan dalam dialog sama dengan status peneliti (Burns 2000). Keuntungan lain dari
wawancara semi terstruktur adalah bahwa memberi pewawancara dan orang yang diwawancarai
kebebasan yang dimana sambil secara bersamaan memastikan semua tema yang relevan ditangani
(ibid). Mereka memastikan bahwa semua informasi yang diperlukan dapat diekspresikan dengan
bebas dan bahwa tema apapun yang timbul selama wawancara akan sepenuhnya dipahami (Corbetta
2003). Burns (2000) mengemukakan, alasan di balik wawancara terbuka (open ended interview)
adalah bahwa satu-satunya orang yang memahami realitas sosial di mana mereka tinggal adalah
orang itu sendiri.
Pengamatan/Observasi
Pengamatan/observasi digunakan karena peneliti meyakini bahwa visual/gambar berbicara lebih
keras daripada kata-kata '(Sarantakos 2005). Pengamatan memungkinkan peneliti mendapatkan
gambaran umum tentang aktivitas masyarakat setempat.
Observasi sering disebut sebagai salah satu teknik kunci dalam penelitian sosial (Sarantakos 2005).
Patton (2002) berpendapat bahwa observasi dapat menyumbangkan ide dan pertanyaan baru, yang
dapat digunakan untuk wawancara di masa depan. Menurut O'Leary (2009), ada dua jenis observasi,
observasi non partisipan dan partisipan. Dalam observasi non partisipan, pengamat bukan bagian dari
sistem atau masyarakat yang diobservasi. Allen (2008) mengacu observasi ini sebagai pendekatan
'observer-sebagai-peserta' dimana peneliti hanya mewawancarai peserta. Jenis observsi ini digunakan
untuk pengumpulan data dari masyarakat setempat dalam penelitian ini. Observasi partisipan adalah
saat peneliti menjadi bagian dari tim, kelompok masyarakat atau budaya; Tujuan observasi partisipan
adalah untuk mendapatkan empati budaya dengan mengalami fenomena tertentu (O'Leary 2009).
Menurut Allen (2008), jenis observasi ini serupa dengan pendekatan 'partisipan sebagai observer'
dimana peneliti berpartisipasi penuh dalam fenomena yang diteliti.
16
Catatan Lapangan
Seperti yang dikemukakan oleh Van Maanen (1988), catatan lapangan adalah tulisan tentang keadaan
yang sedang berlangsung mengenai apa yang sedang terjadi dalam penelitian, yang melibatkan
observasi dan analisis. Menurut Denscombe (2007), catatan lapangan digunakan untuk dua alasan
utama, yaitu ingatan manusia tidak hanya selektif tapi juga rapuh. Schatzman dan Strauss (1973
dikutip oleh Naumes dan Naumes 2006) membedakan tiga jenis penelitian studi kasus berbasis
lapangan sebagai berikut:
A) Catatan pengamatan adalah laporan yang dihasilkan oleh pengamat selama kejadian melalui
pengamatan dan pendengaran. Catatan ini sedikit menggunakan interpretasi dan reliabilitas catatan
pengamatan tergantung bagaimana mereka dibentuk oleh pengamat. Tugas peneliti hanya mengamati
dan mencatat aktivitas atau kondisi yang sedang berjalan tanpa mencoba menganalisis atau
menghubungkannya dengan latar belakang teoritis.
B) Catatan teoretis mewakili usaha sadar dan terkontrol untuk merenungkan dan mengembangkan
makna dari satu atau beberapa catatan pengamatan. Pengamat menafsirkan informasi, membuat
kesimpulan dan asumsi; Mengembangkan konsep baru dan menghubungkan konsep-konsep ini
dengan teori dan literatur yang ada.
C) Catatan metodologis yang mewakili pernyataan dan mencerminkan beberapa tindakan prosedural,
baik yang telah selesai atau yang direncanakan, seperti petunjuk, pengingat atau kritik taktik.
Menurut Burns (2000), ini termasuk interpretasi tentang bagaimana mendapatkan izin untuk
mewawancarai peserta, bagaimana memelihara hubungan dengan mereka dan bagaimana peneliti
meninggalkan lapangan studi.
Data Sekunder
17
Kekuatan utama metodologi studi kasus adalah penggunaan berbagai sumber; Oleh karena itu, selain
wawancara, observasi dan catatan lapangan, penggunaan data sekunder sangat penting dalam
metodologi ini. Data sekunder dapat digunakan untuk meningkatkan reliabilitas dan validitas temuan
dari pengumpulan data primer (wawancara dan observasi). Data sekunder dalam suatu penelitian
meliputi foto kejadian dan kegiatan, klip video / cuplikan, peta yang berisi informasi geografis, blog,
Facebook Fan Page, berita utama dari surat kabar.
Blog and Facebook Fan Page Di era teknologi informasi, banyak periset masih agak
kuno/terbelakang dalam menjaga catatan aktivitas mereka di notebook yang berbasis kertas
(Todoroki 2006). Dalam studi tentang partisipasi masyarakat setempat, catatan lapangan yang
digunakan oleh peneliti adalah catatan berbasis kertas, Masalah utama dari catatan lapangan adalah
bahwa informasi yang tersimpan dalam media berbasis kertas memerlukan operasi manual untuk
pengambilan data dan hubungan dengan informasi lainnya secara kontras.
Ke yang tersimpan di media elektronik seperti komputer atau media online, seperti blog. Catatan
lapangan berbasis blog memungkinkan peneliti mengelola semua informasi metode pengumpulan
data secara elektronik, yang sebelumnya ditulis dalam catatan lapangan berbasis kertas. Seperti yang
disebutkan oleh Todoroki dkk. (2006) fungsi dasar blog menampilkan konten dalam waktu
kronologis; Menyajikan konten tertentu; Menanggapi permintaan tanggal, topik dan kata kunci
pengguna. Fitur blog tersebut memudahkan peneliti untuk membuat garis waktu penelitian lapangan
(lihat bagian 4.4.6) dan garis waktu ini membuat studi ini lebih dapat diandalkan karena pembaca
dapat melihat urutan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti.
Menurut Nardi dkk. (2004), lima motivasi utama untuk menulis blog adalah mendokumentasikan
kehidupan seseorang; Memberikan komentar dan pendapat; Mengekspresikan emosi yang sangat
18
dirasakan; Mengartikulasikan gagasan melalui tulisan; Dan membentuk dan memelihara forum
komunitas. Yang pertama (mendokumentasikan kehidupan seseorang), motivasi ketiga
(mengekspresikan emosi yang sangat dirasakan) dan yang kelima (membentuk dan memelihara
forum komunitas) sejalan dengan penelitian di lapangan dimana pada umumnya peneliti
menggunakan blog untuk mendokumentasikan penelitian lapangannya; Perasaannya dalam
mengumpulkan data dan sharing informasi dari blog ke forum komunitas online melalui facebook
fanpage. Motivasi pertama untuk memanfaatkan blog adalah untuk mendokumentasikan penelitian
lapangan, peneliti menulis / mencatat kegiatan seperti mewawancarai peserta. Seperti Hsu dan Lin
(2008) menyatakan bahwa pengguna blog biasanya menganggap blog sebagai buku harian online
atau jurnal untuk mencatat kehidupan dan minat mereka sehari-hari.
Motivasi kedua untuk menggunakan blog dalam penelitian ini adalah mengungkapkan perasaan
emosi yang sangat dalam. Misalnya seorang peneliti menuliskan perasaannya tentang bagaimana
beberapa peserta membatalkan wawancara tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, fobia tentang ruang
terbuka gelap (lanskap padi di malam hari), migren dan beberapa emosi lainnya selama prosedur
pengumpulan data. Nardi dkk. (2004) menyatakan bahwa sebuah blog sering berfungsi sebagai
‘relief valve’; Tempat untuk menulis perasaan emosional; Sebuah media untuk memfasilitasi
penelusuran isu-isu yang biasanya penulis anggap obsesif dan penuh semangat.
19
Gambar A: contoh Blog yang dimiliki oleh seorang peneliti
Efimova (2009) melihat sebuah blog sebagai "ruang pemikiran pribadi" yang dia gunakan untuk
mengembangkan gagasan, dan untuk mengumpulkan dan mengelola Ph.D. Materi tesis, serta berbagi
20
informasi. Seperti Blood (2002), Murray dan Hourigan (2006) mengemukakan bahwa blog
digunakan dan bertindak sebagai wahana untuk ekspresi diri.
Motivasi ketiga bagi peneliti untuk blog adalah untuk menyebarkan isi blognya kepada khalayak
yang ditargetkan. Melalui halaman blog dan Facebook fan, peneliti dapat berbagi penelitian tentang
proses nominasi untuk Situs Warisan Dunia dengan pembaca. Inti berbagi pengetahuan dan interaksi
dengan pembaca, pembuatan halaman penggemar Facebook membantu peneliti untuk menyebarkan
informasi tentang penelitian yang sedang dilakukannya. Halaman penggemar Facebook tidak hanya
membantu menyebarkan informasi tentang apa yang diteliti tapi juga untuk menciptakan kesadaran
di antara pembaca tentang apa yang sedang diteliti. Selain itu, peneliti mampu mengirim email ke
semua pembaca melalui facebook fan pagenya.
21
Gambar B: Facebook Fan Page yang dibuat oleh peneliti untuk menginformasikan
penelitiannya
22
Reabilitas dan Validitas
Reabilitas
Yin (2009) mengemukakan bahwa reliabilitas dalam penelitian studi kasus sangat bergantung pada
dokumentasi prosedur, seperti pengumpulan data dan proses wawancara peserta. Di masa lalu,
prosedur penelitian studi kasus didokumentasikan dengan buruk dan oleh karena itu menimbulkan
sejumlah kekhawatiran tentang reabilitas studi kasus. Dua pendekatan dapat digunakan untuk
mengatasi keterbatasan ini; Pertama, protokol studi kasus dapat digunakan untuk mengatasi masalah
dokumentasi secara rinci dan, kedua, database studi kasus dapat dikembangkan (ibid). Menurut
Burns (2000), protokol studi kasus meningkatkan reliabilitas penelitian dengan memastikan bahwa
prosedur standar diikuti, yang sangat penting saat wawancara dan pengamatan dilakukan oleh
beberapa orang. Protokol studi kasus berguna sebagai prosedur untuk mengumpulkan data di
lapangan dan disiapkan sebelum peneliti memulai pengumpulan data. Seperti yang Yin (2009)
nyatakan, tujuan lain dari protokol studi kasus adalah memberi para peneliti beberapa panduan
bagaimana melakukan pengumpulan data dari satu kasus (Yin 2009).
Pendekatan lain untuk mengatasi keterbatasan studi kasus adalah membuat database studi kasus (Yin
2009). Penggunaan database kasus memungkinkan pembaca dan pemeriksa untuk memeriksa data
mentah yang digunakan untuk menarik kesimpulan studi kasus (Punch 2005). Database studi kasus
biasanya terdiri dari catatan studi kasus, dokumen studi kasus, narasi dan materi tabulasi
Isu Validitas
Beberapa peneliti kualitatif berpendapat bahwa istilah 'validitas' tidak berlaku untuk penelitian
kualitatif; Namun, mereka menyadari kebutuhan akan beberapa jenis kategori parameter untuk
penelitian mereka (Bryman 2008). Misalnya, Creswell dan Miller (2000) mengemukakan bahwa
validitas dipengaruhi oleh persepsi peneliti tentang validitas dalam penelitian dan pilihan asumsi
23
paradigma mereka. Akibatnya, peneliti cenderung mengembangkan konsep validitas mereka sendiri;
Mereka sering menghasilkan atau mengadopsi konsep yang mereka anggap tepat, seperti kualitas,
ketelitian dan kepercayaan (Seale 1999; Stenbacka 2001).
Kritikus studi kasus sering menunjukkan fakta bahwa peniliti yang menggunakan studi kasus gagal
mengembangkan serangkaian tindakan prosedural dan seringnya penilaian subjektif digunakan untuk
mengumpulkan data (Yin 2009). Membangun validitas adalah salah satu dari empat uji validitas,
yang telah dikembangkan untuk mengevaluasi kualitas penelitian sosial empiris. Tes lainnya meliputi
validitas internal, validitas dan keandalan eksternal (Stake 1995; Burns 200; Yin 2009).
Mencari validitas memiliki keterbatasan saat diterapkan pada studi kasus dan telah dikritik karena
tingginya tingkat subjektivitas. Menurut Barzelay (1993), menggunakan validitas untuk studi kasus
adalah penyelidikan intelektual ambisius. Yin (2009) mengusulkan tiga pendekatan untuk mengatasi
keterbatasan ini, yaitu penggunaan berbagai sumber bukti, membangun serangkaian bukti dan
memberikan draft laporan studi kasus untuk ditinjau oleh informan kunci. Pendekatan yang terakhir
juga dikenal sebagai 'member checking' (Stake 1995).
24
Gambar C: contoh Chain of evidence pada pendekatan Studi Kasus
Etika dalam Wawancara
Patton (2002) mengemukakan lima isu yang berkaitan dengan etika wawancara, seperti kerahasiaan,
penjelasan dan persetujuan, resiko, janji /timbal balik dan isu-isu khusus mengenai anak di bawah
umur.
1. Kerahasiaan: Hal ini terkait dengan kerahasiaan yang dijanjikan peneliti kepada yang
diwawancarai. Sebelum wawancara, peneliti menjelaskan kepada orang yangdiwawancari bagaimana
peneliti berniat menggunakan data yang diberikan. Peneliti juga berjanji untuk mengubah nama
25
orang yang diwawancarai menjadi nama samaran untuk melindungi kerahasiaan mereka dan menjaga
kerahasiaan saat menyajikan data.
2. Penjelasan dan persetujuan: peneliti menggunakan informed consent form/formulir penjelasan dan
persetujuan untuk mendapatkan kesepakatan dari orang yang diwawancarai sebelum melakukan
wawancara. Namun, penggunaan formulir pemberitahuan dan persetujuan dari peneliti tidak hanya
untuk mendapatkan tanda tangan dari peserta karena formulir ini juga membantu peneliti untuk
menjelaskan tujuan penelitian dan untuk memastikan orang yang diwawancarai dapat mengambil
keputusan yang benar-benar mengenai apakah akan berpartisipasi dalam penelitian.
3. Resiko: Tidak ada zat berbahaya yang digunakan selama wawancara sejak dimulainya wawancara
atau mengumpulkan data melalui rekaman rekaman percakapan. "Penggunaan alat bantu seperti tape
recorder harus, oleh karena itu, selalu dinegosiasikan dengan seksama dan mengenai masalah privasi
data atau anonimitas ... penggunaan tape recorder, sering dilihat sebagai pujian oleh orang yang
diwawancarai "(Wellington dan Szczerbinski 2007). Saat melakukan wawancara satu lawan satu,
penting untuk tidak mengangkat isu sensitif;
4. Janji / Timbal Balik: Janji / timbal balik adalah tentang apa yang orang yang diwawancarai
dapatkan sebagai imbalan untuk berbagi wawasan dan waktu mereka dengan peneliti.
Timbal balik dalam pengumpulan data ini adalah misalnya: pemberian sebungkus rokok bagi orang
yang diwawancarai yang menghabiskan waktu untuk diwawancarai oleh peneliti.
26
Etika dalam Mengumpulkan Teks dan Dokumen (Data Sekunder).
Stiles dkk (2011) menyarankan empat kriteria untuk peneliti mengumpulkan dan menggunakan teks
dan dokumen (data sekunder), seperti keamanan, kerahasiaan, izin dan penggunaan yang sesuai.
Penjelasan berikut menjelaskan kriteria tersebut dalam kaitannya dengan penelitian ini.
1. Keamanan. Keamanan menyiratkan bahwa data (teks, dokumen) harus diamankan untuk
melindungi dari pengungkapan yang tidak tepat dan data yang digunakan untuk tujuan penelitian
harus dilindungi secara khusus. Misalnya, data administratif, seperti minutes of meeting, data
demografi, pendapatan. Peneliti sebaiknya memberikan keamanan data dengan tidak mengungkapkan
atau mendistribusikannya ke pihak lain. Data tersebut terlindungi dengan baik di laptop dan folder
peneliti.
2. Kerahasiaan. Kerahasiaan merupakan pertimbangan utama dalam hubungan profesional, terutama
bila pemilik data tidak mengetahui kekhawatiran peneliti menggunakan data administratif. Para
peneliti biasanya mencoba untuk mendapatkan akses ke data yang dilindungi daripada pihak yang
dituntut menjaga kerahasiaan. Namun, mereka tetap harus secara etis melindungi informasi pribadi
yang terkandung dalam data apapun. Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengungkapkan atau
menunjukkan data tentang pendapatan dari biaya masuk ke peserta yang diwawancarai.
Kriteria Penilaian Mutu
Menurut Scott (1990 yang dikutip oleh Mogalakwe, 2006), ada empat kriteria penilaian kualitas
untuk dokumen, yaitu keaslian, kredibilitas, keterwakilan dan makna.
1. Keaslian. Hal ini berkaitan dengan keaslian dokumen. Misalnya, dokumen tentang demografi
sebuah desa yang langsunbg diperoleh di kantor desa.
2. Kredibilitas. Hal ini berkaitan dengan bagaimana dokumen/bukti terbebas dari kesalahan dan
distorsi.
27
3. Keterwakilan. Dalam suatu penelitian, dokumen administratif, seperti minutes of meeting, dapat
dipercaya karena minutes of meeting merupakan catatan tertulis pada proses rapat.
4. Arti. Hal ini berkaitan dengan bagaimana dokumen yang jelas dan dapat dipahami.
KESIMPULAN
Pendekatan menggunakan metodelogi studi kasus dalam melakukan penelitian, memiliki beberapa
keuntungan. Keuntungan yang paling utama adalah tersedianya berbagai macam bukti. Baik itu
berupa bukti data sekunder, wawancara, demografi, informasi. Disebutkan pula kelemahan
menggunakan metodelogi studi kasus. Kelemahan Metedologi Studi kasus adalah karena banyaknya
alat bukti yang dipakai untuk mengumpulkan suatu data dari penelitian, dimana nanti dikhawatirkan,
banyak alat bukti tersebut justru akan membuat suatu data yang dikumpulkan saling bertentangan dan
mubazir. Oleh karena itu Chain of Evidence dan Case Study Report dibuat sebagai parameter untuk
mengatasi kelemahan ini. Metodelogi studi kasus sangat efektif untuk digunakan dalam suatu
penelitan karena bersifat seperti forensik yang dipakai oleh detektif kepolisian, dimana kedetailan
dalam mengumpulan data dan analisa data sangat mendalam.
28
DAFTAR PUSTAKA
Aveyard, H., 2010. Doing a literature review in health and social care : A practical guide 2nd edition.
Berkshire: Open University Press.
Barzelay, M., 1993. The single case study as intellectually ambitious inquiry. Journal of public
administration research and theory [online], 3, 305-318.
Berg, B.L., 2006. Qualitative research methods for the social sciences. London: Pearson Allyn and
Bacon.
Blaxter, L. Hughes, C. Tight, M., 2010. How to research, 4th edition. Buckingham: Open University
Press.
Blood, R., 2002. The weblog handbook: Practical advice on creating and maintaining your blog.
Cambridge, MA: Perseus Publishing
Bryman, A., 2008. Social research method. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press.
Burns, R.B., 2000. Introduction to research. London: Sage
Burr, V., 2003. Social constructivism. Sussex: Routledge.
Cohen, L. Manion, L. Morrison, K., 2007. Research methods in education. 6th edition. Florence:
Routledge.
Corbetta, P., 2003. Social research: theory, methods and techniques. London: SAGE Publications.
Creswell, J.W., 1998. Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions.
London:
Sage.
Creswell, J. W. Miller, D. L., 2000. Determining validity in qualitative inquiry. Theory into practice
[online], 39 (3), 124-130.
29
Crotty, M., 1998. The foundations of social research: meaning and perspective in the research
process.
London: Sage.
Denscombe, M., 2007. Good research guide. Buckingham: Open University Press.
Denzin, N.K. Licoln, Y.S., 2011. The discipline and practice of qualitative research. In: Denzin, N.K.
Licoln, Y.S., eds. The sage handbook of qualitative research, 4th edition. London: Sage, 1-20.
Efimova, L., 2009. Weblog as a personal thinking space [online]. The 20th ACM conference on
Hypertext and hypermedia, Torino, 29 June-1 July 2009. Torino: ACM. Available from:
http://delivery.acm.org/10.1145/1560000/1557963/p289-
Gergen, K. J., 2001. Social construction in context. London: Sage.
Gillham, B., 2010. Case study research methods. London: Continuum International Publishing.
Gray, P. S. Williamson, J. B. Karp, D. A., 2003. Research imagination: qualitative and quantitative
methods. Cambridge: Cambridge University Press.
Holloway, I. Wheeler, S., 2010. Qualitative research in nursing and health care. Oxford: Blackwell.
Hsu, C. L. Lin, J. C. C. 2008. Acceptance of blog usage: the roles of technology acceptance, social
influence and knowledge sharing motivation. Information & management [online], 45 (1), 65-74.
Mogalakwe, M., 2006. The use of documentary research methods in social research. African
sociological review [online], 10 (1), 221-230.
Murray, L. Hourigan, T., 2006. Using micropublishing to facilitate writing in the foreign language.
In:
Ducate, L. Arnold, N., eds. Calling on call: from theory and research to new directions in foreign
language
teaching. San Marcos, TX: Computer Assisted Language Instruction Consortium, 149-180.
Nardi, B. A. Schiano, D. J. Gumbrecht, M. Swartz, L. 2004. Why we blog. Communications of the
ACM [online], 47 (12), 41-46.
30
Naumes, W. Naumes, M.J., 2006. Art and craft of Case Writing. NY: Sharpe, Inc
O’Leary, Z., 2009. The Essential guide to doing your research project. London: Sage.
Ostrow, D. G, Kessler, R. C., 1993. Methodological Issues in AIDS Behavioural Research. Hingham;
Kluwer.
Palys, T., 2008. Purposive Sampling. In: L.M., Given, ed. The Sage Encyclopedia of Qualitative
Research Methods. Thousand Oaks, California: Sage, 697-698.
Patton, M.Q., 2002. Qualitative evaluation and research methods. 3rd edition., Thousand Oaks,
California: Sage Publications, Inc.
Plotkin, H.C., 2001.The evolution of social constructions. In: Heyes, C.M. Hull, D. eds. Selection
Theory and Social Construction. Albany: State University of New York Press, 119-133.
Punch, K., 2005. Introduction to social research: quantitative and qualitative approaches. 2nd edition.
London: Sage.
Raskin, J. D., 2008. The evolution of constructivism. Journal of constructivist psychology [online],
21 (1), 1-24.
Sarantakos, S., 2005. Social research 3rd edition. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Seale, C., 1999. Quality in qualitative research. Qualitative Inquiry [online], 5 (4), 465-478.
Sexton, T. L., 1997. Constructivist thinking within the history of ideas: The challenge of a new
paradigm. In: Sexton, T.L. Griffin, B.L., eds. Constructivist thinking in counselling practice,
research, and training. New York: Teachers College Press, 3-18.
Stake, R., 1995. The art of case study research. London: Sage.
Stead, G. B., 2004. Culture and career psychology: A social constructionist perspective. Journal of
Vocational Behavior [online], 64 (3), 389-406.
Stenbacka, C., 2001. Qualitative research requires quality concepts of its own. Management Decision
[online], 39 (7), 551-555.
31
Stiles, P. G. Boothroyd, R. A. Robst, J. Ray, J. V., 2011. Ethically Using Administrative Data in
Research Medicaid Administrators’ Current Practices and Best Practice Recommendations.
Administration & Society [online], 43 (2), 171-192.
Suryani, A. 2008. Comparing case study and ethnography as qualitative research approaches. Jurnal
Ilmu komunikasi [online]. 5 (1), 117-127.
Todoroki, S. I. Konishi, T. Inoue, S., 2006. Blog-based research notebook: personal informatics
workbench for high-throughput experimentation. Applied Surface Science [online], 252 (7), 2640-
2645.
van Maanen, J., 1988. Tales of the field. Chicago: Chicago University Press.
Wellington, J. Szczerbinski, M., 2007. Research methods for the social sciences. London: Continuum
International Publishing.
Williams, M., 1996. Introduction to Philosophy of Social Research. London: Routledge.
Willis, J., 2007. Foundations of Qualitative Research: Interpretive and Critical Approaches.
Thousand
Oaks: Sage Publications.
Woodside, A. G., 2010. Case study research: theory, methods and practice. Bingley: Emerald Group
Publishing
Yin, R.K., 2009. Case study research: design and methods. 4th edition. Los Angeles: Sage.
Young, R. A. Collin, A., 2004. Introduction: Constructivism and social constructionism in the career
field. Journal of vocational behaviour [online], 64 (3), 373-388.