PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL
YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA
DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA
AMIROH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Pengembangan SistemCara
Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.Saya
menyatakan bahwa saya telah mendapatkan izin tertulis dari instansi tempat
pengambilan data.
Bogor, Januari 2013
Amiroh
ABSTRACT
AMIROH. Development of Good Manufacturing Practices System for enteral
food and its application at Gatot Soebroto Hospital Jakarta. Under the supervision
of WINIATI P. RAHAYU and RATIH DEWANTI-HARIYADI.
Hospital formula enteral food is a ready to eat (RTE) food categorized as a
special food because it is targeted specifically for group of people with health risk.
Therefore, the safety of this enteral food needs to be controlled more stringenly
than other RTE food. One of the basic food safety management that can be
applied is GMP (Good Manufacturing Practices). Presently guidelines for good
processing method for enteral food is not available yet. This research was aimed
to develop a GMP system for enteral food or CPMEB (Cara Produksi Makanan
Enteral yang Baik) consisting a guideline as well as the auditing system,
and its application in Gatot Soebroto Hospital Jakarta. The system
was development based on the Indonesian Health Ministry Regulation Number:
1096/MenKes/PER/VI/2011 on hygiene and food services sanitation; The National
Agency of Drug and Food Control Regulation2011 Number:
HK.03.1.23.12.11.10720 on the guidelines for the production of processed food
products for baby powder formula and advanced powder formula; The National
Agency of Drug and Food Control Decree2003 Number: HK. 00.05.5.1639 on
the guidelines for food production for home industry; and other relevant
references. Based on the literature review and trials, the CPMEB guideline and its
audit system applicable to the enteral production unit of the hospital were
developed. Thirteen aspects were defined for the requirements; including four
main aspects. The main aspects were criteria with higher priority. The aspects
belong to this group were the production room, production equipment, process
control and workers' hygiene. The rest of the aspects include building and its
facilities, sanitation facility, raw materials storage, monitoring management, pest
control, enteral food distribution, training, and patient feeding. The trial at Gatot
Soebroto hospital shows that the enteral food production unit can be categorized
as good; with improvements needed for several aspects such as: production
equipment storage, hygiene and sanitation maintenance, blender handling
sanitation procedure, process control for type of container, volume of container,
production notes, enteral food storage, food distribution and training.
Keywords: aspects, the CPMEB guideline, enteral food, main aspects.
RINGKASAN
AMIROH.Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik
(CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta.Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan RATIH DEWANTI-
HARIYADI.
Makanan enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam
tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun
selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum
(jejunostomi). Konsumen (pasien) yang mengonsumsi makanan enteral
mempunyai kondisi kesehatan lebih rendah dibandingkan pasien lain.
Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et al (2001) penerapan sistem HACCP
(Hazard Analysis Critical Control point) dapat menurunkan jumlah bakteri pada
makanan enteral di rumah sakit dari 105
CFU/mL menjadi < 101
CFU/mL. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa perlu diterapkan sistem pengendalian keamanan
pangan.Sebelum diterapkan sistem HACCP, industri pengolahan pangan harus
sudah mampu menerapkan sistem GMP (Good Manufacturing Practices) atau
CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik). Saat ini pedoman cara produksi
makanan enteral yang baik (CPMEB) belum tersedia.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pedoman dan panduan
audit Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB). Pedoman CPMEB
diperlukan sebagai pedoman unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk
memproduksi makanan enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi
secara konsisten. Panduan audit CPMEB digunakan untuk mengevaluasi
pemenuhan persyaratan CPMEB. (2) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB
yang dikembangkan dalam penelitian untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan
CPMEB unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. Hasil
audit dijadikan acuan untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan
sarana produksi. (3) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan
CPMEB pada unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
berdasarkan hasil audit.
Penelitian dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut : (1) Menyusun pedoman dan
panduan audit CPMEB. (2) Melaksanakan uji coba hasil pengembangan pedoman
dan audit CPMEB di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
(3) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta. (4) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Mekanisme penyusunan dilakukan
melalui pengkajian bahan pustaka yang relevan untuk menyusun pedoman
CPMEB. Pustaka tersebut antara lain Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI /2011 tentang higiene sanitasi jasaboga;
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun
2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan
Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk;
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun
2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang
Baik untuk Industri Rumah Tangga; hasil penelitian Oliveira et al (2000) dan
(2001). Berdasarkan kajian bahan pustaka ditetapkan aspek dan parameter beserta
persyaratan yang berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan enteral.
Penyusunan panduan audit CPMEB didasarkan pada pedoman pemeriksaan
sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT) tahun 2003.
Oleh karena itu susunan panduan audit sarana produksi pada unit penyedia
makanan enteral rumah sakit terdiri dari pendahuluan yang berisi penjelasan
tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor sebelum melaksanakan
audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian masing-masing
parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Cara penilaian
dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan bobot pada aspek dan selanjutnya
menentukan cara penetapan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan.
Pedoman dan audit yang tersusun diuji cobakan dan disempurnakan sehingga
tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB yang siap untuk digunakan.
Hasil kajian bahan pustaka menghasilkan 13 (tiga belas) aspek yang
menjadi persyaratan CPMEB draf 1. Aspek yang dimaksud adalah (1) Bangunan
dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi
(5) Penyimpanan bahan baku (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen
Pengawasan (8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran
Makanan (11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien
(13) Pencatatan dan Dokumentasi. Beberapa parameter penyusun aspek
dipersyaratkan lebih ketat dibandingkan pangan siap saji karena makanan enteral
termasuk pangan kategori khusus yaitu pangan yang ditujukan bagi orang
sakit.Persyaratan yang diperketat antara lain pada aspek pengendalian proses
untuk parameter jenis wadah dan parameter volume wadah; aspek ruang produksi
untuk parameter kondisi ruangan dan parameter letak ruangan. Penentuan bobot
pada aspek dalam rangka menyusun panduan audit CPMEB draf 1 menghasilkan
bahwa yang termasuk aspek utama yaitu higiene karyawan; penyimpanan;
peralatan produksi; dan ruang produksi. Penetapan kategori hasil pemeriksaan
CPMEB dilakukan dengan cara menghitung nilai total dan sebaran nilai aspek.
Penetapan kategori dikelompokkan ke dalam kategori baik (B); cukup (C); dan
kurang (K). Kriteria kategori B bila nilai total minimal 35 dengan sebaran aspek,
seluruh aspek utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga
memperoleh nilai B serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C); kategori C bila nilai
total minimal 30 dengan sebaran aspek, seluruh aspek utama bernilai baik dan
minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C serta tanpa ada nilai K
(4B dan 9C); dan kategori K bila tidak mencapai nilai cukup.
Hasil uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB menunjukkan perlu
adanya (1) penyempurnaan persyaratan dan kriteria penilaian beberapa aspek dan
parameter, (2) perubahan aspek penyimpanan menjadi aspek penyimpanan bahan
baku, (3) perubahan kelompok aspek utama. Kelompok aspek utama hasil
penyempurnaan terdiri dari ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian
proses; dan higiene karyawan.
Hasil aplikasi pedoman dan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta menunjukkan bahwa unit penyedia makanan enteral
rumah sakit tergolong dalam kategori baik (B), dengan beberapa saran perbaikan.
Aspek dan parameter yang perlu diperbaiki antara lain aspek peralatan produksi
untuk parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi,
serta prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk
parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan
makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan
saat penyaluran; dan aspek pelatihan.
Berdasarkan hasil aplikasi pedoman dan audit CPMEB di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta direkomendasikan beberapa hal yaitu melengkapi rak
piring tertutup dan kompor di ruang produksi; memperbaiki hot & cool
thermobox; mengadakan blender tahan panas; menggunakan wadah dengan
volume satu porsi dan mudah disanitasi; selalu menempelkan keterangan produksi
pada wadah; dan mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan
enteral mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga dan keamanan pangan.
Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde)
di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta terpenuhi sebaiknya distribusi
makanan enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian
keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan.Selanjutnya penerapan
keamananan pangan dapat ditingkatkan melalui penerapan HACCP.Draf CPMEB
yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan peraturan
CPMEB di Indonesia.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL
YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA
DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA
AMIROH
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan
pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Tugas Akhir : Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral
yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta
Nama Mahasiswa : Amiroh
Nomor Pokok : F 252100185
Program Studi : Teknologi Pangan
Menyetujui ,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Ketua Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesi Teknologi Pangan
Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul Pengembangan Sistem Cara Produksi
Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD GatotSoebroto
Ditkesad Jakarta, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Pangan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-
Haryadi, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah
mulai dari awal penyusunan hingga selesainya tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc
sebagai tim penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi
penyempurnaan tesis ini.
3. Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta yang telah memberikan
izin bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian di dapur sonde Unit Gizi
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
4. Kepala Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta Letkol Ckm
Prima Haris, S.Sos serta pembimbing lapang Mayor Ckm Ishiko Herianto,
SPd, M.Kes.
5. Sdr. Nathan Nael Hery Susanto, S.Gz, Letda Erna Rumdani, AMG,
Sdri. Cipa Aipa AMd serta seluruh karyawan Unit Gizi yang telah
membantu pelaksanaan penelitian.
6. Ibu Fatikhaturohmah AMd, yang selalu memberikan semangat selama
berlangsungnya studi ini.
7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materiil dalam penyelesaian tugas akhir ini.
8. Mbak Siwi dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini
dan kepada pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2013
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes, tepatnya di kecamatan Ketanggungan Timur
pada tanggal 20 Juni 1958 anak dari almarhum Fadholi Wahab dan almarhumah
Bachriyah. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan bersaudara. Lulus dari
Sekolah Menengah Atas Negeri Tegal pada tahun 1977 dan melanjutkan di
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan lulus tahun 1982. Pada tahun
itu juga penulis bekerja di Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) yang
sekarang telah berubah nama menjadi Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.
Tahun 1983 penulis pindah ke Surabaya dan mengajar di Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya.Tahun 1988 penulis pindah
ke Mataram dan mengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Universitas Muhamadiyah Mataram.Akhir tahun 1991 pindah ke Jakarta dan
tahun 1993 mengajar diAkademi Gizi Yayasan Pendidikan MH.Thamrin
sekaligus diberi tanggung jawab sebagai Pembantu Direktur bidang administrasi
dan keuangan. Tahun 2005, setelah Akademi Gizi dan Akademi Kesehatandi
lingkungan Yayasan Pendidikan MH.Thamrin bergabung menjadi Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan MH.Thamrin (STIKes MH.Thamrin) penulis diberi tanggung
jawab sebagai Pembantu Ketua Sekolah Tinggi bidang adminstrasi dan
keuangan.Tahun 2010 bulan November bersamaan dengan diterimanya penulis
untuk melanjutkan kuliah di Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulisdiberi tanggung jawab
sebagai Ketua Program Studi Diploma III Gizi STIKes MH.Thamrin Jakarta
sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT................................................................................................ ii
RINGKASAN............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvi
I. PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................. 1
B. TUJUAN .................................................................................. 3
C. RUANG LINGKUP ................................................................. 3
D. MANFAAT PENELITIAN ..................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
5
A. MAKANAN ENTERAL ......................................................... 5
B. PANGAN SIAP SAJI (PSS) ................................................... 7
C. KEAMANAN PANGAN ........................................................ 7
D. GMP (Good Manufacturing Practices) ................................... 8
III. METODOLOGI
13
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................ 13
B. BAHAN PENELITIAN............................................................ 13
C. METODE PENELITIAN ......................................................... 13
1. Penyusunan pedoman CPMEB .......................................... 15
a. Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB.. 15
b. Penetapan aspek dan parameter ................................... 17
2. Penyusunan panduan audit CPMEB...................................
17
a. Penentuan bobot pada aspek ...................................... 17
b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan......................... 18
3. Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah
sakit ………………………………………………………
19
4. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB…..
20
5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia
makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta ................................................................................
20
Halaman
6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan
CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.........................................
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
23
A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB .................................... 23
Penetapan aspek dan parameter ......................................... 23
B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB………………
26
1. Penentuan bobot pada aspek .............................................. 26
2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan ............................... 30
C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT
CPMEB DI RUMAH SAKIT
33
1. Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah
sakit X………………………………………………
33
a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral .... 33
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. 34
c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi .............. 34
d. Distribusi produk dan pengawasan ............................ 36
e. Pengendalian hama .................................................... 36
2. Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.......................................
36
a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral ... 37
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. 38
c. Bahan baku dan peralatan .......................................... 39
d. Jenis dan proses produksi ........................................... 40
e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk.... 41
f. Perawatan kebersihan dan sanitasi ............................. 45
g. Pengendalian hama .................................................... 45
3. Uji coba pedoman CPMEB ...............................................
46
4. Uji coba panduan audit CPMEB .......................................
47
D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN
AUDIT CPMEB ……………………………………………...
55
E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT
PENYEDIA MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT
SOEBROTO DITKESAD JAKARTA ...
59
1. Peralatan produksi ............................................................. 61
2. Pengendalian proses .......................................................... 63
Halaman
3. Penyaluran makanan ......................................................... 65
4. Pelatihan karyawan ........................................................... 66
F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN
PERSYARATAN CPMEB DI RSPAD GATOT
SOEBROTO DITKESAD JAKARTA……………………….
66
1. Aspek peralatan produksi .................................................. 67
2. Aspek pengendalian proses ............................................... 67
3. Aspek pelatihan ................................................................. 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
69
A. KESIMPULAN ........................................................................ 69
B. SARAN .................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
73
LAMPIRAN .............................................................................................. 77
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan
penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB .................
16
Tabel 2.
Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap
keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan
pustaka pendukung ..................................................................
26
Tabel 3.
Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011,
CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB ...........
31
Tabel 4.
Hasil uji coba pemeriksaan sarana pada unit makanan cair di
rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.......................................................................
47
Tabel 5.
Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB
berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta................................
56
Tabel 6.
Hasil evaluasi penerapan pedoman CPMEB di dapur sonde
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta……………………
59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Tahapan penelitian…………………………………............ 14
Gambar 2. Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB…
14
Gambar 3. Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu dan
makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit)…...
43
Gambar 4. Skema proses pembuatan makanan cair formula susu
untuk diet lambung 1 dan formula WHO…………………..
44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan
jasaboga ………………………………………………...
78
Lampiran 2.
Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan
pangan industri rumah tangga (IRT) ................................
81
Lampiran 3.
Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/
Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB
untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk
tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta
pustaka-pustaka yang mendukung ...................................
82
Lampiran 4.
Pedoman cara produksi makanan enteral yang baik
(CPMEB) di rumah sakit draf 1 dan draf 2 .....................
111
Lampiran 5.
Panduan audit sarana produksi pada unit penyedia
makanan enteral rumah sakit draf 1 dan draf 2 ..............
119
Lampiran 6.
Denah ruang produksi makanan cair di rumah sakit X.....
136
Lampiran 7.
Denah dapur Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta................................................................
137
Lampiran 8.
Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta ........................
138
Lampiran 9.
Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO
(diet tinggi kalori tinggi protein) .....................................
139
Lampiran 10.
Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral
formula WHO ..................................................................
140
Lampiran 11.
Prosedur pmbuatan makanan enteral formula rumah
sakit ..................................................................................
141
Lampiran 12.
Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet
hati)...................................................................................
142
Lampiran 13.
Alur pemenuhan makanan pasien ....................................
143
Halaman
Lampiran 14.
Alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan
enteral/sonde ....................................................................
144
Lampiran 15.
Prosedur pemeriksaan kualitas telur (candling) ...............
145
Lampiran 16.
Prosedur tes kit metanil yellow ........................................
146
Lampiran 17.
Prosedur tes kit rhodamin B .............................................
147
Lampiran 18.
Prosedur tes kit boraks .....................................................
148
Lampiran 19.
Prosedur tes kit formalin ..................................................
149
Lampiran 20.
Laporan hasil uji film/plastik pembungkus......................
150
Lampiran 21.
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara
fisik...................................................................................
151
Lampiran 22.
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara
kimiawi ............................................................................
152
Lampiran 23.
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara
bakteriologi .....................................................................
153
Lampiran 24. Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian
kucing ...............................................................................
154
1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, terutama bagi orang yang sedang
sakit (pasien). Makan bagi seorang pasien merupakan salah satu terapi untuk
memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kebutuhan zat gizi
seorang yang sedang sakit sering lebih besar karena pada saat sakit terdapat
peningkatan hormon stres yang memerlukan tambahan energi. Di lain pihak,
banyak kendala atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi karena pasien
tidak mau makan (selera makan kurang) atau tidak mampu makan karena
penyakitnya. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan makanan yang
berbentuk lunak atau cair.
Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga
kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan
mengunyah, menelan dan mencernakan makanan disebabkan oleh menurunnya
kesadaran, suhu badan meningkat, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran
cerna, serta pra dan pasca bedah. Makanan cair dapat diberikan secara oral atau
enteral.
Jalur pemberian makanan melalui oral adalah jalur asupan zat gizi melalui
jalan normal sebagaimana mestinya, sedangkan jalur pemberian makanan melalui
enteral adalah jalur asupan zat gizi melalui selang nasogastrik, gastronomi
maupun jejunostomi. Jalur ini tidak melalui proses menelan. Cara ini diberikan
apabila asupan oral tidak memungkinkan tetapi sistem saluran cerna masih
bekerja dengan baik. Namun jika tingkat gangguan atau kegagalan fungsi usus
menyebabkan pemberian makanan enteral pun tidak dapat dilakukan atau tidak
memadai, maka pemberian makanan dilakukan melalui pembuluh darah yang
disebut dengan pemberian secara parenteral.
Ditinjau dari cara pembuatannya, ada 2 (dua) jenis makanan enteral yaitu
makanan enteral yang diproduksi oleh rumah sakit dan yang diproduksi oleh
industri pangan. Makanan enteral formula rumah sakit (FRS) dalam bentuk semi
2
padat hasil blender ataupun makanan cair, diper` siapkan untuk langsung
dikonsumsi sehingga dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji, sedangkan
makanan enteral komersial (FK) yaitu yang diproduksi oleh industri pangan,
tersedia dalam bentuk bubuk dan dijual dalam kemasan sehingga diklasifikasikan
sebagai pangan olahan.
Selain memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang dikonsumsi pasien harus
terjamin keamanannya. Bahkan jaminan keamanan makanan enteral seharusnya
lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit karena kondisi sistem imun
pasien yang mengonsumsi makanan enteral jauh lebih rendah dibandingkan
pasien yang mampu mengonsumsi makanan padat. Menurut hasil penelitian
Oliveira et al. (2001) bahwa sebelum unit penyedia makanan enteral di rumah
sakit menerapkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), hasil
analisis mikrobiologi pada makanan enteral menunjukkan adanya coliform,
Enterococcus sp. dan mikroba aerobik mesofilik sejumlah 105
CFU/mL. Jumlah
tersebut berada diatas persyaratan (> 104
CFU/mL). Sesudah diterapkan HACCP,
hasil analisis mikrobiologi menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu jumlah
mikroba menjadi < 101 CFU/mL. Oleh karena itu sangat diperlukan pengendalian
keamanan pangan untuk produksi makanan enteral di rumah sakit.
Industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan
pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan
mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering
disebut dengan istilah pre-requisite program. Secara umum pre-requisite program
adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan suatu
proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal dengan GMP (Good
Manufacturing Practices). GMP merupakan suatu pedoman bagi industri pangan
tentang cara berproduksi makanan dan minuman yang baik untuk menjamin agar
produk yang dihasilkannya aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara
konsisten.
Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik telah ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga. Makanan
enteral FRS, dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji yang diproduksi oleh
3
rumah sakit sehingga berdasarkan peraturan menteri kesehatan tersebut di atas
unit penyedia makanan enteral FRS, termasuk ke dalam jasaboga golongan B
(jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat khusus). Oleh karena itu cara
produksi makanan enteral FRS yang baik dapat mengacu pada persyaratan higiene
sanitasi jasaboga golongan B. Tetapi karena jaminan keamanan makanan enteral
harus lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit maka persyaratan
keamanan pangan untuk produksi makanan enteral FRS juga harus mengacu pada
produk sejenis yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan kesehatan,
misalnya pedoman cara produksi formula bayi yang baik.
Saat ini pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) di
Indonesia belum tersedia. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan
pedoman CPMEB. Pedoman perlu disertai dengan sistem auditnya agar evaluasi
pemenuhan persyaratan keamanan pangan dapat dilakukan dengan mudah dan
terukur dengan jelas. Untuk mengkaji apakah pedoman yang dikembangkan dapat
diaplikasikan di rumah sakit, perlu dilakukan uji coba. Dalam hal ini uji coba
dilaksanakan di rumah sakit X Jakarta Timur dan di RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta sebelum pelaksanaan aplikasi. Rumah sakit tersebut dipilih
karena keduanya merupakan rumah sakit besar di wilayah Jakarta yang setiap
harinya memproduksi makanan enteral dan telah mempunyai ruang khusus untuk
memproduksi makanan enteral.
B. TUJUAN
1. Mengembangkan pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik
(CPMEB) termasuk panduan auditnya.
2. Mengaplikasikan panduan audit CPMEB yang dikembangkan dalam
penelitian untuk unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.
3. Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit
penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
4
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengembangkan pedoman CPMEB dan
panduan audit khususnya untuk FRS dan rekonstitusi FK. Pengembangan
pedoman CPMEB dan panduan auditnya mengacu pada Cara Produksi Pangan
yang Baik (CPPB) dari pangan lain yang sejenis dan relevan. Pedoman dan
panduan audit diuji cobakan, disempurnakan kemudian diaplikasikan di lapangan
yakni di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Tersedianya pedoman CPMEB dapat digunakan sebagai rujukan oleh
unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk memproduksi makanan
enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara konsisten.
Evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB menggunakan panduan audit.
Terevaluasinya pemenuhan persyaratan CPMEB dapat dijadikan acuan
untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan sarana produksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKANAN ENTERAL
Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas
hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun
cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan
parenteral (Almatsier 2005).
Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk
makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur
normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat
menjadi pilihan. Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral
yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna,
baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang
stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping
itu, dikenal pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian
makanan melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah jalur
masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna dan
kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008).
Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada
situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan
fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan
pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya
kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008)
Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula
komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang
diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi
larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap
6
pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK,
berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai.
Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya
tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata
2009).
Ditinjau dari jenis diet dan bahan bakunya, Simadibrata (2009)
mengelompokan makanan enteral FRS menjadi: 1). Makanan cair tinggi energi
dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri dari susu full cream, susu skim, susu
rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari
buah; 2). Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah
laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang; 3). Makanan cair tanpa
susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari telur, kacang hijau, wortel
jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan 4). Makanan khusus untuk penyakit hati,
rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout dan diet
diabetes.
Berdasarkan konsistensinya, Almatsier (2005) mengelompokkan makanan
cair menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan
makanan cair kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah
sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan cair penuh formula rumah
sakit terdiri dari: 1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi
pasien dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal;
2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan berserat;
3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa (laktose
intolerance); dan 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein
susu.
Mahan et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut:
1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/mL;
2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per hari dan
kebutuhan komponen gizi yang lain; 3) Osmolaritas makanan enteral sesuai
dengan osmolaritas cairan tubuh; 4) Komponen penyusun bahan baku makanan
enteral mudah diabsorpsi sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan;
dan 5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan
7
USFDA (1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan
rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 104 CFU/g dan Moffit
et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen ke CFU/mL.
B. PANGAN SIAP SAJI (PSS)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah
makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan
di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan (BPOM 2004). Pada
umumnya, pengendalian mutu dan keamanan pangan siap saji meliputi empat
tahap, yaitu saat pembelian dan penerimaan bahan pangan; saat penyimpanan;
penyiapan dan pengolahan; dan penyajian pangan (Rahayu 2010 ).
Menurut Rahayu (2010) ada delapan prinsip penanganan pangan siap saji
yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu praktek
higiene karyawan yang ketat; pengendalian waktu dan suhu pengolahan;
memastikan bahan pangan segar disimpan terpisah dengan pangan siap konsumsi;
memastikan kebersihan dan sanitasi permukaan kerja yang kontak dengan pangan;
memasak hingga atau lebih besar dari suhu internal minimum pangan;
mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0C atau
suhu pangan dingin pada 5 0C atau lebih rendah; mendinginkan pangan matang
yang panas hingga 5 0C dalam waktu selambatnya 4 jam; memanaskan kembali
pangan untuk disajikan selama lebih dari 15 detik pada suhu internal 74 0C dalam
selang waktu dua jam.
C. KEAMANAN PANGAN
Definisi keamanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia. Bahaya adalah suatu faktor yang keberadaannya pada bahan pangan
dapat menimbulkan masalah kesehatan konsumen yaitu meliputi bahaya biologis,
kimia atau fisik (BPOM 2004).
8
Bahaya biologis berasal dari benda hidup; umumnya mikroba, yang
keberadaannya pada bahan pangan menimbulkan masalah kesehatan konsumen.
Mikroba yang dimaksud adalah mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare,
sakit perut, muntah sampai gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian
(Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi
bahaya biologis yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri
dari pH, kadar air, aktivitas air (aw), nutrien, senyawa anti mikroba, struktur
biologis dan lain-lain. Faktor ekstrinsik terdiri dari suhu, kelembaban, gas (karbon
dioksida, ozon, sulfur dioksida ) dan lain-lain (Winarno 2011b).
Bahaya kimia adalah segala bahan kimia yang bersifat racun; sehingga
mengancam kesehatan manusia. Bahaya kimia ini dapat berasal dari bahan pangan
sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan itu dapat
berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme mikroba yang
berada pada bahan pangan tersebut. Sedangkan bahaya kimia yang berasal dari
luar, dapat digolongkan dalam bahan bahaya yang masuk secara sengaja
(intentionally) ataupun yang secara tidak sengaja ditambahkan (non-intentionally)
pada bahan pangan (Hariyadi & Dewanti- Hariyadi 2011).
Bahaya fisik bisa berupa fisik bahan pangan itu sendiri ataupun bahan fisik
lain yang keberadaannya dapat mengancam keselamatan konsumen. Bahaya fisik
benda asing dapat berupa pecahan atau patahan tulang, logam, kaca, batang kayu
yang dapat menyebabkan kesehatan atau kecelakaan bagi konsumen. Bahaya fisik
yang disebabkan oleh kondisi fisik bahan pangan itu sendiri, misalnya tekstur dan
ukuran produk (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011).
D. GMP (Good Manufacturing Practices)
GMP adalah persyaratan minimum sanitasi dan pengolahan untuk menjamin
pangan yang diroduksinya aman dan bermutu. Tujuan dan perlunya menerapkan
GMP adalah untuk memberikan panduan tata cara khusus (Specific Codes) yang
diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan
komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan
prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang
tersebut (Winarno 2011a). Panduan tata cara khusus produksi pangan yang baik
dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor
9
75/M-IND/PER/7/2010 yaitu tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan
yang Baik (Good Manufacturing Practices). Ruang lingkup pedoman tersebut
meliputi lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, mesin dan peralatan, bahan,
pengawasan proses, produk akhir, laboratorium, karyawan, pengemas, label dan
keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan dan program sanitasi,
pengangkutan, dokumen dan catatan, pelatihan, penarikan produk dan
pelaksanaan pedoman (Kementerian Perindustrian 2010).
Cara produksi pangan yang baik untuk pangan siap saji menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan yaitu cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan
pangan, antara lain dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan; mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik
patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan mengendalikan proses
antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan,
pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian
(BPOM 2004).
Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik tersebut dituangkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Menurut
peraturan tersebut jasaboga adalah usaha pengelolaan makanan yang disajikan di
luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau
badan usaha. Pengelolaan makanan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
penerimaan bahan makanan mentah atau terolah, pembuatan, pengubahan bentuk,
pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian (Kementerian Kesehatan
2011).
Peraturan tersebut menggolongkan jasaboga kedalam tiga kelompok yaitu
golongan A, B dan C. Jasaboga golongan A merupakan jasaboga yang melayani
kebutuhan masyarakat umum, golongan B melayani kebutuhan masyarakat dalam
kondisi tertentu dan golongan C melayani kebutuhan masyarakat di dalam alat
angkut umum internasional dan pesawat udara (Kementerian Kesehatan 2011).
10
Pelayanan jasaboga golongan B meliputi a) asrama haji, asrama transito atau
asrama lainnya, b) industri, pabrik, pengeboran lepas pantai, c) angkutan umum
dalam negeri selain pesawat udara dan d) fasilitas pelayanan kesehatan. Jasaboga
golongan ini akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara
lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % dan hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap pangan yang dihasilkan menunjukkan
cemaran kimia pada makanan negatif; bakteri E.coli 0/gram contoh; dan tidak
dijumpai adanya mikroba patogen pada penjamah makanan yang diperiksa dengan
cara usap dubur/rectal swab (Kementerian Kesehatan 2011).
Makanan enteral FRS diproduksi oleh unit penyelenggara makanan pada
pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pedoman cara produksi makanan enteral
FRS yang baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga
khususnya untuk jasaboga golongan B. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan
teknis higiene dan sanitasi, cara pengolahan makanan yang baik dan kursus
higiene sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggungjawab dan
penjamah makanan yang bekerja di jasaboga. Persyaratan tersebut terdiri dari
beberapa parameter. Parameter yang dimaksud tercantum pada Lampiran 1 yaitu
uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga (Kementerian
Kesehatan 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et. al (2000) menyebutkan bahwa
blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral menjadi
penyebab utama terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu disarankan pencucian
blender dilakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi
menggunakan disinfektan, setiap kali selesai proses. Sumber kontaminasi yang
lain yaitu higiene karyawan, wadah makanan enteral, air atau lingkungan.
Oliveira et al. (2001) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang
dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit
menemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin yang dipergunakan untuk
menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas yang
disarankan, yaitu di atas 7 0
C. Menurut Jay et al. (2005) bahwa suhu untuk
penyimpanan dingin idealnya adalah 4,4 0C atau diantara 0 dan 7
0C. Hasil
11
penelitian itu juga menyarankan agar sistem distribusi makanan enteral ke pasien
dilakukan dengan sistem sentralisasi. Ruang pengolahan dibagi menjadi dua
dengan jendela sebagai penghubungnya. Ruang pertama dipergunakan untuk
membersihkan dan mensanitasi peralatan dan ruang kedua hanya untuk
mempersiapkan dan memblender makanan enteral (Oliveira et al. 2001).
III. METODOLOGI
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012
meliputi tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB, pelaksanaan uji
coba dan aplikasi panduan audit. Uji coba pedoman dan audit dilaksanakan di
rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Aplikasi panduan
audit CPMEB dan evaluasi pemenuhannya dilaksanakan di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta setelah pelaksanaan uji coba.
B. BAHAN PENELITIAN
Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain :
(1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene dan sanitasi jasa boga (CPPSSB-
2011) (2) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara
Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan
Bentuk Bubuk ( CPPOB Formula Bayi-2011b) (3) Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK.
00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri
Rumah Tangga (CPPB-IRT 2003).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan melalui pengkajian bahan pustaka tentang pangan
enteral dan peraturan terkait di Indonesia sehingga tersusun pedoman CPMEB
beserta panduan auditnya. Pedoman dan panduan audit diujicobakan di dua rumah
sakit dan berdasarkan hasil uji coba dilakukan penyempurnaan. Aplikasi panduan
audit pemenuhan persyaratan CPMEB dilakukan menggunakan panduan audit
yang telah disempurnakan. Tahapan penelitian tergambar pada Gambar 1
sedangkan tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB tercantum
pada Gambar 2.
14
Pengkajian bahan pustaka
Uji coba di RS X Uji coba di RSPAD Gatot Soebroto
Penyempurnaan
Penerapan di RSPAD Gatot Soebroto
Hasil Evaluasi
REKOMENDASI
Gambar 1. Tahapan penelitian
.
Gambar 2. Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB
Aspek dan parameter
Pustaka dan
peraturan
yang terkait
Persyaratan - Kriteria penilaian
- Pembobotan
- Penetapan
kategori PEDOMAN
CPMEB
PANDUAN AUDIT
15
1. Penyusunan pedoman CPMEB
Penyusunan pedoman dilakukan melalui dua tahap yaitu pengkajian bahan
pustaka dan peraturan yang terkait; serta penetapan aspek dan parameter yang
dianggap sebagai penentu keamanan makanan enteral.
a. Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB
Bahan pustaka dan peraturan yang terkait untuk penyusunan pedoman
CPMEB tertera pada Tabel 1. Perihal yang mendasari penetapan bahan pustaka
dan peraturan tersebut adalah sebagai berikut ini:
Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi termasuk kelompok
pangan siap saji karena setelah diolah langsung dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan
yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun
2004 yang menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah makanan dan atau
minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan (BPOM 2004).
Peraturan pemerintah yang mengatur tentang cara produksi pangan siap saji yang
baik (CPPSSB) tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga,
Unit pengelola makanan enteral termasuk jasaboga golongan B, sehingga
CPPSSB yang menjadi acuan terutama adalah yang ditujukan untuk jasaboga
golongan B.
Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi, termasuk pangan
dengan kategori khusus karena konsumennya adalah populasi berisiko terhadap
gangguan kesehatan yaitu orang sakit dengan daya tahan tubuh terbatas. Oleh
karena itu bahan pustaka yang ke dua adalah peraturan cara produksi pangan yang
baik untuk produk dengan kategori khusus. Dalam hal ini pustaka yang
dipergunakan yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan
Formula Lanjutan Bentuk Bubuk (BPOM 2011b).
Perusahaan yang memproduksi formula bayi umumnya adalah perusahaan
besar sedangkan produksi makanan enteral sangat sederhana baik proses maupun
peralatannya. Oleh karena itu mengacu juga pada Pedoman Cara Produksi Pangan
16
yang Baik untuk Industri Rumah Tangga tahun 2003. Peraturan tersebut
tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara
Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) (BPOM
2003). Disamping itu juga karena unsur pada pedoman CPPB-IRT 2003
terdeskripsi dengan jelas dibandingkan pada CPPSSB-2011 dan pedoman
pemeriksaan sarana produksinya tersusun secara simpel, praktis dan mudah
dipahami.
Tabel 1. Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan penyusunan
pedoman dan panduan audit CPMEB.
No.
Bahan Pustaka
Perihal/judul
Penyusun/penulis,
tahun terbit
1
2.
3.
Utama
Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor :
1096/MenKes/PER/VI/2011
Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik
Indonesia tahun 2011 Nomor:
HK.03.1.23.12.11.10720.
Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia tahun 2003
Nomor: HK. 00.05.5.1639
Higiene sanitasi jasaboga
Pedoman Cara Produksi
Pangan Olahan yang Baik
untuk Formula Bayi dan
Formula Lanjutan Bentuk
Bubuk
Pedoman Cara Produksi
Pangan yang Baik untuk
Industri Rumah Tangga
(CPPB-IRT).
Kementerian
Kesehatan, 2011
Badan Pengawas
Obat dan Makanan,
2011
Badan Pengawas
Obat dan Makanan
2003
1.
2.
Pendukung
J Nutrition 16: 729-733
J Human Nutr Dietetic 14:397-403
Microbiological quality
of reconstituted enteral
formulation used in
hospital.
Application of Hazard
Analysis Critical Control
Pointsystem to enteral
tube feeding in hospital.
Oliveira MH, Bonelli
R, Aidoo KE, Batista
CRV, 2000
Oliveira MR, Batista
CRV, Aidoo KE,
2001.
17
b. Penetapan aspek dan parameter
Penetapan aspek dan parameter yang menjadi persyaratan CPMEB
dilakukan dengan cara menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan bahan
pustaka yang tertera pada Tabel 1. Aspek dan parameter pada CPPSSB-2011
disebut dengan uraian, item atau obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan yang
harus dinilai tercantum pada formulir 3 peraturan tersebut. Formulir tersebut
berjudul uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga seperti
tercantum pada Lampiran 1. Ada beberapa obyek pemeriksaan yang tercantum
pada pedoman dan berpengaruh terhadap persyaratan CPMEB tetapi tidak
tercantum pada formulir 3. Obyek tersebut ikut disandingkan untuk dikaji.
Aspek dan parameter yang terdapat pada CPPOB Formula Bayi-2011 tidak
tersusun khusus dalam satu formulir tetapi masih dalam bentuk uraian pedoman.
Oleh karena itu dalam rangka menyandingkan dengan aspek dan parameter dari
pedoman yang lain diambil inti sari yang tercantum dalam pedoman.
Aspek dan parameter pada CPPB-IRT 2003 disebut dengan group dan
unsur. Group dan unsur yang harus diperiksa tercantum dalam formulir
pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT).
Formulir yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 2.
Aspek dan parameter yang berasal dari pustaka pendukung yaitu faktor
yang berdasarkan penelitiannya mempengaruhi keamanan makanan enteral.
Kumpulan aspek dan parameter hasil kajian, selanjutnya dilengkapi dengan
persyaratan-persyaratan yang dapat mengendalikan keamanan makanan enteral
sehingga tersusun pedoman. Pedoman yang tersusun disebut pedoman CPMEB
draf 1.
2. Penyusunan panduan audit CPMEB.
Penyusunan panduan audit CPMEB dalam hal ini yaitu menyusun panduan
audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral di rumah sakit dan disusun
berdasarkan pedoman CPPB-IRT 2003. Maksud dan tujuannya adalah agar
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB dapat dilakukan dengan mudah dan
terukur. Susunan panduannya yaitu sebagai berikut: pendahuluan yang berisi
18
penjelasan tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor sebelum
melaksanakan audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian
masing-masing parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Pada
uraian cara penilaian, diperlukan skala penilaian (bobot) setiap aspek dan cara
menentukan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan. Oleh karena itu perlu
diuraikan metode penentuan bobot dan penetapan kategori atau pengambilan
kesimpulan hasil pemeriksaan.
a. Penentuan bobot pada aspek.
Penentuan bobot pada CPMEB dimaksudkan untuk menentukan kelompok
aspek utama yaitu aspek-aspek yang dianggap mempunyai peluang risiko
keamanan makanan enteral lebih besar dibandingkan aspek yang lain.
Pembobotan yang diterapkan CPPSSB-2011 yaitu dengan memberikaan bobot
pada setiap obyek pemeriksaan dengan bobot terendah 1 (satu) dan tertinggi
5 (lima). Obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 harus segera diperbaiki
jika ternyata mengalami penyimpangan (Kementerian Kesehatan 2011). Dengan
kata lain obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 adalah obyek pemeriksaan
yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan
jasaboga. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana produksi perusahaan
pangan IRT 2003 ditentukan bahwa ada 4 (empat) aspek yang dianggap lebih
penting dibandingkan dengan 8 (delapan) aspek lainnya. Keempat aspek ini
dikategorikan sebagai kelompok utama dalam pemeriksaan (BPOM 2003).
Penentuan aspek utama pada CPMEB dilakukan dengan cara
menyandingkan dan mengkaji kelompok yang sangat berpengaruh terhadap
keamanan makanan jasaboga pada CPPSSB 2011 yaitu obyek pemeriksaan yang
berbobot 3, 4 dan 5; kelompok utama pada CPPB-IRT 2003; dan pustaka
pendukung terkait makanan enteral di rumah sakit. Selanjutnya kelompok hasil
kajian dan gabungan, disebut kelompok aspek utama untuk persyaratan CPMEB.
b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan.
Penetapan kategori hasil audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral
di rumah sakit dikaji dari yang diterapkan pada CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT
19
2003. Pada CPPSSB-2011 penilaian dilakukan terhadap obyek pemeriksaan. Nilai
berkisar antara 0 dan 5 tergantung bobot obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan
yang berbobot 1 diberi penilaian 0 atau 1. Obyek pemeriksaan yang berbobot 2
diberi penilaian 0, 1 atau 2 dan seterusnya sesuai keadaan di lapangan. Dalam
pedoman tersebut tidak tercantum penjelasan tentang kriteria penilaian masing-
masing obyek pemeriksaan. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana
produksi perusahaan pangan IRT 2003 penilaian dilakukan pada unsur. Penilaian
didasarkan pada sejauh mana kondisi yang dinilai memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan. Kondisi baik diberi nilai B atau 3, kondisi cukup diberi nilai C
atau 2 dan kondisi kurang diberi nilai K atau 1. Petunjuk nilai B, C atau K
terdeskripsi dalam kriteria penilaian unsur. Selanjutya penilaian terhadap
parameter direkapitulasi dan dirata-ratakan menjadi penilaian aspek. Cara
penilaian parameter dan aspek CPMEB dibuat mirip dengan yang termuat dalam
CPPB-IRT 2003 karena penilaian unsur dalam CPPB-IRT 2003 lebih terdiskripsi
dengan baik dan mudah diterapkan dibandingkan penilaian obyek pemeriksaan
yang terdapat dalam CPPSSB 2011. Pedoman dan panduan audit sarana produksi
unit penyedia makanan enteral di rumah sakit yang tersusun (draf 1) selanjutnya
di ujicobakan di rumah sakit .
3. Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah sakit.
Uji coba pedoman CPMEB dilakukan di dua rumah sakit. Uji coba pertama
dilakukan di rumah sakit yang kondisinya mirip dengan kondisi rumah sakit yang
akan dijadikan tempat penelitian yaitu rumah sakit X di Jakarta Timur. Kemiripan
tersebut yaitu tersedianya ruangan khusus untuk produksi makanan enteral. Uji
coba ke dua dilakukan di rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian dan
dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian yang sebenarnya yakni di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
Petugas yang akan melaksanakan penilaian harus telah mempelajari dan
menguasai draf pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) dan
panduan auditnya. Data uji coba diperoleh dari wawancara dengan petugas dan
juga peninjauan langsung di unit penyedia makanan cair di rumah sakit X dan
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
20
Di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta belum ada
tim audit khusus untuk memonitor proses produksi makanan enteral. Oleh karena
itu uji coba pedoman CPMEB di rumah sakit X dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli
gizi yang bertanggungjawab memonitor pelaksanaan produksi makanan cair.
Sesuai tanggungjawabnya satu orang melakukan uji coba pada aspek pengolahan
dan yang lain pada aspek higiene dan sanitasi. Penilaian dua orang tersebut
dikompilasi menjadi satu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta juga
dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang pernah bertanggungjawab
mengawasi pelaksanaan proses makanan enteral dan satu orang lainnya masih
aktif melaksanakan tanggungjawab tersebut. Hasil penilaian tidak dikompilasi
karena masing-masing ahli gizi berwenang memonitor seluruh aspek proses
produksi makanan enteral.
4. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB
Berdasarkan hasil uji coba pedoman CPMEB, diinventarisasi aspek dan
parameter yang belum cocok untuk mengevaluasi penerapan CPMEB; yang tidak
mudah dipahami oleh petugas terkait; dan yang menimbulkan persepsi berbeda
antar penilai. Selanjutnya aspek dan parameter tersebut disempurnakan sehingga
tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB draf 2.
5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
Aplikasi panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengevaluasi
pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Pelaksanaan evaluasi menggunakan panduan
audit sarana produksi pada unit penyediaan makanan enteral di rumah sakit draf 2
seperti yang tercantum pada Lampiran 5. Hasil evaluasi dibandingkan dengan
persyaratan standar yang telah dikembangkan yaitu pedoman CPMEB draf 2.
Evaluasi dilakukan terhadap kesenjangan antara hasil pemeriksaan dan
persyaratan. Data diperoleh dengan cara mengamati keadaan nyata di unit
penyedia makanan enteral, wawancara dan pencatatan data yang ada di rumah
sakit.
21
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tim audit internal CPMEB di
RSPAD Gatot Soebroto Dirkesad Jakarta secara resmi belum ada, tetapi ada
karyawan yang diberi tugas untuk melakukan pengecekan, pengawasan dan
evaluasi. Karyawan ini bertanggungjawab untuk memberikan masukan perbaikan
penerapan CPMEB. Oleh karena itu pelaksanaan audit pada penelitian ini
dilakukan oleh karyawan tersebut ditambah 2 (dua) orang yang pernah bertugas
sebagai penanggungjawab pelaksanaan dapur sonde dan peneliti. Selanjutnya
hasil penilaian tersebut dirata-ratakan sebagai hasil akhir evaluasi.
6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada
unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta.
Rekomendasi disusun berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB.
Aspek utama menjadi prioritas untuk segera diperbaiki jika ternyata berdasarkan
hasil audit ditemukan terjadi penyimpangan dari persyaratan yang seharusnya.
Selanjutnya diikuti dengan perbaikan aspek lainnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB
Penetapan aspek dan parameter.
Proses dan hasil penetapan aspek serta parameter CPMEB dapat dilihat
pada Lampiran 3 yang berisi perbandingan peraturan pemerintah CPPSSB-2011,
CPPOB Formula bayi-2011, CPPB-IRT 2003, serta pustaka-pustaka yang
mendukung. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada 13 aspek yang dianggap
sebagai penentu keamanan makanan enteral. Aspek tersebut adalah (1) Bangunan
dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi
(5) Penyimpanan (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen Pengawasan
(8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran Makanan
(11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien (13) Pencatatan
dan Dokumentasi.
Aspek lokasi pada ketiga peraturan yang dijadikan acuan pada prinsipnya
mensyaratkan hal yang sama yaitu berada di daerah yang jauh dari sumber
kontaminasi. CPMEB tidak mensyaratkan aspek lokasi sebagai sarana yang harus
diperiksa karena unit makanan enteral merupakan bagian dari unit gizi rumah
sakit dan persyaratan lokasi unit gizi sudah termasuk dalam persyaratan rumah
sakit.
Diantara 13 aspek tersebut ada beberapa aspek yang persyaratannya
mengikuti CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 karena pada prinsipnya
kebutuhannya sama. Aspek yang dimaksud antara lain bangunan dan fasilitas;
fasilitas dan sanitasi; manajemen pengawasan; pengendalian hama; higiene
karyawan; pelatihan; serta pencatatan dan dokumentasi.
Aspek peralatan produksi; penyimpanan; dan pengendalian proses
sebagian parameter penyusunnya dipersyaratkan sama dengan CPPSSB-2011
ditambah dengan parameter khusus tentang makanan enteral. Aspek peralatan
produksi untuk parameter prosedur pengelolaan sanitasi blender menjadi
parameter tersendiri tidak tergabung dalam parameter pemeliharaan kebersihan
dan sanitasi peralatan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penelitian Oliveira
et al. (2000) penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan
24
enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan
enteral. Oleh karena itu pengelolaan sanitasi blender diamati secara khusus. Pada
aspek penyimpanan terdapat parameter makanan enteral. Kadang-kadang
makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung
dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada
suhu antara 0 dan 7
0C seperti yang disebutkan oleh Jay et al. (2005). Suhu
penyimpanan makanan enteral harus dikendalikan dan menjadi parameter kritis.
Berdasarkan penelitian Oliveira et al. (2001) ditemukan bahwa rata-rata suhu
lemari pendingin di rumah sakit yang dipergunakan untuk menyimpan makanan
enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas 70C. Tingginya suhu lemari
pendingin disebabkan karena lemari pendingin sering dibuka dan ditutup karena
dipergunakan untuk menyimpan makanan lain. Aspek pengendalian proses
didefinisikan sebagai tahap yang harus diamati mulai dari bahan baku sampai
dengan siap dikonsumsi pasien. Parameter penyimpanan makanan enteral tidak
masuk ke aspek ini karena penyimpanan makanan enteral bukan proses yang
harus selalu dijalani sehingga dimasukkan ke dalam aspek penyimpanan. Istilah
kemasan pada CPPB-IRT 2003 menjadi wadah pada CPMEB, karena pada
dasarnya makanan enteral FRS tidak dikemas tetapi ditempatkan dalam suatu
wadah dan siap untuk dikonsumsi. Pengamatan terhadap wadah terbagi menjadi
parameter jenis wadah; dan volume wadah. Persyaratan sanitasi wadah diperketat
dengan mengacu pada CPPOB Formula bayi-2011 dalam hal panduan untuk
menyiapkan dan menyajikan formula bayi, khususnya cara membersihkan dan
sanitasi peralatan. Volume wadah dimunculkan dalam parameter tersendiri dan
persyaratan dibuat lebih ketat yaitu hanya berisi satu porsi untuk menghindari
dilakukannya penuangan. Penuangan berisiko terjadi kontaminasi. Beattie dan
Anderton (2001) menyarankan agar makanan enteral yang telah direkonstitusi
di dalam blender dimasukkan secara kontinyu ke dalam wadah steril tertutup.
Penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan
meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai
9,3 X 103 CFU/mL. Parameter lain yang khas untuk CPMEB yaitu keterangan
produksi yang harus dicantumkan pada setiap wadah. Produksi makanan enteral
sangat bervariasi dan kekeliruan peruntukkan sangat membahayakan pasien oleh
25
karena itu keterangan produksi harus ditempel pada setiap wadah dan dilakukan
ssecara konsisten..
Aspek penyaluran (distribusi) makanan pada CPPB-IRT tidak
disyaratkan secara khusus dan pada CPPSSB-2011 hanya merupakan bagian dari
obyek pemeriksaan perlindungan makanan. Pada CPMEB dimunculkan dalam
aspek tersendiri agar teramati secara konsisten. Pada proses pembuatan makanan
enteral FRS sebagian besar tidak ada proses yang bersifat mengawet dan makanan
enteral termasuk kategori pangan khusus sehingga kontaminasi harus selalu
dicegah. Menurut Jorge (2000) mikroba penyebab penyakit tumbuh dan
berkembang biak pada suhu 5 sampai 60 0C, sehingga untuk menjaga agar
makanan aman, jangan biarkan makanan berada pada suhu tersebut lebih dari
4 jam.
Pemberian makanan enteral kepada pasien harus dilakukan mengikuti
langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam Standard Operational Procedure
(SOP). Isi SOP harus mengandung unsur higiene sanitasi dan harus selalu ditaati.
Aspek ini tidak dipersyaratkan pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003.
Pada CPMEB dimunculkan pada aspek tersendiri karena berdasarkan penelitian
Best (2008) walaupun makanan enteral telah tersedia dalam keadaan steril dan
pedoman sistem penyajian makanan enteral juga tersedia tetapi tetap terjadi
kontaminasi. Terindikasi bahwa sebagai sumber utama terjadinya kontaminasi
adalah terjadinya kesenjangan antara praktek di lapangan oleh perawat sebagai
petugas pemberian makanan enteral kepada pasien dengan standar yang
direkomendasikan.
Persyaratan aspek ruang produksi khususnya parameter kondisi ruangan
dan parameter letak ruangan dibuat lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan
pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003. Hal ini disebabkan karena
akreditasi rumah sakit mensyaratkan ruang khusus untuk ruang sonde (terpisah
dari dapur gizi). Makanan enteral termasuk pangan berkategori khusus dan ruang
produksi dapat menjadi sumber kontaminasi silang yang potensial jika kebersihan
dan sanitasi tidak terpelihara dengan baik sehingga ruang produksi dikondisikan
sebagai high higiene area (HHA). Persyaratan mengacu pada persyaratan
26
CPPOB Formula bayi-2011. Hasil penyusunan pedoman CPMEB tercantum pada
Lampiran 4.
B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB
Hasil penyusunan panduan audit CPMEB tercantum pada Lampiran 5 yaitu
panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit.
Sedangkan pembahasan penentuan bobot pada aspek dan penetapan kategori hasil
pemeriksaan dibahas pada sub bab ini.
1. Penentuan bobot pada aspek.
Penentuan bobot pada aspek dilakukan dengan cara menetapkan kelompok
aspek utama. Penetapan kelompok aspek utama dilakukan dengan cara
menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan obyek pemeriksaan pada
CPPSSB-2011, group utama pada CPPB-IRT 2003 dan titik kritis dalam HACCP.
Proses dan hasil penetapan kelompok utama CPMEB dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung.
CPPSSB- 2011 CPPB-IRT 2003 Pustaka
pendukung
Usulan
CPMEB
No. Obyek pemeriksaan
Group
Group & unsur (*) Aspek
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
9.
11.
AIR BERSIH
Sumber air bersih
aman, jumlah cukup
dan bertekanan.
FASILITAS CUCI
TANGAN DAN
TOILET
Jumlah cukup,
tersedia sabun,
nyaman dipakai dan
mudah dibersihkan.
D.
SUPLAI AIR
1.Sumber air
2.Penggunaan air
3.Air yang kontak
langsung dengan
pangan.
_
Fasilitas
sanitasi
27
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
15.
KARYAWAN
Semua karyawan
yang bekerja bebas
dari penyakit menular
seperti penyakit kulit,
bisul, luka terbuka
dan ISPA.
G.
KESEHATAN DAN
HIGIENE
KARYAWAN
1.Kesehatan karyawan
meliputi pemeriksaan
kesehatan dan
kesehatan karyawan
Higiene
karyawan
16.
Tangan selalu dicuci
bersih, kuku dipotong
pendek, perilaku
higienis dan bebas
kosmetik
2.Kebersihan karyawan
meliputi kebersihan
badan, pakaian dan
tangan serta
perawatan luka.
3.kebiasaan karyawan
meliputi perilaku
karyawan
18.
MAKANAN
Sumber makanan,
keutuhan dan tidak
rusak.
H.
PENGENDALIAN
PROSES 1.Penetapan spesifikasi
bahan baku.
2.Penetapan komposisi
dan formulasi bahan.
3.Penetapan cara
produksi yang baku.
4.Penetapan spesifikasi
Kemasan.
5.Penetapan tanggal
kadaluarsa dan kode
produksi.
_
Pengendali
an Proses.
20.
PERLINDUNGAN
MAKANAN
Penanganan makanan
yang potensi
berbahaya pada suhu,
cara dan waktu yang
memadai selama
penyimpanan,
peracikan, persiapan
penyajian dan
pengangkutan
makanan serta
melunakkan makanan
beku sebelum
dimasak (thawing).
Suhu
penyimpan-
an makanan
enteral
Penyimpan
an
28
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
40. Tersedia Lemari
pendingin mencapai
suhu – 100C
dilengkapi dengan
thermometer
pengontrol
24.
PERALATAN
MAKAN DAN
MASAK
Proses pencucian
melalui tahapan
mulai dari
pembersihan sisa
makanan,
perendaman,
pencucian dan
pembilasan
Pencucian
dan sanitasi
blender
Peralatan
produksi
25.
26.
Bahan racun/
pestisida disimpan
tersendiri di tempat
yang aman,
terlindung,
menggunakan label/
tanda yang jelas
untuk digunakan.
Perlindungan
terhadap serangga,
tikus, hewan
peliharaan dan hewan
pengganggu lainnya.
F.
PENGENDALIAN
HAMA
1.Hewan peliharaan
2.Pencegahan
masuknya hama
3.Pemberantasan hama
_
Pengen-
dalian
hama
35.
Tersedia kendaraan
khusus pengangkut
makanan
_
_
Penyaluran
makanan
Akreditasi rumah
sakit mensyaratkan
ruang khusus bagi
dapur sonde.
_
Ruang
pengolahan
hanya untuk
mempersiap
kan dan
memblender
makanan
enteral
Ruang
produksi
(*) Sumber : Oliveira et al (2001)
29
Berdasarkan kajian data pada Tabel 2, obyek pemeriksaan pada
CPPSSB-2011, group & unsur pada CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung
dapat dikonversikan kedalam aspek dan parameter CPMEB. Dengan demikian
aspek yang kemungkinan dapat dikelompokkan dalam aspek utama CPMEB
adalah fasilitas sanitasi; higiene karyawan; pengendalian proses; penyimpanan;
peralatan produksi; pengendalian hama; penyaluran makanan; dan ruang
produksi.
Aspek fasilitas sanitasi dan aspek pengendalian hama sudah menjadi
persyaratan pada penyelenggaraan makanan unit gizi secara menyeluruh sehingga
tidak sulit untuk dipenuhi. Dengan demikian aspek fasilitas sanitasi dan aspek
pengendalian hama tidak dijadikan sebagai aspek utama. Higiene karyawan, pada
CPPSSB-2011 berbobot 5 dan pada CPPB-IRT 2003 menjadi aspek utama
sehingga pada CPMEB pun perlu dimasukkan dalam aspek utama. Proses
pembuatan makanan enteral sangat sederhana, distribusi pendek, konsumennya
jelas, mudah dilaksanakan dan jika dibuatkan SOP mudah dipahami sehingga
mudah diterapkan. Penetapan spesifikasi bahan baku sudah menjadi persyaratan
pengadaan bahan baku makanan pasien secara keseluruhan. Oleh karena itu
kelompok aspek pengendalian proses tidak dijadikan kelompok utama.
Suhu penyimpanan makanan enteral merupakan titik kritis dalam HACCP
(Oliveira et al 2001), obyek pemeriksaan perlindungan makanan pada CPPSSB-
2011 mempunyai bobot 5 (lima) sehingga aspek penyimpanan layak dimasukkan
kedalam aspek utama. Peralatan pada proses pembuatan makanan enteral sebagian
besar bersentuhan langsung dengan produk dan setelah terjadi kontak tidak ada
proses yang dapat membunuh mikroba sehingga aspek peralatan perlu
dimasukkan dalam aspek utama. Makanan enteral umumnya dibuat 1 (satu) jam
sebelum jadwal distribusi. Jarak antara ruang produksi makanan enteral ke ruang
rawat inap umumnya ditempuh paling lama setengah jam dan dikonsumsi paling
lama 1 (satu) jam kemudian. Waktu antara proses dan konsumsi kurang dari
4 (empat) jam sehingga risiko keamanan pangan rendah karena peningkatan
jumlah mikroorganisme sedikit. Oleh karena itu aspek penyaluran tidak
dimasukkan dalam aspek utama. Ruang produksi harus dikondisikan sebagai high
higiene area sehingga ruang produksi harus menjadi aspek utama. Dengan
30
demikian aspek yang ditetapkan sebagai aspek utama pada pedoman CPMEB draf
1 adalah ruang produksi; peralatan produksi; higiene karyawan; dan penyimpanan.
2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan
Penetapan kategori hasil pemeriksaan dipergunakan untuk menyimpulkan
pemenuhan persyaratan CPMEB. Kesimpulan didasarkan pada nilai total dan
sebaran nilai aspek. Nilai aspek dihitung dengan cara menjumlahkan nilai
parameter pada setiap aspek, dirata-ratakan dan dibulatkan ke atas atau ke bawah.
Nilai total yaitu menjumlahkan nilai seluruh aspek dirata-ratakan dan dibulatkan
ke atas atau ke bawah. Sebaran nilai aspek yaitu menentukan kategori nilai untuk
aspek utama dan aspek lainnya. Penilaian akhir dikelompokkan ke dalam kategori
B (baik), C (cukup) dan K (kurang). Dengan memadukan cara penilaian akhir
CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003, maka pada CPMEB dapat dilakukan dengan
cara seperti yang tercantum pada Tabel 3.
Pada CPPSSB-2011 disebutkan bahwa persyaratan higiene dan sanitasi
perusahaan jasaboga golongan B dinyatakan memenuhi persyaratan jika mendapat
nilai akhir minimal 83 dari nilai total 92 atau 90,2 %. Jika nilai akhir dibawah
70 % maka kepada pengusaha jasaboga diminta untuk menghentikan kegiatannya
dan segera memperbaiki diri dalam waktu 24 jam. Bila tidak dapat memenuhi
peringatan tersebut dapat berakibat pencabutan sementara izin usaha dari
Pemerintah Daerah/Administrator Pelabuhan. Jika nilai akhir berada diantara
keduanya maka harus segera memperbaiki, didahului dengan aspek utama
(Kementerian Kesehatan 2011).
Penilaian akhir pada CPPB-IRT 2003 diklasifikasikan menjadi tiga
golongan yaitu golongan baik bila empat group utama semuanya mendapat nilai
baik dan group lainnya maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai kurang; golongan
cukup bila 4 (empat) group utama mendapat nilai baik atau cukup dan group
lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai cukup; golongan kurang bila tidak
memenuhi kriteria cukup (BPOM 2003). Panduan penilaian akhir CPMEB
disusun berdasarkan pada perpaduan antara pedoman penilaian akhir CPPSSB
2011 dan CPPB-IRT 2003.
31
Tabel 3. Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011,
CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB.
CPPSSB-2011 CPPB-IRT 2003 CPMEB
Kisaran nilai tergantung bobot:
Bobot 1 : nilai 0 atau 1
Bobot 2 : nilai 0, 1 atau 2
Bobot 3 : nilai 0,1,2 atau 3
Dan seterusnya. Tidak terdapat
penjelasan kriterian nilai.
Penilaian dikategorikan:
B (baik), C (cukup) atau K
(kurang).
Terdapat penjelasan tentang
kriteria nilai.
Penilaian dikategorikan
B (baik), C (cukup) atau K
(kurang).
Disusun penjelasan tentang
kriteria nilai.
Penetapan bobot :
Obyek yang berbobot 3, 4 dan 5
harus segera diatasi jika terjadi
penyimpangan (obyek utama)
Penetapan bobot :
Telah ditetapkan group
utama yaitu group yang
menjadi prioritas utama
untuk diperbaiki.
Penetapan bobot:
Ditetapkan aspek utama
yaitu aspek yang menjadi
prioritas utama untuk
diperbaiki.
Penilaian akhir
Sertifikat laik higiene untuk
jasaboga golongan B diberikan
bila:
-memperoleh nilai 83 dari 92 nilai
total atau mencapai nilai 90,2%.
-Harus segera memperbaiki
penyimpangan obyek yang
berbobot 3, 4 dan 5 paling lama
10 hari.
-Jika score penyimpangan ≤15%
semua penyimpangan bobot 1 & 2
harus segera diperbaiki sampai
waktu pemeriksaan berikutnya.
-Jika penyimpangan 16-30%
objek berbobot 1 & 2 harus segera
diperbaiki dengan waktu
maksimal 30 hari.
-Jika penyimpangan > 30%
kegiatan harus dihentikan dan
segera memperbaiki diri dalam
waktu 24 jam. Jika tidak
dilaksanakan ijin dicabut
Penilaian akhir didasarkan
atas sebaran nilai aspek
utama dan aspek lainnya.
B (baik) jika 4 group utama
semuanya mendapat nilai B
dan group lainnya maksimal
2 yang mendapat nilai
kurang (4B dan 6C-2K) .
C (cukup) jika 4 group
utama mendapat nilai B atau
C dan group lainnya
minimal 5 yang mendapat
nilai cukup (4C dan 5C-3K).
K (kurang jika tidak
memenuhi kategori cukup.
Penilaian akhir didasarkan
atas nilai total dan sebaran
nilai aspek utama dan
aspek lainnya. Nilai total
maksimal 39 (13 aspek
x 3)
B (baik) jika mencapai
nilai minimal 90% dari
total yaitu 35. Jika
dikonversi kedalam
sebaran nilai aspek yaitu
bila seluruh aspek utama
bernilai B dan minimal 5
(lima) aspek yang lain juga
memperoleh nilai B serta
tanpa ada nilai K (4B dan
5B-4C )
C (cukup) jika mencapai
nilai minimal 77% dari
nilai total yaitu 30. Jika
dikonversi ke dalam
sebaran nilai aspek yaitu
bila seluruh aspek utama
bernilai baik dan minimal
9 (sembilan) aspek yang
lain memperoleh nilai C
serta tanpa ada nilai K (4B
dan 9C ).
K (kurang) jika tidak
mencapai nilai cukup.
32
Makanan enteral termasuk pangan dengan kategori khusus sehingga
dalam penentuan penilaian akhir dibuat lebih ketat dibandingkan dengan
pangan siap saji dan industri rumah tangga. Bentuk pengetatan mengacu pada
peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi
dan Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus pasal 6 ayat 1. Pada pasal
tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Formula Bayi
dan/atau Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus wajib menerapkan Cara
Produksi yang Baik dan Sistem Pengendalian Bahaya Pada Titik Kritis (Hazard
Analysis and Critical Control Point/HACCP) (BPOM 2011a). Bentuk pengetatan
pada CPMEB yaitu seluruh aspek utama harus bernilai B (baik) dan tidak
diperbolehkan ada nilai K (kurang) untuk seluruh aspek lainnya. Persyaratan ini
hanya dapat dipenuhi oleh rumah sakit yang pelayanan gizinya telah terakreditasi.
Pemenuhan persyaratan akreditasi pelayanan gizi yaitu antara lain dapur sonde
harus terpisah dari dapur gizi.
Pada CPMEB terdapat 13 aspek yang harus dinilai. Total nilai akhir
maksimum dicapai bila semua aspek mempunyai kategori baik (B) yaitu nilai 3.
Dengan demikian total nilai akhir maksimum menjadi 39. Mengacu pada CPPSSB
2011 yaitu bahwa jasaboga golongan B akan mendapatkan sertifikat kelaikan
fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
minimal 90,2 % maka total nilai akhir minimal yang harus dicapai untuk
mendapatkan kategori baik pada pemenuhan CPMEB yaitu 90% dari 39 sama
dengan 35. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek
utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B
serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C).
Mengacu pada CPPSSB 2011 kembali yaitu bahwa perusahaan/unit
pengelolan tidak boleh beroperasi bila nilainya kurang dari 70 % , maka
pemenuhan persyaratan CPMEB dikatakan cukup bila total nilai akhir minimal
yang harus dicapai 70 % dari 39 sama dengan 27. Konversi nilai tersebut ke dalam
sebaran nilai aspek menjadi 1B-3C dan 9C. CPMEB mensyaratkan seluruh aspek
utama bernilai B dan tanpa nilai K oleh karena itu minimal sebaran nilai aspek
yaitu 4B dan 9C=30 atau 77 % dari 39. Dengan demikian pemenuhan
33
persyaratan CPMEB dikatakan berkategori cukup bila total nilai akhir
minimal 30. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu seluruh aspek
utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C
serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C); dan dikatakan kurang bila belum memenuhi
kategori cukup.
C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB DI
RUMAH SAKIT.
1. Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X.
a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral
Di lingkungan rumah sakit X yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan makanan pasien adalah instalasi gizi. Instalasi gizi memproduksi
makanan dalam bentuk padat, lunak dan cair. Unit penyedia makanan enteral di
rumah sakit X disebut dengan unit produksi makanan cair karena pada dasarnya
makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair.
Petugas yang mengolah makanan cair berjumlah dua orang dengan jadwal
terbagi menjadi 2 (dua) shift. Shift pagi mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00
dan shift sore mulai pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Dengan demikian dalam
ruang tersebut hanya ada satu orang setiap shiftnya. Latar belakang pendidikan
petugas tersebut yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan tataboga/gizi
dengan dilengkapi pelatihan pelayanan prima yaitu pelatihan dengan materi
kursus higiene sanitasi makanan. Persyaratan kesehatan karyawan dan
pemeriksaan kesehatan telah ditetapkan sebagaimana mestinya yaitu dengan
adanya pemeriksaan kesehatan secara rutin setahun sekali. Kebersihan karyawan
dirawat dengan baik dan selalu diingatkan oleh beberapa tulisan yang ditempel di
ruang produksi. Tulisan tersebut antara lain: “cuci dahulu tangan anda sebelum
menjamah makanan”, “ gunakan alat pelindung diri (celemek/topi)”, “ perhatian-
setiap selesai bekerja semua peralatan wajib dibersihkan”.
Dalam melaksanakan tugasnya, pengolah makanan cair dimonitor oleh
2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang ahli gizi memonitor tentang proses produksi
mulai dari peracikan sampai dengan distribusi dan ahli gizi yang lain memonitor
34
penerapan higiene dan sanitasi. Racikan atau resep disusun oleh ahli gizi sesuai
dengan kebutuhan diet yang direkomendasikan dokter.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral.
Produksi makanan cair harus dalam ruang khusus yang dijaga higiene dan
sanitasinya atau disebut high higiene area (HHA). Hal ini sudah diterapkan oleh
rumah sakit X. Unit produksi makanan cair menempati ruang khusus yang masih
berada dalam lingkungan dapur gizi. Antara ruang produksi makanan cair dan
lingkungan dapur gizi dipisahkan oleh sebuah pintu. Ruang tersebut terbagi
menjadi dua ruangan. Antar ruangan juga dipisahkan oleh sebuah pintu. Luas
ruang pertama 7,6 m2, dipergunakan untuk pembuatan snack (tidak ada
hubungannya dengan produksi makanan enteral). Ruangan ke dua adalah ruang
yang benar-benar dipergunakan untuk produksi makanan enteral. Luas ruangan
tersebut 10,64 m2. Sarana yang terdapat dalam ruangan ini yaitu tempat cuci
tangan (wastafel), meja persiapan, meja produksi, meja distribusi, lemari gantung
untuk menyimpan bahan baku kering dan peralatan serta alat pemanas air yang
dilengkapi dengan filter. Luas ruangan yang dipergunakan untuk penempatan
sarana seluas 3.7 m2 sehingga ruang kosong yang digunakan untuk karyawan
bekerja seluas 6,94 m2. Karyawan yang bertugas dalam ruangan tersebut satu
orang setiap shift, sehingga berdasarkan persyaratan luas ruang telah cukup
memadai. Suhu ruangan berkisar antara 25 sampai 30 0C. Sumber penerangan
selain berasal dari lampu juga berasal dari sinar yang masuk dari jendela. Ruang
produksi dilengkapi dengan jendela dorong yang menghadap ke bagian ruang
distribusi makanan. Ruang distribusi makanan adalah ruang dimana petugas yang
akan mendistribusikan makanan antri untuk mengambil makanan yang harus
didistribusikan ke pasien sesuai dengan pesanan. Denah ruang produksi makanan
cair dapat dilihat pada Lampiran 6.
c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi
Penerimaan bahan baku di rumah sakit X didasarkan pada standar
spesifikasi yang telah ditetapkan. Bahan baku makanan cair diperoleh dari gudang
bahan baku yang juga menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada
35
standar spesifikasi yang dikhususkan untuk bahan baku makanan cair. Air yang
dipergunakan untuk mengolah makanan cair sama dengan yang digunakan untuk
keperluan lain dan telah memenuhi persyaratan air minum. Sebelum dipergunakan
untuk mengolah makanan cair, air tersebut dilewatkan ke dalam filter dan
selanjutnya masuk ke dalam alat pemanas air yang dapat memanaskan air hingga
suhu 90 0C. Filter air dibersihkan secara berkala. Fasilitas sanitasi yang lain yaitu
tempat sampah untuk kebutuhan seluruh dapur gizi jumlahnya cukup tetapi ada
beberapa yang terbuka.
Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan cair di rumah
sakit X terdiri dari dua buah gelas ukur yang terbuat dari plastik, pengaduk dari
plastik, pisau, pemeras jeruk dari bahan plastik, saringan dari bahan plastik, alat
penghasil air panas dan blender. Blender yang digunakan terbuat dari bahan
stainless steel dengan volume cup sebesar 2,5 liter. Semua peralatan disimpan di
lemari tertutup kecuali blender. Blender diletakkan di luar ruang produksi yaitu di
dapur gizi, dipasang secara permanen di tempatnya, tidak dapat dipindah-pindah.
Makanan enteral yang diproduksinya hanya makanan enteral FRS dengan
jenis produksi dan bahan baku yang dipergunakan antara lain : a). makanan cair
untuk diabetes melitus (DM), bahan bakunya adalah susu rendah lemak, susu
full cream, kuning telur, tepung maizena, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;
b) makanan cair rendah protein (RP), bahan bakunya adalah tepung maizena, gula
pasir, susu full cream dan jeruk; c) makanan cair DM rendah laktosa, bahan
bakunya adalah susu rendah laktosa, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;
d) makanan cair biasa, bahan bakunya adalah susu full cream, gula pasir, kuning
telur, jeruk dan beberapa jenis makanan cair yang lain dengan bahan baku hampir
sama. Secara umum pengolahan makanan cair dilakukan dengan cara mencampur
bahan baku kering kemudian menambahkan air panas 90 0C dan diaduk rata.
Pencampuran dilakukan dalam gelas ukur plastik. Setelah pencampuran suhu
makanan cair berkisar antara 70 sampai 80 0C. Proses produksi makanan cair yang
prosesnya harus menggunakan blender misalnya makanan cair bebas laktosa
dengan bahan baku telur, kacang hijau, wortel, jeruk, tepung beras dan gula pasir
pemasakan dan pemblenderan dilakukan di luar ruang produksi karena dalam
ruang produksi tidak terdapat kompor dan blender telah terpasang secara
36
permanen di luar ruang produksi. Makanan enteral siap konsumsi ditempatkan
dalam plastik bening jenis PE (Polietilene) dengan volume sekitar 250 mL (untuk
satu kali konsumsi). Sebetulnya tersedia alur proses produksi yang baku dan
ditaati tetapi alur proses belum berupa SOP, hanya berupa catatan sederhana
dalam buku besar.
d. Distribusi produk dan pengawasan
Jumlah makanan enteral yang diproduksi didasarkan pada pemesanan
perawat di unit ruang rawat inap ke ahli gizi di unit ruang rawat inap. Pesanan
tersebut diterjemahkan ke dalam jenis diet makanan enteral dan penetapan bahan
baku. Selanjutnya pesanan diserahkan ke ahli gizi unit penyelenggaraan makanan
yang dalam hal ini adalah unit makanan cair untuk diolah. Hasil olahan
didistribusikan sesuai dengan catatan/pesanan dari ruang rawat inap. Alat yang
dipergunakan untuk mendistribusikan makanan enteral yaitu rantang. Pemberian
makanan cair maupun makanan lunak kepada pasien dilakukan oleh perawat.
Makanan diberikan pada jam yang telah ditentukan. Tersedia SOP pemberian
makanan enteral kepada pasien.
e. Pengendalian hama
Pengendalian hama untuk seluruh unit di rumah sakit X dilakukan oleh
perusahaan out sourcing dibawah koordinasi urusan rumah tangga. Jika ada
permasalahan, unit yang bersangkutan akan melaporkan ke urusan rumah tangga
dan dilanjutkan ke perusahaan tersebut untuk ditangani.
2. Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.
Pada tanggal 14 Mei 2009 RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
mendapatkan sertifikat akreditasi sebagai pengakuan bahwa rumah sakit telah
memenuhi standar pelayananan. Pelayanan yang terakreditasi meliputi
administrasi dan manajemen; pelayanan medis; pelayanan gawat darurat;
pelayanan keperawatan; rekam medis; farmasi; K3; radiologi; laboratorim; kamar
operasi; pengendalian infeksi di rumah sakit; perinatal risiko tinggi; pelayanan
37
rehabilitasi medik; pelayanan gizi; pelayanan intensif dan pelayanan darah. Pada
tahun 2012 meningkatkan visinya menjadi rumah sakit berstandar internasional,
rujukan utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit
dan masyarakat.
Dalam rangka mencapai visi rumah sakit dan mempertahankan sertifikat
akreditasi, Unit Gizi menyusun misi yang isinya adalah menyelenggarakan
pelayanan gizi yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan pasien untuk
menunjang aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta meningkatkan
kualitas hidup; meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;
mengembangkan penelitian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) terapan. Pelaksanaan misi antara lain berpedoman pada
persyaratan akreditasi rumah sakit. Dalam akreditasi rumah sakit tahun 2005
standar 4 pedoman 1 (P1) dipersyaratkan tersedia tempat yang cukup untuk
melaksanakan pelayanan gizi. Ada 12 item yang dipersyaratkan dalam standar 4
P1 tersebut, salah satu diantaranya yaitu tersedianya ruang/tempat dapur susu
(item g). Dapur susu adalah suatu ruangan yang dipergunakan untuk
memproduksi makanan cair baik yang dikonsumsi melalui oral maupun enteral.
Dalam rangka memenuhi persyaratan akreditasi, pada tahun 2005 dibangun
ruangan khusus untuk dapur susu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
dapur susu ini disebut dengan dapur sonde yaitu unit yang memproduksi makanan
enteral.
a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral.
Pengelolaan unit penyedia makanan enteral atau dalam hal ini dapur sonde,
dimonitor oleh ahli gizi yang bertugas di urusan penyediaan makanan diet
(Ur Diamak Diet). Petugas yang mengelola dapur sonde terdiri dari pengatur
administrasi penyediaan makanan enteral /sonde dan pengatur pelayanan penyedia
makanan enteral/sonde. Tugas pokok pengatur administrasi yaitu membantu
menghitung macam diet dan jumlah orang yang dilayani; membantu
menginventarisasi peralatan dan perlengkapan dapur enteral/sonde yang tersedia;
membuat etiket makanan enteral/sonde; serta membantu dalam pencatatan dan
pelaporan. Sedangkan tugas pengatur pelayanan penyedia makanan enteral /sonde
38
yaitu mengecek stok bahan dan mengambil bahan di gudang apabila bahan
tersebut kurang; berkoordinasi dengan ahli gizi di Ur Diamak Diet dan pelayanan
ruang rawat inap; mengolah makanan dengan jumlah sesuai pesanan dan diolah
berdasarkan SOP yang ada; mempersiapkan distribusi makanan enteral yang telah
diolah; membersihkan peralatan masak; dan mengecek persediaan bahan baku dan
melengkapinya untuk dinas berikutnya dengan cara memesan kepada bagian
gudang.
Tingkat pendidikan pengatur administrasi adalah diploma tiga gizi dan
tingkat pendidikan pengatur pelayanan adalah SMK jurusan tataboga. Jadwal
tugas pegawai terbagi menjadi 3 (tiga) shift. Shift pertama pukul 07.00 sampai
dengan pukul 15.30, shift kedua pukul 12.00 sampai dengan pukul 19.30 dan shift
ketiga pukul 20.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengatur administrasi selalu
bertugas pada shift pertama dibantu oleh seorang pengatur pelayanan. Pada shift
kedua dan ketiga yang bertugas hanya satu orang yaitu pengatur pelayanan
penyedia makanan enteral/sonde.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral
High higiene area sudah diterapkan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta. Dapur sonde dibangun dalam ruangan khusus yang masih terletak di
dalam lingkungan dapur gizi dengan dipisahkan oleh pintu. Pintu dibuat membuka
keluar. Dapur sonde terbagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang untuk cuci tangan,
ruang untuk cuci bahan baku dan peralatan serta ruang untuk pengolahan. Petugas
dan siapapun yang masuk ruang tersebut alas kaki harus dilepas.
Ruang cuci tangan terletak paling depan dengan ukuran 2,1 m x 1 m
(2,1 m2). Ruangan ini berisi wastafel, lap basah, lap kering, sabun cuci tangan dan
keset. Terdapat pedoman cara cuci tangan yang baik ditempel diatas wastafel.
Ruang sebelah dalamnya sesudah ruang cuci tangan adalah ruang pengolahan.
Antara ruang cuci tangan dan ruang pengolahan dipisahkan oleh sebuah pintu
yang membuka ke dalam ruang pengolahan. Luas ruang pengolahan 12,8m2
dan
dipergunakan untuk peralatan seluas 3,84 m2 sehingga luas ruangan yang bebas
dari peralatan adalah 8,96 m2. Peralatan yang terdapat di dalamnya antara lain
pendingin ruangan 1 PK; lemari penyimpanan hot & cool thermobox; tempat
39
sampah; meja persiapan sekaligus sebagai meja proses yang terbuat dari bahan
stainlesteel; meja distribusi terbuat dari stainlessteel; meja kerja dan kursi; dan
lemari penyimpan formulir. Di bawah meja persiapan dipergunakan untuk
menyimpan telur yang sudah tertata dalam rak telur dan kontainer plastik besar.
Kontainer plastik berisi gula pasir, tepung maizena, susu bubuk yang masih
terkemas dan beberapa stoples. Stoples dipergunakan untuk mewadahi produk
kering yang telah terbuka dari kemasannya. Di bawah meja distribusi dibuat
lemari tertutup untuk menyimpan makanan enteral FK, margarin dan bahan kering
lainnya yang masih terkemas utuh.
Ruang cuci bahan baku dan peralatan terletak disamping ruang cuci tangan
memanjang ke belakang sehingga terhubung dengan ruang pengolahan. Kedua
ruangan tersebut dihubungkan oleh sebuah pintu yang terbuka ke arah ruang
pengolahan. Luas ruang cuci bahan baku dan peralatan yaitu 3,8m2. Dalam ruang
cuci bahan baku dan peralatan terdapat bak cuci piring terbuat dari stainlesteel
yang dilengkapi dengan sabun dan sabut cuci piring; rak piring terbuka; selang
pipa gas yang tidak berfungsi karena dimatikan alirannya. Lampu yang terpasang
di ruang produksi ada tiga kotak setiap kotak berisi dua lampu setiap lampu
mempunyai kekuatan penerangan 25 watt, ruangan terlihat cukup terang ditambah
dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang produksi. Denah dapur gizi
dapat dilihat pada Lampiran 7 dan denah dapur sonde dapat dilihat pada
Lampiran 8.
c. Bahan baku dan peralatan
Bahan baku makanan enteral diperoleh dari gudang bahan baku yang juga
menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada standar spesifikasi yang
dikhususkan untuk bahan baku makanan enteral.
Bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral di
dapur sonde terbagi menjadi dua yaitu bahan baku basah dan kering. Bahan baku
basah antara lain daging sapi, ayam, tempe, tahu, wortel, labu siam dan telur.
Bahan baku kering antara lain beras, susu full cream, susu skim, gula pasir, garam,
tepung maizena, tepung beras, mineral mix, makanan enteral formula komersial.
Dapur sonde selain sebagai tempat untuk memproduksi makanan enteral juga
40
kadang-kadang untuk mempersiapkan menu sarapan pagi seperti roti bakar
sehingga di dalam ruangan tersebut juga tersedia bahan baku roti tawar dan
margarin yang bukan untuk keperluan makanan enteral.
Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral yaitu
antara lain blender, timbangan digital, lemari penyimpanan hot & cool thermobox,
teko plastik volume 2 liter dan 4 liter, gelas ukur plastik volume 2 liter dan 1 liter,
plastik wrapping film, plastik bening jenis PE dan sendok kayu. Semua peralatan
tersebut disimpan di rak piring terbuka yang terletak di ruang cuci bahan baku dan
peralatan.
d. Jenis dan proses produksi
Makanan enteral yang sering diproduksi dapur sonde dengan menggunakan
pengelompokkan yang diterapkan oleh Almatsier (2005) yaitu makanan cair
penuh FRS hasil blender dan makanan cair penuh FRS dengan susu full cream
atau skim. Di dapur sonde RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta makanan cair
penuh FRS hasil blender dikenal dengan nama makanan saring tanpa susu,
sedangkan produk makanan cair penuh FRS dengan susu terdiri dari makanan cair
rumah sakit, makanan cair formula WHO dan makanan cair diet lambung 1.
Makanan cair tersebut dikonsumsi melalui rute oral atau enteral tergantung
kondisi pasien. Setiap hari dapur sonde memproduksi kurang lebih 50 porsi
makanan enteral siap konsumsi. Makanan enteral formula WHO (untuk pasien
yang memerlukan diet tinggi energi dan tinggi protein) didistribusikan dalam
bentuk kering, dikemas per porsi dalam plastik bening jenis PE dan siap untuk
dicairkan. Pencairan dilakukan di ruang rawat inap. Makanan enteral FK
didistribusikan masih dalam kemasan primer (kemasan sekunder dilepas).
Pencairan dilakukan di ruang rawat inap dengan prosedur pencairan mengikuti
petunjuk penyajian atau sesuai saran dokter.
Proses pembuatan makanan enteral yang dihasilkan dapur sonde pada
prinsipnya sama yaitu seluruh bahan dicampurkan, penambahan air, dimasak bila
perlu, dihaluskan (diblender) bila perlu dan disaring bila perlu. Bahan baku
makanan saring tanpa susu adalah beras putih giling, daging sapi atau ayam,
tempe atau tahu, wortel, labu siam, sedikit kecap dan santan. Karena bahan
41
bakunya adalah bahan mentah dan tidak halus maka diperlukan pemasakan dan
pemblenderan. Seluruh bahan kecuali beras dicampur menjadi satu, ditambah
dengan air dan dimasak. Setelah masak, ditunggu sampai dingin kemudian
ditambah nasi dan diblender. Selanjutnya hasil blenderan tersebut disaring. Bahan
baku makanan cair rumah sakit yaitu susu full cream, susu rendah lemak, gula
pasir, kuning telur ayam dan minyak jagung. Proses pembuatan makanan cair
rumah sakit tidak melalui pemasakan karena bahan bakunya siap untuk
dikonsumsi. Bahan baku kering dicampur menjadi satu, ditambah kuning telur dan
minyak jagung sambil diaduk lagi sampai homogen dan ditambah air mendidih.
Proses pembuatan makanan cair formula WHO juga tidak melalui pemasakan.
Seluruh bahan baku yang terdiri dari susu full cream, gula pasir, minyak kelapa
dan mineral mix dicampur kemudian ditambah air mendidih. Pencampuran
dilakukan di ruang rawat inap. Proses pembuatan makanan cair diet lambung 1
melalui pemasakan karena salah satu bahan bakunya tidak siap untuk langsung
dikonsumsi yaitu tepung maizena. Bahan baku lainnya adalah susu full cream,
gula pasir. Skema proses produksi masing-masing makanan cair dapat dilihat pada
Gambar 3 dan 4 serta SOP dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 11 dan 12.
e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk
Jumlah dan jenis produksi makanan enteral yang diolah di dapur sonde
didasarkan pada pesanan makanan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan
rekomendasi dari dokter, penanggungjawab ruang rawat inap memesan makanan
enteral ke seksi penyedia makanan Unit Gizi kemudian dilanjutkan ke penyedia
makanan diet. Pengatur administrasi penyedia makanan diet dibantu pengatur
administrasi penyedia makanan enteral akan menterjemahkan kebutuhan gizi yang
direkomendasikan dokter ke dalam kebutuhan bahan pangan. Selanjutnya
pengatur administrasi makanan enteral menyusun bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk pesanan tersebut dan pengatur pelayanan penyedia makanan enteral akan
memesan bahan baku ke bagian gudang. Telur, susu, tepung maizena, tepung
beras, garam, gula pasir, dipesan untuk keperluan dua hari sedangkan makanan
enteral FK dipesan untuk keperluan satu minggu. Selanjutnya bahan baku tersebut
disimpan di dapur sonde. Bahan baku basah seperti sayur, tempe, tahu, ayam dan
42
daging sapi disimpan di dapur gizi. Bahan baku basah datang setiap pagi dan
disimpan di lemari pendingin untuk bahan yang akan diolah siang atau sore.
Sayur-sayuran disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4,50C, daging dengan
suhu 5 0 C dan ayam disimpan di freezer dengan suhu 20
0 C. Tempe dan
tahu disimpan pada suhu ruang. Alur pemenuhan makanan pasien dapat dilihat
pada Lampiran 13 dan alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral
dapat dilihat pada Lampiran 14.
Pengadaan bahan baku untuk makanan enteral bergabung dengan bahan
baku untuk makanan lain. Penentuan rekanan sebagai suplier dilakukan oleh
Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat (BEKANGAD), akan tetapi rumah
sakit diberi hak untuk memeriksa kembali mutu bahan baku yang diterima. Acuan
mutu bahan baku menggunakan standar spesifikasi yang telah dibuat oleh rumah
sakit. Contoh prosedur pemeriksaan telur sebagai bahan baku dapat dilihat pada
Lampiran 15. Selanjutnya diikuti dengan tes untuk bahan baku yang mungkin
menggunakan bahan tambahan terlarang seperti rhodamin B, metanil yellow,
boraks dan formalin. Tes bahan tambahan terlarang menggunakan metode
screening cepat yaitu test kit. Prosedur test kit bahan tambahan terlarang bagi
makanan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, 18 dan 19.
Sistem distribusi yang diterapkan di dapur sonde menggunakan sistem
desentralisasi dan sentralisasi. Desentralisasi diterapkan untuk makanan enteral
FK dan makanan cair tinggi energi dan tinggi protein (formula WHO). Formula
tersebut akan dicairkan di ruang rawat inap. Sentralisasi diterapkan untuk formula
lain yang membutuhkan pemasakan/perebusan dalam prosesnya. Distribusi
dilakukan dengan cara menempatkan makanan enteral ke dalam wadah rantang,
mangkok atau botol dan ditutup dengan film/plastik pembungkus (wrapping film).
Laporan hasil pengujian tentang film/plastik pembungkus dapat dilihat pada
Lampiran 20. Wadah dipersiapkan oleh bagian ruang rawat inap dan dibawa ke
dapur sonde satu jam sebelum makanan enteral akan disajikan. Makanan enteral
akan dipindahkan ke tempat penyajian yang tersedia di ruang rawat inap.
Pemberian makanan enteral kepada pasien dilakukan oleh perawat dengan
mengikuti SOP yang telah ditetapkan.
43
*) Bahan :
- Daging sapi/ayam
- Tempe/tahu
- Wortel
- Labu siam
- Kecap
- Santan
*) Bahan :
- Susu full cream
- Susu skim
- Gula pasir
- Minyak jagung
PPPe
Bahan baku *)
Perebusan
Penghancuran dengan blendr
Pencampuran bahan kering
Penempatan di wadah
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian per satu porsi
Pemberian kepada pasien
Air
mendidih
Makanan saring tanpa
susu
Penyaringan
Pencampuran sampai merata
Penambahan kuning telur
Penempatan di wadah
Pemberian kepada pasien
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Bahan baku *)
Pembagian persatu porsi
Makanan cair
rumah sakit
Air
mendidih
Penyaringan
Nasi
Ampas
Ampas
Gambar 3 : Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu (kiri) dan
makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit) (kanan).
44
*) Bahan :
- Susu full cream
- Gula pasir
- Tepung maizena
*) Bahan :
- Susu full cream
- Gula pasir
- Mineral mix
Bahan baku *)
Air
mendidih
Makanan cair diet
lambung
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian persatu porsi
Bahan baku per satu porsi *)
Pencampuran bahan kering
Minyak
Pencampuran
Penempatandalam plastik
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Air
mendidih
Pengenceran
Makanan cair formula
WHO
Pemberian kepada pasien
Perebusan
Penyaringan
Penempatan di wadah
Minyak
goreng
Pemberian kepada pasien
Ampas
Penyaringan
Ampas
Gambar 4 : Skema proses pembuatan makanan cair formula susu yaitu diet
lambung 1 (kiri) dan formula WHO (kanan)
45
f. Perawatan kebersihan dan sanitasi
Sumber air yang dipergunakan untuk pengolahan makanan cair, makanan
biasa dan keperluan lain bersumber dari air tanah dan telah memenuhi persyaratan
kesehatan air minum ditunjukkan dengan adanya laporan hasil pemeriksaan
kualitas air bersih secara fisik pada Lampiran 21, secara kimia pada Lampiran 22,
dan secara bakteriologi pada Lampiran 23.
Perawatan kebersihan dan sanitasi ruang produksi dan sarana produksi
makanan enteral dilakukan secara rutin oleh pengatur administrasi dan pengatur
pelayanan dibantu oleh cleaning service. General cleaning (kurve) dilakukan
seminggu sekali pada hari kamis dan dilakukan serentak antara dapur gizi dan
dapur sonde.
g. Pengendalian hama
Pengendalian hama diperlukan untuk menjaga agar lingkungan tidak
menjadi sumber yang kondusif untuk pertumbuhan hama. Serangga, tikus, hewan
peliharaan dan hewan pengganggu lainnya dapat menjadi sumber kontaminasi
mikroba. Menurut Hariyadi dan Dewanti-Hariyadi (2011) anjing, kucing
seringkali terkontaminasi oleh salmonella. Kucing juga merupakan inang bagi
protozoa Toxoplasma gondii yang dapat menyebabkan toksoplasmosis pada
manusia. Serangga, terutama lalat dan kecoa dapat mengkontaminasi makanan
dengan berbagai patogen penyebab tifus, disentri, diare, dan lain-lain. RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta selalu melakukan penangkapan kucing yang
berada di sekitar rumah sakit. Hasil pemantauan pekerjaan pest control
pengendalian kucing dapat dilihat pada Lampiran 24. Pengendalian hama tikus
dilaksanakan dengan cara membuat saringan hama tikus di dalam dan di luar got
tempat pembuangan air limbah.
Ruang produksi makanan enteral atau dapur sonde di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta selalu dalam keadaan bersih, tidak terlihat adanya hama
serangga maupun tikus dan tidak terlihat adanya sarang hama. Beberapa usaha
yang dilakukan untuk menjaga kebersihan dan sanitasi ruang produksi antara lain
alas kaki karyawan selalu dilepas sebelum memasuki ruang produksi; pintu selalu
tertutup dan dipampang tulisan “tutup kembali pintu”; sebelum memasuki ruang
46
pengolahan terpampang tulisan peringatan “ cucilah tangan sebelum dan sesudah
melakukan pengolahan makanan”; dan “cara mencuci tangan yang baik”. .
3. Uji coba pedoman CPMEB
Uji coba pedoman CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji apakah pedoman
dapat diterapkan di unit penyedia makanan enteral rumah sakit dan mudah
dipahami oleh petugas yang terkait. Oleh karena itu pembahasan ditujukan pada
aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan tidak mudah dipahami. Data
hasil uji coba pedoman CPMEB diperoleh dari wawancara dengan penilai dan
pengamatan terhadap kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba yang telah
dilakukan, aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan perlu
penyempurnaan antara lain aspek bangunan dan fasilitas; fasilitas sanitasi;
penyimpanan; dan pengendalian proses.
a. Bangunan dan Fasilitas
Proses makanan cair sangat sederhana sehingga kemungkinan makanan
cair jatuh ke lantai sangat sedikit. Lantai mudah dibersihkan walaupun tidak
dibuat miring. Oleh karena itu pedoman yang menyatakan bahwa lantai
seharusnya dibuat miring dihilangkan sedangkan pedoman lainnya tetap berlaku.
b. Fasilitas Sanitasi
Pemenuhan persyaratan air minum untuk proses pengolahan maupun
ingredient makanan enteral di rumah sakit tidak terlalu sulit sehingga yang semula
mensyaratkan air bersih untuk proses pengolahan dan air minum untuk ingredient
digabung menjadi satu yaitu memenuhi syarat kesehatan air minum. Hal ini
seperti yang tercantum pada keputusan menteri kesehatan nomor 907/2002
tentang syarat dan pengawasan kualitas air minum.
c. Penyimpanan
Pada aspek penyimpanan termasuk di dalamnya adalah pedoman
penyimpanan bahan berbahaya. Hal ini mengacu pada CPPB-IRT 2003. Setelah
47
dilakukan uji coba ternyata hal ini dirasa tidak sinkron sehingga pedoman untuk
penyimpanan bahan berbahaya dialihkan ke aspek pengendalian hama.
d. Pengendalian proses
Pada pedoman disebutkan bahwa tujuan bank sampel adalah untuk
konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. Jumlah produksi
makanan enteral di rumah sakit setiap jenisnya tidak banyak, sehingga adanya
bank sampel tidak efektif. Proses produksi sangat sederhana, rantai distribusi
sangat pendek yaitu dari tempat produksi, perawat langsung ke pasien. Konsumen
dan petugas yang memproduksi sangat jelas karena terdokumentasi datanya
sehingga tanpa bank sampelpun konfirmasi mudah dilakukan bila terjadi
gangguan atau tuntutan konsumen. Oleh karena itu parameter bank sampel tidak
perlu ada.
4. Uji coba panduan audit CPMEB
Uji coba panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji
kemungkinan adanya perbedaan persepsi antar penilai terhadap panduan audit
sarana unit penyedia makanan enteral yang dikembangkan. Perbedaan persepsi
ditunjukkan oleh adanya perbedaan hasil penilaian audit antar penilai pada kondisi
yang sama. Hasil uji coba audit secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
No.
PARAMETER RS I RS II
P1 P2 P3 P4 P5
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I BANGUNAN DAN FASILITAS
1. Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 - B/3
2. Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
4. Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
5. Kontruksi langit-langit C/2 C/2 B/3 B/3 B/3
6. Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
7. Kontruksi pintu, jendela, dan lubang
angin.
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
48
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
8. Kebersihan pintu, jendela dan
lubang angin
B3
B3
B3
B3
B3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 2,9 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3
II RUANG PRODUKSI
1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kondisi ruangan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3
3. Letak ruangan B/3 C/2. B/3 B/3 B/3
4. Penerangan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 3 C/2,5 B/3 C/2,5 B/3
III. PERALATAN PRODUKSI
1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan peralatan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
3. Pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
4. Prosedur penanganan sanitasi
blender B/3 C/2 B/3 B/3 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 C/2,3 B/3 B/2,8 C/2
IV. FASILITAS SANITASI
1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Air yang kontak langsung dengan
pangan
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Tempat sampah C/2 C/2 B/3 B/3 B/3
4. Tempat cuci tangan B/3 K/1 B/3 B/3 B/3
5. Tempat cuci bahan baku dan
peralatan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3
6. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
7. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/ 2,9 C/2,4 B/3 B/3 B/3
V. PENYIMPANAN
1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Penyimpanan makanan enteral - - B/3 C/2 K/1
4. Penyimpanan bahan berbahaya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/2,8 C/2,5
VI.
PENGENDALIAN PROSES
1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Jenis wadah B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
4. Volume wadah B/3 B/3 B/ 3 B/3 K/1
5. Keterangan produksi B/3 B/3 K/1 B/3 K/1
6. Bank sampel - K/1 - C/2 K/1
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 C/2,3 B/2,6 B/2,7 C/1,7
49
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X
dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
(lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (4) (5) (6)
VII. MANAJEMEN PENGAWASAN
1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pengawasan proses produksi dan
higiene sanitasi
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VIII. PENGENDALIAN HAMA
1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
IX. HIGIENE KARYAWAN
1. Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
3. Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
4. Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
5. Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3
6. Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/2,7 B/3
X. PENYALURAN MAKANAN
1. Suhu saat penyaluran makanan B/3 K/1 B/3 B/3 K/1
2. Alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 C/2 B/3 B/3 C/2
XI. PELATIHAN
1. Pengetahuan karyawan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 C/2 C/2
XII. PEMBERIAN MAKANAN
ENTERAL KEPADA PASIEN
1. SOP pemberian makanan enteral
kepada pasien.
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
XIII. PENCATATAN DAN
DOKUMENTASI
1. Pelaksanaan pencatatan dan
dokumentasi
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Total nilai
Keterangan : Kolom P1 adalah penilaian hasil kompilasi dua orang ahli gizi di rumah sakit X
Kolom P2 adalah penilaian peneliti di rumah sakit X .
Kolom P3 dan P4 adalah penilaian ahli gizi di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Kolom P5 adalah penilaian peneliti di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad.
RS I adalah rumah sakit X.
RS II adalah RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
50
Berdasarkan data pada Tabel 4, perbedaan penilaian untuk uji coba
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB di rumah sakit X (RS I) yaitu (1) aspek
ruang produksi untuk parameter kondisi ruangan; dan letak ruangan, (2) aspek
peralatan produksi untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan
prosedur penanganan sanitasi blender, (3) aspek fasilitas sanitasi untuk parameter
tempat cuci tangan; dan tempat cuci bahan baku dan peralatan, (4) aspek
penyimpanan untuk parameter penyimpanan makanan enteral, (5) aspek
pengendalian proses untuk parameter jenis wadah; dan bank sampel, (6) aspek
penyaluran makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan. Sedangkan
di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (RS II) yaitu (1) aspek bangunan dan
fasilitas untuk parameter konstruksi lantai, (2) aspek ruang produksi untuk
parameter penerangan, (3) aspek peralatan produksi untuk parameter
penyimpanan peralatan; pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan parameter
prosedur penanganan sanitasi blender, (4) aspek penyimpanan untuk parameter
penyimpanan makanan enteral (5) aspek pengendalian proses untuk parameter
jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel, (5) aspek
higiene karyawan untuk parameter perilaku karyawan, (6) aspek penyaluran
makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan, (7) aspek pelatihan
untuk parameter pengetahuan karyawan.
a. Bangunan dan Fasilitas
Penilaian kosong pada parameter konstruksi lantai sebetulnya bukan karena
perbedaan persepsi tetapi disebabkan karena ada kata-kata yang membingungkan
yaitu kata “dibuat miring sehingga mudah dibersihkan”. Hal ini sudah dibahas
pada hasil uji coba pedoman CPMEB.
b. Ruang Produksi
Perbedaan persepsi penilaian aspek ruang produksi terdapat pada parameter
kondisi ruang produksi dan parameter letak ruang produksi. Ruang produksi
disyaratkan HHA. Di RS I petugas maupun tamu yang akan memasuki ruang
produksi makanan cair menggunakan sandal khusus. Akan tetapi sandal tersebut
sudah mulai dipakai sejak memasuki dapur di pintu depan. Hal ini memungkinan
51
adanya kotoran dari lantai dapur yang menempel di sandal dan terbawa ke dalam
ruang produksi makanan cair sehingga menjadi sumber kontaminasi. Sebagian
penilai menganggap hal tersebut masih memenuhi persyaratan karena dianggap
sandal dalam keadaan bersih. Ewen et al. (2010) mengatakan bahwa memasuki
ruang persiapan makanan sebaiknya berganti dengan seragam khusus karena
pakaian yang dikenakan sebelumnya dapat membawa mikroba patogen dari luar.
Dalam hal sandalpun kemungkinan demikian juga. Oleh karena itu sebaiknya
memasuki ruang produksi makanan cair menggunakan sandal yang hanya
digunakan untuk ruang produksi makanan cair atau alas kaki dilepas.
Letak ruang produksi makanan cair di RS I sudah terpisah dengan ruang
produksi makanan biasa (dapur gizi) dan dilengkapi dengan pintu pemisah. Akan
tetapi pintu pemisah tersebut terbuka ke dalam ruang produksi sehingga hal ini
memungkinkan debu dan kotoran dari luar dapat terbawa masuk melalui udara ke
dalam ruang produksi. Sebagian penilai menganggap hal tersebut masih
memenuhi persyaratan. Menurut Ewen et al. (2010) pula dikatakan bahwa
penghalang fisik dapat meminimalkan mikroba yang tidak diinginkan berpindah.
Penghalang fisik yang dimaksud adalah rancangan dinding dan pintu.
Perbedaan penilaian pada parameter penerangan di RS II sebetulnya bukan
karena perbedaan persepsi tetapi karena saat penilaian yang tidak sama. Seorang
penilai menilai pada sore hari sehingga tidak ada bantuan sinar matahari dan ada
sebuah lampu yang mati, sementara yang lain melakukan pada siang hari. Tentang
kasus adanya lampu mati seharusnya penilaian yang paling akhir yang dipakai
sedangkan untuk kasus penilaian saat ada dan tidak ada sinar matahari penilaian
dilakukan dengan cara merata-ratakan penilaian yang ada.
c. Peralatan Produksi
Perbedaan persepsi penilaian aspek peralatan produksi terdapat pada
parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender. Peralatan produksi
makanan enteral di RS II disimpan di rak piring terbuka yang diletakkan di ruang
cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering tertutup. Pedoman mensyaratkan
bahwa peralatan harus disimpan di tempat tertutup dengan maksud agar tidak
52
terjadi kontaminasi dari debu sekitarnya. Rak yang terbuka walaupun terdapat
dalam ruang tempat penyimpanan tertutup akan ada kemungkinan terkontaminasi
oleh debu yang berada di sekitar ruangan.
Pembersihan dan sanitasi peralatan serta prosedur penanganan sanitasi
blender yang diterapkan di RS I dan RS II sama yaitu dengan cara dicuci
menggunakan sabun cuci piring, setelah kering disimpan dalam lemari. Pada saat
akan dipergunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C di RS I dan air mendidih di
RS II. Penanganan sanitasi blender dilakukan dengan cara melepas pisaunya,
dicuci dengan sabun cuci piring, dikeringkan dan dipasang pada tempatnya
dengan cup tertutup. Pada saat akan digunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C.
Perlakuan semacam itu telah memenuhi persyaratan pembersihan tetapi penerapan
sanitasi belum memadai. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu
bahwa secara umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga
permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Jika merujuk pada
CPPOB Formula bayi-2011 yaitu pada panduan untuk menyiapkan dan
menyajikan formula bayi maka peralatan penyajian perlu direbus pada air
mendidih selama 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) menit (BPOM 2011b). Pembilasan
dengan air suhu 90 0
C maupun air mendidih tidak akan membuat permukaan alat
mencapai suhu ≥ 82 0C. Oleh karena itu sebaiknya alat yang permukaannya
kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada perlakuan
selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba, peralatan
tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan. Memperhatikan
pembahasan ini, kriteria penilaian pada parameter pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi dirasa kurang. Kriteria penilaian untuk parameter pemeliharaan
kebersihan dan sanitasi hanya ada B (baik) dan K (kurang). Kriteria B (baik) yaitu
untuk kondisi bila pencucian dan sanitasi alat selalu menggunakan bahan
pembersih dan saniter yang memadai. Kriteria K (kurang) yaitu kondisi bila
pencucian dan sanitasi alat tidak selalu menggunakan bahan pembersih dan saniter
yang memadai. Perlu ditambah kriteria C (cukup) yaitu untuk kondisi bila
peralatannya telah dibersihkan dengan benar tetapi sanitasi belum memadai.
53
d. Fasilitas sanitasi
Perbedaan persepsi penilaian aspek fasilitas sanitasi terjadi di RS I untuk
parameter tempat cuci tangan dan parameter tepat cuci bahan baku dan peralatan.
Persyaratan kedua parameter tersebut yang tercantum pada kriteria penilaian yaitu
bahwa kedua fasilitas tersebut harus terpisah. Di RS I kedua fasilitas tersebut
menyatu. Bahan baku yang dipergunakan sebagian besar bahan baku kering yang
tidak perlu untuk dicuci. Peralatan yang dipergunakan juga jumlahnya sedikit dan
sangat sederhana sehingga menyatunya dua fasilitas tersebut dianggap tidak
menjadi masalah untuk menjaga kebersihan dan sanitasi.
e. Penyimpanan
Perbedaan persepsi penilaian aspek penyimpanan terutama terjadi pada
penilaian parameter penyimpanan makanan enteral. Di RS I tidak dilakukan
penyimpanan makanan enteral sehingga penilaian parameter penyimpanan
makanan enteral dikosongkan. Bagi unit penyedia makanan enteral yang tidak
melakukan penyimpanan makanan enteral maka parameter tersebut tidak perlu
dinilai dan tidak diperhitungkan dalam penilaian.
Di RS II sebetulnya tidak dilakukan penyimpanan makanan enteral sejak
lemari penyimpanan hot & cool thermobox tidak berfungsi. Akan tetapi ada
makanan enteral siap santap yang tidak langsung didistribusikan yaitu makanan
enteral tanpa laktosa yang dipergunakan untuk cadangan. Makanan enteral
disimpan dalam teko plastik ditutup film/plastik pembungkus di suhu ruang
(25 – 30 0C) selama dua sampai tiga jam untuk memastikan ada tidaknya pesanan
tambahan. Jika tidak ada pesanan tambahan, makanan tersebut dibuang.
Perbedaan penilaian terjadi pada memperkirakan lamanya makanan enteral di
zona berbahaya. Pada prinsipnya makanan enteral bila tidak langsung dikonsumsi
diusahakan agar suhu penyimpanan di bawah 5 0C atau di atas 65
0C untuk
mencegah terjadinya kontaminasi. Penyimpanan makanan enteral sangat berisiko
terhadap penurunan keamanan pangan, sehingga parameter penyimpanan
makanan enteral seharusnya dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama.
Parameter lain yang berada pada aspek penyimpanan mudah terkendali. Oleh
54
karena itu parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan ke aspek
pengendalian proses dan dijadikan aspek utama.
f. Pengendalian proses
Perbedaan persepsi penilaian aspek pengendalian proses terjadi pada
parameter jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel.
Persyaratan jenis wadah yaitu inert dan mudah disanitasi. Di RS I jenis wadah
yang digunakan yaitu plastik jenis PE. Plastik jenis PE yang dalam hal ini yaitu
LDPE (Low Density PE) kurang tahan pada suhu tinggi (Rahayu 2004).
Sedangkan mangkok, salah satu wadah makanan enteral yang digunakan di RS II
diragukan ketahanan panasnya saat direbus sehingga tidak mudah disanitasi.
Perbedaan persepsi pada penilaian parameter volume wadah yaitu adanya
anggapan bahwa wadah yang digunakan sudah aman dari kontaminasi karena
tertutup rapat setelah dilakukan penempatan. Sebetulnya ada faktor lain yang
harus diperhatikan yaitu volume wadah. Semakin besar volume wadah berarti
semakin sering dilakukan penuangan. Menurut Beattie dan Anderton (2001)
penuangan merupakan salah satu penyebab terjadinya kontaminasi.
Keterangan produksi harus selalu ditempel pada setiap wadah, tetapi karena
di RS II ada beberapa wadah yang tidak memungkinkan untuk ditempel wadah
maka kadang-kadang wadah tidak ditempel keterangan produksi. Buku catatan
keterangan produksi di bagian dapur dan pada petugas distribusi makanan enteral
kadang-kadang dianggap cukup untuk menghindari terjadinya kekeliruan
penyaluran. Setiap petugas distribusi umumnya membawa makanan enteral lebih
dari satu porsi sehingga memungkinan akan terjadi kekeliruan pemberian. Oleh
karena itu keterangan produksi harus selalu ditempel di setiap wadah. Banyaknya
parameter yang harus dikendalikan dengan ketat pada aspek pengendalian proses,
dirasa perlu memasukkan pengendalian proses menjadi aspek utama.
g. Higiene Karyawan
Pada penilaian aspek higiene karyawan sebetulnya tidak terjadi perbedaan
persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan saat pengamatan yang berbeda. Salah
seorang penilai mendapati ada karyawan yang mengunyah makanan saat bekerja
55
sementara yang lain tidak melihatnya. Jika terjadi kasus seperti ini maka penilaian
harus dikompilasi antar penilai.
h. Penyaluran Makanan
Pada penilaian aspek penyaluran makanan sebetulnya tidak terjadi
perbedaan persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan karena perbedaan
menghitung perkiraan waktu makanan enteral berada di zona berbahaya. Faktor
yang harus diperhatikan pada saat menilai parameter suhu penyaluran yaitu suhu
dan waktu. Menurut Jorge (2000) untuk menjaga agar makanan aman, jangan
biarkan makanan berada pada zona berbahaya lebih dari 4 jam. Pada panduan
audit sarana produksi, belum tercantum faktor waktu. Oleh karena itu parameter
untuk aspek penyaluran makanan perlu disempurnakan menjadi parameter kondisi
makanan saat penyaluran makanan dan parameter kondisi alat saat penyaluran
makanan.
i. Pelatihan
Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene dan
sanitasi sangat diperlukan agar setiap karyawan selalu termotivasi untuk
menerapkan hasil pelatihannya. Perbedaan persepsi untuk aspek pelatihan terletak
pada hal ini. Di RS II berdasarkan informasi lisan masih ada karyawan penjamah
makanan enteral atau pengatur pelayanan makanan enteral yang belum mengikuti
kursus higiene dan sanitasi. Pengetahuan diperolehnya dari karyawan yang telah
berpengalaman. Hal ini tentu belum termasuk kriteria baik (B).
D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB.
Berdasarkan pembahasan hasil uji coba pedoman CPMEB maupun hasil uji
coba panduan audit, perlu adanya penyempurnaan draf yang telah disusun.
Rekapitulasi penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB dapat dilihat
pada Tabel 5.
56
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta.
No. Aspek dan Parameter Justifikasi Penyempurnaan
(1) (2) (3) (4)
1. Bangunan dan
Fasilitas
Konstruksi lantai
Kotoran yang jatuh di lantai
tidak banyak sehingga lantai
mudah dibersihkan walaupun
tidak miring.
Konstruksi lantai
B : kedap air, rata, halus
tetapi tidak licin, kuat dan
mudah dibersihkan.
(kata “dibuat miring” pada
pedoman maupun kriteria
penilaian dihilangkan)
2.
Peralatan Produksi
Pemeliharaan
kebersihan dan
sanitasi
Kriteria penilaian untuk
parameter pemeliharaan
kebersihan dan sanitasi belum
menampung penilaian yang
peralatannya telah dibersihkan
dengan benar tetapi sanitasi
belum memadai sehingga perlu
ditambah kriteria C untuk
menampung hal ini.
Pemeliharaan kebersihan
dan sanitasi
B : sesuai kriteria semula
C :pencucian alat selalu
menggunakan bahan
pembersih yang memadai
tetapi ada sebagian alat yang
belum dilakukan sanitasi
secara memadai. (kriteria
tambahan).
K : sesuai kriteria semula
3.
Fasilitas Sanitasi Penggunaan air
Air yang kontak
langsung dengan
pangan
Pemenuhan persyaratan air
minum untuk proses
pengolahan maupun ingredient
makanan enteral di rumah sakit
tidak terlalu sulit
Parameter penggunaan air
dan parameter air yang
kontak langsung dengan
pangan dijadikan satu
menjadi:
penggunaan air
B : air untuk pengolahan
makanan dan untuk
keperluan lain memenuhi
persyaratan kesehatan air
minum.
K : air untuk pengolahan
makanan dan untuk
keperluan lain tidak
memenuhi persyaratan
kesehatan air minum
57
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4)
4.
Penyimpanan Penyimpanan bahan
berbahaya
Penyimpanan
makanan enteral
Tidak sinkron dengan jenis
penyimpanan yang lain.
Sangat berpengaruh terhadap
risiko keamanan pangan
sehingga perlu dimasukkan ke
aspek utama sementara
parameter lain pengaruhnya
tidak besar. Oleh karena itu
parameter penyimpanan
makanan enteral dipindahkan
dari aspek penyimpanan.
Aspek penyimpanan akhirnya
hanya terdiri dari parameter
tempat penyimpanan bahan
baku dan parameter tata cara
penyimpanan. Kedua parameter
tersebut tidak besar
pengaruhnya terhadap risiko
keamanan pangan.
Parameter penyimpanan
bahan berbahaya
dipindahkan ke aspek
pengendalian hama.
Parameter penyimpanan
makanan enteral
dipindahkan ke aspek
pengendalian proses.
Aspek penyimpanan
disempurnakan menjadi
aspek penyimpanan bahan
baku dan tidak termasuk
aspek utama
5.
Pengendalian
proses
Bank sampel
Adanya bank sampel tidak
efektif karena jumlah produksi
tidak banyak. Proses sangat
sederhana, rantai distribusi
sangat pendek, konsumen dan
pertugas yang memproduksi
sangat jelas sehingga tanpa
bank sampelpun konfirmasi
mudah dilakukan bila terjadi
gangguan atau tuntutan
konsumen.
Parameter penyimpanan
makanan enteral dari aspek
penyimpanan masuk ke aspek
pengendalian proses.
Sebagian besar parameter
penyusun aspek pengendalian
proses perlu dikendalikan
dengan cermat
Parameter bank sampel
dihilangkan
Ada tambahan parameter
yaitu parameter
penyimpanan makanan
enteral
Aspek pengendalian proses
dimasukkan ke dalam aspek
utama.
58
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji
coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4)
Penyaluran
makanan
Risiko terjadinya kontaminasi
saat penyaluran makanan
dipengaruhi oleh faktor suhu
dan waktu. Oleh karena itu
perlu penyempurnaan
parameter dan kriterianya
Aspek penyaluran makanan
disempurnakan, menjadi
terdiri dari parameter
kondisi makanan saat
penyaluran, dengan kriteria
penilaian :
B : Kondisi makanan selalu
berada pada suhu < 50C atau
> 650C.
C : kondisi makanan berada
pada suhu 5 – 650C kurang
dari 4 jam.
K : kondisi makanan berada
pada suhu 5 – 650C lebih
dari 4 jam.
Parameter kondisi alat
penyaluran makanan tidak
mengalami perubahan
kriteria.
7.
Pengendalian hama
Parameter penyimpanan bahan
berbahaya dipindah ke aspek
pengendalian hama
Ada tambahan parameter
yaitu parameter
penyimpanan bahan
pemberantas hama.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa terjadi perubahan aspek utama. Aspek
penyimpanan tidak lagi menjadi aspek utama dan aspek pengendalian proses
berpindah menjadi aspek utama. Dengan demikian yang termasuk aspek
utama setelah dilakukan penyempurnaan adalah aspek ruang produksi;
peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan. Penyempurnaan
selengkapnya pedoman CPMEB draf 1 menjadi draf 2 dapat dilihat pada
Lampiran 4 sedangkan penyempurnaan panduan audit dapat dilihat pada
Lampiran 5.
59
E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT PENYEDIA
MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD
JAKARTA.
Evaluasi kesesuaian dilakukan menggunakan panduan audit sarana produksi
pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit draf 2 seperti yang tercantum
pada Lampiran 4. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
No
ASPEK/PARAMETER HASIL PENILAIAN HA
P1 P2 P3 P4
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I BANGUNAN DAN FASILITAS
1.Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 B/3
2.Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3
3.Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3
4.Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3
5.Kontruksi langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3
6.Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3
7.Kontruksi pintu, jendela, dan lubang
angin
B/3 C/2 B/3 B/3
8.Kebersihan pintu, jendela dan lubang
angin
B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3
II
RUANG PRODUKSI
1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3
2. Kondisi ruangan B/3 B/3 C/ 2 B/3
3. Letak ruangan B/3 B/3 B/3 B/3
4. Penerangan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 3 B/ 2,8 B/3 B/3
III.
PERALATAN PRODUKSI
1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan peralatan C/2 C/2 C/2 C/2
3. Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi B/3 B/3 B/3 C/2
4. Prosedur penanganan sanitasi blender B/3 B/3 B/3 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 2,8 B/ 2,8 B/ 2,8 C/2,3 B/2.7
IV.
FASILITAS SANITASI
1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tempat sampah B/3 B/3 B/3 B/3
3. Tempat cuci tangan B/3 B/3 B/3 B/3
4. Tempat cuci bahan baku dan peralatan B/3 B/3 B/3 B/3
5. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3
6. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 B/3 B/3
60
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
V.
PENYIMPANAN BAHAN BAKU
1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3
2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VI.
PENGENDALIAN PROSES
1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3
2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3
3. Jenis wadah B/3 B/3 B/3 K/1
4. Volume wadah B/3 B/3 B/3 C/2
5. Keterangan produksi B/3 B/3 B/3 C/2
6. Penyimpanan makanan enteral B/3 B/3 B/3 K/1
Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 C/ 2 B/2.8
VII.
MANAJEMEN PENGAWASAN
1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pengawasan proses produksi dan
higiene sanitasi
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
VIII
PENGENDALIAN HAMA
1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3
2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3
3. Penyimpanan bahan pemberantas
hama
B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/ 3 B/3
IX.
HIGIENE KARYAWAN
1.Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
2.Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3
3.Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3
4.Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
5.Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 B/3
6.Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
X.
PENYALURAN MAKANAN
1.Kondisi makanan saat penyaluran B/3 B/3 K/1 K/1
2.Kondisi alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5
XI.
PELATIHAN
1.Pengetahuan karyawan B/3 B/3 C/2 C/2
Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5
XII. PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL
KEPADA PASIEN
1. SOP pemberian makanan enteral
kepada pasien
B/3
B/3
B/3
B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
61
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
XIII
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI
1. Pelaksanaan pencatatan dan
dokumentasi
B/3 B/3 B/3 B/3
2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3
Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
Total nilai 38,8 38,7 36,6 35,3 37,5
Keterangan : P1, P2 dan P3 : penilai dari rumah sakit B : Baik
P4 : peneliti C : Cukup
HA : hasil akhir evaluasi K : Kurang
Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 6 rata-rata hasil penilaian
akhir adalah 37,5 dengan sebaran nilai aspek 4B dan 7B-2C dan dikategorikan
baik (B). Namun demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan
untuk mencapai persyaratan yang maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh kategori B
untuk beberapa aspek tapi nilai belum mencapai 3 (tiga) atau bahkan masuk ke
kategori C. Aspek yang dimaksud adalah aspek peralatan produksi untuk
parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi, serta
prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk
parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan
makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan
saat penyaluran; dan aspek pelatihan.
1. Peralatan produksi.
Peralatan produksi makanan enteral disimpan pada rak piring terbuka. Rak
piring ditempatkan di ruang cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering
tertutup. Walaupun ruangan tertutup tetapi memungkinkan terjadi kontaminasi
yaitu berasal dari udara disekitarnya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
kontaminasi mikroba dari udara sekitar ke peralatan yang akan digunakan untuk
mengolah makanan enteral, sebaiknya digunakan rak piring tertutup.
Peralatan yang dipergunakan untuk mengolah makanan enteral terbuat dari
bahan yang tidak bereaksi dengan produk (inert). Pencucian menggunakan bahan
pembersih yang memadai yaitu menggunakan sabun cuci piring dan dibantu
dengan sabut cuci piring. Pencucian blender juga sudah dilakukan sebagaimana
62
mestinya yaitu dengan cara membongkar peralatan untuk memastikan seluruh
bagian permukaan yang kontak dengan produk tercuci dengan bersih. Akan tetapi
sanitasi peralatan yang kontak dengan produk, termasuk blender belum dilakukan
sebagaimana mestinya. Sanitasi dilakukan dengan cara membilas peralatan
dengan air panas mendidih. Demikian juga sanitasi yang dilakukan terhadap
blender. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu bahwa secara
umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga permukaan alat
mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Pembilasan dengan air mendidih
tidak akan membuat permukaan alat bersuhu ≥ 82 0C. Sebaiknya alat yang
permukaannya kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada
perlakuan selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba,
peralatan tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan agar permukaan
alat dapat mencapai suhu ≥ 82 0C. Penanganan ini seperti yang dianjurkan pada
CPPOB Formula bayi-2011 terhadap botol susu bayi yang akan digunakan.
Dalam ruang produksi makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Jakarta, tidak terdapat kompor. Kebutuhan air panas diambil dari dapur gizi yang
berarti harus keluar ruang produksi dan membutuhkan waktu untuk mendapatkan
air panas. Hal ini akan menyebabkan suhu air turun pada saat akan dipergunakan
untuk membilas peralatan. Jika peralatan yang dibawa ke tempat sumber air
panas, perjalanan dari tempat bilas ke ruang produksi setelah mensanitasi
peralatan, membutuhkan waktu yang akhirnya berpeluang terjadi kontaminasi
silang yang berasal dari debu ruangan.
Dalam ruang cuci bahan baku dan peralatan sebetulnya tersedia aliran pipa
gas yang saat ini tidak difungsikan. Pengaktifan pipa gas dan atau penambahan
kompor gas akan dapat mengatasi hal tersebut. Apabila diadakan kompor gas
perlu dilengkapi dengan pengisap asap kompor karena tidak ada ventilasi di ruang
cuci bahan baku dan peralatan. Pada kran tempat pencucian bahan baku dan
peralatan menurut informasi juga sebetulnya difasilitasi dengan pipa air panas
tetapi saat ini dalam keadaan rusak. Perbaikan alat ini juga dapat mengatasi
pananganan sanitasi yang belum memadai.
63
2. Pengendalian proses
Tersedia alur proses produksi yang baku dan dituangkan dalam SOP.
Diantara prosedur makanan cair yang ada, terdapat salah satu prosedur yang perlu
mendapat perhatian yaitu prosedur pembuatan makanan cair rumah sakit. Proses
tersebut tidak melalui perebusan hanya menambahkan air mendidih ke dalam
campuran bahan kering meskipun salah satu bahan bakunya adalah kuning telur.
Menurut Blackburn et al. (2003) salah satu mikroba patogen yang dikhawatirkan
berada dalam telur adalah Salmonella Enteritidis. Keberadaan mikroba tersebut
berasal dari induknya, menerobos dan menjalar ke jaringan reproduksi unggas
akhirnya dapat menembus telur dan anak ayam. Penambahan air mendidih ke
dalam campuran bahan baku makanan enteral tanpa dilakukan perebusan hanya
akan meningkatkan suhu sampai dengan 40-50 0C. Menurut Jay et al (2005)
Amerika telah merekomendasi untuk menghindari konsumsi telur mentah atau
setengah matang terutama pada anak-anak, orang tua dan orang sakit. Telur harus
direbus pada suhu ≥ 63 0C selama 15 detik atau sampai kuning telur dan putihnya
menggumpal. Jika telur akan disimpan dilakukan pada suhu ≤ 7,2 0C.
Rekomendasi Chantarapanont et al. (2000) tentang cara merebus telur
sehingga dapat menginaktifkan Samonella Enteritidis yaitu masukkan telur dalam
air sampai dengan telur tersebut terendam oleh air, dipanaskan sampai
air mendidih (100 0C), dipertahankan pada suhu tersebut selama 15 menit.
Perebusan dengan cara seperti ini, akan meningkatkan suhu kuning telur mencapai
62,3 ± 2 0C. Jika tidak akan dilakukan perebusan pada proses pembuatan makanan
cair rumah sakit, telur dapat diganti dengan tepung telur yang telah tersertifikasi.
Wadah yang dipergunakan untuk makanan enteral antara lain rantang
dengan bahan baku stainless steel, mangkok dengan bahan baku kaca, kemasan
plastik kedap udara dengan bahan baku plastik jenis LDPE dan botol dengan
bahan baku kaca. Ditinjau dari bahan bakunya, semua wadah yang digunakan
tidak mudah bereaksi dengan produk tetapi salah satu wadah tersebut yaitu
mangkok tidak mudah disanitasi. Mangkok terbuat dari bahan yang tidak tahan
panas sehingga berisiko pecah pada saat dilakukan perebusan.
Permasalahan lain berkaitan dengan wadah yaitu wadah disiapkan oleh
petugas dari ruang rawat inap. Sanitasi dilakukan di masing-masing ruang rawat
64
inap dengan cara dibilas air panas, kemudian dibawa ke dapur sonde. Di dapur
sonde tidak dilakukan sanitasi ulang. Tenggang waktu antara sanitasi dan
pengisian maupun perjalanan dari ruang rawat inap ke dapur sonde berpeluang
terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitarnya. Sebaiknya wadah disanitasi
di dapur sonde agar dapat segera dilakukan pengisian setelah wadah disanitasi.
Wadah disyaratkan mempunyai volume satu porsi dengan tujuan agar tidak
sering dilakukan penuangan. Menurut Oliveira et al. (2000) kontaminasi proses
rekonstitusi makanan enteral dapat terjadi pada saat persiapan, penyimpanan,
penuangan dan saat pemberian kepada pasien. Hal ini didukung oleh penelitian
Beattie dan Anderton (2001) bahwa penuangan makanan enteral dari blender
secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL
menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 10
3 CFU/mL. Wadah makanan enteral yang
dipergunakan di dapur sonde mempunyai volume bervariasi mulai dari satu
sampai dengan tiga porsi. Mangkok mempunyai volume satu porsi, kemasan
plastik kedap udara 1–2 porsi , rantang dan botol 2-3 porsi. Wadah yang
bervolume besar seandainya diisi sedikit akan tersisa ruang kosong yang cukup
banyak berarti banyak udara yang terperangkap dan udara tersebut dapat menjadi
sumber kontaminasi. Seandainya dipergunakan untuk mewadahi dua atau tiga
porsi berarti diperlukan tahapan tambahan berupa pemorsian dan penuangan ke
tempat lain saat akan menyajikan. Permasalahan lain sehubungan dengan risiko
penuangan terhadap kontaminasi yaitu bahwa wadah yang dipergunakan bukan
wadah yang digunakan untuk penyajian sehingga perlu penuangan ke dalam
wadah penyajian. Hal ini juga memberikan peluang terjadinya kontaminasi. Oleh
karena itu berkaitan dengan wadah sebaiknya wadah mudah untuk disanitasi,
volume wadah hanya untuk satu porsi dan dapat langsung dipergunakan sebagai
wadah penyajian.
Keterangan produksi atau dalam hal ini label yang berisi minimal
keterangan nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis diet, ruang dan kamar pasien
sangat diperlukan untuk menghindari salah sasaran. Penggunaan wadah seperti
yang sekarang digunakan tidak mudah untuk menempelkan label, sehingga
kadang-kadang tidak ditempel keterangan produksi.
65
Sebetulnya RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta saat ini tidak
melakukan penyimpanan makanan enteral. Pada saat lemari penyimpanan
hot & cool thermobox berfungsi, makanan enteral disimpan di bagian yang panas
(hot) apabila belum segera dikonsumsi (seperti yang tercantum pada SOP
makanan enteral formula rumah sakit diet rendah laktosa pada Lampiran 11).
Makanan enteral dapat diproduksi sekaligus untuk dua atau tiga frekwensi jika
tersedia lemari penyimpanan yang dapat mempertahankan suhu makanan enteral
di luar “danger zone”. Saat ini karena thermobox rusak, tidak dilakukan
penyimpanan. Akan tetapi ada perlakuan menyimpan makanan enteral untuk
mengatasi pesanan yang mendadak karena penambahan pasien. Dapur sonde
selalu menyediakan cadangan makanan saring tanpa susu sebanyak 2-3 porsi.
Proses pembuatan makanan saring tanpa susu yaitu perebusan, pemblenderan dan
penyaringan. Blender yang tersedia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
tidak dapat digunakan untuk meblender bahan dalam keadaan panas (70-80 0C),
oleh karena itu bahan makanan saring tanpa susu yang telah direbus diturunkan
suhunya menjadi sekitar 40 0C sebelum diblender. Waktu tunggu penurunan suhu
sekitar satu jam. Setelah pemblenderan, dilakukan penyaringan dan selanjutnya
makanan enteral yang digunakan sebagai cadangan ditempatkan dalam teko
plastik, ditutup wrapping film dan disimpan pada suhu ruang selama 2-3 jam. Jika
tidak ada pesanan, setelah 2-3 jam kemudian, makanan enteral tersebut dibuang.
Waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba karena berada
pada zona berbahaya. Oleh karena itu tahap tersebut seharusnya dihindari dengan
cara langsung dilakukan pemblenderan setelah perebusan Hal ini dapat dilakukan
jika blender yang digunakan tahan terhadap panas. Perbaikan thermobox juga
diperlukan agar penyimpanan makanan enteral dapat diterapkan sebagaimana
mestinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. . Disamping itu juga
perbaikan thermobox akan dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.
3. Penyaluran makanan.
Penyaluran makanan enteral dari dapur sonde ke ruang rawat inap
menggunakan troly. Troly selalu bersih sehingga terjamin tidak akan terjadi
kontaminasi silang. Jarak antara dapur sonde ke ruang rawat inap paling pendek
66
kurang lebih 50 meter dan paling jauh 400 meter dengan waktu tempuh kurang
lebih antara 5 sampai dengan 25 menit. Waktu tempuh yang lama akan
menyebabkan suhu makanan turun dan menyebabkan suhu makanan berada pada
“danger zone”. Hal ini akan memberikan peluang besar terjadinya peningkatan
pertumbuhan mikroba. Menurut Rahayu (2010) satu diantara delapan prinsip
penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan
pangannya yaitu mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih
dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5
0 C atau lebih rendah.
4. Pelatihan karyawan
Pemahaman tentang pentingnya prinsip-prinsip serta praktek higiene
sanitasi serta proses pengolahan makanan enteral harus dimiliki oleh
penanggungjawab dan pelaksana (penjamah) unit penyedia makanan enteral. Di
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta penanggungjawab dan sebagian
penjamah telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Sebagian penjamah yang lain berdasarkan informasi lisan
mendapatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dari orang yang telah
berpengalaman. Kondisi demikian berdasarkan persyaratan dikategorikan kedalam
penilaian C (cukup). Agar mendapatkan kriteria B (baik), penanggungjawab dan
penjamah harus telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan
peraturan yang berlaku yaitu kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum
yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011.
Berdasarkan evaluasi tersebut di atas, ada beberapa parameter yang dinilai
baik tetapi berdasarkan kajian pustaka hal tersebut belum memenuhi syarat.
Contoh dalam hal ini yaitu pemahaman sanitasi peralatan dan wadah. Demikian
juga dengan proses pembuatan makanan cair rumah sakit yaitu proses dilakukan
tanpa perebusan walaupun menggunakan kuning telur.
F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN CPMEB DI
RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA.
Dalam rangka tercapainya visi yang baru RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad Jakarta yaitu menjadi rumah sakit berstandar internasional, rujukan
67
utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit dan
masyarakat maka unit penyedia makanan enteral juga perlu ikut mendukung.
Salah satu bentuk dukungan adalah menerapkan pemenuhan persyaratan CPMEB
untuk menjamin keamanan makanan enteral secara konsisten. Berdasarkan hasil
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB, direkomendasikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Aspek peralatan produksi
a) Melakukan sanitasi peralatan yang kontak dengan produk secara memadai.
Cara yang paling aman yaitu merebus peralatan sampai dengan suhu
permukaan peralatan ≥ 82 0C sebelum dipergunakan. Oleh karena itu di
ruang produksi perlu dilengkapi dengan kompor dan disertai pengisap
asap.
b) Menggunakan rak piring tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi
silang dari debu sekitar ruangan.
2. Aspek pengendalian proses
a) Menambah tahap perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah
sakit sehingga makanan mencapai suhu 74 0C atau mengganti telur ayam
segar yang digunakan dengan tepung telur tersertifikasi.
b) Menggunakan wadah yang mudah disanitasi dengan volume satu porsi
(200-300 mL) dan layak digunakan sebagai wadah penyajian.
c) Mensanitasi wadah di ruang dapur sonde bukan di ruang rawat inap
maupun di dapur gizi sehingga selesai proses sanitasi dapat langsung
dilakukan pengisian. Dengan demikian tenggang waktu antara sanitasi dan
pengisian lebih pendek yang akhirnya meminimalisir terjadinya
kontaminasi silang yang berasal dari lingkungan sekitar.
d) Selalu menempelkan keterangan produksi pada setiap wadah per satu
porsi untuk menghindari salah sasaran dan untuk mempermudah
penelusuran apabila dibutuhkan konfirmasi dari konsumen (traceability).
e) Memperbaiki lemari penyimpanan hot & cool thermobox agar makanan
enteral cadangan dapat tersimpan pada suhu yang aman yaitu di luar
68
“danger zone”. Disamping itu juga untuk mengurangi jumlah makanan
enteral yang terbuang.
f) Menyediakan blender stainless steel yang dapat dipergunakan untuk
memblender dalam keadaan panas sehingga proses pembuatan makanan
saring tanpa susu tidak harus melalui tahap waktu tunggu. Tahap waktu
tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba.
3. Aspek pelatihan
a) Mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan enteral
mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum yang
ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/ PER/VI/2011.
b). Senantiasa meningkatkan pengetahuan keamanan pangan secara umum
agar selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1). Pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang baik (CPMEB) yang
dikembangkan dapat digunakan sebagai pedoman pemenuhan persyaratan
GMP unit penyedia makanan enteral di rumah sakit. Evaluasi pemenuhan
persyaratan menggunakan pedoman audit sarana produksi pada unit
makanan enteral di rumah sakit. Ada 13 (tiga belas) aspek yang harus
diperiksa.
2). Setelah dilakukan uji coba, jumlah aspek yang harus diperiksa tidak
mengalami perubahan tetapi aspek penyimpanan yang semula dimasukkan
ke dalam kelompok aspek utama dipindahkan ke kelompok aspek bukan
utama. Aspek penyimpanan diubah menjadi aspek penyimpanan bahan
baku setelah memindahkan parameter penyimpanan makanan enteral ke
aspek pengendalian proses dan parameter penyimpanan bahan berbahaya
ke aspek pengendalian hama. Aspek pengendalian proses dipindahkan ke
aspek utama.
3). Aspek dalam CPMEB yang harus diperiksa untuk mengevaluasi kondisi
sarana produksi makanan enteral meliputi 13 aspek meliputi bangunan dan
fasilitas; ruang produksi; peralatan produksi; fasilitas sanitasi;
penyimpanan bahan baku; pengendalian proses; manajemen pengawasan;
pengendalian hama; higiene karyawan; penyaluran makanan; pelatihan;
pemberian makanan enteral kepada pasien; serta pencatatan dan
dokumentasi. Diantara 13 (tiga belas) aspek tersebut yang dimasukkan ke
dalam kelompok aspek utama yaitu 4 (empat) aspek diantaranya adalah
ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene
karyawan.
4). Persyaratan CPMEB yang diperketat dibandingkan dengan CPPSSB-2011
dan CPPB-IRT 2003 yaitu ruang produksi khususnya untuk parameter
kondisi dan letak ruang produksi; persyaratan sanitasi bagi wadah maupun
peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudahnya
70
tidak ada penanganan yang dapat mematikan mikroba; seluruh aspek
utama harus bernilai B dan setiap parameter tidak boleh ada nilai kurang.
5). Berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB, unit penyedia makanan
enteral di rumah sakit Gatot Soebroto dikategorikan baik (B). Namun
demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan untuk
mencapai persyaratan yang maksimal. Oleh karena itu direkomendasikan
perbaikan beberapa aspek tersebut yaitu aspek peralatan produksi untuk
parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan
sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender; aspek
pengendalian proses untuk parameter jenis wadah, parameter volume
wadah, parameter keterangan produksi, parameter penyimpanan makanan
enteral; aspek penyaluran makanan; serta aspek pelatihan.
B. SARAN
1) Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde)
di rumah sakit Gatot Soebroto terpenuhi sebaiknya distribusi makanan
enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian
keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan. Kemudian selanjutnya
keamanan pangan ditingkatkan melalui penerapan sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP).
2) Perlu disusun SOP dan SSOP (Standard Sanitation Operation Procedures)
lengkap sesuai dengan kebutuhan operasional kegiatan dapur sonde. SOP
dan SSOP tersebut sebaiknya terdokumentasi dengan baik agar penerapan
persyaratan CPMEB terlaksana secara kontinyu dan konsisten.
3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan CPMEB pada
unit penyedia makanan enteral di catering diet.
4) Dengan menggunakan metode serupa perlu dikembangkan panduan audit
cara produksi makanan yang baik di penyelenggara makanan rumah sakit
maupun catering diet agar evaluasi pemenuhan GMP terukur dengan
jelas.
71
5) Setelah diterapkan CPMEB perlu dilakukan verifikasi terhadap uji
mikrobiologi produk (makanan enteral), uji sanitasi peralatan yang
permukaannya kontak dengan produk dan uji sanitasi ruangan.
6) Draf CPMEB yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pembuatan peraturan CPMEB di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Beattie TK, Anderton A. 2001. Decanting versus sterile pre-filled nutrient
containers-the microbiological risks in enteral feeding. Int J Environ
Health Res 11:81-93. http://search.proquest.com [19 Januari 2012].
Blackburn CW, McClure PJ. 2003. Foodborne pathogens hazard, risk analysis
and control. Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC.
Best. 2008. Enteral tube feeding and infection control: how safe is our practice?
Br J Nurs 17(16):1036, 1038-41 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
[11 Agustus 2012].
[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.
00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk
Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Jakarta: Badan POM Republik
Indonesia.
[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP)
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia.
[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011a. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.52.08.11.07235 Tahun 2011
tentang Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi untuk keperluan
Medis Khusus. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia.
[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011b. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10720 Tahun 2011
tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula
Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk. Jakarta: Badan POM Republik
Indonesia.
Chantarapanont W, L Slutsker, RV Tauxe, LR Beuchat. 2000. Factors influencing
inactivation of Salmonella enteritidis in hard-cooked eggs. J Food Prot.
63:36-43. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [10 Desember 2012].
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Petunjuk Teknis Tatalaksana
Anak Gizi Buruk Buku II. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air Minum. Jakarta : Menteri Kesehatan.
74
Escot-Stump S. 1998. Nutrition and Diagnosis-Related Care. Williams &
Wilkins.
Ewen CDT, Barry SM, Judy DG, Debra S, John H, Charles AB. 2010. Outbreaks
where food workers have been implicated in the spread of foodborne
disease. Part 7. Barriers to reduce contamination of food by workers.
J Food Prot 73 (8) 1552-1565.
http://www.ingentaconnect.com/search/article [10 September 2012].
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Jakarta.
Hariyadi P, Dewanti-Hariyadi R. 2011. Memproduksi Pangan yang Aman. Dian
Rakyat. Jakarta.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, 7th
edn.
Springer Science + Business Media Inc .
Jorge H. 2000. To keep food safe, stay out of the danger zone [abstract].
Food Mgmt 35:88-94. http://search.proquest.com [6 Agustus 2012].
Kementerian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 1096/Men/Kes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga.
Jakarta: Menteri kesehatan.
Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor: 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi
Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Jakarta:
Menteri Perindustrian.
Lukito W, Tambunan V, Gunawan I, Ambarwati FD. (editor). 2008. Pedoman
Praktis Pemilihan Formula Nutrisi Enteral. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Spesialis Gizi Klinik Indonesia.
Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL. 2012. Krause’s Food and the nutrition
care process, 13th
ed. Saunders, an imprint of Elsevier Inc
Moffit SK, Gohman SM, Sass KM & Faucher KJ. 1997. Clinical and laboratory
evaluation of a closed enteral feeding system under cyclic feeding
condtions: a microbial and cost evaluation. Nutrition 13:622-628.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [6 Agustus 2012].
Oliveira MH, Bonelli R, Aidoo KE, Batista CRV. 2000. Microbiological quality
of reconstituted enteral formulation used in hospital [abstract]. Nutrition
16:729-733. http://web.ebscohost.com/ehost [ 19 Januari 2012].
Oliveira MR, Batista CRV, Aidoo KE. 2001. Application of hazard analysis
critical control point system to enteral tube feeding in hospital.
J Human Nutr Dietetic 14:397-403. http://web.ebscohost.com/ehost
[19 Januari 2012].
75
Rahayu WP, Arpah M. 2004. Pengetahuan Kemasan Plastik (produk industri
pangan dan jasaboga). Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas
Teknologi Pertanian IPB.
Rahayu WP. 2010. Keamanan Pangan untuk Mendukung Industri Jasaboga. Di
dalam: Rahayu WP dkk, Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. IPB
Press, Bogor.
Simadibrata M. 2009. Nutrisi Enteral. Di dalam: Sudoyo A, Bambang S, Idrus A,
Marcellus S, Siti S, editor, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
[USFDA]. US Food and Drug Administration. 1995. Compliance program
guidance manual, Chapter 21 Program 7321.002. Washington DC : FDA
http://www.fda.gov/ICECI/EnforcementActions/BioresearchMonitoring
[22 Januari 2012].
Winarno FG. 2011a. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik. M-Brio Press,
Bogor
Winarno FG. 2011b. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan. M-Brio
Press, Bogor.
78
Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga *
No URAIAN BOBOT X No URAIAN BOBOT X 1
LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran.
1
8
PENGHAWAAN Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap
1
2 Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa.
1 9
. AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan
5
3 Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan.
1
10
AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang
1
4 Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba)
1
11
FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET
Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan.
3
5 Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai
1
12
PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh.
2
6 Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri,membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar.
1
13
14
RUANG PENGOLAHAN
MAKANAN Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang)
1 1
7
P E N C A H A Y A A N Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja.
1
15
16
17
KARYAWAN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas ISPA). Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis. Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan.
5 5 1
79
Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No URAIAN BOBOT X No. URAIAN BOBOT X 18 19
MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak. Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa.
5 1
26 Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan pelihara-an dan hewan pengganggu lainnya.
JUMLAH
4
65
20
PERLINDUNGAN
MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).
5
27
28
KHUSUS GOLONGAN A.1 Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur. Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas)
JUMLAH
1 4
70
21
Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang.
4
29
30
31
KHUSUS GOLONGAN A.2 Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap. Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci. Tersedia kamar ganti pakaian dan dilengkapi dengan tempat penyimpanan pakaian (loker).
JUMLAH
1 2 1
74
22 23
PERALATAN MAKAN DAN
MASAK
Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaan-nya. Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang.
2 2
32
33
34
KHUSUS GOLONGAN A.3 Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap) Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan matang. Lemari penyimpanan dingin dengan suhu -5°C dilengkapi dengan ermometer
1 1 4
80
pengontrol.
24 25
Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan. Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, mengguna-kan label / tanda yang jelas untuk digunakan
5 5
35 Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan
JUMLAH
3
83
Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No URAIAN BOBOT X No. URAIAN BOBOT X 36 37 38 39 40
KHUSUS GOLONGAN B Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus). Tersedia ruang belajar. Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian. Lemari pendingin dapat mencapai suhu – 10 °C.
JUMLAH
1 1 1 2 4
92
41 42 43 44
KHUSUS GOLONGAN C Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu. Air kran bertekanan 15 psi. Lemari penyimpanan dingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai dengan suhu yang sesuai kebutuhan. Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak.
1 2 4 1
J U M L A H 100
*) sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Men/Kes/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga (Kementerian Kesehatan 2011)
81
Lampiran 2. Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT).
Nama dan alamat perusahaan Nama Pemilik/penanggungjawab :
Jenis Pangan : Nomor izin : Jumlah Karyawan : Umur Bangunan :
Kode: B : baik C : Cukup K : Kurang GROUP A. LINGKUNGAN PRODUKSI
3 Air yang kontak langsung dengan pangan
2 Perhiasan dan asesoris lainnya
1 Semak GROUP E. FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI
GROUP H. PENGENDALIAN PROSES 2 Tempat sampah
3 Sampah 1 Penetapam spesifikasi bahan baku 4 Selokan E. 1. Alat Cuci/pembersih
GROUP B. BANGUNAN DAN FASILITAS
1 Ketersediaan alat 2 Penetapam komposisi dan formulasi bahan E.2 Fasilitas higiene karyawan
B.1. Ruang Produksi 1 Tempat cuci tangan 3 Penetapam cara produksi yang baku 1 Konstruksi lantai 2 Jamban/toilet
2 Kebersihan lantai E.3 Kegiatan hiegiene dan sanitasi
4 Penetapam spesifikasi kemasan 3 Konstruksidinding
4 Kebersihan dinding 1 Penanggungjawab 5 Penetapam tanggal kadaluarsa dan kode produksi
5 Konstruksi langit-langit Penggunaan detergen dan 6 Kebersihan langit-langit 2 Disenfektan 7 Konstruksi pintu,
jendela, dan lubang angin
GROUP F. PENGENDALIAN HAMA
GROUP I. LABEL PANGAN 1 Persyaratan label 1 Hewan peliharaan GROUP J. PENYIMPANAN
8 Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin
2 Pencegahan masuknya hama 1 Penyimpanan bahan dan produk 3 Pemberantasan hama
GROUP G. KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN
2 Tata cara penyimpanan B.2. Kelengkapan Ruang Produksi
3 Penyimpanan bahan berbahaya G.1. Kesehatan karyawan
1 Penerangan 1 Pemeriksaan kesehatan 4 Penyimpanan label dan kemasan 2 PPPK 2 Kesehatan karyawan
B.3. Tempat penyimpanan G.2. Kebersihan karyawan 5 Penyimpanan peralatan 1 Tempat penyimpanan
bahan dan produk 1 Kebersihan badan GROUP K. MANAJEMEN
PENGAWASAN 2 Kebersihan pakaian 2 Tempat penyimpanan
bahan bukan pangan 3 Kebersihan tangan 1 Penanggung jawab
4 Perawatan luka 2 pengawasan GROUP C. PERALATAN G.3. Kebiasaan Karyawan PRODUKSI 1 Perilaku karyawan GROUP L. PENCATATAN DAN 1 Konstruksi DOKUMENTASI 2 Tata letak 1 Pencatatan dan
dokumentasi 3 kebersihan GROUP D. SUPLAI AIR 2 Penyimpanan catatan
dan dokumentasi 1 Sumber air 2 Pengguna air GROUP M. PELATIHAN KARY. 1 PENGETAHUAN
KARYAWAN
Lampiran 3. Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/ Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung
82
CPPSSB tahun 2011
(1)
CPPOB Formula Bayi tahun 2011
(2)
CPPB-IRT tahun 2003
(3)
Pustaka yang mendukung
(4)
Draf Formulir audit GMP makanan enteral
(5)
Justifikasi
(6) LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran. (1)
(1)
LOKASI Sarana produksi harus berada di daerah yang jauh dari tempat yang dapat membahayakan kesehatan.
Lokasi penyimpanan peralatan dan perlengkapan harus memperhatikan kemudahan proses pembersihan dan perawatan ; dapat digunakan sesuai dengan fungsinya ; menunjang cara higiene yang baik.
LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak 2.Tempat sampah 3.Selokan
Sarana jalan Jalan menuju sarana produksi dan sekitarnya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi genangan air atau debu berterbangan jika dilewati kendaraan.
Persyaratan lokasi untuk unit penyedia makanan enteral merupakan bagian dari persyaratan unit gizi rumah sakit sehingga lokasi tidak menjadi aspek yang harus diamati secara khusus.
(2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
83
Lingkungan dan Pekarangan Ada seorang yang bertanggung jawab mencegah pencemaran di lingkungan sarana produksi
BANGUNAN DAN FASILITAS Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa. (2) Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan(3) Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-
(1)
BANGUNAN DAN FASILITAS Bangunan beserta fasilitasnya merupakan kontruksi yang baik; dihindari penggunaan bahan yang tidak dapat dibersihkan dengan baik dan didisinfeksi; dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah masuk dan bersarangnya hama ; masuknya cemaran lingkungan seperti asap, debu, dll ; terhindar dari pencemaran silang dan sanitasi dapat terlaksana
(2)
BANGUNAN DAN FASILITAS (B) Ruang Produksi (B1) 1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langit-
langit 6. Kebersihan langit-
langit 7. Konstruksi pintu,
jendela dan lubang angin.
8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin
(3)
(4)
BANGUNAN DAN FASILITAS 1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langit-
langit 6. Kebersihan langit-
langit 7. Konstruksi pintu,
jendela dan lubang angin.
8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin
(5)
Persyaratan bangunan dan fasilitas untuk produksi makanan enteral pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 yaitu kuat, bersih dan mudah dibersihkan.
(6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
84
laba)(4). Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai (5) dan dinding lengkung (konus) (untuk golongan B) (36)
dengan mudah yaitu dengan cara mengatur alir proses.
PERALATAN MAKANAN Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaannya (22) Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang (23)
PERALATAN DAN PERLENGKAPAN Peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, di disinfeksi dan tidak mencemari pangan ; mudah dipindahkan atau dibongkar sehingga memudahkan perawatan ; terbuat dari bahan yang tidak beracun ; tahan untuk digunakan sesuai peruntukkannya.
PERALATAN PRODUKSI (C) 1. Konstruksi 2. Tata letak 3. Kebersihan
Oliveira et al. (2000) Penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral
PERALATAN PRODUKSI 1. Peralatan produksi 2. Penyimpanan
peralatan 3. Pemeliharaan
kebersihan dan sanitasi
4. Prosedur penanganan sanitasi blender
Peralatan produksi makanan enteral sama seperti halnya peralatan jasaboga. Akan tetapi karena makanan enteral diperuntukkan bagi kelompok orang rentan maka selain persyaratan kebersihan dan penyimpanan pada ruang tertutup juga dipersyaratkan saniter.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
85
Proses pencuciaan melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan (24)
Rancangan, konstruksi dan penggunaan peralatan dan perlengkapan harus dapat mencegah pangan dari pencemaran oleh minyak pelumas, bahan bakar, pecahan-pecahan logam, air yang tercemar atau bahan pencemar lainnya. Celah antara peralatan dan perlengkapan harus terawat dan mudah dibersihkan. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemasakan, pemanasan, pendinginan, pembekuan dan penyimpanan harus dirancang sehingga dapat mencapai suhu yang dikehendaki.
Oliveira et al. (2001) Pencucian blender di lakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi menggunakan disinfektan, setiap kali proses
Blender merupakan salah satu sumber kontaminasi yang harus mendapat perhatian oleh karena itu dicantumkan dalam parameter tersendiri tidak digabungkan dengan parameter peralatan produksi yang lain.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
86
Perlengkapan dibagian atas tempat produksi formula bubuk harus dipasang sedemikian rupa sehingga mencegah pencemaran langsung maupun tidak langsung oleh tetesan air yang terkontaminasi dan tidak boleh menghalangi pembersihan
AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan (9). AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang (10) Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci (untuk golongan A2) (30)
FASILITAS SANITASI Air yang dipergunakan pada penanganan pangan adalah air yang memenuhi persyaratan air minum (sebagaimana di tetapkan dalam keputusan Men.Kes tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum) Harus tersedia pasokan air yang memenuhi persyaratan air minum dengan tekanan, jumlah dan suhu yang cukup. Harus ada sistem yang
SUPLAI AIR (D) 1. Sumber air 2. Penggunaan air. 3. Air yang kontak langsung dengan pangan
FASILITAS SANITASI 1. Penggunaan air 2. Air yang kontak
langsung dengan pangan
3. Tempat sampah 4. Tempat cuci tangan 5. Tempat cuci bahan
pangan dan peralatan
6. Alat cuci/pembersih 7. Jadwal kegiatan
sanitasi
Fasilitas sanitasi yang diperlukan untuk produksi makanan enteral mirip dengan yang dibutuhkan untuk industri rumah tangga
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
87
Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian (untuk golongan B) (39) Air kran bertekanan 15 psi (untuk golongan C) (42). PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yangcukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh (12) Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap) (untuk golongan A3) (32)
terpisah untuk air yang dapat diminum dan tidak dapat diminum serta dapat diidentifikasi. Uap yang tidak bersentuhan langsung dengan pangan atau bagian dari peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan tidak boleh mengandung zat atau bahan yang membahayakan kesehatan atau yang dapat mencemari pangan. SELOKAN DAN SAMPAH Sarana produksi harus mempunyai sistem saluran buangan dan pembuangan sampah yang efisien dan harus dirawat dan diperbaiki.
LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak. 2.Tempat sampah 3.Sampah 4.Selokan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
88
FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan (11)
FASILITAS CUCI TANGAN DI RUANG PRODUKSI Di tempat penanganan bahan yang dapat dimakan yang tidak terkemas perlu disediakan fasilitas cuci tangan dan alat pengeringnya. Harus disediakan air panas dan air dingin, sabun ; tissue atau alat pengering tangan. Bila tersedia air panas dan air dingin, perlu disediakan kran pencampur. Peralatan untuk cuci tangan sebaiknya dirancang dalam bentuk yang tidak mencemari kembali tangan yang sudah bersih atau sudah disanitasi.
FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI (E). Ketersediaan alat cuci/pembersih dan terawat baik (E1) Fasilitas higiene karyawan berupa tempat cuci tangan dan jamban/toilet dalam hal ketersediaan dan jumlah (E2). Ada penanggung jawab kegiatan higiene dan sanitasi serta pengawasan dilakukan secara rutin (E3). Penggunaan deterjen dan disinfektan seperti yang dianjurkan (E3)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
89
Tersedia keterangan cara mencuci atau mensanitasi pangan yang mudah dimengerti. Tersedia fasilitas untuk pembersihan dan disinfeksi peralatan dan perlengkapan diseluruh tempat produksi yang memerlukannya. Dalam rangka mempertahankan area risiko tinggi sebaiknya dilakukan prosedur pembersihan kering. Jika tidak dimungkinkan dapat dilakukan proses pembersihan basah yang dikontrol dengan baik disertai dengan pelaksanaan pengeringan yang tepat dan menyeluruh
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
90
PENCAHAYAAN Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja (7)
PENERANGAN Sarana produksi harus mendapat penerangan yang memadai dari cahaya matahari maupun lampu. Bila perlu, cahaya tersebut tidak boleh merubah warna. Intensitasnya diatur sesuai kegiatan yang dilakukan, sekurang-kurangnya harus sebagai berikut : Setiap tempat : 540 Lux (50”foot candles) Ruangan kerja : 220 Lux (20”foot candles) Ruangan lain : 110 Lux (10”foot candles) Lampu dan perlengkapannya yang berada diatas pangan pada tiap tahap produksi harus dari jenis yang aman dan diberi pelindung, agar bila pecah tidak mencemari pangan.
KELENGKAPAN RUANG PRODUKSI (B2) 1.Penerangan 2.PPPK
Penerangan
Parameter penerangan masuk kedalam aspek ruang produksi. P3K tidak dimasukkan sebagai parameter CPMEB karena sudah menjadi persyaratan dapur gizi
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
91
PENGHAWAAN Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap (8)
VENTILASI Harus tersedia ventilasi yang memadai untuk : • Mencegah panas uap
air kondensasi dan debu yang berlebihan dan untuk menghilangkan udara yang tercemar
Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap (untuk golongan A2 ) (29) Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) (untuk golongan). B (38) Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu (untuk golongan C) (41)
• Mengontrol suhu
ruangan • Mengontrol bau yang
dapat mempengaruhi kelayakan formula bubuk
• Mengontrol kelembaban
Pengolahan makanan enteral sangat sederhana sehingga asap tidak banyak. Oleh karena itu ventilasi cukup berasal dari jendela, pintu dan lubang angin.
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
92
(1) (2) (3) (4) (5) (6) PERLINDUNGAN MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing) (20) Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang (21) Penyimpanan harus memperhatikankan prinsip FIFO dan atau FEFO (*)
FASILITAS PENYIMPANAN Harus disediakan fasilitas penyimpanan pangan, ingridien dan bahan kimia non-pangan (contohnya bahan pembersih, pelumas dan bahan bakar). Fasilitas tersebut sebaiknya dirandang untuk : • Memudahkan kegiatan
pembersihan dan perawatan
• Mencegah masuknya hama dan hewan pengganggu lainnya
• Mencegah kerusakan pangan (contohnya dengan melakukan pengaturan suhu dan kelembaban ruangan)
PENYIMPANAN (J) 1. Penyimpanan
bahan dan produk 2. Tata cara
penyimpanan 3. Penyimpanan
bahan berbahaya 4. Penyimpanan label
dan kemasan. 5. Penyimpanan
peralatan
Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit ditemukan bahwa rata-rata temperatur lemari pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan temperatur 7o
PENYIMPANAN
C. Menurut Jay et al. (2005) suhu yang direkomendasikan untuk penyimpanan makanan enteral yang telah
1. Tempat penyimpanan bahan baku
2. Tata cara penyimpanan
3. Penyimpanan makanan enteral
4. Penyimpanan bahan berbahaya
Penyimpanan bahan baku, tata cara penyimpanan dan penyimpanan bahan berbahaya mirip dengan CPPB-IRT. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu 0-70C dengan lama penyimpanan maksimal 24 jam..
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
93
Tersedia 1 (satu) buah kulkas (untuk golongan A1) (28). Tersedia lemari penyimpanan dingin dengan suhu 5oC dilengkapi dengan termometer pengontrol (untuk golongan A3) (34). Lemari pendingin dapat mencapai suhu -10o
Bahan baku dan bahan lain harus disimpan sedemikian rupa sehingga terhindar daripencemaran, kerusakan, dan penurunan mutu. Stok bahan baku dan ingredien yang digunakan harus diatur rotasi stoknya dengan sistem First Expiry First Out (FEFO) dan atau First In First Out (FIFO) dan bahan tertentu harus disimpan dalam kondisi dingin. C
(untuk golongan B) (40). Lemari pendingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai kebutuhan (untuk golongan C) (43)
TEMPAT PENYIMPANAN (B3) 1. Tempat
penyimpanan bahan dan produk
2. Tempat penyimpanan bahan bukan produk.
direkonstitusi yaitu antara 0oC sampai dengan 7oC dengan suhu optimum 4,4o
C.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
94
PRIORITAS DALAM MEMASAK Dahulukan memasak makanan yang tahan lama, makanan rawan seperti makanan berkuah dimasak paling akhir (*) MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak (18). Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa (19).
PENERIMAAN BAHAN Penerimaan bahan harus sesuai dengan spesifikasi, harus memiliki prosedur verifikasi yang dapat memastikan kinerja pemasok. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN Perusahaan harus menyiapkan pedoman tertulis untuk pelaksanaan penanganan, penyimpanan dan pengangkutan bahan baku dan bahan lain disertai dengan lembar kerja untuk pemantauan pelaksanaan kegiatan tersebut. Pedoman tersebut harus memuat cara pencegahan kerusakan melalui pengaturan suhu, kelembaban serta lainnya.
PENGENDALIAN PROSES (H) 1. Penetapan
spesifikasi bahan baku.
2. Penetapan komposisi dan formulasi bahan.
3. Penetapan cara produksi yang baku.
4. Penetapan spesifikasi kemasan.
5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi.
PENGENDALIAN PROSES 1. Penetapan spesifikasi
bahan baku 2. Proses produksi
makanan enteral 3. Jenis wadah 4. Volume wadah 5. Keterangan produksi 6. Bank sampel
Produk yang bermutu berasal dari bahan baku yang bermutu dan proses yang benar oleh karena itu diperlukan spesifikasi bahan baku dan standar proses. Hasil penelitian Beattie et al. (2001) menyatakan bahwa penuangan merupakan sumber kontaminasi maka untuk mengurangi frekuensi penuangan digunakan wadah dengan volume satu kali konsumsi (porsi)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
95
Bahan baku dan bahan lain yang disuplai harus dapat dijaga sehingga tidak dapat mengandung cemaran pada produk akhir dalam jumlah yang dapat menyebabkan penyakit pada bayi dan anak. Bahan baku yang disuplai oleh perusahaan tidak boleh mengandung parasit, mikroba atau toksin, bahan-bahan pencemar lainnya yang tidak dapat dikurangi jumlahnya sampai batas yang dapat diterima/aman, melalui proses sortasi, persiapan dan atau pengolahan.
Setiap kali produksi unit penyedia makanan enteral akan memproduksi makanan enteral yang bervariasi tergantung diet pasien. Untuk menghindari kekeliruan pemberian, perlu ditulis keterangan produksi pada bagian luar kemasan. Keterangan yang diperlukan antara lain jam produksi, diet dan peruntukan. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu (0OC - 7 OC) dengan lama penyimpanan maksimum 24 jam.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
96
PENGENDALIAN PROSES Waktu dan suhu pemanasan, pendinginan, proses dan penyimpanan perlu di atur dengan tepat untuk menjaga keamanan dan kualitas pangan. Seluruh tipe proses yang digunakan harus dilakukan kegiatan untuk menghindari pencemaran pada saat proses pembuatan formula bubuk. Tindakan yang efektif harus dilakukan untuk mencegah pencemaran bahan pangan secara langsung atau tidak langsung dengan bahan lain pada tahap proses yang seawal mungkin.
Seperti halnya pangan siap saji, makanan enteral mempunyai peluang terkontaminasi. Bank sampel diperlukan untuk konfirmsi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
97
Pencegahan pencemaran mikroba dapat dilakukan dengan cara : bahan baku yang belum diolah harus dipisahkan dari produk akhir, jalan masuk ke ruang produksi harus dibatasi dan dikontrol, untuk area berisiko tinggi operator harus memakai pakaian khusus termasuk alas kaki serta mencuci tangan sebelum memasuki ruangan.
PENGEMASAN Bahan pengemasan harus bermutu baik dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap pencemaran.
LABEL PANGAN (I) 1. Persyaratan label
Parameter pengemasan atau dalam hal CPMEB disebut dengan wadah masuk ke dalam pengendalian proses, karena pada dasarnya wadah untuk makanan enteral merupakan wadah yang digunakan hanya dalam waktu pendek (max. 24 jam).
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
98
Kemasan harus diperiksa segera sebelum digunakan untuk menjamin kebersihannya. Pengemasan harus dilaksanakan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya pencemaran terhadap formula bahan. Setiap kemasan harus diberikan tanda yang jelas dan permanen dalam bentuk kode atau tulisan yang menunjukkan “lot/batch” Panduan untuk menyiapkan dan menyajikan formula bayi, formula lanjutan dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi.
Wadah harus dalam keadaan tersanitasi untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
99
MANAJEMEN DAN SUPERVISI Pengawasan produk akhir formula bubuk harus sesuai dengan standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia atau regulasi teknis yang terkait. Mutu dan keamanan produk akhir harus dipantau secara berkala dengan melakukan pengujian organoleptik, fisik, kimia, mikrobiologi dan atau biologi.
MANAJEMEN PENGAWASAN (K) 1. Penanggung jawab 2. Pengawasan
MANAJEMEN PENGAWASAN 1. Penanggung jawab
proses produksi 2. Pengawasan proses
produksi dan higiene sanitasi
Pelaksanaan manajemen pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi mirip pada CPPB-IRT
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
100
PROSEDUR PENARIKAN Manajemen perusahaan harus menjamin prosedur penarikan produk dilaksanakan tepat dan efektif untuk menangani bahaya keamanan pangan dan untuk melakukan penarikan produk bermasalah dengan mudah dan cepat dari peredaran. PEMELIHARAAN DAN PEMBERSIHAN SARANA PRODUKSI Residu bahan pembersih pada permukaan perlengkapan atau peralatan yang bersentuhan dengan pangan harus dihilangkan melalui pembilasan dengan air yang memenuhi persyaratan air minum sebelum digunakan.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
101
Lantai termasuk saluran pembuangan, dinding dan bagian dari tempat produksi pangan harus dibersihkan segera setelah pekerjaan selesai atau pada waktu yang ditentukan. PROGRAM PEMBERSIHAN Program pembersihan harus mampu menjamin kebersihan semua perlengkapan, peralatan dan bangunan sarana produksi. Perlengkapan harus dikeringkan secepatnya untuk mencegah pertumbuhan pada perlengkapan. Perlengkapan yang sulit dikeringkan sehingga memungkinkan terjadi pertumbuhan mikroba, harus didisinfeksi segera sebelum digunakan.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
102
Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya (25). Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur (26).
SISTEM PENGENDALIAN HAMA
Praktek kebersihan yang baik harus diterapkan untuk menghindari terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk hama. Sanitasi yang baik, pemeriksaan bahan yang masuk dan pemantauan yang baik dapat meminimalkan kemungkinan serangan hama, dengan demikian mengurangi kebutuhan pestisida. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain bangunan selalu dijaga dalam keadaan terawat dan kondisi baik untuk mencegah akses hama dan menghilangkan tempat yang berpotensi untuk berkembang biak hama.
PENGENDALIAN HAMA (F) 1. Hewan peliharaan. 2. Pencegahan
masuknya hama 3. Pemberantasan
hama
PENGENDALIAN HAMA 1. Pencegahan
masuknya hama 2. Pemberantasan
hama
Cara mengendalikan hama pada prinsipnya mirip dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
103
Pemantauan dan deteksi harus dilakukan secara berkala terhadap tanda infestasi hama. Infestasi hama harus ditangani dengan segera dan tanpa mempengaruhi keamanan atau kelayakan pangan.
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH Limbah harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran terhadap pangan atau air minum.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
104
PEMANTAUAN KEEFEKTIFAN Pemantauan keefektifan prosedur pembersihan dan disinfeksi dilakukan secara mikrobiologi terhadap pangan dan permukaan yang bersentuhan dengan pangan.
KARYAWAN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (15) Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis (16)
HIGIENE KARYAWAN Setiap karyawan yang bersentuhan dengan pangan, dengan bagian peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan dan dengan pengendalian penyakit, kebersihan dan kebiasaan karyawan untuk menjamin higiene karyawan. Kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat karyawan harus dipersyaratkan sejak proses penerimaan.
KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN (G) Karyawan selalu dalam keadaan sehat ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan kesehatan secara berkala (G1) Kebersihan karyawan di tinjau dari (G2) : 1.Kebersihan badan 2.Kebersihan pakaian 3.Kebersihan tangan 4.Perawatan luka
HIGIENE KARYAWAN 1. Kebersihan
karyawan 2. Kebersihan tangan 3. Pemeriksaan
kesehatan 4. Kesehatan karyawan 5. Perilaku karyawan 6. Perhiasan dan
asesoris lainnya
Persyaratan kesehatan dan higiene karyawan pengolah makanan enteral pada dasarnya sama dengan penjamah makanan pada jasaboga maupun industri rumah tangga.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
105
Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan (17)
Kebiasaan karyawan ditinjau dari perilaku karyawan dan pemakaian perhiasan (G3).
Tenaga/karyawan pengolah makanan (*): Memiliki sertifikat 1. kursus higiene
sanitasi makanan. 2. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat dokter. 3. Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis dan lain-lain atau pembawa kuman (carrier). 4. Setiap karyawan
harus memiliki buku pemeriksaan
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
PELATIHAN KARYAWAN (M) Pengetahuan karyawan
PELATIHAN 1. Pengetahuan
karyawan
Pelatihan karyawan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ktrampilan yang akhirnya mendorong karyawan untuk menerapkan hasil pelatihan. Kebutuhan pelatihan pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
106
5. kesehatan yang berlaku
6. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.
7. Perilaku selama bekerja/mengolah makanan tidak merokok,tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan, tidak memakai peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluannya, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah bekerja dan setelah keluar dari toilet/jamban, selalu memakai pakaian kerja yang bersih, tidak banyak
Penanganan pangan dan supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk. Supervisor atau penanggungjawab pengolahan PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Penanganan pangan dan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
107
berbicara dan selalu menutup mulut pada saat batuk atau bersin dengan menjauhi makanan atau keluar ruangan, tidak menyisir rambut di dekat makanan yang akan dan telah diolah.
supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk. Supervisor atau penanggungjawab pengolahan Pengolahan pangan harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan mengenai prinsip higiene dan sanitasi pangan serta pelaksanaan cara produksi yang baik untuk dapat memperkirakan risiko yang dapat muncul dan untuk mengambil langkah penanggulangan yang diperlukan.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
108
Pelatihan Penyegaran Diperlukan penjadwalan pelatihan lanjutan untuk perbaikan atau penyegaran terhadap prosedur yang sudah dilakukan.
Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan (untuk golongan A3) (35) Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak (untuk golongan C) (44).
TRANSPORTASI Proses transportasi formula bubuk harus sesuai dengan cara distribusi pangan yang baik.
PENYALURAN MAKANAN 1. Suhu saat penyaluran
makanan. 2. Alat penyaluran
Makanan enteral diperuntukkan bagi orang yang rentan terhadap kesehatan. Selama prosesnya tidak ada perlakuan yang ditujukan untuk mengawet. Oleh karena itu perlu dijaga agar tidak mudah terjadi kontaminasi selama penyaluran. Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari “danger zone” dan mengusahakan sehigienis mungkin pada saat penyaluran.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
109
Pengangkutan bahan baku maupun makanan jadi tidak bercampur dengan bahan berbahaya, beracun, menggunakan kendaraan khusus pengangkut bahan makanan yang higiene, suhu bahan makanan harus menjamin tidak terjadi kontaminasi (*)
INFORMASI PRODUK DAN PENDIDIKAN KONSUMEN Informasi produk yang dimaksud di dalam pedoman ini adalah pelabelan termasuk keterangan mengenai lot atau batch produk. Pemberian label yang jelas dan informatif memudahkan konsumen untuk memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi produk,
PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN SOP pemberian makanan enteral kepada pasien.
Berdasarka penelitian Best (2008) terindikasi bahwa terjadi kesenjangan antara standar sistem penyajian makanan enteral dan praktek di lapangan sehingga diperlukan SOP untuk mengontrol bahwa pemberian makanan enteral sudah dilakukan sebagaimana mestinya.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)
110
sedangkan keterangan lot/batch diperlukan produsen untuk dokumentasi produk. Pendidikan konsumen- perlu disusun dokumen yang bersifat edukatif mengenai cara penyiapan dan penggunaan formula bubuk untuk didistribusikan kepada seluruh konsumen.
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang harus dibuat adalah mengenai proses pengolahan dan produksi dari setiap lot/batch ; untuk verifikasi dalam rangka pengendalian proses produksi dan mengenai karyawan yang mengikuti pendidikan dan pelatihan
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI ( L) 1. Pencatatan dan
dokumentasi. 2. Penyimpanan
catatan dan dokumentasi
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI 1. Pelaksanaan
pencatatan dan dokumentasi.
2. Penyimpanan catatan
Mekanisme pencatatan dan dokumentasi mirip dengan CPPB – IRT 2003.
`Keterangan : (*) parameter yang tercantum pada pedoman umum tetapi tidak tercantum pada formulir uji kelaikan fisik.
111
PEDOMAN CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DI RUMAH SAKIT
I. BANGUNAN DAN FASILITAS RUANG PRODUKSI
Bangunan dan fasilitas ruang produksi seharusnya didesain dan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kuat, mudah dibersihkan serta dapat menjamin terciptanya mutu dan keamanan pangan.
1) Disain dan Tata Letak
Ruang produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan.
2) Lantai a) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus
tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan dan dibuat miring untuk memudahkan pengaliran air.
b) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan.
c) Lantai harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir dan kotoran lainnya.
3) Dinding
a) Dinding seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah megelupas, kuat dan mudah dibersihkan.
b) Dinding harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya.
4) Langit- langit
a) Konstruksi langit-langit seharusnya didisain dengan baik untuk mencegah penumpukan debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama, memperkecil terjadinya kondensasi, serta terbuat dari bahan tahan lama dan mudah dibersihkan.
b) Langit-langit harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, sarang labah-labah dan kotoran lainnya.
5) Pintu, Jendela dan Lubang Angin
a) Pintu dan jendela seharusnya dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan.
b) Pintu, jendela dan lubang angin seharusnya dilengkapi dengan kawat kasa yang dapat dilepas untuk memudahkan pembesihan dan perawatan.
112
c) Pintu seharusnya didisain membuka ke luar/ ke samping
sehingga debu atau kotoran dari luar tidak terbawa masuk melalui udara ke dalam ruangan pengolahan.
d) Pintu seharusnya dapat ditutup dengan baik dan selalu dalam keadaan tertutup.
e) Lubang angin harus cukup sehingga udara segar selalu mengalir di ruang produksi.
f) Lubang angin harus selalu dalam keadaan bersih, tidak berdebu dan tidak dipenuhi sarang laba-laba.
II. RUANG PRODUKSI
Ruang produksi seharusnya dipersiapkan dan dirawat sedemikian rupa sehingga karyawan leluasa dalam bekerja dan senantiasa terpelihara kebersihannya dan tidak menjadi sumber kontaminasi silang. 1) Luas ruangan
a) Luas ruang produksi harus sesuai dengan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang produksi.
b) Luas lantai ruang produksi yang bebas dari peralatan, minimal dua meter persegi (2m2
) untuk setiap orang pekerja.
2) Kondisi ruangan a) Ruang produksi harus selalu dijaga dalam keadaan bersih dan
tersanitasi agar tidak terjadi pencemaran. b) Pintu ruang produksi harus dapat mencegah terjadinya
kontaminasi. c) Hanya karyawan yang berkepentingan yang berada di dalam
ruang produksi dengan selalu menerapkan higiene sesuai ketentuan.
d) Tindakan pengamanan harus dilakukan terhadap pengunjung yang memasuki ruang produksi agar tidak terjadi pencemaran.
e) Ruang produksi seharusnya cukup terang sehingga karyawan dapat mengerjakan tugasnya dengan teliti.
3) Letak ruang produksi
a) Ruang produksi makanan enteral harus terpisah dari ruang pengolahan makanan biasa.
b) Ruang produksi tidak boleh berhubungan langsung dengan toilet/jamban, peturasan dan kamar mandi.
113
III. PERALATAN PRODUKSI
Peralatan produksi yang kontak langsung dengan makanan enteral seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan makanan enteral yang dihasilkan.
a) Peralatan produksi seharusnya terbuat dari bahan yang kuat dan
tidak bereaksi dengan produk. b) Permukaan yang kontak langsung dengan produk seharusnya
halus, tidak bercelah, tidak mengelupas dan tidak menyerap air. c) Semua peralatan seharusnya dipelihara agar berfungsi dengan
baik dan selalu dalam keadaan bersih. d) Peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan
sesudahnya tidak ada perlakuan yang dapat membunuh mikroba, seharusnya dalam keadaan tersanitasi sebelum digunakan.
e) Pencucian blender dilakukan dengan membongkar wadah dan telah tersanitasi sebelum digunakan.
f) Sebaiknya penyimpanan peralatan dilakukan dalam ruang yang terlindung dari debu, kotoran atau pencemaran lainnya.
IV. FASILITAS SANITASI
Fasilitas sanitasi diperlukan untuk menjamin agar ruang pengolahan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih sehingga tidak terjadi kontaminasi silang terhadap produk.
1) Air
a) Air yang digunakan harus air bersih dan jumlahnya cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan.
b) Air yang dipergunakan sebagai ingredien harus memenuhi persyaratan air minum.
c) Air yang digunakan untuk proses pengolahan maupun ingredien harus memenuhi syarat kesehatan air minum.
d) Jumlah air cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan.
2) Fasilitas sanitasi
a) Tersedia tempat sampah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah.
b) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup. c) Sampah tidak menjadi sumber pemcemaan. d) Alat cuci/pembersih seperti sikat, pel, deterjen dan bahan sanitasi
harus tersedia dan terawat dengan baik.
114
3) Kegiatan sanitasi
a) Kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan peralatan harus dilakukan secara rutin.
b) Harus ada karyawan yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan.
V. PENYIMPANAN BAHAN BAKU
Penyimpanan yang baik dapat mempertahankan mutu dan keamanan bahan baku serta produk yang dihasilkan.
Penyimpanan bahan baku dan produk a) Penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan di tempat yang
bersih. b) Penyimpanan bahan baku dan produk harus sesuai dengan
persyaratan suhu penyimpanannya. c) Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan di
tempat kering, misalnya garam, gula, susu dan tepung. d) Bahan baku yang digunakan diatur stoknya dengan sistem First
In First Out (FIFO) dan atau First Expiry First Out (FEFO). Penyimpanan bahan berbahaya.
Bahan berbahaya seperti pemberantas serangga, tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya.
VI. PENGENDALIAN PROSES
Pengendalian proses dimulai dari pemilihan bahan baku sampai dengan produk siap dikonsumsi yang diperlukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan senantiasa konsisten pada setiap tahap.
1) Pemilihan bahan baku
a) Bahan baku berasal dari tempat resmi yang terawasi. b) Pemilihan bahan baku berdasarkan standar spesifikasi yang
menjamin mutu bahan.
2) Penetapan cara produksi yang baku a) Harus menentukan proses produksi makanan enteral yang baku. b) Proses produksi harus memperhatikan keamanan pangan dan
pemenuhan gizi pasien. c) Harus membuat bagan alirnya atau urut-urutan prosesnya secara
jelas.
115
3) Produk (makanan enteral)
a) Makanan bebas dari cemaran fisik, kimia dan biologi. b) Makanan enteral harus sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. c) Ada bank sampel untuk konfirmasi bila terjadi gangguan
atau tuntutan konsumen.
4) Wadah makanan enteral a) Wadah makanan enteral terbuat dari bahan yang tidak mudah
bereaksi dengan produk. b) Wadah mudah untuk disanitasi. c) Volume wadah harus sesuai dengan volume makanan enteral
untuk kebutuhan satu kali konsumsi.
5) Keterangan produksi Keterangan produksi dicantumkan pada wadah diperlukan untuk memudahkan distribusi. Keterangan produksi minimal terdiri dari keterangan jam produksi, jenis diet, nama pasien.
6) Jika dilakukan penyimpanan makanan enteral siap konsumsi,
a) Penyimpanan makanan enteral dilakukan di tempat yang bersih.
b) Penyimpanan makanan enteral harus sesuai dengan persyaratan suhu penyimpanan.
c) Lamanya penyimpanan harus menjamin makanan enteral tetap dalam keadaan aman untuk dikonsumsi.
VII. MANAJEMEN PENGAWASAN
Kegiatan pengawasan terhadap seluruh tahap proses produksi dan pengendaliannya diperlukan untuk menjamin diterapkannya proses dan pengendalian yang sudah ditentukan.
a) Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan
tentang prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang ditanganinya.
b) Kegiatan pengawasan hendaknya dilakukan secara rutin.
VIII. PENGENDALIAN HAMA Hama (tikus, serangga dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan.
116
1). Pencegahan masuknya hama
a). Lubang-lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama harus selalu dalam keadaan tertutup. b). Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama. 2). Pemberantasan hama a). Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruh mutu dan keamanan pangan. b). Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti perangkap tikus atau secara kimia seperti racun tikus. c). Perlakuan dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan.
3). Penyimpanan bahan pemberantas hama. Bahan pemberantas hama seperti pemberantas serangga,
tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya.
IX. HIGIENE KARYAWAN
Higiene karyawan meliputi kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat, diperlukan untuk menjamin tidak terjadi kontaminasi silang dari karyawan terhadap produk.
1) Kebersihan karyawan
a) Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya. b) Pakaian dan perlengkapannya (celemek, penutup kepala)
hanya dipakai untuk bekerja. c) Karyawan harus menutup luka dan perban. d) Karyawan harus selalu mencuci tangan dengan sabun
sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet/jamban.
e) Tidak terjadi kontak langsung antara anggota tubuh dengan makanan
2) Kesehatan karyawan
a) Karyawan memiliki sertifikat higiene sanitasi makanan. b) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter.
117
c) Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera,
TBC, hepatitis, dll atau pembawa kuman. d) Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan
kesehatan yang berlaku. e) Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen)
dibuktikan dengan hasil usap dubur (rectal swab).
3) Kebiasaan karyawan Karyawan tidak boleh bekerja sambil mengunyah, makan dan minum, merokok, menyisir rambut dekat makanan, tidak boleh meludah, tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, tidak boleh mengenakan perhiasan seperti giwang, cincin, gelang, kalung, arloji dan peniti.
X. PENYALURAN MAKANAN
Penyaluran makanan enteral adalah proses memindahkan makanan enteral dari tempat proses ke ruang rawat inap harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontaminasi silang.
a) Menggunakan tempat khusus penyaluran makanan enteral yang selalu dalam keadaan higienis.
b) Suhu makanan enteral selama penyaluran harus diatas 65oC atau dibawah 5 o
c) Jangan biarkan makanan berada pada suhu kisaran 5 – 65C.
0
C selama lebih dari 4 (empat) jam.
XI. PELATIHAN KARYAWAN Penanggung jawab unit penyedia dan penjamah makanan enteral harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan makanan enteral agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman.
a). Penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti kursus higiene
sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggung jawab jasaboga.
b) Penjamah makanan harus sudah mengikuti kursus sanitasi makanan bagi penjamah makanan.
c) Penanggung jawab tersebut harus menerapkan serta mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada karyawan lain.
118
XII. PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN
Pemberian makanan enteral kepada pasien harus selalu berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP) yang benar agar pasien merasa nyaman dan aman.
a) Standard Operational Procedure (SOP) disusun dengan
mempertimbangkan kenyamanan dan keamanan pasien pada saat mengkonsumsi. b). Petugas yang bertanggungjawab memberikan makanan enteral kepada pasien harus menjaga higiene sesuai dengan yang ditentukan.
XIII. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.
a). Pencatatan dan dokumentasi dilakukan pada bahan baku, jenis dan tanggal produksi serta peruntukkan produk. b). Catatan dan dokumen harus disimpan paling tidak selama satu tahun.
Keterangan : : Keterangan ada pada draf 1 dan dihilangkan pada draf 2. : Keterangan yang ditambahkan pada draf 2.
136
Lampiran 6 : Denah unit penyedia makanan enteral (unit produksi makanan cair) di rumah sakit X
Ruang 1 : ruang persiapan snack (bukan untuk keperluan makanan enteral) terdiri dari :
Keterangan :
a. Meja persiapan snack (diatasnya terdapat lemari gantung untuk menyimpan peralatan pengolahan makanan enteral).
Ruang 2 : ruang pengolahan, terdiri dari : b. Meja persiapan merangkap meja kerja c. Meja distribusi d. Meja pengolahan e. Pemanas air dilengkapi difilter f. Washtafel g. Kulkas
Ruang 3 : ruang distribusi (tempat petugas distribusi antri)
3 c
d e f g
2
a 1
b
138
Lampiran 8 : Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
c b
i
h 3
g
4
j k
1 a
4,5
6
9
11,5
4
7
2
d
f
e
Ϲ Ϲ
Ϲ
Ruang 1 : Ruang cuci tangan, terdiri dari ; a. Washtafel b. Lap basah c. Lap kering
Ruang 2 : Ruang pencucian bahan baku dan peralatan d. Rak piring e. Pipa aliran gas f. Tempat pencucian bahan baku dan peralatan
Ruang 3 : Ruang pengolahan g. Meja persiapan dan pengolahan h. Meja distribusi i. Meja kerja j. Rak penyimpanan formulir k. Lemari penyimpanan hot&cool thermobox
Ruang 4 : ruang distribusi
139
Lampiran 9 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO (diet tinggi kalori tinggi protein)
RSPAD GATOT SOEBROTO
PROSEDUR PEMBUATAN FORMULA WHO
NO.DOKUMEN NO.REVISI HALAMAN 1/1
PETUNJUK PELAKSANAAN TANGGAL TERBIT
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Ketua Komite Medik
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Pembuatan formula WHO adalah Tahapan kegiatan pembuatan formula WHO sesuai dengan standar di dapur susu Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
TUJUAN Memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein dan cukup vitamin,mineral secara bertahap sesuai dengan standart
DASAR • Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten /
Kodya Depkes RI tahun 1999 • Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006
PROSEDUR
Bahan : • Susu full cream, skim. gula, minyak goreng. Peralatan : • Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram • Alat pelindung diri (APD) • Sendok, Mangkok, Etiket • Rak penyimpanan Cara pembuatan : • Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan yang benar • Menggunakan Alat Peindung Diri (APD) • Menghitung komposisi bahan sesuai dengan permintaan berdasarkan
standart formula WHO • Menyiapkan alat dan bahan makanan pembuatan formula WHO • Menimbang susu, gula pasir, minyak sayur sesuai dengan standart yang
telah ditentukan • Mencampur gula dan minyak sayur aduk sampai rata, kemudian
masukan susu sedikit demi sedikit aduk sampai tercampur rata (kalis) • Membagi dan menimbang formula tersebut sesuai dengan jumlah yang
diberikan per hari • Memasukkan formula kedalam plastic sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan • Memberikan label (nama, nomor cm, ruangan, diagnose, jenis formula) • Mendistribusikan formula ke petugas gizi ruangan • Membersihkan ruangan • Membuat pencatatan dan pelaporan Lama waktu pembuatan • Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan formula WHO ±
15 menit
UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
140
Lampiran 10 : Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral formula WHO
RSPAD GATOT SOEBROTO
PROSEDUR PENYAJIAN DAN PENYIMPANAN FORMULA WHO
NO. DOKUMEN
NO.REVISI HALAMAN 1/1
PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Ketua Komite Medik
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Penyajian dan Penyimpanan formula WHO adalah tahapan kegiatan penyajian dan penyimpanan formula WHO pada pasien sesuai dietnya diruang perawatan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
TUJUAN
Menyajikan formula WHO kepada pasien sesuai dengan standart sehingga menghasilkan formula yang optimal dalam rangka perbaikan gizi pasien
DASAR
• Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten / Kodya Depkes RI tahun 1999
• Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006
PROSEDUR
I. Penyajian a. Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan
yang benar b. Menggunakan alat pelindung diri (APD) c. Menyiapkan alat penyajian yang telah dibersihkan d. Memasukan formula WHO ke dalam wadah e. Mengencerkan formula dengan air hangat sedikit demi sedikit
sambil diaduk sampai homogen dan mencapai volume yang ditentukan
f. Menyajikan formula WHO ke pasien g. Membersihkan alat yang telah digunakan h. Membersihkan ruangan
II. Penyimpanan a. Penyimpanan formula WHO ditempat yang kering pada suhu
ruang
UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
141
Lampiran 11 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula rumah sakit
RSPAD GATOT SOEBROTO
PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL CAIR RUMAH SAKIT
NO. DOKUMEN
NO.REVISI HALAMAN 1/1
PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Ketua Komite Medik
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Makanan cair adalah makanan yang mempunyai kosistensi cair hingga kental, makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah
TUJUAN
Makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah, menelan,mencerna makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi,rasa mual, muntah, pasca pendarahan saluran cerna serta pra dan pasca bedah, makanan dapat diberikan secara oral atau enteral.
DASAR Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007
PROSEDUR
I. Bahan : Susu full cream, susu skim, telur ayam negeri, gula pasir, minyak jagung Air panas 100°C
II. Peralatan : Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram, kompor, saringan, gelas ukur Pengaduk kayu / sodet kayu, panci, tempat penyimpanan bahan enteral, sendok,mangkok, botol ukur untuk distribusi makanan enteral Kulkas dengan dua suhu (hot and cool), wrapping film.
III. Cara pembuatan a. Timbang bahan sesuai kebutuhan b. Campurkan seluruh bahan kecuali air,aduk sampai rata c. Tambahkan air panas sesuai takaran aduk rata kembali, d. Saring masuk kedalam botol distribusi makanan cair,tutup botol
dengan wrapping film. e. Tempelkan etiket sesuai permintaan ruangan
IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan
enteral cair ± 15 menit
UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
142
Lampiran 12 : Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet hati).
RSPAD GATOT SOEBROTO
PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL DH I (SARI BUAH PEPAYA) RUMAH SAKIT
NO. DOKUMEN
NO.REVISI HALAMAN 1/1
PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
Ketua Komite Medik
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mempunyai nafsu makan
TUJUAN
DASAR Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007
PROSEDUR
I. Bahan : a. Buah Pepaya b. Gula Pasir c. Air matang suhu ruang
II. Peralatan a. Blender b. Pisau c. Talenan d. Saringan e. Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram f. Sendok g. Mangkok h. Botol ukur untuk distribusi makanan enteral a. Kulkas dengan dua suhu (hot and cool) b. wrapping
III. Cara pembuatan a. Kupas buah papaya kemudian bersihkan dan potong – potong b. Timbang bahan kecuali air c. Blender bahan kemudian tambahkan air d. Saring bahan e. Sajikan dibotol distribusi tutup dengan plastic wrapping f. Tempelkan Etiket dibotol distribusi
IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan
enteral DH I (Sari Buah Pepaya) ± 15 menit
UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad