Download - Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung
Pengaruh Suhu terhadap Denyut Jantung
Debby O.L Sihombing, Lucia D.U.A Lubis, Nisrina Setiowati, Septa Sophiana
Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Medan
Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate
ABSTRAK
Jantung merupakan pompa utama yang mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Jantung berdenyut
terus menerus dan hanya beristirahat setelah kontraksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi denyut
jantung atau cepat lambatnya jantung memompa darah adalah suhu. Perbedaan suhu berpengaruh
dalam cepat atau lambatnya metabolisme tubuh sehingga berpengaruh juga terhadap kinerja jantung.
Selain itu, faktor keturunan dan aktivitas serta jenis kelamin juga mempengaruhi banyaknya
denyutan jantung tersebut. Dalam praktikum pengaruh suhu terhadap denyut jantung ini akan
diketahui bagaimana mengetahui cara mengukur frekuensi denyut jantung dan mengidentifikasi
frekuensi denyut jantung dan pengaruh suhu terhadap denyut jantung.
Kata Kunci: jantung, suhu, metabolisme
PENDAHULUAN
Jaringan otot jantung terdiri atas
sinsisium serabut-serabut otot yang satu
dengan yang lain tidak terpisahkan. Setiap
impuls yang timbul di jantung akan
disebar ke seluruh otot jantung, dengan
demikian kontraksinya selalu akan bersifat
“all-or-none”. Disamping itu, kuat
kontraksi otot sangat ditentukan oleh
panjang awal dari serabut-serabutnya. Satu
sifat utama otot jantung adalah
kemampuannya untuk membangkitkan
sendiri impuls irama denyut jantung
(otomasi jantung). Jantung yang
dikeluarkan dari tubuh mampu untuk tetap
berkontraksi ritmis. Pada amfibia dan
reptilia, irama ditentukan oleh sinus
venosus. Aurikel iramanya kurang cepat
dan ventrikel paling rendah tingkat
otomasinya. Otot jantung peka terhadap
perubahan-perubahan metabolik, kimia
dan suhu. Kenaikan suhu meningkatkan
metabolisme dan frekuensi jantung.
Sistem kardiovaskular terdiri dari
jantung sebagai pemompa dan pembuluh
darah sebagai saluran. Darah dipompakan
oleh jantung ke dalam pembuluh darah dan
akan disebarkan ke seluruh tubuh dan
kemudian kembali lagi ke jantung sebagai
suatu sirkulasi (Halwatiah, 2009: h. 42).
Otot jantung berbeda dari otot
kerangka dalam hal struktur dan
fungsinya. Untuk berkontraksi otot jantung
tidak memerlukan stimulus sebab otot
jantung memiliki sifat otomatis. Pada sel
otot jantung dapat terjadi peristiwa
depolarisasi secara spontan tanpa ada
stimulus. Selain itu otot jantung juga
memiliki sifat ritmis, peristiwa
depolarisasi dan repolarisasi berjalan
menurut irama tertentu (Susanto, 2012).
Jantung berongga ditemukan pada
vertebrata. Jantung ini merupakan organ
berotot yang mampu mendorong darah ke
berbagai bagian tubuh. Jantung
bertanggung jawab untuk mempertahankan
aliran darah dengan bantuan sejumlah klep
yang melengkapinya. Untuk menjamin
kelangsungan sirkulasi, jantung
berkontraksi secara periodik. Apabila
cairan tubuh berhenti bersirkulasi maka
hewan mati.
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilaksanakan pada
bulan Maret 2014 di Laboratorium
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Medan. Percobaan ini menggunakan alat
berupa gelas arloji, pipet tetes,
termometer, pinset, gunting bedah,bak
parafin,dan jarum pentul. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah Rana
esculenta, mencit, air aquades,dan es batu.
Prosedur kerja dari percobaan ini
dimulai dari mempersiapkan air aquades
pada suhu 10ºC,15ºC,20ºC dan 25ºC yang
diletakkan pada gelas arloji yang berada
pada suhu yang telah ditentukan.Rana
esculenta dibedah kemudian diambil
jantungnya, kemudian bangkai katak yang
tidak digunakan dalam praktikum dibuang.
Pada perlakuan I, jantung Rana
esculentadimasukkan kedalam air dengan
suhu 10ºC kemudian dengan
menghidupkan stopwatch selama 15 detik
banyaknya denyut jantung dihitung dan
dilakukan sebanyak tiga kali kemudian
hasilnya dirata-ratakan dan dimasukkan
dalam tabel.Dari jantung Rana esculenta
yang baru dilakukan hal yang sama pada
suhu air 15ºC, 20ºC dan 25ºC. Pada
perlakuan II Mencit dibedah kemudian
jantungnya juga diambil dan dimsukkan
kedalam air dengan suhu 10ºC dan selama
15 detik dihitung berapa banyak denyut
jantungnya,dan hal ini dilakukan sebanyak
tiga kali dan hasilnya juga dirata-
ratakan.Kemudian dengan perlakuan yang
sama jantung Mencit yang baru lagi
dimasukkan kedalam air dengan suhu
selanjutnya yaitu 15ºC,20ºC dan
25ºC.Kemudian dari hasil tersebut
hubungan antara banyaknya denyut
jantung dengan suhu digambarkan melalui
sebuah grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, bahan
yang digunakan adalah katak (Rana sp)
dan mencit (Mus musculus). Berdasarkan
praktikum yang kami laksanakan pertama-
tama, katak dan mencit dibedah
untukmengambil jantungnya. Namun,
sebelum dibedah terlebih dahulu harus
disiapkan air yang memiliki konsentrasi
yang berbeda-beda, yakni konsentrasi
10oC, 15
oC, 20
oC, dan 25
oC.Berikut
merupakan datayang telah berhasil didapat
melalui praktikum ini.
Perlakuan
Rata-Rata
Denyut
Jantung
10°C 4
15°C 13
20°C 12,3
25°C 8,6
Tabel 1. Pengamatan Rata-Rata Jumlah
Denyut Jantung pada Rana sp.
Q10 Nilai
10°C dan 20°C 3,075
15°C dan 25°C 0,661
Tabel 2. Aktivitas yang Disebabkan oleh
Kenaikan Suhu 10°C
Waterman (1960) mengemukakan
bahwa hewan kecil memiliki frekuensi
denyut jantung yang lebih cepat dari pada
hewan dewasa baik itu pada suhu atau
temperatur panas, sedang, dingin, maupun
alkoholik. Hal ini disebabkan karena
adanya kecepatan metabolik yang dimiliki
hewan kecil tersebut.
Perbedaan denyut jantung katak
pada tiap-tiap suhu yang berbeda ini
sangat berlawanan dengan pernyataan
yang diungkapkan oleh Waterman tersebut
bahwa pada lingkungan dengan suhu
tinggi akan terjadi peningkatan
metabolisme dalam tubuh, yang kemudian
menyebabkan laju respirasi meningkat
juga dan berdampak pada peningkatan
denyut jantung.
Perbedaan ini ditandai dengan rata-
rata denyut jantung katak yang semakin ke
suhu yang tinggi semakin sedikit. Dari
suhu 10oC ke suhu 15
oC memang terjadi
peningkatan denyut jantung karena
suhunya semakin tinggi. Namun, ketika
suhu dinaikkan pada suhu 20oC hingga
pada suhu 25oC terjadi penurunan denyut
jantung.
Apabila dibandingkan dengan
literatur, maka pengamatan yang dilakukan
tidak berhasil. Hal ini kemungkinan
dikarenakan terjadinya kesalahan dalam
penghitungan denyut jantung pada saat
pengamatan.
Pada perlakuan yang dilakukan
pada mencit (Mus musculus), tidak terjadi
keberhasilan. Hal ini dikarenakan jantung
mencit yang sudah diambil pada saat
pembedahan tubuhnya, tidak dapat
bertahan lama. Sehingga, pengamatan
terhadap denyut jantung mencit tidak
dilakukan.
Kecepatan kematian pada mencit
tersebut disebabkan karena lemahnya
jantung mencit tersebut.
Dari setiap peningkatan suhu
sebesar 10oC akan meningkatkan laju
konsumsi oksigen atau dalam hal ini
adalah denyut jantung sebesar 2 sampai 3
kali kenaikan.
Pada seekor hewan yang memiliki
rentangan suhu toleransi luas, kecepatan
konsumsi oksigennya akan meningkat
dengan cepat begitu suhu lingkungannya
naik. Bila pengaruh suhu terhadap
kecepatan konsumsi oksigen ini
digambarkan grafiknya, akan diperoleh
kurva eksponensial.
Grafik hubungan antara denyut jantung
katak dengan suhu.
Denyut jantung
20
15
10
5
(oC)
10 15 20 25
Berdasarkan grafik di atas, dapat
diperoleh bahwa semakin ke suhu yang
tinggi denyut jantung yang awalnya
meningkat pada suhu 10oC dan 15
oC
kembali menurun pada suhu 20oC dan
25oC.
Sesuai dengan pernyataan di atas,
maka praktikum yang dilakukan tidak
berhasil, karena tidak menghasilkan kurva
yang eksponensial.
KESIMPULAN
Pada praktikum ini dapat
disimpulkan bahwa pengaruh suhu panas
dan dingin terhadap denyut jantung katak
(Rana esculenta) adalah pada suhu panas,
denyut jantung pada katak meningkat
karena saat suhu tinggi metabolisme juga
semakin cepat sehingga denyut jantung
pun semakin cepat, sedangkan pada suhu
dingin denyut jantung pada katak menurun
karena pada suhu dingin metabolisme
tubuh melambat dan juga terjadi
hipotermia sehingga denyut jantung pun
melambat. Pada pengamatan yang sama
pada mencit, terjadi kesalahan dalam
percobaan yaitu jantung dari mencit
tersebut telah tidak berdetak lagi, hal ini
dikarenakan terlalu banyak klorofom yang
digunakan untuk membius mencit
sehingga mencit langsung mati bukan
pingsan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. http://fajaroktawidarta.blogspot.com/2011/05/fungsi-empedu-dalam-
pencernaan-lemak.htmldiakses tanggal 6 Maret 2014.
Bevelander, G dan Judith, A. R. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Jakarta: Erlangga.
Campbell, N. A dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Jasin, M. 1984. Sistematik Hewan. Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya.