i
PENGARUH LAMA PEMANASAN DAN PERENDAMAN DALAM
GIBERELIN (GA3) TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
(SKRIPSI)
Oleh
ERNI PERMATA DEWI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ii
ABSTRAK
PENGARUH LAMA PEMANASAN DAN PERENDAMAN DALAM
GIBERELIN (GA3) TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
Oleh
ERNI PERMATA DEWI
Benih kelapa sawit merupakan salah satu benih yang sulit berkecambah cepat dan
serempak, serta daya berkecambah yang rendah dikarenakan pada benih kelapa
sawit mengalami mekanisme dormansi fisik dan fisiologi. Salah satu upaya
pematahan dormansi benih kelapa sawit adalah pemanasan dan pemberian giberelin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai lama pemanasan
basah dan pengaruh berbagai konsentrasi giberelin (GA3) terhadap daya
berkecambah benih kelapa sawit. Percobaan ini dirancang dengan rancangan acak
kelompok dengan dua faktor, yaitu Lama pemanasan basah dan konsentrasi
giberelin. Lama pemanasan basah terdiri dari lima taraf, yaitu dengan
pemanasan selama 20, 25, 30, 35, dan 40 hari. Konsentrasi perendaman giberelin
terdiri dari 4 taraf, yaitu tanpa giberelin (0 ppm), 100, 200, dan 300 ppm.
Hasil penelitian menunjukkan pemanasan basah cenderung berpengaruh dalam
meningkatkan dan mempercepat perkecambahan dalam viabilitas benih kelapa
sawit dapat dilihat dari variabel pengamatan meningkatkan daya bekecambah,
i
panjang plumula, dan intesitas dormansi, panjang akar, dan panjang plumula
terdapat pada pemanasan 30 hari dengan nilai daya berkecambahan tertinggi 64%
pada perendaman giberelin 200 ppm. Selain itu, pada variabel waktu tumbuh
kecambah pada pemanasan 30 dan 35 hari benih kelapa sawit sudah mulai
berkecambah. Sedangkan pemberi giberelin cenderung dapat menurunkan
viabilitas benih kelapa sawit terutama pada pemanasan 20, 25, 30, dan 35 hari.
Namun pada pemanasan 40 hari penambahan giberelin berpengaruh dalam
peningkatan viabilitas benih kelapa sawit khususnya pada perendaman giberelin
100 ppm dengan daya kecambah yaitu 53,3% dibandingkan daya berkecambahan
pada perlakuan tanpa giberelin 41,7%.
Kata kunci: Benih, Giberelin, Pemanasan basah.
Erni Permata Dewi
ii
PENGARUH LAMA PEMANASAN DAN PERENDAMAN DALAM
GIBERELIN (GA3) TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
Oleh
Erni Permata Dewi
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
iii
v
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro pada 19 Agustus 1997 sebagai anak kedua dari 3
bersaudara dari pasangan Bapak Muslim dan Ibu Cik Imah. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Sumur Bandung pada
2009, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Way Jepara pada
2012, dan pada 2015 lulus dari SMA Negeri 1 Way Jepara, Lampung Timur.
Pada 2015 melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) penulis diterima sebagai mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Perkenalan Pertanian (P3) pada
Januari 2016 di Desa Agropeni, Tanggamus, Lampung dan melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) pada Januari—Februari 2018 di Marga Batin, Waway Karya,
Lampung Timur. Pada Juli—Agustus 2018, penulis melaksanakan Praktik Umum
(PU) di PT Great Giant Pineaple Plaintation Grup IV, Lampung Timur, Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai anggota Persatuan
Mahasiswa Agroteknologi (PERMA AGT) dan Anggota Forum Studi Islam
(FOSI).
vii
“Tidak ada manusia yang lahir langsung jadi direktur pasti adanya proses.
Namun kita tidak akan tau jalan yang ditempuh akan lancar atau berliku. Kita
hanya perlu berjalan, bangkit bila jatuh, memanjat jika terperosot, bila perlu
merangkak jika kaki tidak kuat lagi, karena kita harus mencapai tujuan.”
(Erni Permata Dewi)
viii
Bismillahhirrohmanirrohim
Dengan penuh rasa syukur dan bangga ku
Persembahkan karya sederhanaku ini kepada krdua orang tua ku tercinta, kakakku
dan adikku tersayang, dan kepada keluarga besarku yang ku sayangi dan selalu
menyayangiku, dan juga kepada para sahabat dan teman-temanku yang selalu
memberikan semangat, motivasi, dan juga dukungan, serta kepada Almamaterku
tercinta.
ix
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang berperan,
memberikan bantuan, bimbingan, dan saran. Oleh sebab itu, dengan ketulusan
dan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung;
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi atas
izin untuk melaksanakan penelitian;
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., selaku Ketua bidang agronomi
dan hortikultura atas izin untuk melaksanakan penelitian;
4. Bapak Ir. Setyo Widagdo, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Agroteknologi atas
izin untuk melaksanakan penelitian;
5. Bapak Dr. Agustiansyah, S.P., M.Si., selaku Pembimbing Utama sekaligus
Pembimbing Akademik atas persetujuan, arahan, nasehat, ilmu, dan
bimbingan yang diberikan kepada penulis selama masa studi dan penyusunan
skripsi;
6. Bapak Ir. Ardian, M. Agr., selaku Pembimbing Anggota atas persetujuan dan
bimbingan yang diberikan selama masa studi dan penyusunan skripsi;
x
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Setiawan,M.Sc., selaku Pembahas atas bimbingan,
kesabaran, saran, dan perbaikannya;
8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Agroteknologi atas ilmu, bimbingan,
motivasi, nasehat, dan saran yang diberikan;
9. Papah, Mamah, kakakku Nia Yulianti, dan adiku Elvira Pitri Yani yang
sangat saya sayangi, beserta keluarga besarku atas semua kasih sayang,
nasehat, dukungan, dan keceriaan di keluarga serta doa tulus yang selalu
tercurah tiada henti bagi penulis;
10. Made hera, Elisya, Dimas, Imam, Eka, Iyos, Azizah, Erik, Devi, Eka,
Handoko, Danti, Ita, Linda Sri, Ayuk, Emi, Masnur, Marzuki, Aisyah, Yoga,
Wahyu, Linda Lauren, Andin, dan seluruh teman-teman Agroteknologi yang
tidak dapat saya sebut satu-satu dan seluruh teman seperjuangan saat
melaksanakan penelitian benih atas do’a, kenangan, motivasi, bantuan,
kenangan dan kebersamaannya.
Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat
dari Allah SWT, dan penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya. Amin.
Bandar lampung, Oktober 2019
Penulis
Erni Permata Dewi
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah ................................................................ 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 4
1.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 5
1.4 Hipotesis ............................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kelapa Sawit .................................... 8
2.2 Manfaat tanaman kelapa Sawit ............................................................ 11
2.3 Perkecambahan Benih .......................................................................... 14
2.4 Dormansi Benih ................................................................................... 20
2.5 Pematahan Dormansi Benih ................................................................. 23
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 29
3.3 Metode Penelitian................................................................................. 29
3.4 Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 30
3.4.1 Persiapan Benih ......................................................................... 30
3.4.2 Pemanasan ................................................................................. 31
3.4.3 Pembuatan Larutan Giberelin (GA3) ........................................ 32
3.4.4 Perendaman dengan Larutan Giberelin (GA3) ......................... 33
3.4.5 Pengecambahan ......................................................................... 34
3.5 Variabel Pengamatan. .......................................................................... 35
x
3.5.1 Daya Berkecambah (DB) Benih ................................................. 35
3.5.2 Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) ........................................... 36
3.5.3 Kercepatan Perkecambahan (KP) ............................................. 36
3.5.4 Intensitas Dormansi (ID) ........................................................... 36
3.5.5 Rata-Rata Panjang Akar dan Panjang Plumula ........................ 37
3.5.6 Waktu Munculnya Kecambah .................................................... 37
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 38
4.1.1 Daya Berkecambah .................................................................... 38
4.1.2 Potensi Tumbuh Maksimum ....................................................... 41
4.1.3 Kecepatan Perkecambahan (KP) ............................................... 42
4.1.4 Intensitas Dormansi (ID) ........................................................... 44
4.1.5 Panjang Akar ............................................................................. 45
4.1.6 Panjang Plumula........................................................................ 46
4.1.7 Waktu Munculnya Kecambah .................................................... 48
4.2 Pembahasan .......................................................................................... 50
IV. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .............................................................................................. 59
5.2 Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel 3-8 ..................................................................................................... 68-73
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kombinasi-kombinasi perlakuan ........................................................... 30
2. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
waktu munculnya kecambah benih kelapa sawit dan standar errornya . 49
3. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
daya berkecambah benih kelapa sawit dan standar errornya.................. 68
4. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
potensi tumbuh maksimum benih kelapa sawit dan standar errornya.... 69
5. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
kecepatan perkecambahan benih kelapa sawit dan standar errornya. .... 70
6. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
intensitas dormansi benih kelapa sawit dan standar errornya ................ 71
7. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
panjang akar benih kelapa sawit dan standar errornya ........................... 72
8. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
panjang plumula benih kelapa sawit dan standar errornya .................... 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perbedaan Dura, Tenera, dan Psifera ..................................................... 11
2. Benih kelapa sawit ................................................................................. 31
3. Pemanasan benih kelapa sawit pada oven 40 oC .................................... 32
4. Bahan dan alat pembuatan larutan giberelin .......................................... 33
5. Perendaman benih kelapa sawit dengan giberelin ................................. 34
6. Perkecambahan benih kelapa sawit dengan metode UKDdp ................. 35
7. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
daya berkecambah benih kelapa sawit ................................................... 39
8. Foto pengamatan pada perlakuan a)30 hari pemanasan dan giberelin
200 ppm; b)40 hari pemanasan dan giberelin 0 ppm ............................. 40
9. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
potensi tumbuh maksimum kecambah benih kelapa sawit .................... 42
10. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
kecepatan perkecambahan berkecambah benih kelapa sawit dengan
tolok ukur kecepatan tumbuh (% Per 2 etmal) ...................................... 43
11. Pengaruh periode pemanasan dan konsenrasi giberelin terhadap
intensitas dormansi benih kelapa sawit ................................................. 45
12. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
panjang akar kecambah benih kelapa sawit .......................................... 46
13. Pengaruh periode pemanasan dan konsenrasi giberelin terhadap
panjang plumula kecambah benih kelapa sawit .................................... 47
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan
yang memiliki arti penting bagi pembangunan nasional . Manfaat minyak kelapa
sawit digunakan sebagai bahan pembuatan berbagai produk makanan, minyak
margarin, sabun, kosmetik, lilin, deterjen, dan bahan mentah untuk biofuel. Oleh
sebab itu, permintaan kelapa sawit meningkat setiap tahunnya.
Industri kelapa sawit di Indonesia sangat berkembang pesat. Salah satu penentu
perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia adalah faktor lingkungan yang
sesuai untuk pertanaman kelapa sawit. Pada tahun 2016 produksi minyak kelapa
sawit di Indonesia sekitar 33,5 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dengan luas
perkebunan kelapa sawit mencapai 11,6 juta hektar. Sedangkan pada tahun 2006,
Indonesia berada diurutan pertama sebagi produsen CPO terbesar di dunia dengan
menghasilkan 54% CPO dunia. Oleh sebab itu, industri minyak minyak kelapa
sawit di Indonesia menjadi salah satu isu yang menarik perhatian masyarakat
dunia dikarenakan perkembangannya sangat cepat dan dapat mengubah peta
persaingan minyak nabati global, serta menjadi isu sosial,ekonomi, dan
lingkungan yang terkait (Palm Oil Agribusiness Policy Strategic Institute
(PAPSI), 2017).
2
Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit menyebabkan permintaan benih
kelapa sawit juga meningkat. Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
(2017), permintaan benih kelapa sawit meningkat secara signifikan setiap
tahunnya. Pada tahun 2007, permintaan benih kelapa sawit nasional sudah
mencapai 82 juta butir. Namun PPKS Medan pada tahun 2017 hanya mampu
menjual 22 juta kecambah.
Masalah yang mengakibatkan produksi benih kelapa sawit yang rendah
diakibatkan karena benih kelapa sawit memiliki daya berkecambah yang rendah.
Daya kecambah benih kelapa sawit yang rendah ini dikarenakan benih kelapa
sawit mempunyai mekanisme dormansi. Mekanisme dormansi pada benih kelapa
sawit menyebabkan benih sulit untuk berkecambah cepat dan serempak.
Sebagaimana yang di ungkapkan Hertley (1997), bahwa benih kelapa sawit sangat
sulit untuk berkecambah dan tidak dapat tumbuh cepat dan serempak dikarenakan
benih kelapa sawit mempunyai sifat dormansi fisik akibat endorkapnya atau
tempurung yang keras dan tebal menyebabkan benih impermeabel terhadap air
dan gas.
Metode-metode pematahan dormansi benih kelapa sawit yaitu dengan cara
mekanis, seperti pemecahan tempurung, ditusuk, dan pemanasan (stratifikasi).
Metode pematahan dormansi pada benih kelapa sawit yang sudah lama diterapkan
adalah pemanasan. Menurut Farhana, Ilyas, dan Budiman (2013), metode
pemanasan dalam pematahan dormansi kelapa sawit diduga dapat menyebabkan
retaknya operculum pada benih kelapa yang keras dan tebal. Retaknya operculum
menyebabkan benih kelapa sawit dapat mengalami proses imbibisi, sehingga
3
proses metabolisme dapat berjalan dan perkecambahan bisa terjadi. Pematahan
dormansi pada benih kelapa sawit dengan pemanasan membutuhkan waktu yang
cukup lama yaitu 40-80 hari. Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2005),
pematahan dormansi benih kelapa sawit dapat dilakukan dengan pemanasan pada
suhu 40 oC selama 80 hari.
Lamanya waktu pemanasan terjadi karena benih kelapa sawit tidak hanya
mengalami dormansi fisik namun juga mengalami dormansi fisiogis. Menurut
Baskin dan Baskin ( 1998), benih kelapa sawit merupakan salah satu benih yang
memerlukan waktu yang cukup lama untuk berkecambah dikarenakan pada benih
kelapa sawit mempunyai dormansi fisik dan dikombinasi dengan dormansi
fisiologis. Sejalan dengan Nurmailah (1999), mengatakan bahwa pada tempurung
benih kelpa sawit memiliki kadar lignin yang tinggi yaitu 65,7%. Kadar lignin ini
akan menjadi inhibitor yang secara tidak langsung menghambat proses respirasi
dengan menghambat beberapa enzim yang diperlukan dalam respirasi. Hal ini,
mengakibatkan benih kelapa sawit tidak mengalami respirasi dan akhirnya tidak
adanya energi yang akan digunakan untuk proses perkecambahan.
Salah satu cara untuk mematahkan dormansi fisiologi pada benih dapat dilakukan
dengan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT). Zat pengatur tumbuh yang sering
digunakan adalah giberelin (GA3). Beberapa penelitian pematahan dormansi
dengan pemberian giberelin, seperti penelitian Sari, Hanum, dan Carloq (2014),
yang menyimpulkan bahwa pemberian GA3 dengan konsentrasi 300 ppm mampu
mematahkan dormansi pada benih Mucuna bracteata. Selain itu, menurut
penelitian Tetuko, Parman, dan Izzati (2015), pemberian GA3 konsentrasi 100
4
ppm pada benih Hevea brasiliensis dapat meningkatkan persentase
perkecambahan menjadi nmsebesar 28 % dan laju perkecambahan sebesar 45%
benih.
Fungsi giberelin dalam perkecambahan, yaitu untuk meningkatkan potensi
tumbuh dari embrio dan sebagai promotor perkecambahan dan mengatasi
hambatan mekanik oleh lapisan penutup benih (Rusmin, Suwarno, dan Darwati,
2011). Sedangkan perlakuan pemanasan diduga mampu menyebabkan retaknya
operculum yang pada benih. Retaknya operculum menyebabkan terjadinya
imbibisi sehingga proses metabolisme dapat berjalan lebih cepat. Menurut Kamil
(1979), pemanasan dan dilanjutkan dengan perendaman dengan air maka kulit
benih akan permeabel terhadap air dan masuknya oksigen. Oleh sebab itu,
penelitian ini memodifikasi antara pemanasan (startifikasi) dan pemberian zat
kimia giberelin dengan harapan pemberian giberelin dapat mempercepat periode
pemanasan dan, mempercepat perkecambahan dan dapat meningkatkan presentase
daya berkecambahnya benih kelapa sawit.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh berbagai lama pemanasan terhadap daya bekecambah
benih kelapa sawit.
2. Mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi giberelin (GA3) terhadap daya
berkecambah benih kelapa sawit.
5
1.3 Kerangka Pemikiran
Benih kelapa memiliki daya berkecambah yang rendah dan sulit berkecambah
secara cepat dan serempak. Hal ini, terjadi karena benih kelapa sawit mengalami
mekanisme dormansi. Oleh sebab, itu diperlukan perlakuan khusus untuk
mematahkan dormansi tersebut.
Benih kelapa sawit mengalami dormansi fisik. Dormansi fisik kelapa sawit terjadi
dikarenakan mempunyai tempurung yang sangat keras dan tebal (Baskin dan
Baskin, 1998). Menurut Fauzi dkk. (2004), tempurung yang keras dan tebal pada
benih kelapa sawit akan menghambat penyerapan air dan gas sehingga benih
kelapa sawit sulit berkecambah
Selain dormansi fisik, benih kelapa sawit juga mengalami dormansi fisiologi.
Sebagaimana yang diungkapkan Nurmailah (1999), pada endocrap atau
tempurung benih kelapa sawit mengandung kadar lignin yang cukup tinggi yaitu
65,70% yang menjadi inhibitor. Inhibitor pada benih tidak secara langsung
mempengaruhi proses respirasi, tetapi secara tidak langsung mencegah
perkecambahan dengan menghambat produksi bahan-bahan yang diperlukan
untuk respirasi. Inhibitor ini akan menghambat beberapa enzim pada benih,
seperti enzim amilase, enzim protase, dan enzim lipase. Oleh sebab itu, akan
terjadi hambatan aktivitas atau ketersediaan enzim untuk respirasi. Selain itu,
menurut Widayati, Murniati, Palupi, Kartika, Suhartanto, dan Qadir (2009),
kandungan lignin pada tempurung benih kelapa sawit menutupi sel-sel sklereid
yang ada pada kulit benih, sehingga menghambat laju imbibisi air.
6
Metode pematahan dormansi benih kelapa sawit paling banyak digunakan adalah
dengan pemanasan. Menurut Adiguno (1998), selama 60 hari pada suhu 39o-40
oC dengan kadar air tidak kurang dari 18%, kemudian dikecambahkan dalam
germinator yang bersuhu 27 oC dengan kadar air benih dinaikkan menjadi 22-
24%. Sedangkan menurut Lubis (1992), pematahan dormansi kelapa sawit dapat
dengan perendaman dengan larutan dithane 0,1-0,2% selama 3 menit dan
pemanasan selama 40-60 hari pada suhu 39o-40 oC serta dikecambahkan suhu
ruang 26o-28 oC dapat mematahkan dormansi pada benih kelapa sawit. Benih
kelapa sawit mulai berkecambah setelah 12-15 hari perkecambahan dan setelah 4-
5 minggu persentase kecambahan mencapai 70-85%.
Efek pematahan dormansi melalui pemanasan pada akhirnya menjadikan kondisi
yang optimal bagi benih untuk tumbuh atau berkecambah dimana oksigen
tersuplai dari retaknya dinding kulit biji akibat suhu tinggi. Namun semakin tinggi
suhu pemanasan yang diberikan terhadap benih, akan semakin besar pula
kebocoran membran yang terjadi pada benih. Oleh Sebab itu, pematahan
dormansi dengan pemanasan yang sangat tinggi dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi protein dari benih, sehingga viabilitas benih akan menurun.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sutopo (2010), bahwa pengeringan yang
dilakukan pada suhu yang sangat tinggi dapat meningkatkan laju kemunduran
viabilitas benih.
Metode pematahan dormansi fisiologis adalah dengan pemberian zat kimia. Salah
satu zat kima yang sering digunakan adalah ZPT giberelin (GA3). Pemberian
giberelin 300 ppm mampu mematahkan dormansi Mucuna bracteata dengan
7
persentase perkecambahan 43,01% (Sari, Hanum, dan Carloq, 2014). Sedangkan
menurut Tetuko, Parman, dan Izzati (2015), pemberian giberelin konsentrasi 100
ppm pada benih karet (Hevea brasiliensis Mull. Arg.) dapat meningkatkan
persentase perkecambahan sebesar 28% dan laju perkecambahan sebesar 45%.
Salah satu cara mengurangi periode pemanasan dapat dengan
memodifikasikannya bersama dengan metode skarifikasi kimia. Menurut Nuraini,
Pangaribuan, dan Suherman (2016), kombinasi antara perlakuan dry heat
treatment dan pemberian giberelin mampu mematahkan dormansi benih kelapa
sawit. Kombinasi terbaik pada dry heat treatment selama 50 dan 60 hari dan
penggunaan giberelin konsentrasi 100 ppm dan 200 ppm pada benih kelapa sawit
berpengaruh baik pada variabel persentase perkecambahan dan indeks vigor.
Fungsi giberelin dalam proses awal perkecambahan yaitu meningkatkan aktivitas
produksi enzim dan pengangkutan cadangan makanan. Penggunaan GA3
mempunyai pengaruh dalam mengatasi dormansi suhu, cahaya dan dormansi yang
diakibatkan oleh zat-zat penghambat (Schmidt, 2002).
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lama pemanasan yang berbeda memberikan pengaruh berbeda terhadap
pematahan dormansi dan meningkatnya daya berkecambah benih kelapa sawit.
2. Konsentrasi giberelin (GA3) yang berbeda memberikan pengaruh berbeda
terhadap pematahan dormansi dan meningkatnya daya berkecambah benih
kelapa sawit.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tumbuhan kelas
Angiospermae, ordo Palmales, Famili Arecaceae dan genus Elaeis. Tanaman ini
berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang mengatakan
bahwa tanaman kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brasil karena
lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brasil dibanding dengan
Afrika. Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit justru hidup subur di luar
daerah asalnya, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Papua Nugini, bahkan
mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Kelapa sawit
dapat tumbuh baik di daerah tropika basah antara 12 oLU-12 oLS pada suhu
optimum sekitar 24-28 oC dengan curah hujan rata-rata 2000 -2500 mm/tahun
(Fauzi, Yustine,Widayastuti, Satyawibawa, dan Paeru, 2012).
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak
mempunyai kambium dan umumya tidak bercabang. Batang kelapa sawit
berbentuk silinder dengan diameter 45-60 cm. Tanaman yang masih muda,
batangnya tidak terlihat karena terlindung oleh pelepah daun, tinggi batang
bertambah 35-75 cm/tahun, tetapi jika kondisi lingkungan yang sesuai maka
pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100 cm per tahun. Akar tanaman
9
kelapa sawit berbentuk serabut, tidak berbuku, ujungnya runcing dan berwarna
putih atau kekuningan. Perakaran kelapa sawit sangat kuat karena tumbuh ke
bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier dan kuarter.
Daun kelapa sawit membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap dan
bertulang sejajar serta membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai
7,5-9 meter (Fauzi, dkk., 2012).
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monocious), artinya bunga jantan
dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai
dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan bunga betina. Setiap
rangkaian bunga muncul dari pangkal pelepah daun. Rangkaian bunga jantan
dihasilkan dengan siklus yang bergantian dengan rangkaian bunga betina,
sehingga pembungaan secara bersamaan sangat jarang terjadi. Pada umumnya, di
alam hanya terjadi penyerbukan silang, sedangkan penyerbukan sendiri secara
buatan dapat dilakukan dengan menggunakan serbuk sari yang diambil dari bunga
jantan dan ditaburkan pada bunga betina. Buah kelapa sawit terdiri dari dua
bagian utama yaitu bagian pertama adalah perikarpium yang terdiri dari
eksokarpium (kulit buah) dan mesokarpium (daging buah berserabut), sedangkan
bagian yang kedua adalah biji, terdiri dari endokarpium (tempurung), endosperm
(karnel) dan embrio (Fauzi, dkk., 2012). Menurut Yahya (1990), buah sawit yang
masih mentah berwarna ungu atau hijau karena mengandung antosianin,
sedangkan mesokarp buah yang masak mengandung 45-50% minyak (edible)
yang berwarna merah-jingga karena mengandung karoten. Tanaman kelapa sawit
rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan per tahun. Untuk tanaman yang
semakin tua produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14 tandan/tahun
10
Banyaknya buah yang terdapat pada satu tandan tergantung pada faktor genetis,
umur, lingkungan, dan teknik budidaya. Jumlah buah per tandan pada tanaman
yang cukup tua mencapai 1.600 buah, panjang buah antara 2-5 cm dan berat
sekitar 20-30 g/buah.
Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, kelapa sawit dikelompokkan
menjadi Dura, Pisifera dan Tenera. Pada varietas Dura mempunyai mesocarp
dengan ketebalan sekitar 35-85%, endocarp sekitar 20-50%, dan ketebalan
endosperm sekitar 4-20%. Sedangkan Tenera mempunyai mesocarp yang lebih
tebal dibandingkan dengan mesocarp pada dura yaitu sekitar 60-96%, namun
memiliki endocarp yang lebih tipis dibandingkan dura yaitu 3-20% dan ketebalan
endocarp sekitar 3-15%. Berbeda dengan dura maupun tenera, pada pisifera tidak
memiliki endocarp hanya memiliki mesocarp yang sangat tebal sekitar 92-97%
dan endosprem 3-8%. Menurut Fauzi, dkk. (2012), perbedaan ketebalan tersebut
memyebabkan perbedaan rendemen minyak kelapa sawit. Varietas yang memiliki
rendemen tertinggi pada Tenera sebesar yaitu mencapai 22-24%, sedangkan pada
varietas Dura hanya 16-18%. Pada Pisifera memiki bunga varietas yang biasanya
steril, varietas ini hanya dipakai sebagai pohon induk jantan dalam persilangan
dengan varietas Dura sebagai pohon induk betina.
11
Gambar 1. Perbedaan Dura, Tenera, dan Psifera
Sumber: the-planer.blogspot.com
2.2 Manfaat tanaman Kelapa Sawit
Produk utama kelapa sawit adalah minyak sawit yang terdapat pada buahnya yang
dapat dimanfaatkan di berbagai industri karena memiliki susunan dan kandungan
gizi yang cukup lengkap. Industri yang banyak menggunakan minyak sawit
sebagai bahan baku adalah industri pangan, serta industri non pangan seperti
kosmetik, farmasi, serta minyak sawit telah dikembangkan sebagai salah satu
bahan bakar (Fauzi, dkk., 2012).
Serabut buah kelapa sawit yang berwarna kekuning orangean menghasilkan
minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjai bahan baku minyak goreng dan
berbagai jenis turunannya. Kelebihan minya kelapa sawit adalah murah, rendah
kolesterol dan tinggi karoten. Selain bagian serabut buah, inti atau kernel buah
juga dapat dioleh menjadi minyak inti yang kemudian menjadi bahan baku
12
alkohol dan industri kosmetika. Ampas dari proses pembuatan minyak sawit
mentah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan difermentasikan menjadi
kompos. Tempurung buah kelapa sawit dapat digunakan sebahan bahan bakar
dan arang (Hamburg, 2013).
Minyak kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan minyak
lainnya, seperti tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu
menempatkan CPO menjadi sumber minyak nabati termurah, produktivitas
minyak sawit tinggi yaitu 3,2 ton/ha, sedangkan minyak kedelai 0,34 ton/ha, dan
lobak 0,51 ton/ha, sehingga terjadinya pergeseran dalam industri yang
menggunakan bahan baku minyak bumi kebahan yang lebih bersahabat dengan
lingkungan yaitu 7 oleokimia yang berbahan baku CPO, terutama di negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat (Pahang, 2008).
Selain buah kelapa sawit, pelepah kelapa sawit memiliki berebagai manfaat.
Beberapa penelitian yang telah memanfaatkan limbah pelepah kelapa sawit, yaitu
sebagai bahan dasar panel komposit (Khalid, Sulaiman, Hashim, Razak, Jumhari,
dan Rasat, 2015), bubur kertas (Hussin, Rahim, Ibrahim, Perrim, Yemloul, dan
Brosse, 2014), bioetanol (Boateng dan Lee, 2014) dan gas mampu bakar dengan
proses gasifikasi (Guangul, Sulaiman, dan Ramli, 2014). Pemanfaatan yang lain
dari limbah daun kelapa sawit dengan mengkonversinya menjadi pupuk organik.
Selain itu, produk hasil konversinya dapat langsung dimanfaatkan di areal kebun
sebagai tambahan zat hara pada tanah (Kala, Rosenani, Fauziah, dan Thoirah,
2009).
13
Pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit menjadi pupuk organik telah
banyak dilakukan sebelumnya. Menurut Ermadani, Mahbub, dan Muzar (2011),
melakukan kajian pengaplikasian limbah cair kelapa sawit pada tanaman kedelai.
Selain itu, Rupani, Sigh, Ibrahim, dan Esa (2010), melakukan kajian pra-
perlakuan berupa pengomposan dengan metode vermikompos pada limbah cair
kelapa sawit sebelum diaplikasikan pada lahan. Selajutnya, menurut Ahmad,
Mohtar, Baharuddin, Hock, Ali, Aziz, Rahmad, dan Hassan (2011), melakukan
penelitian pemanfaatan pelepah kelapa sawit yang didekomposisi dengan bantuan
sludge limbah cair pabrik kelapa sawit.
Dalam proses ekstrasi buah kelapa sawit di pabrik terdapat limbah cair dan limbah
padat. Limbah cair ini, berupa POME (palm oil mill effuent), sedangkan limbah
padatnya adalah berupa tandan buah , cangkang, bankil kelapa sawit. Semua
limbah tersebut, dapat diolah kembali menjsdi produk yang bermafaat.
Lignoselulosa yang didapat di batang kelapa sawit yang tidak berbeda dengan
batang kayu tanaman dikotil dan monokoti yaitu kumpulan serat, jaringan
parenkim, dan jaringan pengangkut, sehingga penggunaannya dapat seperti kayu
secara umum, namun perlum memodiikasinya menurut sifat spesifik kayu tersebut
(Prayetno, 1995). Selain itu, batang kelapa sawit dapat digunakan sebagai salah
satu bahan berlignoselulosa yang sangat bermanfaat sebagai penghasil bioetanol
adalah limbah perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman
penghasil minyak sawit. Minyak sawit adalah sumber minyak nabati pangan
terbesar di dunia saat ini (Daud, Syafii, dan Syamsul, 2013).
14
2.3 Perkecambahan Benih
Dalam budidaya kelapa sawit hal yang paling utama adalah benih yang
digunakanan. Oleh sebab itu, produsen benih sangat memperhatikan kualitas
benih yang akan dijual. Menurut Julyan, Qodir, dan Supijatno (2017), prosedur
produksi benih kelapa sawit di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Sumatra
Utara, adalah:
1. Pemuliaan Tanaman Kelapa Sawit.
Kegiatan analisis dan pemuliaan tanaman kelapa sawit terdiri dari analisis
tandan, persilangan tanaman, analisis vegetatif, dan penimbangan tandan.
2. Produksi Tandan Benih
Fokus utama dalam produksi tandan yaitu pohon induk betina dan pohon
jantan.
3. Pengolahan Tandan Benih
a. Persiapan Benih. Tandan yang diterima selanjutnya dicincang. Spikelet
hasil pencincangan kemudian difermentasi selama 7 hari. Berondolan
yang telah dipipil kemudian dikupas. Setelah itu, benih kemudian dikikis
sisa sabut mesokarp di bagian ujung benih.
b. Pematahan Dormansi. Tahapan-tahapan proses pematahan dormansi
yaitu: benih dari unit persiapan benih kemudian direndam selama 6
hari, kemudian dikeringanginkan selama 1 hari. Benih yang telah kering
diletakkan di dalam tray pemanas, selanjutnya dimasukkan ke dalam
ruang pemanas yang dilapisi lempengan besi selama 60 hari dengan suhu
fluktuatif antara 38°-40 °C. Setiap minggunya dilakukan pendinginan di
suhu kamar selama 5-10 menit.
15
c. Perkecambahan. Benih yang telah selesai ruang pemanas selanjutnya
direndam selama 2 hari, kemudian benih dikeringanginkan sampai
kering lembab. Benih yang telah kering lembab selanjutnya masuk ke
dalam ruang perkecambahan. Kemudian penyiraman dilakukan jika
benih agak kering.
Perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-
perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Proses perkecambahan terjadi
proses imbibisi, aktivasi enzim, inisiasi pertumbuhan embrio, retaknya kulit benih
dan munculnya kecambah. Menurut Sadjad (1993) faktor genetik dan lingkungan
menentukan proses metabolisme perkecambahan. Faktor genetik yang
berpengaruh adalah komposisi kimia, kadar air, enzim dalam benih dan susunan
fisik atau kimia dari kulit benih. Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap proses perkecambahan adalah air, gas, suhu, dan cahaya.
Perkecambahan adalah suatu proses dimana radikula akar embrionik memanjang
keluar menembus kulit benih (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Sitompul dan
Guritno (1995), gejala morfologi dengan pemunculan radikula tersebut, terjadi
proses biokemia yang kompleks, yang dikenal dengan perkecambahan fisiologis.
Perkecambahan biji berhubungan dengan aspek kimiawi. Proses tersebut meliputi
beberapa tahapan, antara lain imbibisi, sekresi hormon dan enzim, hidrolisis
cadangan makanan, transport bahan, serta asimilasi (fotosintesis) (Sudjadi, 2006).
Tahap pertama perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air oleh
benih yang disebut imbibisi. Tahap kedua adalah sekresi hormon dan enzim yang
dimulai dengan kegiatan sel dan enzim, serta naiknya tingkat respirasi benih.
16
Tahap ketiga merupakan tahap terjadinya penguraian (hidrolisis) bahan-bahan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk yang terlarut. Kemudian tahap
keempat adalah ditranslokasikan hasil hidrolisis ke seluruh titik tumbuh. Tahap
kelima adalah proses perkecambahan benih adalah asimilasi dari bahan-bahan
yang telah terurai menghasilkan energi untuk kegiatan pembentuk komponen dan
pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran sel-sel pada
titik-titik tumbuh. Sebelum daun berfungsi, maka pertumbuhan kecambah sangat
tergantung pada ketersediaan makanan di dalam biji (Nurshanti, 2013). Pada
perkembangan embrio saat berkecambah, bagian plumula tumbuh dan
berkembang menjadi batang, sedangkan radikula menjadi akar.
Perkecambahan merupakan pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan
embryonic axic di dalam biji yang terhenti untuk kemudian membentuk bibit
(Kamil, 1979). Setiap benih yang dikecambahkan ataupun yang diujikan tidak
selalu presentase pertumbuhan kecambahnya sama, hal ini terjadi karena
perkecambahan dipengaruhi berbagai macam faktor-faktor yang mempengaruhi.
Perkecambahan secara umum ditandai dengan munculnya radikula dari dalam
permukaan kulit biji, sedangkan proses perkecambahan sudah dimulai sejak benih
melakukan imbibisi air melalui kulit sampai terjadi pembentukan dan
perkembangan sel-sel dari embrio. Kecepatan dan karakteristik perkecambahan
setiap benih biasanya berkaitan dengan adanya faktor dormansi, faktor
lingkungan, dan faktor genetik.
Menurut Sutopo (2010), perkecambahan benih sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan kondisi benih
17
yang dikecambahkan, sedangkan faktor eksternal lebih berkaitan dengan
lingkungan. Selain itu menurut Chairani (2008), faktor yang mempengaruhi
perkecambahan adalah faktor dalam yang terdiri dari faktor genetik dan hormon.
Gen adalah faktor pembawa sifat menurun yang terdapat di dalam makhluk hidup.
Gen dipengaruhi setiap struktur mahluk hidup dan juga perkembanganya,
sedangkan hormon adalah suatu senyawa organik yang dibuat pada suatu bagian
tanaman dan kemudian diangkut ke bagain lain, yang konsentrasinnya rendah dan
menyebabkan suatu dampak fisiologi.
Faktor lingkungan disebut juga faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan
yakni faktor air, suhu, cahaya, oksigen dan medium (Sadjad, 1993). Terbatasnya
oksigen yang dapat dipakai akan menghambat proses perkecambahan benih
(Sutopo, 2010). Menurust Kamil (1979), umumnya benih akan berkecambah
dalam udara yang mengandung 20% oksigen dan 0,03% CO2. Namun untuk
benih yang mengalami dormansi perkecambahan terjadi jika oksigen yang masuk
kedalam benih ditingkatkan sampai 80% karena biasanya oksigen yang masuk ke
embrio kurang dari 3%.
Menurut Kartasapoetra (1996), syarat perkecambahan biji antara lain :
a. Tersedianya Air. Bagian biji yang mengatur masuknya air yaitu kulit dengan
cara imbibisi dan air masuk dengan cara difusi (perpindahan substansi karena
perbedaan konsentrasi) dari kadar air tinggi ke rendah/konsentrasi larutan
rendah ke tinggi. Faktor yang mempengaruhi penyerapan air permeabilitas
kulit/membran biji dan konsentrasi air.
18
b. Suhu air tinggi energi meningkat, difusi air meningkat sehingga kecepatan
penyerapan tinggi.
c. Tekanan hidrostatik berbanding terbalik dengan kecepatan penyerapan air.
Ketika volume air dalam membran biji telah sampai pada batas tertentu akan
timbul tekanan hidrostatik yang mendorong keluar biji sehingga kecepatan
penyerapan air menurun.
d. Luas permukaan biji yang kontak dengan air berhubungan dengan kedalaman
penanaman biji dan berbanding lurus dengan kecepatan penyerapan air.
e. Daya intermolekuler merupakan tenaga listrik pada molekul-molekul tanah
atau media tumbuh. Makin rapat molekulnya, makin sulit air diserap oleh biji.
f. Spesies dan varietas berhubungan dengan faktor genetik yang menentukan
susunan kulit biji.
g. Tingkat kemasakan berhubungan dengan kandungan air dalam biji. Apabila
biji makin masak maka kandungan air berkurang dan kecepatan penyerapan
air meningkat.
h. Komposisi kimia biji tersusun atas karbohidrat, protein, lemak. Kecepatan
penyerapan air: protein > karbohidrat > lemak.
i. Umur berhubungan dengan lama penyimpanan makin lama disimpan, makin
sulit menyerap air.
j. Tingkat kemasakan benih, benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan
fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas yang tinggi karena belum
memiliki cadangan makanan yang cukup, serta pembentukan embrio belum
sempurna.
19
Menurut Kuswanto (2007), pada umumnya sewaktu kadar air benih menurun
dengan cepat sekitar 20%, maka benih tersebut juga telah mencapai masak
fisiologis atau masak fungsional dan pada saat itu benih mencapai berat kering
maksimum, daya tumbuh maksimum, dan daya berkecambah maksimun dengan
kata lain benih memiliki mutu yang tinggi.
Benih kelapa sawit memiliki tipe perkecambahan hypogeal yaitu kotiledon tetap
berada di permukaan tanah setelah benih berkecambah. Menurut Adiguno (1998),
kriteria kecambah normal adalah kecambah yang tumbuh sempurna dan secara
jelas dapat dibedakan antara radikula dan plumula, tidak patah, tumbuh lurus,
panjang plumula dan radikula kurang lebih 1-1,5 cm, sedangkan kecambah
abnormal mempunyai ciri-ciri tumbuh bengkok, plumula dan radikula tumbuh
searah, kecambah kerdil, hanya memiliki radikula atau plumula saja, dan terserang
penyakit. Kriteria kecambah normal yang diterapkan di PT. Bina Sawit Makmur
(BSM), Selapan Jaya Group adalah kecambah yang sehat, tidak patah, tidak
kerdil, kecambah lurus atau sedikit bengkok, radikula dan plumula tumbuh tidak
searah, radikula dan plumula dapat dibedakan dengan jelas sedangkan kecambah
yang abnormal adalah kecambah yang tidak sehat, kerdil, membentuk huruf U,
radikula dan plumula membentuk sudut lebih kecil dari 90o dan kecambah yang
patah.
Pengecambahan benih kelapa sawit terjadi setelah terlebih dahulu diberi perlakuan
pemanasan di ruang pemanas selama 60 hari pada suhu 39-40 oC dengan kadar air
tidak kurang dari 18%, kemudian dikecambahkan dalam germinator yang bersuhu
27 oC dengan kadar air benih dinaikkan menjadi 22-24% (Adiguno,1998). Daya
20
berkecambah benih kelapa sawit dapat dihitung pada pengamatan hari ke-20 dan
ke -40 setelah tanam (Chin dan Robert, 1980). Proses pengecambahan benih
kelapa sawit memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6 bulan.
2.4 Dormansi Benih
Benih yang hidup tidak semuannya bisa langsung mengalami pekercambahan
dikarenakan adanya mekanisme dormansi. Para ahli biologi menggunakan istilah
dormansi untuk tahapan siklus beristirahat, seperti dorman pada benih. Benih
yang dorman memiliki laju metabolisme yang sangat lambat dan tidak tumbuh,
serta tidak berkembang. Dormansi pada benih meningkatkan peluang bahwa
perkecambahan akan terjadi pada waktu dan tempat yang paling menguntungkan
bagi pertumbuhan benih dan untuk mengakhiri periode dormansi umumnya
memerlukan kondisi lingkungan tertentu (Campbell, 2010). Sedangkan menurut
Sutopo (2010), benih dikatakan dormansi apabila benih tersebut sebenarnya
hidup, tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara
umum dianggap telah memenuhi persyaratan, suatu perkecambahan.
Dormansi biji kebanyakan species disebabkan karena struktur yang mengelilingi
embrio (seed coat), yang mencakup pericarp, testa, perisperm dan endosperm.
Struktur tersebut dapat menghambat embrio berkecambah, karena menganggu
masuknya air dan pertukaran gas. Benih yang mempunyai struktur kulit biji yang
keras dapat menganggu penyerapan air dan pertukaran gas dan adanya zat
penghambat di dalam kulit benih itu sendiri yang menghalangi lepasnya
penghambat dari embrio (Bewly dan Black, 1994).
21
Dormansi merupakan kondisi fisik dan fisiologis pada benih yang mencegah
perkecambahan pada waktu yang tidak tepat atau tidak sesuai. Dormansi
membantu benih mempertahankan diri terhadap kondisi yang tidak sesuai. seperti
kondisi lingkungan yang panas, dingin, kekeringan, dan lain-lain. Terdapat dua
jenis dormansi, yaitu dormansi fisik dan dormansi fisiologi. Dormansi fisik
disebabkan oleh pembatasan struktural terhadap perkecambahan benih, seperti
kulit benih yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap
masuknya air atau gas-gas ke dalam benih. Pada dormansi ini, perkecambahan
akan terjadi jika kulit benih dibuka. Sedangkan dormansi fisiologis disebabkan
oleh mekanisme dalam benih. Secara umum dormansi fisiologi disebabkan oleh
zat pengatur tumbuh baik yang berupa penghambat maupun perangsang tumbuh.
Tipe dormansi lain selain dormansi fisik dan fisiologis adalah kombinasi dari
beberapa tipe dormansi. Sebagai contoh adalah dormansi yang disebabkan oleh
kombinasi dari immaturity embrio dan kulit benih indebiscent yang membatasi
masuknya oksigen (O2) dan keperluan akan perlakuan chilling
(Sasmitamihardja, 1996).
Menurut Lakitan (2007), dormansi biji dapat dibedakan menjadi berbagai macam
berdasarkan mekanismenya adalah dormansi fisik dan dormansi fisiologis.
Dormansi fisik adalah dormansi yang karena disebabkan oleh organ biji itu
sendiri. Mekanisme fisik dapat dikarenakan mekanis atau embrio tidak
berkembang, fisik yang bersifat impermeable, dan zat kimia penghambat.
Sedangan dormansi fisiologis adalah dormansi yang disebabkan oleh terjadinya
hambatan dalam proses fisiologis. Mekanisme fisiologis dapat dikarenakan
22
terhambat oleh faktor cahaya (photoderm), embrio yang tidak/belum matang, dan
terhambat oleh suhu (Termodormansi).
Salah satu penyebab dormansi adalah adanya kulit benih yang keras dan
menghalangi penyerapan oksigen dan air. Kulit benih yang keras itu lazim
terdapat pada family Pabaceae (Leguminasae), walaupun tidak terdapat pada
buncis atau kapri, yang menunjukkan bahwa dormansi tidak umum pada spesies
yang dibudidayakan. Pada beberapa spesies air dan oksigen tidak dapat
menembus benih tertentu dikarenakan jalan masuknya dihalangin oleh sumpal
seperi gabus pada lubang kecil di kulit benih (Salisbury dan Ross, 1995).
Salah satu benih yang mempunyai dormansi adalah benih kelapa sawit. Benih
kelapa sawit mengalami dormansi yang cukup lama untuk perkecambahan alami
jarang terjadi. Secara normal, benih kelapa sawit tidak dapat berkecambah
dengan cepat karena adanya sifat dormansi. Jika benih langsung ditanam pada
tanah maka persentase daya berkecambah setelah 3-6 bulan hanya 50%
(Pahang, 2008).
Dormansi benih kelapa sawit disebabkan karena memiliki tempurung yang
mengandung lignin. Sebagaimana yang diungkapkan Hartley (1997), benih
kelapa sawit sangat sulit berkecambah dan tidak dapat tumbuh serempak dikarena
benih kelapa sawit mempunnyai sifat dormansi akibat endokarpnya atau
tempurung yang tebal dan keras. Tempurung ini yang menyebabkan air sukar
masuk dalam benih. Selain itu, menurut Nurmailah (1999), pada tempurung benih
kelapa sawit memiliki kadar lignin yang cukup tinggi yaitu 65,70%. Kadar lignin
23
ini yang akan menjadi inhibitor yang menyebabkan lamanya benih kelapa sawit
berkecambah.
Inhibitor pada benih tidak secara langsung mempengaruhi proses respirasi, tetapi
secara tidak langsung mencegah perkecambahan dengan memblocking produksi
bahan-bahan yang diperlukan untuk respirasi. Inhibitor ini akan menghambat
beberapa ezim pada benih seperti enzim amilase sebagai katalisator hidrolisis
(perombakan) pati, enzim proteas sebagai katalisator perombakan protein menjadi
asam amino, enzim lipase sebagai katalisator perombakan lemak menjadi gliserol
dan asam lemak pada benih berlemak, dan enxim phitiase sebagai katalisator
perombakan phitin. Jika semua ini dicegah oleh inhibitor maka terjadi hambatan
aktivitas atau ketersediaan enzim. Oleh sebab itu tidak terjadi perombakan dan
tidak menghasilkan energi untuk proses perkecambahan (Copeland, 1976).
2.5 Pematahan Dormansi Benih
Dormansi secara tradisional dapat diatasi dengan perlakuan panas-kering dan
baru-baru ini melalui aplikasi hidrogen cyanamide (HC). Efek dari pematahan
dormansi yang pada perkecambahan dan konsentrasi endogen asam indole-3-
asetat (IAA), asam absisat (ABA), giberelin (Gas), zeatin dan N6 ( Δ2-sopentenil)
adenin / N-isopentenil) adenosine dievaluasi dalam benih kelapa sawit. Benih
yang diberi perlakuan panas dan HC berkecambah di atas 90% setelah 37 hari,
benih pengendali di bawah 4% pada saat yang sama. Terjadi penurunan tajam
dalam konsentrasi ABA inembrio dan endosperm adalah hasil yang paling penting
selama perawatan dry-heat dan HC yang terakhir pada tingkat yang lebih rendah.
24
Perawatan HC juga menyebabkan peningkatan kadar IAA dalam embrio dan
endosperm selama fase imbibisi (Jimenez, Guevara, Herrera, Alizaga, dan
Bangerth, 2008).
Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat yang
menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih. Perendaman
dapat merangsang penyerapan lebih cepat. Perendaman adalah prosedur yang
sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, selain itu ada resiko bahwa benih
akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi permeabel
(Schmidt, 2002). Perlakuan perendaman sering dilakukan untuk meningkatkan
perkecambahan benih jati (Tectona grandis). Menurut Setiadi dan Munawir
(1997), mengatakan bahwa perendaman dalam air selama 3 hari dapat
mematahkan dormansi pada benih jati. Selain itu, perendaman dan pengeringan
masing-masing selama 12 jam secara bergantian merupakan perlakuan yang biasa
digunakan Perum Perhutani untuk mempercepat perkecambahan benih jati.
Salah satu benih yang mengalami dormansi adalah kelapa sawit. Untuk
mematahkan dormansi benih kelapa sawit dapat dilakukan dengan perlakuan
mekanis (skarifikasi) pada kulit biji, dilakuakan dengan cara menusukan,
mengores, pemecahan, pegikiran atau dengan pembakaran, dengan bantuan pisau,
jarum, kikir, kertas gosok, atau lannya adalah cara yang efektif untuk mengatasi
dormansi fisik. Karena setiap benih ditangani secara menual sehingga dapat
sesuai dengan ketebalan individu. Pada hakekatnya semua benih dibuat
permeable dengan resiko kerusakan yang kecil, asalkan radikel tidak rusak
(Scmidt, 2002).
25
Selain dengan pematahan dengan cara startifikasi mekanik dapat juga dengan
merendam benih dalam larutan HCl 0,1%. Berikut ini bererapa cara
pekecambahan dan persentase daya berkecambahnya yaitu perkecambahan
terbuka 50% selama 6 bulan, perkecambahan dalam peti mencapai 50% dalam 2
bulan dan 80% selama 3-4 bulan, dan perkecambahan dengan pipa air panas 80%
selama 3 bulan (Fauzi, dkk., 2012).
Untuk mematahkan dormansi benih kelapa sawit dan meningkatkan presentase
daya berkecambah dapat ditempuh dengan cara merendamanya pada fungisida
dan antibiotik selama 3 menit, kemudian dimasukan ke dalam ruangan dengan
suhu 30-40oC selama 40-60 hari akan meningkatkan daya perkecambahan
mencapai 85-90% (Pahang, 2008). Menurut Haryani (2005), perlakuan
pematahan dormansi benih sawit yang efektif adalah perlakuan pemanasan pada
suhu 39-40oC selama 60 hari. Perendaman dalam H2O2 1% selama 72 jam
dilanjutkan dengan perlakuan pemanasan selama 30 hari menghasilkan daya
berkecambah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemanasan suhu tinggi
selama 60 hari yaitu 52,67% dan 55,50%.
Pematahan dormansi pada benih kelapa sawit juga dapat dengan melakukan
perendaman dalam air panas suhu 80oC selama 3x24 jam sebelum direndam
dalam ethephon, lalu diakhiri dengan pemanasan kering 39–40oC selama 1
minggu. Hasil menunjukkan bahwa perendaman dalam air suhu 80oC selama
3x24 jam meningkatkan perkecambahan benih, perendaman dalam ethephon 0,4%
menghambat pertumbuhan radikula sehingga kecambah tumbuh tidak normal.
Perlakuan perendaman dalam ethephon 0,4% yang didahului dengan perendaman
26
menggunakan air panas 80oC selama 3x24 jam dan diakhiri dengan pemanasan
kering meningkatkan perkecambahan benih (potensi tumbuh maksimum 52,0%)
namun belum efektif untuk mematahkan dormansi benih (Farhana, Ilyas, dan
Budiman, 2013).
Efek pematahan dormansi melalui pemanasan pada akhirnya menjadikan kondisi
yang optimal bagi benih untuk tumbuh atau berkecambah dimana oksigen
tersuplai dari retaknya dinding kulit biji akibat suhu tinggi. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sutopo (2010), bahwa pengeringan yang dilakukan pada suhu
yang sangat tinggi dapat meningkatkan laju kemunduran viabilitas benih.
Metode pematahan dormansi yang disebabkan kerasnya kulit benih kelapa sawit
dapat dilakukan dengan skarifikasi mekanis untuk menipiskan testa, pemanasan,
pendinginan (chilling), perendaman dalam air mendidih, pergantian suhu drastis,
skarifikasi kimia dengan asam sulfat untuk mendegradasi testa, dipotong, dan
ditusuk. Namun pada perlakuan dipotong atau ditusuk dapat merusak benih,
perlakuan statifikasi membutuhkan waktu yang lama ±40-60 hari pada suhu 40oC
(Ilyas, 2012).
Pematahan dormansi benih dapat dilakukan dengan pemberian zat pengatur
tumbuh yang berpengaruh pada daya perkecambahan dan bobot kering tajuk.
Pemberian GA3 300 ppm merupakan perlakuan terbaik terhadap daya
perkecambahan, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk dan shoot root ratio.
Interaksi perlakuan pematahan dormansi dan pemberian GA3 terhadap daya
kecambah dan pertumbuhan Mucuna spp. di pembibitan terhadap bobot basah
tajuk, bobot kering tajuk dan shoot root ratio kombinasi terbaik terdapat pada
27
perlakuan pengguntingan kulit benih dan GA3 300 ppm (Sari, Hanun, dan Carloq,
2014).
Penggunaan konsentrasi giberelin dan lama perendaman yang berbeda terhadap
benih sirsak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase
perkecambahan, tinggi kecambah, dan panjang akar kecambah. Perkecambahan
benih sirsak tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 15ppm dan perendaman
12 jam dengan nilai berturut-turut yaitu persentase perkecambahan 100%, tinggi
kecambah 16,12 cm, dan panjang akar kecambah 12,99 cm, sedangkan nilai
terendah diperoleh pada kontrol dengan nilai rata-rata yaitu persentase
perkecambahan 46,67%, tinggi kecambah 5,11 cm, dan panjang akar kecambah
4,25 cm (Polhaupessy, 2014).
Selain giberelin larutan kimia yang bisa digunakan adalah larutan asam sulfat
pekat H2SO4 menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan baik
pada legum dan non legum (amannya perlakuan asam harus memperhatikan dua
hal, yaitu kulit biji dan pericarp yang akan diretakkan untuk kemungkinan
imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Perendaman selama 1-10
menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi. Sedangkan perendaman
selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan (Schimdt, 2002).
H2SO4 sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi sampai pekat
tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak.
Disamping itu, larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh cendawan
atau bakteriyang dapat membuat benih dorman (Sutopo, 2010).
28
Penelitian pada benih mindi menujukkan bahwa perkecambahan normal tercepat
tercapai setelah mendapat perlakuan perendaman benih dalam 12 NH2SO4 selama
100 menit (Soeherlin, 1996). Penelitian pada benih kayu aprika menunjukkan
benih yang direndam dalam larutan H2SO4 dengan konsentrasi 20 N dan lama
perendaman 20 menit dapat meningkatkan daya berkecambah 91,6% dibanding
kontrol (tanpa perlakuan) dengan daya berkecambahnya sebesar 57,7%
(Kurniaty, 1987).
29
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung dari bulan September 2018 – April 2019.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah nampan plastik, sprayer,
oven, germinator tipe IPB 73 2A/2B, label, alat penggempa kertas merang, pisau,
botol kaca, gelas baker 100 ml, ember, gelas ukur, timbangan digital, gayung,
plastik, dan tali rafia.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kelapa sawit, air,
aquades, hormon giberelin (GA3), larutan etanol, plastik kertas klip dengan ukuran
12 x 20 cm, kertas CD berukuran 12 x 20 cm, dan larutan fugisida.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Kelompok pada
penelitian ini didasarkan perbedaan waktu perkecambahan. Perlakuan dirancang
dalam perlakuan faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah periode pemanasan
30
pada suhu 40 oC yang terdiri atas lima taraf, yaitu: 20 hari (1), 25 hari (2), 30 hari
(3), 35 hari (4), dan 40 hari (5). Faktor kedua adalah konsentrasi giberelin dengan
empat taraf yaitu: 0 ppm (1), 100 ppm (2), 200 ppm (3), dan 300 ppm (4),
sehingga terdapat 20 kombinasi (Tabel 1). Pada penelitian ini terdapat 15
kelompok. Jumlah benih setiap satuan pecobaan adalah 5 benih Percobaan ini
dilakukan dengan UKDdp (uji kertas digulung didirikan dalam plastik).
Perbandingan nilai tengah antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan SEM
(Standar Error Of the Mean).
Tabel 1. Kombinasi-Kombinasi Perlakuan
Konsentrasi
GA3
Lama
Pemanasan
0 ppm 100 ppm 200 ppm 300 ppm
20 hari 20 hari,
0 ppm
20 hari,
100 ppm
20 hari,
200 ppm
20 hari,
300 ppm
25 hari 25 hari,
0 ppm
25 hari,
100 ppm
25 hari,
200 ppm
25 hari,
300 ppm
30 hari 30 hari,
0 ppm
30 hari,
100 ppm
30 hari,
200 ppm
30 hari,
300 ppm
35 hari 35 hari,
0 ppm
35 hari,
100 ppm
35 hari,
200 ppm
35 hari,
300 ppm
40 hari 40 hari,
0 ppm
40 hari,
100 ppm
40 hari,
200 ppm
40 hari,
300 ppm
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Benih
Benih diambil dari pohon kelapa sawit varietas Dura yang cukup dewasa dengan
umur > 5 tahun. Benih yang digunakan adalah benih yang telah masak fisiologi
yaitu dari tandan buah berumur 140 hari setelah polinasi dengan ciri-ciri berwarna
kuning ke-orange-an, kemudian benih direndam selama 7 hari pada ember
31
perendaman. Langkah selanjutnya benih dikupas kulit, dipericarping untuk
mendapatkan benih tanpa sabut dan dicuci hingga bersih. Benih yang telah
dikupas dan dicuci diletakkan dalam wadah plastik untuk seleksi agar
mendapatkan benih yang seragam sesuia ukuran dan kemudian benih dilumuri
dengan fungisida secukupnya.
Gambar 2. Benih kelapa sawit
3.4.2 Pemanasan
Setelah benih selesai dibersihkan, benih kelapa sawit dilakukan pemanasan.
Sebelum dilakukan pemanasan, benih dimasukkan ke dalam plastik bening yang
diikat dengan tali rafia. Benih dipanaskan dalam oven pada suhu 40 oC sesuai
perlakuan,yaitu selama 20 hari, 25 hari, 30 hari, 35 hari, dan 40 hari (Gambar 3).
Selama pemanasan dilakukan penyemprotan air pada benih agar tidak kering dan
menjaga kelembaban.
32
Gambar 3. Pemanasan benih kelapa sawit pada oven 40 oC
3.4.3 Pembuatan Larutan Giberelin (GA3)
Pembuatan giberelin menggunakan larutan etanol karena giberelin tidak dapat
larut dengan air namun dengan larutan alkohol, seperti etanol. Pertama-tama
siapkan alat dan bahan, seperti serbuk giberelin, etanol, aquades, botol kaca,
timbangan, labu ukur, gelas kimia, label, dan lain-lainnya (Gambar 4). Tahap
selanjutnya adalah menimbang serbuk GA seberat 100 mg untuk membuat larutan
konsentrasi 100 ppm/liter, 200 mg untuk membuat 200 ppm/liter, dan 300 mg
untuk membuat 300 ppm/liter. Setelah itu serbuk GA3 dimasukkan kedalam botol
dan diberi latutan etanol secukupnya. Setelah itu, GA3 tersebut diaduk dengan
stirer sampai serbuk GA3 larut dengan sempurna (± 30 menit). Setelah itu,
masukkan aquades dalam gelas beker dan masukan larutan GA3 yang tadi.
Setelah itu, masukkan larutan GA3 tadi kedalam labu ukur 1000 ml dan
33
ditambahkan aquades sampai titik tera. Larutan GA3 yang telah jadi dimasukkan
ke dalam botol dan ditutup rapat dan disimpan di dalam lemari pendingin.
Gambar 4. Bahan dan alat pembuatan larutan giberelin
3.4.4 Perendaman dengan Larutan Giberelin (GA3)
Sebelum benih direndam giberelin dilakukan perendaman terlebih dahulu dengan
fungisida selama 5 jam., kemudian benih dikeringanginkan dan selanjutnya
dilakukan perendaman dengan larutan giberelin (GA3) selama 3 hari sesuai
perlakuan, yaitu pada konsentrasi 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm.
Perendaman dilakukan didalam botol kaca yang ditutup dengan plastik dan diikat
dengan karet (Gambar 5).
34
Gambar 5. Perendaman benih kelapa sawit dengan giberelin
3.4.5 Pengecambahan
Setelah direndam, benih ditiriskan dan dikecambahkan dengan metode uji UKDdp
(uji kertas digulung dan didirikan dalam plastik). Pertama-tama susun benih
dengan bentuk zig-zag dalam kertas buram/ kertas CD yang telah dilembabkan
sebelumnya. Penyusunan zig-zag berfungsi untuk mempermudah penggulungan
kertas dikarenakan benih kelapa sawit berukuran besar. Dalam satu gulung berisi
5 benih, sehingga dalam satu satuan percobaan terdapat 3 gulung (Gambar 6).
Selanjutnya, benih diletakkan kedalam germinator. Selama pengecambahan hal
yang harus diperhatikan adalah kelembabannya. Apabila kertas sudah tidak
lembab ataupun kering, maka dilakukan penyemprotan dengan air.
35
Gambar 6. Perkecambahan benih kelapa sawit dengan metode UKDdp
3.5 Variabel Pengamatan
3.5.1 Daya Berkecambah (DB) Benih
Daya Berkecambah (DB) mengidentifikasi viabilitas potensial benih. Daya
berkecambah diukur dengan menghitung persentase kecambah normal pada tahap
seleksi pertama sampai terakhir. Perhitungan kecambah normal dilakukan setelah
60 hari perkecambahan. Pengamatan yang dilakukan meliputi kecambah normal,
kecambah abnormal dan benih dorman.
Kriteria kecambah normal adalah kecambah yang tumbuh sempurna dan secara
jelas dapat dibedakan antara radikula dan plumula, tidak patah, tumbuh lurus,
panjang plumula dan radikula kurang lebih 1cm. Sedangkan kecambah abnormal
mempunyai ciri-ciri tumbuh bengkok, plumula dan radikula tumbuh searah,
kecambah kerdil, hanya memiliki radikula atau plumula saja, plumula dan
36
radikula tumbuh searah, dan terserang penyakit. Adapun rumus menghitung daya
berkecambah benih adalah sebagai berikut:
DB =∑ 𝐵𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙
∑ 𝐵𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 X 100%
3.5.2 Potensi Tumbuh Maksimum (PTM)
Potensi tumbuh maksimum merupakan informasi mengenai benih yang dapat
berkecambah. Nilai potensi tumbuh maksimum dapat diketahui dengan rumus
sebagai berikut:
PTM=∑ 𝐾𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙 +∑ 𝐾𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝐴𝑏𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙
∑ 𝐵𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 X 100%
3.5.3 Kercepatan Perkecambahan (KP)
Kecepatan perkecambahan merupakan kecepatan benih berkecambah. Menurut
Sutopo (2010) perhitungan kecepatan perkecambahan sebagai berikut:
Kecepatan perkecambahan = ∑∆𝐾𝑁
𝑡𝑛𝑡−1 =∑
𝐾𝑁(𝑡)− 𝐾𝑁(𝑡−1)
𝑡𝑛𝑡=1
Keterangan: ∆KN= Persen selisih kecambah normal harian (%)
KN = Persen Kecambah normal harian (%)
t = Selisih hari ke-n
3.5.4 Intensitas Dormansi (ID)
Menurut Kartika dan Susanti (2015) intensitas dormansi adalah persentase benih
yang tidak tumbuh atau berkecambah sampai akhir pengamatan. Intensitas
dormansi dihitung dengan persamaan: ID=∑ 𝐵𝑒𝑛𝑖h 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢h
∑ 𝐵𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎h𝑘𝑎𝑛 X 100%
37
3.5.5 Rata-Rata Panjang Akar dan Panjang Plumula
Pada akhir pengamatan yaitu 60 hari perkecambahan dilakukan pengukuran dan
perhitungan rata-rata panjang akar dan plumula. Panjang akar diukur dari pangkal
akar ke bawah sampai ujung akar paling panjang sedangkan panjang plumula dari
pangkal batang ke atas sampai pucuk paling tinggi. Rata-rata panjang akar
Panjang akar atau plumula =∑ 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑖𝑛
𝑖=1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑙𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎 𝑖
∑ 𝑏𝑒𝑛𝑖ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛
3.5.6 Waktu Munculnya Kecambah
Waktu munculnya kecambah dihitung setiap 10 hari sekali dari 4 hari setelah
perkecambah, yaitu 4, 14, 24, 34, 44, 54, dan 60 hari setelah perkecambahan.
Waktu yang dibutuhkan benih kelapa sawit yang dikecambahkan untuk
berkecambah dan mengetahui waktu benih kelapa sawit berkecambah dengan
cepat.
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Daya Berkecambah
Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin, daya berkecambah benih kelapa
sawit pada pemanasan 20, 25, dan 35 hari memiliki nilai daya kecambah tertinggi
pada perendaman tanpa giberelin (0 ppm) dengan nilai daya berkecambah masing-
masing 63,86% ; 60%; dan 58,33%. Berbeda dengan pemanasan 20, 25, dan 35
hari, pada pemanasan 30 hari daya berkecambah benih kelapa sawit tertinggi 64%
terdapat pada perendaman giberelin 100 ppm dan pada pemanasan 40 hari nilai
daya berkecambah benih kelapa sawit tertinggi 53,3% pada perendaman giberelin
100 ppm. Perlakuan benih kelapa sawit dengan daya berkecambah tertinggi 64%
pada pemanasan 30 hari dengan perendaman giberelin 200 ppm dan pelakuan
dengan daya kecambah terendah 41,7% pada perlakuan pemanasan 40 hari dengan
perendaman tanpa giberelin (Gambar 7). Gambar hasil pengamatan (Gambar 8).
Berdasarkan beda lama pemanasan, daya berkecambah benih kelapa sawit pada
perendaman tanpa giberelin memiliki nilai daya berkecambah tertinggi 61,9%
pada pemanasan 20 hari, sedangkan pada perendaman giberelin 100, 200, dan 300
ppm daya berkecambah tertinggi pada pemanasan 30 hari dengan nilai daya
39
berkecambah masing-masing 61,43%; 64%; dan 57,3% (Gambar 7). Pada
pemanasan 25 dan 40 hari, nilai daya berkecambah benih kelapa sawit pada
perendaman tanpa giberelin dan perendaman giberelin 200 ppm dan 300 ppm
mengalami penurunan daya berkecambah dibandingkan dengan daya
berkecambah pada pemanasan sebelumnya, sedangkan pada perendaman giberelin
100 ppm mengalami peningkatan dibandigkan pemanasan sebelumnya.
Sedangkan pada pemanasan 30 hari, daya berkecambah benih kelapa sawit
meningkat dibandingkan pada pemanasan 25 hari pada semua konsentrasi
perendaman giberelin, yaitu perendaman tanpa giberelin dan perendaman
giberelin 100, 200, dan 300 ppm. Berbanding tebalik dengan pemanasan 30 hari,
pada pemanasan 35 hari daya berkecambah benih kelapa sawit mengalami
penurunan pada semua konsentrasi perendaman giberelin.
Gambar 7. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
daya berkecambah benih kelapa sawit.
62,9
49,3
57,1 57,360,0
50,0
53,3
45,3
61,361,464,0
57,358,3
45,7
57,3
48,3
41,7
53,3
47,3
41,5
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Day
a ber
kec
ambah
(%
)
30 hari 35 hari 40 hariPerlakuan
20 hari 25 hariGiberelin (ppm)
Lama pemanasan
40
Gambar 8. Foto pengamatan a) 30 hari dengan giberelin konsentrasi 200 ppm;
b) 40 hari pemanasan dan giberelin 0 ppm.
a)
b)
41
4.1.2 Potensi Tumbuh Maksimum
Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin, potensi tumbuh maksimum benih
kelapa sawit pada pemanasan 20, 30, dan 35 hari memiliki potensi tumbuh
maksimum tertinggi pada perendaman giberelin 200 ppm dengan nilai masing-
masing 68%; 70,7%; dan 64% (Gambar 9). Berbeda dengan pemanasan 20, 30,
dan 35 hari, pada pemanasan 25 hari potensi tumbuh maksimum kelapa sawit
tertinggi 72% terdapat pada perendaman tanpa giberelin dan pada pemanasan 40
hari potensi tumbuh maksimum benih kelapa sawit tertinggi 55% pada
perendaman giberelin 100 ppm. Perlakuan benih kelapa sawit dengan potensi
tumbuh maksimum tertinggi 72% terdapat pada pemanasan 25 hari dengan
perendaman tanpa giberelin dan pelakuan dengan potensi tumbuh maksimum
terendah 44,6% pada perlakuan pemanasan 40 hari dengan perendaman tanpa
giberelin (Gambar 9).
Potensi tumbuh maksimum benih kelapa sawit pada perendaman tanpa giberelin
memiliki potensi tumbuh maksimum tertinggi 72% pada pemanasan 25 hari dan
potensi tumbuh maksimum ini akan menurun dengan penambahan lama
pemanasan. Sedangkan benih kelapa sawit pada perendaman giberelin 100, 200,
dan 300 ppm memiliki potensi tumbuh tertinggi pada pemanasan 30 hari dengan
potensi tumbuh maksimum masing-masing 68%; 70,7%; dan 68 % (Gambar 9).
42
Gambar 9. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
potensi tumbuh maksimum berkecambah benih kelapa sawit.
4.1.3 Kecepatan Perkecambahan (KP)
Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin, kecepatan perkecambahan benih
kelapa sawit pada pemanasan 20 dan 25 hari memiliki kecepatan perkecambahan
tertinggi pada perendaman tanpa giberelin dengan kecepatan perkecambahan
masing-masing 27,9% dan 25,0%. Sedangkan benih kelapa sawit pada
pemanasan 30 dan 35 hari memiliki kecepatan perkecambahan tertinggi pada
perendaman giberelin 200 ppm dengan kecepatan perkecambahan 29% dan
24,7%. Sedangkan pada pemanasan 40 hari kecepatan perkecambahan benih
kelapa sawit tertinggi 20,6% pada perendaman giberelin 100 ppm. Perlakuan
benih kelapa sawit dengan kecepatan perkecambahan tertinggi 29% terdapat pada
pemanasan 30 hari dengan perendaman giberelin 200 ppm dan pelakuan dengan
66,764,0
68,066,7
72,0
60,0
68,0
61,3
68,0 68,0
70,7
68,0
61,5
51,4
64,0
58,3
44,6
55,0
49,250,8
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Perlakuan
Pote
nsi
tum
buh m
aksi
mum
(%
)
20 hari 25 hari 30 hari 35 hari 40 hariGiberelin (ppm)
Lama pemanasan
43
kecepatan perkecambahan terendah 17,1% pada perlakuan pemanasan 40 hari
dengan perendaman tanpa giberelin (Gambar 10).
Berdasarkan beda lama pemanasan, pada perendaman tanpa giberelin dan
perendaman giberelin 100 ppm kecepatan perkecambahan benih kelapa sawit
tertinggi terdapat pada pemanasan 20 hari dengan kecepatan perkecambahan
masing-masing 27,9% dan 25,7%. Sedangkan pada perendaman giberelin 200
dan 300 ppm terdapat pada pemanasan 30 hari dengan kecepatan perkecambahan
masing-masing 29% dan 18,7% (Gambar 10). Berbanding tebalik dengan
pemanasna 25, 35, dan 40 hari, pada pemanasan 30 hari kecepatan
perkecambahan meningkat pada semua konsentrasi giberelin dibandingkan
dengan pemanasan sebelumnya atau pemanasan 25 hari.
Gambar 10. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
kecepatan perkecambahan berkecambah benih kelapa sawit.
27,9
21,7
25,725,3 25,7
21,4
23,7
20,3
26,725,7
29,0
25,023,3
20,4
24,7
21,3
17,1
20,6
18,6
16,9
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Kec
epat
an p
erkec
ambah
an (
%)
30 hari 35 hari 40 hariPerlakuan
20 hari 25 hariGiberelin (ppm)
Lama pemanasan
44
4.1.4 Intensitas Dormansi (ID)
Intensitas Dormansi (ID) mencerminkan persentase benih yang tetap dorman
sampai akhir pengamatan. Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin,
intensitas dormansi benih kelapa sawit pada pemanasan 20, 25, 30, dan 35 hari
memiliki intensitas dormansi tertinggi pada perendaman giberelin 100 ppm
dengan intensitas dormansi masing-masing 36%; 40%; 32%; dan 48,6%, namun
pada pemanasan 30 hari intensitas dormansi tertinggi juga pada perendaman tanpa
giberelin dan giberelin 300 ppm (Gambar 11). Sedangkan pada pemanasan 40
hari intensitas dormansi benih kelapa sawit tertinggi 55,4 % pada perendaman
tanpa giberelin. Perlakuan benih kelapa sawit dengan intensitas dormansi
tertinggi 55,4% terdapat pada pemanasan 40 hari dengan perendaman tanpa
giberelin dan pelakuan dengan intensitas dormansi terendah 29,3% pada
perlakuan pemanasan 30 hari dengan perendaman giberelin 200ppm (Gambar 11).
Berdasarkan beda pemanasan, intensitas dormansi benih kelapa sawit pada
perendaman tanpa giberelin dan perendaman giberelin 200 dan 300 ppm memiliki
intensitas dormansi tertinggi pada pemanasan 40 hari dengan intensitas dormansi
masing-masing 55,4%; 50.8%; dan 49,2%. Sedangkan intensitas dormansi benih
kelapa sawit pada perendaman giberelin 100 ppm tertinggi 48,6% pada
pemanasan 35 hari (Gambar 11).
45
Gambar 11. Pengaruh periode pemanasan dan konsenrasi giberelin terhadap
intensitas dormansi benih kelapa sawit.
4.1.5 Panjang Akar
Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin, panjang akar kecambah kelapa
sawit pada pemanasan 20, 30, 35 dan 40 hari memiliki panjang akar tertinggi pada
perendaman giberelin 200 ppm dengan panjang akar masing-masing 6,1; 6,9; 6,3;
dan 5,1 cm, namun pada pemanasan 25 hari panjang akar kecambah benih kelapa
sawit tertinggi 6,1 pada perendaman giberelin 100 ppm(Gambar 12). Perlakuan
benih kelapa sawit dengan panjang akar tertinggi 68 cm terdapat pada pemanasan
30 hari dengan perendaman giberelin 200 ppm dan pelakuan dengan panjang akar
terendah 4,3 cm pada perlakuan pemanasan 40 hari dengan perendaman giberelin
300 ppm (Gambar 12). Sedangkan berdasarkan beda lama pemanasan, panjang
akar kecambah kelapa sawit pada perendaman tanpa giberelin dan perendaman
33,3
36,0
32,033,3
28,0
40,0
32,0
38,7
32,032,029,3
32,0
38,5
48,6
36,0
41,7
55,4
45,0
50,849,2
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Inte
nsi
tas
dorm
ansi
(%
)
30 hari 35 hari 40 hariPerlakuan
20 hari 25 hariGiberelin (ppm)
Lama pemanasan
46
giberelin 100, 200 dan 300 ppm memiliki panjang akar tertinggi pada pemanasan
30 hari dengan panjang akar masing-masing 6,6; 6,1; 6,9; dan 6,4 cm dan panjang
akar ini akan menurun sebanding dengan penambahan lama pemanasan (Gambar
12).
Gambar 12. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap
panjang akar kecambah benih kelapa sawit.
4.1.6 Panjang Plumula
Berdasarkan perbedaan konsentrasi giberelin, panjang plumula kecambah kelapa
sawit pada pemanasan 20 hari memiliki panjang plumula tertinggi 3,5 cm pada
perendaman giberelin 200 ppm (Gambar 13). Sedangkan benih kelapa sawit pada
pemanasan 25 dan 30 hari memiliki panjang plumula tertinggi pada perendaman
tanpa giberelin dengan panjang plumula masing-masing 4 dan 4,7 cm. Kemudian
4,85,3
6,1
5,7
6,1
5,15,4
4,6
6,6
6,1
6,9
6,4 6,2
5,0
6,3
5,45,1 4,9
5,2
4,3
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Pan
jang a
kar
(cm
)
30 hari 35 hari 40 hariPerlakuan
20 hari 25 hariGiberelin (ppm)
Lama pemanasan
47
pada pemansan 30 hari memiliki panjang plumula tertinggi 4,6 cm pada
perendaman giberelin 100 ppm dan pada pemanasan 40 hari panjang plumula
tertinggi pada perendaman giberelin 200 ppm dengan panjang plumula 4,4 cm.
Berdasarkan beda lama pemanasan, panjang plumula kecambah kelapa sawit pada
perendaman tanpa giberelin dan perendaman giberelin 300 ppm memiliki panjang
plumula tertinggi pada pemanasan 30 hari dengan panjang plumula 4,7 dan 3,7 cm
(Gambar 13). Sedangkan pada perendaman giberelin 100 ppm panjang plumula
kecambah benih kelapa sawit tertinggi 4,4 cm pada pemanasan 40 hari dan pada
perendaman giberelin konsentrasi 200 ppm panjang plumula tertinggi pada
pemanasan 25 hari dengan panjang plumula 4,6 cm (Gambar 13).
Gambar 13. Pengaruh periode pemanasan dan konsenrasi giberelin pada
panjang plumula kecambah benih kelapa sawit.
2,9
2,4
3,0
3,5
4,0
2,6
3,12,9
4,7
3,3
3,8 3,73,8
3,5
4,6
3,5 3,5
4,4
4,0
3,0
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300 0 100 200 300
Pan
jang p
lum
ula
(cm
)
30 hari 35 hari 40 hariPerlakuan
20 hari 25 hariGiberelin (ppm)
Lamapemanasan
48
4.1.7 Waktu Munculnya Kecambah
Pemanasan dapat mempercepat munculnya kecambah. Kecambah muncul
tercepat pada pada hari ke-4 pengecambahan, setelah dioven selama 30 hari atau
selama 35 hari. Sehingga munculnya kecambah membutuhkan waktu 34 hari (30
hari pemanasan + 4 hari kecambah) atau 39 hari (35 hari pemanasan + 4 hari
kecambah) dengan daya kecambah 1,3% dan 1,4%. Pada hari ke-24
pengecambahan merupakan waktu tercepat dan serempak munculnya kecambah
untuk semua perlakuan. Daya kecambah tertinggi dan tercepat mencapai 40%
pada perlakuan pemanasan 30 hari pada perendaman giberelin 0 ppm atau 35 hari
pemanasan pada perendaman giberelin 200 ppm (30 hari pemanasan + 24
pengecambahan atau 35 hari pemanasan + 24 pengecambahan) (Tabel 2).
49
Tabel 2. Pengaruh periode pemanasan dan konsentrasi giberelin terhadap persentase munculnya kecambah benih kelapa sawit
Perlakuan
Persentase munculnya kecambah pada hari ke- pengamatan (%)
4 14 24 34 44 54 60
20 hari 0 ppm 0,0 ± 0,0 6,7 ± 0,8 25,3 ± 1,2 37,3 ± 1,3 49,3 ± 1,3 61,3 ± 1,3 66,7 ± 1,4
20 hari 100 ppm 0,0 ± 0,0 8,0 ± 0,9 21,3 ± 1,1 36,0 ± 1,2 49,3 ± 1,1 56,0 ± 1,2 64,0 ± 1,1
20 hari 200 ppm 0,0 ± 0,0 9,3 ± 1,0 28,0 ± 1,3 42,7 ± 1,2 52,0 ± 1,4 57,3 ± 1,3 68,0 ± 1,4
20 hari 300 ppm 0,0 ± 0,0 16,0 ± 0,9 25,3 ± 1,0 38,7 ± 1,2 53,3 ± 1,1 62,7 ± 1,1 66,7 ± 1,2
25 hari 0 ppm 0,0 ± 0,0 14,7 ± 1,2 33,3 ± 1,3 48,0 ± 1,4 56,0 ± 1,4 65,3 ± 1,2 72,0 ± 1,1
25 hari 100 ppm 0,0 ± 0,0 12,0 ± 1,0 22,7 ± 1,1 33,3 ± 1,2 41,3 ± 1,2 56,0 ± 1,3 60,0 ± 1,2
25 hari 200 ppm 0,0 ± 0,0 17,3 ± 1,1 28,0 ± 1,3 44,0 ± 1,2 50,7 ± 1,2 60,0 ± 1,2 68,0 ± 1,2
25 hari 300 ppm 0,0 ± 0,0 9,3 ± 0,8 30,7 ± 1,1 37,3 ± 1,3 42,7 ± 1,1 52,0 ± 1,2 61,3 ± 1,4
30 hari 0 ppm 0,0 ± 0,0 25,3 ± 1,2 40,0 ± 1,2 54,7 ± 1,3 60,0 ± 1,3 68,0 ± 1,3 68,0 ± 1,3
30 hari 100 ppm 0,0 ± 0,0 13,3 ± 1,2 26,7 ± 1,4 42,7 ± 1,6 52,0 ± 1,5 61,3 ± 1,5 68,0 ± 1,4
30 hari 200 ppm 0,0 ± 0,0 16,0 ± 1,2 30,7 ± 1,3 42,7 ± 1,3 61,3 ± 1,3 68,0 ± 1,4 70,7 ± 1,4
30 hari 300 ppm 1,3 ± 0,6 18,7 ± 1,3 36,0 ± 1,4 49,3 ± 1,3 54,7 ± 1,2 65,3 ± 1,0 68,0 ± 1,1
35 hari 0 ppm 0,0 ± 0,0 16,9 ± 1,3 35,4 ± 1,6 47,7 ± 1,8 55,4 ± 1,7 58,5 ± 1,7 61,5 ± 1,7
35 hari 100 ppm 1,4 ± 0,6 21,4 ± 1,3 35,7 ± 1,4 41,4 ± 1,4 45,7 ± 1,4 50,0 ± 1,5 51,4 ± 1,4
35 hari 200 ppm 0,0 ± 0,0 20,0 ± 1,1 40,0 ± 1,2 44,0 ± 1,2 56,0 ± 1,3 61,3 ± 1,3 64,0 ± 1,3
35 hari 300 ppm 0,0 ± 0,0 11,7 ± 1,1 30,0 ± 1,3 43,3 ± 1,4 50,0 ± 1,5 56,7 ± 1,4 58,3 ± 1,5
40 hari 0 ppm 0,0 ± 0,0 13,8 ± 1,1 32,3 ± 1,4 33,8 ± 1,5 40,0 ± 1,4 41,5 ± 1,4 44,6 ± 1,3
40 hari 100 ppm 0,0 ± 0,0 6,7 ± 0,9 25,0 ± 1,6 31,7 ± 1,6 41,7 ± 1,6 46,7 ± 1,6 48,3 ± 1,6
40 hari 200 ppm 0,0 ± 0,0 23,1 ± 1,3 32,3 ± 1,4 40,0 ± 1,4 40,0 ± 1,4 44,6 ± 1,5 49,2 ± 1,5
40 hari 300 ppm 0,0 ± 0,0 18,5 ± 1,1 33,8 ± 1,3 40,0 ± 1,3 44,6 ± 1,4 49,2 ± 1,4 50,8 ± 1,4
50
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ini, pada variabel pengamatan daya berkecambah,
potensi tubuh maksimum, kecepatan perkecambahan, panjang akar, dan panjang
plumula benih kelapa sawit berpengaruh pada lama pemanasan. Berdasarkan
variabel daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, panjang akar, dan panjang
plumula benih kelapa sawit pad pemanasan 30 hari memilikiviabilitas benih
paling tinggi dibandingkan dengan lama pemanasan lainnya dengan nilai daya
berkecambah 64% (Gambar 7), kecapatan perkecambahan 29% (Gambar 10);
panjang akar 6,9 cm (Gambar 12); dan panjang plumula 4,7 cm (13) dan memiliki
intensitas dormansi memiliki nilai terendah yaitu 29,3 % (Gambar 11).
Sedangkan, viabilitas benih kelapa sawit berdasarkan pada variabel potensi
tumbuh maksimum tertinggi 72% pada pemanasan 25 hari (Gambar 9). Hal ini
diduga pemanasan mampu menyebabkan retaknya operculum pada benih kelapa
sawit yang keras dan tebal. Retaknya operculum yang keras dan tebal
menyebakan benih kelapa sawit dapat melakukan proses imbibis (masuknya air
kedalam benih), sehingga proses metabolisme dapat berjalan.
Suhu dapat menyebabkan terjadinya disentegrasi lapisan kulit benih sehingga
membuat benih permeabel terhadap air dan gas (Farhana, Ilyas, dan Budiman,
2013). Selain itu, menurut Sumanto dan Sriwahyuni (1993), suhu air dan
intensitas perendaman mempengaruhi penyerapan air ke dalam benih, hal ini
karena air dan oksigen yang dibutuhkan untuk perkecambahan dapat masuk ke
benih tanpa halangan sehingga benih dapat berkecambah.
51
Perlakuan pemanasan yaitu dengan merendam benih ke dalam air panas pada suhu
dan waktu yang berbeda, tujuannya adalah memberikan kesempatan kulit benih
menjadi lunak sehingga kulit benih lebih mudah melakukan proses imbibisi,
begitu jugaterhadap waktu atau lama perendaman tujuannya adalah memberi
kesempatan benih menyerap air dalam kondisi yang cukup untuk merangsang
perkecambahan benih yang lebih lama kontak langsung dengan air. Perendaman
benih dengan lama waktu yang berbeda-beda mampu melunakkan dan membuka
pori-pori kulit benih yang keras (Nurshanti, 2013).
Penambahan lama pemanasan pada benih kelapa sawit yang lebih dari titik
optimum (tertinggi) menyebabkan viabilitas benih kelapa sawit menurun dapat
dilihat pada variabel pengamatan daya berkecambah, kecepatan perkecambahan,
intensitas dormansi, panjang akar, dan panjang plumula diamana akan menurun
sebanding dengan penambahan lama pemansaan setelah lama pemanasan 30 hari
(Gambar 7 dan Gambar 10-13), sedangkan pada variabel potensi tumbuh
maksimum akan menurun setelah pemanasan 25 hari (Gambar 9). Pada variabel
intensitas dormansi benih kelapa sawit pada pemanasan 30 hari mempunya
intensitas dormansi paling rendah 29,3% dan pada pemanasan 40 hari intensitas
dormansi paling tinggi, yaitu 55,3% (Gambar 10). Hal ini diperkirakan bahwa
lama pemanasan yang lama dapat menurunkan viabilita benih lapa sawit. Sejalan
dengan hasil penelitian Beugre, Kouakou, Bognonkpe, Konan, Kouakou, dan
Kouadio (2009) dan Fondom (2010), menunjukkan bahwa biji kelapa sawit
perkecambahan dapat diperoleh dengan baik dalam waktu singkat (60 hari) dari
perlakuan panas dibandingkan dengan aplikasi 80 hari. Sedangkan menurut
Jimenez, Guevara, Herrera, Alizaga, dan Bangerth (2008), benih kelapa sawit
52
membutuhkan 89 hari dengan metode panas kering dan 67 hari dengan metode
perendaman dalam hidrogen sianamida.
Menurut Gashaw dan Michelsen (2002), penurunan viabilitas benih kelapa sawit
ini dikaitkan dengan efek buruk dari pemanasan berkepanjangan pada
perkecambahan benih kelapa sawit. Endocarp dari biji kelapa sawit berfungsi
sebagai isolator yang buruk. Oleh sebab itu, pemanasan yang lama akan
menyebabkan peningkatan suhu endokarp, yang dapat ditransfer ke endosperma,
menyebabkan pengurangan aktivitas enzim, sehingga merugikan efek terhadap
perkecambahan dan pertumbuhan semai.
Selain itu, kemunduran benih yang disebabkan oleh penuaan (kemunduran
kronologis) merupakan faktor lain penyebab menurunnya viabilitas benih kelapa
sawit selama di pemanas yang tidak dapat dihindarkan. Optimalisasi benih saat di
ruang pemanas dan inkubasi sangat penting dilakukan dengan tepat. Selama
benih di ruang pemanas, setiap satu minggu harus dilakukan optimalisasi dengan
membuka kantong plastik yang berisi benih, diaduk dan dianginkan selama 10
menit sehingga terjadi aerasi dikarenakan oksigen sangat dibutuhkan oleh benih
untuk respirasi. Selain itu, benih yang terserang cendawan dikeluarkan dari
plastik lalu diafkir. Oleh karena itu, jika tidak dilakukan penganginan setiap
minggu maka dapat menurunkan viabilitas benih dengan cepat. Ketertersediaan
oksigen bagi benih yang tidak cukup dapat menyebabkan respirasi anaerob
(Chaerani, 1992).
Selain itu, faktor penurunan viabilitas benih karena lama pemanasan ini
diperkirakan karena lama pemanasan dapat menurunkan kadar air benih kelapa
53
sawit sampai dibawah titik optimumnya walaupun pada pemanasannya dengan
pemanasan basah. Menurut Kamil (1979), kadar air merupakan faktor penting
dalam perkecambahan benih kelapa sawit. Air harus tersedia dalam jumlah yang
cukup untuk pelunakan kulit, memberi fasilitas masuknya oksigen, mengencerkan
protoplasma untuk mengaktifkan berbagai macam fungsinya, dan sebagai alat
transportasi larutan makanan dari endosperma atau kotiledon ke titik tumbuh pada
poros embrio.
Kadar air benih merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat
viabilitas selama penyimpanan sehingga sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengecambahan benih (Arif dan Ilahi, 2018). Selain itu, menurut
Sutopo (2010), fungsi air dalam proses perkecambahan sangatlah penting untuk
memulai proses perkecambahan. Benih yang akan berkecambah harus memiliki
kadar air kira-kira mencapai suatu kadar air minimum. Air dalam proses
perkecambahan dipergunakan dalam banyak reaksi biokimia. Salah satu proses
biokimia yang terjadi adalah proses perombakan simpanan bahan makanan yang
terdapat dalam benih. Selain itu, air dalam benih diperlukan untuk mengaktifkan
enzim-enzim yang berperan dalam proses perombakan, seperti enzim amilase
untuk merombak karbohidrat menjadi glukosa, enzim lipase untuk merombak
lemak menjadi asam lemak dan gliserol, serta enzim protase untuk merombak
protein menjadi asam amino.
Oleh sebab itu, sebelum pemanasan hal yang perlu diketahui adalah sifat benih
apakah ortodoks atau rekalsitran. Benih ortodoks adalah benih yang dapat
bertahan pada kondisi kadar air benih yang rendah yaitu sekitar 18-40%,
54
sedangkan pada benih rekalsitran tidak dapat bertahan pada kondisi kadar air yang
rendah. Kadar air pada benih rekalsitran sekitar 35-80% (Heuver, 2006).
Sedangkan menurut Bewley dan Black (1994), menyatakan bahwa benih yang
kadar air benih menurun lebih rendah dari pada titik optimumnya dapat
mengakibatkan pengeringan di bagian embrio sehingga menekan aktifitas ribosom
dalam mensintesa protein, sehingga viabilitas benih dapat menurun. Selain itu,
menurut Anshory (1999) mengatakan bahwa penurunan kadar air dapat
menyebabkan kerusakan membran sel, sehingga terjadi kebocoran metabolit
seperti gula, fosfat dan kalium yang berakibat menurunkan viabilitas benih.
Sedangkan pada benih kelapa sawit yang merupakan benih antara rekalsitran dan
ortodoks atau disesebut denga benih intermediet yang membutuhkan kadar air
yang cukup tinggi. Menurut Adiguno (1998), menyatakan bahwa kadar air benih
kelapa sawit selama dipemanaskan tidak boleh kurang dari 18%, sehingga
viabilitasnya dapat dipertahankan. Kadar air benih menurun dengan semakin
lamanya benih di ruang pemanas karena kondisi ruang pemanas yang memiliki
suhu tinggi (39-40 °C), serta kelembaban yang relatif rendah. Hal ini dapat
menyebabkan kadar air benih dapat menurun walaupun benih berada dalam
kantong plastik yang tertutup. Selain itu, menurut Chaerani (1992), kadar air pada
benih kelapa sawit yang kurang dari 17%, maka benih akan kekeringan dan dapat
merusak embrio. Selain itu, kemunduran viabilitas benih selama masa pemanasan
dapat disebabkan oleh penuaan selama benih di pemanaskan.
Dalam proses perkecambahan hal yang diperlukan bukan hanya air namun juga
zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT adalah senyawa organik dan bukan hara
55
tanaman yang dibutuhkan dengan konsentrasi rendah yang bersifat merangsang,
menghambat, atau merubah proses fisiologis tanaman secara kuantitatif atau
kualitatif. ZPT yang bereperan dalam proses percambahan salah satunya adalah
giberelin. Menurut Srivastava, (2001) dan Kucera, Cohn, dan Matzger (2005 ),
pemberian zat pengatur tumbuh seperti giberelin berperan sebagai promotor
perkecambahan dan melawan efek menghambat dari ABA, mampu memecahkan
beberapa tipe dormansi. Sedangkan menurut Weiss and Ori (2007), efek
fisiologis dari giberelin adalah mendorong aktivitas enzim-enzim hidrolitik pada
proses perkecambahan benih. Giberelin dapat menggantikan kebutuhan benih
terhadap cahaya untuk berkecambah (Zharare, 2012). Menurut Rusmin, Suwarno,
dan Darwati (2011), pemberian giberelin 400 ppm selama 48 jam dapat
meningkatkan daya berkecambah benih purwoceng dua kali lipat dibandingkan
dengan kontrol.
Menurut Tigabu dan Ode'n (2001), pemberian giberelin dapat meningkatkan
perkecambahan Albizia grandibracteata dibandingkan dengan kontrol (tanpa
giberelin. Giberelin merupakan hormon yang dapat ditemukan pada hampir
seluruh siklus hidup tanaman. Hormon ini mempengaruhi perkecambahan biji,
perpanjangan batang, perluasan daun, induksi bunga, perkembangan biji, dan
pertumbuhan pericarp. Sedangkan menurut Yasmin, Wardiati, dan Koesrihati
(2014), manfaat giberelin pada tanaman adalah mematahkan dormansi atau
hambatan dalam pertumbuhan tananaman, merangsang pemanjangan sel, dan
memacu proses perkecambahan. Giberelin dapat mempercepat perkecambahan
biji, pertumbuhan tunas, dan perpanjangan batang.
56
Giberelin tidak hanya memacu perpanjangan batang tetapi juga pertumbuhan
seluruh bagian tumbuhan termasuk daun dan akar. Salah satu efek giberelin pada
benih adalah mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat menembus
endosperm kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhan. Giberelin
akan merangsang sintesis auksin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan akar.
Radikula merupakan calon akar yang digunakan untuk menyerap unsur hara dan
mineral dari dalam tanah (Salisbury dan Ross, 1995).
Pada penelitian ini, perendaman benih kelapa sawit dengan giberelin
mempengaruhi viabilitas benih kelapa sawit khususnya pada perendaman
giberelin 200 ppm dapat dilihat pada variabel daya berkecambah dan kecepatan
perkecambahan dimana nilainya tertingginya lebih tinggi dibandingkan pada
perendaman tanpa giberelin(Gambar 7 dan 10). Daya berkecambah benih kelapa
sawit tertinggi pada perendaman giberelin 200 ppm adalah 64% dibanding
perendaman tanpa giberelin yaitu 62,9% (Gambar 7). Pada variabel pengamatan
potensi tumbuh maksimum, intensitas dormansi, panjang akar dan panjang
plumula, perendaman benih kelapa sawit pada giberelin 200 ppm lebih rendah
dari pada perendaman tanpa giberelin dengan penurunan ± 1 % atau ± 1 cm
(Gambar 9 dan Gambar 11-14). Sedangkan pada perendaman giberelin 100 dan
300 ppm memiliki nilai yang menurun dibandingkan perendaman tanpa giberelin
pada semua variabel. Berbeda dengan penelitian Nuraini, Pangaribuan, dan
Suherman (2015) yang mengatakan pemberian giberelin pada benih kelapa sawit
100 dan 200 ppm berpengaruh baik pada variabel persentase perkecambahan,
indeks vigor, panjang radikula dan panjang plumula.
57
Hal ini terjadi diduga karena saat perendaman dilakukan dengan menutup botol
dengan plastik dan diikat dengan karet, akibatnya oksigen tidak dapat masuk.
Sedangkan oksigen sangat berpengruh dalam perkecambahan terutama
penyerapan air (imbibisi). Menurut Kamil (1979), benih akan berkecambah
dalam udara yang mengandung 20% oksigen dan 0,,03% CO2 dan untuk benih
yang mengalami dormansi perkecambahan terjadi jika oksigen yang masuk dalam
benih ditingkatkan sampai 80% karena oksigen yang masuk dalam embrio kurang
dari 3%.
Selain itu, yang mengatakan perkecambahan benih kelapa sawit dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan
kondisi benih yang dikecambahkan, sedangkan faktor insternal lebih berkaitan
dengan lingkungan (Sutopo, 2010). Selain itu, menurut Chaerani (1992), faktor-
faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari faktor genetik dan
hormon. Gen adalah faktor pembawa sifat menurun yang terdapat di dalam
makhluk hidup, sedangkan hormon adalah senyawa organik yang dibuat pada
suatu bagian tanaman yang konsentrasinya rendah menyebabkan suatu dampak
fisiologis. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan benih yang berasal dari
petani sehingga keragamannya besar dapat dilihat dari bentuk benih yang beragam
dan memiliki kualitas yang rendah.
Selain itu, diperkirakan pada kadar giberelin pada benih kelapa sawit masih tinggi.
Diperkirakan pemanasan dengan keadaan lembab dapat mempertahankan kadar
giberelin pada benih kelapa sawit. Hal ini sejalan dengan Agustiansyah dkk.
(2018), kadar giberelin di dalam benih pada pemanasan selama 20 hari memiliki
58
35,81 ppm. Pada pemanasan selama 25, 30 dan 35 memiliki kadar giberelin yang
masih tinggi yaitu > 25 ppm. Sedangkan pada pemanasan 40 hari kadar giberelin
dalam benih yaitu hanya 18 ppm. Oleh sebab itu, pada pemanasan selama 20, 25,
30, dan 35 hari pemberian giberin cenderung tidak mempengaruhi viabilitas benih
kelapa sawit. Sedangkan pada pemanasan 40 hari pemberian giberelin akan
mempengaruhi daya berekecambah, potensi tumbuh maksimum kecepatan
perkecambahan, panjang akar, dan panjang plumula benih kelapa sawit pada
perendaman giberelin konsentrasi 100 ppm (Gambar 7 dan Gambar 8-13).
Sedangkan pada perendaman giberelin 200 dan 300 ppm kembali tidak
mempengaruhi daya berekcambah benih kelapa sawit karena giberelin 100 ppm
sudah cukup memenuhi kekurangan giberelin dalam benih kelapa sawit.
57
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pemanasan cenderung berpengaruh dalam meningkatkan dan mempercepat
perkecambahan dalam viabilitas benih kelapa sawit dapat dilihat dari variabel
pengamatan meningkatkan daya bekecambah, panjang plumula, dan intesitas
dormansi, panjang akar, dan panjang plumula terdapat pada pemanasan 30
hari dengan nilai daya berkecambahan tertinggi 64% pada perendaman
giberelin 200 ppm. Selain itu, pada variabel waktu tumbuh kecambah pada
pemanasan 30 dan 35 hari benih kelapa sawit sudah mulai berkecambah.
2. Pemberi giberelin cenderung dapat menurunkan viabilitas benih kelapa sawit
terutama pada pemanasan 20, 25, 30, dan 35 hari. Namun pada pemanasan 40
hari penambahan giberelin berpengaruh dalam peningkatan viabilitas benih
kelapa sawit khususnya pada perendaman giberelin 100 ppm dengan daya
kecambah yaitu 53,3% dibandingkan daya berkecambahan pada perlakuan
tanpa giberelin 41,7%..
c
60
5.2 Saran
Saran yang diajukan penulis berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Metode pematahan dormansi benih kelapa sawit sebaiknya menggunakan
metode pemanasan dangan periode 30 hari.
2. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan metode pemecahan dormansi benih
kelapa sawit dengan menggunakan benih bervarietas unggul yang
bersertifikat.
3. Perlunya penggukuran kadar air benih setelah pemanasan dan setelah
perendaman giberelin.
4. Perlunya pengukuran kadar giberelin pada benih setelah pemanasan.
5. Pada saat perendaman benih kelapa sawit dengan giberelin sebaiknya diberi
lubang atau tidak ditutup agar oksigen dapat masuk.
6. Pengukuran panjang plumula dan akar sebaiknya dilakukan setelah 3 hari
setelah benih perkecambahan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Adiguno, S. 1998. Pengadaan dan pengawasan mutu internal kecambah kelapa
sawit dan bibit kelapa sawit di pt socfindo-medan, sumatera utara. Laporan
Keterampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ahmad, M.N., M.N. Mokhtar, A.S. Baharuddin, L.S. Hock, S.R.A. Ali, S.A. Aziz,
N.A. A. Rahman, M.A. Hassan. 2011. Changes in physicochemical and
microbial community during co-composting of oil palm frond with palm oil
mill effluent anaerobic sludge. J. BioResources. 6(4).
Anshory, A. H. 1999. Pengaruh periode konservasi dan perlakuan
matriconditioning terhadap viabilitas benih kayu manis (Cinnamomumz
eylanicum) Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
pertanian Bogor.
Arif, M. dan N. M. A. Ilahi. 2018. Aplikasi metode oven suhu tinggi tetap dan
benih utuh dalam pengujian kadar air benih kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq). Jurnal Pen. Kelapa Sawit 26 (3): 153-159.
Baskin, C.C. and Baskin, J.M. (1998). Seeds. Ecology, biogeography, and
evolution of dormancy and germination. Academic Press, San Diego.
Beugré, M.M., Kouakou, K. L., Bognonkpé, J.P., Konan, K.E., Kouakou, T.H.,
and Kouadio, Y.J. (2009). Effect of storage and heat treatments on the
germination of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seed. African Journal
Agricultural Research 4, 931-937.
Bewley, J.D., and Black, M. 1994. Seeds. Physiology of Development and
Germination. Plenum Press, New York.
Boateng, C.O., K.T. Lee. 2014. Ultrasonic-assisted simultaneous saccharification
and fermentation of pretreated oil palm fronds for sustainable bioethanol
production. J.Fuel. 119: 285-291.
62
Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2010. Biologi. Edisi kedelapan.
Terj. Dari: Biologi. 8 th ed. Oleh Manulu, W. Erlangga. Jakarta.Chairani. H.
2008. Tenik Budidaya Tanaman Jilid 1. Departemen Pendidikan Nasional,
Buku Sekolah Elektronik. JakartaChairani, H. 1992. Kajian kemunduran
viabilitas benih kelapa sawit. Berita Penelitian Perkebunan, 2(3):107-114.
Chin, H.F and E.H. Roberts. 1980. Recalsitrants Crop Seeds. Tropical Press.
Kuala Lumpur. malaysia.
Copeland, L. O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publ.
Comp., Minneapolis Minnesota. 369p.
Daud, M., W. Syafii, K. Syamsul. 2013. Pemanfaatan batang kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) menjadi bioetanol dengan perlakuan pendahuluan
menggunakan proses kraft. Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Ermadani, Mahbub, I.A., dan A.Muzar. 2011. Pengaruh residu kompos
tandanbuah kelapa sawit tehadap beberapa sifat kimia ultisol dan hasil
kedelai. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 13 (2): 11-18.
Farhana,B., S. Ilyas, dan L.F. Budiman. 2013. Pematahan dormansi benih kelapa
sawit (elaeis guineensis jacq) dengan perendaman dalam air panas dan
variasi konsentrasi ethephon. Jurnal Bul. Agrohorti 1 (1): 72-78. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, Y, Yustine, E. Widiyastuti, I. Satyawibawa, dan R. H. Paeru. 2012. Kelapa
Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.
Fondom, Nicolas Y. (2010). Breaking Seed Dormancy: Revisiting Heat-treatment
Duration on Germination and Subsequent Seedling Growth of Oil Palm
(EIaeis guineensis Jacq.) Progenies. Journal of Agricultural Science 2(2)
:101-110
Gashaw, M. and Michelsen, A. (2002). Influence of heat shock and seed
germination of plants from regularly burnt savanna woodlands and
grasslands in Ethiopia. Plant Ecology, 159: 83-92.
Guangul, F.M., S.A. Sulaiman, A. Ramli. 2014. Study of the effects of operating
factors onthe resulting producer gas of oil palm fronds gasification with a
single throat downdraft gasifier. J. Renewable Energy. 72: 271-283.
Hamburg. ITTC. 2013. Marker Brief. Kelapa Sawit dan Olahannya. Kementrian
Perdagangan Republik Indonesian.
Hartley, C W. S. 1997. The preparation, stotage and germination of seed. P.311-
328. InC. W. S. Hartley and R. H. V. Corley(eds). The Oil Palm (Elaeis
guineensis). Longman. London and New York.
63
Haryani, N. 2005. Pengujian viabilitas benih selama periode konservasi dan upaya
pematahan dormansi untuk mempercepat pengecambahan benih kelapa
sawit (Elaeis guineensis Jacq). Skripsi. Jurusan BudidayaPertanian.Fakultas
Pertanian. IPB. Bogor.
Heuer, Holger, Martin Krsek, Paul Baker, Kornelia Smalla and Elizabeth M. H.
Wellington. 1997. Analysis of Actinomycete Communities by Specific
Amplification of Genes Encoding 16S RNA and Gel-Electrophoretic
Separation in Denaturing Gradients. University of Warwick, ,United
Kingdom.
Hussin, M.H., A.A. Rahim, M.N.M. Ibrahim, D. Perrin, M. Yemloul, N. Brosse.
2014. Impact of catalytic oil palm fronds (OPF) pulping on organosolv lignin
properties. J.Polymer Degradation and Stability. 109: 33-39.
Ilyas, S. dan W.T. Diarni. 2007. Persistensi dan pematahan dormansi benih.
Jurnal Agrista 11 (2): 92-101.
Jimenez. V.M., E.Guevara, J. Herrera, R. Alizaga, dan F. Bangerth. 2008.
Changes in hormone concentrations during dormancy release of oil palm
(Elaeis guineensis) seed. Jurnal Seed Sci. & Technol. University of
Hohenheim. Germany.
Julyan,B. A. Qodir, dan Supijatno. 2017. Pengelolahan tandan benih kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Sumatra
Utara. Bul. Agrohorti 5(3): 305-375.
Kala, D.R., A.B. Rosenani, C.I. Fauziah, L.A. Thohirah. 2009. Composting oil
palm wastes and sewage sludge for use in potting media of ornamental
plants. Malaysian Journal of Soil Science. 13: 77-91.
Kamil J. 1979. Teknologi Benih Angkasa Raya. Padang.
Kartasapoetra, A.G. 1996. Teknologi Benih. Rineka Cipta. Jakarta.
Kartika, Surahman M., dan Susanti M., 2015. Pematahan dormansi benih kelapa
sawit (Elaeis gueneensis Jacq) menggunakan KNO3 dan stratifikasi
enviagro., Jurnal Pertanian dan Lingkungan 8 (2) : 48-55.
Khalid, I., O. Sulaiman, R. Hashim, W. Razak. N. Jumhuri, M.S.M. Rasat. 2015.
Evaluation on layering effects and adhesive rates of laminated compressed
composite panels made from oil palm (Elaeis guineensis) fronds. J. Materials
and Design. 68: 24-28.
Kucera B, M.A. Cohn, and G.L. Metzger. 2005. Plant Hormone Interactions
during Seed Dormancy Release and Germination. Seed Science
Research: 15: 281-307.
64
Kurniaty, R. 1987. Pengaruh Asam Sulfat terhadap Perkecambahan Benih
Maesopsis eminii Engl. Buletin Penelitian Hutan No. 488. Hal.35-44.
Kuswanto. 2007. Teknologi Pemrosesan Pengemasan dan Penyimpanan Benih.
Kanisus. Yogyakarta.
Lakitan, B. 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Perseda.
Jakarta.
Lubis, A, U. 1992. Kelapa Sawit (Elais Guineensis Jacq.) di Indonesia. Marihat
Bandar Kuala. Sumatra Utara.
Mangoensoekarjo S dan H. Semangun. 2005. Manajemen Agribisnis Kelapa
Sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nurmailah, E.S. 1999. Pengaruh Matriconditioning Plus Inokulasi dengan
Trichoderma sp. terhadap Perkecambahan, Kadar Lignin, dan Asam Absisat
Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB.
Bogor.
Nuraini, A., I. F. Pangaribuan, dan C. Suherman. 2016. Pemecahan dormansi
benih kelapa sawit dengan metode dry heat treatment dan pemberian
giberelin. Jurnal Agrin 2(2):99-10
Nurshanti, D.F. 2013. Zat pengatur tumbuh asam giberelin (GA3) dan pengaruh
terhadap perkecambahan benih palem raja (Roystonea regia). Agronobis,
1(2): 71-77.
Pahang, lyun. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari
Hulu hingga Hilir. Penebars Swadaya.
Palm Oil Agribusiness Policy Strategic Institute. 2017. Mitos VS Fakta Industri
Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungsn Global
Edisi Ketiga. PAPSI. Bogor.
Polhaupessy, Silvia. 2014. Pengaruh konsentrasi giberelin dan lama perendaman
terhadap perkecambahan biji sirsak (Anonna muricata L.). Biopendix 1 (1):
71-76.
Prayetno. 1995. Teknologi Papan Majemuk. Bagian Penerbitan Yayasan Pembina
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2009. Pembibitan Kelapa Sawit. PPKS. Medan.
Rupani, P.F., R.T. Singh, M.H. Ibrahim, N. Esa. 2010. Review of current palm oil
milleffl uent (POME) treatment methods: Vermicomposting as a sustainable
practice. World Applied Science Journal. 10(10): 1190-1201.
65
Rusmin, D., F. C. Suwarno. dan I. Darwati. 2011. Pengaruh Pemberian GA3 pada
Berbagai Konsentrasi dan Lama Imbibisi terhadap Peningkatan Viabilitas
Benih Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Jurnal Littri 17(3):89-94.
Salisbury, F.B. Dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid Ii. Terjemahan
Diah R. Lumnan Dan Sumarjono. ITB. Bandung.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Grasindo. Jakarta.
Sari, H.P., C. Hanum, dan Charloq. 2014. Daya kecambah dan pertumbuhan
mucuna bracteata melalui pematahan dormansi dan pemberian zat pengatur
tumbuh giberelin (GA3). Jurnal Agroekoteknologi 2 (2): 630- 644. Fakultas
Pertanian USU. Medan.
Sasmitamihardja, Dardjat. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudaya,Bandung. Bandung
Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan
Subtropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Setiadi, H. R. H., dan M. Munawir. 1997. Pengalaman pembuatan tanaman jati
dengan plances pada awal tahun. Duta Rimba 205-206 : 44-50.
Silomba, A.D.S. 2006. Pengaruh lama perendaman dan pemanasan terhadap
viabilitas benih kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.). Skripsi. Fakultas
pertanian. Institut pertanian bogor.
Sitompul, S. M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM
Press. Yogjakarta
Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soeherlin, E. 1996. Pengaruh tingkat kemasakan dan cara pematahan dormansi
terhadap viabilitas benih mindi (Melia azedarach L). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 55 hal
Srivastava, M. L. 2001. Plant Growth and Development. Hormones and
Environment. Academic Press. 722 p.
Tetuko. K.A., S. Parman, dan M. Izzati. 2015. Pengaruh Kombinasi Hormon
Tumbuh Giberelin dan Auksin terhadap Perkecambahan Biji dan
Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Mull. Arg.). Jurnal
Biologi. 4 (1): 61-72. Fakultas Sains dan Matematika. Universitas
Diponegoro.
66
Tigabu A, Oden PC .2001. Effect of scarification gibberellic acid and temperature
on seed germination of two multipurpose Albizia species from Ethiopia.
Seed. Science.Technology 29: 11-20.
Weiss, D. dan N. Ori. 2007. Mechanisme of Cross Talk between Gibberellin and
Other Hormones. Plant Physiol 144: 1240-1246.
Widayati, E., Murniati. E, Palupi E.R., Kartika. T., Suhartanto. M.R., Qadir. A.,
2009. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB.
Yasmin, S. Wardiati, dan Koesrihati, 2014. Pengaruh perbedaan waktu aplikasi
dan konsentrasi giberelin (GA3) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
cabai besar (Capsicum citrum L.). Jurnal produksi tanaman 6 (5): 395-403.
Yahya, S. 1990. Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). Bahan Kuliah
Tanaman Perkebunan Utama. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian. IPB. Bogor.
Zharare, G.E., 2012. Differential Requirements for Breaking Seed Dormancy in
Biotypes of Cleome gynandra and two Amarathus spesies. Afr. J. Agric. Res
7 (36):5049-5059.