Download - pengantar sistem pembayaran
PENGANTAR SISTEM PEMBAYARAN
Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Pengantar Sistem Pembayaran
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. 1
PENGANTAR SISTEM PEMBAYARAN ................................................................................................... 2
I. SEKILAS SISTEM PEMBAYARAN ................................................................................................ 2
II. PERAN SISTEM PEMBAYARAN DALAM PEREKONOMIAN ................................................... 9
III. KOMPONEN SISTEM PEMBAYARAN ........................................................................................ 10
1. KEBIJAKAN .................................................................................................................................. 11 2. KELEMBAGAAN ............................................................................................................................ 11 3. ALAT PEMBARAYARAN ................................................................................................................ 12 4. MEKANISME OPERASIONAL .......................................................................................................... 12 5. INFRASTRUKTUR TEKNIS .............................................................................................................. 12 6. PERANGKAT HUKUM .................................................................................................................... 13
IV. RISIKO DALAM SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGENDALIANNYA ................................. 13
V. PERAN BANK SENTRAL DALAM SISTEM PEMBAYARAN .................................................... 16
VI. KETERKAITAN SISTEM PEMBAYARAN DENGAN TUGAS BANK SENTRAL LAINNYA .. 18
1. PERAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM PEMBAYARAN ................................................................ 18 2. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGENDALIAN MONETER .................................................................. 19 3. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGAWASAN PERBANKAN................................................................. 19
VII. ARAH PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DI MASA DEPAN .................................. 20
1. EFISIENSI HIGH-VALUE PAYMENT SISTEM MELALUI PENGEMBANGAN SISTEM BI-RTGS GENERASI II20 2. PEMBENTUKAN SELF REGULATORY ORGANIZATION ...................................................................... 22 3. IMPLEMENTASI STANDARISASI KARTU ATM/DEBET BERBASIS CHIP.............................................. 23 4. INTEROPERABILITY SISTEM UANG ELEKTRONIK .............................................................................. 23 5. INISIASI PENGEMBANGAN NATIONAL PAYMENT GATEWAY (NPG) ..................................................... 24
VIII. LAMPIRAN...................................................................................................................................... 25
1. MEKANISME NET VERSUS GROSS SETTLEMENT ................................................................................ 25 2. FLOAT ....................................................................................................................................... 29 3. BIS CORE PRINCIPLES ............................................................................................................. 29
Pengantar Sistem Pembayaran
2
PENGANTAR SISTEM PEMBAYARAN
I. SEKILAS SISTEM PEMBAYARAN
Sistem Pembayaran sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Hampir setiap saat
dalam kegiatan perekonomian sehari-hari terjadi transaksi yang dilakukan para pelaku
ekonomi, serta masyarakat umum lainnya. Sadar atau tidak, kegiatan transaksi yang kita
lakukan tersebut berkaitan erat dengan sistem pembayaran.
Sebelum berbicara mengenai sistem pembayaran terlebih dahulu perlu dipahami
mengenai terminologi pembayaran itu sendiri. Pembayaran dapat diartikan sebagai
perpindahan nilai antara dua belah pihak (secara sederhana kita memakai istilah pembeli
dan penjual), dimana secara bersamaan terjadi perpindahan barang dan jasa. Pada intinya
dalam setiap kegiatan ekonomi pasti melibatkan proses pembayaran ini,.
Sebagai langkah awal untuk memahami lebih jauh mengenai sistem pembayaran, kita
lihat beberapa definis sistem pembayaran sebagai berikut :
CPSS Glossary – March 2003
“ A payment system consists of a set of instruments, banking procedures and, typically,
interbank funds transfer systems that ensure the circulation of money”.
Guitian,1998
“A payment system encompasses a set of instruments and means generally acceptable in
making payments; the institutional and organizational framework governing such
payments (including prudential regulation); and the operating procedures and
communications network used to initiate and transmit payment information from payer
to payee and to settle payments”.
Pengantar Sistem Pembayaran
3
UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia
“Sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga dan mekanisme yang digunakan
untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi”.
Apabila terminologi sistem dan pembayaran di satukan maka pendefinisiannya menjadi
sebagai berikut :
Definisi dari Committee for Payment and Settlement Systems/ Bank for International
Settlement (CPSS/BIS) yaitu lembaga internasional yang menerbitkan acuan best practice
dalam pengelolaan sistem pembayaran mendefinisikan interaksi antar entitas tersebut
terdiri dari, seperangkat instrumen, prosedur, IFT system yang menjadi komponen untuk
melancarkan perputaran dana. Literatur lain (guitian) juga mendefinisikan hal yang
hampir sama, hanya dengan penambahan entitas lembaga dan regulasi.
Bank Indonesia sendiri pada UU No. 23 pasal 1 juga telah medefinisikan secara tegas
mengenai sistem pembayaran yang merupakan satu kesatuan yang utuh dari seperangkat
aturan, lembaga, mekanisme untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi
kewajiban yang timbul dari kegiatan ekonomi.
Dari semua definisi diatas, intinya adalah bila berbicara mengenai sistem pembayaran
adalah bicara tentang alat pembayaran, prosedur perbankan sehubungan dengan
pembayaran dan juga sistem transfer dana antarbank yang dipakai dalam proses
pembayaran.
Jadi kita bisa bicara tentang alat pembayaran seperti cek, Bilyet Giro, wesel-wesel,
electronic funds transfer, kartu ATM, kartu debet, kartu kredit, dan e-money. Bicara
tentang alat-alat pembayaran itu kita bisa pilih mau mendalami sisi apa, apakah sisi
legalitas alat-alat pembayaran tersebut, sisi penggunaannya oleh masyarakat luas, sisi
prudential regulation untuk lembaga-lembaga yang menjadi penerbit alat-alat
pembayaran tadi, sisi kliring dan settlements agar dana yang terkandung dalam alat bayar
bisa berpindah dari pengirim kepada beneficiary, sisi risiko-risiko yang dihadapi bank
atau para penyelenggara kliring atau settlements, biaya investasi, bahkan bisa juga kita
memilih membahas ketergantungan sistem pembayaran kepada infrastruktur publik
Pengantar Sistem Pembayaran
4
seperti telekomunikasi. Semua itu adalah coverage dari sistem pembayaran dan tentu saja
konsekuensinya bank sentral memperhatikan semua cakupan itu.
Dari definisi diatas, dapat kita ilustrasikan berbagai komponen yang membentuk sistem
pembayaran dalam bagan dibawah, sebagai berikut :
Bagan pertama menggambarkan mengenai kategori dan bentuk alat pembayaran di
Indonesia. Apabila ditelusuri lebih dalam, alat-alat pembayaran tersebut dapat
digolongkan kedalam 2 macam, yakni alat pembayaran untuk credit transfer1 dan alat
pembayaran untuk debit transfer2. Dari kedua kategori tersebut bentuknya pun bisa
bermacam-macam, bisa berbasiskan kertas (paper based), kartu (card based) dan
elektronik (electronic based). Contoh alat pembayaran berdasarkan kategori diatas
adalah sebagai berikut :
1 Berdasarkan terminology Bank for International Settlement (BIS), Credit transfer adalah perintah pembayaran
untuk tujuan penempatan dana dari pengirim ke penerima melalui jalur transfer dana dari bank pengirim ke bank
penerima dan dimungkinkan melalui bank lain sebagai intermediary. 2 Menurut BIS debit transfer adalah sistem transfer dana dimana perintah debit transfer dibuat atau di otorisasi oleh pihak yang memiliki dana dan akan melakukan pengiriman dana (payer) tersebut kepada pihak lain (payee).
Perintah transfer tersebut disampaikan kepada pihak yang akan menerima dana (payee) untuk kemudian dicairkan
di banknya payee. Selanjutnya bank payee mengkliringkan perintah transfer debit tersebut di lembaga kliring (saat
ini di BI) untuk menagihkan dana payer.
Credit
Transfer
Debit
Transfer
• Clearing
Houses
• Banks
• Others
Paper
based
Card
based
Electronic
based
• Bank
Teller
• ATM
• EDC
• Computer
• Mobile
Phones
• Others
Payment
Instruments
Payment
Systems
Operators
Delivery
ChannelsInterbank
Funds Transfer
Systems
• Paper
based
• Cards
based
• Electronic
based
Pengantar Sistem Pembayaran
5
Credit Transfer Debit transfer
Paper based Card based Electronic based Paper based
Dulu ada nota
kredit (sebelum
diterapkan SKNBI)
Kartu ATM
Kartu ATM dan
Debet
Kartu Kredit
Kartu prabayar (e-
money)
Transfer kredit via
RTGS dan SKNBI
Server based e-
money
Cek
BG
Nota Debit lain
Bagan kedua menjelaskan mengenai komponen sistem pembayaran yang memproses
berbagai instrument pembayaran (interbank fund transfer system) yang juga memiliki
banyak variasi tergantung alat pembayaran yang diprosesnya. Tentunya mekanisme
maupun prosesnya sangat tergantung kebutuhan bisnis, konsumen, ketersediaan
teknologi, dll.
Bagan ketiga menggambarkan mengenai operator atau berdasarkan definisi BIS diatas
bisa dikategorikan sebagai lembaga yang memproses alat pembayaran tadi. Di
Indonesia lembaga tersebut sangat beragam yaitu :
Lembaga/operator Nama Sistem Memproses
Bank Indonesia BI-RTGS Setelmen transfer kredit
antar bank untuk high
value transfer, setelmen
kliring BI, setelmen kliring
pasar modal, setelmen
kliring switching company,
setelmen surat berharga
dan transfer dalam rangka
manajemen pengelolaan
moneter dan fiskal.
Semuanya menggunakan
central bank money.
SKNBI Melakukan kliring
Pengantar Sistem Pembayaran
6
antarbank untuk alat
pembayaran cek, BG, nota
debet lainnya dan transfer
kredit antar bank
PT. Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI)
Central Depository and
Book Entry Settlement
System (C-BEST)
Menyelenggarakan kliring
surat berharga pasar modal
di Bursa Efek Indonesia.
Setelmen kliring surat
berharga ini disetel pada
Sistem BI-RTGS
Switching atau
Penyelenggara Kliring Alat
Pembayaran Menggunakan
Kartu (APMK)
Shared ATM Network,
Shared Debit Network
Shared Credit Card
Network
Memproses kliring APMK
dan melakukan setelmen
pada bank atau lembaga
lain yang ditunjuk sebagai
lembaga setelmen
Bagan keempat adalah delivery channel atau saluran pembayaran yang memungkinkan
seluruh alat pembayaran tadi dapat berfungsi (sebagai intermediary). Contoh saluran
pembayaran adalah sebagai berikut :
1. electronic data capturing (EDC) yang ada di merchant/toko untuk membaca
transaksi yang dilakukan menggunakan alat pembayaran seperti (kartu ATM, debet,
kartu kredit.
2. Teller input atau petugas teller di bank yang melakukan pengiriman dana atas dasar
draft perintah transfer yang dibuat oleh pengirim dana.
3. ATM (authomated teller mechine) mesin pengganti teller yang dapat melanjukan
instruksi pengiriman dana.
4. Internet, mobile dan phone banking.
Pengantar Sistem Pembayaran
7
Bagaimana sistem pembayaran mengalami evolusi ?
Tahapan evolusi sistem pembayaran dimulai dari sistem perekonomian yang paling
sederhana, yakni yang dikenal dengan istilah barter, dimana seseorang yang
membutuhkan barang tertentu dapat memperolehnya dengan cara menukarnya dengan
barang yang berbeda. Pada masa tersebut belum ada satuan nilai sebagai alat pengukur
barang/jasa, sehingga orang mengukur suatu barang dengan barang lainnya.
Sistem barter tersebut kemudian digantikan dengan sistem „commodity currency‟ yaitu
sistem pertukaran dengan menggunakan barang tertentu yang telah diterima secara umum
sebagai media pertukaran (medium of exchange) maupun sebagai suatu standard nilai
yang digunakan dalam pertukaran barang. Sebagai contoh, selama periode awal
pemukiman Amerika, penduduknya menggunakan tembakau, beras, kayu, dan lain
sebagainya sebagai medium of exchange.
Sistem barter dan „commodity curreny‟ ini sangat tidak efisien, antara lain karena :
sulit mencari orang yang memiliki barang yang dibutuhkan, dan berkeinginan untuk
menukarkan sebagian barangnya dengan barang yang ditawarkan,
setiap orang mempunyai ide yang berbeda terhadap nilai barang yang akan
dipertukarkan, dibandingkan dengan barang lainnya,
Uang
•Mulai dari jeniskerang/batulogamemas/perak
•Pertama kali diterbitkan secaraesmi oleh RI tahun1950-an (RIS)
Paper Based (Cek, BG , Wesel, Nota Debet, Nota Kredit dll) Mekanismemenggunakan sistemkliring di Bank Indonesia yakni:
•Kiring manual dimulaisejak 1909 (DJB)
• Sistem Otomasi Kliringsejak 1990
Alat PembayaranMenggunakan Kartu
•Kartu Kredit dan Debit + ATM mulai diperkenalkanpada awal 1990 an
•Mekanisme transfer danamelelui kliring APMK
•Lembaga yang terlibat:Prinsipal, Penerbit, Perusahaan Switching, Perusahaan Personalisasi
Electronic Based
•Transfer dana secaraelektronik (credit transfer) menggunakan
•Sistem BI RTGS sejak2000 sampai saat ini
•Sistem Kliring ElektronikJakarta sejak 1998 sampai 2005
•Sistem Kliring NasionalBank Indonesia sejak2005 sampai saat ini
•Direct Debit
PerkembanganSistem pembayaranTerkini
•Store Value Card (e-money)
•Perkembangan Delivery channel
• Internet banking
•Electronic banking
•Mobile banking
•Phone banking
Pengantar Sistem Pembayaran
8
nilai suatu barang yang dipertukarkan belum tentu mencerminkan nilai sebenarnya,
serta belum tentu sesuai nilainya dengan barang yang diperoleh sebagai imbalan atas
barang yang dipertukarkan.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia, sistem tersebut menjadi tidak efisien
lagi, sehingga muncullah uang sebagai alat ukur dan alat tukar yang dapat digunakan
dalam perdagangan.
Bentuk uang itu sendiri secara fisik juga mengalami evolusi dari bentuk yang paling
sederhana ke bentuk yang lebih maju sejalan dengan perkembangan teknologi. Uang
dalam bentuk kerang dan batu-batuan berganti dengan lempengan logam dan logam
mulia, untuk kemudian berubah lagi menjadi bentuk yang dianggap paling efisien yaitu
uang kertas dan uang logam.
Penggunaan uang tunai (kertas dan logam) telah memberikan kepraktisan dalam
melakukan suatu transaksi pembayaran. Namun sejalan dengan perkembangan
perekonomian dan teknologi, penggunaan uang tunai ini kemudian hanya dirasa cukup
praktis untuk pembayaran-pembayaran yang bernilai relatif kecil. Namun tidak demikian
halnya untuk transaksi-transaksi yang nilainya cukup besar, karena diperlukan kuantitas
fisik uang yang banyak, serta faktor keamanan karena orang akan merasa tidak aman bila
membawa sejumlah uang tunai dalam jumlah besar.
Berbagai kendala dalam penggunaan uang tunai (kertas dan logam) mendorong
munculnya inovasi-inovasi baru dalam penciptaan alat pembayaran yang bersifat non-
tunai. Alat pembayaran non-tunai yang saat ini kita kenal ada yang berbentuk paper-
based (Cek/Bilyet Giro), card-based (Kartu Kredit, Kartu Debet) dan electronic based.
Bahkan ejak tahun 2007 mulai dikenalkan uang elektronik yang ditujukan untuk jenis
pembayaran mikro sebagai pengganti uang. Saat ini penggunaan uang elektronik tersebut
banyak dijumpai di berbagai supermarket, pom bensin, pembayaran toll, transportasi dan
kedepan dimunkinkan untuk berkembang lebih lanjut. Perkembangan teknologi juga
telah memungkinkan perpindahan (transfer) dana secara elektronis yang cepat antar kota
bahkan antar negara.
Pengantar Sistem Pembayaran
9
II. PERAN SISTEM PEMBAYARAN DALAM PEREKONOMIAN
Pentingnya sistem pembayaran bagi perekonomian secara sederhana dapat diilustrasikan
bahwa sistem pembayaran ibarat saluran darah dalam tubuh manusia, dalam hal ini tubuh
manusia diibaratkan sebagai perekonomian. Semakin lancar dan tidak ada gangguan
dalam saluran tersebut, darah yang berisi energi dan zat yang dibutuhkan akan
tersalurkan keseluruh organ tubuh dengan baik, sehingga orang akan sehat. Demikian
sebaliknya, apabila saluran darah tersebut mengandung kolesterol (atau gangguan lain),
zat yang dibutuhkan tubuh tidak tersalurkan dengan baik akhirnya tubuh akan sakit.
Oleh karena itu sistem pembayaran menjadi bagian penting terhadap maju/mundurnya
ekonomi suatu negara. Efektivitas dan kelancaran perekonomian suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kelancaran mekanisme dalam sistem pembayaran yang dimilikinya.
Perkembangan teknologi di satu sisi diakui telah memberikan alternatif alat pembayaran
non-tunai dan mekanisme perpindahan dana yang cukup efisien bagi para pelaku
ekonomi, namun di sisi lain terdapat risiko-risiko seperti risiko kredit, risiko likuiditas,
risiko operasional dan lain-lain yang perlu dikelola dengan baik. Jika risiko-risiko
tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat memberikan dampak yang cukup serius
bagi perekonomian suata negara.
Mengingat pentingnya keberadaan suatu sistem pembayaran yang efisien, aman dan
handal bagi suatu perekenomian, maka sejak awal tahun 1990-an issue mengenai sistem
pembayaran ini telah mulai menjadi perhatian serius bank-bank sentral karena
mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan efektivitas tugas pokok bank sentral
lainnya dalam bidang moneter dan perbankan. Saat ini hampir semua bank sentral
menempatkan sistem pembayaran sebagai salah satu bidang dalam tugas pokoknya.
Berbagai literature menyebutkan pentingnya sistem pembayaran bagi perekonomian,
sebagai berikut :
• Sheppard (1996)
– Elemen penting dalam infrastruktur keuangan untuk mendukung terciptanya
stabilitas sistem keuangan
Pengantar Sistem Pembayaran
10
– Sebagai channel utama transmisi kebijakan moneter untuk mendukung
kebijakan pengendalian moneter yang lebih efektif dan efisien
– Untuk mendorong efisiensi perekonomian nasional.
• Philipp M Hildebrand, Swiss National Bank (2005)
Central banks have also fostered improvements in the payment system, which have
reduced the cost of accessing and transfering money for business and household
Secara umum sistem pembayaran diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional. Tugas terebut diejawantahkan oleh Bank Indonesia dengan memfasilitasi alokasi
perpindahan dana secara efisien, aman dan cepat. Kemudian mendukung efisiensi dan
efektivitas fungsi intermediasi lembaga keuangan. Terakhir adalah mendorong mobilitas
aliran dana secara lebih cepat melalui layanan sistem pembayaran yang lebih beragam
Bagi perekonomian nasional diharapkan meningkatkan aktivitas ekonomi melalui kondisi
lingkungan bisnis yang lebih kondusif serta meningkatkan daya saing dan image nasional
sehingga mendorong investor asing masuk ke Indonesia.
III. KOMPONEN SISTEM PEMBAYARAN
Sebagai suatu sistem, sistem pembayaran terdiri dari beberapa sub sistem atau komponen,
yang secara garis besar mencakup :
Kebijakan
Kelembagaan,
Alat Pembayaran,
Mekanisme Operasional,
Infrastruktur dan
Perangkat Hukum
Pengantar Sistem Pembayaran
11
1. Kebijakan
Komponen kebijakan dalam sistem pembayaran memberikan dasar pengembangan
Sistem Pembayaran di suatu negara. Kebijakan sistem pembayaran biasanya
tercermin dalam berbagai peraturan dan ketentuan.
Kebijakan sistem pembayaran di berbagai negara sangat bervariasi, mengingat
masing-masing negara mempunyai sejarah, karakteristik dan kebutuhan akan
sistem pembayaran yang berbeda-beda.
Pada umumnya kebijakan yang berkaitan dengan sistem pembayaran ditetapkan
oleh bank sentral masing-masing negara. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan
yang erat antara kebijakan-kebijakan di bidang sistem pembayaran dengan sistem
moneter dan sistem perbankan.
2. Kelembagaan
Kelembagaan dalam Sistem Pembayaran meliputi berbagai lembaga yang secara
langsung maupun tidak langsung berperan dalam penyelenggaraan Sistem
Pembayaran. Secara umum lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem
pembayaran meliputi antara lain bank sentral, bank-bank dan lembaga kliring,
pasar modal, penyedia jasa jaringan komunikasi, penerbit kartu kredit, dll.
Masing-masing lembaga tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab yang
berbeda dalam Sistem Pembayaran.
Secara umum peran Bank Sentral dalam Sistem Pembayaran bisa sebagai operator,
regulator dan supervisor. Namun ada juga bank sentral yang hanya berperan
sebagai regulator dan supervisor. Berikut detail bagan kelembagaan sistem
pembayaran di Indonesia.
Pengantar Sistem Pembayaran
12
3. Alat Pembarayaran
Instrumen Pembayaran non-tunai yang digunakan sebagai media pembayaran
meliputi berbagai media baik berupa paper based maupun card-based).
Penggunaan instrument pembayaran non-tunai ini memiliki karakteristik yang
berbeda satu sama lain dimana di dalamnya melekat hak dan kewajiban keuangan
bagi para pelaku yang bertransaksi.
4. Mekanisme Operasional
Dalam sistem pembayaran non-tunai diperlukan suatu mekanisme operasional
untuk melakukan perpindahan dana dari satu pihak ke pihak lainnya. Mekanisme
operasional ini idealnya harus dapat menjamin kelancaran dan keamanan
perpindahan dana, serta kepastian penerimaan dana oleh pihak penerima. Sebagai
contoh, mekanisme operasional yang ada saat ini antara lain adalah kliring, transfer
dana via RTGS, dan lain-lain.
5. Infrastruktur Teknis
Infrastruktur teknis meliputi berbagai komponen teknis yang diperlukan untuk
memproses dan melakukan perpindahan dana, standard-standard seperti message
No Lembaga Peran
1 Bank Sentral Regulator, Operator, Pengguna
2 Otoritas Lain (Depkeu, Deperindag,
Depkominfo ,dll)
Peraturan Lain (PS related issues, e.g.
competition, licensing of certain payment
providers)
3 Perbankan Operator sistem pembayaran dan anggota
sistem pembayaran
4 Lembaga Keuangan Non Bank Operator sistem pembayaran dan anggota
sistem pembayaran
5 Global / Domestic Payment System
Operator / Principal
Operator (SWIPS & Non SWIPS)
6 Kantor Pos/KUPU Operator remittance services
7 Operator Mobile Phone Provide payment related services , provider of
Stored Value Facilities
8 Perusahaan Lain Provider of Stored Value Facilities
Pengantar Sistem Pembayaran
13
format, sistem jaringan komputer, komunikasi, perangkat keras dan lunak, sistem
back-up, disaster recovery plan dan lain-lain. Keberadaan infrastruktur teknis ini
sangat menunjang kelancaran penyelenggaraan suatu Sistem Pembayaran.
Seiring dengan berkembangnya teknologi baik di bidang hardware, software dan
komunikasi, saat ini tersedia berbagai pilihan infrastruktur teknis di bidang Sistem
Pembayaran yang menawarkan berbagai keunggulan baik dari segi kecepatan
maupun keamanan. Pilihan atas infrastruktur ini tergantung pada kebutuhan dan
kebijakan masing-masing negara dalam pengembangan Sistem Pembayaran
Nasionalnya. Pilihan ini tentunya mempunyai implikasi terhadap investasi yang
harus dikeluarkan, dimana semakin tinggi teknologi yang digunakan diperlukan
investasi yang semakin besar pula.
6. Perangkat Hukum
Perangkat hukum dalam Sistem Pembayaran mencakup undang-undang, dan
peraturan-peraturan yang terkait dengan Sistem Pembayaran. Termasuk juga aturan
main berbagai pihak yang terlibat, misalnya antar bank, antar bank dan nasabah,
antar bank dan bank sentral dll. Peranan perangkat hukum ini sangat penting untuk
menjamin adanya aspek legalitas dalam penyelenggaraan Sistem Pembayaran.
Ketiadaan perangkat hukum tertentu dapat menghambat pengembangan suatu
Sistem Pembayaran.
Sebagai contoh, saat ini terdapat kecenderungan penyelenggaraan Sistem
Pembayaran secara elektronis. Keberadaan sistem ini tentunya memerlukan
perangkat hukum yang mengatur bukti pembayaran elektronis dan file elektronis.
Jika tidak, maka penyelenggaran sistem tersebut bisa menjadi kurang efektif.
IV. RISIKO DALAM SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGENDALIANNYA
Alat-alat pembayaran non tunai muncul sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat
dalam melakukan pengiriman dana atau melakukan pembayaran yang tidak dapat
dipenuhi oleh uang tunai. Sistem pembayaran dibangun untuk memproses alat-alat
pembayaran non tunai tersebut. Alat-alat pembayaran non tunai berevolusi mulai dari
Pengantar Sistem Pembayaran
14
bentuk-bentuk kertas (paper based) seperti cek, wesel, bilyet giro sampai dengan bentuk
elektronik bahkan sampai bentuk digital (digital cash) dan masih mungkin terdapat
bentuk-bentuk lainnya.
Semua alat-alat pembayaran tersebut baik yang paper based apalagi yang berbentuk
elektronik sudah barang tentu memerlukan suatu sistem pemroses yang mau tidak mau
harus berbasis teknologi. Pada satu sisi, perkembangan teknologi informasi dengan
segala bentuknya memberi berbagai kemudahan, kecepatan dan kelancaran sistem
pembayaran. Namun pada sisi lain hal ini juga menimbulkan ketergantungan, misalkan
ketergantungan sistem transfer dana elektronik terhadap kehandalan infrastruktur
jaringan komunikasi. Performance yang kurang baik dari jaringan komunikasi dapat
menimbulkan risiko operasional. Gangguan operasional juga berpotensi memperlambat
mekanisme settlement dana sehingga menimbulkan risiko likuiditas, yaitu resiko yang
terjadi karena pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajiban pada waktunya
sehingga mempengaruhi likuiditas pihak lain. Pada gilirannya risiko likuiditas dapat
meningkat menjadi risiko kredit. Yang paling ditakuti karena dapat menggoncangkan
stabilitas sistem keuangan adalah risiko sistemik.
Risiko-risiko yang baru disebutkan yaitu risiko likuiditas, risiko kredit, dan risiko
sistemik tidak melulu disebabkan oleh terjadinya gangguan operasional, tetapi
dimungkinkan pula terjadi akibat dari masalah-masalah keuangan yang dihadapi oleh
para pelaku sistem pembayaran. Masalah-masalah keuangan para pelaku sistem
pembayaran berpotensi menjadi problem apabila tidak cukup di-cover dalam aturan main
setiap sistem pembayaran.
Jenis risiko lain yang juga sangat berpotensi menimbulkan masalah pada sistem
pembayaran adalah risiko hukum. Risiko ini kadangkala diabaikan oleh para pelaku,
namun masalah kekuatan dan kejelasan hukum di tiap-tiap yurisdiksi dimana suatu
sistem pembayaran beroperasi bisa menjadi suatu pemicu terjadinya potensi risiko
tersebut. Masih belum cukup dengan semua risiko di atas, industri masih pula
dihadapkan pada risiko fraud dan human error yang merupakan bagian dari risiko
operasional.
Pengantar Sistem Pembayaran
15
Semakin terintegrasinya pasar keuangan antar berbagai negara dimana dana dapat
berpindah dari satu negara ke negara lainnya dalam waktu yang singkat, juga telah
meningkatkan risiko di dalam sistem pembayaran. Gangguan yang terjadi di pasar
keuangan atau pasar modal di satu negara dapat segera menular ke negara lainnya.
Disinilah, pada saat transaksi lintas mata uang di-settled melalui rekening-rekening di
bank-bank koresponden, bentuk risiko lain yaitu risiko Herstatt muncul. Risiko ini,
yang merupakan nama yang sangat dikenal untuk risiko payment versus payment
(PVP), dihadapi pada saat diperlukan settlement simultan atas suatu transaksi yang
melibatkan dua mata uang.
Seluruh risiko tersebut di atas apabila terjadi, maka magnitude terbesar adalah apabila
risiko tersebut terjadi pada sistem pembayaran yang dikategorikan systemically important
(SIPS). Ini karena SIPS memproses transaksi pembayaran yang totalnya luar biasa
besar. Sebagai contoh, di Indonesia sistem BI-RTGS yang tergolong SIPS setiap hari
memproses lebih dari 186 trilyun Rupiah. Dalam satu tahun ini sama dengan 43 ribu
trilyun Rupiah atau 6,5 kali Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Adalah wajar
jika setiap bank sentral sangat concern terhadap kestabilan SIPS atau dengan kata lain
seluruh risiko yang disebutkan sebelumnya harus terkendali kuat di dalam SIPS, baik
desainnya, kehandalan teknologi dan jaringan pendukungnya maupun dalam aturan
mainnya. Begitu pentingnya SIPS sampai Bank International Settlements menerbitkan
Core Principles for SIPS pada Januari 2001.
Namun demikian bukan berarti bank sentral tidak peduli kepada sistem pembayaran yang
tergolong System Wide Important Payment System (SWIPS). Karena sifat sistem ini
yang digunakan secara luas oleh berbagai golongan masyarakat, jika risiko-risiko di atas
terjadi pada SWIPS, maka yang pasti kepentingan masyarakat untuk melakukan
pembayaran akan sangat terganggu. Memang dampak risiko SWIPS tidaklah besar
pengaruhnya terhadap stabilitas sistem keuangan namun apabila hal ini benar-benar
terjadi maka dikhawatirkan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem
termasuk alat-alat pembayaran yang diproses dalam sistem dimana risiko tersebut terjadi.
Memperhatikan ini, maka sudah menjadi semacam konsensus tidak tertulis di antara
Pengantar Sistem Pembayaran
16
berbagai bank sentral untuk menerapkan prinsip-prinsip tertentu yang tercantum dalam
CP-SIPS bagi SWIPS.
Pada dasarnya pengendalian atas berbagai risiko-risiko tersebut di atas menjadi tanggung
jawab masing-masing penyelenggara sistem pembayaran. Penyelenggara berkewajiban
memastikan agar seluruh risiko telah dikendalikan secara memadai di dalam
perancangan desain sistem, operasionalisasinya dan aturan mainnya. Merupakan
kewajiban Bank Indonesia agar semua penyelenggara melakukan tugas pengendalian
dengan sebaik-baiknya. Itu dilakukan Bank Indonesia melalui berbagai metode seperti:
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan baik yang dituangkan dalam bentuk regulasi
atau bentuk lainnya;
2. Memberikan izin penyelenggaraan sistem pembayaran;
3. Konsultasi dan fasilitasi pada penyelenggara sistem pembayaran;
4. Pengawasan (Oversight) terutama kepada penyelenggara sistem pembayaran untuk
menilai kesesuaian sistem yang dikelolanya dengan kebijakan-kebijakan Bank
Indonesia di bidang sistem pembayaran;
5. Sosialisasi dan edukasi.
Dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki
kewajiban yang sama sebagaimana penyelenggara lainnya untuk menjamin bahwa sistem
yang diselenggarakannya di desain, dioperasionalisasikan dan dibuat aturan mainnya
sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan .
V. PERAN BANK SENTRAL DALAM SISTEM PEMBAYARAN
Secara umum peran bank sentral dalam sistem pembayaran dibagi menjadi 3, yaitu
operator, regulator dan Pengguna3. Dari ketiga peran tersebut tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran.
3 Robert Lindley, 1st SEACEN Advanced Leadership Course, January 2007
Pengantar Sistem Pembayaran
17
Sebagai operator, bank sentral di sejumlah negara berperan aktif sebagai penyelenggara
/peserta sistem pembayaran, khususnya dalam operasi sistem pembayaran bernilai besar.
Bank Indonesia sendiri menjadi penyelenggara sistem pembayaran bernilai besar (Sistem
BI-RTGS) dan sistem pembayaran retail (SKNBI). Selain itu Bank Indonesia juga
menjadi penata usaha rekening seluruh peserta (Bank dan Pemerintah).
Sementara itu dalam perannya sebagai regulator, Bank Indonesia melakukan kegiatan
oversight, fasilitator/katalisator dan development coordinator. Di bidang oversight, Bank
Indonesia senantiasa memastikan proses sistem pembayaran berlangsung secara tepat
waktu. Selin itu juga terlibat dalam penetapan prinsip-prinsip yang mengatur
mekanisme operasional suatu sistem pembayaran, meliputi a.l. membership criteria,
guarantees or arrangements – by laws serta menyiapkan guidelines bagi bank-bank
dalam risk management –nya.
Sebagai fasilitator atau katalisator, Bank Indonesia concern terhadap upaya penciptaan
industri sistem pembayaran untuk lebih efisien . Oleh karena itu saat ini sedang industri
tersebut sedang didorong agar dapat saling interoperability antar penyelenggara serta
mendorong terbentuknya self regulating organization.
Fungsi lainnya yaitu sebagai development coordinator yang menetapkan arah
pengembangan sistem pembayaran secara nasional, blue print, dan mengatur struktur
dan operasi sistem pembayaran secara keseluruhan untuk menjamin keamanan dan
kehandalannya.
Terakhir adalah fungsi Bank Sentral sebagai user (pengguna). Bank Indonesia sebagai
piñata usaha rekening Pemerintah secara otomatis menjadi peserta sistem pembayaran
untuk menjalankan instruksi transfer dana dari Pemerintah.
Pengantar Sistem Pembayaran
18
VI. KETERKAITAN SISTEM PEMBAYARAN DENGAN TUGAS BANK SENTRAL
LAINNYA
Sistem pembayaran merupakan salah satu komponen yang terintegrasi dengan fungsi
bank sentral lainnya yaitu moneter dan perbankan. Kebijakan dan pelaksanaan sistem
pembayaran mempunyai keterkaitan dengan efektivitas pengendalian moneter dan
pengawasan perbankan.
1. Peran Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran
Dalam Undang-Undang yang lama No.13 tahun 1968 tentang Bank Sentral tugas
Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran belum dinyatakan secara eksplisit.
Namun dengan adanya Undang-Undang yang baru No.23 tahun 1999 tetang Bank
Indonesia dinyatakan secara tegas, bahwa salah tugas Bank Indonesia dalam rangka
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah adalah mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, disamping dua tugas pokok lainnya yaitu
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan mengawasi
bank.
Dalam penjelasan pasal 8 UU No.23 tersebut dijelaskan bahwa pelaksanaan ketiga
tugas pokok Bank Indonesia ini mempunyai keterkaitan dalam mencapai tujuan
Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan Bank Indonesia antara
lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektivitas
pelaksanaan tugas ini memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien,
cepat, aman dan andal yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien,
cepat, aman dan andal memerlukan sistem perbankan yang sehat yang merupakan
sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya, sistem
perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat
pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan.
Pengantar Sistem Pembayaran
19
2. Sistem Pembayaran dan Pengendalian Moneter
Suatu sistem pembayaran yang didesain dengan baik akan meningkatkan
kemampuan bank sentral untuk mengendalikan float. Float merupakan efek yang
ditimbulkan karena pendebitan dan pengkreditan rekening tidak dilakukan pada
saat yang bersamaan. Perbedaan waktu tersebut terjadi sebagai akibat dari
settlement yang tertunda. Penundaan settlement tersebut umumnya terjadi dalam
sistem net settlement. Dalam sistem ini, settlement pada umumnya dilakukan pada
waktu tertentu pada hari yang sama dengan hari penyerahan warkat (T0), atau pada
keesokan harinya (T+1).
Sebagai akibat dari penundaan settlement tersebut maka akan terjadi float, yakni
dana yang „mengambang‟ dalam sistem, yang belum tiba di tangan pihak yang
berhak. Float in dapat terjadi pada level perbankan dan/atau pada level bank
sentral. Pada level manapun float terjadi, pengendalian harus dilakukan agar tidak
mengakibatkan distorsi terhadap prakiraan dan pencapaian target-target moneter
jangka pendek.
3. Sistem Pembayaran dan Pengawasan Perbankan
Pada dasarnya, tujuan kebijakan pengawasan perbankan dan sistem pembayaran
adalah saling melengkapi. Kebijakan sistem pembayaran dan perbankan
berkepentingan terhadap pengurangan risiko antar bank yang terjadi dalam sistem
pembayaran serta „systemic risk‟ dalam sistem pembayaran itu sendiri.
Keberhasilan dalam pengawasan perbankan secara tidak langsung berkaitan
dengan rendahnya „systemic risk‟ dan pengelolaan risiko kredit dan risiko
likuiditas pada level antarbank.
Pengantar Sistem Pembayaran
20
VII. ARAH PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DI MASA DEPAN
1. Efisiensi High-Value Payment Sistem Melalui Pengembangan Sistem BI-
RTGS Generasi II
Pengembangan sistem BI-RTGS dimaksudkan untuk memitigasi risiko4 di dalam
sistem pembayaran antarbank khususnya sistem pembayaran antarbank bernilai
besar (high-value payment sistem). Dengan diimplementasikannya sistem BI-RTGS
maka setiap transaksi pembayaran antarbank yang merupakan kategori high-value
payment5 harus diproses melalui sistem pembayaran yang menggunakan mekanisme
gross settlement dan menggunakan prinsip setelmen “no money no game” (apabilia
dana tidak cukup, transaksi pembayaran tidak akan di-settle dan akan dimasukkan
dalam antrian).
Dari tahun ke tahun, jumlah transaksi pembayaran yang diproses melalui Sistem BI-
RTGS terus meningkat secara signifikan, begitu pula dengan total nilainya. Seiring
dengan peningkatan yang signifikan dari jumlah transaksi yang diproses melalui
sistem BI-RTGS dan sebagai upaya untuk menjaga kehandalan infrastruktur sistem
pembayaran, Bank Indonesia pada tahun 2008 telah mengembangkan sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Terkait dengan infrastruktur, pengembangan yang
akan dilakukan merupakan penggantian infrastruktur lama dengan infrastruktur baru
yang lebih handal, aman dan efisien. Pengembangan sistem BI-RTGS Generasi II
juga dimaksudkan untuk mengembangkan (menambah) functionality dari sistem BI-
RTGS dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kemampuan mitigasi risiko
dari Sistem BI-RTGS. Salah satu functionality yang akan dikembangkan tersebut
adalah menambah mekanisme offsetting6 yang dimaksudkan untuk menghemat
4 Mitigasi risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko sistemik dalam sistem pembayaran antar-bank.
5 Transaksi pembayaran yang merupakan kategori high-value payment adalah transfer dana antar-bank untuk penyelesaian (setelmen) transaksi pasar uang antar-bank (PUAB), transfer dana antar-bank untuk setelmen sisi dana (cash-leg) dari transaksi perdagangan surat berharga, transfer dana antar-bank untuk setelmen Rupiah dari transaksi perdagangan valuta asing (valas) antar-bank, transaksi pembayaran yang terkait dengan operasi moneter dan kegiatan pemerintah, serta transfer dana antar-bank untuk kepentingan nasabah bank yang bersifat time-critical.
6 Mekanisme offsetting yang akan dikembangkan dimaksudkan untuk meng-offset transaksi-transaksi pembayaran dalam antrian (yang masuk ke antrian di Komputer Penyelenggara karena ketidakcukupan saldo rekening bank Peserta dan ketidakcukupan/ketidaktersediaan fasilitas pendanaan intrahari dari Penyelenggara) sehingga jumlah dan durasi transaksi
Pengantar Sistem Pembayaran
21
penggunaan likuiditas (economizing the use of liquidity) untuk setelmen dalam
sistem BI-RTGS. Dengan demikian, sistem BI-RTGS Generasi II akan menjadi
suatu hybrid settlement sistem7.
Selain itu, pengembangan sistem BI-RTGS dimaksudkan untuk mempersiapkan
infrastruktur sistem BI-RTGS sehingga dapat memfasilitasi cross-border
transactions yang ke depan diperkirakan semakin berkembang karena adanya
inisiatif pengembangan perekonomian dan pasar keuangan regional yang
terintegrasi. Salah satu contoh pengembangan pasar keuangan yang terintegrasi
adalah inisiatif Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang rencananya pada tahun
2015 akan mengintegrasikan perekenomian dan pasar keuangan (pasar modal dan
obligasi) negara-negara ASEAN. Untuk menyiapkan diri dan mendukung intra
ASEAN-cross border transactions perlu adanya linked payment and settlement
systems. Linked (atau mungkin integrated) payment and settlement sistems telah
bekembang dan diimplementasikan pada beberapa perekonomian regional lainnya
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Pengembangan linked payment and settlement systems tersebut akan mudah
dilakukan jika ada harmonisasi platform dari seluruh payment and settlement systems
yang ada pada negara-negara yang akan melakukan integrasi perekonomian dan
pasar keuangan, seperti harmonisasi format instruksi transaksi keuangan dan
message format dalam financial transactions messaging8.
Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi cross border transactions akan
diimplementasikan single access point (penggunaan single terminal di pelaku sistem
keuangan seperti bank) untuk mengakses infrastruktur sistem keuangan domestik
dan negara lain. Dengan single access point, pelaku di sistem keuangan (misalnya
bank) di suatu negara hanya cukup menggunakan satu terminal untuk mengakses
sistem transfer dana antarbank domestik (RTGS), sistem transfer surat berharga
pembayaran dalam antrian dapat direduksi sebanyak mungkin. Pada gilirannya, dengan mekanisme tersebut, penggunaan likuiditas untuk keperluan setelmen dapat diekonomisasi.
7 Hybrid setelmen sistem telah diimplementasikan antara lain pada sistem RTGS Singapura (MEPS Plus), HongKong (CHATS), Jepang (BOJ RTGS-XG), Korea (BOK Wire), dan Eropa (TARGET2) serta akan dikembangkan pada sistem RTGS Malaysia (RENTAS) dan Thailand (BOT BAHTNET)..
8 Seperti penggunaan SWIFT (Society for Worldwide Inter-bank Financial Telecommunication) message format
Pengantar Sistem Pembayaran
22
domestik (SSS), dan bahkan untuk mengirimkan perintah transfer dalam valas atau
surat berharga yang ditatausahakan di negara lain kepada peserta payment and
settlement systems di negara lainnya.
Contoh Single Access Point & Global Financial Communication Network
2. Pembentukan Self Regulatory Organization
Perkembangan teknologi dan informasi sistem pembayaran yang sangat pesat telah
mendorong munculnya berbagai macam produk dan layanan serta pelaku dalam
industri sistem pembayaran. Kondisi ini tentunya menuntut Bank Indonesia selaku
pengatur dan pengawas sistem pembayaran untuk dapat memberikan kebijakan yang
responsif khususnya terhadap perkembangan teknologi tersebut yang dapat
dijadikan acuan bagi para pelaku industri dalam mengembangkan produknya, dan
sekaligus dapat dijadikan pedoman dalam upaya meningkatkan keamanan transaksi
sistem pembayaran itu sendiri. Agar kebijakan Bank Indonesia tersebut tepat sasaran
dan dapat diimplementasikan oleh industri, Bank Indonesia menilai perlu segera
dibentuk Self Regulatory Organization (SRO) sebagai mitra Bank Indonesia dalam
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Secara umum, tujuan pembentukan SRO dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pengaturan khususnya terhadap pengaturan yang bersifat teknis dan
Single (Global) Access Point (Terminal)(Contoh: S WIFT Terminal)
RTGSS S S
(Central Bank)Clearing Houses
of R etail Payments
Core S ys tem
S S S /CS D(Equity & Corporate
Bonds )
(S ingle) Interface
(Global) Financial Messaging Network(Contoh S WIFT Network)
DOMESTIK LUAR NEGERI
Peserta PSS(termasuk bank) di
LN
Payment & Settlement Systems
(PSS) di LN
Instruksi
Tra
nsfe
r Dan
a&
Seku
ritas
Peserta PSS(termasuk bank)
Beberapa Contoh
Single Access Point & Penggunaan Global
Financial Communication Network
Negara/
Ekonomi
Payment & Settlement
Systems
1. Eropa - TARGET2 (RTGS)
- TARGET2 Securities
(SSS)
- SEPA (Retail
Payments)
2. Singapura - MEPS+ (RTGS & SSS)
3. HongKong - HKD CHATS, USD
CHATS, Euro CHATS
(RTGS)
- CMU (SSS)
Pengantar Sistem Pembayaran
23
mikro. Dengan diberikannya kewenangan bagi SRO untuk mengatur hal-hal yang
bersifat teknis dan mikro dalam industri sistem pembayaran diharapkan inovasi
produk sistem pembayaran dapat berkembang secara optimal namun tetap berada
dalam koridor yang aman. Di sisi lain, keberadaan SRO juga diharapkan dapat
meminimalisir terjadinya konflik antar pelaku industri mengingat ketentuan dan
aturan main yang ditetapkan SRO selalu melibatkan secara langsung atau
berdasarkan kesepakatan para pelaku industri. Selanjutnya, untuk menghindari
potensi konflik antara SRO dengan regulator, Bank Indonesia akan memberikan
rambu-rambu yang tegas sehingga fungsi dan tanggung jawab SRO maupun
regulator dapat dibedakan secara jelas. Dalam hal ini, setiap aturan yang ditetapkan
oleh SRO tentunya harus terlebih dahulu dikomunikasikan atau mendapat approval
dari Bank Indonesia dan Bank Indonesia harus memastikan bahwa peraturan yang
dibuat oleh SRO efektif dan tidak menyimpang dari kebijakan dan peraturan Bank
Indonesia.
3. Implementasi Standarisasi Kartu ATM/Debet Berbasis Chip
Keberadaan standar nasional kartu ATM/Debet yang berbasis chip merupakan
milestone penting dalam perkembangan industri sistem pembayaran di Indonesia,
khususnya untuk instrumen pembayaran berbasis kartu. Keberhasilan implementasi
standar nasional kartu ATM/Debet ini sangat ditentukan oleh kerjasama dan
dukungan dari industri, karena itu Bank Indonesia akan terus memfasilitasi agar
seluruh bank penerbit mendukung dan menjadikan standar tersebut sebagai acuan
dalam pengembangan kartu ATM/Debet di Indonesia.
4. Interoperability Sistem Uang Elektronik
Sebagaimana dalam industri kartu ATM/Debet, interoperability dalam sistem uang
elektronik juga dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi nasional dalam kegiatan
uang elektronik. Pada dasarnya industri merespon positif upaya mewujudkan
interoperability ini. Selanjutnya Bank Indonesia telah menetapkan langkah-langkah
yang akan dilakukan dalam mewujudkan interoperability tersebut antara lain dengan
1) memfasilitasi penerbit uang elektronik untuk berkomitmen terhadap upaya
Pengantar Sistem Pembayaran
24
interoperability, 2) memfasilitasi pembentukan working group untuk membahas
permasalahan dan merumuskan kerjasama menuju interoperability, dan 3)
memfasilitasi working group untuk menyusun standar uang elektronik dalam rangka
interoperability.
5. Inisiasi Pengembangan National Payment Gateway (NPG)
Sebagai upaya meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran
ritel dan mikro, Bank Indonesia mendorong industri sistem pembayaran ritel dan
mikro untuk mengembangkan National Payment Gateway (NPG). NPG merupakan
suatu switching nasional untuk berbagai transaksi antar bank yang dilakukan
melalui front end delivery channel seperti: ATM, EDC, internet, telepon, dan mobile
payment. Dalam rangka pengembangan NPG tersebut langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain merumuskan strategi pengembangan
NPG, menyusun road map pengembangan NPG, dan memfasilitasi pengembangan
NPG melalui kebijakan dan regulasi yang akurat tanpa mengabaikan kemampuan
dan kondisi industri.
Dengan adanya NPG tersebut diharapkan efisiensi nasional dalam penyelenggaraan
sistem pembayaran di Indonesia dapat segera terwujud, sehingga pelaku industri
tidak perlu mengembangkan infrastruktur sendiri-sendiri untuk kegiatan sistem
pembayaran yang dilakukannya, namun hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
yang lebih efisien yaitu melalui sharing infrastruktur dengan pelaku industri lainnya.
Lebih jauh, NPG diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan shared ATM yang
ada saat ini, mengembangkan fitur-fitur pembayaran (billing payment) melalui
berbagai front-end delivery channel, dan mengurangi atau menghilangkan duplikasi
terminal/EDC untuk card-based payment di berbagai point of sales/merchant.
Pengantar Sistem Pembayaran
25
VIII. LAMPIRAN
1. Mekanisme Net versus Gross Settlement
Berkaitan dengan transaksi pembayaran antara bank, settlement umumnya dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu secara Net atau secara Gross.
a. Net Settlement
Dalam sistem net-settlement, perpindahan nilai uang
(pendebitan/pengkreditan rekening) tidak dilakukan per-transaksi, melainkan
di akhir suatu periode tertentu setelah dilakukan offsetting antara kewajiban-
kewajiban pembayaran dengan hak atau tagihan-tagihan pembayaran
(penerimaan pembayaran) dari masing-masing pihak yang bertransaksi
selama periode tersebut. Dari hasil offsetting diperoleh satu nilai netto
kewajiban pembayaran atau netto tagihan pembayaran yang akan diposting
(didebit atau dikredit) ke masing-masing rekening pihak yang bertransaksi.
Net settlement ini umumnya digunakan dalam penyelenggaraan kliring yang
sering disebut juga dengan istilah „multilateral netting‟. Disebut „multilateral‟
sebab perhitungan „net‟ dilakukan antar banyak bank peserta kliring. Jika
perhitungan net dilakukan hanya antar dua bank saja disebut „bilateral net‟.
Berikut ini merupakan ilustrasi bagaimana mekanisme net settlement
dilakukan dalam penyelenggaraan kliring di Bank Indonesia. Sebagai contoh,
misalnya Bank A, B, C dan D merupakan peserta kliring dimana masing-
masing mempunyai kewajiban dan tagihan (hak) pembayaran atas warkat
yang dikliringkan pada hari itu sebagai berikut :
Pengantar Sistem Pembayaran
26
Kewajiban ()
(Total nominal warkat
debet yang diterima
serta warkat kredit yang
diserahkan)
Hak/Tagihan ()
(Total nominal warkat debet yang diserahkan serta
warkat kredit yang diterima)
Bank A Bank B Bank C Bank D Total
Kewajiban
Bank A - 90**)
40 80 210
Bank B 70*)
- 0 0 70
Bank C 0 50 - 20 70
Bank D 10 30 70 - 110
Total Tagihan 80 170 110 100 460
Keterangan :
*) Tagihan bank A kepada bank B = Kewajiban bank B kepada bank A
(misalkan bank A menyerahkan x lembar warkat debet kepada bank B dan
menerima y lembar warkat kredit dari bank B dengan total nilai nominal
(x+y) sebesar 70)
**) Kewajiban bank A kepada bank B = Tagihan bank B kepada bank A
(misalkan bank A menerima x lembar warkat debet dari bank B dan
menyerahkan y lembar warkat kredit kepada bank B dengan total nilai
nominal (x+y) sebesar 90)
Dengan sistem multilateral neting, pada akhir hari Bank Indonesia sebagai
penyelenggara kliring akan melakukan setelmen dengan mendebet (-) ATAU
mengkredit (+) rekening giro bank-bank tersebut yang ada di Bank Indonesia
sebesar nilai netto kewajiban pembayaran (-) atau netto tagihan pembayaran
(+) pada siklus kliring hari itu sebagai berikut :
Netto = Total Tagihan – Total Kewajiban
Bank Bank A Bank B Bank C Bank D Total
Netto 80 - 210 =
- 130
170 –70 =
+100
110 – 70 =
+40
100 –110 =
-10 0
Keterangan :
(-) berarti mendebit rekening giro bank (kalah kliring)
(+) berarti mengkredit rekening giro bank (menang kliring)
Pengantar Sistem Pembayaran
27
b. Gross Settlement
Berbeda dengan sistem net settlement, dalam gross settlement, setiap
instruksi pembayaran akan diselesaikan secara individual (per-transaksi)
dengan mendebit/mengkredit rekening pihak-pihak yang bertransaksi secara
simultan tanpa melakukan proses offsetting terlebih dahulu, sepanjang saldo
rekening giro bank yang akan di-debit mencukupi.
Di dunia internasional saat ini, sistem yang digunakan untuk penyelesaian
transaksi dengan mekanisme gross settlement dikenal dengan istilah „Real
Time Gross Settlement‟ (RTGS). Disebut „real time‟ karena penyelenggaraan
sistem ini biasanya dilakukan secara „on-line‟ dan „seketika‟, dimana bank-
bank yang menjadi peserta mempunyai terminal komputer di tempatnya
masing-masing yang terhubung secara on-line dengan central komputer yang
ada di penyelenggara (umumnya bank sentral). Adapun mekanisme transaksi
melalui sistem RTGS, secara garis besar pada umumnya dilakukan sebagai
berikut :
Bank pembayar mengirim perintah transfer dana (credit transfer)
melalui terminalnya untuk selanjutnya ditransmisikan ke sentral
komputer (di bank sentral).
Selanjutnya sentral komputer yang ada di bank sentral akan melakukan
pengecekan kecukupan saldo dari bank pengirim. Jika saldo rekening
giro bank pengirim mencukupi akan dilakukan posting (pembukuan)
secara simultan dengan mendebit rekening giro bank pengirim dan
mengkredit rekening giro bank penerima. Jika saldo rekening giro bank
pengirim tidak mencukupi maka perintah credit transfer tersebut tidak
dibukukan.
Instruksi credit transfer yang telah diselesaikan (di-settled) tersebut
kemudian akan ditransmisikan secara otomatis oleh sentral komputer ke
terminal bank penerima.
Pengantar Sistem Pembayaran
28
Mengingat semua proses tersebut dilakukan melalui media elektronis maka
penyelesaian transaksi tersebut umumnya dilakukan dalam hitungan detik,
sehingga disebut „real-time‟.
c. Net vs Gross
Secara garis besar, mekanisme net dan gross settlement ini masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan, sebagai berikut :
Mekanisme
Settlement Pros Kons
Net Kebutuhan likuiditas
relatif lebih kecil karena
telah dilakukan offsetting
terlebih dahulu antara
kewajiban dan tagihan
sehingga likuiditas yang
harus disediakan hanya
sebesar „net‟ kewajiban di
akhir suatu periode
tertentu (biasanya akhir
hari)
Bank sentral tidak perlu
menyediakan fasilitas
overdraft intra day.
Risiko kredit terpusat di akhir
hari
Adanya risiko sistemik
dimana kegagalan salah satu
peserta yang kalah kliring
dapat menyebabkan kegagalan
peserta lainnya secara
berantai.
Dalam hal risiko sistemik
tidak di „backup‟ dengan suatu
mekanisme untuk menjamin
pembayaran bank yang kalah
kliring maka risiko ini akan
menjadi beban penyelenggara
settlement (bank sentral).
Gross Mengeliminir risiko-risiko,
karena setiap transaksi hanya
akan dibukukan sepanjang
saldo bank yang memberi
perintah pembayaran
mencukupi.
Kebutuhan likuiditas harian
relatif lebih besar karena
setiap settlement dilakukan
per transaksi tanpa proses off-
setting sehingga bank harus
bisa mengelelola dananya
dengan lebih baik.
Adakalanya dibutuhkan suatu
fasilitas overdraft intraday
untuk lebih menjamin
kelancaran pembayaran.
Pengantar Sistem Pembayaran
29
2. FLOAT
Float adalah suatu terminologi khusus dalam sistem pembayaran. Pada dasarnya
float timbul karena adanya ketidaksinkronan waktu pembukuan rekening, yaitu
pendebetan rekening satu pihak dan pengkreditan rekening pihak lain tidak
dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pada hakekatnya float merupakan zero-
sum game yang artinya total keuntungan karena timbulnya float sama jumlahnya
dengan total kerugian.
Secara teoritis terdapat 2 (dua) jenis float, yaitu debit float yang disebabkan oleh
transaksi debet (cek, bilyet giro) dan credit float yang disebabkan oleh transaksi
kredit (transfer). Float dapat terjadi pada 2 (dua) level, yaitu pada level bank
komersial dan level Bank Sentral. Bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran
dan otoritas moneter sangat berkepentingan untuk mengontrol kedua jenis float ini
karena alasan yang berbeda. Float pada level bank komersial berkaitan dengan
distorsi pendapatan pelaku ekonomi, sedangkan float pada level bank sentral
berkaitan dengan efektivitas pengendalian moneter. Pada umumnya float
disebabkan karena delayed settlement, misalnya karena sistem settlement yang
digunakan adalah sistem net settlement pada akhir hari. Semakin lama settlement
dilakukan semakin besar kemungkinan terjadinya float.
3. BIS CORE PRINCIPLES
Sistem pembayaran yang aman dan efisien memegang peranan penting bagi
perekonomian dan berfungsinya sistem keuangan suatu negara secara efektif.
Gangguan terhadap sistem pembayaran dapat memicu atau menyebabkan gejolak
yang serius pada sistem keuangan baik domestik maupun internasional. Menyadari
hal tersebut, berbagai inisiatif yang berskala internasional telah dilakukan untuk
memperkuat penyelenggaraan sistem pembayaran di suatu negara.
Pada tahun 1998, Bank for International Settlement (BIS) melalui Committee on
Payment and Settlement Sytems (CPSS) membentuk suatu kelompok kerja (task
force on Payment Sistem Principles) yang bertujuan untuk menyusun prinsip-
prinsip dalam penyelenggaraan suatu sistem pembayaran. Dari hasil kerja task
Pengantar Sistem Pembayaran
30
force tersebut, pada tahun 2001 BIS kemudian mempublikasikan laporan mengenai
“Core Principles For Systemically Importance Payment System” (untuk
selanjutnya disebut Core Principles). Laporan ini berisikan 10 (sepuluh) „Core
Principles‟ (CP) yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan suatu sistem
pembayaran yang dianggap kritikal atau disebut dengan istilah „Systemically
Important Payment Sistem‟ (SIPS) serta 4 (empat) tanggung jawab bank sentral
dalam menerapkan CP tersebut.
Secara umum, yang dimaksud dengan “systemically importance payment system”
adalah suatu sistem pembayaran yang dapat menyebabkan atau memicu terjadinya
gangguan atau „shock transmitting‟ pada sistem keuangan baik domestik atau
bahkan internasional. Setiap negara paling tidak mempunyai satu sistem yang
demikian. Umumnya suatu sistem pembayaran dikatakan 'sistemically important'
apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
Sistem tersebut merupakan satu-satunya sistem pembayaran di negara tersebut
atau merupakan sistem yang paling penting jika dilihat dari nilai pembayaran
secara keseluruhan.
Sistem tersebut terutama menangani transaksi-transaksi individual yang
bernilai besar.
Sistem tersebut digunakan untuk settlement atas transaksi-transaksi di pasar
keuangan atau sistem pembayaran lainnya.
Dengan dipublikasikannya Core Principles ini maka setiap negara melalui bank
sentral atau institusi yang mempunyai otoritas terhadap penyelenggaraan sistem
pembayaran berkewajiban untuk melakukan assessment dan memastikan
penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam penyelenggaraan sistem pembayaran
yang „systemically important‟.
Adapun 10 (sepuluh) Core Principles For Systemically Important Payment System
tersebut adalah sebagai berikut :
Pengantar Sistem Pembayaran
31
1. The system should have a well founded legal basis under all relevant
jurisdiction.
Sistem harus memiliki dasar hukum yang kokoh pada semua yuridiksi yang
terkait.
2. The system‟s rules and procedures should enable participants to have a clear
understanding of the system‟s impact on each of the financial risks they incur
though participation in it.
Ketentuan dan prosedur sistem harus memungkinkan setiap peserta
memperoleh pemahaman yang jelas mengenai dampak yang ditimbulkan
sistem terhadap risiko keuangan yang harus ditanggung peserta dalam
keikutsertaan mereka pada sistem.
3. The system should have clearly defined procedures for the management of
credit risk and liquidity risk, which specify the respective responsibilities of the
system operator and the participants and which provide appropriate incentives
to manage and contain those risks.
Sistem harus memiliki prosedur yang jelas untuk meminimalkan risiko kredit
dan risiko likuiditas, yang mengatur tanggungjawab penyelenggara maupun
peserta serta mencakup insentif bagi upaya meminimalkan risiko tersebut.
4. The system should provide prompt final settlement on the day of value,
preferably during the day and at minimum at the end of the day.
Sistem harus dapat menjamin terlaksananya settlement pada waktu yang telah
ditetapkan pada tanggal valuta, selambat-lambatnya pada akhir hari.
5. A system, in which multilateral netting takes place should, at minimum, be
capable of ensuring the timely completion of daily settlements in the event of
an inability to settle by the participant with the largest single settlement
obligation.
Pengantar Sistem Pembayaran
32
Suatu sistem yang menggunakan multilateral netting sekurang-kurangnya harus
mampu menjamin pelaksanaan settlement harian secara tepat waktu dalam hal
terjadi kegagalan oleh peserta yang mempunyai kewajiban settlement terbesar.
6. Assets used for settlement should preferably be a claim on the central bank;
where other assets are used, they should carry little or no credit risk and little
or no liquidity risk.
Aset yang digunakan untuk settlement sebaiknya berupa tagihan pada bank
sentral; apabila menggunakan asset lain maka asset tersebut harus memiliki
sedikit atau tanpa risiko kredit dan risiko likuiditas.
7. The system should ensure a high degree of security and operational reliability
and should have contingency arrangements for timely completion of daily
processing.
Sistem harus menjamin tingkat keamanan dan keandalan operasional yang
tinggi dan harus memiliki contingency arrangement agar dapat menyelesaikan
proses harian secara tepat waktu.
8. The system should provide a means of making payments which is practical for
its users and efficient for the economy
Sistem harus menyediakan sarana untuk pelaksanaan pembayaran yang bersifat
praktis bagi pengguna dan efisien bagi perekonomian;
9. The system should have objective and publicly disclosed criteria for
participation, which permit fair and open access.
Sistem harus memiliki kriteria kepesertaan yang objektif dan terbuka kepada
publik, yang memungkinkan adanya akses yang fair dan transparan;
10. The system‟s governance arrangements should be effective, accountable and
transparent.
Pengaturan penyelenggaraan sistem pembayaran harus bersifat efektif,
akuntabel dan transparan.
Pengantar Sistem Pembayaran
33
Adapun tanggung jawab bank sentral yang disebutkan dalam menerapkan Core
Principles tersebut sebagai berikut : :
1. The central bank should define clearly its payment system objectives and should
disclose publicly its role and major policies with respect to systemically
important payment system.
Bank Sentral harus mendefiniskan dengan jelas tujuan/sasaran sistem pembayaran
dan mengungkapkan kepada publik peranan dan kebijakan utamanya berkaitan
dengan sytemically important payment systems.
2. The central bank should ensure that the system it operates comply with the Core
Principles
Bank Sentral harus menjamin bahwa sistem pembayaran yang
diselenggarakannya memenuhi core principles.
3. The central bank should oversee compliance with the Core Principles by systems
it does not operate and it should have the ability to carry out this oversight
Bank Sentral harus mengawasi pemenuhan Core Principles pada sistem
pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak lain, dan Bank Sentral harus
memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan tersebut.
4. The central bank, in promoting payment system safety and efficiency through the
Core Principles, should cooperate with other central banks and with any other
relevant domestic or foreign authorities.
Bank Sentral dalam mendorong keamanan dan efisiensi sistem pembayaran
melalui penerapan core principles, harus melakukan kerja sama dengan Bank
Sentral lain dan lembaga terkait lainnya baik domestik maupun luar negeri.