JURNAL
TRANSFORMASI BUDAYA JAWA
(Studi dengan Perspektif Komunikasi mengenai Perubahan Cara Berbusana
di Kalangan Perempuan Jawa di Surakarta)
Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh:
WAHDANIA
D1215075
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
TRANSFORMASI BUDAYA JAWA
(Studi dengan Perspektif Komunikasi mengenai Perubahan Cara Berbusana
di Kalangan Perempuan Jawa di Surakarta)
Wahdania
Pawito
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractThis study focuses on changing the way Javanese women dress in Surakarta.
How to dress for Javanese women is one form of self-esteem, self-expression and identity, a characteristic of the woman's self. But since the development of technology, there are things to watch out for. Technology has a very extraordinary role for human life, one of them on how to dress in Javanese women in Surakarta. The development of technology makes it easier for Javanese women to recognize and follow other cultures for their way of dressing.
This study aims to examine the communication perspective on the change of way of dressing among Javanese women in Surakarta. The research method used is qualitative-interpretive. The interpretive approach is adopted from a practical orientation. In general, interpretive approach is a social system that interpret the behavior in detail directly observe. (Newman, 1997). Data collection is done by interview, observation, literature study and documentation. This research uses the theory of Technology Determinism. This theory was proposed by Marshall Mc Luhan first time in 1962 in his writings The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. The basic idea of this theory is that the changes that occur in various ways of communicating will also shape the existence of man himself. The technology of shaping individuals how to think, behave in society and technology ultimately leads man to move from one century of technology to another technological age.
The conclusion of this study is that the process of changing the way of dressing is influenced by technology that resulted in Javanese women in Surakarta getting new information about how to dress in the context of home, public, wedding and office.Keywords: Communication, Technology, transformation, Change How to Dress
1
Pendahuluan
Ajining diri saka lati, anjining raga saka busana. Idiom ini mengajarkan bahwa
penghargaan atas diri seseorang berdasarkan aspek lahiriah dan batiniah secara
seimbang (Purwadi, 2007). Busana merupakan salah satu penampilan lahiriah yang
paling jelas dimana penduduk dibedakan dengan yang lain dan sebaliknya
menyamakan dengan kelompok lainnya (Craik, 1994). Budaya Jawa mengajarkan
pedoman-pedoman dasar dalam berbusana yang benar dan sesuai dengan situasi serta
kondisi. Moeryati (dalam Purwadi, 2007) menegaskan bahwa busana dan kecantikan
merupakan perpaduan yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu kedua hal tersebut harus
diperhatikan dengan cermat.
Cara berbusana sebagai ekspresi diri dan komunikasi dari pemakaianya
memberikan implikasi bagi perempuan Jawa di Surakarta dalam kaitannya
mengomunikasikan nilai, status, kepribadian, identitas, dan perasaan kepada orang
lain. Ciri dan identitas pribadi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan
ketika hidup bermasyarakat, dimana individualitas menjadi tolak ukur penilaian
dalam sebuah hubungan maupun interaksi. Karena berbusana bisa mengekspresikan
sesuatu yang tidak terucap secara verbal inilah, maka busana juga seringkali
digunakan untuk menunjukkan identitas personal dari individu yang bersangkutan.
Hanya dengan mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai
kepribadian dan citra dirinya.
Orang Jawa menyadari betul arti penting berpakaian dengan ungkapan ajining
diri saka lati, anjining raga saka busana. Harus ada perpaduan jiwa dan raga perlu
diperhatikan secara khusus, agar dirinya mendapat penghormatan yang layak dari
pihak lain. Cara berbusana dalam pergaulan sehari-hari juga harus diperhatikan.
Terlebih dalam upacara resmi, perhatian orang pertama kali tertuju kepada situasi
yang dapat dilihat oleh mata. Bagi orang Jawa, berbusana ada aturannya. Setaiap
aturan yang dibuat mengahasilkan kearifan tersendiri. Namun belakangan ini,
peraturan tersebut mulai tergeserkan yang menyebabkan perubahan dalam cara
berbusana terutama bagi perempuan Jawa di Surakarta.
2
Perempuan menjadi sorotan penting ditengah perannya yang sangat kompleks.
Secara etimologis, perempuan berasal dari kata empu, perempuan (waninoto) artinya
berani menata, mengatur. Jelas dari sini bahwa sesungguhnya perempuan punya
kedudukan sosial yang luhur. Masyarakat Jawa pada umumnya, perempuan (anak
perempuan) adalah satru mungguh ing cangklakan, musuh dalam selimut. Kartini
membuktikan bahwa dirinya tidak pernah merugikan keluarganya, tetapi justru tampil
baik bak seorang pahlawan bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Stereotip perempuan Jawa yang mempunyai sifat-sifat nrima, sabar, pasrah, halus,
setia dan berbakti ternyata masih merupakan gambaran ideal mengenai perempuan
Jawa pada umumnya.
Cara berbusana bagi perempuan Jawa merupakan salah satu bentuk
penghargaan diri, menunjukkan identitas dan ciri khas dari diri perempuan tersebut.
Namun semenjak berkembangnya teknologi, ada hal yang harus diwaspadai.
Teknologi mempunyai peran yang sangat luar biasa bagi kehidupan manusia dalam
membawa suatu informasi, salah satunya terhadap cara berbusana pada perempuan
Jawa di Surakarta. Berkembangnya teknologi menyebabkan perempuan Jawa mudah
mengenali dan mengikuti budaya lain untuk cara berbusana.
Budaya Jawa telah hidup dan mengalami dinamika yang pajang. Dalam kaitan
ini, karya sastra Jawa telah mendampingi kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman
prasejarah, zaman sejarah, zaman kerajaan, zaman pengaruh budaya Barat, hingga
masa kini pada era global. Seiring dengan berkembangnya budaya Barat dalam
memasuki kehidupan masyarakat Jawa, karya sastra Jawa berubah dari bentuk terikat
atau tembang menjadi bentuk gancar atau bebas (Suratno, 2013).
Kemajuan teknologi komunikasi dapat membawa dampak, baik positif maupun
negatif terhadap kehidupan sosial budaya terutama perempuan Jawa di Surakarta.
Secara positif akan memberikan kemungkinan terjadinya komunikasi secara lebih
baik dan luas jangkauannya. Sedangkan dampak negatifnya akan menimbulkan
masalah baru. Perubahan terhadap sistem nilai, karena adanya perbenturan sistem
nilai pada masyarakat dalam penerima teknologi.
3
Semenjak hadirnya teknologi, terutama media baru seperti internet dan media
sosial, informasi dapat mengalir secara cepat dan luas. Informasi-informasi tersebut
dapat mempengarauhi cara berpikir perempuan Jawa di Surakarta dalam hal
berpakaian dan berinteraksi. Benkler (dalam Nasrullah, 2015: 33) menjelaskan bahwa
medium sharing tidak hanya menhasilkan konten yang dibangun dari dua dan
dikonsumsi oleh penggunanya, tetapi juga didistribusikan sekaligus oleh
penggunanya. Sehingga, bagi perempuan yang tidak terlalu paham tentang media
baru juga akan mendapatkan informasi baru dan ikut mengalami perubahan dalam hal
berbusana.
Perubahan nilai di dalam hidup masyarakat pasti terjadi dan masyarakat itu
harus siap untuk menghadapinya. Begitu juga dengan cara berbusana bagi perempuan
Jawa di Surakarta. Cara menghadapi perubahan ini penting dimengerti oleh
perempuan Jawa untuk tetap mempertahankan salah satu amanah yakni cara
berbusana Jawa
Seiring bertambahnya waktu, cara berbusana perempuan Jawa di Surakarta juga
ikut berubah. Perempuan Jawa abad ke-21 mulai menggunakan pakaian yang modis
dan terus berkembang hingga kini di abad ke-22. Teknologi yang semakin maju juga
turut serta mempengaruhi cara busana perempuan Jawa di Surakarta. Busana adalah
komunikasi. Perempuan Jawa masa kini terus mengikuti trend yang ada. Busana dan
gender semakin terlihat kaitannya di masa kini. Bagi perempuan Jawa yang bekerja,
akan sangat berbeda cara busananya dengan perempuan Jawa yang tidak bekerja.
Secara objektif, bagi perempuan Jawa masa kini, gambaran tersebut rasanya
tidak sesuai lagi dengan cara mereka sekarang menampilkan dirinya di tengah-tengah
masyarakat. dalam berbagai peran yang diisinya, perempuan Jawa dapat
menunjukkan sikap yang tegas, berinisiatif, malahan tidak kalah tangkas dari kaum
pria. Perempuan berani menolak sesuatu bila tidak sesuai dengan pandangannya.
Perempuan juga tidak segan-segan menguatarakn pendapatnya bilamana dipandang
perlu.
Perubahan yang terjadi terhadap cara berbusana perempuan Jawa di Surakarta,
diasumsikan oleh peneliti disebabkan oleh teknologi (faktor “X”) yang menyebabkan
4
perubahan tersebut (“Y”). Dalam elemen penting komunikasi (komunikator, pesan,
media, komunikan, dan umpan balik), peneliti fokus terhadap media (teknologi) yang
akan dikaji mengenai peran komunikasi terhadap perubahan cara berbusana
perempuan Jawa di Surakarta.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini hendak menjawab beberapa
pertanyaan yakni
1. Bagaimana proses terjadinya perubahan cara berbusana di kalangan perempuan
Jawa di Surakarta?
2. Bagaimana peran komunikasi terhadap perubahan cara berbusana di kalangan
perempuan Jawa di Surakarta?
Telaah Pustaka
1. Teknologi
Teknologi informasi menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang selalu
membutuhkan informasi. Hadinrnya teknologi sering disebut sebagai “Revolusi
Informasi”. Winston (1998: 2) mengungkap “The concept of the “Information
Revolution” is implicity historical, for how can one knowthat a situation has changed
– has revolved – without knowing its previous state or position” Ledakan informasi
merupakan pertanda dari peluang dan tantangan yang akan dihadapi manusia di masa
depan. Pembekakan volume informasi yang dicetuskan, dipindahkan, dan diterima
akan terus dan semakin menggelembung. Seiring dengan itu, makna informasi pun
meningkat pula. Manusia akan hidup dalam suatu tatanan masyarakat baru, yakni
masyarakat informasi.
Melihat hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori Determinisme
Teknologi. Teori ini dikemukakan oleh Marshall Mc Luhan pertama kali pada tahun
1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man.
Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara
berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi
membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan
teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad
5
teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum
mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke
masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.
McLuhan berpikir bahwa budaya dibentuk oleh bagaimana cara berkomunikasi.
Paling tidak ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam
teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam
jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga,
sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk
berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu
akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. Kita belajar,
merasa dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima
teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi
menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Maka dari itu dari
penelitian ini, akan dibuktikan apakah teknologi yang mempengaruhi perubahan cara
berbusana perempuan Jawa di Surakarta.
2. Media Massa
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari
sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi
mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara, 2009:126). Sedangkan
bagi khalayak, pesan yang disampaikan oleh media adalah sarana akan segala hal
mulai dari informasi hingga hiburan. Media massa sendiri dibagi menjadi dua
kategori, yaitu media massa cetak dan media elektronik. Media cetak merupakan
surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik adalah televisi, radio, film, dan
internet.
Media merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mentransmisikan pesan
kepada khlayak. Fungsi dari media massa yang paling sederhana diungkapkan oleh
Jay Black dan Frederick C Whitney yaitu: (1) to inform (mengkonstruksikan), (2) to
entertain (menghibur), (3) to persuade (membujuk), dan (4) transmission of the
culture (transmisi budara) (Nurudin, 2013:540)
6
3. Media Baru
Media baru merupakan bentuk komunikasi massa yang terdiri atas teknologi
berbasis komuter. Teknologi komunikasi ini termasuk e-mai, internet, televisi kabel
digital, teknologi video seperti DVD, pesan instan (instan messaging – IM), dan
telepon genggam (West dan Turner, 2008:41). Media baru juga sering disebut sebagai
media siber, media online, media digital, dan media web. Namun pada intinya
bermuara pada hal yang sama, yaitu merujuk pada perangkat media baik itu perangkat
keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). (Nasrullah, 2014, 13)
4. Transformasi Budaya
Laseau 1980 yang dikutip oleh Sembiring 2006 memberikan kategori
Transformasi sebagai berikut:
1. Transformasi bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah den-
gan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.
2. Transformasi bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan
menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikkan, dan melipat.
3. Transformasi bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang
akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya.
4. Transformasi bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam berak-
tifitas
Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.
itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 15 November 2016). menguraikan faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu sebagai berikut:
1. Kebutuhan identitas diri (identification) pada dasarnya orang ingin dikenal dan in-
gin memperkenalkan diri terhadap lingkungan.
2. Perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat, pen-
garuh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru men-
genai manusia dan lingkuangannya.
3. Pengaruh teknologi baru timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang
masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk di-
ganti demi mengikuti mode.
7
Transformasi budaya secara teoritis diartikan sebagai suatu proses dialog yang
terus menerus antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan “donor” sampai pada
tahap tertentu membentuk proses sintesa dengan berbagai wujud yang akan
melahirkan format akhir budaya yang mantap. Dalam proses dialog, sintesa dan
pembentukan format akhir tersebut didahului oleh inkulturasi dan akulturasi Sachari
(dalam Esti Ismawati 2012 : 100). Transformasi budaya di Indonesia telah
berlangsung atas 3 tahap, (1) dari budaya primitif kearah terbentuknya format
terbentuk format kebudayaan Jawa Hindu-Budha, (2) dari kebudayaan Jawa Hindu-
Budha kearah format terbentuknya kebudayaan Jawa hindu-Islam (kebudayaan lokal),
(3) bertemunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan.
5. Berbusana
Busana menunjukkan bangsa. Cara berpakaian menunjukkan sifat tabiat
seseorang baik dalam tindak laku sehari-hari, tata karma, selera maupun pandangan
hidupnya. Budaya Jawa mengajarkan pedoman-pedoman dasar dalam cara berbusana
yang benar dan sesuai dengan situasi serta kondisi. Usaha untuk meningkatkan
pengetahuan, khususnya kesadaran berbusaana atau ngadi salira, merupakan unsur
yang penting dalam mencapai kecantikan lahir dan batin demi terwujudnya keluarga
yang bahagia dan sejahtera (Purwadi, 2007).
Metode Penelitian
8
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif – interpretatif ; dengan
menggunakan strategi studi kasus yakni yang terjadi/ berkembang di wilayah
Surakarta. Menurut Newman (1997) terdapat tiga pendekatan, yaitu positivisme,
interpretif, dan kritikal. Ketiganya memiliki tradisi yang berbeda dalam teori sosial
dan teknik penelitiannya. Dengan menggunakan paradigma interpretif, kita dapat
melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan
interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa
sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang
diteliti. Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum
pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku
secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997).
Peneliti melihat dan menyimak apa yang disamopaikan oleh informan-informan
yang telah dipilih. Peneliti membandingkan apa yang dikatakan oleh informan 1
dengan lainnya. Hal ini mencari satu jawaban yang varian terkait perubahan cara
berbusana perempuan Jawa di Surakarta. Pendekatan interpretative ini dilakukan
dengan persetujuan dari semua informan. Sehingga informan lebih leluasa untuk
menceritakan pengalaman-pengalaman yang ada.
Subjek penelitian pada penelitian ini disebut informan. Instrumen penelitian
yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah interview guide. Dalam
penelitian ini penulis mewawancarai 12 orang informan untuk mengumpulan data.
Wawancara pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu, teknik wawancara yang
terstruktur dan tidak terstuktur. Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang dipilih
merupakan teknik wawancara yang tidak terstruktur atau baisa disebut wawancara
mendalam. Peneliti akan menggunakan teknik purposive sampling secara khusus dan
maximum variation sampling.
Peneliti menggunakan teknik observasi pasif. Yakni obeservasi dimana subjek
penelitian mengetahui bahwa dirinya sedang diamati. Peneliti meminta ijin terlebih
dahulu untuk dapat mengamati hal-hal yang terjadi di sekitar lingkungan subjek
penelitian. Walau pada kenyataannya peneliti hanya mengamati dan menganalisis
situasi yang sedang terjadi.
9
Analisis Data
1. Proses Terjadinya Perubahan Cara Berbusana
Sebagai seorang perempuan, penampilan penting untuk diperhatikan.
Perempuan cenderung menempatkan penampilan fisik diatas segalanya atau
“appearance is key”. Maka dari itu segala sesuatu yang memperindah dan
mempercantik penampilan akan selalu diupayakan oleh perempuan. Bagi banyak
perempuan busana merupakan sesuatu yang sangat penting seperti makanan dan air.
Berbusana, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk
melindungi tubuh dari panas, dingin, bahkan serangan binatang, akan tetapi terkait
dengan adat istiadat, pandangan hidup, peristiwa, kedudukan atau status dan juga
identitas.
Sifat khas perempuan Jawa masa kini menunjukkan adanya kombinasi antara
sifat-sifat perempuan Jawa tempo dulu dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman pendidikan dan tersedianya berbagai kesempatan baginya
dalam masyarakat masa kini. Artinya, tidak hanya sartia/bekti, sabar, tetapi juga
cerdas dan kritis, berinisiatif, dan kreatif. Selain memiliki aspirasi bagi dirinya
sendiri, perempuan Jawa di Surakarta masih cenderung untuk bersikap conform
terhadap harapan-harpan orang lain.
Proses perubahan cara berbusana perempuan Jawa di Surakarta ditandai dengan
beberapa hal yang semakin terlihat nyata di setiap konteks situasi dan kondisi.
Perubahan disini dengan membandingkan cara berbusana yang dulu dengan sekarang.
Konteks tersebut meliputi perubahan cara berbusana di rumah, tempat umum,
pernikahan, dan kantor (tempat kerja).
a. Perubahan cara berbusana di Rumah
Setiap orang mengetahui, gaya berbusana di rumah yang selayaknya dipakai
oleh perempuan Jawa di Surakarta adalah busana yang nyaman, sederhana, dan
sopan. Perempuan Jawa di Surakarta identik dengan sifat malu, sabar, dan santun.
Oleh karena itu, orangtua mengajarkan anak perempuannya untuk berbusana
selayaknya perempuan. Busana yang digunakan oleh perempuan remaja dulu adalah
rok pendek dan baju atas (kaos atau kaos kemeja). Anak perempuan tampil dengan
10
rambut yang diikat (karena memang kebanyakan memiliki rambut yang panjang),
baju yang dimasukkan kedalam celana, kadang dilengkapi dengan ikat pinggang.
Bertambahnya waktu, gaya berbusana semakin berubah mengikuti trend yang
ada. Perempuan Jawa di Surakarta tidak ada lagi yang menggunakan rok pendek
untuk busana di rumah. Sehari-harinya mulai banyak perempuan yang menggunakan
daster. Daster merupakan pakaian langsung (panjang atau pendek) yang nyaman
digunakan, terbuat dari bahan yang tidak panas, dan harganya yang terjangkau.
b. Perubahan cara berbusana di Tempat Umum
Berwisata bersama keluarga merupakan hal yang menyenangkan. Bagi
perempuan, wisata menjadi ajang untuk menampilkan hal yang bebas dan santai.
Dipilih busana yang tidak mengganggu gerak dan aktivitas. Dulu, perempuan Jawa di
Surakarta tampil dengan gaya tomboy saat berwisata. Modernisasi sudah mulai
masuk dan menggejala. Perempuan tampil dengan celana panjang, baju kaos, dan
sepatu sandal.
c. Perubahan cara berbusana di Pesta pernikahan
Gaya penampilan perempuan selalu berubah dan mengadopsi konsep modern
dalam perkembangannya. Seperti sesuatu yang dulu pernah in pasti suatu saat akan
menjadi tren kembali. Maka dari banyak muncul istilah “back to 60’s” dan “back to
80’s”. seperti yang diungkapkan oleh informan NA
“menghadiri pernikahan saat ini udah mulai kayak dulu lagi. mulai perduli sama kebaya dan kainnya. Sebenarnya gaya itu selalu berputar, dimana tren dulu di Tahun 60-an atau 80-an menjadi tren sekaran ini. Cuma bedanya sekarang lebih praktis.” (Wawancara dengan informan NA, tanggal 23 Maret 2017)
Dulu, perempuan jawa di Surakarta menyiapkan segala sesuatunya dengan baik
ketika akan menghadiri acara pernikahan. Menggunakan busana kebaya lengkap
dengan kain lilit, selendang, tagen, sepatu jinjit. Rambut di gulung lengkap dengan
11
aksesorirnya. Informan WA mengatakan, satu semuanya lengkap ketika akan
menghadiri acara pernikahan.
Modernisasi begitu dahsyat perngaruhnya terhadap cara berbusana perempuan
Jawa di Surakarta. Hal ini juga mengakibatkan terdapat beberapa pandangan terhadap
gaya busana yang untuk menghadiri pesta pernikahan. Perempuan bisa menunjukkan
jati dirinya melalui balutan busana Jawa lengkap di pesta pernikahan, hanya saja saat
ini nilai kepraktisan lebih dipertimbangkan, mengingat informasi yang didapat dari
teknologi semakin deras sehingga perempuan Jawa bisa leluasa memodifikasi
penampilannya saat menghadiri pesta pernikahan. Meskipun nilai kepraktisan
didahulukan, citra perempuan Jawa yang anggun dan mewah masih terjaga.
d. Perubahan cara berbusana di Kantor
Informasi yang disampaikan oleh teknologi, seseorang yang hendak pergi ke
kantor, harus menggunakan pakaian yang rapih, bersih, jas/blazer, rok pendek, sepatu
tinggi, yang menimbulkan kesan seksi. Semenjak perempuan bekerja, pengaruh barat
sudah terasa, sehingga penampilan perempuan kala itu sudah kebarat-baratan.
Bagi perempuan yang berkerudung, dulu sulit sekali untuk bekerja di
perusahaan-perusahaan besar. Ini menjadi salah satu perubahan yang terjadi di dunia
kantor. Saat ini perempuan yang berkerudung bisa bekerja tanpa harus membuka
kerudung. Saat ini sedang tren yang disebut sebagai hijab style.
2. Peranan Komunikasi terhadap Perubahan
a. Teknologi
Internet, pesan instan dan telepon genggam adalah jenis media yang digunakan
dalam konteks penelitian ini. Menurutu LaQuey (Ardianto, dkk, 2009:150)
sebagaimana dikutip dalam buku Komunikasi Massa Suatu Pengatar, internet
merupakan jaringan longgar dari ribuan computer yang menjangkau jutaan orang di
seluruh dunia. Internet dihuni oleh jutaan orang nonteknik yang menggunakannya
setiap hari untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Lebih lanjut LaQuey
menjelaskan bahwa yang membedakan tradisional adalah interaksi dan kecepatannya
yang dapat dinikmati penggunanya kemampuan untuk berkomuniaksi secara seketika
12
dengan ribuan orang. Bagi perempuan jawa yang tidak begitu mahir dalam
menggunakan internet, alat teknologi masih tetap besar peranannnya dalam
menyampaikan informasi terkait model busana yang sedang trend.
b. Faktor Individual dan Faktor Sosial
Dalam lingkungan masyarakat dapat dilihat bahwa ada perbedaan-perbedaan
yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Beragamnya orang yang ada
di suatu lingkungan akan membentuk status sosial dan kelas sosial. Status dan Kelas
sosial menunjukan preferensi produk dan merek dalam bidang-bidang ter-tentu
seperti pakaian, perabotan rumah, kegiatan pada waktu luang, dan kendaraan.
Perubahan diakibatkan dari kelas sosial dari seseorang. Dimana seseorang
berdomisili, situasi sosialnya akan mempengaruhi cara berbusana. Dari kelas sosial
dapat dibagi memjadi beberapa variabel ekonomi dan interaksi.
c. Ekspresi Diri
Busana dalam realitas sosial, ada saat ini, bukan saja karena nilai gunanya.
Akan tetapi, busana lebih dipandang karena nilai-nilai tanda yang terkandung di
dalamnya. Perempuan Jawa memakai busana untuk mengungkap maksud dan tujuan
tertentu serta menyampaikan pesan non verbal. Oleh karena itu cara berbusana bisa
dianggap identitas, cirri dan perasaan pemakainya atau kata lain busana bukan hanya
sekedar cover of the body.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini, peneliti telah mengumpulkan data melalui interview, riset
literature, baik buku maupun jurnal, serta observasi. Data yang telah terkumpul telah
disajikan dan dianalisis di bab III untuk menjawab rumusan masalah yaitu bagaimana
perspektif komunikasi terhadap perubahan cara berbusana di kalangan perempuan
jawa di Surakarta. Dari data yang telah dijabarkan dan dianalisis peneliti
menyimpulkan bahwa:
1. Proses perubahan cara berbusana perempuan Jawa di Surakarta ditandai dengan
beberapa hal yang semakin terlihat nyata di setiap konteks situasi dan kondisi.
Perubahan tersebut dimulai dari berkembangnya teknologi komunikasi dan
internet. Informasi yang dibawa melalui teknologi tersebut telah membujuk
13
(persuasif) perempuan untuk merubah cara berbusananya mengikuti trend yang
sedang berkembang.
Perempuan Jawa di Surakarta belajar, merasa ,dan berpikir terhadap apa
yang akan dilakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi
menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan
membentuk perilaku. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera
pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran
tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk
ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, timbul hasrat ingin menggunakannya lagi dan terus menerus.Seiring
dengan perjalanan waktu, di tahun-tahun mendatang, gambaran stereotip terhadap
perempuan jawa tampaknya semakin tidak relevan lagi. kontribusi pendidikan
yang kian terbuka bagi perempuan jawa jelas berdampak pada perubahan itu.
Adapun bagaimana akan berubah pasti ditentukan oleh kaum perempuan jawa
sendiri maupun oleh perkembangan lingkungan sosial kita. Perubahan yang mulai
sekarang sudah dapat diamati berhubungan dengan perilaku perempuan jawa yang
ingin mengisi peran ganda (atas pilihan sendiri atau terpaksa) fenomenanya makin
bertambah banyak.
Cara berbusana bagi perempuan jawa merupakan salah satu bentuk
penghargaan diri, menunjukkan identitas dan ciri khas dari diri perempuan
tersebut. Seiring berkembangnya teknologi, cara berbusana perempuan jawa
semakin berubah dan mengarah kebarat-baratan. Beberapa dampak dari teknologi
bagi cara berbusana perempuan jawa yaitu,
a. Eksistensi diri
b. Memudahkan dalam berbusana
c. Perempuan jawa meninggalkan cara yang lama dan terbiasa dengan yang
baru
d. Membentuk karakter yang baru
14
Perubahan cara ini dilihat dari beberapa konteks, yakni di rumah, tempat
umum, pernikahan dan kantor.
2. Peranan komunikasi terhadap perubahan cara berbusana perempuan Jawa di
Surakarta mencakup teknologi dan ekspresi yang disampaikan dari perempuan
Jawa saat berbusana. Teknologi memang membawa dampak yang sanga luar bisa
terhadap perubahan cara berbusana, namun berdasarkan data yang di lapangan,
teknologi tidak sendirian dalam mempengaruhi perubahan tersebut. perubahan
juga diperngaruhi oleh faktor individual serta sosial seperti, Ekonomi ; Pekerjaan,
Pendapatan, Pendidikan. Interaksi; Prestise pribadi, Asosiasi, Sosialisasi.
Busana dalam kehidupan perempuan Jawa di Surakarta erat dengan citra
dan ekspresi diri serta identitas. Perempuan lebih senang mengekspresikan dirinya
sebagai seseorang yang cantik, anggun, sederhana dalam konteks domestik, dan
praktis.
Nilai aktualisasi diri merupakan salah satu bagian yang penting untuk
ditunjukkan oleh perempuan. Karena dengan itu seorang perempuan akan
memperoleh rasa percaya diri yang amat berharga ketika menunjukkan eksistensi
dirinya di masyarakat. Sebagai bagian dari nilai aktualisasi diri perempuan,
busana merupakan obyek untuk mendapatkan nilai percaya diri tersebut. Berusaha
tampil dengan busana-busana yang fashionable untuk membuktikan bahwa ia ada
dan eksis.
Saran
Melihat perubahan yang terus terjadi tersebut, peneliti menuliskan saran sebagai
berikut:
1. Sebagai perempuan jawa di Surakarta yang menjadi ikon salah satu kota solo,
sebaiknya ada langkah yang lebih baik untuk menjaga keaslian budaya ini. Tidak
mudah tergiling oleh zaman.
2. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya faktor lain yang
mempengaruhi perubahan tersebut. perempuan jawa di Surakarta yang telah
15
membaca ini hendaknya bisa lebih menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan
kearifan nilai budaya dengan tidak meninggalkannya.
Daftar Pustaka
Ardianto , dkk. 2009. Komunikasi Massa suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rakatama Media
Cangara, Hafied. 2009. Pengantar ilmu komunikasi . Jakarta: Rajawali Press Koswara, E. dkk. 1998. Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung: PT Remaja
RosdakaryaNasrullah , rulli. 2015 Media Sosial : Perspektif Komunikasi, Budaya, Dan
Sosiotenologi. Bandung : Simbiosa Rekanata MediaNurudin. 2013. Pengantar komunikasi massa. Jakarta : PT Raja Perindo PersadaPurwadi. 2007. Busana Jawa : Jenis-jenis Pakaian Adat, Sejarah, Nilai Filosofis dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pura Pustaka Suratno, Pardi. 2013. Masyarakat Jawa & Budaa Barat : Kajian Sastra Jawa Masa
Kolonial. Yogyakarta: Adi WacanaW.F. Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan
Sosial, (Yogyakarta: Tiara WacanaPakilaran, Faktor yang Menyebabkan Transformasi Budaya, http://www.ar.
itb.ac.id/wdp/ , diakses pada tanggal 15 November 2016
16