Transcript

1

Penelitian Individu

POLITIK PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DALAM MENGATASI PENGANGGURAN

DI KOTA MAKASSAR DAN KOTA SEMARANG

Oleh Mohammad Mulyadi

EXECUTIVE SUMMARY

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada anggapan

bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban,

keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan

cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki

maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli

yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah

atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga

keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan

juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen.

Masalah kemacetan, sejatinya bukanlah permasalahan sektoral lagi, melainkan

menjadi bagian dari beragam permasalahan kota yang saling terkait satu dengan

lainnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemacetan.Beberapa faktor

penyebab kemacetan, di antaranya pertama daya tampung ruas jalan yang overload

dengan jumlah kendaraan yang lewat. Beberapa jalan yangsebenarnya tidak mampu

lagi menampung aktivitas kendaraan pada jam-jam puncak.

Selain daya tampung ruas jalan, beberapa traffic light yang sudah tidak akurat

lagi (kurang berfungsi) turut menjadi penyebab meningkatnya angka kemacetan.

Faktor lainnya yang menyumbang angka kemacetan terbesar yaitu pedagang kaki lima

(PKL). Tak bisa dielakkan aktivitas PKL, khususnya yang ada di sekitar jalan-jalan di

pusat kota yang menggunakan badan jalan ikut menyumbang kemacetan. Kemacetan

2

terjadi dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, becak, dan sepeda motor.

Kemacetan tersebut disebabkan banyaknya kendaraan pribadi yang terjadi di pusat

kota tersebut secara bersamaan.

Fenomena permasalahan yang ditimbulkan dari adanya pedagang kaki lima

tentu saja membutuhkan sebuah penanganan yang tidak menimbulkan benturan di

bawah. Politik pemberdayaan pedagang kaki lima diharapkan dapat menjadi solusi

dari banyaknya masalah keberadaan pedagang kaki lima. Politik pemberdayaan

pedagang kaki lima lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemberdayaan

pedagang kaki lima. Sehingga keputusan politik terhadap program pemberdayaan

pedagang kaki lima bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, untuk

meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai

mata pencaharian pedagang kaki lima.

Pemberdayaan merupakan proses break-down dari hubungan atau relasi

antara subyek dengan obyek. Proses ini memfokuskan adanya „pengakuan‟ subyek

akan “kemampuan” atau “daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar,

proses ini melihat mengalirnya daya dari subyek ke obyek dengan memberinya

kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumber yang ada

merupakan salah satu manifestasi dari mengalirnya daya tersebut. Pada akhirnya,

kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya dengan diberinya

“pengakuan” oleh subyek merupakan bukti bahwa individu tersebut mempunyai

daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat berwujud suatu upaya dari obyek

untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta dibantu

juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas,

mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita untuk mengintegrasikan

masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari proses

pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek

(yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya dicirikan dengan relasi

antar subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan

mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek subyek.

3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka pokok

masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana politik pemberdayaan pedagang kaki

lima dalam mengatasi pengangguran, dengan pertanyaan penelitiannya adalah sebagai

berikut:

1. Mengapa politik pemberdayaan bagi pedagang kaki lima perlu dilakukan

dalam upaya mengatasi pengangguran di Kota Makassar dan Kota Semarang?

2. Bagaimana bentuk politik pemberdayaan bagi pedagang kaki lima yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya mengatasi pengangguran di

Kota Makassar dan Kota Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai upaya politik

pemberdayaan pedagang kaki lima dalam mengatasi pengangguran di Kota Makassar

dan Kota Semarang. Politik pemberdayaan yang dimaksud adalah bagaimana bentuk

politik pemberdayaan bagi pedagang kaki lima yang dilakukan oleh pemerintah

daerah dalam upaya mengatasi pengangguran di Kota Makassar dan Kota Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan dalam

mengembangkan konsep politik pemberdayaan dalam menghadapi keberadaan

Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sebuah potensi yang hidup dan berkembang di

masyarakat guna memudahkan pemerintah dalam menggerakkan masyarakat PKL

untuk bersama-sama mengatasi masalah pembangunan di daerah. Selain itu hasil

penelitian ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi para anggota DPR RI dalam

menyusun kebijakan yang terkait dengan pembangunan daerah melalui politik

pemberdayaan PKL.

4

II. Kajian Literatur

A. Konsep Politik Pemberdayaan Masyarakat

Politik pada umumnya dapat dikatakan sebagai usaha untuk menentukan

peraturan-peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar warga,

untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis (2008:15).

Politik memiliki dua sisi pengertian, yaitu dalam arti baik dan dalam arti buruk. Peter

Merkl (1967:13) menyatakan bahwa politik dalam bentuk yang paling baik adalah

usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at it’s best is a

noble quest for a good order and justice). Adapun bahwa politik, dalam bentuk yang paling

buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri

sendiri (Politics at It’s worst is a selfish grab for power, glory, and riches).

Adapun pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, untuk

membuat berdaya. Sedangkan masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-

luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sehingga

pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses atau

cara yang dilakukan untuk membuat berdaya sejumlah orang.

Unsur utama dari proses pemberdayaan adalah pemberian kemampuan,

sehingga kemampuan menjadi indikator utama, apakah proses pemberdayaan

tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak. Dengan demikian untuk memperoleh

kemampuan dalam melakukan sesuatu, masyarakat perlu diberdayakan. Menurut

Soetomo (2011:66) agar masyarakat memiliki kemampuan, maka masyarakat sampai

pada tingkat komunitas terbawah diberi peluang dan kewenangan.

Kekuasaan seringkali dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan

individu untuk membuat individu melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari

keinginan dan minat mereka. Pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang,

khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau

kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya mereka memiliki kekuatan

atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki

kebebasan dalam mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,

bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber

5

produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan

memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c)

berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan keputusan yang

mempengaruhi mereka (Suharto 2005). Pandangan tersebut menunjukkan bahwa

pemberdayaan masyarakat memberikan kesempatan masyarakat untuk memperoleh

ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi

kehidupannya menjadi lebih baik.

B. Konsep Pengangguran

Pelaksanaan pembangunan akan selalu menimbulkan dampak sosial, sebagai

akibat tidak meratanya akses dan manfaat pembangunan yang diterima oleh

masyarakat. Pengangguran merupakan masalah klasik yang selalu ada di setiap

negara, termasuk di Indonesia. Keterbatasan akses terhadap pendidikan dan lapangan

pekerjaan merupakan penyebab utama pengangguran. Keterbatasan lapangan

pekerjaan menyebabkan supply (penawaran) tenaga kerja di pasar tenaga kerja

melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang

tercipta. Akibatnya timbul kelompok angkatan kerja yang tidak diberdayakan dalam

kegiatan perekonomian. Kelompok angkatan kerja yang berpendidikan cukup dan

sesuai dengan tawaran lapangan pekerjaan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

Tiap negara dapat memberikan definisi yang berbeda mengenai definisi

pengangguran. Nanga (2005: 249) mendefinisikan pengangguran adalah suatu

keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak

memiliki pekerjaan dan secara aktif tidak sedang mencari pekerjaan. Sedangkan

menurut Sukirno (2007: 28) pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam

perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya.

Saat ini, jumlah pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi, walaupun

dari tahun ke tahun Badan Pusat Statistik (BPS) melansir penurunan jumlah

pengangguran Indonesia dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebanyak

530.000 orang pada Agustus 2016 dari sebelumnya 7,56 juta orang pada Agustus

2015 menjadi 7,03 juta orang pada Agustus 2016. Hal ini dikarenakan meningkatnya

jumlah angkatan kerja atau Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Hal tersebut

6

artinya, jumlah pengangguran secara tahunan turun 0,57 persen dari 6,18 persen pada

Agustus 2015 menjadi 5,61 persen pada Agustus 2016.

Sementara, berdasarkan data ketenagakerjaan Indonesia, jumlah

pengangguran meningkat sekitar 10 ribu orang. Yakni, dari 7,02 juta orang pada

Februari 2016 menjadi 7,03 juta orang per Agustus 2016. Hal tersebut karena

Februari memasuki musim panen. Jadi, menyerap tenaga kerja cukup banyak.

Sementara, pada Agustus, musim panen sudah berlalu.1 Adapun, jumlah penduduk

yang bekerja meningkat 3,59 juta orang dari semula 114,84 juta orang pada Agustus

2015 menjadi 118,41 juta orang pada Agustus 2016.

Berdasarkan data BPS tentang ketenagakerjaan periode Februari 2016, jumlah

penduduk yang bekerja justru mengalami penurunan 2,24 juta orang dari 120,65 juta

orang per Februari 2016 menjadi 118,41 juta orang per Agustus 2016. Secara

keseluruhan, jumlah angkatan kerja naik 3,06 juta orang menjadi 125,44 juta orang

pada Agustus 2016 dari semula 122,38 juta orang pada Agustus 2015. Jumlah

angkatan kerja naik 0,58 poin atau 3,06 juta orang dibandingkan periode yang sama

pada 2015. Dengan demikian, secara keseluruhan, hampir semua sektor mengalami

kenaikan penyerapan tenaga kerja, kecuali sektor konstruksi. Sementara, sektor yang

tertinggi serapannya adalah sektor jasa kemasyarakatan. BPS mencatat, kenaikan

penyerapan tenaga kerja sektor jasa kemasyarakatakan capai 8,47 persen sebanyak

1,52 juta orang. Diikuti oleh sektor perdagangan sebanyak 1,01 juta orang atau naik

3,93 persen. Sementara, sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebanyak

500 ribu orang atau merangkak 9,78 persen. Untuk sektor konstruksi justru

mengalami penurunan serapan tenaga kerja hingga 2,8 persen atau mencapai 230 ribu

orang.

BPS menyebutkan, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja dan

penurunan jumlah pengangguran ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang mulai

membaik, sehingga cenderung menyerap tenaga kerja baru.

1 Wawancara Suhariyanto (Kepala BPS) dengan CNN Indonesia tgl. 7 November 2016 dalam http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20161107152144-92-170923/bps-jumlah-pengangguran-di-indonesia-menciut-530-ribu-orang/

7

C. Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sebagaimana diketahui konsentrasi pelaksanaan pembangunan selama ini

lebih banyak berpusat di daerah perkotaan. Akibatnya arus perpindahan penduduk

dari desa ke kota (urbanisasi) semakin melimpah. Kota menjadi pusat pembangunan

sektor formal, maka kota dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa,

sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Akan tetapi kota tidak

seperti apa yang diharapkan kaum migran. Tenaga kerja yang banyak tidak bisa

sepenuhnya ditampung sektor formal. Lapangan kerja formal yang tersedia

mensyaratkan kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya

formal, sehingga tenaga kerja yang kesulitan memperoleh lapangan kerja di daerah

perkotaan akhirnya mendorong mereka (pencari kerja) sebagian berusaha di sektor

informal.

Salah satu ciri kota adalah kompleksitas permasalahan, dan salah satunya

adalah heterogenitas penduduk, kebudayaan dan heterogenitas ekonomi masyarakat.

Untuk kota di negara berkembang seperti kota-kota di Indonesia, kesenjangan

ekonomi masyarakat mempunyai ciri khusus dengan tumbuhnya sektor ekonomi

informal, meliputi; usaha skala kecil, usaha industri kecil, pedagang kaki lima,

pedagang asongan, pemulung dan lain sebagainya.

Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja

dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering diartikan karena jumlah kaki

pedagangnya ada lima. Lima kaki yang dimaksud adalah dua kaki pedagang ditambah

tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki).

Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.

Selain itu, pengertian PKL juga dapat diartikan sebagai pelaku kegiatan usaha

jasa perdagangan yang tergolong mikro yang menempati fasilitas umum baik milik

pemerintah maupun milik perorangan yang telah mendapatkan izin. Di beberapa kota

banyak PKL yang menjajakan dagangannya di trotoar yang seharusnya digunakan

untuk pejalan kaki. Hal ini menjadi awal mula penyebutan istilah Pedagang Kaki

Lima. Pada masa kolonial Belanda, ditetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun

harus menyediakan sarana untuk pejalanan kaki dengan lebar lima kaki atau sekitar

8

satu setengah meter. Setelah Indonesia merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki

tersebut banyak digunakan oleh pedagang untuk berjualan dan kelamaan umum

disebut sebagai pedagang kaki lima.

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan bagian dari pelaku usaha informal

yang tidak dapat dilepaskan dari roda perekonomian sebuah kota. Keberadaannya

yang terus berkembang menjadi tantangan bagi setiap daerah untuk dapat menata,

membina dan menjawab tantangan pengelolaan Usaha Mikro dan Kecil termasuk

Pedagang Kaki Lima (PKL). Peningkatan jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) akan

berdampak pada estetika, kebersihan dan fungsi sarana dan prasarana kawasan

perkotaan serta terganggunya kelancaran lalu lintas.

III. Metodologi Penelitian

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan desain kualitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti bermaksud

memperoleh gambaran yang mendalam dari proses politik pemberdayaan pedagang

kaki lima dalam mengatasi pengangguran.

B. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan mengutamakan pandangan informan (perspectif

emic), dan peneliti sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama (key instrument)

yang terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data secara

mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1982:29) : “

Qualitative research has the natural setting as the source of data and researcher is key instrument”.

Selanjutnya, peneliti perlu memerankan diri selaku instrumen utama, bukan

menggantungkan diri hanya pada instrumen pengumpulan data semacam pedoman

wawancara, panduan observasi, kuesioner atau instrumen sejenisnya. Data digali

melalui interaksi langsung dengan informan dalam situasi lingkunganya, mendengar

dan mencatat perkataan, membaca mimik dan gerak, menyelami perasaan dan nilai

yang terkandung dalam ucapan perbuatan informan. Teknik pokok yang digunakan

9

dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.

Ketiga teknik tersebut digunakan sifatnya saling melengkapi untuk memperoleh data

yang lengkap, akurat dan mendalam sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan alat

bantu yang digunakan berupa pedoman wawancara dan pedoman observasi, tape

recorder, kamera foto, buku catatan atau memo. Adapun informan yang akan di

wawancara dalam penelitian ini adalah:

1. Para pedagang kaki lima, baik yang sudah maupun yang belum mendapatkan

program pemberdayaan di Kota Makassar dan Kota Denpasar.

2. Aparat Pemerintah Kota Makassar dan Kota Denpasar yang melakukan

program pemberdayaan pedagang kaki lima, diantaranya: Aparat Dinas

Koperasi Usaha Kecil dan Menengah dan Aparat Dinas Perindustrian dan

Perdagangan.

C. Metode Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah upaya

penelaahan atas esensi, mencari makna dibalik frekuensi dan variasi (Muhadjir,

2000:6). Secara operasional analisis data kualitatif adalah proses menyusun data

(menggolongkannya dalam tema atau kategori) agar dapat ditafsirkan atau

diinterpretasikan. Menurut Bogdan dan Biklen (1992:29) analisis data ini dilakukan

selama penelitian di lapangan dan setelah selesai pengumpulan data. Analisis data

selama pengumpulan data di lapangan penelitian ini dilakukan kegiatan : (1)

memantapkan fokus penelitian dan pengumpulan data sesuai dengan fokus tersebut

sehingga tidak bias oleh banyak hal yang kelihatan mungkin menarik; (2) wawancara

dengan informan dimulai dari pertanyaan yang bersifat umum, kemudian

dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih analitik, operasional, fleksibel sesuai

dengan kondisi objektif yang dihadapi di lapangan; (3) setiap sesi pengumpulan data

direncanakan secara jelas, (4) menjaga konsistensi atas ide dan tema atau fokus

penelitian, (5) menuangkan data yang diperoleh dalam catatan lapangan; dan (6)

mempelajari referensi yang relevan untuk menambah dan meningkatkan wawasan

dan mempertajam analisis peneliti berkaitan dengan apa yang sedang dipelajari.

Kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian ini tidak

terpisah satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan dan prosesnya

10

berbentuk siklus (Creswell, 1994:166). Pengumpulan data merupakan bagian integral

dari kegiatan analisis data. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis data

model interaktif melalui tiga alur kegiatan sebagaimana dikemukakan Miles dan

Huberman (1984:23-27), yaitu : 1) reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan

kesimpulan/verifikasi, seperti digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1 Analisis Data dan Model Interaktif

Model interkatif melalui jalur reduksi data, display data dan penarikan

kesimpulan/verifikasi sebagaimana telah digambarkan di atas digunakan untuk

menganalisis data hasil wawancara, obeservasi dan studi dokumentasi yang berkaitan

dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

D. Lokasi dan Jadwal Penelitian

Penelitian yang meliputi aktivitas observasi, FGD dan wawancara

dilaksanakan di Kota Makassar dan Kota Semarang. Alasan pemilihan lokasi

penelitian di Makassar adalah karena Walikota Makassar Moh Ramdhan Pomanto,

sejak bulan september tahun 2016 program pemberdayaan melalui penataan PKL

mulai berjalan dan ada wilayah yang ditempati untuk berjualan sehingga tidak

semrawut dan masyarakat pun dapat menikmati berbelanja di lokasi tersebut. Para

pedagang kaki lima telah mendapatkan beberapa fasilitas seperti gerobak smart yang

didesain dengan sangat moderen.

Adapun alasan pemilihan Kota Semarang sebagai lokasi penelitian kedua,

karena Pemerintah Kota Semarang sukses merelokasi pedagang kaki lima ke daerah

11

Simpang Lima Kota Semarang untuk berjualan sehingga tidak semrawut dan

masyarakat pun dapat menikmati berbelanja khususnya kuliner di lokasi tersebut.

Jadwal penelitian ditetapkan tanggal 16 s/d 22 Juni 2017 di Kota Makassar

dan tanggal 14 s/d 20 September 2017 di Kota Semarang.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Masalah Pedagang Kaki lima (PKL) tidak kunjung selesai di setiap daerah di

Indonesia, khususnya kota besar seperti Makassar dan Semarang. Permasalahan ini

muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam

penyelesaiannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang

publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek

kebersihan, keindahan dan kerapihan kota. Oleh karena itu PKL seringkali menjadi

target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.

Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi

dua sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan

pemerintahan akan berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara keduanya. Para

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus

mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan

begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat

berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti

adanya Perda yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka

seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau

ditujukan untuk kesejahtraan rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas

oportunitas.

Dari segi ekonomi tentunya jelas dapat dilihat bahwa dengan adanya PKL

dapat diserap tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut dalam

mendapatkan penghasilan. Dari segi sosial dapat dilihat jika kita rasakan bahwa

keberadaan PKL dapat menghidupkan maupun meramaikan suasana. Hal ini menjadi

daya tarik tersendiri, selain itu dalam segi budaya, PKL membantu suatu kota dalam

menciptakan budayanya sendiri.

12

Politik pemberdayaan masyarakat khususnya bagi pedagang kaki lima dalam

mengatasi pengangguran tentu saja menempatkan masyarakat sebagai obyek sekaligus

subyek pembangunan. Dalam melakukan politik pemberdayaan masyarakat,

pemerintah harus melakukan 3 hal, yaitu: 1) Menciptakan kondisi atau iklim yang

harmonis di masyarakat; 2) Mengembangkan potensi yang ada di masyarakat; dan 3)

Melibatkan masyarakat pada setiap tahapan kegiatan pembangunan.

Politik pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk menempatkan masyarakat

sebagai “tuan” yang harus diperhatikan kebutuhannya melalui potensi sumber daya

yang dimilikinya. Pemerintah daalm hal ini menempatkan dirinya sebagai pelayan

sementara masyarakat adalah yang dilayani (a spirit of public service) dan tentu saja

pemerintah bersama-sama masyarakat seiring sejalan dalam merencanakan dan

melaksanakan program maupun kegiatan pembangunan. Politik pemberdayaan

masyarakat merupakan proses mengajak atau “membujuk” masyarakat masuk

kedalam pusaran utama pembangunan, sehingga masyarakat mengetahui persis setiap

tahapan pembangunan di daerahnya masing-masing.

Pengertian politik secara umum adalah upaya atau cara untuk memperoleh

sesuatu yang dikehendaki. Kaitannya dengan pemberdayaan pedagang kaki lima oleh

pemerintah adalah cara mengajak masyarakat agar mau mengikuti program yang

direncanakan oleh pemerintah khususnya memberdayakan masyarakat agar lebih

sejahtera.

A. Politik Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Makassar

1. Urgensi Perluya Politik Pemberdayaan Bagi Pedagang Kaki Lima Dalam Upaya Mengatasi Pengangguran Di Kota Makassar

Kota Makassar merupakan kota terbesar ke-empat di Indonesia dan terbesar

dikawasan Timur Indonesia, memiliki luas area 175,79 km2 dengan jumlah penduduk

sekitar 1 juta jiwa, dengan demikian kota makasar dapat dikatakan sebagai kota

metropolitan. Banyaknya penduduk di Kota Makassar salah satu penyebabanya

adalah banyaknya pendatang dari luar Kota Makassar dari tahun ke-tahun yang

13

semakin meningkat guna mengadu nasib dan melanjutkan pendidikan di Kota

Makasar.

Keberadaan pedagang kaki lima di Kota makassar sering kali dijumpai banyak

menimbulkan masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan

ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan menjadi paten

yang melekat pada usuha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar, di taman-taman kota

bahkan terkadang di badan jalan. Pemandangan ini hampir terdapat di sepanjang jalan

kota, seperti di jalan Perintis Kemerdekaan, jalan Urip Sumiharjo, jalan AP. Pettarani,

jalan Sunu, jalan Gunung Buwakaraeng dan jalan Penghibur. Pemandangan ini tidak

hanya terjadi disiang hari bahkan di malam haripun jumlahnya makin bertambah.

Pemerintah kota seakan kurang tegas dalam menangani masalah pedagang

kaki lima, seperti kebijakan yang belum lama terjadi tentang penggusuran PKL di

jalan Masjid Raya dan Sunu, ketika pedagang kaki lima mendatangi Kantor Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar di Jalan Andi Pangeran Pettarani,

Makassar untuk menolak penggusan tersebut pemerintah langsung menghentikan

kebijakan tersebut padahal bisa dibilang lokasi tersebut memiliki tingkat kemacetan

yang tinggi diakibatkan lapak-lapak PKL dan para pembeli. Kemudian dengan makin

marak dan bertambahnya pedagang kaki lima yang kian bermunculan yang menjadi

penyebab kemacetan dan merusak keindahan kota. Selain itu, parkir kendaraan para

pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Seperti pedagang

makanan, pedagang pakaian, buah dengan menggunakan mobil, dan es. Belum lagi

masalah limbah atau sampah. Tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang

lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah daripada membeli di toko. Modal

dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak

memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang

biasanya mendirikan bisnisnya disekitar rumah mereka.

Berbagai persoalan yang ada di kota Makassar, misalnya kemacetan, banjir,

ketertiban dan keamanan, pengguran dan masih banyak lagi. Sebenarnya masalah-

masalah tersebut mamiliki hubungan dengan penataan pedagang kaki lima. Misalnya,

penjual buah atau makanan di pinggir-pinggir jalan,memang mereka tidak terlalu

14

berdampak pada kemacetan namum para pembeli yang parkir kendaraannya di bibir

jalan penyebabnya dan ini hampir kita lihat di sepanjang jalan di Makassar. Kemudian

masalah banjir walaupun hanya berdampak sedikit namun tidak bisa dipungkiri salah

satu penyababnya adalah dari sampah, dan pedagang kaki lima merupakan

penyumbang sampah terbesar. Sebaliknya pedagang kaki lima ini memberikan

sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

2. Bentuk Politik Pemberdayaan Bagi Pedagang Kaki Lima Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah Dalam Upaya Mengatasi Pengangguran Di Kota Makassar

Kehadiran PKL di suatu kota pada dasarnya tidak direncanakan sehingga

memunculkan permasalahan bagi suatu kota karena tidak tertata dengan rapi. Untuk

mengembalikan ketertiban suatu kota muncul gagasan relokasi. Relokasi yaitu suatu

upaya menempatkan kembali suatu kegiatan tertentu ke lahan yang sesuai dengan

peruntukannya (Harianto, 2001).

Ramdhani (2005) menerangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam

penentuan lokasi relokasi PKL, yaitu:

1. Kestrategisan lokasi, yaitu konsumen mudah menjangkau lokasi usaha PKL karena adanya aksesibilitas yang mendukung.

2. Faktor visual, memberikan kesan harmonis dan asri sehingga mudah menarik minat konsumen.

3. Hirarki pembangunan, jangkauan pelayanan yang efektif dan efisien. 4. Sewa atau penjualan tanah/ kios yang murah sehingga tidak memberatkan

pedagang.

Apriyanto (2003) memberikan tambahan bahwa lokasi untuk relokasi PKL :

1. Memperhatikan faktor lokasi dan permintaan barang. 2. Mempunyai akses masuk kedalam pasar yang memadai, minimal 2 jalan untuk

akses masuk dan akses keluar. 3. Dekat dengan terminal atau stasiun kereta sehingga memudahkan pergerakan

konsumen dan pedagang. 4. Prasarana dan sarana pendukung yang memadai seperti; drainase, listrik, gas,

air bersih dan tempat pembuangan sampah (TPS).

Dapat disimpulkan relokasi adalah usaha memindahkan PKL dari lokasi yang

tidak sesuai ke sebuah lokasi yang dinilai layak menampung pedagang dengan

memperhatikan semua aspek. Khususnya aspek ketertiban, keindahan dan

kebersihan. Meski kehadirannya dianggap melanggar, para PKL dikenakan retribusi

15

yang menyebabkan mereka merasa dilegalisasi sehingga pertumbuhan perdagangan

menjadi pesat (Perwira:2004). Dalam pelaksanaannya, umumnya PKL tidak

mendapatkan subsidi apapun dari pemerintah, modal yang dikeluarkan diperoleh

dari meminjam sanak family atau orang-orang terdekat.

Pemerintah memandang sektor informal hanya sebagai ancaman yang harus

ditertibkan bukan sebagai sektor penggerak ekonomi, maka terjadi kesalahan presepsi

dalam memandang sektor informal (Mubyarto, 2004), sehingga pendekatkan yang

diterapkan pun tidak menyentuh akar permasalahan. Untuk itu diperlukan dukungan

pemerintah dalam pertumbuhan sektor informal, dengan cara menjamin serta

mengatur perkembangan mekanisme pasar dan melindungi dari ancaman monopoli

perusahaan besar yang bersifat formal. Oleh karena itu, pemerintah

mempertimbangkan lagi keberadaan sektor informal, jika keberadaan sektor informal

mampu diberdayakan dengan baik, bisa menjadi potensi daerah dalam mengurangi

angka pengangguran.

B. Politik Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Semarang

1. Urgensi Perluya Politik Pemberdayaan Bagi Pedagang Kaki Lima Dalam Upaya Mengatasi Pengangguran Di Kota Semarang

Usaha informal yang sering disebut juga pedagang kaki lima disamping

memberi manfaat dapat menyerap tenaga kerja yang merupakan ujung tombak

pemasaran dari hasil industri yang besar maupun kecil, selain itu juga memberkan

kontribusi pada pendapatan asli daerah Kota Semarang. Di samping itu keberadaan

pedagang kaki lima juga membawa dampak pada lingkungan perkotaan seperti

kemacetan lalu lintas, drainase kota, ketidaktertiban, ketidaknyamanan,

ketidakindahan, maupun bisa juga ketidakamanan. Oleh karena itu apabila pedagang

kaki lima tidak dikelola secara baik dengan lingkungannya, pasti akan menimbulkan

kekumuhan kota Semarang.

Pedagang kaki lima ada kecenderungan tumbuh, berkembang karena mudah

dalam melakukan aktivitas usahanya serta terjangkau dengan kemampuan diri tanpa

memerlukan pendidikan formil yang tinggi. Dalam perkembangan PKL tumbuh

16

pesat di pusat-pusat kota. Apalagi semenjak krisis ekonomi melanda, profesi sebagai

PKL ini semakin diminati. Hal ini dipertegas dengan mudah ditemuinya konsentrasi-

konsentrasi PKL di pinggir-pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan hingga

mengarah ruang publik, yang sebenarnya tidak ditujukan sebagai tempat untuk

berjualan. Berbagai variasi komoditas yang mereka jual, mulai dari makanan,

minuman, rokok dan masih banyak lagi. Berbondong-bondong arus penduduk yang

bermigrasi ke kawasan perkotaan sebenarnya mengindikasikan adanya masalah besar

yang laten. Sektor pertanian yang tidak bisa menghidupi petaninya disebabkan oleh

rusaknya ekosistem pertanian dan ketidakadilan pasar yang ditujukan kepada pertani.

Bila hal ini terus terjadi maka banyak para penduduk desa yang berpindah ke kota.

Ada yang bekerja di kota sebagai buruh pabrik, tukang becak, dan yang paling mudah

dan banyak dijumpai adalah pedagang kaki lima

Sejak bergulirnya reformasi yang menginginkan adanya otonomi daerah,

penanganan dan wewenang pengaturan berbagai sektor kehidupan diserahkan

sepenuhnya kepada pemerintah daerah masing-masing. Perubahan ini berimbas pula

pada perubahan pola penanganan dan pengaturan yang sebelumnya sentralistik dari

pemerintah pusat, dan sekarang menjadi wewenang pemerintah daerah untuk

mengaturnya. Pemerintah daerah pun kemudian membuat peraturan-peraturan

daerah yang kebijakannya mungkin berbeda dengan kebijakan yang diterapkan

pemerintahan pusat sebelumnya. Dalam menangani sektor informal, khususnya PKL,

dibuat peraturan daerah No. 11 tahun 2000 yang memuat ketentuan-ketentuan PKL,

serta wewenang pengaturan PKL yang sepenuhnya berada di tangan walikota.

Dengan kewenangan penuh ini, walikota kemudian memberikan ketentuan-ketentuan

susulan yang berbentuk surat keputusan Walikota.

2. Bentuk Politik Pemberdayaan Bagi Pedagang Kaki Lima Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah Dalam Upaya Mengatasi Pengangguran Di Kota Semarang

Imbas otonomi yang meniscayakan kewenangan yang lebih luas kepada

daerah untuk mengatur dirinya ialah perubahan struktur dan pola penanganan aset

daerah. Hal ini juga yang terjadi terhadap pengelolaan Pedagang Kaki Lima yang

17

sebelumnya ditangani secara langsung oleh Unit Pengelola Daerah PKL (UPD PKL).

Dinas Pasar dan kemudian ditangani oleh kelurahan atau disebut dengan sistem

breakdown berpengaruh besar terhadap pengelolaan Pedagang Kaki Lima.

Perubahan ini terutama terkonsentrasi pada perubahan pola pengelolaannya.

Pengelolaan pedagang kaki lima yang pada awalnya ditangani oleh Dinas Pasar (UPD

PPKL). Dalam pelaksanaan kerja di lapangan UPD PPKL bekerjasama dengan

Persatuan Pedagang dan Jasa (PPJ) untuk mengurus proses rekornendasi ijin

membuka lapak, pendataan serta pengawasan PKL setempat. Sementara setelah ada

breakdown, pola pengelolaan PKL yang dilakukan oleh kelurahan dan kecamatan

berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Ada yang masih menggunakan bantuan paguyuban dalam penanganan dan

pengawasan Pedagang Kaki Lima, namun banyak pula yang tak mengindahkan

adanya paguyuban Pedagang Kaki Lima. Mereka secara langsung menangani

Pedagang Kaki Lima dengan petugas kelurahan tersendiri walaupun tidak semua

kelurahan mengkhususkan dengan adanya petugas khusus dan hanya ditangani oleh

Kasi Umum. Sedangkan kecamatan lebih pada melakukan monitoring pelaksanaan

pengelolaan oleh kelurahan karena tugas utama kecamatan adalah memberikan ijin

kepada Pedagang Kaki. Lima. Dengan sistem breakdown pengelolaan PKL, ternyata

tidak langsung menghilangkan UPD PPKL yang dahulu metakukan pengelolaan dan

pembinaan terhadap seluruh hal, yang berkaitan dengan PKL.

Lembaga yang merupakan sub unit Dinas Pasar ini berubah namanya menjadi

UP PKL dengan wewenang yang sangat terbatas dan tidak jelas sebab tugas

pokoknya hanya menerima salinan penyetoran retribusi. Sedangkan pengelolaan dan

pendataan serta pembinaan sudah dikelola oleh kelurahan dan kecamatan. Sehingga

tugas UP PKL hanya melakukan koordinasi saja. Ini pun kadang koordinasinya.tidak

efektif karena antara kelurahan, Kecamatan, dengan UP PKL bukan Satu garis

struktur pemerintahan. Namun yang ironis adalah UP PKL tetap menjadi mitra

utamavlegislatif dalam menyusun anggaran dan kebijakan PKL walaupun mereka

tahu bahwa UP PKLvtidak punya kekuatan apa-apa di tingkat kebijakan grasroot

karena sudah menjadi wilayahnya Kelurahan dan Kecamatan.

18

Perbedaan ini yang kemudian mengesankan tidak adanya kejelasan struktur

pengelolaan PKL. Atau bahkan jika ditarik lebih lanjut, perbedaan ini mencerminkan

ketidakseriusan Pemerintah Kota dalam mengelola Pedagang Kaki Lima. Padahal

tugas pengelola PKL tidak hanya berupa pendataan dan penarikan retribusi, namun

lebih jauh adalah pembinaan dan pengawasan.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemerintah menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat

kebijakan yang tepat untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima (PKL).

Pemerintah dalam beberapa hal ini belum mampu menemukan solusi untuk

menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus

efektif.

Upaya pemerintah dalam penertiban dan pembinaan PKL di Kecamatan

Rappocini Kota Makassar masih belum sepenuhnya. Hal ini terlihat dari banyaknya

PKL yang masih berjualan di emperan toko Jalan Raya dan tempat umum yang

lainnya. Saran Penulis menyadari bahwa pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima

di Kota Makassar merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan oleh karena itu

diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan dan menyentuh seluruh aspek yang terkait,

bukan hanya itu saja dalam mewujudkan makassar sebagai kota dunia maka tindakan

tegas juga perlu dilakukan dalam penataan kota yang tentunya harus disesuaikan

dengan peraturan yang berlaku serta kebijakan yang inovatif dalam mencari “win-win

solution” sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan.

Sementara itu di Kota Semarang, pemberdayaan melalui program relokasi

dilakukan dengan memindahkan PKL Citarum dan Kartini ke Pasar Waru. Dalam

pelaksanaan relokasi PKL ini cenderung tidak berjalan secara optimal karena para

pedagang menolak untuk direlokasi. Mereka menganggap Pasar Waru sebagai lokasi

aktivitas baru tidak representatif karena tidak terjangkau oleh angkutan umum. Jika

lokasi yang baru tidak lebih baik maka para PKL cenderung akan kembali ke lokasi

semula. Sedangkan pemberdayaan melalui program penataan sarana aktivitas telah

19

dilaksanakan di Kawasan Simpang Lima. Pemerintah Kota Semarang melaksanakan

penataan ini dengan cara membangun shelter permanen untuk mengganti tenda semi

permanen dan gerobak milik PKL. Selain itu pemerintah juga berusaha untuk

mengatur aktivitas PKL dengan cara menetapkan waktu berjualan. Hal ini dapat

terlihat bahwa sebagian besar pedagang memulai aktivitasnya pada sore hingga pagi

hari, sedangkan selebihnya digunakan sebagai pedestrian. Melihat tidak adanya

perubahan lokasi aktivitas PKL tidak lantas bisa dikatakan bahwa implementasi

penertiban ini berhasil. Hal ini disebabkan karena setelah ditata pedagang justru

mengatakan bahwa pendapatanya cenderung menurun.

Saran

Rekomendasi untuk mempertahankan dan meningkatkan faktor-faktor yang

menyebabkan cukup berhasil dan berhasilnya politik pemberdayaan bagi PKL, yaitu:

1. Penggunaan waktu aktivitas secara maksimal jika tidak ada pembatasan waktu

aktivitas. Serta Meningkatkan ketaatan terhadap waktu aktivitas yang telah

ditetapkan mengingat adanya pembagian fungsi ruang aktivitas.

2. Menjalin hubungan yang baik dengan pembeli dan menerapkan sistem

pembelian barang atau jasa servis via panggilan.

3. Meningkatkan kesadaran akan kebersihan dengan mengintensifkan kegiatan

kerja bakti dan penerapan sistem jadwal piket pada setiap kelompok dalam

paguyuban.

4. Meningkatkan kesadaran akan keamanan lokasi aktivitas dengan penerapan

piket jaga pada setiap kelompok dalam paguyuban.

5. Meningkatkan intensitas dan kapasitas pertemuan paguyuban sebagai modal

sosial yang dimiliki pedagang.

6. Menjalin relasi yang baik dengan pemerintah sebagai mitra dalam

pengembangan lokasi aktivitas dan segala program yang terkait di dalamnya.

7. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar pedagang dan pemerintah

agar setiap program yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan pedagang.

20

Selain saran untuk pedagang tersebit di atas, maka peneliti juga memberikan

saran dan masukan bagi Pemerintah Kota Makassar dan Kota Semarang, yaitu:

1. Melakukan analisis kebutuhan ruang aktivitas pedagang di atas lahan yang

cenderung terbatas.

2. Pemantauan rutin baik untuk mengawasi waktu aktivitas maupun kondisi fisik

pedagang sebagai salah satu bentuk pengelolaan pemerintah.

3. Menjalin relasi dengan perbankan atau koperasi sebagai pintu bagi pedagang

untuk memperoleh modal usaha.

4. Penetapan dan penerapan sanksi yang tegas bagi pedagang yang melanggar

peraturan. Melakukan pemberitahuan publik baik melalui media cetak, media

elektronik ata umedia sosial sebagai upaya untuk memberitahu informasi

mengenai relokasi PKL.

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan. Robert C. & Biklen Sari Knopp. (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc

Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Creswell, John W. (1994). Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. California : SAGE Publications, Inc.

Hanifah, Ummi dan Mussadun. (2014). Penilaian Tingkat Keberhasilan Relokasi PKL di Kawasan Pasar Waru dan Simpang Lima, Semarang. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 25, No. 3, hlm. 228-242.

Merkl, Peter H. (1967). Continuity and Change. New York: Harper and Row

Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1984). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. California; SAGE publications Inc.

Muhadjir, Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Pranarka, A.M.W. dan Vidyandika Moeljarto. (1996). Pemberdayaan (Empowerment), Penyunting : Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka, Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS

Soetomo. (1995). Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

21

Subejo dan Supriyanto. (2004). Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, Bahan Kuliah: Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Suhendra, K. (2006). Peran Birokrasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta

Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


Top Related