SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
111
Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat
Fauziah Khairani
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
E-mail: [email protected]
Abstract
Polemik permasalahan perkawinan di Indonesia hingga saat ini tak kunjung selesai menemukan titik terang penyelesaian.
Banyak permasalahan-permasalahan yang penyelesaiannya tidak memperhatikan hak-hak dari berbagai pihak. Setelah terjadinya perkawinan kedua yang dilakukan secara diam-diam, tidak memberikan rasa perlindungan bagi isteri ataupun
anak. Perkawinan tidak tercatat yang terjadi di negara ini menjadi permasalahan yang tiada henti-hentinya untuk
terselesaikan. Azas monogami yang dianut di negara ini menjadikan perkawinan tidak tercatat merupakan solusi bagi oknum-
oknum yang ingin melangsungkan perkawinan kedua dan seterusnya kepada perempuan lain seperti solusi yang praktis dalam pelaksanaannya. Sehingga permasalahan perkawinan tidak tercatat hingga saat ini tak kunjung menemukan solusi.
Pasal 279 KUHP tentang Perkawinan yang Terhalang sebagai landasan hukum untuk menjerat oknum yang melangsungkan
perkawinan lebih dari sekali.Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan perbandingan (comparative approach)yang diambil dari data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Alat pengumpul data adalah berupa studi
dokumen dan penelusuran studi kepustakaan. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah Teori keadilan berdasarkan
Pancasila, Teori Penegakan Hukum, dan Teori Perlindungan Hukum.Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur akibat hukum terhadap perkawinan yang dilangsungkan dan tercatat pada lembaga pencatatan perkawinan yang berwenang. Perkawinan yang tidak tercatat sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan dianggap tidak pernah ada dan tidak diakui dihadapan hukum. Hal tersebut berdampak terhadap proses
penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi isteri dalam perkawinan tidak tercatat. Isteri tidak akan mendapatkan
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum ketika terjadi sengketa dikemudian hari
Kata Kunci:
Penegakan Hukum, Perkawinan Tidak Tercatat
How to cite:
Khairani, F.,(2020), “Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang
Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat. Vol 1(2),111-123.
A. Pendahuluan
Islam meletakkan cinta dan hawa nafsu dalam kemuliaan. Kemuliaan berarti kendali
terhadapnya yang dipenuhi rasionalitas, kemanfaatan, jiwa pelestarian, pembangunan, dan
kematangan. Maka Islam mengahadirkan, bahkan sangat menganjurkan sebuah solusi bagi cinta dan
syahwat itu perkawinan. Sebuah ikatan yang menghalakan hal yang haram.
Allah Swt berfirman dalam Q.S Ar-Rum: 21 yang berbunyi:
ل ن رزو ل ل ل ل م ل ك ل لت ل ل كذل لك إكنرت مل حم رل درةنل ل مل ومم منل لبل عل جل تنل مهل اإكلل ونو اجتلكلسم نل لسم أ ومم لنموسك أ نم مك ومم ل ل ل لنمخل أ نمآلتكهك ك نل
Perkawinan merupakan solusi terbaik terhadap manusia. Bentuk penghromatan negara untuk
warga negaranya terutama bagi kaum wanita dengan disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perkawinan.
Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bertujuan untuk mengatur
hubungan antara suami-isteri yang timbul akibat perkawinan, melindungi setiap hak-hak antara suami-
isteri, memerintahkan untuk melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban suami-isteri agar perkawinan
yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat dirasakan oleh pasangan suami-isteri. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
tentang Perkawinan menyebutkan bahwasannya “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara laki-
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
112
laki dan perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” (Syarifuddin, Amir, 2006: 40).
Rumusan mengenai sahnya perkawinan dan pencataan perkawinan disebutkan dalam satu
pasal pada Pasal 2 Undang-undang Perkawinan 1974, sebagai berikut: (Syahuri, Taufiqurrahman,
2013: 166)
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila perkawinan orang-orang yang menganut suatu agama sudah dilakukan menurut
ketentuan hukum agamanya, maka berdasarkan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan 1974,
perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaannya selain agama
Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Sedangkan bagi orang-
orang yang beragama Islam, pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-undang
menegaskan syarat sah perkawinan di negara Indonesia tidak hanya sah menurut hukum agama saja,
namun juga harus sah menurut peraturan perundang-undangan dengan tercatatkan berdasarkan kutipan
akta perkawinan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Namun pada kenyataannya banyak
terjadi di masyarakat perkawinan yang tidak tercatat dengan alasan-alasan masing-masing pihak.
Masalah pencatatan perkawinan di negara ini tak kunjung usai. Berbagai pandangan masayarakat yang
berbeda, keadaan sosial, perbedaan kebudayaan, atau untuk menutupi status perkawinan kedua dan
seterusnya menjadi alasan yang baku bagi masyarakat untuk tidak mencatatkan perkawinannya.
Polemik permasalahan perkawinan di Indonesia hingga saat ini tak kunjung selesai
menemukan titik terang penyelesaian signifikan. Banyak permasalahan-permasalahan yang
penyelesaiannya tidak mementingkan kepentingan dari berbagai pihak. Setelah terjadinya perkawinan
kedua yang dilakukan secara diam-diam, tidak memberikan rasa perlindungan bagi isteri ataupun
anak. Pasal 279 Bab XIII Kitab Undnag-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Asal-usul
Perkawinan banyak menjerat para pelaku yang melakukan perkawinan kedua padahal seseorang
tersebut terikat dengan perkawinan yang sah.. Pasal tersebut digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan seorang suami yang melangsungkan perkawinan lagi dengan perempuan lain.
Permasalahan nikah tidak tercatat, nikah dibawah tangan dan nikah sirih, sampai sekarang belum
diatur secara lebih jelas didalam Aturan Perundang-undangan. Larangan beristeri lebih dari satu
dinegara Indonesia yang menganut azas monogami banyak membuat para lelaki menempuh jalan
dengan menikahi perempuan lainya dan dijadikan sebagai isteri dengan tidak mencatatkan status
perkawinannya kepada negara. Pelaku perkawinan yang tidak tercatat dapat didakwa dengan
berdasarkan unsur-unsur Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sedangkan perkawinan
bukanlah merupakan kejahatan. Perkawinan perbuatan baik yang merupakan perintah Agama.
Kepastian dan keadilan bagi isteri kedua yang menjadi korban terhadap perkawinan yang tidak
tercatat masih menjadi pertanyaan yang belum bisa terjawab, Sudahseharusnya hukum dapat menjadi
perisai untuk melindungi rakyat. Ada kasus menarik tentang perkawinan tidak tercatat yang dilakukan
oleh oknum anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Berdasarkan Putusan Nomor 16-
K/PMT.III/AD/VIII/2012 dan Putusan Nomor 68 K/MII/2015 Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara masing-masing tersebut menjatuhi hukuman yang berbeda pada jenis perkara yang
sama. Kronologis kasus Putusan Nomor 68/K/MIL/2015 atas nama Junaidi (terdakwa) bekerja sebagai
anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) telah menikah dengan isterinya yang
bernama Minarti (saksi-1) pada tanggal 14 Oktober 1997 dan memiliki seorang putri. Pada bulan
Januari tahun 2006 Junaidi melangsungkan perkawinan dibawah tangan/nikah siri dengan saudari Desi
Lailawati,(saksi-1I) dari perkawinan keduanya Junaidi dikaruniai seorang anak laki-laki bernama
Yusuf Alandra. Pada bulan November 2006 Saudari Minarti (Saksi-1) mendapat surat dari Saudara
Junaidi tertanggal 30 Oktober 2006 yang isinya meminta Saudari Minarti datang ke Baturaja untuk
menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka. Sehingga pada awal Januari tahun 2007 Saksi-1
datang ke Baturaja bersama orang tua saksi-1 bernama Sdr. Supardi dan anak terdakwa bernama
Anggun Jumira langsung ke Kodim 0403/OKU, namun saksi-1 terkejut bukanya menyelesaikan
masalah rumah tangga, tetapi saksi-1 diberitahukan oleh anggota Unit Intel Kodim 0403/OKU bahwa
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
113
terdakwa menikah lagi. Setelah dimintai keterangan dan membuat perjanjian pernyataan bahwa
terdakwa bersedia melepaskan isteri keduanya yaitu saksi-1I, namun terdakwa tidak menceraikan
saksi-1I dan tahun 2009 terdakwa dikarunia anak perempuan lagi yang bernama Tasya Aprilia Binti
Junaidi. Berdasarkan koronologis kasus tersebut hakim menjatuhi hukuman bahwasanya terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana melanggar ketentuan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada putusan Nomor 16K/PMT.III/AD//VIII/2012 atas nama Sengke (terdakwa),
kronologisnya sebagai berikut: bahwa terdakwa adalah anggota Tentara Nasional Indonesia menikah
dengan Sdri. Dra. Zulpia (saksi-1) pada tanggal 17 Januari 1988 sesuai dengan akta nikah yang
dikeluarkan oleh KUA Kec. Bonawa Nomor 29/29/I/1988 tanggal 18 Januari 1988 dan telah
dikaruniai 3 (tiga) orang putri. Pada bulan April 2011 terdakwa berkenalan dengan Sdri. Rosdiana
S.Pd (saksi-1I) dan mereka pun akhirnya melangsungkan perkawinan dibawah tangan.pada tanggal 13
Mei 2011. Perkawinan tersebut diketahui oleh isteri pertamanya sdri. Dra Zulpia berdasarkan
informasi yang diperoleh dari Ibu Persit Bekangdam VII/Wrb, dan mengetahui tanggal perkawinan
dari Kaurpam Bekangdam VII/Wrb pada tanggal 13 Mei 2011. Saksi-1 mengetahui bahwa terdakwa
dan isteri keduanya yang bernama sdri. Rosdiana S.Pd, telah bercerai berdasarkan surat pernyataan
yang dibuat oleh terdakwa dan saksi-1I. Bahwa berdasarkan kronologis kejadian perkara, bukti-bukti
dan saksi-saksi yang diperiksa di dalam persidangan majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan terdakwa dibebaskan dari
segala tuntutan. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditari pokok permasalahan yaitu:
1. Bagaimana akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat ?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap oknum anggota tentara nasional indonesia angkatan
darat yang melangsungkan perkawinan tidak tercatat?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap isteri dari oknum anggota Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat yang melangsungkan perkawinan tidak tercatat ? C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat
2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap oknum anggota tentara nasional indonesia
angkatan darat yang melangsungkan perkawinan tidak tercatat
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap isteri dari oknum anggota Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat yang melakukan perkawinan tidak tercatat
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan, yang terdiri atas penelitian
hukum normatif (yuridis normatif), dan penelitian hukum sosiologis (yuridis empirs). Penelitian
hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan
informasi dari berbagai aspek dan mengenai isu yang sedang dicoba dicari. Penelitian ini bersifat
yuridis normatif (legal research). Penelitian ini disebut juga penelitian doktrin yang memakai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum serta pendapat para sarjana dan ahli
hukum sebagai alat analisa.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah adalah dengan melakukan pendekatan hasil kajian empiris teoritik dengan
melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perkawinan yang tidak di catat.
E. Pembahasan
1. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Tercatat
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mana
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
114
pencatatan perkawinan dilakukan apabila sudah melaksanakan perkawinan sah secara agama.
Lembaga catatan sipil dibentuk dengan tujuan untuk mencatat secara lengkap dan jelas-jelas suatu
peristiwa hukum, sehingga memberikan kepastian hukum mengenai semua kejadian seperti: (1)
kelahiran; (2) pengakuan terhadap kelahiran; (3) perkawinan/perceraian; (4) kematian; dan (5) izin
kawin. Pencatatan sangat penting untuk diri maupun untuk orang lain, oleh karena dengan pencatatan
orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan suatu kejadian. Pada tahun 1966 telah
dikeluarkan Intruksri Presidium Kabinet No. 31/U/In/12/1966 yang antara lain mengintruksikan
kepada Menteri Kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan
penggolongan penduduk Indonesia.
Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S. (Indische Staatsregeling) pada kantor Catatan Sipil
melayani seluruh penduduk Indonesia dan hanya ditentukan antara Warga Negara Indonesia dan orang
asing (Tjokrowisastro, Soedjito, 2017: 217). Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud, akan
diuraikan satu per satu berikut ini:
a. Kantor catatan Sipil
Kantor catatan sipil (Bugerlijk Stand) yang saat ini di daerah populer dengan sebutan
Dinas Kependudukan dan catatan Sipil adalah lembaga pencatatan nikah untuk
perkawinan bagi yang tunduk kepada:
1) Staatsblad 1933 Nomor 75 jo. Staatsblad nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan
Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dan Ambonia.
2) Staatsblad 1847 No. 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut Staatsblad1849
No. 25 tentang Catatan Sipil Eropa.
3) Staatsblad 1917 Nomor 129 Pencatatan Perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan
Staatsblad 1917 No.130 jo. Staatsblad 1919 No. 81 tentang Peraturan Pencatatn Sipil
Campuran.
4) Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1904
No. 279.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang Kristen di Sumatera,
Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Timur, sebagaimana di Sulawesi, Maluku , dan Irian Jaya
yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin diatas, pencatatan perkawinan bagi
mereka ini dilaksanakan di kantor catatan sipil.adapun tata cara pencatatan perkawinan pada dasarnya
dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Mengenai ketentuan khusus yang menyangkut tata cara pencatatan perkawinan yang diatur dalam
berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi peraturan pemerintah. Setelah dipenuhinya tata cara
dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ada halangan perkawinan, maka pegawai pencatat nikah
segera menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatat
perkawinan pada tempat yang ditentukan dan mudah dibaca oleh umum atau masyarakat.
Selain penjelasan diatas dalam buku mengenai pendoman penyelenggaraan catatan sipil
menjelaskan, apabila seorang kehendak melangsungkan perkawinan maka ia harus:
a. Memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinannya kepada pegawai pencatat
perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975)
b. Yang dimaksud dengan pejabat khusus adalah seorang pemuka agama yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang.
c. Pemberitahuan dilakukan dengan cara lisan atau tertulis, lisan yaitu apabila datang sendiri ke
kantor pencatat dan dalam hal pemberitahuan secara lisan tidak mungkin, maka dilakukan
secara tertulis sesuai ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.
d. Setelah dilakukan pemberitahuan, maka pegawai pencatat sipil/pejabat khusus membeikan dua
macam formulir, yaitu formulir model 1 (satu) \ dan formulir model 2 (dua). Kedua formulir
dapat diisi di kantor pencatat perkawinan atau di isi di rumah.
e. Dalam hal pemberitahuan tidak dilakukan oleh calon mempelai dan formulir model 1akan
diisi oleh orang yang melakukan pemberitahuan tersebut yang bertindak atas nama kedua
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
115
calon mempelai. Untuk hal itu pegawai pencatat sipil/pejabat khusus harus mengetahui adanya
surat persetujuan tertulis dari calon mempelai dimaksud.
f. Formulir model 2 (dua) seperti dimaksud dalam poin di atas adalah formulir pencatatan
perkawinan yang sekurang-kurangnya harus ditangani oleh salah seorang calon mempelai.
Lampiran yang diperlukan seperti ditentukan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yaitu;
a. Akta kelahiran bagi mereka yang mempunyai atau bagi mereka yang pada waktu lahiran
telah diberlakukan peraturan pencatatan sipil. Bagi Warga Negara Indonesia yang asli
tidak mempunyai akta kelahiran dapat menggunakan surat kenal lahir atau surat lahir atau
surat keterangann dari kepala desa yang menyatakan tentang umur dan asal usul mempelai
b. Bagi mereka dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) supaya
melampirkan surat izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab
c. Apabila ada calon mempelai yang pernah kawin supaya melampirkan akta kematian atau
akta perceraian. Dan mereka masih dalam ikatan perkawinan melampirkan izin dari
pengadilan
d. Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ada izin orangtua/wali orang
yang memelihara/anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan keatas atau izin dari pengadilan. Mengenai izin orangtua, wali seperti dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Perkawinan dalam formulir model 4
(empat) sudah disediakan tempat untuk tanda tangan orang tua yang memberi izin apabila
ia datang hadir pada waktu perkawinan dilangsungkan, akta izin untuk perkawinan ini
dibuat oleh orang yang akan memberi izin di kantor catatan sipil dari tempat kediamannya
yang kemudian kutipan dari akta tersebut disampaikan kepada pegawai pencatat sipil di
kantor pencatatan sipil di mana perkawinan akan dilangsungkan
e. Bagi salah seorang atau kedua mempelai yang tidak dapat hadir karena suatu alasan
supaya melampirkan surat kuasa autentik atau surat di bawah tangan yang disahkan oleh
pegawai pencatat sipil
f. Bagi calon mempelai yang mengadakan perjanjian perkawinan supaya melampirkan suatu
perjanjian
g. Dispensasi pengadilan sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan
h. Apabila calon mempelai yang harus menandatangani formulir model 2 (dua) itu buta
huruf, maka ia dapat membubuhi cap jempol kiri yang dilakukan di hadapan pegawai
pencatat sipil/pejabat khusus
i. Setelah formulis diteliti berikut lampiran-lampiran, pegawai pencatat sipil/pejabat khusus
mencatat/menulis ke dalam daftar model 3 (tiga) dalam rangkap 2 (dua), satu helai untuk
dilampirkan ke dalam daftar akta perkawinan dan satu helai lagi untuk diumumkan daftar
ditandatangani oleh pencatat sipil (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor.9 tahun 1975)
j. Kalau para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan berbeda tempat
kediamannya, maka pengumuman dilakukan di kantor dimana perkawinan dilangsungkan
dan juga dikantor pencatat sipil dari tempat kediaman calon mempelai yang lainnya.
k. Apabila tidak ada sanggahan terhadap pengumuman, maka pegawai pencatat sipil
mengutip formulir untuk pencatatan perkawinan yang telah diisi ke dalam daftar akta
perkawinan dalam jangka beberapa hari sebelum perkawinan dilangsugkan. Surat-surat
keterangan yang dilampirkan pada formulir untuk pencatatan perkawinan supaya
disebutkan pada daftar akta perkawinan
l. Daftar akta perkawinan harus ditandatangani oleh para mempelai, orangtua, para saksi dan
pegawai pencatat sipil/pejabat khusus
m. Kepala mempelai diberikan kutipan akta perkawinan, model nomor 5 (lima) sesaat
sesudah perkawinan dilangsungkan (Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor.9
tahun 1975 tentang pelaksanaan Undan-undang Perkawinan)
n. Bagi mempelai yang belum mempunyai peraturan pencatatan sipil/perkawinan, agar
pengisian Staatsblad formulir model 4 (empat) dan 5 (lima) tidak diisi. Kalau perkawinan
dilangsungkan di hadapan pejabat khusus, akta perkawinan ditandatangani oleh pejabat
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
116
khusus/pegawai pencatat sipil, sedangkan kutipan akta perkawinan tersebut hanya
diberikan dan ditandatangani oleh pegawai pencatat sipil
o. Dalam hal mengeluarkan kutipan akta perkawinan (formulir model Nomor 5 (lima)),
maka di bawah perkataan “pencatatan sipil” di mana harus diisi dengan kewarganegaraan
mempelai, maka supaya disebutkan negara dari mempeli pria. Apabila pihak mempelai
pria tidak mempunyai kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan, maka disebutkan
dengan “tanpa kewarganegaraan”
Akibat perkawinan tidak tercatat suami-isteri tidak akan memiliki akta kutipan nikah sebagai
bukti bahwa telah terjadi perkawinan sehingga kewajiban-kewajiban serta hak-hak yang seharusnya
terlaksana dan terlindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dapat dilakukan
dengan semestinya. Apabila terjadi suatu permasalahan hukum dikemudian hari pihak isteri tidak
dapat menuntut hak-hak atas anak (apabila memiliki anak dari hasil perkawinan yang tidak tercatat
tersebut). Anak tidak memiliki akta kelahiran sebagai penjelas status hukum. Isteri dan anak akan sulit
ketika akan mengurus dokumen-dokumen penting lainnya. Padahal Pancasila sebagai dasar negara
bertujuan memberikan rasa keadilan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang status
dari seseorang tersebut. Ketika ada pihak yang masih dirugikan dan menjadi korban atas suatu
peristiwa hukum (dalam hal ini perkawian yang tidak tercatat) maka sebenarnya keadilan belum
merata dirasakan. Lebih jauh lagi, keadilan dan perlindungan hukum bagi kaum perempuan (isteri)
tidak akan terwujud sesuai dengan cita-cita hukum terbentuknya Undang-undang Perkawinan tersebut.
Perkawinan tidak tercatat sering dikaitkan masyarakat dengan perkawinan sirri. Masyrakat
pada umumnya menyamaratakan antara perkawinan sirri dengan perkawinan tidak tercatat. Padahal
perkawinan tidak tercatat dengan perkawinan sirri merupakan dua perbuatan yang sama sekali tidak
sama. kedua perkawinan tersebut sangatlah berbeda. Hal tersebut terlihat dari rukun nikah didalam
perkawinan sirri dan perkawinan tidak tercatat. Perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang
memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan Hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum dicatatkan
di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
2006 tetang Administrasi Kependudukan.Istilah tidak dicatat tidak sama dengan istilah tidak
dicatatkan. Kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah perkawinan tidak
dicatat bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur dengan sengaja yang mengiringi
iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah perkawinan tidak
dicattakan terkandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya
memang dengan sengaja tidak dicatatkan. Perkawinan tidak dicatat adalah berbeda dengan nikah sirri,
karena yang dimaksud dengan perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan
syarat berdasarkan hukum Islam.
Menurut Undang-undang yang sah secara syar’i maka sah pula menurut peraturan perundang-
undangan. Perkawinan tidak dicatat adalah sah menurut peraturan perundang-undangan karena sesuai
dengan Hukum Perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Juncto Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.Nikah sirii yaitu perkawinan
tanpa wali dan tanpa saksi, dengan maskwawin. Menurut Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam rahimahullah
mengatakan bahwa laki-laki yang menikahi perempuan tanpa wali dan tanpa saksi-saksi serta
merahasiakannya menurut kesepakatan para Imam, perkawinan itu bathil.Perkawinan tidak dicatat
bukan merupakan perkawinan sirri, sebab kedua perkawinan tersebut merupakan perbuatan yang
berbeda. Perkawinan tidak dicatat adalah perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 namun belum dicatatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(2) tersebut. Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak
dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan
Pejabat Pencatat Nikah, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kkeuatan hukum karena
tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Taherong, 66). Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang, karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum
perkawinan bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan illegal. Pasal 5 Kompilasi Hukum
islam terdapat implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan, tetapi
sebagai alat bukti untuk menciptakan ketertiban dalam perkawinan.
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
117
Menurut Prof. Dr. Bagir Manan, dalam memahami status hukum perkawinan antar orang
Islam di Indonesia harus diketahui terlebih dahulu asas legalitas (legality, baginsel) yang mendasari
keberlakuan hukum perkawinan bagi orang Islam di Indonesia. Asas legalitas (legality, baginsel)
berarti setiap perbuatan (tindakan hukum) harus atau wajib mempunyai dasar hukum tertentu yang
telah ada sebelum perbuatan hukum itu dilakukan.
Apabila perkawinan tidak tercatat maka hak-hak masing-masing pihak tidak akan terlindungi.
Akta nikah tersebut dapat dipergunakan di pengadilan sebagai bukti autentik. Perlindungan dan
kepastian hukum dapat dirasakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan. Berbeda pula
dengan pihak yang melangsungkan perkawinan tidak tercatat, tidak ada perlindungan hukum dan
kepastian hukum yang dirasakan. Perlunya mencatatkan perkawinan agar negara dapat menjalankan
fungsinya melindungi warga negaranya. Pencatatan perkawinan berdasarkan peraturan perundang-
undangan memiliki manfaat besar untuk kemashlahatan setiap warga negara. Aturan pencatatan
perkawinan bukan hanya untuk kepentingan tertib administrasi saja, namun lebih dari itu. Setiap
perkawinan yang tercatat akan dilindungi oleh negara sebagai pengayom masyarakat, melalui aparat
penegak hukum negara dapat menjalankan fungsinya dengan semestinya. Tujuan hukum yang diidam-
idamkan akan terwujud. Setiap warga negara akan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.
2. Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat
Dalam struktur kenegaraan modern, tugas penegakan hukum dijalankan oleh komponen
eksklusif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga
birokrasi penegakan hukum. Sejak negara mencampuri banyak bidang kegiatan pelayanan dalm
masyarakat, maka memang campur tangan hukum juga makin intensif. Tipe negara yang demikian
dikenal sebagai welfare state. Penegakan hukum yang bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan
masyarakat yang kondusif dan dinamis tidak dapat dipisahkan dari kinerja aparat penegak hukum.
Aparat penegak hukum merupakan motor penggerak teraktualisasinya hukum ditengah masyarakat (S,
Laurensius Arliman, 2015: 11).
Peradilan Militer diatur dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahum
1997 tentang Peradilan Militer. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan adalah
badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi
pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer
pertempuran. Subjek delik dalam hukum pidana militer adalah orang atau individu militer, atau orang-
orang yang dipersamakan dengan militer, maka sering menimbulkan masalah jika tindakan itu
merupakan perintah atau kebijakan institusi. Dalam peradilan militer akan menyulitkan korban (sipil)
untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum dikarenakan peradilan militer tidak memeriksa
badan hukum (rechtspersonn) sebagai subjek delik. Lebih-lebih sistem peradilan pidana Indonesia
belum memberikan perlindungan kepada korban (sipil) untuk beracara dilingkungan peradilan sipil
maupun militer. (Sulistiyono, Adi, dan Isharyanto, 2018: 1).
Hukum Acara Pidana Militer yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997
disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konspesi hukum acara
pidana nasional yang antara lain tertuang dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan konsepsi
hukum acara tata usaha negara yang tertuang dalam undang-undang nomor 5 Tahun 1986 dengan
berbagai kekhususan acara yang bersumber dari asas-asas dan ciri-ciri kehidupan angkatan bersenjata.
Dalam penyelesaian perkara pidana dilingkungan badan peradilan militer sama halnya dengan proses
penyelesaian tindak pidana pada lingkungan badan peradilan umum yang meliputi beberapa tahapan
yaitu: proses penyelidikan, proses penyidikan, proses penuntutan, proses pelaksanaan putusan.
Peradilan Militer diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam
undang-undang ini diatur ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum
acara pidana militer, hukum acara usaha militer, dan ketentuan-ketentuan lain (Salam, Moch Faisal,
2004: 45).Proses Hukum acara Pidana Militer diatur secara khusus didalam Bab IV Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang dimulai dari proses penyidikan (ditaur didalam
pasal 69 sampai dengan Pasal 74), Proses Penangkapan dan Penahanan (diatur didalam Pasal 75
sampai dengan Pasal 81), Penggeledahan dan Penyitaan (diatur didalam pasal 82 sampai dengan Pasal
95), Pemeriksaan Surat (diatur didalam Pasal 96 sampai dengan pasal 98), Pelaksanaan Penyidikan
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
118
(diatur didalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 121), Penyerahan Perkara (diatur dalam Pasal 122
sampai dengan pasal 131), Pemeriksaan di sidang Pengadilan (diatur di dalam Pasal 132 sampai
dengan Pasal 136).
Penegakan hukum di Indonesia diatur berdasarkan ketentuan yang terdapat didalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, diwilayah
pengadilan negeri. Undang-undang tersebut diperuntukan untuk memproses setiap tindak pidana yang
dilakukan oleh masyarakat sipil, Berbeda dengan Anggota Tentara Nasional Indonesia yang diadili di
wilayah pengadilan militer berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. Proses
penegakan hukum di pengadilan militer sama dengan di pengadilan negeri pada umumnya, hanya saja
yang membedakan aparat penegak hukumnya juga dilakoni oleh para anggota Tentara Nasional
Indonesia juga yang sudah ditetapkan oleh Undang-undang.
Meskipun peraturan perundang-udangan yang dibuat ini berisi nilai-nilai keadilan yang tinggi,
tetapi peraturan perundang-undangan itu tidak ada artinya kalau tidak ada penegakan hukum atas
peraturan yang dibuat itu tidak dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Ketidakadilan
dalam melaksanakan aturan hukum itu menyebabkan rakyat tidak akan mematuhi aturan hukum itu.
Hukum yang baik adalah hukum yang sarat dengan nilai-nilai keadilan dan pelaksanaanya harus
dilakukan dengan cara adil tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain, semua orang harus
diperlakukan sama di muka umum. Negara hukum yang dimaksud didalam Undang-undang Dasar
Tahun1945 adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.
Keadilan dan hukum merupakan satu kesatuan (integral), juga integritas dengan negara. Keadilan dan
hukum inilah yang menjadi dasar bagi negara untuk merealisasi tujuannya.
Dalam Putusan Nomor 68/K/MIL/2015 atas nama Junaidi (terdakwa) bekerja sebagai anggota
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Pangkat Kopda/313930847651271. Kronologis
kejadian perkara yang sebenarnya adalah sebagai berikut: Bahwa terdakwa pada waktu-waktu dan
tempat-tempat sebagaimana tersebut dibawah ini, yaitu pada Bulan Juni tahun 2006, bertempat
dirumah Sdr. Syahri Jalan Kemilang, Desa Kemelak, Kecamatan Baturaja Timur, Kabupaten OKU
atau setidak-tidaknya tempat lain yang termasuk daerah hukum Pengadilan Militer I-04 telah
melakukan tindak pidana “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu”.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Putusan Nomor 68K/MIL/2015, Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP
menyatakan barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Pada putusan Nomor
68/K/MIL/2015 atas nama Junaidi sebagai terdakwa dihukum karena terbukti telah melakukan
pelanggaran yang terdapat didalam Pasal 279 ayat (1) Ke-1 KUHP. Terdakwa dihukum selama 9
(sembilan) bulan 20 (dua puluh) hari. Perbuatan terdakwa berdasarkan pertimbangan hakim memenuhi
unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 279 ayat (1) Ke-1 KUHP. Kembali mengingat tentang tujuan
hukum yaitu memberikan rasa keadilan, perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat mengenai
penghukuman yang diterima oleh terdakwa didalam Putusan Nomor 68/K/MIL/2015 atas nama
Junaidi, menurut penulis bukan memberikan solusi dalam proses penegakan hukum.
Merujuk pada ketentuan pidana dalam Pasal 10 tentang pidana, hukuman pidana terbagi atas
dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tediri atas: pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas: pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Pada proses penegakan
hukum, hukum harus berdasarkanhati nurani, apalgi pada proses penyelesaian permasalahan pada
sengketa perkawinan. Permasalahan perkawinan sampai saat ini merupakan permasalahan yang
sensitif, sulit untuk ditegakkan namun juga tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, pada prinsipnya
hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat saat menjatuhi seorang terdakwa.
Melihat hukum dari segala sisi, baik dari sisi korban, pelaku tindak pidana, sisi kemudharatan akibat
hukuman yang dijatuhi ataupun kebaikan atas hukuman yang diberikan.
3. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Oknum Anggota Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat Yang Melakukan Perkawinan Tidak Tercatat
Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
119
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 kompilasi Hukum Islam mendefenisikan
perkawinan adalah perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut rumusan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tersebut, bahwa ikatan suami isteri harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, yakni perkawinan merupakan ikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama
yang dianut suami isteri. Hidup bersama suami isteri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk
tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami-isteri, tetapi dapat membentuk rumah tangga
yang bahagia, rumah tangga yang rukun, kekal, aman dan harmonis antara suami isteri.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, hal tersebut
diatur dalam Undang-undang perkawinan pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), yaitu:
a. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbutan hukum.
c. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga
Hak dan kewajiban suami isteri lebih lengkap dijelaskan didalam Pasal 77 sampai dengn pasal
84 Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
2. Sumai isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara mereka baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan pendidikan agamanya.
4. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah kediaman ditentukan
oleh suami isteri bersama.
5. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
6. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup untuk melakukan perbuatan hukum.
7. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
8. Suami adalah pembimbing terhadap isteri, dan rumah tangganya akan tetap mengenai hal-
hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
9. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
10. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
11. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: nafkah, kiswah, dan tempat kediaman
bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan
anak, biaya pendidikan bagi anak. Kewajiban suami terhadap isterinya mulai berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
12. Isteri dapat membebaskan suaminy adari kewajiban terhadap dirinya.
13. Kewajiban suami gugur apabila isteri nusyuz.
14. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas
isteri yang masih dalam iddah.
15. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan
perkawinan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
16. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan , sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
17. Suami wajib melengkapi tempat kedimana sesuai dengan kemampuannya, serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan
rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
18. Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal
dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya
jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri,kecuali jika ada perjanjian
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
120
perkawinan. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya
dalam satu tempat kediaman.
19. Kewajiban utama bagi isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum islam.
20. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya.
21. Isteri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sebagai seorang isteri. Selama isteri nuyuz kewajiban suami tidak berlaku kecuali hal-hal
kepentingan anaknya.
22. Kewajiban suami kembali sesudah isteri nusyuz. Ketentuan tentang ada tidaknya nusyuz
harus disertai dengan bukti yang sah
Kewajiban suami isteri tersebut terlindungi oleh hukum, dan wajib dilaksankan oleh suami
isteri agar tercipta tujuan perkawinan yang harmonis. Keabsahan perkawinan akan memberikan
dampak positif bagi suami isteri, terutama bagi isteri yang akan mendapatkan perlindungan hukum
secara pasti oleh negara. Negara secara otomatis akan memberikan perlindungan kepada isteri
berdasarkan ketentuan pasal 2 Undang-undang Perkawinan, apabila perkawinan yang berlangsung sah
menurut agama dan tercatat (sah menurut negara). Selain perlindungan, kepastian hukum dan keadilan
juga dapat dirasakan oleh isteri dalam hubungan perkawinan. Setiap perbuatan hukum yang dilakukan
oleh subjek hukum akan menimbulkan akibat hukum pula, yaitu berupa hak dan kewajiban. Dalam
hukum hak dan kewajiban adalah hal yang harus dilindungi dan dilaksankan sesuai dengan
ketentuannya. Setiap hak yang dilanggar oleh hukum akan menimbulkan sengketa hukum. untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang merugikan terutama bagi kaum wanita didalam hubungan
perkawinan maka diperlukan adanya keabsahan perkawinan menurut hukum dan agama.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
mencapai keluarga yang bahagia. Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan
dalam islam. Hal ini dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus
kedalam perzinaan. Perkawinan dalam hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Namun di abad modern ini, permasalahan keduniaan semakin komplek, persaingan hidup semakin
ketat disebabkan karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, belum perang idiologi yang
ditebarkan oleh negara-negara sekuler lewat media tentu ikut mempengaruhi sistem hukum nasional
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Maka peran Negara dalam mengatur dan melindungi warganya
saat ini dibutuhkan. Berikut dikemukakan beberapa implikasi terhadap isteri dan anak akibat
perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan (Zainuddin, dan Afwan,
2015: 71). Menurut hukum Islam akibat hukum dari perkawinan yang sah, baik menurut agama dan
Negara adalah (1) menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami
isteri tersebut; (2) mahar yang diberikan menjadi milik isteri; (3) timbulnya hak-hak dan kewajiban
suami-isteri, suami menjadi kepala rumah tangga, sedangkan isteri menjadi ibu rumah tangga; (4)
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah; (5) timbul kewajiban suami
untuk membiayai dan mendidik anak-anak dan isterinya dan mengusahakan tempat tinggal bersama;
(6) berhak saling waris mewarisi antara suami isteri dan anak-anak dengan orang tua; (7) timbulnya
larangan perkawinan karena hubungan semenda; (8) Bapak berhak menjadi wali nikah pengawas
terhadap anak-anaknya dan hartanya.
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang tidak tercatat tidak diakui
sama sekali dihadapan negara. Dalam hal pencatatan perkawinan menjadi tanggung jawab petugas
pencatat perkawinan yang biasa disebut penghulu. Penghulu yang bertanggungjawab untuk
mencatatkan perkawinan. Perkawinan yang tidak tercatat bukan merupakan perkawinan yang sah
dihadapan hukum dan negara, melainkan hanya sah menurut agama karena telah terpenuhinya rukun
nikah.
Hal tersebut akan berdampak negatif bagi kaum perempuan (isteri), tidak ada perlindungan
dan kepastian hukum bagi isteri yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Terlebih lagi isteri yang
menikahi oknum anggota Tentara Republik Indonesia yang memang tidak dibenarkan melakukan
perkawinan lagi selama masih terikat dengan perkawinan yang sah, kecuali isteri pertama dan pihak
instansi memberikan izin terhadap perkawinan kedua dan seterusnya. Hal tersebut sangat merugikan
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
121
bagi isteri, terutama isteri kedua yang juga dinikahi tanpa melakukan pencatatan perkawinan. Isteri
akan sulit untuk memperoleh hak-haknya. Hal terburuk ketika suami tidak melaksakan kewajibannya
sebagaimana yang telah tertuang didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Juncto Kompilasi
Hukum Islam, maka isteri tidak dapat melakukan penuntutan ataupun gugatan ke pengadilan
sebagaimana seharusnya.
Seorang wanita yang menjadi isteri dari perkawinan tidak tercatat memang harus menerima
kenyataan bahwa ia hanya diikat secara sepihak dalam ikatan semu bukan ikatan kokoh (mitsaaqon
gholiidhan) yang sebenarnya, sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan. Perempuan
tersebut dapat ditinggalkan/dicerai kapan saja tanpa melakukan perlawanan hukum untuk
mepertahankan hak-haknya karena tidak memiliki bukti autentik. Makanya dalam kasus perkawinan
tidak tercatat, pihak perempuan yang selalu menjadi korban, sementara pihak laki-laki bisa bebas dari
perkawinan dan dengan mudah meninggalkannya tanpa jejak. Penyelesaian kasus perkawinan tidak
tercata pun hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dimasyarakay saja, karena
untuk mengajukan kasus di muka pengadilan sangat sulit terutama dalam hal pembuktian, bukti yang
paling efektif yaitu akta nikah tidak dimiliki oleh pihak perempuan sehingga akan menyulitkan dirinya
sendiri. Akibat lain dari perkawinan tidak tercata adalah isteri tidak bisa memperoleh tunjangan
apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja, apabila suami sebagai pegawai, maka isteri
tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami. Tentunya di sini sangat
merugikan pihak isteri karena tidak mendapat perlindungan hukum, mereka menganggap bahwa
kedudukan seorang isteri sekedar alat pemuas nafsu bagi suaminya atau menjadi pelayan dalam rumah
tangga.
Keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitanya dengan penegakkan hukum pidana memang
bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak pristiwa dalam kehidupan
masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari
pemerintah, padahal sangat jelas dalam pancasila sebagai falsafah hidup Bangsa Indonesia,
perikemanusiaan dan perikeadilaan mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama
ini perlindungan hukum terhadap korban kurang diperhatikan dalam penegakan hukum. Korban yang
pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh
perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang kepada pelaku tindak pidana telah dijatuhi oleh
sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban tidak diperdulikan. Perlindungan hukum memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan
kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan kepada masyarakat
agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain
perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman
dari pihak manapun. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung normal, damai dan tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui
penegakan hukum. Penegakan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wewenang.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Akibat hukum perkawinan yang tidak tercatat adalah isteri tidak mendapatkan kedudukannya
sebagai seorang isteri dihadapan hukum. Isteri tidak mendapatkan status hukum sebagaimana
semestinya, sebab pernikahan tidak tercatat merupakan perkawinan yang dianggap tidak
pernah ada oleh negara dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Isteri tidak memperoleh hak-haknya sebagaimana yang
telah tersebut didalam ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Juncto Kompilasi Hukum Islam. Suami tidak tidak bertanggungjawab
dalammelaksanakankewajiban yang seharusnya dipenuhi olehnya. Dari perkawinan tersebut
tidak dapat dikeluarkannya akta nikah sebagai bukti otentik telah terjadi peristiwa hukum.
fungsi adanya akta nikah tersebut sebagai dasar pembuatan dokumen penting lainnya seperti
pembuatan kartu keluarga, pembuatan akta kelahiran anak, dan lain-lain. Penegakan hukum
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
122
terhadap oknum anggota tentara nasional indonesia angkatan darat yang melangsungkan
perkawinan tidak tercatat sesuai dengan hukum acara yang berlaku di negara Indonesia.
Khusus bagi anggota Tentara Nasional Indonesia proses penegakan hukum dilakukan di
pengadilan agama militer. Peradilan Militer diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini diatur ketentuan-ketentuan umum,
susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara pidana militer, hukum acara usaha
militer, dan ketentuan-ketentuan lain.Proses Hukum acara Pidana Militer diatur secara khusus
didalam Bab IV Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
dimulai dari proses penyidikan (ditaur didalam pasal 69 sampai dengan Pasal 74), Proses
Penangkapan dan Penahanan (diatur didalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 81),
Penggeledahan dan Penyitaan (diatur didalam pasal 82 sampai dengan Pasal 95), Pemeriksaan
Surat (diatur didalam Pasal 96 sampai dengan pasal 98), Pelaksanaan Penyidikan (diatur
didalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 121), Penyerahan Perkara (diatur dalam Pasal 122
sampai dengan pasal 131), Pemeriksaan di sidang Pengadilan (diatur di dalam Pasal 132
sampai dengan Pasal 136). Perlindungan hukum terhadap isteri dari oknum anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat yang melakukan perkawinan tidak tercatat sampai saat ini
masih belum bisa dirasakan. Isteri merupakan korban yang paling dirugikan pada peristiwa
perkawinan tidak tercatat ini. Perkawinan tidak tercatat tidak pernah dianggap ada dinegara
ini, sebab akibat dari perkawinan tersebut tidak dapat diliindungi oleh negara dan
pertanggungjawaban kepada suami tidak dapat dimintakan. Sehingga isteri akan merasa
hidupnya tidak memperoleh kepastian dan negara tidak dapat memberikan perlindungan
kepadanya apabila setelah terjadi perkawinan tersebut timbul permasalahan.
2. Saran
Peristiwa perkawinan tidak tercatat diharapkan saat ini negara lebih memperhatikan terhadap
akibat yang timbul dari perkawinan tidak tercatat. Negara sudah harus memiliki solusi atas
kejadian yang terjadi didalam masyarakat. Dalam hal perkawinan tidak tercatat pihak laki-laki
selalu memanfaatkan perasaan perempuan yang mengedepankan hati dari akal pikirannya,
sehingga banyak perempuan yang menjadi korban. Perbaikan regulasi terhadap tindak pidana
perkawinan terutama yang terkandung didalam Pasal 279 KUHPidana dan hukuman
seharusnya sudah dapat diubah dengan mengedepankan bentuk pertanggungjawaban yang
harus dilaksanakan oleh pihak suami sebagai pelaku perkawinan tidak tercatat, sebab laki-laki
merupakan kepala rumah tangga yang harus mengayomi, mendidik, melindungi, serta
menjaga keluarganya dengan sebaik-baiknya.
Refrensi
Al-Zuhaili, Wahbah, 1989,Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu,juz VII, Damsyiq, Dar al-Fikr.
Atmodjo, Arso Sastro, dan A. Wasit ulawi, 1981,Hukum Perkawinan di Indonesi,. Jakarta, Bulan
Bintang, Cet .Ke-3.
Bernard L. Tanya, et.al. 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
yogyakarta: Genta Publishing.
Butar-butar, Elisabeth Nurhain, 2018,Metode Penelitian Hukum (Langkah-langkah Untuk Menemukan
Kebenaran dalam Ilmu Hukum),Bandung, PT. Refika Aditama. Cetakan Ke-1.
Chazawi, Adam, 2011,Pelajaran Hukum Pidan,. Jakarta, Rajawali Press
Manan, Abdul, 2018,Dinamika Politik Hukum di Indonesia,Jakarta, Kencana.
Suma, Muhammad Amin, 2005,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada.
Sunarso, Siswanto, 2015,Filsafat Hukum Pidana :Konsep, Dimensi dan Aplikasi,Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Suryani, 2001,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Bandung, Yrama Widya
Ferry Irawan Febriansyah, 2017, “Jurnal Ilmu Hukum, Keadilan Berdasarkan Pancasila sebagai
Dasar Filosofis dan Ideologis Bangsa, Tulung Agung”,: sekolah Tinggi Agama Islam
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Penegakan Hukum Terhadap Oknum Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Melangsungkan Perkawinan Tidak Tercatat Volume 1 Issue 2 Years 2020 (Fauziah Khairani)
123
Muhammadiyah Tulung agung. diakses pada tanggal 26 Juni 2020, pukul 18.16 Wib, melalui
http://www.jurnal.untag-sby.ac.id
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam