PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL
SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME
(Studi di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung-Bogor)
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang
Ilmu Agama Islam
Oleh:
Ihwanul Mu’adib
NIM: 21151200000017
Pembimbing:
Prof. Dr. H. M. Suparta, MA
oleh:
KONSENTRASI/PEMINATAN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1438 H
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman Parung Bogor memahami bahwa pendidikan multikultural mampu menjadi
alternatif dalam membendung radikalisme. Dikatakan alternatif karena tujuan
utama pendidikan multikultural bukanlah deradikalisasi, melainkan
persamaan/kesetaraan hak, toleransi dan keadilan. Kesimpulan tersebut didapat
setelah peneliti melakukan penelitian tentang kondisi latar belakang berdirinya
pondok pesantren, biografi pendiri, jumlah santri yang mencapai 10.378 dengan
latar belakang yang majemuk (Jawa, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB,
Flores, Kalimantan, Aceh, Singapura, Malaysia, dll)\, model kurikulum, hubungan
kerja sama antar pesantren dengan lembaga luar pesantren baik negeri maupun
swasta, dan yang berbeda agama serta sikap pesantren terhadap kasus-kasus radikal
yang muncul selama beberapa tahun terakhir.
Melalui tulisan ini, penulis sependapat dengan Ainurrofiq Dawam (2006)
yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan
yang menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Berikutnya, H>.A.R
Tilaar (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural bertujuan untuk
menciptakan sikap anak didik yang humanis, demokratis, dan toleransi antar
sesama manusia walaupun beragam dan berbeda latar belakang. Selain itu, tulisan
ini juga sependapat dengan James Bank (2008) yang mengatakan bahwa
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours di mana
pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan
(anugerah Tuhan/ Sunnatulla>h). Namun, Penelitian ini tidak sefaham dengan
pendapat Charis Boutieri (2013) yang menyatakan bahwa pendidikan agama tidak
dapat mewujudkan pendidikan yang humanis dan akomodatif yang menghargai
perbedaan dan keragaman. Kemudian, Louis Ernesto Mora (2014), David B.
Skillicorn (2012) yang menyatakan bahwa agama mengantarkan manusia menjadi
fundamental, radikal, dan mendorong manusia berpikir yang irasional.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi, sosiologi, dan antropologi. Pendekatan tersebut digunakan untuk
memahami bagaimana proses pendidikan dan pengembangan lembaga yang
berlangsung di pesantren tersebut melalui keterlibatan peneliti, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penulis melakukan observasi ke pesantren
tersebut untuk memperoleh data-data melalui dokumentasi, wawancara, dan
pengamatan langsung terhadap kehidupan para santri. Dari hasil observasi tersebut
penulis melakukan analisis kritis.
Sumber data primer penelitian ini adalah dokumentasi dan observasi secara
langsung terhadap proses pendidikan di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul
Iman. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau karya tulis ilmiah
lainya, website, berita, majalah, koran, dan lain sebagainya. Kemudian, untuk
teknik analisa data adalah dengan analisis deskriptif.
vi
Kata Kunci:pendidikan, multikulturalisme, deradikalisasi, pondok pesantren,
budaya.
ABSTRACT
This research concluded that boarding school of al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung Bogor understood a multicultural education can be an alternative for
stemming of radicalism. It is said to be an alternative because the main purpose of
multicultural education is not deradicalization, but equality / equality of rights,
tolerance and justice. The conclusion is obtained after the researcher conducted
research on the background condition of the founding boarding school, biography
of founder, amount of students reaching 10.378 with a pluralistic background
(Java, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB, Flores, Kalimantan, Aceh,
Singapore, Malaysia, etc.), curriculum model, relationships of the boarding school
between inside and outside institutions of boarding school, the institutions which
different religious and the reaction of boarding school to radical cases that have
occured since the last years.
Through this research, the researcher agree with Ainurrofiq Dawam (2006)
who said that a multicultural education is an educational model that respects the
meaning of a humanize human or humanity. Then, H> .A.R Tilaar (2004) which
states that a multicultural education aims to create a humanist, democratic, and
tolerant attitude among humans despite they have a diverse backgrounds. In
addition, this research also agree with James Bank (2008) which said that a
multicultural education as an education for people of colours where multicultural
education wants to explore differences as a necessity (grace of God / Sunnatulla>h).
But, This research disagree with Charis Boutieri (2013) argues that religious
education can not achieve a humanistic and accommodative education that respect
differences and diversity. Then, Louis Ernesto Mora (2014), David B. Skillicorn
(2012) who declare that religion makes a human being to fundamental, radical, and
encourages irrational thinking.
This research uses qualitative method through approach of
phenomenology, sociology, and anthropology. The approach is used to understand
how the process of education and institutional development that in this boarding
school through the involvement of researcher, either directly or indirectly. In
practice, the researcher make observations in this boarding school to obtain data
through documentations, interviews, and the direct observation to the living of the
students. From the results of these observations the researcher makes critical
analysis.
The primary data source of this research is the documentation and
observation directly to the educational process at al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic
boarding school. While the secondary data is books or other scientific papers,
websites, news, magazines, newspapers, and etc. Then, for the technique of data
analysis is a descriptive analysis.
vii
Keywords: Education, Multiculturalism, Deradicalization, Boarding School,
Culture.
ملخصة نور االمان تفهم تربة متعدد قد استنتج هذا البحث ان المعهد العصر
بدل ألن اقال إنه / نزعة التطرف. كون بدال ف القضاء على التطرفتأن الثقافات
ألقامة ها هدفولكن متعدد الثقافات لس نزع عن التطرف ، لتربةالهدف الرئس ل
ةتم الحصول على االستنتاج بعد مالحظ. المساواة ف الحقوق والتسامح والعدالة
۱۰ صل إلى الطالب عدد, وسرة المؤسسهذا المعهد, وحالة الخلفة ل الباحث
)جاوا,فالمبانج, المفونج, مادورا, فافوا, وخارج البالد(, وشكل مع خلفة تعددة
البالد ومؤسسة الدنة المختلفة سفارة بن هذا الهعد و ةعالقات التعاون, والمناهج
.الماضةة السنف إلى حاالت التطرفة الت نشأت المعهد تجاوب وغرها, و
ن أقال الذي (٢) عن الرفق دواممع وافق الباحث، وف هذا البحث
مع . ثم وافقنسانم معنى اإلنسان اإلدع تتعلم ال شكل متعدد الثقافات ه تربةال
تجعل الطالب الذن متعدد الثقافات تربةنص على أن ال الذي () ه. ا. ر. تألر
. متنوعةالبن البشر على الرغم من خلفات هموتسامح ,ودمقراط ,إنسان لهم
تربة ه متعدد الثقافات تربةن الوغر ذالك, وافق مع جمس ا. بانك الذي قال أ
ان تكون مستلزمات )فضل من االختالفاتتستطلع وجود حث, متنوعال للناس
اله/سنة هللا(.
أن قال الذي( ۰)حارس بوتري وافق مع ال الباحث ثم ف هذا البحث,
إنسانا و الت لس لها ةالدن تربةال .لمتنوعاتوااالختالفات احترام ضافة تعلما
سكلقورن( ، دفد ب. ۱ستو مورا )لوس إرن معوافق ال وغر ذالك
غر تفكرا، و اتطرفو ،االبشر أساس جعل( الذي نص على أن الدن ۱)
.منطق
الظواهر وعلم االجتماع بتقربهذا البحث الطرقة النوعة عملست
إشراك ب ةوتطور المؤسس التربةة مل لفهم ع عمل هذا التقرب ست. وواألنثروبولوج
من الناحة العملة ، قوم . أو غر مباشركان ، إما مباشر هذا المعهد لباحث فا
والمالحظة المباشرة ة,ق والمقابلوثتالبلحصول البانات المعهد ف ةبمالحظ الباحث
.قوم الباحث تحلل نقدي ةالمالحظنتجة من لحاة الطالب.
والمالحظة مباشرة إلى مصدر البانات األساس لهذا البحث هو التوثق
أن البانات الثانوة ه الكتب أو ثممان. اإلرة نور صالع المعهدالعملة التعلمة ف
viii
غرها من األوراق العلمة ، والمواقع ، واألخبار ، والمجالت ، والصحف ،
ذلك. ثم ، ألسلوب تحلل البانات عن طرق التحلل الوصفغرو
الثقافة المعهد,ة, تعدد الثقافات, نزعة التطرف,: الترببحثالكلمة ال
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ALA-LC ROMANIZATION TABLES
q = ق z = ز a = ا
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م s }= ص th = ث
n = ن d} = ض j = ج
h = ه,ة t} = ط h} = ح
w = و z} = ظ kh = خ
y = ع = ‘ ي d = د
gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
Diftong Vokal Panjang Vokal Pendek
aw = و a> = ا a =
ay = ي i> = ي i =
u> = و u =
Ta’ Marbu>t}ah (ة) Transliterasi ta’ marbutah di akhir kata bila dimatikan ditulis h.
Contoh: مرأة : mar’ah, مدرسة : madrasah
Ketentuan ini tidak digunakan pada kata-kata arab yang sudah terserap ke
dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali
dikehendaki lafal aslinya.
Shaddah
Shaddah/tashdid dalam transliterasi ini di lambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf bershaddah tersebut.
Contoh: ربنا : rabbana, شول : shawwal.
Kata Sandang Alif + Lam
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.
Contoh: القلم: al-Qalam
vi
Apabila diikuti huruf shamsiyyah ditulis dengan menggandeng huruf
shamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l-nya.
Contoh: الشمس : al-Shams, الناس : al-Na>s.
Pengecualian Transliterasi
Adalah kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia, seperti هللا, asma>’ al-Husna>, dan ibn, kecuali menghadirkanya dalam
konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillah> al-Rahma>n al-Rahi>m, al-Hamdulilla>h rabbi al-‘Alami>n, wa al-S}ala>tu wa al-Sala>mu ‘ala> sayyidina> Muhammadin wa ‘ala> alihi wa s}ah}bihi ajma’i>n. Segala puji dan shukur ke Hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, berkat rahmat,
karunia, serta inayah-Nya penelitian ini dapat dilaksanakan hingga selesai. S}alawat
dan salam semoga tercurah kepada baginda Rasulillah SAW., seorang manusia
mulia sebagai suri tauladan sekaligus pencerah dan isnpirator seluruh umat
penduduk alam. Semoga kita dapat menindak lanjuti perjuanganya dan
meneladaninya sehingga dapat meraih syafaatnya.
Selanjutnya, penelitian yang berjudul ‚Pendidikan Berwawasan
Multikultural sebagai Upaya Kontra Radikalisme (Studi di Pon-pes al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor),‛ ini bukan sepenuhnya merupakan jerih payah seorang
diri pribadi, tetapi dalam penelitian ini telah melibatkan banyak pihak, baik dalam
penemuan ide awal hingga dalam proses penelitian serta penulisan tesis ini. Oleh
karena itu, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi dan mengucapkan
banyak terima kasih, terutama kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, wakil direktur Prof.
Dr. Ahmad Rodoni, MM., ketua program S3 Prof. Dr. Didin Saepudin,
MA., dan ketua program S2 Dr. JM. Muslimin, MA.
3. Pembimbing tesis Prof. Dr. M. Suparta, MA., yang penuh perhatian dan
ketelitian dalam menelaah, mengoreksi, mendiskusikan, dan
memberikan arahan tesis.
4. Prof. Dr. Azyumardi, MA., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof.
Dr. Husni Rahim, Prof. Dr. Bambang Pranowo (almarhum), Prof. Dr.
Armai Arif, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Ridwan Lubis, Dr.
Amelia Fauzia, Dr. Nurul Azkia, Dr. Abd. Rozak, M.Si., Dr. Arif
Mufraini yang ikut terlibat berkontribusi memberikan pandangan-
pandanganya serta perbaikan tesis ini dalam konsultasi pribadi maupun
di dalam kelas serta dalam ujian-ujian, mulai dari seminar proposal,
WIP I, WIP II, Ujian Komprehensif tulis dan lisan hingga ujian
pendahuluan.
5. Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin
Salim (almarhum) dan penerus perjuangan beliau Ummi Waheeda binti
Abdul Rahman, M.Si., pribadi yang selalu menginspirasi penulis
sekaligus tempat melakukan objek penelitian.
6. Direktur Utama Yayasan Bulan Purnama Irfandi Ahmad, SHI. MH.
yang telah memberikan beasiswa dalam menyelesaikan pendidikan ini.
7. Ketua CEM periode 2014-2016 Irvan Budi Rachman, MM., Ketua CEM
Periode 2016-2019 Deshir Mauludin yang telah memberikan support
dalam menyelesaikan pendidikan ini.
viii
8. Semua guru besar, para dosen, dan staf SPs. UIN Jakarta yang telah
memberikan ilmunya yang tulus ikhlas. Staf akademik yang telah
memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan sehingga dalam
proses penulisan tesis ini berjalan lancar. Staf perpustakaan SPs. UIN
Jakarta yang telah memberikan pelayananya yang baik ketika
mengakses literatur-literatur.
9. Ayahanda Masruhan dan Ibunda Rofi’ah yang dengan tulus ikhlas
mendorong, mendo’akan, dan menginspirasi dalam melakukan
pendidikan ini. Tidak lupa Min’amus Sukri dan Nur Khanifatul Afi
selaku adik dari penulis yang terus giat memotivasi. Terkhusus Nur
Lailatul Nikmah yang menjadi teman setia untuk berdiskusi dan
memotivasi.
10. Semua teman seperjuangan SPs UIN Jakarta angkatan 2015/ganjil yang
tidak saya sebutkan satu persatu yang ikut terlibat dalam berdiskusi,
mengoreksi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini. Lebih khusus
teman satu kampung dan satu asrama Kang Abdul Azis, Muhammad
Syafii, Muhammad Shohib, Samsudin, Ayun, Muhzen, Umam, Sukron,
serta tidak lupa kepada Kang Ali Muttakin , Kang Ghufron Maksum,
dan Kang Nadhif Ali Ash’ari yang banyak direpotkan dalam penelitian
ini terutama dalam mencari data.
Kepada mereka, selain saya haturkan penghargaan tinggi dan ucapan
terima kasih saya sampaikan jazakumulla>h ahsan al-Jaza>’. Selanjutnya, saya ingin menyampaikan bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
sangat diharapkan untuk melengkapi segala kekurangannya. Semoga tesis ini
dengan segala kelemahan dan kelebihanya dapat memberikan manfaat, terutama
terkait dengan pengembangan pendidikan, umumnya di Indonesia dan khususnya di
lingkungan pesantren.
Jakarta, 2 Mei 2018
Ihwanul Muadib
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................ i
Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme .............................................................. ii
Persetujuan Pembimbing ................................................................................ iii
Pernyataan Telah Verifikasi ........................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................... v
Abstract ........................................................................................................... vi
vii ............................................................................................................ الولخص
Pedoman Trasliterasi ...................................................................................... viii
Kata Pengantar ............................................................................................... x
Daftar Isi ......................................................................................................... xii
Daftar Singkatan ............................................................................................ xiii
Daftar Bagan dan Tabel ................................................................................. xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah .................................................................... 10
2. Perumusan Masalah ..................................................................... 10
3. Pembatasan Masalah ................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................................ 11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 11
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13
2. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 15
3. Sumber Data Penelitian ............................................................... 17
4. Proses Analisis Data .................................................................... 18
BAB II : PESANTREN, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL,
DAN DERADIKALISASI
A. Pesantren dan Perkembangan Ragam Pesantren ................................ 20
B. Multikulturalisme dalam Tinjauan Islam ........................................... 23
x
C. Diskursus Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Multikulturalisme ...................................................... 23
2. Sejarah Multikulturalisme ........................................................... 29
3. Pengertian Pendidikan Multikultural .......................................... 33
4. Orientasi Pendidikan Multikultural ............................................. 38
D. Masyarakat Sipil (Santri) Sarana Efektif Deradikalisasi ................... 44
BAB III : KIPRAH PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH
NURUL IMAN DALAM MEMPERJUANGKAN NILAI-
NILAI MULTIKULTURAL
A. Letak Geografis dan Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman ................................................................... 51
B. Visi Misi Pesantren dan Profil Kiyai Pendiri Pesantren .................... 55
C. Latar belakang Santri dan Pengurus Pesantren .................................. 61
D. Membuka Kerja Sama yang Inklusif.
1. Berbeda Agama, saling mengasihi .............................................. 66
2. Mendakwahkan kebaikan, menjaga citra baik Agama Islam ....... 70
3. Kemandirian Ekonomi Pesantren ................................................. 73
E. Output dan Outcome Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ................. 76
1. Mengembangkan Pemikiran Sang Kiyai ..................................... 77
2. Santri memberdayakan ekonomi mandiri .................................... 79
BAB IV : IMPLEMENTASI PENDIDIKAN
BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI
UPAYA KONTRA RADIKALISME DI PONDOK PESANTREN
AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN
A. Kebijaksanaan Pesantren Dalam Upaya Pengembangan
Pendidikan Multikultural ................................................................... 82
B. Doktrin yang dikembangkan Pesantren ............................................. 82
1. Kurikulum Pesantren Penentu Output dan Outcome Pesantren .. 85
2. Mengaji Gejala-Gejala Radikalisme dan Pencegahanya .............. 95
C. Proses Pembentukan Santri yang Berpaham Multikultural ............... 100
1. Pola Pengajaran Kitab Kuning, Membentuk Santri yang
berpaham Multikultural dan Anti Radikalisme ............................ 101
2. Pendidik/Guru yang Inklusif sebagai Uswah Hasanah
semangat multikultural .............................................................. 104
3. Semangat Multikultural dalam Berbagai Kegiatan
Ekstrakurikuler Santri .................................................................. 106
xi
4. Majelis Muh}a>d}arah, Ajang Melatih Kepercayaan Diri ................ 108
5. Santri Wajib Militer, Menanamkan Jiwa Nasionalisme .............. 110
6. Pola Pengasuhan Santri di Asrama .............................................. 112
D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Pondok Pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman ......................................................................................... 114
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 120
B. Saran .................................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 122
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR SINGKATAN
AICIS : Annual International Conference on Islamic Studies
AMINEF : The American Indonesian Exchange Foundation
BANSER ; Barisan Serba Guna
BAP : Berita Acara Perkara
BNPT : Badan Nasonal Penanggulangan Terorisme
BPS : Badan Pusat Statistik
CTITF : Counter Terrorism Implementation Task Force
FPI : Front Pembela Islam
GP ANSOR : Gerakan Pemuda Ansor
HAM : Hak Asasi Manusia
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
IKSANI : Ikatan Keluarga Santri al-Ashriyyah Nurul Iman
MLB : Muktamar Luar Biasa
MTQ : Musabaqah Tilawatil Qur’an
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdhatul Ulama’
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PERPPU ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PILGUB : Pemilihan Gubernur
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PON-PES : Pondok Pesantren
SARA : Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
TOSERBA : Toko Serba Ada
TK : Taman Kanak-Kanak
TPQ : Taman Pendidikan al-Qur’an
UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
UU : Undang-Undang
WASP : White Anglon-Saxon Protestan
WAMIL : Wajib Militer
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 : Gambar lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman berbentuk telapak kaki ........................................... 55
Gambar 3.2 : Foto Habib Saggaf bersama Gusdur
(KH. Abdurrahman Wahid) saat MLB PKB di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................. 60
Gambar 3.3 : Foto santri al-Ashriyyah Nurul Iman saat berkunjung ke
Lembaga AMINEF untuk berdiskusi tentang pertukaran
budaya ......................................................................................... 69
Gambar 4.1 : Foto santri saat berhalaqah membahas kitab kuning ................. 104
Gambar 4.2 : Foto pencaksilat dan takwondo santri al-Ashriyyah
Nurul Iman ................................................................................. 108
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Latar belakang santri berdasarkan klasifikasi asal daerah .......... 62
Tabel 3.2 : Pemetaan Input-Proses-Output-Outcome santri
al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 77
Tabel 4.1 : Klasifikasi kitab kelas I’da>d ....................................................... 91
Tabel 4.2 : Klasifikasi kitab kelas Ula> ......................................................... 91
Tabel 4.3 : Klasifikasi kitab kelas Wust}a> ..................................................... 91
Tabel 4.4 : Klasifikasi kitab kelas ‘Ulya> ...................................................... 91
Tabel 4.5 : Rutinitas kegiatan keseharian santri .......................................... 149
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 : Skema Snowball sampling ......................................................... 18
Bagan 2.1 : Standar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural ........ 42
Bagan 2.2 : Hubungan pendidikan multikultural dengan deradikalisasi ....... 48
Bagan 4.1 : Hubungan Impelementasi pendidikan multikultural
dan proses deradikalisasi di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman ................................................................................. 100
Bagan 4.2 : Manajemen sarana prasarana di poondok pesantren
al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 116
Bagan 4.3 : Skema pengambilan keputusan / kebijakan di pondok pesan-
tren al-Ashriyyah Nurul Iman .................................................... 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi memiliki pengaruh besar terhadap perubahan pola hidup
manusia, mulai dari sosial budaya, politik, hukum, ekonomi dan sikap keagamaan.
Hubungan manusia satu dengan lainya yang berbeda bangsa dan negara menjadi
terbuka semakin luas karena perkembangan teknologi yang semakin pesat. Dengan
teknologi itu mereka mudah untuk bertukar informasi. Perubahan pola hidup
seperti ini menimbulkan berbagai masalah baru dalam kehidupan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar
di dunia1. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan tersebut
ditandai dengan beragamnya etnis, suku, agama, budaya dan adat istiadat yang
terdapat didalamnya.2 Dari Sabang sampai merauke terdapat beragam masyarakat
dengan latar belakang yang berbeda dan unik tersebut memiliki potensi kekuatan
yang dapat menjadi modal sosial pembangunan bangsa Indonesia dan memiliki
potensi timbulnya konflik dan gesekan-gesekan sosial yang dapat mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika keragaman tersebut
tidak disikapi dengan baik.
Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh
penduduk 359 suku dan 726 bahasa. Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1965 yang
telah ditolak judicial review nya oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor
140/PUU-VII/2009, Indonesia memiliki lima agama3. Kemudian pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid, konghucu menjadi agama keenam. Meski hanya
enam, di dalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran dalam
bentuk organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan, hidup dan
berkembang di Indonesia.4
Multikultural secara sederhana berarti kebudayaan yang beragam.
Multikultural tidak hanya menyangkut masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar
1Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) yang dirilis pada tanggal 1 Juli 2015,
Indonesia memiliki jumlah penduduk dengan total 255,461,700 jiwa, 3,47 % dari penduduk
dunia. Jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yakni tahun 2010, Indonesia
memiliki peningkatan sekitar 20 juta jiwa di mana pada tahun 2010 jumlah penduduk
Indonesia sebanyak 238.518.800. Lihat
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274. diakses pada tanggal 25 oktober 2016 2Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme: Pandangan Baru PAI di
Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011), 13. 3Menurut undang-undang tersebut, agama yang resmi diakui pemerintah adalah
Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Meskipun hanya lima yang diakui secara resmi,
tetapi pemerintah tetap memberikan kebebasan bagi penganut kepercayaan di luar lima
agama tersebut, seperti Shinto, sunda wiwitan, kejawen, darmo gandul, dan lain
sebagainya. 4Husni Mubarok, ‚Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensi,
Sosial dan Institusional‛, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-
September 2010:33
2
golongan) melainkan keragaman yang lebih luas, seperti kemampuan fisik maupun
nonfisik, umur, status sosial, dan lain sebagainya. Multikulturalisme merupakan
sebuah konsep atau ide yang menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan atau kesetaraan. Artinya setiap individu diperlakukan sama, tidak
ada diskriminasi dan pengebirian hak-hak.
Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan ‛Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa‛.5 Bunyi pasal tersebut
mengindikasikan bahwa pandangan multikulturalisme menjadi salah satu bahan
pertimbangan khusus dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pada konteks
ini dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah
untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut
agama dan budaya yang berbeda.6 Harapan yang lebih jauh lagi, penganut agama
dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju
dengan adanya sikap ketidak-toleranan (intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan
negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan
hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Adanya kenyataan bahwa Indonesia memiliki corak masyarakat dengan
berbagai keragamannya menjadi salah satu pendorong munculnya gagasan tentang
pendidikan multikultural sebagai salah satu model pendidikan di masa mendatang.
Menurut Muhaemin El-Mahady dikatakan: ‛Kenyataan yang tak dapat ditolak
bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial,
kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain sehingga masyarakat
dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
‚multikultural.‛ El-Mahady lebih lanjut mengatakan bahwa realitas multikultural
tersebut mendorong adanya kebutuhan yang mendesak untuk merekonstruksi
kembali ‚kebudayaan nasional Indonesia‛ atau ‚budaya bangsa‛ yang dapat
menjadi ‚integrating force‛ yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, suku
bangsa, dan budaya tersebut.7
Sepertinya Indonesia belum maksimal mengelola kemajemukan yang ada.
Terlihat banyak aksi radikal dan teror merebak di Indonesia, seperti akhir 2015
sampai tahun 2016 ini banyak sekali muncul kasus radikal, di antaranya kasus bom
Sarinah, kasus kelompok Gafatar, kasus pemberontakan yang mengatasnamakan
pendirian negara Islam, pembakaran Gereja di Singkil Aceh, dan isu-isu adu domba
antar sekte-sekte agama. Banyaknya konflik tersebut menunjukkan bahwa bangsa
ini belum sepenuhnya memahami arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit di
antara manusia yang hendak meniadakan kebhinekaan (plurality) dan
5Lihat UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III
tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pada pasal 4. 6Henry Alexis RudolfTilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global
Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 123. 7Herimanto, Triyanto, Musa Pelu, Pengembangan Model Pembelajaran Budi
Pekerti Berbasis Multikultural, Journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/download/2880/2404, diakses 22 Mei 2016
3
menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman (uniformity). Ironisnya para
teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah
agama (Islam).8
Fenomena aksi radikal tersebut sejalan dengan pernyataan Tahir Abbas
dalam penelitianya terhadap fenomena politik atas fundamentalisme dan
radikalisme agama di Eropa Barat, khususnya di Inggris. Kesimpulan dari
penelitian Tahir Abbas tersebut adalah aksi radikal didorong oleh faktor internal
penganut agama dalam memahami ayat-ayat jihad dalam al-Qur’a>n.9 Sikap
eksklusif cenderung mebuat manusia merasa paling benar, sehingga tidak mau
menerima argumen atau ide gagasan dari luar, apalagi jika argumen tersebut
datang dari kelompok atau agama yang berbeda denganya. Terbukti, terjadinya
penolakan kemodernan yang datang dari Barat oleh kelompok Boko Haram di
Nigeria. Kelompok ini menggunakan doktrin-doktrin agama untuk melegitimasi
jihad melawan kebijakan pemerintah.10
Maraknya aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di dunia
internasional maupun di Indonesia sedikit banyak telah menempatkan umat Islam
sebagai pihak yang dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan
sasaran tuduhan sebagai sumber utama terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh
sebagian orang Islam. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia semisal madrasah
ataupun pondok pesantren, juga tidak lepas dari tuduhan yang mendiskreditkan
tersebut.11
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia tertua dalam sejarah Indonesia
ini seringkali dipersepsikan sebagai markas atau sentral pemahaman Islam yang
sangat fundamental yang kemudian menjadi akar bagi gerakan radikal yang
mengatasnamakan Islam.12
Pendidikan dan lembaga pendidikan menduduki posisi strategis sebagai
penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal –deradikalisasi– dari gerakan
Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya
lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren)
telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada peserta didik sehingga
8Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya
Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)
XII IAIN Sunan Ampel Surabaya 5-8 November 2012:227 9Tahir Abbas, A Theory of Islamic Poltical Radicalism in Britain: Sociology,
Theology and International Political Economy, Contemporary Islam, vol. 1, issue 2 (2007):
109 -122 10
Three Anonymous, The Popular Discourse of Salafi Radicalism and Salafi
Counter-Radicalism in Nigeria: A Case Satudy of Boko Haram , Journal Religion in Africa 42 (2012) : 118 - 144
11Ahmad Darmadji, ‚Pondok Pesantren dan Deradikalisasi Islam di Indonesia,‛
Millah, vol. XI, no. 1 (2011): 236-251. 12
Andik Wahyun Muqoyyidin, ‚Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural
untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam,‛ Jurnal Pendidikan Islam, vol. 1, no. 2 (2012
M/1434 H): 131-151.
4
hal ini memicu seorang Jusuf Kalla sempat melontarkan ide pengambilan sidik jari
dari semua santri.13
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) ada 19
pesantren terindikasi mengajarkan benih radikalisme.14
Pondok pesantren yang
seharusnya menjadi penebar Islam rahmatan li al‘a>lami>n tetapi malah terindikasi
benih ajaran radikal. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian besar bagi pemerhati
pendidikan Islam agar fenomena Islamofobia15 di dunia internasional tidak semakin
menjadi-jadi.
Pemerintah telah mengatur tentang tindak pidana terorisme melalui
Undang-Undang No 15 Tahun 2003. Dari Undang-Undang ini pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 tentang
pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang
ditandatangani Presiden tanggal 16 Juli 2010. Pertimbangan lain yang mendasari
terbitnya Perpres ini menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto bahwa terorisme masih tetap
merupakan ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat membahayakan
keamanan bangsa dan negara, terorganisasi mempunyai jaringan luas, serta
13
Niken Widya Yunita, ‚Sidik Jari Santri, Kalla Soroti Sikap Sensitif Tanpa Alasan,‛ detikNews. Rabu, 7 Desember 2005.
http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/07/time/132014/idnews/493843/idkanal/10.
14Sembilan belas pondok pesantren menurut BNPT terindikasi mendukung
radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas,
Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar,
Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman,
Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat,
Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam,
Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang. lihat
www.bnpt.go.id, lihat juga https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme/
15Islamofobia merupakan istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan
diskriminasi pada agama Islam dan muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an,
tetapi menjadi lebih populer setelah terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001 di
Amerika. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia
sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga pada semua muslim. Dibuktikan
bahwa Islamofobia juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan
memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di
dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan
budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang
bengis dari pada berupa suatu agama. Langkah-langkah telah diambil untuk peresmian
istilah ini pada bulan Januari 2001 di "Stockholm International Forum on Combating
Intolerance". Di sana Islamofobia dikenal sebagai bentuk intoleransi seperti Xenofobia dan
Antisemitisme. Lihat Robert Spencer, ‚There really isn't a phenomena like "Islamophobia"
- at least no more than there was a "Germanophobia" in hating Hitler or "Russiaphobia" in
detesting Stalin." - Historian Victor Davis Hanson, in the The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades), Regnery Publishing, Page. 200. Lihat juga Sandra Fredman,
Discrimination and Human Rights, Oxford University Press, p.121.
5
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga
memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi.16
Dalam rangka memperkuat upaya penanggulangan radikalisme dan
terorisme, pemerintah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang ormas.17
Di
dalam Perppu tersebut dijelaskan bahwa semua ormas dilarang melakukan tindakan
permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan,
penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; melakukan
tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau
merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya perppu ini, diharapkan ormas-ormas yang
terindikasi memiliki aktivitas radikal dan teror dapat segera ditindak secara tegas
agar tidak dapat tumbuh subur di Indonesia.
Menurut Imam Mustofa selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok
Pesantren UII Yogyakarta, kurang efektifnya langkah-langkah untuk memutus
mata rantai radikalisme dan terorisme di antaranya disebabkan oleh pendekatan
yang cenderung militeristik yang mengedepankan proses hukum. Langkah ini pada
dasarnya hanya mendorong langkah dari tengah, belum menelisik jauh dan
mengoptimalkan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik dan
pendekatan agama.18
Menurut Neil J. Smelser ada tiga faktor yakni ekonomi, politik dan agama
dapat memengaruhi perilaku seseorang sehingga dapat menimbulkan gerakan
terorganisir dan terlibat terorisme.19
Faktor ini akan menjadi faktor pemicu
terjadinya tindakan radikal dan mengarah pada upaya terorisme bila direkatkan
dengan doktrin-doktrin keagamaan seperti jiha>d fi sabi>lillah, dan da’wah amar ma’ru >f nahi> munkar.20
Menurut M. Khusna Amal, proses deradikalisasi akan lebih efektif jika
melibatkan pondok pesantren.21
Hal ini karena, pertama pesantren di sinyalir
sebagai sarang teroris, persoalan ini mencuat setelah tragedi Legian Bali atau yang
16
Ruslan Burhani, ‚Pemerintah Terbitkan PERPRES Pembentukan BNPT,‛
https://www.antaranews.com/berita/214146/pemerintah-terbitkan-perpres-pembentukan-bnpt, 30 Juli 2010. Diakses pada 5 Oktober 2016.
17Lihat Perpu No. 2 Tahun 2017, Lihat juga http://setkab.go.id/inilah-perppu-no-
22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang-organisasi-kemasyarakatan/ 18
Imam Mustofa, detik,com, 2010, dalam Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi
Agama melalui Pendidikan Multikultural Inklusiv (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo
Sukoharjo),‛ PROFETIKA Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2 (2014): 246-260. 19
Imam Mustofa ‚Teorisme:Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal
sebagai Respon Terhadap Imperialisme Modern),‛ Jurnal Religia, vol. 15, no. 1 (2012): 65-
87. 20
M. Habib Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis dan Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar, 2007).
21M. Khusna Amal, Kontestasi dan Negosiasi Agama, Lokalitas dan Harmoni
Sosial di Kota Padalungan, dalam Jurnal Harmon, Volume VII, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2008).
6
terkenal dengan Bom Bali I dan Bom Hotel JW Mariot yang melibatkan Amrozi
beserta kelompoknya yang memiliki hubungan kental dengan pesantren al-Mukmin
Ngruki Sukoharjo. Bahkan, Amerika Serikat dan media Barat mengklaim beberapa
pondok pesantren sebagai sarang teroris. Di antaranya Pesantren Hidayatullah yang
terletak 35 km dari Kota Balikpapan Kalimantan Timur dan pesantren al-Mukmin
Ngruki Solo Jawa Tengah. Amerika menuduh Abu Bakar Baasyir memiliki
jaringan kuat sebagai otak beberapa pengeboman di beberapa tempat tadi.22
Dengan adanya klaim sarang teoris kepada pesantren mengakibatkan
reputasi lembaga pendidikan Islam menjadi negatif. Perlu adanya terobosan baru
dalam mengelola lembaga pendidkan Islam untuk memperbaiki reputasi tersebut di
mata dunia internasional. Salah satunya adalah penerapan pendidikan yang
berwawasan multikultural. Melalui penerapan konsep pendidikan multikultural,
pesantren akan dianggap lembaga pendidikan Islam yang berideologi terbuka.
Ideologi terbuka seyogianya akan mudah menerima perbedaan.
Ide tentang membumikan pendidikan multikultural menjadi komitmen
internasional sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh UNESCO pada bulan
Oktober 1994 di Kota Jenewa. Di dalam rekomendasi itu memuat empat pesan,
Pertama, pendidikan harus senantiasa mengembangkan kemampuan untuk
mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis
kelamin, masyarakat dan budaya serta mengedepankan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan
seyogianya menguatkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkuat perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan harus senantiasa
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa
kekerasan. Keempat, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
rasa, sikap damai dalam diri dan pikiran peserta didik sehingga mereka mampu
memperkuat kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara
keragaman.
Konsep pendidikan multikultural sendiri memiliki banyak arti. Menurut
Andersen dan Cusher pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman.23
Sedangkan James Bank mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours. Artinya pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan/sunnatullah).24
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
22
Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural
Inklusivisme (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo‛ http://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/2001
23Andersen dan Cusher dalam Choirul Mahfud,Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 167. 24
James Bank dalam Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 168.
7
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur. Pendidikan multikultural juga
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,
status sosial, ekonomi, serta pengecualian dalam proses pendidikan.25
Setelah dikaji konsep pendidikan multikultural, agaknya memang relevan
untuk dijadikan konsep pendidikan di Indonesia. Namun, disisi lain ada kritik
terhadap pendidikan multikultural. Kritik ini disampaikan oleh Prihanto dalam
tulisanya yang berjudul ‚Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme‛. Ia
mengatakan bahwa pendidikan multikultural mengajarkan untuk menghargai
keragaman budaya, etnis, ras, suku dan aliran-aliran kegamaan. Jika yang diajarkan
hanya toleransi tentunya tidak bermasalah. Namun, bila dianalisis secara
paradigmatis, pendidikan model ini mengalami problem teologis. Sebab bukan
sekedar toleransi yang diajarkan, tetapi faham pluralisme yang berbasis pada
relativisme.26
Selain itu, kritik terhadap multikulturalisme juga datang dari Jerman. Pada
17 Oktober 2010, Seorang Kanselir Jerman, Angela Markel mengatakan bahwa
praktek multikulturalisme telah gagal. Markel menambahkan, adalah sebuah ilusi
bahwa orang Jerman dan pekerja asing bisa hidup berdampingan secara damai.
Dalam komentar Markel, ‚it had been an illusion to think that Germans and foreign workers could live happily side by side.‛ Meskipun demikian, Markel
mengakui bahwa Jerman terbuka untuk imigran, tetapi sikap utamanya adalah
sejalan dengan Horst Seehofer, yang satu pekan sebelumnya menyerukan agar
Jerman melarang bertambahnya imigran dari Turki dan Arab. Bahkan, Seehofer
menyatakan, ‚Multiculturalism is dead.‛27
Azyumardi Azra merespon hal tersebut dengan menyatakan bahwa Praktek
Multikulturalisme masih menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak
Negara Eropa. Meskipun sebenarnya, perkembangan demografi dan sosial-budaya
di negara-negara Eropa sangat membutuhkan penerapan multikulturalisme dalam
kehidupan warga negara yang kian beragam. Ia juga sempat menyampaikan bahwa
Kanselir Jerman Angela Merkel belum lama ini pernah menyatakan,
multikulturalisme telah gagal di banyak wilayah benua ini.28
Munculnya persepsi perihal kegagalan multikulturalisme di Negara Eropa
disebabkan oleh tidak terjadinya akulturasi dan akomodasi budaya secara
signifikan di antara para warga. Para imigran yang bertambah banyak, datang dari
Afrika dan Asia Barat dan Asia Selatan sejak 1950an membuat masyarakat Eropa
25
Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content. (Canada: Pearson, 2001).
26Prihanto, Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme (ISLAMIA,
VOLUME IX, No. 1. 2014), 45. 27
Angela Merkel declares death of German multiculturalism, http://www.guar
dian.co.uk/ world/2010/oct/17/angelamerkel- germany-multiculturalismfailures). Diakses
pada 20 April 2017. 28
Azyumardi Azra, ‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa‛,
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/04/16/n44s1l-multikulturalisme-indonesia-dan-eropa. Diakses pada 20 April 2017
8
secara etnis dan agama menjadi beragam. Namun, sebenarnya kaum imigran yang
saat ini telah menjadi banyak tersebut sudah memasuki generasi ketiga, tetap
masih sulit untuk berbaur dengan penduduk pribumi lokal; mereka cenderung hidup
dalam perkampungan (enclave) miskin dan kumuh.
Sementara fenomena krisis atau kesulitan ekonomi yang terjadi di
sejumlah negara Eropa Selatan seperti Yunani, Italia, Spanyol atau Portugal
membuat kaum imigran menjadi ‘kambing hitam’. Mereka dituduh telah merampas
pekerjaan warga lokal, merusak tatanan sosial-budaya, dan mengganggu
keseimbangan demografi keagamaan. Sikap anti-migran yang berbaur dengan
Islamo-fobia segera mengejawantahkan diri dalam politik dengan munculnya
kelompok politik partai ultra-kanan di beberapa negara Eropa.
Azyumardi Azra menegaskan bahwa multikulturalisme adalah sebagai
pandangan dunia yang mengakui dan menerima keragaman budaya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa kehidupan multikultural merupakan sunnatullah yang harus
dirawat dan dijaga, termasuk di Negara Indonesia. Cara merawat dan menjaganya
adalah membumikan pandangan multikulturalisme kepada masyarakat. Upaya
yang paling efektif menjaga dan merawat multikulturalisme adalah melalui
pendidikan. Ada dua model yang dapat dikembangkan, pertama pendidikan dengan
mengedepankan multikulturalisme yang saling terintegrasi dan yang kedua mata
pelajaran khusus yang memuat nilai-nilai multikultural.29
Penelitian ini menggambarkan penyelenggaraan pendidikan di sebuah
pesantren. Pesantren tersebut telah menerapkan pendidikan yang berwawasan
multikultural. Nama pesantren tersebut adalah pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor. Penulis tertarik untuk menjadikan pesantren ini sebagai
objek penelitian karena pesantren ini memiliki santri yang berlatar belakang
majemuk, jumlah santri yang mencapai 10.378 dan berasal dari ras, suku, strata
sosial yang berbeda30
. Selain itu, pesantren tersebut juga bersikap inklusif, terbukti
dengan dilakukannya kerja sama dengan umat agama lain, sebagai contoh umat
agama Budha yang tergabung dalam Yayasan Budha Tzuchi, umat Agama Hindu
yang tergabung dalam Yayasan Gandhi Sevaloka, juga berbagai lembaga
pemerintah dalam negeri maupun luar negeri dan berbagai lembaga swasta.
Kerja sama yang terjalin antar lembaga itu terlaksana dengan baik dan
harmonis. Satu sama lain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
universal. Hal itu dapat dilihat bahwa pondok pesantren tersebut selalu
mengundang pihak Budha Tzuchi ketika sedang berlangsung kegiatan-kegiatan
besar pondok pesantren (maulid nabi, haflah akhir sanah, harlah pondok pesantren
bahkan haul pendiri pondok pesantren). Begitupun sebaliknya saat ada kegiatan
Waisak atau kegiatan sakral lainya yang diselenggarakan oleh pihak Budha Tzuchi,
29
Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia (Yogyakarta:
Kanisius, 2007). 30
Informasi ini didapat berdasarkan pengamatan langsung oleh penulis saat di
pesantren tersebut. Santri di pesantren tersebut ada yang berasal dari Jawa, Sunda, Aceh,
Papua, NTB, Flores, Kalimantan, NTT, Sulawesi, Palembang, Lampung, Jambi. Selain itu
juga ada yang memiliki latar belakang broken home, anak pejabat negara, anak kiyai, anak
pengusaha, anak petani, dan lain sebagainya.
9
pondok pesantren tersebut selalu menyempatkan hadir memenuhi undangan
tersebut. Hal serupa juga di lakukan oleh pondok pesantren dengan umat agama
Hindu, yang bekerja sama melalui Yayasan Gandhi Sevaloka. Telah berdiri asrama
megah di pesantren tersebut yang merupakan bantuan dari Yayasan Gandhi
Sevaloka.
Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
multikultural. Nilai-nilai multikultural menjadi hal wajib yang harus dilaksanakan
dalam pendidikan multikultural. Yaitu, berupa sikap menghargai perbedaan (non-diskriminatif), toleransi, kesetaran, demokrasi dan keadilan. Karena sejak lahir
semua manusia memiliki hak yang sama. Hal itu dibuktikan dengan proses
penerimaan seluruh santri yang mendaftar tanpa mempertimbangkan latar belakang
suku, ras, status sosial, dll. Kemudian, memberikan fasilitas yang sama, membekali
santri dengan berbagai kompetensi melalui ragam pelatihan dan kegiatan
ekstrakurikuler.
Pesantren ini juga mengutuk –radikalisme agama– aksi atau tindakan
radikal dalam mendakwahkan agama Islam. Tidak sepakat dengan tindakan-
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan jihad membela agama. Sikap yang
tegas pernah disampaikan oleh pendiri pesantren Habib Saggaf bin Mahdi dalam
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan mengutuk aksi radikal. Ketika terjadi
kerusuhan yang melibatkan Ormas FPI di Monas pada tahun 2008, beliau sangat
mengutuk sikap FPI yang anarki. Lebih dari itu, beliau menilai sikap FPI tersebut
bukan mencerminkan sikap seorang muslim. Contoh lain adalah, beliau juga tidak
setuju dengan adanya persekusi terhadap orang-orang Ahmadiyah. Mereka
merupakan warga Negara Indonesia yang berhak mendapatkan hak yang sama
sebagai warga Negara yaitu kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Dalam
hal perbedaan pemahaman keagamaan itu bisa didiskusikan dengan baik.31
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, antropologi dan
sosiologi. Melalui pendekatan ini penulis dapat mengamati segala kegiatan
pesantren dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural sebagai upaya
deradikalisasi. Kegiatan pesantren yang akan diteliti adalah sistem pendidikan
pesantren yang meliputi kurikulum, ekstra kurikuler, seleksi penerimaan santri,
pembagian asrama (tempat tinggal), bimbingan konseling, kerja sama lembaga,
petuah-petuah (fatwa-fatwa) pimpinan pesantren, dll. Tujuan mengamati kegiatan
pesantren adalah untuk melihat ada atau tidaknya sikap driskiminasi dan radikal.
Jika ditemukan sikap tersebut maka pesantren dinyatakan gagal
mengimplementasikan pendidikan multikultural. Begitupun sebaliknya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang timbul
dalam pembahasan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
31
Dokumentasi video wawancara seorang wartawan yang meminta pendapat Habib
Saggaf tentang aksi anarki dan persekusi terhadap Ahmadiyyah dan aksi kerusuhan di
Monas yang melibatkan Ormas FPI. Penulis menemukan video ini dari salah seorang santri.
10
a. Maraknya aksi radikal di Indonesia yang muncul dengan dalih jihad
atau menegakan ajaran Islam.
b. Ada beberapa pesantren yang terindikasi mengajarkan benih radikal.
c. Masih sedikit pesantren yang mengampanyekan pendidikan
multikultural. Sekalipun sebenarnya, pesantren telah melaksanakan
pendidikan multikultural.
d. Deradikalisasi akan lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan
kultural (pendidikan), tidak hanya struktural (produk hukum/aparat
keamanan).
e. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menolak segala bentuk
ajaran dan tindakan radikalisme.
f. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menggunakan pendekatan
berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka
masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman
terhadap konsep pendidikan multikultural?
2. Bagaimana implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural
sebagai upaya kontra radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi pondok pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang penulis uraikan dan
perincikan di atas, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini penulis
membatasi masalah penelitian pada implementasi pendidikan yang bermuatan
multikultural di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dan upaya
deradikalisasi terhadapa santri di pondok pesantren tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menelaah lebih jauh tentang pemahaman pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap konsep pendidikan
multikultural.
2. Mengetahui dan mendiskusikan lebih jauh tentang implementasi
pendidikan yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra
radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.
3. Mengetahui dan menelaah kendala-kendala yang dihadapi oleh pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam melaksanakan pendidikan
yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.
11
D. Manfaat / Signifikansi Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan
ganda, yakni teoritis dan praktis. Kegunaan teoritis terkandung dalam materi
kajian yang disajikan penulis sebagai referensi untuk para pembaca. Selain itu
diharapkan tulisan ini menambah wawasan, pengetahuan serta pertimbangan para
ahli pendidikan dalam mendidik generasi penerus bangsa yang memiliki karakter
memanusiakan manusia.
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan memiliki
pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang dapat meredam adanya konflik-
konflik sehingga tidak terjadi tindakan radikal.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian mengenai pendidikan multikultural memang telah banyak dilakukan
oleh akademisi, baik dalam bentuk penelitian individu ataupun kelompok, berupa
karya ilmiah, buku-buku dan artikel. Berdasarkan penelusuran, penulis menemukan
beberapa literatur yang membahas tema pendidikan multikultural yang bisa
dijadikan sebagai suatu bahan dan perbandingan oleh penulis dalam penelitian ini.
Literatur-literatur yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Hasan Aydin yang berjudul
‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛. Dalam penelitian
ini ia menyatakan bahwa sekolah-sekolah Turki sudah mengembangkan kurikulum
pendidikan multikultural. Faktor pengembangan itu karena di Turki sendiri banyak
siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda ditambah meningkatnya
masyarakat imigran. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan dengan kurikulum
multikultural mampu menjaga prinsip keadilan global (global justice). Selain itu,
kurikulum multikultural dapat menguatkan hubungan siswa yang berlatar belakang
status ekonomi dengan status sosial yang berbeda. Aydin hanya mengfokuskan
penelitiannya pada pengembangan kurikulum pendidikan multikultural di sekolah
Turki, tidak menguraikan secara detail implementasi dari kurikulum pendidikan
multikultural tersebut.32
Kedua, karya Nuryadin ‚Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren
Karya Pembangunan Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya‛ menyimpulkan bahwa
pesantren tersebut menanamkan nilai-nilai demokrasi, nilai toleransi, nilai
humanisme dan nilai inklusif dengan berbagai sisinya seperti keadilan, kerja sama,
penghargaan, gotong royong, persaudaraan, kebebasan berkreasi santri dan
perdamaian. Penelitian ini hanya berfokus pada temuan penanaman nilai-nilai
pendidikan multikultural di pesantren tersebut melalui pendekatan fenomenologi.33
Ketiga, karya Muhammad A.S. Hikam ‚Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme‛ menyimpulkan bahwa upaya penanggulangan
32
Hasan Aydin, ‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛,
Mediterranean Journal of Social Sciences, 3.3 (2012): 227-286 33
Nuryadin, Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan
Puruk cahu Kabupaten Murung Raya‛ (Tesis Program Magister Pendidikan Islam Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014).
12
radikalisme melalui pendekatan budaya sangat strategis untuk terus dikembangkan
di Indonesia. Buku ini menunjukan bahwa pentingnya peranan masyarakat sipil
dalam mencegah adanya tindakan-tindakan radikal tapi belum menyebutkan peran
spesifik pondok pesantren.34
Keempat, karya Chairil Mahfud ‚Pendidikan Multikultural‛ menyimpulkan
pendidikan multikultural mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat
bahwa konflik bukan merupakan hal yang baik untuk dibudidayakan. Sehingga
pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan menghargai
perbedaan. Buku ini lebih spesifik menjelaskan konsep pendidikan multikultural
tidak membedah suatu kasus tertentu35
Kelima, karya Ainurrofiq Dawam ‚Pendidikan Multikultural‛yang
mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan yang
menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Buku ini hanya mengupas
landasan filosofis pendidikan multikultural yaitu meliputi hakikat manusia,
dimensi manusia dan kebutuhan manusia. Buku ini juga tidak merupakan hasil dari
sebuah studi kasus.36
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong,
Hui-Hua Chen yang berjudul ‚The Necessity of Multicultural Education in
Indonesia‛. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa di Indonesia sangat perlu
diterapkan pendidikan multikultural. Melihat fakta yang ada, Indonesia memiliki
keragaman suku, budaya, ras, bahasa, adat istiadat, pandangan politik. Oleh karena
itu Indonesia memiliki semboyan ‚Bhineka tunggal Ika‛. Dalam penelitian ini
disajikan data sejarah munculnya pendidikan multikultural di Amerika Serikat
kemudian dijadikan rujukan untuk Indonesia. Selain itu juga dibahas bagaimana
mempertahankan keragaman di Indonesia.37
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Anna Christina Abdullah yang
berjudul ‚Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs‛.
Penelitian membahas isu-isu dan tantangan pendidikan multikultural untuk anak
usia dini. Dipaparkan strategi pelaksanaan pendidikan multikultural untuk anak
usia dini. Penelitian ini berasumsi bahwa pendidikan multikultural adalah sangat
penting untuk mengantisipasi adanya konflik. Oleh karena itu, harus dimulai sejak
pendidikan usia ini.38
Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Yesim Orbalas. Dalam
disertasinya yang berjudul ‚Perspectives on Multicultural Education: Case Studies
34
Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme (Jakarta: Kompas, 2016).
35Chairil Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Cet-5. 36
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: LKIS, 2014). 37
Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong, Hui-Hua Chen, The Necessity of Multicultural Education in Indonesia(International Journal of Education and Research, Vol. 2 No. 10.
Oktober 2014), 317-328. 38
Anna Christina Abdullah, Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs (CICE Hiroshima University, Journal of International Coorperation In Education, Vol. 12 No. 1, 2009), 159-175.
13
of A German and An American Female Minority Teacher‛. Orbalas telah
menguraikan tentang pengalaman dua orang guru perempuan yang minoritas yang
telah mengimplementasikan pendidikan multikultural. Selain itu berupaya
menguraikan perbedaan dan kesamaan kedua guru tersebut dalam menerapkan
pendidikan multikultural di ruang kelas. Dalam disertasi ini, orbalas menyimpulkan
bahwasanya penerapan pendidikan multikultural di ruang kelas disebabkan oleh
adanya I’tikad/keyakinan yang kuat dari pribadi pendidik. Jadi, perspektif pendidik
tentang pendidikan multikultural memengaruhi aktifitas belajar mengajar di
kelas.39
Di dalam penelitian ini tidak ditemukan bagaimana sistem implementasi
pendidikan multikultural secara utuh.
Dari beberapa literatur sebelumnya yang telah penulis sajikan, penulis
memandang ada hal yang belum dibahas oleh peneliti sebelumnya, yaitu tentang
implementasi pendidikan multikultural di pondok pesantren yang memiliki latar
belakang santri yang majemuk sebagai upaya membendung radikalisme. Oleh
karena itu penulis mencoba membahas implementasi pendidikan multikultural
sebagai upaya deradikalisasi.
Terkait dengan objek penelitian yaitu pondok pesantren yang memiliki
kesamaan dengan penelitian karya Nuryadin penulis meyakini adanya hasil yang
berbeda karena beberapa faktor, yaitu lokasi pondok pesantren yang berbeda,
jumlah santri dan pengaitan dengan adanya tindakan deradikalisasi. Penelitian
Nuryadin hanya menemukan nilai-nilai multikultural yang telah dilaksanakan di
lokasi penelitian tidak dikaitkan dengan upaya deradikalisasi. Begitupula dengan
pendekatan yang akan dipakai, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi, sosiologi dan antropologi.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menekankan studi
lapangan (field research) sebagai sumber perolehan data utama. Jenis kualitatif
dipilih karena penelitian ini berangkat dari realitas sosial yang dinamis, kompleks
dan membutuhkan pemahaman holistik dan hubungan gejala yang bersifat
interaktif.40
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi,
sosiologi41
, dan antropologi42
. Pendekatan fenomenologi adalah sebuah tradisi
39
Yesim Orbalas, Perspectives on Multicultural Education: Case Studies of A German and An American Female Minority Teacher, PhD. Dissertation, Georgia State
University, Georgia (2008). 40
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 8. 41
Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari perspektif sosiologi yang dapat
digunakan dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang
pendidikan. Di antaranya seperti yang disampaikan oleh Abu Ahmadi dalam bukunya
Sosiologi Pendidikan yaitu pendekatan individu, sosial, interaksi dan teori medan. Lihat
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007).
14
penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan memiliki fokus
pada pengalaman hidup seseorang/manusia. Pendekatan fenomenologi menjadikan
pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami tentang sosial budaya, politik
atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi. Penelitian ini akan
mendiskusikan tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari
suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari struktur
utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan
dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian". Peneliti memulai kajiannya
dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan
dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui
suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna
dari pengalaman informan.43
Sementara penggunaan pendekatan sosiologi dalam pendidikan adalah
untuk mengetahui prosess interaksi sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah
sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosiol kultural yang terdapat dalam
lingkungannya atau masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan. Penggunaan
pendekatan sosiologi juga akan membantu peneliti dalam memperoleh data yang
akurat karena pada prinsipnya dalam pendekatan sosiologi ada teknik memperoleh
data dengan pendekatan individu (the individual approach). Dalam pendekatan
individu tersebut ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu internal (primer) yang
mencakup faktor biologis dan psikologis. Selain itu ada faktor eksternal (sekunder)
yang meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Seorang individu menurut
sosiologi tidak dapat lepas dari dua faktor tersebut.44
Selain pendekatan individu ada juga pendekatan sosial (the societal approach). Titik tekan pendekatan ini adalah masyarakat dengan berbagai lembaga,
kelompok, organisasi dan aktivitasnya. Secara kongkrit pendekatan sosial ini
membahas aspek-aspek atau komponen dari kebudayaan manusia, seperti keluarga,
tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya. Jadi jelas di sini yang menjadi gejala primer
42
Secara umum, Antropologi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Sedangkan
Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan
memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan
pendekatan Antropologi. Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses
transmisi budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.
Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan pemahaman
dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan formal dan
pendidikan informal. Lihat Nasution, Antropologi Pendidikan ( Jakarta : Bumi Aksara.
2004). 43
Andrean Perdana, ‚Pendekatan Fenomenologi Penelitian Kualitatif,‛
http://www.andreanperdana.com/2014/05/pendekatan-fenomenologipenelitian-kualitatif.html diakses 22 Mei 2016
44Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007) 35-36
15
adalah kelompok masyarakat, sedangkan individu merupakan gejala sekunder
saja.45
Terakhir adalah pendekatan interaksi (the interaction approach). Dalam
pendekatan interaksi ini fokus perhatianya adalah penggabungan dari pendekatan
individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada kenyataannya
menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu saling
mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu dan
masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling
menyempurnakan.46
Kesimpulanya adalah sosiologi pendidikan tidak semata-mata
hanya mempelajari individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.
Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi
budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.
Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan
pemahaman dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan
formal dan pendidikan informal.47
Oleh karena itu, pendekatan antropologi dalam
penelitian pendidikan juga sangat penting. Mengingat G.D. Spindler berpendirian
bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan
adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan
dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam
lingkungan sosial budayanya.48
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data, Penelitian ini menggunakan studi pustaka,
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Di lokasi penelitian penulis melakukan
pengamatan atau observasi tentang proses pendidikan yang dilakukan lembaga
pesantren ini. Menurut Sugiyono ada tiga jenis observasi49
yaitu:
1. Observasi partisipatif
Penulis mengamati apa yang dikerjakan orang-orang (santri ataupun
pengurus) disekitar pesantren, mendengarkan apa yang diucapkan, dan
berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi ini digolongkan menjadi
partisipasi pasif.
2. Observasi terus terang
Penulis menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa sedang
melakukan penelitian.
3. Observasi tak berstruktur
Observasi ini dilakukan dengan cara tidak menggunakan pedoman
observasi. Oleh karena itu, peneliti dapat melakukan pengamatan bebas.
Tiga observasi di atas dipakai oleh peneliti dalam mengumpulkan data.
Observasi tersebut berguna untuk peneliti agar dapat memahami konteks data
45
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 41 46
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 44 47
Nasution, Antropologi Pendidikan (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), 36. 48
Hasojo, Pengantar Antropologi (Bandung : Bina Cipta, 1984), 25. 49
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 12.
16
dalam keseluruhan situasi sosial, mendapatkan pengalaman langsung, melihat hal-
hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, menemukan hal-hal yang tidak akan
terungkapkan oleh responden dalam wawancara, menemukan hal-hal diluar
persepsi responden, memperoleh kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi
sosial yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu tempat,
pelaku, dan aktivitas, event, time, goal, dan feeling.
Dalam pelaksanaan obeservasi ini akan dibuatkan format atau blanko
pengamatan sebagai instrumenya. Format/blanko tersebut disusun berisi item-item
tentang kejadian atau tingkah laku yang akan diteliti di lokasi penelitian. Dari
format ini akan diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah
sekedar mencatat, tetapi juga mempertimbangkan efektif atau tidaknya poin-poin
yang diobservasi. Selain itu juga dilakukan penilaian kepada skala bertingakat.
Misalnya, mengobservasi reaksi penonton televisi bukan hanya mencatat rekasi
tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut dengan memberikan skala penilaian
dengan sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
peneliti.50
Di antara poin-poin yang akan menjadi pedoman observasi adalah sebagai
berikut:
Apa yang saya kerjakan pada saat berada di pondok pesantren?
Bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren?
Apa yang dilakukan oleh pimpinan, ustadz, santri, alumni dan pengurus
di pesantren dalam hal pengembangan pendidikan?
Apa pendapat penduduk di sekitar pesantren terhadap pesantren?
Adapun untuk lebih lengkapnya mengenai instrumen observasi akan dipaparkan
selanjutnya menjadi sebuah lampiran dalam laporan penelitian.
Setelah melakukan observasi, peneliti melakukan dokumentasi data-data
tertulis pesantren yang mendukung tema penelitian. Data-data tersebut berupa
pelaksanaan pendidikan di pesantren, foto-foto kegiatan, video, berita di website
dan lain sebagainya yang dapat dijadikan data sekunder. Setelah semua dilakukan
dengan baik akan dilakukan tahapan selanjutnya yaitu wawancara.
Wawancara (interview), teknik ini merupakan salah satu penyelidikan
ilmiah yang menggunakan verbal dalam proses komunikasi untuk mendapatkan
data yang berhubungan dengan tema penelitian. Menurut Antonio wawancara
sebagai teknik investigasi secara ilmiah untuk mendapatkan informasi yang
dinginkan.51
Penulis dalam hal ini melakukan wawancara terhadap subjek
penelitian di pesantren dengan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya.52
Data dokumentasi yang telah didapatkan akan dilakukan
50
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek., (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006), 229. 51
Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in
Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.
52Penulis memperlakukan informan sebagai teman diskusi yang bebas dan terbuka
yang tidak terbatas pada pertanyaan yang sudah direncanakan saja. Dengan cara ini,
informan dapat memberikan informasi seluas-luasny sehingga penulis mendapatkan
17
trianggulasi53
dengan data yang dihasilkan dari wawancara dan observasi, karena
menurut Antonio trianggulasi data bertujuan untuk saling menguatkan dan
merekatkan.54
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer adalah yang berkaitan langsung dengan topik penelitian dan digali langsung
dari sumber pertama. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap objek
penelitian dan hasil pengamatan langsung terhadap aktifitas santri di pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Data primer yang didapatkan bisa berupa
implementasi, peranan pondok pesantren, dan nilai-nilai multikultural yang
diterapkan. Sementara data sekunder merupakan data pendukung yang didapatkan
bukan langsung dari sumber pertama, misalnya dari buku, website, berita, majalah,
koran, dan lain sebagainya.
Objek kajian55
dalam penelitian ini adalah seluruh elemen pondok
pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor. Sementara informan yang
peneliti wawancara adalah orang-orang atau individu-individu yang dianggap
mengetahui dan memahami apa yang menjadi masalah dalam penelitian ini.
Informan dalam penelitian ini tidak bersifat acak, informan dicari secara sengaja,
maksudnya peneliti menentukan sendiri informan yang diambil karena
pertimbangan tertentu. Pertimbangannya lebih pada kemampuan informan untuk
memasok informasi selengkap mungkin kepada peneliti. Jadi, informan tidak
diambil secara acak, tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Kemudian, untuk
menggali informasi yang lebih dalam, peneliti mengumpulkan data dari satu
informan kepada informan lain yang memenuhi kriteria melalui wawancara
mendalam, kemudian berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi, terjadi replikasi
atau pengulangan variasi informasi, ataupun mengalami titik jenuh informasi.
Dengan kata lain informasi yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama
saja dengan apa yang diberikan oleh para informan sebelumnya. Teknik pencarian
informasi yang mendalam. Dalam proses wawancara penulis melakukan transkripsi yaitu
pencatatan terhadap informasi yang telah didapat dari informan. Lihat Elizabeth Charters,
‚The Use of Think-aload Methods in Qualitative Research An Introduction to Think-aload
Methods‛, Brock Education 12, 2 (2003):78-79 53
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lainnya (Moleong, 2005:330) 54
Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in
Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.
55Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan
situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan
aktivitas (activity). Lihat Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Malang: UMM
Press, 2010). Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 8. Lihat http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/teknik-sampling-pada-penelitian.html.
18
informan ini bermula pada satu orang informan, kemudian informan tersebut
diminta rekomendasi untuk memberikan pandangan tentang informan berikutnya.
Begitu seterusnya sehingga jumlah informan semakin banyak dan jumlah data
semakin akurat.56
Berikut skemanya:
4. Proses Analisis Data
Analisis data sebagai proses pemilahan dan pengelompokan data empiris
yang selanjutnya menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang tersusun dan
terstruktur secara sistematis menjadi laporan hasil penelitian. Dalam proses
analisis data, teknik yang dilakukan adalah analisis data sebelum ke lapangan dan
analisis di lapangan.
Sebelum datang ke lapangan, peneliti melakukan analisis data. Yakni
menganalisis data hasil studi pendahuluan ataupun data sekunder seperti hasil data
dari website atau dokumentasi yang ada. Dari analisis ini dapat menentukan fokus
pencarian data selanjutnya. Kemudian, analisis data dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data pada waktu yang
berbeda. Pada saat peneliti melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan
analisis, sehingga jika didapatkan pertanyaan yang kurang mendalam maka peneliti
akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai didapatkan jawaban yang memuaskan.
Kemudian proses pemilahan atau pengategorian data menggunakan model
seperti yang dijelaskan M. Atho Mudzhar, yaitu analisis komparatif konstan.
Analisis ini adalah analisis terhadap setiap kategori data yang muncul dengan cara
membandingkanya satu sama lain. Memperbandingkan setiap datum untuk
memunculkan berbagai kategori. Kemudian memperbandingkan, mengintegrasikan
56
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2012), 61.
A Informan Pertama
Pilihan A
D E
B
F G
C
I H
Bagan 1.1: Tentang pengambilan informan
19
kategori-kategori untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.
Tujuan membandingkanya adalah untuk memverifikasi.57
57
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 47-54.