P a g e | 1
Arie Cahyono
PENDEKATAN KRITIS TEORI FEMINIS DALAM
KOMUNIKASI ORGANISASI
(Sebuah Catatan Implementasi pada Pelaksanaan Diklat Aparatur)
Oleh :
Arie Cahyono, SSTP, MSi
Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Jawa Timur
(Fasilitator PPRG Pemerintah Provinsi Jawa Timur)
Pendahuluan
Ilmu sosial kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik,
tetapi banyak di antaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan
komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoretisi kritis biasanya
enggan untuk memisahkan komunikasi dan elemen-elemen lainnya dari
keseluruhan sistem. Dengan kata lain, suatu teori kritis mengenai komunikasi
(atau ekonomi, atau politik) perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara
keseluruhan. Teori komunikasi kritis berhubungan dengan berbagai topik yang
relevan, termasuk bahasa, struktur organisasi, hubungan interpersonal, dan
media. Komunikasi itu sendiri menurut perspektif kritis merupakan suatu hasil dari
tekanan (tension) antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pada pesan
dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Issue gender misalnya
menjadi pendekatan tersendiri yang dipengaruhi teori kritis feminis. Terlebih
dewasa ini issue gender yang mengakibatkan kesenjangan gender dalam
beberapa bidang pembangunan menjadi topik utama, mengingat komitmen dunia
internasional akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi tujuan bersama
secara global. Pada Konferensi Hak Azasi Manusia diWina, Austria pada 1993
dan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo Mesir
pada 1994 menekankan pentingnya komitmen bersama untuk memenuhi
kesehatan reproduksi bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan,
dengan mempertimbangkan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Komitmen
ini dipertegas lagi dengan lahirnya rencana aksi Beijing dan Konferensi
Perempuan ke IV di Beijing, Cina pada 1995. Konferensi Perempuan di Beijing
P a g e | 2
Arie Cahyono
sering disebut sebagai momentum penting perjuangan meningkatkan harkat dan
martabat kaum perempuan sedunia. Secara nasional pemerintah menerbitkan
kebijakan untuk mengatasi kesenjangan gender yang terjadi yaitu Inpres No. 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
Pengarusutamaan Gender ini sebagai suatu strategi untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembangunan.
Pembangunan pada era millenium Millenium Development Goals (MDG’s)
mempunyai salah satu tujuan diantaranya adalah menuju kemitrasejajaran laki-
laki dan perempuan dengan meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender pada
setiap sektor pembangunan. Akan tetapi masalah ketidakadilan gender
ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan,
tingginya tindak kekerasan terhadap Perempuan yang diukur dengan angka
Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index atau GDI) dan
angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Index atau
GEM). Selayaknya memang pelaksanaaan pembangunan harus memperhatikan
keadilan gender menjadi salah satu syarat untuk mencapai hasil pembangunan
yang adil gender dan membawa manfaat baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang memperhatikan keadilan
gender adalah adanya analisis gender terhadap masing-masing program
pembangunan yang dilaksanakan di semua sektor pembangunan. Analisis ini
hanya dapat dilaksanakan apabila para perancang program dan para pengambil
keputusan memahami tentang keadilan gender dan penerapannya dalam
program-program pembangunan serta selalu mengikuti isu-isu gender terbaru
dalam masyarakat yang terus berkembang. Pada tataran masyarakat juga
mensyaratkan ketersediaan data yang dirinci menurut jenis kelamin dan kelompok
umur, termasuk data dan statistik anak dengan analisis berdasarkan konteks
perkembangan masing-masing wilayah.1
Namun dalam kenyataannya perjuangan gender masih membutuhkan
proses yang sangat panjang, terlebih hambatan terbesar adalah masih kuatnya
kultur patriarki menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan gender yang akhirnya
mengakibatkan posisi gender yang tidak setara dimana perempuan sebagai
korban utamanya. Salah satu contoh persoalan ketidakadilan gender ini dapat di 1 Arie Cahyono, Profil Perempuan Kabupaten Blitar Tahun 2015, Bappeda Kabupaten Blitar, 2015.
P a g e | 3
Arie Cahyono
lihat dalam sektor pendidikan dimana laki-laki mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi karena nantinya laki-
laki akan menjadi kepala keluarga dan sebagai pencari nafkah sehingga
pendidikan sangat diperlukan apabila kelak menginginkan kehidupan ekonominya
baik, sedangkan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nantinya
perempuan akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya bekerja di rumah.
Setidaknya data berikut akan dapat dilihat keterlibatan perempuan di ranah
birokrasi pada posisi eksekutif dapat dilihat dari keterwakilan perempuan yang
sangat minim. Tercatat hanya terdapat 1 orang Gubernur dan 1 Wagub dari 33
Gubernur/Kada, serta 38 Bupati/Walikota (7,6%) dari 497 Kabupaten/Kota.
Keterwakilan perempuan pada posisi Menteri/Wakil Menteri pun baru mencapai
11% dari 56 Menteri/Wakil Menteri atau setingkat Menteri. Kemudian, data tahun
2010 dari Kementerian PAN & RB menyatakan bahwa jumlah Pegawai Negeri
Sipil (PNS) sebesar 4.598.100 orang, yang terdiri dari perempuan 46,48% dan
Laki-laki 53,52% dengan komposisi keterwakilan perempuan: Eselon I sebanyak
9%, Eselon II sebanyak 7%, Eselon III sebanyak 16% dan Eselon IV sebanyak
25%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jabatan tersebut
semakin rendah posisi perempuan. Keterwakilan perempuan di lima lembaga
yudikatif pun menunjukkan angka keterwakilan yang tidak begitu signifikan, yakni
dengan komposisi keterwakilan pada Mahkamah Agung sebanyak 12%,
Mahkamah Konstitusi sebanyak 11%, Komisi Yudicial & Komisi Pemberantasan
Korupsi sebanyak 0%, serta Komisi Pemilihan Umum sebanyak 14%. Lalu,
perempuan professional yang menduduki jabatan direksi 142 BUMN di Indonesia
hanya mencapai sekitar 5% dari 650 direksi. Di tambah lagi, apabila dicermati
jumlah perempuan yang mengikuti pendidikan di LAN setingkat PIM I dan PIM II
masih sangat terbatas.2
Data tersebut menunjukkan ketimpangan gender tidak hanya terjadi di
masyarakat saja dalam organisasi pemerintahanpun formasi pejabat struktural
baik ditingkat pusat dan daerah masih didominasi hampir sebagian besar diakses
oleh laki-laki. Terlebih komitmen penyelenggara diklat aparatur misalnya saja baru
2 Pers Release KPPPA Pengarusutamaan Gender Mendorong Peningkatan Aparatur Negara yang Kompeten dan Profesional 20
Desember 2012, sumber : http://menegpp.go.id/V2/index.php/component/content/article/10-gender/465-press-release-pug-mendorong-aparatur-negara-yang-kompeten-dan-profesional
P a g e | 4
Arie Cahyono
menandatangani nota kesepakatan bersama tentang Percepatan Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dengan Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 20
Desember 2012 di Jakarta, padahal rentang waktu PUG melalui Inpres No. 9
Tahun 2000 tentang PUG dalam pembangunan. Kurang lebih membutuhkan
waktu 12 (dua belas) tahun untuk mengkomunikasikan issue gender dalam
institusi pemerintah sekelas Lembaga Administrasi Negara. Sehubungan dengan
hal tersebut penulis berbekal buku Organizational Communication (approaches
and processes) karya Katherine Miller dan beberapa buku serta data pendukung
mencoba menelaah “Pendekatan Kritis Teori Feminis Dalam Komunikasi
Organisasi” (Studi implementasi pada pelaksanaan Diklat Aparatur di Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur).
Pendekatan Kritis
Pendekatan kritis mulai muncul pada abad ke-19. Saat itu tokoh
komunikasi, Marx berpendapat yang intinya adalah kita harus mulai kritis di era
kapitalis yang penuh dengan penindasan terhadap pekerja bawahan.Sikap kritis
tersebut akan membawa kita ke revolusi. Karya-karya yang bermuatan teori kritis
dengan tokoh-tokohnya Max Horkheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dari
Frankfurt School dalam tahun 1923. Kelompok ini semula dipengaruhi oleh
prinsip-prinsip Marxis, walaupun tidak semua yang ada pada teori kritis adalah
Marxis. Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, menurut Sendjaja
(1994:392) semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama, yaitu:
a. Semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Yaitu
bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang
dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk
menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok
sosial dikekang dan ditindas.
b. Pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk
mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi. Kebanyakan teori-
teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami
P a g e | 5
Arie Cahyono
bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan
untuk merubah kekuatan penindas.
c. Pendekatan kritis secara sadar berupaya menggabungkan teori dan tindakan.
Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan
dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita.3
Berbeda dengan kedua pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan klasik
dimana peran pakar teori salah satunya adalah menemukan teknik-teknik yang
efektif bagi kerja-kerja pengorganisasian, dan pendekatan sistem dan budaya
yang peran pakar teori adalah memahami dan menjelaskan fenomena komunikasi
organisasi (obyektif dan subyektif), sedang pendekatan kritis lebih mengadopsi
kerangka pemikiran radikal dimana menempatkan organisasi sebagai medan
dominasi.
Miller dalam bukunya organizational communication (2009), menyebutkan
ada 3 (tiga) isu yang biasa dikaji dalam pendekatan kritis ini, diantaranya :
a. Struktur sosial telah membawa ketidak seimbangan power
Maksudnya adalah Struktur yang tidak kredibel akan membuat kesejangan
sosial,antara atasan dan bawahan tercipta jurang pemisah yang cukup
besar.Atasan cenderung memiliki kekuasaan mutlak.
b. Ketidakseimbangan power menyebabkan keterasingan/penindasan terhadap
kelas tertentu Kekuasaan yang tidak terkontrol akan membuat atasan bertindak
sewenang-wenang.
c. Peran teori kritis adalah membuka ketidakseimbangan tersebut.
Menurut Morgan dalam Miller (2009) sumber-sumber kekuasaan dalam
organisasi yang turut mempengaruhi komunikasi dalam sebuah organisasi yaitu :
1. Otoritas formal
2. Kontrol terhadap sumber daya,keputusan,informasi,teknologi
3. Pemanfaatan regulasi, wewenang, dan struktur organisasi.
4. Kontrol pengambilan keputusan
5. Kontrol atas pengetahuan dan informasi;
6. Kontrol atas aneka batasan;
3 Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1993. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
P a g e | 6
Arie Cahyono
7. Kemampuan mengatasi ketidakpastian
8. Kontrol atas teknologi
9. Aliansi, jejaring personal, dan kontrol atas “organisasi/kelompok informal”
10. Kontrol atas organisasi-organisasi lawan;
11. Simbolisme dari manajemen makna
12. Gender dan manajemen relasi gender
13. Faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan;
14. Kekuasaan yang telah dimiliki seseorang sebelumnya
Teori Aliran Feminis Dalam Komunikasi Organisasi
Perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan perempuan dan laki-laki dapat di
kelompokkan ke dalam perbedaan biologis dan perbedaan sebagai hasil konstruksi sosial
budaya. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki biasa disebut sebagai seks
(jenis kelamin). Perbedaan antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial
budaya biasa disebut sebagai gender.4
Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat dari ciri-ciri
biologis antara keduanya, baik ciri-ciri yang bersifat primer (selalu ada pada jenis kelamin
tertentu) dan ciri-ciri yang bersifat sekunder (cenderung ada pada jenis kelamin tertentu
tetapi tidak selalu ada pada jenis kelamin tersebut).
Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab, sikap
dan perilaku sebagai hasil konstruksi sosial dan budaya. Hal ini biasa dikenal dengan
istilah gender. Perbedaan ini dibentuk melalui proses pembiasaan secara terus menerus
sehingga terinternalisasi pada diri setiap orang, setiap keluarga, setiap masyarakat.5
Proses sosialisasi ini dilakukan melalui:
Keluarga seringkali melakukan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
secara tradisisonal, dimana perempuan cenderung dibiasakan melakukan peran
domestik (kerumahtanggaan) dan laki-laki dibiasakan melakukan peran publik.
Pembiasaan peran ini dilakukan secara terus menerus dari hari ke hari, sejak
seseorang lahir hingga dewasa sehingga akhirnya membentuk ideologi gender.
4 Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, 2014, Pedoman Teknis Penyusunan GAP dan GBS, Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) & Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tahun 2014. 5 Ibid
P a g e | 7
Arie Cahyono
Masyarakat mengukuhkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
sebagaimana yang biasa dilakukan di tingkat keluarga, sehingga ketika ada
seseorang atau sekelompok orang melakukan peran yang tidak biasa dianggap
aneh.
Negara mengukuhkan pembagian peran perempuan dan laki-laki melalui berbagai
regulasi yang dihasilkannya.
Sekolah seringkali mentransformasi nilai-nilai yang bias gender melalui contoh-
contoh bahan ajar maupun proses pembelajaran di sekolah.
Tempat Kerja: tempat kerja seringkali memberikan peran kepada perempuan dan
laki-laki secara berbeda sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya. Laki-laki
seringkali mendapat pekerjaan yang dianggap memerlukan rasio, kecepatan
mengambil keputusan maupun inovatif. Sedangkan perempuan seringkali
mendapatkan pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan perasaan seperti menjadi
sekretaris, perawat, guru TK/SD.
Media massa seringkali memperkuat anggapan tentang perempuan dan laki-laki
melalui pemberitaan yang dibuatnya. Perempuan seringkali ditampilkan menarik
karena !siknya seperti cantik, seksi sedangkan laki-laki seringkali ditampilkan menarik
karena prestasinya.
Isu gender begitu memenuhi kehidupan organisasi. Banyak para pakar
komunikasi organisasi mengadopsi teori aliran feminis sebagai landasan kerja
mereka. Organisasi dalam bentuk tradisional maupun birokratis sangat patriarki.
Mereka lebih jauh mengungkapkan bahwa perempuan memiliki cara pandang
khas terhadap dunia dan menciptakan makna-makna melalui interaksi. Para pakar
feminis meyakini bahwa perempuan di organisasi bisa tertindas/terpinggirkan
dalam kehidupan organisasi akibat dinamika relasi gender yang bentukan struktur
organisasi yang patriarki.
Dalam pendekatan organisasi nampak sebuah temuan bahwa komoditas
yang paling dihargai adalah karakter tipe laki-laki seperti agresivitas, dan
kompetitifnes. Sebaliknya, karakter tipe perempuan seperti intuisi, emosi, empati,
kerukunan, dan kerjasama sepertinya diremehkan dalam kehidupan orgnisasi.
Para pakar feminisme mengatakan bahwa konsep yang digunakan dalam
P a g e | 8
Arie Cahyono
memahami kehidupan organisasi, (seperti rasionalitas dan hirarki) cenderung bias
laki-laki (Mumby dan Putnam, 1992) dan bahwa struktur bahasa di organisasi juga
bersifat patriarki (lihat juga Penelope,1990). Agar lebih jelas berbagai sudut
pandang dan gagasan dari penggiat feminis, berikut ditampilkan tabel sebagai
berikut :
Sudut Pandang Gagasan
Feminis liberal Feminis liberal meyakini bahwa penghapusan subordinasi
perempuan harus berasal atau berawal dari sistem, dan
perempuan hendaknya berjuang untuk mendapatkan peran
yang adil atas kontrol terhadap lembaga-lembaga yang
dikuasasi kaum laki-laki. Para feminis lain yang tidak
sependapat dengan pendekatan ini mengatakan, bahwa
pendekatan ini hanya akan semakin memperkuat iklim
patriarki di masyarakat.
Feminis radikal Feminis radikal justru meyakini bahwa emansipasi
perempuan hanya akan terwujud melalui destruksi terhadap
lembaga-lembaga yang didominasi laki-laki, atau melalui
pemisahan total perempuan dari lembaga-lembaga semacam
ini. Sementara feminis yang lain mengusulkan bagi adanya
aksi-aksi yang lebih simbolik.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan
terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh
perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak
reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-
publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar
yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai
ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk
diangkat ke permukaan.
P a g e | 9
Arie Cahyono
Feminis
standpoint
Feminis standpoint bekerja untuk mempekuat peluang bagi
berbagai suara-suara yang terpinggirkan agar terdengar
dalam dialog-dialog masyarakat. Dalam teori ini, Harding dan
Wood menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk
mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, yaitu dengan
memulai penyelidikan kita dari standpoint kaum perempuan
dan kelompok-kelompok marginal lain. Standpoint adalah
sebuah tempat di mana kita memandang dunia di sekitar kita.
Apapun tempat yang menguntungkan itu, lokasinya
cenderung memfokuskan perhatian kita pada beberapa fitur
dalam bentangan alam dan sosial dengan mengaburkan fitur-
fitur lainnya. A standpoint bermakna sama dengan istilah
viewpoint, perspective, outlook, atau position. Dengan
catatan bahwa istilah-istilah ini digunakan dalam tempat dan
waktu khusus, tetapi semuanya berhubungan dengan
perilaku dan nilai-nilai. Standpoint kita mempengaruhi
worldview kita.
Feminis
postmodern
Feminis postmodern berupaya “merombak” (deconstruct)
sistem yang didominasi laki-laki untuk memunculkan
perspektif perempuan.
Ide postmodern menurut anggapan mereka - ialah ide yang
anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan
pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial.
*) Sumber rujukan : Organizational Communication (approaches and processes)
karya Katherine Miller dan diolah dari beberapa sumber.
Diklat Aparatur
Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) aparatur di Indonesia telah
diatur melalui suatu kebijakan khusus, yaitu melalui Peraturan Pemerintah No.101
P a g e | 10
Arie Cahyono
Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
Dalam kebijakan tersebut telah diatur dua jenis Diklat (Pendidikan dan Pelatihan)
bagi peningkatan kompetensi PNS (Pegawai Negeri Sipil), yaitu Diklat pra-jabatan
dan Diklat dalam jabatan. Selanjutnya, Diklat dalam jabatan dibagi menjadi Diklat
kepemimpinan, Diklat fungsional, dan Diklat teknis. Namun demikian, ternyata
programprogram Diklat tersebut masih dinilai belum mampu mewujudkan tujuan
yang diharapkan, yaitu peningkatan kompetensi SDM aparatur. LAN (Lembaga
Administrasi Negara) menetapkan diklat sebagai suatu proses “transformasi”
kualitas SDM aparatur negara yang menyentuh 4 dimensi utama, yaitu dimensi
spiritual, intelektual, mental, dan fisikal yang terarah pada perubahan-perubahan
mutu dari keempat dimensi sumber daya manusia aparatur pemerintah (Mulyadi,
2008)6
Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur didirikan pada tahun
1980 di Surabaya adalah unsur pelaksana Pemerintah Provinsi Jawa Timur
dibidang pendidikan dan pelatihan bagi aparatur telah berkembang dari organisasi
pendidikan dan pelatihan yang kecil menjadi sebuah lembaga pendidikan dan
pelatihan yang besar. Pada tahun 2008, Badan Diklat Provinsi Jawa Timur
mengalami perubahan struktur organisasi berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur No. 10 Tahun 2008. Memiliki kampus utama di Surabaya dan sebuah
kampus lainnya di Malang. Semenjak berdirinya sampai dengan sekarang lebih
dari 250.000 alumni dari seluruh Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia telah
berpartisipasi mengikuti diklat aparatur. Pada tanggal 27 Desember 2002 telah
memperoleh akreditasi dan sertifikasi dari Lembaga Adminitrasi Negara Republik
Indonesia melalui Keputusan Kepala LAN RI 741 A/IX/6/4/2002 dalam
penyelenggaraan Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV, III dan
II. Pada tanggal 28 September 2005 telah memperoleh Akreditasi dan Sertifikasi
ISO 9001:2000 untuk Sistem Manajemen Mutu Pendidikan dan Pelatihan.
31 Mei 1980 Pusat Pendidikan dan Latihan PUSDIKLAT Provinsi Jawa Timur
13 April 1985 Pendidikan dan Latihan Provinsi Dati I Jawa Timur
6 Mulyadi, Deddy. (2008). “Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi Melalui Manajemen Diklat
Sistemik sebagai Paradigma Baru dalam Organisasi dan Manajemen” dalam Jurnal Diklat Aparatur, Vol.4, No.1, hlm.1-12.
P a g e | 11
Arie Cahyono
8 Januari 1994 Pendidikan dan Latihan Provinsi Dati Jawa Timur ( Perda No. 8
Tahun 1994)
27 September 2000 Badan Pendidikan dan Pelatihan Propinsi Jawa Timur
(Perda No. 20 Tahun 2000)
07 Agustus 2008 Strukur Organisasi Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah, Inspektorat Daerah dan Lembaga Teknis di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur (Perda No. 10 Tahun 2008)
Jenis Diklat yang diselenggarakan oleh Badan Diklat Jawa Timur mulai dari
diklat kepemimpinan, diklat prajabatan, diklat teknis maupun diklat fungsional,
berikut ditampilkan jenis layanan diklat yaitu :
Diklat
Kepemimpinan
Diklat Prajabatan Diklat Teknis Diklat Fungsional
Diklat Kepemimpinan
dilaksanakan dalam
rangka mencapai
persyaratan
kompetensi
kepemimpinan
aparatur pemerintah
yang sesuai dengan
jenjang jabatan
struktural. Diklat
Kepemimpinan yang
dilaksanakan oleh
Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur adalah
Diklat Kepemimpinan
Tingkat II,
Kepemimpinan
Diklat Prajabatan
dilaksanakan untuk
memberikan
pengetahuan dalam
rangka pembentukan
wawasan kebangsaan,
kepribadian dan etika
PNS, disamping
pengetahuan dasar
tentang sistem
penyelenggaraan
pemerintahan negara,
bidang tugas, dan
budaya organisasinya
agar mampu
melaksanakan tugas
dan perannya sebagai
Diklat Teknis
dilaksanakan untuk
mencapai persyaratan
kompetensi teknis yang
diperlukan untuk
melaksanakan tugas PNS.
Diklat Teknis yang
dilaksanakan oleh Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur
adalah Diklat Rumpun
Administrasi, Diklat
Rumpun Manajemen
Pemerintahan, dan Diklat
Rumpun Pembangunan
(Substantif/Sektoral).
Diklat Fungsional
dilaksanakan untuk
mencapai persyaratan
kompetensi yang
sesuai dengan jenis
dan jenjang Jabatan
Fungsional masing-
masing serta dalam
rangka meningkatkan
kompetensi tenaga
kediklatan. Diklat
Fungsional yang
dilaksanakan oleh
Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur antara
lain: - Diklat
Fungsional Profesi,
P a g e | 12
Arie Cahyono
Tingkat III dan
Kepemimpinan
Tingkat IV.
pelayan masyarakat.
Diklat Prajabatan yang
dilaksanakan oleh
Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur adalah
Diklat Prajabatan
Golongan III,
Prajabatan Golongan II
dan Prajabatan
Golongan I
baik pembentukan
jabatan fungsional
maupun peningkatan
kompetensi pejabat
fungsional - Diklat
Fungsional Kediklatan
yang ditujukan untuk
peningkatan
kompetensi tenaga
kediklatan
Sumber : Badan Diklat Provinsi Jawa Timur,
http://bandiklat.jatimprov.go.id/blog/diklat-pim
Sukses tidaknya sebuah penyelenggaraan kediklatan tergantung dari tiga
domain penting yaitu penyelenggara diklat, widyaiswara dan sarana prasarana
penunjang kediklatan. Peran ketiga domain ini penting, terlebih keberadaannya
dalam kapasitas issue feminis pada pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming).
Variabel Aplikasi Analisa
Penyelenggara
Diklat
-Kurikulum
-Pelayanan
Kurikulum
Kurikulum gender hanya ada
pada tataran diklat teknis
PUG dilakukan setahun
sekali sejak tahun 2008,2009
sedang tahun
2010,2011,2012 vacum
untuk kegiatan diklat teknis
PUG.
Perlunya
mengkomunikasikan analisa
kebutuhan diklat pada saat
rakor teknis diklat untuk
perencanaan diklat
selanjutnya dengan frekuensi
jumlah jenis diklat teknis
PUG sebaiknya dilakukan
berkesinambungan di setiap
tahunnya dengan target
sasaran yang berbeda.
P a g e | 13
Arie Cahyono
Kurikulum diklat
kepemimpinan baik diklatpim
II,III maupun IV serta diklat
prajabatan dan diklat
fungsional tidak ada sama
sekali muatan gender.
Pelayanan
Pelayanan informasi kepada
publik berbasis cybernatic
dengan penggunaan
website.
http://bandiklat.jatimprov.go.i
d/
Adanya kebijakan affirmative
action bagi peserta diklat
berjenis kelamin perempuan
yang hamil diperbolehkan
Telaahan reformulasi
kurikulum kediklatan Pim II,III
dan IV perlu dikomunikasikan
kepada Lembaga
Administrasi Negera baik
lisan maupun tertulis terlebih
sejak bulan Desember 2012
kemarin LAN telah
melakukan Nota
Kesepakatan bersama
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan
Perlindungan Anak tentang
Percepatan Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender.
Pelayanan informasi
berbasis cybernatic dengan
terintegrasi pada tenaga
admin yang senantiasa
meng-up date informasi
terbaru membuka tantangan
baru dalam berkomunikasi
secara secara eksternal
maupun internal terlebih
Badan Diklat Jawa Timur
mempunyai 2 (dua) kampus
yaitu Surabaya dan Malang.
Kebijakan affirmative action
memberi kelonggaran bagi
ibu hamil dan menyusui
merupakan langkah maju
P a g e | 14
Arie Cahyono
mengikuti diklat begitu juga
bagi peserta diklat ibu
menyusui diperkenankan
membawa serta bayi di
asrama.
Formasi peserta masih
belum mengutamakan
komposisi gender secara
proposional hal ini dapat
dilihat manakala diklat pola
kemitraan yang dilaksanakan
di daerah (kabupaten/kota)
seperti diklatpim IV maupun
III yang masih didominasi
laki-laki sebagai peserta
diklat.
Seragam ketentuan diklat
masih menempatkan
perempuan untuk memakai
rok, masih belum
diperkenankan memakai
celana panjang.
yang responsif gender
karena di Indonesia lembaga
diklat yang demikian relatif
terbatas jumlahnya.
Diperlukan pedoman
penyelenggaraan diklat yang
memperhatikan porposisi
kebutuhan gender.
Ketentuan seragam diklat
sebaiknya memberikan
ruang bagi perempuan untuk
bergerak bebas dan bukan
mengekang dan membatasi
ruang gerak mereka.
Widyaiswara
-Penguasaan
materi
-Model
Pembelajaran
Penguasaan materi
Penguasaan materi terkait
gender mainstreaming hanya
dimiliki beberapa
orang,terutama yang
mempunyai latar belakang
pengalaman mengikuti
pelatihan gender sebanyak 5
(lima) orang diantara 37 (tiga
Reorientasi pembekalan
berbasis gender
mainstreaming bagi para
tenaga pengajar widyaiswara
serta widyaiswara nantinya
harus memasukkan issue
gender pada setiap
kurikulum pembelajaran
P a g e | 15
Arie Cahyono
puluh tujuh) orang tenaga
widyaiswara.
Komposisi widyaiswara
berjenis kelamin perempuan
masih belum proposional
sebab dari 37 (tiga puluh
tujuh) orang tenaga
widyaiswara, 6 (enam)
diantaranya perempuan
sedang sisanya sebanyak 31
(tiga puluh satu) laki-laki.
Model pembelajaran
Teknik berkomunikasi masih
bias gender dan tak jarang
buta gender, misalkan
penyegaran suasana yang
tak jarang justru
memanfaatkan “issue
perempuan” sehingga secara
tidak sadar perempuan
seolah tereksploitasi.
mulai leadership, gender
budgeting ,gender
mainstreaming dalam
pembangunan dsb
Mengkomunikasikan dengan
para pemangku kepentingan
tentang penambahan formasi
widyaiswara perempuan
untuk memenuhi kuota
keterwakilan perempuan
dalam jabatan widyaiswara.
Diperlukan teknik-teknik
khusus berkomunikasi yang
responsif gender dalam
penerapan pada model
pembelajaran andragogi.
Sarana
prasarana
-Ruangan kelas
-Lingkungan
pendukung
Ruangan kelas
Beberapa ruangan kelas
berbasis multimedia sebagai
pendukung pembelajaran.
Masih ada ruangan kelas
yang menggunakan kursi
meja lipat peserta diklat yang
dirasakan tidak sensitive
Optimalisasi seluruh ruangan
kelas yang berbasis
multimedia sebagai
pendukung proses
pembelajaran.
Setting ruangan
pembelajaran yang responsif
gender sangat diperlukan
terutama bagi peserta
P a g e | 16
Arie Cahyono
akan kebutuhan perempuan.
Sebab peserta perempuan
yang menggunakan rok
pendek tidak bisa bergerak
dengan bebas (terbatas
ruang geraknya)
Lingkungan pendukung
Tersedia asrama dengan
konstruksi yang ramah
perempuan dan anak seperti
tangga yang pendek untuk
aksesbilitas perempuan.
Belum tersedianya ruangan
pojok ASI baik di kelas
maupun di sarana penunjang
lainnya.
Fasilitas toilet bagi
perempuan yang masih
belum responsif akan
kebutuhan perempuan,
jumlahnya terbatas dan
relatif cukup sempit karena
struktur bangunannya
disamakan dengan toilet laki-
laki.
perempuan dengan
mengedepankan kebebasan
ruang gerak serta
penyediaan kursi yang lebih
responsif bagi kebutuhan
perempuan dengan tetap
mengedepankan terbaik bagi
perempuan.
Tata letak asrama putri lebih
mengedepankan kemudahan
akses kebutuhan praktis
perempuan termasuk fasilitas
pendukung lainnya.
Penyediaan sarana
prasarana pendukung
pemenuhan kebutuhan
praktis perempuan di
lingkungan diklat,
penyediaan toilet perempuan
lebih mempertimbangkan
aksesbilitas, penerangan,
kelonggaran dan kuantitas
juga. Sebab toilet laki-laki
memang bisa didesain
secara sederhana dan
praktis tapi tidak untuk toilet
perempuan.
Penutup
Teori komunikasi kritis berhubungan dengan berbagai topik yang relevan,
termasuk bahasa, struktur organisasi, hubungan interpersonal, dan media.
P a g e | 17
Arie Cahyono
Komunikasi itu sendiri menurut perspektif kritis merupakan suatu hasil dari
tekanan (tension) antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pada pesan
dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Issue gender misalnya
menjadi pendekatan tersendiri yang dipengaruhi teori kritis feminis. Terlebih
dewasa ini issue gender yang mengakibatkan kesenjangan gender dalam
beberapa bidang pembangunan menjadi topik utama, mengingat komitmen dunia
internasional akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi tujuan bersama
secara global. Isu jender begitu memenuhi kehidupan organisasi. Banyak para
pakar komunikasi organisasi mengadopsi teori aliran feminis sebagai landasan
kerja mereka. Organisasi dalam bentuk tradisional maupun birokratis sangat
patriarki. Mereka lebih jauh mengungkapkan bahwa perempuan memiliki cara
pandang khas terhadap dunia dan menciptakan makna-makna melalui interaksi.
Para pakar feminis meyakini bahwa perempuan di organisasi bisa
tertindas/terpinggirkan dalam kehidupan organisasi akibat dinamika relasi gender
yang bentukan struktur organisasi yang patriarki.
Berdasarkan analisa kritis teori feminis pada pelaksanaan diklat aparatur
yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah menempatkan
issue gender sebagai bagian yang terintegral dalam pelaksanaan diklat,
beberapa temuan diantaranya menunjukkan ada beberapa inovasi kebijakan sarat
muatan gender, meskipun demikian ada hal yang perlu mendapat catatan khusus.
Hasil analisa tersebut dapat ditandai dengan :
1. Kurikulum gender hanya ada pada tataran diklat teknis dan relatif
frekuensinya sedikit serta kurikulum diklat kepemimpinan baik diklatpim II,III
maupun IV serta diklat prajabatan dan diklat fungsional tidak ada sama
sekali muatan gender secara khusus.
2. Pelayanan informasi kepada publik berbasis cybernatic dengan penggunaan
website. http://bandiklat.jatimprov.go.id/ , pelayanan pada peserta diklat
yang hamil diperbolehkan mengikuti diklat begitu juga bagi peserta diklat
sebagai ibu menyusui diperkenankan membawa serta bayi di asrama
merupakan langkah maju yang merespon kebutuhan perempuan.
3. Formasi peserta masih belum mengutamakan komposisi gender secara
proposional hal ini dapat dilihat manakala diklat pola kemitraan yang
dilaksanakan di daerah (kabupaten/kota) seperti diklatpim IV maupun III
P a g e | 18
Arie Cahyono
yang masih didominasi laki-laki sebagai peserta diklat, hal ini boleh jadi
formasi pejabat laki-laki lebih dominan dibanding jumlah pejabat perempuan
dan ketentuan pemakaian seragam peserta diklat masih menempatkan
perempuan untuk memakai rok, masih belum bahkan jarang dijumpai
pemakaian celana panjang sehingga ruang gerak beraktivitas dalam
pembelajaran lebih terbatas.
4. Model pembelajaran pada teknik berkomunikasi masih bias gender dan tak
jarang buta gender, misalkan penyegaran suasana yang tak jarang justru
memanfaatkan “issue perempuan” sehingga secara tidak sadar perempuan
seolah tereksploitasi.
5. Beberapa ruangan kelas berbasis multimedia sebagai pendukung
pembelajaran berbasis cybernatic. Selain itu pula jejaring komunikasi
manajemen kediklatan dengan 2 (dua) kampus di Kota Surabaya dan Kota
Malang model komunikasi berbasis cybernatic menemukan cara yang
optimal untuk menciptakan sistem komunikasi jaringan bagi staf yang
terpisah secara geografis, mengingat kapasitas kampus II yang ada di Kota
Malang bukan merupakan UPT hanya sebatas gedung dengan fasilitas kelas
yang berisi staf teknis terkait.
6. Masih ada ruangan kelas yang menggunakan kursi meja lipat yang terbuka
bagi peserta diklat yang dirasakan tidak sensitive akan kebutuhan
perempuan. Sebab peserta perempuan yang menggunakan rok pendek tidak
bisa bergerak dengan bebas (terbatas ruang geraknya)
7. Tersedia asrama dengan konstruksi yang ramah perempuan dan anak
seperti tangga yang pendek untuk aksesbilitas perempuan.
8. Belum tersedianya ruangan pojok ASI baik di kelas maupun di sarana
penunjang lainnya dan fasilitas toilet bagi perempuan yang masih belum
responsif akan kebutuhan perempuan, jumlahnya terbatas dan relatif cukup
sempit karena struktur bangunannya disamakan dengan toilet laki-laki.
9. Perlu dirancang secara terintegratif pada ketiga domain sasaran yaitu
penyelenggara diklat, widyaiswara dan sarana prasarana kediklatan untuk
merespon kebutuhan melalui kebijakan pelaksanaan diklat aparatur berbasis
gender mainstreaming.
P a g e | 19
Arie Cahyono
10. Terlaksananya sebuah diklat aparatur yang responsif gender tidak pernah
terlepas dari perlunya perubahan perilaku (behavior change),
pengembangan kebijakan (policy development), pemberdayaan
(empowerment), serta membangun kemitraan (building partnership and
alliance) yang kesemuanya harus dilandasi dengan gender awareness dari
para pemangku kepentingan.
DAFTAR REFERENSI
Arie Cahyono, Profil Perempuan Kabupaten Blitar Tahun 2015, Bappeda
Kabupaten Blitar, 2015.
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, 2014, Pedoman Teknis Penyusunan GAP dan GBS,
Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) & Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tahun 2014.
Katherine Miller (Texas A & M University), Organizational Communication
(approaches and processes), Sixth Edition, Wadsworth Cengage Learning, 2012.
Mulyadi, Deddy. (2008). “Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi Melalui
Manajemen Diklat Sistemik sebagai Paradigma Baru dalam Organisasi dan
Manajemen” dalam Jurnal Diklat Aparatur, Vol.4, No.1, hlm.1-12.
Pers Release KPPPA Pengarusutamaan Gender Mendorong Peningkatan
Aparatur Negara yang Kompeten dan Profesional 20 Desember 2012, sumber :
http://menegpp.go.id/V2/index.php/component/content/article/10-gender/465-
press-release-pug-mendorong-aparatur-negara-yang-kompeten-dan-profesional
Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1993. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.