PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG
DENGAN KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG
TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT
(STUDI KASUS: KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG,
KELURAHAN PAROPO, KECAMATAN PANAKKUKANG, KOTA
MAKASSAR)
SKRIPSI
Tugas Akhir – 465D5206
PERIODE II
Tahun 2018/2019
Sebagai Persyaratan untuk Ujian
Sarjana Teknik
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Oleh:
AJIE ANASTAUFAN KARIM PUTRA
D521 14 301
DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
i
PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG DENGAN
KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED
DEVELOPMENT
Ajie Anastaufan1), Arifuddin Akil2), Ihsan3)
1)Mahasiswa Dept. Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
2)3) Dosen Dept. Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Dalam mendukung prinsip TOD, yaitu prinsip walk atau berjalan, jaringan pejalan
kaki harus tersedia lengkap dan aman serta inklusif. Selain itu, pada prinsip TOD connect
atau menghubungkan, jalur perjalan kaki lebih diprioritaskan dibandingkan jalur kendaraan
bermotor. Sedangkan dalam kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang tidak menyediakan
jalur pejalan kaki secara meneluruh serta kawasan yang masih memprioritaskan kendaraan
bermotor. Tujuan dari perencanaan ini untuk mengidentifikasi kondisi spasial dan
mengidentifikasi kondisi sarana prasarana dalam penataan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD, serta menyusun
rencana penataan kawasan. Metode analisis yang digunakan dalam perencanaan ini yaitu
overlay peta tematik yang digunakan untuk mengetahui kondisi spasial serta sarana
prasarana kawasan, analisis skoring menggunakan TOD Standards untuk mengidentifikasi
kesesuaian kondisi eksisting dengan standar yang berlaku dan mengeluarkan arahan
menuju konsep perencanaan. Berdasarkan variabel-variabel pembentuk TOD dan
penggunaan lahan, maka kondisi spasial kawasan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip TOD.
Konektivitas kawasan dilihat dari kondisi spasial telah memiliki blok-blok kecil namun
masih memprioritaskan kendaraan bermotor. Berbagai sarana mendukung kawasan
berpotensi mixed-use, namun prasarana jalur pejalan kaki masih belum tersedia pada
seluruh kawasan. Dengan melalui analisis skoring maka kondisi kawasan sudah
mendapatkan skor dengan penilaian cukup, namun tidak memenuhi persyaratan
tersedianya jalur pejalan kaki beserta penyebrangannya. Perencanaan yang dilakukan ialah
perencanaan zonasi yang terbagi atas 5 (lima) zona, penggunaan jalan khusus pejalan kaki
untuk memprioritaskan pejalan kaki dalam kawasan, prasarana jalur pejalan kaki
disediakan pada seluruh kawasan berdasarkan potensi setiap jalan.
Kata Kunci: Penataan, Pusat Perbelanjaan, Walkable, dan TOD.
ii
PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN PANAKKUKANG DENGAN
KONSEP WALKABLE ZONE SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED
DEVELOPMENT
Ajie Anastaufan1), Arifuddin Akil2), Ihsan3)
1)Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin. 2)3) Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
In supporting the TOD principle, the principle of “Walk”, pedestrian networks must be
available complete, safe and inclusive. In addition, on the principle of TOD “Connect”, the
walking path is prioritized over motorized vehicles. Whereas in the area of the
Panakkukang Shopping Center there are no pedestrian paths available as well as areas that
make still prioritize motorized vehicles. The purpose of this plan is to identify spatial
conditions and identify the conditions of infrastructure in structuring the Panakkukang
shopping center with the concept of a walkable zone as a TOD supporter, as well as
formulating a regional arrangement plan. The analytical method used in this planning is the
overlay of thematic maps used to determine the spatial conditions and regional
infrastructure, the scoring analysis uses the TOD Standards to identify the suitability of
existing conditions with the applicable standards and issue directives towards the concept
of planning. Based on the variables forming TOD and land use, the spatial conditions of
the area are not in accordance with the variables. Regional connectivity seen from the
spatial condition has small blocks but still prioritizes motorized vehicles. Various facilities
support a potentially mixed-use area, but pedestrian infrastructure is still not available in
the entire region. Through scoring analysis, the condition of the area has obtained a score
with sufficient assessment, but does not meet the requirements for the availability of
pedestrian pathways and crossings. Planning carried out is zoning planning which is
divided into 5 (five) zones, the use of pedestrian-only roads to prioritize pedestrians in the
area, pedestrian infrastructure is provided in all regions based on the potential of each road.
Keywords: Planning, Shopping Center, Walkable, and TOD.
PENGESAHAN
SKRIPSI
PROYEK : TUGAS SARJANA DEPARTEMEN PERENCANAAN
WILAYAH DAN KOTA
JUDUL : PENATAAN KAWASAN PUSAT PERBELANJAAN
PANAKKUKANG DENGAN KONSEP WALKABLE ZONE
SEBAGAI PENDUKUNG TRANSIT ORIENTED
DEVELOPMENT
PENYUSUN : AJIE ANASTAUFAN KARIM PUTRA
STAMBUK : D521 14 301
PERIODE : II – TAHUN 2018/2019
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Arifuddin Akil, MT. Dr.Eng. Ihsan, ST., MT.
NIP. 19630504 199512 1 001 NIP. 19710219 199903 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen
Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin
Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si
NIP. 19661218 199303 2 001
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala atas segala
Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan penelitian Tugas Akhir ini guna memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Program Sarjana pada Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Salam dan shalawat
saya haturkan pada Rasulullahu Alaihi Wassallam sebagai panutan dalam hidup
beragama yang membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman penuh
hidayah dan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari dalam proses penyelesaian Tugas Akhir yang berjudul
“Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang dengan Konsep
Walkable Zone Sebagai Pendukung Transit Oriented Development” ini masih
jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dan
terbatasnya waktu yang digunakan dalam penelitian ini.
Penulisan penelitian Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bimbingan dan
petunjuk semua pihak yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada
penulis. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Arifuddin Akil, MT. selaku Dosen Pembimbing atas arahan dan
bimbingannya.
2. Bapak Dr.Eng. Ihsan, ST., MT. selaku Dosen Pembimbing atas arahan dan
bimbingannya.
3. Ibu Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si. selaku Ketua Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota atas arahan dan bimbingannya.
4. Prof. Dr. Ir. Slamet Trisutomo, MS selaku penasihat akademik.
5. Bapak Dr. Eng. Abdul Rachman Rasyid, ST., M.Si. selaku Kepala Studio
Akhir Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota.
6. Kedua orang tua tercinta ayah Abdul Karim. dan Ibu Maryam Annas S.Pd.,
M.Pd. atas curahan kasih sayang dan dukungan yang diberikan serta
pertolongan selama kehidupan penulis sehingga penulis bias sampai ke tahap
ini, serta kepada saudara-saudaraku Aldillah Melisa Febriyana dan Andhyka
v
Poulana Karim atas bantuan dan arahannya. Serta kepada seluruh seluruh
keluarga yang senantiasa memberi dukungan dan kasih sayang kepada
penulis.
7. Seluruh Dosen dan segenap Citivas Akademik Program Sarjana Departemen
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
8. Teman-teman mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Hasanuddin angkatan 2014 khususnya Nur Abdillah, Muhammad
Al Ikhsan Safilin, Abdul Azis Jamaluddin, dan Ahmad Kurniawan yang
sangat membantu dalam proses penelitian ini.
9. Terima kasih kepada keluarga besar Arsitektur FT-UH Angkatan 2014 atas
bantuan, canda dan tawa serta bersama melalui takdir selama di Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin
10. Terima kasih kepada HMPWK FT-UH yang telah memberi penulis
kesempatan mengukir pengalaman serta catatan-catatan kehidupan di
lembaga ini.
11. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan penulisan ini.
Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan semua pihak pada umumnya. Atas segala kekurangan dalam Tugas
Akhir ini, penulis memohon maaf karena kembali lagi kita mengingat hakikat
setiap manusia taka da yang sempurna. Semoga Allah Subhana Wa Ta’ala
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal
‘Alamin.
Gowa, November 2018
Ajie Anastaufan Karim Putra
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3. Tujuan Perencanaan ................................................................................ 4
1.4. Manfaat Perencanaan .............................................................................. 4
1.5. Ruang Lingkup ........................................................................................ 4
1.6. Sistematika Penulisan ............................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pusat Perbelanjaan .................................................................................. 7
2.1.1. Pengertian Pusat Perbelanjaan ................................................................ 7
2.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan ................................................................ 7
2.2. Transit Oriented Development (TOD) .................................................... 9
2.2.1. Pengertian TOD ...................................................................................... 9
2.2.2. Variabel Pembentuk Transit Oriented Development (TOD) .................. 9
2.2.3. Prinsip-Prinsip TOD ............................................................................... 10
2.3. Walkability .............................................................................................. 19
2.3.1. Pengertian Walkability ............................................................................ 19
2.3.2. Ukuran Walkability ................................................................................. 20
2.3.3. Global Walkability Index ........................................................................ 20
2.4. Jalur Pejalan Kaki ................................................................................... 21
2.4.1. Pengertian Jalur Pejalan Kaki ................................................................. 21
2.4.2. Prinsip Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki ......... 22
2.4.3. Kebutuhan Ruang Pejalan Kaki Berdasarkan Dimensi Tubuh
Manusia ................................................................................................... 24
vii
2.4.4. Ruang Jalur Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus.................................... 26
2.4.5. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki ............................................................. 27
2.4.6. Jarak Minimum Jalur Pejalan Kaki dengan Bangunan ........................... 28
2.4.7. Kemiringan Jalur Pejalan Kaki ............................................................... 31
2.4.8. Dasar Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki ........... 31
2.5. Parkir ....................................................................................................... 34
2.5.1. Sasaran Penyelenggaraan Parkir ............................................................. 34
2.5.2. Satuan Ruang Parkir ................................................................................ 34
2.5.3. Penentuan Satuan Ruang Parkir .............................................................. 35
2.5.4. Jenis Peruntukan Parkir ........................................................................... 37
2.5.5. Standar Kebutuhan Parkir ....................................................................... 37
2.6. Studi Banding .......................................................................................... 40
2.6.1. Fruitvale Transit Village, California ....................................................... 40
2.6.2. Arlington Height, Illinois ........................................................................ 41
2.6.3. Ottawa, Ontario ....................................................................................... 42
BAB III METODE PERENCANAAN
3.1. Jenis Perencanaan.................................................................................... 44
3.2. Lokasi Perencanaan ................................................................................. 44
3.3. Jenis Data ................................................................................................ 46
3.4. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 46
3.5. Metode Analisis Perencanaan ................................................................. 48
3.6. Kerangka Perencanaan ............................................................................ 50
3.7. Unit Analisis Perencanaan ...................................................................... 51
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Kota Makassar ........................................................... 52
4.2. Data Demografi Kota Makassar .............................................................. 53
4.3. Gambaran Umum Kecamatan Panakkukang .......................................... 55
4.4. Data Demografi Kecamatan Panakkukang ............................................. 55
4.5. Gambaran Umum Lokasi Perencanaan ................................................... 57
viii
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Analisis Kondisi Spasial Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan
Panakkukang Kota Makassar Dengan Konsep Walkable Zone
sebagai Pendukung Transit Orented Development. ................................ 61
5.1.1. Analisis Letak Kawasan .......................................................................... 61
5.1.2. Analisis Konektivitas Kawasan............................................................... 63
5.1.3. Analisis Penggunaan Lahan Kawasan .................................................... 66
5.2. Analisis Kondisi Sarana .......................................................................... 68
5.2.1. Fasilitas Kesehatan .................................................................................. 68
5.2.2. Sarana Peribadatan .................................................................................. 69
5.2.3. Sarana Perdagangan dan Niaga ............................................................... 70
5.2.4. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Olah raga....................................... 72
5.2.5. Sarana Pendidikan ................................................................................... 74
5.2.6. Fasilitas Transit ....................................................................................... 74
5.2.7. Fasilitas Parkir ......................................................................................... 77
5.2.8. Sarana Persampahan................................................................................ 81
5.3. Analisis Kondisi Prasarana ..................................................................... 83
5.3.1. Prasarana Jaringan Jalan ......................................................................... 83
5.3.2. Prasarana Jalur Pejalan Kaki ................................................................... 88
5.3.3. Prasarana Jaringan Drainase ................................................................... 93
5.4. Analisis Skoring ...................................................................................... 93
BAB VI PERENCANAAN
6.1. Konsep Perencanaan ............................................................................... 97
6.2. Perencanaan Spasial Kawasan ................................................................ 98
6.2.1. Perencanaan Zonasi Kawasan ................................................................. 98
6.2.2. Perencanaan Konektivitas Kawasan ....................................................... 101
6.2.3. Perencanaan Penggunaan Lahan ............................................................. 103
6.3. Perencanaan Sarana ................................................................................. 106
6.3.1. Perencanaan Sarana Persampahan .......................................................... 106
6.3.2. Perencanaan Sarana Transit .................................................................... 107
6.3.3. Perencanaan Sarana Parkir ...................................................................... 108
6.4. Perencanaan Prasarana ............................................................................ 110
ix
6.4.1. Perencanaan Jaringan Jalan ..................................................................... 110
6.4.2. Perencanaan Jaringan Pejalan Kaki ........................................................ 115
6.4.3. Perencanaan Jaringan Drainase ............................................................... 118
6.5. Analisis Skoring Perencanaan ................................................................. 118
BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan ............................................................................................. 121
7.2. Saran ........................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 124
x
DAFTAR TABEL
2.1. Tabel Skoring Prinsip Walk .................................................................... 11
2.2. Tabel Skoring Prinsip Cycle ................................................................... 12
2.3. Tabel Skoring Prinsip Connect ............................................................... 13
2.4. Tabel Skoring Prinsip Mix ...................................................................... 14
2.5. Tabel Skoring Prinsip Densify ................................................................ 16
2.6. Tabel Skoring Prinsip Compact .............................................................. 17
2.7. Tabel Skoring Prinsip Shift ..................................................................... 18
2.8. Pengukuran Global Walkability Index .................................................... 20
2.9. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki .................................. 24
2.10. Penentuan Satuan Ruang Parkir .............................................................. 35
2.11. Kebutuhan SRP di Perdagangan ............................................................. 38
2.12. Kebutuhan SRP di Perkantoran ............................................................... 38
2.13. Kebutuhan SRP di pasar Swalayan ......................................................... 38
2.14. Kebutuhan SRP di Pasar ......................................................................... 39
2.15. Kebutuhan SRP di sekolah/perguruan tinggi .......................................... 39
2.16. Kebutuhan SRP di tempat rekreasi ......................................................... 39
2.17. Kebutuhan SRP di rumah sakit ............................................................... 40
3.1. Skor Penilaian Walkable berdasarkan Prinsip TOD ............................... 49
3.2. Unit Analisis Perencanaan ...................................................................... 51
4.1. Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan Kota Makassar 2017 ................ 52
4.2. Tabel Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Makassar............ 53
4.3. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kota Makassar .... 54
4.4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis
Kelamin Kota Makassar .......................................................................... 54
4.5. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Luas, Serta Kepadatan Penduduk
Kecamatan Panakkukang ........................................................................ 56
4.6. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan, Jenis Kelamin serta Sex Ratio
Kecamatan Panakkukang ........................................................................ 56
4.7. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan, Jenis Kelamin serta Sex Ratio
Kecamatan Panakkukang ........................................................................ 57
xi
5.1. Kebutuhan SRP di pusat perdagangan .................................................... 78
5.2. Kebutuhan SRP di pusat pasar ................................................................ 78
5.3. Analisis Kondisi Sarana Lokasi Perencanaan ......................................... 81
5.4. Tabel Skoring Prinsip Walk .................................................................... 93
5.5. Tabel Skoring Prinsip Connect ............................................................... 94
5.6. Tabel Skoring Prinsip Shift ..................................................................... 95
5.7. Tabel Skoring Prinsip Transit ................................................................. 95
6.1. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Walk ............................................... 110
6.2. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Connect .......................................... 110
5.8. Tabel Skoring Perencanaan Prinsip Shift ................................................ 111
xii
DAFTAR GAMBAR
2.1. Kebutuhan Ruang Per Orang secara inividu, Membawa Barang, dan
Kegiatan Berjalan Bersama ..................................................................... 25
2.2. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki Berkebutuhan
Khusus ..................................................................................................... 27
2.3. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki ............................................................. 28
2.4. Jalur pada Ruas Pejalan Kaki .................................................................. 29
2.5. Kemiringan Jalur Pejalan Kaki ............................................................... 31
2.6. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang ............................. 34
2.7. SRP untuk Mobil Penumpang (dalam cm) ............................................. 35
2.8. Satuan Ruang Parkir untuk Bus/Truk (dalam satuan cm) ....................... 36
2.9. Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Sepeda Motor (dalam cm) ................ 36
2.10. Fruitvale Transit Village ......................................................................... 41
2.11. Arlington Heights .................................................................................... 42
2.12. Ottawa, Ontario ....................................................................................... 43
3.1. Peta Deliniasi Lokasi Perencanaan ......................................................... 45
3.2. Kerangka Perencanaan ............................................................................ 50
4.1. Peta Administrasi Kota Makassar ........................................................... 58
4.2. Peta Fungsi Bangunan Lokasi Perencanaan ............................................ 59
4.3. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan .................................................... 60
5.1. Pengembangan Kawasan Transit Dengan Prinsip Compact. .................. 62
5.2. Peta Panjang Blok Lokasi Perencanaan .................................................. 59
5.3. Peta Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan ..................................... 60
5.4. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan .................................................... 62
5.5. Puskesmas Toddopuli ............................................................................. 69
5.6. Masjid yang berada di kawasan perencanaan ......................................... 70
5.7. Pasar Panakkukang.................................................................................. 70
5.8. Peta Tipologi Lahan Komersil Lokasi Perencanaan ............................... 71
5.9. Kondisi Ruang Terbuka dalam kawasan perencanaan. ........................... 72
5.10. Peta Eksisting Ruang Terbuka Lokasi Perencanaan ............................... 73
5.11. Sarana Pendidikan pada Lokasi Perencanaan ......................................... 74
xiii
5.12. Kondisi Halte pada lokasi Perencanaan .................................................. 75
5.13. Peta Network Analisis ............................................................................. 76
5.14. Kondisi parkir pada lokasi perencanaan ................................................. 77
5.15. Peta Eksisting Parkir Lokasi Perencanaan .............................................. 80
5.16. Aktivitas Pengolahan Sampah dan UPT Bank Sampah .......................... 81
5.17. Peta Lokasi Potongan Jalan ..................................................................... 84
5.18. Potongan Jalan ........................................................................................ 85
5.19. Peta Damija Lokasi Perencanaan ............................................................ 87
5.20. Peta Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki ...................................................... 89
5.21. Peta Muka Bangunan Aktif ..................................................................... 90
5.22. Peta Penyebrangan Persimpangan .......................................................... 91
5.23. Peta Potensi Jalur Pejalan Kaki Lokasi Perencanaan .............................. 92
5.24. Drainase terbuka pada lokasi perencanaan ............................................. 93
6.1. Peta Rencana Zonasi Lokasi Perencanaan .............................................. 100
6.2. Peta Rencana Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan ...................... 102
6.3. Peta Rencana Guna Lahan Lokasi Perencanaan ..................................... 104
6.4. Ilustrasi Lokasi Perencanaan ................................................................... 105
6.5. Peta Lokasi Rencana Potongan Jalan ...................................................... 109
6.6. Rencana Potongan Jalan Lokasi Perencanaan......................................... 110
6.7. Peta Rencana Area Lalu Lintas ............................................................... 112
6.8. Ilustrasi jalur pejalan kaki pada permukiman hunian tunggal ................ 113
6.9. Ilustrasi Penyebrangan dengan lampu lalu lintas pada jalan kolektor
dan lokal .................................................................................................. 114
6.10. Ilustrasi penyebrangan pelican cross ...................................................... 114
6.11. Ilustrasi penyebrangan pada kawasan permukiman ................................ 114
6.12. Peta Rencana Penyebrangan Persimpangan Lokasi Perencanaan ........... 115
6.13. Ilustrasi drainase tertutup yang aman pada jalur pejalan kaki ................ 116
6.14. Ilustrasi manholecover/penutup lubang kontrol ...................................... 116
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kota Makassar merupakan kota yang terletak di bagian timur Indonesia yang
secara astronomis terletak antara 119°24’17’38” Bujur Timur dan 5°8’6’19”
Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Makassaar tercatat 175,55 km² yang meliputi
15 kecamatan.
Berdasarkan RTRW Kota Makassar 2015 – 2034 pada bagian rencana
pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah dijelaskan bahwa
Pengembangan prasarana transportasi meliputi prasarana jaringan jalan (kendaraan
bermotor dan pejalan kaki), prasarana jaringan transportasi angkutan sungai,
danau, dan penyeberangan, prasarana jaringan perkeretaapian, angkutan laut dan
udara yang dikembangkan sebagai pelayanan angkutan terpadu untuk lalu lintas
lokal, regional, nasional, dan internasional.
Selain itu, pada RTRW Kota Makassar 2015 – 2034 bagian rencana
pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah disebutkan bahwa
diperlukannya mengembangkan fasilitas pejalan kaki yang memadai dengan
memperhitungkan penggunaannya bagi penyandang cacat, meningkatnya
keterpaduan baik antara sistem angkutan darat, udara, maupun laut, membangun
gedung-gedung dan atau taman parkir pada pusat-pusat kegiatan untuk
menghilangkan parkir pada badan jalan secara bertahap.
Namun, berdasarkan kondisi eksisting pada lokasi perencanaan, yaitu kawasan
pusat perbelanjaan Panakkukang masih belum tersedianya fasilitas pejalan kaki
yang memadai serta memperhitungkan penggunaan bagi penyandang cacat, sistem
angkutan darat yang belum terintegrasi baik antara jalur pejalan kaki – kendaraan
transportasi massal, serta jaringan jalan di pusat kota rawan terhadap kemacetan
yang salah satunya disebabkan karena pola parkir belum memadai.
2
Pada Kecamatan Panakkukang memiliki salah satu pusat kegiatan
perdagangan dan jasa, yaitu pusat perbelanjaan Panakkukang yang terletak berada
cukup dekat kawasan permukiman yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki.
Pusat perbelanjaan adalah sekelompok penjual eceran dan usahawan komersial
lainnya yang merencanakan, mengembangkan, mendirikan, memiliki dan
mengelola sebuah properti tunggal. Pada lokasi perencanaan ini berdiri disediakan
juga tempat parkir. Tujuan dan ukuran besar dari pusat perbelanjaan ini umumnya
ditentukan dari karakteristik pasar yang dilayani (International Council of
Shopping Center, 1999).
Dalam mendukung prinsip TOD, yaitu prinsip walk atau berjalan, jaringan
pejalan kaki harus tersedia lengkap dan aman serta inklusif, jaringan pejalan kaki
aktif dan hidup, serta nyaman dan terjaga temperaturnya (ITDP, 2017). Sedangkan,
dalam lokasi perencanaan, tidak terdapat jaringan pejalan kaki sehingga membuat
para pengunjung yang berjalan kaki tidak aman, masih banyak terdapat muka
bangunan pasif yang membuat jaringan jalan menjadi tidak atraktif dan mati, Jalur
pejalan kaki yang tersedia tidak kontiniunitas dan inkonsisten disebabkan driveway
serta pagar.
Pada prinsip TOD connect atau menghubungkan, Rute berjalan kaki dan
bersepeda pendek, langsung, dan bervariasi (menyeluruh, padat) dan Rute berjalan
kaki dan bersepeda lebih pendek daripada rute kendaraan bermotor (ITDP, 2017).
Sedangkan, pada kondisi eksisting tidak adanya jalur pejalan kaki membuat para
pengunjung sulit menentukan pilihan rute berjalan yang pendek, langsung, dan
bervariasi serta konektivitas untuk kendaraan bermotor masih lebih dominan
dibandingkan jalur pejalan kaki.
Pusat perbelanjaan juga harus mudah dijangkau di kawasan perdagangan
dengan akses yang nyaman dan menyenangkan bagi penumpang transit (ULI,
2008). Hal ini diperkuat dalam aspek yang mendukung terciptanya suatu
lingkungan pejalan kaki yang walkable, yaitu: akses, estetika, keselamatan dan
keamanan. Dijelaskan dalam aspek akses, dijelaskan bahwa penting dalam
memperhatikan tempat pemberhentian transportasi publik (Leather, James, Fabian,
dkk. ADB 2011). Dalam Pedoman Teknis Perekayasanaan Tempat Perhentian
3
Kendaraan Penumpang Umum oleh Dirjen Perhubungan Darat dijelaskan bahwa
jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau bergantung pada
panjang antrean. Poin-poin tersebut sudah termasuk pada prinsip TOD transit
bahwa angkutan umum berkualitas tinggi dapat diakses dengan berjalan kaki
(ITDP, 2017).
Namun dalam kondisi pusat perbelanjaan Panakkukang, terdapat halte yang
kurang memadai. Halte hanya difungsikan untuk bus antardaerah dan tidak
digunakan untuk bus BRT atau angkutan kota (pete’-pete’). Selain itu, jarak halte
dari persimpangan kurang dari 20 m yang menyebabkan kemacetan saat bus
melakukan transit di halte.
Pada pusat perbelanjaan Panakkukang juga terdapat ruang terbuka. Ruang
terbuka merupakan salah satu variabel pembentuk area TOD yang bentuknya dapat
berupa taman, plaza, tata hijau, yang melayani sekitar lingkungan. Ruang publik
yang didesain dalam bangunan umum atau fasilitas publik disesuaikan dengan
kebutuhan. (Calthorpe dalam Wijaya, 2009). Ruang publik juga dapat berfungsi
menjadi jalur alternatif yang aman dan nyaman dalam area TOD.
Namun pada pusat perbelanjaan Panakkukang, ruang terbuka belum
digunakan masyarakat berdasarkan fungsi sosialnya serta tidak dapat menjadi jalur
alternatif pejalan kaki menuju pusat transit karena terganggu oleh tumpukan
sampah. Sampah yang bertumpuk pada ruang terbuka tersebut juga dapat
membahayakan keamanan dan kenyamanan masyarakat yang berkunjung.
Oleh karena itu, diperlukan suatu penataan dengan suatu konsep yang dapat
membuat suatu pusat perbelanjaan menjadi aman dan nyaman bagi para
pengunjung serta menjadikan pusat perbelanjaan dengan konsep walkable zone.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditemukan
adalah:
1. Bagaimana kondisi spasial dalam penataan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD?
4
2. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana berdasarkan konsep walkable
zone pada pusat perbelanjaan Panakkukang sebagai pendukung TOD?
3. Bagaimana rencana penataan kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang
dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD?
1.3.Tujuan Perencanaan
1. Mengidentifikasi kondisi spasial dalam penataan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
2. Mengidentifikasi kondisi sarana dan prasarana pada kawasan pusat
perbelanjaan Panakkukang berdasarkan konsep walkable zone sebagai
pendukung TOD.
3. Untuk menyusun rencana penataan kawasan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
1.4.Manfaat Perencanaan
1. Hasil perencanaan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan pembaca mengenai pusat perbelanjaan terpadu di Kota Makassar
khususnya di pusat perbelanjaan Panakkukang
2. Hasil perencanaan ini diharapkan sebagai acuan/referensi bagi para
akademisi untuk mengkaji lebih dalam mengenai perencanaan pusat
perbelanjaan terpadu pada kawasan perbelanjaan Panakkukang Kota
Makassar.
1.5.Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Substansi
Secara substansial, ruang lingkup studi dan perencanaan ini dibatasi pada
usaha perencanaan kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan konsep
walkable zone yang merujuk pada prinsip-prinsip Transit Oriented
Development yaitu prinsip Walk, prinsip Connect, prinsip Transit, dan prinsip
Shift, Adapun ruang lingkup studi dan perencanaan pada usaha perencanaan ini
diantaranya, yaitu: identifikasi kondisi spasial, analisis fasilitas, sarana dan
prasarana, dan perencanaan kawasan.
5
a. Identifikasi Kondisi Spasial
Identifikasi potensi dan permasalahan di kawasan pusat perbelanjaan
Panakkukang sehingga dapat disesuaikan dan menggunakan konsep
walkable zone sebagai pendukung TOD.
b. Analisis Fasilitas, Sarana dan Prasarana
Identifikasi fasilitas, sarana dan prasarana dalam penataan kawasan pusat
perbelanjaan dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD.
c. Perencanaan Kawasan
Perencanaan kawasan akan meliputi, perencanaan zonasi, perencanaan
konektivitas, perencanaan penggunaan, perencanaan kawasan ruang
terbuka, perencanaan parkir, perencanaan jaringan jalan, jalur pejalan kaki,
serta drainase agar dapat memenuhi rencana kawasan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone.
2. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah perencanaan ini adalah kawasan pusat perbelanjaan
Panakkukang dan kawasan sampai radius 500 m dari titik halte/transit yang
berada di pusat perbelanjaan Panakkukang, Kota Makassar.
1.6.Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan laporan ini merupakan penjelasan berdasarkan setiap
bab yang akan dicantumkan pada laporan ini, antara lain:
Bab 1 Pendahuluan, memberikan penjelasan latarbelakang, permasalahan,
tujuan dan sasaran, ruang lingkup (materi dan wilayah) serta sistematika
pembahasan.
Bab 2 Kajian Pustaka, membahas tentang berbagai pustaka yang
berhubungan dengan materi kajian yang relevan serta norma, standar atau
pedoman.
6
Bab 3 Metode Perencanaan, membahas tentang langkah-langkah dalam
pengumpulan data baik yang berupa data primer maupun data sekunder yang
dibutuhkan serta metode dan analisis yang digunakan.
Bab 4 Gambaran Umum, membahas tentang mengenai gambaran umum
lokasi, yaitu kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang, Kecamatan
Panakkukang, Kota Makassar mengenai kondisi eksisting kawasan.
Bab 5 Analisis dan Pembahasan, membahas tentang hasil analisis mengenai
kondisi spasial kawasan, serta hasil analisis tentang fasilitas sarana dan
prasarana dalam mendukung kawasan sebagai pusat perbelanjaan
Panakkukang dan sebagai area TOD.
Bab 6 Perencanaan, membahas tentang konsep perencanaan dari hasil
analisis.
Bab 7 Kesimpulan dan Saran, berisi tentang kesimpulan dan saran dari
penelitan yang dilakukan oleh penulis.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Pusat Perbelanjaan
2.1.1. Pengertian Pusat Perbelanjaan
Sebuah pusat perbelanjaan adalah sekelompok perusahaan ritel dan komersial
lainnya yang direncanakan, dikembangkan, dimiliki dan dikelola sebagai satu
properti, biasanya dengan tempat parkir yang disediakan. Ukuran dan orientasi
pusat umumnya ditentukan oleh karakteristik pasar dari area perdagangan yang
dilayani oleh pusat (ICSC, 2012)
2.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan
a. Berdasarkan Aspek Perkotaan (ULI, 2008)
1.) Neighborhood Centre (Pusat Perbelanjaan Lokal)
Melayani kebutuhan sehari-hari yang meliputi supermarket dan toko-toko yang
luas.Lantai penjualan (Gross Leasable Area /GLA) antara 2787-9290
m2.Jangkauan pelayanan antara 5.000-40.000 jiwa penduduk (skala lingkup).Unit
terbesar berupa supermarket, dan luas site yang dibutuhkan antara 3-10 Ha.
2). Community Centre (Pusat Perbelanjaan Distrik)
Melayani jenis barang yang lebih luas, meliputi Department Store, Variety
Store, Shop Unit dengan GLA antara 9290-27.870 m2. Jangkauan pelayanan antara
40.000-150.000 jiwa penduduk.Unit penjualan berupa Junior Department Store,
Supermarket, dan toko-toko. Luas site yang diperlukan antara 10-30 Ha.
3). Main Centre / Regional Centre (Pusat Perbelanjaan Regional)
Pusat perbelanjaan dengan skala kota yang memiliki jangkauan pelayanan
diatas 150.000 jiwa penduduk, dengan fasilitas-fasilitas meliputi pasar, toko,
bioskop, dan bank yang terletak pada tempat strategis dan bergabung dengan
perkantoran, tempat rekreasi dan kesenian. Luas lantai penjualan / GLA antara
27.870-92.900m2.Pusat perbelanjaan tersebut terdiri atas dua atau lebih
Department Store dan berbagai jenis toko.
8
b. Berdasarkan Bentuk Fisik (ULI, 2008)
1.) Market
Rangkaian petak (stall) dan warung (booth) yang diatur berderetderet pada
uang terbuka atau tertutup. Merupakan bentuk sarana fisik yang tertua dari suatu
tempat perbelanjaan.
2.) Shopping Street
Toko-toko berderet di kedua sisi jalan, dengan pencapaian langsung dari jalan
utama.
3.) Shopping Precint
Toko-toko yang membentuk sebuah lingkaran yang bebas dari kendaraan, dan
khusus untuk pejalan kaki.
4.) Department Store
Kumpulan beberapa toko yang berada di bawah satu atap bangunan.
5.) Supermarket
Toko dengan ruangan yang luas dan menjual bermacam-macam barang yang
diatur secara berkelompok dengan sistem self service.
6.) Shopping Center
Bangunan atau kompleks pertokoan yang terdiri dari stan-stan took yang
disewakan atau dijual.
7.) Shopping Mall
Bangunan atau kompleks pertokoan yang memilih sistem selasar atau satu
koridor utama disepanjang toko-toko yang menerus.
c. Berdasarkan Luas dan Macam-Macam Desain (ULI, 2008)
1.) Full Mall
Full mall terbentuk oleh sebuah jalan, di mana jalan tersebut sebelumnya
digunakan untuk lalu lintas kendaraan, kemudian diperbaharui menjadi jalur
pejalan kaki, plaza (alun-alun) yang dilengkapi paving, pohon-pohon, bangku-
bangku, pencahayaan dan fasilitas-fasilitas baru lainnya seperti patung dan air
mancur.
2.) Transit Mall
Transit mall atau transit way dikembangkan dengan memindahkan lalu lintas
mobil pribadi dan truk ke jalur lain dan hanya mengijinkan angkutan umum seperti
9
bus dan taksi. Area parkir direncanakan tersendiri dan menghindari sistem parkir
pada jalan (on-street parking), jalur pejalan kaki diperlebar dan dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas seperti : paving, bangku, pohon-pohon, pencahayaan, patung, air
mancur dan lain-lain. Transit mall telah dibangun di kota-kota dengan rata-rata
ukurannya lebih besar dari full mall maupun semi mall.
3.) Semi Mall
Semi mall lebih menekankan pada pejalan kaki, oleh karena itu areanya
diperluas dan melengkapinya dengan pohon-pohon dan tanaman, bangku-bangku,
pencahayaan dan fasilitas buatan lainnya.Sedangkan jalur kendaraan dan area
parkir dikurangi.
2.2. Transit Orented Development (TOD)
2.2.1. Pengertian TOD
Berikut beberapa pengertian TOD menurut para ahli:
“TOD secara umum didefinisikan sebagai sebuah komunitas mixed-use
dimana orang bekerja, beraktivitas dan bertempat tinggal di dekat layanan
transportasi publik dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi (Calthorpe,
1993)”.
“Pengembangan berorientasi transit, atau TOD, adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan jenis pengembangan yang terjadi di sekitar node transit,
dan menghasilkan penggunaan yang kompak, campuran, dan berorientasi pejalan
kaki (Haas, 2010)”.
2.2.2. Variabel Pembentuk Transit Oriented Development (TOD)
Menurut Calthorpe dalam Wijaya (2009) zonasi TOD dibagi ke dalam beberapa
area (elemen desain TOD), berikut merupakan deskripsi variabel pembentuk TOD
menurut Calthorpe:
1. Area Komersial Pusat
Area dengan fungsi campuran ini berfungsi memberi pelayanan pada kegiatan
transit seperti fungsi retail, perkantoran skala regional, supermarket, komersial
dan hiburan serta hunian pada level lantai atas. Dapat menjadi daya tarik
keragaman tujuan pada lokasi.
10
2. Area Hunian Campuran
Hunian dalam jarak jangkau daerah komersial pusat dan penghentian dengan
berjalan kaki, dengan hunian dengan beragam tipe (tunggal, apartemen atau
town house).
3. Fungsi Ruang Publik
Bentuknya dapat berupa taman, plaza, tata hijau, yang melayani sekitar
lingkungan. Ruang publik yang didesain dalam bangunan umum atau fasilitas
publik disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Area Sekunder
Berjarak sekitar 1 mil dari daerah pusat dan memiliki jaringan jalan sebagai
penghubung ke daerah belakang. Penghubung ini dilengkapi dengan jalur
pejalan kaki dan sepeda. Area sekunder ini terdiri dari perumahan berkepadatan
rendah, Fasilitas umum serta ruang parkir yang bersifat park and-ride.
2.2.3. Prinsip-Prinsip TOD
Prinsip-prinsip TOD dapat dijelaskan dari bentuk kawasan (Martha, 2012) adalah
sebagai berikut:
a. Kaya akan pilihan aktivitas perkotaan (rich mix of choice) pada satu
unit lingkungan atau kawasan melalui sistem penggunaan lahan
bercampur di sekitar titik transit;
b. Menjadikan “tempat” yang atraktif (place making), titik transit tidak
hanya berfungsi sebagai tempat menaikkan penumpang;
c. Mendorong pertumbuhan pada level regional untuk menjadi lebih
kompak (compact) dan didukung oleh sistem transit yang memadai;
d. Mengembangkan penggunaan lahan bercampur dalam jarak berjalan
kaki dari titik transit;
e. Menciptakan jaringan jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan
berkoneksi baik dengan tempat destinasi/tujuan;
f. Melindungi habitat-habitat rentan, bantaran sungai, dan ruang-ruang
terbuka (open space)
g. Mendorong pembangunan kembali (infill and redevelopment)
sepanjang koridor transit.
11
Adapun prinsip-prinsip TOD yang telah dirincikan lebih dalam beserta indikator
setiap prinsipnya telah dibuat oleh Institute for Transportation and Development
Policy (ITDP) pada TOD Standards edisi ketiga tahun 2017 adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Berjalan Kaki (Walk)
Berjalan kaki merupakan moda perjalanan yang paling alami, sehat, bersih,
efisien, terjangkau, dan inklusif menuju tujuan dengan jarak pendek dan
komponen penting dari setiap perjalanan transit. Dengan demikian, berjalan
kaki merupakan pondasi untuk akses dan mobilitas yang berkelanjutan dan
seimbang di dalam perkotaan.
Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa ada 5 (lima) indikator untuk memenuhi
kebutuhan berjalan kaki (Walk) dalam area TOD. Setiap indikator tersebut
memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-
masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Tabel Skoring Prinsip Walk
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Jalur Pejalan Kaki
100% 3
90% atau lebih 2
80% atau lebih 1
Kurang dari 80% 0
Persentase Persimpangan yang memiliki jalur
penyebrangan
100% 3
90% atau lebih 2
80% atau lebih 1
Kurang dari 80% 0
Persentase Muka Bangunan yang Aktif
100% 6
90% atau lebih 5
80% atau lebih 4
70% atau lebih 3
60% atau lebih 2
50% atau lebih 1
Kurang dari 50% 0
Rata-rata jumlah jalan masuk per 100m muka
blok
5 atau lebih 2
3 atau lebih 1
Kurang dari 3 0
Persentase dari semua jalur pejalan yang
memiliki peneduh dan pelindung
75% atau lebih 1
Kurang dari 75% 0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
12
2. Prinsip Bersepada (Cycle)
Bersepeda merupakan moda mobilitas perkotaan kedua tersehat,
terjangkau, dan inklusif. Moda ini menggabungkan kenyamanan dan rute
berjalan door-to-door dan fleksibiltas jadwal dengan rentang dan kecepatan
serupa dengan layanan angkutan lokal. Sepeda dan transportasi dengan tenaga
manusia lainnya, seperti becak, juga mengaktifkan jalan dan sangat
meningkatkan area cakupan pengguna stasiun transit.
Pada prinsip ini terdapat 4 (empat) indikator yang harus dipenuhi agar prinsip
bersepeda dapat implementasikan dalam area TOD. Setiap indikator tersebut
memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-
masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Tabel Skoring Prinsip Cycle
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Infrastruktur Bersepeda yang
aman dan lengkap
100% segmen jalan dan jalan kecil terbuka dan aman untuk bersepeda
2
Tidak ada jalan masuk lebih dari 200 m dalam jangkauan jalan kaki dari segmen jaringan sepeda yang
aman
1
Satu atau lebih jalan masuk Gedung berjarak 200 m dari
segmen jaringan sepeda yang aman
0
Jarak Parkir Sepeda dari Stasiun Angkutan Umum
Kurang dari 10 m 1
Tidak disediakan rak sepeda/lebih dari 10 m
0
Persentase bangunan yang menyediakan tempat parkir
25% atau lebih 1
Kurang dari 25% 0
Akses Ke Dalam Gedung Akses sepeda di sediakan 1
Akses sepeda tidak disediakan 0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
3. Prinsip Menghubungkan (Connect)
Berjalan kaki dan bersepeda yang singkat dan langsung memerlukan
jaringan jalan dan trotoar yang padat dan terhubung dengan baik di sekeliling
blok-blok perkotaan. Berjalan kaki dapat dengan mudah terhalang oleh jalan
yang memutar dan sangat sensitif terhadap kepadatan jaringan. Jaringan yang
padat dari jalan dan trotoar yang menawarkan berbagai rute menuju destinasi,
banyak sudut-sudut jalan, jalan yang lebih sempit, dan kecepatan kendaraan
13
yang lambat membuat berjalan kaki dan bersepeda menjadi bervariasi dan
menyenangkan serta memperkuat aktivitas jalan dan perdagangan lokal.
Berdasarkan hal tersebut maka pada prinsip menghubungkan memiliki 2
(dua) indikator, yaitu: blok-blok kecil (90%) dan rasio konektivitas prioritas
dimana perhitungan rasio dapat dilihat pada bab Metode Perencanaan. Setiap
indikator tersebut memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian
memiliki skor masing-masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3. Tabel Skoring Prinsip Connect
Indikator Poin Penilaian Skor
Blok Blok Kecil (90%) Lebih pendek dari 110 m 10
Lebih pendek dari 130 m 8
Lebih pendek dari 150 m 6
Lebih pendek dari 170 m 4
Lebih pendek dari 190 m 2
Lebih dari 10% blok lebih Panjang dari 190
0
Rasio konektivitas prioritas
2 atau lebih 5
1.5 atau lebih 3
Lebih dari 1 1
1 atau kurang 0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
4. Prinsip Angkutan Umum (Transit)
Akses berjalan kaki menuju angkutan cepat dan berkala, didefinisikan
sebagai transportasi berbasis rel atau bus rapid transit (BRT), merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari konsep TOD dan prasyarat untuk pengakuan
TOD standards. Layanan angkutan umum menghubungkan dan
mengintegrasikan pejalan kaki dengan kota melebihi jarak berjalan kaki dan
bersepeda dan merupakan hal yang penting bagi orang untukmengakses
berbagai kesempatan dan sumber daya. Mobilitas perkotaan yang sangat efisien
dan seimbang serta pola pembangunan yang padat dan kompak saling
mendukung dan menguatkan satu sama lain.
Satu-satunya sasaran penerapan prinsip ini adalah menempatkan
pengembangan kota dalam jarak berjalan pendek di sekitar kawasan transit
dengan kualitas tinggi: idealnya, 500 meter (m) atau kurang dan tidak lebih dari
1000 m dari jarak tempuh berjalan sebenarnya (sekitar 20 menit berjalan),
14
termasuk semua jalan memutar, dari layanan BRT, kereta, atau ferry yang
cepat, berkala, dan terhubung dengan baik.
Sasaran angkutan umum berkualitas tinggi dapat diakses dengan berjalan
kaki Untuk status TOD Standard, jarak berjalan kaki maksimal yang dapat
diterima menuju stasiun angkutan umum terdekat adalah 1000 m dan 500 m
untuk layanan bus lokal yang terhubung ke jaringan angkutan umum cepat
dalam jarak kurang dari 5 kilometer. Stasiun transfer harus singkat, nyaman,
dan dapat diakses dengan mudah dengan layanan angkutan umum cepat.
Pemenuhan indikator (Jarak Berjalan Kaki menuju Angkutan Umum) adalah
sebuah syarat, dan tidak ada poin penilaian yang diberikan.
5. Prinsip Pembauran (Mix)
Ketika ada pencampuran yang seimbang antara peruntukan dan kegiatan
dalam satu area (misalnya, antara tempat tinggal, tempat kerja, dan
perdagangan ritel), akan banyak perjalanan sehari-hari dengan jarak dekat dan
dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Pencampuran tersebut mendorong
kegiatan berjalan dan sepeda, mendukung waktu pelayanan angkutan umum
yang lebih lama, dan menciptakan lingkungan yang hidup dan lengkap dimana
orang ingin tinggal. Perjalanan komuter pergi dan pulang juga dimungkinkan
untuk lebih seimbang pada jam-jam padat dan sepanjang hari, sehingga
operasional angkutan umum menjadi lebih efisien.
Adapun indikator-indikator dari prinsip pembauran, yaitu: penggunaan
komplementer, akses menuju tipe pelayanan lokal (80% Gedung dalam area
TOD), akses menuju taman dan tempat bermain dapat diakses dengan berjalan
kaki, persentase perumahan yang terjangkau, preservasi rumah yang sudah ada,
dan preservasi bisnis dan jasa. Setiap indikator tersebut memiliki poin-poin
penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-masing yang dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.4. Tabel Skoring Prinsip Mix
Indikator Poin Penilaian Skor
Penggunaan Komplementer
50% hingga 60% dari total luas lantai
8
61% hingga 70% dari total luas lantai
6
15
Indikator Poin Penilaian Skor
71% hingga 80% dari total luas lantai
4
Lebih dari 80% total luas area 0
Akses menuju tipe pelayanan lokal (80% Gedung dalam area
TOD)
3 tipe 3
2 tipe 2
1 tipe 1
Kurang dari 80 % Gedung yang dapat mengakses dengan cakupan
akses
0
Akses menuju taman dan tempat bermain dapat
diakses dengan berjalan kaki
80% Gedung yang masuk dalam cakupan berjalan kaki
1
Kurang dari 80% 0
Persentase Perumahan yang Terjangkau
50% atau lebih 8
35% hingga 49% 6
20% hingga 34% 4
10% hingga 19% 2
1% hingga 9% 1
Kurang dari 1% 0
Preservasi Rumah yang Sudah Ada
100% rumah tangga dipertahankan, direlokasi dalam lokasi proyek atau
dalam jarak 250 m dari alamat sebelumnya, atau diberikan
kompensasi berdasarkan pilihan mereka, atau tidak ada rumah tangga
sebelumnya padal lokasi
3
100% rumah tangga yang memilih untuk direlokasi dalam jarak 500 m
dari alamat sebelumnya
2
Kurang dari 100% rumah tangga dipertahankan atau direlokasi dalam
jarak yang ditentukan
0
Preservasi Bisnis dan Jasa
Semua bisnis dan jasa yang memenuhi syarat dipertahankan
secara in situ atau direlokasi dalam jarak 500 m dari lokasi
sebelumnya,atau tidak ada bisnis dan jasa sebelumnya pada lokasi
2
Bisnis dan jasa tidak sepenuhnya dipertahankan atau direlokasi dalam jangkauan berjalan kaki
0
Sumber: TOD Standards 3.0, 2017.
6. Prinsip Memadatkan (Densify)
Sebuah model pembangunan yang padat penting untuk melayani kota di
masa depan dengan angkutan umum yang cepat, berkala, terhubung dengan
16
baik, dan dapat diandalkan di setiap waktu untuk menjamin kepuasan hidup
bebas dari ketergantungan terhadap mobil dan motor. Kepadatan kota
diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan di area yang terbatas yang
dapat dilayani dengan kualitas angkutan umum dan untuk menyediakan
penggunanya yang dapat mendorong dan membenarkan pembangunan
infrastruktur angkutan umum dengan kualitas tinggi.
Pada prinsip ini terdapat 2 (dua) indikator yang harus dipenuhi agar prinsip
bersepeda dapat implementasikan dalam area TOD. Setiap indikator tersebut
memiliki poin-poin penilaian yang setiap poin penilaian memiliki skor masing-
masing yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5. Tabel Skoring Prinsip Densify
Indikator Poin Penilaian Skor
Kepadatan Non-Permukiman
Kepadatan non-permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan
1000 m
7
Kepadatan non-permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan
500 m tidak lebih padat dari area cakupan 1000 m
5
Kepadatan non-permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area
cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan 1000 m
3
Kepadatan non-permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area cakupan 500 m tidak lebih padat
dari area cakupan 1000 m
2
Total kepadatan lebih dari 5% di bawah acuan
0
Kepadatan Permukiman di Area Cakupan Stasiun
Kepadatan permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan
1000 m
8
Kepadatan permukiman lebih tinggi dari acuan, dan area cakupan
500 m tidak lebih padat dari area cakupan 1000 m
6
Kepadatan permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area
cakupan 500 m lebih padat dari area cakupan 1000 m
4
17
Indikator Poin Penilaian Skor
Kepadatan permukiman sama atau 5% di bawah acuan, dan area cakupan 500 m tidak lebih padat
dari area cakupan 1000 m
2
Total kepadatan permukiman lebih dari 5% di bawah acuan
0
Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
7. Prinsip Merapatkan (Compact)
Prinsip dasar dari TOD adalah kepadatan: memiliki semua komponen dan
fitur penting berada dekat satu sama lain, secara nyaman, dan efisien tempat.
Dengan jarak yang lebih pendek, kota kompak memerlukan waktu dan energi
yang lebih sedikit untuk berpergian dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya, tidak
memerlukan infrastruktur yang luas dan mahal (meskipun standar perencanaan
dan desain tinggi diperlukan), dan menjaga lahan perdesaan dari pembangunan
dengan memprioritaskan kepadatan dan pembangunan kembali dari lahan yang
sebelumnya telah terbangun. Prinsip “compact” dapat diaplikasikan pada skala
lingkungan, menghasilkan integrasi spasial dengan konektivitas berjalan kaki
dan bersepeda yang baik dan orientasi terhadap stasiun angkutan umum.
Dalam skala kota, kota kompak berarti kota tercakup dan terintegrasi secara
spasial oleh sistem transportasi publik. Dua indikator kinerja prinsip ini
berfokus pada kedekatan dari pembangunan untuk aktivitas perkotaan yang
sudah ada dan waktu perjalanan yang singkat menuju tujuan perjalanan utama
di tempat-tempat tujuan di pusat kota dan sekitarnya.
Tabel 2.6. Tabel Skoring Prinsip Compact
Indikator Poin Penilaian Skor
Lahan yang dapat dibangun
Lebih dari 90% 8
Sampai dengan 90% 6
Sampai dengan 80% 4
Sampai dengan 70% 2
Kurang dari 60% 0
Pilihan angkutan umum Tambahan jalur angkutan umum berkapasitas tinggi
2
Sistem bike share 2
Tambahan rute angkutan umum reguler
1
Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
18
8. Prinsip Beralih (Shift)
Kota yang telah dibentuk dengan tujuh prinsip di atas, penggunaan
kendaraan pribadi di kehidupan sehari-hari menjadi tidak penting lagi bagi
kebanyakan orang, dan efek-efek merugikan dari kendaraan tersebut dapat
berkurang secara drastis. Sasaran pengurangan lahan yang digunakan untuk
kendaraan bermotor. Poin penilaian Parking Off-Street mendorong persediaan
ruang parkir yang rendah di dalam area pengembangan. Poin penilaian Tingkat
Kepadatan Akses Kendaraan Bermotor (driveway) mengukur frekuensi akses
masuk bangunan bagi mobil yang melintasi trotoar, dan meminimalisir
keberadaan driveway. Poin penilaian (Luasan Daerah Milik Jalan untuk
Kendaraan Bermotor) mengukur total area dari ruang jalan yang digunakan
untuk kendaraan bermotor baik dalam bentuk lajur jalan atau parkir on-street.
Jalur yang digunakan untuk angkutan umum tidak termasuk dalam pengukuran
ini.
Tabel 2.7. Tabel Skoring Prinsip Shift
Indikator Poin Penilaian Skor
Area parkir off-street 0% hingga 10% dari luas lahan 8
10% hingga 15% dari luas lahan 7
16% hingga 20% dari luas lahan 6
21% hingga 25% dari luas lahan 5
26% hingga 30% dari luas lahan 4
31% hingga 40% dari luas lahan 2
Lebih dari 40% dari luas lahan 0
Tingkat Kepadatan Akses Kendaraan
Bermotor
2 atau lebih sedikit driveway per 100 m muka blok
1
Lebih dari 2 driveway per 100 m muka blok
0
Parkir on-street dan area lalu lintas
Area kendaraan bermotor seluas 15% atau kurang dari luas lahan
pembangunan
6
20% atau kurang dari luas lahan pembangunan
3
Lebih dari luas lahan pembangunan 0
Sumber: TOD Standard 3.0, 2017.
19
2.3. Walkability
2.3.1. Pengertian Walkability
"Walkability" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dan
mengukur konektivitas dan kualitas trotoar, jalan setapak, atau trotoar di kota. Hal
ini dapat diukur melalui penilaian komprehensif terhadap infrastruktur yang
tersedia untuk pejalan kaki dan studi yang menghubungkan permintaan dan
penawaran (Leather, James, Fabian, dkk. ADB 2011).
Dalam mendukung terciptanya kawasan pejalan kaki yang walkable,
lingkungan pejalan kaki harus memudahkan para masyarakat dalam mengakses
dan bersifat aman, dan tentunya menyenangkan di daerah sekitarnya. A Walking
Strategy for Western Australia (2007-2020) menjelaskan bahwa untuk dapat
mendukung terciptanya suatu lingkungan pejalan kaki yang walkable, terdapat 4
aspek yang harus diperhatikan, yaitu :
1) Akses : Menciptakan ruang pejalan kaki dengan kemudahan untuk
mengakses ruang terbuka dengan cara berjalan kaki. Pentingnya
memperhatikan ketersediaan fasilitas yang tentunya menunjang bagi kaum
manula dan difabel, serta memadai untuk orang yang membawa kereta bayi
dengan menciptakan jalur yang lebar serta ditandai dengan adanya rambu-
rambu petunjuk.
2) Estetika : Menciptakan suatu lingkungan yang memberikan kesan
menyenangkan dipandangan masyarakat, dengan memperhatikan penataan
landscape.
3) Keselamatan dan keamanan : Para pejalan kaki harus dapat merasakan
mereka dan barang-barang mereka aman. Para pejalan kaki harus dapat
menikmati perjalanan mereka dengan santai tentunya dengan kondisi jalan
yang terawat dengan baik dengan mengambil prinsip desain yang dapat
mencegah terjadinya tindak kejahatan.
4) Kenyamanan : Para pejalan kaki harus dapat merasakan keamanan ketika
berjalan pada suatu lingkungan dengan adanya ketersediaan fasilitas seperti
adanya tempat duduk umum, tempat beristirahat serta adanya fasilitas air
minum untuk publik.
20
2.3.2. Ukuran Walkability
Pengukuran walkability dengan menggunakan Global Walkability Index (GWI)
yang dikembangkan MIT dan World Bank yang sudah modifikasi agar sesuai
dengan konteks Asia. Parameter yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Konflik jalur pejalan kaki dengan moda transportasi lain (walking path
modal conflict)
2) Ketersediaan jalur pejalan kaki
3) Ketersediaan penyebrangan
4) Keamanan penyebrangan
5) Sikap pengendara motor
6) Amenities (fasilitas pendukung)
7) Infrastruktur penunjang kelompok penyandang cacat (disabled)
8) Kendala/hambatan
9) Keamanan terhadap kejahatan (safety from crime)
2.3.3. Global Walkabilty Index
Global Walkability Index (GWI), yang telah dikembangkan oleh Krambeck
untuk World Bank tahun 2006, memberikan analisis kualitatif tentang penilaian
kondisi berjalan yang di dalamnya termasuk aspek keselamatan, keamanan, dan
kenyamanan lingkungan pejalan kaki. Analisis ini juga memberikan pemahaman
tentang walkability yang lebih baik saat ini di kota Asia dan mampu
mengidentifikasi cara untuk meningkatkan pejalan kaki. Parameter beserta
deskripsi tentang pengukuran menggunakan GWI sebagai berikut:
Tabel 2.8. Pengukuran Global Walkability Index
No. Parameter Deskripsi
1. Konflik jalur pejalan kaki dengan moda transportasi lain
Seberapa besar konflik antara pejalan kaki dengan moda transportasi seperti motor, mobil dll
2 Ketersediaan jalur pejalan kaki
Ketersediaan jalur pejalan kaki disepanjang jalur perjalanan pejalan kaki.
3 Ketersediaan fasilitas penyeberangan
Ketersediaan fasilitas penyeberangan jalan seperti zebra cross, jembatan penyeberangan dan lainnya.
21
No. Parameter Deskripsi
4
Pejalan kaki dapat menyeberang dengan aman saat menyeberang jalan
Pejalan kaki dapat menyeberang dengan aman pada jalur penyeberangan yang tersedia
5 Perilaku pengendara
Perilaku pengendara motor baik atau tidak terhadap pejalan kaki, contohnya saat akan menyebrang jalan pengendara motor menghormati para pejala kaki dan lainnya.
6 Ketersediaan fasilitas pendukung
Ketersediaan fasilitas pendukung untuk pejalan kaki seperti tempat sampah, tempat duduk, peneduh.
7 Infrastruktur bagi penyandang cacat
Ketersediaan fasilitas bagi kelompok penyandang cacat di jalur pejalan kaki.
8 Hambatan
Pejalan kaki tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti PKL, parkir, dan kegiatan lainnya yang dapat mengganggu pejalan kaki.
9 Keamanan dari tindak kejahatan
Tingkat keamanan di sekitar jalur pejalan kaki
Sumber: “Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities”
Krambeck, 2006.
2.4. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
2.4.1. Pengertian Jalur Pejalan Kaki
Menurut Shirvani (1985), bahwa jalur pejalan kaki harus menjadi sebagai
salah satu elemen perencanaan kota.Sistem jalur pejalan kaki yang baik bagi kota
khususnya kawasan perdagangan dapat memberi dampak yang baik dan
merangsang aktivitas perdagangan, mengurangi ketergantungan terhadap
kendaraan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan udara, karena berkurangnya
polusi kendaraan. Jalur pejalan kaki diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi
atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin)
ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein,
1992).
22
2.4.2. Prinsip Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki
Prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki secara umum berfungsi untuk
memfasilitasi pergerakan pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lain dengan
mudah, lancar, aman, nyaman, dan mandiri termasuk bagi pejalan kaki dengan
keterbatasan fisik (Permen PU 03/PRT/M/2014). Fungsi prasarana dan sarana
pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
1. jalur penghubung antarpusat kegiatan, blok ke blok, dan persil ke persil di
kawasan perkotaan;
2. bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pergantian moda pergerakan
lainnya;
3. ruang interaksi sosial;
4. pendukung keindahan dan kenyamanan kota; dan
5. jalur evakuasi bencana.
Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki selain
bermanfaat untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki untuk
berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat yang lain juga bermanfaat untuk:
a. mendukung upaya revitalisasi kawasan perkotaan;
b. merangsang berbagai kegiatan ekonomi untuk mendukung perkembangan
kawasan bisnis yang menarik;
c. menghadirkan suasana dan lingkungan yang khas, unik, dan dinamis;
d. menumbuhkan kegiatan yang positif sehingga mengurangi kerawanan
lingkungan termasuk kriminalitas;
e. menurunkan pencemaran udara dan suara;
f. melestarikan kawasan dan bangunan bersejarah;
g. mengendalikan tingkat pelayanan jalan; dan
h. mengurangi kemacetan lalu lintas.
Kriteria prasarana jaringan pejalan kaki yang ideal berdasarkan berbagai
pertimbangan terutama kepekaan pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
1. menghindarkan kemungkinan kontak fisik dengan pejalan kaki lain dan
berbenturan/beradu fisik dengan kendaraan bermotor;
2. menghindari adanya jebakan seperti lubang yang dapat menimbulkan bahaya;
3. mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek;
23
4. menerus dan tidak ada rintangan;
5. memiliki fasilitas penunjang, antara lain bangku untuk melepas lelah dan
lampu penerangan;
6. melindungi pejalan kaki dari panas, hujan, angin, serta polusi udara dan suara;
7. meminimalisasi kesempatan orang untuk melakukan tindak kriminal; dan
8. mengharuskan dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk pejalan kaki
dengan berbagai keterbatasan fisik, antara lain menggunakan perencanaan dan
desain universal.
Kriteria prasarana jaringan pejalan kaki tersebut penting diterapkan di seluruh
kota atau karakter wilayah berdasarkan aspek-aspek normatif, antara lain
keamanan, kenyamanan, dan keselamatan.
Prinsip perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki yaitu sebagai berikut:
a. memudahkan pejalan kaki mencapai tujuan dengan jarak sedekat mungkin;
b. menghubungkan satu tempat ke tempat lain dengan adanya konektivitas dan
kontinuitas;
c. menjamin keterpaduan, baik dari aspek penataan bangunan dan lingkungan,
aksesilibitas antarlingkungan dan kawasan, maupun sistem transportasi;
d. mempunyai sarana ruang pejalan kaki untuk seluruh pengguna termasuk
pejalan kaki dengan berbagai keterbatasan fisik;
e. mempunyai kemiringan yang cukup landai dan permukaan jalan rata tidak naik
turun;
f. memberikan kondisi aman, nyaman, ramah lingkungan, dan mudah untuk
digunakan secara mandiri;
g. mempunyai nilai tambah baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan bagi
pejalan kaki;
h. mendorong terciptanya ruang publik yang mendukung aktivitas sosial, seperti
olahraga, interaksi sosial, dan rekreasi; dan
i. menyesuaikan karakter fisik dengan kondisi sosial dan budaya setempat,
seperti kebiasaan dan gaya hidup, kepadatan penduduk, serta warisan dan nilai
yang dianut terhadap lingkungan.
24
Prinsip perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki tersebut menekankan
aspek kontekstual dengan kawasan yang direncanakan yang dapat berbeda antara
satu kota dengan kota lainnya.
Dalam menerapkan perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki perlu
memperhatikan kebutuhan ruang jalur pejalan kaki, antara lain berdasarkan
dimensi tubuh manusia, ruang jalur pejalan kaki berkebutuhan khusus, ruang bebas
jalur pejalan kaki, jarak minimum jalur pejalan kaki dengan bangunan, dan
kemiringan jalur pejalan kaki.
2.4.3. Kebutuhan Ruang Pejalan Kaki Berdasarkan Dimensi Tubuh
Manusia
Kebutuhan ruang jalur pejalan kaki untuk berdiri dan berjalan dihitung
berdasarkan dimensi tubuh manusia. Dimensi tubuh yang lengkap berpakaian
adalah 45 cm untuk tebal tubuh sebagai sisi pendeknya dan 60 cm untuk lebar bahu
sebagai sisi panjangnya (Permen PU 03/PRT/M/2014).
Berdasarkan perhitungan dimensi tubuh manusia, kebutuhan ruang minimum
pejalan kaki:
1) tanpa membawa barang dan keadaan diam yaitu 0,27 m2;
2) tanpa membawa barang dan keadaan bergerak yaitu 1,08 m2; dan
3) membawa barang dan keadaan bergerak yaitu antara 1,35 – 1,62 m2.
Kebutuhan ruang minimum untuk berdiri, bergerak, dan membawa barang
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.9. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki
Posisi Kebutuhan Ruang
Lebar Luas
1. Diam
0.27 m2
25
2. Bergerak
1,08 m2
2.4.3.1. Bergerak membawa Barang
1,35 – 1,62 m2
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
Kebutuhan ruang gerak minimum tersebut di atas harus memperhatikan
kondisi perilaku pejalan kaki dalam melakukan pergerakan, baik pada saat
membawa barang, maupun berjalan bersama (berombongan) dengan pelaku
pejalan kaki lainnya, dalam kondisi diam maupun bergerak sebagaimana gambar
berikut ini.
Gambar 2.1 Kebutuhan Ruang Per Orang secara inividu, Membawa Barang, dan
Kegiatan Berjalan Bersama.
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
26
2.4.4. Ruang Jalur Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus
Persyaratan khusus ruang bagi pejalan kaki yang mempunyai keterbatasan fisik
(difabel) yaitu sebagai berikut:
a. jalur pejalan kaki memiliki lebar minimum 1.5 meter dan luas minimum
2,25 m;
b. alinemen jalan dan kelandaian jalan mudah dikenali oleh pejalan kaki
antara lain melalui penggunaan material khusus;
c. menghindari berbagai bahaya yang berpotensi mengancam keselamatan
seperti jeruji dan lubang;
d. tingkat trotoar harus dapat memudahkan dalam menyeberang jalan;
e. dilengkapi jalur pemandu dan perangkat pemandu untuk menunjukkan
berbagai perubahan dalam tekstur trotoar;
f. permukaan jalan tidak licin; dan
g. jalur pejalan kaki dengan ketentuan kelandaian yaitu sebagai berikut:
1) tingkat kelandaian tidak melebihi dari 8% (1 banding 12);
2) jalur yang landai harus memiliki pegangan tangan setidaknya untuk
satu sisi (disarankan untuk kedua sisi). Pada akhir landai setidaknya
panjang pegangan tangan mempunyai kelebihan sekitar 0,3 meter;
3) pegangan tangan harus dibuat dengan ketinggian 0.8 meter diukur dari
permukaan tanah dan panjangnya harus melebihi anak tangga terakhir;
4) seluruh pegangan tangan tidak diwajibkan memiliki permukaan yang
licin; dan
5) area landai harus memiliki penerangan yang cukup.
27
Gambar 2.2. Kebutuhan Ruang Gerak Minimum Pejalan Kaki Berkebutuhan
Khusus
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
Ketentuan untuk fasilitas bagi pejalan kaki berkebutuhan khusus yaitu sebagai
berikut:
a. ramp diletakan di setiap persimpangan, prasarana ruang pejalan kaki yang
memasuki pintu keluar masuk bangunan atau kaveling, dan titik-titik
penyeberangan;
b. jalur difabel diletakkan di sepanjang prasarana jaringan pejalan kaki; dan
c. pemandu atau tanda-tanda bagi pejalan kaki yang antara lain meliputi:
tanda-tanda pejalan kaki yang dapat diakses, sinyal suara yang dapat
didengar, pesan-pesan verbal, informasi lewat getaran, dan tekstur ubin
sebagai pengarah dan peringatan.
Ketentuan mengenai standar penyediaan jalur pejalan kaki berkebutuhan khusus
secara lebih rinci mengacu pada pedoman mengenai teknis fasilitas dan
aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan.
2.4.5. Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki
Perencanaan dan perancangan jalur pejalan kaki harus memperhatikan ruang
bebas. Ruang bebas jalur pejalan kaki memiliki kriteria sebagai berikut:
a. memberikan keleluasaan pada pejalan kaki;
b. mempunyai aksesibilitas tinggi;
28
c. menjamin keamanan dan keselamatan;
d. memiliki pandangan bebas terhadap kegiatan sekitarnya maupun koridor
jalan keseluruhan; dan
e. mengakomodasi kebutuhan sosial pejalan.
Spesifikasi ruang bebas jalur pejalan kaki ini yaitu sebagai berikut:
a. memiliki tinggi paling sedikit 2.5 meter;
b. memiliki kedalaman paling sedikit 1 meter; dan
c. memiliki lebar samping paling sedikit dari 0.3 meter.
Kriteria dan spesifikasi ruang bebas jalur pejalan kaki dimaksud harus
diperhatikan dalam penempatan utilitas/perlengkapan lainnya. Kebutuhan ruang
bebas di atas menggambarkan kebutuhan ruang untuk orang perorang beserta
kegiatan yang dilakukannya. Ilustrasi untuk ruang bebas jalur pejalan kaki dapat
dilihat pada Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Ruang Bebas Jalur Pejalan Kaki
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
2.4.6. Jarak Minimum Jalur Pejalan Kaki dengan Bangunan
Jaringan pejalan kaki di perkotaan dapat berfungsi untuk berbagai tujuan yang
beragam. Gambar 2.4 menunjukkan bahwa secara umum ruas pejalan kaki di depan
gedung terdiri dari jalur bagian depan gedung, jalur pejalan kaki, dan jalur perabot
jalan.
29
Gambar 2.4 Jalur pada Ruas Pejalan Kaki
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
a. Jalur Bagian Depan Gedung
1) Jalur bagian depan gedung adalah ruang antara dinding gedung dan jalur
pejalan kaki. Pejalan kaki biasanya akan tidak merasa nyaman bila berjalan
kaki secara langsung berdekatan dengan dinding gedung atau pagar. Untuk
itu jarak minimum setidaknya berjarak 0,75 meter dari jarak sisi gedung
atau tergantung pada penggunaan area ini.
2) Bagi orang yang memiliki keterbatasan indera penglihatan dan sering
berjalan di area ini, dapat menggunakan suara dari gedung yang berdekatan
sebagai orientasi, atau bagi tuna netra pengguna tongkat dapat berjalan
dengan jarak antara 0,3 meter hingga 1,2 meter dari bangunan.
3) Bagian depan harus bebas dari halangan atau berbagai objek yang
menonjol. Jalur bagian depan gedung juga harus dapat dideteksi oleh tuna
netra yang menggunakan tongkat yang panjang.
b. Jalur Pejalan Kaki
1) Jalur pejalan kaki adalah ruang yang digunakan untuk berjalan kaki atau
berkursi roda bagi penyandang disabilitas secara mandiri dan dirancang
30
berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman, mudah, nyaman dan
tanpa hambatan.
2) Jalur pejalan kaki ini merupakan ruang dari koridor sisi jalan yang secara
khusus digunakan untuk area pejalan kaki. Ruas ini harus dibebaskan dari
seluruh rintangan, berbagai objek yang menonjol dan penghalang vertikal
paling sedikit 2,5 meter dari permukaan jalur pejalan kaki yang berbahaya
bagi pejalan kaki dan bagi yang memiliki keterbatasan indera penglihatan.
3) Lebar jalur pejalan kaki bergantung pada intensitas penggunaannya untuk
perhitungan lebar efektifnya. Jalur pejalan kaki ini setidaknya berukuran
lebar 1,8 hingga 3,0 meter atau lebih untuk memenuhi tingkat pelayanan
yang diinginkan dalam kawasan yang memiliki intensitas pejalan kaki yang
tinggi. Lebar minimum untuk kawasan pertokoan dan perdagangan yaitu 2
meter.
4) Jalur yang digunakan untuk pejalan kaki di jalan lokal dan jalan kolektor
adalah 1,2 meter, sedangkan jalan arteri adalah 1,8 meter. Ruang tambahan
diperlukan untuk tempat pemberhentian dan halte bus dengan luas 1,5
meter X 2,4 meter.
5) Jalur pejalan kaki tidak boleh kurang dari 1,2 meter yang merupakan lebar
minimum yang dibutuhkan untuk orang yang membawa seekor anjing,
pengguna alat bantu jalan, dan para pejalan kaki.
6) Jalur pejalan kaki memiliki perbedaan ketinggian dengan jalur kendaraan
bermotor. Perbedaan tinggi maksimal antara jalur pejalan kaki dengan jalur
kendaraan bermotor adalah 20 sentimeter.
c. Jalur Perabot Jalan
1) Jalur perabot jalan dapat berfungsi sebagai ruang yang membatasi jalur
lalu-lintas kendaraan dengan area pejalan kaki.
2) Jalur perabot jalan ini berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan berbagai
elemen perabot jalan (hidran air, kios, box telepon umum, bangku taman,
penanda, dan lainlain).
3) Lebar minimal jalur perabot jalan ini paling sedikit 0,6 meter.
4) Jika jalur perabot jalan dimanfaatkan sebagai jalur hijau yang berfungsi
sebagai penyangga yang ditanami dengan pohon dan tanaman hias maka
31
lebar minimalnya 1,50 meter. Jalur ini disebut jalur hijau karena dominasi
elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.
5) Jalur perabot jalan memiliki perbedaan ketinggian dengan jalur pejalan
kaki. Perbedaan tinggi maksimal antara jalur perabot jalan dengan jalur
pejalan kaki adalah 15 sentimeter.
2.4.7. Kemiringan Jalur Pejalan Kaki
Kemiringan jalur pejalan kaki terdiri atas:
a. kemiringan memanjang yang kriterianya ditentukan berdasarkan
kemampuan berjalan kaki dan tujuan desain; dan
b. kemiringan melintang yang kriterianya ditentukan berdasarkan kebutuhan
untuk drainase serta material yang digunakan pada jalur pejalan kaki.
Pada kemiringan memanjang, kemiringan maksimal sebesar 8% dan
disediakan bagian yang mendatar dengan panjang minimal 1,2 m pada setiap jarak
maksimal 9 m. Sedangkan pada kemiringan melintang kemiringan minimal sebesar
2% dan kemiringan maksimal sebesar 4%. Dalam kondisi tidak memungkinkan
untuk menyediakan kemiringan memanjang, kemiringan dimaksud dapat
digantikan dengan penyediaan anak tangga.
Gambar 2.5 Kemiringan Jalur Pejalan Kaki
Sumber: Permen PU 03/PRT/M/2014
Prinsip perencanaan sarana jaringan pejalan kaki yaitu tidak mengganggu dan
mendukung fungsi prasarana jaringan pejalan kaki yang direncanakan atau sudah
ada.
2.4.8. Dasar Pertimbangan Perencanaan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki (Permen PU 03/PRT/M/2014)
Dasar yang dipertimbangkan dalam perencanaan prasarana jaringan pejalan
kaki di kawasan perkotaan yaitu sebagai berikut:
32
1. karakteristik pejalan kaki
Terdapat beberapa karakteristik pejalan kaki yang berperan dalam tingkat
pelayanan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki yang menjadi dasar
perencanaan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, yaitu:
1) karakteristik fisik pejalan kaki;
Karakteristik ini dipengaruhi oleh dimensi tubuh manusia dan daya gerak yang
digunakan untuk mengetahui kebutuhan ruang bagi gerakan normal manusia.
Kemampuan fisik pejalan kaki berhubungan dengan jarak tempuh yang mampu
dijalani. Hal-hal yang mempengaruhi jauhnya jarak berjalan kaki yaitu:
a) motif;
Motif yang kuat dalam berjalan kaki dapat mempengaruhi orang untuk berjalan
lebih lama atau jauh. Motif rekreasi mempunyai jarak yang relatif lebih pendek,
sedangkan motif berbelanja dapat dilakukan lebih dari 2 jam dengan jarak
sampai 2,5 km tanpa disadari sepenuhnya oleh pejalan kaki.
b) kenyamanan yang dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas;
Cuaca yang buruk akan mengurangi keinginan orang berjalan. Di Indonesia,
dengan cuaca yang panas orang hanya ingin menempuh 400 meter, sedangkan
untuk aktivitas berbelanja membawa barang, keinginan berjalan tidak lebih dari
300 meter.
c) ketersediaan fasilitas kendaraan umum;
Ketersediaan fasilitas kendaraan umum yang memadai dalam hal penempatan
penyediaannya akan mendorong orang untuk berjalan lebih jauh dibandingkan
dengan apabila tidak tersedia fasilitas ini secara merata.
d) pola guna lahan dan kegiatan;
Berjalan di pusat perbelanjaan terasa menyenangkan sampai dengan jarak 500
meter. Lebih dari jarak ini diperlukan fasilitas lain yang dapat mengurangi
kelelahan orang berjalan, misalnya adanya tempat duduk dan kios
makanan/minuman.
2) karakteristik perilaku pejalan kaki;
Perilaku pejalan kaki dapat menyebabkan bertambahnya ruang untuk pejalan
kaki. Perilaku dimaksud antara lain pejalan kaki yang membawa payung, keranjang
33
belanja bagi wanita, atau kebiasaan untuk berjalan bersama sambil berbincang
dalam jalur pejalan kaki membutuhkan tambahan lebar jalur pejalan kaki.
3) karakteristik psikis pejalan kaki;
Karakteristik psikis pejalan kaki berupa preferensi psikologi yang diperlukan
untuk memahami keinginan-keinginan pejalan kaki ketika melakukan aktivitas
berlalu lintas. Pejalan kaki lebih suka menghindari kontak fisik dengan pejalan kaki
lainnya dan biasanya akan memilih ruang pribadi yang lebih luas, sehingga
diperlukan jarak membujur yang memadai agar diperoleh gerakan pejalan kaki
yang nyaman.
2. karakteristik lingkungan
Terdapat beberapa karakteristik lingkungan yang berperan dalam tingkat
pelayanan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki yang menjadi dasar kriteria
perancangan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, yaitu:
1) kenyamanan; seperti ketersediaan pelindung terhadap cuaca dan halte
angkutan umum;
2) kenikmatan; seperti kemampuan berjalan kaki dan ketersediaan tanda
petunjuk;
3) keselamatan; seperti keamanan pejalan kaki dengan lalu lintas kendaraan;
4) keamanan; seperti ketersediaan lampu lalu lintas, kepastian pandangan
yang tidak terhalang ketika menyeberang, tidak licin, dan kesesuaian
besaran ruang untuk pejalan kaki dengan kondisi lingkungan;
5) keekonomisan; seperti efisiensi biaya pejalan kaki yang berhubungan
dengan tundaan perjalanan dan ketidaknyamanan.
3. keterkaitan antarkegiatan dan moda transportasi lainnya serta jenis penggunaan
lahan atau kegiatan.
Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki harus
mempertimbangkan bahwa berjalan kaki merupakan rangkaian penggunaan moda
transportasi dalam satu sistem transportasi secara keseluruhan yang
menghubungkan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Dengan demikian, dalam
penyediaan dan pemanfaatannya harus mempertimbangkan titik pergantian moda,
tempat parkir, dan keberadaan pusat kegiatan atau jenis penggunaan lahan. Setiap
34
jenis penggunaan lahan dan kegiatan yang berkembang di dalamnya
mempengaruhi sifat perjalanan dengan berjalan kaki.
2.5. Parkir
2.5.1. Sasaran Penyelenggaraan Parkir
Perperkiran merupakan bagian yang penting dalam manajemen lalu lintas di
kawasan perkotaan. Kebijaksanaan perparkiran harus dilakukan secara konsisten,
sehingga seluruh aspek dari kebijaksanaan tersebut diarahkan pada tujuan yang
sama.
Sasaran utama dari kebijaksanaan parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk ke suatu kawasan;
b. Meningkatkan pendapatan asli daerah yang dikumpulkan melalui retrbusi
parkir;
c. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan peranannya;
d. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas; dan
e. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.
2.5.2. Satuan Ruang Parkir
Satuan ruang parkir digunakan untuk mengukur kebutuhan ruang parkir. Tetapi
untuk menentukan satuan ruang parkir tidak terlepas dari pertimbangan-
pertimbangan seperi halnya satuan-satuan lain.
Demikian halnya untuk menentukan satuan ruang parkir (SRP) didasarkan apat
pertimbangan-pertimbangan berikut:
Gambar 2.6 Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
35
2.5.3. Penentuan satuan ruang parkir
Penentuan satuan ruang parkir (SRP) dibagi atas tiga jenis kendaraan dan
berdasarkan penentuan SRP untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga
golongan.
Tabel 2.10. Penentuan Satuan Ruang Parkir
Jenis Kendaraan SRP (m2)
a Mobil penumpang untuk Golongan I
b Mobil penumpang untuk Golongan II
c Mobil penumpang untuk Golongan III
2,30 x 5,00
2,50 x 5,00
3,00 x 5,00
Bus/Truk 3,40 x 12,50
Sepeda motor 0,75 x 2,00
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
a. Satuan Ruang Parkir untuk mobil Penumpang
Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk mobil penumpang ditunjukkan dalam
gambar berikut:
Gambar 2.7 SRP untuk Mobil Penumpang (dalam cm)
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
36
b. Satuan Ruang Parkir untuk bus/truk
Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk mobil bus atau truk, besarnya dipengaruhi
oleh besarnya kendaraan yang akan parkir, apakah ukuran kecil, sedang ataupun
besar. Konsep yang dijadikan acuan untuk menetapkan SRP mobil barang ataupun
bus ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 2.8 Satuan Ruang Parkir untuk Bus/Truk (dalam satuan cm)
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
c. Satuan Ruang Parkir Sepeda Motor
Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk sepeda motor ditunjukkan dalam gambar
berikut:
Gambar 2.9 Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Sepeda Motor (dalam cm)
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
37
2.5.4. Jenis Peruntukan Parkir
Kebutuhan area parkir berbeda antara satu dengan lainnya yang sesuai dengan
peruntukannya. Pada umumnya ada 2 (dua) jenis peruntukan kebutuhan parkir,
yaitu sebagai berikut:
1. Kegiatan parkir tetap
1) Pusat perdagangan
2) Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan
3) Pusat perdagangan eceran atau pasar swalayan
4) Pasar
5) Sekolah
6) Tempat rekreasi
7) Hotel dan tempat penginapan
8) Rumah sakit
2. Kegiatan parkir bersifat sementara
1) Bioskop
2) Tempat pertunjukan
3) Tempat pertandingan olahraga
4) Rumah ibadah
2.5.5. Standar Kebutuhan Parkir
Standar kebutuhan luas area kegiatan parkir berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya, tergantung kepada beberapa hal antara lain pelayanan, tariff yang
diberlakukan, ketersediaan ruang parkir, tingkat pemilikan kendaraan bermotor,
tingkat pendapatan masyarakat. Berdasarkan hasil studi Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat, kegiatan dan standar-standar kebutuhan parkir adalah sebagai
berikut:
1. Kegiatan parkir tetap
a. Pusat perdagangan
Parkir di pusat perdagangan dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu
pekerja yang bekerja di pusat perdagangan tersebut dan pengunjung. Pda
umumnya parkir untuk jangka panjang dan pengunjung umumnya jangka
38
pendek. Karena tekanan penyediaan ruang parkir adalah untuk pengunjung
maka kriteria yang digunakan sebagai acuan penentuan kebutuhan ruang
parkir adalah luas areal kawasan perdagangan.
Tabel 2.11. Kebutuhan SRP di pusat perdagangan
Luas Areal Total
(100m2)
10 20 50 100 500 1000 1500 2000
Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1140 1502
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
b. Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan
Parkir di pusat perkantoran mempunyai ciri parkir jangka panjang. Oleh
karena itu, penentuan ruang parkir dipengaruhi oleh jumlah karyawan yang
bekerja di kawasan perkantoran tersebut.
Tabel 2.12. Kebutuhan SRP di pusat perkantoran
Jumlah Karyawan 1000 1500 2000 2500 3000 4000
Kebutuhan
(SRP)
Administrasi 235 237 239 240 242 246
Pelayanan
umum
288 290 291 293 295 298
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
c. Pusat perdagangan eceran atau pasar swalayan
Seperti halnya pusat perdagangan, pasar swalayan mempunya karakteristik
kebutuhan parkir yang sama.
Tabel 2.13. Kebutuhan SRP di pasar swalayan
Luas Areal Total
(100m2)
50 75 100 150 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 225 250 270 310 350 440 520 600 1050
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
d. Pasar
Pasar juga mempunyai karakteristik yang hamper sama dengan pusat
perdagangan maupun pasar swalayan, walaupun kalangan yang mengunjungi
pasar lebih banyak dari golongan dengan pendapatan menengah ke bawah.
39
Tabel 2.14. Kebutuhan SRP di pasar
Luas Areal Total
(100m2)
40 50 75 100 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1200 2300
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
e. Sekolah
Parkir sekolah/perguruan tinggi dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
pekerja/dosen/guru yang bekerja di sekolah/perguruan tinggi tersebut dan
siswa/mahasiswa. Pekerja/dosen/guru umumnya parkir untuk jangka Panjang
dan siswa/mahasiswa umumnya jangkanya pendek bagi mereka yang diantar
jemput dan jangka Panjang bagi mereka yang memakai kendaraannya sendiri.
Jumlah kebutuhan parkir tergantung kepada jumlah siswa/mahasiswa.
Tabel 2.15. Kebutuhan SRP di sekolah/perguruan tinggi
Jumlah mahasiswa
(100 orang)
30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Kebutuhan (SRP) 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
f. Tempat rekreasi
Kebutuhan parkir ditempat rekreasi dipengaruhi oleh daya tarik tempat
tersebut. Biasanya pada hari-hari minggu libur kebutuhan parkir meningkat
dari hari kerja. Perhitungan kebutuhan didasarkan pada luas areal tempat
rekreasi.
Tabel 2.16. Kebutuhan SRP di tempat rekreasi
Luas Areal Total
(100m2)
50 100 150 200 400 800 1600 3200 6400
Kebutuhan (SRP) 103 109 115 122 146 196 295 494 892
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
g. Rumah sakit
Kebutuhan ruang parkir di rumah sakit berdasarkan tarif yang rumah sakit
berlakukan dan jumlah tempat tidur.
40
Tabel 2.17. Kebutuhan SRP di Rumah Sakit
Jumlah Tempat
Tidur (buah)
50 75 100 150 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 97 100 104 111 118 132 146 160 230
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
1. Kegiatan parkir bersifat sementara
1) Bioskop
Ruang parkir di bioskop/gedung pertunjukan sifatnya sementara dengan durasi
antara 1.5 sampai 2 jam saja dan keluarnya bersamaan sehingga perlu kapasitas
pintu keluar yang besar. Besarnya kebutuhan ruang parkir tergantung kepada
jumlah tempat duduk.
2) Tempat pertunjukan
3) Tempat pertandingan olahraga
4) Rumah ibadah
2.6. Studi Banding
Pada negara berkembang konsep TOD sudah banyak diterapkan sebagai solusi
dalam mengatasi kemacetan, juga untuk menciptakan ruang publik lebih
berkualitas. TOD bukan hanya sekedar konsep melainkan jawaban untuk kualitas
hidup yang lebih baik diperkotaan.
Berikut merupakan studi banding terhadap negara yang sudah memakai
konsep TOD sebagai konsep pengembangan kawasan transitnya.
2.6.1. Fruitvale Transit Village, California
Pada tahun 1991, ketika Bay Area Rapid Transit (BART) mengusulkan
struktur parkir baru di Fruitvale Transit Station di mana tempat parkir permukaan
yang ada berdiri, masyarakat menolak dan memilih untuk membuat rencananya
sendiri. Meskipun penduduk sekitar mengakui perlunya parkir, mereka tidak setuju
dengan lokasi dan desain struktur. Penduduk menginginkan tempat yang akan
menghubungkan ekonomi lokal untuk transit, dengan demikian meningkatkan lalu
lintas pejalan kaki dan sepeda dan merevitalisasi lingkungan.
Dengan kepemimpinan kelompok masyarakat yang aktif disebut Dewan
Kesatuan, masyarakat menciptakan rencana alternatif untuk situs yang
41
menciptakan desa campuran dengan toko ritel lokal, pusat komunitas,
perpustakaan, perumahan, dan parkir terstruktur baru. BART menerima gagasan
itu dan memutuskan untuk bekerja dengan komunitas untuk membangun visi
mereka.
Fruitvale Transit Village adalah desa transit 2.39 hektar (5,9 hektar) dengan
konektor pejalan kaki yang aktif, ritel antara stasiun BART dan arteri ritel primer
di lingkungan sekitar. Ada 47 unit perumahan campuran, 10.600 m persegi dari
layanan masyarakat dan ruang kantor, dan 3.700 meter persegi dari ritel.
Proyek ini dirancang oleh dan untuk lingkungan sekitar stasiun. Akibatnya,
ada beberapa fasilitas pelayanan sosial termasuk klinik kesehatan, perpustakaan,
pusat senior, dan pusat pengembangan anak. Dari 47 unit sewa di Desa, 10
ditetapkan terjangkau. Selain itu, satu atau dua blok dari Desa, ada 68 unit proyek
perumahan senior dan satu unit fasilitas yang direncanakan berjumlah 500 unit
pada tahap II dari rencana Desa. Tahap II termasuk membangun 500-600 unit
rumah di lahan parkir BART dan dua blok berdekatan dengan Fruitvale Transit
Village.
Gambar 2.10. Fruitvale Transit Village
Sumber: Winnipeg Transit-Oriented Development Handbook, 2011
2.6.2. Arlington Heights, Illinois
Desa Arlington Heights, barat Chicago, di Jalur Union Pacific Northwest milik
Metra, telah memanfaatkan TOD sebagai komponen integral dari strategi
pemenang penghargaan kota untuk merevitalisasi pusat kota bersejarahnya. Desa
ini telah menciptakan pusat kota yang hampir baru yang mencakup stasiun Metra
42
baru, pusat seni pertunjukan, perumahan dengan kepadatan tinggi, penggunaan
komersial, dan dek parkir umum. Pada tahun 1980, 350 penduduk tinggal di pusat
kota dalam 150 unit. Pada tahun 2000, jumlahnya melonjak menjadi 2.200
penduduk dan 1,500 unit. Sejak tahun 1997, investasi publik sebesar $ 27 juta (AS)
telah memanfaatkan $ 225 juta (AS) dalam investasi swasta.
Dengan memindahkan stasiun satu blok ke barat dan platform dua blok ke
barat, transit kereta api lebih dekat ke pusat kota, dan kesenjangan besar antara sisi
utara dan selatan trek telah diisi. Situs yang direlokasi itu telah meningkatkan akses
utara/ selatan ke stasiun itu, membuat semua yang lebih menarik dengan
penambahan taman dan seni publik di sebelah rel kereta. Stasiun milik desa itu
sendiri penuh dengan aktivitas, dengan restoran McDonalds, kafe roti, dan Kios
Gerbang. Dana untuk perbaikan stasiun disediakan oleh enam lembaga, termasuk
Metra, Illinois Department of Transportation (IDOT), dan desa (yang
menggunakan dana pembiayaan peningkatan pajak). Proyek ini menerima
penghargaan pembedaan dari Chicago Metropolitan Agency for Planning (CMAP)
untuk desain stasiun kereta Central Business District (CBD).
Gambar 2.11. Arlington Heights
Sumber: Winnipeg Transit-Oriented Development Handbook, 2011
2.6.3. Ottawa, Ontario
Rute transit cepat bus 31 km di Ottawa adalah salah satu sistem transit bus
paling efektif di dunia. Kunci keberhasilannya adalah keputusan untuk
memperlakukan stasiun sebagai “tempat” signifikan dan substansial. Rencana
resmi kota dan rencana induk transportasi termasuk kebijakan yang mengatur
43
penggunaan lahan yang mendukung transit, seperti mencari pusat penggunaan
campuran di stasiun transit cepat sehingga kota dapat memberlakukan persyaratan
pada PTK dengan memberlakukan persyaratan pada pusat penggunaan campuran.
Lebih dari seperempat dari 28 stasiun transit secara fisik terintegrasi dengan
pembangunan yang berdekatan menciptakan tempat. Contoh yang paling
signifikan adalah di Pusat Perbelanjaan St. Laurent, di mana pemilik
menyumbangkan tanah (sebagai imbalan untuk bantuan atas persyaratan parkir)
dan stasiun dua tingkat, yang terhubung langsung ke mal, telah dibuat. Sekitar 30
persen pelanggan St. Laurent kini datang dengan bus.
Jalur transit telah menjadi salah satu komponen kunci untuk menjadikan
angkutan umum sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari di Ottawa. Jalan
setapak tertutup untuk berpindah antar bus pada bulan Februari tidak lagi berisiko
menjadi cobaan yang pahit dan tidak nyaman. Jalur transit Ottawa mendapat
manfaat dari pendanaan provinsi; tanpa kontribusi 75 persen untuk biaya modal
dari Ontario tidak akan pernah dibangun.
Integrasi stasiun dengan penggunaan lahan yang berdekatan dan penyediaan
layanan inovatif untuk memanfaatkan fasilitas ini berarti bahwa:
1. Lebih dari 50 persen dari semua orang yang memasuki pusat kota
melakukannya dengan bus.
2. Pusat Perbelanjaan St. Laurent di pinggiran kota memiliki 30 persen yang luar
biasa mode berbagi ransit untuk pembeli.
3. 3.200 unit rumah dan 440.000 m². ruang institusional dan komersial dibangun
dekat stasiun transitway dalam delapan tahun sebelum tahun 1996.
4. bus adalah mode tercepat yang tersedia antara bandara dan pusat kota.
Gambar 2.12. Ottawa, Ontario
Sumber: Winnipeg Transit-Oriented Development Handbook, 2011
44
BAB III
METODE PERENCANAAN
3.1. Jenis Perencanaan
Perencanaan ini merupakan jenis perencanaan spasial keruangan. Perencanaan
ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Tujuan dari metode ini adalah untuk menggambarkan suatu keadaan yang ada
pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab akibat melalui identifikasi dari
gejala yang ada dari permasalahan. Melalui pendekatan deskriptif diharapkan dapat
dilakukan identifikasi kondisi kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang yang ada
pada saat ini yang selanjutnya dapat diketahui peluang pengembangannya. Metode
ini dapat digunakan secara luas sehingga dapat membantu dalam melakukan
identifikasi atas variabel yang ada.
3.2. Lokasi Perencanaan
Lokasi perencanaan ini ditetapkan berdasarkan latar belakang pada daerah yang
menjadi sub pusat pelayanan kota yaitu pada Sub PPK V tepatnya di Pusat
Perbelanjaan Panakkukang dan kawasan radius 500 m sekitar pusat perbelanjaan,
Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. Lokasi dipilih karena merupakan
kawasan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai walkable zone
sebagai pendukung konsep Transit Oriented Development.
45
Gambar 3.1. Peta Deliniasi Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
46
3.3. Jenis Data
Dalam hal ini penulis memperoleh dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer, diperoleh secara langsung dengan melakukan observasi dan
dokumentasi langsung di lapangan, serta pembagian kuesioner dan wawancara
langsung yang berhubungan dengan data-data yang dibutuhkan dalam proses
penulisan. Data primer yang dibutuhkan antara lain:
a. Kondisi sarana dan prasarana kawasan
b. Jenis kegiatan dalam kawasan
c. Potongan jalan
d. Jumlah kendaraan parkir
e. Panjang blok
f. Muka bangunan aktif dan pasif
2. Data sekunder, diperoleh dari kantor instansi terkait, serta referensi-referensi
lainnya yang relevan dengan masalah pokok. Data sekunder yang dibutuhkan
antara lain:
a. Peta dasar wilayah perencanaan
b. Data demografi
c. Penggunaan lahan
d. Luas kawasan perencanaan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan pertama yang dilakukan dalam
pelaksanaan analisis. Pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran lapangan yang sedang terjadi selama perencanaan. Dalam studi ini,
pengumpulan data terdiri atas dua cara, yaitu pengumpulan data primer dan
pengumpulan data sekunder.
47
1. Pengumpulan data primer
a. Observasi
Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan langsung pada objek
penelitian di lokasi dan sekitar lokasi yaitu kondisi geometrik Pusat Perbelanjaan
Panakkukang meliputi sarana dan prasarana yang menunjang pusat perbelanjaan
dan kondisi geometrik jalan di dalam lokasi dan sekitar lokasi yang meliputi lebar
jalan, panjang jalan, ada atau tidaknya kerb, pemisahan arah kendaraan, ada
tidaknya median jalan, keberadaan simpangan, trotoar, lebar drainase jalan, jumlah
kendaraan parkir.
b. Pengukuran
Pengambilan data dilakukan dengan cara mengukur dengan alat ukur untuk
mendapatkan data bentuk fisik yang berada dalam kawasan seperti lebar jalur
pejalan kaki, lebar drainase jalan, lebar badan jalan, serta panjang blok.
c. Wawancara
Sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh data/informasi dari
responden tentang kondisi lingkungan sekitar sehingga akumulasi dari informasi
ini dapat menggambarkan karakteristik umum kawasan studi.
d. Dokumentasi
Pengambilan data menggunakan kamera baik kamera digital maupun kamera
handphone sebagai alat pengambilan gambar selama penelitian berlangsung.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder merupakan pengumpulan secara tidak langsung
dari sumber/objeknya. Data ini berupa rencana pembangunan dan data bumerik
yang diperoleh melalui buku literaur, dokumen penelitian atau melalui kajian
literatur sendiri. Selain itu, juga dapat bersumber dari jurnal ilmiah maupun data
dari website resmi yang sesuai dengan objek penelitian
48
3.5. Metode Analisis Perencanaan
Untuk menjawab rumusan masalah yang ada maka analisis yang digunakan
dalam perencanaan ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis Kondisi Spasial.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui kondisi awal serta potensi/daya
tarik yang dimiliki kawasan tersebut untuk dikembangkan fungsinya sebagai
kawasan pusat perbelanjaan dengan konsep walkable. Metode analisis yang
digunakan adalah metode analisis spasial dan overlay peta tematik.
2. Analisis Rasio Konektivitas Prioritas
Analisis rasio konektivitas prioritas merupakan analisis untuk mengetahui
apakah suatu jaringan jalan suatu kawasan lebih memprioritaskan jalur pejalan
kaki dan sepeda atau masih lebih memprioritaskan kendaraan bermotor. Cara
mengukur rasio konektivitas prioritas adalah sebagai berikut:
Memetakan semua persimpangan kendaraan bermotor di wilayah
pembangunan dan ke garis tengah jalan di sekitarnya (peripheral street);
Memetakan semua persimpangan jalur pejalan kaki di wilayah pembangunan
dan ke garis tengah jalan di sekitarnya (peripheral street); Pada langkah ini,
semua persimpangan kendaraan bermotor dengan trotoar dan penyeberangan
yang sesuai dihitung sebagai persimpangan jalur pejalan kaki. Hitung semua
persimpangan sebagai berikut:
a. Persimpangan empat arah = 1 persimpangan
b. Persimpangan tiga arah atau persimpangan T = 0.75 persimpangan
c. Persimpangan lima arah = 1.25 persimpangan
Bagi pengukuran kedua dengan pengukuran pertama untuk menghitung
rasio konektivitas prioritas.
3. Analisis Sarana dan Prasarana
Analisis ini dilakukan untuk menghasilkan dimensi dan jenis jalur pejalan
kaki yang akan direncanakan pada kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang
49
yang nantinya akan mengarah pada konsep walkable zone sebagai pendukung
TOD. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis komparatif yang
didasarkan pada kebutuhan serta standar yang berlaku yaitu satuan ruang gerak
pejalan kaki, ruang gerak bebas pejalan kaki, ruang perabot serta analisis
skoring pada penilaian standar TOD.
4. Network Analysis
Analisis ini dilakukan pada aplikasi ArcMap untuk mengetahui service area
titik halte/transit yang merupakan standar dalam menetapkan area
pengembangan TOD. Analisis ini memerlukan data digital berupa shapefile
jaringan jalan kawasan serta titik halte/transit yang selanjutnya akan akan
dimasukkan dalam geodatabase lalu diolah menjadi network dataset lalu
dikalkulasikan menjadi data service area.
5. Analisis skoring
Analisis skoring dilakukan apabila analisis kondisi spasial dan analisis
sarana prasarana yang menjadi indikator pada TOD Standard telah dilakukan.
Adapun analisis skoring dilakukan dengan cara menghitung skor dari masing-
masing indikator dan jumlah hasil skor dipersentasekan dan digolongkan
berdasarkan penilaian TOD Standard berikut:
Tabel 3.1. Skor Penilaian Walkable berdasarkan Prinsip TOD
Penilaian Skor
Sangat Baik 86 – 100 %
Baik 71 – 85 %
Cukup 56 – 70 %
Tidak Sesuai < 56 %
Sumber: TOD Standards 3.0, 2018.
Namun, hal ini dengan catatan prinsip Transit tidak memiliki poin dan
prinsip Walk pada sasaran A minimal menghasilkan skor sebagai persyaratan
mutlak untuk menjadi kawasan walkable dalam prinsip TOD.
50
3.6. Kerangka Perencanaan
Kawasan Pusat Perbelanjaan belum memiliki
jalur pejalan kaki yang memadai
Memiliki titik transit/halte, namun hanya
digunakan untuk bus antardaerah Damri, tidak
digunakan untuk BRT maupun angkot
Kawasan perencanaan sudah memiliki blok-
blok kecil namun jaringan jalan belum
memprioritaskan jalur pejalan kaki
Terdapat parkir on-street yang menyebabkan
kemacetan lalu lintas
Transit Oriented Development
(Walk, Connect, Transit, Shift)
Prasarana jalur pejalan kaki
Fasilitas parkir
ITDP – TOD Standards 3.0
Permen PU No. 3 Tahun 2014
Pedoman Perencanaan dan
Pengoperasian Parkir, 1998
Bagaimana kondisi spasial dalam penataan pusat
perbelanjaan Panakkukang dengan konsep
walkable zone sebagai pendukung TOD?
Bagaimana kondisi sarana dan prasarana
berdasarkan konsep walkable zone pada pusat
perbelanjaan Panakkukang sebagai pendukung
TOD?
Letak Kawasan
Penggunaan Lahan
Konektivitas (Connect)
Sarana: -Perdagangan, RTH,
Kesehatan, Persampahan,
Pendidikan, Peribadatan, Transit
Prasarana: Jaringan Jalan, Jalur
Pejalan kaki, Drainase
Analisis Spasial
Overlay peta tematik
Analisis Rasio Konektivitas
Analisis Kualitatif
Network Analysis
Analisis Skoring
Identifikasi Kondisi Spasial
Kawasan terhadap konsep
Walkable Zone sesuai TOD
Identifikasi Kondisi Sarana
Prasarana Kawasan terhadap
konsep Walkable Zone sesuai
TOD
Bagaimana penataan dengan konsep walkable
zone pada pusat perbelanjaan Panakkukang
sebagai pendukung TOD?
Kajian Pustaka Isu Permasalahan
Gambar 3.2. Kerangka Perencanaan
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Rumusan Masalah 2
Rumusan Masalah 3
Analisis Komparatif
Perencanaan Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang dengan
Konsep Walkable Zone Sebagai Pendukung
Transit Oriented Development
Rumusan Masalah 1
Overlay peta tematik
51
3.7. Unit Analisis Perencanaan
Tabel 3.2. Unit Analisis Perencanaan
No. Unit Analisis Indikator yang Ditinjau Pengumpulan Data Sumber Data Teknik Analisis
1. Potensi
Kawasan
Kondisi Fisik
Tata Guna Lahan
Konektivitas Kawasan
Observasi Lapangan
Wawancara
Studi Literatur
Survei Instansi
Observasi
BPS
BAPPEDA
Dinas Tata
Ruang
Analisis kualitatif
deskriptif
Overlay peta tematik
Analisis spasial
Analisis Skoring
3. Sarana dan
Prasarana
Kondisi sarana
Kondisi prasarana
Fasilitas pendukung area
TOD
Observasi Lapangan
Pengukuran dan
Dokumentasi
Survei Instansi
Observasi
BAPPEDA
Dinas Tata
Ruang
Analisis Kualitatif
Deskriptif
Analisis Skoring
Network Analysis
Sumber: Hasil Analisis, 2018
52
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Makassar
Kota Makassar merupakan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak
antara antara 119⁰18'38” sampai 119⁰32'31” Bujur Timur dan antara 5⁰30'30”
sampai 5⁰14'49” Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2.
Secara administratif Kota Makassar memiliki 15 kecamatan yaitu Kec. Mariso,
Kec. Mamajang, Kec. Tamalate, Kec. Rappocini, Kec. Makassar, Kec. Ujung
Pandang, Kec. Wajo, Kec. Bontoala, Kec. Ujung Tanah, Kep. Sangkarrang, Kec.
Tallo, Kec. Panakkukang, Kec. Manggala, Kec. Biringkanaya, dan Kec.
Tamalanrea. Batas-batas wilayah administratif Kota Makassar, ialah: sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Gowa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan
Kabupaten Gowa, serta di sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Tabel 4.1. Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan Kota Makassar 2017
Sumber: Kota Makassar Dalam Angka 2018
No. Kecamatan Luas Persentase
1 Mariso 1,82 1,04
2 Mamajang 2,25 1,28
3 Tamalate 20,21 11,50
4 Rappocini 9,23 5,25
5 Makassar 2,52 1,43
6 Ujung pandang 2,63 1,50
7 Wajo 1,99 1,13
8 Bontoala 2,10 1,19
9 Ujung tanah 4,40 2,50
10 Kep. Sangkarrang 1,54 0,88
11 Tallo 5,83 3,32
12 Panakkukang 17,05 9,70
13 Manggala 24,14 13,73
14 Biringkanaya 48,22 27,43
15 Tamalanrea 31,84 18,11
Kota makassar 175,77 100,00
53
4.2 Data Demografi Kota Makassar
Penduduk Kota Makassar berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017
sebanyak 1.489.011 jiwa yang terdiri atas 737.146 jiwa penduduk laki-laki dan
751.865 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah
penduduk tahun 2016, penduduk Kota Makassar mengalami pertumbuhan sebesar
1,32 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki
sebesar 1,43 persen dan penduduk perempuan sebesar 1,36 persen. Sementara itu
besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2017 penduduk laki -laki terhadap
penduduk perempuan sebesar 98.
Kepadatan penduduk di Kota Makassar tahun 2017 mencapai 8.471 jiwa/km2
dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga empat orang. Kepadatan
penduduk di 15 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Kecamatan Makassar dengan kepadatan sebesar 33.751 jiwa/km2 dan
terendah di Kecamatan Tamalanrea sebesar 3.563 jiwa/km2. Sementara itu jumlah
rumah tangga mengalami pertumbuhan sebesar 2,96 persen dari tahun 2016.
Tabel 4.2. Tabel Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Makassar
No. Kecamatan Jumlah Penduduk
Laju Pertumbuhan
Penduduk per Tahun
2015 2016 2017 2015-2016 2016-2017
1 Mariso 58.815 59.292 59.721 0,81 0,72
2 Mamajang 60.779 61.007 61.186 0,38 0,29
3 Tamalate 190.694 194.493 198.210 1,99 1,91
4 Rappocini 162.539 164.563 166.480 1,25 1,16
5 Makassar 84.396 84.758 85.052 0,43 0,35
6 Ujung pandang 28.278 28.497 28.696 0,77 0,70
7 Wajo 30.722 30.933 31.121 0,69 0,61
8 Bontoala 56.243 56.536 56.784 0,52 0,44
9 Ujung tanah 48.882 49.223 49.528 0,70 0,62
10 Kep.sangkarrang - - - - - 11 Tallo 138.598 139.167 139.624 0,41 0,3
12 Panakkukang 146.968 147.783 148.482 0,55 0,4
13 Manggala 135.049 138.659 142.252 2,67 2,5
14 Biringkanaya 196.612 202.520 208.436 3,00 2,9
15 Tamalanrea 110.826 112.170 113.439 1,21 1,1
Kota Makassar 1.449.401 1.469.601 1.489.011 1,39 1,32
Sumber: Kota Makassar Dalam Angka 2018
54
Tabel 4.3. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kota Makassar
No. Kecamatan
Jenis Kelamin
Ratio Jenis
Kelamin Laki-
Laki Perempuan Jumlah
1 Mariso 30.124 29.597 59.721 102
2 Mamajang 29.985 31.201 61.186 96
3 Tamalate 98.415 99.795 198.210 99
4 Rappocini 80.537 85.943 166.480 94
5 Makassar 42.242 42.810 85.052 97
6 Ujung pandang 13.549 15.147 28.696 89
7 Wajo 15.275 15.846 31.121 96
8 Bontoala 27.698 29.086 56.784 95
9 Ujung tanah 24.970 24.558 49.528 102
10 Kep.sangkarrang - - - -
11 Tallo 69.971 69.653 139.624 100
12 Panakkukang 73.445 75.037 148.482 98
13 Manggala 71.391 70.861 142.252 100
14 Biringkanaya 104.010 104.426 208.436 99
15 Tamalanrea 55.534 57.905 113.439 96
Kota makassar 2017 737.146 751.865 1.489.011 98
2016 727.314 742.287 1.469.601 98 Sumber: Kota Makassar Dalam Angka 2018
Tabel 4.4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Dan Jenis Kelamin Kota Makassar
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
0‒4 70 607 67 517 138 124
5‒9 64 151 61 705 125 865
10‒14 59 883 57 264 117 147
15‒19 78 888 80 926 159 814
20‒24 100 508 96 783 197 291
25‒29 56 353 68 561 138 944
30‒34 48 931 58 907 115 260
35‒39 47 454 53 293 102 224
40‒44 42 995 51 763 99 217
45‒49 32 974 44 688 87 683
50‒54 24 427 33 159 66 133
55‒59 16 619 26 498 50 925
60‒64 10 956 18 385 35 004
65+ 22 973 32 411 55 389
Kota Makassar 737 146 751 865 1 489 011
Sumber: Kota Makassar Dalam Angka 2018
55
4.3 Gambaran Umum Kecamatan Panakkukang
Kecamatan Panakkukang merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kota
Makassar yang berbatasan dengan Kecamatan Tallo di sebelah utara, Kecamatan
Tamalanrea di sebelah timur, Kecamatan Rappocini di sebelah selatan dan di
sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Makassar.
Kecamatan Panakukang merupakan daerah bukan pantai dengan topografi
ketinggian 500 m dari permukaan laut. Menurut jaraknya, letak masing-masing
kelurahan ke ibukota kecamatan berkisar antara 1-2 km.
Kecamatan Panakkukang terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 17,05
km². Dari luas wilayah tersebut pada Tabel 1.2, tampak bahwa Kelurahan Pampang
memiliki wilayah terluas yaitu 2,63 km², terluas kedua adalah Kelurahan
Panaikang dengan luas wilayah 2,35 km², sedangkan yang paling kecil luas
wilayahnya adalah Kelurahan Sinrijala yaitu 0,17 km².
Tingkat klasifikasi desa/kelurahan di Kecamatan Panakkukang tahun 2015
terdiri dari 11 kelurahan, 474 RT dan 90 RW dengan kategori kelurahan
swasembada. Dengan demikian tidak ada lagi kelurahan dengan klasifikasi
Swadaya dan Swakarya.
4.4 Data Demografi Kecamatan Panakkukang
Dalam kurun waktu tahun 2015-2016 jumlah penduduk Kecamatan
Panakkukang mengalami pertumbuhan sebesar 3,27 persen, dimana jumlah
penduduk pada tahun 2015 sebanyak 142.308 jiwa dan bertambah menjadi
sebanyak 147.783 jiwa di tahun 2016.
Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa jumlah penduduk laki-laki sekitar
73.114 jiwa dan perempuan sekitar 74.669 jiwa. Dengan demikian rasio jenis
kelamin adalah sekitar 98 persen yang berarti setiap 100 orang penduduk
perempuan terdapat sekitar 98 orang penduduk laki-laki.
56
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga,
Luas, Serta Kepadatan Penduduk Kecamatan Panakkukang
Desa/Kelurahan Luas (Km²) Rumah
Tangga Penduduk Kepadatan
Per Km²
01.Paropo 1,94 3.740 16.569 8.540
02. Karampuang 1,46 2.525 10.787 7.388
03. Pandang 1,16 2.571 10.977 9.462
04. Masale 1,32 2.685 12.184 9.230
05. Tamamaung 1,27 9.427 28.388 22.353
06. Karuwisi 0,85 3.450 10.661 12.542
07. Sinrijala 0,17 1.141 4.709 27.700
08. Karuwisi Utara 1,72 1.710 7.931 4.611
09. Pampang 2,63 4.562 18.071 6.871
10. Panaikang 2,35 3.533 16.190 6.889
11. Tello Baru 2,18 2.803 11.316 5.191
Kecamatan 17,05 38.147 147.783 8.668
Sumber: Kecamatan Panakkukang Dalam Angka 2017
Tabel 4.6. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan,
Jenis Kelamin serta Sex Ratio Kecamatan Panakkukang.
Desa/Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Rasio
01.Paropo 8.087 8.482 16.569 95
02. Karampuang 5.373 5.414 10.787 99
03. Pandang 5.267 5.710 10.977 92
04. Masale 5.788 6.396 12.184 90
05. Tamamaung 14.184 14.204 28.388 100
06. Karuwisi 5.118 5.543 10.661 92
07. Sinrijala 2.213 2.496 4.709 89
08. Karuwisi Utara 3.931 4.000 7.931 98
09. Pampang 8.957 9.114 18.071 98
10. Panaikang 8.173 8.017 16.190 102
11. Tello Baru 6.023 5.293 11.316 114
Kecamatan 73.114 74.669 147.783 98
Sumber: Kecamatan Panakkukang Dalam Angka 2017
57
Tabel 4.7. Jumlah Penduduk menurut Kelurahan,
Jenis Kelamin serta Sex Ratio Kecamatan Panakkukang.
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
0 - 4 7.948 7.613 15.561
5 – 9 6.856 6.614 13.470
10 - 14 6.163 5.916 12.079
15 - 19 7.380 7.629 15.009
20 - 24 9.457 9.253 18.710
25 - 29 6.806 6.702 13.508
30 - 34 5.513 5.827 11.340
35 - 39 4.962 5.391 10.353
40 - 44 4.861 5.308 10.169
45 - 49 3.956 4.139 8.095
50 - 54 3.233 3.280 6.513
55 - 59 2.048 2.220 4.268
60 - 64 1.615 1.785 3.400
65 - 69 1.141 1.267 2.408
70-74 655 943 1.598
75+ 520 782 1.302
Jumlah 73.114 74.669 147.783
Sumber: Kecamatan Panakkukang Dalam Angka 2017
4.5 Gambaran Umum Lokasi Perencanaan
Lokasi perencanaan terletak di sub pusat Kota Makassar yang merupakan
salah satu kawasan sub pusat kegiatan masyarakat Kota Makassar yang diiringi oleh
pertumbuhan ekonomi. Lokasi perencanaan berada dalam radius 500 meter sekitar
pusat perbelankaan Panakkukang yang mencakup sebagian dari 3(tiga) kecamatan
yaitu, Kecamatan Panakkukang, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Manggala.
Lokasi perencanaan memiliki guna lahan yang beragam diantaranya kegiatan
perdagangan dan jasa, perkantoran, pendidikan dan permukiman.
Pada lokasi perencanaan terdapat jalan kolektor, yaitu: Jalan Pengayoman
dan Jalan Toddopuli Raya. Pada lokasi perencanaan juga terdapat beberapa jalan
lokal dan lingkungan yang menghubungkan kawasan permukiman, perdagangan
dan niaga, serta perkantoran.
58
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Makassar
Sumber: RTRW Kota Makassar 2015-2034.
59
Gambar 4.4 Peta Guna Lahan pada Kawasan Perencanaan Sumber: Penulis, 2018
Gambar 4.2. Peta Fungsi Bangunan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
60
Gambar 4.3. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
61
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Analisis Kondisi Spasial dalam Penataan Kawasan Pusat Perbelanjaan
Panakkukang Kota Makassar Dengan Konsep Walkable Zone sebagai
Pendukung Transit Orented Development.
5.1.1. Analisis Letak Kawasan
Kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang terletak di tengah-tengah kawasan
permukiman dan berada di perbatasan Kecamatan Panakkukang dan Kecamatan
Rappocini. Berikut potensi dan permasalahan kawasan pusat perbelanjaan
Panakkukang dalam penataan berdasarkan konsep walkable zone berdasarkan
prinsip-prinsip Transit Oriented Development:
a. Potensi
Berdasarkan peta penggunaan lahan pada gambar 4.3. dapat dilihat bahwa
kawasan perencanaan memiliki variabel-variabel pembentuk TOD yang sangat
penting dalam mendukung kawasan menjadi area TOD yaitu
Pusat Perbelanjaan juga berada di titik transit yang dikelilingi kawasan
permukiman serta memiliki ruang publik yang memenuhi variabel-variabel
pembentuk TOD, yaitu: memiliki area komersial pusat, area hunian campuran,
fungsi ruang publik , dan area sekunder.
1. Area Komersial Pusat
Pada kawasan Perencanaan terdapat pusat perbelanjaan, yaitu Pusat
Perbelanjaan Panakkukang yang terletak di sekitar titik transit kawasan
perencanaan.
2. Area Hunian Campuran
Pada kawasan perencanaan terdapat permukiman dalam jarak jangkau ke
daerah komersial pusat dan titik transit dengan berjalan kaki. Namun,
permukiman masih bertipe hunian tunggal.
62
3. Area ruang publik
Pada kawasan perencanaan terdapat ruang publik yang cukup besar berada
dalam jarak jangkau ke daerah komersial pusat dan titik transit dengan berjalan
kaki yaitu Taman Hobi, namun tidak terdapat Taman pada area sekitar titik
transit.
4. Area Sekunder
Pada sekitar kawasan perencanaan dari daerah pusat memiliki jaringan jalan
sebagai penghubung ke daerah belakang.. Area sekunder ini terdiri dari
perumahan berkepadatan rendah.
Gambar 5.1. Pengembangan Kawasan Transit Dengan Prinsip Compact.
Sumber: Permen PU No.3 Tahun 2014
b. Permasalahan
Kawasan pusat perbelanjaan memiliki fasilitas pelayanan yang
pelayanannya masih melayani masyarakat yang bermukim diluar area TOD
sehingga berpotensi mendatangkan pengunjung dari luar area yang dapat
memadatkan lalulintas area TOD. Selain itu, titik transit tidak berada di ruang
publik yang menjadi salah satu ciri TOD serta belum ada penetapan zonasi pasti
yang terdapat pada kawasan perencanaan. Berdasarkan hal tersebut maka letak
kawasan masih belum sesuai dengan variabel pembentuk TOD
63
5.1.2. Analisis Kondisi Konektivitas Kawasan
a. Potensi
Berdasarkan kalkulasi geometri yang dilakukan, maka lebih dari 90%
Panjang blok rata-rata 110 m – 130 m sehingga menawarkan berbagai rute
menuju destinasi dan menghindari potensi pejalan kaki memutar terlalu jauh
dikarenakan blok-blok yang terlalu besar dan Panjang. Hal tersebut membuat
kawasan pusat perbalanjaan Panakkukang Kota Makassar berpotensi menjadi
area pengembangan TOD berdasarkan prinsip Connect (ITDP, 2017).
b. Permasalahan.
Konektivitas jalur pejalan kaki dan sepeda yang tinggi merupakan ciri
penting dari TOD, bukan konektivitas jalan yang mendukung kendaraan
bermotor (ITDP, 2017). Berikut perhitungan rasio konektivitas prioritas:
����� = ���ℎ ���� ����� ���� �� �� �������� ������ ����
���ℎ ���� ����� ���� �� �� �������� ���������
����� = 0
189����� = 0
Dari perhitungan tersebut disimpulkan bahwa pada lokasi perencanaan,
konektivitas jalur pejalan kaki dan sepeda belum diprioritaskan dan masih
memprioritaskan jalan yang mendukung kendaraan bermotor. Selain itu, masih
terdapatnya blok-blok yang panjang di kawasan sekitar pusat perbelanjaan serta
masih terdapatnya pagar pembatas yang membuat KDB dan wajah bangunan
menjadi pasif sehingga dapat membuat masyarakat yang ingin berjalan kaki ke
pusat perbelanjaan menjadi lebih cepat jenuh.
64
Gambar 5.2. Peta Panjang Blok Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
65
Gambar 5.3. Peta Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
66
5.1.3. Analisis Penggunaan Lahan Kawasan
Kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang Kota Makassar da kawasan sekitarnya
memiliki berbagai jenis penggunaan lahan. Hal ini memberikan potensi dan
permasalahan dalam melakukan perencanaan penataan pusat perbelanjaan
Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD. Berikut
potensi dan permasalahan tata guna lahan pusat perbelanjaan Panakkukang:
1. Potensi
Kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang memiliki berbagai penggunaan
lahan yang dapat berpotensi memenuhi kriteria prinsip-prinsip pengembangan
TOD yaitu Mix dan Compact membuat perjalanan sehari-hari menjadi lebih
singkat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, perjalanan pulang dan pergi
angkutan umum menjadi seimbang, dan lingkungan menjadi aktif dan aman di
siang dan malam. Tersedianya beberapa fasilitas pelayanan lokal membuat
masyarakat dapat mengakses fasilitas pelayanan tersebut lebih mudah.
Kawasan cukup memiliki banyak fasilitas pelayanan seperti: fasilitas
perdagangan, kesehatan, pendidikan, peribadatan, perkantoran, serta RTH
menjadikan masyarakat yang tinggal dalam lokasi perencanaan dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya dengan berjalan kaki.
2. Permasalahan
Pada kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang terdapat fasilitas Bank Sampah
yang menjadi permasalahan dalam area pengembangan TOD. Hal ini
dikarenakan adanya truk-truk pengangkut sampah yang dapat memberikan
kepadatan lebih terhadap jalan juga dapat membahayakan para pejalan kaki di
area pengembangan TOD. Selain itu, bank sampah berpotensi menimbulkan
bau yang tidak sedap serta polusi suara yang dikarenakan pengolahan sampah.
Selain itu, masih terdapatnya lahan-lahan kosong membuat kawasan
perencanaan menjadi kurang padat dan tidak sesuai dengan prinsip TOD
Densify. Namun, yang ditekankan lahan kosong pada perencanaan ini adalah
tidak adanya jaringan jalan sehingga berkurangnya jalur alternatif yang dapat
diakses oleh para pejalan kaki.
67
Gambar 5.4. Peta Guna Lahan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
68
5.2. Analisis Kondisi Sarana
Pada kawasan perencanaan terdapat beberapa sarana yang menjadi pusat
kegiatan setempat serta menjadi tempat pemenuhan kebutuhan. Dalam prinsip TOD
khususnya prinsip Mix sangat ditekankan pembauran fungsi dalam area TOD agar
masyarakat setempat yang tinggal dalam area TOD dapat memenuhi kebutuhan
dengan jarak yang dapat ditempuh hanya berjalan kaki atau bersepeda. Adanya
sarana-sarana yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari di dalam area TOD
dapat mengurangi jarak tempuh masyarakat sehari-harinya. Berikut analisis
beberapa sarana yang terdapat dalam kawasan perencanaan.
5.2.1. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kesehatan
kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat
peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk.
Di kawasan perencanaan terdapat Puskesmas Toddopuli, dengan skala
pelayanan lokal yang menjadi salah satu pusat perawatan masyarakat sekitar
kawasan perencanaan maupun masyarakat Kota Makassar lainnya untuk datang
berobat atau sekedar cek kesehatan.
Selain itu, terdapat Klinik dan Apotek Sitti Khadijah, serta Rumah Sakit
Hermina yang menjadi fasilitas pelayanan kesehatan di kawasan perencanaan yang
membutuhkan aksesibilitas tinggi bagi masyarakat yang ingin datang berobat untuk
sakit ringan atau sekedar cek kesehatan dari titik transit menuju fasilitas pelayanan
tersebut dengan konektivitas dan konsistensi jalur pejalan kaki yang tinggi serta
iniklusif, aman dan nyaman.
69
Gambar 5.5. Puskesmas Toddopuli
Sumber: Dokumentasi, 2018
5.2.2. Sarana Peribadatan
Fasilitas peribadatan merupakan sarana kehidupan untuk mengisi kebutuhan
rohani yang perlu disediakan di lingkungan perumahan yang direncanakan selain
sesuai peraturan yang ditetapkan, juga sesuai dengan keputusan masyarakat yang
bersangkutan.
Pada kawasan perencanaan terdapat 4 (empat) masjid dengan daya tampung
yang cukup besar dan tersebar di kawasan perencanaan salah satu masjid berada di
sebelah barat Pasar Panakkukang juga sering digunakan sebagai tempat Tabligh
Akbar yang mengundang masyarakat dari berbagai daerah di Kota Makassar.
Kawasan perencanaan sebagai salah satu pusat kegiatan dalam kota tentunya
memiliki kebutuhan sarana peribadatan yang memumpuni khususnya umat Islam
yang memiliki kewajiban beribadah 5 (lima) kali dalam sehari. Hal tersebut
membutuhkan konektivitas dan konsistensi jalur pejalan kaki yang tinggi serta
iniklusif, aman dan nyaman. Hal tersebut juga merupakan salah satu indikator
dalam prinsip TOD Walk.
70
Gambar 5.6. Masjid yang berada di kawasan perencanaan.
Sumber: Dokumentasi, 2018
5.2.3. Sarana Perdagangan dan Niaga
Pada fasilitas perdagangan dan niaga pada kawasan perencanaan, secara
morfologi memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu bentuk memusat dan linear. Fasilitas
perdagangan dan niaga yang berbentuk memusat berada pada area sekitar titik
transit yang merupakan Pusat Perbelanjaan Panakkukang, serta fasilitas
perdagangan dan niaga yang berbentuk linear terbentuk di sepanjang sisi jalan
kolektor dan lokal yang berada di kawasan perencanaan. Hal tersebut dapat menjadi
potensi menambah jarak dan waktu tempuh pejalan kaki dalam kawasan
perencanaan dikarenakan kawasan akan menjadi lebih atraktif.
Namun, hal tersebut tentunya memerlukan jalur pejalan kaki yang memiliki
konektivitas dan konsistensi yang tinggi serta inklusif, aman dan nyaman. Kondisi
sarana perdagangan dan niaga yang berada di kawasan perencanaan juga umumnya
menggunakan lahan di depan toko maupun badan jalan untuk dijadikan tempat
parkir yang dapat mengurangi konektivitas jalur pejalan kaki.
Gambar 5.7. Pasar Panakkukang
Sumber: Dokumentasi, 2018.
71
Gambar 5.8. Peta Tipologi Lahan Komersil Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
72
5.2.4. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Lapangan Olah raga
Ruang terbuka merupakan komponen berwawasan lingkungan, yang
mempunyai arti sebagai suatu lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi
dalam lingkup urban. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan
dalam Instruksi Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau
yang populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya
tanaman, dalam pemanfataan dan fungsinya adalah sebagai areal berlangsungnya
fungsi ekologis dan penyangga kehidupan wilayah perkotaan.
Pada kawasan perencanaan terdapat ruang terbuka yang tidak terlalu jauh
dengan titik transit. Namun, ruang terbuka tersebut tidak dapat dipergunakan
dengan semestinya dikarenakan terdapat banyak alat berat, kendaraan motor bekas,
hingga tumpukan sampah yang berada di ruang terbuka tersebut menjadikan ruang
terbuka menjadi tempat berbahaya yang dapat dilewati oleh para pejalan kaki.
Selain itu, terdapat pagar dan drainase yang berada di 3 (tiga) sisi ruang terbuka
sehingga sulit untuk mengakses ruang terbuka dari segala arah.
Gambar 5.9. Kondisi Ruang Terbuka dalam kawasan perencanaan.
Sumber: Dokumentasi, 2018.
73
Gambar 5.10. Peta Eksisting Ruang Terbuka Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
74
5.2.5. Fasilitas Pendidikan
Sarana pendidikan salah satu sarana yang menjadi tujuan hampir setiap hari
bagi pelajar. Sarana pendidikan juga tentunya diharapkan berada dalam kawasan
TOD sehingga pelajar dapat berjalan kaki atau bersepeda menuju sarana pendidikan
tersebut. Selain itu, sarana pendidikan diharapkan tidak terlalu jauh dari titik transit
agar diharapkan masyarakat yang menggunakan transportasi massal tidak jauh
berjalan dari titik transit menuju sarana pendidikan.
Terdapat beberapa sarana Pendidikan di kawasan perencanaan, yaitu: TK
dan SD Inpres Toddopuli
Gambar 5.11. Sarana Pendidikan pada Lokasi Perencanaan
Sumber: Dokumentasi, 2018
5.2.6. Fasilitas Transit
Terdapat sarana transportasi umum pada lokasi perencanaan 1 berupa halte
yang dapat menjadi salah satu titik transit pada kawasan perencanaan. Letak lokasi
dari halte juga berada pada pusat kawasan yang sangat ideal dalam prinsip Transit
TOD yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki bagi warga yang tinggal di sekitar
kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan radius 500 m. Cakupan titik
transit berdasarkan jarak tempuh 5 menit atau 500 m dengan berjalan kaki seluas
78 % dari luas lokasi perencanaan. Namun, halte tersebut hanya dipergunakan
untuk bus antardaerah Damri dan tidak melayani bus dalam kota BRT
Mamminasata dan angkutan kota Pete’-Pete’. Padahal, Pemkot Makassar melalui
PD Terminal Metro TRD telah mengeluarkan surat himbauan nomor
49/PD.TTM/VII/2015 hasil koordinasi kepolisian, Pimpinan Pengusaha Oto Bus
(PO) dan Wali Kota Makassar yang mewajibkan setiap angkutan umum
75
AKAP/AKPD, dan sejenisnya masuk ke terminal. Dalam surat himbauan tersebut
diwajibkan menaikkan dan menurunkan penumpang/barang dalam terminal
sebagaimana diatur dalam pasal 36 junto pasal 276 Undang-undang nomor 22 tahun
2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan.
Berdasarkan network analysis yang telah dilakukan, maka cakupan jangkauan
pelayanan halte/titik transit yaitu sejauh 500 m (jarak ideal berjalan kaki) sudah
cukup baik yang dapat dilihat pada Gambar 5.13 dimana indikator layer berwarna
hijau merupakan cakupan jangkauan pelayanan sejauh 500 m dari dan/atau ke titik
transit. Terdapat beberapa ruas jalan yang membuat jarak jangkau area pelayanan
titik transit menjadi lebih baik dan menjadi jaringan jalan penghubung ke berbagai
arah di lokasi perencanaan. Ruas jalan tersebut adalah:
1. Jalan Pengayoman yang menghubungkan titik transit ke kawasan bagian
barat lokasi perencanaan;
2. Jalan Toddopuli Raya yang menghubungkan titik transit ke kawasan bagian
Barat Daya dan bagian Utara lokasi perencanaan;
3. Jalan Toddopuli Raya Timur yang menghubungkan titik transit ke kawasan
bagian Timur lokasi perencanaan;
4. Jalan Anggrek Raya yang menghubungkan titik transit ke kawasan bagian
Timur Laut lokasi perencanaan; dan
5. Jalan Toddopuli 7 yang menghubungkan titik transit ke kawasan bagian
Tenggara lokasi perencanaan.
Gambar 5.12. Kondisi Halte pada lokasi Perencanaan
Sumber: Dokumentasi, 2018
76
Gambar 5.13. Peta Network Analisis
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
77
5.2.7. Fasilitas Parkir
Sarana parkir pada kawasan perencanaan pada beberapa titik masih kurang
memadai. Sarana perdagangan dan niaga yang berada di kawasan perencanaan
umumnya memiliki sarana parkir di depan toko. Hal tersebut membuat Gedung
tidak permeable atau sulit untuk akses. Selain itu, di beberapa titik lokasi
perencanaan, terdapat parkir on street yang mengganggu arus lalu lintas kendaraan.
Gambar 5.14. Kondisi parkir pada lokasi perencanaan.
Sumber: Dokumentasi, 2018.
Sebagai kawasan dengan penggunaan lahan dengan berbagai fungsi, tentunya
kawasan perencanaan memiliki tingkat kunjungan yang tinggi memberi dampak
terhadap kebutuhan fasilitas parkir. Namun perlu diketahui bahwa dalam prinsip
TOD, fasilitas parkir juga sangat dibatasi mengingat orientasi penggunaan
transportasi ditujukan pada kendaraan transportasi massal. Parkir off-street pada
lokasi perencanaan dalam penilaian tertinggi dalam indikator prinsip TOD Shift
dikarenakan lahan yang dijadikan parkir off-street 11.462 m2 atau 1.5% dari
keseluruhan luas lahan.
78
Namun, melihat dari penggunaan lahan perdagangan dan niaga yang cukup banyak,
juga terdapat sarana kesehatan serta sarana pendidikan sehingga melayani
masyarakat yang juga tinggal diluar dari area TOD maka dari itu kebutuhan fasilitas
parkir akan tetap ada dan dalam kebutuhan luas standar parkir pada kawasan
perencanaan masih kurang. Maka dari itu, penentuan kebutuhan fasilitas parkir
kawasan perencanaan didasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat
yaitu sebagai berikut:
Tabel 5.1. Kebutuhan SRP di pusat perdagangan
Luas Areal Total
(100m2)
10 20 50 100 500 1000 1500 2000
Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1140 1502
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
Tabel 5.2. Kebutuhan SRP di pasar
Luas Areal Total
(100m2)
40 50 75 100 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1200 2300
Sumber: Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Parkir, 1998
Berdasarkan hasil kalkulasi geometri dari aplikasi GIS didapatkan luas lahan
kawasan perdagangan pada lokasi perencanaan adalah 170.210 m2. Maka, dengan
luas kawasan perdagangan dan niaga tersebut menurut Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Fasilitas Parkir (1996) maka perhitungan kebutuhan parkir
diuraikan sebagai berikut:
Luas lahan perdagangan dan niaga: 162.397 m2
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 150.000 m2 = 1140 SRP
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 10.000 m2 = 125 SRP
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 2.000 m2 = 67 SRP
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 1.000 m2 = 59 SRP
79
Maka, dengan luas lahan perdagangan dan niaga = 162.397 m2 dibutuhkan parkir
dengan kapasitas 1140 + 250 + 67 + 59 = 1.391 SRP atau dengan luas 1.449 x 11.5
m2 = 15.997 m2.
Luas lahan Pasar: 7.813 m2
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 5.000 m2 = 185 SRP
Kebutuhan SRP dengan luas lahan 4.000 m2 = 160 SRP
Maka, dengan luas lahan Pasar = 7.813 m2 dibutuhkan parkir dengan kapasitas 185
+ 160 = 345 SRP atau dengan luas 345 x 11.5 m2 = 3.968 m2.
Total keseluruhan kebutuhan parkir perdagangan dan niaga serta pasar pada lokasi
perencanaan adalah 19.965 m2 atau 1.736 SRP. Perlu diingat sekali lagi bahwa
dalam area TOD tetap perlu pembatasan dalam penyediaan fasilitas parkir. Maka
hanya 10% dari total perhitungan kebutuhan yang akan disediakan mengingat dari
indikator penyediaan parkir off street 0 – 10% dari luas lahan merupakan ideal dari
penyediaan parkir TOD. Maka kebutuhan parkir yang perlu ditambahkan adalah
1.997 m2 atau 174 SRP.
Dengan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD, maka fasilitas parkir harus
bersifat off-street agar jaringan jalan dapat lebih difungsikan sebagai jalur pejalan
kaki.
80
Gambar 5.15. Peta Eksisting Parkir Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
81
5.2.8. Sarana Persampahan
Pada kawasan perencanaan terdapat UPT Bank Sampah yang terletak bersebelahan
dengan titik transit. Hal ini dapat membahayakan para pejalan kaki yang menuju
dan dari titik transit mengingat banyaknya truk-truk sampah yang akan keluar
masuk UPT Bank Sampah tersebut.
Selain itu, adanya aktivitas pengolahan sampah sementara di lahan ruang terbuka
dapat mengganggu dan membahayakan pengunjung ruang terbuka serta merusak
estetika dan fungsi ruang terbuka tersebut.
Gambar 5.16. Aktivitas Pengolahan Sampah dan UPT Bank Sampah
Sumber: Dokumentasi, 2018
Berikut merupakan tabel seluruh hasil analisis kondisi sarana pada lokasi
perencanaan:
Tabel. 5.3. Analisis Kondisi Sarana Lokasi Perencanaan
Sarana Kondisi Analisis
Perdagangan
dan Niaga
Pada lokasi perencanaan terdapat
beberapa sarana perdagangan dan niaga
yang berbentuk memusat pada sekitar
titik transit, serta berbentuk linear pada
setiap ruas jalan kolektor dan jalan lokal.
Rata-rata parkir pada perdagangan dan
niaga berada langsung di depan toko.
Perlunya perencanaan
jalur pejalan kaki yang
memiliki konektivitas
tinggi serta aman, nyaman
dan inklusif.
Kesehatan Pada lokasi perencanaan terdapat
beberapa sarana kesehatan yang dapat
menjadi tempat pemeriksaan kesehatan
hingga rawat inap, yaitu: Puskesmas
Perlunya perencanaan
akses jalur pejalan kaki
yang aman, nyaman serta
inklusif.
82
Sarana Kondisi Analisis
Toddopuli, Klinik dan Apotek Sitti
Khadijah, serta RS Hermina yang
membutuhkan jaringan jalur pejalan
kaki dengan konektivitas yang tinggi,
inklusif, aman dan nyaman.
Peribadatan Pada lokasi perencanaan terdapat 5
(tiga) masjid dengan daya tampung yang
cukup besar dan tersebar di kawasan
perencanaan salah satu masjid berada di
sebelah barat Pasar Panakkukang juga
sering digunakan sebagai tempat
Tabligh Akbar yang mengundang
masyarakat dari berbagai daerah di Kota
Makassar.
Perlunya perencanaan
driveway dan pagar
pembatas lahan yang
tidak mengganggu akses
jalur pejalan kaki.
Parkir Kurangnya ruang parkir yang memadai,
Pada beberapa titik terdapat parkir on-
street yang tidak sesuai dengan prinsip
Shift dalam TOD.
Perlunya penanganan
parkir on-street yang
menganggu akses pejalan
kaki menuju toko.
Transportasi
Umum Massal
Pada lokasi perencanaan terdapat halte
yang digunakan bus antardaerah, namun
tidak digunakan oleh BRT
Mamminasata dan Pete’-Pete’.
Perlunya ada perencanaan
titik transit yang menjadi
penghubung transportasi
umum massal yang
memadai.
Ruang Terbuka
Hijau
Pada kawasan perencanaan terdapat
ruang terbuka , namun kurang terawat
dikarenakan adanya kegiatan
pengolahan sampah serta menjadi
tempat penyimpanan kendaraan bekas
yang dapat membahayakan pengunjung
serta akses jalur masuk ruang terbuka
hanya saju pintu masuk sehingga ruang
terbuka tidak dapat menjadi jalur pejalan
kaki menuju tujuan pejalan kaki.
Perlunya perencanaan
ruang terbuka yang
mudah diakses serta
pemindahan aktivitas
pengolahan sampah.
83
Sarana Kondisi Analisis
Persampahan Terdapat UPT Bank Sampah yang
berada di tengah-tengah kawasan pusat
perbelanjaan Panakkukang yang dapat
membahayakan pengunjung dan pejalan
kaki.
Terdapat aktivitas pengolahan sampah
sementara di lahan ruang terbuka
sehingga dapat membahayakan
pengunjung serta merusak keindahan
dan fungsi dari lahan ruang terbuka itu
sendiri
Perlunya perencanaan
lokasi sarana
persampahan berada di
sekitar area pinggiran
lokasi perencanaan
Sumber: Hasil Analisis, 2018
5.3. Analisis Kondisi Prasarana
5.3.1. Prasarana Jaringan Jalan
Kondisi jalan yang ada saat ini selain tidak memiliki trotoar bagi pejalan kaki, juga
tidak memiliki drainase yang terbuka dan tidak terawat. Selain itu, masih ada ruas
jalan yang masih rusak. Drainase yang terbuka juga menjadikan jaringan jalan di
lokasi perencanaan menjadi tidak walkable karena dapat membahayakan para
pejalan kaki. Berdasarkan kalkulasi geometri pada aplikasi GIS, luas dari daerah
milik jalan (Damija) serta parkir on-street masih terbilang cukup kecil, yaitu
149544 m2 atau 19 % dari luas kawasan perencanaan yang dapat dilihat pada
gambar 5.18. Hal ini menjadikan luas daerah milik jalan sudah memenuhi
persyaratan dari salah satu indikator prinsip TOD Shift.
Selain itu, hunian rumah tunggal membuat driveway atau jalur masuk
kendaraan menjadi banyak setiap 100 meter yang dapat berpotensi membuat jalur
pejalan kaki menjadi terputus atau tidak konsisten.
84
Gambar 5.17. Peta Lokasi Potongan Jalan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
85
A B
B A B A
86
Gambar 5.18. Potongan Jalan Lokasi Perencanaan
Sumber: Hasil Analisis, 2018.
A B A B
A B A B
87
Gambar 5.17. Potongan Jalan
Sumber: Survei Lapangan, 2018
Gambar 5.19. Peta Damija Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
88
5.3.2. Prasarana Jalur Pejalan Kaki
Ketersediaan jalur pejalan kaki di lokasi perencanaan masih sangat kurang.
Pada lokasi perencanaan pertama sudah tersedia jalur pejalan kaki dengan konsep
arcade. Namun, jalur pejalan kaki tersebut masih jauh dari standar-standar yang
berlaku pada Permen PU No.3 Tahun 2014 yang sudah mencakup standar-standar
jalur pejalan kaki TOD. Selain itu, hampir seluruh persimpangan pada lokasi
perencanaan tidak memiliki penyebrangan pejalan kaki dengan indikator
ketersediaan jalur pejalan kaki dan penyebrangan di persimpangan dalam prinsip
TOD walk tidak terpenuhi. Untuk skoring dapat dilihat pada tabel 5.4.
Indikator muka bangunan aktif sudah terpenuhi. Namun, lokasi perencanaan masih
memiliki muka bangunan pasif seperti tembok bangunan polos, pagar, serta
driveway sebesar 8 % dari seluruh muka bangunan di lokasi perencanaan. Pada
indikator rata-rata jumlah jalan masuk per 100 m muka blok juga sudah terpenuhi.
Sedangkan pada indikator peneduh dan pelindung, belum terpenuhi dikarenakan
belum tersedianya jalur pejalan kaki di seluruh lokasi perencanaan secara merata,
walaupun pada kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang serta kawasan Pasar
Segar yang memiliki jalur pejalan kaki sudah pemiliki peneduh dikarenakan
berbentuk arcade.
89
Gambar 5.20. Peta Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
90
Gambar 5.21. Peta Muka Bangunan Aktif
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
91
Gambar 5.22. Peta Penyebrangan Persimpangan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
92
Gambar 5.23. Peta Potensi Jalur Pejalan Kaki Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
93
5.3.3. Prasarana Jaringan Drainase
Pada kawasan perencanaan terdapat jaringan drainase terbuka yang dapat
membahayakan pejalan kaki. Dibutuhkan perencanaan jaringan drainase tertutup
dengan lubang kontrol setiap 10 m.
Gambar 5.24. Drainase terbuka pada lokasi perencanaan
Sumber: Dokumentasi, 2018
5.4.Analisis Skoring
Analisis skoring dilakukan berdasarkan TOD Standards 3.0 yang dibuat oleh
IDTP Bersama Lembaga UNHABITAT dan lembaga internasional lainnya.
Analisis skoring diberikan pada kondisi eksisting yang dibahas pada poin-poin
sebelumnya lalu diakumulasi.
1. Prinsip Walk
Tabel 5.4. Tabel Skoring Prinsip Walk
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Jalur
Pejalan Kaki
Kurang dari 80% 0
Persentase Persimpangan
yang memiliki jalur
penyebrangan
Kurang dari 80% 0
Persentase Muka
Bangunan yang Aktif
90% atau lebih 5
Rata-rata jumlah jalan
masuk per 100m muka
blok
5 atau lebih 2
Persentase dari semua
jalur pejalan yang
memiliki peneduh dan
pelindung
Kurang dari 75% 0
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Ket: Indikator yang harus mendapatkan skor
94
Berdasarkan analisis prasarana jalur pejalan kaki, penyediaan jalur pejalan
kaki serta jalur penyebrangan persimpangan di kawasan masih sangan kurang
dari 80% maka dari itu, skor yang diberikan berdasarkan standar adalah 0 (nol)
pada kedua indikator.
Pada indikator persentase muka bangunan aktif mendapatkan skor 5
dikarenakan panjang muka bangunan aktif sebesar 32.592 m atau 92 % dari
keseluruhan panjang muka bangunan, yaitu 35.445 m. Sedangkan indikator
rata-rata jalan masuk bangunan per 100 m mendapatkan skor 2 dikarenakan
pada kawasan perencanaan bangunan non permukiman kebanyakan ruko yang
memiliki pintu masuk yang berderet langsung.
Pada indikator peneduh dan pelindung mendapatkan skor 0 (nol) dikarenakan
penyediaan jalur pejalan kaki belum menyeluruh.
2. Prinsip Connect
Tabel 5.5. Tabel Skoring Prinsip Connect
Indikator Poin Penilaian Skor
Blok Blok Kecil (90%) Lebih pendek dari 130
m
8
Rasio konektivitas prioritas 1 atau kurang 0
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan analisis potensi dan kelemahan konektivitas kawasan, pada
indikator Blok-Blok Kecil mendapatkan skor 8 (delapan). Hal tersebut dinilai
melalui analisis overlay peta tematik. Berdasarkan kalkulasi geometri yang
dilakukan, maka lebih dari 90% Panjang blok rata-rata 110 m – 130 m.
Sedangkan pada indikator rasio konektivitas prioritas mendapatkan skor 0 (nol).
Indikator ini didapatkan dari perhitungan rasio dimana hasil perhitungan tidak
mencapai 1. Hal ini mengindikasikan jaringan jalan masih memprioritaskan
kendaraan bermotor dibandingkan pejalan kaki.
95
3. Prinsip Shift
Tabel 5.6. Tabel Skoring Prinsip Shift
Indikator Poin Penilaian Skor
Area parkir off-street 0% hingga 10% dari
luas lahan
8
Tingkat Kepadatan
Akses Kendaraan
Bermotor
Lebih dari 2 driveway
per 100 m muka blok
0
Parkir on-street dan
area lalu lintas
20% atau kurang dari
luas lahan pembangunan
3
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Pada prinsip shift, terdapat 3 indikator (Tabel 5.5) dimana pada indikator area
parkir off-street mendapat skor 8 (delapan). Hal tersebut dikarenakan lahan
yang dijadikan parkir off-street 0% hingga 10% dari luas lahan. Namun, dalam
hal kebutuhan luas standar parkir pada kawasan perencanaan masih kurang.
Pada indikator kedua yaitu tingkat kepadatan akses kendaraan bermotor
mendapat skor 0 (nol) dikarenakan masih terdapat lebih dari 2 driveway per 100
m muka blok.
4. Prinsip Transit
Tabel 5.7. Tabel Skoring Prinsip Transit
Indikator Poin Penilaian Skor
Jangkauan titik
transit (500 m)
dalam radius
Luas jangkauan 80 –
100% dari keseluruhan
luas lokasi
8
60 – 80% 6
40 – 60% 4
20 – 40% 2
0 – 20% 0
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan penambahan skoring pada prinsip Transit, jangkauan titik transit
menjadi 5 (lima) kategori poin penilaian yang mendapat nilai 6 (enam) karena
jarak jangkauan titik transit mencapai 78%
Ket: Indikator yang harus mendapatkan skor
96
Total Analisis Skoring pada penilaian kawasan perencanaan adalah 32 poin dari
total 53 poin atau 60,37 % dari total penilaian. Dari Hasil tersebut disimpulkan
bahwa Kawasan Perencanaan belum memenuhi standar walkable pada prinsip
TOD dimana sudah memenuhi minimal persentase yaitu 56 – 70% (ITDP,
2017) namun tidak memenuhi persyaratan yaitu tidak mendapatkan skor pada
indikator prinsip Walk.
97
BAB VI
PERENCANAAN
6.1. Konsep Perencanaan
Konsep perencanaan adalah arahan pengembangan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kawasan sebagai kawasan area Transit Oriented
Development yang dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat dalam
melakukan perpindahan tempat dalam kawasan dengan berjalan kaki serta tidak
bergantung pada kendaraan bermotor pribadi dan cenderung memprioritaskan
transportasi umum massal. Konsep perencanaan disusun berdasarkan hasil analisis
dari data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder. Perencanaan
untuk kawasan Pusat Perbelanjaan Panakkukang dilakukan berdasarkan prinsip-
prinsip pengembangan kawasan Transit Oriented Development yang
memperhatikan kondisi fisik spasial mapun non-fisik kawasan.
Adapun sasaran dalam perencanaan kawasan pusat Perbelanjaan Panakkukang
sebagai kawasan walkable zone, yaitu indikator – indikator yang perlu ditingkatkan
untuk memenuhi standar TOD adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan jalur pejalan kaki;
2. Penyediaan penyebrangan di setiap persimpangan;
3. Penyediaan peneduh dan pelindung pada jalur pejalan kaki;
4. Rasio konektivitas prioritas; dan
5. Tingkat kepadatan akses kendaraan bermotor (mengurangi driveway).
Adapun hal-hal yang perlu direncanakan untuk memaksimalkan konsep
walkable zone dalam kawasan perencanaan berdasarkan hasil analisis adalah
sebagai berikut:
1. Perencanaan zonasi;
2. Perencanaan fasilitas transit;
3. Perencanaan fasilitas parkir;
4. Perencanaan sarana persampahan; dan
98
5. Perencanaan prasarana jaringan drainase.
Dari analisis yang telah diuraikan, maka konsep perencanaan kawasan yang
diusulkan adalah sebagai berikut:
6.2. Perencanaan Spasial Kawasan
Perencanaan ini didasarkan pada analisis kondisi fisik spasial dan penggunaan
lahan yang pada dasarnya telah memiliki potensi
Berdasarkan hal tersebut, maka perencanaan spasial kawasan terbagi atas:
6.2.1. Perencanaan Zonasi Kawasan
Zonasi Kawasan Perencanaan dilakukan berdasarkan zona-zona dalam variabel
pembentuk Transit Oriented Development, yaitu: zona komersil, zona hunian
campuran, zona ruang publik, serta zona sekunder.
1. Zona Inti
Zona inti berada di kawasan pusat perbelanjaan panakkukang, dengan guna
lahan perdagangan dan niaga yang padat. Pada zona inti harus memiliki akses jalur
pejalan kaki dengan kualitas tinggi sehingga penggunaan lahan seperti UPT Bank
Sampah akan dipindahkan dari lokasi eksisting yang berada di zona inti karena
aktivitas pengolahan sampah yang dapat membahayakan para pejalan kaki dengan
kendaraan-kendaraan truk sampah yang akan melintas serta pengolahan sampah
dapat memberikan potensi pencemaran lingkungan sekitar serta polusi suara.
2. Zona Lahan Campuran
Zona lahan campuran berada di sepanjang jalan kolektor dan lokal sehingga
menjadikan jalan tersebut menjadi koridor transit. Selain itu, pada zona ini juga
terdapat fasilitas pelayanan dan perkantoran.
3. Zona Ruang Publik
Zona ruang publik direncanakan berada di sekitar titik transit agar memenuhi
variabel pembentuk TOD.
99
4. Zona Permukiman
Zona permukiman berada diluar dari zona inti namun masih berada dalam area
TOD yaitu dalam radius 500 m. Zona ini diperuntukkan untuk lahan permukiman
dengan kepadatan tinggi namun diharapkan dapat memiliki fungsi campuran (mix
use) agar masyarakat yang tinggal di dalam zona permukiman dapat memenuhi
kebutuhan di zona ruang publik dan zona inti dengan hanya menggunakan akses
jalur pejalan kaki. Selain itu, pada lahan-lahan kosong yang berada pada lokasi
timur laut dan barat laut akan dijadikan permukiman dengan tipe apartemen untuk
meningkatkan kepadatan pada kawasan perencanaan.
5. Zona Sekunder
Merupakan zona yang berada di sekitar kawasan perencanaan dengan radius 500 –
1000 m sebagai tempat fasilitas pendukung kawasan yaitu TPS dan Bank Sampah.
100
Gambar 6.1. Peta Rencana Zonasi Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
101
6.2.2. Perencanaan Konektivitas Kawasan
Berdasarkan hasil analisis, rasio konektivitas prioritas yang rendah menjadikan
kawasan perencanaan masih memprioritaskan kendaraan bermotor dibandingkan
pejalan kaki. Oleh karena itu, beberapa ruas jalan khususnya dalam zona inti
direncanakan dengan konsep pedestrian mall/ full mall untuk meningkatkan rasio
konektivitas prioritas pada jalur pejalan kaki dan membatasi gerakan kendaraan
bermotor khususnya kendaraan pribadi sehingga masyarakat beralih menggunakan
transportasi umum.
Hal tersebut juga meningkatkan kualitas dan ruang bagi jalur pejalan kaki
khususnya pada zona inti dengan konektivitas yang tinggi, menambah ruang sosial,
serta menambah kenyamanan, keamanan, dan inklusif.
102
Gambar 6.2. Peta Rencana Konektivitas Prioritas Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
103
6.2.3. Perencanaan Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil analisis maka penggunaan lahan pada lokasi perencanaan akan
direncanakan sebagai berikut:
1. Lahan kosong yang berada di sebelah timur laut dan barat laut lokasi
perencanaan dialihfungsikan menjadi permukiman dengan tipe hunian
apartemen sehingga menambah kepadatan kawasan permukiman.
2. Lahan kosong yang berada di Jalan Pengayoman dan Jalan Toddopuli Raya
Timur dialihfungsikan menjadi komersil dan permukiman.
3. UPT Bank Sampah dan aktivitas pengolahan sampah sementara di lokasi
sebelumnya dipindahkan zona sekunder yang berada di luar dari kawasan
perencanaan.
4. Titik Transit/Halte berpindah ke lahan eksisting UPT Bank Sampah, dan
lokasi halte eksisting akan dijadikan ruang publik beserta lahan di sekitar
titik transit yang sebelumnya merupakan komersil.
104
Gambar 6.3. Peta Rencana Guna Lahan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
105
Gambar 6.4. Ilustrasi Lokasi Perencanaan
Sumber: SketchUp dan google.com, 2018.
106
6.3. Perencanaan Sarana
Perencanaan sarana dilakukan berdasarkan analisis sarana yang didapatkan
hasil bahwa perlu adanya perencanaan sarana parkir serta sarana persampahan yang
menjadi masalah utama dalam analisis sarana. Berikut adalah perencanaan sarana:
6.3.1. Perencanaan sarana persampahan
Perencanaan persampahan dilakukan untuk mengatasi permasalahan dari analisis
dimana terdapat UPT Bank Sampah di dekat titik transit yang dapat membahayakan
serta membuat para pejalan kaki merasa tidak aman dan nyaman.
Selain itu, terdapat kegiatan pengolahan sampah di ruang terbuka yang membuat
ruang terbuka tidak nyaman dan aman untuk dipakai sebagai ruang sosial maupun
ruang yang dapat dipakai untuk olah raga. Ruang terbuka tersebut juga dapat
menjadi salah satu akses alternatif para pejalan kaki yang berasal dari sebelah utara
untuk menuju titik transit sehingga kenyamanan dan keamanan perlu diperhatikan.
Oleh karena itu, sarana persampahan dipindahkan pada zona sekunder diluar
dari kawasan perencanaan, serta penyediaan tempat sampah pada jalur pejalan kaki
di ruang amenitas jalur pejalan kaki tersebut setiap 10 meter.
Selain itu, untuk penanganan sampah pada lokasi perencanaan akan
diberlakukan ketentuan-ketentuan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah sebagai berikut:
1. Daerah Komersial (Pertokoan dan Niaga)
Pengumpulan dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup atau swasta yang
ditunjuk, atas perjanjian frekuensi pengangkutan dan besarnya retribusi
yang harus dibayarkan.
Frekuensi pengangkutan minimal 2 shift dalam sehari, yaitu pagi dan siang
atau malam.
2. Institusi (perkantoran, sekolah) dan Hotel
Institusi/Hotel diwajibkan mengembangkan program minimisasi sampah di
dalam lingkungannya sendiri, sehingga mampu mereduksi timbulan
sampah.
107
Pewadahan dilakukan dengan pemilahan antara 3 (tiga) jenis sampah
yaitu organik, anorganik dan B3.
Sampah organik diangkut dan diolah menjadi kompos di TPA. Dinas
Lingkungan Hidup, memberikan jasa pengumpulan sampah anorganik
dengan menyediakan sarana pengumpul berupa kontainer, dengan
ketentuan :
o Institusi/Hotel tunggal, tidak lebih dari satu gedung berlantai 3.
Dilayani dengan metoda individual langsung. Wadah sampah di
sumber disediakan secara mandiri oleh institusi bersangkutan.
o Institusi/Hotel gabungan, berupa kawasan perkantoran/hotel atau
sejenisnya dilayani dengan menempatkan kontainer secara
permanen di lokasi tersebut, untuk selanjutnya diangkut pada
jadwal tertentu,
o Setiap institusi yang dilayani wajib memberikan imbalan jasa
pelayanan kepada Badan Lingkungan Hidup sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
3. Taman
Penanggung jawab pengelolaan di dalam taman adalah Bidang Pertamanan.
Sampah dikumpulkan dengan proses penyapuan oleh Bidang Pertamanan,
Mengingat sampah taman didominasi oleh sampah organik compostable,
maka pewadahan dilakukan terpisah antara organik dan anorganik,
Sampah organik dikumpulkan ke TPS Kelurahan/Desa untuk dikomposkan,
Sampah anorganik diangkut ke TPS Kecamatan.
6.3.2. Perencanaan Sarana Transit
Titik transit yang ada akan dialihfungsikan menjadi halte/titik transit bus
antar kota agar menjadi titik transit yang sesuai dengan kebutuhan TOD. Sedangkan
bus antardaerah yang sebelumnya menggunakan titik transit pada lokasi
perencanaan dialihkan ke Terminal Regional Daya berdasarkan himbauan Pemkot
Makassar melalui PD Terminal Metro TRD yang telah mengeluarkan surat
himbauan nomor 49/PD.TTM/VII/2015 hasil koordinasi kepolisian, Pimpinan
Pengusaha Oto Bus (PO) dan Wali Kota Makassar yang mewajibkan setiap
angkutan umum AKAP/AKPD, dan sejenisnya masuk ke terminal. Dalam surat
108
himbauan tersebut diwajibkan menaikkan dan menurunkan penumpang/barang
dalam terminal sebagaimana diatur dalam pasal 36 junto pasal 276 Undang-undang
nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan.
6.3.3. Perencanaan sarana parkir
Perencanaan parkir dilakukan berdasarkan pedoman penyelenggaraan fasilitas
parkir dengan memperhitungkan prinsip-prinsip TOD. Berdasarkan analisis
fasilitas parkir, maka dibutuhkan fasilitas parkir dengan tambahan 1.997 m2 atau
174 SRP.
Dari hasil kalkulasi geometri pada aplikasi GIS, maka lahan kosong yang
berada di Jalan Pengayoman dengan luas 1.817 m dapat memenuhi kebutuhan
parkir serta lahan parkir samping rencana titik transit direncanakan menjadi 2 lantai
dengan model gedung parkir sehingga dapat memenuhi penambahan fasilitas
parkir. Fasilitas parkir tersebut direncanakan bersifat park and ride untuk
mendapatkan pendapatan pengganti dari perubahan guna lahan sekitar rencana titik
transit yang dari lahan perdagangan dan niaga menjadi ruang publik serta
mengakomodasi kendaraan pribadi masyarakat dari luar area TOD.
Gambar 6.5. Ilustrasi Gedung parkir
Sumber: google.com
109
Gambar 6.6. Peta Rencana Parkir
Sumber: SketchUp dan google.com, 2018.
110
6.4. Perencanaan Prasarana
Perencanaan prasarana dilakukan berdasarkan analisis sarana yang didapatkan hasil
bahwa perlu adanya perencanaan prasarana jaringan pejalan kaki, prasarana
jaringan jalan, serta prasarana jaringan drainase yang menjadi masalah utama dalam
analisis prasarana untuk mencapai tujuan perencanaan. Berikut adalah perencanaan
prasarana:
6.4.1. Perencanaan Jaringan Jalan
Jaringan jalan akan ditambahkan pada lahan kosong demi menambah aksesibilitas
pada lahan tersebut. Diterapkannya pedestrian mall dengan tipe full mall pada
beberapa ruas jalan membuat beberapa ketentuan dimana pada ruas jalan yang
diterapkan pedestrian mall tetap dapat dilalui oleh beberapa kendaraan yang
bersifat pada waktu-waktu tertentu, yaitu: mobil pengangkut sampah, mobil
distribusi barang, mobil dengan keadaan darurat seperti ambulans dan mobil
pemadam kebakaran.
Jaringan jalan pada kawasan permukiman juga direncanakan menjadi traffic calm
dengan ketentuan batas kecepatan tertentu sehingga para pejalan kaki dapat
melintasi kawasan permukiman dengan aman.
Selain itu, perubahan potongan melintang jalan berubah dikarenakan pemenuhan
penyediaan prasarana jalur pejalan kaki, yang dapat dilihat pada gambar berikut:
111
Gambar 6.7. Peta Lokasi Rencana Potongan Jalan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan peta, 2018.
112
113
Gambar 6.8. Rencana Potongan Jalan Lokasi Perencanaan
Sumber: Hasil Analisis, 2018
114
Gambar 6.9. Peta Rencana Area Lalu Lintas Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan peta, 2018.
115
6.4.2. Perencanaan Jaringan Pejalan Kaki
Perencanaan jalur pejalan kaki direncanakan sesuai analisis potensi jalur pejalan
kaki dengan beberapa penyesuaian dari analisis konektivitas prioritas serta analisis
lainnya. Selain itu, berdasarkan perencanaan konektivitas prioritas, maka akan
terdapat walkable zone pada zona inti atau Pusat Perbelanjaan Panakkukang yang
menggunakan prinsip pedestrian mall, serta pada kawasan Pasar Segar dan
kawasan baru pada lahan kosong.
Pada kawasan permukiman dengan tipe hunian tunggal, jalur pejalan kaki tetap
akan direncanakan dengan ketinggian konsisten, namun kreb dihilangkan sehingga
driveway rumah tetap ada namun tidak mengganggu jalur pejalan kaki. Sementara
itu, lebar jalur pejalan kaki mengikuti lebar standar pada Permen PU No. 3 Tahun
2014 tentang pedoman penyediaan fasilitas, sarana, dan prasarana pejalan kaki yang
dapat dilihat pada potongan melintang jalan.
Gambar 6.10. Ilustrasi jalur pejalan kaki pada permukiman hunian tunggal
Sumber: pedbikesafe.org, 2018.
Adapun penyebrangan pada persimpangan jalan kolektor dan jalan lokal akan
ditambahkan elemen keamanan untuk penyebrangan seperti lampu lalu lintas yang
dilengkapi dengan lampu penyebrangan dan zebra cross. Pada jalan pengayoman
akan di tambahkan pelican cross agar pejalan kaki tidak terlalu jauh memutar untuk
menyebrang. Untuk perencanaan penyebrangan pada jalan lingkungan di kawasan
permukiman ditambahkan rambu lalu lintas penyebrangan dan zebra cross.
116
Gambar 6.11. Ilustrasi Penyebrangan dengan lampu lalu lintas
pada jalan kolektor dan lokal
Sumber: telegraph.co.uk, 2018.
Gambar 6.12. Ilustrasi penyebrangan pelican cross
Pada Jalan Pengayoman
Sumber: highwaycodeuk.co.uk, 2018.
Gambar 6.13. Ilustrasi penyebrangan pada kawasan permukiman
Sumber: google.com, 2018.
117
Gambar 6.14. Peta Rencana Penyebrangan Persimpangan Lokasi Perencanaan
Sumber: Pengolahan Peta, 2018.
118
6.4.3. Perencanaan Jaringan Drainase
Jaringan drainase pada kawasan dibuat tertutup dengan tutupan yang masih nyaman
untuk dilewati oleh pejalan kaki serta menyaring kotoran yang dapat masuk ke
dalam drainase.
Selain itu, jaringan drainase direncanakan memiliki lubang kontrol setiap 10 meter
untuk keperluan perawatan pada jaringan drainase tersebut.
Gambar 6.15. Ilustrasi drainase tertutup yang aman pada jalur pejalan kaki
Sumber: www.clark-drain.com, 2018.
Gambar 6.16. Ilustrasi manholecover/penutup lubang kontrol
Sumber: google.com, 2018.
6.5. Analisis Skoring Perencanaan
Analisis skoring kembali dilakukan untuk melihat peningkatan skor yang telah
didapatkan setelah perencanaan agar penilaian berdasarkan prinsip-prinsip TOD
tersebut mendapat penilaian yang lebih dari sebelumnya. Berikut merupakan hasil
dari analisis skoring setelah perencanaan.
119
1. Prinsip Walk
Tabel 6.1. Tabel Skoring Prinsip Walk
Indikator Poin Penilaian Skor
Persentase Jaringan Jalur
Pejalan Kaki
Kurang dari 80% 3
Persentase Persimpangan
yang memiliki jalur
penyebrangan
Kurang dari 80% 3
Persentase Muka
Bangunan yang Aktif
90% atau lebih 5
Rata-rata jumlah jalan
masuk per 100m muka
blok
5 atau lebih 2
Persentase dari semua
jalur pejalan yang
memiliki peneduh dan
pelindung
Kurang dari 75% 0
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan analisis prasarana jalur pejalan kaki, penyediaan jalur pejalan
kaki serta jalur penyebrangan persimpangan yang sebelumnya mendapatkan
skor 0 (nol) menjadi 3 (tiga) sedangkan pada indikator persentase peneduh dan
pelindung masih pada skor 0 (nol) walaupun pada area komersil telah
direncanakan menggunakan konsep arcade.
2. Prinsip Connect
Tabel 6.2. Tabel Skoring Prinsip Connect
Indikator Poin Penilaian Skor
Blok Blok Kecil (90%) Lebih pendek dari 130 m 8
Rasio konektivitas prioritas Lebih dari 1 1
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Pada indikator rasio konektivitas prioritas mendapatkan skor 1 (satu) yang
mendapatkan peningkatan skor dibandingkan sebelumnya.
120
3. Prinsip Shift
Tabel 6.3. Tabel Skoring Prinsip Shift
Indikator Poin Penilaian Skor
Area parkir off-street 0% hingga 10% dari luas lahan 8
Tingkat Kepadatan
Akses Kendaraan
Bermotor
Lebih dari 2 driveway per 100 m
muka blok
0
Parkir on-street dan area
lalu lintas
15 atau kurang dari luas lahan
pembangunan
6
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Pada indikator kedua yaitu tingkat kepadatan akses kendaraan bermotor
mendapat skor 0 (nol) dikarenakan masih terdapat lebih dari 2 driveway per 100
m muka blok. Namun, rencana untuk mengatasi masalah tersebut telah
dijelaskan pada poin sebelumnya. Pada skor indikator parkir on-street dan area
lalu lintas meningkat menjadi 6 (enam) dimana sebelumnya telah mendapatkan
poin 3.
Total analisis skoring setelah dilakukannya perencanaan pada penilaian lokasi
perencanaan adalah 41 atau 77,36% dari total penilaian. Dari Hasil tersebut
disimpulkan bahwa lokasi perencanaan telah memenuhi standar walkable pada
prinsip TOD dimana sudah dalam kategori baik dengan persentase yaitu 70 –
85%.
121
BAB VII
PENUTUPAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kondisi spasial dalam penataan pusat perbelanjaan Panakkukang dengan
konsep walkable zone sebagai pendukung TOD adalah lokasi perencanaan
belum memenuhi memenuhi variabel-variabel pembentuk TOD. Lebih dari
90% panjang blok pada lokasi perencanaan rata-rata 110 m – 130 m. Namun,
rasio konektivitas prioritas pada lokasi perencanaan masih diangka 0 (nol).
Kawasan cukup memiliki banyak fasilitas pelayanan menjadikan masyarakat
yang tinggal dalam lokasi perencanaan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
hanya dengan berjalan kaki. Namun, pada lokasi perencanaan masih terdapat
fasilitas bank sampah serta aktivitas pengolahan sampah sementara. Selain itu,
masih terdapat lahan kosong yang membuat kepadatan lokasi perencanaan
berkurang.
2. Kondisi sarana dan prasarana pada kawasan pusat perbelanjaan Panakkukang
berdasarkan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD, yaitu:
Pada fasilitas perdagangan dan niaga pada kawasan perencanaan, secara
morfologi memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu berbentuk memusat berada pada area
sekitar titik transit yang merupakan Pusat Perbelanjaan Panakkukang, serta
fasilitas perdagangan dan niaga yang berbentuk linear terbentuk di sepanjang
sisi jalan kolektor dan lokal. Namun, fasilitas perdagangan dan niaga masih
membutuhkan penyediaan jalur pejalan kaki serta umumnya fasilitas
perdagangan dan niaga menggunakan lahan di depan toko maupun badan jalan
untuk dijadikan tempat parkir. Terdapat ruang terbuka yang tidak terlalu jauh
dengan titik transit. Namun, tidak terdapat ruang publik yang berada di sekitar
titik transit. Selain itu, sarana kesehatan, peribadatan, dan sekolah yang
menjadikan lokasi bersifat penggunaan lahan campuran (mix-use). Fasilitas
parkir pada lokasi perencanaan masih menggunakan tipe parkir on-street yang
122
dapat mengganggu arus lalu lintas serta mengurangi keamanan dan kenyaman
pejalan kaki. Bank sampah yang berada bersebelahan dengan halte serta
aktivitas pengolahan sampah sementara pada ruang terbuka dapat
membahayakan pejalan kaki sehingga diperlukan perencanaan sarana
persampahan pada lokasi perencanaan.
Prasarana jaringan jalan memiliki luas dari daerah milik jalan (Damija) serta
parkir on-street masih terbilang cukup kecil, yaitu 19 % dari luas kawasan
perencanaan. Selain itu, hunian rumah tunggal membuat driveway atau jalur
masuk kendaraan menjadi banyak setiap 100 meter. Penyediaan prasarana
jaringan jalur pejalan kaki masih sangat kurang serta hampir seluruh
persimpangan pada lokasi perencanaan tidak memiliki penyebrangan pejalan
kaki. Sedangkan indikator peneduh dan pelindung belum terpenuhi
Prasarana jaringan drainase pada lokasi perencanaan masih menggunakan
drainase terbuka sehingga dapat membahayakan pengendara kendaraan
bermotor dan pejalan kaki.
3. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, maka rencana penataan kawasan pusat
perbelanjaan Panakkukang dengan konsep walkable zone sebagai pendukung
TOD ialah: Rencana zonasi kawasan dibagi menjadi lima, yaitu: zona inti, zona
lahan campuran, zona ruang publik, zona hunian campuran, serta zona
sekunder, rencana konektivitas prioritas menjadikan kawasan zona inti
memiliki jalan pedestrian mall dengan tipe full mall yang juga diterapkan pada
pasar segar dan kawasan permukiman baru untuk membuat rasio konektivitas
prioritas terpenuhi, serta ada perencanaan penggunaan lahan, lahan kosong
digunakan menjadi kawasan permukiman dan juga sebagai lahan komersil.
Untuk sarana persampahan, seperti TPS dan UPT Bank Sampah dipindahkan
pada zona sekunder diluar dari kawasan perencanaan serta sarana transit
dialihfungsikan melayani bus dalam kota. Selain itu, jaringan jalan akan
ditambahkan pada lahan kosong demi menambah aksesibilitas pada lahan
tersebut. Ruas jalan yang diterapkan pedestrian mall tetap dapat dilalui oleh
beberapa kendaraan yang bersifat pada waktu-waktu tertentu. Pada jalan
lingkungan juga akan diberlakukan traffic calm sehingga penyebrangan tidak
perlu dilengkapi dengan lampu lalu lintas.
123
Perencanaan penyebrangan pejalan kaki dibedakan menjadi 3 tipe dan jaringan
drainase pada kawasan dibuat tertutup dengan tutupan yang memiliki lubang
kontrol.
7.2. Saran
1. Kepada pemerintah diharapkan untuk memasukkan penerapan Transit Oriented
Development dalam RTRW dan mulai menerapkan walkability pada kawasan
sekitar titik-titik transit agar masyarakat tidak terlalu bergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
2. Kepada dinas terkait disarankan untuk melakukan pengelolaan, peninjauan,
pengontrolan, dan pengawasan secara berkala terhadap fasilitas jalur pedestrian
untuk mewujudkan jalur pedestrian yang nyaman, aman, dan mempunyai daya
tarik.
3. Hasil tugas akhir ini diharapkan dapat memperkaya RTRW dan NSPK terkait
dengan penggunaan konsep walkable zone sebagai pendukung TOD dalam
bidang kerja perencanaan tata ruang.
4. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas sebatas penentuan kondisi
spasial serta sarana dan prasarana yang perlu ditingkatkan pada lokasi
perencanaan. Oleh karena itu, disarankan kepada peneliti lain untuk meneliti
secara lebih detail terhadap fasilitas sarana dan prasarana serta penempatan dan
dimensinya untuk arahan penataan dengan penggunaan konsep walkable zone
sebagai pendukung TOD.
124
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Rifka H, Nana S. 2012. Analisis Pengaruh Elemen – Elemen Pelengkap
Jalur Pedestrian Terhadap Kenyaman Pejalan Kaki. Jakarta: Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
City of Winnipeg. 2011. Winnipeg Transit-Oriented Development Handbook.
Winnipeg: PB Placemaking Group.
Department of Sport and Recreation, Government of Western Australia. 2007. A
Walking Strategy for Western Australia.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat. 1998. Pedoman Perencanaan dan
Pengoperasian Fasilitas Parkir.
Haas, Peter, dkk. 2010. Transit Oriented Development and The Potential for VMT-
related Greenhouse Gas Emissions Growth Reduction. Center For Transit-
Oriented Development.
International Council of Shopping Center. 2012. Asia-Pacific Shopping Centre
Classification. United State of America.
James L, Herbert Fabian, Sudhir G, Alvin M. 2011. ADB Sustainable Development
Working Paper Series : Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities.
Asian Developmenr Bank.
Kementerian Dalam Negeri. 2010. Pedoman Pengelolaan Sampah.
Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2014. Pedoman Perencanaan,
Penyediaan, Dan Pemanfaatan Prasarana Dan Sarana Jaringan Pejalan
Kaki Di Kawasan Perkotaan.
Kramer, Anita. 2008. Retail Development. Washington D.C: The Urban Land
Institute.
Martha, Ketut Dewi. 2012. Penerapan TOD (Transit Oriented Development)
sebagai Upaya Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan di Surabaya.
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
The Maryland-National Capital Park and Planning Commission. 2014. Central
Avenue-Metro Blue Line Corridor TOD Implementation Market and Transit-
Oriented Development Potential, Priorities, and Strategies Study. Maryland:
The Maryland-National Capital Park.
Transportation Research Board. 2004. Transit-Oriented Development in the United
States: Experiences, Challenges, and Prospects. Washington D.C: Transit
Cooperative Research Program
Wijaya, A. 2009. Penataan Ruang yang Ramah Lingkungan melalui Perencanaan
TOD (Transit Oriented Development). Bandung; Universitas Langlangbuana.