PENAFSIRAN IMAM MENURUT AL-TABARI
DAN AL-TABATABA'I
SKRIPSIDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga YogyakartaUntuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Teologi Islam
Oleh:IRFAN RODLINIM. 9653 2234
JURUSAN TAFSIR HADITSFAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2003
ABSTRAK
Dalam dunia Islam, terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok di antara dua mazhab besar, yaitu Sunni dan Syi'ah. Perbedaan tersebut pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Namun watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah tetapi juga berkembang dalam masalah fikih dan masalah furu`.
Penelitian ini mengangkat permasalahan imam yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah. Penelitian ini berusaha menelaah penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Upaya pengumpulan dan penyusunan data yang kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi dan analisa serta interpretasi tentang arti data yang didapat untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan utuh dari kedua mufassir, menjadikan metode deskriptif-analitis lebih layak diterapkan dalam penelitian ini, sehingga dapat mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal keduanya.
Penafsiran-penafsiran al-Tabari yang menonjolkan penggunaan riwayat menjadi salah satu pertimbangan penting yang dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-ma'sur. Hal ini berbeda dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y terlebih lagi keberadaan dia yang berlatar belakang teologis Syi'ah Imamiyah, sangat memepengaruhi penafsiran-penafsiran makna "imam" di dalam al-Qur'an yang selaras dengan pandangan-pandangan Syi'ah. Karena bahasan ini terkait sekali dengan rukun iman yang ketiga dalam mazhab Syi'ah.
al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma'sur dan al-tafsir bi al-ra'y, meskipun lebih dominan bi al-ma'sur. Sedangkan penggunaan ra'y hanya sebatas pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y dengan corak al-tafsir al-falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-penafsiran al-Tabataba'i terhadap makna "imam" di dalam al-Qur'an. Seperti halnya al-Tabari, al-Tabataba'i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba'i hanya menerima riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi dan imam-imam Ahl al-Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba'i meiliki persamaan ketika menafsirkan "imam" dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur'an pada tujuh
ayat. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang makna "imam" ada pada lima ayat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Masalah
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad , yang dinukil secara mutawatir kepada kita, yang isinya memuat
petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya. Al-Qur’an,
sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci juga diturunkan dari sisi (Allah ) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha
Tahu.1 Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, tetapi
misinya tertuju kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa
Arab dengan bangsa non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.2
Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, karena berfungsi
sebagai hudan (petunjuk), furqan (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan
pembeda antara kebenaran dan kebatilan, ditambah keinginan untuk
memahami petunjuk yang terdapat didalamnya telah melahirkan beberapa
metode untuk memahami al-Qur’an.3 Bermunculanlah karya-karya tafsir4
1 Q. s. Hud (11): 1.
2 Q. s. Saba’ (34): 28 dan al-Anbiya’ (21): 107.
3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 150.
4 Term tafsir terambil dari kata –فسر يفسر (fassara-yufassiru) yang berarti menerangkan dan menjelaskan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah penjelasan Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Lihat misalnya: Muhammad Husayn al-Zahabi (selanjutnya ditulis al-Zahabi), al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), Jilid I, hlm. 15.
yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa
yang terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab
permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.
Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri
karena telah menjadi fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai
cara berfikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan
dan orientasi mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Sejarah membuktikan,
perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah
penafsiran tapi juga pada sisi-sisi lain dari ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang
fiqih, ada mazhab-mazhab fiqih yang berkembang semisal mazhab Hanafi,
Syafi’i, Maliki dan Hambali. Dalam bidang aqidah, banyak masalah-masalah
kontroversial yang diperdebatkan diantara kelompok-kelompok seperti
Murji`ah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah dan yang lainnya. Begitu juga
dalam bidang politik seperti adanya golongan Syi`ah, Khawarij dan Sunni.
Sebagai contoh, perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab politik
berkisar pada masalah khilafah yaitu puncak kepemimpinan (al-imamah al-
kubra). Dinamakan dengan khilafah, karena yang memegang jabatan ini
merupakan pemimpin tertinggi kaum muslimin dan pengganti Nabi dalam
urusan kehidupan mereka. Dinamakan dengan imamah karena seorang
khalifah disebut juga “imam” yang wajib dipatuhi oleh rakyat yang ada
dibelakangnya. Pemerintahan kenabian menuntut seorang imam untuk berada
ditengah-tengah kaum muslimin agar dapat memperhatikan kemaslahatan
mereka di dunia, memelihara agama mereka yang diridai serta menjamin
kemerdekaan keyakinan, jiwa dan harta mereka dalam ruang lingkup syariat
Islam.5
Mazhab-mazhab politik pada awalnya bersifat dan bertendensi politis.
Akan tetapi, watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama,
sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-
masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar
keimanan dan akidah namun juga berkembang dalam mazhab fiqih dan
masalah furu’.6
Penelitian ini mencoba mengangkat permasalahan imamah yang selalu
diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu
Sunni dan Syi`ah7. Penelitian diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang
berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir
seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang
berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an,8 sedangkan dari kalangan
5 Imam Muhammad Abu Zahrah (selanjutnya disebut: Abu Zahrah), Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terjemahan ‘Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib berjudul “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah”, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 19.
6 Ibid., hlm. 33.
7 Istilah Syi`ah secara etimologis berarti para penolong dan pengikut seseorang, sebuah kelompok masyarakat yang berkumpul dan bersatu untuk suatu keperluan. Secara terminologis berarti sebuah sebutan bagi orang yang memuliakan sahabat `Ali atas para sahabat lainnya (Abu Bakr, `Umar dan `Usman) dan berpendapat bahwa kepemimpinan umat Islam lebih berhak diserahkan kepada Ahl al-Bayt- anak cucu Nabi dari jalur Fatimah az-Zahra- sedangkan dari selain Ahl al-Bayt tidak dapat diterima. Lihat: Galib ibn `Ali ‘Iwaji, Firaqun Mu`asirah tantasibu ila al-Islam, (Madinah: Dar Layyinah, 1998 M/1418 H), Jilid I, hlm. 168-171.
8 Melihat keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir ini, sangatlah wajar bila tafsir ini mempunyai nilai dan posisi yang cukup tinggi diantara tafsir-tafsir lain yang ada. al-Nawawi pernah menyatakan bahwa para ulama sependapat bahwa tidak ada satu kitab tafsir pun yang lebih tinggi nilainya daripada kitab tafsir ini. Sejalan dengan yang disampaikan M. Watt yang berpendapat bahwa karya ini merupakan suatu ikhtisar segala jenis penafsiran terbaik dari tafsir tradisional yang awal, karena dari karya yang ekstensif ini dapat diperoleh banyak informasi tentang penafsiran-penafsiran yang dikemukakan para penafsir awal. Lihat: : Rosihon Anwar,
Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i yang
berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.9
Kalangan Sunni telah sepakat tentang kemestian adanya seorang imam
untuk menegakkan persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan
berlakunya hukuman atas kejahatan-kejahatan tertentu, mengumpulkan zakat
dari orang kaya dan mendistribusikannya kepada orang miskin,
mempertahankan batas-batas wilayah kekuasaan, menyelesaikan perkara
dengan cara mengangkat para hakim, menyatakan pendapat, serta
melaksanakan hukum-hukum syariat sehingga tercipta negara yang penuh
keberkatan sebagaimana yang diajarkan Islam.10 Ibn Khaldun, dalam bukunya
al-Muqaddimah, menjelaskan makna "imamah" sebagai usaha membawa
masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam untuk kemaslahatan
dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus kembali kepada
Allah dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan begitu, pada
hakekatnya khilafah atau imamah merupakan pembawa ajaran Islam agar
dapat menjaga keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.11
Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999 M), hlm. 68.
9 Sayyid Husayn Nasr menilai bahwa karya-karya al-Tabataba'i merupakan suatu karya yang sepenuhnya otentik dari sudut pandang Syi`ah yang mampu menggabungkan ilmu fiqh, tafsir, filsafat, teosofi dan tasawuf, dimana jumlah ulama Syi`ah yang menguasai disiplin tersebut diatas masih sedikit. Lihat: Sayyid Husayn Nasr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Tabataba'i, Islam Syi`ah Asal-Usul dan Perkembangannya, terjemahan M. Wahyudin, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 19.
10 Abu Zahrah, op. cit., hlm. 87-88.
11 'Abd Allah al-Dumayji, al-Imamah al-‘Uzma, (Riyad: Dar Tayyibah, 1409 H), hlm. 29.
Pandangan-pandangan Sunni tentang imamah ternyata berseberangan
dengan pandangan-pandangan Syi`ah, walaupun penganut Syi`ah terbagi pada
kelompok yang ekstrim, moderat dan liberal. Namun pandangan kelompok-
kelompok yang ada dalam tubuh Syi’ah sendiri memiliki kesamaan bahwa
imamah merupakan salah satu rukun iman dimana iman seseorang dianggap
tidak sempurna bila tidak ada iman kepada imamah.12 Pendapatnya yang lain
adalah adanya anggapan bahwa seorang imam ditunjuk berdasarkan nas dari
Nabi, seorang imam juga bebas dari dosa dan kesalahan karena dia ma`sum
seperti halnya para nabi, dan juga seorang imam adalah pemimpin yang
diumumkan Allah agar mereka menjadi saksi atas segenap manusia.13
Ulama-ulama Syi`ah menilai al-Qur’an dengan penilaian yang berbeda
dari ulama Sunni pada umumnya, diantara perbedaan itu karena ulama Syi’ah
beranggapan bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an telah mengalami perubahan
dan penyimpangan dikarenakan sebagian ayat-ayatnya ada yang asli namun
ada juga yang palsu, seperti pada al-Qur’an: (1): 7, (2): 23, 57, 59 87, 9; (3):
33, 43, 44, 55, 81, dan masih banyak lagi. al-Tabarsi dalam bukunya, Fasl al-
Khitab Fi Tahrif Kitab Rabb al-Arbab, menyatakan “Ini adalah kitab yang
lembut mulia, saya tulis kitab ini untuk menyatakan kebenaran bahwa telah
12 Rukun iman menurut faham Syi`ah adalah: Pertama; Percaya kepada ke-Esa-an Allah, Kedua; Percaya kepada keadilan, Ketiga; Percaya kepada kenabian, Keempat; Percaya kepada Imamah, Kelima; Percaya kepada hari Ma`ad/Kiamat. Lihat pada: Irfan Zidny, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah dalam kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang Syi’ah”, (Jakarta: LPPI, 2000), hlm. 30-31.
13 Lihat misalnya: Abu Na’im al-Asbahani, Kitab al-Imamah wa al-Radd ‘ala al-Rafidah, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1415 H/1994 M), hlm. 25-26. Ali Ahmad as-Salus (selanjutnya disebut: as-Salus), Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah, terjemahan Bisri Abdussomad, dkk., (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Jilid I, hlm. 29-33.
terjadi perubahan dalam al-Qur’an, dan saya ungkapkan kecurangan-
kecurangan orang yang berbuat jahat dan permusuhan”.14 Demikian juga
adanya pandangan bahwa al-Qur’an itu memiliki sisi lahir dan sisi batin. Jika
sisi lahir al-Qur’an berkaitan dengan masalah tauhid, kenabian dan risalah
maka sisi batin al-Qur’an membahas tentang imamah dan wilayah.15
Inilah sedikit gambaran yang menjadikan penulis memiliki ketertarikan
untuk membuat penelitian perbandingan antara pandangan-pandangan al-
Tabari yang memang secara historis memiliki kedekatan dengan kemunculan
Syi`ah namun tetap mengedepankan penafsiran-penafsiran yang sejalan
dengan pemikiran Sunni, dan al-Tabataba'i dengan pemikiran-pemikiran ke-
Syia'h-annya yang sangat kental.
B. Perumusan Masalah
Sekilas gambaran pada pembahasan-pembahasan sebelumnya membuat
peneliti merasa perlu mengangkat beberapa rumusan masalah berkaitan
dengan kajian "imam" menurut dua penafsir ternama, al-Tabari dan al-
Tabataba'i, diantaranya adalah:
1. Bagaimana penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang
"imam".
2. Mengapa terjadi persamaan dan perbedaan al-Tabari dan al-
Tabataba'i dalam menafsirkan ayat-ayat tentang "imam".
14 Lihat pada: Nabhan Husayn, Tinjauan Ahl al- Sunnah terhadap Faham Syi`ah tentang al-Qur’an dan Hadis, dalam Kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang Syi`ah”, op. cit., hlm. 92-98. Lihat juga: as-Salus, op.cit., hlm. 488.
15 Lihat pada: as-Salus, op. cit., hlm. 483-484. al-Zahabi, op.cit., Jilid III, hlm. 96.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui penafsiran-penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i
tentang "imam" setelah mengkaji karya mereka di bidang tafsir.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan al-Tabari dan al-
Tabataba'i mengenai tema ini serta kekhasan masing-masing.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha mengkaji, meneliti, menelaah dan memahami
pemikiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang "imam" dengan merujuk
kepada karya tafsir mereka dan karya tulis keduanya yang lain yang terkait
dengan tema tersebut.
Metode deskriptif-analitis dirasakan lebih tepat untuk dipergunakan
dalam penelitian ini, karena tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan
penyusunan data namun juga meliputi usaha klasifikasi data, analisa data dan
interpretasi tentang arti data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan
gambaran yang utuh dan menyeluruh.16
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berbagai peninggalan
tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat dari kedua penafsir, al-
Tabari dan al-Tabataba'i, terutama karya tafsir mereka. Hal ini dilakukan
untuk mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran
orisinal keduanya.
16 Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), hlm. 131.
Di dalam ilmu tafsir dikenal beberapa metode penafsiran al-Qur'an,
seperti dikemukakan al-Farmawi, yaitu tahlili, ijmali, muqaran dan maudu’i.17
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan al-Tabari dan al-Tabataba'i
tentang "imam" dalam karya tefsir mereka. Metode muqaran (komparatif)
sebagai salah satu metode yang berkembang dalam dunia penafsiran, menjadi
pilihan yang tepat dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode ini selain
menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi juga berusaha
membandingkan pendapat dua penafsir tersebut diatas untuk mendapatkan
informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir masing-masing
penafsir serta orientasi dan aliran yang mereka anut.18
E. Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai "imam" sebenarnya bukanlah sesuatu yang
baru. Dalam kitab-kitab fiqih, uraian mengenai "imam" selalu dikaitkan baik
dalam masalah salat namun juga dibahas secara mendalam ketika
membicarakan prinsip-prinsip penyelenggaraan sebuah negara Islam. Seperti
kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah yang disusun oleh Imam al-Mawardi. Juga
kitab al-Imamah al-‘Udma yang disusun secara sistematis dan lengkap oleh
`Abd Allah ibn Umar al-Dumayji.
17 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm.11.
18 Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 68.
Uraian mengenai "imam" juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang
membahas aliran-aliran teologi dalam Islam. Seperti dalam kitab Firaqun
Mu`asirah tantasibu ila al-Islam yang ditulis oleh Galib ibn ‘Ali ‘Iwaji, buku
ini memaparkan tentang aliran-aliran teologi yang muncul dalam Islam beserta
latar belakang sejarah yang mempengaruhi kemunculannya. Begitu juga buku
yang ditulis oleh Imam Muhammad Abu Zahrah berjudul Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam dalam edisi terjemahan Indonesia, dalam buku tersebut
pembahasannya selain pada perbedaan-perbedaan teologis tetapi juga
perbedaan-perbedaan pandangan politik dalam lintasan sejarah Islam.
Kajian yang lebih menekankan pada perbandingan Sunni dan Syi`ah
secara lebih lengkap dan sistematis dapat ditemukan seperti dalam buku yang
ditulis oleh ‘Ali Ahmad as-Salus, dengan judul Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah
dalam edisi terjemahan. Buku ini berisi perbandingan Sunnah-Syi`ah dalam
bidang aqidah dan tafsir pada jilid I dan pada jilid II membahas tema hadis dan
fiqih.
Dari beberapa buku yang telah disebutkan diatas, ternyata belum
didapati penelitian yang khusus mengkaji perbandingan Sunni-Syi`ah tentang
tema "imam" dari sisi tafsir. Karenanya penelitian ini akan berupaya
menyajikan uraian mengenai "imam" dengan menjadikan tafsir Jami` al-
Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an yang ditulis oleh Abu Ja`far al-Tabari dan
tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba'i dengan judul al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an sebagai acuan dasar dan membahas kedua tafsir tersebut secara
komparatif.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mengetahui gambaran keseluruhan pembahasan penelitian ini,
berikut akan dikemukakan beberapa bahasan pokok dalam tiap bab.
Bab pertama, pendahuluan, meliputi latar belakang masalah untuk
memberikan penjelasan secara akademik mengapa penelitian ini perlu
dilakukan dan apa yang melatar-belakanginya. Kemudian rumusan masalah
yang dimaksudkan untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti
agar lebih terfokus. Setelah itu, dilanjutkan dengan tujuan penelitian untuk
menguraikan pentingnya penelitian ini. Adapun metode dan langkah-langkah
penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana cara yang
dipergunakan penulis dalam penelitian ini. Metode apa yang dipergunakan
serta bagaimana langkah-langkah penelitian yang akan dikerjakan. Sedangkan
telaah pustaka, untuk memberikan gambaran tentang letak ke-baru-an
penelitian ini bila dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada.
Bab kedua, membahas tentang biografi al-Tabari dan al-Tabataba'i.
Baik data-data riwayat hidup dan latar belakang pendidikan, juga menelaah
karya-karya yang telah mereka hasilkan terutama mengkaji metode penafsiran
yang dipergunakan keduanya agar diperoleh pola pemikiran mereka yang utuh.
Bab ketiga, memaparkan bentuk-bentuk pengungkapan "imam", yang
terdiri dari pengertian "imam" secara umum, selanjutnya mengkaji penafsiran
al-Tabari tentang "imam" dalam tafsir Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-
Qur'an dan penafsiran al-Tabataba'i dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir al-
Qur'an. Kemudian mengadakan analisa komparatif terhadap penafsiran
"imam" sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Bagian ini merupakan
analisa penulis untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran dari
kedua tokoh tersebut, baik dari aspek metode maupun substansi penafsiran,
serta menelaah sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan di antara
keduanya.
Bab Keempat, penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI AL-TABARI DAN AL-TABATABA'I
A. AL-TABARI DAN TAFSIRNYA
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikannya
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari19 lahir di Amul, ibukota
provinsi Tabaristan, sebuah daerah pegunungan yang terletak di pesisir utara
laut Kaspia. Tampaknya para ahli sejarah tidak mengetahui secara pasti tahun
kelahirannya, ada yang menyatakan al-Tabari dilahirkan pada akhir tahun
224 H atau awal tahun 225 H yang bertepatan dengan tahun 839 M.
Ketidakpastian tahun kelahirannya disebabkan oleh sistem penanggalan
tradisional pada saat itu, yaitu dengan kejadian-kejadian besar dan bukan
dengan angka.20
Nama al-Tabari disandangnya, karena ia terlahir di Tabaristan, suatu
wilayah di Persia yang masyhur banyak ulamanya dan salah satu daerah
19 Memiliki nama lengkap Muhammad ibn Jarir ibn Yazid, sampai sini para ahli sejarah sepakat tentang namanya namun setelah itu terdapat perbedaan tentang bapaknya Yazid, ada yang berpendapat bahwa bapaknya Yazid adalah Kasir ibn Galib, dan pendapat ini yang lebih banyak dipakai tapi ada juga yang berpendapat bahwa bapaknya Yazid adalah Khalid ibn Galib. Adapun gelar Abu Ja’far adalah gelar kehormatan yang sudah mentradisi di dunia Arab dan biasanya diberikan atau disandang pada seseorang karena kebesaran dan keagungannya. Lihat: M. Bakr Isma`il, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu fi al-Tafsir, (Kairo: Dar al-Manar, 1411 H / 1991 M), cet. I, hlm. 9. Husayn ‘Asy, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari wa Kitabuhu Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H / 1992 M), cet. I, hlm. 51-52.
20 Ibid., Lihat juga: Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999 M), hlm. 58.
tempat berkembangnya kebudayaan Islam saat itu. Penisbahan pada tempat
lahirnya mengindikasikan bahwa al-Tabari bukanlah orang Arab asli.
Pendapat ini dikemukakan oleh Brockelman, salah seorang sejarawan dari
Barat. Akan tetapi pandangan ini banyak dikritik sejarawan Arab, mereka
berpendapat bahwa al-Tabari adalah ‘Arabi asli yang terlahir di daerah
‘Ajam.21
Bukti awal kedewasaan intelektualnya adalah pencarian kekayaan
intelektual yang luas. Pencarian intelektualnya yang paling awal adalah di kota
asalnya yaitu Amul, disini telah tampak kemampuannya dimana dia telah hafal
al-Qur’an pada usia tujuh tahun, menjadi imam salat pada usia delapan tahun
dan telah menulis hadis pada usia sembilan tahun. Kemudian pergi ke kota
Rayy (utara Teheran modern) untuk belajar hadis dan fiqih. Selanjutnya, ia
berniat pergi ke Bagdad untuk belajar kepada Ahmad ibn Hambal, namun ia
mendapat kabar tentang wafatnya Ahmad ibn Hambal sebelum tiba di kota
yang ditujunya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengalihkan perjalanannya ke
21 Untuk memperkuat pendapat ini M. Bakr Isma`il meyakini bahwa pada asalnya bangsa-bangsa Islam adalah Arab, dengan beberapa alasan khusus yang memperkuat pernyataan bahwa al-Tabari adalah ‘Araby asli:
a. Gaya bahasa yang dipergunakan al-Tabari dalam kitab tafsirnya sangat jelas dan mudah, dan tidak terdapat cela bahasa di dalamnya, hal ini berbeda dengan kitab-kitab ‘Ajam lainnya.
b. Pengetahuannya yang sangat luas mengenai pengetahuan bahasa Arab dan dialek-dialek (lahjat) Arab yang bermacam-macam.
c. Al-Tabari tumbuh dalam lingkungan keluarga agamis, kedua orangtuanya memberikan perhatian yang lebih pada penguasaan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an dan hadis, sehingga tidak heran al-Tabari hafal al-Qur’an dalam usia tujuh tahun, menjadi imam salat dan menulis hadis dalam usia yang tidak lebih dari sembilan tahun.
d. Dalam kitab tarikhnya, al-Tabari mampu merujuk dalil-dalil klasik (Arab) sebagai indikasi keterkaitannya dengan dunia Arab.
e. Nama ayah dan kakeknya adalah nama-nama Arab, sebagai bukti bahwa keluarga al-Tabari adalah orang Arab yang melakukan ekspansi ke negeri Tabaristan pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan. Lihat: M. Bakr Islma`il, ibid., hlm. 11-12.
Basrah. Disana dia bertemu dengan beberapa ulama seperti Muhammad ibn
Musa al-Harasy, ‘Ammar ibn Musa al-Qazzaz dan banyak lagi.
Kufah, ternyata menjadi salah satu kota yang al-Tabari kunjungi untuk
mendalami hadis dan ilmu yang berkaitan dengannya. Di kota ini al-Tabari
banyak belajar kepada ulama-ulama terkemuka seperti Hanad ibn al-Suray,
Isma`il ibn Musa, dia juga menerima 100.000 hadis dari Abu Kurayb
Muhammad ibn al-A‘la seorang ulama di bidang hadis.
Selang beberapa waktu, kemudian al-Tabari bertekad untuk
melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Mesir. Namun sebelum itu, dia
berkunjung ke Syam untuk belajar qira’at al-Qur’an kepada al-‘Abbas ibn al-
Walid. Barulah setelah itu dia pergi ke Mesir pada tahun 253 H yaitu masa-
masa awal pemerintahan Ahmad ibn Tulun. Disini al-Tabari bertemu dengan
ulama-ulama termasyhur bermazhab Syafi’i, seperti al-Rabi` ibn Sulayman dan
Ismail ibn Ibrahim al-Muzanni, juga bertemu dengan murid-murid Ibn Wahab
yang mengkaji mazhab Maliki. Al-Tabari banyak melakukan diskusi-diskusi
ilmiah. Di negeri ini juga al-Tabari bertemu dengan Muhammad ibn Ishaq ibn
Khuzaymah, seorang pengarang kitab sirah.22
Setelah itu al-Tabari kembali ke Bagdad dan menetap disana untuk
mengajar dan mengarang kitab. Selama tinggal di Bagdad, ia pernah ditawari
jabatan-jabatan penting di pemerintahan tapi dia menolaknya. Sikapnya itu
membuat ia lebih mengkonsentrasikan diri dalam menggeluti berbagai disiplin
ilmu. Keahliannya tidak hanya terbatas dalam bidang sejarah, fiqh, tafsir dan
22 Husayn ‘Asy, op.cit., hlm. 55-58.
hadis tetapi juga dalam bidang sastra, tata bahasa, logika, matematika dan
kedokteran.23 Setelah melakukan pengembaraan intelektual yang panjang ke
beberapa pusat ilmu pengetahuan, mengajar kepada murid-muridnya dan
mengarang banyak kitab, al-Tabari wafat pada tanggal 4 Syawwal 310 H di
Bagdad pada usia 85 tahun dan dikebumikan disana.
2. Karya-Karya al-Tabari
Dalam dunia ilmu pengetahuan, al-Tabari dikenal sebagai ilmuwan
yang tekun mendalami bidang-bidang yang dikuasainya, dan senantiasa
menambah ilmu pengetahuan, sehingga dengan begitu banyak bidang ilmu
yang dikuasainya. Lebih dari itu, al-Tabari mampu menuangkan ide-ide dan
gagasannya tersebut ke dalam bentuk tulisan. Kitab karangannya mencakup
berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, dan ilmu-ilmu bahasa
serta sejarah, ilmu hisab juga ilmu kedokteran.
Karya-karya al-Tabari tidak semuanya ada sampai saat ini.
Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan dengan
lenyapnya mazhab Jaririyah. Diantara karya-karyanya, yang paling populer
adalah kitab Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, dalam bidang tafsir,
23 Rosihon Anwar, op.cit., hlm.60.
dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk,24 dalam bidang sejarah. Diantara karya-
karyanya yang masih ada sampai saat ini:25
a. Tafsir :
1) Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an.
b. Qira’at :
1) Kitab Qira’at wa Tanzil al-Qur’an.
c. Hadis :
1) Tahzib al-Asar wa Tafsil al-Sabit ‘an Rasul Allah min al-Akhbar.
2) al-Musnad al-Mujarrad.
3) Kitab fi ‘Ibarat al-Ru’ya.
d. Fiqh :
1) Ikhtilaf ‘Ulum al-Amsar fi Ahkam Syara’i al-Islam.
2) Latif al-Qawl fi Ahkam Syara’i al-Islam.
3) al-Khafif fi Ahkam Syara’i al-Islam.
4) Kitab Mukhtasar Manasik al-Hajj.
5) Kitab Mukhtasar al-Fara’id.
6) Kitab fi al-Radd ‘ala ibn ‘Abd al-Hukm ‘ala al-Malik.
7) Kitab Basit al-Qawl fi Ahkam Syara’i al-Islam.
8) Kitab Adab al-Qudat.
9) Kitab fi al-Radd ‘ala zi al-Asfar.
24 Kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk ini disebut sebagai kitab pertama sejarah Islam terlengkap. Banyak persoalan-persoalan umat Islam sampai akhir abad ke-3 H yang hanya didapati dalam kitab tersebut, sehingga kitab ini pernah menjadi rujukan utama di dataran Eropa karena kompleksitas kajiannya. Kitab ini dibagi dalam dua bagian; bagian pertama, membicarakan sejarah Arab, Persi, Roma sebelum Islam, sedang bagian kedua, mengenai sejarah sesudah Islam.
25 Lihat: Rosihon Anwar, ibid., hlm.62-64. Husayn ‘Asy, ibid., hlm. 70-77.
10) Tabsir Uli al-Nuha wa Ma’alim al-Huda.
e. Usul al-Din :
1) Risalat al-Basir fi Ma’alim al-Din.
2) Risalat al-Musammah bi Sarih al-Sunnah.
3) Kitab al-Mujaz fi al-Usul.
4) Kitab Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah.
f. Sejarah :
1) Tarikh al-Umam wa al-Muluk.
2) Kitab Zail al-Muzil.
3) Kitab Fada’il ‘Ali ibn Abi Talib.
4) Kitab Fada’il Abi Bakr wa ‘Umar.
5) Kitab Fada’il al-‘Abbasy.
3. Metode Penafsiran al-Tabari
Setiap penafsir menggunakan satu atau lebih metode dalam
menafsirkan al-Qur’an. Pemilihan terhadap sebuah metode yang lebih
menonjol tergantung pada kecenderungan dan sudut pandang penafsir serta
latar belakang penafsir serta latar belakang keilmuan dan faktor lain yang
melingkupi. Dengan kata lain, metode tafsir tertentu telah digunakan secara
aplikatif oleh penafsir untuk kebutuhan penafsiran yang dimaksud. Hanya
penggunaan metode-metode tersebut tidak dinyatakan dan dibahas secara
eksplisit.
Metode-metode penafsiran al-Qur’an secara garis besar terbagi kepada
empat metode: 1) Ijmali,26 2) Tahlili, 3) Muqarin,27 4) Mawdu’i.28 Berkaitan
dengan metode-metode tafsir tersebut, tampaknya al-Tabari lebih cenderung
menggunakan metode tafsir tahlili. Yang dimaksud dengan metode ini adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek
yang terkandung di dalamnya serta menerangkan maknanya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan penafsir.29
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung suatu ayat
seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat,
kaitan antara ayat yang dikaji dengan ayat-ayat yang lain baik sebelum
maupun sesudahnya (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat
yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi , sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.
26 Pengertian metode al-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat-demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam surah-surah al-Qur’an, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Lihat: ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu`i: Suatu Pengantar, terjemahan Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 29-30. Lihat juga: Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.13.
27 Tafsir Muqarin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan atau komparasi. Objek kajian tafsir dengan metode ini, dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu: a) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain; b) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis; c) Perbandingan berbagai pendapat penafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Lihat: Nashruddin Baidan, ibid., hlm. 65.
28 ? Pengertian metode tafsir maudu`i atau tafsir tematik adalah suatu model tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Lihat: ibid., hlm. 151.
29 Ibid., hlm.31.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’sur
(riwayat) atau ra’y (pemikiran).30
Dalam tafsirnya, al-Tabari menggabungkan bentuk tafsir bi al-ma’sur
dan tafsir bi al-ra’yi meskipun yang lebih menonjol adalah tafsir bi al-ma’sur.
Dengan pertimbangan banyaknya hadis yang dimasukkan di dalamnya,
sehingga tafsir ini dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-
ma’sur. Namun tafsir ini lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir
yang luas. Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas
pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh.31 Semua asumsi diatas
didasarkan pada bentuk penafsiran al-Tabari yang meliputi:32
a. Dalam kitab tafsirnya, al-Tabari meyakini bahwa ayat al-Qur’an dapat
menjadi tafsiran atas ayat yang lain dan ini menjadi penafsiran yang
terbaik diantara penafsiran-penafsiran yang ada. al-Tabari juga
menuturkan riwayat-riwayat beserta sanadnya yang berkaitan dengan
penafsiran suatu ayat, baik riwayat yang sahih atau yang tidak sahih. Ia
terkadang mengeritiknya tapi terkadang membiarkannya. Setelah itu, ia
menjelaskan penafsirannya sendiri tanpa mengikatnya, kecuali bila
penafsiran itu sudah pasti benar.
30 Ibid., hlm. 31-32.
31 Jane Dammen McAuliffe, Hermeneutik al-Qur’an: Pandangan al-Tabari dan Ibn Kasir, terjemahan Dede Iswadi, Jurnal Teks, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 2002), Vol. 1, no. 1, hlm. 6.
32 Lihat: M. Bakr Isma`il, op.cit., hlm. 44-125. Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), Jilid I, hlm. 204-2018. Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 64-68.
b. al-Tabari menolak penafsiran yang berdasarkan otoritas pemikiran
semata. Ia lebih mengedepankan penafsiran yang didasarkan pada
penjelasan (riwayat) dari Nabi , sahabat, dan tabi`in.
c. Setelah al-Tabari menafsirkan dengan sejumlah riwayat hadis,
berikutnya ia membahas arti kosa kata, susunan kalimat sekaligus
menjelaskan aspek kebahasaan lainnya, yang dilengkapi bukti penguat,
baik berupa syair, prosa atau bahasa yang masyhur di kalangan orang
Arab jika dianggap perlu. Selain itu, al-Tabari juga menaruh perhatian
yang cukup besar terhadap pandangan-pandangan ahli bahasa dari
Basrah dan Kufah ketika menafsirkan al-Qur’an.
d. al-Tabari dalam tafsirnya juga mengupas masalah-masalah fiqih. Ia
menyeleksi pernyataan-pernyataan fuqaha mazhab tertentu, kemudian
memilih pendapat yang terbaik dan terjamin keabsahannya dengan
mengemukakan alasan-alasan yang kuat.
e. Perhatiannya yang cukup besar terhadap masalah qira’at ketika
menafsirkan al-Qur’an juga menjadi ciri khas al-Tabari yang
membedakannya dengan penafsir-penafsir lain. al-Tabari termasuk
salah seorang ulama di bidang qira’at karena pengetahuannya yang
begitu luas di bidang qira’at tersebut.
f. Hal lain dari penafsirannya, di satu sisi al-Tabari menjauhi
pembahasan-pembahasan yang kurang bermanfaat, namun disisi lain ia
terlibat aktif dalam pembahasan masalah-masalah kalam. Diskusi-
diskusi masalah kalam banyak dimunculkan ketika menafsirkan suatu
ayat, dengan mengangkat pendapat-pendapat yang sejalan dengan
pandangannya tapi juga sekaligus mengoreksi pandangan-pandangan
kalam yang dianggapnya tidak sesuai dengan maksud teks ayat.
g. Kekhususan lainnya yang dimiliki kitab tafsir ini adalah penggunaan
kata “ta’wil” pada saat mulai mengungkapkan pendapatnya sendiri
tentang penafsiran ayat-ayat tertentu. Nampaknya al-Tabari
menggunakan kata itu dalam pengertian “tafsir” sebagaimana
umumnya digunakan penafsir lainnya.33
B. AL-TABATABA'I DAN TAFSIRNYA
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikannya
Sayyid Muhammad Husayn al-Tabataba'i -seperti diakuinya sendiri
dalam otobiografi singkatnya- dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah
1321 H/1892 M. Ia lahir dalam sebuah keluarga ulama dan keturunan Nabi
Muhammad yang selama empat belas generasi telah melahirkan ulama-ulama
terkemuka. Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat
tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk
melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta
peninggalan orang tua) menyerahkan al-Tabataba'i dan adik putrinya kepada
seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.34
33 Dalam hal ini, al-Suyuti berkomentar bahwa motivasi al-Tabari menamai kitabnya dengan Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, adalah untuk memperlihatkan bahwa kitab ini tidak hanya menyingkapkan makna lafal-lafal al-Qur’an, tetapi juga disertai analisis struktur kalimatnya, makna tersurat didalamnya, analisis bahasa dan lain-lain. Lihat: Rosihon Anwar, ibid., hlm. 67-68.
al-Tabataba'i memperoleh pendidikan dasar dan menengah pada
sekolah resmi namun kemudian belajar melalui guru-guru privat yang datang
ke rumah-rumah dimana ia belajar bahasa Parsi dan pelajaran-pelajaran dasar
selama enam tahun. Pada saat itu al-Tabataba'i mendalami al-Qur’an dan
karya-karya klasik tentang sastra dan sejarah melalui buku-buku Gulistan dan
Bustan karya Sa`di. Juga tulisan-tulisan dan karya-karya lain dari penulis
terkenal saat itu. Pada usia 20 tahun, ia belajar di Universitas Syi`ah di Najaf,
menetap disana selama sepuluh tahun. Sebuah perjalanan intelektual yang
panjang dilaluinya. al-Tabataba'i mempelajari fiqh dan usul fiqh kepada
Muhammad Husayn al-Na`ini dan Muhammad Husayn al-Isfahani selama
hampir sepuluh tahun.35 Mengenai kemampuan al-Tabataba'i dalam bidang
fiqh dan usul fiqh ini, Sayyid Husayn Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia
tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi
seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan
sosial.36
Tetapi tampaknya ia memilih jalan lain dalam pengembaraan
intelektualnya, karena dia juga belajar dengan penuh semangat semua seluk-
beluk matematika tradisional dari Sayyid Abu al-Qasim al-Khawansari, dan
34 Tabataba`i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M), hlm. 15.
35 Ibid.. Al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lam li al-Matbu’at, 1411 H/1991 M), Jilid I, hlm. ii.
36 Sayyid Husayn Nasr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Tabataba'i, Islam Syi`ah Asal-Usul dan Perkembangannya, terjemahan M. Wahyudin, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 22.
mendalami filsafat islam tradisional melalui buku asy-Syifa karya Ibn Sina,
Asfar dan Masya`ir karya Sadruddin Syirazi, Tahmid al-Qawaid karya Ibn
Turkah dan Tahzib al-Akhlaq karya Ibn Miskawaih kepada Sayyid Husayn
Badkubi.
Selain dalam bidang filsafat, ia juga mempelajari ilmu gramatika
melalui Ketab Amsela dan Tasrif. Di bidang sintaksis, ia mempelajari Ketab-e
‘Avamel, Enmuzaj, Samadiya, Soyuti, Jami dan Mughanni. Mengenai
retorika ia mempelajari Ketab-e Motavval; untuk fiqh, Syarh-e Lama’a dan
Makaseb; tentang usul fiqh, Ketab-e Ma’alem, Qavanin, Rasa’il, dan Kafaya.
Mengenai mantiq (logika), ia mempelajari Kobra, Hasyiya dan Syarh-e
Syamsiya. Sedang di bidang teologi ia mempelajari kitab Kasyf al-Murad.37
Sumber-sumber bacaan Islam tradisional Syi`ah inilah yang banyak dikajinya.
Di bawah bimbingan Mirza ‘Ali al-Qadir, masa-masa hidup al-
Tabataba'i tidak hanya dimanfaatkan untuk belajar tetapi juga sebagai wahana
pencapaian berupa praktek-praktek kezuhudan dan kerohanian. Ia
memanfaatkan waktunya dengan melakukan salat dan puasa, serta mengalami
waktu jeda yang panjang dalam kondisi membisu.38
Karena kesulitan ekonomi melilitnya, pada tahun 1935, al-Tabataba'i
kembali ke kampung halamannya, Tabriz. Selama sepuluh tahun ia tinggal di
Tabriz, yang ia rasakan sebagai masa kekeringan spiritual dalam
kehidupannya, tidak bisa melakukan perenungan disebabkan kontak-kontak
37 al-Tabataba'i, Inilah Islam Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, op. cit., hlm. 15.
38 Sayyid Husayn Nasr, “Kata Pengantar” dalam karya Al-Tabataba'i, Islam Syi`ah Asal Usul dan Perkembangannya, op.cit., hlm.23.
sosial dalam mencari penghidupan dengan bertani. Walaupun begitu, di tempat
itu ia masih sempat menghasilkan beberapa karya ilmiah serta mengajar
sejumlah kecil murid.39
Terjadinya peristiwa menggemparkan dunia tahun 1945, yaitu Perang
Dunia II dan pendudukan segara Iran oleh Rusia, mendorong al-Tabataba'i
pindah dari Tabriz ke Qum, kota yang saat itu merupakan pusat keagamaan di
Persia. Dengan cara yang sederhana, ia mengajarkan tafsir al-Qur’an yang
belum pernah diajarkan di Qum. Di kota ini ia mengajarkan beratus-ratus
mahasiswa dan melakukan pembaharuan di bidang pemikiran.
Usaha pembaharuan yang dilakukan al-Tabataba'i terlihat dari
keteguhannya dalam mengedepankan gagasan filosofis Islam dan menentang
pemikiran-pemikiran materialistik yang mulai membanjiri negara-negara
Islam, termasuk Iran. Dengan komitmen yang demikian mendalam memegang
nilai-nilai Islam, ia senantiasa menggencarkan pemikiran-pemikiran filsafat
dan spiritual Islam. Ketika masa-masa inilah, al-Tabataba'i mulai
menyibukkan diri dalam pengajaran tafsir al-Qur’an dan bergelut di dalamnya
untuk waktu yang panjang.
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan al-Qur’an dan
filsafat-sejak kedatangannya di Qum- hari-harinya juga diisi dengan
melakukan kunjungan di beberapa kota. Di kota Qum ini, menurut Husayn
Nasr, ia mengajarkan pengetahuan dan pemikiran keislaman kepada tiga
kelompok masyarakat. Pertama, murid-murid tradisional di kota Qum yang
39 Ibid., hlm.24
kemudian menyebar ke seluruh negara Iran, bahkan ke luar negri. Kedua,
kelompok mahasiswa pilihan yang diajarinya ilmu ma’rifat dan tasawuf
dengan suasana yang cukup akrab. Ketiga, orang-orang Iran yang
berpendidikan modern, termasuk beberapa orang dari luar Iran, seperti Henry
Corbin40 yang mengkhususkan belajar kepadanya di musim gugur.41
al-Tabataba'i menggoreskan kepribadiannya yang agung dengan ilmu,
perjuangan, kerja keras dan menulis. Jiwanya yang mulia dan intelektualnya
yang cukup cemerlang telah memberikan pengaruh yang mendalam di
kalangan intelektual tradisional dan modern di Iran. Dengan pembaharuan
yang dilakukannya, ia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam menciptakan
elite intelektual baru di antara kelompok-kelompok yang berpendidikan
modern, suatu kelompok yang disamping mempunyai perhatian dengan nilai-
nilai Islam juga mempunyai wawasan tentang ilmu pengetahuan modern.
Keluasaan wawasan intelektual al-Tabataba'i dapat diketahui antara lain dari
karya-karya ilmiahnya dan penguasaan referensi dalam karya-karya yang
ditekuninya.
Ketika Kenneth W. Morgan dari Universitas Colgate bermaksud
memperoleh buku tentang Syi`ah –sebagai salah satu kegiatannya untuk
“menyuguhkan” agama-agama Timur kepada Barat- dan meminta Sayyid
Husayn Nasr mengawasi penulisan itu. Nasr memandang al-Tabataba'i yang
paling memenuhi syarat untuk menulis buku semacam itu, suatu karya yang
40 Henry Corbin adalah seorang orientalis asal Perancis yang dikenal banyak menulis tentang tasawuf dan filsafat Islam, terutama yang berkaitan dengan Syi`ah.
41 Sayyid Husayn Nasr, Islam Tradisi, alih bahasa Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 285.
sepenuhnya otentik dari sudut pandang Syi`ah yang mampu menggabungkan
ilmu fiqih, tafsir, filsafat, teosofi dan tasawuf, yang pada saat itu jumlah ulama
yang menguasai disiplin tersebut diatas masih sedikit. Hasil dari usahanya
untuk memenuhi permintaan Kenneth W. Morgan – yang ia kerjakan di tengah
penulisan tafsir al-Mizan- yang kemudian diterbitkan, berjudul asy-Syi`ah fi
al-Islam.42
al-Tabataba'i melalui pembaharuan-pembaharuannya juga dinilai telah
melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang berhasil membawa perubahan dan
kemajuan besar dalam kehidupan masyarakat Iran. Melalui didikannya,
muncul tokoh-tokoh Islam seperti Murtadha Muthahhari, Ayat Allah
Muntaziri, Muhammad Mufatih, Muhammad Bahisty, ‘Ali Quddusi, Javadi
Amuli, Ansari, Nasr Makarim Syirazi dan Ja’far Subhani. Profil Al-Tabataba'i
merupakan lambang kemajuan tradisi kesarjanaan dan pengetahuan Islam
Syi`ah. Ia memberikan contoh dengan kehalusan budi, kerendahan hati dan
pencarian kebenaran yang akhirnya mampu menghasilkan karya-karya
orisinal.
al-Tabataba'i wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan
dimakamkan disana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang
termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan
menghadiri pemakamannya.
2. Karya-Karya al-Tabataba'i
42 Sayyid Husayn Nasr, “Kata Pengantar” dalam al-Tabataba'i, Islam Syi`ah Asal Usul dan Perkembangannya, op. cit., hlm. 19.
Al-Tabataba'i merupakan salah seorang ulama yang menguasai
berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum juga keagamaan; meliputi fiqh, usul
fiqh, tasawuf sampai ilmu matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof,
kecenderungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya
intelektualnya, termasuk dalam kitab tafsirnya, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an.
Selain tetap teguh belajar pada ulama-ulama besar, Al-Tabataba'i
memulai kegiatan di bidang tulis menulis sejak masih berada di Najaf, diantara
karya-karyanya pada saat di kota tersebut adalah:
a. Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
b. Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
c. Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
d. Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
e. Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia)
berbahasa Arab.
f. Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian
dan Mmpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
a. Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat
Tuhan) berbahasa Arab.
b. Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan)
berbahasa Arab.
c. Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di
Dunia) berbahasa Arab.
d. Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia)
berbahasa Arab.
e. Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di
Dunia) berbahasa Arab.
f. Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
g. Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
h. Kitab Silsilah al-Tabataba'i fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-
Tabataba'i di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
a. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
b. Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
c. Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul)
berbahasa Arab.
d. Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-
Arba’ah) berbahasa Arab.
e. Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
f. Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi`ah) berbahasa Arab.
g. Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.
Keseluruhan karya-karya al-Tabataba'i mencapai sekitar 50 buah.
Diantaranya berupa artikel-artikel yang dimuat oleh media massa. Tafsir al-
Mizan yang terdiri dari 20 jilid merupakan karyanya yang paling besar dan
monumental.
3. Metode Penafsiran al-Tabataba'i
Semenjak kepindahannya ke kota Qum, al-Tabataba'i banyak
menyampaikan kuliah-kuliah di bidang tafsir kepada murid-muridnya. Namun
kemudian murid-muridnya tersebut meminta al-Tabataba'i untuk membuat
semacam karya tulis khusus di bidang tafsir. Atas desakan tersebut, akhirnya
al-Tabataba'i memulai penulisan khusus di bidang tafsir semenjak tahun 1375
H/1956 M dan selesai pada tanggal 23 Ramadan 1392 H, sebanyak 20 jilid.
Penulisan kitab tafsir ini membutuhkan waktu selama 17 tahun.
Ada pendapat, berkaitan penamaan tafsir ini dengan judul ”al-Mizan”,
yang menyatakan bahwa nama itu dipakai karena dalam kitab tafsir ini banyak
memuat pandangan-pandangan para penafsir, ahli fiqh, ahli bahasa, para
filosof dan lainnya. al-Tabataba'i selanjutnya menimbang dan memilih
pendapat yang lebih kuat serta menolak pandangan-pandangan yang
dianggapnya lemah. Tampak dari uraian-uaraian yang telah disampaikan
bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi
tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Tabataba'i yang meliputi:43
a. Dalam kitab tafsirnya, al-Tabataba'i memasukkan rujukan-rujukan
yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata
bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan
kalangan Syi`ah saja.
b. al-Tabataba'i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain
selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam
43 `Ali al-Awsi, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M).
ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang
membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir44 baik
yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
c. Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan
suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga
mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in
menjadi pertimbangan al-Tabataba'i ketika menafsirkan suatu ayat.
d. Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Tabataba'i,
sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-
Qur’an.
e. Menurut al-Tabataba'i, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua
sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang
kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap
yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut
aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya,
untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya.
Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena
makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah
proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana
nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui
tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa
dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan
44 Mutawatir, dalam ilmu al-hadis, adalah hadis-hadis yang dirwayatkan oleh lebih dari dua orang dalam setiap tingkatannya (tabaqat).
agama, menurut al-Tabataba'i adalah Nabi dan para imam Ahl al-
Bayt.45
f. Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya
pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan
pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut
sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Tabataba'i hanya sebagai
penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat
filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-
Qur’an.
g. Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-
Tabataba'i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan
dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak
sesuai dengan keyakinan teologisnya.
45 al-Tabataba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M), hlm. 47.
BAB III
PENAFSIRAN AL-TABARI DAN AL-TABATABA'I
TENTANG "IMAM"
A. Tinjauan Umum Kata "Imam"
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "imam" mengandung
beberapa pengertian, diantaranya seperti: (1) pemimpin salat (pada salat yang
dilakukan secara bersama-sama; (2) pemimpin atau kepala; (3) (dipakai sebagai
gelar yang berarti) pemimpin atau penghulu; (4) pemimpin mazhab; (5) paderi
yang mempersembahkan kurban Misa atau pemimpin upacara gereja; (6) paderi.46
46 Depdikbud R. I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 325.
Kata "imam" berasal dari kata "amma-ya'ummu", يؤم –أم , yang terdiri
dari huruf hamzah, mim dan mim. Kata ini memiliki arti menuju, bermaksud
kepada, menumpu, meneladani dan menyengaja. Dari akar kata yang sama juga
muncul beberapa makna lain, diantaranya:47
1. Kata م األ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-fathah,
mempunyai makna:
a. Pergi menuju, seperti ucapan Ka`ab ibn Malik:
الله رسول أتأمم .(Saya pergi menuju rasul Allah ) انطلقت
b. Mengenai atau melukai otaknya, seperti pada kalimat: أصاب
رأسه . أم
2. Kata م ,dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah ,األ
bermakna ibu. Kata tersebut juga bisa berarti asal, pangkal, sumber, induk,
tempat tinggal atau tempat kediaman. Bila di-idafah-kan dengan sebuah kata
lain punya beberapa arti, misalnya: الطريق عريط ,(jalan besar) أم أم
(kalajengking), البيض الحبر ,(burung onta) أم النجوم ,(ikan gurita) أم أم
(bintang bima sakti), الرأس القرأن ,(otak) أم الرمح ,(surat al-Fatihah) أم أم
(bendera), القوم الكتاب ,(kepala, pemimpin) أم dan ,(al-Lawh al-Mahfud) أم
seperti ungkapan: عينه بأم .(melihat dengan mata kepala sendiri) رأى
3. Kata م2ة ,dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah , األ
huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Dalam bentuk
jamak "أمم "(umamun) mempunyai arti: saat, waktu, umat, rakyat, bangsa,
47 Lihat misalnya: Ibn Manzur, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-`Arabi, 1413 H/1993 M), Jilid I, hlm. 212-223. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 42-44. al-Fayruz Abadi, al-Qamus al-Muhit, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1407 H/1987 M), hlm. 1391-1392. Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasit, (Kairo: T.Pn., T.Th.), hlm. 27.
dan juga beberapa makna lain, seperti: القامة (tinggi badan), الوجه (wajah,
muka), النشاط (ketangkasan), الطاعة (taat, setia), jalan besar, dan juga
bermakna: للخير الجامع seseorang yang terkumpul padanya) الرجل
kebaikan), الحق على هو الوطن ,(orang yang berpegang pada kebenaran) من
(tanah air). Namun ketika di-idafah-kan dengan kata lain memiliki beberapa
arti yang berbeda, misalnya: مجلساألمة (majelis rendah), األمم Liga) جمعية
Bangsa-Bangsa), المتحدة األمم .(Perserikatan Bangsa-Bangsa) هيئة
4. Kata م2ة C ,dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah , اإل
huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Kata ini berarti:
hal menjadi imam ata hal mengikuti imam (menjadi makmum) dan beberapa
arti lain, seperti: الدين (agama), النعمة (kenikmatan), العيش غضارة
(kehidupan yang menyenangkan), الحالة و atau ,(perkara, keadaan) الشأن
dapat juga bermakna الهيـئـة (bentuk).
5. Kata يCمم.(pemuja berhala) الوثني berarti internasional atau , األ
6. Kata يMم memiliki arti orang yang tidak dapat membaca dan menulis, atau , األ
bisa juga berarti: الجافى atau ,(keibuan) األمية ,(orang bodoh dan kasar) الغبي
.(kebodohan) الجهل
7. Kata ةامم C الرئاسة memiliki arti hal menjadi, sebagai imam atau bermakna , اإل
.(imamah, khilafah) العامة
8. Kata امم C ,dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah , اإل
dan penambahan huruf alif diantara dua huruf mim. Dalam bentuk jamak أئـمـة
, yang berarti "imam". Kata ini juga memiliki beberapa makna, antara lain:
a. Pemimpin, له المصلح و األمر pemimpin sebuah urusan dan yang) قيم
memperbaiki urusan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Q. s. al-
Tawbah (9): 12. الكفر أئمة Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin) فقاتلوا
orang kafir itu).
b. Setiap orang yang diikuti oleh sebuah kelompok masyarakat baik dalam
kebenaran ataupun kesesatan.
c. Perumpaan atau contoh ( المثـال ) atau sesuatu yang dipelajari seorang
siswa setiap hari. Seperti ungkapan: إمامه الصبي seorang anak) حفظ
menghafal materi pelajarannya.
d. Penunjuk jalan bagi binatang ( الدليل ). Dapat dijumpai dalam kalimat,
misal: اإلبل .(penunjuk jalan bagi onta) إمام
e. Jalan ( الطريق ). Seperti dalam Q. s. al-Hijr (15): 79. مبين لبإمام وإنهما
(dan sesungguhnya keduanya berada pada jalan yang terang.
f. Arah kiblat ( القبلة .( تلقاء
g. Benang pelurus tukang batu (untuk meratakan bangunan). Sebagaimana
dalam kalimat: اإلمام على البناء Tegakkanlah atau luruskanlah) قوم
bangunan tersebut dengan benang).
h. al-Quran al-Karim. Seperti ungkapan: المسلمين إمام . القرآن
9. Kata امم dengan huruf hamzah yang di-fathah, mempunyai arti di muka , األ
atau di hadapan). Seperti kata: الرئيس األ ,(di hadapan kepala negara) أمام إلى
.(ke depan) مام
10. Kata ـمم .berarti dekat atau perkara yang jelas , اال
Didalam al-Quran, kata "imam" disebutkan sebanyak tujuh kali dalam
bentuk mufrad dan lima kali dalam bentuk jamak.48 Bentuk-bentuk kata "imam"
tersebut memiliki beberapa versi makna, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran
dan Terjemahnya, antara lain:49
1. Imam, sebagai jalan umum, seperti yang tersebut dalam Q. s. al-Hijr (15): 79 (
مبين لمإمام .( وإنهما
2. Imam, sebagai Kitab Induk (al-Lawh al-Mahfud), surat Yasin (36): 12 ( كل و
مبين إمام فى أحصيناه .( شيء
3. Imam, sebagai gelar bagi seorang Nabi, terdapat pada: surat al-Baqarah (2): 124
إماما ) للناس جاعلك إنى ) surat al-Furqan (25): 74 ,( قال إماما للمتقين واجعلنا
).
4. Imam, sebagai kitab pedoman yang dipegang, disebutkan dalam: surat Hud
(11): 17 ( ورحمة إماما موسى موسى ) surat al-Ahqaf (46): 12 ,( كتاب كتاب
ورحمة .(إماما
5. Imam, sebagai pemimpin yang diikuti sebuah kelompok masyarakat,
sebagaimana terdapat dalam: surat al-Isra' (17): 71 ( بإمامهم أناس كل ندعو يوم
), al-Tawbah (9): 12 ( الكفر أئمة أئمة ) al-Anbiya' (21): 73 ,( فقاتلوا وجعلناهم
) al-Qasas (28): 5 ,( يهدون أئمة ) dan ayat 41 ,( ونجعلهم يدعون أئمة جعلناهم و
), dan surat al-Sajdah (32): 24 ( يهدون أئمة جعلنامنهم .( و
Muhammad ibn Salih al-`Usaymin menjelaskan makna kata "imam" yang
terdapat dalam hadis Nabi , dari jalur sahabat Abu Hurayrah, untuk maksud
48 Muhammad Fuad `Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfad al-Qur'an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1417 H/1996 M), hlm. 99.
49 Departemen Agama R. I., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma' Khadim al-Haramayn al-Syarifayn al-Malik Fahd li Tiba'ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H).
seorang pemimpin sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat aturan
perundangan berdasarkan syariat Islam, sebagaimana dalam hadis:50
خبيب حدثنى قال الله عبيد عن يحيى حدثنا قال بشار بن محمد حدثنا
هريرة أبى عن عاصم حفصبن عن الرحمن عبد النبي, بن :عن قال
, : و العادل مام اإل ظله إال ظل ال يوم ظله فى الله يظلهم سبعة
, , ` تحابا ورجالن المساجد فى معلق قلبه ورجل الله عبادة فى نشأ شاب
, , , وجمال منصب ذات امرأة دعته ورجل عليه وتفرق عليه اجتمع الله فى
, شماله: تعلم ال حتى فأخفاها بصدقة تصدق ورجل الله أخاف إنـى فقال
( ) . , عليه متفق عيناه ففاضت خاليا الله ذكر ورجل يمينه تنفق ما
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Basysyar, dia berkata: Telah meriwayatkan pada kami Yahya ibn `Ubayd Allah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Khubayb ibn `Abd al-Rahman dari Hafs ibn `Asim dari Abu Hurayrah , dari Nabi , beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang kelak Allah akan melindungi dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya , (yaitu): seorang pemimpin yang adil, dan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah , dan seseorang yang hatinya selalu terpaut di masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah , keduanya bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah , dan laki-laki yang dirayu oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu dia berkata: "Sesungguhnya saya takut kepada Allah", dan seseorang yang bersedekah lantas dia menyembunyikan sedekahnya tersebut sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah dikala sepi sampai meneteskan air mata.
Kata "imam" dalam hadis diatas ditafsirkan dalam definisi secara
terminologi. Sehingga pembahasan "imam" sering dikaitkan dengan pembahasan
"imamah" atau kepemimpinan religius-politis dalam masyarakat Muslim. Syarif
al-Jurjani menerangkan makna "imam" sebagai orang yang menjalankan
50 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Azan, no. hadis 660 dan Imam Muslim dalam Kitab al-Zakat, no. hadis 1031. Lihat pada: Muhammad ibn Salih al-`Usaymin, Syarhu Riyad al-Salihin, (Riyad: Dar al-Watan, 1416 H), Jilid VI, hlm. 363-367.
kepemimpinan umum dalam urusan agama maupun politik.51 Menurut Imam al-
Mawardi, "imam" atau "imamah" merupakan posisi pengganti kepemimpinan
Nabi yang mengemban tugas menjalankan kepemimpinan umum dan agama.
Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Najib al-
Muti`i dan ibn Khaldun yang menguraikan makna "imamah" sebagai usaha
membawa masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam untuk
kemaslahatan dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus kembali
kepada Allah dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan begitu,
pada hakekatnya "imam" merupakan pembawa ajaran Islam agar dapat menjaga
keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.52
Dari uraian di atas, ruang lingkup bahasan "imam" akan berkembang pada
"khalifah", "wali" dan "amir al-mu'minin". Akan tetapi penulis membatasi obyek
kajian dalam penelitian ini hanya pada ayat ayat-ayat yang terkait dengan term
"imam" saja.
B. Pandangan Penafsir tentang Makna "Imam"
1. Penafsiran al-Tabari tentang Makna "Imam"
Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai zaman keemasan bagi penulisan
hadis-hadis Nabi . Karena pada masa ini telah lahir beberapa kitab hadis induk
yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijadikan rujukan dalam
pengambilan sumber rujukan ajaran Islam. Begitu juga dengan kitab tafsir yang
51 Syarif al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1416 H/1995 M), hlm. 35.
52 `Abd Allah al-Dumayji, al-Imamah al-`Uzma, (Riyad: Dar Tayyibah, 1409 H), hlm. 28-29.
ditulis oleh al-Tabari, Jami` al-Bayan `an Ta`wil Ayi al-Qur'an, dan menjadi
rujukan penting bagi penafsir-penafsir setelahnya.
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabari menafsirkan kata "imam" dengan beberapa
versi makna yang berbeda. Secara umum dapat dikelompokkan sebagaimana
berikut:
a. Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
1) Q. s. al-Tawbah (9): 12
أئـمة فقاتلوا دينكم فى وطعنوا هم عهد بعد من أيمانهم نكثوا إن و
ينتهون لعلهم لهم أيمان ال إنهم . الكفر
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.
al-Tabari menafsirkan kata " أئـمة " dalam ayat ini dengan "
الكفر .kepada Allah (pemimpin-pemimpin yang kafir) " رؤساء
Kemudian al-Tabari menambahkan beberapa penjelasan tentang
perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya pemimpin-pemimpin
yang kafir tersebut dengan menukil beberapa riwayat, meskipun al-
Tabari tidak memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut dan
beliau cenderung membiarkan pendapat-pendapat yang ada dalam
riwayat sebagaimana berikut ini:53
a) Riwayat dari Ibn `Abbas
53 Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan 'An Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M), Jilid VI, hlm. 328-331.
, , , حدثنى قال عمى حدثنى قال أبى حدثنى قال سعد بن محمد حدثنى
): عهد, بعد من أيمانهم نكثوا إن و قوله عباس ابن عن أبيه عن أبى
, ,( ): سماهم), المشركين من العهد أهل يعنى ينتهون لعلهم إلى هم
.( الكفر( أئـمة
Meriwayatkan kepadaku Muhammad ibn Sa`d, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku pamanku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dari bapaknya dari Ibn `Abbas tentang firman Allah : (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (agar supaya mereka berhenti), maksudnya adalah "para juru runding perjanjian dari kaum musyrikin".
b) Riwayat dari Qatadah
) : , , , نكثوا إن و قتادة عن سعيد حدثنا يزيدقال حدثنا قال حدثنابشر
: ,( ): ,( أبو الكفر أئمة من فكان ينتهون إلى هم عهد بعد من أيمانهم
, , , , و سفيان أبو و ربيعة بن عتبة و خلف بن أمية و هشام بن جهل
. عمرو بن سهيل
Meriwayatkan pada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan pada kami Sa`id, dari Qatadah: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (mereka berhenti), orang-orang yang termasuk dalam pemimpin-pemimpin yang kafir adalah: "Abu Jahl ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, `Utbah ibn Rabi`ah, Abu Sufyan dan Suhayl ibn `Amr".
c) Riwayat dari al-Suddi
, , , حدثنا قال حجاج حدثنى قال الحسين حدثنا قال القاسم حدثنا
: ,( ) : إلى, هم عهد بعد من أيمانهم نكثوا إن و السدى عن أسباط
. ,( قريش( هؤالء ينتهون
Meriwayatkan kepada kami al-Qasim, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami al-Husayn, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Hajjaj, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Asbat, dari al-Suddi: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji),
sampai pada: (mereka berhenti), "mereka adalah orang-orang Quraysy".
d) Riwayat dari al-Dahhak
, , عبيد حدثنا قال معاذ أبا سمعت قال الفرج بن الحسين عن حدثت
,( ) : يعنى, الكفر أئـمة فقاتلوا قوله فى يقول الضحاك سمعت قال
. , مكة أهل المشركين رؤساء
Saya telah meriwayatkan dari al-Husayn ibn al-Faraj, dia berkata: Saya mendengar Abu Mu`adz, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Ubayd, dia berkata: Saya mendengar al-Dahhak berkata tentang firman Allah : (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), maksudnya "pemimpin-pemimpin kaum musyrikin penduduk kota Mekah".
e) Riwayat dari Huzayfah, , , , وهب بن زيد عن األعمش عن معاوية أبو حدثنا قال وكيع ابن حدثنا
. : ,( ) : بعد األية هذه أهل قوتل ما قال الكفر أئـمة فقاتلوا حذيفة عن
Meriwayatkan kepada kami Ibn Waki`, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Mu`wiyah, dari al-A`masy, dari Zayd ibn Wahb, dari Huzayfah: (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), dia berkata: "Pemimpin-pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini tidak dibunuh".
2) Q. s. al-Isra' (17): 71
فأولئــك بيمينه كتابه أوتي فمن بإمامهم أناس كل ندعوا يوم
. فتيال يظلمون وال كتابهم يقرءون
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Ada perbedaan pendapat tentang makna "إمام " dalam ayat ini. al-
Tabari mengemukakan tiga penafsiran tentang maknanya dengan
mengutip beberapa riwayat, yaitu:54
a) Riwayat dari Mujahid
, , : , عن ليث عن فضيل ثنا قال عى اليربو طلحة بن يحيى حدثنى
. : ( نبيهم ( قال بإمامهم أناس كل ندعوا يوم مجاهد
Meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Talhah al-Yarbu'i, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Fudayl, dari Lays, dari Mujahid: (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: "nabi mereka".
b) Riwayat dari al-Hasan
) , , : , : , يوم الحسن عن قتادة عن سعيد ثنا قال يزيد ثنا قال بشر حدثنا
( بإمامهم أناس كل . ندعوا بأعمالهم: قال
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah, dari al-Hasan (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: "dengan amal perbuatan mereka".
: , , , : , قال قال قتادة عن معمر عن ثور بن محمد ثنا قال محمد حدثنا
. أعمالهم : فيه الذى بكتابهم الحسن
Meriwayatkan kepada kami Muhammad, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Saur, dari Ma`mar, dari Qatadah, dia berkata: al-Hasan mengatakan: yaitu "dengan buku yang di dalamnya terdapat catatan amal perbuatan mereka".
c) Riwayat dari Yahya ibn Zayd
54 Ibid., Jilid VIII, hlm. 115-116.
: , , الله قول فى زيد بن يحيى سمعت قال وهب ابن أخبرنا يونس حدثنى
: ( فيه: ( عليهم أنزل الذى بكتابهم قال بإمامهم أناس كل ندعوا يوم
. فرائضه و نهيه و الله أمر
Meriwayatkan kepadaku Yunus, meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Saya mendengar Yahya ibn Zayd tentang firman Allah : (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: yaitu "kitab suci yang telah diturunkan kepada mereka dan berisi perintah dan larangan serta aturan-aturan Allah".
Dari ketiga riwayat diatas, yang menguraikan makna " همإمام "
sebagai: nabi, amal perbuatan atau kitab suci mereka. Al-Tabari
mengemukakan pandangannya, bahwa makna kata "إمام " yang
paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada hari itu
Kami panggil setiap umat dengan pemimpin-pemimpin yang mereka
ikuti dan mereka jadikan teladan selama di dunia. Karena pada
umumnya, penggunaan kata "imam" dalam bahasa Arab untuk
menunjukkan kepada sesuatu atau seseorang yang diikuti atau
dijadikan teladan. Menurutnya, mengarahkan makna-makna yang ada
di dalam al-Quran kepada pendapat yang paling masyhur itu lebih baik
selama belum ada pendapat yang bisa lebih mengkhususkan tafsiran
makna kata tersebut.
3) Q. s. al-Furqan (25): 74
اجعلنا و أعين قرة ذريتنا و أزواجنا من لنا هب ربنا يقولون ين الذ و
. إماما للمتقين
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa".
Ada perbedaan penafsiran tentang maksud dari kata "imam" yang
terdapat dalam ayat ini. al-Tabari menelusuri beberapa riwayat tentang
perbedaan tersebut, riwayat-riwayat itu antara lain sebagai berikut:55
a) Riwayat dari Ibn `Abbas
, , : , : , ابن عن على عن معاوية ثنى قال صالح أبو ثنا قال على حدثنى
. ( ): بنا, يقتدى ألهله و التقوى أئمة إماما للمتقين اجعلنا و قوله عباس
Meriwayatkan kepadaku `Ali, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Salih, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Mu`awiyah, dari `Ali, dari Ibn `Abbas tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa), maksudnya: "pemimpin-pemimpin yang kami jadikan teladan dari orang-orang yang bertakwa".
b) Riwayat dari Mujahid
, , : , : , نجيح أبى ابن عن عيينة ابن ثنا قال ثنامؤمل قال بشار ابن حدثنا
: ( ) : بمن نقتدى أئمة قال إماما للمتقين اجعلنا و قوله فى مجاهد عن
. بعدنا, لمن أئمة نكون و قبلنا
Meriwayatkan kepada kami Ibn Basysyar, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Mu'mal, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn `Uyaynah, dari Ibn Abu Najih, dari Mujahid tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa) dia berkata: "Pemimpin-pemimpin yang kami jadikan panutan dari orang-orang sebelum kami dan kelak kami menjadi panutan bagi orang-orang setelah kami".
Kemudian al-Tabari menguraikan pendapatnya, bahwa yang
dimaksud ( إماما للمتقين اجعلنا yaitu: permintaan agar Allah ( و
menjadikan diri kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
55 Ibid., Jilid IX, hlm. 424-425.
bukan menjadikan seorang pemimpin dari orang yang bertakwa
sebagaimana pendapat Ibn `Abbas. Beliau menjelaskan dengan analisa
kebahasaan, yang mengikuti pendapat sebagian ahli bahasa dari Kufah dan
Basrah, mengenai kata " إماما " yang berbentuk isim mufrad (tunggal)
namun mengandung makna jamak.
4) Q. s. al -Qasas (28): 5
ونجعلهم أئمة نجعلهم و األرض فى استضعفوا الذبن على نمن أن ونريد
الوارثين.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).
Pada ayat ini, kata " أئمة " diartikan sebagai pemimpin-pemimpin
yang menguasai dan mengurus segala hal. Sebagaimana penafsiran
Qatadah yang menyebutnya dengan " األمر para pemimpin yang ," والة
berasal dari Bani Isra'il.56
5) Q. s. al-Qasas (28): 41
. ينصرون ال القيامة يوم و النار إلى يدعون أئمة هم وجعلنا
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.
Kata "أئمة " pada ayat diatas, menurut al-Tabari, untuk menunjuk
kepada pemimpin-pemimpin yang mengajak kepada kesesatan, mereka
56 Ibid., Jilid X, hlm. 28.
adalah Fir`aun dan kaumnya serta orang-orang yang mengikuti langkah
mereka.57
6) Q. s. al-Sajdah (32): 24
بأياتنا كانوا و صبروا ` لما بأمرنا يهدون أئمة منهم وجعلنا
يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Ayat ini secara gamblang menyatakan, pemimpin-pemimpin yang
diikuti dan dijadikan teladan dari kaum Bani Isra'il, karena ketaatan
mereka kepada Allah dan keyakinan mereka kepada ayat-ayat-Nya .
Sebagaimana riwayat Qatadah menyebutkan:58
بشر, قال:ثنا يزيد, قال: ثنا سعيد, عن قتادة: حدثنا
(. : ( الخير فى رؤساء قال بأمرنا يهدون أئمة منهم وجعلنا
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah: (Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) dia berkata: "Pemimpin-pemimpin dalam kebaikan".
b. Imam (atribut bagi seorang Nabi)
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
للناس جاعلك إنـى قال فأتمهن بكلمات ربه ابراهيم ابتلى إذ و
. الظالمين عهدى الينال قال ذريتى من و قال إماما
Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
57 Ibid., hlm. 75.
58 Ibid., hlm. 250.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
Pengangkatan dan penetapan Allah bagi Nabi Ibrahim sebagai
imam yang diikuti dan dijadikan panutan bagi manusia. al-Tabari
mengemukakan bahwa gelar "imam" yang Allah berikan hanya
diperuntukkan bagi wali-wali Allah dan orang yang taat pada-Nya, bukan
untuk musuh-musuh Allah dan orang-orang kafir.59
2) Q. s. al-Anbiya' (21): 73
و الخيرات فعل إليهم أوحينا و بأمرنا يهدون أئمة هم جعلنا و
. عابدين لنا وكانوا الزكاة إيتاء و الصالة إقام
Dan Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.
Ketika menafsirkan makna kata " أئمة ", al-Tabari mengemukakan
sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah, bahwa mereka adalah imam-
imam yang diikuti dalam kebaikan dan ketaatan. Berdasarkan penjelasan
ayat sebelumnya, nabi-nabi yang diberi gelar "imam" adalah Ibrahim,
Ishaq dan Ya`qub.60
Gelar "imam" bagi nabi-nabi Allah , sebagaimana disebutkan
pada dua ayat di atas, dalam pandangan al-Tabari menjadi atribut khusus
59 Ibid., Jilid I, hlm. 577-578.
60 Ibid., Jilid IX, hlm. 47.
bagi mereka karena menjadi panutan dan teladan manusia disebabkan
perilaku mulia dan ketaatan kepada Allah .
c. Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
1) Q. s. Hud (11): 17
كتاب قبله ومن منه شاهد ويتلوه ربـه من بينة على كان فمن أ
من به يكفر من و به يؤمنون أولئــك رحمة و إماما موسى
من الحق إنه منه مرية فى تك فال موعده فالنار األحزاب
يؤمنون . ال الناس أكثر ولكن ربك
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum al-Qur'an itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat. Mereka itu beriman kepada al-Qur'an. Dan barangsiapa diantara mereka dan sekutunya yang kafir kepada al-Qur'an, maka nerakalah yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur'an itu. Sesungguhnya (al-Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.61
2) Q. s. al-Ahqaf (46): 12
لسانا مصدق كتاب وهذا رحمة و إماما موسى كتاب قبله ومن
. للمحسنين بشرى و ظلموا ين الذ لينذر عربيا
Dan sebelum al-Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai pedoman dan rahmat. Dan ini (al-Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa `Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.62
Pada dua ayat di atas, kata "إماما " mempunyai makna untuk
menunjuk sebuah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa ,
61 Ibid., Jilid VII, hlm. 19-20.
62 Ibid., Jilid XI, hlm. 282-283.
yaitu kitab Taurat, sebagai pedoman bagi Bani Isra'il dan sebagai rahmat
bagi mereka.
d. Ummu al-Kitab
أحصيناه شىء وكل وئاثارهم قدموا ما ونكتب الموت نحى نحن إنا
. مبين إمام فى
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Ummu al-Kitab. [Q. s. Yasin (36): 12]
Mengomentari ayat di atas, al-Tabari mengemukakan, Ummu al-
Kitab merupakan sebuah kitab yang di dalamnya berisi semua hal baik
yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dan ini hanya dimiliki oleh
Allah .63 Sebagaimana sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah berikut
ini:
) , , : , : , وكل قوله قتادة عن سعيد ثنا قال يزيد ثنا قال بشر حدثنا
: ( كان شىء وكل ذكره تعالى يقول مبين إمام فى أحصيناه شىء
. , المبين اإلمام وهو الكتاب أم فى فأثبتناه أحصيناه كائن هو أو
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah tentang firman Allah: (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam imam yang jelas), maksudnya: "Dan segala sesuatu baik yang telah terjadi atau akan terjadi kami kumpulkan, lalu kami tetapkan dalam Ummu al-Kitab dan itulah al-imam al-mubin.
e. Jalan
Penafsiran al-Tabari terhadap kata "imam" dengan makna "jalan"
hanya terdapat di satu tempat, yaitu pada surat al-Hijr (15): 79.
63 Ibid., Jilid X, hlm. 429-430.
. مبـين لبإمام إنهما و منهم فانتقمنا
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.
Jalan yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan yang
dipergunakan oleh sebuah kaum dalam perjalanan mereka. Sebagaimana
Qatadah mengemukakan hal tersebut.64
, : , : , الحارث بن عمرو أخبرنا قال وهب ابن أخبرنا قال يونس حدثنى
: , , , قال أنه قتادة عن الله عبد بن عمرو عن هالل أبي بن سعيد عن
:( ), , :( لبإمام( لوط قوم ومدينة األيكـة أصحاب مدينة إن و وإنهما
. به يهتدون و سفرهم فى به يأتمون لبطريق
Meriwayatkan kepadaku Yunus, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Amr ibn al-Haris, dari Sa`id ibn Abi Hilal, dari `Amr ibn `Abd Allah, dari Qatadah, dia berkata: (Dan sesungguhnya kedua kota itu): yaitu kota penduduk Aykah dan kota kaum Lut, (sungguh terletak di jalan): yaitu jalan yang mereka jadikan arah dan pedoman dalam perjalanan mereka.
Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabari terhadap kata "
yang terdapat di dalam al-Qur'an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa "إمام
versi makna, yaitu: a) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan,
terdapat pada: [Q. s. al-Tawbah (9): 12], [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q.s. al-Furqan
(25): 74], [Q. s. al- Qasas (28): 5 dan 41], [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; b) Imam
(atribut bagi seorang nabi), terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-
Anbiya' (21): 73]; c) Kitab pedoman bagi sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud
(11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf (46): 12]; d) Ummu al-Kitab, terdapat pada [Q. s.
64 Ibid., Jilid VII, hlm. 530-531.
Yasin (36): 13; dan juga bermakna; e) Jalan, sebagaimana terdapat pada [Q. s. al-
Hijr (15): 79].
2. Penafsiran al-Tabataba'i tentang Makna "Imam"
Dalam pandangan Syi`ah, imam atau imamah, termasuk tema pokok dari
ajaran ini dan menjadi salah satu dari rukun iman yang jika seseorang
mengingkari hal ini maka berarti orang tersebut telah meninggalkan ke-Islaman-
nya.65
al-Tabataba'i, sebagai salah seorang mufassir dari kalangan Syi`ah,
memiliki pandangan-pandangan yang begitu kental dengan latar belakang
teologisnya. Dalam kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, dibahas secara
panjang lebar tema "imam". Menurutnya, sebuah organisasi yang ditegakkan di
sebuah negeri untuk mengatur masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan
tidaklah berjalan secara otomatis. Selama tidak ada individu-individu yang
memiliki kemampuan mengelola, maka organisasi tersebut tidak akan bisa hidup,
dan masyarakat tidak akan menikmati buah pemerintahan yang baik. Posisi
kepemimpinan dalam masalah-masalah kea gamaan dan masyarakat Islam dikenal
dengan istilah "imamah" dan pemegang posisi tersebut dinamakan "imam".66
65 Rukun iman menurut faham Syi`ah adalah: Pertama; Percaya kepada ke-Esa-an Allah, Kedua; Percaya kepada keadilan, Ketiga; Percaya kepada kenabian, Keempat; Percaya kepada Imamah, Kelima; Percaya kepada hari Ma`ad/Kiamat. Lihat pada: Irfan Zidny, Bunga Rampai Ajaran Syi`ah dalam kumpulan makalah “Seminar Sehari tentang Syi`ah”, (Jakarta: LPPI, 2000), hlm. 30-31.
66 Muhammad Husayn al-Tabataba'i (selanjutnya disebut: al-Tabataba'i), Inilah Islam, Upaya memahami Seluruh KonsepIslam Secara Mudah, terjemahan: Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 115.
Di antara makna "imam", sebagaimana dikemukakan al-Tabataba'i, untuk
maksud seorang pengganti Nabi dalam mengemban risalah menegakkan budaya
dan hukum-hukum agama dan membimbing umat manusia di jalan kebenaran.
Secara umum penafsiran al-Tabataba'i terhadap kata "imam" di dalam al-Qur'an
dapat dikelompokkan dalam beberapa versi makna, antara lain:
a. Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
Di dalam al-Qur'an ada dua ayat yang memiliki susunan redaksi sama
yang menyebut kata "إماما " dengan makna kitab pedoman bagi sebuah
kaum, sebagaimana disebutkan pada surat Hud (11): 1767 dan surat al-Ahqaf
(46): 12:68 ( رحمة و إماما موسى كتاب قبله .( ومن
Kata "إماما " pada potongan ayat di atas, berkedudukan sebagai hal69
untuk menjelaskan posisi Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa
dan dijadikan pedoman dan petunjuk setiap amal perbuatan kaum Bani Isra'il.
b. Jalan yang jelas
Menurut al-Tabataba'i, kata " إمام " yang terdapat pada al-Qur'an surat al-
Hijr (15): 79, berarti jalan yang jelas ( مبـين لبإمام إنهما و منهم .( فانتقمنا
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.
Allah menjelaskan perilaku buruk dan kezaliman yang dilakukan
penduduk kota Ashab al-Aykah, sebutan bagi kaum Nabi Syu`ayb dan kaum
Nabi Lut , lalu Allah membinasakan mereka semua. al-Tabataba'i
67 al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Matbu’ah, 1393 H/ 1973 M), Jilid X, hlm. 177-178.
68 Ibid., Jilid XVIII, hlm. 200.
69 Sifat yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan isim (kata benda).
mengemukakan bahwa letak kedua kota tersebut berada di sepanjang jalan
antara kota Madinah dan negeri Syam.70
c. al-Lawh al-Mahfud
Di dalam al-Qur'an surat Yasin (36): 12, disebutkan kata " إمام " yang
ditafsirkan dengan makna al-Lawh al-Mahfud, yang merupakan sebuah kitab
berisi ketetapan-ketatapan Allah bagi makhluk-Nya dan segala hal yang
ada di alam semesta ini. Menurut al-Tabataba'i, kitab ini juga memiliki
beberapa nama lain seperti: Ummu al-Kitab, al-Kitab al-Mubin, atau al-Imam
al-Mubin. Namun al-Tabataba'i menolak pendapat yang menafsirkan kata "
dengan makna "catatan amal perbuatan manusia" atau pendapat yang " إمام
menyatakan bahwa " المبين ,adalah pengetahuan Allah yang terdahulu " اإلمام
karena dua pandangan ini tidak sesuai dengan sifat al-Lawh al-Mahfud,
sebagaimana yang telah beliau kemukakan.71
d. Contoh dalam kebaikan
Pada surat al-Furqan (25): 74, ( إماما للمتقين اجعلنا al-Tabataba'i ,( و
menerjemahkan kata "imam" dengan makna "contoh". Tema ayat ini
mengisahkan sifat orang-orang yang mendapat kemuliaan, mereka memohon
agar Allah menjadikan mereka sebagai contoh bagi orang-orang bertakwa
dalam hal mencari kebaikan dan rahmat Allah , sehingga orang-orang
bertakwa tersebut mau mengikuti mereka.72
70 al-Tabataba'i, op. cit., Jilid XII, hlm. 185.
71 Ibid., Jilid XVII, hlm. 67-68.
72 Ibid., Jilid XV, hlm. 243-244.
Sebuah qira'at yang berasal dari ahl al-Bayt menyebutkan redaksi
yang berbeda, إماما المتقين من لنا اجعل Dan jadikanlah untuk kami) و
seorang (figur) contoh dari orang-orang yang bertakwa). Namun, menurut al-
Tabataba'i, qira'at ini dianggap tidak masyhur di kalangan umat Islam.73
e. Yang awal atau depan
1) Q. s. al-Tawbah (9): 12
Orang-orang yang awal atau lebih dahulu dalam bersikap kafir
dengan apa yang telah Allah , inilah makna kata " أئمة " yang
dipergunakan al-Tabataba'i ketika membahas ayat yang terdapat pada surat
ini.
فقاتلوا دينكم فى وطعنوا هم عهد بعد من أيمانهم نكثوا إن وينتهون لعلهم لهم أيمان ال إنهم الكفر . أئـمة
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.
Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata " الكفر bagi " أئمة
orang-orang yang paling awal atau terdahulu dalam ke-kufur-an kepada
ayat-ayat Allah sehingga orang-orang mengikuti jejak mereka dalam
kekafiran. Perintah untuk membunuh mereka dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengehentikan perilaku buruk mereka berupa melanggar janji dan
kesepakatan yang telah dibuat.
73 Ibid., hlm. 247.
al-Tabataba'i menyebutkan beberapa riwayat, di antaranya yang
berasal dari `Ali ibn Abi Talib tentang orang-orang yang termasuk ke
dalam kelompok " الكفر : " أئمة
قصي بنى مؤذن عثمان أبى عن بإسناده المفيد أمالى فى و
طالب: أبى علىبن سمعت على قال والزبير طلحة خرج حين
, مكرهين: غير طائعين بايعاني والزبير طلحة من الله عذرنى قتاله
) : نكثوا إن و األية هذه تال ثم حدثته حدث غير من بيعتى نكثا ثم
الكفر أئـمة فقاتلوا دينكم فى وطعنوا هم عهد بعد من أيمانهم
ينتهون ). لعلهم لهم أيمان ال إنهم
Dalam kitab Amali al-Mufid dengan sanadnya dari Abu `Usman, muazzin Bani Qusay berkata: Saya mendengar `Ali ibn Abi Talib, ketika Talhah dan al-Zubayr akan membunuhnya, berkata: Allah telah memperingatkan saya tentang Talhah dan al-Zubayr, keduanya telah ber-bay`at untuk taat dan tidak melanggarnya tapi kemudian keduanya merusak bay`at tanpa memberitahukan sebagaimana aku telah mengatakannya, kemudian membaca ayat ini: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti).
2) Q. s. al-Qasas (28): 41
Menurut al-Tabataba'i, makna kata " أئمة " pada ayat ini adalah
orang-orang yang paling awal dan terdahulu dalam kesesatan dan diikuti
oleh orang-orang setelahnya dalam perilaku kafir serta berbuat maksiat
kepada Allah . al-Tabataba'i mengutip sebuah riwayat dari kitab al-Kafi,74
sebagaimana berikut:75
الله عبد أبي عن زيد بن طلحة : عن كتاب في األئمة إن قال
. الله الله قال بأمر : ( ) إمامان ال بأمرنا يهدون أئمة هم جعلنا و
. قال حكمهم قبل الله حكم و أمرهم قبل الله أمر يقدمون :الناس
الله( ) أمر قبل أمرهم يقدمون النار إلى يدعون أئمة هم وجعلنا
كتاب فى ما خالف بأهوائهم يأخذون و الله حكم قبل حكمهم و
.الله
Dari Talhah ibn Zayd, dari Abu `Abd Allah dia berkata: Sesungguhnya imam di dalam al-Qur'an terbagi dua. Allah berfirman: (Dan Kami jadikan imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) bukan dengan perintah manusia, mereka mendahulukan perintah Allah daripada perintah manusia dan hukum Allah daripada hukum manusia. Dia berkata: (Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang menyeru (manusia) ke neraka) mereka mendahulukan perintah manusia daripada perintah Allah dan hukum manusia daripada hukum Allah dan menggunakan hawa nafsu mereka yang menyelisihi al-Qur'an.
f. Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan dan keburukan
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabataba'i menafsirkan kata "imam" dengan
makna pemimpin yang diikuti apakah dalam kebaikan ataupun keburukan,
pada tiga ayat yang berbeda, yaitu:
1) Q. s. al-Isra' (17): 71
فأولئــك بيمينه كتابه أوتي فمن بإمامهم أناس كل ندعوا يوم
. فتيال يظلمون وال كتابهم يقرءون
74 Kitab al-Kafi merupakan kitab rujukan pokok dalam bidang hadis bagi kalangan Syi`ah.
75 al-Tabataba'i, op. cit., hlm. 38-40.
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Yang dimaksud kata إمام , dalam ayat ini adalah pemimpin. Pada
hari kiamat, Allah akan memanggil setiap manusia bersama orang-orang
yang mereka jadikan pemimpin. Ada dua tipe pemimpin yang dijadikan
panutan, yaitu pemimpin dalam kebaikan dan pemimpin dalam kesesatan.
al-Tabataba'i menolak pendapat yang menafsirkan kata "imam" dalam
ayat ini dengan makna nabi yang menjadi pemimpin setiap umat, karena
seseorang yang dijadikan panutan bukan hanya dalam kebenaran tapi juga
bisa dalam kesesatan.76
Ada beberapa versi penafsiran dalam memahami kata "imam"
dalam ayat ini, antara lain:
a) Kitab suci yang dijadikan pedoman, seperti Taurat, Injil
dan al-Qur'an.
b) Nabi atau setan, jika nabi mengajak di jalan yang benar
maka setan mengajak pada kesesatan.
c) Buku catatan amal perbuatan manusia.
d) Ibu-ibu mereka, karena kata إمام dengan kata األم (ibu),
memiliki akar kata yang sama.
e) Segala sesuatu yang diikuti baik dalam kebenaran ataukah
kesesatan. Makan ini lebih bersfat umum, karena apa saja yang diikuti
76 Ibid., Jilid XIII, hlm. 163-165.
maka dia lah yang akan menjadi "imam", seperti: nabi, wali, setan,
agama, buku yang dijadikan pedoman ataupun pola hidup yang
dijalani.
Uraian di atas menggambarkan keluasan pemahaman al-Tabataba'i
tentang penafsiran-penafsiran yang berbeda pada sebuah ayat. Namun
demikian, al-Tabataba'i cenderung memahami makna "imam" dalam ayat
ini dengan makna pemimpin yang diikuti. Hal ini sesuai dengan riwayat
yang berasal dari jalur sanad Ahl al-Bayt:
الله عبد أبي عن همام بن إسماعيل : (عن يوم الله قول فى
: قال ) القيامة يوم كان إذا فال بإمامهم أناس كل ندعوا
: قالوا: ؟ تولوا من قوم كل يولوا أن ربكم من العدل أليس الله
. : فيتميزوا. تميزوا فيقول بلى
Dari Isma`il ibn Hammam, dari Abu `Abd Allah tentang firman Allah: (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka) dia berkata: Pada hari kiamat kelak, Allah berkata: Bukankah keadilan itu dari Tuhan kamu semua agar setiap kamu menyerahkan urusan pada orang yang memimpin mereka? Mereka menjawab: Benar. Maka Allah berkata: Berpencarlah kamu semua, maka mereka berpencar secara berkelompok.
Panggilan Allah pada hari kiamat tidak hanya memanggil nama-
nama pemimpin mereka saja, namun juga menghadirkan pemimpin-
pemimpin tersebut.
2) Q. s. al-Qasas (28): 5
أئمة نجعلهم و األرض فى استضعفوا الذبن على نمن أن ونريد
. الوارثين ونجعلهم
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).
Menurut al-Tabataba'i, kata " أئمة " pada ayat ini untuk menunjuk
pemimpin-pemimpin yang dipilih Allah bagi orang-orang yang tertindas
(Bani Isra'il). Karunia yang diberikan Allah bagi kaum Bani Isra'il berupa
kenikmatan dan keselamatan dari penindasan Fir`awn dan bala
tentaranya.77
Sebuah riwayat yang berasal dari kalangan Syi`ah menjelaskan
makna yang terkandung dalam ayat ini:78
: عبد أبا سمعت قال عمر بن المفضل عن سنان بن محمد عن
: الله الله رسول إن والحسين يقول والحسن على إلى نظر
. : قال بعدى المستضعفون أنتم وقال فبكى السالم عليهم
, : : إن: بعدى األئمة أنكم معناه قال ذلك؟ معنى ما له فقلت المفضل
:( الله و األرض فى استضعفوا الذبن على نمن أن ونريد يقول
( يوم إلى فينا جارية اآلية فهذه الوارثين ونجعلهم أئمة نجعلهم
القيامة.
Dari Muhammad ibn Sinan, dari al-Mifdal ibn `Umar, dia berkata: Saya mendengar Abu `Abd Allah berkata: Sesungguhnya rasul Allah melihat kepada `Ali, al-Hasan dan al-Husayn lalu dia menangis seraya berkata: Kamu semua adalah orang-orang yang tertindas pada masa setelahku. Al-Mifdal berkata: Saya bertanya kepada Abu `Abd Allah: Apa maksud hal tersebut? Dia menjawab: Maksudnya kamu semua menjadi imam-imam setelahku, karena Allah berfirman: (Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar'il) di bumi itu dan Kami
77 Ibid., Jilid XVI, hlm. 8-10.
78 Ibid., hlm. 14-15.
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi)), dan ayat ini berlaku bagi kami sampai hari kiamat.
Dalam riwayat di atas, al-Tabataba'i menambahkan penafsiran dari
kalangan Ahl al-Bayt, bahwa ada imam-imam dari kalangan Syi`ah yang
mendapatkan penindasan namun mereka dipilih Allah untuk menjadi
pemimpin-pemimpin yang diikuti.
3) Q. s. al-Sajdah (32): 24
Senada dengan bahasan yang terdapat pada surat al-Qasas (28): 5.
Dalam ayat ini, al-Tabataba'i mengemukakan tentang pengangkatan
pemimpin yang mengajak kaumnya kepada kebaikan. Karena Allah akan
menjadikan pemimpin-pemimpin yang berasal dari kalangan mereka
sendiri (Bani Isra'il), yaitu pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat sabar
dan memegang keyakinannya dengan ayat-ayat Allah .
بأياتنا كانوا و صبروا ` لما بأمرنا يهدون أئمة منهم وجعلنا
يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
g. Gelar "imam", bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang ujian-ujian kepada
Nabi Ibrahim , sebagaimana disebutkan dengan menggunakan redaksi: و
بكلمات ربه ابراهيم ابتلى Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji) إذ
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)). Di antara
ujian yang dibebankan kepada Nabi Ibrahim antara lain: membangun
Ka'bah, membersihkan Ka'bah dari kesirikan, mengorbankan Isma`il, dan
menghadapi raja Namruz. Kemudian diikuti dengan kata " فأتمهن " yang
membuktikan selesainya semua ujian yang dibebankan kepada Nabi
Ibrahim tersebut.
Menurut al-Tabataba'i, ayat ini menjadi tanda tentang anugerah
Allah kepada Nabi Ibrahim berupa pemberian status "imam". Gelar ini
diperoleh Ibrahim Ibrahim pada masa-masa akhir dari kehidupannya,
yaitu setelah kelahiran Isma'il dan Ishaq serta mereka tinggal di Mekah.
Sehingga susunan redaksi ayat tersebut menyatakan:
ذريتى من و قال إماما للناس جاعلك إنـى قال
Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia. Ibrahim berkata: (Dan Saya mohon juga) dari keturunanku.
Kata "إماما " sebagai gelar bagi nabi karena dijadikan teladan dan
manusia mengikuti dan malaksanakan ajaran-ajaran yang disampaikan
Nabi Ibrahim .79
Dalam bahasan "imam" ini, al-Tabataba'i merumuskan beberapa
hal penting yang menjadi keyakinan kalangan Syi`ah, rumusan tersebut
antara lain:80
a) Gelar "imam" merupakan pemberian dari Allah.
79 Ibid., Jilid I, hlm. 262-270.
80 Ibid., hlm. 272. Lihat juga: al-Tabataba'i, Inilah Islam, Upaya memahami Seluruh KonsepIslam Secara Mudah, op. cit., hlm 120.
b) Seorang "imam" wajib bersifat ma`sum (terbebas dari dosa
dan maksiat).
c) Selama manusia berada di muka bumi, keberadaan seorang
"imam" merupakan sebuah keniscayaan.
d) Seorang "imam" ditentukan oleh Allah.
e) Seorang "imam" dapat mengetahui perbuatan-perbuatan
manusia.
f) "Imam" perlu mengetahui segala sesuatu yang berkaitan
dengan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk kebahagiaan mereka di
dunia dan akherat.
g) Seorang "imam" harus melebihi manusia biasa dalam
keutumaan moral.
Uraian di atas menegaskan bahwa maqam tertinggi dari seorang
manusia adalah ketika dia menjadi seorang "imam". al-Tabataba'i
menyebutkan sebuah riwayat yang berasal dari Ja`far al-Sadiq, salah
seorang "imam" kalangan Syi`ah, sebagaimana berikut:81
الصادق الله : عن , إن و نبيا يتخذه أن قبل عبدا إبراهيم اتخذ
, رسوال اتخذه الله إن و رسوال يتخذه أن قبل نبيا اتخذه الله إن
, , إماما يتخذه أن قبل خليال اتخذه الله إن و خليال يتخذه أن قبل
( ) : قال إماما للناس جاعلك إنـى قال األشياء له جمع فمن: فلما
) : عهدى ينال ال قال ذريتى من و قال إراهيم عين فى عظمها
. : التقي) إمام السفيه يكون ال قال الظالمين
81 Ibid., Jilid I, hlm 272.
Dari al-Sadiq: Sesungguhnya Allah menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum menjadikannya seorang nabi, dan Allah menjadikannya nabi sebelum menjadikannya seorang rasul, lalu Allah menjadikannya rasul sebelum menjadikannya seorang kekasih, kemudian Allah menjadikannya kekasih sebelum menjadikannya seorang imam, dia berkata: (Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu seorang imam bagi manusia), dan inilah (status "imam") yang terbesar dalam diri Ibrahim, al-Sadiq berkata: (Dan dari anak keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim) orang bodoh tidaklah menjadi imam bagi orang yang bertakwa.
2) Q. s. al- Anbiya' (21): 73
Kata " أئمة " dalam ayat ini, merupakan bentuk pernyataan Allah
bahwa Dia akan mengangkat nabi-nabi sebagai "imam" yang diikuti dan
dijadikan teladan. Khususnya adalah nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub,
sebagaimana disebutkan dalam redaksi ayat:82
بأمرنا يهدون أئمة وجعلناهم
Dan Kami menjadikan mereka (Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub) sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.
Redaksi ayat " بأمرنا أئمة " yang disebutkan setelah kata "يهدون
" menjelaskan keberadaan imam-imam yang ditunjuk Allah, ketika
melakukan aktivitas kebaikan memperoleh hidayah langsung dari Allah,
sehingga seorang "imam" pasti bersifat ma`sum dari kesesatan dan dosa-
dosa maksiat.83
Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabataba'i terhadap kata "
-baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, yang terdapat di dalam al ,"إمام
82 Ibid., Jilid XIV, hlm. 304.
83 Ibid., Jilid I, hlm. 269.
Qur'an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa versi makna, yaitu: a) Kitab
pedoman sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud (11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf
(46): 12]; b) Jalan yang jelas, terdapat pada: [Q. s. al-Hijr (15): 79]; c) al-Lawh al-
Mahfud, terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12]; d) Contoh dalam kebaikan, terdapat
pada: [Q. s. al-Furqan (25): 74]; e) Yang awal atau depan, terdapat pada: [Q. s. al-
Tawbah (9): 12] dan [ Q. s. al-Qasas (28): 41]; f) Pemimpin yang diikuti dalam
kebaikan atau keburukan, terdapat pada: [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q. s. al-Qasas
(28): 5] dan [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; g) Gelar "imam" , bagi nabi-nabi dan
penerus risalah kenabian, terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124] dan [Q. s. al-
Anbiya' (21): 73].
C. Analisa Komparatif Penafsiran "Imam"
Penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata "imam"
dari dua mufassir dengan latar belakang pola pemikiran yang berbeda
menghasilkan pandangan-pandangan yang sama di satu sisi, namun di sisi lain
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut di antaranya disebabkan oleh perbedaan
orientasi penafsiran yang berbeda atau kerena terpengaruh dengan spesialisasi
keilmuan sang mufassir.84
Melihat begitu luasnya ruang lingkup dan wilayah kajian yang akan
dibahas. Penelitian ini berusaha menganalisa persamaan dan perbedaan penafsiran
84 Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 65-68. `Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu'i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 30-31.
Muhammad ibn Jarir al-Tabari dan Muhammad Husayn al-Tabataba'i terhadap
ayat-ayat yang menyebutkan kata "imam".
1. Persamaan Penafsiran "Imam" antara al-Tabari dan al-Tabataba'i
a. Persamaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dua karya tafsir besar, Muhammad ibn Jarir al-Tabari dengan
karyanya Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-Qur'an dan Muhammad
Husayn al-Tabataba'i dengan karyanya al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an,
memiliki beberapa persamaan. Keduanya menggunakan metode
penafsiran yang sama yaitu metode tahlili,85 namun keduanya memiliki
orientasi dan corak penafsiran yang berbeda, maka hasil penafsirannya
pun berbeda.
Persamaan yang lain, misalnya dalam penggunaan riwayat dan
penjelasan tata bahasa, namun dengan porsi yang berbeda. Sebagian besar
penafsiran al-Tabari dengan mengutip riwayat-riwayat yang berasal dari
sahabat atau generasi sesudahnya. Sedangkan al-Tabataba'i hanya
memilih riwayat-riwayat yang mutawatir dari Nabi atau imam-imam Ahl
al-Bayt.
b. Persamaan dari Aspek Substansi Penafsiran
Ada persamaan dari aspek substansi antara penafsiran al-Tabari dan
al-Tabataba'i terhadap kata "imam" di dalam al-Qur'an. Persamaan
tersebut ada pada beberapa ayat, antara lain:
85 Metode tafsir tahlili adalah metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya serta menerangkan maknanya sesuai dengan keahlian mufassir, dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Lihat: `Abd al-Hayy al-Farmawi, ibid., hlm. 12.
1) Q. s. Yasin (36): 12
Ketika menguraikan makna "imam" yang terdapat dalam ayat
ini, baik al-Tabari dan al-Tabataba'i menerjemahkannya dengan
sebuah kitab yang memuat dan mencatat segala sesuatu di alam
semesta ini dan hanya dimiliki Allah . Kitab tersebut dinamakan
Ummu al-Kitab atau al-Lawh al-Mahfud.
2) Q. s. al-Hijr (15): 79
Kedua mufassir sama-sama menafsirkan kata "imam" yang
terdpat dalam ayat ini dengan makna "jalan". Jalan yang menunjukkan
letak keberadaan kota penduduk Ashab al-Aykah dan kota kaum Nabi
Lut .
3) Q. s. Hud (11): 17 dan Q. s. al-Ahqaf (46): 12
Baik al-Tabari maupun al-Tabataba'i menafsirkan "imam"
pada ayat ini dengan makna "pedoman". Sebuah kitab pedoman yang
diturunkan kepada Nabi Musa , yaitu kitab al-Taurat.
4) Q. s. al-Isra (17): 71; Q. s. al-Qasas (28): 5 dan Q. s.
al-Sajdah (32): 24
Makna kata "imam" yang terdapat pada ketiga ayat ini adalah
"pemimpin". Namun, yang terdapat pada surat al-Isra (17): 71, disifati
dengan pemimpin yang diikuti oleh sebuah kaum baik dalam
kebenaran atau kesesatan. Sedangkan dua ayat yang lain, baik al-
Tabari maupun al-Tabataba'i, menjelaskan tentang pemimpin dalam
kebaikan yang Allah tunjuk dari kaum Bani Isra'il.
Berdasarkan uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki
kesamaan pandangan ketika menafsirkan kata "imam" dan
bentukannya yang terdapat dalam al-Qur'an pada tujuh ayat, yaitu
"imam" yang bermakna: Ummu al-Kitab, jalan, kitab pedoman dan
pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
Adanya persamaan pandangan kedua mufassir dilatarbelakangi
oleh kesamaan ayat-ayat yang dibahas dan secara kebetulan akar
permasalahan yang diangkat juga sama meskipun cara
pengungkapannya sedikit berbeda sesuai dengan sudut pandang dan
latar belakang pola pikir masing-masing.
2. Perbedaan Penafsiran "Imam" antara al-Tabari dan al-Tabataba'i
a. Perbedaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dari pembahasan mengenai makna "imam" menurut penafsiran al-
Tabari dan al-Tabataba'i, disamping ada kesamaan penafsiran tetapi ada
beberapa perbedaan yang nyata antara kedua mufassir tersebut.
al-Tabari, seorang mufassir dari generasi salaf berbeda dengan al-
Tabataba'i yang termasuk dalam mufassir generasi khalaf. Dalam kitab
tafsirnya, Jami` al-Bayan `an Ta'wil Ayi al-Qur'an, al-Tabari
menggunakan metode tahlili yang menafsirkan al-Qur'an berdasarkan
susunan mushafi. Orientasi penafsiran yang dipergunakannya merupakan
gabungan orientasi penafsiran bi al-ma'sur dan bi al-ra'y, meskipun
orientasi penafsiran bi al-ma'sur lebih dominan.
Penggunaan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an menjadi
salah satu kekhasan al-Tabari dibandingkan dengan ulama-ulama tafsir
yang lain. Ketika menyajikan riwayat, al-Tabari selalu menyebutkan jalur
periwayatan secara lengkap dan berurutan meskipun sikapnya terhadap
riwayat yang dia kutip berbeda-beda. Terkadang al-Tabari memberikan
kritikan, penilaian serta analisanya terhadap riwayat tersebut, atau memilih
dari beberapa riwayat yang sekiranya bertentangan, namun tidak jarang al-
Tabari seolah-olah membiarkan riwayat-riwayat tersebut. Sikap kritis al-
Tabari terhadap sebagian riwayat yang diterimanya ini, terutama bila
riwayat-riwayat itu berkaitan dengan persoalan yaang bertentangan
dengan prinsipnya.86 Dari dua belas ayat di dalam al-Qur'an yang
menyebutkan kata "imam", pada sembilan ayat al-Tabari menafsirkannya
dengan menggunakan riwayat.
Dalam pandangan al-Tabari, tafsir yang baik haruslah
memperhatikan apa yang disampaikan sahabat Nabi dan generasi-
generasi sesudahnya, sehingga rujukan riwayat yang sering dipergunakan
al-Tabari adalah riwayat yang berasal dari generasi-generasi tersebut.
86 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra'illiyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 118.
Misalnya: Ibn `Abbas,87 Qatadah,88 Mujahid,89 al-Dahhak, Huzayfah, al-
Hasan al-Basri,90 dan Bisyr.
Namun demikian, bukan berarti al-Tabari meninggalkan ra'y sama
sekali. Beliau juga menggunakan ra'y ketika menafsirkan al-Qur'an,
misalnya ketika menafsirkan "imam" yang terdapat pada surat Hud (11):
17 dan surat al-Ahqaf (46): 12 dengan menggunakan analisa bahasa. al-
Tabari menguraikan bahwa kata "imam" pada dua ayat ini dalam bentuk
mansub karena sebagai hal untuk menjelaskan kitab al-Tawrat yang
menjadi pedoman bagi kaum Bani Isra'il. Contoh yang lain adalah ketika
ia memilih pendapat yang paling tepat dalam pandangannya dengan
menggunakan analisa bahasa dari tiga riwayat yang berbeda dalam
menafsirkan kata "imam" pada surat al-Isra (17): 71.
87 Ibn `Abbas memiliki nama lengkap `Abd Allah ibn `Abbas ibn `Abd al-Mutalib ibn Hasyim ibn `Abd Manaf al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman Nabi . Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah dan termasuk salah seorang mufassir dari kalangan sahabat. Ibn Mas`ud memuji Ibn `Abbas dengan menyatakan: "Sebaik-baik turjuman (penerjemah) al-Qur'an adalah Ibn `Abbas yang tidak ada bandingannya". Lihat: Muhammad ibn Salih al-`Usaimin, Dasar-Dasar Penafsiran al-Qur'an, alih bahasa: Said Agil Husayn A. dan Ahmad Rifqi Mukhtar, (Semarang: Dina Utama, 1989 M), hlm. 45-46. Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 66-71.
88 Qatadah mempunyai nama lengkap Qatadah ibn Di`amah al-Sadusi al-Basri. Lahir dalam keadaan buta pada tahun 61 H dan wafat pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun. Beliau memiliki keuletan dalam menuntut ilmu dan mempunyai daya ingat yang begitu kuat dan termasuk mufassir dari generasi tabi`in. Lihat: al-`Usaimin, ibid.,hlm. 47. al-Zahabi, ibid., hlm. 127-128.
89 Mujahid mempunyai nama lengkap Mujahid ibn Jabr al-Makki. Dilahirkan pada tahun 21 H. Belajar tafsir al-Qur'an kepada Ibn `Abbas. Imam Syafi`I dan Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya banyak mengambil penafsiran Mujahid. Beliau sezaman dengan Qatadah dan menjadi salah satu ahli tafsir dari generasi tabi`in. Lihat: al-`Usaimin, ibid., hlm. 46-47. al-Zahabi, ibid., hlm. 106-107.
90 Al-Hasan al-Basri memiliki nama lengkap al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Basri Maula al-Ansar. Termasuk ahli tafsir dari generasi tabi`in. Para penulis al-Kutub al-Sittah banyak berpedoman pada penafsiran al-Hasan. Beliau wafat pada tahun 110 H pada usia 88 tahun. Lihat: al-Zahabi, ibid., hlm. 126.
Adapun kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an karya Muhammad
Husayn al-Tabataba'i merupakan tafsir dari generasi khalaf, dengan
orientasi bi al-ra'y dan bercorak al-falsafi. Hal ini terlihat ketika
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, al-Tabataba'i sering membuat bab khusus
berjudul "Bahsun Falsafi" pada setiap kumpulan beberapa ayat yang dia
tafsirkan.91
Dengan latar belakang teologisnya yang Syi`ah, al-Tabataba'i
banyak memasukkan pandangan-pandangan Syi`ahnya ketika menafsirkan
al-Qur'an. Misalnya ketika menguraikan makna "imam" yang terdapat
pada surat al-Baqarah (2): 124, secara panjang lebar beliau menjelaskan
hal-hal yang terkait dengan imam dalam pandangan Syi`ah yaitu imam-
imam Ahl al-Bayt.
Penyajian riwayat juga dilakukan al-Tabataba'i, selama riwayat
tersebut berasal dari Nabi atau imam-imam kalangan Syi`ah.92 Seperti
penafsiran yang terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12], [Q. s. al-Qasas (28):
5 dan 41], [Q. s. al-Isra (17): 71] dan [Q. s. al-Baqarah (2): 124].
Penguasannya terhadap ilmu Bahasa Arab juga terlihat ketika beliau
berusaha menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan analisa
91 al-Zahabi berkomentar tentang al-Tafsir al-Falsafi, sebagaimana dikutip al-Farmawi, bahwa di antara para filosof belum ada yang mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur'an secara lengkap. Walaupun begitu, menurut penulis, termasuk kekhasan al-Tabataba'i dalam kitab tafsirnya adalah penyajian bahasan-bahasan kefilsafatan yang tidak akan ditemukan pada kitab-kitab tafsir lain. Lihat: al-Farmawi, op. cit., hlm. 20-21. `Ali al-Awsi, dalam "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Mu'assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/1973 M), Jilid I.
92 Dalam pandangan Syi`ah, riwayat atau hadis adalah keterangan-keterangan yang berasal dari orang-orang yang ma`sum, yaitu Nabi Muhammad dan imam-imam. Riwayat-riwayat tersebut dikategorikan ke dalam: Sahih, Hasan, Musaqah, dan Da`if. Lihat: H. M. Nabhan Husayn, Tinjauan Ahl al-Sunnah terhadap Faham Syi`ah tentang al-Qur'an dan al-Hadis dalam kumpulan makalah "Seminar Sehari tentang Syi`ah", (Jakarta: LPPI, 2000), hlm. 99-100.
bahasa. Seperti yang terdapat pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf
(46): 12.
b. Perbedaan dari Aspek Substansi Penafsiran
Perbedaan pandangan antara al-Tabari dan al-Tabataba'i dari aspek
substansi penafsiran dapat dikaji pada ayat-ayat berikut:
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, al-Tabari menjelaskan tentang gelar "imam"
yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim , juga akan diberikan kepada
wali-wali dan orang-orang yang taat pada Allah bukan untuk
mausuh-musuh Allah dan orang-orang kafir. Orang-orang yang taat
kepada Allah selain Nabi pun bisa menjadi seorang "imam" yang
diikuti dan dijadikan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Menurut al-Tabataba'i, "imam" yang dimaksud dalam ayat ini,
selain menjadi gelar bagi Nabi Ibrahim juga dianugerahkan Allah
kepada imam-imam yang ada pada kalangan Syi`ah yaitu dua belas
imam yang ditunjuk oleh Allah untuk melanjutkan risalah kenabian
setelah wafatnya nabi Muhammad , dan imam-imam tersebut wajib
ditaati dan dijadikan teladan seperti halnya nabi-nabi.93
2) Q. s. al-Anbiya (21): 73
93 Yang termasuk dua belas imam Syi`ah yaitu: 1) Imam `Ali ibn Abi Talib; 2) Imam al-Hasan; 3) Imam al-Husayn; 4) Imam `Ali Zayn al-`Abidin; 5) Imam Muhammad al-Baqir; 6) Imam Ja`far al-Sadiq; 7) Imam Musa al-Kazim; 8) Imam `Ali Rida; 9) Imam Muhammad al-Jawwad; 10) Imam `Ali al-Hadi; 11) Imam al-Hasan al-`Askari; dan 12) Imam Muhammad al-Muntazar. Lihat: al-Tabataba'i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, op. cit., hlm. 122-135.
Senada dengan yang disebutkan pada ayat di atas, ayat ini
membahas pengangkatan Allah kepada nabi Ibrahim, Ishaq dan
Ya`qub sebagai "imam". Letak perbedaannya, al-Tabari menilai
pemberian gelar "imam" bagi nabi-nabi dikarenakan perilaku mulia
ketaatan mereka sehingga mereka menjadi teladan yang diikuti.
Sementara al-Tabataba'i memandang gelar "imam" diperoleh nabi-nabi
melalui proses pembentukan diri dengan cara yang sempurna dari
Allah. Dan posisi imam adalah maqam tertinggi dari kehidupan
manusia.94
3) Q. s. al-Furqan (25): 74
Pada ayat ini, al-Tabari menafsirkan "imam" dengan makna
"pemimpin" yang akan memimpin orang-orang yang bertakwa.
Sedangkan, al-Tabataba'i menafsirkanya dengan makna "contoh"
(figur) bagi orang-orang yang bertakwa dalam mencari kebaikan dan
rahmat Allah .
4) Q. s. al-Tawbah (9): 12
Kata " أئمة " pada ayat ini, menurut al-Tabari bermakna "
-yang menunjuk kepada pemimpin-pemimpin kafir.Pemimpin " رؤساء
pemimpin tersebut telah melanggar perjanjian dan kesepakatan serta
melecehkan umat Islam. al-Tabataba'i menyatakan " أئمة وسماهم
الكفر فى السابقون ألنهم أئمة " Allah memberi nama mereka ," الكفر
94 Urutan-urutan seseorang mencapai maqam tertinggi dalm pandangan Syi`ah yaitu: seseorang menjadi hamba kemudian menjadi nabi, lalu menjadi rasul, setelah itu menjadi khalil (kekasih) Allah, dan terakhir pada maqam imam. al-Tabataba'i mengutip sebuah riwayat yang berasal dari Ja`far al-Sadiq. Lihat: al-Tabataba'i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, op. cit., Jilid I, hlm. 269.
karena mereka adalah orang-orang yang awal atau depan ,"الكفر
dalam bersikap kafir dengan ayat-ayat Allah.
5) Q. s. al-Qasas (28): 41
Dari dua belas ayat yang menyebutkan kata "imam", al-Tabari
menafsirkannya dengan makna "pemimpin" pada enam ayat.
Termasuk pada ayat ini, yang mengisahkan tentang perilaku
pemimpin-pemimpin yang mengajak pada kesesatan yaitu Fir`awn dan
bala tentaranya. Sedangkan al-Tabataba'i menilai bahwa maksud kata
"imam" dalam ayat ini adalah " الضالل فى -yaitu orang ," سابقين
orang yang awal atau depan dalam kesesatan disebabkan sikap mereka
yang mendahulukan hawa nafsu dan kepentingan mereka daripada
perintah Allah.
Dari uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba'i memiliki
perbedaan penafsiran makna "imam" pada lima ayat yang terdapat
pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-Anbiya' (21): 73], [Q. s. al-
Furqan (25): 74], [Q. s. al-Tawbah (9): 12], dan [Q. s. al-Qasas (28):
41].
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua bahasan tentang penafsiran makna "imam" yang terdapat
dalam tafsir Jami` al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an karya Muhammad ibn Jarir
al-Tabari dan al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an karya Muhammad Husayn al-
Tabataba'i, ada beberapa hal penting yang menarik mengenai persamaan dan
perbedaan kedua mufassir tersebut.
Menurut al-Tabari, "imam" di dalam al-Qur'an memiliki beberapa versi
makna, yaitu: a) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat
pada: (Q. s. 9: 12), (Q. s. 17: 71), (Q.s. 25: 74), (Q. s. 28: 5 dan 41), (Q. s. 32: 24);
b) Imam (atribut bagi seorang nabi), terdapat pada: (Q. s. 2: 124), (Q. s. 21: 73);
c) Kitab "pedoman" bagi sebuah kaum, terdapat pada: (Q. s. 11: 17) dan (Q. s. 46:
12); d) Ummu al-Kitab, terdapat pada (Q. s. 36: 13); dan juga bermakna; e) Jalan,
sebagaimana terdapat pada (Q. s. 15: 79). Sedangkan al-Tabataba'i menguraikan
makna "imam" dengan beberapa makna, antara lain: a) Kitab pedoman sebuah
kaum, terdapat pada: (Q. s. 11: 17) dan (Q. s. 46: 12); b) Jalan yang jelas, terdapat
pada: (Q. s. 15: 79); c) al-Lawh al-Mahfud, terdapat pada: (Q. s. 36: 12); d)
Contoh (dalam kebaikan), terdapat pada: (Q. s. 25: 74); e) Yang awal atau depan,
terdapat pada: (Q. s. 9: 12) dan (Q. s. 28: 41); f) Pemimpin yang diikuti dalam
kebaikan atau keburukan, terdapat pada: (Q. s. 17: 71), (Q. s. 28: 5) dan (Q. s. 32:
24); g) Gelar "imam", bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian, terdapat pada:
(Q. s. 2: 124) dan (Q. s. 21: 73).
Bila memperhatikan aspek metode penafsiran, antara al-Tabari dan al-
Tabataba'i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode
tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya
menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma'sur dan al-tafsir bi al-ra'y,
meskipun lebih dominan bi al-ma'sur. Sedangkan penggunaan ra'y hanya sebatas
pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-
Tabataba'i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra'y dengan corak al-tafsir al-
falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-
penafsiran al-Tabataba'i terhadap makna "imam" di dalam al-Qur'an. Seperti
halnya al-Tabari, al-Tabataba'i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam
menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba'i hanya menerima
riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi dan imam-imam Ahl al-
Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba'i
meiliki persamaan ketika menafsirkan "imam" dan bentukannya yang terdapat
dalam al-Qur'an pada tujuh ayat, yaitu "imam" yang bermakna: Ummu al-Kitab,
jalan, kitab "pedoman" dan pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau
keburukan. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba'i tentang
makna "imam" ada pada lima ayat yang terdapat pada: (Q. s. 2: 124), (Q. s. 21:
73), (Q. s. 25: 74), (Q. s. 9: 12), dan (Q. s. 28: 41).
Baik al-Tabari maupun al-Tabataba'i tampaknya memiliki pandangan yang
sama tentang penggunaan dan pemaknaan kata " إمام ". Kata " إمام ", dalam
bentuk mufrad memiliki konotasi positif, sedangkan kata " أئمة ", dalam bentuk
jamak, memiliki konotasi positif ataupun negatif tergantung pada kata lain yang
mengikuti kata tersebut, baik ketika dalam bentuk idafah ataupun hanya sekedar
menjelaskan sifat kata tersebut. Adanya kesamaan penafsiran kedua mufassir
dilatarbelakangi oleh karena kesamaan ayat-ayat yang dibahas dan akar
permasalahan yang diangkat dalam suatu ayat pun sama. Perbedaan penafsiran
keduanya dikarenakan perbedaan spesialisasi keilmuan keduanya, dan perbedaan
generasi antara keduanya terutama sekali perbedaan latar belakang teologis yang
mereka anut dan kondisi sosial budaya yang mereka hadapi.
B. Saran-Saran
Bagi para pengkaji tafsir, hendaknya dapat melakukan penelitian lebih
mendalam terhadap tema yang diangkat dari penelitian ini terutama berkaitan
dengan metode penafsiran, orientasi, dan kecenderungan serta mengakji latar
belakang pola pemikiran masing-masing secara mendalam. Selain melakukan
penelitian perbandingan juga menguji kebenaran hasil penafsiran para mufassir,
sehingga akan bermanfaat bagi tambahnya khazanah keilmuan di bidang tafsir
dan hadis.
Untuk seluruh kalangan yang terjun dan menggeluti kajian tafsir al-Qur'an
dan hadis, hendaknya lebih giat lagi mengadakan kajian-kajian dengan menggali
karya-karya ulama salaf agar dapat memperoleh pemahaman yang baik dalam
menggali sumber-sumber ajaran Islam serta bermanfaat bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abadi, al-Fayruz, al-Qamus al-Muhit, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1407 H/1987 M.
Anis, Ibrahim, al-Mu'jam al-Wasit, Kairo: T.Pn., T.Th..
Anwar, M. Dawam, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Jakarta: LPPI, 2000.
Anwar, Rosihon, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, Bandung: Pustaka Setia, 1999 M.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.
Asbahani, Abu Na`im al-, Kitab al-Imamah wa al-Radd `ala al-Rafidah, Madinah: Maktabah al-`Ulum wa la-Hikam, 1415 H/ 1994 M.
`Asy, Husayn, Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari wa Kitabuhu Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H / 1992 M.
`Awaji, Galib ibn 'Ali, Firaqun Mu`asirah tantasibu ila al-Islam, Madinah: Dar Layyinah, 1418 H/ 1998 M.
Baidan, Nasiruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Baqi, Muhammad Fuad `Abd al-, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfad al-Qur'an al-Karim, Kairo: Dar al-Hadis, 1417 H/1996 M.
Departemen Agama R. I., al-Qur'an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma' Khadim al-Haramayn al-Syarifayn al-Malik Fahd li Tiba'ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H.
Depdikbud R. I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Dumayji, ‘Abd Allah al-, al-Imamah al-‘Uzma, Riyadh: Dar Tayyibah, 1409 H.
Farmawi, ‘Abd al-Hayy al-, Metode Tafsir Maudu`i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Isma`il, Muhammad Bakr, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Manar, 1411 H / 1991 M.
Jurjani, Syarif al-, Kitab al-Ta'rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1416 H/1995 M.
Manzur, Ibn, Lisan al-`Arab, Beirut: Dar Ihya al-Turas al-`Arabi, 1413 H/1993 M.
Mawardi, Imam al-, al-Ahkam as-Sultaniyyah, terjemahan: Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 1420 H/ 2000 M.
McAuliffe, Jane Dammen, Hermeneutik al-Qur’an: Pandangan al-Tabari dan Ibn Kasir, terjemahan: Dede Iswadi, Jurnal Teks, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nasr, Sayyid Husain, Islam Tradisi, terjemahan: Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Salus, `Ali Ahmad al-, Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah, terjemahan: Bisri Abdussomad, dkk., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
-----, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1416 H/ 1996 M.
Tabari, ibn Jarir al-, Jami’ al-Bayan 'An Ta’wil Ayi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M.
Tabataba`i, Muhammad Husayn al-, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M.
-----, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, terjemahan: Ahsin Muhammad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M.
-----, Islam Syi’ah Asal-Usul dan Perkembangannya, terjemahan: M. Wahyudin, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
-----, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terjemahan: A. Malik Madany dan Hamim Ilyas, Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M.
`Usaymin, Muhammad ibn Salih al-, Syarhu Riyad al-Salihin, Riyad: Dar al-Watan, 1416 H.
-----, Muhammad ibn Salih al-, Dasar-Dasar Penafsiran al-Qur'an, terjemahan: Said Agil Husayn A. dan Ahmad Rifqi Mukhtar, Semarang: Dina Utama, 1989 M.
Zahabi, Muhammad Husayn al-, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terjemahan: `Abd al-Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah”, Jakarta: Logos, 1996.