PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA PENGIRIMAN
BARANG PT JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE) (PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Egawati 11150490000098
PROGRAM STUDI MUAMALAT (HUKUM EKONOMI SYARIAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA PENGIRIMAN
BARANG PT JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE) (PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Egawati
11150490000098
Dosen Pembimbing
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1441 H
i
Fathudin,S.H.I.,S.H.,M.A.Hum.,M.H
NIP. 198506102019031007
ABSTRAK
Egawati NIM 11150490000098 PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA PENGIRIMAN BARANG PT JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE) (PERSPEKTIF FIQH DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN) Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020 M/1441 H, ix,+ 85 Halaman
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana tinjauan fiqh dan peraturan perundang-Undangan terhadap praktik pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang di PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) serta bertujuan mengetahui bagaimana tinjauan fiqh dan hukum perlindungan konsumen terhadap praktik pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang di JNE, serta bagaimana pandangan Islam dan peraturan perundang-undangan mengaturnya.
Penelitian ini mengakaji menggunakan metode penelitian normatif-empiris dengan pendekatan statute approach yaitu menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sociological approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan norma yang berlaku di kehidupan social masyarakat. Dengan metode dan pendekatan tersebut akan mendapatkan data dan gambaran yang jelas terkait hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan dengan Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya praktik pembulatan timbangan jasa pengiriman barang di PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) menggunakan timbangan perkilogram. Sehingga setiap konsumen yang ingin mengirim barang harus mengikuti timbangan perkilogram. Padahal setiap barang yang dikirimkan oleh konsumen umumnya tidak pas per-kilogramnya. Dengan demikian mayoritas konsumen JNE merasa terpaksa mengirimkan barangnya. Tinjauan hukum Islam tentang pembulatan timbangan jasa pengiriman barang pada PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) adalah tidak diperbolehkan atau batal. Karena tidak sesuai dengan perintah Al-Qur’an surah Hud ayat 85 bahwa disyariatkan untuk memenuhi timbangan, dan bertentangan dengan konsep perjanjian dalam Islam, kemudian tidak memenuhi syarat ijarah yaitu kerelaan kedua belah pihak, selanjutnya bertentangan dengan prinsip muamalah. Melihat pembulatan timbangan pada JNE hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak JNE dan menzalimi pihak yang lain (konsumen). Pembulatan yang dipraktekan oleh JNE melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 yang terdapat pada Pasal 8 butir c, menyebutkan bahwa pelaku usaha atau jasa dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut hitungan sebenarnya. Selanjutnya pasal 4 huruf c menyebutkan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Terakhir pasal 7 huruf b mengenai kewajiban pelaku usah yang mana disebutkan “ pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”.
iv
Kata Kunci : Pembulatan Timbangan, Fiqh Muamalah, Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dosen Pembimbing : Fathudin, S.H.I.,S.H.,M.A.Hum.,M.H. Daftar Pustaka : 1987-2019
v
KATA PENGANTAR
حیم حمن الر بسم � الر
Alhamdulilahi Rabbil ‘Alamin, segala puji syukur dan sujud kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta keberkahan-Nyalah
sehingga penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaiakan skripsi ini.
Shalawat beriring salam senantiasa kepada sebaik-baik tauladan kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman
terang benderang seperti sekarang ini. Semoga kelak mendapat syafa’atnya di
akhirat.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada para pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Prof Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH.,MA, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Am. Hasan Ali, MA., ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr.
Abdurrauf, MA., sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Fathuddin Kalimas, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H., Selaku Dosen
Pembimbing yang telah senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan
nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan selama penyusunan skripsi ini,
terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya yang bersifat
membangun, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membalas
semua kebaikan mereka.
5. Ahmad Chairul Hadi M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang
memberikan nasihat dan motivasi untuk mahasiswanya.
vi
6. Pimpinan Perputsakaan, Pengelola Perpustakaan, Perputakaan Utama dan
Perputakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan.
7. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman
serta staf yang telah memberikan fasilitas dan menjaga kebersihan fakultas
selama masa perkuliahan.
8. Teristimewa kepada orang tua tercinta bapak Aep dan ibu Mustika yang telah
memberi kasih saying lahir batin teramat besar dan memberikan dukungan
tiada henti. Dan kepada adik tersayang Sylvia Oktaviani yang selalu
memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas skripsi.
9. Teman-teman seperjuangan selam 1 (satu) bulan di Tenjolaya Bogor yakni
teman-teman KKN SEIHA 199, yang telah sama-sama berjuang untuk
menyelesaikan tugas kuliah kerja nyata tahun 2018.
10. Teruntuk Teman-teman SMAN 1 Surade Chintia Dwi, Sarah Heryanti, Agay,
Endri Sugianto, Windi Aprilianti, Yodi, serta Indah Chandra yang telah
memberikan do’a , semangat serta motivasi kepada penulis.
11. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2015 yang telah
memberikan dukungan dan memberikan saran selama perkuliahan khususnya
teman-teman seperjuangan kelas C yang telah sama-sama berjuang dan saling
memberi motivasi serta semangat dalam menyelesaikan dari awal kuliah
sampai sekarang.
12. Teman-teman kosan Griya Aini Kak dila, Windy, Egi Annisa, Kak Diday,
Iyes, Ima yang selalu menyemangati terus menerus sampai akhirnya penulis
selesai mengerjakan skripsi.
13. Teman-teman Himkisyar Meina, Liha, Biah, Hanum, Rifka, Ika, Devi teman
seperjuangan dari awal kuliah sampai sekarang.
14. Serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas do’a do’a terbaiknya.
vii
Terimakasih kepada orang-orang yang telah memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini, mohon maaf apabila tidak dapat diucapkan namanya
satu persatu, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 10 Maret 2020
Penulis
Egawati
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Rumusan Masalah .................................................................... 5
D. Batasan Masalah ....................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian .................................................................... 6
G. Metode Penelitian ..................................................................... 6
1. Jenis Penelitian .................................................................. 6
2. Pendekatan Penelitian........................................................ 7
3. Sumber Data ...................................................................... 8
4. Metode Pengumpulan Data ............................................... 9
5. Analisis Data ..................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Timbangan Menurut Islam ......................................... 15
B. Konsep Perjanjian dalam Islam ................................................ 20
C. Upah Mengupah dalam Fiqh Muamalah .................................. 25
1 Pengertian Ijarah ................................................................ 25
2 Dasar Hukum Ijarah ........................................................... 27
3 Rukun dan Syarat Ijarah ..................................................... 28
4 Macam-Macam Ijarah ........................................................ 30
ix
D. Undang-Undang Perlindungan Konsumen .............................. 31
1 Pengertian Hukum perlindungan Konsumen ..................... 31
2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ........................ 32
3 Unsur-Unsur Perlindungan Konsumen .............................. 33
4 Hak dan Kewajiban Konsumen dengan Pelaku Usaha ...... 35
5 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ...................... 38
6 Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen .................... 39
E. Penelitian Terdahulu ................................................................. 41
BAB III GAMBARAN UMUM PRAKTIK PEMBULATAN
TIMBANGAN DI PT.JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE)
A. Sejarah Singkat Berdirinya PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) 44
B. Mekanisme Pembulatan Timbangan di PT Jalur Nugraha
Ekakurir (JNE) .......................................................................... 46
C. Produk Layanan di PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) ............. 50
D. Sistem Berlipatnya Tarif ........................................................... 53
BAB IV ANALISIS PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA
PENGIRIMAN BARANG PT.JALUR NUGRAHA
EKAKURIR (JNE) ..................................................................... 56
A. Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang PT Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) Perspektif Fiqh Muamalah ............... 56
B. Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang PT Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) Perspektif Hukum Perlidnungan
Konsumen ................................................................................. 69
BAB V PENUTUP .................................................................................... 77
A. Kesimpulan ............................................................................... 77
B. Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pembulatan Progresif di JNE Sabena Anugerah Ciputat ................ 46
Tabel 1.2 Pembulatan Progresif di JNE Jl.Ir.H.Juanda Ciputat ..................... 46
Table 1.3 Pembulatan dalam Sistem Volumetrik ........................................... 47
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan manusia yang terus bertambah, mengakibatkan permintaan
kebutuhan hidup bertambah pula,sebagaimana fitrah manusia yang membutuhkan
berbagai macam sarana dan prasarana yang dapat mendukung kehidupan sehari-
hari. Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang dalam memenuhi
kebutuhannya pasti membutuhkan pertolongan orang lain disekitarnya. Manusia
adalah mahluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut
sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk
berkembang maupun kasih sayang, disamping kebergantungan bidang politik,
ekonomi, budaya dan hukum. Kebergantungan itu menunjukan bahwa manusia
saling membutuhkan dalam banyak aspek.1
Dengan banyaknya kebutuhan manusia tersebut, sekarang ini banyak
pelaku usaha yang membuka berbagai jasa layanan masyarakat untuk membantu
manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Berbagai macam produk jasa salah
satunya yaitu jasa pengiriman barang. Jasa pengiriman barang terus tumbuh dan
berkembang seiring perkembangan teknologi.
Jasa pengiriman barang menjadi satu layanan yang sangat dibutuhkan,
terlebih di zaman yang serba canggih ini. Manusia akan selalu mencari
kemudahan-kemudahan karena era globalisasi dengan perkembangan
teknologinya cenderung membuat mereka menyukai hal-hal yang serba instan.
Jasa pengiriman barang dapat menjadi solusi bagi mereka yang menyukai
kemudahan dan kepraktisan dalam hal mengirimkan suatu barang terlebih jika itu
menyangkut keterjangkauan wilayah. Jasa pengiriman barang akan sangat efisien
digunakan untuk mengirim barang ke tempat dimana tidak dapat dijangkau sendiri
oleh masyarakat. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang dari suatu
1 Atang Abd Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,( Bandung:PT Remaja Rosdakrya, 2001), h. 222.
1
2
daerah ke daerah lain yang jauh membuat jasa pengiriman barang ini menjadi
sangat penting bagi masyarakat.2
Di Indonesia jasa pengiriman barang dilayani oleh sekitar 3.400
perusahaan. Akan tetapi pangsa pasar mayoritas jasa ini dikuasai oleh 3 (tiga)
pemain utama yaitu PT. Pos Indonesia (Persero), Tiki, dan JNE. Pada tahun 2013,
pangsa pasar PT.Pos Indonesia (Persero) sebesar 27%, pangsa pasar Tiki sebesar
34% , sedangkan pangsa pasar JNE sebesar 17%. Hal ini menggambarkan bahwa
ketiga perusahaan pengiriman barang ini adalah termasuk layanan yang memiliki
konsumen paling diminati di Indonesia.3
Salah satu perusahaan jasa pengiriman yang sering digunakan yaitu PT
Jalur Nugraha Ekakurir (selanjutnya disingkat PT JNE). Seiring dengan
berkembangnya bisnis jasa pengiriman barang, PT JNE juga semakin
berkembang, ditandai dengan banyaknya cabang dan agen-agen PT JNE yang
tersebar diseluruh Indonesia, salah satunya adalah di Kota Jakarta Selatan. PT
JNE menyediakan berbagai macam fasilitas dan pelayanan bagi masyarakat.
Pengguna jasa PT JNE (yang selanjutnya disebut konsumen) berhak untuk
memilih paket-paket yang telah disediakan oleh PT JNE. Proses pengiriman
barang oleh JNE dimulai pada saat konsumen/pengirim datang ke agen JNE
dengan membawa sesuatu atau sejumlah barang yang telah disiapkan untuk
dikirim. Akan tetapi banyak konsumen yang asal mengirimkan paket tanpa
mengetahui rumus pembulatan yang dilakukan oleh pihak JNE.
Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa ini melakukan
pembulatan yang mana dalam hal ini konsumen sama sekali tidak mengetahui dari
rumus pembulatan tersebut. Pada waktu itu terjadi pada salah satu perusahaan
penyedia jasa pengiriman barang. Pada saat melakukan penjualan jasa, konsumen
hanya diberikan panduan mengenai proses pengiriman barang ke tempat tujuan
2 Aisyah Ayu Musyafah,Hardanti Widya Khasna, Perlindungan Konsumen Jasa Pengiriman Barang Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pengiriman Barang, Jurnal Law Reform Volume 14, Nomor 2, 2018, hal.152
3 Aisyah Ayu Musyafah,Hardanti Widya Khasna, Perlindungan Konsumen Jasa Pengiriman Barang Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pengiriman Barang, Jurnal Law Reform Volume 14, Nomor 2, 2018, hal.152
3
dengan tarif yang sudah di tetapkan oleh perusahaan tersebut. Ketika konsumen
menanyakan secara jelas mengenai rincian tarif dan kiloannya, pihak perusahaan
penyedia jasa hanya menjelaskan bahwa pembulatan dan penetapan tarifnya sudah
terprogram oleh pusat yang mana tidak bisa diubah oleh setiap karyawan.
Di dalam menentukan tarif pengiriman barang perusahaan melihat dari
segi jarak jauh dekatnya tujuan pengiriman barang yang ditempuh, salah satu
sistem penetapan tarif PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) menggunakan sistem
berat paket barang per-kilogram (Kg), yang mana jika berat paket tidak mencapai
1 kg maka pihak PT. Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) langsung menentukan tarif
sesuai jarak jauhnya tujuan pengiriman tanpa di kilo terlebih dahulu, kemudian
jika berat paket mencapai lebih dari 1 kg misalnya 1,4 kg maka pihak PT Jalur
Nugraha Ekakurir membulatkan timbangan tersebut menjadi 2 kg.4
Dengan adanya pembulatan tersebut pengguna layanan jasa pengiriman
barang (konsumen) akan merasa dirugikan karena seperti yang tercantum di dalam
pasal 4 huruf (g) yang mana konsumen berhak diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Maka dari itu konsumen perlu mendapat
perlindungan hukum dalam rangka memenuhi kepentingannya. Dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, merumuskan
bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan terhadap konsumen.5Dalam pasal
ini dirumuskan bahwasanya konsumen memiliki hak dalam kepastian hukum
untuk dilindungi. Karena konsumen tidak hanya pemakai barang saja melainkan
juga sebagai pengguna jasa, hal ini tentunya konsumen sebagai pengguna jasa
juga memiliki hak untuk dilindungi. Karena kita berada pada negara hukum yang
mana segala sesuatunya harus dilindungi berdasarkan hukum yang berlaku pada
saat ini.
Menurut kajian fiqh muamalah kegiatan yang dilakukan oleh PT Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) merupakan salah satu bentuk transaksi dalam Islam
4 Irfan (Karyawan JNE), Wawancara dengan karyawan JNE Sabena Anugerah, Ciputat, 17 Oktober,2019.
5 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsuemn (Lembaran Negara RI Tahun 1999, Nomor 42).
4
yakni Ijarah (upah mengupah) mengapa demikian, karena dalam Islam upah
mengupah disebut dengan al-Ijarah yang berasal dari kata al-ajru yang arti
menurut bahasanya adalah al-iwadh yang arti dalam Bahasa Indonesia nya ialah
ganti dan upah.6 Menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah adalah suatu jenis akad atau
transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi pengganti.7 Dengan
demikian al-Qur’an sebagai pedoman dan landasan hukum umat muslim
membolehkan bahkan menganjurkan untuk memberikan upah kepada sesorang
atau perusahaan yang telah mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Islam telah mengajarkan banyak nilai kepada umat manusia dalam
menjalani kehidupan, tak terkecuali dalam bidang muamalah yang salah satunya
adalah bersikap adil pada setiap perbuatan yang dilakukan. Allah SWT berfirman;
Artinya: “ Dan Syuai’b berkata: Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan membuat kerusakan” ( QS.Hud:85)8
Praktik timbangan menurut hukum Islam harus menyempurnakan antara
takaran dan timbangan seadil-adilnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
dalam Al-Qur’an Surat al-an’am ayat 152 yang berbunyi:
Artinya : “ Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa, dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil, kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta:Rajawali Pers,2013) h. 114 7 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid XIII ( Bandung: Al-Ma’ruf, 1987), h.15. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:Diponogoro,2005),
h.231.
5
melainkan sekedar kesnaggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendati pun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” Atas dasar pemikiran tersebut penulis merasa tertarik untuk mengamati
adanya ketidakadilan dan ketidakelasan yang terjadi dalam pembulatan yang
dilakukan oleh pihak PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dari persfektif Fiqh dan
Hukum Perlindungan Konsumen. Untuk itu perlu diadakan penelitian dan
pembahasan yang lebih mendalam lagi. Sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ Pembulatan Timbangan pada Jasa
Pengiriman Barang PT. Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Persfektif Fiqh dan
Hukum Perlindungan Konsumen”.
B. Identifikasi Masalah
1. Mekanisme penentuan tarif.
2. Mekanisme pembulatan timbangan yang terjadi pada jasa pengiriman
barang PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE)
3. Sistem berlipatnya tarif di PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE)
4. Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen terhadap pembulatan timbangan pada jasa
pengiriman barang di PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE)
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap praktik pembulatan timbangan dalam
transaksi jual beli ?
2. Bagaimana tinjauan hukum perlindungan konsumen terhadap praktik
pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang di JNE ?
D. Batasan Masalah
Dalam penulisan suatu karya ilmiah, perlu diadakan suatu pembatasan
terhadap permasalahan yang dibahas agar penelitian lebih terarah dan tidak
mengambang sehingga sesuai kepada maksud dan tujuan yang diinginkan. Untuk
6
itu penulis membatasi permasalahan yang dikaji sesuai dengan judul diatas, yaitu
Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang PT Jalur Nugraha Ekakurir
(JNE) Perspektif Fiqh dan Hukum Perlindungan Konsumen.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tinjauan fiqh terhadap praktik pembulatan timbangan
dalam transaksi jual beli.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum perlindungan konsumen terhadap
praktik pembulatan timbangan pada jasa pengirimna barang di JNE.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran dalam
pengembangan keilmuan hukum ekonomi Syariah yang berkaitan
dengan Fiqh dan hukum perlindungan konsumen.
b. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai pembulatan timbangan
di JNE
c. Menambah literature atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
yang komprehensif mengenai hukum, khususnya mengenai
pembulatan timbangan yang baik dan sesuai dengan Fiqh dan
peraturan perundang-undangan.
b. Untuk memberikan masukan dan informasi yang luas kepada
masyarakat tentang pembulatan timbangan di JNE.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Menurut Buku Abdul Kadir Muhammad, penelitian yang
digunakan oleh penulis ini lebih mengacu pada jenis penelitian normatif-
7
empiris. 9Penelitian hukum normatif yaitu mengkaji hukum yang tertulis
dari aspek teori, peraturan-peraturan, sejarah, filosofi, perbandingan dan
komposisi. Penelitian empiris adalah hukum positif tidak tertulis, hukum
sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kultur, dan lain-lain.10
Digunakannya penelitian hukum normatif dengan cara mengkaji hukum
tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang berkaitan dengan
pokok bahasan yang akan diteliti. Penelitian hukum empiris digunakan
karena penelitian dilakukan dengan cara terjun langsung melihat realita
yang terjadi terkait pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang
PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) perspektif fiqh dan hukum
perlindungan konsumen.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan statute approach
yaitu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang
akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus terkait
pembulatan timbangan pada penelitian ini.11
Digunakan juga pendekatan sociological approach karena pada
kehidupan sosial, terdapat norma atau aturan-aturan yang mengatur
perilaku individu, norma-norma tersebut berisi suatu aturan perilaku
mana saja yang diperbolehkan dan mana saja yang dilarang. Thorsten
Sellin dalam “ A Sociological Approach” menyatakan:12
“ …Norms which define the raction or respons which in a given person Is approved or disapproved by the normative group. The social attitude of thes group the various ways in which a person might act under certain circumstances has thus been crystallized into a rule, the violation of
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum Cet-1,( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004),h.40.
10 Achmad Ali, Wiwiwe Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta:Kencana, Cetakan Kedua, 2013),h.,2.
11 Johni Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan III, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007),h.,300.
12 Bukunya Marvin E.Wolfgang, et.al., The Sociology of Crime and Delinquency, 1970, New York/London/Sydney/Ttotonto: John Wiley & Sons, Inc., h. 8-9 dalam Reza Ardila” Komitmen Terhadap Kelompok…” (Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia 2009).
8
which arouses a group reaction. These rules or norms may be called conduct norms”… ‘ conduct norms are the products of social life. Social groups place on the activity of their members certain restrictions which aim to insure the protection of social values which have been injured by unrestricted conduct. A conduct norm is originally an ex post facto rule. Generally speaking “ breach is the mother of law” an equally a mother of conduct norms”…”condust norm are, therefore, found wherever social group are found, i.e.universally. They are not the creation of any one normative group; they are not confined within political boundaries; they are not necessarily embodied in law…” Artinya: “ … norma-norma mendefinisikan reaksi atau tanggapan yang diberikan pada sesorang berupa penerimaan atau penolakan oleh kelompok normatif. Perilaku sosial dari kelompok ini terhadap berbagai cara dimana sesorang mungkin berperilaku dibawah keadaan tertentu yang telah terkristalisasi dalam suatu aturan, pelanggaran dari aturan tersebut akan menimbulkan suatu reaksi pada kelompok. Norma-norma atau aturan-aturan ini mungkin disebut sebagai norma tingkah laku”… ”norma tingkah laku merupakan produk dari kehidupan sosial. Kelompok sosial menempatkan aktifitas dari anggota mereka Batasan-batasan tertentu yang betujuan untuk menjamin perlindungan dari nilai-nilai sosial yang mana telah dirugikan/dilanggar perilaku yang tidak dibatasi. Norma tingkah laku aslinya adalah ex post facto rule. Secara umum dapat dikatakan “ pelanggaran adalah asal muala dari hukum” dan sama seperti asal mula dari norma dan tingkah laku”…”norma tingkah laku ditemukan disetiap kelompok sosial dimanapun, bersifat universal. Norma tingkah laku tidak diciptakan/dibentuk dari kelompok normatif manapun, juga tidak dibatasi oleh kepentingan politik, juga tidak perlu untuk dicantumkan dalam hukum…”
Dengan digunakannya 2 (dua) pendekatan penelitian yakni statute
approach dan sociological approach dapat mengetahui serta mendapat
data atau gambaran yang jelas terkait permasalahan tentang pembulatan
timbangan pada jasa pengiriman barang PT.Jalur Nugraha Ekakurir
(JNE) dengan melihat kembali ketentuan Syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada.
3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah
sumber dari mana data diperoleh. Dalam penelitian ini, penulis membagi
sumber data ke dalam dua bagian :
9
a. Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh dari :
1) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
3) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
4) Fatwa DSN-MUI Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000 Tentang
Pembiayaan Ijarah.
5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metorology
Legas.
6) Hasil wawancara mendalam kepada pengurus JNE dan konsumen
yang melakukan kegiatan menggunakan jasa pengiriman barang
melalui JNE.
b. Data Sekunder
Data sekeunder adalah data yang melengkapi data primer.
Yaitu data-data yang bersumber dari dokumen dan sumber bacaan,
seperti jurnal,undang-undang perlindungan konsumen, koran,majalah,
dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan ini. Dalam kaitan
praktik pembulatan timbangan yang dilakukan oleh PT.Jalur Nugraha
Ekakurir (JNE).
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mempermudah penelitian ini penulis menggunakan
beberapa metode pengumpulan data, diantaranya adalah :
a. Studi Pustaka
Studi pustaka, menurut Nazir (2013, h.93) Teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-
buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Teknik ini digunakan
untuk memperoleh dasar-dasar dan pendapat secara tertulis yang
dilakukan dnegan cara mempelajari berbagai literatur yang
10
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hal ini juga dilakukan
untuk mendapatkan data sekunder yang akan digunakan sebagai
landasan perbandingan antara teori dengan prakteknya di lapangan.
Data sekunder melalui metode ini diperoleh dengan browsing di
internet, membaca berbagai literatur, hasil kajian dari peneliti
terdahulu, catatan perkuliahan, serta sumber-sumber lain yang
relevan.13
b. Observasi
Observasi adalah kegiatan peninjauan yang dilakukan dilokasi
penelitian dengan pencatatan, pemotretan, dan perekaman mengenai
situasi dan kondisi serta peristiwa hukum di lokasi.
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling
efektif adalah melengkapinya dengan format blanko pengamatan
sebagai instrument. Format yang di isi berisi item-item tentang
kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi.14
Penulis menggunakan observasi dalam melakukan penelitian
karena penulis melakukan peninjauan langsung ke lokasi penelitian
yaitu di PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).
c. Wawancara
Wawancara merupakan suatu percakapan yang dilakukan
dengan maksud tertentu, dan percakapan ini biasanya dilakukan oleh
dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Wawancara juga berupa pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikontruksikan makna dalam satu topik tertentu, yaitu adanya
percakapan dengan maksud tertentu.
13 Zed Mestika, “Metode Penelitian Kepustakaan” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.,38
14 Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:Rineka Cipta, 2010), h.272.
11
Dalam wawancara ini, penulis melakukan wawancara kepada
pihak-pihak yang terkait yang menjadi informan dalam penelitian ini,
yaitu, karyawan JNE yang menjadi subjek utama pembulatan
timbangan yang dilakukan oleh pihak JNE.
d. Dokumentasi
Tidak kalah penting dari metode-metode lain, adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, transkip,buku,surat kabar,majalah,prasasti, notulen
rapat,agenda , dan sebagainya.15
Dibandingakan dengan metode lain, maka metode ini agak
tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya
masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang
diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.
5. Analisis Data
Setelah data diproses, maka tahapan selanjutnya adalah
menganalisis data. Metode analisis data yang digunakan yaitu deskriptif
analitis yang mengungkapkan peraturan peurundang-undangan yang
berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.
Demikian juga dalam pelaksanaanya didalam masyarakat yang berkenaan
dengan objek penelitian. Deskripstif disini yang dimaksud meliputi isi
dan stuktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
penulis untuk menentukan isis atau makana aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian.
Untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan
mempermudah pemahaman maka penulis dalam menyusun penelitian ini
melakukan beberapa upaya diantaranya:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
15 Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:Rineka Cipta, 2010), h.272.
12
Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data
yang telah diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan
makna,kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain
dengan tujuan apakah data-data tersebut sudah mencukupi untuk
memecahkan permasalahan yang diteliti termasuk mengurangi
kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk
meningkatkan kualitas data.
b. Klasifikasi (Classifying)
Kalsifikasi adalah usaha mengklasifikasikan jawaban-jawaban
kepada informan baik yang berasal dari interview maupun yang
berasal dari observasi. Klasifikasi ini digunakan untuk menandai
jawaban-jawaban dari informan karena setiap jawaban pasti ada yang
tidak sama atau berbeda, oleh karena itu klasifikasi berfungsi melilih
data-data yang diperlukan serta untuk mempermudah kegiatan analisis
selanjutnya.
c. Verifikasi ( Verifying)
Verifikasi data adalah pembuktian kebenaran data untuk
menjamin validitas data yang telah terkumpul. Verifikasi ini dilakukan
dengan cara menemui sumber data ( informan) dan memberikan hasil
wawancara dengannya untuk ditanggapi apakah data tersebut sesuai
dengan yang informasikan olehnya atau tidak.16
d. Analisis Data ( Analysing)
Dalam hal ini analisis data yang digunakan oleh penulis adalah
deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau
status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisahkan
menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan.
e. Kesimpulan ( Concluding)
Sebagai tahapan akhir dari pengolahan data adalah concluding.
Adapun yang dimaksud dengan concluding adalah pengambilan
16 Nana Sudjana, Awal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi,( Bandung: Sinar Baru Algnesindo,2008), h.84.
13
kesimpulan dari data-data yang diperoleh setelah dianalisis untuk
memperoleh jawaban kepada pembaca atas kegelisahan dari apa yang
dipaparkan pada latar belakang masalah.17
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pemahaman skripsi serta agar lebih
sistematis, skripsi ini disusun terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub
bab bahasan. Kelima bab ini disusun dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
Batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas mengenai Konsep timbangan menurut Islam,
Konsep Perjanjian dalam Islam, Upah mengupah dalam fiqh muamalah,
dan teori Perlindungan Konsumen
BAB III GAMBARAN UMUM PRAKTIK PEMBULATAN TIMBANGAN
DI PT.JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE)
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum mengenai sejarah, profil,
mekanisme pembulatan timbangan di PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE),
Produk layanan di PT.JNE, dan sistem berlipatnya tarif.
BAB IV ANALISIS PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA
PENGIRIMAN BARANG PT.JALUR NUGRAHA EKAKURIR
(JNE) PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH DAN HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berisi tentang jawaban dari pertanyaan rumusan masalah penelitian
yang didasari dari penjelasan materi pada bab sebelumnya. Substansi
dari bab ini terdiri dari 2 (dua) bagian pertama pembulatan timbangan
17 Nana Sudjana,Awal Kusuma, Proposal Penelitian Di Perguruan Tinggi,( Bandung: Sinar Baru Algnesindo,2008), h.84.
14
ditinjau dari perspektif fiqh muamalah, yang kedua pembulatan
timbangan ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi hasil analisis
dari yang telah di bahas pada bab-bab sebelumnya yang berkaitan
dengan rumusan masalah. Saran berisi solusi atas hasil penelitian yang
telah dilakukan sehingga diharapkan memiliki nilai guna dan manfaat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Timbangan Menurut Islam
Timbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah alat
untuk menimbang (spt neraca, kati).1 Pengertian ini senada dengan pengertian
menurut hukum Islam, yang dalam Bahasa Arab disebut al-qisthas atau al-
qusthas, yaitu , neraca atau adil. Seperti dua mata uang yang tidak dapat
dipisahkan, antara timbangan dengan adil . karena untuk mewujudkan keadilan,
maka memerlukan tolak ukur yang pasti (neraca atau timbangan) dan sebaliknya,
jika benar dalam menimbang, maka akan tercipta keadilan.2
Timbangan mempunyai peran vital dalam berbisnis. Sebab dengan
timbangan yang benar maka akan timbul kepercayaan konsumen terhadap suatu
bisnis. Sering didapati mayoritas pelaku bisnis dengan skala besar melakukan
segala daya dan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen dan saat yang
sama, bahwa kakuratan timbangan dan takaran tidak boleh diabaikan.3
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Memberikan prinsip untuk bersikap
adil dalam menakar maupun menimbang. Ada beberapa dalil al-Qur’an yang
mensyariatkan untuk bersikap adil dan menyempurnakan timbangan. Diantaranya,
firman Allah SWT
Artinya: “ Dan Syuai’b berkata: Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan membuat kerusakan” ( QS.Hud:85)4
1 Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2011), h.1464.
2 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan,dan Keserasian Al-Qur’an Vol.XV, h.33.
3 Mustaq Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.100. 4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:Diponogoro,2005),
h.231.
15
16
Dalam tafsir al-Misbah ayat di atas merupakan perintah berlaku adil, baik
dengan Allah SWT maupun dengan manusia. Adil pada manusia menurut beliau
adalah dengan cara menyempurnakan timbangan saat bermuamalah. Dengan
bersikap adil dan jujur saat menimbang lebih baik daripada hasil sebanyak apa
pun yang diperoleh melalui penganiayaan dan kecurangan.5 Al-qisth pada ayat ini
biasa diartikan adil, yaitu sinonim dari al-‘dlu atau adil. Memang, banyak ulama
yang mempersamakan maknanya dan ada juga yang membedakannya dengan
berkata bahwa al-qisth berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang
menjadikan masing-masing senang. Sedang al-adlu adalah berlaku baik terhadap
orang lain maupun diri sendiri tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan
salah satu pihak. Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Karena itu, disini digunakan kata bi al-qisth. Muhammad Yusuf Qardhawi
menambahkan, bahwa ayat ini anjuran setiap muslim harus bersikap adil dalam
setiap transaksi muamalah dalam kehidupan dan pergaulan.6
Beberapa Ulama bahkan memberikan makna yang lebih luas terhadap kata
thatfif, termasuk orang yang menerima gaji secara penuh namun ia tidak
menunaikan tugasnya secara jujur dan efisien. Maka orang tersebut dianggap
sebagai orang yang curang, penipu dan tidak amanah. Akibat perbuatan
kecurangan ini dapat menimbulkan kecelakaan, kebinasaan, dan kerugian akan
dialami oleh orang yang melakukan kecurangan dalam interaksi muamalah dan ini
adalah pangkal kerugian dunia dan akhirat.7
Sedangkan menurut Ahmad Musthafa Al-Muraghi, surat ini menceritakan
tentang kaum Madyan di zaman Nabi Syua’ib yang curang dalam menimbang dan
menakar. Sebagaimana yang terdapat pada surat muthafifin ayat 1-3, yang mana,
“Jika mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Tapi bila
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro,2005), h .231.
6 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terjemahan oleh Mu’amal Hamidy, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003),h.365.
7 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol.XV, h.142.
17
mereka menukar atau menimbang untuk orang lain, maka mereka mengurangi”.8
Allah berfirman dalam surat al-Muthafifin;
Artinya: “ kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”( QS.Al-Muthafifin: 1-3)9
Ayat tersebut perintah untuk tidak berbuat curang. Diantara perbuatan
curang adalah, tidak jujur dan bersikap tidak adil. Menurut tafsir Ahmad Mustafa
Al-Muraghi ayat tersebut berupa seruan kepada umat muslim untuk berbuat adil
dalam menakar dan menimbang yang mana menyempurnakan timbangan adalah
sebuah keharusan demi menjaga hak-hak orang lain dan menghindari kezaliman
dari salah satu pihak. 10Dari laba timbangan yang sempurna lebih baik dari pada
harus menzalimi orang lain. Kemudian ditegaskan pada ayat berikutnya. Allah
berfirman:
Artinya: “ sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.”( QS.Hud:86)11
Menurut Islam, orang yang curang dalam timbangan disebut Tahfif yang
berarti berdikit-dikit, berhemat-hemat, pelit , Al-Muthafif , orang yang mengurangi
bagian orang lain tatkala dia memerlukan timbangan atau takaran untuk orang
lain. Istilah ini merujuk pada surat Al-Muthafifin. Menurut Quraish Shihab Al-
8 Ahmad Musthafa Al-Muragi, Tafsir Al-muragi ,Terjemahan Anshori Umar Singgall, Hery Noer Aly dan Bahrun Abubakar ( Semarang: Tohaputra, 1988),h.128.
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnnya (Bandung: Diponegoro, 2005), h..587.
10 Ahmad Musthafa Al-Muraghi, Tafsir Al-muragi ,Terjemahan Anshori Umar Singgall, Hery Noer Aly dan Bahrun Abubakar ( Semarang: Tohaputra, 1988), h. 128.
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnnya (Bandung: Diponogoro h. 374.
18
Muthafifin terambil dari kata thafaf meloncat. Seperti orang yang melompati
pagar atau dapat diartikan orang yang tidak melakukan cara yang wajar.12
Kecurangan juga dapat diartikan tidak jujur yang berujung pada penipuan.
Dalam muamalah, sikap jujur saat bertransaksi sangat diperintahkan, sebagimana
terlihat dalam asas-asas muamalah yang salah satunya adalah Ash-shidiq yaitu
jujur. Jujur merupakan konsistensi antara kepercayaan, sikap,ungkapan, dan
prilaku. Kejujuran adalah aspek penting pelayanan dalam keadilan dan tuntutan
yang mutlak untuk bisa mencapai kebenaran dan keadilan. Akibat dari
ketidakjujuran maka keputusan yang diambil dalam perjanjian dapat dipastikan
tidak benar dan tidak adil.13 Kemudian jika kejujuran dan kebenaran tidak
dikedepankan, maka akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian. Perjanjian
yang didalamnya terdapat unsur kebohongan menjadi batal atau tidak sah. Islam
melarang pengambilan barang melebihi batas imbalan yang ditetapkan maka itu
dianggap sebagai ketidakjujuran yang tidak diperbolehkan dalam
Islam. 14Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah at-Taubah ayat 119. Allah
SWT berfirman;
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (QS.At-Taubah: 119).15
Untuk meminimalisir kecurangan, maka anjurannya yaitu melebihkan
timbangan. Sebagaimana menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah,
disunnahkan untuk melebihkan timbangan kepada pembeli dalam menimbang
atau menakar.16 Sebagaimana hadis dari Suwaid bin Qais dalam Kitab Sunan Ibnu
Majah yang artinya : Dari Suwaid bin Qais, ia berkata: Aku dan makhrafah al-
Abdi mengambil pakaian dari Hajar, kemudian Rasulullah SAW datang kepada
12 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol.XV, h. 141.
13 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Yogyakarta bekerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo, 2014), h.81.
14 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.138. 15 Departemen Agama RI, , Al-Qur’an dan Terjemahnnya (Bandung: Diponogoro), h.
206. 16 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid XIII (Bandung: Al-Ma’aruf, 1987), h. 74.
19
kami dengan berjalan. Beliau menawar sebuah celana, lalu kami menjualnya
kepada beliau. Dan di sana ada seorang lelaki yang menimbang dengan
mendapatkan upah atau bayaran. Rasulullah SAW .berkata kepadanya, “
Timbanglah dan lebihkanlah”17
Sebagaimana yang telah disebutkan diawal, bahwa timbangan erat sekali
dengan keadilan, yang mana konsep adil menurut Islam yaitu tidak menzalimi dan
tidak dizalimi. Islam juga menghindari adanya salah satu pihak yang kuat
(berkuasa) sehingga yang kuat menzalimi yang lemah
Adapun mengenai keadilan menurut Islam, bukan hanya sekedar anjuran,
namun perintah yang bersifat mutlak tanpa ikatan waktu, tempat atau individu
tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia pemberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.An-Nahl:90)
Kata adil ayat di atas bersifat umum dan menyeluruh. Semua detail
keadilan tercakup di dalam ayat ini, tak terkecuali adil dalam berbisnis, yang erat
kaitannya dengan menyempurnakan timbangan.
Islam berada pada posisi yang adil dan memainkan peran secara adil dalam
hubungan bisnis terhadap semua peran secara adil dalam hubungan bisnis
terhadap semua pihak dan melarang transaksi yang tidak adil serta ekploitasi
terhadap mausia. Islam mendukung dan menekankan pada permainan yang adil
dalam setiap jenis hubungan komersial; dan perdagangan yang dilaksanakan tanpa
memberikan kesempatan kepada pembeli untuk meneliti bunyi kontrak atau obyek
jual beli adalah dilarang. Sebagaimana perintah al-Qur’an untuk melakukan
17 Muhammad Bin Yazid Abu Abdullah Al-Qazwaniy, Sunan Ibnu Majah Jilid 1(Beirut: Dar Al-fikr, 2004), h. 20.
20
transaksi bisnis yang saling rela dan menjauhkan cara-cara yang tidak adil dan
melanggar hukum.
Adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perkeonomian.
Hal ini dapat ditangkap dalam pesan al-Qur’an yang menjadikan adil sebagai
tujuan agama samawi. Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah atau dapat
dikatakan sebagai unsur paling utama dalam muqashid Syariah. Diantara
timbulnya ketidakadilan yaitu adanya unsur gharar ( ketidaktahuan terhadap
kondisi suatu barang) dan penipuan, yakni jika kadar penipuan itu tidak terlalu
besar mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi kalu sangat besar maka tidak bisa
ditolerir.18
Dalam islam adil memiliki peranan yang sangat penting, maka salah satu
asas bermuamalah adalah adil. Yang mana disebutkan bahwa bisnis tidak boleh
ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, entah sebagai konsumen,
pemasok, penyalur, karyawan, investor, atau kreditor, maupun masyarakat luas.
Semua pihak dalam relasi bisnis apapun, tidak boleh saking merugikan satu sama
lain.19 Implementasinya berupa aturan prinsip bertransaksi yang salah satunya
menghindari adanya kezaliman, yaitu segala bentuk aktifitas yang merugikan diri
sendiri dan orang lain.20 Beberapa cara untuk menghindari terjadinya
kesewenang-wenangan dari salah satu pihak yang bertransaksi. Diantaranya yaitu
adanya campur tangan Negara dalam menetapkan harga pasar sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya.21
B. Konsep Perjanjian dalam Islam
Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.22
18 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Terjemahan Zainal Arifin dan Dahlia Husin, ( Jakarta: Gema Innsani, 1997), h.182-183.
19 A. Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2013), h. 41. 20 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori dan Konsep),, (
Jakarta:Sinar Grafika,2013).hal.56. 21 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam Edisi ke-III (Jakarta: Rajawali Pers, Cet.
IV, 2011), h. 43. 22 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (
Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h.1
21
Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah:
1. Tidak menyalahi hukum Syariah yang disepakati adanya, syarat ini
mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat
perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh
bertentangan dengan Syariah Islam baik yang terdapat dalam Al-Quran
maupun Hadits. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai
konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat
sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
kausa halal.
2. Harus sama ridha dan ada pada pilihan, syarat ini mengandung
pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara
bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan
maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum
dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap
dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan kesepakatan ( konsensualisme).
3. Harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang
menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam
perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat
oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya.
Syarat perjanjian ini menurut hukum perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
adanya objek tertentu.23
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat
sahnya suatu perjanjian yakni: (Subekti,2003:330), pertama, Adanya kata
sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, Kedua, Kecakapan para
23 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h.2
22
pihak untuk membuat suatu perikatan, Ketiga,Suatu hal tertentu, dan
Keempat, Suatu sebab kausa yang halal.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi
yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai
undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela
dengan itikad baik srta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak.
Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari
Allah diakhirat nanti.
Dalam hukum kontrak Syariah terdapat asas-asas perjanjian yang
melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tersebut
diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan
sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan
sifatnya umum adalah:
1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari
ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57):4
yang artinya “Dia bersama kamu dimana saja kamu berada, dan Allah
maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan muamalah termasuk
perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan.
Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu.
Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak
kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada
Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat
sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan
dari Allah SWT.24
2. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
24 Muhammad Syakir Aula (2004). Asuransi Syariah ( Life and General): Konsep dan Sistem Operasional,Cet . 1. (Jakarta: Gema Insani Press), hlm.723-727.
23
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya, “ Pada asasnya sesuatu itu
dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.25 Kaidah fiqh tersebut
bersumber pada dua hadits berikut ini:
Hadits riwayat al-Bazar dan At-Thabrani yang artinya:
“ Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamakan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafnya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”. Hadits riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang
artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia, dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.26
Kedua hadits diatas menunjukkan bahwa segala sesuatunya
adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada
dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi
kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan
bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat.
3. Asas Keadilan (Al-Adalah)
Dalam QS.Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman
yang artinya” Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al-A’raf
25 Imam Musbikin (2001). Qawaid Al-Fiqhiyah, cet.1.1 ( Jakarta:Raja Grafindo Persada), lihat Syamsul nawar (2006). Kontrak dalam Islam …, hlm.12.
26 Imam Musbikin (2001). Qawaid Al-Fiqhiyah, cet.1.1 ( Jakarta:Raja Grafindo Persada), lihat Syamsul nawar (2006). Kontrak dalam Islam …, hlm.59
24
(7):29 yang artinya “Tuhanku mneyuruh supaya berlaku adil”. Dalam
asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar
dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian
yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.27
4. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan
merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para
pihak.28QS.Al-Ahzab (33):70 disebutkan yang artinya, “ Hai orang-orang
yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki
manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat
dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat
dilarang.
5. Asas Tertulis (Al-Kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat
dijadikan sebagai alat bukti apabila dikemudian hari terjadi
persengketaan. Dalm Qs.Al-Baqarah (2); 282-283 dapat dipahami bahwa
Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian
dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung
jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi
tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan
tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
6. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian
yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemasalahatan
27 Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 63.
28Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 63.
25
baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun
bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam Al-
Qur’an dan Hadits.29 Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat
relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para
filosof Islam di masa lampau seperti Al-Ghazali (w.505/1111) dan asy-
Syatibi (w 790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-
ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai mewujudkan kemaslahatan.
Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi religiusitas,
jiwa raga, akal pikiran, martabat, diri dan keluarga, serta harta
kekayaan.30
C. Upah Mengupah dalam Fiqh Muamalah
1. Pengertian Ijarah
Upah atau yang disebut dengan ijaroh. Berasal dari kata al-ajru
yang arti menurut Bahasa ialah al-iwadh yang artinya ialah ganti dan
upah.31 Dalam arti luas ijaroh merupakan suatu akad yang berisi suatu
penukaran manfaat sesuatu dengan jalan yang memberikan imbalan
dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat
barang apabila dilihat dari segi barangnya dan juga bisa diartikan
menjual jasa apabila dilihat dari segi orangnya.
Secara terminology ada beberapa definisi ijarah yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh. Menurut Ulama Syafiiyah ijarah
adalah akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan
serah terima dan ganti yang diketahui manfaat kebolehannya. 32Menurut
Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad terhadap suatu manfaat dengan
29 M Tamyiz Muharrom (2003), “ Kontrak Kerja; Antara Kesepkatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”, dalam Al-Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X Tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syariah FIAI UII), h. 65.
30Ratna Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah, La-Riba, Vol. II, No. 1, Juli 2008.
31 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h.114. 32 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h.113.
26
adanya ganti.33 Sedangkan menurut Malikiyah dan Hanabilah ijarah
adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu.
Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad atau
transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi
penggantian.34
Menurut Ahsin W.Alhafidz dalam buku Kamus Fiqh
menyebutkan ijaroh adalah akad pemindahan hak-hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.35
Ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari Bahasa Arab ke
Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna oprasional.
Sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti seorang mahasiswa
menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah, sedangkan upah
digunakan untuk tenaga, seperti karyawan untuk kerja di pabrik di bayar
gajinya(upahnya) satu kali dalam seminggu atau sekali dalam sebulan,
dalam Bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah. Dalam konteks ini
substansi pembahasan ini yang dimaksud dengan ijarah adalah upah.
Definisi upah menurut KBBI ialah uang dsb. Dibayarkan sebagai
pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dikeluarkan
untuk mengerjakan sesuatu. Pembalasan tersebut dapat disebut dengan
gaji atau imbalan.36
Menurut Afzalur Rahman adalah harga yang dibayarkan kepada
pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti factor produksi
lainnya. Tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya yang disebut upah.
33 Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah ( Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.121. 34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid XIII ( Bandung: Al-Ma’ruf, 1987), h.15. 35 Ahsan W Alhafidz, Kamus Fiqh( Jakarta: Amzah, 2013), h.87. 36 Departemen Pendidikan Nasional, Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011), h.1108.
27
Dengan kata lain, upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas
jasanya dalam produksi.37
2. Dasar Hukum Ijarah
Hampir sermua Ulama fiqh sepakat bahwa Ijarah disyariatkan
dalam Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakati, seperti Abu
Bakar Al-Asham dan Ibnu Ulayyah. Dalam menjawab pandangan ulama
yang menyepakati ijarah tersebut. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa
kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran
menurut kebiasaan (adat).38
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan
berdasarkan Al-Qur’an dan hadits.
a. Al-Qur’an
Firman Allah SWT Surah Al-Qashash ayat 26-27
Artinya: “ salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja(pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang dapat dipercaya”. Berkatalah dia (Syua’ib) : “ sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu, dan kamu, dan kamu insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
37 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, ( Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.361.
38 Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid Jus III, terjemahan M.A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah, ( Semarang: Asy-Syifa,1990), h.194-196.
28
Ayat di atas menerangkan bahwa ijarah telah disyariatkan oleh
umat Islam, dalam ayat ini terdapat pernyataan seorang anak yang
diucapkan kepada ayahnya untuk mengambil seseorang untuk bekerja
dan memberikan imbalan yang telah disepakati sesuai dengan
ketentuan waktu dan manfaat yang dapat diterima oleh ayah tersebut.
b. Landasan As-Sunnah
من استأجر أجیرا فلیعلمھ أجره◌ Artinya : “ Barang siapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), maka beritahukanlah upahnya”.39
Dari hadits diatas disimpulkan bahwa jika seseorang
memperkerjakan orang lain, maka beritahulah upahnya dan berikanlah
upahnya sebelum kering keringatnya dan jadilah orang-orang yang
jujur dalam pekerjaannya.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits Nabi telah
dijelaskan bahwa akad ijarah dengan objek transaksi tenaga sesorang
hukumnya diperbolehkan, karena memang akad tersebut sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang
memiliki banyak harta tetapi tidak memiliki waktu dan disisi lain ada
orang yang tidak memiliki banyak harta tetapi banyak waktu dengan
adanya transaksi ijarah objeknya dalah teanaga seseorang. Maka
orang yang mempunyai harta bisa meminta bantuan kepada orang
yang tidak mempunyai harta dengan imbalan berupa upah.40
3. Rukun dan Syarat Ijarah
39 Zainudin Hamidy, Sahih Bukhari Juz II Bab Ijarah, ( Jakarta: Widjaya, 1983), hlm.55. 40 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Amzah, 2013), hlm.320.
29
Ulama Hanafi mengatakan, bahwa rukun ijarah hanya satu, yaitu
ijab dan qabul saja. Selain ijab dan qabul, menurut Hanafi adalah syarat.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rukun ijarah ada tiga, yaitu
Aqid ( orang yang berakad), ujrah( imbalan berupa upah atau manfaat),
sighat ( Ijab dan Qabul).41
a. Aqid ( orang yang berakad)
Orang yang berakad meliputi mu’jir dan musta’jir. Mu’jir dan
Musta’jir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah
mengupah. Mu’jir sebagai orang yang menggunakan tenaga orang lain
untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu atau orang yang
mempunyai barang sewaan, musta’jir sebagai orang yang menerima
upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu.42 Mu’jir terdiri
dari mu’jir khas, yaitu seseorang memperkerjakan orang pada pekerja
tertentu dan mu’jir musytara, yaitu seseorang-orang yang
memperkerja orang untuk kepentingan banyak.43
Syarat terjadinya akad (al-inqad) dari orang yang berakad.
Menurut Hanafiyah, aqid ( orang yang melakukan akad ) disyaratkan
harus berakal dan mumayiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan
harus baligh dengan ketentuan diizinkan walinya.44
b. Shighat
Yaitu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab
dan qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan
akad ijarah. Syarat -syarat Ijab qabul pada ijarah yaitu, menyebutkan
41 M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) h. 231.
42 Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 95.
43 Suhrawardi K.Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam( Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.164.
44 Rachmat Syafe’I, , Fiqh Muamalah ( Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.125.
30
masa atau waktu yang ditentukan, dibuat sebelum pekerjaan itu
dilakukan dan tidak boleh disangkutpautkan dengan urusan lain dan
terjadi kesepakatan bersama.45
c. Ujrah (upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya
manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajir) tersebut. Syarat-syaratnya
sama seperti jual beli, harga dari manfaat yang dikuasai dengan akad
sewa/upah (ijarah),yaitu:
1) Upah (harga yang dibayarkan) harus suci. Akad ijarah tidak sah
bila upah (bayarannya) adalah anjing,babi,kulit bangkai yang
belum dimasak, atau khamar. Tidak sah pula bend ajika upahnya
benda terkena nanjis dan tidak mungkin disucikan.
2) Upah harus dapat dimanfaatkan. Sesuatu yang tidak dimanfaatkan
tidak sah diajdikan upah. Karena dianggap tidak berharga. Seperti
daging babi atau anjing, karena kedua daging tersebut tidak
bermanfaat menurut Islam.
3) Upah harus dapat diserahkan dengan ketentuan upah berada
dibawah kuasa orang yang berakad.
4) Upah harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi sejak awal. Dalam artian tidak mengandung
gharar.46
4. Macam-macam Ijarah
Seperti yang telah disebutkan diawal, akad ijarah dibagi menjadi
2 macam, yaitu yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah bersifat manfaat,
umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian dan
perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan oleh
45 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), h. 116. 46 Musthafa Dib Al-Mugha, Fiqh Al-Mu’awadhah diterjemahkan dengan judul Buku
Pintar Transaksi Syariah,Terjemahan Fakhri Ghafur ( Damaskus: Darul Musthafa, 2009) h.162.
31
syara’ untuk dipergunakan, maka para Ulama fiqh sepakat menyatakan
boleh dijadikan obyek sewa-menyewa.47
Ijarah bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini, menurut
para ulama boleh hukumnya, apakah jenis pekerjaan ini jelas, seperti
buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Ada
beberapa bagian ijarah pada pekerjaa, seperti, yang bersifat pribadi
(ijarah khas), yaitu menggaji pembantu rumah tangga. Ada yang bersifat
serikat (ijarah musytarik), seperti sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak.48
D. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk
menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada
konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang/jasa. Hukum
per;indungan konsumen merupakan bagfian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi konsumen.49 Menurut peraturan
perundang-undangan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
konsumen.50
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang sangat luas
meliputi perlindungan terhadap seagala kerugian akibat penggunaan
barang dan/atau jasa. Meskipun perlindungan ini diperuntukkan bagi
konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak
mendapat perhatian. Karena bagaimanapun, untuk menciptakan iklim
persaingan usaha yang sehat dan kondusif, keberadaan pelaku usaha
47 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah ( Jakarta: Gaya Media, Cet ke II, 2007), h. 236. 48 Rachmat Syafe’I, , Fiqh Muamalah ( Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.134. 49 Az Nasution, Konsumen dan Hukum, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.65 50 Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 1 ayat (1).
32
sebagai produsen barang dan/atau jasa harus mendapatkan perlakuan
adil,dengan memposisikan sebagai mitra konsumen dalam memenuhi
kebutuhan sesuai hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perikatan.51
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Untuk dapat menegakkan hukum perlindungan konsumen, perlu
diberlakukan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penetapan
hukum. Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip yang berlaku
dalam hukum perlindungan konsumen dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan yang menyatakan bahwa : perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, kemanan, dan keselamatan
konsumen serta partisipasi hukum.52
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai asas perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut :
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara
adil.
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberi keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materil maupun spiritual.53
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keselamatan kepada konsumen dalam
51 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, ( Malan:UIN Maliki Press, 2011), h.2.
52 Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,Pasal 2. 53 Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet 2,(
Jakarta:2005), h. 5.
33
pengunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum dimaksud agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelengaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.54
Tujuan perlindungan konsumen pada hakikatnya adalah untuk
mencapai maslahat dari hasil transaksi ekonomi/bisnis. Pengertian
maslahat dalam kegiatan ekonomi/bisnis adalah perpaduan antara
pencapaian keuntungan dan berkah.55 Keuntungan diperoleh apabila
kegiatan usaha memberikan nilai tambah dari aspek ekonomi, sedangkan
berkah diperoleh sesuai prinsip-prinsip Syariah. Karena itu untuk
mencapai tujuan tersebut, diperoleh kesadaran dari pelaku usaha untuk
selalu mengedepankan perbuatan yang tidak baik bertentangan dengan
prinsip-prinsip Syariah dan peraturan lainnya yang berlaku secara yuridis
formal.
Sehingga dengan adanya Undang-Undang tersebut diharapkan
akan terwujud suatu tantangan masyarakat dan hukum yang baik dan
menjadikan kesimbangan antara produsen dan konsumen yang baik agar
terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga tercapai
kemakmuran dan kesejahteraan.
3. Unsur-unsur Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen terbentuk dari pola hubungan
antara beberapa unsur utama yaitu terkait di dalamnya. Hubungan
tersebut tercipta dari suatu perikatan bisnis yang menimbulkan akibat
hukum. Dalam hukum perlindungan konsumen, pengertian akibat hukum
tidak hanya berhenti setelah terjadinya kesepakatan para pihak (ijab
54 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, ( Malang:UIN MALIKI PRESS,2011), h. 4.
55 Tim P3EI Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.135.
34
qabul), melainkan perlu ditindak lanjuti hingga pasca terjadinya
kesepakatan tersebut. Artinya, meskipun perikatan bisnis telah
dinyatakan selesai;namun pihak konsumen tetap berhak mendapatkan
perlindungan hukum atas pengunaan barang dan/atau jasa yang
disediakan produsen.56
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut:
a. Konsumen
Dalam transaksi ekonomi, disebut konsumen karena sesorang
atau badan hukum menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa
untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, konsumen adalah
setiap orang, kelompok atau badan hukum pemakai suatu harta benda
atau jasa benda karena adanya hak yang sah, baik dipakai untuk
pemakaian akhir maupun proses produksi selanjutnya.57 Sedangkan
menurut Undang-Undang, yang dimaksud konsumen adalah : “ setiap
orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”58
Berdasarkan pengertian diatas, subjek yang disebut konsumen
berarti setiap orang yang berstatus sebagai pengguna suatu produk
tertentu. “ Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir
dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaatan akhir dari suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-
Undang ini adalah konsumen akhir.”
56 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, ( Malang:UIN MALIKI PRESS,2011), h.6.
57Muhammad dan Alimin, Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam,( Yogyakarta:BPFE UGM,2004),h.129-130.
58 Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 1 ayat (2).
35
b. Pelaku Usaha
Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan Konsumen, memberikan pengertian pelaku usaha,
sebagai berikut:
“ Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”59
Penjelasan “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang,
distributor, dan lain-lain.”60
c. Barang dan/atau jasa
Produk barang dan/atau jasa yang menjadi objek perlindungan
konsumen beragam jumlahnya. Keragaman ini seiring dengan tuntutan
kebutuhan konsumen terhadap pemakai produk tersebut, yaitu mulai
dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan pelengkap yang semuanya
perlu mendapatkan perlindungan hukum.61 Dalam hukum kontrak,
agar sesuatu dapat dijadikan sebagai objek yang merupakan bagian
rukun perikatan, maka pemberlakuannya harus memenuhi persyaratan
yaitu sesuatu yang menjadi objek (barang dan/atau jasa) sehingga
dapat diserah terimakan, adanya kepemilikan sempurna terhadap
objek perikatan.62
59 Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Penjelasan Pasal 1 ayat (3) 60 Abdul Halim Barakatullah, Hak-Hak Konsumen, ( Bandung:Nusa Media, 2010), h.149. 61 Burhanuddin S, Pemikiran Hukum, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan
Sertifikasi Halal, ( Malang:UIN MALIKI PRESS, 2011), h.15. 62 Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, cet ke 1 ,( Yogyakarta:BPFE UGM,2009),
h.31.
36
4. Hak dan Kewajiban Konsumen Dengan Pelaku Usaha
a. Hak konsumen
1) Hak atas kenyamanan, keamanan,dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan Pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi,ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9) Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.63
b. Kewajiban Konsumen
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan
dan keselamatan.
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
63 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia,( Malang:Bayumedia Publishing, 2007), hal.139
37
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
c. Hak pelaku usaha (Menurut pasal 6 UU Nomor.8 Tahun 1999)
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
d. Kewajiban pelaku usaha ( Menurut pasal 7 UU Nomor.8 Tahun 1999)
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memberikan informasi yang benar, jelas,dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
38
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.64
5. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Bab IV
Pasal 8 hingga pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, secara khusus mengatur mengenai perbuatan
hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, seperti larangan dalam
memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan,
larangan-larangan dalam penjualan secara obral/lelang, dan dimanfaatkan
dalam ketentuan periklanan.65
Larangan dalam memproduksi/memperdagangkan barang atau
jasa bagi pelaku usaha tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:
Pasal 8
a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Tidak sesuai dengan berat berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut.
3) Tidak sesuai dengan ukuran,takaran,timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
64 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia,( Malang:Bayumedia Publishing, 2007), hal.139.
65 Lastini, “ Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “ , Lex Privatum, Vol.IV/No.6/Juli/2016.
39
4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya,mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
6) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket
,keterangan,iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
7) Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling bai katas barang tertentu.
8) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang,ukuran,berat/isi bersih atau netto,
komposisi,aturan pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum
perlindungan konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa Undang-Undang
tersebut bukanlah yang pertama dan terakhir, karena sebelumnya telah
ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen terbesar dalam
beberapa peraturan perundang-perundangan. Undang-Undang ini
mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik yang
40
menyangkut hukum materiil maupun hukum formil mengenai
penyelesaian sengketa konsumen.66
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU Nomor 8 Tahun
1999) dengan jelas mempunyai tujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk
melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindakannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau
jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan,dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian
merupakan faktor yang sangat penting, walaupun bukan factor mutlak
yang harus ada. Dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan
konsumen, pernah ada suatu kurun waktu yang menganggap unsur
perjanjian mutlak harus ada lebih dahulu, barulah konsumen dapat
memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketanya. Pandangan
prinsipil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali.67
66Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, ( Bandung:Nusa Media), 2008, h.20.
67 Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, ( Bandung:Nusa Media), 2008, h.20.
41
Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat
membantu memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan
pihak yang merugikan hak-haknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan
karena merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.
Perlunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak lain,
karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen karena
mengenai proses sampai hasil produksi barang dan jasa yang telah
dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.
Dengan adanya Undang-Undang perlindungan konsumen ini
diharapkan akan mampu menjadi sumber atau acuan bagi peraturan-
peraturan lainnya dan dapat pula dijadikan sebagai dasar pembentukan
bagi peraturan perundang-undangan konsumen ditingkat rendah.68
E. Penelitian Terdahulu
Dalam melakukan suatu penelitian, penelitian terdahulu menjadi penting
untuk dimunculkan sebagai bentuk pembuktian bahwa penelitian yang dilakukan
ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Adapun
penelitian terdahulu sebagai berikut
1. Skripsi yang ditulis oleh Zendy, Mahasiswa Fakultas Hukum dan
Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pada tahun
2015 dalam skripsinya yang berjudul “ Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Pembulatan Harga
Yang Harus Dibayar Di SPBU Kota Semarang”. dalam penelitiannya,
peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis yang
bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
Pelaksanaan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
konsumen terkait dengan pembulatan harga yang harus dibayar adalah
dengan adanya UUPK dapat berupa penyelesaian sengketa yang dapat
dilakukan melalui pengadilan dan diluar pengadilan ( Pasal 45 ayat (2)
68 Erna Rajagukguk, “ Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”,( Bandung: Mandar Maju,2000), h.6-8.
42
UUPK). Konsumen juga bisa meminta pertanggungjawaban kepada
pelaku usaha dalam bentuk tuntutan ganti rugi dengan dasar wanprestasi
atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha.69
Perbedaan objek penelitiannya pada pembulatan harga BBM di
SPBU, sedangkan objek penelitian yang akan dibahas oleh peneliti
adalah tentang pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang di
Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dengan tinjauan Fiqh dan Hukum
Perlindungan Konsumen. Persamaan dari penelitian disini terletak pada
system pembulatannya.
2. Skripsi Yasir Sadan dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Pengambilan
Keuntungan Melalui Pembulatan Pada Bisnis Warung Internet
Perspektif UU No 8 Perlindungan Konsumen dan Perspektif Hukum
Islam ( Studi Kasus Net City Yogyakarta )”. Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa, dalam proses pembulatan, pihak Net City tidak
memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak konsumen baik lisan
maupun tulisan. Dengan demikian dari segi yuridis (UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen), terjadi pelanggaran terhadap
konsumen yang terdapat dalam pasal 4 yaitu hak atas informasi yang
benar, jelas,dan jujur. Dari segi asas-asas muamalat,beberapa konsumen
ada yang merasa dirugikan dan tidak rela dengan adanya pembulatan. Hal
ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah yaitu prinsip muamalat
dilakukan atas dasar sukarela (‘ an-taradin)
Perbedaan objek penelitiannya pembulatan pada bisnis warung
internet, sedangkan objek penelitian yang akan dibahas oleh peneliti
adalah tentang pembulatan timbangan pada jasa pengiriman barang di
Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dengan tinjauan Fiqh dan Hukum
69Zendy, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Pembulatan Harga Yang Harus Dibayar Di SPBU Kota Semarang”,( Skripsi-Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 2015), hal.110
43
Perlindungan Konsumen. Persamaaan dari penelitian disini terletak pada
sistem pembulatannya.70
3. Skripsi Tri Wahyuni Bashiroh dari mahasiswi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (2016). Dalam
skripsinya yang berjudul “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap
Pembulatan Timbangan Pada Jasa Laundry di Kaey Laundry”.
Penelitian ini menggunakan penelitian empiris yang bersifat deskriptif
kualitatif. Adapun hasil penelitiannya menyampaikan bahwa praktik
yang dilakukan KAEY Laundry adalah fasakh karena salah satu dari
syarat sah ijarah tidak terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Hanafiyah, tetapi jika konsumen tidak merasa dirugikan maka kegiatan
yang dilakukan oleh KAEY Laundry adalah sah. Sedangkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengenai hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha, dan perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha dapat disimpulkan bahwa praktik
pembulatan timbangan yang dilakukan Kaey Laundry adalah kontradiktif
atau bertentangan.
Perbedaan objek penelitiannya pada pembulatan timbangan pada
jasa di Kaey Laundry, sedangkan objek penelitian yang akan dibahas
oleh peneliti adalah tentang pembulatan timbangan pada jasa pengiriman
barang di Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dengan tinjauan Fiqh dan
Hukum Perlindungan Konsumen. Persamaaan dari penelitian disini
terletak pada sistem pembulatannya.71
70 Yasir Sadan, “ Pengambilan Keuntungan Melalui Pembulatan Pada Bisnis Warung Internet Perspektif UU No.8 Perlindungan Konsumen dan Perspektif Hukum Islam (Study Kasus Net City Yoyakarta)”,( Skripsi- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hal.65
71Tri Wahyuni Bashiroh, Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Laundry di Kaey Laundry” ( Skripsi-UIN Sunan Ampel Surabaya,2016) hlm.70.
BAB III
GAMBARAN UMUM PRAKTIK PEMBULATAN TIMBANGAN DI
PT. JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE)
A. Sejarah Singkat Berdirinya PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE)
Jalur Nugraha Ekakurir atau biasa dikenal dengan JNE merupakan salah satu
perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pengiriman logistik yang berpusat di
Jakarta. Di bawah nama resmi yang berlabel Tiki Jalur Nugraha Ekakurir adalah
perusahaan pengiriman terbesar di Indonesia. Pada tanggal 26 November 1990,
Soeprapto suparno mendirikan perusahaan PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir.
Perusahaan ini mulai sebagai divisinya PT Citra Van Titipan Kilat (TIKI) yang
bergerak dalam bidang internasional dengan delapan orang dan uang 100 juta rupiah
JNE memulai kegiatan usahanya yang terpusat pada penanganan kegiatan
kepabeanan, impor kiriman barang, dokumen serta pengantarannya dari luar negeri ke
Indonesia.1
Pada tahun 1991, JNE memperluas jaringan internasional dengan bergabung
sebagai anggota asosiasi perusahaan-perusahaan kurir beberapa negara Asia (ACCA)
yang berpusat di Hongkong, kemudian memberi kesempatan kepada JNE untuk
mengembangkan wilayah sampai ke seluruh dunia karena persiangannya di pasar
domestik, JNE juga memusatkan dan memperluas jaringan domestik. Jaringan
domestik JNE mendapat keuntungan persaingan dalam pasar domestik. JNE juga
memperluas pelayanannya dengan logistik dan distribusi.
Selama setahun TIKI dan JNE berkembang dan menjadi dua perusahaan yang
mempunyai tujuan tersendiri dan menjadi persaingan. Pada akhirnya JNE menjadi
perusahaan diri sendiri dengan manajemen diri sendiri. JNE membuat logo sendiri
dan membedakannya dari TIKI.
1 www.jne.co.id, di akses pada tanggal 12 Januari 2017
44
45
JNE juga membeli Gedung-gedung pada tahun 2002 dan mendirikan JNE
Operations Sorting Center. Pusat Kantor JNE didirikan pada tahun 2004. Keduanya
berada di Jakarta. Prestasi dan komitmen JNE dibuktikan dengan diraihnya berbagai
penghargaan diantaranya :2
1. Adikarya Pos pada Tahun 1998
2. Adikarya Pos pada Tahun 2001
3. Satyalancana Wirakarya pada Tahun 2004
4. Superbrands Indonesia pada Tahun 2005
5. Anugrah Produk Asli Indonesia pada Tahun 2008
6. Satyalancana Wirakarya pada Tahun 2009
7. Western Union Award- Pertumbuhan Transaksi Tertinggi & Pertumbuhan
Penerimaan Tertinggi pada Tahun 2010
8. Indonesia Brand Champion Versi Markplus Insight Kategori Silver Brand
Champion Of lOgistic pada Tahun 2010
9. Indonesia Brand Champion Versi Markplus Insight Kategori Bronze Brand
Champion Of Most Popular Brand dan Silver Brand Champion Of Most
Recommended Brand pada Tahun 2012
10. Sertifikasi Iso 9001 pada Tahun 2008 Atas Sistem Manajemen Mutu
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan bisnis JNE semakin baik, bahkan diatas
rata-rata pertumbuhan industri, Industri sendiri bertumbuh hanya sebesar 10% -15,
namun bisnis JNE tumbuh hingga 20 % tiap tahunnya. Saat ini JNE di dukung oleh
lebih dari 1000 karyawan dan tidak kurang dari 1.500 gerai yang tersebar di seluruh
Indonesia. Tidak hanya itu, JNE sekarang membuka bisnis baru yakni trucking. Ini
adalah layanan pengiriman barang-barang kebutuhan pokok. Layanan trucking ini
dilengkapi dengan GPS agar terpantau. JNE juga bekerja sama dengan perusahaan
pengiriman barang, UPS. Konsumen bisa mengirimkan barang ke luar negeri lewat
UPS ini. Rencana selanjutnya, JNE berencana terjun ke bisnis surat menyurat di
2 Hasbi, (Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Sabena Anugerah Ciputat, 06 Maret 2020.
46
bawah 500 gram. Bisnis yang sebelumnya dimonopoli PT.Pos Indonesia, dengan
pencabutan aturan ini maka membuka peluang bagi JNE. JNE saat ini tinggal
menunggu aturan pemerintah yang mengatur soal bisnis ini.3
B. Mekanisme Pembulatan Timbangan di PT.Jalur Nugraha Ekakurir
Dalam penghitungan berat barang yang akan dikirim untuk menentukan tarif
dari barang tersebut, maka pihak PT.Jalur Nugraha Ekakurir terdapat dua sistem
yaitu: sistem progresif dan sistem Volumetrik.4
1. Pembulatan sistem progresif
Yang dimaksud penghitungan progresif disini adalah penghitungan
berdasarkan berat paket barang, jadi makin berat barang tersebut maka
ongkos kirimnya akan makin besar. Misalkan ongkos kirim ke Bandung Rp
21.000,00/kg dan berat paket yang dikirim seberat 2 kg, maka ongkos kirim
yang harus dibayarkan adalah 2 kali (x) Rp 21.000,00 yaitu sebesar
Rp 42.000,00.
Menggunakan tarif Progresif ini, pihak PT.Jalur Nugraha Ekakurir
(JNE) tidak menggunakan berat asli paket barang, melainkan menggunakan
timbangan per-kilogram (kg), tidak sampai menghitung berat barang dalam
satuan ons. Dengan kata lain, JNE membulatkan berat asli barang dengan
hitungan kilogram (kg). pengitungan pembulatan timbangan JNE ini yaitu,
jika berat barang tidak melebihi 1 kg maka akan ditetapkan menjadi 1 kg,
dan bila 1 kg lebih dari 3 ons, maka akan dibulatkan.
3 Hasbi, (Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Sabena Anugerah Ciputat, 06 Maret 2020.
4 Ayu Amalina ( Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Jl. Ir.H.Juanda Ciputat, Ciputat, 25 oktober 2019.
47
Berikut ini prosedur pembulatan timbangan tersebut :
a. Pembulatan progresif di JNE Sabena Anugerah Ciputat 5
Tabel : 1.1
Batas berat Pembulatan
> 0,3 𝑘𝑔 1 Kg
< 1,3 𝑘𝑔 2 Kg
> 1,3 𝑘𝑔 2 kg
< 2,3 𝑘𝑔 3 kg
> 2,3 𝑘𝑔 3 kg
Hal ini berbeda dengan pembulatan progresif yang dilakukan oleh
pihak JNE yang ada di Jl.Ir.H.Juanda Ciputat6
Tabel 1.2
Berat Pembulatan
> 0,3 𝑘𝑔 1 kg
< 1,3 𝑘𝑔 1 kg
> 1,3 𝑘𝑔 2 kg
< 2,3 𝑘𝑔 2 kg
> 2,3 𝑘𝑔 3 kg
2. Pembulatan sistem Volumetrik (Volume)
Penghitungan sistem volumetrik adalah penghitungan berdasarkan
volume paket barang yang akan dikirim. Apabila barang tersebut besar tetapi
tidak sesuai dengan beratnya, contoh barangnya seperti boneka, kerupuk,
5 Hasbi ( Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Sabena Anugerah Cabang Ciputat, Ciputat 26 Oktober 2019.
6 Ayu Amalina ( Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Jl. Ir.H.Juanda Ciputat, Ciputat, 25 oktober 2019.
48
gitar, dll. Maka barang yanag akan dikirim dihitung menggunakan hitungan
volume. Yaitu dengan cara mengukur ukuran (Panjang, lebar, dan tingginya)
paket barang yang akan dikirim dengan rumus :
𝑃 𝑥 𝐿 𝑥 𝑇 6000
x 1 kg
Misal panjang paket barang 27 cm, lebar barang 26 cm dan tinggi
barang 32 cm maka menggunakan rumus kg 𝑃 𝑥 𝐿 𝑥 𝑇6000
x 1 kg yaitu
27 𝑐𝑚 𝑥 26 𝑥 32 𝑐𝑚6000
x 1 kg = 3,7 kg. karena hasil dari perhitungan
Hasil perhitungan diatas, apabila hasilnya kurang dari 3 kg ( 3 kg ke
bawah) maka mengikuti sistem progresif , tetapi jika hasil penghitungan
lebih dari 3 kg ( 3 ke atas), mengikuti sistem volumetrik. Dari kedua cara
perhitungan tersebut masih menggunakan pembulatan. Jika berat barang
yang telah dihitung melalui rumus mencapai 0,3 sudah masuk pembulatan
berikutnya, seperti pembulatan kilogram yang telah dijelaskan sebelumnya.
Berikut tabel Nilai Pembulatan dalam sistem Volumetrik 7
Tabel 1.3
Volume Pembulatan
0,1 Kg-≤ 1,3 Kg 1 Kg
>1,3 Kg-≤ 2,3 Kg 2 Kg
>2,3 Kg-≤ 3,3 Kg 3 Kg
> 3,3 Kg-≤4,3Kg 4 Kg
>4,3Kg-≤ 5,3 Kg 5 Kg
Dengan adannya sistem pembulatan volumetrik tersebut maka
banyak customer yang keberatan dengan adanya sistem tersebut bahkan ada
7 Ayu Amalina ( Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Jl. Ir.H.Juanda Ciputat, Ciputat, 25 oktober 2019.
49
juga yang merasa membayar lebih mahal. Oleh karena itu karyawan JNE
yang bertugas sebagai penimbang barang seringkali menyarankan kepada
pihak pengirim barang agar :
a. Menggunakan kemasan atau kardus yang sesuai dengan berat barangnya.
Jangan memakai kemasan atau kardus yang terlalu besar atau longgar,
kecuali apabila kemasan itu bertujuan untuk melindungi paket agar tidak
mudah rusak karena adanya benturan.
b. Usahakan agar barang yang akan dikirim tersebut bisa diringkas agar
tidak memakan tempat.
Adapun pada transaksinya konsumen menjumpai pihak JNE untuk
mengirim barang. Saat akan melakukan transaksi konsumen terlebih dahulu
menimbang barang ( kecuali dokumen) yang telah disediakan, setelah itu
konsumen melihat langsung berat asli barang, dan pihak JNE memberikan
informasi berat paket barang yang sudah dibulatkan kemudian konsumen
memilih servis tersebut, konsumen membayar ongkos kirim yang telah
ditetapkan berdasarkan tujuan wilayah pengiriman dan hasil timbangan
perkilogram.
Pada akad tersebut, yaitu pada saat pengiriman barang. Biasanya
pihak JNE tidak memberi informasi kepada konsumen terkait pembulatan
timbangan tersebut. Menurut mereka pembulatan tersebut sudah ketentuan
umum jasa pengiriman. Hasil wawancara penulis dengan konsumen, terkait
dengan informasi pembulatan, banyak konsumen yang telah mengetahui,
namun ada pula sebagian yang tidak mengetahui tentang adanya pembulatan
timbangan tersebut.
Dua perhitungan diatas (Berat dan Volume), menggunakan system
perhitungan yang berbeda, namun sama dalam hal pembulatannya, pihak
JNE menyebutkan alasan utama adanya pembulatan tersebut karena sudah
50
ketentuan dari perusahaan. Selain alasan tersebut pihak JNE juga
menyebutkan tujuan pembulatan untuk;8
a. Memudahkan dalam menentukan tarif, artinya jika JNE memakai
timbangan per ons maka JNE sangatlah kesulitan menentukan tarifnya
misalnya 1,2 kg ada tarif tersendiri, 1,3 ditentukan tarif tersendiri. Maka
JNE kesulitan karena kota yang ada di Indoenesia sangatlah banyak. Oleh
karena itu, JNE memakai patokan timbangan per kg.
b. Terbatasnya uang receh, artinya apabila timbangan ditentukan harganya
sendiri misalnya, 1 kg dengan tarif 8.000, maka apabila 1,1 kg menjadi
8.800. begitupun selanjutnya. Dengan ini sangat menyulitkan bagi
karyawan dan konsumen mencari pecahan uang receh.
c. PPN sudah ditanggung oleh pihak JNE, artinya konsumen tidak perlu lagi
tertipu dengan tarif yang sudah ada.
C. Produk Layanan Di PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE ) Layanan yang terdapat dalam JNE terdapat 4 (empat) layanan dengan sistem
yang berbeda-beda diantaranya:9
1. SS ( Special Service)
Sering juga dikenal dengan sebutan Spesial Speed. Layanan ini
merupakan layanan yang paling cepat yaitu menjanjikan waktu pengiriman
barang sampai tujuan pada hari yang sama, hitungannya 13 jam dari
pemberangkatan. Layanan ini menggunakan transportasi udara atau darat
langsung ke tujuan. Dalam layanan ini tidak semua bisa menggunakan
layanan ini hanya kota-kota besar. Apabila dalam 12 jam barang belum
sampai ke tujuan maka layanan berganti menjadi layanan YES maka tarif
8 Ayu Amalina ( Karyawan JNE), Wawancara dengan penulis, JNE Jl. Ir.H.Juanda Ciputat, Ciputat, 25 oktober 2019.
9 Lukman Nulhakim ( Karyawan JNE), Wawancara dengan Penulis, JNE Legoso Raya, Pisangan, 26 Oktober 2019.
51
juga menggunakan layanna YES. Sisa uang dari SS menjadi YES maka akan
dikembalikan.
2. YES ( Yakin Esok Sampai )
Dalam layanan pengiriman ini pihak JNE menjanjikan waktu
pengiriman barang sampai tujuan dalam waktu 24 jam atau 1 hari, yang
artinya sekarang kirim besok akan sampai pada tujuan. Apabila barang
belum sampai keesokan harinya maka pihak JNE membebaskan uang
pengiriman maksudnya uang kembali 100 % jika itu kesalahan dari JNE,
tetapi apabila itu kesalahan dari customer atau pihak pengirim barang maka
uang tidak akan kembali sama sekali.
Dalam layanan SS dan YES ini tidak semua kota bisa menggunakan
layanan ini hanya kota-kota besar yang mempunyai bandara dan mempunyai
penerbangan langsung antara kota pengirim barang dengan kota tujuan
barang, jadi walaupun kota mempunyai bandara tetapi tidak mempunyai
penerbangan langsung maka tidak bisa menggunakan layanan ini.
3. REG ( Reguler )
Layanan ini menjanjikan barang sampai ketujuan antara 2-3 hari dari
pengiriman. Dalam layanan ini semua pelosok Indonesia bisa dijangkau
untuk pengiriman barangnya.
4. OKE ( Ongkos Kirim Ekonomis )
Layanan ini menawarkan layanan dengan biaya ekonomis. Paling
murah dari layanan-layanan yang lain. Layanan ini memanfaatkan udara dan
darat yang menghubungkan kota-kota besar, ibu kota provisni sampai
kabupaten. Dalam layanan ini menjanjikan barang sampai 5-7 hari setelah
pengiriman.
Ketentuan-ketentuan diatas merupakan pilihan pengiriman yang
ditawarkan JNE, customer JNE bisa memilih sesuai kebutuhannya.
52
Untuk mengetahui tarif-tarif pengiriman yang dituju maka pihak JNE
memberikan fasilitas dalam mengecek ongkos kirim secara online agar
memudahkan para customernya dengan cara : 10
1. Membuka website resmi JNE yaitu www.jne.co.id.
2. Memasukan alamat kota asal dan tujuan serta berat barang yang akan
dikirim.
10 http:///www.JNE.co.id, diakses pada tanggal 15 Januari 2017
53
3. Jika sudah memasukan langkah ke dua maka akan keluar ongkos kirimnya.
Seperti contoh dibawah ini jika beratnya 1 kg.11
D. Sistem Berlipatnya Tarif
Dengan penghitungan pembulatan diatas sangat berpengaruh sekali dalam
menentukan tarif barang yang akan dikirim. Dalam sistem JNE dalam menentukan
tarif pengiriman barang ditentukan dari beberapa faktor diantaranya: 12
1. Berat paket yaitu makin berat paket maka tarif akan makin mahal.
2. Jarak pengiriman yaitu makin jauh tujuan paket maka tarif akan makin
mahal.
3. Jenis layanan yang digunakan yaitu terdapat 4 ( empat) pilihan layanan
pengiriman diantaranya: SS, YES, REG dan OKE. Dalam keempat paket
tersebut sangat berbeda sistemnya, yang bedakan yaitu jangka waktu
sampainya barang dan murah mahalnya tarif tersbut.
11 http:///www.JNE.co.id, diakses pada tanggal 15 Januari 2017 12 Agung Putra ( Karyawan JNE bagian HRD ), Wawancara dengan penulis, JNE Sabena
Anugerah Cabang Ciputat, 26 Oktober 2019.
54
4. Jenis transportasi yang digunakan barang yang dikirim apabila menggunakan
transportasi udara lebih mahal tarifnya daripada barang menggunakan
transportasi darat.
Dalam penentuan tarif JNE Juga menggunakan pembulatan, pembulatan yang
dimaksud disini yaitu apabila kota tujuannya ke malang dan beratnya 1 kg maka
tarifnya 8.000 ( delapan ribu rupiah) apabila berat barangnya 2 kg maka tarif itu
berlifat menjadi 16.000 ( enam belas ribu rupiah) jadi makin bertambah berat barang
tersebut maka tarif akan berlifat menjadi 8.000 ( delapan ribu rupiah) dan seterusnya.
Dengan adanya pembulatan timbangan tersebut para pengguna jasa
pengiriman barang JNE merasa dirugikan yang dinyatakan dalam wawancara oleh
beberapa konsumen, bahwa :
“ menurut saudari Risa selaku konsumen dan sebagai distributor pakaian yang bergerak dibidang online shop sangat sering menggunakan jasa layanan JNE untuk mengirim barang pesanan langganan. Beliau merasa sangat dirugikan dengan adanya pembulatan timbangan karena barang-barang yang di kirim tidak selalu pas 1 kg atau 2 kg, pasti barang-barang yang akan di kirim timbangannya banyak yang kurang dari 1 kg atau 2 kg, tetapi pihak JNE menggunakan pembulatan patokan per kg. hal ini sangat berpengaruh karena tarif menjadi berlifat, apalagi barang yang akan dikirim lebih dari satu barang. Jika satu barang tersebut terjadi pembulatan, otomatis barang yang lain akan dibulatkan dan tarif yang diberikan jadi berlipat. Hal ini sangat merugikan konsumen. Faktor lain yang merugikan konsumen yaitu sering terjadi bahwa karyawan yang menjadi kasir tidak memperlakukan peraturan pembulatan, seringkali menjumpai berat barang masih 1,2 kg sudah dibulatkan menjadi 2 kg. hal ini sangat berpengaruh kepada konsumen yang bergerak dibidang online shop atau pun bisnis lainnya yang menggunakan jasa pengiriman barang yaitu JNE .” 13
Bukan hanya saudari Risa, saudari Ayu dan bapak Hermawan juga mengalami
hal yang sama, bahwa :
“ Menurut saudari ayu sebagai pelanggan yang sering menggunakan layanan JNE mengenai pembulatan timbangan harusnya patokannya per 1
2� kg. jadi misalnya barang yang akan dikirim beratnya 1,4 kg dibulatkan menjadi 1,5 kg tidak langsung 1,4 kg menjadi 2kg karena perbedaanya sangat jauh. Jika 1,6 kg atau 1,7 kg atau 1,8 kg dibulatkan jadi 2kg itu benar. Tetapi kalau 1,4 kg dibulatkan menjadi 2 kg itu tidak adil bagi konsumen.”14
13 Risa Mahalini, Konsumen, interview pribadi, Ciputat , 28 Oktober 2019. 14 Ayu Nadia, mahasiswa UIN Jakarta, interview pribadi, Ciputat, 29 Oktober 2019.
55
“ menurut bapak Hermawan selaku konsumen dari JNE pembulatan yang dilakukan oleh JNE sangat merugikan konsumen dan tidak adil bagi beliau khususnya para pembisnis dan sangat menguntungkan bagi pihak JNE , karena pembulatan yang digunakan dalam JNE yaitu pembulatan ke atas dan ke bawah. Contoh pembulatan ke atas adalah berat barang > 1,4 kg dibulatkan menjadi 2kg. Jadi, konsumen merasa rugi 6 ons.Sedangkan pembulatan ke bawah adalah berat barang < 1,3 kg dibulatkan menjadi 1 kg. Jadi, pihak JNE hanya menanggung 3 ons. Grafik antara pembulatan ke atas dengan ke bawah itu tidak seimbang antara pihak JNE dengan Konsumen. Faktor lain yang merugikan para konsumen yaitu bahwa tidak semua karyawan JNE yang menjadi kasir memberlakukan sistem pembulatan tersebut sesuai dengan ukurannya adapula karyawan apabila berat timbangan masih 1,2 kg itu sudah dibulatkan menjadi 2 kg.15
Dari hasil yang telah dikemukakan oleh beberapa konsumen tersebut cukup
mewakili bahwa pelanggan telah merasa dirugikan dengan adanya pembulatan
timbangan tersebut.
Akan tetapi menurut hasil wawancara peneliti dengan pihak JNE tentang
adanya pembulatan timbangan bahwa:
“ menurut bapak Rijal dengan adanya pembulatan timbangan itu untuk mempermudah dalam bertransaksi saja, seperti mempermudah untuk menentukan harga, PPN sudah ditanggung oleh JNE dan menghindari uang receh yang mana konsumen dan para karyawan kasir tidak dibingungkan lagi untuk mencari uang receh karena antrian di JNE selalu Panjang.”16
Jadi menurut pihak JNE dengan menghindari uang receh dan PPN sudah
ditanggung oleh JNE itu sangat memudahkan bertransaksi, apalagi untuk saat ini jasa
pengiriman barang JNE sangat popular dipergunakan oleh masyarakat yang bertujuan
untuk menghindari antrian yang sangat Panjang.
15 Hermawan, Wawancara Pihak Konsumen, Ciputat, 3 November 2019 16 Rijal Andriana, Wawancara karyawan JNE, Ciputat, 3 November 2019
BAB IV
ANALISIS PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA PENGIRIMAN
BARANG PT JALUR NUGRAHA EKAKURIR (JNE) PERSFEKTIF FIQH
MUAMALAH DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang PT Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) Perspektif Fiqh Muamalah
Islam adalah agama yang komprhensif, mengatur segala tata cara
kehidupan manusia, baik dalam aspek ibadah, aqidah dan muamalah. Dari tiga
tatacara tersebut, bidang muamalah sangat dominan dalam Al-Qur’an dan
muamalah sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Aspek muamalah
diantaranya yaitu: jual beli, hutang piutang, gadai, sewa menyewa, atau upah dan
lain-lain.
Umumnya, aspek dan materi muamalah berkaitan dengan masalah akad
(perjanjian, kontrak) atau transaksi. Secara etimologis, akad berarti perikatan, dan
secara terminologis berarti ikatan antara dua pihak untuk menetapkan perbuatan
hukum bagi satu atau kedua belah pihak yang berakad. Menurut Wahbah Az-
Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Suriah, akad berarti pengikatan ijab dengan
Kabul sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’ dan mempunyai akibat
hukum tertentu bagi pelakunya.1
Akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai
persoalan mu’amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau
tidaknya suatu transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat
hukum) yang sangat luas. Dengan sahnya akad sebuah kepemilikan bisa berpindah
dari kepemilikan seseorang kepada pihak yang lain. Dengan akad pula dapat
merubah suatu kewenangan, tanggung jawab dan kegunaan sesuatu. Atas dasar
inilah kajian tentang akad akan menjadi sangat penting untuk diuraikan sebelum
berbicara tentang berbagai persoalan mu’amalah dalam Islam.
Menurut kajian fiqh muamalah kegiatan yang dilakukan oleh PT Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) merupakan salah satu bentuk transaksi dalam Islam
1 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencan, 2005), h.3.
56
57
yakni ijarah (upah mengupah) mengapa demikian, karena definisi Al-Ijarah ialah
ganti dan upah. Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddqie bahwa ijarah ialah akad
yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan
manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
kepada orang lain. Dimana pelaku usaha bertindak sebagai musta’jir ( orang yang
menerima upah untuk melakukan sesuatu) dan mu’jir adalah ( orang yang
memberikan upah dan yang menyewakan).
Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan Ijma’. Semua umat
bersepakat, bahwa sewa-menyewa dan upah adalah boleh, tidak ada seorang
ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma) ini, sekalipun ada beberapa orang
diantara mereka yang berbeda pendapat.
Yang dimaksud ijarah itu adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi
dalam hal ini bendanya tidak kurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan
terjadinya peristiwa ijarah, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang
disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan,
rumah, dan manfaat karya seperti pemusik bahkan dapat berupa karya pribadi
seperti pekerja.
Menurut Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ijarah tidak
ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan pada penyewa.2
Upah atau yang disebut dengan ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti
menurut Bahasa ialah al-iwadh yang artinya ialah ganti dan upah. 3Dalam arti luas
ijarah merupakan suatu akad yang berisi suatu penukaran manfaat sesuatu dengan
2 Fatwa DSN No. 09/DSN/MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat dalam Himpunan Fatwa DSN untuk Lembaga Keuangan Syariah, Edisi Pertama, DSN-MUI, BI, 2001, h. 55.
3 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.114.
58
jalan yang memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya
dengan menjual manfaat barang apabila dilihat dari segi barangnya dan juga bisa
diartikan menjual jasa apabila dilihat dari segi orangnya. Seperti Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Qashash
ayat 26-27.
Firman Allah SWT Surah Al-Qashash ayat 26-27
Artinya: “ salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja(pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang dapat dipercaya”. Berkatalah dia (Syua’ib) : “ sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu, dan kamu, dan kamu insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
Ayat di atas menerangkan bahwa ijarah telah disyariatkan oleh umat
Islam, dalam ayat ini terdapat pernyataan seorang anak yang diucapkan kepada
ayahnya untuk mengambil seseorang untuk bekerja dan memberikan imbalan
yang telah disepakati sesuai dengan ketentuan waktu dan manfaat yang dapat
diterima oleh ayah tersebut.
Pengambilan manfaat dalam hal ini yakni berupa jasa pekerja Kantor JNE.
Dimana upah dari ijarahnya yakni berupa pembayaran. Pembayaran tersebut
bukanlah sesuai dengan perhitungan yang tertera pada nominal asli pada waktu
menimbang barang, melainkan masih melalui satu tahap lagi yakni dibulatkan dari
tarif awal penyerahan berat barang.
59
Penemuan di lapangan konsumen yang merasa dirugikan pada transaksi
ijarah tersebut pada penimbangan yang dilakukan oleh Kantor JNE. Dalam
penimbangannya kantor JNE tidak memberikan penimbangan asli seperti contoh
400 gram akan dibulatkan menjadi 1 kg. Pihak Kantor JNE memberikan
timbangan tidak sesuai dengan berat asli dan pembulatan yang dilakukan tidak
diberitahukan terlebih dahulu pada konsumen melainkan diputuskan dengan
dituliskan saja berat yang sudah dibulatkan.4
Jika dianalisis dari penemuan di atas maka sebenarnya prinsip muamalah
adalah boleh/mubah selama tidak ada dalil yang melarang. Namun kegiatan yang
dilakukan oleh PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) yang menggunakan sistem
pembulatan timbangan yang mana bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan
konsep perjanjian dalam Islam yang mana perjanjian atau persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
seseorang lain atau lebih.5
Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah:
Tidak menyalahi hukum Syariah yang disepakati adanya, syarat ini
mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian
tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan Syariah
Islam baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal
demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut
dengan kausa halal.
1. Harus sama ridha dan ada pada pilihan, syarat ini mengandung
pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara
bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan
maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum
dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap
4 Wawancara dengan Rijal Andrriana, Karyawan JNE Sabena Anugerah Ciputat, 3 November 2019.
5 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h. 1
60
dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan kesepakatan ( konsensualisme).
2. Harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang
menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam
perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat
oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya .
Syarat perjanjian ini menurut hukum perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
adanya objek tertentu.6
Merujuk pada dalil Al-Qur’an surah Hud ayat 85.
Artinya: “ Dan syu’aib berkata: hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan membuat kerusakan”( QS.Hud:85)
Dalam tafsir al-Misbah ayat diatas merupakan perintah berlaku adil, baik
dengan Allah SWT maupun dengan manusia. Adil pada manusia menurut beliau
adalah dengan cara menyempurnakan timbangan saat bermuamalah. Dengan
bersikap adil dan jujur saat menimbang lebih baik daripada hasil sebanyak apa
pun yang diperoleh melalui penganiayaan dan kecurangan.7 Al-qisth pada ayat ini
biasa diartikan adil, yaitu sinonim dari al-‘dlu atau adil. Memang, banyak ulama
yang mempersamakan maknanya dan ada juga yang membedakannya dengan
berkata bahwa al-qisth berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang
menjadikan masing-masing senang. Sedang al-adlu adalah berlaku baik terhadap
orang lain maupun diri sendiri tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan
6 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h. 1
7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Dionogoro), h. 206.
61
salah satu pihak. Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Karena itu, disini digunakan kata bi al-qisth. Muhammad Yusuf Qardhawi
menambahkan, bahwa ayat ini anjuran setiap muslim harus bersikap adil dalam
setiap transaksi muamalah dalam kehidupan dan pergaulan.8
Sedangkan menurut Ahmad Mustafa Al-Muraghi menceritakan tentang
kaum Madyan di zaman Nabi Syua’ib yang curang dalam menimbang dan
menakar. Sebagaimana yang terdapat pada surat muthafifin ayat 1-3, yang mana, “
Jika mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta penuhi. Tapi bila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, maka mereka mengurangi”.
Allah berfirman dalam surat Al-Muthafifin:
Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta di penuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS.Al-Muthafifin: 1-3)
Ayat tersebut perintah untuk tidak berbuat curang. Diantara perbuatan
curang adalah, tidak jujur dan tidak bersikap adil. Menurut tafsir Ahmad Mustafa
Al-Muraghi ayat tersebut berupa seruan kepada umat muslim untuk berbuat adil
dalam menakar dan menimbang yang mana menyempurnakan timbangan adalah
sebuah keharusan demi menjaga hak-hak orang lain dan menghindari kezaliman
dari salah satu pihak. Dari laba timbangan yang sempurna lebih baik dari pada
harus menzalimi orang lain.
Dalam Islam transaksi dikatakan boleh atau dibenarkan oleh syariat
melalui rukun dan syarat pada transaksi yang dilakukan. Begitu pun dengan akad
ijarah harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sehingga sah. Rukunnya ada
tiga, pertama Aqid (orang yang berakad), ujrah (imbalan berupa upah atau
manfaat), sighat (Ijab dan Qabul).
8 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terjemahan oleh Mu’amal Hamidy, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003),h.365.
62
1. Aqid ( orang yang berakad)
Orang yang berakad meliputi mu’jir dan musta’jir. Mu’jir dan
Musta’jir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah
mengupah. Mu’jir sebagai orang yang menggunakan tenaga orang lain
untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu atau orang yang mempunyai
barang sewaan, musta’jir sebagai orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu.9 Mu’jir terdiri dari mu’jir
khas, yaitu seseorang memperkerjakan orang pada pekerja tertentu dan
mu’jir musytara, yaitu seseorang-orang yang memperkerja orang untuk
kepentingan banyak.10
Syarat terjadinya akad (al-inqad) dari orang yang berakad.
Menurut Hanafiyah, aqid ( orang yang melakukan akad ) disyaratkan
harus berakal dan mumayiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan
harus baligh dengan ketentuan diizinkan walinya.11
2. Shighat
Yaitu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.
Syarat -syarat Ijab qabul pada ijarah yaitu, menyebutkan masa atau
waktu yang ditentukan, dibuat sebelum pekerjaan itu dilakukan dan tidak
boleh disangkutpautkan dengan urusan lain dan terjadi kesepakatan
bersama.
3. Ujrah (upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya
manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajir) tersebut. Syarat-syaratnya
sama seperti jual beli, harga dari manfaat yang dikuasai dengan akad
sewa/upah (ijarah),yaitu:
9 Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 95.
10 Suhrawardi K.Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam( Jakarta: Sinar Grafika,
2014), h.164. 11 Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 125.
63
a. Upah (harga yang dibayarkan) harus suci. Akad ijarah tidak sah bila
upah (bayarannya) adalah anjing,babi,kulit bangkai yang belum
dimasak, atau khamar. Tidak sah pula bend ajika upahnya benda
terkena nanjis dan tidak mungkin disucikan.
b. Upah harus dapat dimanfaatkan. Sesuatu yang tidak dimanfaatkan
tidak sah diajdikan upah. Karena dianggap tidak berharga. Seperti
daging babi atau anjing, karena kedua daging tersebut tidak
bermanfaat menurut Islam.
c. Upah harus dapat diserahkan dengan ketentuan upah berada dibawah
kuasa orang yang berakad.
d. Upah harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi sejak awal. Dalam artian tidak mengandung gharar.12
Adapun syarat-syarat ujrah sebagaimana ditulis Nasrun Haroen
sebagai berikut:13
a. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama
syafi’iyah dan hanabilah disyaratkan telah balig dan berakal.
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan
akad. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad ini,
maka akad tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek akad harus diketahui, sehingga tidak
muncul perselisihan dikemudian hari. Kejelasan manfaat itu dapat
dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya.
d. Objek akad boleh diserahkan atau digunakan secara langsung dan
tidak ada cacatnya.
e. Objek akad itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g. Objek akad itu merupakan sesuatu yang disewakan.
h. Upah atau sewa dalam ujrah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi.
12 Musthafa Dib Al-Mugha, Fiqh Al-Mu’awadhah diterjemahkan dengan judul Buku Pintar Transaksi Syariah,Terjemahan Fakhri Ghafur ( Damaskus: Darul Musthafa, 2009)h.162.
13 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Grafindo Persada Pratama, 2007), h. 97.
64
Para ulama telah menetapkan syarat ujrah, yaitu:
a. Ujrah atau imbalan adalah sesuatu yang dianggap harta dalam
pandangan syari’ah (mal mutaqawwim) dan diketahui.14
b. Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dnegan
adat kebiasaan setempat. Kalau ia berbentuk baran, makai a harus
termasuk barang yang boleh diperjualbelikan. Kalau ia berbentuk jasa,
maka ia harus jasa yang tidak dilarang syara’
c. Ujrah atau imbalan bukan manfaat atau jasa yang sama dengan yang
disewakan. Misalnya imbalan sewa rumah dengan sewa rumah, upah
mengerjakan sawah dengan mengerjakan sawah. Dalam pandangan
ulama Hanafiyyah, syarat seperti ini bisa menimbulkan riba nasi’ah.
Menurut penulis melihat pelaksanaan akad yang terdapat di JNE
maka akad tersebut mubah/batal. Berdasarkan syarat dari ijarah yaitu,
kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29 .
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.
Menurut Yusuf Qardhawi apa yang diperintahkan dalam surat An-
Nisa ayat 29 adalah dilarangnya merugikan orang lain demi kepentingan diri
sendiri. Hal yang sama juga disampaikan oleh Afzalur Rahman bahwa haram
atau cacat transaksi menimbulkan ketidakpuasan dan ekploitasi satu pihak.
14 Ahmad bin al-Husayn ‘ bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Bayhaqiy (selanjutnya disebut al-Bayhaqiy), Sunan Al-Bayhaqiy al-Kubra, (Makkah Al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), Juz 6, h. 120.
65
Melihat transaksi pada JNE hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak
JNE dan mendzalimi pihak lain (konsumen).
Namun selain rukun dan syarat yang harus terpenuhi maka dalam
transaksi muamalah terdapat juga prinsip-prinsip muamalah yang pada
kenyataanya, banyak pihak yang melakukan transaksi masih belum
memahami hak dan kewajiban yang mereka penuhi, sehingga walaupun
menggunakan sistem perjanjian hukum Islam, tetapi nilai-nilai yang ada
dalam konsep tersebut belumlah dijalankan sepenuhnya. Ketika salah satu
pihak tidak memiliki pemahaman yang sama dalam kontrak, maka
dimungkinkan adanya perlakuan yang tidak adil dalam kontrak tersebut.
Sedangkan Muslimin menyebut beberapa prinsip-prinsip muamalah
diantaranya :
Pertama, prinsip tauhid yang mengajarkan kepada manusia agar
dalam hubungan kemanusiaan, sama esensialnya dengan hubungan kepada
Allah. Dengan demikian, proses kegiatan ekonomi senantiasa dilandaskan
pada sistem tauhid dalam wujud keadilan sosial yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Sunnah.15
Kedua, prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Tuhan di muka
bumi dan bertindak sebagai pemegang amanah dari Allah untuk menegakkan
hukum-Nya. Dalam proses ekonomi, nilai khilafah ini akan terimplementasi
dalam terjalinnya ukhuwah dan persamaan, terhindar dari perilaku yang
mengandung unsur-unsur kezaliman, dan tidak terjadinya praktek eksploitasi
yang merugikan orang lain.
Ketiga, prinsip keadilan yang terimplementasikan dalam perilaku yang
tidak hanya didasarkan pada ayat/ dalil Qur’an dan Sunnah, tetapi juga
didasarkan kepada prinsip keseimbangan dan keadilan.
Sementara itu, Ali Fikri (1997:14) menyebutkan beberapa prinsip
(asas) dalam ekonomi Islam :
1. Mengakui hak milik baik secara individual maupun secara umum.
15 St.Saleha Majdid, Prinsip-Prinsip (Asas-asas) Muamalah, J-HES, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume 2, No.1, Januari- Juni 2018.
66
2. Kebebasan ekonomi.
3. Kebersamaan dalam menanggung kebaikan (al takaful al ijtimai).
Dalam prinsip ini mencakup;
1. Guna mewujudkan kebahagiaan baik pribadi maupun masyarakat
2. Kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan jemaah (orang
banyak)
3. Kebersamaan dalam rangka menjaga kesatuan (ukhuwah), keakraban,
ta’awun, dan saling amanah
4. Berlaku objektif dan tidak diskriminatif.
Secara lebih rinci, Fathurrahman Djamil (2013: 1530 mengklasifikasi
prinsip muamalah kepada dua, yakni prinsip umum dan prinsip khusus.
Secara umum prinsip muamalah adalah; pertama, kebolehan dalam
melakukan aspek muamalah, baik,jual,beli, sewa menyewa ataupun lainnya.
Dalam kaedah fiqh disebutkan 16
1. Prinsip Umum
باحة إلا بدليل الأصل في الشروط في المعاملات الحل والإPrinsip dasar muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya (Djazuli, 2011: 130).17
Kedua, muamalah dilakukan atas pertimbanganmembawa
kebaikan (maslahat) bagi manusia dan atau untuk menolak segala yang
merusak ( dar al mafasid wa jalb al masalih). Hal ini sejalan dengan
maqasid Syariah bahwa tujuan diturunkannya Syariah adalah untuk
menjaga lima hal mendasar pada manusia. Al-Syatibi menyebut lima
pokok dasar yang menjadi prioritas dijaga dengan diturunkannya syariat:
hifzu al din (agama), hifz nafs (jiwa), hifz al aql (menjamin keselamatan
akal), hifzu al mal (harta), dan hifz al nasl (keturunan) (AL-Syatibi:3).
16 Fathurahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam : Sejarah, Teori,dan Konsep (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 56.
17 Djazuli, Kaedah-kaedah Fiqh : Kaedah-Kaedah Hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 200011), Cet.IV. h.86.
67
Ketiga, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai
kesimbangan (tawazun). Konsep ini dalam Syariah meliputi berbagai segi
antara lain meliputi kesimbangan antara pembangunan material dan
spiritual; pemanfaatan serta pelestaraian sumber daya. Pembangunan
ekonomi Syariah tidak hanya ditujukan untuk pengembangan sector
korporasi, namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang
terkadang luput dari upaya-upaya pengembangan sector ekonomi secara
keseluruhan (Djamil,2013:155).
Keempat, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai
keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk
muamalah yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan.
Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan
memberikan sesuatu hanya pada yang berhak, serta memperlakukan
sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi
berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim,
maysir, gharar, objek transaksi yang haram (Djamil, 2013:155).
Kezhaliman dapat merusak keridhaan dalam transaksi, maka Nabi
shalallahu’alihi wa sallam bersabda:
ألا لا تظلموا ألا لا تظلموا ألا لا تظلموا إنه لا يحل مال امرئ إلا بطيب نـفس منه Terjemahnnya: “ Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali dengan keridhaan darinya”(HR al-Baihaqi).
2. Prinsip Khusus
Secara khusus, prinsip muamalah dapat disimplikasi pada hal-hal
yang dilarang dalam praktek muamalah dan hal-hal yang diperintahkan
untuk dilakukan. Untuk hal-hal yang diperintahkan dalam muamalah
adalah sebagai berikut : pertama, objek transaksi mesti halal. Artinya
dilarang melakukan bisnis ataupun aktivitas ekonomi terkait yang haram.
Sebagai contoh Islam melarang menjual minuman keras, najis, alat-alat
perjudian, dan lain-lain. Kedua, adanya keridhaan pihak-pihak yang
bermuamalah. Dasar asas ini adalah kalimat an taradhin minkum ( saling
68
rela diantara kalian, QS.An-Nisa: 29). Asas ini menyatakan bahwa segala
transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing
pihak.18
Ketiga, pengurusan dana yang amanah. Amanah mempunyai akar
kata yang sama dengan kata imana dan aman, sehingga mukmin berarti
yang beriman, yang mendatangkan keamanan, juga orang yang memberi
dan menerima amanah. Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah
merupakan ciri yang mesti ditunjukkan karena merupakan sifat Nabi dan
Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Terkait ini Nabi bersabda: pedagang
yang jujur dana amanah berada bersama para Nabi dan syuhada.
Menurut peneliti walaupun ada beberapa konsumen JNE yang merasa
tidak dirugikan, namun bukan berarti akad tersebut sah, mengingat sistem
pembulatan yang dilakukan oleh JNE tidak sesuai dengan prinsip muamalah,
yakni nilai-nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur penganiayaan dalam
transaksi. Yang mana JNE sebagai pihak kuat(perusahaan), bebas
menentukan aturan pembulatan timbangan sendiri sedangkan konsumen
sebagi pihak yang lemah, tidak mempunyai pilihan lain. Padahal dalam Islam
dianjurkan untuk bersikap adil dan tidak mengekploitasi salah satu pihak.
Kemudian melihat Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi :
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالArtinya :” menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah maslahat.”19
Kaidah ini menegaskan jika ada tarik menarik antara sesuatu yang
merusak dan sesuatu yang maslahah. Maka menolak sesuatu harus lebih
didahulukan, walau itu harus kehilangan sesuatu yang maslahah. Dalam kasus
diatas, JNE memang membantu mendistribusikan barang, namun karena
18 Fathurahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam : Sejarah, Teori,dan Konsep (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 56.
19 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqh Islam (Qawaid Fiqhiyah) (Gresik : Pustaka al-Furqon, 1435 H/2013 M), h. 101-103.
69
pembulatan timbangan yang sewenang-wenang mengakibatkan
kemudharatan, maka harus ditinggalkan.
B. Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang PT.Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE) ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan
perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.
Undang-Undang perlindungan konsumen Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa,
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.20 Perlindungan konsumen
mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang
dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa
hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.
Perlindungan hukum merupakan hal yang sangat penting bagi suatu
negara, perlindungan itu mencakup dari berbagai macam aspek kehidupan mulai
dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hal ini negara harus menjamin
adanya perlindungan hukum kepada setiap warga negara, sama halnya Indonesia
yang merupakan negara hukum, dengan demikian negara harus hadir ditengah-
tengah masyarakat untuk menjamin adanya kepastian-kepastian hukum bagi
warga negaranya. Prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia berlandaskan
Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Prinsip perlindungan hukum ini
adalah dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada Pancasila.21
Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk
memperoleh perlindungan yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa.
20 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
21 Muchsin, “ Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”,( Surakarta:magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003). h.20.
70
UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen. Adapun tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :22
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 yakni “
Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan,keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.23
Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan
khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen,
sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan
berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 diatas.
22 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, di poskan oleh naufal alfatih pada 10 Oktober 2012.
23 Ahmadi Miru dan Sutraman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) ,h.34
71
Adanya Undang-Undang yang mengikat pelaku usaha adalah agar pelaku
usaha tidak melakukan kegiatan yang dapat merugikan salah satu pihaknya yakni
konsumen.
Penemuan di lapangan bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan
oleh pihak Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) adalah dengan tidak menjelaskan secara
gamblang mengenai adanya pembulatan timbangan yang dilakukan. pihak JNE
langsung memberi tahu harga dengan tarif yang sudah dibulatkan dan pihak JNE
tidak mengetahui bagaimana Undang-Undang dan Pasal yang terkait melainkan
hanya menjalankan tugas melayani konsumen yang datang. 24
Dari hasil wawancara tersebut salah satu kekurangan pihak kantor JNE
yaitu pengetahuannya kurang luas sehingga, ketika menjalankan tugasnya tidak
disadari pengetahuan mengenai Undang-Undang, hanya menjalankan kewajiban
sesuai intruksi pemilik kantor JNE.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999 terkiat Hak dan Kewajiban Konsumen dengan Pelaku Usaha dijelaskan
sebagai berikut:
Hak dan Kewajiban Konsumen Dengan Pelaku Usaha
1. Hak konsumen (pasal 4 UU Nomor 8. Tahun 1999)
a. Hak atas kenyamanan, keamanan,dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
24 Wawancara dengan Irfan, Karyawan JNE Sabena Anugerah Ciputat, 17 Oktober, 2019.
72
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan Pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi,ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.25
2. Kewajiban Konsumen
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemnafaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
3. Hak Pelaku Usaha
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
25 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia,( Malang:Bayumedia Publishing, 2007), hal.139
73
4. Kewajiban pelaku usaha ( Menurut pasal 7 UU Nomor.8 Tahun 1999)
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas,dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang di perdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Jika dianalisis menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
maka dari transaksi yang ada pada Kantor JNE terdapat penyimpangan yakni
terkait pasal 7 huruf b mengenai kewajiban pelaku usaha yang mana disebutkan”
pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan”. Selanjutnya pasal pasal 4 huruf c mengenai hak
konsumen yang mana disebutkan “ hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Pada jasa pengiriman barang di kantor JNE pasti memanfaatkan jasa
perusahaan dan melakukan kegiatan ekspedisi yang dalam hal ini biasa disebut
74
dengan pengiriman barang. Kegiatan pengiriman barang ini erat hubungannya
antara pelaku usaha dengan konsumen. Sebelum dilakukannya proses pengiriman
barang konsumen diberikan tawaran oleh perusahaan dalam menggunakan jasa
pengirimannya. Adapun produk yang dimiliki oleh Kantor JNE yakni : SS, YES,
REG, dan OKE.26
Setelah konsumen memilih produk yang diinginkan kemudian ditimbang
sesuai dengan berat barang. Pada saat proses menimbang, hasil timbangan
tersebut pasti akan dibulatkan sesuai dengan program yang terdapat pada
komputer secara otomatis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang pembulatan timbangan
yang dilakukan oleh agen pengiriman atau yang biasa disebut dengan “Kantor
JNE” masih terdapat ketidakselarasan dengan aspek yuridis yang ada.
Bahwasanya proses transaksi tersebut konsumen ada yang merasa dirugikan dan
ada yang tidak. Bagi konsumen yang merasa tidak dirugikan hal tersebut tidaklah
menjadi persoalan. Namun bagi konsumen yang merasa terbebani akan menjadi
permasalahan tersendiri. Bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh
penimbangan pihak Kantor JNE dikarenakan pihak Kantor JNE melakukan
pembulatan timbangan secara sepihak yang sudah terprogram pada komputer.
Konsumen hanya diberikan penjelasan mengenai produk yang ada di JNE tanpa
memberi tahu adanya pembulatan dalam transaksi tersebut. Seperti contoh apabila
berat barang 400 gram akan dibulatkan menjadi 1 kilogram (kg), apabila berat 2,4
kg akan dibulatkan menjadi 3 kg begitupun seterusnya dengan harga yang
ditetapkan oleh kantor JNE. Diberlakukannya sitem pembulatan tersebut dengan
alasan untuk :
1. Memudahkan dalam menentukan tarif, artinya jika JNE memakai
timbangan per ons maka JNE sangatlah kesulitan menentukan tarifnya
misalnya 1,2 kg ada tarif tersendiri, 1,3 ditentukan tarif tersendiri. Maka
JNE kesulitan karena kota yang ada di Indoenesia sangatlah banyak. Oleh
karena itu, JNE memakai patokan timbangan per kg.
26 Wawancara dengan Rijal Andriana, Karyawan JNE Sabena Anugerah Ciputat, 3 November 2019.
75
2. Terbatasnya uang receh, artinya apabila timbangan ditentukan harganya
sendiri misalnya, 1 kg dengan tarif 8.000, maka apabila 1,1 kg menjadi
8.800. begitupun selanjutnya. Dengan ini sangat menyulitkan bagi
karyawan dan konsumen mencari pecahan uang receh.
3. PPN sudah ditanggung oleh pihak JNE, artinya konsumen tidak perlu lagi
tertipu dengan tarif yang sudah ada.
Berdasarkan analisis pasal 8 UUPK, alasan pihak JNE tersebut tidak bisa
dijadikan acuan pembolehan adanya pembulatan timbangan, karena berdasarkan
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalam Bab IV Pasal 8 hingga pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara khusus mengatur mengenai
perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, seperti larangan dalam
memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan, larangan-
larangan dalam penjualan secara obral/lelang, dan dimanfaatkan dalam ketentuan
periklanan.27
Larangan dalam memproduksi/memperdagangkan barang atau jasa bagi
pelaku usaha tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
sebagai berikut:
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran,takaran,timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
27 Lastini, “ Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “ , Lex Privatum, Vol.IV/No.6/Juli/2016.
76
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling bai katas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang,ukuran,berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Jika dianalisis menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka
dari transaksi yang ada pada Kantor JNE terdapat penyimpangan yakni perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha yang terkait dengan Pasal 8 ayat (1) huruf c yang
mana disebutkan” tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya”.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang berhasil dihimpun oleh peneliti
dalam judul skripsi “ Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang
PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) (Perspektif Fiqh dan Hukum
Perlindungan Konsumen), maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Praktik pembulatan timbangan dalam transaksi jual beli masih banyak
yang melakukan kecurangan. Dalam penimbangannya penjual terkadang
menggunakan timbangan yang keakuratannya telah mereka modifikasi
dan manipulasi dengan sedemikian rupa. Hukum PerUndang-Undangan
Negara Republik Indonesia menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen pasal 8 ayat 1 a dan b dinyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang memproduksi dan memperdagangkan barang dagangan
yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, dan timbangan menurut ukuran yang
sebenarnya. Sanksi tersebut telah dijelaskan dalam UU Repbulik
Indonesia No.2 Tahun 1981 yang berbunyi “Barang siapa melakukan
perbuatan yang dimaksud maka dipidana penjara selama-lamanya 6
(enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,-(lima ratus
ribu rupiah).
2. Tinjauan hukum Islam tentang praktik pembulatan timbangan jasa
pengiriman barang pada PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) adalah tidak
diperbolehkan atau batal. Ada beberapa alasan mengapa sistem
pembulatan JNE tidak dibenarkan. Alasan pertama, Hal ini dikarenakan
pembulatan timbangan tidak sesuai dengan perintah al-Qur’an surat Hud
ayat 85 bahwa disyariatkan untuk memenuhi timbangan dan bertentangan
dengan konsep perjanjian dalam Islam. Alasan kedua, praktik transaksi
PT.JNE tidak sesuai dengan syarat ijarah yang mana harus ada kerelaan
77
78
kedua belah pihak dan mayoritas konsumen tidak setuju dengan adanya
pembulatan timbangan. Alasan ketiga, bertentangan dengan prinsip
keadilan yang termasuk pada prinsip muamalah. Melihat pembulatan
timbangan pada JNE hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu
PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dan menzalimi pihak yang lain
(konsumen). Pembulatan timbangan yang dilakukan oleh JNE melanggar
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang
terdapat pada Pasal 8 butir c, menyebutkan bahwa pelaku usaha atau jasa
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut hitungan sebenarnya. Selanjutnya pasal 4 huruf c
menyebutkan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Terakhir pasal 7 huruf b
mengenai kewajiban pelaku usah yang mana disebutkan “ pelaku usaha
wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”.
B. Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, perlu adanya regulasi yang spesifik terkait jasa
pengiriman barang, dan pengawasan terhadap oprasional perusahaan jasa.
Mengingat kebutuhan masyarakat modern saat ini demi tercapainya
pendistribusian barang yang lebih efisien.
2. Bagi perusahaan diharapkan kantor JNE mampu membenahi
permasalahan dan juga memberikan pemahaman secara mendetail
apabila kelak dikemudian hari ada konsumen yang complain merasa
dirugikan karena adanya pembulatan timbangan dan tarif yang banyak
kurang dimengerti oleh konsumen.
79
3. Untuk konsumen, perlu adanya laporan kepada YLKI tentang adanya
pembulatan timbangan di PT.Jalur Nugraha Ekakurir (JNE). Guna
tercapainya keadilan antara konsumen dan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abd Hakim, Atang dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakrya,2001.
Ahmad, Mustaq Etika Bisnis dalam Islam Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Alhafidz, W Ahsan, Kamus Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
Ali, Ahmad Wiwiwe Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta:Kencana, Cetakan Kedua, 2013.
Al-Mugha,Musthafa Dib, Fiqh Al-Mu’awadhah diterjemahkan dengan judul Buku Pintar Transaksi Syariah,Terjemahan Fakhri Ghafur Damaskus: Darul Musthafa, 2009.
Al-Muraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-muragi ,Terjemahan Anshori Umar Singgall, Hery Noer Aly dan Bahrun Abubakar Semarang: Tohaputra, 1988.
Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Bandung:Diponogoro,2005.
Anwar Samsul, Hukum Perjanjian Syariah : Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Arikunto, Suharsismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta:Rineka Cipta, 2010.
Aula Muhammad, Syakir, Asuransi Syariah ( Life and General): Konsep dan Sistem Operasional,Cet . 1. Jakarta: Gema Insani Press.2004.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet 2, Jakarta:2005.
Bin Yazid Muhammad Abu Abdullah Al-Qazwaniy, Sunan Ibnu Majah Jilid 1, Beirut: Dar Al-fikr, 2004.
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2011.
80
81
Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Djamil, Fathurahman, Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori dan Konsep), Jakarta:Sinar Grafika,2013.
Halim Barakatullah Abdul , Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran,, Bandung:Nusa Media,2008.
Hamidy, Zainudin dan Sahih Bukhari Juz II Bab Ijarah, Jakarta: Widjaya, 1983.
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah Jakarta: Gaya Media, Cet ke II, 2007.
Hasan, M Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Ibrahim, Johny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan III, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007),h.,300.
Mestika, Zed “Metode Penelitian Kepustakaan” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
K Lubis, Suhrawardi dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Kadir A, Hukum Bisnis Syariah dalam Al-Qur’an,Jakarta: Amzah, 2013.
Karim A Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam Edisi ke-III, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. IV, 2011.
Katsir, Ibnu,Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier 4, Surabaya: Bina Ilmu,2005.
Muhammad dan Alimin, Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta:BPFE UGM,2004.
Halim Barakatullah, Abdul, Hak-Hak Konsumen, Bandung:Nusa Media, 2010.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum Cet-1, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.
Musbikin,Imam,Qawaid Al-Fiqhiyah, cet.1.1 Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
82
Pasaribu Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Yogyakarta bekerjasama dengan Bnak Indonesia, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2014.
Qardhawi,Yusuf , Halal dan Haram dalam Islam, Terjemahan oleh Mu’amal Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 2003.
Qardhawi Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Terjemahan Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Innsani, 1997.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Rajaguguk, Erna, “ Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Bandung: Mandar Maju,2000.
Ruysd, Ibnu dan Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid Jus III, terjemahan M.A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa,1990.
Redjeki Sri, Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia,Malang:Bayumedia Publishing, 2007.
S Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, Malan:UIN Maliki Press, 2011.
Sabiq,Sayyid Fiqh Sunnah Jilid XIII Bandung: Al-Ma’ruf, 1987.
Shihab, Quraish Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan,dan Keserasian Al-Qur’an Vol.XV, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sudjana, Nana dan Awal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi Bandung: Sinar Baru Algnesindo,2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah Jakarta:Rajawali Pers,2013.
Syafe’I,Rahmat Fiqh Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tim P3EI Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Wardi Ahmad Muslich, Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2013.
83
Jurnal dan Skripsi
Ayu, Aisyah dan Musyafah,Hardanti Widya Khasna, Perlindungan Konsumen Jasa Pengiriman Barang Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pengiriman Barang, Jurnal Law Reform Volume 14, Nomor 2, 2018.
E, Marvin. Wolfang.et.al., The Sociology of Crime and Delinquency, 1970, New York/London/Sydney/Ttotonto: John Wiley & Sons, Inc., h.8-9 dalam Reza Ardila “Komitmen Terhadap Kelompok,,,,” (Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Uiniversitas Indonesia 2009).
Hulaify Akhmad, Asas-Asas Kontrak (Akad) dalam Hukum Syari’ah, At-Tadbir : Jurnal Ilmiah Manjemen Vol.3 No.1, 2019.
Kamal Muhammad Zubair dan Abdul Hamid, Eksistensi Akad dalam Transaksi Keuangan Syariah, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016.
Kartika Yuni, Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap Mekanisme Pengupahan Pengiriman Paket Barang di PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Cabang Palembang, Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, 2017.
Lastini, “ Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “ , Lex Privatum, Vol.IV/No.6/Juli/2016.
Lutfiyatul Amalia Vivi, Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen terhadap Praktik Pembulatan Harga Jual BBM (Studi Kasus SPBU 44.507.06 Pasar Sapi Salatiga), Skripsi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, 2018.
M Tamyiz Muharrom, “ Kontrak Kerja; Antara Kesepkatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”, dalam Al-Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X Tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syariah FIAI UII)
Muayyad Ubaidullah, Asas- Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam. Anil Islam Vol.8. Nomor 1, Juni 2015.
Muftadin Dahrul, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya dalam Transaksi Syariah, Jurnal Al-Adl, Vol.11.No.1, Januari 2018.
Sadan Yasir , “ Pengambilan Keuntungan Melalui Pembulatan Pada Bisnis Warung Internet Perspektif UU No.8 Perlindungan Konsumen dan Perspektif Hukum Islam (Study Kasus Net City Yoyakarta)”,( Skripsi- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012).
84
Saleha St Majdid, Prinsip-Prinsip (Asas-asas) Muamalah, J-HES, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume 2, No.1, Januari- Juni 2018.
Semawwi Ramli, Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal Al-Syir’ah Vol.8, No.2, Desember 2010.
Timorita Yulianti Ratna, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah, Jurnal Ekonomi Islam, Vol.II,No.1, Juli 2008.
Wahyuni Bashiroh Tri, Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Laundry di Kaey Laundry” ( Skripsi-UIN Sunan Ampel Surabaya,2016).
Zainur Ahmad Rosid, Praktik Pembulatan Timbangan Pada Jasa Usaha Laundry Tinjauan Hukum Gharar, Skripsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018.
Zendy, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Pembulatan Harga Yang Harus Dibayar Di SPBU Kota Semarang”, Skripsi-Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 2015.
Peraturan-Peraturan dan Fatwa DSN MUI
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metorology Legas.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Interview
Interview Pribadi, Irfan, Karyawan JNE Sabena Anugerah, Ciputat, 17 Oktober 2019.
Interview Pribadi, Ayu Amalina, Karyawan JNE Jl.Ir.H.Juanda Ciputat, 25 Oktober 2019.
Interview Pribadi, Hasbi, Karyawan JNE Sabena Anugerah, Ciputat, 26 Oktober 2019.
85
Interview Pribadi, Lukman Nulhakim, Karyawan JNE Legoso Raya, 26 Oktober 2019.
Interview Pribadi, Risa Mahalini, (Konsumen),Ciputat, 28 Oktober 2019.
Interview Pribadi,Ayu Nadia,(Konsumen), Ciputat, 29 Oktober.2019.
Interview Pribadi, Hermawan, (Konsumen), Ciputat. 03 November 2019.
Internet dan Artikel
Alfi Kholisdinuka, Sinergi Dana JNE Dukung Akselerasi Ekonomi Digital Indonesia, https://m.detik.com/inet/cyberlife/d-4747083/sinergi-dana-jne-dukung-akselerasi-ekonomi-digital-indonesia?_ga=2.113522115.533539613.1583722165-1959018971.1572260602, diunduh pada Selasa 15 Oktober 2019, pukul 18:53 WIB.
Dampak E-Cpmmerce, JNE Kirim 20 Juta Barang Per Bulan, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/26/191256126/dampak-e-commerce-jne-kirim-20-juta-barang-per-bulan?_ga=2.65983085.253286178.15837722080-1066388731.1583722079, diunduh pada Senin, 26 November 2018, pukul 19:12 WIB.
Dewi Rina Cahyani, Pengiriman JNE 80 Persen Didominasi oleh Sektor Ritel, https://bisnis.tempo.co/read/1113818/pengiriman-jne-80-persen-didominasi-oleh-sektor-ritel, diunduh pada Minggu, 5 Agustus 2018, pukul 06:41 WIB.
Fauzan, JNE Targetkan Pengiriman 1 Juta/Hari, http://ekbis.sindonews.com/read/871767/34/jne-targetkan-pengiriman-1-jutahari-1402309398, diunduh, 9 Juni 2014, pukul 17:23 WIB.
Iwan Supriatna, Ongkir JNE Naik Hingga 19 Persen https://amp.suara.com/bisnis/2019/03/20/15647/ongkir-jne-naik-hingga-19-persen-berlaku-mulai-besok, diunduh pada Rabu 20 Maret 2019, pukul 12:56 WIB.
JNE memanfaatkan Kekuatan Cloud Untuk Mencapai Visinya dalam Ekonomi Baru http://www.jne.co.id/id/berita/berita-detail/jne-manfaatkan-kekuatan-cloud-untuk-mencapai-visinya-dalam-ekonomi-baru, diunduh pada 14 November 2019
86
JNE Raih Penghargaan Tingkat Nasional dan Internasional, https://www.jne.co.id/id/berita/berita-detail/jne-raih-penghargaan-tingkat-nasional-dan-internasional, diunduh pada 29 September 2019.
Kodrat Setiawan, JNE Naikkan Tarif Ongkos Kirim 20 Persen https://bisnis.tempo.co/read/1165359/jne-naikkan-tarif-ongkos-kirim-20-persen, diunduh pada Rabu, 16 Januari 2019, pukul 08:22 WIB.
The Big Start Indonesia : JNE Bagikan Tips “ Packaging” Aman untuk Pelaku UMKM, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/113000626/the-big-start-indonesia--jne-bagikan-tips-packaging-aman-untuk-pelaku-umkm?_ga=2.91175513.253286178.1583722080-10, diunduh pada Jumat, 27 Juli 2018, pukul 11:30 WIB.