PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT
1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BOGOR, DESEMBER 2014
ii
PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT
Bogor, Desember 2014
Mengetahui
Ketua Kelti,
Ir. Efrida Basri, M.Sc
NIP. 19580224 198303 2 003
Ketua Tim Pelaksana
Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc
NIP. 19600731 198501 2 001
Menyetujui
Koordinator,
Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si
NIP. 19580705 198903 1 007
Mengesahkan
Kepala Pusat,
Dr. Ir. Rufi’ie, MSc.
NIP. 19601207 198703 1 005
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …….. …….…………………………..….………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN .….…….………………….……...………………….. ii
DAFTAR ISI …………………..…………..….……………..………….………… iii
DAFTAR TABEL ……………………………..………………………………….. iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… v
Abstrak ….………………………………………………..……………………..... 1
BAB I. PENDAHULUAN ……………..………………………………………… 2
iii
A. Latar Belakang …………………..….……………………………… 2
B. Tujuan dan Sasaran ………………………………………………… 4
C. Luaran ………………………………………………………………… 4
D. Hasil yang Telah Dicapai …………………………………………… 5
E. Ruang Lingkup ........................................................................... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 17
A. Lokasi Penelitian ......................................................................... 17
B. Bahan dan Peralatan .................................................................. 17
C. Prosedur Kerja ............................................................................ 17
D. Analisis Data ............................................................................... 20
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 22
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40
LAMPIRAN ......................................................................... 43
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Nilai rata-rata kadar air (%) bambu komposit ................................... 22
Tabel 2 Nilai rata-rata kerapatan (g/cm3) bambu komposit ........................... 23
Tabel 3 Nilai rata-rata pengembangan tebal (%) bambu komposit ............... 25
Tabel 4. Analisa keragaman pengembangan tebal bambu komposit ............ 25
Tabel 5. Nilai rata-rata pengembangan lebar (%) bambu komposit .............. 27
Tabel 6. Analisa keragaman pengembangan lebar bambu komposit............. 28
Tabel 7. Nilai rata-rata penyerapan air (%) bambu komposit .............. 29
Tabel 8. Analisa keragaman penyerapan air bambu komposit............. 29
Tabel 9. Nilai rata-rata keteguhan rekat (kg/cm2) bambu komposit ............... 31
Tabel 10. Analisa keragaman keteguhan rekat bambu komposit............. 31
Tabel 11. Nilai rata-rata keteguhan lentur (kg/cm2) bambu komposit ............ 33
Tabel 12. Analisa keragaman keteguhan lentur bambu komposit ................ 34
Tabel 13. Nilai rata-rata keteguhan tekan (kg/cm2) bambu komposit ............ 36
Tabel 14. Analisa keragaman keteguhan tekan bambu komposit ................ 36
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Reorganisasi bahan dengan cara laminasi................................... 14
Gambar 2. Laminasi kayu dan komposit kayu. Papan partikel tiga lapis (a).
Kayu lamina arah horisontal (b), kayu lamina arah vertikal (c),
kayu lapis (d), papan karton bergelombang (e), honeycomb
sandwich panel (f).......................................................................
16
Gambar 3. Variasi komposisi arah lapisan bambu komposit.......................... 20
Gambar 4. Histogram kadar air bambu komposit.......................................... 22
Gambar 5. Histogram kerapatan bambu komposit....................................... 24
Gambar 6. Histogram pengembangan tebal bambu komposit ...................... 26
Gambar 7. Histogram pengembangan lebar bambu komposit ...................... 27
Gambar 8. Histogram penyerapan air bambu komposit ...................... 29
Gambar 9. Histogram keteguhan rekat bambu komposit .............................. 31
Gambar 10. Histogram modulus patah (MOR) bambu komposit ................... 33
Gambar 11. Histogram keteguhan tekan bambu komposit .......................... 36
1
Abstrak
Bambu komposit adalah salah satu hasil pengolahan bambu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan. Bambu komposit berupa bambu lamina yang elemen penyusunnya direkat dengan arah sejajar serat memiliki kecenderungan melengkung sehingga menyulitkan dalam penggunaannya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dalam pembuatan bambu komposit perlu diatur komposisi arah lapisan penyusunnya.Tujuan penelitian ini adalah penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang, dengan sasaran tersedianya data dan informasi teknis mengenai pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk bahan mebel. Penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang dilakukan dengan menerapkan sistem perekatan bilah bambu secara tegak atau vertical sehingga dimensi lebar bilah bambu menjadi dimensi tebal bilah bambu dan lapisan dalam atau lapisan tengah bambu komposit disusun tegak lurus terhadap lapisan luar. Bambu komposit 3 lapis berupa balok tebal 6 cm dibuat dengan komposisi lapisan terdiri atas bambu semua atau kombinasi dengan kayu untuk lapisan dalam. Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai perlakuan yang dibuat dari bambu andong maupun bambu mayan dan direkat dengan perekat isosianat memiliki kualitas perekatan cukup baik. Penggunaan lapisan silang pada lapisan dalam bambu komposit menurunkan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu komposit tetapi meningkatkan kestabilan dimensi bambu komposit yang dihasilkan. Secara keseluruhan bambu komposit 3 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan semua lapisannya disusun sejajar serat setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan dalam atau lapisan tengahnya disusun tegak lurus serat terhadap lapisan luar setara dengan kayu kelas kuat III dan masih memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk mebel. Kata kunci: Bambu komposit, substitusi kayu, komposisi lapisan, laminasi
silang, mebel.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini usaha untuk mencari alternatif bahan sebagai substitusi kayu
pertukangan semakin meningkat karena pasokan bahan baku kayu untuk
industri pengolahan kayu di Indonesia baik dari hutan alam maupun hutan
tanaman tidak mencukupi kebutuhan yang ada. Hal ini terjadi karena kecepatan
pemanfaatan kayu tidak seimbang dengan kecepatan pembangunan tegakan
baru. Sementara itu kebutuhan kayu untuk mebel, bahan bangunan dan
keperluan lain terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk serta
sebagai pengganti kayu yang rusak, lapuk atau dimakan rayap. Bambu adalah
salah satu bahan yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia memiliki sumber
daya bambu yang cukup potensial. Di Indonesia bambu dapat dijumpai baik di
daerah pedesaan maupun di dalam kawasan hutan. Semua jenis tanah dapat
ditanami bambu kecuali tanah di daerah pantai. Pada tanah ini kalaupun
terdapat bambu, pertumbuhannya lambat dan batangnya kecil. Tanaman
bambu dapat dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dari
pegunungan berbukit dengan lereng curam sampai landai (Sastrapraja, et.al,
1977).
Menurut Widjaja (2001) bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis. Di
Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis bambu. Di antara jenis-jenis yang ada di
Jawa, 16 jenis tumbuh juga di pulau-pulau lainnya ; 26 jenis merupakan jenis
introduksi, namun 14 jenis di antaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor
dan Cibodas. Pada tahun 2000 diperkirakan luas tanaman bambu di Indonesia
adalah sebesar 2.104.000 ha yang terdiri dari 690.000 ha luas tanaman bambu
di dalam kawasan hutan dan 1.414.000 ha luas tanaman bambu di luar
kawasan hutan (FAO dan INBAR, 2005). Di samping itu bambu telah banyak
ditanam dalam rangka pengembangan hutan rakyat melalui pemberian Kredit
Usaha Hutan Rakyat khususnya di daerah yang merupakan sentra industri
kerajinan bambu.
3
Sumber daya bambu yang cukup melimpah di Indonesia perlu
ditingkatkan pemanfaatannya agar dapat memberi sumbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Pemanfaatan bambu di Indonesia saat ini
masih terbatas untuk mebel, barang kerajinan dan supit. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu khususnya produk bambu
yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan. Untuk tujuan
tersebut maka produk bambu yang dihasilkan harus dapat menggantikan fungsi
papan atau balok kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku mebel
sehingga produk bambu tersebut harus memiliki ukuran tebal, lebar dan
panjang tertentu.
Dalam bentuk pipih bambu mempunyai ketebalan yang relatif kecil (tipis)
sehingga untuk menambah ketebalannya perlu dilakukan usaha laminasi.
Kemajuan dalam teknologi perekatan diharapkan dapat mengatasi
keterbatasan bentuk dan dimensi bambu sebagai bahan mebel dan bangunan
(kayu pertukangan). Dengan menggunakan perekat organik, bambu yang
bentuk aslinya bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk perekatan
berupa bambu komposit berbentuk papan bambu atau balok bambu (bambu
lamina). Kinerja dari produk perekatan seperti bambu lamina dipengaruhi oleh
sifat bahan yang direkat, jenis dan komposisi perekat yang digunakan serta
proses yang diterapkan dalam pembuatannya.
Sebagai substitusi kayu pertukangan, bambu komposit harus memiliki
dimensi seperti papan dan balok kayu. Untuk bahan mebel dan konstruksi
ringan seperti kaki kursi, kaki meja, kusen pintu dan kusen jendela, ukuran
bambu lamina harus cukup tebal (ukuran balok) sehingga diperlukan jumlah
lapisan yang cukup banyak. Konversi bambu bulat menjadi bilah bambu sampai
siap untuk direkat menjadi bambu lamina memerlukan waktu, energi dan biaya
yang cukup tinggi. Oleh karena itu untuk efisiensi bahan baku dan menekan
biaya produksi maka komposisi lapisan bambu lamina dikombinasikan dengan
kayu agar diperoleh bambu lamina yang relatif tebal. Sementara itu bilah
bambu sebagai bahan dasar bambu lamina memiliki kekuatan yang tinggi serta
bersifat fancy karena memiliki corak penampilan serat yang bagus dan unik
dengan adanya buku pada bilah tersebut sehingga sayang bila ditempatkan di
4
lapisan dalam. Oleh karena itu lapisan bambu yang bernilai tinggi tersebut
harus ditempatkan pada lapisan luar (lapisan atas dan lapisan bawah) dalam
produk lamina yang komposisi lapisannya dikombinasikan dengan kayu.
Komponen mebel tertentu berupa kaki untuk meja, kursi, almari atau
tempat tidur yang dalam pembuatannya melalui proses pembubutan,
memerlukan dimensi bahan yang cukup tebal seperti balok kayu. Bambu
komposit yang akan digunakan untuk membuat komponen mebel tersebut
tebalnya harus lebih dari 4 cm. Oleh karena itu pada tahun 2014 penelitian
penyempurnaan teknologi pembuatan bambu komposit (bambu lamina) dengan
sistem laminasi silang diterapkan dalam pembuatan bambu komposit dengan
target ketebalan 6 cm dan sistem perekatan bilah bambu dilakukan secara
tegak agar diperoleh teknologi yang tepat. Di samping itu untuk mendapatkan
bambu komposit yang datar dengan ukuran yang cukup tebal, lebar dan
panjang (seperti balok kayu) serta biaya produksi yang relatif murah maka
komposisi dan arah lapisan bambu komposit perlu diatur dan dikombinasikan
dengan kayu. Bilah bambu yang memiliki kekuatan tinggi serta bersifat fancy
harus ditempatkan pada lapisan luar (lapisan atas dan lapisan bawah) dalam
produk bambu komposit yang komposisi lapisannya dikombinasikan dengan
kayu.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kegiatan penelitian ini adalah penyempurnaan teknik pembuatan
produk bambu komposit dengan sistem laminasi silang. Sedangkan sasaran
kegiatan penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi teknis mengenai
pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk
bahan mebel.
C. Luaran
1. LHP yang berisi informasi ilmiah mengenai teknologi pembuatan bambu
komposit dengan sistem laminasi silang.
2. Draft karya tulis ilmiah
3. Produk bambu komposit
5
D. Hasil yang Telah Dicapai
Pada tahun 2010 telah diteliti karakteristik jenis bambu sebagai bahan
baku bambu komposit dengan sasaran penelitian adalah tersedianya data dan
informasi mengenai sifat dasar dan sifat perekatan jenis bambu sebagai bahan
baku bambu komposit. Hasil penelitian menunjukkan sifat anatomi bambu
andong dan bambu mayan memiliki karakteristik ikatan pembuluh tipe III dan
IV. Berat jenis bambu andong dan bambu mayan berturut turut 0,75 dan 0,63
sedangkan penyusutan tebal dari kondisi basah ke kering udara dan dari
kondisi kering udara ke kering oven berturut-turut 4,97% dan 2,56% untuk
bambu andong sedangkan untuk bambu mayan 5,43% dan 2,33%. Keteguhan
lentur bambu andong dan bambu mayan setara dengan kayu kelas kuat II. Sifat
perekatan bambu andong dan bambu mayan baik tidak diawetkan maupun
diawetkan terhadap perekat urea formaldehida dan tanin resorsinol
formaldehida cukup baik.
Pada tahun 2011 telah dilakukan penelitian pembuatan produk bambu
komposit dengan tujuan menyempurnakan teknik pembuatan bambu lamina
untuk bahan mebel serta meningkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu.
Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi teknis penyempurnaan
teknik pembuatan bambu lamina untuk bahan mebel. Penyempurnaan teknik
pembuatan meliputi penggunaan dua jenis perekat (tipe interior dan eksterior),
waktu kempa yang lebih singkat serta pemberian perlakuan pendahuluan
berupa pemutihan bilah bambu sehingga diperoleh warna yang lebih terang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan berupa
pengawetan bilah bambu dengan larutan boron 7% secara rendaman dingin
selama 2 jam sudah dapat mencegah terjadinya serangan bubuk pada bilah
bambu. Perlakuan pendahuluan berupa pemutihan bilah bambu dengan larutan
H2O2 15% secara rendaman dingin selama 4 jam menghasilkan bilah bambu
dengan warna yang lebih putih/terang.
Secara keseluruhan perlakuan pendahuluan berupa pengawetan dan
pemutihan bilah bambu dapat menurunkan sifat mekanis bambu lamina yang
dihasilkan. Penerapan waktu kempa yang lebih lama pada umumnya
meningkatkan sifat mekanis bambu lamina yang dihasilkan. Bambu lamina dari
6
bambu andong pada umumnya memiliki sifat mekanis lebih tinggi dibanding
bambu lamina dari bambu mayan, sedangkan stabilitas dimensinya relatif
sama.
Tergantung dari jenis perekat yang digunakan maka bambu lamina dapat
dibuat dengan penerapan waktu kempa yang relatif singkat. Berdasarkan nilai
kerapatan, keteguhan lentur (MOR) dan keteguhan tekan bambu lamina maka
semua bambu lamina yang dibuat dengan berbagai perlakuan setara dengan
kayu kelas kuat II.
Pada tahun 2012 telah dilakukan penelitian pembuatan produk bambu
komposit dengan tujuan menyempurnakan teknik pembuatan bambu lamina
untuk bahan mebel dan konstruksi ringan serta meningkatkan diversifikasi
produk pengolahan bambu. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi
teknis mengenai penyempurnaan teknik pembuatan bambu lamina untuk bahan
mebel dan konstruksi ringan. Untuk bahan konstruksi ringan ukuran bambu
lamina harus cukup tebal sehingga diperlukan jumlah lapisan yang cukup
banyak. Oleh karena itu untuk efisiensi bahan baku maka komposisi lapisan
bambu lamina dikombinasikan dengan kayu untuk mendapatkan bambu lamina
yang relatif tebal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan bambu komposit sangat
dipengaruhi oleh jenis bambu, jenis kayu dan komposisi lapisan penyusun
bambu komposit. Kualitas perekatan bambu komposit yang dibuat dari bambu
andong dan bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan kombinasi
kayu damar dan kayu jabon cukup baik. Penambahan lapisan bambu andong
atau mayan pada balok kayu damar atau kayu jabon dalam bambu komposit
dapat meningkatkan keteguhan lentur dan keteguhan tekan dari kayu yang
digunakan. Besarnya peningkatan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan
tersebut pada bambu komposit dengan lapisan luar 2 lapis bambu berturut-
turut bervariasi antara 26% hingga 73,6% untuk keteguhan lentur dan antara
25,5% hingga 37,4% untuk keteguhan tekan.
Bambu komposit dari bambu andong dan bambu mayan dengan
berbagai komposisi lapisan dan kombinasi jenis kayu pada umumnya setara
dengan kayu kelas kuat III. Penambahan lapisan bambu pada balok kayu
7
meningkatkan kelas kuat kayu tersebut dari kelas kuat IV menjadi kelas kuat III
dan permukaan bambu komposit yang dihasilkan memiliki corak penampilan
serat yang bagus dan unik dengan adanya buku pada bilah bambu penyusun
bambu komposit tersebut sehingga penampilan permukaannya indah atau
fancy, sedangkan penggunaan kayu yang cukup tebal sebagai lapisan tengah
bambu komposit dapat menekan biaya pembuatan bambu komposit.
Pada tahun 2013 telah dilakukan penelitian pembuatan produk bambu
komposit dengan tujuan mendapatkan teknologi pemanfaatan bambu serta
mengembangkan diversifikasi produk pengolahan bambu sebagai bahan
mebel. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi teknis mengenai
pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk
bahan mebel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air bambu komposit berkisar
antara 11,16% sampai 12,56% dengan rata-rata 11,9% sedangkan kerapatan
nya berkisar antara 0,74 g/cm3 hingga 0,77 g/cm3 dengan rata-rata 0,76 g/cm3.
Kualitas perekatan bambu komposit yang dibuat dari bambu andong dan
bambu mayan dengan berbagai komposisi arah lapisan cukup baik.
Kualitas perekatan bambu komposit 5 lapis yang dibuat dari bambu
andong maupun bambu mayan dengan menggunakan perekat isosianat dan
variasi komposisi arah lapisan cukup baik. Penggunaan lapisan silang pada
lapisan dalam bambu komposit menurunkan nilai keteguhan lentur dan
keteguhan tekan bambu komposit tetapi meningkatkan kestabilan dimensi
bambu komposit yang dihasilkan.
Berdasarkan nilai keteguhan lentur, secara keseluruhan bambu komposit
5 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan dengan berbagai variasi
komposisi arah lapisan setara dengan kayu kelas kuat II. Nilai keteguhan tekan
bambu komposit 5 lapis yang dibuat dari bambu andong yang semua
lapisannya disusun sejajar serat setara dengan kayu kelas kuat I (satu).
Keteguhan tekan bambu komposit 5 lapis yang dibuat dari bambu andong
maupun bambu mayan dengan lapisan ketiga (tengah) disusun menyilang
terhadap lapisan lainnya setara dengan kayu kelas kuat II (dua), sedangkan
8
bambu komposit 5 lapis dengan lapisan kedua dan keempat yang disusun
menyilang terhadap lapisan didekatnya setara dengan kayu kelas kuat III (tiga).
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan penelitian ini adalah penyempurnaan teknologi
pembuatan bambu komposit dengan sistem laminasi silang yang sesuai untuk
bahan mebel yang mencakup: a) Kegiatan lapangan, antara lain pengumpulan
kayu sebagai bahan penelitian, pengumpulan data potensi bambu, dan industri
pengolahan kayu dan bambu. b) Kegiatan laboratorium antara lain mencakup
pemotongan bilah bambu, perekatan bilah bambu secara tegak, pembuatan
papan kayu, pengawetan dan pengeringan papan kayu, serta pembuatan
bambu komposit dengan variasi komposisi lapisan dan arah lapisan (laminasi
silang). Perlakuan yang diterapkan meliputi perbedaan jenis kayu (2 jenis),
perbedaan komposisi lapisan dan arah lapisan pada lapisan dalam bambu
komposit (6 macam) termasuk perbedaan jenis kayu (2 jenis). c) Pengujian
sifat fisis dan mekanis bambu komposit. d) Pembuatan contoh produk bambu
komposit untuk bahan komponen mebel.
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bambu Merupakan Tanaman Cepat Tumbuh
Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan tumbuh cepat. Rebung
yang muncul akan menyelesaikan pertumbuhan vertikalnya dalam waktu
setahun, sedang tahun tahun berikutnya merupakan proses penuaan, dan pada
akhir tahun ketiga batang bambu tersebut sudah dapat ditebang. Untuk barang
kerajinan berupa anyaman, banyak bambu yang ditebang pada akhir tahun
kedua. Oleh karena itu pembudidayaan bambu merupakan usaha yang cepat
menghasilkan karena dalam waktu empat tahun sudah dapat melakukan
pemanenan yang pertama (Sulthoni, 1994).
B. Bambu Lamina dengan Bahan Dasar Pelupuh Bambu
Bambu lamina adalah suatu produk yang dibuat dari beberapa bilah
bambu atau pelupuh bambu yang direkat dengan arah serat sejajar. Hasil
perekatan tersebut dapat berupa papan atau balok tergantung dari ukuran tebal
dan lebarnya. Penelitian mengenai bambu lamina yang pernah dilakukan
adalah dengan menggunakan pelupuh bambu betung dan pelupuh bambu
andong. Karena bahannya berupa pelupuh maka produk bambu lamina yang
dihasilkan tampilannya (permukaannya) kurang bagus karena masih ada celah-
celah akibat terpisahnya serat bambu yang digunakan.
Penelitian mengenai pengaruh jumlah lapisan terhadap sifat bambu
lamina telah dikemukakan oleh Sulastiningsih, Nurwati dan Sutigno (1996).
Bambu yang digunakan adalah pelupuh bambu betung dan perekatnya urea
formaldehida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis
bambu lamina dari bambu betung tidak dipengaruhi oleh jumlah lapisan (2-5
lapis) kecuali keteguhan rekat berdasarkan uji geser tarik dalam kondisi kering.
Berdasarkan kerapatan, keteguhan lentur dan keteguhan tekan, bambu lamina
setara dengan kayu kelas kuat II. Sifat perekatan bambu lamina dari bambu
betung cukup baik.
Penelitian mengenai pengaruh posisi pada batang dan banyaknya
pelaburan bahan pengawet terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lamina
dikemukakan oleh Sulastiningsih, Santoso dan Yuwono (1998). Bambu yang
10
digunakan adalah pelupuh bambu andong dan dibedakan antara bagian
pangkal, tengah dan ujung batang bambu. Bahan pengawet yang digunakan
Cuprinol sedangkan perekatnya urea formaldehida. Bambu lamina yang dibuat
terdiri dari 3 lapis. Banyaknya pelaburan bahan pengawet Cuprinol pada bilah
bambu andong bervariasi yaitu 0, 1, 2 dan 3 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi pada batang dan banyaknya
pelaburan bahan pengawet tidak berpengaruh pada kerapatan bambu lamina.
Kerapatan rata-rata bambu lamina dari bambu andong adalah 0,70 g/cm3.
Posisi pada batang sangat berpengaruh terhadap modulus elastisitas dan
keteguhan rekat bambu lamina. Secara keseluruhan bambu lamina yang
terbuat dari bagian pangkal mempunyai modulus elastisitas dan keteguhan
rekat lebih tinggi daripada bagian tengah dan ujung. Modulus patah dan
keteguhan rekat bambu lamina sangat dipengaruhi oleh banyaknya pelaburan
bahan pengawet. Modulus patah dan keteguhan rekat bambu lamina menurun
dengan bertambahnya jumlah pelaburan bahan pengawet.
Berdasarkan kerapatan, keteguhan lentur dan keteguhan tekan, pada
umumnya bambu lamina dari pelupuh bambu andong setara dengan kayu kelas
kuat II, sedangkan bambu lamina yang pelupuhnya dilaburi bahan pengawet
Cuprinol 3 kali setara dengan kayu kelas kuat III. Sifat perekatan bambu lamina
dari pelupuh bambu andong sangat baik.
C. Bambu Lamina dengan Bahan Dasar Bilah Bambu
Penelitian pengaruh lapisan kayu terhadap sifat bambu lamina (3 lapis)
telah dilakukan di laboratorium produk majemuk Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan, Bogor (Sulastiningsih, et. al. 2005). Bambu yang
digunakan adalah bilah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea),
sedangkan perekatnya adalah tanin resorsinol formaldehida (TRF) dan waktu
kempa yang diterapkan dalam pembuatan bambu lamina adalah 20 jam. Kayu
yang digunakan adalah mangium (Acacia mangium) dan tusam (Pinus
merkusii).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan kayu sangat berpengaruh
terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lamina. Kerapatan dan sifat mekanis
11
bambu lamina menurun dengan penggunaan kayu untuk lapisan tengah bambu
lamina. Bambu lamina yang semua lapisannya terdiri dari bambu, kerapatannya
lebih tinggi (0,8 g/cm3) dibanding bambu lamina yang lapisan tengahnya dari
kayu (0,7 g/cm3, mangium dan 0,64 g/cm3, tusam).
Pada umumnya kerapatan produk komposit dipengaruhi oleh kerapatan
bahan penyusunnya, adanya perekat dan proses pengempaan. Dalam
penelitian ini kerapatan bahan yang digunakan berturut-turut adalah bambu
andong 0,78 g/cm3 , kayu mangium 0,45 g/cm3 , dan kayu tusam 0,42 g/cm3 .
Sedangkan berat jenis bambu andong tanpa buku berkisar 0,5 – 0,7 dan
dengan buku berkisar 0,6 – 0,8 (Dransfield dan Widjaja, 1995), berat jenis kayu
mangium dari berbagai umur berkisar 0,38 – 0,42 (Ginoga, 1997) dan berat
jenis kayu tusam berkisar 0,40 – 0,75 (Martawijaya et.al, 1989). Kadar air kering
udara bambu lamina yang dibuat berkisar antara 11,17% - 12,23%. Lapisan
kayu tidak berpengaruh terhadap kadar air bambu lamina.
Penggunaan kayu mangium untuk lapisan tengah bambu lamina lebih
baik daripada kayu tusam. Bambu lamina yang lapisan tengahnya kayu tusam
mempunyai sifat kestabilan dimensi paling rendah dibanding bambu lamina
lainnya. Berdasarkan nilai kerapatan dan keteguhan lentur, bambu lamina yang
dibuat dari bilah bambu andong serta kombinasinya dengan kayu mangium
atau kayu tusam, setara dengan kayu kelas kuat II. Sifat perekatan bambu
lamina dari bilah bambu andong dan kombinasinya dengan kayu mangium atau
kayu tusam cukup baik.
Penelitian pembuatan bambu lamina dari tiga jenis bambu telah
dilakukan oleh Sulastiningsih (2008). Tujuan penelitian adalah untuk
mempelajari kemungkinan penggunaan bambu lamina sebagai bahan substitusi
kayu, khususnya mengetahui pengaruh jenis bambu terhadap sifat bambu
lamina yang direkat dengan urea formaldehida. Bambu yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) ,
bambu mayan (Gigantochloa robusta) dan bambu tali (Gigantochloa apus)
yang berasal dari tanaman rakyat di Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sifat bambu lamina
dipengaruhi oleh jenis bambu yang digunakan kecuali kadar air, keteguhan
12
tekan sejajar serat dan keteguhan rekat. Kerapatan bambu lamina bervariasi
antara 0,62 – 0,79 g/cm3. Bambu lamina dari bambu tali memiliki nilai
keteguhan lentur tertinggi sedangkan bambu lamina dari bambu mayan
memiliki keteguhan lentur terendah. Sifat perekatan bambu lamina dari bambu
andong, mayan dan tali cukup baik. Bambu lamina (3 lapis) masing-masing dari
bambu andong, mayan dan tali setara dengan kayu kelas kuat II.
Penelitian pengaruh jenis bambu dan jumlah lapisan terhadap sifat
bambu lamina telah dilakukan oleh Sulastiningsih dan Nurwati (2009). Bambu
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus) dan
bambu mayan (Gigantochloa robusta) yang berasal dari tanaman rakyat di
Jawa Barat. Perekat yang digunakan adalah tanin resorsinol formaldehida
(TRF). Bilah bambu yang digunakan sebelumnya diawetkan dahulu dalam
larutan boron. Waktu kempa yang diterapkan 4 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan bambu lamina yang
dibuat bervariasi dari 0.71−0.75 g cm-3. Nilai modulus patah (MOR) dan
modulus elastisitas (MOE) bambu lamina berturut-turut bervariasi dari
393.7−969.4 kg cm-2 dan dari 74 100−102 290 kg cm-2 dipengaruhi oleh jumlah
lapisan. Nilai MOR dan MOE bambu lamina menurun dengan meningkatnya
jumlah lapisan. Nilai rataan keteguhan rekat bambu lamina dari bambu tali (uji
kering) lebih tinggi (55.8 kg cm-2) dibanding bambu lamina dari bambu mayan
(40.8 kg cm-2). Bambu lamina 3 lapis setara dengan kayu kelas kuat II
sedangkan bambu lamina 5 lapis setara dengan kayu kelas kuat IV.
D. Perbandingan Sifat Mekanis Bambu dengan Sifat Mekanis Bambu
Lamina Kekuatan bambu lamina tidak hanya ditentukan oleh kekuatan bahan
penyusunnya akan tetapi sangat ditentukan oleh kekuatan atau kualitas hasil
perekatan antar bilah bambu atau pelupuh bambu penyusun bambu lamina baik
ke arah lebar maupun ke arah tebal. Menurut Surjokusumo dan Nugroho (1994)
modulus elastisitas bambu andong yang diuji dengan menggunakan contoh
kecil bebas cacat adalah 98.294 kg/cm2 . Idris et.al, (1994) mengemukakan
bahwa modulus elastisitas bambu andong berbentuk bilah sebesar 96.616
kg/cm2 (berbuku) dan 121.395 kg/cm2 (tanpa buku).
13
Hasil penelitian Sulastiningsih et.al. (1998) menunjukkan bahwa modulus
elastisitas rata-rata bambu lamina yang dibuat dari pelupuh bambu andong
adalah 151.500 kg/cm2, sedangkan modulus elastisitas bambu lamina (3 lapis)
yang dibuat dari pelupuh bambu betung sebesar 175.592 kg/cm2 (Sulastiningsih
et.al ,1996). Modulus elastisitas bambu lamina (3 lapis) yang dibuat dari bilah
bambu andong dan direkat dengan perekat tannin resorsinol formaldehida
adalah 133.615 kg/cm2 (Sulastiningsih et al, 2005). Berdasarkan uraian di atas
terlihat bahwa bambu lamina yang semua lapisannya dibuat dari bilah bambu
andong mempunyai modulus elastisitas lebih tinggi daripada modulus
elastisitas bilah bambu andong baik yang berbuku (96.616 kg/cm2 ) maupun
tanpa buku (121.395 kg/cm2) tetapi lebih rendah dari modulus elastisitas bambu
lamina yang dibuat dari pelupuh bambu andong maupun bambu betung.
E. Bambu Lamina untuk Lantai
Sulastiningsih (2005) mengemukakan bahwa sifat mekanis bambu
lamina dari bilah bambu andong lebih tinggi dibanding kayu jati. Dibandingkan
dengan kayu keruing, bambu lamina dari bilah bambu andong mempunyai
modulus patah yang lebih tinggi, sedangkan nilai modulus elastisitas dan
kekerasan sisinya sedikit lebih rendah. Menurut Martawijaya et.al (1981), kayu
jati dan kayu keruing sangat cocok untuk lantai karena sifat fisis dan mekanis
yang dimilikinya. Kayu jati mempunyai penyusutan sampai kering tanur 2,8%
(R) dan 5,2% (T) sedangkan kayu keruing mempunyai penyusutan sampai
kering udara 2,8% ( R ) dan 4,2% (T).
Sifat yang paling penting dari suatu produk/bahan untuk lantai adalah
kekerasannya karena bahan tersebut harus tahan goresan dan benturan.
Berdasarkan hasil penelitian Sulastiningsih (2005) diketahui bahwa bambu
lamina dari bilah bambu andong sangat cocok untuk lantai karena mempunyai
sifat mekanis khususnya kekerasan sisi yang lebih tinggi (443 kg/cm2)
dibanding kayu jati (428 kg/cm2). Di samping itu bambu lamina dari bilah bambu
andong mempunyai kestabilan dimensi yang cukup tinggi, hal ini terlihat dari
nilai pengembangan tebal (1,03%), pengembangan lebar (0,76%) dan
pengembangan panjang (0,46%) yang sangat kecil setelah produk tersebut
14
direndam dalam air dingin selama 24 jam. Sifat ini sangat mendukung
kesesuaian bambu lamina dari bilah bambu andong untuk lantai.
F. Sistem Pelapisan
Sistem pelapisan dalam produk komposit telah diuraikan oleh Bodig dan
Jayne (1993). Dua prinsip yang memandu atau menjadi tujuan dalam
merancang produk laminasi adalah memaksimumkan kinerja dalam pemakaian
dan meminimumkan penggunaan bahan serta biaya produksi. Kedua tujuan
tersebut jarang dicapai sekaligus sehingga hanya kombinasi optimumnya yang
dicari. Oleh karena itu desain dalam laminasi mempertimbangkan dan
menerapkan prinsip ekonomi dan teknis.
Bahan alami seperti kayu gergajian atau dolok, merupakan produk yang
paling tidak efisien ketika dipakai sebagai material yang difokuskan untuk
menahan beban karena adanya cacat seperti mata kayu yang menyebabkan
perlemahan pada kayu tersebut ketika dipakai sebagai material konstruksi,
sehingga keberadaan mata kayu tersebut perlu dihilangkan. Suatu teknik yang
dipakai untuk memaksimalkan penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi
yaitu laminasi kayu. Pengorganisasian kembali material kayu yang
mengandung cacat melalui laminasi dapat meningkatkan efisiensi sebagaimana
disajikan pada Gambar 1 dimana terjadi peningkatan efisiensi dari (a) ke (g),
Gambar 1. Reorganisasi bahan dengan cara laminasi.
15
Keterangan :
Dengan menggergaji balok yang mengandung cacat menjadi lembaran atau papan yang tipis dan merekatkan kembali dengan papan-papan tipis lainnya sehingga diperoleh produk laminasi sebagai berikut : a. Laminasi kayu dengan keberadaan cacat mata kayu yang didistribusikan
secara acak pada arah horizontal. Produk ini kuat tetapi tidak selalu lebih kaku.
b. Laminasi kayu dengan keberadaan cacat mata kayu yang didistribusikan secara vertikal dan ditempatkan pada bidang netral. Bentukan ini memiliki bending stress yang minimum
c. Laminasi kayu dengan keberadaan cacat mata kayu yang distribusinya dikombinasikan antara vertikal dan horizontal pada bagian tengah balok. Bentukan ini menghasilkan balok yang lebih baik.
d. Lapisan penyusunnya telah dihilangkan cacat mata kayunya kemudian disambung dengan sambungan jari sebelum disusun menjadi kayu lamina.
e. Lamina yang tersusun atas material kayu yang mengandung cacat mata kayu ditempatkan sebagai lapisan dalam (core), sedangkan lapisan luarnya (face layer) digunakan material kayu yang memiliki kekuatan dan kekakuan yang tinggi.
f. Merubah kayu menjadi chip yang kemudian disusun kembali menjadi produk baru yang memiliki ukuran seperti balok .
g. Membentuk balok I (I-beam) atau balok kotak (box-beam) dengan menggabungkan beberapa bahan dengan bentuk penampang lintang yang berbeda untuk memperbaiki kekuatan dan kekakuannya.
Beberapa contoh sistem pelapisan lainnya seperti laminasi kayu dan
komposit kayu dapat dilihat pada Gambar 2 (Bodig dan Jayne, 1993). Sistem
laminasi yang diterapkan pada bahan baku kayu tersebut dapat diterapkan
pada bahan baku berlignoselulosa selain kayu antara lain adalah bambu. Pada
umumnya produk lamina yang dibuat sekarang adalah konstruksi seimbang
yaitu strukturnya simetri dengan bidang netral selalu dipertahankan selama
pembuatannya.
16
Gambar 2. Laminasi kayu dan komposit kayu. Papan partikel tiga lapis (a). Kayu lamina arah horisontal (b), kayu lamina arah vertikal (c), kayu lapis (d), papan karton bergelombang (e), honeycomb sandwich panel (f).
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian pembuatan produk bambu komposit dilakukan di Pusat
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Kegiatan
pengumpulan kayu sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Jawa Barat.
Kegiatan pengumpulan data dan informasi serta pertemuan ilmiah yang
mendukung penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dan Sumatera Utara.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan utama bambu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan bambu mayan
(Gigantochloa robusta), kayu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu manii
(Maesopsis eminii), perekat Isosianat, dan larutan boron (campuran boraks dan
asam borat). Sedangkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
meliputi gergaji potong, mesin serut, mesin ampelas, masker, sarung tangan,
bak perendaman, klem/alat kempa dingin, mesin uji universal, oven, timbangan,
kaliper, desikator, peralatan gelas lainnya, dan peralatan keselamatan kerja.
C. Prosedur Kerja
1. Pemotongan bilah bambu
Bilah bambu andong dan bambu mayan yang digunakan untuk penelitian
ini menggunakan bilah bambu yang sudah ada di laboratorium produk majemuk
yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Bilah bambu tersebut sudah
diawetkan dan dikeringkan. Bilah bambu andong dan mayan tebal sekitar 4
mm dipotong untuk mendapatkan ukuran panjang 125 cm dan 16 cm.
2. Pembuatan papan bambu
Papan bambu yang berfungsi sebagai lapisan penyusun bambu
komposit memiliki ukuran 125 cm x 16 cm x 2 cm. Pembuatan papan bambu
sebagai lapisan penyusun balok bambu komposit dilakukan dengan
merekatkan bilah bambu secara tegak. Bilah bambu yang digunakan untuk
18
menyusun papan bambu yang berfungsi sebagai lapisan silang memiliki
panjang 16 cm. Tebal papan bambu yang diperoleh dengan merekatkan
beberapa bilah bambu secara tegak sama dengan lebar bilah bambu
penyusunnya, sehingga ukuran papan bambu yang diperoleh adalah 125 cm x
16 cm x 2 cm (pxlxt). Perekatan beberapa bilah bambu menjadi papan bambu
dilakukan dengan menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m2
dan waktu kempa selama 1 jam.
3. Pembuatan papan kayu
Dolok kayu sengon dan manii berumur lebih dari 5 tahun dengan
diameter lebih dari 30 cm dan panjang 260 cm dibelah dengan menggunakan
gergaji pita untuk mendapatkan papan dengan ketebalan 3 cm. Papan yang
dihasilkan kemudian dikeringudarakan hingga kadar airnya mencapai ± 15%.
Papan yang sudah kering kemudian dibelah dengan lebar 16 cm kemudian
diserut dan diampelas hingga diperoleh ketebalan yang ditargetkan ± 2 cm.
Selanjutnya papan kayu sengon dan kayu manii masing-masing diawetkan
dengan larutan boron 7% dengan cara rendaman dingin dengan target retensi 6
kg/m3 dan lama perendaman bervariasi antara 4 jam sampai 24 jam tergantung
dari waktu pencapaian target retensi. Papan yang sudah diawetkan kemudian
dikeringkan dengan sinar matahari dan dilanjutkan dalam dapur pengering
hingga kadar airnya mencapai ± 12%. Papan yang sudah kering kemudian
dipotong untuk mendapatkan ukuran panjang 125 cm dan 16 cm.
4. Pembuatan bambu komposit
Bambu komposit yang dibuat memiliki target dimensi 125 cm x 16 cm x 6
cm (p x l x t). Jenis kayu sebagai kombinasi lapisan penyusun bambu komposit
dua macam yaitu sengon dan manii. Komposisi lapisan kayu pada bambu
komposit adalah homogen untuk setiap jenis kayu atau tidak ada campuran
jenis kayu. Bambu komposit dibuat dengan 6 variasi komposisi dan arah
lapisan (K) yaitu: bambu komposit 3 lapis, masing – masing lapisan berupa
papan bambu susun tegak dan semua lapisan disusun sejajar serat (K1);
bambu komposit 3 lapis, masing – masing lapisan berupa papan bambu susun
19
tegak dan lapisan 2 disusun menyilang terhadap lapisan lainnya (K2); bambu
komposit 3 lapis semua lapisan disusun sejajar serat dengan lapisan luar
berupa papan bambu susun tegak dan lapisan dalam dari kayu sengon (K3);
bambu komposit 3 lapis dengan lapisan luar berupa papan bambu susun tegak
dan lapisan dalam dari kayu sengon disusun menyilang terhadap lapisan
lainnya (K4); bambu komposit 3 lapis semua lapisan disusun sejajar serat
dengan lapisan luar berupa papan bambu susun tegak dan lapisan dalam dari
kayu manii semua lapisan disusun sejajar serat (K5); bambu komposit 3 lapis
dengan lapisan luar berupa papan bambu susun tegak dan lapisan dalam dari
kayu manii disusun menyilang terhadap lapisan lainnya (K6). Komposisi dan
arah lapisan penyusun bambu komposit disajikan pada Gambar 3.
Bambu komposit dibuat dengan menggunakan perekat isosianat dengan
berat labur 250 g/m2 dan dikempa dingin/diklem selama 1 jam. Untuk masing-
masing perlakuan dibuat bambu komposit sebanyak 3 buah. Bambu komposit
yang sudah jadi kemudian dikondisikan atau dibiarkan dalam ruangan dengan
suhu dan kelembaban sama dengan kondisi lingkungan sekitarnya selama
minimum 1 minggu sebelum dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya.
Bambu komposit yang dihasilkan kemudian diukur dimensinya dan diamati
penampilannya serta diuji sifat fisis dan mekanisnya.
5. Pengujian sifat fisis dan mekanis bambu komposit
Pengujian sifat fisis bambu komposit meliputi kadar air, kerapatan,
pengembangan tebal, pengembangan linier dan penyerapan air dilakukan
menurut Standar Amerika (ASTM D 1037-93, ASTM 1995a) dengan beberapa
modifikasi, sedangkan pengujian keteguhan tekan bambu lamina dilakukan
menurut Standar Amerika (ASTM D 3501- 94, ASTM 1995b) dengan modifikasi.
Pengujian delaminasi dan sifat mekanis meliputi keteguhan rekat dengan uji
geser blok serta keteguhan lentur dilakukan menurut Standar Jepang untuk
kayu lamina (JAS, MAFF, Notification No. 234, JPIC 2003). Pengujian
keteguhan rekat bambu lamina dilakukan dalam kondisi kering.
20
Semua lapisan bambu //
Semua lapisan bambu dan lapisan tengah ┴ terhadap lapisan luar
K1 K2
Semua lapisan //, lapisan luar bambu
dan lapisan tengah kayu sengon
Lapisan luar bambu // dan lapisan tengah
kayu sengon ┴ terhadap lapisan luar
K3 K4
Semua lapisan //, lapisan luar bambu
dan lapisan tengah kayu manii
Lapisan luar bambu // dan lapisan tengah
kayu manii ┴ terhadap lapisan luar
K5 K6
Keterangan : // = sejajar serat ; ┴ = tegak lurus serat
Gambar 3. Variasi komposisi dan arah lapisan bambu komposit
D. Analisis Data
Dari hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu komposit kemudian
dianalisis secara statistik dengan menggunakan rancangan percobaan acak
lengkap berblok (Sudjana, 1980). Sebagai blok adalah jenis bambu (andong
dan mayan), sebagai perlakuan adalah kombinasi dan arah lapisan penyusun
21
bambu komposit (6 macam). Banyaknya ulangan 3 buah papan, dengan model
rancangan percobaan yang digunakan adalah :
Yij = + βi + πj + ij
Dimana :
Yij = Nilai pengamatan (variabel yang diukur)
= Nilai rata-rata
βi = Pengaruh blok ke-i
πj = Pengaruh perlakuan ke-j
ij = Pengaruh unit eksperimen dalam blok ke i karena perlakuan ke j
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Fisis Bambu Komposit
1. Kadar air
Nilai rata-rata hasil pengujian kadar air kering udara bambu komposit
dengan berbagai komposisi dan arah lapisan tercantum dalam Tabel 1 dan
Gambar 4.
Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air (%) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 11,1 10,9 11,1 11,2 11,3 11,2
Mayan 11,3 11,0 11,3 11,0 11,2 11,0
Keterangan : K1 = semua lapisan dari bambu disusun sejajar serat ; K2 = semua lapisan dari bambu dan lapisan tengah disusun menyilang atau tegak lurus serat terhadap lapisan luar; K3= semua lapisan disusun sejajar serat dengan lapisan tengah kayu manii; K4 = komposisi lapisan seperti P3 tetapi lapisan kayu manii disusun tegak lurus terhadap lapisan luar; K5= semua lapisan disusun sejajar serat dengan lapisan tengah kayu sengon; K6 = komposisi lapisan seperti P5 tetapi lapisan kayu sengon disusun tegak lurus terhadap lapisan luar.
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Ka
da
r a
ir, %
Andong
Mayan
Gambar 4. Histogram kadar air bambu komposit
23
Kadar air rata-rata bambu komposit yang dibuat dari bambu andong dan
bambu mayan dengan berbagai komposisi dan arah lapisan adalah 11,13%.
Secara keseluruhan, kadar air bambu komposit ini telah memenuhi persyaratan
Standar Nasional Indonesia untuk produk kayu olahan seperti kayu lapis
penggunaan umum (BSN 2000a, SNI 01-5008.2-2000), venir lamina (BSN
2000b, SNI 01-6240-2000), serta papan sambung dan bilah sambung untuk
meja (BSN 2000c, SNI 01-6243.2.2000), karena nilainya tidak lebih dari 14%,
dan memenuhi persyaratan Standar Jepang untuk kayu lamina (JPIC 2003),
karena nilainya tidak lebih dari 15%.
2. Kerapatan
Nilai rata-rata hasil pengujian kerapatan bambu komposit yang dibuat
dari bambu andong dan bambu mayan dengan berbagai komposisi dan arah
lapisan dan diuji pada kondisi kering udara tercantum dalam Tabel 2 dan
Gambar 5. Kerapatan bambu komposit yang dibuat dengan berbagai perlakuan
berkisar antara 0,58 g/cm3 hingga 0,75 g/cm3 dengan rata-rata 0,64 g/cm3.
Tabel 2. Nilai rata-rata kerapatan (g/cm3) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 0,75 0,75 0,61 0,61 0,58 0,58
Mayan 0,74 0,73 0,59 0,59 0,58 0,58
Keterangan seperti pada Tabel 1.
Kerapatan rata-rata bambu komposit yang dibuat dari bambu andong
(0,65 g/cm3) lebih tinggi daripada bambu komposit yang dibuat dari bambu
mayan (0,63 g/cm3 ). Kerapatan rata-rata bambu komposit dengan lapisan
tengah kayu lebih rendah dibanding dengan kerapatan bambu komposit yang
semua lapisannya bambu, tetapi lebih tinggi dibanding dengan kerapatan kayu
utuh yang digunakan sebagai lapisan tengah bambu komposit. Kecenderungan
tersebut dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 5. Dalam produk komposit
24
kerapatan bahan penyusun, perekat dan proses pengempaan sangat
menentukan kerapatan produk komposit yang dihasilkan.
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Ke
rap
ata
n, g
/cm
3
Andong
Mayan
Gambar 5. Histogram kerapatan bambu komposit
Hasil penelitian Permatasari (2011) menunjukkan bahwa kerapatan rata-
rata balok laminasi kayu sengon 6 lapis dengan tebal 12 cm adalah 0,29 g/cm3,
sedangkan kerapatan rata-rata balok laminasi kayu manii 6 lapis dengan tebal
12 cm adalah 0,57 g/cm3. Sementara itu hasil penelitian Supartini (2012)
menunjukkan bahwa balok laminasi kayu manii tebal 5 cm dengan jumlah
lapisan 3 sampai 5 memiliki kerapatan rata-rata 0,42 – 0,43 g/cm3. Berdasarkan
uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa kerapatan bambu komposit
dengan lapisan tengah kayu sengon atau kayu manii memiliki kerapatan yang
jauh lebih tinggi dibanding dengan balok laminasi kayu sengon atau kayu manii.
3. Pengembangan tebal bambu komposit
Nilai rata-rata hasil pengujian pengembangan tebal bambu komposit
dengan berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 3 dan Gambar 6,
sedangkan hasil analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 4.
Pengembangan tebal bambu komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi
lapisan dan direkat dengan perekat isosianat berkisar antara 1,49% sampai
2,64% dengan rata-rata 1,98%.
25
Tabel 3. Nilai rata-rata pengembangan tebal (%) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 1,98 2,64 1,77 2,13 1,79 2,25
Mayan 1,49 2,00 1,81 2,27 1,63 2,06
Keterangan seperti pada Tabel 1.
Tabel 4. Analisa keragaman pengembangan tebal bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 0,138 0,138
Perlakuan 5 0,734 0,1467 3,25tn 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 0,23 0,045
Keterangan: tn = tidak nyata
Hasil analisa keragaman pada Tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi
lapisan tidak berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal bambu
komposit. Bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus
terhadap lapisan luar memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi
dibanding dengan yang lapisan tengahnya disusun sejajar dengan lapisan luar.
Pengembangan tebal rata-rata bambu komposit dari bambu andong adalah
2,09%, sedangkan yang dibuat dari bambu mayan adalah 1,88%. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa pengembangan tebal bambu komposit berupa bambu lamina dari bilah
bambu andong yang disusun secara mendatar adalah 1,03% (Sulastiningsih et.
al , 2005).
Hasil penelitian Ahmad dan Kamke (2011) menunjukkan bahwa
pengembangan tebal bambu komposit 7 lapis berupa Parallel Strand Lumber
(PSL) yang dibuat dari bambu Dendrocalamus stricus dengan perekat fenol
formaldehida, berat labur perekat 200 g m-2 dan dikempa panas pada suhu
26
120ºC selama 15 menit, adalah 2.85%. Pengembangan tebal bambu komposit
4 lapis yang dibuat dari pelupuh (zephyr) bambu moso Phyllostachys
pubescens dan direkat dengan perekat berbahan dasar resorsinol bervariasi
antara 11.90%m – 12.40% (Nugroho dan Ando. 2001).
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Pe
ng
em
ba
ng
an
te
ba
l, %
Andong
Mayan
Gambar 6. Histogram pengembangan tebal bambu komposit
Pengembangan tebal lantai bambu yang diperdagangkan di Amerika
Serikat dan bambu lamina 3 lapis yang dibuat di laboratorium menggunakan
bambu moso berturut-turut 0,69% dan 0,96% (Lee dan Liu, 2003). Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa lantai bambu yang ada di pasaran Amerika
Serikat memiliki pengembangan tebal yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena
produk lantai bambu tersebut sudah dilapisi bahan finishing sehingga air yang
masuk kedalam produk tersebut hanya dapat melalui bagian atau permukaan
yang tidak difinishing. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui juga bahwa
bambu komposit yang dibuat dari bilah bambu lebih stabil dibanding bambu
komposit yang dibuat dari pelupuh bambu karena nilai pengembangan tebalnya
lebih kecil.
Berdasarkan hasil pengujian sifat pengembangan tebal di atas maka
bambu komposit berbahan dasar bilah bambu yang dibuat dengan sistem
laminasi silang dan direkat dengan perekat isosianat mempunyai sifat
kestabilan dimensi yang cukup baik karena nilainya sekitar 2% jauh di bawah
persyaratan standar kestabilan dimensi produk panel kayu lainnya seperti
papan partikel dan papan serat yaitu maksimum 12%.
27
4. Pengembangan lebar bambu komposit
Nilai rata-rata hasil pengujian pengembangan lebar bambu komposit
dengan berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 5 dan Gambar 7,
sedangkan hasil analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 6.
Pengembangan lebar bambu komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi
lapisan dan direkat dengan perekat isosianat berkisar antara 1,28% sampai
2,58% dengan rata-rata 1,88%.
Tabel 5. Nilai rata-rata pengembangan lebar (%) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 2,40 1,28 2,48 1,62 2,58 1,56
Mayan 1,88 1,34 2,00 1,60 2,39 1,44
Keterangan seperti pada Tabel 1
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Pe
ng
em
ba
ng
an
le
ba
r, %
Andong
Mayan
Gambar 7. Histogram pengembangan lebar bamboo komposit
Lee dan Liu (2003) melaporkan bahwa pengembangan lebar lantai
bambu yang diperdagangkan di pasaran Amerika Serikat dan bambu lamina 3
lapis yang dibuat di laboratorium dengan menggunakan bambu moso berturut-
turut adalah 0.12% dan 0.74%. Sementara itu Sulastiningsih dan Santoso.
28
(2012) melaporkan bahwa papan bambu lamina yang dibuat dari bilah bambu
andong dan direkat dengan perekat urea formaldehida memiliki pengembangan
lebar bervariasi antara 2.04 – 2.70% dengan rata-rata 2.38%. Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketahui bahwa bambu komposit dengan lapisan silang
hasil penelitian ini memiliki kestabilan dimensi yang lebih baik dibanding papan
bambu lamina yang dibuat dari bilah bambu andong dan direkat dengan
perekat urea formaldehida.
Tabel 6. Analisa keragaman pengembangan lebar bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 0,133 0,133
Perlakuan 5 2,21 0,442 15,2** 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 0,145 0,029
Keterangan : ** = sangat nyata
Hasil analisa keragaman pada Tabel 6 menunjukkan bahwa komposisi
lapisan sangat berpengaruh nyata terhadap pengembangan lebar bambu
komposit. Bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus
terhadap lapisan luar memiliki nilai pengembangan lebar yang lebih kecil
dibanding dengan yang lapisan tengahnya disusun sejajar dengan lapisan luar.
Pengembangan lebar rata-rata bambu komposit dari bambu andong adalah
1,99%, sedangkan yang dibuat dari bambu mayan adalah 1,78%. Berdasarkan
hasil pengujian sifat pengembangan lebar di atas maka bambu komposit yang
dibuat dengan sistem laminasi silang dan direkat dengan perekat isosianat
mempunyai sifat kestabilan dimensi yang cukup baik karena nilainya kurang
dari 2%.
5. Penyerapan air bambu komposit
Nilai rata-rata hasil pengujian penyerapan air bambu komposit dengan
berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 7 dan Gambar 8, sedangkan hasil
29
analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 8. Penyerapan air bambu
komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan dan direkat dengan
perekat isosianat berkisar antara 20,5% sampai 30,2% dengan rata-rata
25,0%.
Tabel 7. Nilai rata-rata penyerapan air (%) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 25,7 25,6 29,9 30,2 23,0 21,8
Mayan 20,5 20,8 27,4 27,0 25,6 22,7
Keterangan seperti pada Tabel 1
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Pe
ny
era
pa
n a
ir,%
Andong
Mayan
Gambar 8. Histogram penyerapan air bamboo komposit
Tabel 8. Analisa keragaman penyerapan air bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 12,28 12,28
Perlakuan 5 81,54 16,31 3,36tn 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 24,3 4,86
Keterangan: tn = tidak nyata
30
Hasil analisa keragaman pada Tabel 8 menunjukkan bahwa komposisi
lapisan tidak berpengaruh nyata terhadap penyerapan air bambu komposit.
Penyerapan air rata-rata bambu komposit dari bambu andong adalah 26,04%,
sedangkan yang dibuat dari bambu mayan adalah 24,02%. Dalam Standar
Jepang untuk kayu lamina (JPIC 2003) nilai penyerapan air tidak
dipersyaratkan.
B. Kualitas Hasil Perekatan Bambu Komposit
1. Delaminasi
Kualitas perekatan bambu komposit merupakan faktor yang sangat
penting yang harus diuji. Kualitas perekatan tersebut dapat diuji dengan 3 cara
yaitu dengan uji geser tekan, uji pisau dan uji delaminasi. Cara yang paling
praktis adalah dengan uji delaminasi. Dalam uji delaminasi ini contoh uji bambu
komposit (7,5 cm x 7,5 cm) diberi perlakuan sesuai dengan tipe perekatnya,
meliputi perlakuan perendaman dalam air panas atau air mendidih dalam waktu
tertentu kemudian pengeringan dalam oven pada suhu 60oC dalam waktu
tertentu. Bambu komposit yang dibuat dengan perekat isosianat diberi
perlakuan yang sesuai untuk perekat tipe I atau perekat eksterior.
Kualitas perekatan bambu komposit dengan uji delaminasi ditentukan
dengan jalan mengukur panjang bagian yang mengelupas pada setiap garis
rekat yang ada setelah contoh uji diberi perlakuan yang sesuai dengan tipe
perekatnya. Kualitas perekatan dianggap baik apabila panjang bagian yang
mengelupas pada contoh uji kurang dari 1/3 panjang garis rekat contoh uji.
Berdasarkan data hasil uji delaminasi dapat diketahui bahwa kualitas perekatan
bambu komposit dari bambu andong dan bambu mayan dengan berbagai
komposisi lapisan sangat baik karena tidak ada bagian yang mengelupas pada
seluruh garis rekat contoh uji delaminasi bambu komposit yang ditunjukkan oleh
nilai delaminasi = 0 cm atau 0%.
2. Keteguhan rekat
Keteguhan rekat bambu komposit diuji dengan menggunakan uji geser
tekan. Nilai rata-rata hasil pengujian keteguhan rekat (keteguhan geser tekan)
31
bambu komposit dengan berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 9 dan
Gambar 9, sedangkan hasil analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 10.
Tabel 9. Nilai rata-rata keteguhan rekat (kg/cm2) bambu komposit
Jenis
bambu
Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 91,9 46,4 75,2 45,4 80,5 30,2
(80) (100) (100) (100) (90) (90)
Mayan 108 50,1 82,7 47,7 78,6 39,6
(100) (80) (90) (80) (100) (100)
Keterangan seperti pada Tabel 1; Angka dalam kurung adalah kerusakan bambu (%)
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Ke
teg
uh
an
re
ka
t, k
g/c
m2
Andong
Mayan
Gambar 9. Histogram keteguhan rekat bamboo komposit
Tabel 10. Analisa keragaman keteguhan rekat bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 114,48 114,48
Perlakuan 5 6304,40 1260,88 64,01** 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 98,5 19,70
Keterangan : ** = sangat nyata
32
Keteguhan rekat bambu komposit yang dibuat dengan berbagai
komposisi dan arah lapisan serta direkat dengan perekat isosianat berkisar
antara 30,2 kg/cm2 sampai 108,0 kg/cm2 dengan rata-rata 63,1 kg/cm2. Hasil
analisa keragaman pada Tabel 10 menunjukkan bahwa keteguhan rekat bambu
komposit sangat dipengaruhi oleh komposisi dan arah lapisan. Bambu komposit
yang semua lapisannya direkat sejajar serat memiliki keteguhan rekat yang
lebih tinggi dibanding dengan bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun
tegak lurus terhadap lapisan luar. Di samping itu bambu komposit dengan
lapisan tengah kayu memiliki keteguhan rekat yang lebih rendah dibanding
bambu komposit yang semua lapisannya bambu. Keteguhan rekat bambu
komposit yang semua lapisannya disusun sejajar serat memenuhi persyaratan
kualitas perekatan kayu lamina menurut Standar Jepang (JPIC 2003) karena
nilai keteguhan geser tekan dan persentase kerusakan bambu atau kerusakan
kayunya berturut-turut tidak kurang dari 55 kg/cm2 dan 70%.
Kualitas perekatan bambu komposit tidak hanya dilihat dari nilai
keteguhan rekat atau keteguhan geser saja tetapi dilihat juga besarnya
persentase kerusakan bambu. Keteguhan rekat bambu komposit dengan
lapisan tengah tegak lurus terhadap lapisan luar juga cukup baik karena
meskipun nilai keteguhan rekatnya kurang dari 55 kg/cm2 tetapi nilai kerusakan
bambunya cukup tinggi yaitu berkisar antara 80% hingga 100%.
Hasil penelitian Permatasari (2011) menunjukkan bahwa keteguhan
rekat rata-rata balok laminasi kayu sengon adalah 38,78 kg/cm2, sedangkan
keteguhan rekat rata-rata balok laminasi kayu manii adalah 57,68 kg/cm2
Sementara itu hasil penelitian Supartini (2012) menunjukkan bahwa balok
laminasi kayu manii tebal 5 cm dengan jumlah lapisan berbeda memiliki nilai
keteguhan rekat dan kerusakan kayu rata-rata berturut-turut 40,49 kg/cm2 dan
86% (3 lapis), 33,65 kg/cm2 dan 65% (4 lapis), 34,69 kg/cm2 dan 57% (5 lapis).
C. Sifat mekanis bambu komposit
Sifat mekanis bambu komposit yang diuji meliputi keteguhan lentur dan
keteguhan tekan. Nilai rata-rata hasil pengujian keteguhan lentur (modulus
33
patah) bambu komposit dengan berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 11
dan hasil analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 12.
1. Keteguhan lentur (modulus patah, MOR)
Keteguhan lentur bambu komposit yang dibuat dengan berbagai
perlakuan berkisar antara 429,1 kg/cm2 hingga 958,3 kg/cm2 dengan rata-rata
684,8 kg/cm2 (Tabel 11). Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat diketahui
bahwa keteguhan lentur rata-rata bambu komposit yang dibuat dari bambu
andong adalah 686,2 kg/cm2) sedangkan yang dibuat dari bambu mayan
adalah 683,4 kg/cm2.
Tabel 11. Nilai rata-rata modulus patah (MOR, kg/cm2) bambu komposit
Jenis
bambu
Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 958,3 684,9 805,6 432,5 806,8 429,1
Mayan 916,6 588,4 737,5 615,1 686,9 556,2
Keterangan seperti pada Tabel 1
0.0
200.0
400.0
600.0
800.0
1000.0
1200.0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Mo
du
lus
pa
tah
(M
OR
), k
g/c
m2
Andong
Mayan
Gambar 10. Histogram modulus patah (MOR) bambu komposit
34
Yoresta (2014) mengemukakan bahwa balok glulam kayu pinus tebal 5
cm dengan jumlah lapisan berbeda memiliki rata-rata modulus patah (MOR)
berturut-turut sebesar 41,29 MPa atau 420,75 kg/cm2 (2 lapis), 47,06 MPa atau
479,54 kg/cm2 (3 lapis), 60,25 MPa atau 613,95 kg/cm2 (4 lapis) dan 50,96 MPa
atau 519,28 kg/cm2 (5 lapis). Roh dan Ra (2009) mengemukakan bahwa papan
komposit 5 lapis yang dibuat dengan komposisi lapisan luar dari venir kayu
keruing (Dipterocarpus sp) dan lapisan dalam dari 3 lapis pelupuh (zephyr)
bambu (Phyllostachys nigra var. henonis Stapf. ) dan direkat dengan perekat
fenol formaldehida, berat labur perekat 320 g m-2 dan dikempa panas 140ºC
selama 6 menit, memiliki nilai MOR sebesar 60.4 MPa atau 615.8 kg cm-2 pada
arah sejajar serat permukaan, dan setara dengan kayu kelas kuat III,
sedangkan MOR pada arah tegak lurus serat permukaan sebesar 36.3 MPa
atau 370,1 kg cm-2, setara dengan kayu kelas kuat IV. Sementara itu Supartini
(2012) mengemukakan bahwa cross laminated timber dari kayu manii dengan
jumlah lapisan 3 sampai 5 memiliki modulus patah (MOR) berkisar antara
343,31 – 393,59 kg/cm2 .
Tabel 12. Analisa keragaman modulus patah (MOR) bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 22,725 22,725
Perlakuan 5 280697,3 56139,46 7,06* 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 39754,8 7950,964
Keterangan : * = nyata
Hasil analisa keragaman pada Tabel 12 menunjukkan bahwa komposisi
dan arah lapisan penyusun bambu komposit berpengaruh nyata terhadap
keteguhan lentur bambu komposit. Bambu komposit dengan lapisan tengah
tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai keteguhan lentur lebih rendah
dibanding dengan bambu komposit yang lapisan tengahnya disusun sejajar
35
terhadap lapisan luar. Adanya lapisan kayu sebagai elemen penyusun bambu
komposit menurunkan nilai keteguhan lentur bambu komposit yang dihasilkan.
Jika dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia maka
berdasarkan nilai keteguhan lenturnya, bambu komposit yang semua
lapisannya disusun sejajar serat baik yang dibuat dari bambu semua maupun
dengan lapisan tengah kayu, setara dengan kayu kelas kuat II karena nilai
keteguhan lenturnya tidak kurang dari 725 kg/cm2 (Oey, 1964), kecuali bambu
komposit dari bambu mayan dengan lapisan tengah kayu sengon setara
dengan kayu kelas kuat III. Bambu komposit hasil penelitian ini yang semua
lapisannya disusun sejajar serat memiliki keteguhan lentur lebih tinggi
dibanding bambu komposit yang dibuat dari pelupuh bambu moso (bambu
lamina 4 lapis) dan direkat dengan perekat berbahan dasar resorsinol yaitu
berkisar antara 639 – 707 kg/cm2 (Nugroho dan Ando (2001) .
2. Keteguhan tekan
Nilai rata-rata hasil pengujian keteguhan tekan bambu komposit dengan
berbagai perlakuan tercantum dalam Tabel 13 dan Gambar 11, sedangkan
hasil analisa keragamannya tercantum dalam Tabel 14. Keteguhan tekan
bambu komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan berkisar
antara 388,1 kg/cm2 hingga 646,8 kg/cm2 dengan rata-rata 482,3 kg/cm2.
Supartini (2012) mengemukakan bahwa cross laminated timber dari
kayu manii dengan jumlah lapisan 3, 4 dan 5 memiliki nilai keteguhan tekan
sejajar serat sebesar 154,08 – 169,52 kg/cm2. Balok bambu komposit dengan
lapisan tengah kayu manii hasil penelitian ini memiliki nilai keteguhan tekan
sebesar 388,1 – 483,3 kg/cm2. Berdasarkan informasi tersebut maka dapat
diketahui bahwa penggunaan lapisan bambu sebagai lapisan luar balok
laminasi kombinasi bambu dan kayu manii meningkatkan keteguhan tekan
balok laminasi dari kayu yang digunakan. Sementara itu Rittironk dan Elnieiri
(2008) mengemukakan bahwa papan bambu lamina (Laminated bamboo
lumber atau LBL) yang dibuat dari susunan bilah bambu secara mendatar atau
horizontal memiliki nilai keteguhan tekan sebesar 87.9 MPa atau 896.1 kg cm-2,
sedangkan yang bilahnya disusun secara tegak atau vertical memiliki nilai
36
keteguhan tekan sebesar 84.7 MPa atau 863.5 kg cm-2, kedua macam LBL
tersebut setara dengan kayu kelas kuat I
Tabel 13. Nilai rata-rata keteguhan tekan (kg/cm2) bambu komposit
Jenis bambu Perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Andong 646,8 457,7 483,3 427,6 522,6 437,9
Mayan 629,3 406,9 493,7 388,1 500,8 392,4
Keterangan seperti pada Tabel 1
0.0
100.0
200.0
300.0
400.0
500.0
600.0
700.0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Komposisi dan arah lapisan
Ke
teg
uh
an
te
ka
n, k
g/c
m2
Andong
Mayan
Gambar 11. Histogram keteguhan tekan bambu komposit
Tabel 14. Analisa keragaman keteguhan tekan bambu komposit
Sumber
Keragaman
db JK JKT F Hitung F Tabel
5% 1%
Blok/kelompok 1 2262,338 2262,338
Perlakuan 5 75407,78 15081,56 58,53** 5,05 10,97
Keslhn. Percob 5 1288,4 1288,4
Keterangan : ** = sangat nyata
37
Hasil analisa keragaman pada Tabel 14 menunjukkan bahwa keteguhan
tekan bambu komposit sangat dipengaruhi oleh komposisi lapisan penyusun
bambu komposit. Bambu komposit dari bambu andong memiliki keteguhan
tekan rata-rata lebih tinggi (496 kg/cm2) dibanding bambu komposit dari bambu
mayan (468,5 kg/cm2). Bambu komposit 3 lapis dengan bilah disusun secara
tegak dan semua lapisannya disusun sejajar serat memiliki keteguhan tekan
lebih tinggi (546,1 kg/cm2) dibanding bambu komposit dengan lapisan tengah
disusun menyilang terhadap lapisan luar (418,4 kg/cm2) .
Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai komposisi lapisan baik dari
bambu andong maupun bambu mayan dengan bilah disusun secara tegak dan
semua lapisannya disusun sejajar serat memiliki keteguhan tekan setara
dengan kayu kelas kuat II (dua). Bambu komposit dari bambu andong baik yang
semua lapisannya dari bambu atau kombinasi dengan kayu memiliki nilai
keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat II. Bambu komposit dari bambu
mayan yang semua lapisannya disusun sejajar serat memiliki nilai keteguhan
tekan setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan tengahnya
disusun tegak lurus serat terhadap lapisan luar memiliki nilai keteguhan tekan
setara dengan kayu kelas kuat III. Persyaratan sifat fisik dan mekanik bahan
baku kayu untuk mebel adalah kayu yang digunakan tersebut memiliki kelas
kuat III (BSN 1989).
38
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Penyempurnaan teknik pembuatan produk bambu komposit dengan sistem
laminasi silang dilakukan dengan menerapkan sistem perekatan bilah
bambu secara tegak atau vertical sehingga dimensi lebar bilah bambu
menjadi dimensi tebal bilah bambu dan lapisan dalam atau lapisan tengah
bambu komposit disusun tegak lurus atau menyilang terhadap lapisan luar.
2. Pembuatan bambu komposit dengan target dimensi seperti balok lebih
mudah dilakukan dengan menggunakan elemen penyusun papan bambu
komposit dengan bilah yang disusun secara tegak. Perekatan bilah bambu
secara tegak lebih mudah dilakukan karena permukaan yang dilaburi
perekat lebih luas sehingga kontak antar bagian bilah yang direkatkan lebih
luas dan lebih mudah dalam proses pengempaannya. Di samping itu
dimensi papan yang dihasilkan cukup tebal.
3. Bambu komposit 3 lapis dengan berbagai komposisi lapisan penyusun yang
dibuat dari bambu andong maupun bambu mayan dengan bilah disusun
secara tegak dan direkat menggunakan perekat isosianat, memiliki kualitas
perekatan cukup baik dengan nilai keteguhan rekat dan persentase
kerusakan bambu rata-rata berturut-turut 63,1 kg/cm2 dan 90%.
4. Penggunaan lapisan silang pada lapisan dalam bambu komposit
menurunkan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu komposit
tetapi meningkatkan kestabilan dimensi bambu komposit yang dihasilkan.
Secara keseluruhan bambu komposit 3 lapis dari bambu andong maupun
bambu mayan dengan berbagai komposisi lapisan dan semua lapisannya
disusun sejajar serat setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang
lapisan dalam atau lapisan tengahnya disusun tegak lurus serat terhadap
lapisan luar setara dengan kayu kelas kuat III dan masih memenuhi
persyaratan sebagai bahan baku untuk mebel.
39
B. Saran
1. Pembuatan produk bambu komposit perlu dikembangkan lebih lanjut
dengan memanfaatkan jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang ada sebagai
kombinasi lapisan penyusun bambu komposit sehingga biaya produksi
pembuatan bambu komposit dapat ditekan dan kekuatan produk bambu
komposit yang dihasilkan masih memenuhi standar penggunaannya. Bambu
yang berdiameter besar dan berdinding tebal seperti bambu andong dan
bambu mayan harus dikembangkan usaha penanamannya sebagai
pemasok bahan baku industri bambu komposit yang dapat digunakan
sebagai substitusi kayu pertukangan.
2. Pengembangan industri bambu komposit di Indonesia perlu terus
disosialisasikan dan ditingkatkan khususnya di daerah yang memiliki potensi
tanaman bambu yang cukup besar. Produk mebel dan komponen bangunan
(daun dan kusen jendela, daun dan kusen pintu) yang dibuat dari bambu
komposit perlu terus disosialisakan kepada masyarakat luas karena produk
ini merupakan produk baru sehingga masih belum dikenal di masyarakat.
40
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M, Kamke FA. 2011. Properties of parallel strand lumber from Calcutta bamboo (Dendrocalamus strictus). Wood Sci Technol 45:63-72
ASTM. (1995a). Standard Test Methods for Evaluating Properties of Wood-Based Fiber and Particle Panel Materials. ASTM D 1037-93. Annual Book of ASTM Standard. Philadelphia.
ASTM. (1995b). Standard Test Methods for Wood-Based Structural Panels in
Compression. ASTM D 3501-94. Annual Book of ASTM Standard. Philadelphia.
Bodig, J. and B. A. Jayne. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites.
Krieger Publishing Company, Malabar, Florida.
BSN. 1989. Standar Nasional Indonesia SNI 01-0608-1989. Kayu untuk mebel, Syarat sifat fisik dan mekanik. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
BSN. 2000a. Standar Nasional Indonesia SNI 01-5008.2-2000. Kayu lapis
penggunaan umum. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. BSN. 2000b. Standar Nasional Indonesia SNI 01-6240-2000. Venir lamina.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. BSN. 2000c. Standar Nasional Indonesia SNI 01-6243-2. 2000. Papan
sambung dan bilah sambung untuk meja. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Dransfield. S. and E.A. Widjaja (editor). 1995. Plant Resources of South
East Asia No 7. Bamboos. Prosea Foundation, Bogor. FAO, INBAR. 2005. Global Forest Resources Assessment Update 2005.
Indonesia. Country Report on Bamboo Resources. Forest Resources Assessment Programme Working Paper (Bamboo). Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO). Forestry Department and International Network for Bamboo and Rattan (INBAR). Jakarta. May. 2005.
Ginoga, B. 1997. Beberapa sifat kayu mangium (Acacia mangium Willd.) pada
beberapa tingkat umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 13(5): 132-149. JPIC. 2003. Japanese Agricultural Standard for Glued Laminated Timber. JAS.
MAFF. Notification No. 234: 2003. Japan Plywood Inspection Corporation. Tokyo.
Lee,A.W.C. & Liu, Y, 2003. Selected physical properties of commercial bamboo
flooring. Forest Products Journal 53(6): 23-26.
41
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Nugroho, N. & N. Ando, 2001. Development of structural composite products
made from bamboo II: fundamental properties of laminated bamboo lumber. Journal of Wood Science 47(3):237-242.
Permatasari, R.J. 2011. Karakteristik Balok Laminasi dari Kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielson), Manii (Maesopsis eminii Willd.) dan Akasia (Acacia mangium Engl.) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rittironk S, Elnieiri M. 2008. Investigating Laminated Bamboo Lumber as an Alternate to Wood Lumber in Residential Construction in the United States. Proceedings of First International Conference on Modern Bamboo Structures (ICBS-2007). Changsa. China. 28-30 October 2007. Pp 83-96
Roh JK, Ra JB. 2009. Effect of moisture content and density on the mechanical properties of venner-bamboo zephyr composites. Forest Products Journal 59(3):75-78
Sastrapraja,S., E.A. Widjaja, S. Prawiroatmodjo dan S. Soenarko. 1977.
Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Biologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Sulastiningsih, I.M., Nurwati dan P. Sutigno. 1996. Pengaruh Jumlah Lapisan
terhadap Sifat Bambu Lamina. Buletin Penelitian hasil Hutan 14 (9) : 366-373.
Sulastiningsih, I.M., A. Santoso and T. Yuwono. 1998. Effect of Position Along
the Culm and Number of Preservative Brushing on Physical and Mechanical Properties of Laminated Bambu. Proceedings The Fourth Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium. November 2-5, 1998, Bogor, Indonesia.Pp. 106 – 113.
Sulastiningsih, I.M., Nurwati dan Adi Santoso. 2005. Pengaruh Lapisan Kayu
terhadap Sifat Bambu Lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(1) : 15-22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Sulastiningsih, I.M. 2005. Pemanfaatan Bambu untuk Lantai. Prosiding Ekspose
Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 14 Desember 2004 di Bogor. Hlm. 3 – 12. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Sulastiningsih, I.M. 2008. Beberapa Sifat Bambu Lamina yang Terbuat dari Tiga
Jenis Bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(3):277-287. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
42
Sulastiningsih, I.M, and Nurwati. 2009. Physical and Mechanical Properties of Laminated Bamboo Board. Journal of Tropical Forest Science 21(3): 246-251.
Sulastiningsih, I.M. dan A. Santoso. 2010. Karakteristik jenis bambu sebagai
bahan baku bambu komposit. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan).
Sulastiningsih IM, Santoso A. 2012. Pengaruh jenis bambu, waktu kempa dan perlakuan pendahuluan bilah bambu terhadap sifat papan bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 30(3): 198-206.
Sulastiningsih, I.M. dan A. Santoso. 2011. Pembuatan produk bambu
komposit. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan). Sulastiningsih, I.M., A. Santoso dan M. Iqbal. 2012. Pembuatan produk bambu
komposit. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan). Sudjana. 1980. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit “Tarsito” Bandung Sulthoni, A. 1994. Permasalahan Sumber Daya Bambu di Indonesia. Strategi
Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor. Hal. 30 – 36.
Supartini. 2012. Karakteristik Cross Laminated Timber dari Kayu Cepat Tumbuh
dengan Jumlah Lapisan yang Berbeda [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Oey, D.S. 1964. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian
Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman LPHH No 1. Bogor.
Widjaya, E.A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense, Bogor. Indonesia.
Yoresta, F.S. 2014. Studi Eksperimental Perilaku Lentur Balok Glulam Kayu
Pinus (Pinus merkusii). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 12(1) :33-38.
43
Lampiran
Gambar 1. Papan kayu sengon dan manii
Gambar 2. Perekatan bilah bambu susun tegak dan hasilnya
Gambar 3. Pengempaan balok bambu komposit dan hasilnya
44
Gambar 4. Papan bambu tipis dan balok bambu komposit
Gambar 5. Balok bambu komposit dari bambu mayan dan bambu andong dengan lapisan tengah kayu sengon atau kayu manii