Pembelajaran Mendongeng sebagai Sarana Mengembangkan Nilai-Nilai
Profetik dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa1
oleh: HINDUN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
Pembelajaran mendongeng tentulah sarat dengan pesan serta muatan hikmah yang bisa
dipetik dari cerita yang dihadirkan. Mendongeng bukan sekedar menghibur atau pengantar
tidur. Dalam Kurikulum, bidang studi Bahasa Indonesia lah yang tepat memasukkan dongeng
sebagai sebuah pembelajaran yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai profetik untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dongeng yang tersebar di nusantara menjadi harta karun yang dapat digali untuk
memperkaya pengembangan nilai-nilai profetik tersebut. Sebagaimana cerita rakyat yang terus
hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat
dan berkembang dari mulut ke mulut hingga di lingkungan tertentu atau komunitas wilayah itu
menjadi dikenal oleh anggota masyarakatnya. Terdapat dua jenis cerita rakyat yakni yang
berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat yang berbentuk prosa terdiri dari dongeng, legenda,
dan mite.
Hasil penelitian terhadap para guru Sekolah Menengah Pertama (SLTP/MTs) di
lingkungan MGMP Pangkal Pinang Bangka menunjukkan bahwa mereka menyajikan tiga
judul saja dari ketersediaan waktu yang terdapat dalam kurikulum untuk pembelajaran Bahasa
Indonesia di kelas. Kenyataan itu pun berdasarkan hasil sebaran angket kepada guru-guru
tersebut yang realitanya hanya enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa
materi cerita rakyat sebagai pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan
nilai-nilai profetik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga judul tersebut yakni Pak
Udak, Bujang Katak dan Batu Rusa.
Kata kunci: pembelajaran mendongeng, cerita rakyat dari Bangka, hasil penelitian
para guru di MGMP Pangkal Pinang Bangka
BAB I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai profetik adalah salah satu alternatif untuk
memecahkan persoalan berdasarkan nilai-nilai kenabian yang dapat diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan yang mengandung tiga elemen dominan yaitu liberalisasi, humanisasi, dan
transendensi. Liberalisasi yang dimaksud yakni membebaskan manusia dari kebodohan,
kemiskinan, dan kesadaran palsu. Humanisasi yang berarti memanusiakan manusia, sehingga
melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau menilai sesuatu dari satu sudut
pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga menghilangkan jati diri kemanusiaan.
Selanjutnya transendensi hendak menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai bagian penting dari
proses membangun peradaban.
1 Disampaikan oleh Dra. Hindun, M.Pd. (Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarata) pada Seminar Internasional di Univ. Muhamadiyah Malang (17-18 November 2015) di
Auditorium Basement Dome, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang
Peradaban sebuah bangsa tidaklah terlepas dari upaya para warga negara atau manusia
yang menempati wilayah negara tersebut. Sejauh mana peran dan kegigihan individu-individu
di dalamnya mengembangkan bahasa yang membawa nilai-nilai tertentu hingga terakumulasi
menjadi sebuah karakteristik bangsa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
negeri ini menjadi bermartabat apabila masyarakatnya bangga menggunakan bahasa tersebut,
dan dalam lembaga pendidikan formal lah pemerintah memasukkan mata pelajaran atau bidang
studi bahasa Indonesia sebagai suatu hal yang wajib digunakan / dipelajari guna memperkokoh
kedudukan bahasa Indonesia dan mempertegas citra diri bangsa ini melalui penanaman dan
pembiasaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bercerita atau mendongeng tentulah menggunakan bahasa. Para guru melaksanakan
pembelajaran mendongeng di kelas dengan menggunakan bahasa Indonesia, meskipun
dongeng tersebut berasal dari berbagai daerah yang terdapat di Indonesia.
Sebenarnya cerita rakyat yang berasal dari wilayah Bangka ada banyak sekali, akan
tetapi yang telah dikenal sekitar sembilan judul dan sempat dibukukan oleh Rina Hendra Salam
dan Seno Budiharto dengan penerbit Grasindo berjudul Cerita Rakyat dari Bangka.
BAB II. KAJIAN TEORETIK
Dongeng merupakan bagian dari jenis karya fiksi yang di dalamnya terdapat unsur
imajinasi pengarang. Sebagai salah satu bentuk dari sastra lama, dongeng pun terbagi lagi
menjadi jenis fabel (dongeng binatang), legenda (cerita rakyat), mythe (cerita yang
mengandung unsur kepercayaan terhadap sesuatu atau mitos), sage (cerita kepahlawanan).
Dongeng biasanya diceritakan dengan alur yang sederhana. Penulisan dongeng ditulis
dalam alur cerita yang singkat dan bergerak cepat. Saat menceritakan atau menulis dongeng
biasanya karakter tokoh tidak diceritakan secara rinci. Dongeng biasanya ditulis seperti gaya
penceritaan secara lisan. Serta pendahuluan dalam cerita sangat singkat dan langsung pada
topik yang ingin diceritakan.”2
Unsur intrinsik dalam dongeng biasanya terdiri dari lima unsur intrinsik yaitu tema, alur,
penokohan, latar, amanat. Tema merupakan ide pokok dari cerita dan merupakan patokan untuk
membangun suatu cerita. Alur merupakan jalan cerita yang diurutkan besarkan sebab-akibat
atau pun besarkan urutan waktu. Penokohan merupakan proses penampilan tokoh dengan
pemberian watak, dan sifat. Latar merupakan salah satu unsur pembentuk cerita yang
menunjukan dimana, dan kapan rangkaian-rangkaian cerita itu terjadi. Amanat merupakan
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang dibuatnya.
Ada beberapa macam model bercerita yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Model
yang dimaksud yakni: “model bercerita tanpa alat peraga, model bercerita dengan alat peraga
langsung, model bercerita dengan gambar, model bercerita dengan papan flanel, model
bercerita dengan story reading.”3
Model bercerita tanpa alat peraga merupakan kegiatan bercerita yang biasanya dialami
anak-anak ketika di rumah, dilakukan pada saat menjelang tidur, baik diberikan oleh ibu, ayah
atau kakek dan nenek. Meskipun ceritanya penuh daya khayal atau fantasi, akan tetapi keahlian
pencerita mampu membuat alur cerita menjadi menarik. Pencerita dapat menunjukkan mimik
muka, gerakan-gerakan kaki dan tangan, serta suara yang dapat membantu fantasi anak-anak
dalam mengikuti isi dan alur cerita yang disampaikan.
Dalam menggunakan model bercerita ini, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
2 Hindun, Pembelajaran Apresiasi Bahasa & Kreasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Mazhab Ciputat, Juli 2014),
h.118 3 Diane Philips, Sarah Burwood dan Helen Dunford, Project with Young Learners (New York: Oxford Univ.
Press, 1999), p. 72-76
1. Mimik muka, gerakan-gerakan tangan dan kaki serta suara mencerminkan penghayatan
yang sungguh-sungguh terhadap isi dan alur yang disampaikan;
2. Menggunakan bahasa yang jelas, komunikatif dan mudah dimengerti anak-anak;
3. Mengatur posisi penyimak dan posisi pencerita. Jika penyimaknya anak-anak,
tempatkan anak-anak yang tidak dapat diam dekat pencerita;
4. Menghindari teguran-teguran pada anak-anak selama penceritaan, dan;
5. Mengusahakan adanya kontak mata antara pencerita dan anak-anak.
Model bercerita dengan alat peraga langsung maksudnya yakni bahwa alat peraga
langsung dalam pengertian ini adalah beberapa jenis binatang atau benda-benda sebenarnya,
bukan tiruan atau bukan gambar/foto. Hewan yang biasa digunakan dalam kegiatan ini adalah
hewan peliharaan, misalnya kucing, kelinci, burung dan sebagainya. Dapat juga hewan-hewan
kecil yang tidak berbahaya, seperti kupu-kupu, katak atau serangga.
Model bercerita dengan gambar yakni gambar digunakan sebagai alat bantu dalam
bercerita. Dengan menggunakan jenis gambar berseri (tanpa tulisan), buku bergambar atau
gambar yang dibuat sendiri oleh pencerita, maka keberadaan model bercerita seperti ini sangat
signifikan bagi pelaksanaan pembelajaran sastra anak. Hal terpenting dalam gambar tersebut
adalah isi dan gambar itu bagi anak-anak. Gambar yang dipilih hendaknya sesuai dengan tahap
perkembangan anak-anak, isinya menarik, mudah dimengerti dan membawa pesan, baik dalam
hal pembentukan perilaku positif maupun pengembangan kemampuan dasar. Terdapat “empat
hal yang perlu diperhatikan dalam bercerita dengan gambar.”4 Keempat hal yang dimaksud
yaitu:
1. Kejelasan gambar (tidak terlalu kecil dan mudah dipahami);
2. Pewarnaan yang menarik;
3. Cara memperlihatkan gambar (tidak terlalu tinggi dan harus terlihat oleh semua anak);
4. Teknik penggunaan gambar saat penceritaan (gambar ditutup setiap kali pencerita
mulai bercerita kembali, ini harus dilakukan selancar mungkin agar siswa tidak merasa bahwa
ceritanya diputus-putus).
Model bercerita dengan menggunakan papan flanel maksudnya adalah alat yang
digunakan berupa papan flanel dan guntingan-guntingan gambar berwarna yang menarik.
Guntingan tersebut melukiskan (orang, benda, atau binatang) yang akan muncul dalam cerita.
Sambil bercerita, pencerita meletakkan gambar-gambar tersebut pada papan flanel dalam
susunan yang menjelaskan isi cerita berupa adegan-adegan. Gambar yang tidak diperlukan lagi
dapat dilepas dan diganti gambar lain yang sesuai dengan jalan cerita.
Model bercerita dengan membacakan cerita (story reading) dari sebuah buku cerita
yang kini banyak diterbitkan dalam aneka warna (full colour). Model seperti ini dimaksudkan
agar minat anak-anak terhadap buku dibangkitkan, dipupuk dan dikembangkan. Dalam buku-
buku bacaan anak tersebut kadangkala terdapat kata-kata sukar atau tulisan yang sulit dipahami
anak, tugas penceritalah saat menyampaikan kepada anak-anak dengan intonasi dan gaya
bercerita yang dapat dipahami anak-anak dituntut dalam hal ini. Pencerita tidak perlu mengeja,
sebab dengan model bercerita ini pencerita dapat membantu kematangan belajar membaca
siswa. Buku yang akan digunakan dalam story reading harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Kertasnya cukup tebal;
2. Ukuran buku cukup besar (minimal 20X25 cm);
3. Gambar-gambar berwarna menarik dan cukup besar;
4. Ceritanya tidak terlalu panjang dan bahasanya sederhana.
Proses bercerita yang melibatkan peran aktif pencerita dan pendengar cerita melibatkan
dua proses bersastra yaitu kegiatan berekspresi sastra bagi pencerita dan kegiatan berapresiasi
4 Subyantoro, Model Bercerita untuk Meningkatkan Kepekaan Emosi dalam Berapresiasi Sastra bagi Siswa SD, (disertasi mahasiswa program Pascasarjana UNJ Rawamangun)
sastra bagi pendengar cerita. Seorang pencerita hendaknya mampu meningkatkan keterampilan
berapresiasi sastra pendengarnya sampai pada tingkatan yang maksimal.
BAB III. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (content
analysis) terhadap dongeng yang digunakan oleh para guru se-MGMP Pangkalpinang dalam
pembelajaran di kelas mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan and Taylor yang
dikutip oleh Mungin menegaskan bahwa “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari
subjek itu sendiri.”5
Sumber data primer penelitian ini adalah isi dongeng yang digunakan oleh para guru
se-MGMP Pangkalpinang Bangka. Dongeng yang dimaksud berjudul “Bujang Katak”, “Pak
Udak”, dan “Batu Rusa”. Adapun data sekundernya adalah berupa pendeskripsian tentang
nilai-nilai profetik yang terkandung dalam ketiga judul dongeng tersebut yang diambil dari
hasil sebaran angket terhadap para guru itu.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
“Mendengarkan cerita lebih mudah dan lebih mengasyikan bagi siswa tingkat dasar
daripada membacanya sendiri. Apalagi jika guru menyampaikannya dengan baik.”6 Dalam
penelitian ini, para guru lefel sekolah lanjutan tingkat pertama, baik SMP maupun Tsanawiyah
masih menggantungkan pada buku pegangan siswa. Dengan kata lain dari banyak pilihan
dongeng yang tersebar di wilayah Bangka maka dongeng yang tersaji dalam buku pelajaran
peserta didiklah yang dikupas dalam pembelajaran di kelas. Dongeng tersebut berjudul
“Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”. Berikut ini peneliti hadirkan salah satu dari ketiga dongeng dari wilayah Bangka yang
digunakan oleh para guru se-MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia di
Pangkal Pinang Bangka dengan judul “Bujang Katak”.
Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang menyerupai katak. Kulitnya licin
dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal
wanita tua yang miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak
padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak,
ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang
Katak. 5 B. Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer,
(Jakarta: RajaGrafindo,2001) 6 Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar, (Depok: Nufa
Citra Mandiri, Januari 2013), h. 47
Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk desa pun menyukai Bujang
Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu. Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak
murung. Ia sering duduk melamun. Ibunya yang heran melihat perubahan sikapnya pun
bertanya, "Apa yang kau pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun."
Bujang Katak menghela napas, "Aku sekarang sudah dewasa Bu, sudah saatnya aku menikah."
Ibunya tersenyum, "Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta. Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan
Ibu akan segera melamarnya."
"Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri yang cantik-cantik. Maukah Ibu
melamar salah satu dari mereka untukku?"
Ibunya sangat terkejut, "Mana mungkin seorang putri raja sudi menikah dengan anakku,"
pikirnya dalam hati. Namun karena sangat menyayangi anaknya, ibu itu pun mengiyakan.
Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia membawa sedikit buah tangan untuk Raja.
Sesampainya di istana, Raja segera menanyakan maksud kedatangannya.
"Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba adalah untuk
melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba," kata Ibu dengan sedikit cemas.
Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke bawah.
"Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau putri-putriku bersuamikan orang miskin?"
pikirnya dalam hati. Meski berpikir demikian, karena sang Raja merupakan Raja yang
bijaksana, Raja tak mau mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh
putrinya untuk menemui ibu tersebut.
"Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia menikah dengan putra wanita tua ini?"
tanya Raja. Serempak putri-putri itu tertawa mengejek. "Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang
bolong, ya?"
Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu Bujang Katak. Hanya putri
bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata, "Pulanglah.
Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku."
"Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan Bujang Katak? Ia hanya pemuda
miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik. Lebih dari itu Putri bungsu merupakan
putri yang paling cantik dan putri yang paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun
sebenarnya paling sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu juga anak
yang bijaksana.
"Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan Bujang Katak. Aku mendengar
bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah aku harus mencari suami yang baik?"
jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk
memberitahu kabar gembira ini pada Bujang Katak.
Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. "Hai Bujang Katak, kau boleh memperistri
putri bungsuku, tapi ada syaratnya," kata Raja saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja
sengaja akan memberi suatu syarat yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud.
Hal ini sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.
"Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha memenuhinya," jawab Bujang Katak mantap.
"Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai yang menghubungkan istana ini
dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu
menyeberang sungai dengan perahu. Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau
mampu memenuhinya?" tanya Raja.
"Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan itu,” kata Bujang Katak dengan nada
yakin dan mantap.
"Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam waktu satu minggu, Kalau tidak, jangan
harap kau bisa menikahi putriku!" kata Raja menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang
Katak.
Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan Raja kepada ibunga. "Tapi
anakku... kita ini hanya orang miskin. Mana mampu kita membeli emas untuk membangun
jembatan itu?" Ucap Ibu Bujang Katak, memelas.
"Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita lakukan. Aku akan memohon pada Tuhan
untuk memberi jalan kepadaku," sahut Bujang Katak mantap. Malam itu, Bujang Katak terus
berdoa dan berdoa. Ia yakin Tuhan akan menolongnya.
Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap pergi ke ladang. Ketika ia mandi,
keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal dan licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air
ke tubuhnya, kulitnya rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak
heran. Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk rumah untuk bercermin.
Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok pemuda tampan dengan kulit kecokelatan!
Bukan lagi pemuda yang menyerupai katak. Tak percaya, Bujang Katak terus meraba
wajahnya. "Ibu... Ibu... cepat kemari... lihatlah diriku, Bu!" teriak Bujang Katak. Ibunya
tergopoh-gopoh menghampiringa. "Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini," seru
Ibu sambil memeluk Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi, keajaiban terjadi.
Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak
kegirangan, "Terima kasih Tuhan, terima kasih... Kau sudah memberikan jalan keluar
untukku."
Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. "Bu, sekarang aku sudah bisa membangun
jembatan emas. Doakan aku, agar bisa menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai
bekerja, siang dan malam tiada henti.
Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja. Saat itu, Raja dan
para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua heran melihat sosok pemuda yang datang
menghadap Raja.
"Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?" tanya Sang Raja
kebingungan.
"Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi
pemuda yang tampan," jawab ibu Bujang Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu
pun tersenyum bahagia.
"Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau tetap harus
memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?" tanya Sang Raja.
"Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya," jawab Bujang Katak.
Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan memantul dari setiap
bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan usaha Bujang Katak untuk menikahi putri
bungsunga. "Rupanya pilihan Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi
mencapai cita-citanya," pikir Raja. "Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan
membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu," ajak Raja. Bujang Katak pun
mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri
Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Bangka Belitung yang berjudul “Bujang Katak” adalah
jangan menilai orang dari penampilan fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa akan
menjadikan seseorang sukses. Dengan kata lain mengandung nilai humanisasi yang berarti
memanusiakan manusia, sehingga melewati pemikiran yang bertumpu pada kebendaan atau
menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja yakni berupa materi/ nominal hingga
menghilangkan jati diri kemanusiaan.
Dalam cerita tersebut sangat jelas bahwa dari ketujuh putri sang raja, terdapat satu putri
yakni yang paling terakhir atau putri bungsu yang bersedia menikah dengan bujang katak.
Sampai sang raja pun berseloroh: "Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan
Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak," kata Raja panik.
Kepanikan sang raja ditepis oleh sikap tegas sang bungsu yang tidak ragu-ragu memilih dan
memberi jawaban kepada ibu si bujang katak: Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata,
"Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku." Persoalan lamar melamar
yang dihadapi sang ayah mampu dipecahkan oleh putri bungsunya dengan menerapkan nilai
humanisme yang berarti juga secara keyakinan tidak sedikitpun menjadikan kemiskinan
sebagai suatu hambatan, justru sikap berusaha keras, berjuang yang tampak pada diri si bujang
katak lah yang menjadi titik penentu kemantapan hatinya memilih. Adapun tampilan fisik atau
performance yang bisa dilihat sesaat bukanlah menjadi ukuran bagi si bungsu dalam
menentukan pilihannya. Sebuah keyakinan yang merupakan cermin dari transendensi moral
guna mengaktualisasikan nilai-nilai profetik dalam kehidupan.
Setiap manusia yang sadar tentunya senantiasa belajar banyak hal dalam kehidupan ini.
Demikian pula peserta didik, “semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui
masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima
masukan-masukan (tahap formatif). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan
mencari jati dirinya dan akan semakin menajam ketika ia remaja sehingga masa itu disebut
masa pancaroba.”7 Peserta didik di lefel SLTP tergolong dalam masa menjelang remaja atau
sebagian ada yang sudah menjadi remaja. Mereka tidak lagi hanya mendengarkan kata orang
tua, mungkin sering membantah karena banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa-apa
7 Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: Refika Aditama, cet. ke-2,
2010), h.16
yang ia dapatkan dari orang tuanya, sehingga perbenturan nilai pun terjadi. Oleh karena itu,
“masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan
kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus.”8 Peran guru lah sebagai pendidik
yang mampu menghadirkan dongeng dalam pembelajaran di kelas guna menanamkan nilai-
nilai profetik tersebut sehingga peserta didik tidak kehilangan jati dirinya.
BAB V. SIMPULAN
1. Para guru melaksanakan pembelajaran mendongeng di kelas dengan menggunakan bahasa
Indonesia, meskipun dongeng tersebut berasal dari wilayah Bangka yang menggunakan
aksentuasi berbeda-beda.
2. Hasil sebaran angket kepada guru-guru se-MGMP Pangkalpinang, realitanya hanya
enambelas guru paham dan benar-benar menerapkan bahwa materi cerita rakyat sebagai
pembelajaran mendongeng bisa dikemas untuk mengembangkan nilai-nilai profetik dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Dongeng yang digunakan dalam pembelajaran di kelas oleh para guru MTs /SMP se-MGMP Pangkalpinang yakni berjudul “Bujang Katak”, “Pak Udak”, dan “Batu Rusa”.
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: Refika
Aditama, cet. ke-2, 2010
Hindun, Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar,
Depok: Nufa Citra Mandiri, Januari 2013
Hindun, Pembelajaran Apresiasi Bahasa & Kreasi Sastra Indonesia, Jakarta: Mazhab Ciputat,
Juli 2014
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008
Mungin, B. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian
Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo, 2001
Philips, Diane, Sarah Burwood dan Helen Dunford, Project with Young Learners, New York:
Oxford Univ. Press, 1999
LAMPIRAN
Berikut ini peneliti lampirkan sebagian dari identitas responden dengan hasil
angketnya.
8 Ibid, h. 17