perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS
PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG
POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN )
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI
NIM. E0007170
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Nabella Artha Ayu Sofyana Putri
NIM : E0007170
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI
PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA
NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN
PENGADILAN ) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
Penulisan Hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, 28 Maret 2011
yang membuat pernyataan
Nabella Artha Ayu S.P
NIM. E0007170
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011. PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan dan untuk mengetahui akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan dalam putusan perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA tentang poligami tanpa ijin Pengadilan.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang bersifat deskriptif.
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Karanganyar karena di Pengadilan Agama ini pernah diputus perkara pembatalan perkawinan yang disebabkan karena poligami tanpa ijin Pengadilan yaitu perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA. Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu hasil wawancara Majelis Hakim pemeriksa perkara serta wawancara terhadap Termohon II dan data sekunder berupa putusan Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA serta literatur-literatur lain yang menunjang penelitian ini yang diperoleh dari studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi kepustakaan dengan teknik analisa data kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Alasan tersebut dapat menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Pembatalan perkawinan memberikan akibat kepada para pihak yang dibatalkan dan pihak lain. Adapun akibat hukumnya bagi pihak yang dibatalkan adalah putusnya hubungan perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap dan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga anak tersebut tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Terhadap pembagian harta bersama harus dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku akan tetapi jika pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka para pihak yang dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama sebelumnya, serta terhadap pihak ketiga yang mengadakan hubungan keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan perkawinannya tersebut tetap ada meskipun setelah adanya pembatalan perkawinan.
Kata Kunci: Pembatalan Perkawinan, Poligami, Akibat Hukum Pembatalan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011. PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
This research aims to find out the legal basis for judges in deciding the cancellation of a marriage in the Karanganyar religion court and to find out the legal consequences for Husband and Wife to the cancellation of marriage in the decision case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA about polygamy without court permission.
This study belongs to an empirical research that is descriptive in nature.
This research was taken place in Karanganyar religion court because in this court is ever the case terminated due to cancellation of polygamous marriage without the permission of the Court case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA The type of data used are primary data that is the result of an interview panel of judges who is examiners case and interview against Respondent II and secondary data in the form of decision Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA as well as other literature that support this research obtained from literature studies. Data collection techniques were used interviews and literature study with qualitative data analysis techniques.
Based on research conducted, it can be concluded that the legal basis for
religious court judges in deciding on the cancellation of marriage Karanganyar is contained in Article 71 subparagraphs (a) Compilation of Islamic Law is a husband to do polygamy without permission of the Court. These reasons can make a marriage can be canceled by the Religious Courts. Cancellation of marriage give effect to the parties that were canceled and others. As for the legal consequences for those who aborted were started after the marriage breakup Court permanent legal force and the marriage shall be deemed to have never existed. The decision is not retroactive cancellation of marriage to children born of marriages that were canceled, so the child will still get his rights in which both parents must nurture, educate, provide a living, and entitled to the inheritance from his father and the obligation is valid until the child marries or can stand alone and this obligation shall continue even though both parents marriage break up. On the division of community property should be divided in accordance with the provisions of applicable law but if the cancellation of a marriage based on the earlier marriage, the parties that were canceled are not entitled to the property together before, as well as against third parties who entered into civil relations of the parties canceled marriage is still there even after the cancellation of the marriage. Key words: Cancellation Marriage, Polygamy, Legal Due Cancellation.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Motto dan Persembahan
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya ”.
( Q.S. An- Nisa ayat: 3 )
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri ”.
( Q.S. Ar Ra’ad : 11 )
“ Sesungguhnya setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan ”.
( Q.S. Al-Insyiroh : 6 )
Karya kecil ini Ku persembahan untuk:
1. ALLAH S.W.T, Robb semesta Alam.
2. Papa dan Mama tercinta atas kasih
sayangnya, bimbingan, nasehat serta
doa yang selalu menyertai langkahku
3. Kakak, adik yang selalu memberi
motivasi.
4. Saudara serta Sahabat-sahabatku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan berkat, rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul:
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI
PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA
NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN
PENGADILAN ).
Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti ujian guna emperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum
universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan
hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr.dr. Much Syamsul Hadi, Sp.KJ. Selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret;
3. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan ijin penelitian;
4. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin, kesempatan, dan arahan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
5. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan
hukum (skripsi) ini;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
6. Bapak Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
penulisan hukum (skripsi) ini;
7. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H.,MH. selaku Pembimbing Akademik
penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitaas Sebelas Maret Surakarta;
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
9. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
10. Bapak Drs. H. Ahmad Akhsin, S.H.M.H selaku Ketua Pengadilan Agama
Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Karangayar dan telah
membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi mengenai data
yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai;
11. Ibu Dra.Hj.Emi Suyati, S.H. selaku Hakim Pengadilan Agama Karangayar
yang telah membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi
mengenai data yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini
dapat selesai;
12. Ibu Tri Purwani S.H,M.H atas bantuan mengurus ijin dan kesediaannya
dalam memberikan bimbingan serta memberikan pengarahan;
13. Seluruh Staf dan Karyawan Pengadilan Agama Karanganyar atas waktu,
informasi dan bantuannya;
14. Kedua orang tua tercinta, Papa dan mama yang telah memberikan
segalanya dalam kehidupan penulis, baik materiil maupun spirituil;
15. Kakak dan adikku tercinta yang selalu memberikan doa dan memberikan
semangat dalam penyusunan skripsi ini;
16. Sahabatku ( Desi, Dyah, Heru, Itang, Vicky, Venny, Rini, Vina dan
Ambar ) yang selalu memberikan doa dan semangat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
17. Sahabat dalam kelompok lingkaran kecil ( Aya, Fitri, Nia, Ririn, Lilin,
Adel, Anita ) atas ukhuwah yang kita jalin bersama.
18. Kelurga besar FOSMI FH UNS terima kasih atas ukhuwah dan ilmu yang
diberikan kepada penulis.
19. Kelurga besar KSP Principium FH UNS ( Kelompok Studi Penelitian )
tempat penulis banyak menimba ilmu di luar dari kelas pekuliahan ;
20. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2007 atas kebersamaanya
menemani penulis menimba ilmu di FH UNS;
21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan hukum (skripsi) ini;
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga
penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca
dan memerlukan.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………….................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI …………………............……...
HALAMAN PERNYATAAN .....................................................................
ABSTRAK………………………………………………………………….
iii
iv
v
ABSTRACT……………………………………………………………….. MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................…………………………
vi
vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
DAFTAR BAGAN…………………………………………………………
xi
xiii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ...............……...........……………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………… 3
C. Tujuan Penelitian ……………………………………...…... 4
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….... 4
E. Metode Penelitian ………………………………………… 5
F. Sistematika Penulisan Hukum …………………………….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 13
A. Kerangka Teori……………………………………………...
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama……………………..
a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama…….......
b. Asas-asas Umum Peradilan Agama………………...
c. Kompetensi Peradilan Agama………………………
d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama....
e. Produk Pengadilan Agama.........................................
13
13
13
15
19
23
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2. Tinjauan tentang Perkawinan.........................................
a. Pengertian Perkawinan........ ………………………
b. Tujuan Perkawinan..................................................
c. Asas-Asas Perkawinan............................................
d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut
Islam.........................................................................
29
29
30
31
33
3. Tinjauan tentang Poligami.............................................
a. Pengertian Poligami……………………………….
b. Alasan-Alasan dan Syarat-Syarat Poligami.............
c. Tata Cara Poligami..................................................
36
36
39
40
4. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan……………
a. Pengertian Pembatalan Perkawinan........................
b. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan
Perkawinan.............................................................
c. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan.................
d. Tata Cara Pembatalan Perkawinan.........................
e. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.................
5. Tinjauan tentang Efektifitas Hukum………………..
a. Substansi...............................................................
b. Struktural..............................................................
c. Kultur Hukum (Budaya Hukum)..........................
B. Kerangka Pemikiran...........................................................
42
42
44
44
45
46
47
47
47
47
48
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… 50
A. Hasil Penelitian ..................................................................... 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
B. Pembahasan ..........................................................................
1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar……………………....
2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar..............
56
56
63
BAB IV PENUTUP……………………………………………………… 70
A. Simpulan …….....………………………………………...... 70
B. Saran ……………………………………………….............. 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
Gambar 1. Model Analisis Interaktif …..………………………………… 10
Gambar 2. Kerangka Pemikiran……………………………………………. 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun demikian manusia tidak
bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain ( zoon politicon ). Manusia
diciptakan oleh Allah S.W.T agar beribadah dan bertaqwa kepadaNya, sesuatu
hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat dan bagi umat Islam perkawinan merupakan sunatullah
dan fitroh setiap manusia.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah
pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan
manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pergaulan hidup rumah tangga
dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan
istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan
keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih
dan berkehormatan ( Ahmad Azhar Basyir, 2000 : 1 ).
Berdasarkan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah. Selain terdapat dalam Undang-
Undang Dasar 1945, perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk taat kepada perintah Allah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
S.W.T untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah
tangga yang damai, bahagia, dan kekal.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ( asas
monogami ), namun realita yang terjadi dalam masyarakat banyak yang
melakukan poligami. Salah satu kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di
Pengadilan Agama Karanganyar adalah seorang pria melakukan perkawinan
dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin istri pertama
maupun tanpa izin pengadilan, perkawinan tersebut dapat terjadi karena
seorang pria tersebut memberikan keterangan yang tidak benar yang mengaku
status perjaka, padahal pria tersebut telah beristri yang masih terikat
perkawinan yang sah dengan istri pertama. Dalam hal ini harus dilakukan
pembatalan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan. Ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal
melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri.
2. Suami atau Istri.
3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perceraian itu putus ( Mohd. Idris
Ramulyo, 1996 : 178 ).
Pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap
suami, istri, anak keturunanya, keluarganya maupun terhadap harta bendanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Suatu pembatalan perkawinan pasti akan berakibat putusnya ikatan perkawinan
serta perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah, maka perkawinan
tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya
akan kembali pada status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada.
Pembatalan perkawinan bagi umat Islam dapat diajukan ke Pengadilan
Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang
yang beragama Islam, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
”Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang ini.”
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka penulis
tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan
mengambil judul ” PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT
HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI
KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG
POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ) “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penuli melakukan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan.
b. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas
pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek,
khususnya Hukum Acara Peradilan Agama.
b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan
penulisan hukum ( skripsi ) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya
tentang dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam
memutuskan pembatalan perkawinan.
b. Mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kontribusi dan
pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara
Peradilan Agama pada khusunya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya.
E. Metode Penelitian
Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”,
namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan
sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur ( Soerjono Soekanto,
2010:5 ).
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian hukum
pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu
maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan ( Soerjono
Soekanto,2010:42-43 ).
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan
masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
dituangkan dalam penulisan ilmiah ( skripsi ). Adapun metode penelitian dalam
penulisan hukum ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah
jenis penelitian hukum empiris atau “ sosiologis “. Pada penelitian hukum
empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian
dilanjutkan pada data primer di lapangan atau terhadap masyarakat”
( Soerjono Soekanto, 2010:52 ).
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan
Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta
akibat hukum bagi suami istri terhadap putusan pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar. Terhadap dasar hukum bagi hakim
Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan
di Pengadilan Agama Karanganyar, didapatkan peneliti melalui suatu proses
wawancara ( interview ) yang dilakukan peneliti dengan mengajukan
pertanyaan mengenai pengetahuan serta pengalaman hakim untuk
memperoleh kebenaran fakta dalam kehidupan nyata yang didukung dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan studi
kepustakaan, untuk masalah mengenai akibat hukum bagi suami istri
terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar
tersebut didapatkan peneliti melalui suatu proses wawancara ( interview )
dengan Termohon II, maka penelitian ini adalah penelitian hukum empiris.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono
Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya ( Soerjono Soekanto,2010:10 ). Penelitian ini memberikan
gambaran yang lengkap mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan
Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar tersebut.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian penulisan hukum ini adalah Pengadilan
Agama Karanganyar. Lokasi tersebut dipilih karena berkas perkara yang
dikaji dalam penelitian hukum ini diperiksa dan diputus di Pengadilan
Agama Karanganyar, sehingga berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini.
4. Jenis Data
Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat ( data empiris ) dan dari
bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka
lazimnya dinamakan data sekunder ( Soerjono Soekanto, 2010:51 ).
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh
secara langsung melalui penelitian lapangan atau di lokasi penelitian.
Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari sejumlah fakta atau
keterangan yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan.
Dalam penelitian ini, data primer berupa hasil wawancara dengan Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra
serta hasil wawancara dengan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan
perkawinannya ).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh secara
langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan,
yang terdiri Putusan Pengadilan Agama Karanganyar Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra serta dari peraturan perundang-undangan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
buku-buku, dokumen, bahan-bahan kepustakaan dan sumber tertulis
lainnya.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Merupakan sumber data yang berasal dari pihak-pihak yang ada
hubungannya langsung dengan masalah dalam penelitian. Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di
Pengadilan Agama Karanganyar yang mengetahui dan memiliki
pengalaman mengenai obyek penelitian serta wawancara dengan
Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ).
b. Sumber Data Sekunder
Merupakan sumber data yang mendukung sumber data primer,
yaitu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti penulis, antara lain Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, bahan hukum
sekunder berupa buku-buku di bidang hukum yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti dan berkas perkara serta putusan
Pengadilan Agama Karanganyar Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra
tentang pembatalan perkawinan karena poligami tanpa ijin Pengadilan.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview ( Wawancara )
Wawancara merupakan cara memperoleh data dengan cara
melakukan tanya jawab secara mendalam dengan sumber data primer,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yaitu hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di Pengadilan Agama Karanganyar dan
Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ). Dengan
teknik wawancara mendalam ini akan mengungkap pengalaman dan
pengetahuan ekspilisit dari hakim di Pengadilan. Dengan ini penulis
membuat responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan
informasi atau data untuk mengemukakan pengetahuan dan
pengalamannya terutama yang berkaitan dengan dasar hukum bagi hakim
Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan
perkawinan serta akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder, yaitu
dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan
kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah ”analisa kualitatif” yaitu suatu cara penelitian yang menggunakan
dan menghasilkan data secara deskriptif analisis. Artinya apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang
nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono
Soekanto, 2010:250 ). Jadi dalam hal ini proses pengumpulan data dan
analisa data dilakukan secara bersamaan. Teknik analisa data meliputi tiga
tahapan, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan
dengan verifikasinya. Di antaranya tahap-tahap tersebut dilakukan
pembentukan siklus sehingga data yang terkumpul direduksi lalu ditarik
sebuah kesimpulan/konklusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Menurut Heribertus Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari
data-data sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu rangkaian informasi, deskripsi dalam bentuk
narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dapat dilakukan.
Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti.
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif melakukan
pencatatan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi atau pernyataan, alur sebab
akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung ( Heribertus Sutopo, 1988 : 34-36 ).
Untuk lebih jelasnya, analisis data kualitatif model interaktif
dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar 1. Model Analisis Interaktif
( Heribertus Sutopo . 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif )
Maksud model analisis interaktif ini, pada waktu pengumpulan data
peneliti selalu membuat reduksi dan sajian data. Reduksi dan sajian data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Sajian Data
Pengumpulan Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
harus disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari
sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan
data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik
kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat
dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang
mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajiannya, maka
peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah
terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi
pendalaman data ( Heribertus Sutopo, 1988 : 38 ).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sitematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum,
maka penulis menyiapkan suatu sitematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab, yang tiap-tiap bab
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Pada bab Pendahuluan ini penulis memberikan gambaran awal
tentang penelitian meliputi latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitan, metode penelitian dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang
terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam
kerangka teori berisi tentang tinjauan mengenai Pengadilan
Agama, Perkawinan, Poligami, Pembatalan Perkawinan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Efektifitas Hukum. Pada kerangka pemikiran berisi mengenai
konsep pemikiran penulis tentang pembatalan perkawinan dan
akibat hukumnya menurut Undang-Undang Perkawinan.
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan
tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami
tanpa ijin Pengadilan. Terhadap putusan pembatalan
perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap
suami istri; anak hasil perkawinan dari pihak yang
dibatalkan; harta benda; dan pihak ketiga.
B. Pembahasan
Pada bab ini dijelaskan dan diuraikan mengenai
pembahasan penulis yang meliputi:
1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar.
2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan
pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana
evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian
yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
Daftar Pustaka
Lampiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama
a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum Acara Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan
perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan
Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan
sebagaimana mestinya ( H.A.Mukti Arto, 1996:9 ).
Sumber hukum acara Peradilan Agama terdapat dalam pasal 54
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menetapkan tentang Hukum Acara yang berlaku pada peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang
ini.
1) Peraturan Perundang-undangan Tentang Hukum Acara Perdata yang
Berlaku Di Lingkungan Peradilan Agama dan Di Peradilan Umum,
yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya.
b) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung.
2) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Di Peradilan Umum,
yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a) HIR ( Het Herziene Inlandsche Reglement ) atau disebut juga RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbarui).
b) RBG ( Rechts Reglement Buitengewesten ) atau disebut juga
Reglemen untuk daerah seberang, maksudnya untuk daerah luar
jawa dan madura.
c) RSV ( Reglement opde Burgelijke Rechts Vordering ) yang zaman
jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Road van justitie.
d) BW ( Burgeljke Wetboek ) atau disebut juga Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Eropa.
3) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Khusus Di Pengadilan
Agama, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
c) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
e) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Islam.
4) Sumber-Sumber Lainnya
a) Peraturan Mahkamah Agung RI.
b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI.
c) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
d) Kitab-kitab Fikih dan sumber-sumber tidak tertulis lainnya. Hal
ini sejalan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa: Hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Mardani, 2009:61-62).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara
khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya,
hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif Pengadilan
Agama, pemanggilan, pembuktian, biaya perkara serta pelaksanaan
putusan ( Mukti Arto,1996:9 ). Selain dari Hukum Acara Perdata di
Pengadilan Umum yang berlaku di Pengadilan Agama, Hukum Acara
Perdata khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 yang menjadi pijakan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, adalah bidang acara perdata yang
menyangkut persengketaan dalam perkawinan. Hukum acara
persengketaan dalam bidang perkawinan diatur dalam Pasal 65 sampai
Pasal 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
b. Asas-asas Umum Peradilan Agama
Asas umum Peradilan Agama adalah asas hukum tertentu dalam
bidang hukum acara yang secara khusus dimiliki oleh Pengadilan
Agama. Asas-asas ini untuk sekedar membedakan dengan asas khusus
yang melekat pada masalah tertentu merupakan pedoman umum dalam
melaksanakan penerapan Undang-undang dan keseluruhan rumusan
pasal. Oleh karena itu, pendekatan interprestasi, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa
dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum, di
antaranya yaitu:
1) Asas Personalitas KeIslaman.
Dalam asas ini dinyatakan bahwa Pengadilan Agama
merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus,
dan meyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama
Islam. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada Peradilan
Agama yaitu di antaranya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
a) Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa harus sama-sama
pemeluk agama Islam.
b) Perkara-perkara yang dipersengketakan harus mengenai perkara-
perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
zakat, wakaf, sedekah dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam.
Patokan asas personalitas keIslaman didasarkan pada patokan
umum dan patokan pada saat terjadi hubungan hukum. Patokan
umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama Islam
maka bagi dirinya telah melekat asas personalitas keIslaman,
patokan saat terjadinya hubungan hukum adalah pada saat terjadi
hubungan hukum kedua belah pihak yang berperkara sama-sama
beragama Islam dan hubungan hukum yang mereka laksanakan
berdasarkan hukum Islam, maka sengketanya mutlak dan absolut
tunduk menjadi kewenangan peradilan agama.
2) Asas Kebebasan/Kemerdekaan.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan diatur dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Tujuan
memberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam
menyelenggarakan fungsi peradilan yaitu agar hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan serta benar-benar dapat
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, salah satu prinsip penting
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, dan bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
3) Asas Upaya Mendamaikan.
Asas ini mewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak
yang berperkara. Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat
pengadilan. Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para
pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau
dikalahkan, sehingga kedua belah pihak pulih kembali dan suasana
rukun dan persaudaraan serta tidak dibebani dendam yang
berkepanjangan. Peranan hakim dalam mendamaikan para pihak
yang berperkara terbatas pada anjuran, nasehat, penjelasan, dan
memberi bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh
kedua belah pihak.
4) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum di Kecualikan Dalam
Perceraian.
Asas ini menerangkan bahwa Undang-Undang menghendaki
agar jalannya persidangan tidak hanya diketahui oleh para pihak
yang berperkara tetapi juga oleh publik. Tujuannya adalah agar
persidangan berjalan secara Fair, menghindari adanya pemeriksaan
yang sewenang-wenanng atau menyimpang. Pada prinsipnya sidang
pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali Undang-
Undang menetukan lain atau hakim dengan alasan-alasan penting
yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa
pemeriksaan keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup. Ketentuan sidang terbuka untuk umum dikecualikan
dalam perkara perceraian, hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Agama jo. Pasal 33 dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan pemeriksaan perkara
perceraian tertutup untuk umum akantetapi dalam pembacaan
putusan terbuka untuk umum.
5) Asas Legalitas.
Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-
bedakan orang. Asas legalitas mengandung pengertian rule of law
dimana pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hukum
harus berlandaskan hukum serta tidak bertindak di luar hukum.
Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan
hukum.
6) Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud
dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh
rakyat, namun demikian dalam pemeriksaan perkara tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Tujuannya adalah agar suatu proses pemeriksaan di pengadilan
relatif tidak memakan waktu lama sesuai dengan kesederhanaan
hukum acara itu sendiri, serta proses persidangan yang tidak
berbelit-belit dan sering mundur dalam jadwal persidangan.
7) Asas Equality.
Asas ini artinya adalah persamaan hak dan kedudukan di depan
hukum sehingga tidak boleh ada diskriminasi, yang membedakan
kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Hakim tidak boleh
membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial,
ras agama, suku, jenis kelamin, dan budaya.
8) Asas Membantu Para Pencari Keadilan.
Asas ini menjelaskan bahwa hakim tidak hanya berfungsi
sebagai pemimpin jalannya persidangan dan mencari serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menentukan hukum penyelesaian suatu sengketa atau perkara yang
diajukan kepadanya. Namun, hakim juga berfungsi memberi solusi
terbaik sekaligus memberi bantuan kepada para pihak yang
berperkara secara obyektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta
berusaha keras mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
( Mardani, 2009: 37-45 ).
c. Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama
Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama terdiri atas
kompetensi absolut dan kompetensi relatif:
1) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah kekuasaan Pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau
tingkatan Pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau
jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Misalnya:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka
yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam itu menjadi
kewenangan Peradilan Umum, jadi terhadap kekuasaan absolut ini
Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya
apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. ( Roihan A.
Rasyid, 1991:27 ).
Kekuasaan absolut Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama
ada dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yaitu perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh
dan ekonomi syari’ah. Adapun penjelasan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut :
Pasal 49 Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Huruf a Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. Izin beristri lebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan
dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang
belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Huruf c Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Huruf d Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Huruf e Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Huruf f Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Huruf g Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Huruf h Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Huruf i Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah
syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.
2) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan
wilayah atau daerah. Kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama
sesuai tempat dan kedudukannya, Pengadilan agama berkedudukan
di kota atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kota atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama
berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Propinsi. Kompetensi relatif Peradilan Agama merujuk pada
Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei
( bahwa yang berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman
tergugat ). Namun, ada beberapa pengecualian yang tercantum dalam
Pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yaitu sebagai berikut:
a) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan
kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b) Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan tempat tinggal penggugat.
c) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan
diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang itu
terletak.
d) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka
gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan tempat tinggal yang
dipilih dalam akta tersebut ( Mardani,2009:53-54 ).
Di dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama kompetensi relatif ada beberapa perbedaan
dalam pengaturannya, dalam perkara bidang perkawinan yaitu cerai
talak dan cerai gugat diajukan ke Pangadilan Agama adalah diatur
secara khusus dalam Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan untuk
perkara waris, hibah, wakaf, wasiat, shadaqah, zakat, infak dan
ekonomi syari’ah, gugatan atau permohonan diajukan ke Pengadilan
Agama sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum yaitu diatur dalam Pasal 118 HIR/ 142
Rbg ( Afandi Mansur, 2009:77 ).
d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama
Kewenangan lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai salah
satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Kewenangan mengadili di Pengadilan Agama ada dua yaitu
meliputi:
1) Golongan Rakyat Tertentu.
Asas personalitas keIslaman yang berbunyi “Peradilan Agama
merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Dalam
penjelasan umumnya dinyatakan bahwa Pengadilan Agama
merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam. Karenanya asas ini dapat dijadikan acuan aturan
mengenai siapa saja yang dapat mengajukan perkara di pengadilan
agama. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada pengadilan
agama yaitu sebagai berikut ( Mardani, 2009: 37-38 ):
a) Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa harus sama-sama
pemeluk agama Islam.
b) Perkara-perkara yang di persengketakan harus mengenai perkara-
perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat,
wakaf, sedekah, dan ekonomi Syariah.
c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam dan diselesaikan berdasarkan hukum
Islam, maka para pihak tetap tunduk kepada kewenangan
Pengadilan Agama walaupun pada saat terjadi sengketa salah
satu pihak sudah beralih ke agama lain.
2) Perkara-perkara Tertentu.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, diketahui bahwa perkara-perkara tertentu
yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah
memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqoh, dan ekonomi
Syariah. Jadi perkara-perkara di luar perkara tersebut bukan menjadi
wewenang dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama juga
mempunyai kewenangan memberikan keterangan atau nasihat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu
sholat serta memberi penetapan “itsbat” terhadap kesaksian orang
yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada pada setiap
memasuki bulan Ramadhan dan bulan Syawal tahun Hijriah dalam
rangka Mentri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional untuk
penetapan I ( satu ) Ramadhan dan I ( satu ) Syawal.
e. Produk Pengadilan Agama
Di dalam Pengadilan Agama terdapat dua jenis perkara, yaitu
jenis perkara voluntair dan contentius. Terdapat dua cara mengajukan
perkara di Pengadilan Agama, untuk perkara contentious diajukan
dalam bentuk gugatan dan untuk perkara voluntair diajukan dalam
bentuk permohonan.
Permohonan ialah suatu surat pemohonan yang di dalamnya berisi
tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap
suatu hal yang tidak mengandung suatu sengketa, sehingga badan
peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang
bukan sebenarnya. Dalam permohonan ada istilah pemohon dan
termohon. Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara pemohonan
disebut juirisdictio voluntaria ( peradilan yang tidak sebenarnya ).
Disebut demikian karena ketika itu sebenarnya hanya menjalankan
fungsi executive power bukan yudicative power. Namun, di lingkungan
Peradilan Agama dalam perkara perkawinan, walaupun disebut
permohonan tidak mutlak berarti voluntaria. Misalnya, permohonan
cerai talak dan izin poligami, walaupun menggunakan istilah
permohonan tetapi termasuk perkara contentiosa. Suami berkedudukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
sebagai pemohon, sedangkan istri berkedudukan sebagai termohon
( Mardani, 2009: 80-81 ).
Produk Peradilan Agama ada 2 yaitu:
1) Putusan ( Vonis / Al-qadha’u )
Putusan yaitu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan ( kontentius ).
a) Macam-Macam Putusan:
(1) Putusan akhir.
Putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan,
baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun
yang tidak atau belum menempuh semua tahap pemeriksaan.
Putusan yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir dari
tahap pemeriksaan tetapi telah telah mangakhiri pemeriksaan
yaitu:
(a) Putusan Gugur.
(b) Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.
(c) Putusan yang menyatakan Pengadilan Agama tidak
berwenang memeriksa ( H.A. Mukti Arto, 1996:246 ).
Dilihat dari sifatnya terhadap akibat hukum yang
ditimbulkan putusan akhir itu terbagi menjadi 3 ( tiga )
macam yaitu:
(a) Putusan Deklaratoir
Putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan
tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut
menurut hukum. Putusan ini terjadi dalam dalam putusan
permohonan talak, gugat cerai karana perjanjian ta’lik
talak, penetapan ahli waris yang sah, penetapan adanya
harta bersama, penetapan hak perawatan anak oleh
ibunya, perkara volunter dan seterusnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(b) Putusan Konstitutif
Putusan yang menciptakan dan menimbulkan
keadaan baru, berbeda dengan keadaan hukum
sebelumnya. Putusan konstitutif terapat pada putusan
pembatalan perkawinan, putusan verstek, guagatan cerai
bukan karena ta’lik talak dan seterusnya.
(c) Putusan Kondemnatoir
Putusan yang bersifat menghukum kepada salah
satu pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada
pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Putusan ini
mempunyai kekuatan eksekutorial, yang bila terhukum
tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela,
maka atas permohonan penggugat putusan dapat
dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan Agama yang
memutusnya. Putusan ini diterapkan diantaranya pada
penyarahan pembagian harta bersama, penyerahan hak
nafkah iddah, mut’ah dan sebagainya
( Mardani,2009:120-121 ).
(2) Putusan sela.
Putusan yang dijatuhkan masih dalam proses
persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan
untuk memperjelas dan memperlancar persidangan.
(3) Putusan serta-merta.
Putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut
oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara
dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi
dan memakan waktu relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari
salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi
menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b) Kekuatan Hukum Putusan
Putusan pengadilan mempunyai 3 ( tiga ) kekuatan, yaitu
sebagai berikut:
(1) Kekuatan Mengikat
Putusan hakim mengikat para pihak yang berperkara.
Kekuatan mengikat suatu putusan ada yang dalam arti positif
dan dalam arti negatif. Dalam arti positif, yaitu bahwa yang
telah diputus hakim harus dianggap benar. Dalam arti negatif,
yaitu bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang
sama, pokok perkara yang sama, dan pihak yang sama ( nebis
in idem ).
(2) Kekuatan Pembuktian
Artinya putusan hakim telah memperoleh kepastian
hukum, bukti kebenaran hukum, dan mempunyai kekuatan
hukum tetap serta dapat dijadikan bukti dalam sengketa
perdata yang sama.
(3) Kekuatan Eksekutorial
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakan putusan peradilan
itu secara paksa oleh aparat negara.
2) Penetapan ( Itsbat / Beschiking )
Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah produk
Peradilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya
( jurisdictio voluntaria ), karena hanya ada pemohon yang memohon
untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara
dengan lawan maka diktum penetapan tidak pernah berbunyi
menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan ( declaratoir )
dan menciptakan ( constitutoir ). Misalnya penetapan dalam perkara
dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, perwalian, itsbat nikah, dan
sebagainya. Pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan
hukum. Sedangkan kekuatan hukum penetapan adalah berlaku untuk
pihak-pihak maupun untuk dunia luar ( pihak ketiga ) tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli
warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
2. Tinjauan tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan mempunyai beberapa pengertian baik menurut
Perundang-undangan, maupun menurut Hukum Islam:
1) Perkawinan Menurut Perundang-undangan.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974
dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor l Tahun 1974 tidak memandang perkawinan hanya
sebagai ikatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan perikatan
keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan dalam Pasal
1 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 ” bahwa perkawinan itu
bertujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pengertian
perkawinan yang sah menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan,
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya serta tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam Pasal 26 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata”. Hal tersebut berarti KUHPerdata
hanya mengakui perkawinan perdata yaitu perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan
oleh KUH Perdata, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang
diadakan oleh suatu agama tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
2) Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perkawinan dalam Islam adalah akad yang menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk
memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang
sah dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh
syara. Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan
pada Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon
ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya
merupakan ibadah.
Arti perkawinan menurut hukum Islam dapat dilihat di dalam
AlQur'an, Surat Ar-Ruum ayat ( 21 ) yang berbunyi: “Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang”.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai
hubungan atau ikatan keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan
mempunyai nilai ibadah artinya sebagai akad yang sangat kuat untuk
menaati perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan, untuk
mencegah maksiat, dan untuk membina keluarga yang damai dan
melaksanakannya merupakan suatu ibadah ( http://eprints.undip.ac.id
/16842/1/BUDI_CAHYONO ).
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur
oleh Syari’ah ( Soemiyati, S.H, 1982:12 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Didalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah
untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga yang
bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan. Dengan demikian
yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah
untuk kebahagiaan suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan
menegakkan keagamaan ( Hilman Hadikusuma:1990,22 ).
Selain itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa ” Tujuan
perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan
yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang
damai dan teratur serta untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
manusia, dan sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara
serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini juga
mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa
bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat”
( Mohd. Idris Ramulyo, 1996:26-27 ).
c. Asas-asas Perkawinan
Beberapa asas yang berkenaan dengan perkawinan yang dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu antara lain:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
2) Sahnya perkawinan bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Undang-Undang Perkawinan ini menganut asas monogami, hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat
beristeri lebih dari satu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
4) Calon suami/isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik.
5) Menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun dalam
kehidupan rumah tangga.
Menurut Hukum Islam, asas-asas dalam perkawinan adalah
sebagai berikut:
1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan
melaksanakan perkawinan.
2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang laki-laki sebab ada
ketentuan larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang
harus diindahkan.
3) Perkawinan bertujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga
yang tenteram, damai dan kekal selama-lamanya.
4) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang
berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
5) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah
tangga dimana tanggung jawab keluarga ada pada suami.
6) Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami namun
hukum Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami
sepanjang persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi
dengan baik ( Penjelasan Umum Mengenai Perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ).
Pengertian dari monogami adalah suatu asas dalam Undang-
Undang Perkawinan menurut Pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor
l Tahun 1974 dikatakan bahwa:
“ Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Kesimpulannya perkawinan menganut asas monogami tetapi Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang memberikan syarat yang cukup berat yaitu berupa pemenuhan dan syarat yang tertentu serta izin dari Pengadilan. Dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor l Tahun 1974 yang berbunyi: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan adanya pasal tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menganut asas monogami terbuka karena tidak menganut
kemungkinan dalam keadaan terpaksa seorang suami dapat melakukan
poligami dengan izin Pengadilan apabila ada alasan yang dapat
dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An- Nisa ayat
( 3 ) yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”.
d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut Djamil Latief, putusnya perkawinan menurut hukum
Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: ( Djamil latief, 1985:38 )
1) Kematian suami atau istri
Kematian suami atau istri dalam arti hukum adalah putusnya
ikatan perkawinan. Jika istri yang meninggal dunia seorang suami
boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian
suami, harus menunggu jangka lewatnya waktu tertentu sebelum
dapat kawin lagi, jangka waktu ini disebut iddah.
2) Perceraian
a) Tindakan pihak suami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
(1) Talak
Perkataan talak berasal dari kata thallaqa, berarti
melepaskan ( umpama seekor burung ) dari sangkarnya atau
melepaskan ( seekor binatang ) dari rantainya. Jadi menthalaq
istri berarti melepaskan istri atau membebaskannya dari
ikatan perkawinan atau menceraikan istri.
(2) Ila’
Mengila’ istrinya ialah seorang suami bersumpah tidak
akan menyetubuhi istrinya. Dengan sumpah ini berarti
seorang istri telah ditalak oleh suami.
(3) Dhihar
Suatu talak yang jatuh karena ucapan atau sumpah
suami yang mempersamakan istrinya seperti ”punggung
ibunya” yang artinya suami tidak akan lagi mengumpuli
istrinya.
Apabila suami sebelum empat bulan mencabut
ucapannya dan kemudian rujuk maka suami tersebut
diwajibkan membayar denda, sedangkan apabila melebihi
empat bulan tidak dicabut ucapannya maka jatuhlah talak.
b) Tindakan pihak istri
Dengan Tafwild yaitu pendelegasian kekuasaan kepada
seseorang untuk menjatuhkan talaknya kepada istrinya. Seseorang
itu bisa orang lain dan bisa istrinya sendiri. Dalam hal ini terdapat
kemungkinan terjadinya perceraian oleh tindakan pihak istri.
c) Persetujuan kedua belah pihak
(1) Khulu’
Sering diistilahkan talak tebus artinya talak yang terjadi
karena inisiatif pihak istri dengan ketentuan istri harus
membayar ’iwald kepada suami. Terjadinya talak ini dan
besarnya ’iwald harus berdasarkan kesepakatan dan kerelaan
suami istri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
(2) Mubara-ah
Perceraian yang terjadi dengan persetujuan kedua belah
pihak dari suami istri yang sama-sama ingin memutuskan
ikatan perkawinan dan kedua belah pihak telah merasa puas
hanya dengan kemungkinan terlepas dari ikatan masing-
masing.
d) Keputusan Hakim
(1) Ta’lik talaq
Ta’lik talaq ialah suatu talak yang digantungkan pada
suatu hal yang mungkin terjadi telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan sebelumnya.
(2) Fasakh
Yaitu rusak atau batalnya perkawinan atas permintaan
yang salah satu pihak kepada pengadilan agama karena
ditemukan cela salah satu pihak yang merasa tertipu atas hal-
hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya
pernikahan.
(3) Syiqaq
Yaitu talak yang terjadi karena perselisihan suami istri
yang tidak dapat didamaikan oleh hakim yang ditunjuk dari
pihak suami dan dari pihak istri.
(4) Li’an
Adalah putusnya perkawinan karena menuduh istri
berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, suatu ikatan
perkawinan dapat putus karena:
1) kematian;
2) perceraian,dan
3) atas keputusan pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Tinjauan tentang Poligami
a. Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua pokok
kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berarti kawin.
Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesia
disebut "Permaduan". Poligami dirumuskan sebagai sistem perkawinan
antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri
( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh Alaidrus ).
Nussbaum argues that polygamy is ‘a structurally unequal
practice’. This inequality lies in the fact that polygamy as practised
today normally permits only men to marry multiple wives and it does
not normally permit women to marry more than one husband. In fact,
Nussbaum argues that ‘the most convincing’ argument
againstpolygamy is that ‘men are permitted plural marriages, and
women are not’. Javaid Rehman argues given the changes in the social,
political and legal environment, the continuation of the practice of
polygamy demands a substantial explanation. Many of its historic
reasons within the Islamic world for justifying polygamous marriages
( for example, the surplus of women and loss of men through battles
and armed conflict) are no longer tenable ( 2007: 115 ) ( Thom Brooks
New Castle University, New Castle Law School, Philosophical Topics,
Vol.37 No.2 PP.109-122:2009 ).
Nussbaum berpendapat bahwa poligami adalah praktek yang
secara struktural tidak sama. Hal ini terletak pada ketidaksetaraan
kenyataan bahwa poligami yang sekarang dipraktekkan biasanya izin
hanya laki-laki untuk menikah banyak istri dan biasanya tidak
mengizinkan wanita untuk menikah lebih dari satu suami. Selain itu
menurut pendapat Javaid Rehman mengingat perubahan lingkungan
sosial, politik dan hukum, kelanjutan praktek poligami menuntut
penjelasan substansial. Dalam dunia Islam dapat membenarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
pernikahan poligami ( misalnya, surplus perempuan dan hilangnya pria
melalui pertempuran dan konflik bersenjata ) ( 2007: 115 ).
Persoalan poligami sudah dikenal jauh sebelum agama Islam
datang. Islam datang untuk mengatur Poligami. Poligami diatur di
dalam Al Qur'an, Surat An-Nisa ayat ( 3 ) yang berbunyi:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." Menurut Ahmad Azhar Basyir, poligami yang diatur dalam Surat
An Nisa ayat ( 3 ) tersebut, merupakan jalan keluar dari kewajiban
berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim.
Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan anak perempuan yatim
yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut makan hartanya dan
tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghindari agar orang jangan
sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim itu, seorang laki-
laki diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua, tiga sampai
empat orang. Tetapi itu pun dengan syarat harus berbuat adil (Achmad
Azhar Basyir, 2000:38).
Syarat harus berbuat adil bagi pria yang berpoligami merupakan
suatu yang tidak akan terlaksana, meskipun ia telah berusaha sekuat
tenaga, karena ketidakmungkinan berbuat adil ini telah disebutkan
dalam Surat An Nisa ayat ( 129 ) yang berbunyi:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dari bunyi Surat An Nisa ayat ( 129 ) tersebut dapat disimpulkan,
bahwa yang berlaku adil secara mutlak hanya Allah. Negara Indonesia
telah mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang di dalamnya antara
lain mengatur poligami. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saat berlakunya Peraturan
Pelaksanaannya ( Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ).
Atas dasar hal tersebut, maka di Indonesia telah terjadi unifikasi
hukum dalam bidang perkawinan yang belaku bagi semua warga negara
Indonesia tanpa memandang mereka berasal dari golongan penduduk
apa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan demikian Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga berlaku bagi warga negara
Indonesia yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) ( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh
Alaidrus ).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pelaksanaannya ditentukan bahwa : “Poligami hanya diperuntukkan
bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria
beristri lebih dari seorang.“
Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan bahwa Undang-
undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup
pintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berarti
membuka pintu dalam arti seluas-luasnya karena Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pembatasan yang sangat berat.
Pembatasan itu diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tahun 1974. Seorang pria yang telah diizinkan oleh hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih dari
seorang, ia terlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari
syarat-syarat yang secara limitatif telah ditentukan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
b. Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami
Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristeri
lebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yaitu:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasan
tersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur
dalam Pasa15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud ayat (1) huruf a tersebut, tidak
diperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaian
dari Hakim Pengadilan ( Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 ). Persetujuan dalam Pasa1 5 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dipertegas oleh Pasal 41 huruf b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu : “Ada atau tidaknya
persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
Pengadilan.”
Sedangkan kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41
huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu : Ada atau
tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan isteri-isteri dan
anak-anak, dengan memperhatikan :
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat kerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Selanjutnya jaminan keadilan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf d
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu: Ada atau tidaknya
jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka dengan menyatakan atau janji dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
c. Tata Cara Berpoligami
Tata cara poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menetapkan sebagai berikut :
1) Seorang suami yang bermaksud beristeri lebih dari satu, wajib
mengajukan permohonan secara tertulis, disertai dengan alasan-
alasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, kepada Pengadilan. Bagi suami yang
beragama Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
2) Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh ) hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya;
3) Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan-alasan dan
syarat-syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil dan
mendengar isterinya yang bersangkutan.
4) Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannya
yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Khusus mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agama
pada tanggal 19 Juli 1975 mengeluarkan Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pencatat Nikah dan Tata
Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan perkawinan bagi yang beragama Islam. Peraturan Menteri
Agama tersebut baru berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaan teknis yang
harus dipatuhi oleh Hakim. Pengadilan Agama dalam memberikan
putusan/penetapan izin poligami maupun oleh Pejabat Nikah dalam
menyelenggarakan perkawinan ( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/
Mochamad Soleh Alaidrus ).
Permohonan izin beristeri lebih dari seorang tidak mengandung
sengketa, oleh sebab itu pada hakekatnya merupakan tindakan
administratif. Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini merupakan
Jurisdictio Voluntaria, yang pemeriksaan dan putusannya merupakan
tindakan adminitratif, sedangkan bentuk putusan dalam Jurisdictio
Voluntaria merupakan penetapan ( beschiking ). Apabila belum ada izin
dari Pengadilan untuk beristri lebih dari seorang maka Pegawai
Pencatat Perkawinan dilarang melangsungkan, mencatat atau
meyaksikan poligami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
4. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan
a. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pembatalan berasal dari kata batal yaitu gagal, menganggap tidak
sah, tidak jadi maupun tidak sah ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Sulchan Yasyin ). Di dalam Islam pembatalan perkawinan disebut
fasakh, arti fasakh adalah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama ( Soemiyati:1982:113 ).
Ditinjau dari sebab-sebab yang dapat merusakkan perkawinan,
fasakh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: fasakh yang
berkehendak kepada putusan hakim yakni melalui proses Pengadilan
dan fasakh yang tidak berkehendak kepada putusan Pengadilan yaitu
pada waktu suami istri mengetahui adanya sebab yang merusakkan
perkawinan, ketika itu juga perkawinannya telah batal menurut hukum
tanpa melalui putusan Pengadilan ( AL-ADALAH Jurnal Kajian Hukum
Vol.7 No.1. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 71082836)
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian ”dapat ” pada
diartikan bisa atau tidak bisa batal, apabila menurut ketentuan hukum
agamanya masing-masing tidak menentukan lain (http://excellent-
lawyer.blogspot.com/2010/06/pencegahan-dan-pembatalan-perkawinan.
html )
Berdasarkan Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan batal
demi hukum di antaranya:
1) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak Raj’i;
2) Seorang suami yang menikahi isterinya yang dili’annya; 3) Seorang suami yang menikahi bekas isterinya yang pernah
dijatuhinya dengan talak tiga kali, kecuali bila bekas isteri terebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas;
5) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
6) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri;
7) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;
8) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari isteri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari isteri.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam,
perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan apabila:
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama; 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui msih
menjadi isteri pria lain secara sah; 3) Perempuan yang dikawini masih dalam keadaan masa tunggu
(iddah); 4) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur
perkawinan,sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
6) Perkawinan dilaksanakan karena paksaan; 7) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum; 8) Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud
adalah seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui beristeri sehingga terjadi poligami tanpa ijin Pengadilan, demikian juga terhadap penipuan mengenai identitas diri.
Pengaturan mengenai batalnya perkawinan diatur dalam Bab IV
Pasal 22 sampai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal
70 sampai dengan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam, serta dalam Bab
VI Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam
ketentuan ini mengatur mengenai syarat-syarat, alasan-alasan
pembatalan perkawinan dan tata cara pembatalan perkawinan. Secara
tegas dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
oleh Pengadilan. Ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 disebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya.
b. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan
dapat diajukan oleh:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2) Suami atau isteri. 3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan. 4) Pejabat yang ditunjuk tersebut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini
dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 73
Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
2) Suami atau Istri 3) Pejabat yang berwenang megawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-Undang. 4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
c. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan
Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam melakukan pembatalan
perkawinan diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 27 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan-
alasannya tersebut di antaranya :
1) Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang;
2) Wali nikah yang melakukan perkawinan ini tidak sah; 3) Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; 4) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum; 5) Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau istri. Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71 dan
72 Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan pengajuan
pembatalan perkawinan yaitu:
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria yang mafqud; 3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami
lain; 4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak; 6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan; 7) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum; 8) Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
d. Tata Cara Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 disebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Sedangkan
mengenai pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diatur di
dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 di mana
dalam hal pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Tata cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
pengajuan gugatan perceraian bagi yang beragama Islam diatur lebih
lanjut dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang
berbunyi:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnua
meliputi tempat kediaman Tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertenpat kediaman di luar negeri
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama.
e. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan
bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan
mempunyai keputusan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Selanjutnya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan
tidak berlaku surut terhadap:
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; 2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
5. Tinjauan Umum tentang Efektivitas Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum dapat berjalan
efektif apabila komponen-komponen penting di dalamnya berjalan sesuai
dengan yang seharusnya. Komponen-komponen tersebut terdiri dari tiga,
yaitu :
a. Substansi
Substansi merupakan hasil nyata dari sistem hukum. Bentuknya
dapat berupa hukum in concreto ( kaidah hukum individual ) dan
hukum in absrtacto ( kaidah hukum umum ). Kaidah hukum individual
muncul tidak serta merta kerena kekuatan-kekuatan sosial tetapi timbul
dari kekuatan dan kepentingan yang terekspresi dalam bentuk tuntutan.
( Lawrence M. Friedman, 2009: 195-196 ). Sedangkan, kaidah hukum
umum muncul dalam masyarakat disebabkan setiap masyarakat atau
setiap kelompok membutuhkan cara tertentu untuk menyelesaikan
sengketa dan menegakkan norma-norma yang esensial. Di sisi lain,
ketika kehidupan sosial menjadi semakin kompleks, publik tidak lagi
bisa menegakkan norma-norma hanya melalui tekanan informal dan
norma-norma yang terinternalisasi. Pada titik ini, kelompok tersebut
merasakan kebutuhan akan adanya struktur formal ( Lawrence M.
Friedman, 2009: 189-190 ).
b. Struktural
Struktural merupakan bagian dari sistem hukum yang bergerak
dalam suatu mekanisme. Sistem hukum yang dimaksud ini yaitu aparat
penegak hukum. Contohnya adalah lembaga pembuat undang-undang,
pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk
menerapkan dan menegakkan hukum.
c. Kultur Hukum ( Budaya Hukum )
Kultural merupakan pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem
hukum. ( Lawrence M. Friedman, 2009: 254-255 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T agar beribadah dan bertaqwa
kepadaNya, sesuatu hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah
perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
Anak Hasil Perkawinan
Harta Bersama
Suami Istri
Pihak Ketiga
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Dapat Dibatalkan
( Poligami Tanpa Izin Pengadilan )
Batal Demi Hukum
Pembatalan Perkawinan
Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan
Terpenuhi
Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan Tidak Terpenuhi
Perkawinan
- Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan - Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan Sah
Perkawinan Tidak Sah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat islam perkawinan merupakan
sunatullah dan fitroh setiap manusia. Perkawinan yang dilakukan harus sesuai
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam. Dalam suatu perkawinan terdapat rukun dan syarat-
syarat yang harus dipenuhi, apabila dua hal tersebut terpenuhi maka
perkawinan tersebut sah akan tetapi jika kedua hal tersebut tidak terpenuhi
maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dapat
dibagi menjadi dua yaitu yang batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Putusnya perkawinan tidak hanya disebabkan karena perceraian dan
kematian saja melainkan termasuk putusan perkawinan disebabkan oleh
putusan hakim. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi
karena pembatalan suatu perkawinan. Pembatalan perkawinan dapat terjadi
karena terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilakukan dan
dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah
dilakukan dan hidup perkawinan berlangsung. Hal-hal yang dapat meyebabkan
pembatalan perkawinan di antaranya adalah seorang suami melakukan
poligami tanpa ijin Pengadilan Agama; perkawinan dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh dua orang saksi; perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai
Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang; wali nikah yang melakukan
perkawinan tidak sah; perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum; perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi isteri pria lain secara sah; perempuan yang dikawini masih
dalam keadaan masa tunggu ( iddah ); perkawinan yang dilangsungkan
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan Perkawinan dilakukan dengan
penipuan, penipuan yang dimaksud adalah seorang pria yang mengaku sebagai
jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui beristeri.
Akibat hukum pembatalan perkawinan tersebut akan memberikan
dampak terhadap para pihak yaitu terhadap suami dan istri; anak keturunannya;
harta benda serta terhadap pihak ketiga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penulis telah melakukan penelitian mengenai Pembatalan Perkawinan
dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karanganyar. Penulis meneliti
perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Karanganyar, yaitu perkara
Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA tentang Pembatalan Perkawinan karena
Poligami Tanpa Ijin Pengadilan. Berdasarkan penelitian yang telah penulis
lakukan di Pengadilan Agama Karanganyar maka untuk lebih jelasnya penulis
sajikan data sebagai berikut:
1. Nomor Perkara : 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA
2. Pemohon : MKY binti SJR, umur 24 tahun, agama Katholik,
pekerjaan -, bertempat tinggal di Kabupaten Boyolali.
3. Termohon I : FB bin SPR, umur 23 tahun, agama Islam,
pekerjaan dagang, bertempat tinggal di Kabupaten Boyolali.
4. Termohon II : WT binti SKR, umur 29 tahun, agama Islam,
pekerjaan buruh, bertempat tinggal di Kabupaten Karanganyar.
5. Duduk Perkara : Bahwa Pemohon telah mengajukan surat
permohonan pembatalan nikah tertanggal 21 Juni 2010 yang kemudian
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut dengan register Nomor :
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra, tanggal 21 Juni 2010 yang pada pokoknya
mengajukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pada tanggal 12 Januari 2008, Pemohon dengan Termohon I
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali sebagaimana dalam Kutipan
Akta Nikah nomor : 3309 PK 2007 000015 tanggal 12 Januari 2008 yang
dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali ;
b. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon sudah
pernah tinggal bersama di rumah orang tua Pemohon selama 1 bulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
kemudian pisah pisahan 2.5 tahun dan sekarang kumpul lagi di rumah
orang tua Pemohon selama 1 minggu dan sudah hidup rukun dan hamonis
(ba'da dukhul) dan sudah dikaruniai anak 1 orang bernama FERNANDO
RANER umur 2.5 tahun ;
c. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Pemohon berstatus
perawan, sedangkan Termohon I berstatus perjaka atau belum pernah
menikah dan sampai gugatan pembatalan perkawinan ini diajukan antara
Pemohon dan Termohon I belum pernah bercerai;
d. Bahwa tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin Pemohon selaku isteri,
Termohon I telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon II pada
06 April 2009 di hadapan pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo
sebagaimana kutipan akta nikah nomor 73/04/IV/2009 ;
e. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Termohon I telah
memberikan keterangan yang tidak benar yaitu dengan mengaku berstatus
perjaka padahal sesungguhnya Termohon I berstatus pria beristeri karena
masih terikat perkawinan yang syah dengan Pemohon ;
f. Bahwa dengan demikian Termohon I tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan perkawinan dengan Termohon II sehingga perkawinan
Termohon I dan Termohon II menjadi tidak sah dan haruslah dinyatakan
batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum ;
g. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Ketua
Pengadilan Agama Karanganyar berkenan untuk memeriksa perkara ini
dan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
PRIMAIR :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Termohon I (FB bin SPR)
dengan Termohon II (WT binti SKR) yang dilangsungkan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kerjo pada tanggal 06 April 2009;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah nomor: 73/04/IV/2009
tanggal 06 April 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kerjo tidak berkekuatan hukum;
4. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum yang berlaku;
SUBSIDAIR :
Jika Pengadilan Agama Karanganyar berpendapat lain mohon memberikan
putusan yang seadil-adilnya ;
6. Upaya Perdamaian oleh Majelis Hakim
Bahwa, pada hari sidang yang telah ditentukan para pihak telah datang dan
menghadap dipersidangan dan setelah Majelis mendamaikan tidak berhasil,
lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan
Pemohon tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.
7. Jawaban Termohon
Bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, para Termohon telah
mengajukan jawaban secara lisan dipersidangan yang pada pokoknya
membenarkan dan tidak membantah dalil-dalil serta alasan Pemohon.
8. Alat bukti yang diajukan oleh Pemohon
Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon, Pemohon telah
mengajukan bukti berupa :
a. Surat :
1) Foto copy Kutipan Akta Perkawinan yang diterbitkan Kantor
Kependuduk dan Catatan Sipil Boyolali No. 3309 PK.2007 000015
tanggal 12 Januari 2008 (bukti P.1);
2) Foto copy Kutipan Akta Nikah yang diterbitkan KUA Kec. Kerjo Kab.
Karanganyar No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 (bukti P2);
3) Foto copy KTP a.n. FB No. 33.1316.110387.0003 tanggal 02 Juli 2009
(bukti P.3) ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
b. Saksi :
1) TNP bin SDRS, umur 37 tahun yang memberikan keterangan dibawah
sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi mengatahui Termohon I dan Termohon II suami istri
yang menikah pada tanggal 06 April 2009 di KUA Kec. Kerjo Kab.
Karanganyar ;
- Bahwa pada saat menikah status Termohon I jejaka dan status
Termohon II adalah perawan ;
- Bahwa pada sat menikah yang menjadi wali adalah Bapak SKR ayah
Termohon II ;
- Bahwa saksi mengetahui status sipil Termohon I jejaka disebabkan
pada waktu pindah ke Kec. Kerjo membawa Kartu Keluarga (KK)
orang tuanya yang tertera statusnya jejaka ;
2) MYD bin PWR, umur 48 tahun, yang memberikan keterangan dibawah
sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa saksi mengaku kenal Termohon I dan Termohon II;
- Bahwa saksi mengetahui perkawinan Termohon I dan Termohon II
setelah mengecek di register nikah yang ada di KUA Kec. Kerjo ;
- Bahwa saksi mengetahui pada saat menikah status sipil Termohon I
jejaka dan status Termohon II adalah perawan ;
- Bahwa yang menjadi wali nikahnya pada saat itu adalah Bapak SKR
ayah Termohon II ;
Bahwa terhadap keterangan saksi-saksi tersebut, para pihak
membenarkannya.
Bahwa Pemohon dan para Termohon mencukupkan keterangan serta
hanya mohon putusan yang seadil-adilnya.
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka hal-hal yang
tercatat dalam berita acara persidangan perkara ini merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan putusan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
9. Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana tersebut di atas ;
Menimbang bahwa dalil posita angka 1, 2 dan 3 surat permohonan
sesuai keterangan Pemohon yang dibenarkan para Termohon dan dikuatkan
keterangan para saksi, maka harus dinyatakan terbukti bahwa Pemohon dan
Termohon I adalah suami istri sah yang menikah pada tanggal 12 Januari
2008 di hadapan PPN Kantor Catatan Sipil Kab. Boyolali sebagaimana dalam
Kutipan Akta Pernikahan No. 3309 PK 0007 000015 tanggal 12 Januari 2008
yang dikeluarkan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kab.
Boyolali, sudah mempunyai seorang anak bernama FERNANDO umur 2.5
tahun, pada saat menikah Pemohon berstatus sipil perawan dan Termohon I
perjaka serta keduanya belum pernah bercerai ;
Menimbang bahwa posita angka 4, sesuai keterangan Pemohon yang
dibenarkan para Termohon dan dikuatkan keterangan saksi-saksi harus
dinyatakan terbukti Termohon I tanpa seijin Pemohon telah melangsungkan
perkawinan dengan Termohon II pada tanggal 06 April 2009 dihadapan PPN
Kantor Urusan Agama Kab. Karanganyar sebagaimana tersebut dalam
Kutipan Akta Nikah No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 ;
Menimbang bahwa posita angka 5 sesuai keterangan Pemohon dan
pengakuan Termohon I yang dikuatkan keterangan PPN/Kepala KUA Kec.
Kerjo Kab. Karanganyar harus dinyatakan pada saat menikah lagi, Termohon
I mengaku berstatus sipil jejaka dengan cara memberikan surat keterangan
palsu ;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka harus dinyatakan terbukti bahwa perkawinan Temrohon I
dengan Termohon II, Termohon I berstatus masih atau telah beristri sehingga
perkawinannya dengan Termohon II merupakan pernikahan kedua atau
perkawinan tersebut merupakan poligami yang seharusnya memenuhi
ketentuan pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Perkawinan, jo pasal 40, 41 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 serta
pasal 55 dan 56 serta pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ;
Menimbang bahwa oleh karena perkawinan Termohon I dengan
Termohon II sebenarnya merupakan perkawinan poligami yang harus
memenuhi ketentuan pasal-pasal diatas, sementara Termohon I untuk
pelaksanaan perkawinan tersebut dengan memalsu data status sipil dan tanpa
seijin Pemohon, maka perkawinan yang kedua Termohon I tersebut dapat
dibatalkan.
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan tersebut
diatas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa dalam perkawinan
Termohon I dan Termohon II telah terbukti melanggar aturan-aturan hukum
yang harus dipenuhi apabila seorang laki-laki hendak beristri lebih dari
seorang, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa permohonan Pemohon
telah terbukti menurut hukum sesuai ketentuan pasal 22, 23 dan 24 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, jo pasal 37, 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975, jo pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, sehingga oleh karena itu
permohonan Pemohon aquo haruslah dikabulkan ;
Menimbang bahwa oleh karena perkawinan Termohon I dengan
Termohon II dibatalkan, maka Majelis perlu menetapkan Akta Nikah No.
73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 yang diterbitkan KUA Kec. Kerjo Kab.
Karanganyar harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap
Termohon I dan Termohon II dan oleh karenannya akta perkawinan tersebut
haruslah dicoret dari register;
Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-
Undang nomor: 7 tahun 1989 biaya perkara yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada Pemohon ;
10. Amar Putusan
Mengingat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan hukum syara' yang berhubungan dengan perkara ini ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Membatalkan perkawinan antara Termohon I (FB bin SPR) dengan
Termohon II (WT binti SKR) yang dilangsungkan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kerjo Kab. Karanganyar pada tanggal 06 April 2009;
3. Menetapkan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah nomor : 73/04/IV/2009
tanggal 06 April 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kec.
Kerjo Kab. Karanganyar tidak mengikat secara hukum ;
4. Memerintahkan kepada PPN / Kepala KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar
untuk mencoret register Akta Nikah No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April
2009 ;
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini yang
hingga kini ditetapkan sebesar Rp. 401.000,- (empat ratus satu ribu
rupiah) ;
B. Pembahasan
1. Dasar Hukum Putusan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama
Karanganyar
Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu. Pengadilan Agama Karanganyar mempunyai wewenang memeriksa
perkara sesuai kewenangan absolutnya yang berdasarkan pada Pasal 2 dan
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50
tahun 2009 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. Dalam Pasal 2 ini Pengadilan Agama terikat dengan asas
Personalitas KeIslaman dalam memeriksa, memutus, menyelesaiakan
perkara di antara orang-orang yang beragama Islam.
Penulis melakukan wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama
Karanganyar yaitu: Ahmad Akhsin ( Selaku Hakim Ketua ) dan Emi Suyati
( Selaku Hakim Anggota ) pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Pengadilan Agama Karangayar. Berdasarkan hasil wawancara dengan
hakim Ahmad Akhsin dan Emi Suyati yang dilakukan penulis, Pengadilan
Agama Karanganyar mempunyai wewenang memeriksa perkara sesuai
kewenangan absolutnya dalam Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan
terikat dengan asas Personalitas keIslaman. Berdasarkan ketentuan tersebut
Pengadilan Agama Karanganyar menentukan mengenai siapa-siapa saja
yang dapat mengajukan perkara, kemudian mengenai perkara yang dapat
diajukan pemeriksaannya di Pengadilan Agama adalah bidang Perkawinan,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shodaqoh, dan Ekonomi Syariah
dengan dasar inilah suatu perkara dapat diajukan pemeriksaannya oleh para
pihak di Pengadilan Agama. Salah satunya perkara pembatalan perkawinan
tersebut ( Wawancara dengan Ahmad Akhsin dan Emi Suyati pada hari
Senin tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.30 WIB ).
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat islam perkawinan merupakan
sunatullah dan fitroh setiap manusia. Perkawinan yang dilakukan harus
sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam suatu perkawinan
terdapat rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila dua hal
tersebut terpenuhi maka perkawinan tersebut sah akan tetapi jika kedua hal
tersebut tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Pembatalan perkawinan dapat dibagi menjadi dua yaitu yang batal demi
hukum dan dapat dibatalkan.
Putusnya perkawinan tidak hanya disebabkan karena perceraian dan
kematian saja melainkan termasuk putusan perkawinan disebabkan oleh
putusan hakim. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi
karena pembatalan suatu perkawinan. Berdasarkan Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi
batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.
Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam melakukan pembatalan
perkawinan diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan-alasannya
tersebut di antaranya:
a. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat
Perkawinan yang tidak berwenang;
b. Wali nikah yang melakukan perkawinan ini tidak sah;
c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi;
d. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau istri.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71 dan 72
Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan pengajuan pembatalan
perkawinan yaitu:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;
g. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
h. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, permohonan pembatalan
perkawinan dapat diajukan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dari suami atau isteri; suami atau isteri; pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk dan
setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Salah satu kasus permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
di Pengadilan Agama Karanganyar dalam Putusan Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra dimana Pemohon menerangkan dalam surat
permohonannya adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pada tanggal 12 Januari 2008, Pemohon dengan Termohon I
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali sebagaimana dalam Kutipan
Akta Nikah nomor: 3309 PK 2007 000015 tanggal 12 Januari 2008 yang
dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali.
b. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon sudah
pernah tinggal bersama dirumah orang tua Pemohon selama 1 bulan
kemudian pisah-pisahan 2,5 tahun dan sekarang kumpul lagi di rumah
orang tua Pemohon selama 1 minggu dan sudah hidup rukun dan
harmonis ( ba’da dukhul ) dan sudah dikaruniai anak 1 orang bernama
FERNANDO RANER umur 2,5 tahun.
c. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Pemohon berstatus
perawan, sedangkan Termohon I berstatus perjaka atau belum pernah
menikah dan sampai gugatan pembatalan perkawinan ini diajukan antara
Pemohon dan Termohon I belum pernah bercerai.
d. Bahwa tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin Pemohon selaku istri,
Termohon I telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon II pada
06 April 2009 di hadapan pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kerjo sebagaimana kutipan akta nikah nomor 73/04/IV/2009.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
e. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Termohon I telah
memberikan keterangan yang tidak benar yaitu dengan mengaku
berstatus perjaka, padahal sesungguhnya Termohon I berstatus pria
beristri karena masih terikat perkawinan yang sah dengan Pemohon.
f. Bahwa dengan demikian Termohon I tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan perkawinan dengan Termohon II, sehingga perkawinan
Termohon I dan Termohon II menjadi tidak sah dan haruslah dinyatakan
batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menurut Ahmad Akhsin dan Emi Suyati dalam wawancara yang
dilakukan penulis, yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan
Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut
adalah selain perkara yang diajukan tersebut merupakan perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama Karanganyar, perkawinan yang
dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan
karena Termohon I berstatus masih atau telah beristri, sehingga perkawinan
antara Termohon I dengan Termohon II tersebut merupakan poligami yang
seharusnya memenuhi ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 40, 41 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 serta Pasal 55 dan 56 Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu permohonan Pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai
ketentuan Pasal 22, 23, dan 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo
Pasal 37 dan 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 71
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan
oleh Pengadilan Agama Karanganyar karena alasan-alasan pembatalan
perkawinan terpenuhi yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama. Selain itu, yang menjadi dasar hukum bagi hakim
Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan
perkawinan tersebut adalah perkawinan yang dilangsungkan tersebut
melanggar syarat administratif yaitu pemalsuan identitas yang berupa
pemalsuan status calon suami yang mengaku perjaka padahal calon suami
tersebut pria beristri yang masih terikat perkawinan yang sah. ( Wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dengan Ahmad Akhsin dan Emi Suyati pada hari Senin tanggal 17 Januari
2011 pukul 12.30 WIB ).
Menurut penulis, permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
oleh Pemohon tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dengan pertimbangan dasar hukum dalam Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu bahwa
pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dalam
perkara ini Termohon I ( Fajar ) memiliki dua orang Istri yaitu:
Wigatiningsih ( Termohon II ) dan Margaretha ( Pemohon sebagai Istri
pertama ) dan perkawinan kedua antara Termohon I dengan Termohon II
tersebut tidak diketahui dan tanpa seijin Pemohon sebagai Istri pertama.
Perkawinan kedua tersebut dapat terjadi karena Termohon I telah
melakukan penipuan status yang mengaku masih perjaka, maka perkawinan
tersebut dapat dilaksanakan. Padahal dalam perkawinan antara Termohon I
dengan Termohon II atau perkawinan poligami tersebut dilakukan tanpa
seijin Pengadilan, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Karanganyar
mengabulkan permohonan Pemohon dengan membatalkan perkawinan
antara Termohon I dengan Termohon II. Selain itu, yang menjadi dasar
hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar terdapat dalam Pasal 71
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam di mana seorang suami melakukan
poligami tanpa ijin Pengadilan. Sehingga teori Lawrence M. Friedman
mengenai komponen struktural sudah diterapkan oleh hakim Pengadilan
Agama Karanganyar sebagai badan peradilan yang diberi wewenang untuk
menerapkan dan menegakkan hukum.
Menurut penulis, selain perkawinan tersebut dibatalkan oleh
Pengadilan Agama Karanganyar, Termohon I ( Fajar ) dapat dikenai Pasal
280 KUHP yang diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam
Pasal 280 KUHP tersebut disebutkan bahwa ” Barangsiapa mengadakan
perkawinan padahal sengaja tidak memberitahukan kepada pihak lainnya
bahwa ada penghalangnya yang sah diancam dengan pidana penjara paling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
lama lima tahun apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut
perkawinan lalu dinyatakan tidak sah”.
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP
disebutkan bahwa ” Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu
surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal, dengan
maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana
penjara paling lama enam tahun ”. Dalam kasus ini yang termasuk
pemalsuan surat adalah pemalsuan identitas yang dilakukan oleh calon
suami dengan memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak. Hal ini
menjadi peran penting dari pegawai pencatat perkawinan untuk melakukan
penelitian dalam melaksanakan tugasnya apabila ada larangan dan
pelanggaran menurut peraturan yang berlaku maka perkawinan tersebut
dapat dicegah. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 yang disebutkan bahwa ” Pegawai Pencatat yang
menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti
apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut Undang-Undang ”.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
disebutkan bahwa Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dlam Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini harus dipenuhi syarat-
syarat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Apabila sebelum perkawinan kedua, Termohon I ( Fajar ) meminta
ijin Pengadilan Agama untuk poligami, maka Pengadilan Agama tidak
memberikan ijin poligami karena dari ketiga syarat yang terdapat dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut tidak terdapat dalam diri Pemohon ( Margaretha sebagai istri
pertama ), Pemohon masih dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri,
tidak menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
serta Pemohon tersebut dapat melahirkan keturunan karena dengan
perkawinannya dengan Termohon I ( Fajar ) dikaruniai satu orang anak
yang bernama Fernando.
2. Akibat Hukum yang Ditimbulkan bagi Suami Istri Terhadap
Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
Sebuah perkawinan dapat timbul masalah yang tidak diinginkan yang
berupa putusnya perkawinan yang bisa berupa kematian, perceraian dan
putusan pengadilan. Putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan berupa
pembatalan perkawinan, apabila dalam sebuah perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Salah satu
alasan perkawinan dibatalkan adalah seorang suami melakukan poligami
tanpa ijin Pengadilan Agama dan perkawinan dilakukan dengan penipuan,
penipuan yang dimaksud termasuk dalam ketentuan Pasal 263 KUHP yang
disebutkan bahwa ” Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu
surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal, dengan
maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana
penjara paling lama enam tahun”. Dalam kasus ini yang termasuk
pemalsuan surat adalah pemalsuan identitas yang dilakukan oleh seorang
pria yang mengaku perjaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui
beristeri, sehingga terjadi poligami tanpa ijin Pengadilan Agama.
Menurut Ahmad Akhsin dan Emi Suyati dalam wawancara yang
dilakukan penulis, pembatalan perkawinan membawa akibat hukum
terhadap suami istri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta
bersama, dan pihak ketiga. Jika syarat-syarat dalam suatu perkawinan tidak
terpenuhi, maka hal ini akan membawa akibat hukum terhadap status
perkawinan yang menjadi tidak sah karena seorang suami tersebut
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Status suami istri
tersebut menjadi kembali seperti sebelum adanya perkawinan dan status
batalnya perkawinan akan berlaku setelah adanya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari
perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan perkawinannya oleh
putusan pengadilan.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu;
Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi
segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus
dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga ketentuan ini bertujuan
untuk melindungi pihak ketiga ( Wawancara dengan Ahmad Akhsin dan
Emi Suyati pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.30 WIB ).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan
Termohon II ( Wigatiningsih sebagai istri yang dibatalkan perkawinannya ),
akibat hukum dari putusan pembatalan perkawinan tersebut adalah putusnya
hubungan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II. Dalam
perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dikaruniai seorang anak
yang bernama Kelvin yang berusia 2 tahun, akan tetapi setelah putusan
pembatalan perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap,
akibatnya anak tersebut tidak mendapatkan nafkah dari Termohon I.
Mengenai pembagian harta bersama tidak dilakukan oleh Termohon I dan
Termohon II ( Wawancara dengan Wigatiningsih pada hari ahad tanggal 16
Januari 2011 Pukul 09.00 WIB ).
Menurut penulis, suatu pembatalan perkawinan akan berakibat
putusnya hubungan suami istri ( Fajar dengan Wigatiningsih ) yang pernah
menjalin hubungan ikatan perkawinan. Perkawinan yang dilaksanakan
adalah tidak sah dan perkawinannya tersebut menjadi putus sehingga
hubungan suami istri di antara keduanya menjadi tidak sah dan haram untuk
melakukan persetubuhan, bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya
kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
ada.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan
tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari
perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan. Berdasarkan Pasal 45
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur
mengenai kewajiban orang tua dengan anak di mana kedua orang tua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya serta
kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua
orang tua putus.
Berdasarkan Pasal 75 huruf b Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa: ” Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut ”. Terdapat juga di
dalam Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam bahwa: ” Batalnya suatu
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya ”. Selain itu mengenai pemeliharaan anak juga
diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam bahwa: ” Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya; pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya; biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya ”. Jadi
biaya pemeliharaan anak tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun
perkawinan tersebut telah dibatalkan. Selain itu, ayah tetap mempunyai
hubungan nasab dengan anaknya dan anak yang dilahirkan tersebut tetap
mempunyai hak waris dari orang tuanya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa Termohon I telah melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena
putusan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, Maka anak yang
dilahirkan dari perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tetap
mendapatkan hak-haknya dimana kedua orang tua wajib memelihara,
mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta
kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua
orang tua putus. Dikaitkan dengan teori efektivitas hukum menurut
Lawrence M. Friedman, komponen substansi mengenai peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam tidak efektif di dalam masyarakat khususnya
dalam perkara nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra, karena dalam perkara
tersebut Termohon I ( suami ) melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan
dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ayah kandung dari Kelvin
( anak dari hasil perkawinannya dengan Termohon II ) sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu;
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa
harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut suami istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Terhadap harta
bersama ini berlaku ketentuan bahwa jika terjadi perceraian hidup, maka
masing-masing ( janda dan duda ) berhak mendapatkan sebagian atau
separoh dari harta bersama mereka. Jadi terhadap perkawinan yang
fasakh karena melanggar larangan perkawinan, maka masing-masing
pihak mendapatkan separoh dari harta bersama mereka ( Jurnal Hukum
Pro Justisia, Volume 26 No 4. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
26408371390.pdf ).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan
Termohon II mengenai pembagian harta bersama tidak dilakukan oleh
Termohon I dan Termohon II. Menurut penulis, seharusnya Termohon I
dan Termohon II melakukan pembagian harta bersama seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana putusan pembatalan perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad baik
akan tetap memperoleh hak-haknya yang diperoleh dari perkawinan yang
dibatalkan tersebut seperti haknya dalam suatu perkawinan yang sah.
Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti yang disebutkan dalam
Pasal 65 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa ” Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta
bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing ”.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b dan Pasal 94
Kompilasi Hukum Islam disebutkan apabila suatu pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka
bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut tidak berhak
atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan keduanya, atau
seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan mengenai perbuatan keperdataan yang dilakukan oleh
para pihak yang dibatalkan perkawinannya dengan pihak ketiga diatur
dalam Pasal 98 KUHPerdata disebutkan bahwa pembatalan suatu
perkawinan tidak akan merugikan hak-hak pihak ketiga yang ada
hubungan hukum dengan bekas suami istri pada waktu masih ada
perkawinan tersebut, selain itu disebutkan juga dalam Pasal 75 huruf c
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap pihak ketiga sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum putusan pembatalan
perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi segala
perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum
pembatalan perkawinan tetap berlaku dan ini harus dilaksanakan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
suami isteri tersebut. Sehingga pihak ketiga yang beritikad baik agar
tidak dirugikan. Misalnya: A dan B adalah pasangan suami istri ( sebagai
pihak yang menyewakan ) menyewakan sebuah rumah dengan hak milik
atas nama A dan B kepada C ( sebagai Penyewa ) selama 5 tahun dengan
harga Rp60.000.000,-/tahun ( Enam puluh juta rupiah per tahun ), C
( sebagai Penyewa ) membayar uang sewa kepada A dan B ( sebagai
pihak yang menyewakan ) secara mengangsur, akantetapi dalan jangka
waktu 1 tahun, perkawinan antara A dan B dibatalkan oleh Pengadilan
Agama karena syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, perjanjian
keperdataan yaitu perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya
pembatalan perkawinan tersebut tetap akan dilindungi atau tetap ada
walaupun terjadi pembatalan perkawinan antara A dan B.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar
tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan perkawinan tersebut
berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan,
misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya
pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini
yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab
terdahulu, maka penulis menarik dua kesimpulan yang menjadi pokok bahasan
dari penulisan hukum ini, yaitu:
1. Adapun yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama
Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut adalah:
Perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
sahnya perkawinan karena memenuhi salah satu unsur yang terdapat di
dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami
melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Perkawinan yang dilangsungkan
ini juga melanggar syarat administratif yaitu pemalsuan identitas calon
suami yang mengaku status perjaka padahal calon suami tersebut pria yang
terikat perkawinan yang sah dengan Istri pertama. Perbuatan pelanggaran
terhadap syarat administratif perkawinan yang berupa pemalsuan identitas
yang termasuk dalam pemalsuan surat tersebut dapat diancam dengan
pidana.
2. Akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Karanganyar tersebut adalah perkawinan tersebut
menjadi putus sehingga hubungan suami istri diantara keduanya menjadi
tidak sah dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke
status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Selain
akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan tersebut,
putusan pembatalan perkawinan terdapat didalam Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu:
a. Akibat Hukum terhadap anak keturunan
Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga anak tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib
memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari
ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun
perkawinan kedua orang tua putus.
b. Akibat Hukum terhadap harta benda
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut
suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku, akantetapi apabila suatu
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih
dahulu, maka bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut
tidak berhak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan
keduanya, atau seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri.
c. Akibat hukum terhadap pihak ketiga
Pengaturan terhadap hak-hak orang lain atau pihak ketiga yang
membuat perjanjian keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan
perkawinannya tersebut tetap diakui meskipun setelah adanya
pembatalan perkawinan. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-
hak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan
perkawinan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian
keperdataan, misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum
adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan
hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Saran
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah hendaknya memberikan sosialisasi kepada masyarakat
khususnya berkaitan dengan hukum perkawinan agar masyarakat
memahami aturan dalam hukum perkawinan serta tidak melakukan poligami
liar yang mereka anggap sah padahal menurut ketentuan Undang-Undang
Perkawinan tidak sah, sehingga mengakibatkan adanya pembatalan
perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap semua pihak.
2. Sebaiknya sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami maupun calon
istri harus secara cermat meneliti mengenai status dari masing-masing
pihak. Selain itu Pegawai Pencatat Nikah harus lebih hati-hati dan teliti
dalam memeriksa syarat-syarat perkawinan. Hal ini untuk menghindari
terjadinya perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan
berakibat perkawinan tersebut dapat dibatalkan.