Transcript
Page 1: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

PEMBATALAN PERKAWINAN DAN

AKIBAT HUKUMNYA MENURUT PASAL 22 UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

M. MUKHLIS HASAN ASY’ARI 02100114

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2009

Page 2: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya
Page 3: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya
Page 4: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkatnya sehingga penulisan skripsi dengan judul “PEMBATALAN

PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA” dapat terselesaikan. Dalam

penyusunan tugas akhir (skripsi) ini, tidak akan bisa lancar tanpa dukungan moril dari

berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hari, penulis menyampaikan rasa

terima kasih kepada:

1. Bapak DR. Supriyadi, SH., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Merdeka Malang.

2. Ibu Hj. Hairani, SH. M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas

Hukum Universitas Merdeka Malang.

3. Bapak Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, M.Ag., selaku Pembimbing I

4. Bapak Moch. Ghufron A.Z., SH. M.Hum. selaku Pembimbing II

5. Staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.

6. Rekan-rekan Mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi.

7. Serta pihak lainnya yang mendukung dan teriibat dalam terselesaikannya

penulisan skripsi ini.

Sesuai dengan pepatah "tak ada gading yang tak retak", penulisan skripsi ini

pun banyak kekurangan, baik materi yang disajikan maupun bahasa yang digunakan.

Page 5: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Oleh karena itu kritik dan saran dan semua pihak diterima dengan senang hati. Akhir

kata penulis mengharapkan semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak dan bagi penulis khususnya.

Malang, Agustus 2009

Penulis

Page 6: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

MOTTO

Sekecil apapun penyimpangan di awal perjalanan Akan menyebabkan kita sangat jauh dari tujuan

akhir

Page 7: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI ........................................................ iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv

MOTTO ................................................................................................................. vi

DAFTAR ISI.......................................................................................................... vii

ABSTRAKSI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

Rumusan Masalah ............................................................................. 5

Tujuan Penelitian ............................................................................... 6

Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

Metode Penelitian ............................................................................. 6

Sistematika Penulisan ....................................................................... 8

Jadwal Penelitian ............................................................................... 9

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DAN

PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Syahnya Perkawinan ............................ 10

1. Perkawinan Menurut Hukum Positif .................................... 10

2. Perkawinan Menurut Hukum Islam...................................... 18

B. Pengertian dan Syarat-syarat Pembatalan Perkawian .................. 31

1. Menurut Hukum Positif ........................................................ 31

2. Menurut Hukum Islam.......................................................... 33

C. Alasan Pembatalan Perkawinan ................................................... 36

Page 8: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB III PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN AKIBAT

HUKUMNYA

A. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 ................................................................................... 41

1. Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan ....................... 41

2. Pengajuan Pembatalan Perkawinan dan Pihak-pihak

yang Mengajukan.................................................................... 48

B. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.................................... 52

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 57

B. Saran 58

DAFTAR PUSTAKA

Page 9: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

ABSTRAK

Judul: PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Sebuah Perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Adapun pembatalan perkawinan dapat diajukan antara lain oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan dapat juga oleh suami isteri itu sendiri. Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjad tidak sah.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui pembatalan perkawinan dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta bersama.

Tata cara pembatalan perkawinan, pada dasarnya tata caranya sama dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja pada proses persidangan pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan pada perceraian tidak dapat diterapkan pada pembatalan perkawinan karena tujuan pembatalan perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf mendamaikan para pihak, kalaupun ada perdamaian hanya sepanjang mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.

Pembatalan perkawiran dapat berakibat pada tidak adanya lagi hubungan perkawinan dan masing-masing pihak kembali pada keadaan semula. Sedangkan akibat bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak berlaku surut, jadi anak-anak tetap anak sah dari orang tuanya. Dan mengenai harta bersama, maka dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, harta dibagi menurut hukum adatnya masing-masing.

Pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu disarankan bagi setiap pasangan yang hendak melakukan pernikahan agar terlebih dahulu memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan menurut tata perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi pembatalan perkawinan.

Page 10: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah merupakan sesuatu yang amat penting di dalam

kehidupan seseorang, karena sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia

dengan jenis kelamin yang berlainan laki-laki dan perempuan, yang mempunyai

rasa saling membutuhkan satu sama lain.

Bab I Pasal 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan: “Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Dari bunyi pasal ini, jelaslah bahwa dalam undang-undang ini menghendaki,

bahwa perkawinan itu merupakan ikatan lahir batin antara pihak-pihak yang akan

melangsungkan perkawinan. Ikatan lahir batin ini harus merupakan persetujuan

mereka dan tidak boleh berdasarkan paksaan dari siapapun dan dari manapun,

seperti pendapat yang dikemukakan oleh Projodikoro, yaitu: " Oleh karena maksud

perkawinan ialah supaya suami dan isteri hidup selama mungkin, maka sudah

selayaknya bahwa syarat penting untuk perkawinan itu adalah persetujuan yang

bersifat sukarela dari kedua pihak."1

Hal di atas ditegaskan pula oleh Zuhdi, bahwa wali si wanita sekalipun

1 Wiryono Prodjodikoro, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur. h.40.

1

Page 11: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

ayahnya sendiri, tidak mempunyai wewenang mutlak untuk mengawinkan

putrinya tanpa persetujuan putrinya. Sebab kalau si ayah mengawinkan putrinya

tanpa persetujuannya, maka putrinya berhak memilih (khiyar). Artinya ia dapat

menerima atau menolak perkawinannya, kalau ia menolak, ia dapat mengajukan

kasusnya kepada Pengadilan agar perkawinannya dibatalkan."2 Dengan demikian,

dalam perkawinan itu bertujuan untuk melanjutkan keturunan maupun untuk

membentuk suatu kedamaian, dengan memenuhi syarat-syarat aturan hidup yang

terdapat dalam lingkungan masyarakat.

Perkawinan merupakan perbuatan hukum, sehingga perkawinan

menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukannya dan pihak

lain, misalnya hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta benda. Oleh karena

itu, apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat untuk melakukan

perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada

peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Mengenai hak dan kewajiban masing-

masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung.

Adapun akibat hukum dari perkawinan menurut Ramulyo adalah:

1. Menjadi halal hubungan seksual antara suami istri 2. Mahar menjadi milik istri 3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban suami istri 4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu adalah anak sah 5. Suami istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya 6. Bapak berhak menjadi wali nikah dari anak perempuannya 7. Berhak saling mewaris antara suami istri, demikian juga anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan itu berhak saling waris mewarisi dengan orang 2 Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III: Muammalah, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, h. 20-

21.

Page 12: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

tuanya 8. Bila salah seorang suami atau istri meninggal dunia, maka salah seorang

dari mereka berhak menjadi wali pengawas, baik terhadap harta maupun terhadap anak-anak mereka, kecuali hak-hak mereka dicabut secara sah oleh Pengadilan.3

Berhubung dengan akibat yang sangat penting itu, maka masyarakat

membutuhkan suatu peraturan untuk perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat

perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan itu.

Seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan

memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. Pemberitahuan tersebut,

dapat dilakukan secara lisan oleh.seorang maupun kedua mempelai atau wali

mereka dengan tujuan untuk mengetahui dengan jelas identitas mereka.

Meskipun telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai syarat-syarat

perkawinan, masih terjadi kasus bahwa perkawinan dapat dilangsungkan,

walaupun pada akhirnya diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan perkawinan

tersebut tidak memenuhi syarat. Dengan demikian, perkawinan tersebut dapat

dikatakan benar. Dan setelah diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan dari wali

yang sah agar perkawinan tersebut dibatalkan. Ini adalah salah satu contoh kasus

akibat dari tidak terpenuhinya syarat-syarat, perkawinan.

Dari kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa setiap orang yang

akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya

perkawinan, yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974. Dan bila

3 M.Idris Ramulyo, 1986, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi

Hukum Perkawinan Islam Ind-Hillco, Jakarta, h.92-93.

Page 13: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain Para keluarga

dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan dapat juga oleh

suami isteri itu sendiri.

Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu

terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan

persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah

dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjad tidak sah.4

Mengenai pembatalan perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun

1974, pengaturannya dimuat dalam Bab IV pasal 22 sampai pasal 28 yang diatur

lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9

tahun 1975 dalam Bab VI pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang nomor 1

tahun 1974 menyatakan bahwa : "Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak

tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan." Sedangkan

dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 diatur "Batalnya suatu

perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan."

Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa gugatan pembatalan

perkawinan untuk wilayah Kota Malang merupakan kewenangan Pengadilan

Agama Kota Malang. Perkara pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Kota

Malang jarang terjadi dan merupakan kasus yang langka. Namun demikian sebagai

4 Achmad Ichsan, 1986, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, PT.Pradnya Paramita,

Jakarta, h.63.

Page 14: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

lembaga yang berwenang memutuskan kasus tersebut, Pengadilan Agama Kota

Malang dapat menjadi sumber yang tepat untuk menggali informasi-informasi

yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan.

Dengan demikian apabila suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat

yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 maka perkawinan itu

dapat dibatalkan. Dalam lingkup wilayah Kota Malang, gugatan pembatalan

perkawinan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Kota Malang dan menjadi

wewenang badan peradilan tersebut untuk memutuskannya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk

meneliti tentang " Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974".

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, masalah yang dapat

penulis rumuskan adalah:

1. Bagaimana pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun

1974 di Pengadilan Agama Malang?

2. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut Undang-

Undang nomor 1 tahun 1974 terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta

bersama?

Page 15: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun

1974 di Pengadilan Agama Malang

2. Mengetahui akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut Undang-

Undang nomor 1 tahun 1974 terhadap status suami istri, anak-anak, dan harta

bersama.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian diharapkan membawa manfaat antara lain :

1. Untuk masyarakat agar mengetahui dan memahami tentang pembatalan

perkawinan dan akibat hukumnya.

2. Untuk sumbangan akademis terhadap Universitas Merdeka khususnya Fakultas

Hukum dan untuk menunjang penelitian-penelitian serupa lainnya.

3. Untuk penulis sendiri guna menambah pengetahuan tentang pelaksanaan

pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya.

E. Metode Penelitian

Agar penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan suatu pemecahan yang

sejalan dengan pokok permasalahan, maka metode penelitian yang digunakan

dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan penjabaran yang

bersifat deskriptif yang bersumber dari bahan-bahan hukum yang diperoleh

melalui penelusuran literatur hukum. Bahan-bahan hukum yang menjadi sumber

Page 16: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

informasi dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan hukum primer

Yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru/mutakhir,

ataupun pengertian tentang fakta yang diketahui, maupun mengenai suatu

gagasan (ide-ide). Bahan primer ini mencakup: putusan pengadilan terkait

pembatalan perkawinan, buku-buku, laporan penelitian dan lain-lain di bidang

hukum perkawinan khususnya dalam lingkup pembatalan pernikahan dan akibat

hukumnya.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berisikan informasi yang

menunjang bahan primer. Dalam penelitian ini

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah

1. Teknik pengumpulan bahan hukum

Kajian ini menitikberatkan pada penelitian bahan kepustakaan dan juga

wawancara kepada narasumber, yang mana dalam hal ini meliputi bahan:

putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan, peraturan perundang-

undangan, literatur-literatur, dan bahan acuan lainnya yang berkaitan.

2. Teknik analisa bahan hukum

Pengolahan dan kajian bahan hukum dalam karya tulis ini dengan

mempergunakan teknik analisis dengan menerapkan interpretasi (penafsiran)

ekstensif.

Page 17: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

E. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam memahami isi materi ini, maka

penulis mengemukakan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : Berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang mengapa penulis

ingin melakukan penelitian dengan judul di atas, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian sesuai dengan judul di atas

dan Metodologi Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam

mencari, menemukan, mengumpulkan dan mengolah data; serta

Sistematika Penulisan.

BAB II : Berisi tentang Tinjauan Teoritik yang menjadi kerangka dan teori

dari pemasalahan-permasalahan yang ada sehingga dengan adanya

kerangka teori ini diharapkan pembahasan dibuat secara konseptual

dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Pada bab II ini meliputi tinjauan

umum tentang perkawinan dan pembatalan perkawinan menurut

hukum positif dan hukum Islam serta akibat hukumnya.

BAB III : Berisikan tentang pembahasan yang didasarkan pada data-data yang

didapatkan dari hasil penelitian penulis, yang kemudian didukung

teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembahasan ini digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada

yaitu tentang pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya ditinjau

secara normatif menurut Hukum Positif maupun Hukum Islam.

Page 18: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB IV : Bab ini merupakan bab yang paling terakhir dari seluruh penjabaran

yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, dan di dalam

bab ini penulis akan mencoba memberikan rumusan jawaban secara

singkat terhadap seluruh permasalahan (hukum) yang telah

dituangkan dalam perumusan masalah serta saran atau rekomendasi

terkait dengan temuan-temuan sebagai masukan.

E. Rencana Penelitian

Agar penelitian sesuai dengan waktu maupun kerangka penelitian maka

penulis membuat rencana penelitian yang dimulai dari tanggal 22 November 2008

dengan perincian lama kegiatan sebagai berikut:

1. Penelitian pendahuluan 1 minggu

2. Studi pustaka 2 minggu

3. Penyusunan proposal 2 minggu

4. Pengolahan data 2 minggu

5. Penyusunan hasil penelitian 5 minggu

12 minggu

Page 19: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Syahnya Perkawinan

1. Perkawinan Menurut Hukum Positif

a. Pengertian Perkawinan

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan:

"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Adapun pengertian perkawinan dapat kita ambil dari rumusan anak

kalimat pertama pasal 1 tersebut, di atas, yaitu pada anak kalimat yang

berbunyi: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri"

Dalam hubungan ini ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang

bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami istri

baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama, lain maupun bagi mereka

dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan batin dalam

perkawinan berarti bahwa dalam batin suami yang bersangkutan terkandung

niat, yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal. Jelaslah dalam

10

Page 20: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

perkawinan tidak boleh ada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, kedua

unsur tersebut harus ada dalam suatu perkawinan.

Di dalam pengertian perkawinan itu juga kita melihat adanya unsur

ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, hal ini

menunjukkan bahwa Undang-Undang perkawinan kita pada prinsipnya

menganut asas monogami, karena poligami dimungkinkan sepanjang hukum

agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh syarat-

syarat yang ketat, yaitu dengan izin Pengadilan, dan izin itupun hanya

diperoleh dalam hal-hal :

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.5

b. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974,

kita masih berpegang pada rumusan pasal 1, yaitu pada anak kalimat yang

kedua yang berbunyi: “ dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Rumusan tersebut mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan

perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan hak material maupun spirituil.

Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang bersifat

5 Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.1

tahun 1974, Dian Rakyat, Jakarta, Hal. 19

Page 21: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal. karenanya perkawinan yang

diharapkan juga perkawinan yang kekal, yang hanya dapat berakhir dengan

kematian salah satu pasangan tersebut. Dengan dasar pandangan ini maka

pembuat Undang-undang memberikan pembatasan yang ketat terhadap

pemutusan perkawinan selain daripada kematian.

Dalam rumusan tujuan perkawinan itu, kita mendapat pengertian

bahwa untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia dan

kekal itu haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sejalan

dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang mendapatkan realisasinya di

dalam kehidupan beragama dan bernegara.6

c. Sahnya perkawinan

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan huhum

ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan

hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan

di Indonesia sejak 2 Januari 1974 dengan demikian sah tidaknya suatu

perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-

Undang tersebut.

Sahnya Perkawinan ditentukan dalam bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-

undang nomor 1 tahun 1974 yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

6 Ibid. Hal.19-20

Page 22: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

itu. " Dan juga pada ayat (2) yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Kemudian penjelasan pasal 2 ayat (1), menjelaskan bahwa: “Yang

dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan

agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun sahnya perkawinan menurut. kompilasi Hukum Islam

disebutkan dalam pasal 4 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974."

Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor, 1 tahun 1974,

bahwa Undang-undang ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan

kepada hukum agama dan kepercayaan masing masing pemeluknya, ini

berarti bahwa syarat-syarat, perkawinan. itu sendiri mestinya juga harus

didasarkan kepada syarat-syarat. perkawinan sebagaimana yang diatur

menurut hukum agamanya. dan kepercayaannya itu.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur, dalam Undang-Undang nomor 1

tahun 1974 meliputi syarat-syarat materiil maupun formil. Syarat.-syarat

Page 23: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

materiil yaitu syarat--syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai,

sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata

cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat di.langsungkannya

perkawinan.

1) Syarat-syarat materiil yang berlaku umum.

syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yaitu pasal pasal sebagai berikut.:

a) Pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.

b) Pasal 7 ayat (1) ; usia calon mempelai pria sudah mancapai 19 tahun dan

wanita sudah mencapai 16 tahun.

c) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain ( kecuali dalam

hal yang diizinkan oleh pasal 3 ayat 2 dan pasal 4).

d) Pasal 11 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan

Pamerintah nomor 9 tahun 1975, mengenai waktu tunggu bagi seorang

wanita yang putus perkawinannya, yaitu:

(1) 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian.

(2) 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila berdatang bulan.

(3) 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan.

(4) Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil.

(5) Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.

Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan

Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu

Page 24: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

perceraian, dan sejak sejak hari kematian bila perkawinan putus karena

kematian.

2) Syarat materiil yang berlaku khusus

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan

meliputi hal-hal sebagai berikut.:

a) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam pasal

8, 9 dan 10 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu larangan

perkawinan mengenai dua orang yang :

(1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas;

(2) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kesamping;

(3) berhubungan semenda;

(4) berhubungan susuan;

(5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam seorang suami beristri lebih dari seorang;

(6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

(7) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4;

(8) telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum agamanya dan

kepercayaannya tidak menentukan lain.

Page 25: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

b) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21

tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal ijin dapat diperoleh

dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, Orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam

garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari Pengadilan, bila

orang-orang tersebut. tidak ada atau tidak mungkin dimintai ijinnya

(pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5)).

3) Syarat.-syarat formil

Syarat-syarat formil ini meliputi:

a) Pemberitahuan kehendak akan melangsunghan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan., yang dapat dilakukan sekurang-kuranya

sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan yang dilakukan

secara lisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya

dan memuat umur, agama, nama, pekerjaan, tempat kediaman, umur,

calon mempelai dan nama suami atau isteri yang terdahulu bila salah

seorang atau keduanya pernah kawin. (pasal 3 sampai dengan pasal 5

Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975).

b) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan yaitu pengumuman

tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai

pencatat, perkawinan apabila ia telah cukup meneliti apakah syarat-

syarat, perkawinan sudah dipenuh dan apakah tidak terdapat halangan

perkawinan.

Page 26: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu,

ditempatkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah

dibaca oleh umum dan ditanda tangani oleh pegawai pencatat.

Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua

calon mempelai serta hari, tanggal jam dan tempat akan

dilangsungkannya perkawinan. (Pasal 8 jo, pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9

Tahun 1975).

c) Pelaksanaan perkawinan menurut, hukum agamanya dan

kepercayaannya masing-masing. Pelaksanaan perkawinan

dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak

perkawinan dilakukan. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dilaksanakan

dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal

10 PP Nomor 9 Tahun 1975).

d) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. Pencatatan

perkawinan dilakukan sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan

perkawinan dan berakhir sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

yaitu pada saat akta perkawinan selesai ditanda tangani oleh kedua

mempelai, kedua saksi dan pegawai pencatat yang mengahadiri

perkawinan dan wali nikah bagi yang beragama Islam. Dengan

Page 27: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat

secara resmi.(Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975).

2. Perkawinan Menurut Hukum Islam

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab ialah nikah. Menurut Syara hakekat

nikah itu ialah akad antara calon laki istri untuk membolehkan keduanya

bergaul sebagai suami-istri.7 Menurut Sulaiman Rasjid, merumuskan arti

dari perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan ialah akad yang menghalalkan

pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan

muhrim."8

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut "Nikah" ialah

melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan dari antara seorang

laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua

belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di1iputi rasa sayang

dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.

7 Mahmud Yunus, 1986, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mashab Syafi’i, Hanafi, Maliki,

dan Hambali. Hidakarya Agung, Jakarta. Hal. 1 8 Sulaiman Rasjid, 1995, Fiqh Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, Hal. 374

Page 28: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Asaf A.A Fyzee menerangkan bahwa perkawinan itu menurut

pandangan Islam, mengandung tiga aspek, yaitu :9

1) Aspek hukum, perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam parkawinan ini mengadung tiga karakter yang khusus, yaitu : a) perkawinan tidak dapat, dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua

belah pihak. b) kedua belah .pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat

persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersehut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

c) persetujuan perkawinan itu mengatur batas batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

2) Aspek sosial, perkawinan mempunyai arti penting ialah : a) Dilihat dari penilaian umum, pada umumnya berpendapat bahwa orang

yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin.

b) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang itupun dengan syarat-syarat tertentu pula.

3) Aspek agama dalam perkawinan adalah, bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis atau masyarakat yang teratur, sebab perkawinan tidak hanya diikatkan oleh ikatan lahir saja, tetapi diikat juga dengan ikatan batin.

b. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam Islam ialah unutk memenuhi tuntutan hajat

tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan

kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam maayarakat

dengan mengikuti ketentuan-ketentuan diatur oleh syari'ah. 9 Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun

1974), Liberty, Yogyakarta. Hal. 9-11

Page 29: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Dari rumusan di atas filosof Islam Imam Ghozali membagi tujuan dan

faedah perkawinan kepada lima hal., sebagai berikut. :

1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa Indonesia.

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi dasar kecintaan

dan kasih sayang.

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.10

Lebih lanjut Masjfuk Zuhdi, mengatakan tujuan perkawinan menurut

Islam adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan harmonis

suatu keluarga yang hidup tenang, rukun dan damai, serta yang telah diliputi

oleh raga. kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang akan

melanjutkan cita-cita orang tuanya.11

c. Sahnya perkawinan

Dalam hukum Islam perkawinan dikatakan sah apabila telah

memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Antara rukun dan syarat

perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya. Yang dimaksud rukun

dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya

10 Ibid. Hal.12-13 11 Op.Cit. Masjfuk Zuhdi. Hal. 16

Page 30: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang

dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan

tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu

syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.

Misalnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun

perkawinan itu. Adapun yang termasuk rukun perkawinan itu yaitu :

1) Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan yaitu mempelai pria dan

wanita.

Pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan harus

memenuhi syarat-syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan

menjadi sah. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah:

a) Telah baligh dan mempunyai. kecakapan yang sempurna.

b) Berakal sehat.

c) Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan kesukarelaan kedua

belah pihak.

d) Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah

satu macam wanita yang haram untuk dikawini.

Adapun wanita yang haram dikawini , yaitu:

b) Haram dinikah selama-lamanya, yang ada empat macam :

(1) karena.hubungan darah:

• ibu, nenek (dari garis ayah atau ibu) seterusnya lurus ke atas.

Page 31: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

• Anak perempuan, cucu perempuan, seterusnya dalam garis lurus

ke bawah.

• saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah

maupun seibu.

• bibi yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, sekandung, seayah

maupun seibu, seterusnya ke atas, yaitu saudara nenek atau

kakek.

• kemenakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara laki-

laki maupun saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

(2) karena hubungan susuan:

• ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui anak itu.

• nenek susuan, yaitu ibu dari ibu susuan dan ibu dari. ayah susuan

seterusnya ke atas.

• Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan.

• Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan maupun

saudara perempuan dari ayah susuan, seterusnya ke atas.

• Saudara perempuan sesusuan.

(3) Karena hubungan semenda ialah :

• mertua, yaitu ibu kandung si isteri, demikian pula nenek isteri

dari garis ibu atau ayah dan seterusnya ke atas. Haram menikah

dengan mertua dan seterusnya ke atas, tidak disyaratkan telah

Page 32: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

terjadi persetubuhan antara suami istri bersangkutan. Tetapi

begitu akad nikah dilaksanakan,menyebabkan mertua dan

seterusnya ke atas haram untuk dinikah.

• anak tiri dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami

dengan ibu anak tersebut. Apabila belum terjadi parsetubuhan

tiba-tiba suami-isteri itu bercerai, maka dimungkinkan terjadinya

perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak tirinya.

• Menantu, yaitu isteri-isteri dari anaknya.

• ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa ayarat pernah terjadi

persetubuhan suami-isteri. Dengan terjadinya akad nikah antara

ayah dengan seorang perempuan, menjadikan haram nikah antara

anak dan ibu tirinya.

(4) Karena sumpah lian:

Apabila suami menuduh isteri berbuat zina tanpa ada saksi

yang cukup, maka sebagai gantinya suami mengucapkan persaksian

pada Allah, bahwa ia pihak yang benar dalam tuduhannya itu

sampai empat kali. Dan yang kelimanya ia menyatakan bersedia

menerima laknat Allah, apabila ia berdusta dalam tuduhannya itu,

sedangkan isteri yang dituduh akan bebas dari hukuman zina

apabila ia pun menyatakan persaksian kepada Allah bahwa

suaminya berdusta sampai empat kali, dan yang kelimanya

Page 33: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

menyatakan bersedia menerima laknat dari Allah apabila suaminya

benar. Sumpah laknat ini Disebut sumpah Li'an. Akibat dari

diucapkannya sumpah li'an itu, maka hubungan suami-isteri

menjadi putus dan antara keduanya haram untuk nikah selama-

lamanya.

c) Haram dinikah untuk sementara waktu, maksudnya yaitu larangan

perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu tertentu saja, karena

adanya sebab yang mengharamkan Apabila sebab itu hilang maka

perkawinan boleh dilaksanakan. yang termasuk yaitu:

• Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik

saudara sekandung, saudara seayah atau saudera seibu, maupun

saudara sepersusuan kecuali secara bergantian. Larangan ini

ditujukan agar hubungan darah tidak terputus.

• wanita yang sedang menjalani masa iddah, baik iddah karena

kematian maupun karena talak.

• wanita yang ada ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.

• wanita yang telah ditalak tiga kali, haram kawin 1agi dengan bekas

suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain dan telah

dicerai dan telah habis masa iddahnya.

• Mengawini lebih dari empat orang wanita.

Page 34: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

• perkawinan orang yang lagi sedang ihram, baik yang melakukan

akad nikah untuk diri. sendiri maupun untuk orang lain.

• Kawin dengan pezina, ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik

dengan wanita pelacur, ataupun antara wanita-wanita yang baik

dengan laki-laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-

masing menyatakan bertaubat

2) Wali

"Perwalian" dalam istilah Fiqh disebut "wilayah", yang bararti

penguasaan dan perlindungan. Menurut istilah Fiqih yang dimaksud

perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada

seorang untuk menguasai dan melindungi barang atau orang.

a) Syarat-syarat menjadi wali

Sepakat para ulama bahwa orang-orang yang menjadi wali, harus

memenuhi. syarat-syarat :

(1) orang mukallaf/baligh

(2) muslim

(3) berakal sehat

(4) laki-laki

(5) adil12

b) Orang-orang yang boleh menjadi wali

12 Kamal Mukhtar, 1987, Azas-Azas Hukum Islam tentang Perkawinan. Bulan Bintang, Jakarta. Hal

92

Page 35: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Di Indonesia yang dianut adalah tertib wali menurut, madzhab Syafi’i,

Yaitu :

(2) ayah

(3) kakek dan seterusnya ke atas

(4) saudara laki-laki kandung

(5) saudara laki-laki seayah

(6) kemenakan laki-laki kandung

(7) kemenakan laki-laki seayah

(8) paman kandung

(9) paman seayah

(10) saudara sepupu laki-laki sekandung

(11) saudara sepupu laki-laki seayah

(12) sultan / hakim

(13) orang yang ditunjuk oleh mempelai.

c) Macam-macam wali

(1) Wali nasab, yaitu anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai

perempuan, yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan

calon mempelai perempuan (ayah, kakek, saudara laki-laki, paman

dan seterusnya).

(2) Wali hakim, yaitu wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala

negara.

Page 36: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

(3) Wali muhakam, yaitu apabila. wali yang berhak tidak dapat

menjalankan tugasnya sebagai wa1i karena suatu sebab tertentu.

atau karena menolak menjadi wali. Demikian .juga wali hakim tidak

dapat menggantikan kedudukan wali nasab karena berbagai sebab,

maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang

dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk

menjadi wali.

3) Saksi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi ialah:

(a) mukallaf atau dewasa

(b) muslim

(c) harus mengerti dan mendengar ucapan-ucapan yang diucapkan pada

waktu akad nikah dilaksanakan

(d) adil yaitu orang yang taat beragama

(e) saksi yang hadir minimum 2 orang(laki-laki atau empat orang

perempuan.

Hikmah adanya saksi dalam pelaksanaan akad nikah ialah agar dapat

menjadi:

(a) alat bukti, apabila ada yang menggugat keabsahan perkawinan.

(b) kehadiran saksi-saksi diwaktu akad nikah merupakan penghormatan

kepada kedua mempelai.

Page 37: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

(c) Kehadiran saksi-saksi dapat, merupakan penghormatan bagi sunnah

Rasulullah s.a.w.

4) Akad Nikah

Akad nikah yaitu pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan

pihak calon isteri untuk mengikatkan diri mereka dalam tali perkawinan

dengan menggunakan kata ijab Kabul. Ijab ialah pernyataan dari pihak

calon istri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istr yang

maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya.

Sedang kabul ialah pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami

bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.

Pihak-pihak Yang melaksanakan akad harus memenuhi syarat-syarat,

tertentu supaya akadnya sah, yaitu:

(a) telah baligh sehingga dianggap mempunyai kecakapan sempurna.

(b) Tidak ada paksaan.

(c) Berakal sehat.

(d) Harus mengetahui/mengerti dan mendengar arti ucapan atau

perkataannya masing-masing.

Syarat-syarat supaya sighat akad nikah ini sah, yaitu:

a) Pada dasarnya akad nikah harus diucapkan lisan, kecuali bagi yang tidak

dapat mrngucapkan secara lisan, boleh menggunakan tulisan atau dengan

menggunakan isyarat tertentu.

b) Akad nikah harus dilaksanakan dalam satu majelis.

Page 38: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

c) Antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata yang lain

atan perbuatan yang lain, yang dapat dipandang mempunyai maksud

mengalihkan akad yang sedang dilangsungkan.

d) Ijab kabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada

waktu yang akan datang, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.

Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau

isyarat yang diungkapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak pada

waktu akad nikah.

5) Mahar (Maskawin)

Mahar yaitu pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh

calon suami kepada calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang

merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup

sebagai suami istri.

Sekalipun pemberian mahar oleh calon suami kepada calon istrinya

merupakan kewajiban, bukanlah berarti istri dengan pemberian itu telah

dimiliki oleh suaminya. Mereka hanyalah sama-sama memiliki hak

bergaul sebagai suami terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban

yang telah ditetapkan oleh agama Islam.

Mahar yang diberikan dengan kerelaan hati oleh calon suami

kepada calon istrinya, merupakan hak calon istrinya dan sebagai

imbangan dari kerelaan calon istrinya untuk hidup bersama sebagai suami

istri. Kerelaan dan persetujuan itu dinyatakan oleh kedua belah pihak dari

Page 39: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

calon-calon mempelai di dalam sighat akad nikah yang mereka ucapakan.

Karena itu penyebutan mahar merupakan pokok yang penting dalam

sighat akad,dan merupakan lambang dari kerelaan dan persetujuan kedua

belah pihak, tanpa penyebutan mahar dalam sighat akad berarti kerelaan

dan kesediaan untuk menikmati hidup sebagai suami istri tidak ada.

Tidak adanya kerelaan dan kesediaan hidup antara pihak calon

suami dengan calon istri dalam perkawinan berarti perkawinan itu telah

menyimpang dari tujuannya. Oleh sebab itu pernyataan mahar dalam

sighat akad nikah merupakan rukun dari akad nikah. Para ahli fiqih ada

yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan ada

yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya nikah, kerena

itu tidak boleh ada persetujuan untuk meniadakannya.

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah

maksimum dari mahar, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan

tingkatan kemampua.manusia dalam memberinya. orang yang sebaliknya

orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh

sebab itu terserah kepada kemampuan yang bersangkutan, disertai

kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan kawin untuk

menetapkan ,jumlahnya. Mengenai bentuk mahar tidak ditentukan, boleh

dijadikan mahar apa saja yang dapat dimiliki kecuali benda-benda yang

diharamkan Allah. Adapun bentuk mahar ada dua macam, yaitu:

Page 40: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

a) Mahar Musamma, ialah mahar• yang telah ditetapkan bentuk dan,

jumlahnya dalam sighat akad. Mahar musamma ini terbagi menjadi:

(1) Mahar Mu’ajjal, yaitu mahar yang segera diberikan kepada

isterinya.

(2) Mahar Mu’ajjal yaitu mahar yang ditangguhkan pemberiannya

kepada istri.

b) Mahar Mitsil, ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah

yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada wahtu akad

nikah jumlah mahar itu belum lagi ditetapkan bentuknya.

B. Pengertian dan Syarat-syarat Pembatalan Perkawian

1. Menurut Hukum Positif

a. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Mengenai pengertian pembatalan perkawinan dalam Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 tidak disebutkan, hanya dalam pasal 22 menyebutkan

bahwa: "Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan."

Dalam pasal 74 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :

"Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan."

Page 41: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

pembatalan perkawinan ialah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat

dibatalkan apabila para pihak tidak memenenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Dan pembatalan perkawinan bagi yang

beragama. Islam, hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama.

b. Syarat-syarat pembatalan perkawinan

Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, pada prinsipnya

perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan yang dapat

mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, adalah:

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas.

2) Suami atau isteri.

3) Pejabat perkawinan hanya selama perkawinan belum diputuskan.

4) Pejabat yang disebut dalam ayat 2 pasal 16 undang-undang ini dan setiap

orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap

perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974, mengatur tempat diajukannya

pembatalan perkawinan, yang dimuat dalam pasal 25 yaitu: "Permohonan

Pembatalan Perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum

dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami-isteri,

suami atau isteri."

Page 42: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Adapun perbuatan-perbuatan yang menyangkut permohonan akan

suatu pembatalan perhawinan diatur dengan lengkap dalam pasal 36

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang pada prinsipnya ditentukan

beberapa langkah penting yaitu:

1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak

yang berhak mengajukan, kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua

suami-isteri, suami atau isteri;

2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan

sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian;

3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan

perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan aesuai dengan tata cara

tersebut dalam pasal. 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah

ini.13

2. Menurut Hukum Islam

a. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Tentang pembatalan perkawinan di dalam hukum Islam tidak ada

defini khusus yang menjelaskan mengenai pengertian tersebut. Tetapi di

dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa pengertian fasid dalam

hukum Islam disamarkan dengan pengertian pembatalan perkawinan dalam

hukum positif. 13 Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 106-109

Page 43: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Pengertian fasid dalam Hukum Islam adalah apabila terdapat

pe1anggaran dalam larangan-larangan yang sudah ditentukan dalam syari'at

Islam, maka terhadap perkawinan tersebut dapat difasidkan. Jadi dapat

disimpulkan bahwa. suatu perkawinan dapat dibatalkan atau difasidkan

apabila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan

dalam syaria’at Islam.

b. Syarat-syarat pembatalan perkawinan

Banyak rukun dan syarat yang menyebabkan suatu perkawinan dapat,

dibatalkan. Apabila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama, maka

pernikahan tersebut dinyatakan fasid.

Adapun pernikahan dapat dibatalkan atau difasidkan karena beberapa

sebab yaitu:

1) Apabila ternyata kedudukan wali tidak sah.

2) Pelanggaran terhadap hubungan darah.

3) Poliandri , dimana seorang perempuan mempunyai dua orang suami.

4) Permaduan terhadap 1ebih dari empat istri, dimana pernikahan yang

kalima harus difasidkan.

5) Pernikahan seorang perempuan yang masih dalam jangka waktu tunggu.

Mengenai pernikahan seseorang yang dilakukan dalam waktu tunggu ini,

ahli fiqih berbeda pendapat :

a) Imam Malik berpendapat harus dibatalkan, baik sudah terlanjur

berkumpul atau belum.

Page 44: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

b) Imam Syafi'i berpendapat akad nikahnya sah, tetapi meminangnya

secara terang-terangan tersebut, haram, karena antara, meminang dan

akad nikah tersebut, berbeda.

c) Para fuqaha. sependapat, bilamana terjadi di masa iddahnya harus

dibatalkan sekalipun telah terjadi persetubuhan antara mereka.

C. Alasan Pembatalan Perkawinan

UU Perkawinan telah mengatur tentang pembatalan perkawinan,

ketentuannya terdapat pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan.

Selain itu, ketentuan pembatalan perkawinan, diatur pula pada Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU

Perkawinan, yaitu pada Pasal 37 dan Pasal 38. Demikian juga dalam Peraturan

Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah

dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-

undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, ada satu pasal yang mengatur

pembatalan perkawinan, yaitu pada Pasal 27.

Pasal 22 UU Perkawinan, menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan,

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan. Penjelasan Pasal 22, menyebutkan bahwa istilah “dapat” berarti bisa

batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-

masing tidak menentukan lain. Apa yang dimaksud dengan pembatalan

perkawinan itu sendiri, UU Perkawinan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut

secara rinci.

Page 45: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Istilah “dapat” dalam UU Perkawinan yang berarti “bisa batal” atau “bisa

tidak batal” bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak

menentukan lain, sebenarnya menyebabkan terjadinya kerancuan (ketidakpastian

hukum) terhadap aturan pembatalan perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang batal

menurut UU Perkawinan, belum tentu batal menurut syari’at Islam, karena ukuran

tentang batal atau tidaknya suatu akad perkawinan, tetap saja dikembalikan kepada

hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan.

Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena

terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal. Menurut literatur dalam ilmu

hukum, batal dapat diartikan batal demi hukum (batal mutlak), dapat pula diartikan

dapat dibatalkan, yang prosedur keduanya berbeda. Dapat dibatalkan prosedurnya

harus dimohonkan kepada hakim,14 sedang batal mutlak, hakim berwenang karena

jabatannya mengucapkan pembatalan, meskipun tidak ada permintaan para pihak.

Penggunaan istilah dapat dibatalkan dalam UU Perkawinan berarti dapat

ditafsirkan menjadi relatif nietig, dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan

berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu dibatalkan karena adanya

pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.15

Memperhatikan penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan, berarti terhadap

perkawinan yang tidak memenuhi syarat ada dua kemungkinan, pertama

perkawinan tersebut dapat dibatalkan, kedua dapat tidak dibatalkan jika ada

14 R. Subekti, 1993, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 136 15 Martiman Prodjohamidjodjo, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center

Publishing, Jakarta, hlm. 25

Page 46: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

pengecualian dari hukum agama para pihak yang telah melangsungkan

perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan bukan saja karena tidak terpenuhinya

syarat perkawinan, tetapi berdasarkan Pasal 24, 26 dan 27 UUP, pembatalan dapat

pula dilaksanakan jika:

1. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan lain.

2. Perkawinan tersebut dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang atau wali nikahnya tidak sah atau karena tidak dihadiri

dua orang saksi.

3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

4. Pada waktu perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami

atau isteri.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No. 9/1975), bahwa batalnya perkawinan

hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa

antara suami isteri tidaklah dibenarkan membatalkan perkawinannya secara

langsung tanpa melalui proses permohonan pembatalan di pengadilan dan proses

permohonannya sama dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 38 PP No. 9/1975. Alasan pembatalan perkawinan hanya

dapat diputuskan oleh pengadilan seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal

37 PP No. 9/1975, yaitu untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan

oleh instansi lain di luar pengadilan, berhubung pembatalan perkawinan membawa

akibat yang jauh, baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya.

Page 47: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 3

Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PMA No. 3/1975) disebutkan bahwa apabila

pernikahan telah berlangsung, kemudian ternyata terdapat larangan menurut

hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, maka

Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan

pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 23 UU Perkawinan, yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

2. Suami atau isteri.

3. Pejabat berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan

itu putus.

Apabila diperhatikan ketentuan pembatalan perkawinan yang ada pada Pasal

26 ayat (1) UU Perkawinan, yang menegaskan bahwa terhadap perkawinan yang

dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,

maka dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan

lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

Ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan baru dalam lapangan

hukum perkawinan. Ada kemungkinan suatu perkawinan direstui oleh kedua

keluarga dalam garis lurus ke atas dari pasangan suami isteri dan kedua pasangan

suami isteri memang menghendaki perkawinan itu. Sementara rukun-rukun serta

syarat-syarat perkawinan yang sudah dipenuhi, maka tidaklah sewajarnya salah

Page 48: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

satu dari pihak keluarga tersebut atau salah satu dari suami atau isteri memintakan

pembatalan perkawinan kepada pengadilan, hanya karena alasan perkawinannya

dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang tidak berwenang. Tidaklah

memungkinkan, jika salah satu dari mereka menuntut pembatalan perkawinan

yang telah dilangsungkan, hal ini berarti sama saja melaporkan bahwa dirinya

telah ikut melakukan tindak pidana.

Adanya ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUP ini, sebenarnya telah menggeser

nilai-nilai keadilan dengan merendahkan posisi, harkat dan martabat kaum wanita

(isteri), karena bukan tidak mungkin setelah laki-laki (suami) menikmati madu

dari isterinya, kemudian dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formalitas

(dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang),

padahal perkawinan itu atas restu keluarga (orang tua) kedua belah pihak dan atas

kehendak bersama pasangan suami isteri, maka dia membatalkan perkawinan itu

melalui pengadilan, maka jelas kenyataan ini hanya merugikan pihak wanita

(isteri) saja.

Mengingat penjelasan Pasal 22 UUP tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa

perkawinan yang berlangsung di hadapan pejabat tidak berwenang seharusnya

tidak boleh dibatalkan, karena hukum agama (syari’at Islam) tidak ada

menentukan bahwa perkawinan demikian adalah batal.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa seorang laki-

laki (suami) yang hendak berpoligami harus mengajukan permohonan untuk

mendapatkan izin dari pengadilan dan persetujuan isteri/isteri-isterinya. Izin dan

Page 49: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

persetujuan dimaksud tidak bisa tidak harus diperolehnya dan jika tidak ada, maka

berdasarkan Pasal 24 UUP, isterinya yang terdahulu dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan terhadap perkawinan

suami yang berikutnya.

Page 50: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB III

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Pembatalan Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan

Adanya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini berarti kita sebagai

bangsa Indonesia bersama-sama ikut memiliki dan mentaati serta memperbaiki

segala pelaksanaan yang kemungkinan masih kurang tepat diperlukan di

masyarakat. Karena kehidupan di masyarakat, kita selalu mengalami kemajuan-

kemajuan yang sangat berarti sehingga kadang-kadang suatu peraturan te1ah

tidak memenuhi persyaratan. Dengan berlakunya Undang-undang maka

masyarakat akan teratur, hak asasi terpelihara, keadilan terjamin sehingga dapat

diarahkan menuju kebaikan dan kesempurnaan yang utuh.

Perkawinan merupakan perbuatan hukum, sehingga perkawinan

menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukannya dan

pihak lain, misalnya hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta benda.

Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat

untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji

akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Mengenai hak dan

kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu

berlangsung.

41

Page 51: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Berhubung dengan akibat yang sangat penting itu, maka masyarakat

membutuhkan suatu peraturan untuk perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-

syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya

perkawinan itu. Seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan

diharuskan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan.

Pemberitahuan tersebut, dapat dilakukan secara lisan oleh.seorang maupun

kedua mempelai atau wali mereka dengan tujuan untuk mengetahui dengan

jelas identitas mereka.

Meskipun telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai syarat-

syarat perkawinan, masih terjadi kasus bahwa perkawinan dapat dilangsungkan,

walaupun pada akhirnya diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan perkawinan

tersebut tidak memenuhi syarat. Dengan demikian, perkawinan tersebut dapat

dikatakan benar. Dan setelah diketahui bahwa wali dalam pelaksanaan dari wali

yang sah agar perkawinan tersebut dibatalkan. Ini adalah salah satu contoh

kasus akibat dari tidak terpenuhinya syarat-syarat, perkawinan.

Dari kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa setiap orang yang

akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sahnya

perkawinan, yang ditentukan oleh Undang-Undang nomor 1 tahun 1974. Dan

bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat

dibatalkan. Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, dan

dapat juga oleh suami isteri itu sendiri.

Page 52: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar hasil perkawinan itu

terlindungi oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan-kekurangan

persyaratan tersebut atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah

dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjadi tidak

sah.Mengenai pembatalan perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun

1974, pengaturannya dimuat dalam Bab IV pasal 22 sampai pasal 28 yang

diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah

nomor 9 tahun 1975 dalam Bab VI pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang

nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa : "Perkawinan dapat dibatalkan,

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan." Sedangkan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun

1975 diatur "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh

Pengadilan."

Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, Dalam Penjelasan Pasal

22 disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau

bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing

tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat

bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.

Batal demi hukum memberikan makna bahwa sebuah perkawinan

dibatalkan karena hukum menghendaki perkawinan itu untuk dibatalkan. Dalam

hal ini unsur-unsurnya adalah syarat-syarat yang menjadikan sahnya

Page 53: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

perkawinan menurut hukum. Dengan demikian, perkawinan yang batal demi

hukum didasarkan pada sebab sebab sebagai berikut:

a. Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku umum

Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku umum artinya

perkawinan tidak sah karena satu atau lebih syarat-syarat yang ditetapkan

sebagai dasar sahnya perkawinan tidak terpenuhi. Syarat-syarat materiil

diatur dalam aturan perundang-undangan yang menjadi hukum materiil dari

sebuah perkawinan yaitu:

1) persetujuan dari kedua calon mempelai.

2) usia calon mempelai (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita).

3) tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

4) waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya

b. Tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku khusus

Sama halnya dengan syarat-syarat materiil yang berlaku umum, syarat-

syarat materiil diatur dalam aturan perundang-undangan yang menjadi

hukum materiil dari sebuah perkawinan juga mengatur tentang syarat-syarat

yang berlaku khusus. Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu

saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut.:

1) Larangan perkawinan mengenai dua orang yang :

a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke

atas;

b) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kesamping;

Page 54: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

c) berhubungan semenda;

d) berhubungan susuan;

e) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam seorang suami beristri lebih dari seorang;

f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

g) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.

h) telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum agamanya dan

kepercayaannya tidak menentukan lain.

2) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21

tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal ijin dapat diperoleh dari

orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, Orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari Pengadilan, bila orang-

orang tersebut. tidak ada atau tidak mungkin dimintai ijinnya.

Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun

1975 ditentukan bahwa ”Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian

ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan

perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat

membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang

berkepentingan.” Dari sudut pandang tersebut maka:

a. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 Kompilasi Hukum Islam),

Page 55: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

apabila:

1) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.

2) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang

mafqud.

3) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami

lain.

4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.

5) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali

yang tidak berhak.

6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

b. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:

1) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4

orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang

dalam iddah talak raj’i.

2) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li’an.

3) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali.

4) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda

dan susuan.

5) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isterinya.

Page 56: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Disamping kedua sebab batalnya perkawinan sebagaimana diuraikan

sebelumnya, masih terdapat satu sebab pembatalan perkawinan yaitu karena

adanya ancaman, penipuan atau salah sangka (Pasal 27 UU No. 1/1974). Dalam

konteks ini suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:

a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka

mengenai diri suami atau isterinya.

c. Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari

keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami

isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.

Uraian tentang batalnya perkawinan karena adanya ancaman, penipuan,

atau salah sangka mengacu pada perkawinan yang dapat dibatalkan. dalam hal

ini artinya perkawinan tersebut bisa dimohonkan untuk dibatalkan atau bisa

tidak dimohonkan untuk dibatalkan. Hal ini dapat dilihat dari aturan bahwa

yang bersangkutan langsung; dalam hal ini suami atau istri yang mengajukan

permohonan. Dengan demikian berarti jika tidak dimintakan permohonan

pembatalan, maka perkawinan tidak wajib untuk dibatalkan. Disamping itu

terdapat aturan yang menentukan bahwa jangka waktu permohonan ini (6 bulan

setelah ancaman terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya)

untuk dimohonkan pembatalannya. Jika hak permohonan pembatalan itu tidak

Page 57: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

digunakan dalam jangka waktu tersebut, maka pernikahan tetap dianggap sah

dan satu-satunya cara untuk pemutusan adalah melalui gugatan perceraian.

2. Pengajuan Pembatalan Perkawinan dan Pihak-pihak yang Mengajukan

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan

(Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di

dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat

tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari

pasangan pengantin tersebut.

Adapun proses pembatalan perkawinan adalah menyangkut hal-hal

mengenai tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dan proses

pemeriksaan pembatalan perkawinan di persidangan.

a. Tata cara Pengajuan Permohonan Pambatalan Perkawinan

Mengenai tata cara permohonan pembatalan perkawinan adalah

sebagai berikut :

1) Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan, yang daerah hukumnya

meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedu

suami-isteri, suami atau isteri. Dan pada permohonan tersebut antara lain

dilampirkan akta nikah serta foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP).

2) Permohonan disampaikan kepada Kepaniteraan Pengadilan, jadi

sekalipun permohonan ditujukan dan dialamatkan kepada Ketua

Pengadilan, tetapi penyampaiannya dimasukkan kepada Panitera

Pengadilan.

Page 58: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

3) Pemohon wajib lebih dahulu membayar ongkos perkara guna

mendapatkan nomor perkara, yang terdiri dari biaya-biaya:

a) pencatatan perkara tingkat I

b) panggilan

c) redaksi

d) materai

4) Kemudian berkas-berkas tersebut diperikasa oleh Ketua Panitera dan

selanjutnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama.

5) Permohonan pembatalan perkawinan diterima apabila telah jelas bagi

Pengadilan mengenai sebab-sebab diajukannya permohonan pembatalan

perkawinan tersebut.

b. Proses sebelum dan saat di Pengadilan

1) Proses sebelum persidangan diadakan :

a) setiap kali akan diadakan sidang petugas yang ditunjuk Ketua

Pengadilan Agama, memanggil pemohon untuk menghadiri sidang

tersebut, waktunya selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang

dibuka.

b) Ketua Pengadilan menunjuk hakim yang menangani perkara tersebut.

c) Ketua Pengadilan Agama menentukan hari sidang.

2) Proses di Persidangan :

a) pernyataan persidangan terbuka untuk umum.

b) pembacaan surat permohonan.

Page 59: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

c) Proses pemeriksaan mulai dari pemeriksaan suami-isteri, saksi-saksi

dan seterusnya.

d) sidang biasanya diadakan labih dari satu kali. yang prosesnya

merupakan lanjutan dari sidang terdahulu.

e) apabila bukti-bukti dan keterangan-keterangan dirasa sudah lengkap

lalu diadakan penjatuhan putusan oleh hakim. Sedang putusan hakim

mengenai pembatalan perkawinan antara lain menyatakan akta nikah

dari perkawinan yang dimintakan pambatalan tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum.

c. Pihak-pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada

pasal 23 diatur bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan

perkawinan adalah:

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

2) Suami atau istri;

3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4) Pejabat pengadilan.

Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari

suami atau isteri

2) Suami atau isteri

Page 60: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

3) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut

undang-undang

4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam

rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan

perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67

Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk

perkawinan anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan

identitasnya atau karena perkawinan anda terjadi karena adanya ancaman

atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah

perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup

bersama sebagai suami istri, maka hak anda untuk mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).

Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan

suami anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan anda. Kapanpun

anda dapat mengajukan pembatalannya.

d. Perbedaan antara perkawinan yang putus akibat pembatalan dan perceraian

Adapun perbedaan proses persidangan pembatalan perkawinan dengan

perceraian yaitu pada taraf perdamaian yang dilakukan setelah pembacaan

surat gugatan atau permohonan. Pada pembatalan perkawinan tidak dapat

diterapkan azas perdamaian ini. Karena tujuan dari permohonan pembatalan

perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan, jadi tidak ada taraf

Page 61: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

mendamaikan para pihak kalaupun ada perdamaian, hanya sepanjang

mengenai batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.

Mengenai daluwarsanya permohonan pembatalan perkawinan pada

dasarnya tidak ada jangka waktunya, jadi begitu diketahui bahwa

perkawinannya tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka

terhadap perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya ke

Pengadilan Agama.

Namun dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman

yang melanggar hukum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi

salah sangka mengenai diri suami atau isteri, maka dalam jangka waktu

enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu

menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami-isteri dan tidak

menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka

haknya itu gugur. Juga hak untuk membatalkan perkawinan oleh suami atau

isteri berdasarkan alasan perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai

Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, tanpa dihadiri oleh dua

orang saksi, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri

dan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan

harus diperbaharui supaya sah.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai

kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Page 62: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak

yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan

yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami anda. Dan berhak

atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun

1974).

Pembatalan perkawinan da1am Islam atau yang disebut dengan fasid,

dilakukan karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat

perkawinan yang telah ditentukan dalam hukum atu syari’at Islam. Adapun

akibat hukum pembatalan perkawinan menurut Islam yaitu:

a. Ada kewajiban iddah bagi istri bila memang telah terjadi persetubuhan.

b. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi anak dari orang tuanya

karena persetubuhan secara syubhat sama hukumnya dalam perkawinan

yang sah mengenai nasabnya.

c. Suami berhak meminta kembali mahar yang diberikan kepada isteri jika

pembatalan perkawinan terjadi sebelum suami menggaulinya, maka isterinya

kehilangan hak atas maharnya.

d. Seorang laki-laki yang telah akad nikah dengan seorang perempuan lalu

disenggamanya, yang kemudian karena sesuatu hal, perkawinannya secara

hukum dinyatakan batal, maka wajib laki-laki tadi membayar seluruh mahar

yang dijanjikannya.

Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan, maka perkawinan itu batal,

yang dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang

Page 63: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

tetap dan berlaku sejak saat, berlangsungnya perkawinan. Keputusan

Pengadilan mengenai pembatalan perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta

bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar perkawinan lain

yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk 1 dan 2 sepanjang mereka

memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 28

UU No. 1 Tahun 1974)

Sedang pasal 76 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa:

"Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara

anak dengan orang tua.”

Suatu perkawinan yang dibatalkan akan menimbulkan akibat-akibat,

hukum tertentu yaitu baik terhadap status suami-isteri, terhadap harta yang

diperoleh selama perkawinan maupun terhadap anak-anak yang diperoleh dari

perkawinan tersebut.

a. Terhadap Status Suami-Isteri

Dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut maka antara mereka

tidak terdapat perkawinan lagi, dan masing-masing pihak kembali kepada

keadaan semula, tidak ada tanggung jawab sebagai suami isteri. Dan

Page 64: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

perkawinannya dianggap tidak pernah terjadi yaitu sejak hakim menyatakan

akte perkawinan dari suami istari itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

Adapun terhadap isteri tetap ada masa iddah seperti halnya dengan

perceraian. Karena gunanya iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim

seorang perempuan sehingga tidak bercampur keturunan untuk mengetahui

si isteri hamil atau tidak. Dan masa iddah dalam pembatalan perkawinan itu,

yaitu :

1) Iddah bagi yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-

kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari.

2) Iddah bagi yang sedang hamil maka ditetapkan sampai melahirkan.

3) Apabila tidak pernah digauli maka tidak ada masa iddah.

b. Terhadap Status Anak-Anak.

Apabila dalam perkawinan tersebut telah dilahirkan anak-anak, maka

putusnya perkawinan akibat pembatalan perkawinan tidak berlaku surut

terhadap mereka. Dalam arti bahwa anak-anak tersebut tetap anak sah dari

orang tuanya dan sebagai ahli waris dari orang tuanya.

Adapun kewajiban pemberian nafkah untuk anak dibebankan kepada

kepada sang bapak kecuali sang bapak tidak mampu, maka kewajiban ini

dibebankan kepada sang ibu atau dilaksanakan bersama-sama antara ibu dan

bapak sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Sedang pemeliharaan anak yang masih di bawah umur, diserahkan

kepada ibu karena ibulah yang berhak melakukan hadlanah (pemeliharaan)

Page 65: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

dan menyusui, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya.

Juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas ini, yang

tidak dipunyai oleh bapak. Ibu lebih mepunyai waktu untuk mengasuh

anaknya daripada bapak.

Adapun bagi seorang anak yang sudah dapat memilih untuk ikut

ayahnya atau ibunya, maka pilihan untuk ikut ibunya atau bapaknya

diserahkan kepada anak itu sendiri. Dan kekuasaan terhadap anak tersebut,

dapat dicabut atas permintaan orang tua yang lain atau keluarga anak itu

yang lain atau pejabat, yang berwenang, dengan alasan kalau orang tua

tersebut sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali.

c. Terhadap Status Harta Bersama

Dalam Undang-undang Perkawinan memberikan ketentuan bahwa

harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Kalau suami istri masing-masing membawa harta ke dalam perkawinannya

atau dalam perkawinannya itu masing-masing memperoleh harta karena

hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap masing-masing

menguasainya, kecuali kalau ditentukan untuk dijadikan harta bersama.

Mengenai status harta bersama apabila terjadi pembatalan perkawinan

diatur berdasarkan hukum adatnya masing-masing pihak, khususnya dalam

hukum Islam yang lebih diutamakan adanya keikhlasan dari kedua belah

pihak. Dan bisa juga dibagi berdasarkan modal dari masing-masing pihak,

yang dapat dianggap sebagai kerja sama.

Page 66: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis sampaikan dalam bab-bab terdahulu, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut ;

1. Apabila perkawinan tidak memenuhi rukun dan syarat untuk melangsungkan

perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dilakukan pembatalannya.

Mengenai tata cara pembatalan perkawinan, pada dasarnya tata caranya sama

dengan tata cara melakukan perceraian, hanya saja pada proses persidangan

pembatalan perkawinan, azas perdamaian yang diterapkan pada perceraian

tidak dapat diterapkan pada pembatalan perkawinan karena tujuan pembatalan

perkawinan adalah untuk membatalkan perkawinan tersebut. Jadi tidak ada taraf

mendamaikan para pihak, kalaupun ada perdamaian hanya sepanjang mengenai

batalnya perkawinan itu dilakukan secara damai.

2. Akibat hukum yang diakibatkan oleh pembatalan perkawinan yaitu dapat

berakibat pada status suami isteri, dimana dengan adanya pembatalan

perkawinan, maka antara suami isteri tidak terdapat lagi perkawinan dan

masing-masing pihak kembali pada keadaan semula. Sedangkan akibat bagi

anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak berlaku surut,

jadi anak-anak tetap anak sah dari orang tuanya. Dan mengenai harta bersama,

maka dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, harta dibagi menurut

57

Page 67: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

hukum adatnya masing-masing, khususnya dalam hukum Islam lebih

dipentingkan adanya keikhlasan dari kedua belah pihak.

B. Saran-saran

Atas dasar kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai

alternatif pemecahan masalah, yaitu :

1. Karena Perundang-undangan pada dasarnya telah menyerahkan sebagian

masalah perkawinan pada ajaran agama Islam, maka bagi umat Islam, agama

harus lebih dipegang kokoh sehingga betul-betul dapat dihayati dan diamalkan

dalam kehidupan sehari-hari.

2. Di dalam menerapkan Undang-undang nomor 1 tahun l974 yang mengatur

tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, maka kepala desa yang

merupakan instansi bawah dari aparat pemerintah sebagai pengawas langsung

dalam pelaksanaan perkawinan, maka mereka harus lebih memahami isi dan

kegunaan Undang-undang prrkawinan, serta lehih cermat dan teliti dalam

melaksanakan tugasnya yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan.

3. Sebagai Warga Negara Indonesia yang merupakan negara berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu 1ebih ditingkatkan lagi

kesadaran akan hukum melalui penyuluhan-penyuluhan hukum terutama daerah

pedesaan, khususnya yang berhubungan dengan masalah perkawinan.

Page 68: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

DAFTAR PUSTAKA

Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Dian Rakyat.

Harahap, M. Yahya. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pustaka Kartini.

Ichsan, Achmad. 1986. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. 1993. Jakarta: Yayasan. Al-Hikmah.

M. Thalib. 1993. Perkawinan Menurut Islam. Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas, 1993.

Martiman Prodjohamidjodjo., 2002. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

Mohd. Idris Ramulyo., 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta.

Mukhtar Kamal. 1987. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Prodjodikoro, Wiryono. 1984. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

R. Subekti., 1993. Pokok Pokok Hukum Perdata, Irtermasa, Jakarta.

Ramulyo, M Idris. 1986. Tinjauan Beberapa Pasal. Undang-undang Perkawinan Is1am. Jakarta: Penerbit: In-Hillco.

Rasjid, H.Sulaiman. 1995. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.

Sayuti Thalib., 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, UI-Press, Jakarta.

Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty.

Page 69: Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya

Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. 2005. Hukum Perdata; Suatu Pengantar. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta.

Sudargo Gautama. 1995. Hukum Perdata Internasional Indonesia. B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni.

Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Zuhdi, Maszfuk. 1993. Studi Islam Jilid III: Muammalah. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers.


Top Related