Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari
terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
Oleh:
Anggrayni Eka Putri Tresna Bunga
712013050
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
vi
KATA PENGANTAR
Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena
melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang
begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan
penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Ayah, Ibu, dan Reyksi,
untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu menjadi penyemangat
terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.
Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing,
Bapak Dr. David Samiyono dan Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, atas bimbingan
dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir ini dengan baik.
Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari yang sangat ramah dan membantu penulis dalam mencari data untuk
menyelesaikan Tugas Akhir ini. Kiranya Tuhan selalu menyertai kehidupan iman
bapak dan ibu sekalian.
Keempat, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Bapak Dr.
Tony Tampake, yang telah menjadi orang tua yang selalu mengarahkan,
membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah perantauan selama masa
perkuliahan ini.
Kelima, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah
dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan.
Terkhusus untuk Bapak Prof. Pdt. John A. Titaley dan Pdt. Yusak B. Setyawan,
Ph.D, yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.
Keenam, terima kasih untuk seluruh staff tata usaha Fakultas Teologi
Universitas Satya Wacana (Ibu Budi, Mas Adi, Mas Eko, Mbak Liana) yang
sangat membantu penulis dalam mengurus administrasi.
vii
Ketujuh, salam penuh cinta kepada Vocal Group Lentera Kasih yang telah
menjadi keluarga baru dalam mengembangkan potensi bermusik dan membuat
masa-masa perkuliahan penulis menjadi lebih berwarna.
Kedelapan, salam penuh cinta untuk Neny Woza dan Beatrix yang selalu
menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Kesembilan, salam penuh kasih untuk Edgar Funay yang selalu menemani,
memberikan semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini. Kiranya Tuhan memberkati setiap langkah perjalanan ini.
Kesepuluh, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh
karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya
berkat Tuhan selalu melimpah.
Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak
yang membutuhkan. Tuhan memberkati.
Salatiga, 12 September 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Judul ......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii
Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ........................................................................ v
Kata Pengantar ....................................................................................................... vi-vii
Daftar Isi .................................................................................................................. viii
Motto ........................................................................................................................ ix
Abstrak ..................................................................................................................... x
I. Pendahuluan
Latar Belakang .................................................................................................... 1-4
Metode Penelitian .............................................................................................. 4-5
Sistematika Penulisan ........................................................................................ 5-6
II. Musik Tradisional sebagai Kebudayaan
Kebudayaan ........................................................................................................ 6-9
Unsur-unsur Kebudayaan ................................................................................... 9
Fungsi Kebudayaan ............................................................................................ 10-11
Gamelan sebagai Musik Tradisional .................................................................. 11-13
Penggunaan Musik di Gereja ............................................................................. 13-15
III. Gereja Kristen Protestan di Bali – di Blimbingsari
Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari ...................................... 15-18
Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari .......................................... 18-22
Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah ................ 22-25
IV. Gamelan dalam Tradisi Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel”
Blimbingsari ...................................................................................................... 25-35
V. Penutup
Kesimpulan ........................................................................................................ 35-36
Saran ................................................................................................................... 36-37
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 38-39
ix
MOTTO
DREAM
BELIEVE
SEE IT
AND MAKE IT HAPPEN
x
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman
jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik
pengiring ibadah. Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali
yang seringkali digunakan dalam upacara sakral umat Hindu. Oleh karena itu,
ketika gamelan digunakan di dalam ibadah Kristen dengan tujuan kontekstualisasi
gereja dengan budaya setempat, terjadi kontroversi di kalangan jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Data diambil menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti
observasi dan wawancara. Data yang telah didapat kemudian dianalisa
menggunakan teori kebudayaan dan musik tradisional. Pada akhirnya penulis
menemukan bahwa gamelan merupakan salah satu sarana bagi GKPB Pniel
Blimbingsari untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Melalui
gamelan sebagai budaya Bali jemaat ingin mengungkapkan bahwa meskipun
beragama Kristen, mereka bukanlah persekutuan yang eksklusif dan juga
merupakan orang Bali yang menghargai budaya Bali. Alasan beberapa jemaat
tidak setuju dengan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah
karena sebagian jemaat yang dulunya berlatarbelakang agama Hindu beranggapan
bahwa berani berkomitmen mengikut Kristus berarti harus meninggalkan
kehidupan yang lama dan hidup baru bersama Kristus, termasuk meninggalkan
budaya umat Hindu. Maka dari itu, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan
pendekatan dengan cara menggunakan gamelan secara berkala di ibadah-ibadah
tertentu serta melakukan perkaderan terhadap generasi muda, sehingga jemaat
semakin lama mulai menyadari bahwa orang Kristen juga harus bertumbuh
bersama dengan masyarakat.
Kata kunci: gamelan, kebudayaan, kontekstualisasi.
1
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Musik adalah ekspresi seni yang berpangkal pada tubuh. Musik terdiri atas
suatu peredaran atau feedback atau arus balik dari menyembunyikan,
mendengarkan, dan menyembunyikan kembali. Membuat musik sama artinya
dengan berdialog dengan tubuh. Setiap manusia tentunya akan sadar, jika mereka
sedang mempelajari suatu aliran musik tertentu, pastilah gerakan yang dilakukan
saat itu bukanlah gerakan tubuhnya sehari-hari.1
Musik berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ekspresi emosional,
kenikmatan estetis, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, respon fisik,
memperkuat norma-norma sosial, pengesahan institusi-institusi sosial dan ritual,
sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan, dan sumbangan pada
integritas masyarakat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa musik sangat
berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai sarana untuk mengekspresikan
perasaan manusia, baik itu ekspresi sedih, senang, kecewa, bahagia, maka
penyajian musik yang tepat dapat menyentuh emosional manusia.2
Melihat kenyataan bahwa musik tidak dapat lepas dari kehidupan manusia,
maka tidak jarang musik juga dilibatkan dalam suatu kegiatan ibadah, dengan
kata lain, pada saat ini musik merupakan bagian integral dalam kegiatan ibadah
yang dilakukan oleh manusia, bahkan dalam tata ibadah gereja saat ini musik
memainkan peranan yang sangat penting karena didalamnya musik juga
merupakan suatu sarana yang dipakai untuk dapat mengekspresikan iman kepada
Tuhan.
Dalam konteks budaya, musik dapat memiliki ciri khas, corak, dan
warnanya tersendiri, tergantung kebutuhan sejarah dan lingkungan di mana
musik itu hidup. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa musik
itu bersifat kontekstual. Musik bukan saja merupakan suatu hal yang bersifat
universal tetapi juga bersifat lokal karena terkait dengan konteksnya.3
1 Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000), 42-43. 2 Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Northwestern: University Press, 1964),
222-226. 3 Aristarchus Sukarto, “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan Teologis
dan Kultura,” Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, edisi Musik Gerejawi, No. 48 (1994): 119.
2
Demikian halnya dengan musik gereja, di mana pada saat ini beberapa gereja
telah melakukan usaha kontekstualisasi musik gereja dengan budaya atau
lingkungan setempat, meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini
terjadi karena pada kenyataannya banyak gereja telah merasa nyaman
menggunakan musik kontemporer sebagai musik pengiring ibadahnya, yang
menyebabkan situasi di mana gereja dianggap kurang mengenal dan tidak mau
berbaur dengan budaya yang ada. Ironisnya, ketika ada usaha dari gereja untuk
mengkontekstualkan diri dengan budaya yang ada, contohnya dengan
menggunakan musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah, banyak anggota
jemaat yang pada akhirnya kurang bisa menikmati dan menghayati ibadah,
dikarenakan tidak terbiasa dengan iringan musik tradisional yang digunakan.
Padahal, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa
kontekstualisasi musik gereja itu dilakukan sebagai upaya mengkontekstualkan
gereja itu sendiri, supaya gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi
lingkungannya.
Salah satu contoh usaha mengkontekstualisasikan musik tradisional dalam
ibadah adalah dengan menggunakan iringan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah. Kontekstualisasi musik tradisional dengan menggunakan gamelan ini
sebelumnya telah diteliti oleh Kurniawan, salah seorang mahasiswa Teologi,
Universitas Kristen Satya Wacana, yang meneliti penggunaan gamelan dalam
konteks GKJ (Gereja Kristen Jawa).
Usaha kontekstualisasi musik gereja ini juga dilakukan oleh jemaat GKPB
(Gereja Kristen Protestan di Bali), yang terletak di sebuah desa kecil bernama
Blimbingsari, di bagian barat Pulau Bali. Menjadi gereja yang berdiri ditengah
mayoritas masyarakat dan kebudayaan Hindu, GKPB Pniel Blimbingsari juga
memperlihatkan usahanya dalam mengkontekstualkan diri dengan kebudayaan
setempat. Hal ini menjadi nyata ketika dalam kegiatan ibadahnya, gereja ini
menggunakan alat musik tradisional, yaitu gamelan sebagai sarana pengiring
ibadah.
Dalam tradisi Bali, gamelan biasanya digunakan untuk mengiringi orang
yang sedang menari, digunakan untuk konser gamelan, sebagai hiburan, sebagai
sarana pendidikan moral, sebagai pengiring drama gong Bali dan sebagai sarana
3
spiritual keagamaan.4
Dalam seni ritual keagamaan, musik gamelan adalah bagian yang integral
demi menciptakan aura mistis dalam ritual tersebut. Secara garis besar, ritual-
ritual ini memiliki ciri-ciri khas tersendiri, yaitu diperlukan tempat pertunjukkan
yang terpilih yang terkadang dianggap sakral. Diperlukan pemilihan hari serta
saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral. Diperlukan pemain yang
terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri
secara spiritual. Diperlukan seperangkat sesaji yang terkadang sangat banyak
jenis dan macamnya. Terakhir, lebih mementingkan penampilan secara estetis
dan memerlukan busana yang khas.5
Fungsi gamelan yang terakhir, yaitu sebagai sarana seni ritual keagamaan
inilah yang masih sangat kental terlihat di lingkungan GKPB, khususnya di
GKPB Pniel Blimbingsari, yaitu ibadah dilaksanakan dengan dipakainya gamelan
sebagai musik pengiring jalannya ibadah, tetapi disesuaikan dengan konteks
kekristenan.
Dalam perkembangannya, GKPB Pniel Blimbingsari berusaha untuk tetap
mempertahankan budaya, agar budaya itu tidak lenyap diterpa arus modernisasi
yang ada karena budaya juga merupakan suatu hal yang sangat berharga dan
mencerminkan identitasnya sebagai umat Kristiani yang bersuku Bali. Upaya
untuk tetap menjaga budaya Bali khususnya mempertahankan dan tetap
menggunakan gamelan ini terlihat dari banyaknya anggota jemaat, mulai dari
para generasi tua sampai anak-anak Sekolah Minggu, yang bisa memainkan
gamelan tersebut. Bagi mereka yang menikmati jenis musik gamelan ini merasa
bahwa ketika gamelan digunakan untuk mengiringi ibadah, maka hal itu mampu
memberikan nuansa baru pada saat ibadah berlangsung.
Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, upaya
kontekstualisasi dalam hal musik gereja bukanlah merupakan hal yang mudah
untuk dilakukan. Permasalahan mulai muncul ketika terjadi pro dan kontra
diantara jemaat, dikarenakan tidak semua anggota jemaat bisa menerima jika
jalannya ibadah diiringi oleh musik tradisional, yaitu gamelan itu sendiri.
4 I Wayan Senen, Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali (Yogyakarta: BP ISI,
2005), 96. 5 I Nyoman Sukerna, Gamelan Jegog Bali (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2003), 36.
4
Fenomena ini tampak karena ada pengakuan dari beberapa jemaat di GKPB Pniel
Blimbingsari yang lebih menyukai ibadah jika diiringi oleh musik populer yang
bersifat kontemporer, yaitu musik yang muncul pada zaman ini, yang menjadi
populer di kalangan masyarakat umum dan mudah untuk diterima serta dihayati.
Beberapa jemaat ini menganggap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah terkesan mistik karena gamelan sering digunakan dalam upacara sakral
agama Hindu.6
Perbedaan pendapat ini jelas menjadi sebuah permasalahan yang serius di
dalam gereja, karena pada akhirnya akan ada jemaat yang kurang bisa bahkan
tidak bisa menghayati ibadah hanya karena merasa tidak nyaman dengan alunan
musik tradisional yang digunakan, sehingga kegiatan ibadah tidak membawa
pertumbuhan iman bagi jemaat. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian
sehubungan dengan latar belakang ini adalah, “Bagaimana pemahaman jemaat
GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik
pengiring ibadah?” dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan
gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian kali ini, penulis melakukan jenis penelitian lapangan
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa
penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang
ada untuk kemudian di analisa menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
metode observasi, dan metode wawancara.
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca
indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.7 Dalam penelitian
yang dimaksud pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja melainkan juga
perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, memaknai dan akhirnya mencatat.
6 Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Jemaat sekaligus Perkebel (Kepala
Desa) Blimbingsari, 28 Agustus 2016, 12.00 WITA. 7 Burhan Bungsin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 115.
5
Jadi, dalam metode observasi alat yang digunakan dapat berupa pedoman
observasi, catatan, check list, maupun alat-alat perekam lainnya.8 Sehubungan
dengan itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik pengumpulan
data dalam bentuk observasi langsung ke tempat penelitian untuk mengetahui
secara langsung situasi dan kondisi di tempat penelitian.
Wawancara adalah proses tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan
oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan. Namun perlu diingat bahwa wawancara bukan
sekedar upaya tanya jawab untuk memperoleh informasi saja melainkan juga
untuk memperoleh kesan langsung dari responden, memancing jawaban
responden, menilai kebenaran jawaban yang diberikan.9 Penulis juga
menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui pemahaman jemaat terhadap
permasalahan yang akan dianalisa di dalam penelitian ini. Adapun informan
yang akan diwawancarai adalah pendeta, majelis, dan beberapa warga dewasa
(warga SIDI) di GKPB Pniel Blimbingsari. Alasan penulis memilih GKPB Pniel
Blimbingsari sebagai lokasi penelitian adalah karena gereja ini merupakan salah
satu gereja yang masih menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
Iringan gamelan biasanya digunakan dalam prosesi ibadah Minggu di minggu I,
di mana ibadah tersebut menggunakan bahasa daerah, bahasa Bali. Selain itu,
terdapat juga kontroversi karena berbagai alasan diantara jemaat akibat
penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.
3. Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam 5 bab, yakni sebagai berikut:
Bagian satu adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian
dua adalah landasan teori tentang musik tradisional dalam ibadah yang meliputi
pemahaman tentang gamelan dan peran gamelan dalam ibadah. Selain itu akan
disajikan juga teori tentang kebudayaan. Bagian tiga adalah temuan hasil
penelitian di lapangan yang meliputi deskripsi dan pemahaman jemaat. Bagian
8 B. Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), 143. 9 Sandjaja dan Heriyanto, Panduan Penelitian, 147.
6
empat adalah pembahasan dan analisa hasil penelitian di lapangan dengan teori
kebudayaan dan musik tradisional. Bagian kelima adalah penutup yang meliputi
kesimpulan berupa temuan yang di dapat melalui pengolahan data hasil
penelitian dan saran kontribusi untuk penelitian selanjutnya.
II. MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI KEBUDAYAAN
1. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan fenomena yang menyangkut keseharian dari orang-
orang yang menetap disuatu tempat. Ada banyak ahli dan teori yang mencoba
mendeskripsikan apa itu kebudayaan. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.10
Hal itu berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya
sedikit dari tindakan manusia dalam rangka kehidupan manusia yang tidak perlu
dibiasakan dengan belajar.11
Setiap jejak manusia dapat dijadikan kebudayaan.
Jika lebih dikembangkan lagi seluruh ide, pemikiran yang timbul dari pemikiran
manusia dapat menjadi karya dalam kehidupan ini dan dapat menunjuang
kehidupan yang lebih baik pada manusia itu sendiri.12
Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsuk kebudayaan
dikarenakan berbagai tindakan, baik yang menghasilkan suatu karya baru atau
menggunakan karya yang lama.
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu, kebudayaan
dapat diartikan sebagai, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal.” Ada pendapat
lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-
itu.13
Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan wujud
dari setiap rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola dan dijadikan
sebagai sebuah identitas dalam kelompok-kelompok tertentu. Manusia dan
10
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 193. 11
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 194. 12
Ridayani Simanjuntak, “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas,” dalam
Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal, ed.
Bungsran Antonius Simanjuntak (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 168. 13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 195.
7
kebudayaan itu juga dapat dikatakan saling terkait satu sama lain. Tanpa manusia,
kebudayaan itu tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan
terlihat seperti mati.
J.J. Honigmann membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu ideas,
activities, dan artifacts. Ketiga gejala kebudayaan ini selaras dengan pendirian
Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan. Wujud
pertama yang selaras dengan ideas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Wujud pertama juga sering dikatakan sebagai wujud ideal dari
kebudayaan. Dalam hal yang pertama ingin menjelaskan bahwa ide maupun
gagasan itu tidak dapat dilihat maupun diraba, namun harus diaplikasikan dan
dituangkan dalam tulisan-tulisan yang berkualitas dan dijadikan buku-buku yang
bermanfaat bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas. Ide-ide dan
gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan membentuk suatu sistem budaya atau
cultural system, yang pada saat ini sering disebut dengan adat istiadat.14
Manusia merupakan homo socius atau makhluk yang selalu berkawan. Pola
hidup demikian dapat membentuk sebuah relasi sosial yang menjadikan manusia
hidup secara berkelompok.15
Akan tetapi, nyatanya pola hidup berkelompok tidak
dapat sepenuhnya menjamin bahwa kehidupan manusia akan berjalan damai tanpa
adanya kekacauan. Hal ini dikarenakan meskipun manusia merupakan homo
socius, disatu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional, penuh
perhitungan, berpusat pada diri sendiri (selfish), dan individualis.16
Sifat seperti
ini seringkali menjadikan manusia sebagai makhluk yang selalu ingin bersaing
dalam hal apapun dan pada akhirnya menjadi penyebab kekacauan di dalam
sebuah kelompok masyarakat. Maka dari itu, diperlukan sebuah sistem, atau
norma-norma, atau peraturan untuk mengatur pola hidup masyarakat yang pada
saat ini tertuang dalam adat istiadat. Oleh karena itu, di dalam perbedaan
sekalipun adat istiadat yang terbentuk dari ide-ide dan gagasan-gagasan, yang
telah disepakati bersama di dalam masyarakat pada akhirnya akan mempersatukan
14
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 200-201. 15
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 72. 16
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2013), 54.
8
segala perbedaan yang ada. Kesatuan ini pada akhirnya akan membentuk rasa
aman dan damai yang sudah seharusnya dilestarikan sebagai media pembelajaran
bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas.
Wujud kedua adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini juga
disebut dengan sistem sosial atau social system. Sistem sosial ini terdiri atas
aktivitas-aktivitas manusia seperti berinteraksi, bersosialisasi, serta bergaul
dengan manusia yang lain, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan nilai-nilai
yang telah disepakati dan adat tata kelakukan. Aktivitas manusia ini tidak abstrak,
tetapi konkret, dapat dilihat dengan cara difoto, didokumentasikan, diobservasi.17
Proses terbentuknya suatu masyarakat adalah apabila ada sekelompok orang yang
bermukim disatu wilayah, yang hidup bersama dan mendukung nilai-nilai, dan
cara berlaku atau kebudayaan yang dimiliki bersama dalam hidup kelompok
tersebut. Manusia yang hidup berkelompok atau masyarakat ini hidup bersama
dengan menganut nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman bagi
masyarakat bersangkutan, yang diabstraksikan dan dinamakan kebudayaan. Hal
ini menandakan bahwa, masyarakat yaitu orang-orang yang hidup berkelompok,
tidak pernah terpisah dari nilai-nilainya.18
Nilai-nilai kebudayaan inilah yang pada
akhirnya membentuk suatu sistem sosial di dalam masyarakat. Sistem sosial inilah
yang menjadi pedoman agar manusia bisa hidup berdampingan satu sama lain,
karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan relasi
dengan sesamanya.
Wujud kebudayaan ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia. Wujud ketiga ini disebut juga sebagai kebudayaan fisik dan tidak
memerlukan banyak penjelasan, karena berupa keseluruhan dari hasil fisik dan
aktivitas, perbuatan, dan karya manusia itu sendiri.19
Kebudayaan fisik ini sangat
mudah dijumpai disekitar kita, dalam rupa benda-benda yang memperlengkapi
aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu benda hasil karya manusia yang
merupakan wujud fisik dari kebudayaan adalah alat-alat musik, misalnya gamelan.
17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201-202. 18
T. O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016), xviii-xix. 19
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202.
9
Dalam kebudayaan Bali, gamelan merupakan wujud fisik yang digunakan sebagai
musik pengiring berbagai macam kegiatan, terutama sebagai sarana spiritual
untuk membangun suasana ibadah sehingga orang-orang dapat lebih menghayati
jalannya ibadah tersebut.
Ketiga wujud kebudayaan yang terurai diatas, dalam kehidupan manusia
berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat dapat
mengatur dan memberikan arah kepada tindakan aktivitas manusia sehingga
menghasilkan kebudayaan fisik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia
itu sendiri. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang lama-kelamaan semakin menjauhkan manusia dari lingkungan
alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir manusia.20
2. Unsur-unsur Kebudayaan
Keseluruhan tindakan masyarakat luas yang berpola itu dapat diperinci ke
dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan hal tersebut suatu kebudayaan
yang luas itu pun dapat pula diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. Ada
tujuh unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemui pada semua bangsa di dunia ini.
Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan kesenian.21
Ketujuh unsur-unsur ini saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. Misalnya saja dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sarana penyalur
kepercayaan, nilai, estetika, dan norma, termasuk seni dan religi, bahkan unsur-
unsur lain pun dapat melebur di dalamnya. Keterkaitan ketujuh unsur-unsur ini
dapat menjadi suatu tatanan yang mengatur pola hidup masyarakat yang
multikultur.
3. Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan
masyarakat. Dikatakan demikian karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat
sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber dari pada
masyarakat itu sendiri, meskipun seringkali hasil dari kebudayaan itu juga terbatas
20
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202. 21
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 217-218.
10
dalam memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu, secara fungsional,
keberadaan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam, di mana
hasil karya dari manusia, menimbulkan teknologi atau kebudayaan fisik yang
mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap
lingkungan alamnya.22
Pemanfaatan kebudayaan yang baik dapat menjadikan
manusia lebih bisa untuk menghadapi tantangan-tantangan alam di sekitarnya.
Kedua, fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia.
Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan disebut sebagai
suatu struktur normatif atau design for living, yaitu garis-garis atau petunjuk-
petunjuk dalam hidup. Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang
perilaku mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.23
Garis-garis
pokok atau petunjuk hidup ini diwujudkan dalam suatu sistem budaya atau adat
istiadat yang telah disepakati bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Nilai-nilai
yang tertuang dalam adat istiadat inilah yang menjadi pedoman untuk mengatur
hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat.
Ketiga, fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia. Apabila
manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam,
dan juga jikalau manusia telah mampu hidup dengan manusia lain dalam suasana
damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu dalam
menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. Dalam menyatakan
perasaan dan keinginannya, manusia mewujudkannya dalam suatu karya. Salah
satu contohnya adalah kesenian yang dapat berwujud seni suara, seni musik, seni
tari, seni lukis, seni ukir, dan lain sebagainya.24
Gamelan adalah salah satu hasil
karya manusia yang berwujud karya seni musik, dengan kata lain gamelan
merupakan wujud dari fungsi kebudayaan untuk menyatakan perasaan manusia
melalui sebuah karya seni.
Setiap daerah dan setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang
berberbeda-beda. Maka dari itu, nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri juga
berbeda disatu tempat dengan tempat yang lainnya, tergantung dimana
22
Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya (Salatiga:Widya Sari Press, 2005), 41-42. 23
Widiarto, Pengantar Antropologi, 42-46. 24
Widiarto, Pengantar Antropologi, 46-47.
11
kebudayaan itu tumbuh. Mentaati kebudayaan, melestarikan kebudayaan, dan
pemanfaatan kebudayaan dengan cara bijak sudah seharusnya dilakukan oleh
kelompok masyarakat, sehingga kebudayaan tersebut dapat menjadi sarana untuk
mengatur kehidupan masyarakat menuju kehidupannya yang damai. Gamelan
merupakan salah satu kebudayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu,
misalnya masyarakat Bali
4. Gamelan sebagai Musik Tradisional
Musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur
dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa
gagasan, sifat, dan warna bunyi. Dalam penyajiannya, musik seringkali juga
berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak, ataupun warna.25
Hal ini
menandakan bahwa musik mempunyai peranan di dalam aktivitas manusia,
seperti dalam pekerjaan, dalam bidang tari, atau dalam bidang permainan. Musik,
seperti juga bahasa, merupakan aktivitas manusia yang menggunakan elemen
dasar suara. Perbedaannya terletak pada tujuan dan pengaturannya.
Di Indonesia, musik berkembang sesuai dengan tradisi yang ada di
masyarakat tertentu dan diwariskan secara turun-temurun. Musik tersebut dikenal
dengan musik tradisional. Musik tradisional berasal dari luapan makna emosi
masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk,
sejarah dan ciri khas daerah tertentu.26
Musik tradisional mempunyai ciri dan sifat
yang dapat membedakan dari mana musik tradisional itu berasal.27
Oleh karena
itu, dapat dikatakan, bahwa musik tradisional dalam banyak hal digunakan untuk
keperluan hidup suatu komunitas yang kemudian menyebabkan musik tradisional
identik dengan identitas suatu daerah.
Secara umum musik tradisional memiliki beberapa ciri-ciri: 1) Ide musik
tidak disampaikan melalui tulisan berupa notasi atau partitur, tetapi secara lisan
oleh penciptanya. 2) Diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara lisan, sehingga tetap dikenal oleh masyarakatnya. 3)
25
M. Soeharto, Kamus Musik (Jakarta: Gramedia, 1992), 86. 26
Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in The Modern World (Bloomington:
Indiana University Press, 1988), 16. 27
Sila Widhyatama, Sejarah Musik dan Apresiasi Seni (Jakarta: Balai Pustaka, 2012), 35-
36.
12
Syair lagu berbahasa daerah. Selain itu, alunan melodi dan iramanya juga
menunjukkan ciri khas kedaerahan. 4) Iring-iringan lagu menggunakan alat musik
khas daerah.28
Kesenian tradisional pada umumnya tidak diketahui pasti kapan
dan siapa penciptanya. Hal ini dikarenakan kesenian tradisional atau kesenian
rakyat bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi secara anonim bersama
kreatifitas masyarakat yang mendukungnya.29
Sampai saat ini nyatanya musik
tradisional dapat terus hidup di dalam hati masyarakat karena secara tidak
langsung tradisi yang diwariskan secaea turun-temurun tersebut lama-kelaman
menjadi sebuah ciri khas dan jati diri daerah di mana musik tradisional itu
berkembang, dengan kata lain, suatu musik tradisional di dalamnya terdapat
gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik suatu jenis
masyarakat.
Dalam perkembangannya musik tradisional juga dibagi atas musik
instrumental dan musik vokal. Musik instrumental bersumber dari alat-alat musik
yang digunakan untuk menghasilkan bunyi. Musik instrumental dibedakan
berdasarkan cara penggunaannya, alat musik tiup (seruling, terompet, flute, dan
lainnya), alat musik tabuh (gamelan, tifa, rebana, drum, kolintang, dan lainnya),
alat musik petik (gitar, kecapi, harpa, dan lainnya). Sementara itu, musik vokal
bersumber pada suara manusia.30
Dalam kenyataannya kedua jenis musik ini
seringkali digunakan secara bersama-sama.
Dibeberapa wilayah di Indonesia perkembangan seni tradisional sangat dijaga
kelestariannya, bahkan dalam berbagai kegiatan kedaerahan seni musik tradisional
menjadi sarana pilihan, baik itu untuk hiburan ataupun sarana spiritual.
Gamelan, merupakan salah satu alat musik tradisional yang bersifat
instrumental, yang seringkali digunakan dalam setiap kegiatan kedaerahan,
khususnya Jawa dan Bali. Gamelan adalah suatu bentuk pernyataan musikal yang
bersifat majemuk dan mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi serta maju.31
Gamelan berasal dari kata “gamel”, yang dalam bahasa Jawa dan Bali berarti
28
Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro, Tinjauan Etnomusikologi:
Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), 19. 29
Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta:Sinar Harapan, 1981), 60. 30
M. Th. Mawene, Gereja yang Bernyanyi (Yogyakarta: Andi, 2004), 1-2. 31
Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985) 22.
13
“pukul”.32
Jadi, gamelan merupakan suatu aktifitas menabuh yang dilakukan oleh
beberapa orang, yang kemudian menjadi nama suatu alat musik ansambel.
Berbeda dari masyarakat Jawa, masyarakat Bali menyebut gamelan dengan
gambelan. Terdapat kurang lebih 26 perangkat gamelan di Bali, di mana
perangkat satu dengan yang lain memiliki fungsi, ricikan (tangguhan), pendukung,
maupun repertoar gending (nyanyian) yang berbeda-beda. Gamelan Bali biasanya
lebih menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong.33
Sama halnya
dengan kebudayaan musik ditempat lain, gamelan Bali juga memiliki sejarah yang
panjang hingga perkembangannya sampai saat ini. Gamelan pn memiliki makna
yang mendalam bagi masyarakat Bali, karena tidak hanya digunakan sebagai
sarana hiburan semata, melainkan juga sebagai sarana spiritual untuk mengiringi
ritus-ritus keagamaan.
5. Penggunaan Musik di Gereja
Sejak awal hadirnya sejarah musik, musik memang dipergunakan sebagai
sarana pemujaan karena musik dianggap berasal dari dewa-dewi.34
Seiring
dengan berjalannya waktu, lahirnya kekristenan dan musik pun menjadi bagian
yang integral dalam kehidupan kekristenan. Istilah musik liturgi atau musik
gereja atau musica sacra digunakan sebagai penggambaran terhadap
berkembangnya musik dalam suasana kekristenan, serta menjadi salah satu
unsur dan bentuk ungkapan liturgi gereja. Oleh karena itu, istilah musik gereja
sering dipahami sebagai keseluruhan jenis musik yang digunakan dalam liturgi,
sedangkan nyanyian liturgi menunjuk pada hasil atau apa yang dinyanyikan
dalam rangka musik gereja.35
Liturgi yang merupakan perayaan iman gereja senantiasa tidak dapat lepas
dari unsur musik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang
sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi. Dalam
Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid menyanyikan kidung
32
Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 158. 33
Pande Made Sukerta, Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk (Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002), 1. 34
David Samiyono, Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja (Salatiga:
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006), ii. 35
E. Martasudjita dan J. Kristanto, Panduan Memilih Nyanyian Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 14.
14
Hallel (Mat 26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga bernyanyi dalam ibadat
mereka. Maka penulis surat Efesus dan Kolose berkata, “… dan berkata-katalah
seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.
Bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol
:16).36
Sejarah gereja selanjutnya mencatat bahwa gereja tidak pernah lepas dari
musik. Nyanyian Gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada
abad 8 merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari
ini.37
Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Dikarenakan
belum ada notasi, maka sampai dengan abad ke-10 musik gereja sama dengan
musik Gregorian, yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Musik Gregorian
sering disebut sebagai musik monofon, yaitu suatu jenis musik yang terdiri dari
suatu suara saja, tanpa iringan apapun.38
Oleh karena itu, tidak heran jika pada
zaman ini musik Gregorian yang seharusnya dibawakan dengan satu suara,
dinyanyikan dengan beberapa suara oleh paduan suara dan terkadang teks asli dari
Kitab Suci juga diganti atau disisipi dengan naskah tambahan.39
Tidak hanya musik nyanyian yang mampu berkembang dan bertahan hingga
saat ini. Alat-alat musik yang digunakan pun juga terus berkembang dalam sejarah
musik. Meskipun pada mulanya gereja sangat berhati-hati dengan alat musik,
namun perlahan gereja mulai menerima penggunaan alat-alat musik itu dalam
liturgi, sejauh alat musik tersebut dapat mendukung liturgi.
Gamelan merupakan salah satu contoh alat musik tradisional yang pada saat
ini sering digunakan sebagai musik pengiring ibadah, khususnya beberapa gereja
di Bali. Bagi jemaat Bali, mengkontekstualisasikan diri dengan seni tradisional
setempat merupakan sarana penaburan kebenaran firman Tuhan, dilingkungan
masyarakat Bali dan juga dilingkungan masyarakat lain. Penggunaan gamelan pun
disesuaikan dengan kebutuhan dan nyanyian liturgi, karena tujuan dari sebuah
musik ibadah adalah kemuliaan Allah dan pengudusan orang beriman. Maka dari
36
Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12. 37
Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 13 38
Karl Edmund Prier, Sejarah Musik: Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi, 1991)
86. 39
A. Hauken, Ensiklopedi Gereja: Jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005),
269.
15
itu sebuah musik gereja harus dapat menolong jemaat untuk membuka diri dalam
pembaharuan iman.
Pada saat ini ada dua jenis musik yang sering digunakan dalam kegiatan
ibadah di gereja, yaitu musik modern dan musik tradisional. Musik modern
dikenal dengan nama musik populer yang dipengaruhi oleh gaya musik Barat.
Musik modern ini biasa dimainkan menggunakan alat musik Barat, misalnya
piano, gitar, bass, drum, dan sebagainya.
Jenis musik kedua adalah musik tradisional. Biasanya musik yang digunakan
merupakan ciri khas daerah di mana gereja itu berada. Alat-alat musik yang
berkembang dan digunakan sebagai sarana pendukung liturgi saat ini pun
disesuaikan dengan tradisi setempat, sehingga muncullah suatu kontektualisasi
terhadap penggunaan alat musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah.
Dalam kajian penelitian ini akan menggunakan musik tradisional sebagai alat
analisa penelitian. Maka dari itu, judul dari penelitian ini adalah, “Pemahaman
Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik
Pengiring Ibadah.”
II. GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI – DI BLIMBINGSARI
1. Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari
Secara geografis, Desa Blimbingsari terletak di Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana. Di sebelah timur, Desa Blimbingsari berbatasan dengan
Desa Ekasari dan Desa Palasari, di sebelah utara dan barat berbatasan dengan
Taman Nasional Bali Barat, dan di sebelah selatan berbatasan dengan dusun
Pangkung Tanah dan Desa Melaya.
Penamaan Blimbingsari mempunyai sejarah yang sederhana, meskipun
sejarah terbentuknya desa itu sendiri tidak dapat dikatakan sederhana. Sejarah
Blimbingsari dapat dituturkan secara singkat, berawal dari pembaptisan 12 orang
Bali oleh Pdt. Dr. Jeffrey di Tukad Yeh Poh, Untal-untal, Dalung. Lahirnya gereja
Bali ini adalah berkat panggilan Tuhan kepada Pdt. Tsang To Hang dari Christian
and Missionary Alliance (C&MA), yang menyerahkan seluruh hidupnya
memenangkan Kerajaan Allah meskipun jalan yang dilalui sangat beresiko. Hal
ini terjadi karena Pdt. Tsang To Hang yang berasal dari aliran fundamentalis
16
menyatakan bahwa menjadi orang Kristen harus lahir baru, mengikuti apa yang
dari sorga dan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewa
yang dianggap kafir. Orang Kristen harus menolak segala bentuk persembahan
maupun kerja gotong-royong di Pura desa, Pura keluarga, kuburan, maupun
sawah-sawah yang berhubungan dengan agama Hindu.40
Akibatnya timbul perlawanan dari saudara yang beragama Hindu, yang
mengakibatkan kekacauan di manapun kekristenan itu berada. Orang Kristen Bali
dibuang (maselong) atau dikucilkan, tidak diajak berbicara, dibuang dari keluarga,
tidak boleh menguburkan di kuburan Hindu, tidak boleh mendapat air untuk
sawah-sawah karena menurut kepercayaan Hindu, air adalah milik Dewi sri. Isi
lumbung mereka diambil, dicemooh, dicaci maki, dan banyak kesulitan lain yang
dihadapi oleh orang Kristen Bali. Akibatnya pemerintah Belanda pada saat itu
memutuskan untuk mengucilkan orang Kristen Bali ke alas (hutan) angker di
wilayah Bali Barat dengan tujuan agar mereka mati, karena di dalam hutan
tersebut banyak terdapat binatang buas. Singkat cerita, berkat pertolongan Tuhan
dan juga kerja keras dari orang Kristen Bali pada saat itu, mereka berhasil
memberdayakan hutan angker yang penuh dengan binatang buas menajdi sebuah
desa yang asri sampai dengan saat ini.41
Dibalik sejarah terbentuknya kekristenan awal di Bali yang begitu rumit,
penamaan desa Blimbingsari sendiri memiliki sejarah yang sederhana. Ketika
orang Kristen Bali dibuang ke hutan angker Bali Barat, mereka tidak putus asa
dan menjauh dari Tuhan, tetapi terus berusaha untuk bertahan hidup. Dalam
pergumulannya, mereka pun mulai mengusahakan hutan tersebut sehingga layak
untuk dijadikan tempat tinggal, sehingga mereka mulai menebang sebagian pohon
untuk dijadikan lahan pemukiman. Diantara pohon yang ditebang terdapat banyak
pohon belimbing hutan yang disebut belimbing talun, yaitu pohon yang bentuk
daunnya hampir sama dengan daun belimbing, tetapi daun-daun muda yang baru
tumbuh berwarna merah muda dan tampak sangat indah karena daun-daun itu
40
Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan di Bali
(Yogyakarta: Andi, 2014), 18-23. 41
Ayub, Blimbingsari The Promise, 23-39.
17
tumbuh pada bulan-bulan tertentu secara bersamaan. Daerah tersebut kemudian
diberi nama “Blimbingsari”.42
Tata letak desa Blimbingsari dapat dikatakan unik, karena jalannya dibuat
dengan formasi salib. Arah utara ke selatan, dibuatkan jalan panjang, seolah-olah
tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki yang dipaku. Sementara dari
barat ke timur dibuatkan jalan yang pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang
dipaku pada salib. Formasi salib ini dibuat berdasarkan budaya Bali, yaitu tanah
kuburan diletakkan dibagian selatan, di arah tenggara. Sebagaimana hal pura,
Gereja ditempatkan dibagian utara, di arah timur laut, tetapi seiring berjalannya
waktu, Gereja dipindahkan dibagian barat. Kemudian, sebagai patokan di
pertemuan kayu salib ditanam sebuah pohon beringin besar, yang saat ini telah
dibuatkan sebuah tugu, yang sekaligus menjadi pusat aktivitas masyarakat dalam
berjualan makanan khas Bali, seusai ibadah Minggu.43
Penamaan dan penataan
desa Blimbingsari memang terkesan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaannya
itu tersimpan makna bersejarah atas lahirnya GKPB.44
Pada saat ini, secara keseluruhan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terdiri dari
175 KK dengan jumlah anggota jemaat kurang lebih 800 jiwa. Jumlah ini
kemungkinan akan meningkat, mengingat pada tahun ini majelis setempat belum
melakukan pendataan ulang kepada warga jemaat.45
Mayoritas jemaat
Blimbingsari adalah pensiunan dari kota yang memilih pulang kampung dan
menetap di kampung. Maka dari itu, kebanyakan jemaat di Desa Blimbingsari
bermatapencaharian sebagai petani atau berkebun.46
Selain warga jemaat menetap di Desa Blimbingsari, GKPB Pniel
Blimbingsari juga memiliki jemaat diaspora. Jemaat diaspora adalah jemaat yang
secara status tercatat sebagai jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tetapi karena
pekerjaan, pendidikan, ataupun kepentingan lainnya mereka terpaksa harus
meninggalkan desa dan merantau ke luar desa. Oleh karena itu, perayaan hari raya
gerejawi menjadi momen yang paling ditunggu oleh jemaat diaspora, karena
42
Ayub, Blimbingsari The Promise, 49. 43
Ayub, Blimbingsari The Promise, 50-51. 44
I Wayan Sunarya, Blimbingsari Selayang Pandang (Yogyakarta: Andi, 2015), 1. 45
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 46
Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12
Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.
18
disanalah mereka akan memiliki kesempatan untuk pulang ke kampung halaman
dan berkumpul serta beribadah bersama keluarga.47
Desa Blimbingsari saat ini telah berkembang menjadi desa wisata. Kearifan
lokal yang ada menjadikan Desa Blimbingsari memiliki daya tarik tersendiri, tidak
hanya bagi wisatawan lokal, melainkan juga wisatawan asing dari berbagai
negara. Tidak jarang para wisatawan asing sengaja datang untuk menetap secara
sementara hanya untuk mempelajari kearifan lokal yang ada, bahkan mereka juga
membantu jemaat dalam bentuk pengajaran bahasa Inggris, khususnya mengajar
anak-anak panti asuhan yang berada di Desa Blimbingsari.48
2. Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari
Musik adalah penghayatan isi hati manusia yang diungkapkan dalam bentuk
bunyi yang teratur dengan melodi atau ritme serta mempunyai unsur atau
keselarasan yang indah.49
Maka dari itu, musik seringkali dijadikan sebagai sarana
dalam mengekspresikan emosional manusia. Musik tidak hanya dapat dijadikan
sebagai sarana hiburan saja, melainkan musik juga seringkali dijadikan sebagai
sarana spiritualitas, yaitu sebagai pengiring dalam suatu upacara keagamaan.
Di dalam konteks kekristenan, musik digunakan sebagai sarana pendukung
liturgi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang sudah
mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi.50
Sampai saat ini
penggunaan musik sebagai sarana pendukung liturgi terus berkembang. Pada
mulanya gereja-gereja, khususnya di Indonesia lebih sering menggunakan musik
bernuansa Eropa, atau yang lebih dikenal dengan musik modern sebagai musik
pengiring ibadah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu musik bernuansa
tradisional pun mulai digunakan sebagai upaya mengkontekstualisasikan diri
dengan budaya di mana gereja itu bertumbuh.
Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya dilakukan pula oleh
jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan mengadakan ibadah kontekstual setiap
satu bulan sekali, di minggu pertama. Di dalam ibadah kontekstual, seluruh
47
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 48
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 49
Widhyatama, Sejarah Musik, 1. 50
Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12.
19
rangkaian ibadah bernuansa budaya Bali. Di mulai dari penggunaan bahasa dalam
liturgi dan khotbah adalah bahasa Bali, pakaian yang digunakan adalah pakaian
adat Bali, dan musik yang digunakan pun bernuansa Bali. Gamelan gong, menjadi
alat musik tradisional yang dipakai oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagai
musik pengiring di dalam ibadah kontekstual. Ibadah ini dirangkai dengan ibadah
keluarga, dengan kata lain tidak hanya warga dewasa atau warga SIDI yang
mengikuti ibadah kontekstual, melainkan seluruh kategorial, mulai dari Sekolah
Minggu sampai lansia.51
Kontekstualisasi budaya merupakan suatu upaya sinode GKPB dalam
mengekspresikan iman Kristen melalui karya seni. Berawal setelah Tsang To
Hang diusir dari Bali oleh Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai orang
yang bertanggung jaab atas keributan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat
dari ajarannya yang radikal, missionaris Belanda mengajak para pemimpin orang
Kristen Bali untuk membuat geguritan (sajak) yang dapat dinyanyikan dengan
tembang (lagu) tradisional seperti Pupuh Sinom, Pupuh Ginanti, dan sebagainya.
Bersamaan dengan hal tersebut, kurang lebih sejak tahun limapuluhan GKPB
Pniel Blimbingsari mencoba mendekatkan diri dengan budaya Bali. Pada saat itu,
Pendeta Made Rungu, Ketua Sinode GKPB yang pertama, merasa bahwa sebagai
satu-satunya desa Kristen di Bali, Desa Blimbingsari kurang semarak. Maka dari
itu, digunakanlah seni pewayangan untuk memberitakan Injil dalam ibadah,
karena secara kebetulan beberapa jemaat adalah seorang “dalang” ketika masih
beragama Hindu. Akan tetapi, tidak disangka jemaat GKPB Pniel Blimbingsari
mendapatkan sambutan yang luar biasa tidak hanya dari penduduk Desa
Blimbingsari, melainkan juga dari desa-desa lainnya di Kecamatan Melaya. Dari
sinilah mulai timbul pemikiran, bagaimana caranya menjadikan kebudayaan Bali
sebagai sarana pemberitaan Injil. Lama setelah itu, sekitar tahun delapan puluhan,
bertepatan dengan Jubelium GKPB Pniel Blimbingsari, barulah gereja ini
menggunakan gamelan sebagai alat musik untuk mengiringi ibadah. Hingga saat
51
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.
20
ini gamelan masih terus digunakan, tidak hanya dalam ibadah kontekstual saja,
melainkan juga dalam perayaan hari raya gerejawi dan juga perjamuan kudus.52
Faktor yang mendasari jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan
gamelan sebagai musik pengiring ibadah, yaitu karena gamelan merupakan
kesenian khas dalam budaya Bali. Seni gamelan sudah dikenal sejak zaman
kerajaan terdahulu dan seringkali digunakan dalam pelaksanaan upacara sakral
agama Hindu. Seiring dengan berjalannya waktu, gamelan menjadi kesenian
tradisional yang memiliki daya tarik tersendiri dan dijadikan sebagai sarana
hiburan. Gamelan Bali dibagi menjadi tiga jenis, yaitu gamelan golongan tua
(gamelan gambang, gamelan luang, gamelan gender wayang, dan sebagainya),
gamelan golongan madya (gamelan gambuh, gamelan legong, gamelan janger,
dan sebagainya), dan gamelan modern (gamelan joged bumbung, gamelan gong
kebyar, gamelan blaganjur). Melihat pembagian golongan ini maka dapat
dikatakan bahwa gamelan tua dan gamelan madya adalah jenis gamelan yang
bersifat sakral dan dalam filosofi agama Hindu, kedua jenis gamelan ini tidak
boleh dipergunakan disembarang tempat karena dikhususkan sebagai sarana
pemujaan roh-roh. Biasanya dalam tradisi Bali, sebelum memainkan gamelan ini,
masyarakat Hindu terlebih dahulu menghaturkan banten dengan tujuan memohon
taksu. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dengan sarana tertentu, seperti
bunga, buah-buahan, daun sirih, nasi, jajanan, dan sebagainya. Sedangkan, taksu
menurut kepercayaan umat Hindu adalah kekuatan roh leluhur yang bersifat
magis. Oleh karena itu, secara otomatis kedua gamelan ini tidak diperkenankan
jika digunakan dalam konteks ibadah Kristen karena bertentangan dengan nilai-
nilai Kristiani.53
Gamelan yang boleh dipergunakan dalam konteks ibadah Kristen adalah
gamelan modern yang disesuaikan dengan kebutuhan ibadah. GKPB Pniel
Blimbingsari menggunakan gamelan gong kebyar sebagai musik pengiring
ibadah. Gamelan gong kebyar terdiri dari instrumen-instrumen, seperti: 1) Gangsa
berbilah sepuluh, terdiri dari dua pengugal, dua pemade, dan empat kantil. 2)
52
Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12
Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 53
Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB
Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.
21
Jegogan berbilah lima, dua tungguh. 3) Calung berbilah lima, dua tungguh. 4)
Reyong berbilah dua belas, satu tungguh. 5) Kendang besar, dua buah, terdiri dari
satu kendang lanang dan satu kendang wadon. 6) Cengceng, satu pangkon. 7)
Kajar, satu buah. 8) Gong, satu buah. 9) Kempur, satu buah. 10) Kemong, satu
buah. 11) Suling, satu buah.54
Pada mulanya, GKPB Pniel Blimbingsari memiliki 2 sekaa gambelan
(kelompok penabuh gamelan), yang terdiri dari sekaa kaum bapak dan sekaa
kaum ibu yang bernama sekaa Ester. Kebanyakan anggota dari kedua sekaa ini
merupakan warga lansia yang sangat mencintai kegiatan menabuh gamelan.
Ditengah keadaan fisik yang semakin melemah, kedua sekaa ini tetap memiliki
semangat yang tinggi dalam memainkan gamelan dalam ibadah tertentu karena
menabuh gamelan merupakan hobi mereka. Di satu sisi, keadaan fisik yang
melemah juga mengakibatkan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah sempat berhenti dalam waktu yang cukup lama. Hingga pada suatu saat,
ketika Bapak Pendeta Ketut Suyaga Ayub menjadi pendeta jemaat di GKPB Pniel
Blimbingsari, barulah semangat penggunaan gamelan dibangkitkan lagi. Belajar
dari pengalaman sebelumnya, kedua sekaa yang ada menyadari bahwa diperlukan
suatu kaderisasi terhadap jemaat muda dalam menabuh gamelan, sehingga
penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah bisa dilakukan secara terus
menerus. Maka dari itu, dibentuklah sekaa Gloria yang beranggotakan para
penabuh muda.55
Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, sekaligus menjadi
upaya gereja dalam mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat
ternyata sangat membuahkan respons yang baik tidak hanya dari jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari, tetapi juga bagi masyarakat mayoritas. Hal ini terbukti dari
ketertarikan masyarakat Hindu yang merasa dihargai ketika kekristenan mau
mencoba mendekatkan diri dengan budaya yang ada. Tidak jarang beberapa
masyarakat Hindu turut berpartisipasi dalam kegiatan menabuh di dalam suatu
ibadah di GKPB Pniel Blimbingsari dan tidak jarang pula sekaa gamelan GKPB
54
Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB
Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 55
Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel
Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.
22
Pniel Blimbingsari diundang untuk menabuh di beberapa acara yang
diselenggarakan oleh masyarakat Hindu.56
Bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sendiri, beribadah sambil
mendengarkan alunan musik gamelan ditambah dengan menggunakan bahasa Bali
dan pakaian adat Bali, membuat mereka merasa lebih dekat dengan budaya yang
ada. Sebagai jemaat “tua”, kontektualisasi budaya dijadikan sarana dalam
pemberitaan Injil. Salah satu contoh, melalui penggunaan gamelan, jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari seolah ingin mengatakan bahwa, “Walaupun kami beragama
Kristen, tetapi kami adalah orang Bali yang menghargai dan ingin melestarikan
budaya Bali. Oleh karena itu terimalah kami sebagai bagian dari masyarakat Bali.
Terlebih kami akan merasa senang apabila masyarakat mau menjadi bagian dari
kami.”57
3. Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah
Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat bukanlah hal
yang mudah untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks kekristenan. Hal ini
jugalah yang menjadi hambatan bagi GKPB Pniel Blimbingsari ketika mencoba
mendekatkan diri dengan budaya Bali melalui penggunaan gamelan sebagai musik
pengiring ibadah. Meskipun banyak jemaat dapat menerima usaha
kontekstualisasi ini, namun nyatanya ada beberapa jemaat yang keberatan dengan
adanya pendekatan budaya ini, khususnya penggunaan gamelan. Hal ini tentu saja
menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemimpin jemaat, karena biarpun rasa
keberatan itu tidak disampaikan secara langsung, namun kekhawatiran akan
adanya kubu-kubu yang memecah kebersamaan sangat meresahkan.58
Hal ini bermula dari pemikiran radikal para orang Kristen angkatan pertama
dibawah asuhan missionaris Tsang To Hang. Dalam ajarannya, beliau mengatakan
kepada orang Kristen angkatan pertama untuk meninggalkan dan memutuskan
hubungan dengan adat istiadat Bali. Akan tetapi, doktrin yang salah tersebut
malah membuat kesalahpahaman yang mendalam bagi orang Kristen pada waktu
56
Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12
Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 57
Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,
12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 58
Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari
sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.
23
itu sehingga membuat pemikiran mereka menjadi sangat radikal. Mereka tidak
hanya memutuskan hubungan, melainkan membenci segala hal yang berkaitan
dengan agama Hindu. Mereka tidak segan-segan membongkar sanggah dan
merusak tempat-tempat keramat yang dihormati sebagai tempat suci orang orang
Hindu, sebagai bukti bahwa mereka telah bertobat. Pemikiran-pemikiran radikal
semacam ini menjadikan orang Kristen sebagai persekutuan yang eksklusif dan
terlepas dari masyarakat. Tidak hanya terlepas secara organisasi dari masyarakat,
namun gaya hidup dan gaya berpakaian pun lebih mengikuti gaya berpakaian
Eropa daripada mengenakan pakaian adat Bali. Segala jenis perhiasan yang
bernuansa Bali juga ikut dibuang, karena menurut pemahaman mereka, menjadi
Kristen adalah menjadi manusia baru. Jadi, memakai cara ataupun adat istiadat
Bali menurut mereka adalah bertentangan dengan status yang baru, yaitu sebagai
warga Kerajaan Allah.59
Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar penolakan jemaat angkatan
pertama terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah di GKPB
Pniel Blimbingsari. Tidak hanya penggunaan gamelan saja yang menjadi
persoalan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari mencoba menggunakan hiasan-
hiasan bernuansa Bali dalam suatu perayaan ataupun Hari Raya Gerejawi, maka
penolakan itupun terjadi. Bahkan, arsitektur gereja yang bernuansa Bali juga ikut
menjadi kritikan bagi beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel Blimbingsari.60
Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa ternyata kebanyakan dari orang-orang
Kristen angkatan pertama ini adalah orang-orang yang tidak puas akan agama
mereka terdahulu dan merasa menemukan jawaban dari permasalahan mereka di
dalam Injil Kristus. Oleh karena itu, mereka sangat tidak suka jika orang Kristen
memasukkan kebudayaan yang telah ditinggalkan itu ke dalam suatu ibadah di
Gereja.61
Kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah
tidak hanya terjadi dikalangan beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel
59
Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari
sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 60
Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel
Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 61
Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari
sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.
24
Blimbingsari, melainkan juga di kalangan generasi muda. Meskipun para generasi
muda menerima penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah
dalam rangka upaya lebih mendekatkan diri dengan budaya Bali, tetapi tidak
sedikit dari mereka juga yang mengaku kurang bisa menikmati musik gamelan itu
sendiri.62
Hal ini dikarenakan melodi gamelan tidak sama dengan melodi musik
kontemporer. Gamelan merupakan alat musik yang bernada pentatonik, di mana
notasi “fa” dan “si” tidak ada. Maka dari itu, lagu-lagu kidung jemaat yang bisa
dimainkan dengan gamelan sangat terbatas. Tidak jarang ketika dilaksanakan
ibadah kontekstual dengan menggunakan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah, lagu yang dinyanyikan selalu mengulang lagu yang sama dan ketika lagu
lain dipaksakan untuk diiringi menggunakan gamelan, maka secara otomatis
jemaat akan merasa bingung karena nadanya tidak sesuai.63
Selain merasa tidak mengerti dengan melodi gamelan, beberapa generasi
muda yang telah terbiasa mendengarkan musik modern bernuansa Barat juga
mengaku merasa jenuh karena lagu yang dimainkan dengan musik gamelan hanya
mengulang lagu yang sama. Hal ini selain menimbulkan perasaan jenuh dan bosan
sepanjang kegiatan ibadah, pada akhirnya membuat mereka kurang bisa
menghayati makna dari ibadah tersebut.64
Oleh karena itu, para seniman Kristen
telah berupaya mengaransemen ulang beberapa lagu di Kidung Jemaat dan
menyesuaikan dengan nada pentatonik sehingga dapat dimainkan dengan
gamelan, sehingga lagu yang dimainkan dalam setiap ibadah dapat lebih
bervariasi.65
Meskipun banyak terdapat kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai
musik pengiring ibadah dalam rangka gereja mengkontekstualisasikan diri dengan
budaya yang ada, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurangi makna ibadah
bagi sebagian besar jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak sedikit dari jemaat
yang merasa lebih tenang dan merasa jalannya kegiatan ibadah menjadi lebih
62
Wawancara dengan Saudara I Putu Adi Suprayitno, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari,
13 Agustus 2017, pukul 13.00 WITA. 63
Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB
Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 64
Wawancara dengan Saudara Decky Florentana, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13
Agustus 2017, pukul 13.30 WITA. 65
Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12
Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.
25
sakral ketika musik gamelan telah dikumandangkan. Hal ini menandakan bahwa
sebuah kebudayaan dapat dijadikan sarana untuk mengekspresikan iman.
IV. GAMELAN DALAM TRADISI GEREJA KRISTEN PROTESTAN
DI BALI “PNIEL” BLIMBINGSARI
Kebudayaan identik dengan seluruh tindakan keseharian manusia yang
menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan kebudayaan seringkali dijadikan sebuah
identitas bagi suatu kelompok masyarakat dan sedemikian rupa dijaga
kelestariannya untuk kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi
penerusnya dan biasanya melalui tradisi lisan. Kebudayaan membuat manusia
dapat menghasilkan benda-benda yang berguna bagi kehidupan manusia itu
sendiri. Sama halnya dengan pendapat Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa
ada tiga wujud kebudayaan, dan salah satunya adalah kebudayaan fisik.
Kebudayaan fisik ini sangat mudah dijumpai disekitar kehidupan manusia, dalam
rupa benda-benda yang menunjang aktivitas manusia. Salah satu kebudayaan fisik
adalah alat-alat musik. Alat musik yang lekat dengan kebudayaan atau tradisi
dikenal dengan sebutan alat musik tradisional. Biasanya alat musik tradisional
memiliki ciri khas tersendiri, tergantung di mana alat musik itu berkembang.
Pengungkapan identitas melalui kebudayaan ini dilakukan pula oleh jemaat
GKPB Pniel Blimbingsari, melalui penggunaan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah. GKPB Pniel Blimbingsari merupakan gereja yang berada dalam lingkup
kebudayaan Bali. Maka dari itu, penggunaan gamelan sebagai musik tradisional
pengiring ibadah merupakan salah satu contoh kontekstualisasi gereja terhadap
kebudayaan Bali. Bohlman mengatakan bahwa musik tradisional merupakan
luapan makna emosi masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri
dari fungsi, bentuk, sejarah dan ciri khas daerah tertentu. Gamelan merupakan
musik tradisional khas daerah Bali, yang digunakan oleh jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari sebagai sarana untuk menyampaikan identitas mereka sebagai orang
Kristen yang berbudaya Bali.
Musik telah menjadi bagian yang integral dalam suatu kegiatan ibadah,
sebagai sarana pendukung liturgi. Hal ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Martasudjita dan Kristanto yang mengatakan, bahwa sejak
26
awal perkembangannya gereja perdana yang sudah mengenal musik, yaitu musik
yang berakar pada ibadat Yahudi, sehingga musik yang digunakan disesuaikan
dengan tradisi yang ada. Hal ini jugalah yang telah dilakukan oleh jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari selama bertahun-tahun, yaitu menggunakan gamelan sebagai
musik pengiring ibadah. Selain sebagai pendukung liturgi, maksud dari
penggunaan gamelan dalam ibadah adalah agar gereja lebih dekat dengan budaya.
Oleh karena itu, selain digunakan di dalam ibadah kontekstual, yaitu ibadah yang
menggunakan liturgi budaya Bali, gamelan juga digunakan untuk mengiringi
ibadah hari raya gerejawi dan perjamuan kudus.
Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali, sekaligus
menjadi kebudayaan fisik yang diwariskan kepada masyarakat Bali hingga saat
ini. Maka dari itu, tidak mengherankan jika penggunaan gamelan sarat dengan
upacara-upacara sakral agama Hindu. Penggunaan gamelan dalam upacara sakral
ini pun tidak bisa dimainkan secara sembarangan. Sebelum mulai “megambel”,
sebagai tradisi umat Hindu akan terlebih dahulu menghaturkan banten kepada
roh-roh leluhur mereka untuk memohon izin dalam memainkan gamelan. Umat
Hindu percaya, bahwa di dalam gamelan bersemayam roh-roh leluhur mereka.
Maka dari itu, mebanten selain untuk memohon izin memainkan gamelan, juga
dimaksudkan supaya para pemain gamelan memperoleh kekuatan magis yang
dipercaya akan melindungi mereka dari kekuatan lain yang mencelakakan.
Kepercayaan seperti ini pada akhirnya membuat umat Hindu tidak dapat
terpisah dari nilai-nilai tradisinya. Hal ini selaras dengan pernyataan Ihromi yang
mengemukakan bahwa masyarakat yang hidup berkelompok, tidak dapat terpisah
dari nilai-nilainya. Bahkan Koentjaraningrat juga mengatakan, bahwa nilai-nilai
tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu sistem sosial yang dijadikan
pedoman hidup di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan menghaturkan banten
sebelum memainkan gamelan merupakan suatu sistem sosial yang terbentuk dari
nilai-nilai yang ada di masyarakat Bali. Nilai-nilai tersebut pun berkembang
menjadi suatu kebudayaan yang disepakati bersama oleh masyarakat yang
membentuk suatu kepercayaan.
Akan tetapi, sistem sosial yang terbentuk dan menjadi sebuah kepercayaan
bagi masyarakat Bali, nyatanya kurang sesuai jika dipakai dalam konteks
27
kekristenan. Dalam Keluaran 20: 3-4 berkata, “Jangan ada padamu allah lain
dihadapan-Ku. Jangan membuat patung bagimu… Jangan sujud menyembah
kepadanya…” Melalui ayat ini dapat disimpulkan bahwa persembahan sesaji
kepada roh-roh leluhur apalagi disertai dengan unsur-unsur kekuatan magis,
sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Kristen. Hal ini dikarenakan kekristenan
mempercayai bahwa Allah Tritunggal adalah satu-satu Tuhan yang berkuasa atas
segala kuasa dilangit dan dibumi.
Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menyadari hal tersebut, maka gamelan
yang digunakan dalam prosesi ibadah adalah gamelan modern yang biasanya
difungsikan sebagai sarana hiburan oleh umat Hindu. Di sisi lain, jemaat GKPB
Pniel Blimbingsari juga tidak melupakan sistem sosial yang terbentuk dari nilai-
nilai tradisi yang ada di masyarakat Bali. Oleh sebab itu, sebelum melakukan
permainan gamelan di dalam ibadah, para sekaa (kelompok penabuh) terlebih
dahulu akan berdoa memohon berkat Tuhan, karena tujuan permainan gamelan
mereka adalah untuk memuji Tuhan. Hal ini secara tidak langsung menjadi sarana
Pekabaran Injil yang luar biasa bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, karena
“hanya” melalui doa sebelum memainkan gamelan orang Kristen secara tidak
langsung telah menampakkan kuasa Kristus yang mengalahkan segala kuasa lain,
tanpa mengabaikan sistem sosial yang telah terbentuk menjadi suatu kebudayaan
di masyarakat Bali.
Menurut Koentjaraningrat secara antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
manusia yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas manusia adalah
kebudayaan, karena hampir seluruh kegiatan manusia harus disesuaikan dengan
belajar. Begitu pula halnya dengan permainan gamelan. Sebagai bentuk
kebudayaan fisik atau hasil karya manusia, gamelan dapat dijadikan sarana yang
mendidik bagi masyarakat Bali. Dikatakan demikian, karena melalui permainan
atau pertunjukkan gamelan, masyarakat dapat belajar bagaimana kebudayaan itu
membentuk suatu sistem sosial dan pada akhirnya menjadi pedoman hidup bagi
masyarakat. GKPB Pniel Blimbingsari sadar bahwa gereja juga harus peduli
dengan kebudayaan yang ada di masyarakat. Maka dari itu, penggunaan gamelan
28
sebagai musik pengiring ibadah merupakan salah satu cara untuk mendidik jemaat
agar secara bersama-sama melestarikan kebudayaan Bali, sehingga kebudayaan
tersebut tidak tergerus oleh waktu dan dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya.
Gamelan merupakan sarana bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dalam
mengekspresikan iman melalui suatu kebudayaan yang berbentuk karya seni.
Secara tidak langsung, pengungkapan ekspresi dengan melibatkan budaya yang
ada menjadi sebuah sarana komunikasi iman antara jemaat dengan masyarakat
mayoritas. Melalui gamelan, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari ingin
menyampaikan bahwa mereka bukanlah suatu persekutuan yang eksklusif dan
terpisah dari masyarakat, melainkan mereka tetaplah orang Bali yang
menghormati budaya serta ingin turut serta dalam melestarikan kebudayaan Bali
meskipun mereka orang Kristen. Hal ini selaras dengan pandangan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengungkapkan bahwa kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang membawa manusia untuk dapat
memahami kehidupannya. Artinya gamelan sebagai kebudayaan Bali merupakan
hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah identitas
bagi masyarakat Bali. Kusumohamidjojo mengatakan bahwa manusia adalah
homo socius atau makhluk yang berkawan dan pola hidupnya cenderung
berkelompok. Menyadari hal tersebut maka identitas masyarakat Bali digunakan
oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari untuk lebih mendekatkan diri dan menjalin
relasi yang harmonis dengan masyarakat mayoritas yang beragama Hindu. Hal ini
dilakukan agar tercipta sebuah kesatuan yang membentu rasa aman dan damai
diantara masyarakat, karena menurut Sutrisno dan Putranto, meskipun homo
socius, di satu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional,
berpusat pada diri sendiri, dan individualis. Sikap ini tentu saja akan
menyebabkan kekacauan dikehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
melalui penggunaan gamelan sebagai budaya Bali, jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi alat pemersatu yang
menciptakan kedamaian. Bukti nyatanya adalah ketika umat Hindu bisa menerima
keberadaan orang Kristen dan mengundang sekaa gamelan jemaat GKPB Pniel
29
Blimbingsari di beberapa acara masyarakat Bali, bahkan tidak jarang beberapa
umat Hindu turut serta memainkan gamelan di ibadah Kristen.
Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menyadari, bahwa meskipun mereka adalah
orang Kristen, namun mereka tetaplah orang Bali yang tidak bisa melepaskan diri
dari budaya Bali. Hal ini dikarenakan sebelum memutuskan untuk menjadi orang
percaya dan masih beragama Hindu, kebanyakan jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari merupakan seorang seniman Bali, seperti dalang, penabuh, dan
sebagainya. Bahkan, Pendeta pertama di GKPB Pniel Blimbingsari sekaligus
Bishop pertama Sinode GKPB merupakan seorang penabuh kendang gupek. Oleh
karena itu, pada awalnya penggunaan gamelan hanya dikarenakan para seniman
rindu untuk memainkan kesenian tradisional Bali dan ingin agar Desa
Blimbingsari ini semarak dengan adanya hiburan, maka secara tidak langsung
permainan gamelan merupakan sarana untuk menyatakan perasaan jemaat.
Keinginan ini selaras dengan pernyatakan Widiarto yang menyatakan bahwa salah
satu fungsi kebudayaan adalah sebagai wadah bagi segenap perasaan manusia.
Melalui penggunaan gamelan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dapat menyatakan
perasaannya melalui karya seni. Pernyataan perasaan itu tidak hanya pernyataan
puas karena mereka masih bisa menggunakan gamelan sebagai alat musik
tradisional Bali di dalam ibadah Kristen, namun juga sebagai bentuk rasa syukur
karena melalui budaya mereka tetap bisa memuliakan Tuhan. Soeharto juga
menyatakan bahwa musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi.
Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah merupakan suatu ungkapan
terima kasih jemaat kepada Tuhan. Jemaat menyadari bahwa keberadaan mereka
di tengah-tengah masyarakat mayoritas yang berbudaya Bali hingga saat ini
merupakan anugerah yang Tuhan berikan kepada mereka, maka untuk
mewujudkan perasaan syukur atas anugerah tersebut, gamelan dijadikan sebagai
sarana untuk mengucap syukur.
Selain untuk mengungkapkan perasaan, Widiarto juga mengatakan bahwa
kebudayaan juga berfungsi sebagai pengatur hubungan antar manusia. Ibadah
kontekstual dengan menggunakan segala budaya Bali menjadi contohnya. Ketika
jemaat datang mengikuti ibadah dalam nuansa budaya Bali, mereka menjadi
leluasa untuk berinteraksi dengan sesamanya, karena merasa bukan menjadi
30
bagian yang asing dari budaya tersebut. Ketika musik gamelan mengalun untuk
mengiringi nyanyian dalam ibadah, jemaat merasakan suatu keteduhan dalam
menghayati prosesi ibadah tersebut. Hasilnya adalah persekutuan antara manusia
dengan Tuhan menjadi lebih erat. Selain itu, menggunakan kebudayaan Bali
dalam suatu ibadah Kristen menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi jemaat
GKB Pniel Blimbingsari, karena selain mampu mengakrabkan diri dengan
budaya, mereka membuktikan bahwa mereka memiliki ciri khas tersendiri sebagai
orang yang berbudaya Indonesia, khususnya Bali, dan tidak selalu harus memakai
budaya Barat dalam setiap ibadah. Bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari,
memainkan gamelan tidak hanya sekedar sebuah hobi, melainkan melalui
permainan gamelan jemaat dapat bersaksi ditengah-tengah masyarakat bahwa
mereka pun mencintai kebudayaan Bali meskipun beragama Kristen. Jemaat juga
ingin menyampaikan bahwa mereka bukanlah persekutuan yang terlepas dari
masyarakat, melainkan mereka hadir bersama dengan masyarakat. Untuk itu,
gamelan dijadikan sarana komunikasi yang tidak hanya memperbaiki persekutuan
antar jemaat, melainkan juga mempererat relasi dengan masyarakat mayoritas.
Dalam sejarahnya, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari adalah jemaat yang
dibuang ke hutan karena pemerintah Belanda tidak menginginkan adanya
perpecahan diantara orang Kristen Bali dan umat Hindu. Hal ini dikarenakan
pemikiran umat Kristen pada saat itu sangat radikal akibat pemahaman radikal
yang diberikan oleh missionaris Tsang To Hang. Orang Kristen pertama di GKPB
Pniel Blimbingsari beranggapan bahwa menggunakan segala atribut budaya Bali
di dalam ibadah Kristen sangatlah bertentangan dengan status mereka sebagai
warga Kerajaan Allah. Bagi mereka, berani berkomitmen mengikut Kristus berarti
harus meninggalkan kehidupan yang lama, termasuk meninggalkan segala atribut
dan budaya umat Hindu, kemudian memulai hidup baru di dalam Kristus.
Pemikiran seperti ini bukanlah pemikiran yang salah, karena tidak ada kata
“mendua” di dalam hidup bersekutu dengan Kristus. Akan tetapi, menjadi salah
ketika membawa pemikiran radikal di dalam jemaat dan membuat jemaat menjadi
orang Kristen yang eksklusif. Jemaat menjadi persekutuan yang asing di tengah
masyarakat dan terpisah dari budaya yang ada di masyarakat. Hal ini menjadi
nyata ketika penggunaan gamelan juga menjadi kontroversi di dalam jemaat.
31
Menurut hasil wawancara jemaat “tua-tua” menentang penggunaan gamelan
sebagai alat musik pengiring ibadah karena gamelan merupakan musik tradisional
Bali yang sering digunakan di dalam upacara sakral umat Hindu. Menurut mereka
hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani karena masih terhubung
dengan kehidupan mereka yang lama. Kontroversi seperti ini jelaslah akan
berdampak tidak baik di dalam persekutuan antar jemaat, karena bisa saja ibadah
yang berlangsung tidak membawa perjumpaan iman antara jemaat dengan Tuhan.
Selain itu, kontroversi ini juga menjadi dilema tersendiri bagi jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari, karena disatu sisi jemaat ingin mendekatkan diri dengan budaya
yang ada dengan melakukan usaha kontekstulisasi agar tidak menjadi bagian yang
asing dari masyarakat, tetapi disatu sisi ibadah yang diselenggarakan di gereja
juga harus membawa jemaat kepada refleksi iman antara pribadi jemaat dengan
Tuhan.
Sebenarnya usaha kontekstualisasi yang dilakukan gereja dengan budaya
setempat bukanlah hal yang salah. Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring
ibadah merupakan salah satu usaha kontekstualisasi yang di lakukan oleh GKPB
Pniel Blimbingsari. Berpatokan pada Mazmur 150 yang kurang lebih berbunyi,
“… Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan
kecapi... Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan…” Artinya bahwa setiap
orang diperkenankan untuk memuji Tuhan dengan segala alat musik yang ada.
Memang benar bahwa gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali
yang seringkali digunakan di dalam upacara sakral umat Hindu. Sebelum
menggunakannya pun harus disertai dengan mebanten untuk meminta
keselamatan dari roh-roh leluhur, menurut kepercayaan umat Hindu. Akan tetapi,
bukanlah hal yang tidak mungkin jika gamelan digunakan di dalam ibadah
Kristen. Tentu saja penggunaannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
nilai-nilai Kristiani. Misalnya saja mebanten, yang bagi umat Hindu adalah cara
mereka bersembahyang. Maka dari itu, jika gamelan digunakan di dalam ibadah,
maka orang Kristen bisa memulainya dengan berdoa menurut Kekristenan, tanpa
disertai dengan sesaji seperti yang dilakukan umat Hindu. Berdoa bagi orang
Kristen merupakan alat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Selain itu, doa
merupakan suatu bentuk ungkapan rasa syukur manusia atas anugerah yang telah
32
dikaruniakan Tuhan di dalam kehidupan manusia, termasuk memohon
keselamatan kepada Tuhan sebelum memainkan gamelan dalam sebuah ibadah,
dengan kata lain berdoa sebelum memainkan gamelan dalam sebuah ibadah
adalah untuk mempersiapkan diri menyambut hadirat Tuhan dengan alat musik
dan nyanyian yang ada, sehingga dapat membawa pertumbuhan iman bagi jemaat.
Kebudayaan yang ada disekitar manusia, bukanlah alat untuk memecah
persatuan diantara umat manusia. Melainkan alat untuk mempersatukan perbedaan
diantara umat. Meskipun beberapa jemaat GKPB Pniel Blimbingsari masih
bertahan dengan pola pikir masa lalu yang kurang tepat, namun seiring
berjalannya waktu dengan pemahaman yang diberikan secara terus menerus,
jemaat akhirnya dapat menerima kontekstualisasi yang dilakukan gereja terhadap
budaya Bali, meskipun belum sepenuhnya. GKPB Pniel Blimbingsari
beranggapan bahwa sebagai orang Bali, mereka memiliki gamelan sebagai alat
musik tradisional, maka mereka harus memanfaatkannya sebagai sarana untuk
memuliakan Tuhan. Penggunaan alat musik Barat, seperti piano, gitas, bass, drum,
dan sebagainya sebagai alat musik pengiring ibadah, merupakan hal yang wajar
ditemui dalam ibadah di gereja-gereja Indonesia. Akan tetapi, jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari menyadari bahwa tidak sepenuhnya mereka harus menjadi sama
dengan gereja-gereja kebanyakan dan memilih untuk mengakrabkan diri dengan
budaya. Melalui pengunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, jemaat
memilih identitas gereja sendiri. Mereka bangga ketika menggunakan gamelan
dalam kegiatan ibadah, meskipun tidak menutup diri juga dari musik-musik
bernuansa Barat karena musik gamelan hanya digunakan dalam ibadah-ibadah
tertentu saja.
Gamelan tidak digunakan sebagai alat musik di dalam setiap ibadah, karena
pada saat ini lagu-lagu yang dapat dimainkan oleh gamelan bersifat terbatas.
Sebagai alat musik pentatonik, nada-nada gamelan tidak sama dengan nada-nada
yang terdapat di piano. Oleh karena itu, lagu-lagu yang dimainkan oleh gamelan
di dalam ibadah cenderung hanya menggunakan lagu yang sama. Akibatnya, tidak
sedikit dari jemaat yang merasa jenuh dan menurut pengakuan beberapa generasi
muda, mereka kurang bisa memahami iring-iringan musik gamelan, karena tidak
seperti musik modern yang bisa dipelajari melalui partitur. Maryanto, dkk,
33
mengatakan bahwa ciri-ciri musik tradisional pada umumnya adalah diwariskan
secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Hal ini selaras dengan pernyataan
Kayam yang mengatakan bahwa musik tradisional umumnya tidak diketaui kapan
dan siapa penciptanya. Gamelan sebagai alat musik tradisional khas daerah Bali
merupakan warisan yang diturunkan melalui tradisi lisan. Artinya ide musik
gamelan tidak disampaikan melalui notasi ataupun partitur tertentu, maka untuk
mempertahankan kelestariannya diperlukan penyampaian lisan yang dilakukan
dengan cara latihan kepada jemaat, terlebih generasi muda. Latihan ini tidak
hanya dilakukan untuk menjaga kelestarian dari penggunaan gamelan itu sendiri,
melainkan juga untuk menimbulkan kecintaan para generasi muda terhadap
budaya yang ada, sehingga ketika ibadah yang diadakan menggunakan gamelan
sebagai alat musik pengiring ibadah, setiap kategori jemaat dapat menghayati
makna ibadah dengan baik dan membawa mereka ke dalam pertumbuhan iman.
GKPB Pniel Blimbingsari menyadari hal tersebut, maka mereka pun membentuk
sekaa gamelan yang baru, yang beranggotakan para generasi muda sebagai bentuk
pewarisan budaya.
Manusia dan kebudayaan saling berkaitan. Tanpa manusia, kebudayaan itu
tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan terlihat seperti mati.
Kebudayaan juga membawa identitas tersendiri bagi masyarakat di mana
kebudayaan itu berkembang. Tidak hanya itu, kebudayaan menjadikan manusia
dapat mengungkapkan perasaan-perasaanya. Bagi jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari, kebudayaan merupakan sarana bagi mereka untuk mengungkapkan
perasaan syukur mereka kepada Tuhan. Penggunaan gamelan menjadi salah satu
sarana bagi jemaat untuk mengekspresikan rasa syukurnya. Tidak hanya itu,
gamelan juga dijadikan alat untuk mengekspresikan iman jemaat, sekaligus
menjadi alat Pekabaran Injil bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Sebagai salah
satu kebudayaan Bali, penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah
dapat membawa jemaat lebih bisa menghayati kegiatan ibadah. Penggunaan
gamelan di gereja pun tidak hanya mendapatkan respons yang baik antar jemaat,
melainkan juga dengan masyarakat Hindu di sekitar lingkungan gereja.
Masyarakat merasa bahwa kebudayaan Bali sangat dihargai oleh orang Kristen,
maka tidak jarang beberapa masyarakat Hindu turut ambil bagian dalam menabuh
34
gamelan di ibadah Kristen. Umat Hindu merasa bahwa jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari memiliki visi yang sama, yaitu melestarikan budaya Bali.
Kebudayaan dijadikan sebagai sebuah norma yang mengatur pola kehidupan
bermasyarakat. Norma ini sering disebut dengan adat istiadat. Koentjaraningrat
mengatakan bahwa di dalam perbedaan sekalipun adat istiadat yang terbentuk
dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang telah disepakati bersama di dalam
masyarakat, pada akhirnya akan mempersatukan segala perbedaan yang ada. Oleh
karena itu, gamelan sebagai suatu kebudayaan membentuk suatu sistem adat
istiadat yang ada diantara jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dan umat Hindu, yang
akhirnya mempersatukan perbedaan keyakinan sehingga membentuk rasa aman
dan damai dalam menjalani kehidupan.
Pendekatan budaya yang dilakukan oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari
pada akhirnya membawa perubahan sosial bagi jemaat itu sendiri. Perlahan-lahan
jemaat mulai menggunakan tradisi Bali disetiap kesempatan dan disesuaikan
dengan konteks kekristenan. Misalnya saja tradisi ngejot dan pemasangan penjor.
Tradisi ngejot merupakan tradisi berbagi menurut kepercayaan umat Hindu.
Biasanya dalam sebuah upacara, umat Hindu akan menghidangkan makanan yang
terlebih dahulu didoakan menurut kepercayaan umat Hindu. Setelah itu makanan
tersebut akan dibagikan kepada tetangga mereka. Tradisi ini diadaptasi oleh
jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tentu saja disesuaikan dengan konteks
kekristenan dan biasa dilakukan pada hari raya gerejawi, seperti Natal, Paskah,
dan sebagainya. Tradisi ngejot ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan syukur
jemaat atas berkat Tuhan yang melimpah di kehidupan mereka, maka
pengungkapan rasa syukur itu mereka wujudnyatakan dalam hal berbagi sehingga
orang lain juga dapat merasakan berkat Tuhan yang melimpah.
Selain tradisi ngejot, dalam suatu hari raya gerejawi, GKPB Pniel
Blimbingsari juga sering mendirikan penjor, yaitu tiang bambu dengan ujung
melengkung dan biasanya dihias dengan menggunakan janur dan hasil kebun.
Bagi umat Hindu, penjor merupakan simbol gunung yang memberikan
keselamatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, GKPB Pniel Blimbingsari
menggunakan penjor sebagai bentuk ungkapan syukur atas berkat yang melimpah
melalui hasil kebun mereka. Biasanya untuk menyesuaikannya dengan konteks
35
kekristenan, diujung penjor akan digantungkan ornamen salib yang terbuat dari
janur.
Tradisi-tradisi yang digunakan oleh GKPB Pniel Blimbingsari merupakan
salah satu bentuk usaha kontekstualisasi budaya supaya gereja semakin dekat
dengan lingkungannya. Maka dari itu, tidak mengherankan jika pada saat ini Desa
Blimbingsari berkembang menjadi desa wisata yang diminati oleh wisatawan
lokal maupun wisatawan asing. Segala unsur kebudayaan Bali yang digunakan
dalam ibadah Kristen, seperti yang dilakukan oleh GKPB Pniel Blimbingsari
merupakan salah satu contoh bahwa sesungguhnya gereja pun turut bertumbuh
bersama masyarakat. Gamelan menjadi salah satu unsur pemersatu bagi seluruh
rangkaian tradisi yang digunakan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari telah
menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadahnya, maka secara otomatis
hal tersebut menandakan perayaan penting sedang dilakukan oleh gereja dan
seluruh rangkaian liturgi, simbol-simbol, dan tradisi pun pasti menggunakan
kebudayaan Bali yang telah disesuaikan dengan kekristenan.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kebudayaan identik dengan keseluruhan tindakan manusia yang menetap
disuatu tempat tertentu dan menghasilkan suatu karya yang berguna untuk
menopang kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini menjadikan kebudayaan
seringkali dijadikan sebagai identitas bagi sekelompok masyarakat tergantung di
mana kebudayaan itu berkembang. GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan
gamelan sebagai musik pengiring ibadah, sekaligus menjadikan gamelan sebagai
identitas budayanya, yaitu budaya Bali.
Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari memahami bahwa penggunaan gamelan
dan budaya Bali dalam ibadah Kristen merupakan salah satu cara untuk
mendekatkan diri dengan budaya dan masyarakat mayoritas beragama Hindu,
sehingga gereja tidak menjadi persekutuan yang asing di tengah masyarakat.
Selain itu, penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah juga menjadi
sarana Pekabaran Injil bagi jemaat, karena penggunaannya bisa disesuaikan
dengan konteks kekristenan, tanpa mengurangi makna dari budaya itu sendiri.
36
Usaha kontektualisasi budaya dengan menggunakan gamelan sebagai alat
musik pengiring ibadah memang bukanlah hal yang mudah. Kontroversi diantara
jemaat perihal penggunaan gamelan terjadi, karena beberapa jemaat “tua” yang
sebelumnya beragama Hindu memahami bahwa ketika mereka sudah
berkomitmen untuk menjadi manusia baru di dalam Kristus, berarti mereka harus
meninggalkan kehidupan yang lama, termasuk budaya yang berkaitan dengan
agama Hindu. Gamelan merupakan alat musik yang sering digunakan dalam
upacara sakral umat Hindu, maka dari itu menurut mereka gamelan tidak boleh
digunakan di dalam ibadah Kristen. Tidak hanya beberapa orang “tua”, beberapa
generasi muda pun kurang bisa menghayati jalannya ibadah ketika gamelan
digunakan sebagai musik pengiring ibadah. Hal ini dikarenakan kurangnya
pemahaman generasi muda tentang gamelan. Oleh karena itu, untuk meredakan
kontroversi yang ada, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan pendekatan agar
seluruh jemaat dapat memahami makna dari kontekstualiasi budaya, dalam hal ini
penggunaan gamelan, di dalam ibadah. Gamelan terus digunakan secara berkala di
dalam ibadah kontekstual dan hari raya gerejawi. Hasilnya, lama-kelamaan jemaat
mulai terbiasa dan lebih bisa menghayati prosesi ibadah ketika diiringi dengan
gamelan.
2. Saran
Kontekstualisasi budaya yang dilakukan oleh jemaat GKPB Pniel
Blimbingsari merupakan salah satu contoh positif yang dapat diterapkan oleh
gereja-gereja masa kini. Tulisan ini merupakan rujukan bagi gereja-gereja di
Indonesia, khusunya gereja di Bali agar memahami bahwa gereja tidak seharusnya
melupakan budaya dan menjadi sebuah persekutuan eksklusif yang terlepas dari
masyarakat. Gereja harus lebih mendekatkan diri dengan adat dan budaya
setempat karena sejatinya kekristenan berkembang bersama adat dan budaya.
GKPB Pniel Blimbingsari memberikan contoh yang positif perihal bagaimana
gereja mengakrabkan diri dengan budaya, sehingga hasil yang dicapai tidak hanya
bermanfaat bagi gereja, melainkan juga bagi seluruh masyarakat di sekitar gereja.
Apa yang dilakukan oleh GKPB Pniel Blimbingsari kiranya menjadi acuan bagi
GKPB diseluruh Bali dalam mendekatkan diri dengan budaya yang ada, sehingga
37
gereja tidak bertumbuh dan berkembang sendiri, melainkan bertumbuh bersama
dengan masyarakat.
38
Daftar Pustaka
Ayub, Ketut Suyaga. Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan
di Bali. Yogyakarta: Andi, 2014.
Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Bohlman, Philip V. The Study of Folk Music in The Modern World. Bloomington:
Indiana University Press, 1988.
Bungsin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985.
Hauken, A. Ensiklopedi Gereja: Jilid V. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
2005
Ihromi, T. O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016.
Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta:Sinar Harapan, 1981.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia.
Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Martasudjita, E. dan J. Kristanto. Panduan Memilih Nyanyian Liturgi.
Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro. Tinjauan
Etnomusikologi: Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai. Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2014.
Mawene, M. Th. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: Andi, 2004.
Merriam, Alan P. The Anthropology of Music. Northwestern: University Press,
1964.
Nakagawa, Shin. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Prier, Karl Edmund. Sejarah Musik: Jilid 1. Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi,
1991.
39
Samiyono, David. Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja.
Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006.
Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006.
Senen, I Wayan. Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali. Yogyakarta: BP
ISI, 2005.
Simanjuntak, Ridayani. “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas.” Dalam
Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis
Budaya Lokal, disunting oleh Bungaran Antonius Simanjuntak. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Soeharto, M. Kamus Musik. Jakarta: Gramedia, 1992.
Sukarto, Aristarchus. “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan
Teologis dan Kultura.” Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik
Gerejawi, no. 48 (1994): 119.
Sukerna, Nyoman. Gamelan Jegog Bali. Semarang: Intra Pustaka Utama, 2003.
Sukerta, Pande Made. Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002.
Sunarya, I Wayan. Blimbingsari Selayang Pandang. Yogyakarta: Andi, 2015
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Widhyatama, Sila. Sejarah Musik dan Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka,
2012.
Widiarto, Tri. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga:Widya Sari Press, 2005.