i
PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER TANTRUM ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Albertin Melati Widyaninta
119114040
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
PEN,TAHAMAN IBU MENGENAI TEN'IPER TANTRUM ANAK
Disusun oleh:
Albertin Melati Widyaninta
1r9114040
Telah Disetuiui Oleh:
Dosen Pembirnbing.
^ '^tl( ip
A,trWt-l--rlt u v'
Ratri Sunar Astuti. M.Si.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
PEMAHAMAN IBU MENGEI\AI TEMPI,R TANTRUM AI\AK
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Albertin Melati Widyaninta
NIM: 119114040
Telah dipertanggrurgjawabkan di depan Panitia Penguli
Pada tanggal 14 Mmet 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat.
Penguji I
Penguji II
Pengujitrl
Nama lengkap
Ratri Sunar Astuti, M. Si.
M. L. Anantasari, M. Si.
P. Eddy Suhartanto. S. Psi., M Si
Yoryakart4 ...........
Fakultas Psikologi
1117CU I I
Universitas Sanata Dharma
Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
iii
'p\" g c
ur,FW*
\ *""?hi'iis z
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung
di dalam Dia yang memberi kekuatan padaku.”
Filipi 4:13
“Birds don’t just fly, they fall down and get up.
Nobody learns without getting it wrong.”
Try Everything, ost. Zootopia
“It’s time to see what I can do
To test the limits and break through.”
Let It Go, ost. Disney Frozen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Demikian, usaha yang kutempuh melampaui batasku kupersembahkan kepada
Tuhan Yesus Kristus,
yang selalu hadir dalam rupa percikan api semangat dalam titik terendahku.
Ibu Nien,
yang segala perhatiannya dicurahkan padaku.
Bapak Budi,
yang segala kepunyaanya disediakan bagiku.
Adik Eno,
yang tingkah ajaibnya selalu bisa jadi pelarian atas jenuhku.
Aditya,
yang mengajari untuk setia dalam perjuanganku.
Semua sahabat, rekan yang terlibat,
yang bahkan kehadirannya tidak kuduga namun Tuhan hadiahkan padaku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 13 fubruori aotT
Penulis,
W?$s(Albertin Melati Widyaninta)
V1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTHER’S UNDESTANDING TO INFANT’S TEMPER TANTRUM
Albertin Melati Widyaninta
ABSTRACT
This research aimed to explore mother’s understanding to child behavior while
expressing temper tantrum. The design of this research is qualitative in
interpretative phenomenological analysis method which applied to data obtained
on semi-structured interview and observation. This research was conducted on
three mothers who have a daughter or son aged 18 months to 3 years old and
indicated with temper tantrum symptomps. The result showed that mother’s
understanding about child temper tantrum vary based to educational degree and
living place area. Variation of mother’s understanding about child temper tantrum
implicated to variation of mother’s attitude to child temper tantrum. Furthermore,
mother’s attitude to child temper tantrum implicated to mother’s responses to child
temper tantrum and mother’s strategies to cope child temper tantrum.
Keywords: mother, understanding, attitude, strategy, temper tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER TANTRUM ANAK
Albertin Melati Widyaninta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemahaman ibu mengenai perilaku temper
tantrum anak. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis
yang diterapkan pada data yang diperoleh melalui metode wawancara semi
terstruktur dan observasi. Informan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah tiga
orang ibu yang memiliki anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dengan
indikasi temper tantrum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman ibu
mengenai perilaku temper tantrum anak memiliki variasi sesuai dengan tingkat
pendidikan dan lokasi tempat tinggal. Ragam pemahaman ibu mengenai temper
tantrum mempengaruhi variasi sikap ibu terhadap temper tantrum. Selanjutnya,
sikap ibu terhadap temper tantrum mempengaruhi cara ibu merespon dan memilih
strategi untuk menanggulangi temper tantrum.
Kata kunci: ibu, pemahaman, sikap, strategi, temper tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Albertin Melati Widyaninta
NIM : 119114040
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PEMAHAMAN IBU
MENGENAI TEMPER TANTRUN{ ANAK
Besefia perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk rnenf itnpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di intemet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal. 14 Junt 'rOll
Yang menyatakan
ruO i ,
'dr{P " o }'-aa)L\$(/ \-/
(Albertin Melati Widvaninta)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan yang tiada berkesudahan sehingga
penelitian dengan judul PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER
TANTRUM ANAK ini telah selesai. Penelitian ini disusun sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar Strata Satu (S1) Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Selama proses penyusunan, peneliti telah didukung oleh beberapa pihak.
Oleh karena rasa syukur ini, peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus. Terima kasih rasanya tidak cukup untuk mewakili
betapa diriku bersyukur memiliki Tuhan selembut sekaligus sekuat Engkau
yang penyertaan-Nya sungguh terasa dalam setiap proses penyelesaian
penelitian ini.
2. Ibu Nien Haryanti, ibuku yang selalu percaya bahwa aku bisa melampaui
segala yang sedang kuhadapi. Makasih ya, bu. Kepercayaan ibu buat Ela lah
yang membuat Ela percaya diri buat ngerjain skripsi ini. Makasih, Ela udah
ibu whatsapp terus, nanyain keadaan Ela.
3. Bapak Budi Widyatmoko, ayahku yang sudah mengupayakan untuk selalu
memenuhi kebutuhanku. Makasih ya, pak. Ela selalu bisa bersandar pada
bapak dan punya keyakinan bahwa Ela gak akan jatuh.
4. Adik Eno Widyananda, semoga skripsi mbak bisa jadi tambahan pengetahuan
buat adek. Besok kuliahnya gak usah kelamaan kayak mbak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
5. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku pembimbing skripsi selama 5 semester.
Terima kasih, ibu, atas pendampingan dan kesabaran ibu dalam pengerjaan
skripsi ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu yang banyak untuk
membantu skripsiku ya, bu.
6. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. Selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah memimpin Fakultas Psikologi ini dengan tangguh dan bijaksana.
7. Kedua dosen penguji Ibu M. L. Anantasari, M. Si. Dan Ibu Diana Permata
Sari, M. Sc. Yang telah membantu proses penyempurnakan skripsi saya.
8. Bapak Prof. Augustus Supratiknya, Ph. D. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah berkontribusi pada perkuliahan saya.
9. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas passion ibu
dan bapak sekalian dalam mentransfer ilmu yang memberi saya kesempatan
untuk mengembangkan ilmu Psikologi dan bersama dengan para karyawan
yang suasana kekeluargaannya membuat saya sangat kerasan di fakultas ini.
10. Aditya Dewantoro, pacar yang tingkah lakunya menjengkelkan tapi selalu
mengusahakan semua yang baik buat perkembanganku menjadi pribadi yang
semakin dan semakin baik. Makasih ya, ndut. Aku yakin 100% nggak ada satu
orangpun yang sespesial (baca: seaneh, seunik, seajaib, dan senyeleneh)
kamu!
11. Saktya Pratita dan Anoy Widya Sasmita, dua orang lelaki tangguh dan
kompeten di Psikologi. Matur nuwun sanget, berkat kepercayaan kalian
padaku (Saktya di BEMF Psi 13-14 dan Anoy di AKSI 2015), aku bisa
berkembang, melampaui diriku, yang semula nggak mampu untuk sekedar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
berani tampil di depan orang banyak menjadi orang yang akhirnya
dipercayakan untuk memimpin orang banyak. Salim, Sak, Noy.
12. Ghea Kuncahyani, Stella Vania, Agnes Wijaya, Retha Sekar Lelyana,
Dianasia Tyas, Mira Toby, Bincik Primaturini, Bene Pasaribu, Rere Siniwi,
Martha Sihombing, Bella Indyaningtyas, Angga Kurnianto, sebagai sahabat-
sahabat yang memberikan kenyamanan dalam kegelisahan dan penguatan
dalam kebimbangan. Aku bersyukur karena Tuhan telah menghadiahkan
kalian dalam hidupku. Peluk satu-satu!
13. Seksi Publikasi dan Dekorasi Psychofest 2011: Mas Plentong, Mbak Astrid,
Agnes, Ateng, Anton. Berkat mas Plentong selaku koordinator seksi yang
telah memilih aku jadi anggota, aku jadi kecebur di populasi cah kepanitiaan
Psi dan menemukanku pada tambatan hatiku.
14. Konseptor dan Tutor AKSI 2012: Mas Hanif, Mas Kribo, Mbak Valen, Mbak
Sondra, Mbak Tari, Saktya, Ateng, Mas Wawan, Mas Erga, Mbak Vita, Tyas,
Bene, Bella, Rere, Agnes, Pika, Anita. Berkat dinamika bersama kalian
bertujuh belas, aku jadi punya banyak soft skill baru yang menyadarkanku
bahwa skill yang aku punya belumlah ada apa-apanya.
15. Panitia Inti BEMF 2013-2014: Saktya, Ani, Bella, Patrice, Fani. Berkat
Saktya, aku jadi makin kecebur di populasi cah kepanitiaan fakultas, aku
diajari banyak banget skill yang bikin aku mampu bertindak dalam lingkungan
sosial. Makasih banget, mumet-mumet-nya kita berenam membekas di hati dan
pelajarannya bisa kubawa sampai mati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
16. Panitia AKSI 2015: Anoy, Elis, Vico. Anoy yang celelekan tapi berhati-hati,
Elis yang skillful pada jobdesc dan keluguannya mencairkan suasana, dan
Vico yang jahil tapi galak. Kita berempat adalah komposisi anggota divisi
yang paling pas dan saling menunjang penyelesaian pekerjaan dan
kekompakan. Aku kangen nge-ArtJog bareng lho!
17. Saudari-saudari KKN: Yasmine, Muti, Ayuk, Irene. Kehadiran kalian dalam
hari-hariku selama satu bulan di Gupit mengajarkanku cara mencintai sesama
dengan menerima apa adanya. Pendadaranku mbok do teko to!
18. Keluarga Psikologi 2011, semuanya, tak terkecuali, status apapun yang
sekarang kalian sandang. Terima kasih bahwa keragaman kalian menciptakan
dinamika yang unik, membuat nyaman, dan menujang perkembanganku di
fakultas kita tersayang. Terima kasih telah menjadi bagian yang akan selalu
kurindukan ketika pulang ke Jogja.
19. Ketiga informan yang telah menyediakan diri untuk berbagi pengalaman yang
sangat bernilai untuk penelitianku. Terima kasih banyak, semoga senantiasa
menjadi ibu yang tangguh dan skillful dalam menunjang perkembangan anak-
anak.
20. ChaCha Milk Tea, Hero Coffee, dan Peacock Coffee. Terima kasih telah
menjadi tempat yang nyaman untuk ber-progress hingga aku menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Menjadi tempat yang membuatku melampaui diri, dari
yang semula jam 22.00 sudah mengantuk sampai jadi tahan memandang
laptop hingga subuh. Aku rekomendasikan ketiga tempat ini buat para pejuang
skripsi selanjutnya!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………..………1
A. Latar Belakang ………………………………………………………..…1
B. Rumusan Masalah …………………………………………....………….8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………...8
D. Manfaat Penelitian ...…………………………………………………….8
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….10
A. Temper Tantrum ……………………………………………………….10
1. Definisi temper tantrum ……………………………………………10
2. Usia kemunculan temper tantrum ....…………………………...……10
3. Perilaku yang menyertai temper tantrum ………………………......11
4. Faktor-faktor penyebab kemunculan temper tantrum ……………….12
5. Klasifikasi temper tantrum yang normal dan abnormal................... 15
B. Strategi Menanggulangi Temper Tantrum ………..….............................16
C. Perkembangan Anak ...………………………………………..…………19
1. Perkembangan fisik dan motorik …………………………………....19
2. Perkembangan kognitif dan bahasa …………………………..……...20
3. Perkembangan sosial …………………………………………….…..23
4. Perkembangan emosi ……………………………………………..…25
5. Perkembangan agresi ..........................................................................30
D. Pemahaman Ibu ………………………………………………………..31
1. Memahami …………………………………………………………..31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman ibu ...................... 35
3. Pentingnya memahami temper tantrum anak ………………………..36
E. Pertanyaan Penelitian ……………………………….…………………...37
1. Fokus penelitian……………………………………………...…….. 37
2. Pertanyaan pendukung ………………………………………………37
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………39
A. Jenis Penelitian ……………………………………………………….…39
B. Fokus Penelitian ……………………………………………..………….40
C. Batasan Istilah …………………………………………………………...40
D. Partisipan Penelitian ……………………………………………...……...42
E. Metode Pengumpulan Data ……………………………………………...43
F. Panduan Wawancara ………………………………………..…………...46
G. Proses Pengumpulan Data ……………………………………………….47
H. Metode Analisis Data …………………………………………….……...48
I. Krediilitas Penelitian …………………………………………………….50
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………….…52
A. Pelaksanaan Penelitian ……………………………….………………….52
B. Gambaran Informan ……………………………………….…………….55
1. Informan 1 …………………………………………………………...55
2. Informan 2 …………………………………………………………...56
3. Informan 3 …………………………………………………………...57
C. Hasil Penelitian: Deskripsi Tema Umum ………………………………..57
1. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak ……….………….58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
2. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak ……………………61
3. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu ………………………...66
4. Strategi menanggulangi temper tantrum …………………………… 71
D. Pembahasan ……………………………………………………………...74
1. Informan 1 ……………………………………………………….… 75
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………..…...75
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak …………....…..76
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu …………….……....78
d. Strategi menanggulangi temper tantrum …………………...……79
2. Informan 2 …………………………………………………………...80
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………..…...80
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak ………………..81
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu ……………………83
d. Strategi menanggulangi temper tantrum ………………………...84
3. Informan 3 …………………………………………………………...85
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………….....85
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak …………….… 87
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu …………………….89
d. Strategi menanggulangi temper tantrum ……………………...…90
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………..95
A. Kesimpulan …………………………………………………..………….95
B. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………… 96
C. Saran ………………………………………………………….………….96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara …………………………………………………...46
Tabel 2. Data Demografi Informan ….…………………………………….....52
Tabel 3. Proses Pengumpulan Data Informan 1 …………………………………53
Tabel 4. Proses Pengumpulan Data Informan 2 …………………………………53
Tabel 5. Proses Pengumpulan Data Informan 3 …………………………………53
Tabel 6. Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak ……………………91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR GAMBAR
Skema 1. Pola Pengaruh Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum …………75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Informed Consent Informan 1 ………………………………………………….104
Biodata Informan 1 ...……………………………………………………… 105
Informed Consent Informan 2 ………………………………………………….106
Biodata Informan 2 ………………………………………………………… 107
Informed Consent Informan 3 ……………………………………………… 108
Biodata Informan 3 .……………………………………………………… 109
Tabel Analisis Isi Informan 1 ..…………………………………………………110
Tabel Analisis Isi Informan 2 …………………………………………………124
Tabel Analisis Isi Informan 3 …………………………………………………..157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa awal anak-anak adalah fase perkembangan dengan perubahan
yang cukup menonjol. Masa ini merupakan tingkat perkembangan saat anak-
anak menghadapi dunia sosial yang lebih luas (Santrock, 2002). Anak-anak
mulai keluar dari lingkup keluarga menuju lingkungan teman sebaya dan
memasuki lingkungan sekolah. Pada masa ini, anak-anak sudah mulai
memiliki pemahaman yang lebih kompleks mengenai lingkungan sosialnya
(Bukatko, 2008). Mereka sudah menyadari dan mampu mengekspresikan
keinginannya, namun mereka juga memahami bahwa lingkungan memiliki
aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang seringkali menghalanginya untuk
mencapai keinginan-keinginannya.
Anak-anak yang telah memahami hal-hal semacam ini kemudian
mengalami konflik antara otonomi yang dimiliki dan rasa malu dan ragu-ragu
yang ditimbulkan (Erikson dalam Santrock, 2007). Anak mengalami
kebingungan akibat konflik tersebut. Ketika anak-anak dihadapkan pada
situasi yang membingungkan, maka mereka akan mengalami frustrasi
sehingga menunjukkan reaksi-reaksi tertentu (Gunarsa, 1987). Tidak jarang,
reaksi-reaksi tersebut merupakan perilaku yang mengganggu dan merusak.
Perilaku tersebut di antaranya menangis dan marah (Gunarsa, 1987), dan
mengucapkan kata-kata kasar (Sarumpaet, 1978). Seorang ibu bercerita bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
anak laki-lakinya kerap melemparkan semua baju ke lantai setiap kali ia
pulang sekolah, tuturnya dalam tabloid Femina (no. 10/7-13Mar15 pada rubrik
Anda dan Keluarga).
Meggitt (2013) menyebut ledakan emosi frustrasi dan amarah yang
tidak terkontrol, seperti berteriak, menangis, menolak bekerja sama, marah
(dapat diekspresikan di antaranya dengan menendang, memukul, berteriak)
sebagai tantrum. Meggitt (2013) menyatakan bahwa temper tantrum muncul
sebagai akibat dari konflik antara hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Dengan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa frustrasi yang
dialami anak pada situasi yang membingungkan baginya akan dapat memicu
timbulnya tantrum.
Temper tantrum memberikan dampak kepada ibu. Sebagian besar ibu
melaporkan bahwa pada masa ini, mereka mulai merasa jengkel dan
kewalahan ketika berhadapan dengan anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh
Astrika dalam tabloid Ayah Bunda (no. 13/ 23Jun-6Jul14), dalam rentang usia
dua hingga tiga tahun, anaknya terlihat sering menangis, marah, menjerit,
menendang-nendang, mengamuk, dan pandai berargumentasi. Berdasarkan
perilaku tersebut, Astrika menyebut anaknya sebagai monster cilik.
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang ibu dengan 3 orang anak.
Dalam tabloid Familia (ed. 13/Nov04), ia mengeluhkan bahwa anak keduanya
berani melawan orang tua, mengganggu adiknya, dan kerap bertengkar dengan
kakaknya. Ibu merasa sangat jengkel sehingga berteriak dianggap menjadi
cara yang dianggap efektif untuk menekan kenakalan anak keduanya. Hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
usia tujuh tahun, ibu melabel anaknya sebagai trouble maker (atau peneliti
menerjemahkannya sebagai si biang kerok).
Meski melalui kedua fenomena di atas disebutkan bahwa temper
tantrum menyusahkan ibu, sebuah sumber menyebutkan bahwa kemunculan
temper tantrum merupakan perilaku yang biasa muncul dalam masa
perkembangan anak, khususnya pada rentang usia 18 hingga 60 bulan (Potegal
& Davidson (dalam Belden, Thomson, & Luby, 2008)). Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya karena anak belum cukup mampu
mengkomunikasikan keinginannya dengan jelas (Kopp dalam Bukatko, 2008)
atau karena kematangan fisiologis, yakni bagian frontal pada otak yang
mengontrol gairah (excitation) dan penghambat (inhibition) sedang dalam
proses pematangan (Fox & Schore dalam Bukatko, 2008) yang menyebabkan
letupan keinginan dan kemampuan anak untuk mengontrol keinginannya
seringkali berkonflik.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat adanya kesenjangan antara
pemahaman para ibu dengan uraian para pakar mengenai temper tantrum yang
muncul pada anak. Kemunculan tantrum seringkali menimbulkan rasa jengkel
bagi ibu, bahkan rasa malu bila terlihat oleh orang lain (Azar, Reitz, & Goslin,
2008) sehingga sebagian ibu melabel anaknya sebagai anak yang nakal.
Padahal, pemberian label semacam itu dapat berdampak buruk bagi anak.
Dampak buruk labelling yang mungkin terjadi, salah satunya adalah
terganggunya proses perkembangan anak pada tahapan selanjutnya seperti
disebutkan pada Santrock (2002), yakni tekun versus rendah diri (industry
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
versus inferiority). Santrock (2002) menyebut bahwa orang tua yang
memberikan label “kacau” atau “berantakan” pada hasil karya anaknya, dapat
mendorong perkembangan rasa rendah diri pada anak-anak.
Menjadi ibu berarti mengambil tanggung jawab untuk mengasuh dan
mendidik anak. Hal ini didukung oleh Kartono (1992) bahwa ibu harus
melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikologis anaknya dalam
mendampingi anak beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Dalam kasus
temper tantrum, tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan dalam sikap ibu
saat menangani perilaku negatif yang muncul. Penanganan atau sikap yang
sesuai hanya dapat dicapai apabila ibu memiliki pemahaman yang benar
mengenai kondisi anaknya, khususnya mengenai perilaku temper tantrum
yang diekspresikan anaknya.
Pernyataan ini didasarkan oleh pernyataan Anderson (dalam
Supratiknya, 2012) yang menyebut bahwa dalam definisi „memahami‟
terdapat kemampuan untuk membedakan atau mengklasifikasi dan membuat
perkiraan. Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa ketika ibu
memahami bahwa perilaku mengganggu dan merusak yang diekspresikan
anaknya adalah temper tantrum, maka ibu akan mengambil sikap yang tepat.
Sebaliknya, bila ibu tidak memahami bahwa perilaku-perilaku tersebut adalah
temper tantrum, melainkan perilaku nakal, maka ibu akan menyikapi dengan
salah dan berdampak buruk bagi anaknya.
Berikut adalah sikap yang benar dalam menangani temper tantrum.
Pada tabloid Ayah Bunda (no. 26/29Des14-11Jan15), Erweniati, seorang ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
berbagi cerita bahwa anak perempuannya yang berusia 2 tahun menunjukkan
perilaku berguling-guling di lantai untuk meminta dibelikan sebuah mainan di
suatu pusat perbelanjaan. Karena sudah paham bahwa anaknya sedang
mengekspresikan temper tantrum, maka ia menggendong anaknya ke luar toko
dan membiarkan temper tantrumnya selesai. Setelah itu, ia dan anaknya
berbicara dengan baik-baik dan mengajaknya pulang.
Sementara itu, berikut adalah sikap yang salah dalam menangani
tantrum. American Academy of Pediatrics (dalam Daniels, Mandleco, &
Luthy, 2012) memberi contoh mengenai anak yang mengekspresikan temper
tantrum karena menolak perintah ibu untuk tidur. Ibu mungkin menyikapi
temper tantrum anaknya dengan membolehkan anaknya terjaga hingga larut
malam. Namun, ibu mungkin tidak sadar bahwa sikapnya ini justru
memberikan penguatan (reinforcement) pada perilaku tantrum anaknya. Anak
pun mempelajari bahwa perilaku temper tantrum dapat digunakan untuk
memperoleh keinginannya.
Berdasarkan dua contoh di atas, tampak bahwa penanganan ibu
mengenai perilaku tantrum anaknya masih bervariasi. Purnomo (1990)
menyatakan bahwa keyakinan seseorang mengenai suatu situasi dapat menjadi
dasar seseorang untuk memilih respon dalam bertindak. Maka dapat dikatakan
bahwa perbedaan pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya
juga akan cenderung menampilkan variasi pada penanganan ibu terhadap
perilaku tantrum anaknya. Gunarsa (1987) juga berpendapat bahwa tantrum
dapat diatasi apabila ibu memiliki pemahaman yang cukup mengenai tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
perkembangan dan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Hal inilah yang
menjadi latar belakang bahwa pemahaman ibu mengenai temper tantrum perlu
diteliti lagi. Maka akan lebih baik apabila ibu memiliki pemahaman yang lebih
baik dalam melihat perbedaan antara perilaku tantrum dan perilaku
mengganggu dan merusak lainnya, atau sering disebut sebagai perilaku nakal.
Encyclopedia of Child Behavior and Development (2001) menjelaskan
tantrum sebagai: 1). Perilaku yang merusak dan tidak diinginkan sebagai
respon atas luapan emosi yang disebabkan oleh keinginan yang tidak
dipenuhi, 2). Ketidakmampuan untuk mengontrol emosi yang disebabkan oleh
frustrasi atau kesulitan untuk mengekspresikan keinginan tertentu. Menurut
sumber yang sama, kondisi seperti ini umum ditemui pada anak dalam rentang
usia 18 bulan hingga 4 tahun. Dengan demikian, perilaku tantrum perlu
dipahami sebagai ekspresi ketidaknyamanan dan frustrasi atas konflik yang
dialami oleh anak.
Menurut Gunarsa (1987), suatu perilaku dapat disebut nakal apabila
perilaku tersebut menimbulkan masalah bagi diri sendiri atau orang lain, dan
melanggar nilai-nilai moral maupun sosial. Sebagai contoh, anak yang nakal
akan menunjukkan perilaku seperti berbohong, memecahkan kaca jendela,
mengganggu adik, dan mencuri barang milik orang lain (Gunarsa, 1987).
Mengaitkan tantrum dengan kenakalan, sebuah artikel menyebutkan
bahwa temper tantrum lebih tepat dimaknai sebagai ketidakmampuan anak
untuk mengontrol perilakunya daripada dimaknai sebagai perilaku nakal
(Montgomery, 1987). Sumber lain menyebutkan bahwa perilaku tantrum dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
menjadi indikasi anak yang merasa tidak bahagia dan tidak nyaman, daripada
anak yang nakal (McCaskill, 1941). Dengan demikian, melabel perilaku
tantrum dengan kata „nakal‟ merupakan hal yang tidak tepat.
Pemahaman mengenai temper tantrum anaknya merupakan kemampuan
yang penting dikuasai oleh ibu dalam pengalamannya mengasuh anak. Paham
berarti memahami makna, membedakan hal yang benar dan yang salah, serta
membuat perkiraan atau strategi tertentu (Anderson dalam Supratiknya, 2012).
Menurut Irmansyah (dalam Nurrachman dan Bachtiar, 2011), memahami
adalah modal utama untuk membangun suatu hubungan yang positif dan
saling membahagiakan. Bila melihat implikasinya, pengetahuan ibu dapat
menstimulasi perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak (Balson,
1993), sebaliknya kegagalan ibu dalam mengidentifikasi maksud anak akan
membuat ibu mengembangkan perasaan tidak mampu memahami dan
menolong anak mereka (Balson, 1993), dan membuat anak mengembangkan
rasa rendah diri (Sarumpaet, 1978; Purnomo, 1990; Santrock, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemahaman ibu mengenai
perilaku temper tantrum anaknya. Untuk mecapai tujuan tersebut, peneliti
bekerja sama dengan para partisipan penelitian, yakni 3 orang ibu yang
berdinamika dengan anak dengan indikasi temper tantrum dalam rentang usia
18 bulan hingga 3 tahun.
Untuk memperoleh informasi pemahaman mengenai temper tantrum
yang bervariasi, masing-masing partisipan penelitian berasal dari latar
belakang pendidikan dan ekonomi yang berbeda-beda. Penentuan variasi latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
belakang tersebut didasari oleh Azwar (2005) mengenai sikap, bahwa
pembentuk sikap setidaknya dipengaruhi oleh pengalaman langsung,
pendidikan, dan paparan terhadap media massa.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pemahaman ibu mengenai perilaku tantrum anaknya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai perilaku
temper tantrum anaknya.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini menambah kelengkapan kajian mengenai
temper tantrum dalam bidang Psikologi Perkembangan, khususnya dalam
rangka memahami tahapan perkembangan (milestone) anak. Hingga saat ini,
topik temper tantrum banyak dikaji dalam bidang pengasuhan (Nursing)
khususnya dalam strategi penanggulangan perilaku temper tantrum.
Secara praktis, penelitian ini lebih banyak ditujukan untuk para ibu.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan pemahaman
mengenai temper tantrum, yakni membantu ibu mengenali berbagai perilaku
yang diekspresikan anak pada temper tantrum, berbagai kondisi dan faktor
penyebab kemunculan temper tantrum, gambaran dampak yang mungkin
dapat dirasakan ibu akibat temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Peneliti berharap melalui penelitian ini, para ibu dapat menerapkan
praktik pengasuhan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi psikologis anaknya.
Dengan menerapkan praktik pengasuhan yang sesuai, ibu dapat mejalankan
perannya sebagai penunjang perkembangan anak agar sesuai dengan tahapan
perkembangannya dan kesejahteraan psikologis akhirnya tercapai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Temper Tantrum
1. Definisi temper tantrum
Temper tantrum dapat dikenali dari berbagai istilah, seperti
„amukan‟, „mengamuk‟, dan „mengambek‟ (Meggitt, 2013; Suririnah,
2010). Temper tantrum didefinisikan sebagai semprotan emosi frustrasi
dan amarah yang ekstrem dan tidak terkontrol pada anak-anak kecil yang
tampak dari perilaku-perilaku tidak menyenangkan dan tidak sesuai
dengan situasi, seperti menangis, berteriak, dan menyakiti diri sendiri
(Daniels et al., 2012; Meggit, 2013; McCurdy dalam Daniels et al., 2012).
2. Usia kemunculan temper tantrum
Kemunculan temper tantrum dapat dilihat pada usia 1 hingga 4
tahun (Harrington, 2009). Hasil penelitian oleh Sullivan & Lewis (2012),
menunjukkan bahwa temper tantrum mulai muncul pada anak sekitar usia
12 bulan.
Temper tantrum juga dapat diidentifikasi pada usia yang lebih
besar, yakni mulai usia 16 hingga 36 bulan (Suririnah, 2010), pada rentang
usia 18 bulan hingga 4 tahun (Koulenti & Anastassiou-
Hadjicharalambous, 2011), dan melewati usia 18 bulan (Hockenberry et al.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
dalam Dinantia, Indriati, dan Nauli, 2014). Bahkan, Meggitt (2013)
menyebutkan bahwa tantrum biasanya terjadi pada anak usia 2 tahun.
Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku temper
tantrum muncul pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3 tahun.
3. Perilaku yang menyertai temper tantrum
Temper tantrum dapat dikenali dari perilaku tampak seperti
berikut. Harrington (2009) menyampaikan bahwa anak yang tantrum
menunjukkan perilaku merengek, mengeluh, menolak perintah,
membantah, memukul, berteriak, berlari, dan menantang guru atau orang
tua. Suririnah (2010) menemukan bahwa berteriak-teriak, berbaring di
lantai, menendang, membanting barang-barang, menahan napas,
membenturkan kepala ke tembok atau lantai, menangis adalah perilaku
yang kerap dijumpai pada anak tantrum.
Berikut adalah klasifikasi perilaku temper tantrum berdasarkan
sifatnya yang dikelompokkan menurut Belden et al., 2008 :
a. Agresi yang tidak destruktif, terdiri dari perilaku menendang tanpa
sasaran, menghentakkan kaki, memukul dinding, merengek, mengeluh,
menolak perintah, membantah, berteriak, berlari, menantang guru atau
orang tua.
b. Menyakiti diri sendiri, terdiri dari perilaku memukul diri sendiri,
membenturkan kepala, menahan nafas, menggigit diri sendiri,
c. Agresi oral, terdiri dari perilaku menggigit orang lain, meludah pada
orang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
d. Agresif destruktif, terdiri dari perilaku menendang orang lain,
memukul orang lain, melempar benda, merusak benda
Berikut adalah klasifikasi perilaku temper tantrum berdasarkan
intensitasnya yang dikelompokkan menurut Preschool Age Psychiatric
Assesment (PAPA) dalam Belden et al., 2008 :
a. Tantrum normatif, yakni tantrum yang jarang meningkat pada perilaku
menangis-berteriak berlebihan, dan tanpa disertai kerusakan-
kekerasan, atau keduanya.
b. Tantrum berlebihan tanpa agresi, yakni tantrum yang tidak disertai
agresi-kekerasan namun disertai dengan perilaku berteriak-menangis,
dan/atau memukul tanpa sasaran.
c. Tantrum berlebihan dengan agresi, yakni tantrum yang disertai dengan
perilaku menangis-berteriak, juga agresi-kekerasan terhadap objek,
orang lain, atau keduanya.
4. Faktor-faktor penyebab kemunculan temper tantrum
Selain memahami definisi, usia kemunculan, dan perilaku yang
sering muncul, para ibu juga perlu memahami pemicu temper tantrum.
Terdapat berbagai hal yang dapat menyebabkan perilaku tantrum muncul.
Suririnah (2010) menyebutkan bahwa anak yang mengekspresikan
tantrum sebenarnya ingin mencari perhatian, hal ini mungkin dapat
menjawab alasan temper tantrum muncul saat orang tua mengobrol dengan
teman. Penyebab selanjutnya adalah rasa frustrasi. Anak dapat merasa
frustrasi biasanya karena tiga hal berikut, yakni tidak diizinkan melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
sesuatu yang diinginkan, tidak mau meyelesaikan aktivitas yang
dikerjakan, atau dipaksa melakukan aktivitas yang tidak diinginkan.
Selanjutnya, anak dapat mengekspresikan temper tantrum karena mereka
mencontoh perilaku orang lain. Anak pernah melihat orang di
sekelilingnya mengekspresikan emosi negatif dengan mengambek. Anak
juga dapat menggunakan tantrum sebagai ancaman untuk mendapatkan hal
yang diinginkannya. Hal ini dapat terjadi karena orang tua tidak konsisten
dalam memberikan aturan mengenai hal yang boleh dan hal yang tidak
boleh dilakukan. Penyebab-penyebab yang ditimbulkan dari
ketidaknyamanan fisik seperti kelelahan, merasa lapar dan haus juga dapat
memicu kemunculan temper tantrum.
Pandangan dari sisi perkembangan anak disampaikan oleh Syam
(2013). Temper tantrum merupakan usaha keras dari autonomy yang
dikembangkan anak usia toddler dalam usahanya menolak aktivitas yang
tidak disukai. Dalam menanggapi salah satu fenomena yang dialami anak
dalam usia toddler, yakni kelelahan, Syam (2013) menjelaskan bahwa
kelelahan merupakan tindakan sederhana sebagai toleransi dari frustrasi.
Purnamasari dalam Syam (2013) menyampaikan bahwa anak usia
18 bulan hingga 3 tahun secara normal menunjukkan perilaku menentang
perintah. Hal ini merupakan masa eksplorasi, yakni memelajari batasan-
batasan di lingkungannya. Selain itu, perilaku menentang muncul karena
anak sedang dalam fase mengembangkan otonominya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Meggitt (2013) dalam terjemahan atas buku aslinya Understanding
Child Development, menjelaskan bahwa temper tantrum dapat terjadi
ketika seorang anak sedang sakit atau lelah, tetapi seringkali terjadi karena
ada konflik mengenai sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan
olehnya. Meggitt (2013) menyebutkan tujuh kondisi yang menjadi pemicu
tantrum, yakni frustrasi, tidak mendapatkan cukup perhatian, keinginan
untuk mandiri, ditolak, lapar, lelah, dan terlalu terstimulasi, serta ingin
mengetes batasan dan aturan.
Berdasarkan paparan berbagai referensi di atas, peneliti
mengkategorisasi faktor-faktor kemunculan temper tantrum dalam 2
kelompok besar, yakni:
a. Faktor penyebab
1) Faktor perkembangan: Menolak permintaan orang lain yang tidak
disukai, sedang mengetes batasan dan aturan di lingkungan. Kedua
hal ini berkaitan erat dengan fase otonomi yang sedang
berkembang.
2) Faktor fisik: sedang sakit, kelelahan, dan lapar.
b. Faktor pemicu
1) Faktor emosi: tidak mendapatkan cukup perhatian, ditolak, rasa
frustrasi, dan rasa takut.
2) Faktor sosial: terganggu oleh pernyataan verbal yang provokatif
dan mendapatkan penanganan yang salah dari orang tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
5. Klasifikasi temper tantrum yang normal dan abnormal
Pada bagian ini akan disajikan klasifikasi anak yang disebut sehat,
anak yang mengalami temper tantrum yang disebut sebagai normal dan
anak yang mengalami temper tantrum yang disebut sebagai normal
abnormal berdasarkan rentang usia anak.
Menurut Belden et al. (2008), anak disebut sehat apabila tidak
memiliki kriteria DSM-IV dalam psychiatric disorder apapun. Anak yang
disebut sehat ini menunjukkan perilaku temper tantrum yang secara
signifikan lebih sedikit menunjukkan kekerasan, menyakiti diri sendiri,
merusak, dan agresi secara oral. Anak sehat mengalami tantrum dengan
tingkat keparahan lebih ringan, durasi yang lebih pendek, dan
membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk kembali ke keadaan normal.
Menurut Daniels et al. (2012), temper tantrum anak disebut normal
apabila memiliki ciri-ciri yang tergolong dalam katergori usia, perilaku,
durasi, frekuensi, dan keadaan mood sebagai berikut. Anak mengalami
temper tantrum pada rentang usia 12 bulan dan akan berakhir pada usia 4
tahun. Anak mengekspresikan perilaku menangis, meronta, manjatuhkan
diri ke lantai, mendorong, menarik, atau menggigit objek. Dengan kata
lain, anak mengekspresikan temper tantrum dengan intensitas Tantrum
Berlebihan Tanpa Agresi berdasarkan PAPA dalam Berden et al., 2008.
Temper tantrum hanya berdurasi hingga 15 menit dan berlangsung kurang
dari 5 kali dalam sehari. Anak akan mampu mengembalikan moodnya ke
keadaan normal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Sebaliknya, temper tantrum anak disebut abnormal apabila masih
mengalaminya di atas usia 4 tahun. Anak mengekspresikan temper tantrum
disertai perilaku melukai diri sendiri atau orang lain, atau memiliki
intensitas Tantrum Berlebihan dengan Agresi berdasarkan PAPA dalam
Belden et al., 2008. Durasi tantrum anak melebihi 15 menit dan
berlangsung lebih dari 5 kali dalam sehari. Anak akan menunjukkan mood
yang secara terus menerus negatif dalam tantrumnya.
B. Strategi Menanggulangi Temper Tantrum
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyebutkan bahwa pengasuh
perlu melihat ekspresi keinginan anak sebagai hal yang normal, yakni usaha
yang sehat untuk mencapai kemandirian, bukan karena keras kepala,
sedangkan Balson (1993) menyatakan bahwa anak tidak berperilaku buruk
karena mereka terganggu secara emosional, tetapi mereka menjadi terganggu
secara emosional untuk berperilaku buruk. Maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pandangan atau sikap terhadap ekspresi tantrum sebagai hal yang
normal menjadi langkah pertama untuk menanggulangi kemunculan perilaku
yang destruktif.
Menurut Beaty (2014), hal yang terlebih dahulu harus diperhatikan
adalah pengelolaan atas reaksi emosional yang muncul. Untuk membantu
anak-anak mengelola reaksi emosional tidak sesuai, ibu perlu melakukan hal-
hal ini:
1. Menyingkirkan atau mengurangi penyebab emosi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
2. Meredakan respon negatif anak dengan membiarkannya
“mengeluarkannya” melalui tangisan, bicara, atau mengarahkan perasaan
negatif ke tindakan non destruktif.
3. Menawarkan dukungan, kenyamanan, dan ide untuk kontrol diri.
4. Mencontohkan sendiri perilaku-perilaku yang terkendali.
5. Memberi anak kesempatan untuk membicarakan perasaan negatif secara
sesuai.
Meggitt (2013) mengatasinya dengan menyasar langsung ke perilaku
temper tantrum yang telah muncul, seperti:
1. Menghindari penyebab tantrum dan mengalihkan perhatian anak.
2. Menghiraukan tantrum dengan memberikan perhatian sesedikit mungkin
terhadap amukannya.
3. Tetap tenang dalam menghadapi anak yang sedang mengekspresikan
tantrum.
4. Konsisten dengan penghirauan tersebut agar anak tidak mengulangi
perilaku tantrum.
5. Memberi sentuhan yang lembut dengan pelukan kuat dan berbicara dengan
tenang.
6. Memberi instruksi yang sederhana dan jelas untuk meredakan tantrumnya.
7. Memuji dan memberi hadiah bila anak berperilaku baik.
8. Menyediakan aktivitas yang menyenangkan.
9. Memperlakukan „setrap‟ atau time out bila tantrum muncul lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Berdasarkan beberapa referensi di atas, berikut adalah cara
penanganan temper tantrum yang tepat:
1. Ibu harus tetap tenang
2. Ibu berusaha untuk menghindari penyebab tantrum
3. Ibu perlu menghiraukan anak bila tantrum sedang memuncak dengan
memberikan perhatian sesedikit mungkin terhadap amukannya. Berikan
anak kesempatan untuk mengekspresikan tantrumnya. Meggit (2013)
menambahkan, apabila anak telah belajar untuk mengatur amarahnya sejak
kecil, ia akan lebih mudah mengekspresikan emosinya ketika sudah besar
nanti.
4. Konsisten dengan perilaku penghirauan tersebut agar anak tidak
mengulangi perilaku temper tantrum.
5. Bila tantrum sudah mereda, beri pelukan untuk memberi kenyamanan pada
anak sambil mendiskusikan perasaan negatif dan nasihat untuk mengontrol
diri. Instruksikan dengan jelas. Hal ini berarti memberikan kesempatan
anak untuk memverbalisasi tantrumnya dan mengungkapkan
keinginannya.
6. Ibu harus menjadi contoh anak dalam mengendalikan emosi.
7. Apabila tantrum muncul lagi, cara lain yang dapat digunakan adalah
mengalihkan perhatiannya ke aktivitas yang menyenangkan. Apabila
tantrum tidak terkendali, cara yang dapat digunakan adalah strap di sudut
ruangan atau kamarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
8. Apabila anak sudah mampu untuk mengendalikan tantrumnya, berikan
pujian atau hadiah.
C. Perkembangan Anak
Balson (1993) menyatakan dalam rangka memahami dan membantu
perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak, orangtua harus mempunyai
pengetahuan sehingga orangtua dapat membuat keputusan yang tepat
mengenai anak-anak mereka dan dapat menstimulasi perkembangan mereka.
Menurut Beaty (2014), anak-anak pada rentang usia antara 18 bulan
hingga 3 tahun disebut sebagai anak usia prasekolah. Papalia et al. (2007)
menyebut rentang usia sejak kelahiran hingga usia 3 tahun sebagai periode
bayi (infancy) dan balita (toddlerhood). Batas ini diperjelas oleh Santrock
(2007) dengan menyebut rentang usia 18 hingga 24 bulan sebagai periode bayi
(infancy) sedangkan pada rentang usia 2 hingga 5 tahun sebagai masa awal
anak-anak (early childhood).
1. Perkembangan fisik dan motorik
Satu alasan bagi perubahan besar pada perilaku anak selama dua
tahun pertama adalah perubahan besar pada tubuh mereka (Berk, 2012).
Papalia & Feldman (2014) mengatakan bahwa pertumbuhan fisik dan
perkembangan keterampilan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun sangatlah
cepat. Menurut Santrock (2007), ketika menginjak usia 2 tahun, mereka
mencapai tinggi 32 hingga 35 inci atau sekitar 82 hingga 89 cm, bahkan
menurut Berk (2012) tinggi mereka mencapai 36 inci atau 92 cm. Berat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
badan mereka pun telah mencapai seperlima berat orang dewasa. Menurut
Santrock (2007), saat usia 2 tahun, mereka berbobot 26 hingga 32 pon atau
setara dengan 12 hingga 15 kg, sedangkan menurut Berk (2012) mereka
berbobot 30 pon atau setara dengan 14 kg. Dengan pertumbuhan seperti
ini, Berk (2012) menggambarkan bahwa di tahun kedua perkembangan
mereka, kebanyakan balita terlihat bertubuh kurus.
Anak-anak juga mengembangkan aspek motorik mereka sehingga
mereka mulai menunjukkan keterampilan-keterampilan baru. Santrock
(2007) menyebutkan bahwa anak pada usia 18 hingga 24 bulan
mengembangkan keterampilan motorik kasar seperti 1) menyeimbangkan
diri di atas kaki dalam posisi jongkok saat bermain dengan objek di lantai,
2) melompat-lompat di tempat, 3) berjalan cepat atau berlari dengan kaku
dalam jarak pendek, dan 4) berjalan mundur tanpa kehilangan
keseimbangan. Selanjutnya, Santrock (2007) menyebutkan bahwa pada
usia 2 hingga 3 tahun, anak-anak telah mengembangkan keterampilan
motorik halus, yakni mencoret-coret meski belum dapat menulis.
2. Perkembangan kognitif dan bahasa
Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget dalam Santrock
(2007), bayi semenjak masa kelahiran hingga 2 tahun berada pada tahap
perkembangan kognitif yang pertama, yakni tahap sensorimotor. Pada
tahap ini, bayi memperoleh pengetahuan tentang lingkungannya dari
tindakan-tindakan fisik yang mereka lakukan, atau sebagaimana yang
diungkapkan Berk (2012) bahwa mereka „berpikir‟ dengan mata, telinga,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
tangan, dan instrumen sensoris-motorik lainnya. Pada tahap ini, Berk
(2012) mengungkapkan bahwa bayi belum mampu melakukan banyak
kegiatan di dalam kepala mereka, seperti berpikir dan bernalar. Mereka
merepresentasikan pengalaman dan memecahkan masalah praktis sehari-
hari dalam bentuk isyarat, permainan, dan ucapan. Kemudian, pada akhir
tahap ini,mereka mengembangkan pemikiran simbolik awal (Santrock,
2007). Hal ini sesuai dengan Papalia & Feldman (2014) bahwa pada akhir
tahun kedua, mereka berpikir menggunakan simbol dan menunjukkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Secara lebih rinci, Berk (2012) menjelaskan tahap perkembangan
kognitif sensoris-motorik dalam enam subtahap, yakni 1) skema refleksif,
2) reaksi sirkuler, 3) reaksi sirkuler sekunder, 4) koordinasi reaksi sirkuler
sekunder, 5) reaksi sirkuler tersier, 6) representasi mental. Subtahap skema
refleksif berlangsung mulai dari kelahiran hingga 1 bulan. Subtahap skema
refleksif hingga subtahap reaksi sirkuler tersier berlangsung dari masa
kelahiran hingga usia anak 18 bulan. Pada usia 18 bulan hingga 2 tahun,
anak mengalami perkembangan pada subtahap representasi mental. Pada
subtahap ini, anak telah memiliki gambaran internal mengenai suatu objek
atau suatu peristiwa tertentu. Kemampuan ini dapat ditemui misalnya pada
saat anak memiliki solusi atas suatu masalah yang tiba-tiba muncul, dapat
menemukan sebuah objek yang dipindahkan secara tidak tampak, dan
memahami permainan pura-pura.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Selanjutnya, berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget
dalam Santrock (2007), anak berusia 2 hingga 3 tahun berada pada tahap
perkembangan kognitif praoperasional, yang akan dialami anak hingga
usia 7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menggunakan gambaran-
gambaran mental untuk memahami lingkungannya, pemikiran-pemikiran
simbolik, seperti yang diekspresikan melalui penggunaan kata-kata dan
gambar-gambar mulai digunakan dalam penggambaran mental. Hal ini
berarti tahap perkembangan kognitif mereka telah melampaui hubungan
informasi sensorik dengan tindakan fisik. Namun demikian, muncul juga
egosentrisme dan sentralisasi yang disebut sebagai hambatan dalam
pemikiran anak pada tahapan ini. Adapun egosentrisme adalah
ketidakmampuan anak untuk membedakan perspektif diri sendiri dan
orang lain, sedangkan sentralisasi adalah pemusatan perhatian pada satu
karakteristik dan pengabaian karakteristik lain.
Perkembangan pada aspek kognitif mempengaruhi perkembangan
pada aspek bahasa. Pada aspek bahasa, Papalia & Feldman (2014)
menyatakan bahwa pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun,
penggunaan bahasa berkembang dengan cepat. Secara lebih rinci dalam
Santrock (2007) disebutkan bahwa pada usia 18 bulan, anak mengalami
kemunculan ledakan kosakata. Pada usia 18 hingga 2 tahun, anak senang
menggunakan ucapan dua kata. Penggunaan ini sangat bergantung pada
gerak tubuh, nada, dan konteks anak. Pada rentang usia ini pula, anak
mampu memahami kata-kata dengan cepat. Kemudian pada rentang usia 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
hingga 3 tahun, anak mengalami peralihan dari penggunaan kalimat-
kalimat sederhana menjadi kalimat-kalimat yang lebih kompleks.
3. Perkembangan sosial
Menurut Papalia et al. (2007), dalam periode bayi (infancy) dan
balita (toddlerhood) sedang mengembangkan self-awareness. Dengan ini,
mereka mulai memahami adanya berbagai keinginan dan kemampuan
untuk mencapai keinginan tersebut secara mandiri sehingga
mengembangkan tahap perkembangannya dari kebergantungan ke
otonomi. Pada rentang usia ini, mereka memiliki kelekatan dengan orang
tua dan pengasuh maupun objek lain seperti mainan atau selimut.
Meggitt (2013) menuliskan bahwa dalam mengembangkan
keterampilan sosialnya, anak pada usia 2 tahun suka bermain di samping
anak-anak lain, tapi tetap bermain sendiri. Mereka juga mulai merasa
percaya diri, namun tetap membutuhkan bantuan orang dewasa, terutama
ketika mengalami konflik.
Menurut Gottman & DeClaire (1997), anak-anak usia 1 hingga 3
tahun telah mampu (1) mengembangkan makna tentang diri sendiri dan
mulai menjajaki kemandirian, (2) berada dalam tahap perkembangan
mandiri sehingga memberi anak pilihan sendiri dapat menjadi sarana yang
tepat untuk memfasilitasi proses perkembangan otonomi, (3) menyimpan
ingatan tentang tingkah laku yang mereka amati dari keluarga dan
menirukan pada mainannya, (4) belum mempunyai keterampilan sosial
untuk bermain bersama sehingga bekerjasama dan berbagi menjadi hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
yang sulit. Meski demikian, perilaku tersebut tidak didasari sikap kasar,
melainkan ungkapan makna diri yang sedang berkembang, yakni hanya
dapat memikirkan sudut pandang diri sendiri, (5) disebut sebagai 2 tahun
yang mengerikan, mereka terlihat jauh lebih menonjolkan diri,
membangkang untuk pertama kalinya sehingga pelatihan emosi penting
untuk menolong mereka menangani frustrasi dan amarah.
Menurut Santrock (2007), anak pada usia 1 hingga 3 tahun sedang
berada pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, yakni otonomi vs
rasa malu dan ragu-ragu. Perkembangan ini ada kaitannya dengan
perkembangan aspek fisik-motorik anak. Pada tahun pertama, pencapaian
motorik anak adalah berjalan dengan mudah. Hal ini menyebabkan
meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu dan ragu-ragu
menjadi tahapan perkembangan psikososialnya. Perkembangan ini
memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih
leluasa dan untuk memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap.
Selain itu, menurut Papalia et al. (2007), perkembangan tahap ini ditandai
dengan pergantian dari kontrol eksternal ke kontrol diri sehingga
mengutamakan keinginan mereka sendiri. Mereka menjadi lebih mampu
untuk membuat keinginan mereka dikenal sehingga mereka menjadi
terlihat lebih berkuasa. Untuk menyeimbangkannya, Erikson dalam
Papalia et al. (2007) menempatkan malu dan ragu sebagai pengatur
batasan-batasan dan membantu mereka mengenali kegunaan batasan
tersebut. Perkembangan tahap inilah yang mampu menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
kemunculan masa negatif anak. Anak-anak mulai mengembangkan
pemahaman bahwa mereka makhluk individu, memiliki kontrol dan
kekuatan yang menarik. Mereka terdorong untuk mencoba ide dan
membuat keputusan sendiri. Ini adalah tanda normal dorongan otonomi.
4. Perkembangan emosi
Santrock (2007) menyatakan bahwa emosi merupakan „bahasa‟
pertama yang dibangun oleh orang tua dan bayi untuk berkomunikasi dan
dan menjadi faktor kunci dalam hubungan antara orang tua dan anak.
Gallagher dalam Beaty (2014) menemukan kaitan antara
pertumbuhan otak anak berkaitan dengan perkembangan emosinya. Otak
anak tumbuh dalam kompleksitas dan sangat sensitif terhadap lingkungan
yang mempengaruhinya (Papalia & Feldman, 2014). Gallagher dalam
Beaty (2014) menjelaskan bahwa otak kanan mereka berperan dalam
memproses emosi negatif, emosi intens, dan kreativitas sedangkan otak
kiri mereka berperan dalam emosi positif, perkembangan bahasa, dan
minat pada benda dan pengalaman baru. Pada 3 tahun pertama, otak
belahan kanan tumbuh lebih besar, maka anak perlu didampingi untuk
mengontrol emosi negatif. Anak-anak prasekolah sudah mampu
merasakan emosi seperti tertekan, marah, takut, sedih, terkejut, tertarik,
kasih sayang, dan senang. Respon terhadap reaksi emosi yang mereka
rasakan tergantung pada tingkat kedewasaan, lingkungan, reaksi orang lain
di sekitarnya, dan pembimbingan yang anak terima dari pengasuhnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Secara umum, anak pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3
tahun mengalami perkembangan aspek emosi sebagai berikut 1)
mengalami bermacam-macam perasaan baru yang sering kali
bertentangan, 2) sulit mengontrol dan menahan emosi, 3) semakin paham
berbahasa dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan emosi, 4)
mulai mampu mengekspresikan perasaan mereka dengan kata-kata, namun
sering frustrasi jika tidak mempu mengekspresikan diri, 5) mampu
menyadari dan menanggapi perasaan orang lain, 7) lebih banyak bermain
dengan anak-anak lain pada usia 2.5 tahun, namun tetap tidak mau berbagi
mainan dengan anak-anak lain (Meggitt, 2013).
Berikut adalah tahapan perkembangan emosi anak berdasarkan
tahapan usia anak. Pada usia 6 hingga 12 bulan, emosi dasar yang muncul
adalah bahagia, kaget, sedih, jijik, dan marah. Ragam emosi semakin
bertambah pada usia 12 hingga 18 bulan dan terus berkembang.
Penyesuaian sosial dan empati (pada tingkat awal) juga mulai muncul
(Papalia et al., 2007). Anak-anak pada usia 18 bulan telah mampu
menunjukkan emosi dan tingkah laku bervariasi, yakni senang, marah,
penasaran, tegas, dan sebagainya. Mereka juga mampu memahami
batasan, bermain jauh dari orang tua, dan memikmati kasih sayang dari
orang tua (Meggitt, 2013). Pada usia 18 hingga 30 bulan, anak sedang
mengembangkan emosi yang bersifat mengevaluasi diri, seperti malu,
cemburu, empati sebagai pendahulu kemunculan rasa malu dan bersalah.
Pada usia inilah fase negativisme dimulai (Papalia et al., 2007). Santrock
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
(2007) menambahkan bahwa emosi positif yang muncul pada rentang usia
ini adalah antusiasme, bahagia, cinta, sedangkan emosi negatif yang
muncul adalah cemas, marah, sedih.
Saat anak telah berusia 2 tahun, mereka dapat menunjukkan tanda
empati dan peduli. Mereka cenderung menunjukkan perilaku seperti
membantu atau menirukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga suka
meminta anggota keluarga untuk berada di dekatnya. Namun di sisi lain,
mereka menggunakan agresi fisik jika frustrasi atau marah. Sering kali,
mereka mengekspresikan frustrasi dengan menangis dan meronta,
frekuensinya memuncak selama tahun ini. Mereka senang bermain sendiri,
suka menyuruh, menentang, dan tidak sabar menunggu giliran. Mereka
posesif terhadap mainannya namun dapat menawarkan mainan untuk anak
lain. Mereka juga menginginkan segala sesuatu “persis seperti biasanya”
(Allen & Marotz, 2010).
Pada usia 30 bulan hingga 3 tahun, anak-anak menunjukkan
perkembangan kemampuan untuk “membaca” emosi orang lain, sehingga
mental state mulai terbentuk, dan mereka memahami intensi orang lain
(Papalia et al., 2007).
Santrock (2007) menjelaskan bahwa seiring bertambahnya
pengalaman pada masa awal anak-anak (early childhood), mereka
megembangkan berbagai macam emosi seperti rasa bangga, malu, dan
bersalah. Antara usia 2 dan 4 tahun, anak sudah dapat mendeskripsikan
emosinya dan belajar lebih mengenai penyebab perasaan-perasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Maka, dengan deskripsi para ahli di atas, berikut adalah ciri-ciri
perkembangan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun:
a. Pada rentang usia 18 hingga 24 bulan disebut sebagai periode bayi
(infancy) sedangkan pada rentang usia 2 hingga 5 tahun disebut
sebagai masa awal anak-anak (early childhood).
b. Memiliki tinggi badan 82 hingga 92 cm dan berat badan 12 hingga 15
kg sehingga kebanyakan dari mereka terlihat bertubuh kurus.
c. Sudah mampu berdiri seimbang, melompat di tempat, berlari dengan
kaku. Belum mampu menulis.
d. Rata-rata dari mereka telah mampu berjalan dengan mudah. Hal ini
menyebabkan meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu
dan ragu-ragu menjadi tahapan perkembangan psikososialnya.
Perkembangan ini memungkinkan bayi untuk menjelajahi
lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk memulai interaksi
dengan orang lain dengan lebih siap.
e. Sedang mengembangkan kemandirian atau otonomi; yang ditandai
dengan anak mulai memahami identitas diri, batasan lingkungan, dan
mengembangkan tahap dasar empati, namun masih menggunakan
sudut pandang sendiri. Perkembangan ini masih pada tahap awal atau
belum berkembang sempurna, sehingga masih sering gagal dalam
meregulasi emosi dan sering kali menunjukkan perilaku negatif.
Selain itu, perilaku membangkang, menentang, dan sikap kasar sering
ditemui pada usia ini untuk mengekspresikan otonominya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
f. Pada rentang usia 0 hingga 2 tahun merespon bersadarkan stimulus
yang diterima oleh mata, telinga, dan tangan, sedangkan pada rentang
usia 2 hingga 3 tahun mampu bernalar secara sederhana dan
berkomunikasi dengan ibu. Kata-kata sederhana dan gambar
disarankan untuk menambah efektivitas komunikasi dengan anak.
g. Sudah mampu mengungkapkan emosi dengan kata-kata, namun ketika
menemui kesulitan (rasa frustrasi), maka sering mengekspresikan
dengan menangis dan meronta
h. Respon anak terhadap lingkungan tergantung pada tingkat
kedewasaan, mengobservasi dan meniru orang lain, dan pengasuhan
orang tuanya. Terdapat beberapa penjelasan mengenai perilaku negatif
yang muncul:
1) Fase negativisme, yakni puncak kemunculan perilaku buruk sedang
berlangsung.
2) Otak kanan yang berfungsi dalam memproses emosi negatif
tumbuh lebih besar sehingga perkembangan emosi negatif lebih
pesat pada usia ini.
3) Bermacam-macam perasaan baru bermunculan, sehingga anak
mengalami kebingungan untuk mengenali emosi tersebut dan
menggunakannya untuk merespon lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
5. Perkembangan agresi
Menurut Tremblay dalam Berk (2006), setiap anak yang memasuki
masa akhir bayi (tahun kedua kehidupan (Berk, 2006)) menunjukkan
agresifitas seiring bertambahnya interaksi dengan saudara kandung dan
teman sebaya. Pada usia awal prasekolah, secara umum anak
menunjukkan dua tipe agresi, yakni agresi instrumental dan agresi
permusuhan (Berk, 2006). Agresi instrumental merupakan agresi yang
ditunjukkan oleh anak ketika menginginkan objek, keistimewaan, atau
tempat sendiri dengan perilaku mendorong, berteriak, atau menyerang
orang lain yang menghalanginya; sedangkan agresi permusuhan
merupakan agresi yang dimaksudkan oleh anak untuk menyakiti orang
lain.
Menurut Berk (2006), Agresi permusuhan terbagi menjadi tiga
jenis, yakni agresi fisik, agresi verbal, dan agresi relasional. Agresi fisik
dapat dikenali ketika anak menunjukkan perilaku membahayakan orang
lain melalui perilaku-perilaku fisik, seperti memukul, menendang, atau
merusak barang milik orang lain. Agresi verbal dapat dikenali ketika anak
menunjukkan perilaku-perilaku verbal, seperti mengancam untuk
melakukan agresi fisik, ejekan nama, dan olok-olok yang menunjukkan
permusukan. Agresi relasional dapat dikenali ketika anak menunjukkan
perilaku merusak relasi melalui eksklusi sosial, gosip buruk, atau
manipulasi pertemanan, seperti mengatakan “Pergi, aku bukan temanmu!”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Menurut Tremblay et al. dalam Berk (2006), memasuki masa awal
anak-anak, secara berangsur-angsur agresi fisik digantikan oleh agresi
verbal seiring berkembangnya kemampuan bahasa anak. Berk (2006)
menyebutkan bahwa memasuki usia prasekolah, agresi instrumental
menurun seiring berkembangnya kemampuan anak untuk menunda rasa
puas yang membuat mereka mampu menurunkan keinginan terhadap
barang milik orang lain. Selanjutnya, Tremblay et al. dalam Berk (2006)
menyebutkan bahwa anak-anak dengan usia lebih tua lebih mampu
mememahami maksud jahat sehingga lebih sering menunjukkan perilaku
balas dendam dengan cara-cara yang kasar.
Menurut Berk (2006), perubahan perilaku agresi dalam rentang
usia prasekolah merupakan hal yang wajar. Vaughn dalam Berk (2006),
agresi ditujukkan oleh anak untuk mengekspresikan sense of self yang
digunakan untuk mempelajari partisipasi dan penyelesaian masalah secara
sosial. Meski Berk (2006) menyebutkan agresi sebagai hal yang wajar,
sumber yang sama juga menyebutkan bahwa pada beberapa anak dengan
emosi negatif, impulsif, dan tidak menurut, agresi akan berlangsung lebih
lama.
D. Pemahaman Ibu
1. Memahami
Shiraev (2011) mendeskripsikan bahwa pengetahuan (knowledge)
adalah informasi yang memiliki tujuan atau kegunaan. Orang-orang
menggunakan pengetahuan untuk bermacam-macam tujuan. Terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
empat jenis pengetahuan menurut Shiraev (2011) dan yang paling dekat
dengan kehidupan kita adalah pengetahuan populer, yakni pengetahuan
yang diperoleh dari asumsi sehari-hari mengenasi fenomena-fenomena
psikologis. Asumsi tersebut biasanya diekspresikan dalam bentuk
kepercayaan, evaluasi, atau dugaan-dugaan tertentu.
Seperti yang diungkapkan oleh Shiraev (2011), pengetahuan berisi
informasi. Sebuah model dari Waugh dan Norman dalam Solso, Maclin,
dan Maclin (2008) menjelaskan proses informasi pada manusia. Mulanya,
stimulus dari lingkungan diterima oleh alat indera dan disimpan dalam
penyimpanan sensorik. Kemudian stimulus masuk ke dalam memori
jangka pendek. Stimulus tersebut kemudian disaring, sehingga informasi
akan dilupakan atau disimpan ke dalam penyimpanan permanen yakni
memori jangka panjang. Informasi yang disaring dalam proses inilah yang
kemudian akan memunculkan respon.
Hurlock (1989) menyatakan bahwa suatu pengetahuan ditentukan
oleh konsep. Konsep bukanlah kesan yang diterima langsung oleh alat
indera, melainkan hasil dari proses pengolahan dan perpaduan, sedangkan
kesan indera terpisah-pisah. Unsur-unsur dalam berbagai obyek atau
situasi yang ditangkap oleh alat indera berpadu menjadi satu konsep.
Konsep dapat berhubungan dengan orang, benda, dan kesan terhadap suatu
hal. Menurut Hurlock (1989), konsep bersifat simbolik karena bergantung
pada sifat situasi yang dihadapi dan akan berubah pada situasi lain. Selain
itu, konsep memiliki muatan emosional sehingga seringkali menentukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
perasaan seseorang terhadap orang, benda, atau situasi yang disimbolkan
oleh konsep tersebut. Muatan emosional ini seringkali juga menentukan
respon seseorang. Konsep memiliki sifat kompleks, yang akan berubah
ketika terdapat penambahan pengalaman dan pengetahuan baru.
Selain menentukan pengetahuan, menurut Hurlock (1989), konsep
merupakan aspek yang penting untuk menentukan keyakinandan perilaku
seseorang. Konsep yang mencakup sikap positif atau memiliki muatan
emosi yang menyenangkan akan memberi dorongan kepada seseorang
untuk bertindak secara positif, misalnya menerima. Sebaliknya, konsep
yang memiliki muatan emosi yang tidak menyenangkan akan mendorong
ke tindakan negatif, misalnya menghindari.
Hurlock (1989) menekankan bahwa keakuratan konsep seseorang
mempengaruhi pengertiannya. Semakin banyak konsep yang dimiliki
seseorang, semakin tepat dan besar pengertiannya. Kata „mengerti‟
menurut Smith (2013) memiliki arti yang sama dengan „memahami‟ atau
juga melakukan interpretasi, yakni mengidentifikasi, berempati, dan
memaknai.
Memahami adalah salah satu kategori pada taksonomi kognitif
yang dipopulerkan oleh Bloom et al. Anderson (dalam Supratiknya, 2012)
menyatakan bahwa memahami berarti mampu menjelaskan berbagai
gagasan atau konsep, memahami makna dan menafsirkan berbagai
perintah maupun masalah, serta merumuskan suatu masalah dengan
mendeskripsikannya sendiri. Sumber yang sama juga menjabarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
beberapa perilaku yang dapat mencerminkan pemahaman seseorang, di
antaranya mampu menginterpretasi, memparafrase, memberi contoh,
membandingkan, membedakan, mengklasifikasi, menyimpulkan, membuat
perkiraan, dan memprediksi.
Menurut Hardiman (2015), memahami adalah hal yang berbeda
dari mengetahui. Memahami mengandung makna empati sehingga dapat
dikatakan bahwa memahami dilakukan dengan hati sedangkan mengetahui
dilakukan dengan kepala, memahami dapat menjangkau permukaan
sedangkan mengetahui hanya sampai permukaan. Seseorang dapat saja
memiliki banyak pengetahuan, namun sedikit pemahaman. Memahami
tidak bertujuan untuk sekedar memperoleh data, melainkan untuk
menangkap makna.
Berdasarkan pemaparan mengenai pemahaman ibu, perkembangan
anak, dan ulasan mengenai temper tantrum, seorang ibu dikatakan
memiliki pemahaman tentang temper tantrum pada anaknya ketika
a. Berdasarkan observasi ibu terhadap anaknya, mampu mendefinisikan
tantrum atau mengklasifikasikan perilaku yang diekspresikan anaknya
sebagai tantrum (aspek kognitif)
b. Menyebutkan tantrum adalah hal yang normal (aspek kognitif)
c. Memiliki muatan emosi positif mengenai tantrum (aspek afektif)
d. Mampu menyikapi dan merespon atau menangani dengan dengan
benar (aspek konatif)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman ibu
Azwar (2005) memaparkan teori mengenai mengenai sikap.
Faktor-faktor pengaruh dan pembentuk sikap di antaranya terdiri dari 3
faktor berikut ini.
a. Faktor pertama, pengalaman pribadi sebagai pengalaman yang
meninggalkan kesan kuat, yakni pengalaman yang melibatkan faktor
emosional. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria
pertama, yakni ibu yang mengalami langsung pengasuhan anak dengan
indikasi temper tantrum.
b. Faktor kedua, institusi pendidikan sebagai dasar pembentukan
pemahaman dan konsep moral seseorang. Faktor ini dipilih sebagai
dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi latar belakang
pendidikan informan, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan
diharapkan mampu memberi variasi informasi khususnya mengenai
definisi temper tantrum.
c. Faktor ketiga, paparan media massa sebagai faktor yang dipandang
sebagai landasan kognitif bagi terbentuknya sikap dan persepsi
terhadap pengalaman tertentu. Faktor ini dipilih sebagai dasar
penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi tempat tinggal informan,
dengan alasan bahwa paparan terhadap media massa dapat diseleksi
melalui lokasi informan mempraktikkan pengasuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
3. Pentingnya memahami temper tantrum anak
Dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari, „memahami‟ orang
lain adalah modal utama untuk suatu hubungan yang positif dan saling
membahagiakan (Irmansyah dalam Nurrachman dan Bachtiar, 2011).
Dalam rangka memahami dan membantu perkembangan fisik, kognitif,
dan emosional anak, ibu harus mempunyai pengetahuan sehingga dapat
membuat keputusan yang tepat mengenai anak-anak mereka dan dapat
menstimulasi perkembangan mereka (Balson, 1993).
Balson (1993) juga mengungkapkan pentingnya orang tua untuk
memahami bahwa emosi diciptakan bagi anak untuk mencapai suatu
tujuan dalam perkembangannya. Anak tidak berperilaku buruk karena
mereka terganggu secara emosional, tetapi mereka menjadi terganggu
secara emosional untuk berperilaku buruk. Menurut Papalia et al. (2007),
pengasuh yang melihat ekspresi keinginan anak sebagai hal yang normal
dapat membantu mereka belajar kontrol diri, mendorong mereka memiliki
perasaan mampu, dan menghindari konflik terlalu banyak.
Ketidakmampuan orang tua dalam memahami emosi negatif
anaknya seringkali ditemui pada perilaku ibu yang memberikan labelling
negatif yang berdampak buruk pada anaknya. Purnomo (1990)
menyebutkan bahwa orang tua yang menghina anaknya akan membuat
anak menjadi rendah diri, sedangkan Santrock (2002) juga mendukung ide
tersebut dengan mengatakan bahwa orang tua yang memberikan label
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
“kacau” atau “berantakan” pada hasil karya anaknya, dapat mendorong
perkembangan rasa rendah diri pada anak-anak.
Dampak buruk tidak hanya berimplikasi pada anak, namun juga
pada ibu. Balson (1993) menyatakan bahwa kegagalan mengidentifikasi
maksud anak, atau dengan kata lain ketika ibu tidak memahami maksud
dari ekpresi tantrum anak, akan mengakibatkan orang tua mengembangkan
emosi negatif. Emosi tersebut di antaranya adalah perasaan tidak bisa
mengatasi, menanggulangi, memahami, atau menolong anak-anak mereka.
E. Pertanyaan Penelitian
1. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai temper
tantrum yang diperoleh dari pengalamannya dalam mengasuh dan
menangani anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun yang
mengekspresikan tantrum.
2. Pertanyaan Pendukung
Untuk memperoleh kesimpulan mengenai tingkat pemahaman ibu, maka
dibutuhkan beberapa pertanyaan sampingan yang mampu menuntun
informan memberikan informasi yang mendalam.
Adapun pertanyaan bertujuan untuk mengungkap
a. Pengalaman ibu dalam mengasuh anak
b. Perilaku anak yang menonjol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
c. Aspek kognitif dan afektif (hal-hal yang dirasakan) ibu yang menyertai
pengalaman dalam mengasuh anak
d. Strategi penanganan yang sudah dilakukan pada perilaku tantrum
e. Sumber informasi mengenai penanganan tersebut
f. Efektivitas mengenai penanganan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini hendak menggali pemahaman ibu mengenai perilaku
temper tantrum anaknya. Dengan demikian, peneliti memiliki kebutuhan
untuk memperoleh data berupa informasi yang sungguh berasal dari sudut
pandang orang yang mengalami sendiri fenomena yang dikaji sebagai topik
penelitian ini. Untuk memenuhi kebutuhan penelitian tersebut, peneliti
memilih untuk menggunakan metode kualitatif.
Peneliti memilih metode kualitatif karena memiliki beberapa fitur yang
dibutuhkan di dalam penelitian. Adapun fitur tersebut adalah mampu
mengungkap sudut pandang ibu secara lengkap dan mendalam, seperti
disampaikan oleh Geerts (dalam Smith, 2013) bahwa metode kualitatif
memungkinkan perolehan data yang subur dan terperinci mengenai fenomena
yang diteliti. Data yang subur dan terperinci, menurut Geerts & Smith (2013),
mampu menghasilkan interpretasi atas data mengenai persepsi, pemahaman,
atau penuturan para partisipan terhadap fenomena tertentu yang diperoleh
dalam wawancara.
Sejajar dengan tujuan dalam penelitian ini, peneliti memilih metode
analisis fenomenologi. Moelong (2008) mendefinisikan fenomenologi sebagai
1) pengalaman fenomenologikal atau pengalaman subjektif, 2) suatu studi
tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Moelong, 2008), 3) penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif
pertama seseorang. Moelong (2008) juga menyatakan bahwa fenomenologi
merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia. Dengan
kata lain, memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain. Pernyataan
ini didukung oleh pernyataan Smith (2013), yakni secara umum penelitian
psikologi fenomenologi bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami
secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga fenomenologi tidak
mencoba mereduksi gejala dalam variabel-variabel dan juga tidak mengontrol
konteksnya. Secara singkat, mengalami sendiri seperti yang sebenarnya.
Dengan demikian, metode analisis fenomenologi sesuai dengan kebutuhan
penelitian, kemudian dipilih dan digunakan dalam penelitian ini.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai temper
tantrum yang diperoleh dari pengalamannya dalam mengasuh dan menangani
anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun yang mengekspresikan
tantrum.
C. Batasan Istilah
Batasan istilah perlu dipaparkan pada bagian ini dengan tujuan untuk
menjelaskan, menyediakan pemahaman, dan menegaskan kembali sehingga
meminimalisir terjadinya miskonsepsi mengenai istilah-istilah yang digunakan
dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
1. Temper Tantrum
Berikut adalah batasan indikasi temper tantrum pada anak menurut
Daniels et al. (2012):
a. Ditandai dengan perilaku negatif yang ekstrem, seperti menangis,
meronta, manjatuhkan diri ke lantai, mendorong, menarik, atau
menggigit objek.
b. Anak mengalami temper tantrum pada rentang usia 12 bulan dan akan
berakhir pada usia 4 tahun.
c. Temper tantrum hanya berdurasi hingga 15 menit
d. Temper tantrum hanya berlangsung kurang dari 5 kali dalam sehari.
2. Pemahaman ibu
Istilah ‘pemahaman ibu’ mengacu kepada deskripsi ibu mengenai
a. Definisi temper tantrum, yakni uraian tentang perilaku yang
diekspresikan oleh anak disertai istilah orisinil yang ibu berikan pada
ekspresi perilaku-perilaku tersebut dan faktor-faktor yang dimaknai
ibu sebagai penyebab kemunculan perilaku temper tantrum.
b. Pengaruh temper tantrum terhadap ibu, yakni segala hal yang dimaknai
ibu sebagai dampak-dampak yang mempengaruhi sikap dan respon ibu
terhadap ekspresi perilaku temper tantrum anak. Sikap mengacu pada
pandangan-pandangan ibu terhadap temper tantrum dan emosi-emosi
yang menyertainya, sedangkan respon adalah wujud perilaku ibu
dalam menanggapi temper tantrum anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
c. Strategi-strategi yang ibu terapkan untuk menanggulagi temper
tantrum anaknya.
D. Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah tiga orang ibu yang dikelompokkan
berdasarkan tiga kelompok latar belakang status pendidikan dan ekonomi.
Adapun kriteria subjek adalah:
1. Ibu yang sudah memiliki anak yang berada pada rentang usia 18 bulan
hingga 3 tahun dan memiliki indikasi temper tantrum.
2. Kelompok pertama adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan
ekonomi rendah, yakni mengenyam pendidikan hingga SD dan
SMP/sederajat dan tinggal di kawasan perkampungan.
Kelompok kedua adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan
ekonomi menengah, yakni mengenyam pendidikan hingga SMA/sederajat
dan tinggal di kawasan kota kelurahan/kecamatan.
Kelompok ketiga adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan
ekonomi tinggi, yakni mengenyam pendidikan S1 ke atas dan tinggal di
kawasan kota.
Kedua kriteria ini disusun dengan tujuan agar informasi terkait
pandangan mengenai temper tantrum dapat diperoleh. Dasar penyusunan
kriteria di atas adalah teori Azwar (2005) mengenai sikap, bahwa pengaruh
dan pembentuk sikap di antaranya terdiri dari 3 faktor berikut ini. Faktor
pertama, pengalaman pribadi sebagai pengalaman yang meninggalkan kesan
kuat, yakni pengalaman yang melibatkan faktor emosional. Faktor ini dipilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
sebagai dasar penyusunan kriteria pertama, yakni ibu yang mengalami
langsung pengasuhan anak dengan indikasi temper tantrum.
Faktor kedua menurut Azwar (2005), institusi pendidikan sebagai
dasar pembentukan pemahaman dan konsep moral seseorang. Faktor ini
dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi latar
belakang pendidikan informan, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan
diharapkan mampu memberi variasi informasi khususnya mengenai definisi
temper tantrum.
Faktor ketiga menurut Azwar (2005), paparan media massa sebagai
faktor yang dipandang sebagai landasan kognitif bagi terbentuknya sikap dan
persepsi terhadap pengalaman tertentu. Faktor ini dipilih sebagai dasar
penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi tempat tinggal informan,
dengan alasan bahwa paparan terhadap media massa dapat diseleksi melalui
lokasi informan mempraktikkan pengasuhan.
Untuk memperoleh partisipan sesuai dengan kriteria tersebut, peneliti
menggunakan metode pemilihan random purposive sampling. Metode ini
dipilih karena dalam penelitian ini setiap ibu dapat menjadi informan, selama
yang bersangkutan memenuhi kedua kriteria yang telah disusun.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara. Metode ini dipilih peneliti karena memiliki keuntungan-
keuntungan tertentu yang dapat berguna dan membant proses pengumpulan
data pada penelitian ini. Downs et al. (1980) menuliskan bahwa wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
adalah metode yang memfasilitasi peneliti dan partisipan hadir secara fisik dan
memverbalisasi pesan sehingga memungkinkan perolehan data yang bersifat
visual dan nonverbal. Menurut Downs et al. (1980), hal ini yang menjadikan
wawancara memiliki keuntungan, yakni 1) seseorang lebih termotivasi untuk
berbagi dengan adanya kehadiran orang lain, 2) partisipan cenderung
memberikan lebih banyak data saat berbicara dibandingkan menulis, 3)
pertukaran data lisan memungkinkan lebih besarnya kesempatan untuk
melakukan probing, mengklarifikasi jawaban, dan menyediakan timbal balik.
Adapun ketiga keuntungan tersebut merupakan fitur metode wawancara yang
dapat membantu pengumpulan data sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.
Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara semi terstruktur.
Menurut Smith (2013), wawancara jenis ini memungkinkan peneliti dan
partisipan terlibat dalam dialog yang di dalamnya berisi pertanyaan yang dapat
dimodifikasi sesuai dengan jawaban partisipan dan juga memungkinkan
peneliti menggali wilayah yang menarik dan penting dalam sesi wawancara.
Smith (2013) menjelaskan bahwa wawancara semi-terstruktur mampu
memfasilitasi terbentuknya hubungan empatik, memungkinkan keluwesan
yang lebih besar dalam pengambilan data dan memungkinkan wawancara
untuk memasuki wilayah-wilayah baru, dan cenderung untuk menghasilkan
data yang lebih subur. Oleh karena itu, peneliti memilih jenis ini dengan
alasan untuk mencapai fleksibilitas dalam pengambilan data yang sesuai
dengan sifat luwes dan mendalam dari anaslisis fenomenologi interpretatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Untuk menunjang perolehan data yang lengkap dan dalam, penelitian
ini dimulai dengan membangun rapport atau hubungan erat, bersahabat
(Aiken & Groth-Marnat, 2009) kepada masing-masing partisipan. Menurut
Downs, et al. (1980), rapport dapat membangun kenyamanan dan
kepercayaan, baik bagi peneliti maupun partisipan, sehingga harapannya
partisipan memberikan kesediaannya untuk membagikan pengalamannya yang
akan menjadi data penelitian tanpa interaksi defensif. Menurut Downs et al.
(1980), ada beberapa hal yang dapat ditawarkan peneliti kepada partisipan
untuk membangun rapport, di antaranya perkenalan peneliti, kenyamaan
nonverbal seperti senyuman dan jabat tangan, suguhan seperti kopi, obrolan
informal seperti cuaca, perjalanan, dan berita terkini, bertanya kabar, dan
humor.
Selain melakukan rapport sesuai dengan anjuran Downs et al. (1980),
peneliti juga akan menyediakan informed consent dalam bentuk tertulis.
Informed consent adalah peryataan formal yang dibuat oleh seseorang dengan
orang lain sebagai izin penggunaan informasi pribadi orang tersebut untuk
tujuan khusus (Aiken & Groth-Marnat, 2009). Selain bertujuan untuk
memenuhi syarat etis penelitian, pemberian informed consent juga penting
dilakukan untuk menambah kenyamanan dan keterbukaan partisipan karena
menjadi jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
F. Panduan Wawancara
Tujuan penggunaan panduan wawancara adalah menjadikannya sebagai
pemandu (guideline) sehingga proses wawancara menjadi terarah sesuai
dengan topik penelitian serta mencapai perolehan data yang lengkap.
Berikut adalah panduan wawancara yang digunakan Tabel 1. Panduan Wawancara
No. Tema Pertanyaan Tujuan
1. Pengalaman
mengasuh anak
1. Bagaimana pengalaman
ibu dalam mengasuh (nama
anak)?
2. Bisakah ibu menceritakan
pengalaman yang
menyenangkan?
3. Bisakah ibu menceritakan
pengalaman yang tidak
menyenangkan?
1. Sebagai pertanyaan
‘pemanasan’, pembukaan
2. Memunculkan tema
tentang temper tantrum
2. Temper Tantrum 4. Ketika ibu mengalami
pengalaman mengasuh
(nama anak) yang tidak
menyenangkan, apa saja
kah perilaku-perilaku yang
diekspresikan (nama
anak)?
5. Menurut ibu, apa yang
menyebabkan perilaku
tersebut muncul?
6. Disebut sebagai apakah
perilaku-perilaku tersebut?
Meneliti pemahaman ibu
mengenai temper tantrum
anaknya:
1. Memperoleh data perilaku
yang muncul
2. Memperoleh data
istilah/label temper
tantrum
3. Memperoleh data faktor
penyebab
3. Tantrum bagi ibu 7. Ketika (nama anak)
sedang mengekspresikan
tantrum, apa pengarunya
bagi ibu?
8. Bagaimana yang ibu
rasakan?
9. Bagaimana yang ibu
pikirkan?
10. Menurut ibu, apakah
tantrum itu baik, buruk,
atau normal?
1. Memperoleh data sikap
2. Memperoleh data
pandangan
3. Memperoleh data
perasaan
4. Tindakan ibu 11. Apakah yang biasanya
ibu lakukan untuk
menangani tantrum ketika
sedang muncul?
12. Menurut ibu,
bagaimanakah penilaian
ibu sendiri mengenai
penanganan yang biasa
ibu lakukan?
1. Memperoleh data cara ibu
menangani tantrum
2. Memperoleh data
efektivitas ibu menangani
tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
G. Proses Pengumpulan Data
Proses ini terdiri dari tiga kegiatan utama yang dilakukan secara
berurutan. Ketiga kegiatan tersebut yakni membangun rapport, kegiatan
wawancara topik penelitian, dan kegiatan member checking.
Proses pertama, kegiatan pembangunan rapport dilaksanakan sebagai
upaya untuk memperoleh informasi mengenai latar belakang Informan dan
kondisi anak berkaitan dengan indikasi temper tantrum. Selain untuk
membangun hubungan yang nyaman antara peneliti dengan informan,
pembangunan rapport menjadi teknik untuk memeriksa kembali kesesuaian
kriteria pemilihan Informan yang telah dirancang dalam penelitian ini.
Kedua, pada kegiatan pengumpulan data, peneliti menerapkan
wawancara sebagai metode utama untuk memperoleh informasi tentang topik
penelitian. Peneliti juga menerapkan metode observasi untuk melengkapi
proses pengumpulan data.
Ketiga, pada kegiatan member checking, peneliti berusaha
memparafrasekan informasi yang telah dikumpulkan dari informan, kembali
kepada Informan. Kegiatan ini perlu melalui proses kondensasi dari seluruh
informasi yang disampaikan oleh Informan menjadi data yang lebih ringkas.
Kegiatan member checking ditempuh untuk memastikan bahwa informasi
yang ditangkap oleh peneliti telah sesuai dengan informasi dan maksud yang
disampaikan oleh informan, sehingga disebut sebagai upaya mencapai
validitas data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Sebagian instrumen pengumpulan data, peneliti menyajikan 12
pertanyaan inti kepada ketiga Informan secara terpisah, pada waktu dan
tempat sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui antara peneliti dan
masing-masing informan. Peneliti menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan
tersebut kepada para Informan dengan tujuan utama untuk mengungkap
pandangan ibu mengenai temper tantrum berdasarkan pengalamannya
mengasuh anak dengan indikasi temper tantrum.
Adapun cara peneliti menyusun istilah ‘pandangan ibu’ adalah dengan
mengkondensasi informasi yang diperoleh dari para Informan dalam bentuk
tema-tema yang akan diperoleh sebagai hasil dari proses analisa tematik.
H. Metode Analisis Data
Setelah melakukan proses pengumpulan data, peneliti melakukan
proses analisis data. Penelitian ini menggunakan jenis metode analisis
interpretatif atau lazim disebut sebagai interpretative phenomenological
analysis (IPA). Jenis ini dipilih oleh peneliti sebagai metode analisis data
karena dipandang mampu mencapai tujuan penelitian, yakni menggali
pemahaman ibu mengenai temper tantrum yang diperoleh dari pengalamannya
dalam mengasuh dan menangani anaknya bila melihat prinsip IPA yang
berusaha mengambil sudut pandang orang yang mengalaminya sendiri (Smith,
2013).
Smith (2013) mengungkapkan bahwa sarana pokok dalam kajian ini
adalah makna yang terkandung dalam pengamatan, kejadian, dan keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
partisipan. Selain itu, IPA juga menekankan kognisi sebagai pusat perhatian
dalam analisis pembuatan makna, baik dari partisipan maupun peneliti (Smith,
2013). Dalam kacamata IPA, Smith (2013) mengungkapkan bahwa manusia
dipandang sebagai kesatuan kognitif, bahasa, afektif, dan fisik sehingga
memiliki asumsi bahwa terdapat hubungan antara perkataan, pemikiran, serta
emosi partisipan. Dengan menyadari hal itu, Smith (2013) juga menuntun para
peneliti IPA untuk mengusahakan partisipan mengekspresikan pikiran dan
perasaan mereka untuk kemudian menginterpretasikan keadaan emosi dari
perkataan yang mereka ucapkan.
Menurut Strauss & Corbin (2009) bahwa dalam penelitian kualitatif,
terdapat tiga unsur utama, yakni 1) data dapat diperoleh dari berbagai metode,
namun yang biasanya dilakukan oleh peneliti kualitatif adalah wawancara dan
observasi, 2) terdiri atas beberapa prosedur analisis dan interpretasi, yang
keduanya bertujuan untuk memahami data. Dalam prosesnya, diperlukan
teknik yang disebut dengan pengkodean atau sering disebut sebagai coding, 3)
pelaporan temuan berupa tulisan maupun lisan. Peneliti perlu melakukan
ketiga langkah ini sehingga tujuan untuk memperoleh informasi sesuai dengan
fenomena yang dialami para informan dapat tercapai, seperti Smith (2013)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif memberi penekanan pada pentingnya
strategi analisis yang sebisa mungkin selalu dekat dengan sistim simbolis asal
pemahaman tersebut muncul, atau yang ditekankan oleh Supratiknya (2015)
bahwa proses ini disebut sebagai metode analisis isi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Proses analisis data yang akan dilakukan sesuai dengan saran Smith
(2013) sebagai langkah-langkah pokok dalam analisis data fenomenologi,
yakni 1) peneliti memulai dengan berpegang pada sudut pandang
feomenologis, kemudian membaca seluruh deskripsi yang dipaparkan oleh
partisipan, 2) menyusun bagian-bagian deskripsi untuk mengklarifikasi poin-
poin penting atau meaning units yang tersembunyi dalam keseluruhan
deskripsi, 3) mentransformasi atau memodifikasi data asli dengan tujuan untuk
mengungkap yang tersirat menjadi tersurat dan untuk menggeneralisasikannya
dengan makna psikologis.
Paparan dari Smith (2013) bahwa IPA dapat membantu peneliti
menginterpretasi makna yang terkandung dalam pengalaman berdasarkan
pemaparan partisipan ini telah dipertimbangkan peneliti menjadi metode yang
tepat untuk mencapai tujuan peneliti. Bila menggunakan penjelasan yang
sesuai dengan penelitian, makna yang akan diinterprestasi merupakan
pemahaman ibu mengenai temper tantrum anaknya, konteks pengalaman
merupakan pengalaman ibu mengasuh anak, dan pemaparan merupakan
perkataan dari partisipan yang diperoleh peneliti dalam proses wawancara.
I. Kredibilitas Penelitian
Untuk memperoleh validitas dalam penelitian ini, teknik yang dipilih
adalah member checking. Proses member checking akan dilakukan dengan
cara memaparkan kembali pernyataan yang disampaikan oleh partisipan
kepada partisipan dalam bentuk narasi yang tela diringkas oleh peneliti.
Teknik ini dipilih karena memungkinkan partisipan sendiri sebagai pemberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
timbal balik berupa koreksi atas narasi yang telah disusun atau dengan kata
lain selaras dengan prinsip IPA yang menekankan sudut pandang partisipan
sendiri, bukan mencapai objektivitas informasi (Smith, 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman ibu mengenai
perilaku temper tantrum anaknya. Dalam penelitian ini, peneliti berdinamika
bersama 3 orang informan. Berikut adalah data demografi informan.
Tabel 2. Data Demografi Informan
No Inisial
Nama Pendidikan
Area Tempat
Tinggal Pekerjaan
Usia
Anak
1. LPU SLTA Perkampungan Ibu rumah
tangga 18 bulan
2. DRW S1 Kecamatan Karyawan
swasta 37 bulan
3. S S2 Kota PNS 38 bulan
Dua dari tiga responden di atas telah memenuhi kriteria pemilihan partisipan
penelitian, yakni Informan 1 dan Informan 3, sedangkan Informan 2 tidak
memenuhi kriteria jenjang pendidikan. Peneliti tetap mempertahankan
Informan 2 sebagai partisipan penelitian dengan alasan bahwa Informan 2
mampu memberikan data mengenai pemahaman temper tantrum yang berbeda
dengan Informan 1 dan Informan 3.
Peneliti melakukan proses pengumpulan data selama tiga bulan,
dimulai pada 16 Mei 2016 hingga Juli 2016. Proses ini terdiri dari tiga
kegiatan utama yang dilakukan secara berurutan, yakni membangun rapport,
kegiatan wawancara topik penelitian, dan kegiatan member checking. Tahap
pengumpulan data disajikan dalam tabel berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Tabel 3. Proses Pengumpulan Data Informan 1
Informan 1 (LPU)
No. Hari,
tanggal Durasi Lokasi Keterangan
1. 16 Mei
2016
20 menit,
18 detik
Kediaman informan:
JT I no. 118 RT 45, RW
10
Badran, Jetis, Yogyakarta
Pembangunan
rapport,
wawancara,
dan observasi.
2. Juli 2016 15 menit s. d. a. Member
checking
Tabel 4. Proses Pengumpulan Data Informan 2
Informan 2 (DRW)
No. Hari,
tanggal Durasi Lokasi Keterangan
1. 25 Mei
2016
53 menit,
27 detik
Kediaman informan:
Jl. Tunjung baru, Gg.
Subagiyono, no. 15B,
Baciro, Yogyakarta
Pembangunan
rapport dan
wawancara
2. Juli 2016 15 menit s. d. a. Member
checking
Tabel 5. Proses Pengumpulan Data Informan 3
Informan 3 (S)
No. Hari,
tanggal Durasi Lokasi Keterangan
1. 20 Mei
2016
40 menit,
52 detik
Kediaman informan:
Jl. Taman Siswa,
Mergansan Kidul, MG II /
1170,
Kota Yogyakarta
Pembangunan
rapport dan
wawancara
2. Juli 2016 15 menit s. d. a. Member
checking
Berikut adalah hasil yang diperoleh melalui ketiga kegiatan tersebut.
Pertama, melalui kegiatan pembangunan rapport peneliti dapat membangun
hubungan yang nyaman dengan informan. Dengan kegiatan ini pula, peneliti
memperoleh informasi mengenai latar belakang informan dan kondisi anak
berkaitan dengan indikasi temper tantrum, sehingga mencapai kesesuaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
kriteria pemilihan informan yang telah dirancang dalam penelitian ini dan
proses dapat dilanjutkan ke kegiatan kedua.
Kedua, kegiatan pengumpulan data dengan metode wawancara dan
observasi, peneliti mampu memperoleh informasi tentang topik penelitian.
Pada praktiknya, kedua kegiatan ini dapat dilaksanakan dalam hari yang sama.
Kondisi ini disebabkan karena peneliti memperoleh kesesuaian kriteria
pemilihan informan dan ketiga informan telah mengungkapkan kesediaannya
untuk menjadi subjek penelitian dan sepakat untuk mengikuti kegiatan
wawancara pada waktu dan tempat yang sama.
Ketiga, pada kegiatan member checking, peneliti berusaha
memparafrasekan informasi yang telah dikumpulkan dari informan, kembali
kepada informan. Kegiatan ini perlu melalui proses kondensasi dari seluruh
informasi yang disampaikan oleh informan menjadi data yang lebih ringkas.
Proses ini menyebabkan perlunya interval waktu sepanjang satu bulan
terhitung setelah kegiatan pengumpulan data selesai dilaksanakan. Melalui
kegiatan member checking, peneliti mampu mencapai validitas data dengan
memperoleh kepastian bahwa informasi yang ditangkap oleh peneliti telah
sesuai dengan informasi dan maksud yang disampaikan oleh informan.
Peneliti menyusun instrumen pengumpulan data berupa 12 pertanyaan
inti yang ditujukan kepada ketiga informan secara terpisah, pada waktu dan
tempat sesuai dengan keterangan pada Tabel 1. Melalui pertanyaan-
pertanyaan tersebut, peneliti mampu mengungkap pandangan ibu mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
temper tantrum berdasarkan pengalamannya mengasuh anak dengan indikasi
temper tantrum.
Istilah „pandangan ibu‟ adalah kondensasi informasi yang diperoleh
dari para informan dalam bentuk tema-tema melalui proses analisa tematik.
Tema-tema yang diperoleh adalah kumpulan kata, kalimat, atau istilah yang
dinilai penting terkait topik penelitian, yakni yang ditemukan dalam paparan
informan mengenai deskripsi temper tantrum, dampak temper tantrum bagi
dirinya, sikap terhadap temper tantrum, dan strategi untuk menanggulangi
temper tantrum anak.
B. Gambaran Informan
1. Informan 1
Informan 1 berinisial LPU, merupakan seorang ibu yang berprofesi
sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan sehari-hari Informan 1 adalah
mengasuh kedua anaknya dan mengelola sebuah warung makanan di
halaman rumahnya. Informan 1 memiliki 2 orang anak, anak pertamanya
seorang laki-laki dan anak keduanya seorang perempuan. Anak Informan 1
yang memiliki indikasi temper tantrum adalah anak keduanya, berinisial N
yang berusia 18 bulan ketika proses pengumpulan data berlangsung.
Dalam pengalaman pengasuhannya, Informan 1 tidak didampingi orang
lain untuk mengasuh anaknya, termasuk suaminya yang bekerja di luar
kota. Informan 1 berlatar belakang pendidikan SLTA dan berdomisili di
Jetis, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Berdasarkan paparan di atas, Informan 1 memenuhi kriteria
sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun
dan tergolong dalam kelompok ibu pertama yakni latar belakang
pendidikan dan ekonomi rendah dan tinggal di kawasan perkampungan.
2. Informan 2
Informan 2 berinisial DRW, merupakan seorang ibu yang
berprofesi sebagai karyawan swasta. Kegiatan sehari-hari Informan 2
adalah bekerja di sebuah kantor sehingga pada pukul 07.00 WIB hingga
16.00 WIB dan bekerja 6 hari seminggu. Informan 2 memiliki seorang
anak laki-laki dan sedang mengandung bayi berusia 3 bulan saat proses
pengumpulan data berlangsung. Anak Informan 2 yang memiliki indikasi
temper tantrum berusia 37 bulan, berinisial D. Informan 2 tinggal satu
rumah bersama kedua orang tua, adik, suami, dan anaknya sehingga
pengalaman pengasuhan Informan 2 memperoleh bantuan dari suami, ibu,
dan adik, terutama ketika Informan 2 tidak bersama dengan anaknya.
Informan 2 berlatar belakang pendidikan S1, berdomisili di Baciro,
Yogyakarta.
Berdasarkan paparan di atas, Informan 2 memenuhi kriteria
sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun
dan tergolong dalam kelompok ibu kedua yakni latar belakang ekonomi
menengah dan tinggal di kawasan kecamatan, namun tidak memenuhi
kriteria latar belakang pendidikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
3. Informan 3
Informan 3 berinisial S, merupakan seorang ibu yang berprofesi
sebagai PNS. Kegiatan sehari-harinya sebagai PNS dipandang Informan 3
mampu dijalani secara seimbang dengan waktu yang diluangkan untuk
bersama dengan anak-anaknya di rumah. Informan 3 memiliki 2 orang
anak, anak pertamanya seorang perempuan dan anak keduanya seorang
laki-laki. Anak Informan 3 yang memiliki indikasi temper tantrum adalah
anak keduanya, berinisial Y yang berusia 38 bulan ketika proses
pengumpulan data berlangsung. Dalam pengalaman pengasuhannya,
Informan 3 didampingi oleh suaminya. Informan 3 berlatar belakang
pendidikan S2 dan berdomisili di Taman Siswa, Yogyakarta.
Berdasarkan paparan di atas, Informan 3 memenuhi kriteria
sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun
dan tergolong dalam kelompok ibu ketiga yakni latar belakang pendidikan
dan ekonomi tinggi dan tinggal di kawasan kota.
C. Hasil Penelitian: Deskripsi Tema Umum
Berdasarkan hasil analisa tematik terhadap data yang telah terkumpul,
ditemukan 4 tema umum, yakni Dinamika Praktik Pengasuhan Ibu terhadap
Anak, Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak, Pengaruh Temper
Tantrum Anak terhadap Ibu, dan Strategi untuk Menanggapi Temper Tantrum.
Berikut adalah deskripsi dari keempat tema umum sebagai sajian hasil
penelitian:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
1. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak
a. Dinamika dalam pengasuhan
Informan 2 dan Informan 3 menuturkan bahwa mereka
mengalami dinamika pengasuhan yang menyenangkan, sedangkan
Informan 1 mengalami dinamika pengasuhan yang menyenangkan
sekaligus tidak menyenangkan seperti pada kutipan-kutipan berikut
“Bisa cerita nggak mbak, pengalamannya mbak D mengasuh …
Nyenengin ya, mbak ya. Kalau masih bayi kan nyenengin.”
(no. 1, Informan 2)
“Tante bisa ceritain pengalaman yang menyenangkan, nggak, waktu
mengasuh Dik Y? Semua menyenangkan kayaknya. Semuanya
menyenangkan.”
(no. 8, Informan 3)
“Curhat aja pengalamannya Mbak P mengasuh ini, Dik N. Ya
seneng-seneng gimana ya mbak ya, seneng-seneng jengkel”
(no. 1, Informan 1)
Dalam relasi dengan anaknya, tampak bahwa 2 informan
memiliki kecenderungan yang sama, yakni membandingkan sifat
kedua anaknya.
“Aku nggak, anakku yang pertama nggak, apa, soalnya nggak kayak
gitu e, mbak. Laki-laki tapi pendiam. Nggak kayak yang ini,
perempuan tapi kok mbandel. Mbandele tu, bandel sangat-sangat
bandel. Super-super.”
(no. 30, Informan 1)
“Jadi saya sering ngobrol sama suamiku, “Kok ini beda ya?” Ini
sama adiknya. Kalau ini, kalau saya marah, dia cepat tanggap. Jadi
kalau suamiku bilang, mungkin karena dia perempuan, ini laki-laki.
Yang adiknya lebih usil dibanding ini.”
(no. 19, 20, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Kecenderungan ini tampaknya muncul pada Informan 1 dan Informan
3 yang memiliki 2 orang anak dengan jenis kelamin berbeda sehingga
cenderung membandingkan perbedaan pada aspek peran gender anak,
sedangkan kecenderungan ini tidak muncul pada Informan 2 yang
memiliki 1 orang anak.
Meski tidak disampaikan dengan cara membandingkan, peran
gender muncul pula dalam pandangan Informan 3 terhadap sifat anak
seperti kutipan berikut
“”Kasihan” itu, padahal udah diulang-ulang tuh nangis terus. Baper
banget anakku itu. Cowok tapi baper.”
(no. 54, Informan 2)
Maka berdasarkan kemunculannya pada ketiga informan, peran gender
merupakan aspek yang dipandang penting bagi ibu dalam
perkembangan anaknya.
Proses analisis juga menghasilkan gambaran kelekatan ibu dan
anaknya melalui gambaran pola relasi antara mereka.
“Oh dah bisa pulang sendiri? Udah, kalau main dia pulang sendiri.
… Semenjak tak tinggal jualan gini trus dia main sama temene.
Kalau orang bilang apa, dia ngikutin gitu. Disuruh nyanyi, juga
nyanyi, kalau salim ya salim. Nggak pemalu gitu dia aku sukane.
Nggak pemalu, nggak cengeng.”
(no. 15, 9, Informan 1)
“Makanya aku ngak pernah ninggalin dia, mbak. Baru kemarin aku
ninggalin dia ke Malang karena aku ada urusan kerja, kan. Dia
nyariin, rewel, aku pusing aku. Aku mulai kerja juga stress,
ninggalin anak, soalnya aku nggak pernah ninggalin, sejam-dua jam
itu udah pusing. Udah nggak kuat.:
(no. 4, 5, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
“Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal
saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau
nggak, rewel.”
(no. 7, Informan 3)
Maka dari kutipan di atas, terdapat perbedaan bahwa Informan 1
cenderung melepas anaknya, sedangkan Informan 2 dan Informan 3
lekat dengan anaknya.
b. Pandangan ibu terhadap sosok anak
Pengalaman informan dalam mengasuh anak menghasilkan
paparan mengenai kondisi anak. Paparan Informasi 1 mengenai
kondisi perkembangan kemampuan anak tampak pada kutipan berikut
“Senenge nek kalau itu lho, kalau dia bisa nyanyi sendiri, kayak gitu.
Dia sesuka hatinya kayak gitu lho, mbak. Terus makan sendiri.”
(no. 2, Informan 1)
“Kalau orang bilang apa, dia ngikutin gitu. Disuruh nyanyi, juga
nyanyi. Kalau salim, ya salim. Nggak pemalu gitu dia, aku sukane.
Nggak pemalu, nggak cengeng. Tapi kalau udah nakal, ya nakal
terus.”
(no. 9, Informan 1)
Informan 2 menilai kondisi anak berkembang dengan normal.
“Terus, beranjak dia bisa tengkurap, terus bisa mberangkang, bisa
rambatan, jalan. Itu yang paling nyenengin kan kita tahu
perkembangan-perkembangan anak tuh lho. Jadi senang kalau
anaknya bisa tumbuh biasa, ya normal lah.”
(no. 2, Informan 2)
“Nggak menyenangkannya, kadang ngeyel. Udah bisa ngeyel.”
(no. 15, Informan 2)
“Terus kadang kalau nonton film juga dia entar selanjutnya ngomong
apa gitu, dia tahu. … Tangannya dikeplak-keplakin, kayak film
purba itu, film zaman purba tapi kartun itu. Jadi dia tuh bisa hafal,
terus gerakannya juga hafal.”
(no. 38, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Sesuai kutipan di atas, Informan 2 memiliki pandangan bahwa anak
menunjukkan kemampuan untuk meniru perilaku orang lain dan sudah
mempelajari kemampuan baru, yakni membantah.
Kemampuan anak untuk meniru juga ditemui pada informasi
yang dituturkan oleh Informan 3
“.. dia juga ini, apa yang kakaknya buat, sering dia tiru. Biasanya itu
main jadi guru, dia ikutan. … Umur dua tahun setengah mungkin,
dia sudah bisa seperti itu, baru mau masuk ke tiga tahun, belum
lama.”
(no. 28, Informan 3)
“Terus, sekarang ini dia imajinasinya udah mulai, dia sudah mulai
mengarang cerita sendiri, sudah mulai. Terus kayak kemarin kan dia,
saya nggak ngerti, suami saya yang ngasih tau tuh, di tangannya si
itu, Captain America atau Iron Man? Iron Man. Itu ada putih-
putihnya ya? Itu bedak dia taruh di sini, saya tuh nggak ngerti.”
(no. 60, Informan 3)
2. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak
a. Definisi temper tantrum
Ketiga Informan memiliki istilah yang berbeda untuk melabel
perilaku mengganggu yang diekspresikan anaknya. Informan 1 dan
Informan 3 memberi label perilaku tantrum anaknya dengan istilah
„rewel‟, sedangkan Informan 2 memberi istilah „histeris‟.
“Tapi kalau aku, kalau jengkel itu, kalau dia baru rewel tu.”
(no. 3, Informan 1)
“Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal
saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau
nggak, rewel.”
(no. 7, Informan 3)
“Ditinggal kerja, ke dokter, papanya kenapa-napa itu pasti dia
histeris. Pokoknya kalau ada yang kenapa-napa, histeris dia.”
(no. 58, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Para informan memberikan istilah-istilah ini untuk melabel
ekspresi perilaku anak seperti menangis, agresi terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun objek mati, menolak perintah, dan menunjukkan
perilaku-perilaku resisten.
“Nangisnya kencang, nangisnya kencang. Kalau udah rewel banget
itu, di tempat tidur dia tengkurap. … Sambil nangis dia tengkurap.
Nggak mau di … nggak mau disentuh.”
(no. 13, Informan 3)
“Terus njambak-njambak kayak gini lho mbak, trus sampe
rambutnya brodol itu, bener mbak. Trus kalau umpamanya sama
saya, dicokotin tu. Sama anak tetangga juga kayak gitu.”
(no. 5, Informan 1)
“Ditelepon nggak mau. Ya kayak istilahnya marah, nggak mau,
sampai nanti hp-nya ditendang, apa digigit hp-nya.”
(no. 25, Informan 3)
“Em, aku pernah sih dipukul sama dia. Karena aku ajak mandi, dia
nggak mau, aku dipukul.”
(no. 22, Informan 2)
b. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan temper tantrum
Faktor penyebab dipertimbangkan sebagai bagian dalam tema
pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak karena hasil penelitian
menunjukkan bahwa setiap Informan mengungkapkan informasi yang
khas dan unik yang tampaknya muncul berdasarkan latar belakang
masing-masing Informan.
1) Faktor internal
Faktor internal yang ditemukan dalam wawancara terdiri
dari faktor emosi dan faktor fisik anak. Faktor emosi merupakan
faktor penyebab yang diungkapkan oleh ketiga Informan. Adapun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
emosi yang dimaksud adalah rasa gemas, rasa jengkel maupun
marah, dan tidak mampu meregulasi keinginan sehingga ledakan
berbagai emosi tersebut diekspresikan anak melalui perilaku
temper tantrum.
“Gulung-gulung itu lho mbak, trus kruwes-kruwes mukae, trus
njiwit-njiwit kayak gitu, he-e. … Kalau dia gemes, kalau dia jengkel
kayak gitu.”
(no. 5, Informan 1)
“Bangun pagi itu dia minta gendong, buka mata itu dia “Ibu
gendong.”, terus kalau saya nggak mau, a itu bisa rewel.”
(no. 33, Informan 3)
Selain faktor emosi, Informan 1 dan Informan 2 menyebutkan
bahwa faktor fisik seperti kutipan di bawah ini menjadi penyebab anak
mengekspresikan temper tantrum.
“Jadi kalau ngantuk itu, terus badannya baru nggak enak itu lho,
mbak. Capek-capek kayak gitu, trus tidure kagol itu lho, mbak, ya itu
mesti itu. Terus laper banget juga sukanya kayak gitu. Kerep iki
senengane kayak gitu tuh loh mbak.”
(no. 10, Informan 1)
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal yang ditemukan dalam wawancara terdiri
dari faktor sosial anak dan pengaruh dari tontonan anak. Faktor
sosial yang bersinggungan dengan anak juga merupakan faktor
penyebab yang diungkapkan oleh ketiga Informan. Faktor sosial
yang dipandang ibu sebagai penyebab adalah ketika temper
tantrum muncul karena meniru orang tua, berpisah dengan figur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
lekat, minimnya sosialisasi dengan orang dewasa, interupsi orang
lain atas keinginan anak, dan diganggu oleh teman sebaya.
“Kalau nggigit mungkin dari aku ya, mbak. Karena aku kalau lagi
sebal gitu, itu minta, minta gigit.”
(no. 31, Informan 2)
“Kalau ditinggal. Kalau itu tuh, kayak tadi nyariin papanya. Kayak
gitu tuh, teriak kayak gitu. Ya, polnya nangisnya anakku kayak gitu.”
(no. 57, Informan 2)
“Kakaknya, dulu kita di Palu banyak, keluarga satu rumah banyak.
E.. jadi dia lebih cepat, apa, cepat beradaptasi dengan orang,
ngomongnya lebih cepat, lebih ini, kalau kakaknya. Tapi
dibandingkan adiknya ini, nggak. Karena di rumah kita hanya waktu
itu tambah saudara sepupu saya, orang besar hanya bertiga, tambah
Mbak Ning di sebelah, sama Oxka, Oxky. Ya gitu.”
(no. 3, Infoman 3)
“E.. seperti kalau mandi itu, dia pingin mandi sendiri, tapi saya
sabunin, dia nggak suka, dia mulai rewel itu. Kalau dia sudah bilang
“nggak”, itu mesti nggak. Kalau saya lakukan, itu bisa memicu dia
rewel.”
(no. 32, Informan 3)
“Semenjak tak tinggal jualan gini trus dia main sama temene, nanti
kalau dia diapain gitu pulang sendiri nangis, sambil nangis, itu “Bu,
lara, bu lara.”
(no. 15, Informan 1)
Informan 2 dan Informan 3 menyatakan bahwa film yang
ditonton anaknya berdampak pada perubahan perilaku, seperti pada
kutipan di bawah ini.
“Saya nggak tau, apa karena pengaruh film, … Dia itu mulai kayak
gitu, saya nonton itu Captain America, Iron Man, Superman, nah tiga
bulan-empat bulan terakhir itu, itu film yang dia tonton, … jadi
sampai kakaknya ini ngeluh “Ini karena ibu semua ini, ibu kasih adik
nonton yang seperti itu.” Jadi kadang-kadang kakaknya yang jadi
sasaran, jadi dia yang jadi Superman, dia yang jadi seperti itu. Itu
pengaruh juga kayaknya itu. Salah, salah memilih film.”
(no. 52, 54, 58, 59, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Selain keempat faktor yang kemunculannya berulang pada
ketiga informan tersebut, terdapat pula faktor-faktor yang unik dan
khas bagi masing-masing informan. Informan 1 menyebutkan bahwa
faktor keturunan, pikiran buruk ibu selama kehamilan, dan kehadiran
entitas yang tidak diketahui menjadi faktor yang kemunculannya
mendahului kemunculan ekspresi tantrum anaknya.
“Aku mikirnya, kok bisa kayak gitu, turun siapa lho, mbak. Apa dulu
pas hamil, ndelok jatilan, gulung-gulung. Katanya kalau orang hamil
nek mbatin kan nganu nggih, kadang turunnya ning anak, nggih.”
(no. 28, Informan 1)
“Dia kalau nangis tu dia mintanya ke luar, maksudnya ke luar rumah.
Nggak tau, mesti, di dalam rumah ada apanya. Tapi kalau di luar
rumah mesti langsung diam.”
(no. 32, Informan 1)
Bagi Informan 3, perubahan signifikan yang terjadi pada
frekuensi kebersamaan dengan anaknya menjadi faktor yang
menyebabkan perubahan perilaku pada anaknya. Informan 3
menyatakan bahwa anaknya menunjukkan perilaku melekat yang
mengganggu semenjak Informan 3 memiliki banyak waktu luang.
Setiap kali keinginan anak untuk melekat tidak dipenuhi, anak akan
mengekspresikan temper tantrum.
“Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal
saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau
nggak, rewel.”
(no. 7, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
3. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu
a. Dampak yang dirasakan ibu akibat temper tantrum
Memiliki pengalaman mengasuh anak dengan indikasi temper
tantrum memberikan berbagai pengaruh pada ibu. Pengaruh-pengaruh
tersebut dikelompokkan dalam kategori dampak temper tantrum
terhadap ibu.
Bagi seluruh Informan, perilaku temper tantrum anak
memberikan dampak pada aspek emosi ibu, yakni rasa heran, kasihan,
stres, dan panik.
“Itu perempuan tapi kayak gitu e mbak. Nggak kayak kakaknya.
Kakake itu dulunya diam, nggak kayak gitu. Tapi kok adike kok
malah dadi kaya ngene kok, haduh. Stress aku, mbak.”
(no. 7, Informan 1)
“Wis jane kasian to, mbak kalau anak nggulung-nggulung gitu. Tapi
nek, nek ditulungi nanti ndak tuman.”
(no. 26, Informan 1)
“Bikin emosi, emosi naik-turun. Yang rewelnya itu? Iya. He-e. Itu,
bikin itu, “Uh Y, ampun ibu”.”
(no. 36, Informan 3)
“Cuma kadang-kadang, kalau sama aku, aku lagi apa.. kayak gugup
apa ya. Jadi kayak kemrungsung. Jadi kayak mau ngatasi dia tuh
malah kemrungsung aku, aku harus gimana, aku harus piye, kayak
gitu kan.”
(no. 47, Informan 2)
Dampak temper tantrum yang juga berimplikasi pada ketiga
informan adalah pada aspek aktivitas atau pekerjaan para informan.
Dampak yang dirasakan adalah rasa terganggu ketika menjalankan
aktivitas, terlambat tiba di tempat kerja, dan tersitanya waktu untuk
menanggulangi temper tantrum anak di agenda pekerjaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
“Tapi kalau aku, kalau jengkel itu kalau dia baru rewel tu. Kan aku
baru sibuk ngejualin, kan jualan to, mbak, he-eh, baru ngejualin trus
dia rewel tuh ah. Tak cubit, mbak. Tenan, mbak.”
(no. 3, Informan 1)
“Kalau mengganggu pekerjaan sih, kalau telat juga nggak ada
hukuman juga sih, karena tempatku.. seharusnya jam setengah
delapan. Jadi setengah delapan lebih sepuluh apa istilahnya,
batasnya. Jadi, aku ya masih itu, sih, masih bisa.”
(no. 45, Informan 2)
“Mangkelnya gimana ya. Ya gimana ya mangkel, kesal. Kesal, e, apa
ya, ya karena saya harus, yang harusnya saya udah, udah harusnya
ngerjain sesuatu yang lain, tapi saya harus bujukin dia dulu.”
(no. 40, Informan 3)
Selain pada aspek emosi dan aktivitas, Informan 1 dan
Informan 2 juga merasakan dampak seperti memperoleh penilaian
negatif dari lingkungan sosial tergolong dalam dampak pada aspek
sosial.
“Kadang kalau dia digangguin orang, itu suka mukul, dibales. Ya
kalau, kalau anak kecil sih ya, kalau berantem sih biasa lah. Cuma
orang tuanya tuh yang agak gimana.”
(no. 19, Informan 2)
“Aku kan ya, waduh nek iki.. iya nek ibuke tau kalau anak kecil
emang kayak gitu. Tapi nek ibuke yang nganu, nek ora terimo nek
ngene ki, “Wah anakku dingenekke, wah anakku dingenekke” ngko
aku dilabrak meneh. Emang udah pernah dilabrak? Itu gara-gara
yang besar itu.”
(no. 34, Informan 1)
b. Sikap ibu terhadap perilaku temper tantrum anaknya
Sikap ibu adalah segala penilaian dan kesan yang diekspresikan
oleh masing-masing informan terhadap kondisi temper tantrum
anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, Informan 1
tidak menampakkan sikapnya terhadap temper tantrum, Informan 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
menampakkan sikapnya, dan Informan 2 sangat menampakkan
sikapnya.
Informan 3 memandang rewel sebagai perilaku yang wajar
diekspresikan oleh anaknya.
“Kan ada masa di mana dia rewel, ada masa di mana dia mutung.”
(no. 9, Informan 3)
Dalam perilaku rewel, terdapat pula perilaku anak yang aktif
bergerak, yang juga dipandang wajar. Pandangan ini dilandasi oleh
alasan bahwa dalam masa anaknya sekarang, rewel adalah perilaku
yang normal.
“Em, aktif, he-eh. Normal untuk anak seusia dia. Artinya itu perlu,
dibanding dia e.. apa namanya, diam, nggak bergerak, itu normal.
Dan itu mungkin, karena dia laki-laki, lebih usil.”
(no. 22, 23, Informan 3)
Informan 2 memandang perilaku-perilaku anaknya yang
termasuk dalam indikasi temper tantrum, sebagai sifat bawaan anaknya
dan sebagai kenakalan yang tergolong wajar untuk anak seusianya.
Pandangan ini tampak dalam kutipan-kutipan berikut ini.
“Mungkin kalau dia lagi emosi banget, jengkel, dia emang susah
orangnya. Susah mau diapa-apain.”
(no. 41, Informan 2)
“Kalau nakal sih anak nakalnya masih dalam istilah wajar kan.
Nggak nakal sampai mencuri apa apa kan ya, masih wajar aja sih.”
(no. 17, Informan 2)
“Ya kalau, kalau anak kecil sih ya, kalau berantem sih biasa lah.”
(no. 19, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
“Tapi kalau menggulung-gulung, aku juga nggak ngerti. Ya mungkin
tingkah lakunya anak kecil emang kayak gitu kali.”
(no. 32, Informan 2)
“Pernah sih kayak gitu, tapi anakku nggak sering, sering banget.
Kira-kira frekuensinya? Sampe 8, kali (maksudnya poin 8 dari 10).
Kira-kira kemunculannya, seminggu sampai berapa kali? Jarang
banget, mbak, anakku teriak-teriak. Teriak, sih, tapi nggak sampai
apa banget.”
(no. 56, Informan 2)
Selain perilaku-perilaku yang menjadi indikasi temper tantrum,
anak juga menunjukkan perilaku melekat. Paralel dengan pandangan
terhadap temper tantrum anak, Informan 2 juga memandang wajar
perilaku melekat anak.
“Kalau menurutku normal. Aku aja sering kayak gitu. Aku yang
udah gede aja masih sering nyari mamaku. “Mama ke mana?”
“Mamaku mana?” Apalagi anak kecil. Anak kecil tu deketnya sama
orang tua kan.”
(no. 71, Informan 2)
“Kalau dia nyariin papanya kayak gitu, jadi dia ada rasa takut
ditinggal juga. Care lah sama keluarganya, peduli.”
(no. 72, Informan 2)
Tampaknya pandangan wajar tersebut menuntun Informan 2
untuk cenderung menyikapi dampak temper tantrum anak terhadapnya
dengan memakluminya, seperti tampak dalam kutipan berikut.
“Kalau mengganggu pekerjaan sih, kalau telat juga nggak ada
hukuman juga sih, karena tempatku.. seharusnya jam setengah
delapan. Jadi setengah delapan lebih sepuluh apa istilahnya,
batasnya. Jadi, aku ya masih itu, sih, masih bisa. … Kalau ngganggu
sih nggak ya. Cuma kadang-kadang, kalau sama aku, aku lagi apa..
kayak gugup apa ya. Jadi kayak kemrungsung. Jadi kayak mau
ngatasi dia tuh malah kemrungsung aku, aku harus gimana, aku
harus piye, kayak gitu kan.”
(no. 45, 47, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Sikap Informan 2 untuk memaklumi ekspresi perilaku anaknya
dan menyatakan tidak adanya dampak buruk yang ditimbulkan dari
perilaku itu menjadi alasan Informan 2 untuk kemudian menolak
istilah tantrum yang diberikan kepada perilaku-perilaku anaknya.
“ … anak-anak bisanya juga cuma nangis. Kalau sakit juga taunya
juga nangis, ngapa-ngapain, pusing atau sakit perut kan, kalau lapar
juga bisanya cuma nangis kan. Jadi, nggak tantrum juga ya?”
(no. 42, Informan 2)
c. Respon ibu terhadap perilaku temper tantrum
Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai pengalaman
masing-masing informan dalam pengasuhan, peneliti menemukan
tema-tema penting seperti cara ibu memandang kondisi anak sehingga
terungkap cara ibu mendeskripsikan tantrum, sikap ibu terhadap
tantrum, cara ibu mendeskripsikan dampak temper tantrum anak pada
dirinya. Tema-tema tersebut kemudian menuntun peneliti mengungkap
respon informan dalam mengasuh anak dengan indikasi temper
tantrum.
Informan 1 merespon kondisi anak dengan emosi negatif
seperti jengkel dan marah. Selain itu, Informan 1 juga merespon
dengan keluhan, bahkan label negatif.
“Aduh, aku duh. Kok anakku kaya ngene ki. Nakal banget lho, mbak
anakku yang ini, haduh. Masyaallah, aku nganti, ck. Nggak bisa
anteng, mbak.”
(no. 23, Informan 1)
“ … perempuan tapi kok mbandel. Mbandele tu mbandel sangat-
sangat bandel. Super, super.”
(no. 30, Informan 1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Informan 2 merespon kondisi anaknya dengan panik. Ketika
anak mengekspresikan temper tantrum, Informan 2 menjadi panik.
Dalam pikirannya, Informan 2 ingin segera meredakan temper tantrum
anaknya, namun kepanikannya membuat Informan 2 mengatasinya
dengan terburu-buru padahal Informan 2 mengaku bahwa ia tahu ia
harus mengatasinya dengan tenang.
“Ya itu, aku jadi kayak kemrungsung ngatasin dia tu. Jadi kayak..
istilahnya, seharusnya pelan.. tapi aku kayak kemrungsung, jadi
bingung dewe aku, mbak. Bingung mau gimana. Kayak
kemrungsung. Terburu-buru biar dia cepat diam, gitu.”
(no. 68, Informan 2)
Informan 3 mengaku bukan sosok yang sabar dalam
menghadapi perilaku temper tantrum anaknya. Respon yang sering
diekspresikan oleh Informan 3 adalah dengan mengeluh.
“Tapi tante sabar yah? Nggak juga sebenarnya. Nggak juga sih, …”
(no. 48, Informan 3)
“Ngoceh sendiri, “Uuh, ampun aduh Y, minta ampun ibu, Y” ya
kayak gitu.”
(no. 37, Informan 3)
Dengan demikian, ketiga informan memberikan respon negatif
terhadap ekspresi perilaku temper tantrum anaknya.
4. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum
Cara pandang ibu terhadap gejala temper tantrum mempengaruhi
cara ibu menyikapi dan merespon temper tantrum pada anaknya. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa ketiga informan memberikan respon
pada perilaku temper tantrum dengan cara-cara negatif. Berbagai sikap dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
respon tidak menyenangkan tersebut kemudian mengerakkan ibu untuk
menanggulangi perilaku-perilaku yang muncul, sehingga ibu berusaha
memilih dan menerapkan berbagai strategi untuk mengurangi perilaku
yang telah muncul dan mencegah sebelum perilaku tersebut menjadi
bertambah parah.
Ketiga informan menerapkan 2 strategi yang sama, yakni memberi
kenyamanan melalui sentuhan fisik dan mengalihkan perhatian. Sentuhan
fisik diwujudkan dalam perilaku menggendong, memeluk, dan mencium
yang kemudian dilanjutkan dengan mengajak melakukan aktivitas lain
sebagai pengalih perhatian, seperti pada kutipan berikut.
“… terus, kalau lagi nangis-nangis, apa lagi gemes gitu sama diri
sendiri apa sama mamanya itu, Mbak P itu ngapain? Tak gendhong itu,
terus tak ajak main muter-muter nanti kan dia diam.”
(no. 31, Informan 1)
“Kalau Dik D kayak gitu, biasanya Mbak D melakukan apa? Gendong,
kalau nggak aku kasih makanan, coklat, biar dia diam.”
(no. 73, Informan 2)
“Biasanya pertama itu saya peluk. Peluk dulu, saya cium-cium
biasanya.”
(no. 42, Informan 3)
Informan 2 dan Informan 3 menerapkan strategi diskusi bersama
anaknya untuk menanggulangi temper tantrum. Informan 2 berusaha
menenangkan dan menanyakan penyebab anaknya menangis sebagai
berikut.
(Hasil observasi) Saat anak mendekati Informan 2 sambil menangis
memanggil-manggil ayahnya, dengan nada bicara yang tenang dan
mimik yang biasa, Informan 2 mengatakan “Papa pergi” kepada
anaknya. Kemudian bertanya “Nangis tu kenapa?”.
(no. 59, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Informan 3 melakukan diskusi sebagai strategi pendahulu sebelum
menerapkan time-out pada anaknya. Diskusi dilakukan oleh Informan 3
kepada anaknya dengan bujukan kemudian membuat perjanjian untuk
strategi time-out, seperti pada kutipan berikut
“Tapi kalau udah peluk-peluk cium-cium nggak, bujuk pakai kata-kata.
Terus kalau udah sampai ke tahap dia susah, susah buat berhenti, ya
sudah “Y ibu tinggal di dalam sini, ibu keluar.” Jadi saya tinggalin dia di
kamar sendiri, saya keluar. Karena sudah sampai ke tahap dia, dia nggak
mau berhenti, “Ibu mau gendong Y kalau Y sudah berhenti nangis.”
Sampai itu, titik terakhir dia sampai segitu.”
(no. 43, 44, Informan 3)
Informan 1 dan Informan 3 menangani temper tantrum anaknya
dengan strategi time-out, yakni strategi yang melibatkan penghirauan
terhadap perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh anak. Informan 1
memilih strategi ini dengan tujuan untuk melatih kesadaran anak atas
perilaku mengganggunya, berharap munculnya niat anak untuk
memperbaiki perilaku, sehingga perilaku mengganggu akhirnya hilang.
“Tapi kalau dia gulung-gulung itu tak biarin kok, mbak. Ben, nantikan
ndak tuman to, mbak. Tak biarin. Tapi pasti nggak mau berdiri. Mesti
tambah le mbengok-mbengok tambah le “Bapak”, hah, pokokmen
tambah kabeh disebutke, mbak, sopo sek dia tau. Tapi tak jarne wae, tak
luwehke wae.”
(no. 19, 20, Informan 1)
“Terus kalau udah sampai ke tahap dia susah, susah buat berhenti, ya
sudah “Y ibu tinggal di dalam sini, ibu keluar.” Jadi saya tinggalin dia di
kamar sendiri, saya keluar.”
(no.44, Informan 3)
Dalam penerapannya, Informan 1 juga melakukan hukuman fisik
kepada anaknya.
“Tapi kalau aku kalau jengkel itu kalau dia baru rewel tu. Kan aku baru
sibuk ngejualin, kan jualan to mbak, he-eh, baru njualin trus dia rewel
tuh ah, tak cubit mbak, tenan, mbak.”
(no. 3, Informan 1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
“Sambil tak cubit apa tak gebleg itu.”
(no. 16, Informan 1)
“Nanti kalau tak jiwit itu, “A, bapak, bapak” gitu, manggil-manggil
bapake itu pasti.”
(no. 18, Informan 1)
Strategi yang tergolong unik ditemukan pada Informan 2. Oleh
kerena Informan 2 memiliki pandangan bahwa temper tantrum anaknya
disebabkan oleh ketidaknyamanan fisik, maka strategi memanggil terapis
pijat anak juga menjadi strategi yang dipilih Informan 2 untuk memberi
kenyamanan fisik pada anaknya.
”Biasa dipanggil pijat? Ini mau pijat ini. Ooo.. biar sehat ya dik, ya? Dia
seminggu sekali ini, karena dia nggak mau diam kan. Kalau tidur ini,
banyak tingkahnya. Kakehan polah itu kalau tidur. “
(no. 60, Informan 2)
“Sering pijat itu buat apa mbak? Untuk mengatasi kecapekannya.
Soalnya dia lari-lari, numpak sepeda. Kalau kecapekan juga kadang
panas. Mengantisispasi biar nggak kayak gitu. Karena anakku sering
banget sih, gampang banget dia..”
(no. 63, Informan 2)
D. Pembahasan
Berdasarkan 4 tema umum yang telah dipaparkan pada sub-bab
sebelumnya, peneliti memperoleh pola sebagai berikut. Masing-masing
informan memiliki pemahaman mengenai temper tantrum yang diwakilkan
melalui cara para informan memberi istilah pada perilaku mengganggu yang
diekspresikan oleh anaknya dan kondisi-kondisi yang dinilai dapat memicu
kemunculan perilaku-perilaku tersebut. Pemahaman tersebut menjadi dasar
para informan untuk mengevaluasi temper tantrum anaknya dan menetapkan
sikap dan respon terhadapnya yang dapat dilihat dari cara masing-masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
informan memandang dampak temper tantrum anak pada dirinya dan menilai
apakah perilaku-perilaku anaknya dipandang wajar baginya. Dampak yang
dirasakan oleh masing-masing informan disertai pandangan kewajaran atas
ekspresi perilaku anaknya yang cenderung dinilai secara negatif mendorong
para informan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Berbagai cara yang
diterapkan oleh para informan ini kemudian disebut sebagai strategi untuk
menanggulangi temper tantrum.
Berikut adalah skema dari pola yang telah dipaparkan di atas,
bagaimana satu hal membentuk hal lainnya secara berurutan.
Skema 1. Pola Pengaruh Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum
1. Informan 1
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak
Informan 1 menyatakan bahwa dirinya merasa senang apabila
anaknya menunjukkan kualitas-kualitas baik pada perilakunya, seperti
tidak takut dengan orang lain dan terbiasa bermain tanpa pendampingan
Informan 1. Sebaliknya, Informan 1 merasa kesal atas perilaku rewel
anaknya. Dengan demikian, Informan 1 mengalami emosi positif dan
negatif secara seimbang dalam praktik pengasuhannya. Selain itu,
diperoleh gambaran bahwa Informan 1 membangun relasi dengan anaknya
Pemahaman
mengenai
temper
tantrum
Strategi
untuk
menang-
gulangi
temper
tantrum
Respon
terhadap
temper
tantrum
Sikap
terhadap
temper
tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dengan cenderung melepas anaknya, dalam arti memberi kepercayaan
pada anak untuk bermain di sekitarnya tanpa terlalu banyak melibatkan
diri pada aktivitas bermain anak.
Relasi Informan 1 dengan anaknya seperti paparan di atas
menunjukkan adanya kecenderungan tipe secure attachment, yakni
kelekatan dengan ciri memiliki relasi yang aman dengan orang asing,
kondisi perpisahan sehari-hari dengan ibu, dan tetap dekat dengan ibu
(Ainsworth dalam Santrock, 2002).
Informan 1 mendeskripsikan anaknya sebagai sosok yang mandiri
dan memiliki kecakapan sosial yang baik. Kedua sifat tersebut merupakan
karakteristik perkembangan masa awal anak-anak (Santrock, 2002). Selain
itu, Informan 1 juga menyebut bahwa “bandel” bukanlah sifat yang
seharusnya ditunjukkan oleh seorang anak perempuan. Maka, peran
gender merupakan acuan yang digunakan Informan 1 untuk menilai pantas
dan tidak pantas suatu perilaku bagi anaknya.
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak
Informan 1 menyebut temper tantrum dengan istilah „rewel‟, yakni
label untuk perilaku bergulung-gulung, menangis, berteriak, tidak ingin
berdiri; mencakar wajah, mencubit, menjambak rambut sendiri sebagai
ekspresi gemas. Selain itu, Informan 1 menyebutkan beberapa perilaku
mengganggu lain yang diekspresikan oleh anaknya seperti menggigit dan
membalas perilaku tidak menyenangkan ibu, serta menggigit dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
mencakar teman sebagai pertahanan diri atas perilaku yang tidak
menyenangkan.
Gambaran perilaku mengganggu anak yang disampaikan oleh
Informan 1 sesuai dengan definisi yang diungkapkan oleh Suririnah (2010)
yang menyebut temper tantrum sebagai „mengamuk‟. Adapun perilaku
yang disebutkan oleh Informan 1 sesuai dengan ilustrasi Young (1945)
bahwa anak mengekspresikan temper tantrum dengan menjatuhkan diri ke
lantai sambil berteriak dan melawan siapapun yang memaksanya berdiri
dan memberhentikan amarahnya, juga seperti salah satu dari sekian
perilaku yang disebutkan oleh Suririnah (2010) yakni menangis dan
Harrington (2009) yakni berteriak.
Ekspresi perilaku temper tantrum oleh anak Informan 1 seperti
mencakar, mencubit, dan menjambak rambut digolongkan oleh peneliti
sebagai perilaku agresi pada diri sendiri. Kelompok perilaku ini memiliki
kesamaan dengan istilah lain dari temper tantrum yang disebut oleh
Koulenti dan Anastassiou-Hadjicharalambous (2011) dalam Encyclopedia
of Child Behavior and Development, yakni problem perilaku agresif,
meski tidak terdapat keterangan mengenai objek yang dituju melalui agresi
anak.
Informan 1 menyebut bahwa perilaku rewel anak didahului oleh
beberapa kondisi, salah satunya disebabkan oleh kondisi anak yang sedang
sakit, kelelahan, mengantuk, tidur tidak nyaman, dan sangat lapar. Peneliti
mengkategorisasikan kelima sebab ini sebagai faktor fisik pemicu temper
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
tantrum anak. Kondisi-kondisi yang disebutkan oleh Informan 1 ini sesuai
dengan faktor-faktor penyebab temper tantrum yang dijabarkan oleh
Suririnah (2010) dan Meggitt (2013), yakni kelelahan, merasa lapar, dan
haus.
Selain faktor fisik, menurut Informan 1, perilaku rewel anak
disebabkan oleh beberapa faktor berikut: keturunan, pikiran buruknya
selama kehamilan, dan adanya entitas lain di rumah. Peneliti tidak
menemukan literatur mengenai pengaruh ketiga faktor ini terhadap temper
tantrum anak selama proses penelitian, sehingga dapat disebut sebagai
hasil temuan yang khas dalam penelitian ini.
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu
Informan 1 menyampaikan bahwa temper tantrum anak
memberikan dampak seperti rasa kasihan akibat tangisan yang tidak
kunjung reda, rasa heran akibat perilaku yang diekspresikan oleh anak
tidak sesuai ekspektasinya, dan rasa stress akibat perilaku anak yang
mengganggunya. Peneliti mengkategorisasikan ketiga dampak ini sebagai
dampak yang merugikan Informan 1.
Pada pertanyaan mengenai pandangan terkait nilai kewajaran
mengenai ekspresi tantrum anaknya, Informan 1 menjawab dengan
perbandingan dan menyebut perbedaan perilaku kedua anaknya dan
menunjukkan respon negatif atas perilaku anaknya dengan indikasi temper
tantrum. Peneliti menyimpulkan bahwa Informan 1 tidak memandang
wajar kemunculan perilaku temper tantrum pada anaknya. Kesimpulan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
juga didukung dengan Informan 1 yang memberikan respon negatif
dengan melabel anaknya sebagai sangat nakal.
Menurut Baron dan Byrne (2006), istilah „sikap‟ mengacu pada
evaluasi seseorang terhadap objek tertentu yang dapat memunculkan rasa
suka atau tidak suka terhadap objek tersebut. Pada uraian di atas, Informan
1 memaparkan evaluasinya melalui cara pandang terhadap dampak yang
dirasakannya serta rasa tidak suka melalui penilaian tidak wajar terhadap
perilaku temper tantrum anaknya. Dengan mengacu pada hal tersebut,
peneliti menjadikan poin „Pengaruh Temper Tantrum Anak Terhadap Ibu‟
sebagai indikator sikap ibu terhadap temper tantrum anak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum
Saat anak mengekspresikan perilaku rewel, Informan 1 merespon
dengan menghiraukan tangis anak. Strategi ini diterapkan oleh Informan 1
secara konsisten. Informan 1 berharap dengan melakukan strategi tersebut,
anak akan memahami maksud baik Informan 1 kemudian memiliki
kesadaran untuk memperbaiki perilakunya sehingga harapannya anak
tidak rewel lagi. Strategi ini sesuai dengan strategi yang disarankan oleh
Meggitt (2013) untuk menanggulangi temper tantrum anak, yakni
menghiraukan tantrum dengan memberikan perhatian sesedikit mungkin
terhadap amukannya dan konsisten dengan penghirauan tersebut agar anak
tidak mengulangi perilaku tantrum.
Selain itu, Informan 1 juga menerapkan strategi mengalihkan
perhatian anak dengan menggendongnya pergi menjauhi penyebab rewel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Strategi ini sesuai dengan strategi yang disarankan oleh Beaty (2014)
untuk menanggulangi temper tantrum anak, yakni menyingkirkan atau
mengurangi penyebab emosi. Sedangkan cara Informan 1 menggendong
anaknya, peneliti golongkan sebagai strategi Meggitt (2013) yakni
memberi sentuhan yang lembut dengan pelukan kuat.
2. Informan 2
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak
Dalam rutinitas pengasuhannya, Informan 2 adalah seorang ibu
yang sangat memperhatikan kebutuhan anak dan menampakkan
kecemasan mengenai kondisi kesehatan anaknya. Informan 2
menyatakan bahwa dirinya memiliki kelekatan dengan anak, dan
menyatakan bahwa anaknya juga memiliki kebutuhan untuk lekat
dengannya. Informan 2 bahkan mengaku dirinya merasakan sensasi
sakit di kepala saat meninggalkan anaknya dinas ke luar kota karena
memikirkan betapa anaknya membutuhkan kehadiran Informan 2
untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Informasi tersebut sesuai dengan
gambaran insecure attachment yang disampaikan oleh Ainsworth
dalam Santrock (2002).
Informan 2 memandang anaknya memiliki sifat malas bangun
dan malas mandi, juga cenderung menyimpan dendam apabila disakiti
orang lain. Informan 2 mengungkapkan bahwa secara fisik, anaknya
rentan merasa lelah. Selain itu, Informan 2 menyatakan bahwa
anaknya berada dalam fase perkembangan suka mengeyel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kecenderungan ini dijelaskan oleh Erikson dalam Papalia
(2007) sebagai karakteristik perkembangan anak usia 18 bulan hingga
3 tahun, yakni tahap otonomi. Perilaku mengeyel terkait dengan fase
anak yang sedang berada dalam masa yang mengutamakan keinginan
mereka sendiri sehingga mereka menjadi terlihat lebih berkuasa.
Dengan demikian, mengeyel merupakan perilaku yang kemunculannya
wajar pada anak dalam rentang usia ini.
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak
Informan 2 menyebutkan perilaku membantah, menggigit,
memukul, mengentakkan kaki, bergulung-gulung, dan menangis yang
diekspresikan anaknya untuk menolak perintah maupun hal yang tidak
inginkan sebagai „mengeyel‟, sedangkan ekspresinya disebut sebagai
„histeris‟.
Informan 2 menceritakan bahwa temper tantrum anak kerap
muncul saat waktu mandi tiba. Perilaku Informan 2 yang melepas
pakaian anak untuk mandi membuat anaknya marah sehingga
mengekspresikan tangis. Atau pada kasus lain yang serupa, Informan 2
menceritakan bahwa Informan 2 mengangkat anaknya keluar dari
kamar mandi untuk membatasi waktu mandi. Tindakan Informan 2
juga membuat anaknya marah sehingga mengekspresikan kaki
meronta-ronta dan mengatakan tidak mau.
Berdasarkan kasus tersebut, anak mengekspresikan tantrum
dengan perilaku menangis dan meronta karena Informan 2 memaksa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
untuk mandi dan di saat yang lain menghentikan mandinya atau
disebut Suririnah (2010) dipaksa melakukan aktivitas tertentu dan
tidak diizinkan melakukan sesuatu yang diinginkan. Kedua hal tersebut
disebut Suririnah (2010) sebagai penyebab frustrasi, atau emosi negatif
yang kerap disebut Informan 2 sebagai marah.
Selain kedua faktor penyebab di atas, Informan 2 juga
menyatakan bahwa anaknya menangis ketika mengalami perpisahan
dengan ayahnya. Informan 2 mengatakan bahwa anaknya merasa takut
ditinggal sehingga mengekspresikannya dengan berteriak-teriak
histeris.
Kondisi semacam ini disebut sebagai perpisahan sehari-hari
dan terganggunya anak oleh kondisi ini digolongkan Ainsworth (dalam
Santrock, 2002) sebagai karakteristik relasi insecure attachment.
Kondisi ini tampaknya membuat anak Informan 2 merasa takut, dan
takut yang dialami anak merupakan faktor yang disebut Mullen (1983)
sebagai persoalan mendasar dari temper tantrum. Dengan demikian,
faktor penyebab temper tantrum anak yang kedua adalah rasa takut.
Informan 2 menyebutkan bahwa ketika marah, anak
mengekspresikan dengan menggigit benda. Informan 2 memandang
perilaku ini dapat terbentuk karena anak meniru dirinya sebagai orang
tua yang mengekspresikan kesal dengan menggigit benda. Penyebab
ini sesuai dengan teori Suririnah (2010) yang menyatakan bahwa anak-
anak mengekspresikan temper tantrum karena mereka mencontoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
orang lain. Adapun meniru atau perilaku imitasi merupakan
karakteristik perkembangan pada masa awal anak-anak (Gottman dan
DeClaire (1997) dan Allen dan Marotz, 2007).
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu
Peneliti mengkategorisasikan dampak temper tantrum ke dalam
dua aspek. Pada aspek emosi, Informan 2 merasa panik ketika ledakan
temper tantrum anak muncul. Ketika panik, Informan 2 mengaku
bingung dan mengalami konflik. Informan 2 merasa tahu bahwa ia
harus melakukan sesuatu untuk meredakan temper tantrum dengan
tenang dan perlahan, namun di sisi lain ingin meredakan temper
tantrum anak dengan segera.
Sebagai ibu yang bekerja, kemunculan temper tantrum anak di
pagi hari mempengaruhi aktivitas Informan 2 untuk bersiap pergi ke
kantor dan pernah mengakibatkan Informan 2 terlambat tiba di tempat
kerja. Peneliti menggolongkan hal ini dalam dampak temper tantrum
pada aspek aktivitas ibu, meski sempat Informan 2 sendiri tidak
merasa terganggu akan hal itu dengan alasan tidak mendapat hukuman
karena memiliki toleransi keterlambatan di kantor.
Penilaian Informan 2 bahwa perilaku anaknya tidak
memberikan dampak buruk baginya paralel dengan sikap Informan 2
terhadap perilaku-perilaku yang diekspresikan oleh anaknya. Sikap
Informan 2 tampak melalui cara pandangnya terhadap emosi negatif
yang diekspresikan anaknya, yakni sebagai sifat bawaan sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Informan 2 tidak memiliki kendali atasnya. Pada perilaku nakal
anaknya seperti bertengkar atau “berantem”, Informan 2 memandang
sebagai perilaku yang wajar, dan ekspresi bergulung-gulung saat
menangis sebagai perilaku anak seusianya. Selain menilai wajar,
Informan 2 juga memaklumi perilaku lekat sebagai hal yang normal
karena perilaku ini diakui Informan 2 masih juga ditunjukkan olehnya
kepada orang tuanya sehingga memandang perilaku lekat sebagai
ungkapan kepedulian terhadap keluarga. Dengan demikian, terdapat
kongruensi antara penilaian wajar dengan sikap memaklumi temper
tantrum anak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum
Informan 2 menanggulangi temper tantrum dengan beberapa
strategi. Beberapa merupakan strategi yang juga diterapkan oleh
informan lainnya, beberapa merupakan strategi yang hanya ditemui
pada Informan 2.
Seperti kedua informan lainnya, saat ledakan temper tantrum
anak muncul, Informan 2 mengajak anaknya untuk berbicara dengan
tenang, menanyakan apa yang terjadi padanya walau anaknya tidak
memberikan respon jawaban dan tangisnya tidak juga mereda.
Informan 2 kemudian mengatakan informasi yang tidak benar atau
berbohong sebagai strategi untuk memberi ketenangan pada anak.
Strategi ini merupakan salah satu yang disarankan oleh Meggitt (2013)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
yakni tetap tenang dalam menghadapi anak yang sedang
mengekspresikan tantrum.
Strategi yang hanya ditemui pada Informan 2 adalah
memanggil terapis pijat anak. Informan 2 mengatakan bahwa anaknya
rentan mengalami kelelahan fisik, sedangkan anak suka bermain dan
bersepeda. Rasa lelah yang diekspresikan anak dengan tidur tidak
nyenyak, akan menimbulkan tangisan yang histeris. Untuk
mengatasinya, Informan 2 memanggil terapis pijat untuk datang ke
rumah dengan frekuensi dua kali seminggu.
3. Informan 3
a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak
Informan 3 menyatakan bahwa pengalaman pengasuhan
bersama anaknya didominasi oleh perasaan senang, terutama pada saat
bermain bersama kedua anaknya. Informan 3 menggambarkan sosok
anaknya sebagai anak yang aktif dan banyak bergerak. Informan 3
berpendapat bahwa anak laki-laki memiliki sifat yang lebih usil dan
tidak seharusnya bermain masak-masak, sehingga Informan 3
menggunakan peran gender sebagai patokan untuk
mengkategorisasikan baik-buruknya perilaku anak dalam
perkembangannya.
Ketika memasuki usia 3 tahun, Informan 3 menemukan
perubahan perilaku pada anaknya. Anaknya yang semula mandiri
kemudian menjadi sangat melekat pada dirinya. Informan 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
menyebutkan bahwa penyebab utama kemunculan perilaku melekat ini
adalah perubahan kondisi dari Informan 3 yang semula banyak
berkegiatan di luar rumah menjadi banyak berkegiatan di dalam
rumah. Perilaku semacam ini merupakan indikasi bahwa anak
memiliki relasi insecure attachment terhadap ibunya (Ainsworth dalam
Santrock, 2002).
Selain perubahan seperti yang dipaparkan di atas, Informan 3
juga melihat adanya perubahan yang terjadi pada perkembangan
bahasa, imajinasi, dan kemampuan imitasi anaknya. Menurut Santrock
(2007) sejak usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak sedang
mengembangkan tahap kognitif praoperasional. Pada tahap ini Piaget
(dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa anak telah menggunakan
bayangan-bayangan dalam kepalanya untuk memahami
lingkungannya. Perkembangan ini berimplikasi pada kemampuan
bahasa anak, yakni mampu memahami kata-kata dnegan cepat, seperti
instruksi-instruksi yang diberikan oleh Informan 3 dalam dinamika
pengasuhan sehari-hari.
Implikasi lain terlihat pada perkembangan imajinasi dan imitasi
anak. Informan 3 menyatakan bahwa aktivitas anak menonton film
superhero menyebabkan anak mengidentifikasi diri dengan superhero
favoritnya dan meniru adegan yang tidak jarang menunjukkan
agresivitas kepada orang lain. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
kemampuan anak yang menyimpan ingatan tentang tingkah laku yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
mereka amati dan menirukannya. Agresivitas anak tidak didasari sikap
kasar, melainkan ungkapan makna diri yang sedang berkembang
(Gottman dan DeClaire (1997).
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak
Informan 3 menyebut temper tantrum dengan istilah „rewel‟,
seperti halnya istilah yang diungkapkan Suririnah (2010) sebagai
„mengamuk‟. Istilah ini digunakan sebagai label untuk ekspresi
perilaku anaknya seperti menangis, tengkurap, tidak ingin disentuh
(Suririnah, 2010), dan memukul diri sendiri (Koulenti dan
Anastassiou-Hadjicharalambous, 2011).
Informan 3 menyatakan bahwa kerewelan anaknya memiliki
tiga tingkat keparahan yang dibedakan berdasarkan intensitas tangis
anaknya. Informan 3 merujuk rewel tingkat pertama pada perilaku
menangis dengan intensitas rendah, tingkat kedua pada perilaku
menangis dengan lebih kencang dan tengkurap di atas kasur, dan
tingkat ketiga merujuk pada perilaku menangis tanpa mau berhenti.
Informan 3 menyebut adanya kontribusi dari beberapa faktor
yang dipandang sebagai penyebab kemunculan berbagai perilaku
mengganggu tersebut. Peneliti mengkategorisasikanya sebagai faktor
emosi, faktor sosial, dan faktor teknologi.
Faktor emosi adalah penyebab-penyebab perilaku rewel yang
berkaitan dengan minimnya kemampuan anak untuk meregulasi
ledakan emosi yang muncul akibat Informan 3 tidak memenuhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
permintaan anak. Meggitt (2013) menyebutnya ditolak sebagai pemicu
temper tantrum dan Suririnah (2010) sebagai tidak diizinkan
melakukan sesuatu yang diinginkan.
Selanjutnya, faktor sosial adalah penyebab-penyebab perilaku
rewel yang berkaitan dengan orang lain, seperti disebutkan oleh
Informan 3 mengenai kemunculan rewel anak dengan kondisi anak
berkembang pada minimnya kehadiran orang dewasa dan banyaknya
waktu luang yang Informan 3 miliki bersama anaknya. Kartono (1992)
menyebutkan bahwa keterlibatan ibu dalam menjamin kesejahteraan
psikologis anaknya dalam mendampingi anak beradaptasi dengan
lingkungan sosialnya. Tampaknya Informan 3 menggunakan cara
pandang ini, yakni bahwa minimnya kehadiran orang dewasa pada
perkembangan anaknya memberi dampak pada minimnya
perkembangan kemampuan adaptasi sosial anak.
Terakhir, faktor teknologi adalah penyebab-penyebab perilaku
rewel yang berkaitan dengan pengaruh film yang anak tonton. Ketika
anak menonton film, ia melihat perilaku tokoh film yang menarik
baginya dan melakukan imitasi sehingga perilaku agresi dalam
perilaku rewel anak muncul pada aktivitas sehari-hari anak. Dengan
demikian, perkembangan kemampuan imitasi anak pada usia 3 tahun
seperti disampaikan Gottman dan DeClaire (1997) menjadi penyebab
yang berkontribusi pada temper tantrum anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu
Informan 3 menyatakan bahwa temper tantrum menganggu
penyelesaian aktivitas pekerjaannya. Informan 3 memperoleh kerugian
waktu yang semestinya dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan,
menjadi dipergunakan untuk menanggulangi perilaku rewel anaknya.
Dampak ini menyebabkan Informan 3 merespon perilaku rewel dengan
rasa tidak sabar dan berbagai keluhan.
Meski demikian, Informan 3 menyikapi perilaku-perilaku
tersebut sebagai ekspresi yang wajar bagi seorang anak laki-laki.
Informan 3 memandangnya sebagai ciri khas sifat usil dari seorang
anak laki-laki yang berimplikasi pada perilaku banyak bergerak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum
Informan 3 telah memahami kecenderungan anak yang moody
sehingga melakukan hal-hal untuk mencegah terjadinya kemunculan
temper tantrum. Strategi pencegahan yang dilakukan Informan 3
adalah dengan menjaga mood anaknya semenjak pagi hari. Apabila
indikasi temper tantrum mulai muncul, Informan 3 berusaha untuk
memenuhi keinginan anak sehingga temper tantrum dapat dicegah agar
tidak benar-benar terjadi.
Informan 3 memandang bahwa bahwa anaknya
mengekspresikan temper tantrum dengan tiga tingkat keparahan, maka
ia menerapkan 3 tingkat strategi penanggulangan. Pada tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pertama, ketika anak menangis dengan intensitas rendah, Informan 3
menanggulangi dengan memberi pelukan dan ciuman atau Meggitt
(2013) menyebutnya sebagai sentuhan yang lembut. Pada tingkat
kedua, ketika anak menangis dengan lebih kencang dan tengkurap di
atas kasur, Informan 3 melakukan bujukan melalui kata-kata. Strategi
ini sesuai dengan strategi yang disampaikan oleh Beaty (2014).
Strategi ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian seperti
disampaikan oleh Meggitt (2013). Pada tingkat ketiga, ketika anak
menangis tanpa mau berhenti, Informan 3 menanggulangi dengan
membuat perjanjian bahwa anaknya harus tetap berada di dalam kamar
hingga anak menyelesaikan tangisannya. Strategi ini disebut Meggitt
(2013) sebagai time-out. Informan 3 mengaku memperoleh informasi
mengenai strategi time-out dari acara televisi mengenai pengasuhan
anak.
Berdasarkan keterangan di atas, berikut peneliti sajikan hasil penelitian
pada Tabel 6 di halaman sebaliknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Tabel 6. Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak
Label Informan Informan 1 Informan 2 Informan 3
Pemahaman
Mengenai Temper
Tantrum
a. Menyebut
dengan istilah
rewel.
b. Menyebut
perilaku:
bergulung-
gulung,
agresi fisik diri
sendiri
(mencakar,
mencubit,
menjambak),
agresi fisik fisik
org lain
(mencakar,
menggigit),
menangis, tidak
mau berdiri,
berteriak.
c. Faktor
penyebab:
keturunan,
pikiran buruk
ibu,
emosi anak,
ketidaknyamana
n fisik anak,
sosial,
entitas lain tak
terjelaskan.
a. Menyebut
dengan istilah
mengeyel.
b. Menyebut
perilaku: marah,
menangis,
bergulung-
gulung,
membantah,
menolak,
menggigit,
memukul,
menghentak
kaki,
menendang.
c. Faktor
penyebab:
emosi,
fisik,
sosial, teknologi.
a. Menyebut
dengan istilah
rewel
b. Menyebut
perilaku:
melekat,
menangis,
tengkurap, tidak
mau disentuh,
pukul diri
sendiri.
c. Faktor
penyebab:
emosi, sosial,
teknologi
Pengaruh Temper
Tantrum Anak
Terhadap Ibu
a. Dampak:
kasihan, heran,
stress, sosial.
b. Sikap:
temper tantrum
merupakan
perilaku yang
tidak wajar.
c. Respon: emosi
negatif, memberi
label negatif.
a. Dampak: emosi,
pekerjaan, sosial.
b. Sikap:
memandang
wajar,
memaklumi,
menolak istilah
temper tantrum
c. Respon: panik
a. Dampak: emosi,
pekerjaan.
b. Sikap:
memandang
wajar
c. Respon:
mengeluh
Strategi untuk
Menanggulangi
Temper Tantrum
a. Hukuman fisik
b. Time-out
c. Mengalihkan
perhatian
a. Memberi
kenyamanan
fisik
b. Melakukan
diskusi
c. Mengalihkan
perhatian
a. Mencegah
dengan menjaga
mood anak
b. Memenuhi
keinginan anak
c. Memberi
kenyamanan
d. Melakukan
diskusi
e. Mengalihkan
perhatian
f. Time-out
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Pada bagian ini, peneliti hendak memaparkan adanya temuan yang
bersifat khas dari ketiga partisipan penelitian. Informan 1 dengan latar
belakang pendidikan rendah dan tinggal di daerah perkampungan, memiliki
pandangan bahwa temper tantrum merupakan perilaku yang tidak wajar.
Informan 1 memiliki pemahaman bahwa temper tantrum disebabkan oleh
faktor-faktor yang cenderung sulit untuk diukur, seperti halnya faktor
keturunan dan entitas lain tak terjelaskan yang menyebabkan ledakan ekspresi
temper tantrum anak. Motif Informan 1 untuk menanggulangi temper tantrum
adalah cenderung untuk memenuhi harapan diri sendiri, yakni agar anak
memperbaiki perilakunya dan untuk memenuhi harapan sosial, yakni agar
tidak memperoleh perlakuan buruk dari orang lain.
Informan 2 dengan latar belakang pendidikan tinggi dan tinggal di
daerah kota kecamatan memiliki pandangan bahwa temper tantrum merupakan
perilaku yang wajar dan tidak merasa terganggu atas dampak yang
ditimbulkannya, meski hasil analisa mengungkapkan bahwa temper tantrum
anak telah mengindikasikan kondisi dengan tingkat keparahan yang tinggi.
Sikap Informan 2 tampaknya dipengaruhi oleh ketidaknyamanan dirinya atas
citra negatif yang akan diberikan pada anaknya apabila memberi keterangan
mengenai temper tantrum. Sikap ini tampak melalui sulitnya Informan 2
memberi istilah pada ledakan emosi anak. Selain itu, pemahaman Informan 2
mengenai faktor penyebab temper tantrum anak berkisar pada penyebab-
penyebab yang tampak secara fisik, seperti meniru objek yang anak lihat.
Informan 2 sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
menanggulangi temper tantrum anak, namun belum bisa mengontrol dirinya
untuk tenang menghadapi.
Informan 3 dengan latar belakang pendidikan tinggi dan tinggal di
daerah kota memiliki pandangan bahwa temper tantrum adalah ekspresi
perilaku yang wajar. Informan 3 memaparkan beberapa informasi yang sesuai
dengan milestone perkembangan anak yang disebutkan oleh para ahli sehingga
menyikapi kemunculan perilaku temper tantrum sebagai hal yang wajar dan
menanggulangi dengan strategi yang sesuai. Pemahaman Informan 3
mengenai temper tantrum berkisar mengenai tingkatan keparahan yang perlu
ditanggulangi dengan strategi yang bertahap. Informan 3 mengungkapkan
faktor-faktor penyebab temper tantrum dalam berbagai aspek, yakni paparan
teknologi dan lingkungan pada aspek emosi dan kognitifnya.
Dengan demikian, peneliti hendak memaparkan bahwa dalam
penelitian ini, pemahaman ibu terhadap temper tantrum menampakkan variasi
berdasarkan latar belakang pendidikan dan lokasi tempat tinggalnya. Latar
belakang ibu memungkinkan adanya variasi perbedaan paparan sumber ilmu
pengetahuan mengenai fenomena temper tantrum yang meliputi perilaku yang
diekspresikan anak dan faktor-faktor yang menyebabkan ekspresi perilaku
tersebut, yang kemudian berpengaruh pada cara ibu memandang sebuah
fenomena yang cenderung serupa, yakni temper tantrum anak.
Baron dan Byrne (2006) menjelaskan hal ini sebagai sikap, yakni
evaluasi seseorang terhadap suatu objek. Dari empat sumber pembentuk sikap,
tiga di antaranya yang membentuk sikap ibu terhadap fenomena temper
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
tantrum adalah paparan media massa, pengaruh nilai-nilai kelompok, dan
orang lain. Pengaruh sumber-sumber ini terhadap sikap ibu bervariasi sesuai
dengan latar belakang masing-masing ibu berdasarkan tingkat pendidikan dan
lokasi tempat tinggal. Baron dan Byrne (2006) juga menjelaskan bahwa sikap
seseorang cenderung mempengaruhi tingkah laku sehingga teori ini dapat
menjelaskan bahwa variasi pemahaman ibu mengenai temper tantrum anaknya
dipengaruhi oleh sikap ibu terhadap temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan hal-hal
berikut:
1. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggal di lokasi perkampungan,
memandang temper tantrum sebagai fenomena yang diturunkan. Temper
tantrum yang disebabkan oleh faktor fisik merupakan perilaku tak wajar
sehingga dan perlu ditanggulangi dengan time-out untuk menumbuhkan
kesadaran diri anak dalam memperbaiki diri.
2. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dan tinggal di lokasi kecamatan,
memandang temper tantrum sebagai ekspresi yang wajar. Ibu menyebut wajar
karena temper tantrum disebabkan oleh anak meniru perilaku buruk orang tua
dan ingin selalu dekat dengan orang tua, sehingga perlu ditanggulangi dengan
memberi lebih banyak perhatian pada anak.
3. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dan tinggal di lokasi perkotaan,
memandang temper tantrum sebagai ekspresi yang wajar. Hal ini disebabkan
oleh perkembangan anak secara normal, namun temper tantrum yang muncul
perlu ditanggulangi secara bertahap sesuai dengan tingkat keparahan ekspresi
temper tantrumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
B. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyatakan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai
berikut:
1. Partisipan penelitian kurang dapat mewakili sampel populasi Informan 2,
yakni tingkat pendidikan menengah. Hal ini disebabkan karena calon
informan dengan karakteristik yang dimaksud tidak bersedia memberi
informasi dan peneliti memiliki keterbatasan waktu.
2. Literatur mengenai topik temper tantrum kurang memadai sehingga
berimplikasi pada keterbatasan referensi peneltian.
3. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kurang eksploratif. Hal ini
disebabkan karena peneliti menyadari keterbatasan performansi kerja selama
proses pengerjaan penelitian ini.
4. Peneliti tidak memastikan kondisi temper tantrum anak sebelum melakukan
proses pengumpulan data
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat banyaknya variasi mengenai
pemahaman informan mengenai fenomena temper tantrum yang pada akhirnya
berakibat pada variasi strategi untuk menanggulangi temper tantrum. Strategi
yang diterapkan informan memiliki dampak langsung terhadap perkembangan
psikolois anak. oleh karena itu, peneliti menyampaikan saran sebagai berikut.
1. Bagi para ibu dan pendamping anak usia 1 hingga 3 tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Memiliki pengetahuan yang meluad dan mendalam mengenai temper tantrum
anak merupakan hal yang penting. Pengetahuan yang dimaksud meliputi
milestone perkembangan anak sesuai usianya, ekspresi-ekspresi perilaku yang
mengindikasikan temper tantrum, serta segala faktor yang mungkin dapat
menyebabkan anak berperilaku demikian. Pengetahuan yang benar tentu akan
membantu para ibu dan para pendamping anak untuk memilih sikap yang
sesuai sehingga respon yang tepat dapat diterapkan kepada anak.
Memahami bahwa anak pada usia 1 hingga 3 tahun sedang mengembangkan
berbagai kemampuan baru, maka baiklah para ibu dan para pendamping
merespon dan menanggulangi ekspresi perilaku temper tantrum dengan
strategi-strategi yang dapat membantu perkembangan psikologis anak.
Bantuan dapat dilakukan dengan cara membantu anak mengenali emosi yang
sedang mereka rasakan dan membantu anak mengekspresikan emosinya
dengan perilaku-perilaku yang membangun, seperti yang disajikan dalam
penelitian ini pada bagian tinjauan pustaka.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Berdasarkan proses yang telah dijalani dalam penelitian ini, sebaiknya peneliti
selanjutnya memperhatikan beberapa hal penting yang dapat menunjang
kualitas penelitian selanjutnya. Pertama, peneliti sebaiknya berada pada
kondisi optimal dalam proses pengumpulan dan pengolahan data. Kedua,
peneliti sebaiknya melakukan pertemuan dengan masing-masing informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
lebih dari dua kali. Ketiga, peneliti sebaiknya lebih memanfaatkan metode
observasi saat proses pengumpulan data yang terdiri dari data mengenai
kondisi temper tantrum anak dan data mengenai pemahaman ibu mengenai
temper tantrum anak. Keempat, secara khusus untuk partisipan yang bekerja
atau memiliki sedikit waktu berdinamika dengan anak, disarankan untuk
menambah informan lain yang mengasuh anak tersebut. Keempat hal ini
ditujukan agar penelitian dapat memberikan informasi yang cukup memadai
mengenai dinamika ibu dalam fenomena temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L. R. & Groth-Marnat, G. (2009). Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi.
(ed. 12, jilid 2). Jakarta: Indeks
Allen, K. E., & Marotz, L.R. (2010). Profil Perkembangan Anak: PraKelahiran
Hingga Usia 12 Tahun. (ed.5). Jakarta: PT Indeks.
Azar, S. T., Reitz, E. B., & Goslin, M. C. (2008). Mothering: Thinking is part of the
job description: Application of cognitive views to understanding maladaptive
parenting and doing intervention and prevention work. Journal of Applied
Developmental Psychology 29(4), 295-304. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/222839699_Mothering_Thinking_is
_part_of_the_job_description_Application_of_cognitive_views_to_understan
ding_maladaptive_parenting_and_doing_intervention_and_prevention_work
Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Diunduh dari http://www.psychoshare.com./file-821/psikologi-
kepribadian/sikap-pengertian-definisi-dan-faktor-yang-mempengaruhi.html
Balson, M. (1993). Menjadi Orangtua yang Lebih Baik. Jakarta: Binarupa Aksara.
Baron, R. A. & Byrne, D. (2006). Social Psychology. (11 th ed.). USA: Pearson
Education, Inc.
Beaty, J. J. (2014). Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. (ed. 7). Jakarta:
Kencana.
Belden, A. C., Thomson, N. R., & Luby, J. L. (2008). Temper tantrums in healthy
versus depressed and disruptive preschoolers: defining tantrum behaviors
associated with clinical problems. J Pediatr, 152(1): 117–122. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2211733/
Berk, L. E. (2006). Child Development. (7th ed.). Boston: Pearson.
Berk, L. E. (2012). Development Trough Lifespan: Dari Prenatal Sampai Remaja
(Transisi Menjelang Dewasa). (ed. 5). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development: A Chronological Approach.
USA: HoughtonMiffin Company.
Daniels, E., Mandleco , B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and
prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy
of Nurse Practitioners, 24. Diunduh dari
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x/pdf
Dinantia, F., Indriati, G., dan Nauli, F. A. (2014). Hubungan pola asuh orang tua
dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler.
JOM PSIK, 1 (2). Diunduh dari
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad
=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiZ7eym77fUAhXHQY8KHT8LDkoQFggrMA
E&url=http%3A%2F%2Fjom.unri.ac.id%2Findex.php%2FJOMPSIK%2Farti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
cle%2Fdownload%2F3406%2F3302&usg=AFQjCNFvAyg2CcsWbmdDL1Pi
Q2vZiBsYeQ
Downs, C. W., Smeyak, G. P., & Martin, E. (1980). Professional Interviewing. NY:
Harper & Row Publishers
Gottman, J., dan DeClaire, J. (1997). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia
Gunarsa, S. D. (1987). Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius.
Harrington, R. G. (2009). Temper tantrums: Guidelines for parents. Diunduh 9 dari
http://www.nasponline. org/resources/ behavior/tantrums_ho.aspx
Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. B. (1989). Perkembangan Anak. (ed. 6, jilid 2). Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek
(jilid 2). Bandung: Mandar Maju.
Koulenti, T., & Anastassiou-Hadjicharalambous, X. (2011). Encyclopedia of child
behavior and development. Diunduh dari
http://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-0-387-79061 -9
_2881
Meggitt, C. (2013). Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: PT Indeks
McCaskill, C. L. (1941). Emotional health in childhood. The American Journal of
Nursing, 41 (1), 66-69. Diunduh dari
http://www.jstor.org/tc/accept?origin=/stable/pdf/3415206.pdf?refreqid=excel
sior%3Ae80ebaf992c47f68db1bf5310d420924
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Montgomery, C. L. (1987). Taming a tyrant. The American Journal of Nursing,
87(2), 234-238. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3643764
Mullen, J. K. (1983). Understanding and managing temper tantrum. Child care
quarterly, 12(1), 59–70. Diunduh dari
https://link.springer.com/article/10.1007/BF01258080
Nurrachman, N., & Bachtiar, I. (2011). Psikologi Perempuan: Pendekatan
Kontekstual Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman , R. D. (2007). Human Development. (10th
ed.). New York: McGraw-Hill.
Papalia, D. E. dan Feldman, R. D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia. (ed.
12, jilid 1). Jakarta: Salemba Humanika.
Purnomo, H. B. (1990). Memahami Dunia Anak-anak. Bandung: Mandar Maju.
Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup (ed. 5,
jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Child Development. (11th ed.). New York: Mc-Graw-Hill.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Sarumpaet, R. I. (1978). Rahasia Mendidik Anak. Bandung: Indonesia Publishing
House.
Shiraev, E. (2011). A History of Psychology: A Global Perspective. United States of
America: Sage Publication.
Smith, J. A. (2013). Dasar-dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Metode
Penelitian. Bandung: Nusa Media.
Solso, R. L., Maclin, O. H., dan Maclin, M. K. (2008). Psikologi Kognitif. (ed. 8.).
Jakarta: Erlangga.
Strauss, A. dan Corbin, J. (2009). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sullivan, M. W. & Lewis, M. (2012). Relations of early goal-blockage response and
gender to subsequent tantrum behavior. Infancy. 17(2), 159-178. Diunduh dari
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1532-7078.2011.00077.x/full
Supratikya, A. (2012). Penilaian Hasil Belajar dengan Teknin Nontes. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma
Supraktiknya, A. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dalam
Psikologi. Yogyakarta: Sanata Dharma.
Suririnah (2010). Buku Pintar Mengasuh Balita. Jakarta: Gramedia
Syam, S. (2013). Hubungan pola asuh orang terhadap kejadian temper tantrum anak
usia toddler di PAUD Dewi Kunti Surabaya. Jurnal Promkes, 1 (2), 164-169.
Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jupromkes7483a304abfull.pdf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Informed Consent
Saya Albertin Melati Widyaninta, mahasislvi jenjan-e Sl pfogram studi Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Saya sedans melakllkan penelitian LrntLrk memenuhi syarat Llntuk
memperoleh gelar sarjana. Saya melakLrkan penelitian ntengenai pengalarnan seorang ibu dalam
mengasuh anak batita.
Untr-rk memperoleh data penelitian, saya membLrtuhkan bantuan dari kr-rrang lebih 6
(enam) orang ibu yang memiliki pengalaman mengasuh anak vang pada rentang usia l8 bLrlan
hingga 3 tahun. Bantuan yang dapat anda berikan adalah berLrpa intbrmasi yang disampaikan dari
proses wa'vvancara bersama saya sebagai peneliti. Infbrmasi tersebr-rt akan saya kLrmpr"rlkan dan
saya olah sehingga memperoleh data tentang berbagai pengalamarr ibu dalam mengasuh anak.
Dalam proses \vawancara, saya akan memberikan sekitar l0 (sepuluh) pertanvaan pokok
dan beberapa peftanyaan sampingan sehingga wawancara akan rnembutuhkan u,aktu sekitar 2
hingea 3 jam. Dalam wa\\'ancara. anda disarankan untLrk nrenrberikan intbnnasi dengan apa
adanva. diperbolehkan untuk menolak pertan\aan \anq tidak inSin anda -lauab. dan bertanya
mengenai informasi apapun terkait dengan penelitian.
Demikian infbrmasi \anq sa\a sampaikan terkait densarr penelitian. Sa1,a akan sangat
terbuka untuk memberikan tanibahan intbrmasi apabila terdapat infbrmasi 1,ang kuran* jelas.
Apabila anda bersedia untuk berbaei inlbrnrasi mengenai pen-galaman dalam mensasuh batita.
silakan bubuhkan tanda tansan anda di barrah ini.
Saya yarlg bertanda tangan di bawah ini telah rrernbaca dern menrahanri irrtbnrasi ili atas.
serta menyatakan kesediaan saya untuk berbagi infbrmasi rlensenai pengalarrran sa\a dalarn
mengasuh batita.
Parrisipan penel itian. Peneliti.
L-
A Ibertin Melati \Vid)'an inta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I. Ibu
Nama ibu
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Biodata
LuFtbr Q'qut Urvrn:an\gaamn s-r t fif8 tt<a 1g- to
CLTAr?-T
II. Anak
Nama anak
Jenis kelamin
Tanggal lahir
.Atak ke-
Pendidikan
Pengasuh
pendamping
\toovo. Aqr\a ?uur'(
- ) Laki- laki 8() Perempuan
4 tluuer"hr poF\ (Usia: \B urrun;
3 dari ) bersaudara
1 Yf; riaat ( _ ) Ya, oteh :
Saya yang bertanda tangan
dengan sebenar-benarnya
penelitian.
di bawah ini menyatakan bahvva sara
dan bersedia memberikan informasi
telah mengisi inlbrrnasi di atas
tersebut untuk kepentingarr
Partisipan penelitian ke- |
Lkkba qqut U16 Mer tOtb
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Informed Consent
Saya Alberlin Melati Widyaninta, mahasiswi jenjang S1 pfogranr studi Psikologi
Universitas Sanata Dhanna. Saya sedang melakukan penelitian untuk rnemenuhi syarat untuk
memperoleh gelar sarjana. Saya melakukan penelitian mengenai pen-ealalnan seorang ibu dalarn
mengasuh anak batita.
Untuk memperoleh data penelitian, saya membutuhkan bantuan dari kurang lebih 6
(enam) orang ibu yang rnemiliki pengalaman mengasuh anak yang pada rentang usia 18 bulan
hingga 3 tahun. Bantuan yang dapat anda belikan adaiah belupa intbmasi yang disarr-rpaikan dari
proses wawancara bersama saya sebagai peneliti. Iniorniasi tersebut akan saya kutlpulkan dar-t
saya olah sehingga rnerrpcroleh clata tentang berbagai pengalar-nan ibu clalam nrengasuh anak.
Dalarn proscs \\/awancala, saya akan menrbcrikan sekitar l0 (sepr,rhrh) pertan.vaar-r pol<ok
.1.- l-,'h"'-.11,r harno'1\ia.- .-.'-"'.;-,..- "^1"i-,', '-.' ^l-..'. '..-'..h,,trrhl.-.- .' oi.-t" "^l..it.'. ')ur!1r u!u!rqPQ y!r rqrr-Yqsrr rurrrPrrreicrr .v1rrrle<iq
hin-tga 3 jan-r. Dalarn \\rawancara. anda clisarankan untuk menrbelikan infirnlasi dengan apir
adanya, diperbolehkan untuk rrenolak pertanvaan rang ticlak ingin anda jauab. clan bertanya
mengenai infbnnasi apapun tefkait dengan penelitian.
Dernikian inlbnlasi \ang sa)'a sampaikan terkait ciengan penelitian. Sava akrn sangat
telbuka untuk rnemberikan tambahan intbrmasi apabila terdapat intbmrasi yang kurang jelas.
Apabila anda bersedia untuk belbagi infbnnasi mengenai pengalarnan dalam rnengasuh batita,
silakan bubuhkan tanda tansan anda di bawah ini.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah membaca dan memaharni inlbrmasi di atas,
serta menyatakan kesediaan saya untuk berbagi informasi mengenai pengalaman saya dalam
mensasuh batita.
Parlisipan enelitian, Peneliti.
44k0o,vi KtzH IJI
Albertin Melati Widvaninta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Biodata
, Dvi Rerq L$il^yanei
I. Ibu
Nama ibu
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Sukrg tgono
II. Anak
\ar-na anak
Jenis kelanrin
Trn.roel lrhir
Anak ke-
Pendidikan
Pengasuh
pendamping
.fr ,'i A{uabrtc Kunrcro
1r/; lari-laki (_ ;Pclcnrpuan
(Usia: hbulanl:ldarifbersauclara
1 1l l tirtuu( -
) Ya, oleh :
Saya yang bertanda tangan
dengan sebenar-benarnya
penelitian.
di bawah ini menyatakan bahwa saya
dan bersedia memberikan inforrnasi
telah rnengisi infbrmasi di atas
tersebut untuk kepentingan
.l
Partisipan penelitian ke- 2 ,
ls l'{ei rotb
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I
lnformed Consent
Saya Albertin Melati Widyanirrta, malrasisr,vi jenjang Sl progfam studi Psikologi
Urriversitas Sanata Dltarma. Saya sedang melakLrkan penelitian untirk meinenuhi syarat untirk
trterrrperoleh -qelar sariana. Saya rnelakukan penelitian mengenai pengalantan seoraltg ibr,r dalarn
menp.asirtr anak batita.
Untuk memperoleh data penelitian. saya mernbutuhkan bantuan dari kurang lebih 6
(e nanr) orang ibu yang memiliki pengalaman men-easuh arrak yang pada rentang Lrsia 18 bLrlan
Iringga 3 tahun. Bantuan yarrg dapat anda berikan adalah benrpa infbrmasi yang disarnpaikarr dari
pfoses \,vawancara bersama saya sebagai peneliti. lntbrmasi tersebut akan say'a kirmpulkarr dan
saya olah sehingga memperoleh data tentang berbagai pengalaman ibLr dalarrr mengasuh anak.
Dalam proses wawancara. saya akan memberikan sekitar 10 (sepuluh) perlany,aan pokok
dan beberapa pertanyaan sampingan sehingga wawancara akan mernbutLrhkan lvaktu sekitar 2
hingga 3 jarn. Dalam wawancara, anda disarankan Lrntuk rrernberikan infbrmasi dengan apa
adanya. diperbolehkan untuk menolak pertanyaan yang tidak ingin anda jawab. dan bertanva
mengenai informasi apapun terkait dengan penelitian.
Dernikian infbrmasi yang saya sampaikan terkait dengarr penelitiarr. Saya akan sangat
terbr"rka untuk memberikan tambahan informasi apabila terdapat infbrmasi yang kurang jelas.
Apabila anda bersedia LrntLrk berbagi informasi mengenai pengalaman dalam mengasuh batita.
silakarr br,rbr-rhkan tanda tangan anda di bar,vah ini.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah mernbaca dan nremahami infbrrnasi di atas.
serta meltyatakan kesediaan saya untuk berbagi informasi mengenai pengalaman sa)'a dalanr
mengasuh batita.
Partisipan penel itiarr. Peneliti.
S+u-Albertin Melati Widyaninta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Biodata
I. IbLr
Nama ibu
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
5i lv"*-?\.?hn^^lisr^/q . M.og.^r.- kil,l ,\{g.0 1tilo
Pvr
ll. Anak
Nama anak
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Anak ke-
Pendidikan
Pengasuh
pendamping
Dror*. Alb,nnu^ .r-
( ]a) Laki-taki ( _ ) Perernpuan
(Usia:?3 bulan)
L dari 2 bersaudara
( tz)Tidak(_)Ya,oleh
Saya yang bertanda tangan
dengan sebenar-benarnya
penelitian.
di bawah ini menyatakan, bahr,va saya
dan bersedia mernberikan informasi
telah mengisi informasi di atas
tersebut trrrtuk kepentinean
Partisipan nelitiarr ke- 3
$11r/anaao Me( tolb
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Tabel Analisis Isi Informan 1 (Bagian 1)
Keterangan:
I1= Informan 1
N = Inisial anak I1 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I1
A = Anak, yakni N
No Satuan Makna Satuan Makna yang Dipadatkan
Kode Transformasi 1 Transformasi 2
1. Curhat aja
pengalamannya,
Mbak P mengasuh
ini Dik N.
Ya seneng-seneng
gimana ya mbak ya,
seneng-seneng
jengkel (tertawa).
I1 mengalami
pengalaman yang
menyenangkan
dan mengesalkan
dalam mengasuh
anaknya, N.
Pengasuhan I1
diisi dengan
gabungan emosi
positif dan emosi
negatif.
I: Perasaan senang
bercampur dengan
kesal.
2. Senenge nek kalau
itu lho, kalau dia
bisa nyanyi sendiri,
kaya gitu.Dia sesuka
hatinya kayak gitu
lho mbak.Terus
makan sendiri.
I1 merasa senang
ketika anak
mampu
bernyanyi-nyanyi
sendiri (karena
menurutnya N
terlihat bahagia)
dan ketika makan
tanpa dibantu
orang lain.
I1 merasa senang
ketika anaknya
terlihat bahagia
dan mampu
melakukan
aktivitas secara
mandiri.
A: Terlihat
senang.
A: Perilaku
mandiri.
3. Tapi kalau aku
kalau jengkel itu
kalau dia baru rewel
tu.Kan aku baru
sibuk ngejualin, kan
jualan to mbak, he-
eh, baru njualin trus
dia rewel tuh ah,
tak cubit mbak,
tenan, mbak.
I1 merasa jengkel
ketikaN rewel
pada saat I1
sedang bekerja
sehingga
mencubit N.
I1 merasa kesal
ketika kerewelan
N mengganggu
pekerjaan I1
sehingga
menanganinya
dengan memberi
hukuman fisik
kepada N.
A: Perilaku rewel
mengganggu
pekerjaan I1.
I: Memberi
hukuman fisik.
I: Jengkel
4. Senengnya aku
nggak nangis, nggak
cengeng itu, sama
siapa-siapa juga
nggak takut.
I1 menyukai sifat
N yang tidak
cengeng dan tidak
cangung kepada
orang lain.
I1 menyukai sifat
N yakni tidak
mudah menangis
dan memiliki
kecakapan sosial
yang baik.
A: Tidak cengeng.
A: Cakap secara
sosial.
5. Misalnya kalau pas
lagi ini, Dik N-nya
lagi rewel, biasanya
tuh ngapain aja
sih?
I1 menceritakan
bahwa ketika
rewel, N
mengekspresikan
perilaku
I1 menceritakan
bahwa N
mengekspresikan
rewel dengan
perilaku
A: Bergulung-
gulung.
A: Agresi fisik
diri sendiri.
A: Agresi fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Gulung-gulung itu
lho mbak,trus
kruwes-kruwes
mukae,trus njiwit-
njiwit kayak gitu,
he-e. Oh ya?
Kesendiri?He-e.
Terus njambak-
njambak kayak gini
lho mbak, trus
sampe rambutnya
brodol itu, bener
mbak.
Trus kalau
umpamanya sama
saya, dicokotin tu.
Sama anak tetangga
juga kayak gitu.
Kalau dia
gemes,kalau dia
jengkel kayak gitu.
bergulung-gulung,
mencakar wajah,
mencubit, dan
menjambak
rambut diri sendiri
hingga rambutnya
rontok, serta
menggigit ibu dan
temannya.
I1 menyatakan
bahwa perilaku
tersebut
diekspresikan N
ketika merasa
gemas dan kesal.
bergulung-gulung,
agresi terhadap
diri sendiri, dan
agresi terhadap
orang lain ketika
N merasa gemas
dan kesal.
orang lain.
A: Rasa gemas.
A: Rasa jengkel.
6. Itu baru kali ini kok,
mbak.
Kalau kemarin-
kemarin itu nggak
kayak gitu.
Sama saya itu cuma
diam, kalau dinganu
diam,
kalau sekarang
malah mbales.
Kalau dinakalin
sama N itu
dikruwes, dicokoti
sampe merah itu.
Anaknya tetanggaku
nangis.
I1 baru
mengalamikemun
culan perilaku
rewel N akhir-
akhir ini.
Sebelumnya, N
bersikap baik
namun saat ini
menunjukkan
perilaku
membalas apabila
mendapat
perlakuan yang
tidak diinginkan
dari temannya
dengan perilaku
mencakar dan
menggigit
sehingga
temannya
mengalami
perubahan kondisi
kulit dan
menangis.
I1 baru melihat
kemunculan
perilaku rewel N
akhir-akhir ini.
Perilaku-perilaku
tersebut berbeda
dengan perilaku N
sebelumnya, yakni
menjadi agresif
secara fisik)
hingga menyakiti
orang lain.
A: Degradasi
kualitas perilaku
A: Agresi fisik
orang lain,
merugikan orang
lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
7 Itu perempuan tapi
kayak gitu e mbak.
Nggak kayak
kakaknya.
Kakake itu dulunya
diam, nggak kayak
gitu.
Tapi kok adike kok
malah dadi kaya
ngene kok,haduh.
Stress aku, mbak.
I1 mengatakan
bahwa N berjenis
kelamin
perempuan
namun
berperilaku agresi.
Selain itu,
perilaku agresi
tidak ditemukan
pada pengalaman
I1 mengasuh anak
pertamanya.
Kedua hal tersebut
membuat I1
bertanya-tanya
dan merasa
tertekan.
I1 menyayangkan
perilaku agresi
yang dilakukan N
karena tidak
sesuai dengan
harapan I1
mengenai peran
gender N dan
harapan I1 dalam
mengasuh N
setelah memiliki
pengalaman
pengasuhan
terhadap anak
pertamanya
sehingga
membuat I1
merasa tertekan.
I: Ekspektasi
terhadap perilaku
anak sesuai peran
gender
I: Perbedaan
perilaku kedua
anaknya
I: Rasa stress
8. Kira-kira kenapa
Dik N kayak gitu?
Aku nggak, nggak
nganu e mbak, kok
yo isa kaya ngono
ki.
Kayak Masha itu.
I1 bertanya-tanya
mengenai
penyebab perilaku
N yang
digambarkan
seperti Masha
(adapun Masha
adalah seorang
tokoh serial TV
animasi berusia
balita yang
terkenal tidak
dapat diam)
I1 menyayangkan
perilaku N yang
tidak dapat
berdiam diri.
I: Rasa heran
9. Tapi dia hiperaktif,
mbak. Kalau orang
bilang apa, dia
ngikutin gitu.
Disuruh nyanyi,
juga nyanyi, kalau
salim ya salim.
Nggak pemalu gitu
dia aku sukane.
Nggak pemalu,
nggak cengeng,
tapi kalau udah
nakal ya nakal terus
(tertawa).
Sama orang baru
ya mau ya? Mau.
I1 memberi istilah
hiperakif pada
beberapa perilaku
N yakni mengikuti
permintaan orang
lain, seperti
menyanyi dan
bersalaman tanpa
malu. I1 menyikai
sikap ini karena
manjadikan N
tidak pemalu dan
tidak cengeng.
Meski demikian,
I1 juga
menceritakan
ketika N
menunjukkan
perilaku nakal,
I1 mengistilahkan
perilaku N
bersedia
mengikuti
permintaan orang
lain sebagai
hiperaktif (dan
menyukai sifat N
tersebut) karena
perilaku tersebut
menjadikan N
berani
bersosialisasi
dengan orang lain
dan orang baru.
Meski demikian,
I1 mengatakan
bahwa N juga
memiliki sifat
A: Cakap secara
sosial.
I: Memberi label
negatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
maka seterusnya
akan nakal.
nakal yang
cenderung
konstan, yang
sesungguhnya
tidak diinginkan
oleh I1.
10.
Kira-kira kenapa
ya, kok bisa gitu
Dik N-nya?
Jadi kalau ngantuk
itu,
terus badannya baru
nggak enak itu lho,
mbak.
Capek-capek kayak
gitu,
trus tidure kagol itu
lho, mbak, ya itu
mesti itu.
Terus laper banget
juga sukanya kayak
gitu.
Kerep iki senengane
kayak gitu tuh loh
mbak.Di waktu-
waktu tertentu? He-
e.
I1 mengatakan
bahwa keadaan
yang biasanya
menjadi penyebab
kemunculanperila
ku nakal pada N
adalah
mengantuk, sakit,
lelah, tidak
nyaman saat tidur,
dan sangat lapar.
10+11
I1
mengatribusikan
faktor-faktor
ketidaknyamanan
pada keadaan fisik
dan dorongan
emosi negatif N
sebagai penyebab
perilaku N
mencakar
siapapun.
10+11
A: Sakit
A: Lelah.
A: Tidur tidak
nyaman
A: Sangat lapar
A: Agresi fisik
orang lain.
A: Rasa gemas
11. Mesti nggrawuti,
mboh sopo sik
dinganu, gemes.
I1 mengatakan
bahwa keadaan
fisik N yang tidak
baik disertai
dorongan rasa
gemas
menyebabkan N
mengekspresikan
perilaku mencakar
siapapun.
12. Mesti dia mau
pinjem bolpen, nah
itu terus sama
kakake nggak boleh,
ha nanti terus
kakake direbut,
diini, dicokot, dah.
Tapi nek bolpen dah
dikasih ya uwis,
nggak dinganu.
I1 menyertakan
contoh
kemunculan
perilaku Nyakni
ketika N ingin
meminjam benda
milik kakaknya
namun tidak
diperbolehkan. N
mengekspresikan
perilaku merebut
benda dan
menggigit
I1 mengatakan
bahwa N
mengekspresikan
perilaku agresi
pada orang lain
ketika
keinginannya
tidak dipenuhi
kemudian berhenti
ketikaorang
tersebut telah
memenuhi
keinginannya.
A: Indikasi
gangguan ledakan
keinginan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
kakaknya.
Perilaku tersebut
berhenti ketika
kakaknya telah
memberikan
benda tersebut.
13. Kalau Mbak P
bilangnya apa
kalau dik N lagi
kayak gitu?
Apa ya, nakal trus
kagolan. Wis nakal
tenan kok mbak kae.
I1 menyebut N
sangat nakal dan
kaku.
I1 memberi label
negatif terhadap
perilaku N.
I: Memberi label
sangat nakal.
14. Penekan juga loh
mbak dia. Sering
penekan, manjat-
manjat. Manjatnya
ke mana? Kursi
atau?Kursi, teras-
teras kayak gini,
terus berdiri nanti
apa, nyanyi-nyanyi
sendiri gitu, nggak
nganu, oh pokok
men hiperaktif (nada
bicara lebih tinggi).
I1 memberi istilah
hiperaktif pada
perilaku N ketika
senang memanjat
furnitur rumah
sambil berdiri
bernyanyi-nyanyi
dengan nada
bicara yang tidak
mendukung/tidak
menyukai perilaku
ini.
I1 menyayangkan
perilaku hiperaktif
N –senang
memanjat.
A: Perilaku
hiperaktif
15. (Terdengar suara
tetangga
menertawakan Dik
N yang
meninggalkan lokasi
wawancara dan
ibunya yang
menanyakan arah
kepergian
anaknya)Oh dah
bisa pulang
sendiri? Udah,
kalau main dia
pulang sendiri.
Semenjak tak
tinggal jualan gini
trus dia main sama
temene,
nanti kalau dia
diapain gitu pulang
sendiri nangis,
sambil nangis, itu
“Bu, lara, bu lara.”
Itu artinya apa?
(I1
mempercayakan
N untuk bermain
di luar rumah
ketika I1 bekerja
di rumah.)
I1 menyatakan
bahwa N
mengekspresikan
menangis dan
merengek
saat/bila
lingkungan tidak
bersahabat dengan
N.
I1 mengatakan
bahwa N
mengekspresikan
menangis dan
merengek oleh
sebablingkungan
yang tidak
bersahabat
dengannya.
A: Perilaku
mandiri
A: Diganggu
teman sebaya
A: Perilaku
menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Sakit.
Oh tadi habis
disuntik to, mbak,
“Lara, bu, lara, lara,
iki lara.”
16.
Biasanya kalau
ngomong “Nakal”
gitu, cuma buat
mbak P sendiri apa
ngasih tau “Kamu
tu nakal.” ke Dik N
apa gimana?
Sambil tak cubit apa
tak gebleg itu.
I1 menangani
perilaku nakal N
dengan cara
mencubit dan
memukul
I1 menangani
perilaku nakal N
dengan hukuman
fisik.
I: Memberi
hukuman fisik
17. “Mbok ora nakal to,
kek kayak gitu ngko
rak nduwe kanca.
Nek ra nduwe kanca
mesakne koe.” gitu.
Dek e mung meneng
wae. Cuma diam,
mbak, diam kalau
dikasih tau.
I1 menasihati
bahwa perilaku
nakalnya akan
mengakibatkan N
kehilangan teman.
N tidak merespon
nasihat I1.
I1 menangani
perilaku nakal N
dengan berbicara
dengan tenang dan
tidak mendapat
respon dari N.
I: Memberi
nasihat
18. Nanti kalau tak jiwit
itu, “A, bapak,
bapak” gitu,
manggil-manggil
bapake itu pasti.
Trus bapaknya
mbantuin? Nggak,
bapaknya kerja.
Nggak ada yang
mbantuin.
Ketika I1
menangani
perilaku nakal N
dengan mencubit,
N merespon
dengan merengek
meminta
perlindungan
ayahnya yang saat
itu di luar
jangkauannya.
Hukuman fisik I1
kepada N
mendapat respon
dari N dengan
merengek
meminta
pertolongan
kepada ayah/figur
afeknya.
I: Memberi
hukuman fisik
A: Perilaku
menangis
19.
Tapi kalau dia
gulung-gulung itu
tak biarin kok,
mbak.
Ben, nantikan ndak
tuman to, mbak.
Tak biarin.
I1 tidak merespon
perilaku
bergulung-gulung
N untuk
mencegah N
mengulangi
perilakunya.
I1 melakukan
pembiaran atas
perilaku
bergulung-gulung
untuk tujuan
inhibisi.
I: Menghiraukan
tantrum
I: Ekspektasi akan
inhibisi perilaku
tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
20. Tapi pasti nggak
mau berdiri. Mesti
tambah le mbangok-
mbengok tambah le
“Bapak”, hah,
pokokmen tambah
kabeh disebutke,
mbak,
sopo sek dia tau.
Tapi tak jarne wae,
tak luwehke wae.
I1 menyatakan
bahwa saat N
mengekspresikan
perilaku
merengek, tidak
ingin berdiri, dan
berteriak-teriak
memanggil orang
di sekitarnya. I1
tetap tidak
memberi respon.
Pembiaran atas
perilaku tidak
ingin berdiri dan
menangis N
bersifat konstan.
I: Konsistensi
penghirauan
A: Perilaku tidak
ingin berdiri
A: Perilaku
berteriak
21. Biasanya berhenti
nggak kalau sudah
didiamin gitu?
Nanti kalau ada
temene lewat itu, itu
baru berhenti.
Itu kalau didiamin
nggak berhenti-
berhenti. Ho-o.
Trus umpamane ada
kakake lewat, “Cup,
sayang.”
“Huu..” malah
kayak gitu.
Wis, tak nengke
wae.
I1 menceritakan
bahwa apabila dan
kakaknya
mendekat, N akan
berhenti menangis
apabila temannya
sedangkan
pembiaran yang
dilakukan ibunya
akan membuatnya
tetap menangis.
Strategi yang
diterapkan I1 pada
N tidak mendapat
dukungan atau
inkongruen
dengan perlakuan
lingkungan sosial
terhadap N,
I: Inkongruensi
strategi ibu
dengan
perlakuan sosial
pada N
22. Itu kalau sama anak
laki-laki sebayanya
dia tu, diitu, mbak,
agresif. Dipeluk,
dicium-ciumin.
Cowoknya kan takut
to, mbak.
Dipeluk sama N
sampe nggeledhak,
jatuh, trus katane
kepalanya diduduki
itu, mbak.
I1 memberi istilah
N dengan istilah
agresif atas
perilaku N yang
memeluk dan
menciumlawan
jenis sebayanya
hingga jatuh,
kemudian
menduduki
kepalanya.
22 + 23
I1 melabel
perilaku agresi
fisik terhadap
lawan jenis
dengan istilah
agresif dan merasa
prihatin dengan
sifat N tersebut.
22 + 23
I: Memberi label
sangat nakal.
I: Ekspresi
mengeluh
23. Aduh, aku duh. Kok
anakku kaya ngene
ki. Nakal banget
lho, mbak anakku
yang ini, haduh.
Masyaallah, aku
nganti, ck.
Nggak bisa anteng,
mbak.
I1
mengekspresikan
emosi negatif
yang ditimbulkan
dari perilaku N
yang disebutnya
sebagai sangat
nakal dengan
perilaku banyak
bergerak.
24. Trus biasanya I1 merasa jengkel I1 I: Marah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
kalau lagi, lagi
kayak gitu, apa
yang dirasakan
sama Mbak P?
Ya jengkel, mbak.
Mesti marah-marah
terus aku, mbak.
dengan perilaku N
dan
mengekspresikann
ya dengan marah.
mengekspresikan
rasa jengkel
terhadap perilaku
nakal N dengan
marah.
25. Pengaruhnya buat
mbak P apa pas lagi
Dik N lagi nakal
gitu?
Ikut darah tinggi
(tertawa). Ikut
emosi.
I1 merasa kesal
terhadap perilaku
nakal N.
25 + 26 + 27
I1 mengalami
konflik di antara
rasa iba terhadap
kesusahan yang
dialami N dan
usaha untuk
memperbaiki
perilaku N.
25 + 26 + 27
I: Emosi negatif
terhadap tantrum
anak
I: Rasa kasihan
I: Ekspektasi akan
inhibisi perilaku
tantrum anak
I: Ekspektasi
bahwa strategi ibu
akan dipahami
anak
I: Ekspektasi akan
perubahan
perilaku anak
I: Ekspektasi tidak
terpenuhi
26. Wis jane kasian to,
mbak kalau anak
nggulung-nggulung
gitu.
Tapi nek, nek
ditulungi nanti ndak
tuman.
I1 merasa kasihan
ketika melihat N
mengekspresikan
bergulung-gulung
namun di sisi lain
I1 merasa
khawatir apabila
perilakunya
berulang apabila
memberikan
perhatian pada
perilaku tersebut.
27. Nek dibiarin kan
biar dia tau to,“Aku
didiamin sama
ibuku e, mbok aku
tak nganu.”
Nek dia kan nggak,
nek tak diamin, yo
wis dia gulung-
gulung, malah
bobokan dia mbak.
Ya wis, tak nengke
wae.
Nek ada temennya
baru nganu dia,
Baru bangun? he
em, baru bangun.
I1 mengatakan
bahwa tujuannya
untuk melakukan
pembiaran adalah
agar tumbuh
kesadaran dari N
untuk mengubah
perilaku nakalnya,
namun yang
terjadi justru
perilaku
bergulung-
gulungnya
semakin parah dan
hanya dapat
behenti ketika
teman seusianya
mendekat.
28. Terus, kalau yang
dipikirkan apa pas
lagi Dik N lagi
gulung-gulung
gitu?
Aku mikirnya, kok
I1 berusaha
mencari penyebab
kemunculan
tantrum pada N,
faktor keturunan
dan pikiran saat
28 + 29
I1
mengatribusikan
penyebab
kemunculan
perilaku N pada
28 + 29
I: Faktor
keturunan
I: Pikiran buruk
ibu
I: Ekspresi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
bisa kayak gitu,
turun siapa lho,
mbak.
Apa dulu pas hamil,
ndelok jatilan,
gulung-gulung
(berbicara sambil
menahan tertawa).
Katanya kalau orang
hamil nek mbatin
kan nganu nggih,
kadang turunnya
ning anak, nggih.
Aku mbatin, kayak
Masha, itu lho
mbak, film Masha.
Apa ndhisik ak
mbatin Masha itu.
kehamilan, seperti
menonton
pertujukan
Jathilan dan acara
di televisi (yang
menunjukkan
tokoh utamanya
memiliki perilaku
tidak bisa diam)
menjadi beberapa
alasan.
faktor keturunan
dan pikiran-
pikiran buruk
selama masa
kehamilan dan
menyayangkan
perilaku N itu
dapat terbentuk.
mengeluh
29. Aduh tobat aku
kalau kayak Masha
tenan.
Bapakke wis tobat
lho, mbak, tenan.
Isa kaya ngene to,
N. Ya piye, ndhisik
aku yo ra ngerti, isa
kaya ngene ki.
I1 khawatir,
merasa tidak
sanggup, dan
menyayangkan
apabila perilaku N
menjadi seperti
tokoh acara
televisi tersebut
30. Kalau dek N lagi
kayak gitu tu,
menurut mbak P itu
baik, buruk, apa
normal di umurnya
yang segini?
Emh, aku nggak.
Anakku yang
pertama nggak, apa,
soalnya nggak
kayak gitu e, mbak.
Laki-laki tapi
pendiam.
Nggak kayak yang
ini, perempuan tapi
kok mbandel.
Mbandele tu
mbandel sangat-
sangat bandel.
Super, super.
I1 mencoba
menilai kewajaran
perilaku N dengan
membandingkan
perilaku dan peran
gender kedua
anaknya. Setelah
melihat
perbedaannya, I1
melabel perilaku
N sangat nakal.
I1 memberikan
label sangat nakal
pada N
disebabkan oleh
ketidaksesuaian
ekspektasi I1
dalam
pengalaman
pengasuhan
dengan anak
pertamanya dan
juga disebabkan
oleh
ketidaksesuaian
antara perilaku
dan peran gender
N.
I: Perbedaan
perilaku kedua
anaknya
I: Ekspektasi
terhadap perilaku
anak sesuai peran
gender
I: Memberi label
sangat nakal.
31. Terus, kalau lagi
gulung-gulung tadi
kan sama Mbak P
I1 menggendong
dan mengajak N
berkeliling dengan
I1 mengatasi
tangisan N dengan
mengalihkan
I: Mengalihkan
perhatian
I: Efektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
didiamin, he-e to
bener to, terus,
kalau lagi nangis-
nangis, apa lagi
gemes gitu sama
diri sendiri apa
sama mamanya itu,
Mbak P itu
ngapain?
Tak gendhong itu,
terus tak ajak main
muter-muter nanti
kan dia diam.
Tak slamur-
slamurke, udah
diam dia.
Dia tu kalau disuruh
diam tu nggak sulit,
harus sampai apa..
Cuma dikasih di
luar rumah langsung
diam. O, tapi cepat
reda ya?he-e, cepat
reda.
Terus, menurut
Mbak P gimana, itu
tu udah manjur apa
belom caranya
kayak gitu, yang
nggendong muter-
muter terus ...
Langsung diam,
mbak, kalau nangis
kayak gitu.
tujuan untuk
mengalihkan N
dari tangisannya.
I1 berkata bahwa
menenangkan N
tidaklah sulit,
hanya dengan
mengajaknya ke
luar rumah.
perhatian N dan
strategi ini
dinyatakan efektif.
A: Mudah
ditenangkan
ketika tantrum
32. Dia kalau nangis tu
dia mintanya ke
luar, maksudnya ke
luar rumah.
Nggak tau, mesti, di
dalam rumah ada
apanya.
Tapi kalau di luar
rumah mesti
langsung diam.
I1 mengatakan
bahwa dalam
setiap tangisan N,
N meminta untuk
diajak ke luar
rumah karena I1
percaya bahwa di
rumahnya ada
entitas tertentu
yang
menyebabkan N
menangis
sehingga dengan
berada di luar
rumah, tangis N
reda.
I1 memiliki
pandangan bahwa
terdapat entitas
tertentu di dalam
rumah yang
berkontribusi
dalam tangisan N,
melihat dari
fenomena N yang
meminta untuk ke
luar rumah ketika
menangis dan
fenomena redanya
tangis N ketika
sudah di luar
rumah. Hal ini
A: Kehadiran
entitas tertentu
I: Mengalihkan
perhatian
I: Efektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
juga yang
membentuk I1
untuk melakukan
strategi
menangangan
tangisan N dengan
mengalihkan
perhatian dari luar
rumah.
33. Agresif tuh yang
aku nggak sukane,
mbak.
Kalau sama
perempuan nggak
kayak gitu.
Tapi kalau sama
laki-laki tu lho, anak
laki-laki langsung
dipeluk, langsung
diciumin.
Dia anak laki-laki tu
ya gilo kan ya
mbak.
Dia jatuh to, itu
langsung ditumpaki
lho mbak kepalanya.
I1 mengatakan
bahwa dirinya
tidak suka dengan
perilaku agresif N
yang hanya
dijumpai dalam
relasinya dengan
teman sebaya
lawan jenis.
Perilaku yang
tampak adalah
memeluk,
mencium, dan
menduduki kepala
setelah temannya
terjatuh. I1
menyatakan
bahwa teman N
merasa jijik.
33 + 34
I1 tidak menyukai
perilaku agresif N
karena tidak
menginginkan
penilaian negatif
dan protes dari
lingkungan sosial.
33 + 34
I: Ekspresi
mengeluh
I: Mendapat
penilaian negatif
dari lingkungan
sosial.
34. Aku kan ya, waduh
nek iki.. iya nek
ibuke tau kalau anak
kecil emang kayak
gitu.
Tapi nek ibuke yang
nganu, nek ora
terimo nek ngene ki,
“Wah anakku
dingenekke, wah
anakku dingenekke”
ngko aku dilabrak
meneh. Emang
udah pernah
dilabrak? Itu gara-
gara yang besar itu.
(Sambil tertawa).
I1 merasa cemas
apabila
ketidaktahuan ibu
teman N
mengenai
kewajaran
perilaku anak
pada rentang usia
tertentu akan
berimbas buruk
pada I1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Tabel Analisis Isi Informan 1 (Bagian 2)
Keterangan:
I1 = Informan 1
N = Inisial anak I1 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I1
A = Anak, yakni N
No. Kode Sub-
Kategori Kategori Tema
1
I: Perasaan senang
bercampur
dengan kesal.
Dinamika emosi
ibu dalam
pengalaman
pengasuhan
Dinamika dalam
pengasuhan
Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
7 I: Ekspektasi
terhadap perilaku
anak sesuai peran
gender Gambaran relasi
ibu dan anak
30
7 I: Perbedaan
perilaku kedua
anaknya 30
2 A: Terlihat
senang.
Gambaran sifat
anak
Pandangan
terhadap sosok
anak
2 A: Perilaku
mandiri. 15
4 A: Tidak cengeng
4 A: Cakap secara
sosial. 9
14 A: Perilaku
hiperaktif
3
A: Perilaku rewel
mengganggu
pekerjaan
Perilaku anak
yang menjadi
indikasi tantrum Perilaku tantrum
anak Tantrum anak
5 A: Bergulung-
gulung.
5 A: Agresi fisik
diri sendiri.
5 A: Agresi fisik
orang lain. 6
11
15 A: Perilaku
menangis 18
20
20 A: Perilaku tidak
ingin berdiri
20 A: Periaku
berteriak
31 Mudah
ditenangkan Kualitas tantrum
6 A: Degradasi Dampak tantrum Dampak tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
kualitas perilaku terhadap anak terhadap anak
28 I: Faktor
keturunan
Faktor keturunan
pemicu tantrum
anak
Faktor pemicu
tantrum anak
28 I: Pikiran buruk
ibu
Faktor pikiran ibu
pemicu tantrum
anak 29
5 A: Rasa gemas.
Faktor emosi
pemicu tantrum
anak
11
5 A: Rasa jengkel.
12
A: Indikasi
gangguan
ledakan
keinginan.
10 A: Sakit
Faktor fisik
pemicu tantrum
anak
10 A: Lelah
10 A: Mengantuk
10 A: Tidur tidak
nyaman
10 A: Sangat lapar
15 A: Diganggu
teman sebaya
Faktor sosial
pemicu tantrum
anak
32 A: Kehadiran
entitas tertentu
Faktor yang
belum diketahui
sebagai pemicu
tantrum
7 I: Rasa heran Dampak tantrum
terhadap emosi
ibu
Dampak tantrum
terhadap ibu
Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
anak tantrum
8 I: Rasa stress
26 I: Rasa kasihan
13 I: Memberi label
sangat nakal.
Memberi label
negatif
Respon ibu
terhadap tantrum
anak
23
30
3 I: Jengkel
Emosi negatif
7 I: Rasa stress
23 I: Ekspresi
mengeluh 29
34
24 I: Marah
25 I: Emosi negatif
34
I: Mendapat
penilaian negatif
dari lingkungan
sosial
Faktor yang
mempengaruhi
respon terhadap
tantrum
19 I: Menghiraukan
tantrum Time-out
Strategi ibu
menangani
tantrum 20 I: Konsistensi Prinsip/Nilai-nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
penghirauan pengasuhan
31 I: Mengalihkan
perhatian
Mengalihkan
perhatian
3 I: Mencubit Hukuman fisik
18
16 I: Inhibisi perilaku
tantrum anak
Motivasi dan
ekspektasi ibu
menangani
tantrum
19
27 I: Strategi ibu
dipahami anak
27 I: Perubahan
perilaku anak
27 I: Ekspektasi tidak
terpenuhi
21
I: Inkongruensi
strategi ibu
dengan
perlakuan sosial
pada N
Kendala strategi
penanganan
tantrum
31 I: Efektivitas
strategi
pengalihan
Efektivitas
strategi 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Tabel Analisis Isi Informan 2 (Bagian 1)
Keterangan:
P1 = Informan 2
D = Inisial anak I2 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I2
A= Anak, yakni D
No Satuan Makna Satuan Makna yang Dipadatkan
Kode Transformasi 1 Transformasi 2
1. Bisa cerita nggak,
mbak,
pengalamannya
mbak D mengasuh
.. Nama adiknya
siapa?
D, Dik D.
Ya.
D itu dari umur
berapa? Nol?
Ya, dari
kelahirannya.
Nyenengin ya,
mbak, ya. Kalau
masih bayi kan
nyenengin.
Masih belum ngerti
apa-apa juga.
I2
mengungkapkan
rasa senangnya
dalam mengasuh
D di usia bayi
karena pada usia
itu, menurut I2 D
belum mengerti
apa-apa.
1 + 2
Pandangan I2
terhadap bayi D
sebagai sosok
yang lugu dan
menunjukkan
perkembangan
fisik yang normal
membuat I2
memiliki kesan
positif terhadap
pengalaman
pengasuhannya.
I: Memandang
bayi sebagai
sosok lugu
A: Menunjukkan
perkembangan
yang normal
2. Terus, beranjak dia
bisa tengkurap, terus
bisa mberangkang,
bisa rambatan, jalan.
Itu yang paling
nyenengin kan kita
tahu perkembangan-
perkembangan anak
tuh lho.
Jadi senang kalau
anaknya bisa
tumbuh biasa, ya
normal lah.
I2 merasa paling
senang saat
melihat D
menunjukkan
perkembangan
yang normal,
yakni mampu
tengkurap,
merangkak,
berjalan dengan
tumpuan benda
sekitar, dan
berjalan mandiri.
3. Terus apa lagi ya?
Alhamdulillah sih
aku bisa nyusuin 3
tahun.
Gara-garanya aku
berhenti nyusuin ..
Sebenarnya aku
I2 merasa
bersyukur atas
kemampuannya
untuk menyusui
D selama 3 tahun
dan masih ingin
meneruskannya
I2 merasa dirinya
mampu secara
fisik dan
memandang D
masih
membutuhkan
dirinya,
I: Kelekatan
dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
belum berhenti
nyusuin, karena aku
hamil jadi udah
nggak kuat.
Sebenernya pengen
masih terus sih,
soalnya aku nggak
tega yah. Soalnya
dia masih
Masih pengen ya?
He’eh.
Terus alhamdullilah
juga air susuku
masih banyak,
kadang aja sering
keluar sendiri.
kerena merasa
tidak tega melihat
D masih ingin
menyusu dan I2
masih
memproduksi
ASI dengan
jumlah
melimpah.
I2 mengatakan
bahwa ia harus
berhenti
menyusui karena
keadaan fisik
setelah kehamilan
anak kedua tidak
mendukung.
menyababkan I2
memiliki
kelekatan dengan
D.
4. Terus apa?
Apapun, boleh
cerita.
Mm, dia sukanya
kalau tidur itu ini,
mainan, mainan
puting, putingnya
buat mainan. Jadi,
dia baru bisa tidur,
kalau nggak ..
Makanya aku nggak
pernah ninggalin
dia, mbak,
I2 menyatakan
bahwa ia tidak
pernah
meninggalkan D
karena D hanya
dapat tidur
setelah
memankan
putting susu I2.
I2 merasa D
membutuhkan
dirinya, membuat
I2 tidak tega
meninggalkan D.
A: Kelekatan
dengan ibu
5. baru kemarin aku
ninggalin dia ke
Malang karena aku
ada urusan kerja
kan.
Dia nyariin, rewel,
aku pusing, aku.
Aku mulai kerja
juga stress,
ninggalin anak,
soalnya aku nggak
pernah ninggalin,
sejam-dua jam itu
udah pusing. Udah
nggak kuat.
Karena dia kan
manggilin bapaknya
terus.
I2 bercerita
bahwa ia tidak
terbiasa
meninggalkan D
karena D akan
tersu memanggil
ayahnya dan
membuat I2 tidak
bisa
meninggalkan d
lebih dari 2 jam.
Akibatnya, ketika
I2
menginggalkan D
ke luar kota, D
rewel mencari I2.
Hal ini membuat
I2 merasa pusing,
stress, dan tidak
kuat meneruskan
D mengalami
perpisahan
dengan figur
lekat, D
merespon dengan
rewel.
Kondisi dan
respon D,
memunculkan
sensasi fisik yang
tidak
menyenangkan
bagi I2.
I: Kelekatan
dengan anak
A: Kelekatan
dengan ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
pekerjaannya.
6. Umur dua tahun dua
bulan, dia aku
masukin playgroup.
Awalnya aku
ngelatih karena aku
mau masuk kerja,
biar dia kebiasaan.
Ternyata, aku yang
harus nungguin, ikut
sekolah juga selama
7 bulan baru dia bisa
mau ditinggal.
I2 menceritakan
bahwa saat D
berusia 2 tahun 2
bulan, I2
memasukkan D
ke sebuah
playgroup agar D
terbiasa berpisah
dengan I2 ketika
bekerja. Namun
yang terjadi, I2
menunggu D
hingga 7 bulan.
I2 merancang
pelatihan
aktivitas mandiri
untuk D namun
membutuhkan
waktu lama untuk
berhasil.
I: Kelekatan
dengan anak
7. Terus.. Makan, nah
makannya itu susah,
dari umur berapa ya,
susahnya .. Mau
jalan itu, udah jalan
itu susah.
Jadi kan istilahnya
kata orang udah
jalan itu pasti kurus
ya, katanya.
Mulai susah, tapi
susunya kencang.
Nah dia baru mau,
mau makan,
lahapnya makan tu
umur 2 tahun ke atas
itu, mulai ada nafsu
makan.
Terus berat
badannya juga
susah, susah
naiknya,
dikasih vitamin.
I2 menceritakan
D mengalami
kendala makan
ketika sudah
mampu berjalan
hingga menginjak
usia 2 tahun yang
mengakibatkan
berat badan D
sulit bertambah
sehingga I2
mengatasinya
dengan memberi
D asupan
vitamin.
7 + 8 + 9 + 10
I2 memberi
perhatian pada
setiap kebutuhan
fisik dan
aktivitas fisik D,
selalu berusaha
untuk memenuhi
kebutuhan D.
I: Memenuhi
kebutuhan
makanan anak
8. Padahal dia aktif
banget. Dia diamnya
kalau mau tidur aja.
Suka lari, itu
aktivitasnya,
maunya main aja.
Tapi itu sih, dia
orangnya habis
makan, pagi makan,
tidur, ntar siang
bangun, makan,
tidur lagi.
Sehari tidur bisa 5
I2 menceritakan
bahwa D
memiliki
perkembangan
motorik normal,
yakni aktivitas
fisik yang aktif
dan pola tidur
yang seimbang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
kali.
9. Apa lagi ya? Itu,
susah makan buah.
(Mulai terdengar
suara D menangis).
Senang buahnya itu
pisang, pisang sama
durian.
Terus habis itu
sekarang senang
banget sama
mangga. Sekarang
maunya mangga tok.
Sayur juga susah,
sampai aku beliin
apa itu, vegeblend
ya, vegeblend sayur.
Tapi udah 3 tahun,
eh 2 tahun lebih ini
dia udah mau doyan
sayur,
I2 menceritakan
bahwa D suka
memilih-milih
makanan, dalam
hal ini konsumsi
buah-an sehingga
I2 mengatasinya
dengan memberi
asupan suplemen.
10. karena susah, dia
belum bisa ini,
mbak, ngunyah.
Ngunyahnya lama.
Daging aja kalo
nggak diituin dulu ..
Cacah?
He’em,
terus kalau sayuran
nggak dipotong-
potong kecil kayak
buat tim gitu, dia
nggak bisa.
Langsung mau
mual.
Jadi kalau makan,
dia kering, kalau
nggak, nggak bisa.
Harus yang lembek-
lembek lauknya,
(Terdengar suara D
menangis lagi),
kalau nggak, dia
nggak mau.
Sama makan itu
bubur Sun itu.
I2 menceritakan
bahwa D
mengalami
kesulitan dalam
mengunyah
sehingga I2
mengatasinya
dengan cara
menghaluskan-
nya sebelum
dikonsumsi D.
11. (Tampak D
mendekati I2. “Papa
D (nama ayahnya)”,
Ketika D
menangis
mencari ayahnya
D
mengekspresikan
tangis dan
I: Memberi
informasi bohong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
tangis D. “Papa baru
kerja sebentar”,
jawab I2. “Aaaaa”,
rengek D. “Oh papa
di atas kok, papa di
atas”, kata I2. (Pada
waktu ini, ayah D
sedang berada di lur
rumah). “Papa D
(nama ayahnya)”, D
masih menangis. D
kemudian dibujuk
oleh neneknya
menjauh dari I2.)
yang sedang
pergi bekerja, I2
mencoba
memberi tahu D
namun D tetap
merengek
sehingga I2
mengatakan
bahwa ayahnya
berada di lantai
dua. D tetap
menangis
sehingga
neneknya datang
dan mengajak D
menjauh dari I2.
rengekan
kehilangan figur
lekatnya, I2
menenangkan
dengan
memberikan
informasi yang
tidak benar, Ibu
I2 menunjukkan
peran dalam
menanggulangi
tantrum D.
I: Orang lain
dalam
pengasuhan
12. Terus dia ngerti
kondisi aku.
Kalau seumpamanya
minta apa gitu, “Ma,
mama sudah punya
uang belum?”.
Kalau “Mama nggak
punya uang.” ya
udah dia nggak
minta, jadi dia tahu..
Kalau dibilangin
sama mbak D?
He’eh.
Kadang ngelihat,
ngelihat isi dompet
itu, “Oh nggak ada
uangnya, Ma?”
“Nggak ada,
uangnya mama tuh
nggak ada.”
Emang aku nggak
pernah pegang cash
kan, mbak. “Mama
nggak punya uang.”
Jadi kalau mau tak
ajak ke Amplaz, apa
main gitu, “Mama
memangnya sudah
punya uang?”,
“Mama jadi
nggak?”, “Nggak
ah, mama nggak
punya uang.”
Ngerti, dia sudah
I2 menyatakan
bahwa D
memahami
kondisi I2. I2
menceritakan
bahwa ketika D
menginginkan
sesuatu, D
terlebih dahulu
menanyakan
keadaan
keuangan I2 atau
memeriksa
sendiri dompet I2
dan memahami
I2 ketika
mengatakan tidak
memiliki uang.
D bertanya
keadaan I2, I2
merasa dipahami
oleh D.
I: Dipahami anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
ngerti. Bisa ngerti.
13. Tapi, ini, kemarin.
Aku hamil, dia
sempat marah.
Dia marah,
mukul, “Ini tuh
mamaku.” gitu, “Ini
mamaku”.
Mungkin dia belum
ngerti ya, tapi lama-
lama juga tahu sih.
I2 menceritakan
bahwa dalam
kehamilan anak
keduanya, D
memukul I2
sambil
mengatakan
bahwa I2 adalah
ibunya.
Menurut I2, hal
ini terjadi karena
D belum
memahami dan
suatu saat kan
memahaminya.
I2 mengandung
adik D, D
mengekspresikan
marah dengan
memukul I2, D
mengekspresikan
rasa cemburu
secara verbal, I2
memandang D
belum
memahami, I2
memandang
perilaku D wajar
sehingga
memakluminya.
A: Indikasi
sibling rivalry
A: Perilaku
memukul
14. Kalau aku minta
mbak D cerita
pengalaman yang
menyenangkan ..
Ya itu, kita tahu
perkembangan anak
dari ya belum bisa
ngapa-ngapa, cuma
minum asi aja,
sampai bisa bikin
tim, sibuk pagi-pagi
(Terdengar D
menangis lagi).
Terus apa ya, ngerti
perkembangan bisa
jalan, merangkak,
rambatan..
Punya anak
nyenengin
pokoknya.
Jadi ada teman, jadi
kekuatan keluarga.
Anak kan harta,
mbak.
Jadi, aku ulang ya?
Tadi senangnya
karena tahu
perkembangan, jadi
punya pengalaman,
kesibukan dalam
pengasuhan,
sampai yang
terakhir itu menjadi
harta. D jadi
I2 merasa senang
dapat melihat
perkembangan
kemampuan
anaknya dan
memiliki
kesibukan
menyiapkan
makanan. Selain
itu, I2
memandang anak
sebagai sosok
yang berharga,
yang menemani,
dan menjadi
kekuatan
keluarga.
D menunjukkan
perkembangan
kemampuan, I2
melakukan
aktivitas-aktivitas
khas pengasuhan,
I2 memiliki
pandangan positif
terhadap D
mengembangkan
kesan positif I2
dalam
pengalaman
pengasuhannya.
I: Perkembangan
kemampuan anak
I: Aktivitas
pengasuhan anak
I: Pandangan
terhadap anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
kekuatan keluarga.
15. Kalau yang tadi
menyenangkan,
kalau yang tidak
menyenangkan tuh
apa mbak?
Nggak
menyenangkannya,
kadang ngeyel.
Udah bisa ngeyel.
I2 tidak
menyukai sifat D
yang sudah dapat
membantah
(mengeyel).
D menunjukkan
kemunculan
perilaku
membantah yang
tidak diinginkan
oleh I2 namun
dipandang
sebagai perilaku
yang muncul
dalam suatu fase
perkembangan
tertentu.
A: Perilaku
membantah
I: Anak memiliki
fase membantah
16. Kadang tuh aku
marahnya tuh, dia
suka ini.. nggigitin
mainannya, suka
dimakan.
Jadi kalau aku beli
mainan yang dari
karet itu, aku harus
hati-hati banget,
karena suka
dimakan.
Itu aja, kempong aja
sampai lubang gede
banget.
Aku sampai eh..
sampai bingung-
bingungnya.
Ditelan itu, mbak?
Kadang ya itu, kalau
nggak ketahuan
mungkin ditelan ya.
Kadang kalau
ketahuan ya saya
suruh ngelepehin.
Ya itu, takut. Marah
tuh takut, bukan
jengkel ya, kan takut
umpamanya
ngganggu
kesehatan,
ngganggu
pencernaannya,
ngganggu perutnya.
Masih takut,
berbahaya apa
nggak. Mungkin kita
nggak tahu
I2 marah dengan
perilaku D yang
suka menggigit
benda-benda
karena I2 cemas
apabila benda
asing akan
berakibat pada
kesehatan D
sehingga marah
dan takut
kemudian
memintanya
untuk
memuntahkan
potongan benda-
benda yang
terlanjur masuk
mulut D.
D menggigit
objek yang
terbuat dari
bahan yang
mudah tertelan,
I2 sangat cemas
dengan status
kesehatan fisik D
yang diakibatkan
oleh kandungan
bahan yang
mungkin tertelan
D, I2 merespon
dengan marah
dan memina D
untuk
memuntahkan
objek yang sudah
terlanjur berada
di mulut D.
I: Cemas dengan
kesehatan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
akibatnya entar
gimana kan.
17. Terus, sama apa ya..
Kalau nakal sih anak
nakalnya masih
dalam istilah wajar
kan. Nggak nakal
sampai mencuri apa
apa kan ya, masih
wajar aja sih.
I2 memandang
bahwa kenakalan
D masih dalam
kategori wajar.
I2 tidak pernah
melihat D
mencuri, maka I2
memandang
kenakalan D
dalam tahap
wajar, I2
memaklumi
perilaku D.
I: Memaklumi
perilaku negatif
anak
18. Kalau ngeyelnya
tuh kayak apa,
mbak? Bisa
diceritain?
Jadi tuh kalau
disuruh, jangan
digigitin, nah itu.
Kadang suka
jengkel kan,
“Dikasih tahu tuh
nggak ngeyel, entar
kalau kamu sakit
gimana?”
(mencontohkan
dengan pitch lebih
tinggi dari berbicara
biasa).
Gitu tuh. Susah
dikasih tahunya,
mbak.
I2 menceritakan
bahwa sifat
membantah D
adalah sulit
dinasihati untuk
tidak menggigit
mainannya. I2
merasa kesal
dengan sifat D ini
adahal I2 cemas
dengan kesehatan
D.
I2 memiliki
kekhawatiran
akan kesehatan
D, I2 memberi
perintah untuk
menjauhi objek
berbahaya bagi
kesehatan D, D
tidak patuh
dengan I2,
membuat I2
merasa kesal.
A: Perilaku
membantah
I: Cemas dengan
kesehatan anak
I: Rasa kesal
19. Terus, apa ya.
Kadang kalau dia
digangguin orang,
itu suka mukul,
dibales. Ya kalau,
kalau anak kecil sih
ya, kalau berantem
sih biasa lah.
Cuma orang tuanya
tuh yang agak
gimana.
I2 menceritakan
bahwa kadang
kala, D membalas
ketika dipukul
oleh temannya.
Menurut I2,
berkelahi adalah
hal yang biasa
dilakukan anak
kecil namun
orang tua
temannya yang
cenderung
menanggapi
dengan tidak
baik.
I2 memandang
bahwa D
memiliki
kecenderungan
untuk membalas
perilaku buruk
yang dilakukan
orang lain
kepadanya. I2
memandang ini
sebagai perilaku
yang biasa
dilakukan anak-
anak namun
berdampak pada
hubungan sosial
antara I2 dengan
orang tua
temannya.
I: Memaklumi
perilaku negatif
anak
A: Dendam
I: Mendapat
penilaian negatif
dari lingkungan
sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
20. Itu kalau mandi. Iya,
keset banget itu,
mbak.
(mengungkapkan
dengan nada tidak
mendukung)
Kalau bangun pagi,
susah banget itu
bangunnya. Susah
mandi, susah
bangun.
I2 mengatakan
bahwa D malas
mandi dan malas
bangun dengan
nada bicara yang
tidak
mendukung.
Perilaku D sulit
dibangunkan dan
mandi dipandang
I2 sebagai
perilaku malas D.
I2 tidak
menyukainya.
I: Kesan negatif
terhadap sifat
negatif anak
A: Malas
21. Terus, kalau ini
perilakunya apa,
mbak? Kalau susah
mandi tadi kan
Mbak D bilang ..
Marah. Marah,
nangis, kalau
dicopot bajunya itu
nangis, marah.
Marahnya kayak
apa?
Kalau dicopot
bajunya itu nggak
mau. Sampai
bajunya kelepas, itu
nangisnya baru
diam.
Ada lagi nggak,
mbak, ekspresinya
dia kalau lagi ..
Marah juga kadang,
marahnya kalau
diangkat gitu ya
kakinya gini-gini
(memperagakan
gerakan meronta)
“Ma, nggak mau,
turun”, kayak gitu.
Kakinya apa?
Meronta?
He’e. Sama, mandi
juga kayak gitu
kadang.
I2 menceritakan
bahwa D
mengekspresikan
penolakan, marah
dengan perilaku
menangis saat I2
melepas pakaian
D sebelum
mandi. Selain itu,
D juga
mengekspresikan
gerakan kaki
meronta ketika
tubuhnya
diangkat oleh I2.
D
mengekspresikan
marah dengan
perilaku
menangis dan
menghentakkan
kaki sebagai
penolakan atas I2
yang melepas
pakaian D untuk
mandi.
A: Emosi marah
A: Menolak hal
yang tidak
diinginkan/
disukai
A: Perilaku
menangis
A: Perilaku
menghentakkan
kaki
22. Kalau merontanya
kira-kira menyakiti
yang lain apa
nggak?
Em, aku pernah sih
dipukul sama dia.
I2 menceritakan
bahwa D
mengekspresikan
perilaku
memukul atas
ketidaksukaannya
I2 menceritakan
bahwa D
mengekspresikan
penolakan
dengan perilaku
memukul dalam
A: Menolak hal
yang tidak
diinginkan/
disukai
A: Perilaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Karena aku ajak
mandi, dia nggak
mau, aku dipukul.
Em, tapi nggak..
Tapi sering atau
nggak?
Nggak sih, nggak
sering. Hanya
pernah aja.
. I2 menyatakan
bahwa perilaku
ini tidak sering
diekspresikan
oleh D,
melainkan hanya
pernah.
frekuensi yang
minim.
memukul
23. Tapi anakku emang
sukanya nggigitin,
mbak, apalagi sama
papanya. Kalau
gemes tu, dia tuh
sukanya nggigit.
Kalau dia nggak
gigit, dia marah.
I2 menceritakan
bahwa D
mengekspresikan
rasa gemas
dengan perilaku
menggigit,
terutama kepada
ayahnya.
Bila tidak
menggigit, D
marah.
D
mengekspresikan
rasa gemas
dengan perilaku
menggigit,
terutama kepada
ayahnya.
Kegagalan
ekspresi
menggigit
membuat D
marah.
A: Rasa gemas
A: Perilaku
menggigit
24. Tapi, sama papanya,
mungkin karena
papanya ini kan..
kerja di luar terus,
jadi dia gemesnya
pakai nggigit itu.
Ya papanya ya
pasrah.
Digigitin apanya?
Digigitin tangannya,
pundaknya.
I2
mengasumsikan
bahwa D merasa
gemas karena
ayahnya bekerja
di luar kota.
D mengalami
perpisahan
dengan figur
lekat, kondisi ini
membuat D
gemas, D
merespon dengan
ekspresi tantrum
menggigit
anggota tubuh
ayahnya.
A: Rasa gemas
A: Perilaku
menggigit
25. Sama kadang kalau
kita ke luar kota
gitu, nggak mau
ditelepon. Ditelepon
nggak mau. Ya
kayak istilahnya
marah, nggak mau,
sampai nanti hp-nya
ditendang, apa
digigit hp-nya.
I2 menyatakan
bahwa perilaku
marah D yang
diekspresikan
dengan menolak
penggilan telepon
dengan
menendang dan
menggigit ponsel
disebabkan oleh
protesnya
terhadap
kepergian orang
tuanya ke luar
kota.
D mengalami
perpisahan
dengan figur
lekat, merespon
dengan protes
dan marah
dengan ekspresi
menendang dan
menggigit ponsel.
A: Perpisahan
dengan figur
lekat
A: menendang
ponsel
A: Menggigit
ponsel
26. Ya kalau.. Tapi
entar kalo udah
dateng, ya udah
Sikap D terhadap
orang tuanya
akan kembali
Apabila D
mengalami
pertemuan
A: Reunion
meredakan
tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
biasa. normal ketika
orang tuanya
kembali.
kembali dengan
figur lekatnya, D
menunjukkan
perilaku normal.
27. Kalau yang susah
bangun, mbak,
ekspresinya apa?
Gulung-gulung.
Gulung-gulung di
kasur.
I2 menceritakan
bahwa D
mengekspresikan
perilaku
bergulung-gulung
ketika I2
menyebutnya
sulit
dibangunkan.
D menunjukkan
perilaku
bergulung-gulung
untuk
megekspresikan
penolakan
terhadap
perintah.
A: Menolak
perintah
A: Bergulung-
gulung
28. Apalagi kalau
lampunya dimatiin,
eh kalau lampunya
dihidupin. Ha, itu
marah banget tuh
kalau lampunya
dihidupin karena dia
tidurnya gelap,
kalau nggak gelap,
nggak bisa tidur.
Terus harus ada
suara juga, kayak
TV, atau musik. Dan
tidurnya harus
dinyanyiin juga,
mbak. Sama, itu,
mainan, pelukan
gitu, mainan nenen
gitu, kalau nggak,
ditidurin, di pipi.
Dibuka, mbak,
nggak cuma gitu,
(tertawa kecil)
dibuka terus
ditempelin di pipi,
dimasukin di
hidung, kayak gitu.
Kalau nggak, marah.
Nggak bisa tidur
dia.
I2 menceritakan
bahwa D
memiliki ‘ritual’
sebelum tidur,
yakni tidur
dengan posisi
lampu mati,
terdengar suara
penghantar tidur
seperti dari
televisi, musik,
atau nyanyian I2,
dan memainkan
payudara I2. Hal-
hal di atas disebut
sebagai ritual
karena hal
tersebut menjadi
syarat untuk D
tidur. Bila ritual
tersebut tidak
dipenuhi oleh I2,
maka D tidak
dapat tidur dan
akan
mengakibatkan D
menjadi sangat
marah.
D memiliki ritual
sebelum tidur,
marah apabila
ritual tidak
dipenuhi.
A: Keinginan
tidak dipenuhi
A: Marah
29. Makanya pas
kemarin sempat 2
hari ke Malang itu,
pusing aku, karena
gini-gininya dia
nggak dapet, karena
malamnya nyariin.
Saat I2 pergi ke
luar kota, D tidak
dapat
menjalankan
ritual tersebut.
Hal ini
menyebakan D
I2 mengalami
perpisahan
dengan D, I2
kehilangan
momen
kelekatan, I2
merasakan
I: Muncul gejala
fisik tidak
menyenangkan
ketika mengalami
perpisahan
dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
mencari I2
sehingga
menyebabkan I2
merasa pusing.
sensasi fisik tidak
menyenangkan.
30. Kira-kira menurut
Mbak D, tadi ada
perilaku kan itu
ada marah, nangis,
meronta, gigit,
terus ada juga
gulung-gulung di
kasur, kira-kira itu
penyebabnya apa
ya?
Aku juga nggak
paham sih, dia
belajar dari mana.
Aku juga nggak
ngerti kenapa dia
bisa kayak gitu.
Awalnya, I2
menyatakan tidak
paham dengan
penyebab/pemicu
kemunculan
perilaku
mengganggu
yang
diekspresikan
oleh D.
I2 belum yakin
dengan pemicu
kemunculan
perilaku
mengganggu
yang
diekspresikan
oleh D.
31. Kalau nggigit
mungkin dari aku
ya, mbak. Karena
aku kalau lagi sebal
gitu, itu minta,
minta gigit. Aku
biasanya nggigit,
tapi nggak sampai
sakit gitu, pokoknya
ngigit aja. Entar aku
langsung lega.
Kayak gitu
biasanya. Nggigitin
suamiku (tertawa).
Paling dia ngikutin
aku.
I2 kemudian
menyatakan
bahwa ekspresi
menggigit
kemungkinan
muncul karena
menitu perilaku
I2. I2 mengaku
suka menggigit
suaminya untuk
memperoleh rasa
lega atas
kekesalannya.
Meniru perilaku
orang tua
menyebabkan
perilaku
mengganggu D.
A: Meniru
perilaku orang
tua
32. Tapi kalau
menggulung-gulung,
aku juga nggak
ngerti. Ya mungkin
tingkah lakunya
anak kecil emang
kayak gitu kali.
I2 memandang
ekspresi
bergulung-gulung
merupakan
perilaku yang
wajar untuk anak
seusia D.
I2 memandang
ekspresi
bergulung-gulung
merupakan
perilaku yang
wajar untuk anak
seusia D.
I: Bergulung-
gulung hal yang
wajar
33. Kalau penyebab,
tadi kan penyebab
ekspresinya, kalau
penyebab Dik D
susah mandi, susah
bangun, ngeyel itu
kira-kira kenapa?
I2 menyebutkan
bahwa perilaku
sulit mandi, sulit
dibangunkan, dan
membantah
merupakan hasil
proses meniru
Meniru perilaku
orang tua
menyebabkan
perilaku
mengganggu D.
A: Meniru
perilaku orang
tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Ngikutin papanya.
Ngikutin bapaknya
tuh, bapaknya kalau
bangun, siang.
Susah juga
dibangunin. Itu
papanya kalau ngak
kerja, nggak
bangun. Sama sih
kayak aku.
Jadi, itu meniru
orang tua, begitu,
mbak?
Ya, mungkin.
perilaku ayah D.
I2 juga mengaku
bahwa perilaku
ini ada pada
dirinya.
34. Atau, hal-hal apa
yang memicu Dik
D seperti itu?
TV. Bisa jadi kan
ya. Karena dia tuh
ngoleksi DVDnya
banyak, mbak.
I2 menyebutkan
bahwa film
menjadi pemicu
perilaku
mengganggu
yang
diekspresikan
oleh D.
D yang senang
menonton film
dipandang I2
memicu
kemunculan
perilaku tantrum.
A: Menonton
film
35. Judul-judulnya
apa, kebanyakan,
tema-temanya?
Kebanyakan kartun,
terus kadang aku..
apa namanya, film
anak-anak, ada bayi,
apa itu..
Kartun tapi?
Nggak, orang juga.
Orang, tapi dia..
Siapa sih
pemerannya.. Fast to
Furious yang dia
mengasuh bayi kecil
itu.
Badannya besar,
The Pacifier ya
judulnya?
Ya mungkin itu,
mengasuh bayi-bayi
itu.
I2 menceritakan
bahwa jenis film
yang ditonton
oleh D adalah
film kartun atau
film bertema
anak-anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
36. Seneng banget itu
kalau tingkahnya
bayi-bayi. Jadi dia
tu sama liatin
Youtube bayi-bayi
ketawa, bayi-bayi
ketawa lucu itu kan,
“Dik, dik bayinya
lucu banget.” Sering
tak liatin kayak gitu
sih, mbak. Mungkin
itu juga bisa.
Meniru kah, atau
apa?
Kadang sih pernah
nih, ada anak-anak,
apa, ada film juga.
Tingkahnya bayi
kan, anakku dah
balita kan, “Papa,
papa” “Nggak,
nggak” (meniru
rengekan bayi).
I2 bercerita
bahwa D senang
melihat perilaku
tertaea dan
merengek bayi
yang ia lihat
dalam film dan
video yang I2
perlihatkan pada
D. Menurut I2,
D meniru
perilaku bayi
yang ia lihat
dalam perilaku
yang ditunjukkan
pada I2.
Konten video
tersebut
memberikan
dampak pada D
yakni D suka
meniru rengekan
bayi
A: Perilaku
meniru video,
regresi
37. Aku suka sebel
banget, “Kok kamu
kayak gitu? Kamu
kan udah gede.”
“Mama, mami”,
kayak gitu terus.
Kadang ketawa-
ketawa piye, ya
njengkelin,
“Ngapain sih kamu
ngikut-ngikutin,
kayak bayi aja,
dik.”, kayak gitu.
“Papa, susu, susu.”
Ya. Kayak gitu lah,
mbak.
Ya mungkin
ngikutin yang kayak
gitu ya.
I2 merasa kesal
dengan perilaku
D yang tidak
sesuai dengan
usianya ketika D
meniru perilaku
bayi pada video
yang D tonton.
I2 merespon
negatif perilaku
D yang
menunjukkan
regresi.
I: Respon negatif
terhadap regresi
anak
38. Terus kadang kalau
nonton film juga dia
entar selanjutnya
ngomong apa gitu,
dia tahu. Kayak apa
sih, film The Croods
itu, “Is Dead” “Is
Dead” itu juga ini,
I2 bercerita
bahwa D hafal
dan suka
menirukan dialog
dan gerakan dari
film yang telah ia
tonton.
Kemampuan
meniru
berkembang
sesuai usianya
A: Perilaku
meniru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
ngikut-ngikutin.
Tanggannya
dikeplak-keplakin,
kayak film purba
itu, film zaman
purba, tapi kartun
itu. Jadi dia tuh bisa
hafal, terus
gerakannya juga
hafal.
39. Jadi ya, niru
kayaknya, niru.. ya
Malah itu tu lucu,
mbak, kayak, itu tuh
nggak nakal, mbak,
malah lucu, unik.
I2 memandang
perilaku meniru
sebagai hal yang
lucu.
I2 memandang
positif perilaku
meniru D.
I: Respon positif
terhadap perilaku
meniru anak
40. Terus, kalau ada di
buku, aku
membacanya tuh
‘tantrum’, apakah
Dik D mengalami
itu juga?
Ya, D sih kalau kita
mau ngomong, dia
mau, welcome-
welcome aja.
I2 menolak
istilah tantrum
dengan
menceritakan
bahwa apabila I2
menerapkan
strategi berbicara
pelan-pelan,
maka D akan
menerimanya.
I2 menolak
istilah tantrum
karena
menurutnya,
perilaku
mengganggu D
masih dapat
diatasi dengan
strategi diskusi.
I: Bukan tantrum
41. Mungkin kalau dia
lagi emosi banget,
jengkel, dia emang
susah orangnya.
Susah mau diapa-
apain.
Saat D
merasakan sangat
jengkel, D akan
sulit untuk
ditangani. Hal ini
dimaklumi oleh
I2.
I2 hanya
menganggap
bahwa perilaku
mengganggu D
disebabkan oleh
temperamennya
yang tergolong
sulit
I: Memaklumi
temperamen anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
42. Kalau menangis,
apakah
mengganggu atau
bagaimana?
Kalau mengganggu,
nggak ya, mbak,
anak-anak bisanya
juga cuma nangis.
Kalau sakit juga
taunya juga nangis,
ngapa-ngapain,
pusing atau sakit
perut kan, kalau
laper juga bisanya
cuma nangis kan.
Jadi, nggak tantrum
juga ya?
I2 menyatakan
bahwa perilaku D
tidak menganggu
dengan alasan
bahwa perilaku
menangis adalah
ekspresi wajar
untuk anak-anak
sehingga tidak
dapat
digolongkan
menjadi temper
tantrum.
I2 menyatakan
bahwa perilaku D
tidak menganggu
dengan alasan
bahwa perilaku
menangis adalah
ekspresi wajar
untuk anak-anak
sehingga tidak
dapat
digolongkan
menjadi temper
tantrum.
I: Kewajaran
tantrum
43. Kalau gitu, aku
belum pakai istilah
itu, tapi melihat
ekspresi-ekspresi
yang ada. Kira-
kira pengaruhnya
apa? Ketika Dik D
mengekspresikan
lagi ngeyel, terus
susah mandi, susah
bangun,
pengaruhnya buat
Mbak D apa,
sebagai yang
mengasuh?
Aku kan ini, jam 7
harus berangkat,
kalau dia susah
bangun, aku pasti
telat kan.
I2 bercerita
bahwa perilaku
yang sulit untuk
dibangunkan
memberi dampak
yakni I2
terlambat tiba di
tempat kerja.
Perilaku
mengganggu D
memberi dampak
pada pekerjaan
I2.
I: Terlambat
kerja
44. Ya, itu kadang aku
juga kan, bingung,
mbak. Apalagi kalau
suamiku lagi nggak
ada di rumah, di
Jogja. Aku harus,
jadi aku harus
menguasai anakku
sendiri. Jadi kan ya
itu jadi..
I2 mengaku
bingung apabila
harus mengurus
D sendiri tanpa
suaminya.
I2 membutuhkan
dukungan
suaminya untuk
mengatasi
tantrum D.
I: Butuh
dukungan sosial
45. Aku boleh bilang
kalau itu
mengganggu
I2 tidak
menganggap
keterlambatan I2
Tanpa
memperoleh
hukuman, I2
I: Mengecilkan
dampak tantrum
pada dirinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
pekerjaan?
Em, kalau
mengganggu kan..
mengganggu
pekerjaan?
Iya, apakah
mengganggu
pekerjaan?
Kalau mengganggu
pekerjaan sih, kalau
telat juga nggak ada
hukuman juga sih,
karena tempatku..
seharusnya jam
setengah delapan.
Jadi setengah
delapan lebih
sepuluh apa
istilahnya, batasnya.
Jadi, aku ya masih
itu, sih, masih bisa.
tiba di tempat
kerja sebagai hal
yang
mengganggu
pekerjaannya
karena tidak
memperoleh
hukuman atas
keterlambatannya
memandang
perilaku
mengganggu D
tidak
mengganggu
pekerjaan I2.
46. Cuma kadang kalau
dia emang susah
banget ya, aku harus
tinggal. Kadang ya
aku pasrahin adikku,
kayak gitu. Jadi aku
ya kadang, kalau pas
lagi itu sih nyusahin.
Kadang sih.
Bila tantrum D
muncul pada
waktu I2 harus
segera bekerja
dan dalam
intensitas yang
tinggi, I2
membutuhkan
bantuan adiknya
untuk menangani
D.
Tanggung jawab
pada pekerjaan
membuat I2
membutuhkan
bantuan adiknya
untuk menangani
D.
I: Butuh
dukungan sosial
I: Mengecilkan
dampak tantrum
pada dirinya
47. Kalau mengenai
Dik D itu marah,
nangis gitu, itu
mengganggu mbak
nggak sih?
Kalau ngganggu sih
nggak ya. Cuma
kadang-kadang,
kalau sama aku, aku
lagi apa.. kayak
gugup apa ya. Jadi
kayak kemrungsung.
Jadi kayak mau
ngatasi dia tuh
malah kemrungsung
aku, aku harus
gimana, aku harus
piye, kayak gitu kan.
I2 perilaku D
tidak
mengganggunya,
hanya merasa
terburu-buru dan
panik saat
menangani
perilaku D.
I2 tampak
menghiraukan
atribusi
mengganggu
pada perilaku D.
Tantrum D
muncul, I2
menjadi panik,
terdapat
kienginan untuk
mengatasi namun
terhambat oleh
rasa panik.
I: Mengecilkan
dampak tantrum
pada dirinya
I: Panik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
48. Terus, aku mau
kembali lagi ketika
Dik D lagi.. apa ya,
aku
mengistilahkannya
apa ya.. ketika
itulah, susah, lagi
memunculkan
pengalaman-
pengalaman yang
tidak
menyenangkan
buat mbak D..
Kalau lagi itu,
nggak
menyenangkan
banget. Nggak mau
makan, susah gitu.
Maunya cuma itu.
Susah tidur juga,
nggak bisa tidur.
Ketika D
mengekspresikan
perilaku tersebut,
I2 merasakan
pengalaman yang
sangat tidak
menyenangkan.
Perilakunya
terdiri dari sulit
makan dan sulit
tidur.
Emosi negatif
yang dirasakan
oleh I2 hanya
ketika tantrum
dipandang I2
mengganggu diri
D sendiri.
I: Emosi negatif
A: Sulit makan
A: Sulit tidur
49. Pengaruh
mamanya ke situ?
Nggak bisa tidur,
aku. Papanya mah
tidur, tidur aja.
Iya, soalnya
mamanya yang
paling dekat sama
anaknya.
Perilaku D
membuat I2 tidak
dapat tidur.
Dampak perilaku
D pada I2 adalah
mengganggu
kesempatan tidur.
A: Sulit tidur
50. Tapi kalau
menurut mbak D,
dik D itu nakal apa
nggak?
Nakal tapi nggak
nakal. Nakal wajar.
Sewajarnya anak.
I2 memandang
perilaku D
sebagai perilaku
nakal yang
berada pada
tingkat yang
wajar.
I2 memaklumi
perilaku Ddan
ekspresi-ekspresi
yang
menyertainya.
I: Memandang
wajar perilaku
nakal
51. Perilakunya
mengganggu nggak
mbak?
Dia kalau diusilin
itu, yang aku
takutin.
Sama mbak D,
sama keluarga,
atau sama yang..
Sama anak-anak lain
lah istilahnya. Jadi
aku takut kalau di
I2 memandang D
suka membalas
perilaku usil
temannya.
I2
mengkhawatirkan
bahwa D akan
menyimpan
dendam dan
kemudian hari
akan membalas
perilaku teman
I2 khawatir
apabila D
mengekspresikan
perilaku
mengganggu di
luar kendalinya.
I: Tidak mampu
mengendalikan
tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
sekolah dia diusilin,
takut kalau mbales
itu. Kan dia
orangnya suka
mbales itu.
Walaupun dinakalin
sekarang, kalau dia
mbalesnya nanti,
masih inget.
Kadang, aku
takutnya kayak gitu.
yang pernah
mengganggunya.
52. Sama ponakanku
itu, pasti digituin,
pasti diusilin,
diambilin
mainannya, kan dia
nggak terima.
Langung, langsung
dipukulin.
Kalau sama mbak
D pernah nggak
digituin?
Pernah. Aku ambil
hp. Dia lagi pake,
terus “Pinjem, dik,
mama mau
telepon.”, uh, marah
dia, “Mama nakal
(memperagakan
gerakan memukul)”,
sambil mukul.
Sakit, mbak,
maksudnya
intensitasnya..
Nggak, ya nggak.
I2 menceritakan
pengalaman
bahwa ketika
mainan D
diambil, D
merasa tidak
suka, lalu
membalas dengan
perilaku
memukul I2
walau pukulan D
tidak
menyakitkan I2.
D mendapat
perilaku yang
tidak
menyenangkan,
D
mengembangkan
emosi negatif, D
mengekspresikan
dengan verbal
dan pukulan
dengan intensitas
rendah.
A: Objek lekat
direnggut
A: Memukul dg
intensitas rendah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
53. Berbicara soal
nangis, nangis di
waktu-waktu
kapan aja adik D?
Jatuh, main. Ya
kalau mainan
direbut, itu pasti
nangis kok, mbak.
Kalau digangguin,
tantenya suka
nggangguin, nangis
pasti. Kalau
dibentak dia.
Itu ceritanya
gimana?
Dia lagi mainan, dia
nggak sengaja
mukul, atau nggak
sengaja ngejatuhin
apa. “D, nggak
boleh kayak gitu!”
(dengan pitch lebih
tinggi). Dia
mungkin kaget.
I2 menceritakan
bahwa D
menangis pada
saat terjatuh saat
bermain, saat
mainannya
direbut, diganggu
oleh adik I2, dan
dibentak.
Bentakan yang
bermaksud
peringatan ini
disampaikan
dengan pitch yang tinggi
sehingga
menurut I2, D
merasa kaget
lalu menangis.
Situasi-situasi
seperti rasa sakit
fisik, objek
afeknya
direnggut,
merasakan
ganguan,
mendengar suara
dengan pitch
tinggi yang
ditujukan
padanya, dan
berempati pada
kesedihan oran
lain.
A: Sakit fisik
A: Objek lekat
direnggut
A: Merasakan
gangguan
A: Suara keras
A: Empati
A: Menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
54. Sama kalau lihat
film, mbak, ah
yaampun mellow
banget. “Ih ngapain
kamu?” “Ma,
kasian, ma.”, kayak
gitu banget dia.
Mellow banget tuh.
Baper banget dia.
Dibawa perasaan
kok dia. Masha, apa
tuh ya.. penguin itu
apa ya. Itu ketemu
sama pandanya itu.
Lama nggak
ketemu.
Oh penguin yang
ada di Masha itu?
Iya, yang suka
“Papa, papa”.
“Kasian” itu,
padahal udah
diulang-ulang tuh
nangis terus. Baper
banget anakku itu.
Cowok tapi baper.
Kenapa, kasian
gitu?
“Heee.. kasian. Itu
nakal ya, Ma?”,
gitu.
Aku kadang kalau
dimarahin suamiku
gitu, aku marah.
Apa, nangis juga.
Disuapin, dikasih
minum, “Nggak pa
pa, ya.”, kayak gitu.
Ya walaupun
suamiku cuma
boong, boongan.
Selain itu, I2 juga
bercerita bahwa
D menangis saat
menonton acara
televisi dan
melihat I2
dimarahi oleh
suami I2. I2
menilai bahwa
kedua hal
tersebut membuat
perasaan D
terhanyut.
A: Empati
55. Kayak gitu
diajarin mama
papanya, “Ini,
kalau ini, dikasih
tissue.”
Nggak sih, kadang
aku juga kaget sih,
anakku kok bisa
kayak gitu.
I2 menyatakan
bahwa ia tidak
mengajarkan D
untuk
menunjukan
perilaku tersebut,
malah kaget dan
merasa perilaku d
adalah hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Lucu, lucu. lucu.
56. Kalau nangis yang
teriak-teriak,
benar-benar, wah
mungkin sampai..
kalau partisipan
skripsiku yang lain
sampai “tobat,
tobat” gitu, ada
nggak sih
pengalaman yang
seperti itu?
Pernah sih kayak
gitu, tapi anakku
nggak sering, sering
banget.
Kita-kira
frekuensinya?
Sampe 8, kali
(maksudnya poin 8
dari 10).
Kira-kira
kemunculannya,
seminggu sampai
berapa kali?
Jarang banget,
mbak, anakku
teriak-teriak. Teriak,
sih, tapi nggak
sampai apa banget.
I2 menjawab
bahwa dirinya
pernah
mengalami
pengalaman
mengasuh D
yang menangis
dengan tingkat
keparahan 8 dari
10 poin namun
dengan
kemunculan yang
minim. I2
memandangnya
sebagai hal yang
normal.
I2 tampak
menghiraukan
atribusi
mengganggu
pada perilaku D.
I: Mengecilkan
makna
mengganggu
pada tantrum
anaknya
I: Memandang
wajar perilaku
tantrum
57. Kalau ditinggal.
Kalau itu tuh, kayak
tadi nyariin
papanya, kayak gitu
tuh, teriak kayak
gitu. Ya, polnya
nangisnya anakku
kayak gitu (merujuk
pada tangisan yang
tadi terdengar).
Kayak gitu paling
maksimal?
He’em.
I2 bercerita
bahwa D akan
menangis apabila
sedang mencari
ayahnya. D
menangis dengan
disertai teriakan.
Mengalami
perpisahan dan
cemas terhadap
kondisi dengan
figur lekatnya, D
merespon dengan
menangis
histeris.
Perpisahan
dengan figur
lekat menjadi
pemicu tantrum
D.
A: Kecemasan
akan perpisahan
A: Menangis
histeris
A: Perpisahan
dengan figur
lekat
58. Takut ditinggal.
Kalau kayak gini
tu saat apa aja?
Ditinggal kerja, ke
dokter, papanya
kenapa-napa itu
pasti dia histeris.
I2 menyatakan
bahwa D takut
ditinggal kerja
oleh I2, takut
untuk menemui
dokter, dan
khawatir akan hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Pokoknya kalau ada
yang kenapa-napa,
histeris dia. Pernah
neneknya kepleset
itu, takut tenggelam,
“Uti, uti!” gitu.
buruk yang
terjadi pada ayah
dan neneknya. I2
memberi istilah
ekspresi D
disebut histeris.
59. (Terdengar suara D
menangis
mengatakan “Papa,
papa jangan pergi”
berkali-kali. I2
dengan tenang (dan
biasa saja)
mengatakan bahwa
“Papa pergi”,
ekspresinya pun
santai sambil
mengatakan “Nangis
tu kenapa?”
kemudian segera
mengatakan “Itu
mbak datang tu,
mau pijat.” (untuk
mengalihkan
perhatiannya)).
Ketika I2
menghadapi D
yang menangis
karena mencari
ayahnya, I2
menjelaskan
dengan tenang
bahwa ayahnya
sedang pergi.
Penjelasan ini
disertai dengan
menanyakan
kepada D
alasannya
menangis dan
mengalihkan D
untuk berbicara
hal lainnya.
D mengalami
perpisahan
dengan ayahnya,
I2 mengatasi
dengan strategi
berbicara dengan
tenang dan
mengalihkan
perhatian.
A: Perpisahan
dengan figur
lekat
I: Berbicara
dengan tenang
I: Mengalihkan
perhatian
60. Biasa dipanggil
pijat?
Ini mau pijat ini.
Ooo.. biar sehat ya
dik, ya?
Dia seminggu sekali
ini, karena dia
nggak mau diam
kan. Kalau tidur ini,
banyak tingkahnya.
Kakehan polah itu
kalau tidur.
I2
menanggulangi
kebiasaan D yang
tidur dengan
gerakan-gerakan
tak nyenyak
dengan metode
pijat anak dengan
frekuensi 1 kali
dalam semingu.
Kondisi tidur D
tidak nyenyak, I2
mengatasi dengan
bantuan terapis
pijat anak
tradisional.
A: Tidur tidak
nyenyak
I: Memanggil
terapis pijat anak
61. Mbak D
mengistilahkannya
apa? Histeris apa?
Histeris nggak kalau
begitu? (sambil
menunjukkan D
yang saat itu masih
menangis)
Hehe, aku belum
tahu. Aku baru
sekali ketemu.
I2 masih ragu
untuk melabel
perilaku D
sebagai perilaku
histeris.
I2 masih ragu
untuk melabel
perilaku D
sebagai perilaku
histeris.
I: Keraguan akan
label histeris
(sub: Defense
terhadap kondisi
tantrum anak?)
62. (Suami I2 datang
menyapa dan
Suara tangisan D
terdengar lagi
I2 telah
mengangap
I: Memandang
wajar perilaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
mengikuti beberapa
menit sesi
wawancara. D masih
menangis dengan
intensitas yang
sama, memanggil
papanya, sehingga
baik I2, suami I2,
dan D berada di
lokasi wawancara.
Suami I2 mengobrol
dengan biasa dengan
saya, tanpa
menghiraukan
tangisan D.)
dengan intensitas
yang sama seperti
sebelumnya. I2
dan suaminya
menghiraukan
tangisan D
dengan terus
mengobrol
dengan peneliti.
tangis D sebagai
perilaku yang
wajar.
tantrum
63. Gitu ya, paling
nangis khawatir
sama kalau mau
bobok? Mau bobok
atau sedang
bobok?
Pas boboknya.
Kalau kecapekan dia
gerak-gerak terus.
Oh kalau
kecapekan? Hanya
kalau kecapekan?
He’em.
Sering pijat itu
buat apa mbak?
Untuk mengatasi
kecapekannya.
Soalnya dia lari-lari,
numpak sepeda.
Kalau kecapekan
juga kadang panas.
Mengantisispasi biar
nggak kayak gitu.
Karena anakku
sering banget sih,
gampang banget
dia..
I2 bercerita
bahwa D akan
mengalami
demam dan tidur
dengan gerakan-
gerakan tak
nyenyak ketika D
sedang kelelahan
akibat berlarian
dan bersepeda. I2
menanggulangi
dengan metode
pijat anak.
Menurut I2, D
sangat rentan
sakit dan tidur
tidak nyenyak
akibat kelelahan.
Berlarian dan
bersepeda
menyebabkan D
mengalami
kelelahan dengan
gejala demam
dan tidur tak
nyenyak. I2
menangulangi
dengan metode
pijat anak
tradisional.
A: Rentan
kelelahan
I: Memanggil
terapis pijat anak
64. Aku kan susah to
mbak
mengistilahkan
ekspresi-
ekspresinya..
Apa ya? Histeris?
Aku juga bingung.
Histeris tu kok
I2 mengaku
bingung dengan
istilah yang
digunakan untuk
melabel perilaku
anaknya,
kemudian
tercetus label
I2 memberikan
label ‘histeris’
pada perilaku D
meski merasa itu
sebagai istilah
yang menganggu.
I: Memberi label
negatif, dengan
defense (?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
kayaknya heboh
banget deh, terlalu
heboh. Lainnya
histeris apa ya? Ya
wis kayak gitu lah,
histeris.
‘histeris’ walau
menurut I2
terdengar
berlebihan dan
akhirnya pun
memberi istilah
‘histeris’.
65. Itu mengganggu
nggak, mbak?
Kalau aku sih
nggak.
I2 mengaku tidak
merasa terganggu
dengan perilaku
histeris D.
I2 mengaku tidak
merasa terganggu
dengan perilaku
histeris D.
I: Tidak
merasakan
dampak tantrum
anak
66. Cuman, kalau Uti-
nya kadang “Kok
nangis tuh kenapa?”
(Nada tenang) Gitu.
Menurut I2, D
membuat
neneknya
bertanya keadaan
D saat histeris.
Menurut I2,
tantrum D justru
memberi dampak
pada neneknya.
I: Mengatribusi
dampak tantrum
pada orang lain
67. Aku juga kadang
gitu. Dia ribut sama
papanya. Papanya
juga kadang suka
nggigit sendiri,
mbak. Nggigiti
anaknya itu. Gemes
terus nangis. Tak
tonjok, mbak, kalau
anakku digituin.
Kurang ajar, anakku
digigitin (sambil
tertawa).
Suami I2 kadang
mengusili D
dengan cara
menggigit karena
gemas hingga D
menangis. I2
menanggulangi-
nya dengan cara
menonjok
suaminya.
I2 menalami
situasi bahwa D
menalami
ancaman, I2
merespon denan
menunjukkan
perlawanan
bertujuan untuk
melindungi D.
I: Melindungi
anaknya
68. Terus kira-kira,
kalau Dik D lagi
nangis-nangis
kayak gitu yang
parah kayak yang
kita lihat itu, yang
dirasakan Mbak D
apa?
Ya itu, aku jadi
kayak kemrungsung
ngatasin dia tu. Jadi
kayak.. istilahnya,
seharusnya pelan..
tapi aku kayak
kemrungsung, jadi
bingung dewe aku,
mbak. Bingung mau
gimana. Kayak
kemrungsung.
Terburu-buru biar
dia cepat diam, gitu.
I2 mengaku ada
rasa terburu-buru
untuk mengatasi
perilaku histeris
D walau I2
mengetahui
bahwa dirinya
perlu untuk
tenang dalam
mengatasi situasi
ini.
I2 memandang
bahwa ketika ia
menanganinya
dengan segera,
maka D akan
segera tenang.
Secara kognitif,
I2 paham bahwa
dirinya perlu
tenang untuk
mengatasi D
namun I2 justru
menatasinya
dengan panik.
Konflik antara
pemahamannya
dengan
keinginannya
untuk membuat
D segera tenang
membuatnya
bingung.
I: Konflik
kognitif-afektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Itu yang
dirasakan?
69. Kalau yang
dipikirkan?
Mungkin aku
mikirinnya apa tak
ajak ke luar, naik
motor, atau apa.
Kadang aku
mikirinnya kayak
gitu.
Ketika tangis D
sedang
berlangsung, I2
memikirkan
pilihan-pilihan
seperti mengajak
D pergi sambil
memboncengnya
dengan motor.
Secara kognitif,
I2 merespon
tantrum D denan
pilihan-pilihan
strategi untuk
menangulangi
tantrum D.
I: Respon
kognitif
70. Tapi kadang, aku
nggak pernah
kesampaian karena
gitu.. Jadi nggak
pernah kesampaian.
Berarti cepat
redanya?
He’em, cepat. Kalau
kayak gini tadi cepat
ya?
Cepat.
I2 mengatakan
bahwa pilihan-
pilihan strategi
tersebut tidak
pernah terlaksana
karena tangis D
cepat reda.
Tangis D cepat
reda, I2 tidak
sempat
merealisasikan
rencana strategi-
strategi tersebut.
A: Cepat reda
71. Kalau menurut
mbak D itu, ketika
Dik D
mengekspresikan
dengan cara itu, itu
baik, buruk, apa
normal?
Kalau menurutku
normal. Aku aja
sering kayak gitu.
Aku yang udah gede
aja masih sering
nyari mamaku.
“Mama ke mana?”
“Mamaku mana?”
Apalagi anak kecil.
Anak kecil tu
deketnya sama
orang tua kan.
I2 memandang
perilaku-perilaku
histeris yang
diekspresikan D
merupakan hal
yang wajar.
Pandangan ini
dilatarbelakangi
oleh I2 yang
mengaku masih
sering mencari
ibunya. Maka
terlebih D yang
masih dalam usia
kecil yang
dipandang lekat
dengan orang tua.
Melihat kondisi
bahwa D masih
dalam usia yang
kecil dan
memandang
bahwa dirinya
mamiliki
kelekatan pada
ibunya, I2
memandang
bahwa perilaku
tantrum D
merupakan hal
yang wajar.
I: Memandang
wajar perilaku
tantrum
72. Kalau dia nyariin
papanya kayak gitu,
jadi dia ada rasa
takut ditinggal juga.
Care lah sama
keluarganya, peduli.
I2 memandang
bahwa perilaku D
mencari ayahnya
disebabkan oleh
rasa takut
ditinggal dan
merupakan
indikasi dari rasa
peduli terhadap
I2 memandang
bahwa kelekatan
pada figur
lekat/afek
merupakan
indikasi peduli
terhadap
keluarganya.
I: Lekat artinya
peduli
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
keluarganya.
73. Kalau Dik D kayak
gitu, biasanya
Mbak D
melakukan apa?
Gendong, kalau
nggak aku kasih
makanan, coklat,
biar dia diam. Kalau
nggak, aku liatin
DVD. Kalau yang
paling efektif sih ini,
dinenenin.
Itu dimainin apa
diminum?
Ya diminum. Dua
bulan ini masih
begini.
Strategi yang
biasa I2 lakukan
untuk menangani
perilaku histeris
D adalah dengan
menggendong,
memberi coklat,
menyuguhkan
tayangan DVD,
dan memberi ASI
untuk
menenangkan D.
I2 memandang
strategi yang
paling efektif
adalah dengan
memberi ASI
pada D.
Strategi yang
dilakukan oleh I2
untuk
menangulangi
tantrum D adalah
memberi
kenyamanan,
makanan
kesukaan, dan
mengalihkan
perhatian.
I: Memberi
kenyamanan
I: Memberi
makanan
kesukaan
I: Mengalihkan
perhatian
74. Sama ini, kadang
kalau makan dia
nggak suka,
dimuntahin.
Walaupun udah di
mulut, dimuntahin.
Itu kadang yang
ngebuat aku
“Heemm”
(mengekspresikan
kekesalan). Soalnya
udah keburu jengkel
banget. Tapi kalau
sakit sih, aku
maklum, nggak
maksa banget.
I2 menceritakan
bahwa D akan
memuntahkan
makanan yang
tidak ia suka. Hal
ini membuat I2
sangat kesal dan
jengkel, kecuali
saat D sakit,
maka I2
memaklumi
perilaku tersebut.
I2 memaklumi
perilaku
menggangu D
pada kondisi
tertentu.
I: Memaklumi
perilaku tantrum
75. Bikin susu
dikentalin. Aku juga
bingung, kalau
dikentalin ngaruh
apa nggak. Tapi kan
kalau orang-orang,
dikentalin biar
kenyang, gitu kan.
Nah aku ikut-ikut
aja lah.
Untuk memenuhi
kebutuhan
makanan D, I2
meracik susu
yang lebih kental
dari biasanya
karena mengikuti
kepercayaan
bahwa susu yang
kental akan
membuat anak
menjadi kenyang.
I2
memperhatikan
kesehatan fisik D.
I: Memperhatikan
kesehatan anak
76. Terus, kira-kira
menurut mbak D
caranya dengan
I2 menilai
strategi
menggendong,
I2 menilai
strategi yan telah
dilakukannya
I: Efektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
digendong, dikasih
coklat, ditontonin
DVD, sama dikasih
asi itu udah efektif
atau belum,
meredakan?
Sambil dimain-
mainin gitu. Aku
efektif sih, mbak.
memberi
cemilan,
menyuguhkan
tayangan DVD,
dan memberi ASI
untuk diminum
maupun
dimainkan
merupakan
strategi yang
efektif untuk
meredakan
perilaku histeris
D.
untuk
menangulangi
tantrum D sudah
efektif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Tabel Analisis Isi Informan 2 (Bagian 2)
Keterangan:
I2 = Informan 2
D = Inisial anak I2 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I2
A= Anak, yakni D
No Kode Sub-
Kategori Kategori Tema
3 I: Kelekatan
dengan anak
Gambaran relasi
ibu dan anak Dinamika dalam
pengasuhan
Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
5
6
4 A: Kelekatan
dengan ibu 5
7 I: Memenuhi
kebutuhan
makanan anak
8
9
10
12 I: Dipahami anak
16 I: Cemas dengan
kesehatan anak 18
29
I: Muncul gejala
fisik tidak
menyenangkan
ketika
mengalami
perpisahan
dengan anak
67 I: Melindungi
anaknya
75 I: Memperhatikan
kesehatan anak
14 I: Aktivitas
pengasuhan anak
Aktivitas
pengasuhan
1 I: Memandang
bayi sebagai
sosok lugu Gambaran sifat
anak
Pandangan
terhadap sosok
anak
2
14 I: Pandangan
terhadap anak
19 A: Dendam
20 A: Malas
63 A: Rentan
kelelahan
Gambaran
keadaan fisik anak
1 A: Menunjukkan
perkembangan
yang normal Gambaran
perkembangan
anak
2
14 I: Perkembangan
kemampuan anak
15 I: Anak memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
fase membantah
36 A: Perilaku
meniru video
38 A: Perilaku
meniru
20
I: Kesan negatif
terhadap sifat
negatif anak
Respon terhadap
sifat anak
37
I: Respon negatif
terhadap regresi
anak Respon terhadap
perkembangan
anak
39
I: Respon positif
terhadap perilaku
meniru anak
13 A: Perilaku
memukul
Perilaku anak
yang menjadi
indikasi tantrum
Perilaku tantrum
anak Tantrum anak
22
15 A: Perilaku
membantah 18
21
A: Menolak hal
yang tidak
diinginkan/
disukai
21 A: Perilaku
menangis
21
A: Perilaku
menghentakkan
kaki
22
A: Menolak hal
yang tidak
diinginkan/
disukai
23 A: Perilaku
menggigit 24
25 A: Menendang
ponsel
25 A: Menggigit
ponsel
27 A: Menolak
perintah
27 A: Bergulung-
gulung
28 A: Marah
48 A: Sulit makan
48 A: Sulit tidur
49
52 A: Memukul dg
intensitas rendah
53 A: Menangis
57 A: Menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
58 histeris
60 A: Tidur tidak
nyenyak
21 A: Emosi marah
Faktor emosi
pemicu tantrum
23 A: Rasa gemas
24
28 A: Keinginan
tidak dipenuhi
33
A: Meniru
perilaku orang
tua
52 A: Objek lekat
direnggut 53
53
A: Empati 54
55
57 A: Kecemasan
akan perpisahan 58
13 A: Indikasi sibling
rivalry
Faktor sosial
pemicu tantrum
25 A: Perpisahan
dengan figur
lekat
57
59
31
A: Meniru
perilaku orang
tua
53 A: Merasakan
gangguan
34 A: Menonton film
Faktor teknologi
pemicu tantrum 35
53 A: Sakit fisik Faktor fisik
pemicu tantrum 53 A: Suara keras
70 A: Cepat reda Kondisi tantrum Dinamika tantrum
anak
26
A: Reunion
meredakan
tantrum
Faktor sosial
pereda tantrum
Faktor pereda
tantrum anak
18 I: Rasa kesal Dampak tantrum
terhadap emosi
ibu
Dampak tantrum
terhadap ibu Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
anak tantrum
47 I: Panik
48 I: Emosi negati
43 I: Terlambat kerja
Dampak tantrum
terhadap
pekerjaan ibu
19
I: Mendapat
penilaian negatif
dari lingkungan
sosial
Dampak tantrum
terhadap aspek
sosial ibu
11 I: Orang lain
dalam Dukungan sosial
Kebutuhan ibu
dalam pengasuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
pengasuhan anak tantrum
44 I: Butuh dukungan
sosial 46
40 I: Bukan tantrum
Menolak label
tantrum
Sikap ibu terhadap
tantrum anak
61
I: Keraguan akan
label histeris
(sub: Defense
terhadap kondisi
tantrum anak?)
17 I: Memaklumi
perilaku negatif
anak
Memandang wajar
19
32
I: Bergulung-
gulung hal yang
wajar
41
I: Memaklumi
temperamen
anak
42 I: Memandang
wajar perilaku
tantrum
56
62
71
74 I: Memaklumi
perilaku tantrum
45 I: Mengecilkan
dampak tantrum
pada dirinya
46
47
50
I: Memandang
wajar perilaku
nakal
56
I: Mengecilkan
makna
mengganggu pada
tantrum anaknya
65
I: Tidak
merasakan
dampak tantrum
anak
72 I: Lekat artinya
peduli
51
I: Tidak mampu
mengendalikan
tantrum anak
Rasa tidak mampu
mengambil
kendali
66
I: Mengatribusi
dampak tantrum
pada orang lain
64
I: Memberi label
negatif, dengan
defense (?)
Respon ibu
terhadap tantrum
anak
Respon ibu
terhadap tantrum
anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
68 I: Konflik
kognitif-afektif
69 I: Respon kognitif
73 I: Memberi
kenyamanan
Memberi
kenyamanan
Strategi ibu
menangani
tantrum
11
I: Memberi
informasi
bohong
60 I: Memanggil
terapis pijat anak 60
59
I: Berbicara
dengan tenang
Melakukan
diskusi
59 I: Mengalihkan
perhatian
Mengalihkan
perhatian
73 I: Mengalihkan
perhatian
73
I: Memberi
makanan
kesukaan
76 I: Efektif Efektivitas
strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Tabel Analisis Isi Informan 3 (Bagian 1)
Keterangan:
I3 = Informan 3
Y = Inisial anak I3 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I3
A= Anak, yakni Y
No Satuan Makna Satuan Makna yang Dipadatkan
Kode Transformasi 1 Transformasi 2
1. Sifat-sifatnya
yang tadi sudah
disebut itu masih
penakut alias
yang ‘berani
kandang’ itu Iya, berani
kandang.
I3 menyatakan
bahwa anaknya, Y,
bersifat berani
kandang.
Ibu memberi label
negatif pada anak
I: Anak berani
kandang
2. Terus, kalau
nangis susah
untuk ditangani,
begitu. ee.. bukan juga
susah ditangani.
Gimana ya, agak,
agak lama
bujukinnya.
I3 membutuhkan
banyak waktu
untuk menangani
tangisan Y.
Ibu membutuhkan
waktu lebih untuk
menangani
anaknya
I: Waktu ekstra
3. Terus kalau sama
kakaknya ini kan,
kakaknya dulu kita
di Palu banyak,
keluarga satu
rumah banyak.
E, jadi dia lebih
cepat, apa, cepat
beradaptasi dengan
orang,
ngomongnya lebih
cepat, lebih ini,
kalau kakaknya.
Tapi dibandingkan
adiknya ini, nggak.
Karena di rumah
kita hanya waktu
itu tambah saudara
sepupu saya, orang
besar hanya
bertiga, tambah
Mbak Ning di
sebelah, sama
Menurut I3,
kurangnya
kehadiran orang
dewasa di dalam
perkembangan Y
menyebabkan
kurangnya
kemampuan Y
dalam
bersosialisasi.
Faktor sosial
menjadi faktor
pembentuk
perilaku anak.
A: Minim
kehadiran orang
dewasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Oxka, Oxky.
Ya gitu.
4. Kalau dibanding,
saya semester satu,
semester satu
masih ada saudara
sepupu saya di
sini. Itu saya
masih sering
tinggal ke kampus,
dia itu nggak
nangis. Malah
sering sama
ibunya Oxky.
Malah, kalau saya
pulang kampus,
itu, cuma liat
sebentar, dia udah
ke sebelah lagi,
main. Tidur, tidur
di sebelah, malam
itu pun kalau udah
tidur baru saya
ajak ke sini.
Itu saya semester
satu, satu tahun.
Semester satu-
semester dua.
Ini untuk jenjang
S2 kan ya? S2.
I3 menceritakan
bahwa
sebelumnya,
kehadiran sepupu
I3 di rumah dan
tetangga yang
tinggal di sebelah
rumahnya
menyebabkan Y
menunjukkan
perilaku cuek pada
I3, seperti
tidak menangis
ketika ditinggal
pergi, bersedia
diasuh oleh
tetangganya,
seperti hanya
melihat I3 sebentar
setelah perpisahan,
dan sering tidur di
rumah tetangga.
Kehadiran orang
dewasa lain dalam
pola pengasuhan
anak dapat
meredam tantrum
anak, yakni dalam
ekspresi tangis dan
keinginan anak
untuk melekat
pada ibunya.
Kehadiran orang
lain dalam pola
pengasuhan anak
dapat mengurangi
perilaku melekat
pada ibunya.
A: Kehadiran
orang lain
(meredan perilaku
melekat)
5. Begitu saya selesai
teori, teori kelas,
saya kan lebih
banyak di rumah
karena thesis,
saudara sepupu
saya pulang, saya
yang ngasuh dia.
Nah, sejak dari
situ, Bu Ning ke
Jakarta dua
bulanan sebulan,
sejak dari situ dia
udah nggak ini
lagi.
Saya ke kamar
mandi dia ikut,
nyuci aja ikut.
Mungkin karena
nggak ada
I3 bercerita bahwa
semenjak I3
memiliki waktu
luang yang lebih
banyak, sepupu I3
tidak tinggal
serumah lagi, dan
tetangga pergi
sejenak, Y menjadi
sangat melekat
dengan I3.
Ketidakhadiran
orang lain dalam
pengasuhan dan
banyaknya waktu
luang ibu menjadi
faktor anak
memiliki perilaku
melekat pada ibu.
A: Kehilangan
sosok dewasa lain
A: Ibu memiliki
banyak waktu
luang
(menimbulkan
perilaku melekat)
A: Perilaku
melekat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
mamanya jadi
kan ada sama
yang lain ... He-e,
saya mikirnya
begitu
6. karena kemarin
mungkin saya di
kampus, dia mau
ke sana.
I3 menceritakan
bahwa Y ingin
selalu ikut dengan
I3 meski hanya
melakukan
aktivitas di rumah,
seperti pergi ke
kamar mandi dan
mencuci pakaian.
Anak
mengekspresikan
perilaku melekat
A: Perilaku
melekat
7. Tapi begitu saya
full di rumah, ke
mana-mana
ngikut. Ditinggal
saja, aduh, mau
buang sampah di
depan harus
tunggu dia.
Kalau nggak,
rewel.
I3 bercerita bahwa
semenjak I3
memiliki waktu
luang yang lebih
banyak, Y menjadi
sangat melekat
dengan I3.
I3 menceritakan
bahwa Y ingin
selalu ikut dengan
I3 meski hanya
melakukan
aktivitas di rumah,
seperti membuang
sampah.
Bila I3 tidak
memenuhi
keinginan Y untuk
melekat, Y rewel.
Ibu memiliki
banyak waktu
luang, anak
menunjukkan
perilaku melekat,
bila tidak
dipenuhi, anak
rewel.
A: Ibu memiliki
banyak waktu
luang
(menimbulkan
perilaku melekat)
A: Perilaku
melekat
I: Tidak memberi
kelekatan
(menyebabkan
rewel)
8. Tante bisa
ceritain
pengalaman yang
menyenangkan
nggak waktu
mengasuh Dik Y?
Semuanya
menyenangkan
kayaknya.
Semuanya
menyenangkan.
I3 menilai bahwa
dirinya mengalami
hal yang
menyenangkan.
Penilaian positif
dalam pengasuhan.
I: Perasaan senang
9. Kan ada masa di
mana dia rewel,
ada masa di mana
dia mutung.
I3 menyatakan
bahwa Y memiliki
saat di mana ia
rewel.
Perilaku rewel
adalah hal yang
wajar
kemunculannya
I: Rewel adalah
wajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
dalam diri anak.
10. Anaknya ini, apa
ya kalau orang di
tempat saya itu
bilang cepat, kalau
sana bilang sih
‘hati sedikit’,
kalau sini apa? Ya
cepat …
Em, hatinya kecil
gitu? Jadi nggak bisa,
nggak bisa salah
dikit itu mutung.
Apa ya kalau sini?
Ati kecil kalau
saya bilang. Saya
nggak ngerti kalau
bahasa sini tuh
apa, pokoknya ati
kecil lah, kalau
istilah di sana,
Sulawesi.
Agak-agak mirip
dengan sensitif.
I3 menilai Y
memiliki sifat
berhati kecil yang
diekspresikan oleh
perilaku rewel dan
mutung bila
keinginannya salah
ditangani.
Ibu memberi label
negatif pada anak.
I: Anak berhati
kecil
11. Terus kalau Y itu e
sesuatu yang harus
dia kerjakan,
misalnya ini kan,
misalnya ini, topi-
topi ini, dia yang
harus letakkan di
meja,
tetapi saya yang
letakkan,
dia marah, dia
mutung dan harus
diulang lagi. Dia
nangis,
nah berhentinya
itu kalau saya
ulang lagi, dia
yang nempatkan.
Tapi kadang-
kadang dia
mutung, dia
marah.
Setahun
belakangan ini
kayak gitu.
I3 menyatakan Y
menginginkan
segala sesuatunya
dilakukan tepat
seperti yang
diinginkan oleh Y.
I3 menceritakan
bahwa bila
keinginan Y tidak
dipenuhi, Y akan
mengeskpresikan
kemarahannya
dengan menangis
dan meminta I3
untuk
mengembalikan
keadaan seperti
semula.
I3 baru
menemukan
perilaku Y tersebut
satu tahun
belakangan.
Anak
menunjukkan
perkembangan
otonominya
Interupsi ibu atas
otonomi anak akan
menyebabkan anak
mengekspresikan
tantrum.
A: Perkembangan
otonomi
A: Interupsi atas
perkembangan
otonomi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
12. Saya buang
sampah tanpa
nunggu dia,
saya harus balik
lagi, tapi sampah
itu harus ada di
tangan saya, harus
saya ambil lagi
dari tempat
sampah. Dia ikut
lagi. Kayak gitu.
Jemur pakaian,
nggak boleh saya
jemur,
harus tunggu dia,
kalo nggak nanti
rewelnya lama.
I3 menceritakan
bahwa Y ingin
selalu ikut dengan
I3 meski hanya
melakukan
aktivitas di rumah,
seperti membuang
sampah dan
menjemur pakaian.
Anak
mengekspresikan
perilaku melekat.
A: Perilaku
melekat
13. Kalo rewel tuh
apa aja, tante,
perilakunya?
Nangisnya
kencang,
nangisnya
kencang.
Kalau udah rewel
banget itu, di
tempat tidur dia
tengkurap. Sambil
nangis kah? he-
eh. Sambil nangis
dia tengkurap.
Nggak mau di,
nggak mau
disentuh.
I3 menyebutkan
bahwa Y
mengekspresikan
rewel dengan
perilaku menangis
dengan kencang
dan tengkurap di
tempat tidur tanpa
ingin disentuh.
Menangis
kencang,
tengkurap, dan
tidak ingin
disentuh dilabel
ibu sebagai rewel.
A: Rewel
A: Menangis
kencang
A: Tengkurap di
tempat tidur
A: Tidak ingin
disentuh
14. Biasanya
dibujukinnya itu
ini kalau udah itu,
ulang lagi caranya
atau dialihkan
ininya, dialihkan
pikirannya.
Apa ya di, ini
misalnya ini ada
Iron Man itu ada
kartun apa, diajak
ngobrol itu bisa
hilang.
Biasanya itu
bapaknya yang,
tugasnya yang itu.
Strategi yang biasa
I3 lakukan untuk
menanggulangi
perilaku tantrum Y
adalah mengikuti
kemauan Y,
mengalihkan
perilaku Y dengan
mengajak
berbicara,
menontonkan film,
dan mengajak
bermain yang
biasa dilakukan
oleh suami I3.
Mengikuti
kemauan anak,
mengalihkan
dengan mengajak
berbicara,
menonton, dan
bermain adalah
cara yang biasa
dilakukan oleh
ayah untuk
menanggulangi
perilaku rewel
anak.
I: Membutuhkan
dukungan suami
I: Mengikuti
kemauan anak
I: Mengajak
berbicara
I: Mengajak
menonton
I: Mengajak
bermain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
Yang menhandle
itu? iya.
Biasanya kalau
minta diulang
lagi itu,
permintaannya si
Dik Y sendiri apa
dari tantenya
yang..
Dia sendiri. “Y,
mesti Y yang ini.”
kayak gitu.
15. Tapi kalau dia
sudah kadung
nangis, sudah ini,
walaupun diulang
lagi, tetep aja.
Agak lama ininya
dianya, bisa paling
lama itu bisa
sampai setengah
jam itu,
kecuali cepat
dialihkan.
Dialihkan
misalkan dengan
diajak ngobrol
atau diliatin film,
atau diajak main.
I3 harus segera
mengalihkan Y,
bila tidak maka
meskipun
keinginan Y sudah
dipenihi, ia akan
tetap menangis
dengan durasi
yang lama.
Strategi ibu
menjadi tidak
efektif apabila
anak sudah
terlanjur
menangis.
I: Segera harus
ditangani
(gambaran tantrum
anak)
16. Kalau bujuknya
16aja harus pakai..
paling sering kita
itu dialihkan
dengan diajak
cerita
“Oh iya kemarin Y
nonton apa ya.. oh
nonton Iron Man
ya. Itu seperti
apa?”
Nanti dia cerita,
dia cerita hilang
menangisnya, tapi
ketika, habis itu
dia ingat lagi, dia
nangis lagi,
diajak lagi
ngobrol.
I3 paling sering
menangani dengan
cara mengajak Y
berbicara untuk
mengalihkan
pikiran Y, namun
bila ingat maka Y
akan menangis
lagi.
Strategi yang
dirasa paling
efektif untuk
menangani
perilaku rewel
anak adalah
pengalihan, meski
strategi ini perlu
proses yang
berulang.
I: Konsistensi
penerapan strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
17. Kira-kira kenapa
ya, tante?
Menurut tante
kenapa Dik Y tuh
suka rewel
begitu?
Nah itu yang saya
nggak tahu. Saya
nggak tau itu
(tertawa).
Apa bisa tante,
yang sebelumnya
diceritain karena
dulu kalau Kak I
kan banyak, di
lingkungan yang
banyak orang,
kalau begitu dia
bisa lebih
adaptasi.. Iya. Mungkin itu
juga, dia kan
nggak terlalu, apa
ya,
kalau kakaknya ini
kemarin sama
siapa aja di dalam
rumah, ya orang di
rumah yang
sekeliling, sama
tetangga nggak.
Tapi, lebih karena
orang di rumah
banyak, jadi
sosialisasinya
lebih bagus.
Tapi kalau si
adiknya ini nggak.
Kalau aku
bahasakan ‘tidak
terlalu terlatih
sosialisasi’ gitu
kah? Iya.
Lingkungan
mainnya kan cuma
sini, depan itu
temannya satu.
Seumuran? beda
setahun-dua tahun.
I3 mengaku tidak
mengetahui
penyebab
kemunculan
perilaku rewel Y.
Berdasarkan
pengalaman I3
mengasuh anak
pertamanya,
penyebab perilaku
rewel berhubungan
dengan sosialisasi
dengan lingkungan
temat tinggal.
Ibu memiliki
pandangan bahwa
perilaku rewel
berkaitan dengan
pengalaman sosial
anak.
I: Pengalaman
sosial anak
18. Kalau saya I3 menyatakan Pengalaman sosial I: Pengalaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
bandingkan
dengan ini
(menunjuk
kakaknya), ini kan
cepat, dia
ngomongnya
cepat, terus e pola
pikirnya..
bahwa sosialisasi
yang dinilai
berhasil juga
mempengaruhi
perkembangan
kemampuan bicara
dan pola pikir anak
pertamanya.
anak berkaitan
dengan
perkembangan
kemampuan bicara
dan pola pikir
anak.
sosial anak
19. Jadi saya sering
ngobrol sama
suamiku, “Kok ini
beda ya?” ini sama
adiknya. Kalau ini,
kalau saya marah,
dia cepat tanggap.
I3 menilai adanya
perbedaan anata
kedua anaknya.
Ibu memberi
perhatian pada
perbedaan sifat
kedua anaknya.
I: Perhatian pada
perbedaan sifat
anak
20. Jadi kalau suamiku
bilang, mungkin
karena dia
perempuan, ini
laki-laki. Yang
adiknya lebih usil
dibanding ini.
I3 menyatakan
bahwa suaminya
memandang
perbedaan sifat
kedua anaknya
disebabkan oleh
peran gender yang
berbeda antar
keduanya.
Ibu memberi
perhatian pada
peran gender
masing-masing
anaknya.
I: Perhatian pada
peran gender anak
21. Usilnya gimana,
tante? Gimana
ya.. Apa ya?
Pecicilan. Banyak
gerak dibanding
ini, kakaknya.
Dibanding
kakaknya, dia
lebih itu.
I3 menyatakan
bahwa Y lebih
banyak bergerak
dari pada
kakaknya.
Ibu
mendeskripsikan
anak banyak
bergerak
A: Banyak
bergerak
22. Terus kalau tante
menyebut
perilakunya Dik
Y yang seperti itu
apa?
Apa ya. Apa ya.
Saya nggak pernah
mengistilahkan
soalnya itu.
Istilahnya apa ya?
Anak laki-laki itu
kan biasanya lebih
aktif,
lebih suka main,
naik di kursi ini.
Aktif gitu kah
tante, kalau
I3 mengatakan
perilaku Y sebagai
anak laki-laki yang
lebih suka bermain
dan menaiki kursi
dengan istilah
aktif.
Sifat anak yang
suka bermain dan
perilaku menaiki
kursi disebut ibu
sebagai aktif.
A: Aktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
mengistilahkanny
a?
Em, aktif, he-eh.
23. Kira-kira kalau
tante, apa
namanya,
berpendapat gitu,
apakah menurut
tante itu baik,
buruk, atau
normal Dik Y?
Normal untuk
anak seusia dia.
Artinya itu perlu,
dibanding dia e
apa namanya
diam, nggak
bergerak, itu
normal.
Dan itu mungkin,
karena dia laki-
laki, lebih usil.
I3 menilai perilaku
aktif seabagai hal
yang normal untuk
anak seusia Y
dengan alasan
bahwa aktif
diperlukan, lebih
baik daripada
diam, dan
merupakan hal
yang wajar bagi
anak laki-laki.
Dengan pandangan
bahwa aktif
diperlukan, lebih
baik daripada
diam, dan
merupakan hal
yang wajar dengan
peran gender
anaknya, ibu
memandang aktif
sebagai sifat yang
normal.
I: Aktif adalah
wajar
24. Tapi usilnya anak
laki-laki ini saya
bilang agak-agak
cengeng.
Cengengnya tu
gimana, tante? Apa ya, cepat
nangis, cepat
nangis. Salah dikit,
nangis. Dikit-dikit.
I3 mengatakan
bahwa Y usil dan
cengeng apabila
diperlakukan
dengan salah.
Ibu
mendeskripsikan
anak dengan sifat
mudah menangis
apabila mendapat
perlakuan yang
tidak sesuai.
A: Cengeng
25. Jadi, “Siapa juara
satu nangis?”
Kalau dia bilang,
“Dik Anggoro itu
juara satu”, Dik
Anggoro itu yang
depan rumah, dia
juara dua nangis.
I3 menceritakan
bahwa Y
mengakui dirinya
mudah menangis.
Pendapat I3
mengenai perilaku
tantrum Y
mendapat
penguatan dari Y
A: Cengeng
26. Tapi kalau ketawa
main, main
ketawa. Tertawa,
tertawa.
I3 menyatakan
bahwa Y memiliki
saat di mana ia
bersuka hati
setelah rewel.
Perilaku rewel dan
suka hati adalah
hal yang wajar
kemunculannya
dalam diri anak.
I: Dinamika emosi
anak
27. Aku ngulang lagi
pertanyaan yang
sebelumnya ya,
tante, kira-kira
pengalaman
Pengalaman
menyenangkan I3
dalam mengasuh
Y meliputi:
bermain bersama
Bermain bersama
dengan anak
merupakan
pengalaman yang
menyenangkan bgi
I: Bermain
bersama dengan
anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
mengasuhnya Dik
Y itu seneng
ketika ngapain
aja?
Main apa ya, main
apa kita ya.
Tempat tidur, main
sembunyi-
sembunyi, main
kitik-kitikan, main
rumah-rumahan,
tenda-tendaan.
di tempat tidur,
seperti
bersembunyi,
kitik-kitik, dan
rumah-rumahan.
Pengalaman
menyenangkan I3
dalam mengasuh
Y meliputi:
bermain bersama
di tempat tidur,
seperti
bersembunyi,
kitik-kitik, dan
rumah-rumahan.
ibu.
28. Terus itu, karena
kakaknya
perempuan dia
senang masak-
masak, masak-
masak.
Mobil-mobil main
juga, tapi karena
lihat kakaknya
main masak-
masak,
dia juga ini apa
yang kakaknya
buat, sering dia
tiru.
Biasanya
kakaknya itu main
jadi guru, dia
ikutan. Jadi apa?
Apa yang
diucapkan
kakaknya, dia
ikutin di belakang.
Tapi nggak,
nggak, kira-kira
berapa bulan ya?
Umur dua tahun
setengah mungkin,
dia sudah bisa
seperti itu, baru
mau masuk ke tiga
tahun, belum lama.
I3 menceritakan
bahwa Y senang
mengikuti
permainan yang
dimainkan oleh
kakaknya, seperti
bermain masak-
masakan dan guru-
guru-an.
I3 mengamati
munculnya
kemampuan Y
untuk meniru
perilaku kakaknya
antara usia 2.5
hingga 3 tahun
Anak
menunjukkan
perkembangan
emosi, yakni
meniru perilaku
orang di sekitarnya
(imitasi),
berkembang sesuai
dengan
milestonenya.
A: Imitasi
29. Berarti kalau aku
ulang lagi,
pengalaman yang
Bermain bersama
dengan anak
merupakan
Bermain bersama
dengan anak
merupakan
I: Bermain
bersama dengan
anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
menyenangkan
Tante S bersama
Dik Y itu main
bersama? Main.
pengalaman yang
menyenangkan bgi
ibu.
pengalaman yang
menyenangkan bgi
ibu.
30. Kalau dibalik,
pengalaman yang
tidak
menyenangkanny
a?
Apa ya. Kalau
mandiin dia, itu
dia seneng main
air di kamar
mandi, mesti lama,
sedangkan saya
masih punya
pekerjaan yang
lain.
I3 menyatakan
bahwa pengalaman
tidak
menyenangkan
terjadi ketika Y
bermain air saat
mandi dalam
waktu yang lama
sedangkan I3
memiliki
pekerjaan lain.
Terganggunya
pekerjaan ibu oleh
aktivitas anak
membuat
pengalaman
pengasuhan yang
tidak
menyenangkan
bagi ibu.
I: Merasa
pekerjaan
terganggu
31. Nah dibujukinnya
itu susah, terus
nangis. Kalau dia
lagi rewel-rewel
itu.
I3 mengatakan
bahwa sulitnya
untuk dibujuk
mengakhiri main
airnya membuat Y
menagis.
Perilaku itulah
yang disebut I3
sebagai rewel.
Mandi yang lama
bukanlah perilaku
tantrum anak,
melainkan
tangisan anak
ketika menolak
untuk dibujuk
ibunya untuk
menyudahi
mandinya. Dengan
kata lain, pemicu
tantrum anak
adalah adanya
keinginan anak
yang mendapat
interupsi ibu.
A: Interupsi atas
keinginan
32. Kapan aja tante,
Dik Y itu rewel? e.. seperti kalau
mandi itu, dia
pingin mandi
sendiri, tapi saya
sabunin, dia nggak
suka, dia mulai
rewel itu.
Kalau dia sudah
bilang “nggak”, itu
mesti nggak.
Kalau saya
lakukan, itu bisa
memicu dia rewel.
I3 menceritakan
bahwa Y suka
berkata “Tidak”
dan itu harus
dituruti, apabila I3
tidak menuruti
maka anak
memicu Y untuk
berperilaku
tantrum.
Berikut adalah
pola tantrum anak:
anak memiliki
keinginan tertentu,
ibu tidak
memenuhi
keinginan
(menginterupsi)
anak, anak
mengekspresikan
perilaku tantrum.
Terdapat dua
alasan besar
penyebab tantrum
anak, yakni
A: Gagal
meregulasi
keinginan
A: Interupsi atas
keinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Nggak boleh salah
dikit, kalau udah
salah itu bisa
memicu dia buat
rewel.
perkembangan
otonomi dan
ketidakmampuan
anak untuk
meregulasi
ledakan
keinginannya
33. Bangun pagi itu
dia minta gendong,
buka mata itu dia
“Ibu gendong.”,
terus kalau saya
nggak mau, a itu
bisa rewel.
I3 bercerita saat
bangun tidur, Y
suka meminta
gendong pada I3,
ketika I3 menolak
maka Y akan
rewel
Y
mengekspresikan
perilaku melekat
A: Perilaku
melekat
A: Gagal
meregulasi
keinginan
A: Interupsi atas
keinginan
34. Seharian gitu? Maksudnya mood-
mood-annya itu,
he-eh. Kalau udah
pagi itu, udah.
I3 bercerita bahwa
mood buruk Y
dapat berlangsung
hingga sehari
lamanya.
Rewel Y
berlangsung lama
A: Durasi lama
35. Makanya kalau
saya, dia bangun
pagi, usaha, usaha
sih, jangan dibuat
dia ini.
Kalau nggak itu
sampai malam itu,
dikit-dikit nangis,
dikit-dikit in,
nggak bisa ini.
I3 mengupayakan
pencegahan
tantrum Y dengan
menghindari hal-
hal yang mungkin
dapat memicu
tantrum.
I3 mengatakan
bahwa tantrum Y
akan berlangsung
hingga malam dan
mudah muncul
bila tidak dicegah.
Ibu membutuhkan
usaha lebih untuk
menjaga kondisi
mood anak
I: Menjaga mood
anak
36. Kemudian,
pengaruhnya
perilaku Dik Y
yang kayak gitu
buat Tante S
apa?
Bikin emosi,
emosi naik-turun.
Yang rewelnya
itu? Iya. He-e. Itu,
bikin itu, “Uh Y,
ampun ibu”.
I3 merasa bahwa
emosinya naik-
turun dan
mengekspresikan
ketidaksanggupan
nya dalam
menghadapi
tantrum Y.
Tantrum anak
memberikan
dampak negatif
pada keadaan
emosi ibu.
I: Keadaan emosi
tak menentu
I: Mengeluh
37. Terus tante
biasanya
mengekspresikan
nya gimana kalau
gitu, kalau tante
lagi emosi gitu
I3
mengekspresikan
emosinya dengan
mengomel dan
mengeluhkan
ketidaksanggupan
Ibu merespon
tantrum anak
dengan memberi
nasihat dan
mengeluh.
Ibu tidak memberi
I: Memberi nasihat
I: Mengeluh
I: Menghindari
hukuman fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
sama Dik Y?
Saya suka ngoceh.
Karena nggak ini
tangan,
jadi saya mulut,
“Cecececececet.”
Ngocehnya
sendiri apa ke
Dik Y-nya? Ngoceh sendiri,
“Uuh, ampun aduh
Y, minta
ampun ibu, Y” ya
kayak gitu.
nya menangani Y.
I3 mengaku tidak
menangani Y
dengan tangannya.
hukuman fisik.
38. Usia berapa itu
pertama kali
rewel? Satu
tahun belakangan
ini ya?
Semenjak ini, Bu
Ning ke Jakarta.
Semenjak Bu Ning
ke Jakarta, saudara
sepupuku pulang,
saya full, full
waktuku sama dia,
semejak dari situ.
Semenjak dari
situ? He-e, karena
sebelum-
sebelumnya dia
nggak kayak gitu,
nggak, maksudnya
ada sama Bu Ning
dia nggak..
Malah dulu itu
waktu masih, saya
masih aktif kuliah,
kalau dia nangis,
yang bujukin ini
bapak ibunya
Oxky, dengar aja
suara nangisnya,
udah.
I3 menceritakan
kondisi-kondisi
yang mengawali
kemunculan
tantrum Y, yakni
kepergian tetangga
ke luar kota,
sepupu yang
mengasuh Y tidak
tinggal serumah
lagi, dan I3
memiliki waktu
luang yang lebih
banyak bersama Y.
Perpisahan dengan
figur pengganti
orang tua dan
pertemuan dengan
orang tua menjadi
kondisi anak
mengekspresikan
tantrum.
A: Kehilangan
sosok dewasa lain
A: Ibu memiliki
banyak waktu
luang
39. Kalau saya lagi
mau ngerjain
sesuatu, kalau dia
udah rewel kan ini,
saya dah, saya
I3 bercerita bahwa
tantrum Y
mengganggu
agenda kegiatan I3
Tantrum anak
memberikan
dampak negatif
pada aktivitas ibu
I: Aktivitas
terganggu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
harus begini,
begini, itu udah
harus keini,
ngerubah jadwal.
Yang
menyesuaikan
mamanya? iya.
40. Terus, itu kan
tadi, kira-kira
apa sih yang
tante rasain pas
lagi si Dik Y
rewel? Apa ya, mangkel.
Gimana tuh,
tante, bisa
diceritain nggak? Mangkelnya
gimana ya. Ya
gimana ya
mangkel, kesal.
Kesal, e, apa ya,
ya karena saya
harus, yang
harusnya saya
udah, udah
harusnya ngerjain
sesuatu yang lain,
tapi saya harus
bujukin dia dulu.
Oh jadi
mangkelnya lebih
karena apa yang
sudah tante
rencanakan.. he-e
iya yang sudah
dipersiapkan jadi
nggak kelakon? iya, karena saya
tipe orang yang,
yang habis ini, ini,
habis gini yaa
harus begini,
begini, udah punya
ini … Udah
punya schedule? he-e.
I3 merasa kesal
terhadap perilaku
kerewelan Y
karena karena I3
perlu
menyempatkan
waktu untuk
membujuk Y
sehingga
mengganggu
pekerjaan I3.
Kemunculan
perilaku tantrum
anak dengan
kondisi ibu yang
memiliki
pekerjaan lain
membuat ibu perlu
menyisihkan
waktu untuk
mengatasi perilaku
anak sehingga
membuat
pekerjaannya
tertunda.
Merasa waktu
terbuang oleh
karena tantrum
anak membuat ibu
merasa kesal.
I: Kesal
I: Aktivitas
terganggu
41. Nah biasanya itu
kalau ada
bapaknya di
I3 mengatakan
bahwa suaminya
biasa untuk
Ibu membuthkna
dukungan suami
untuk
I: Membutuhkan
dukungan suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
rumah, yang
bujukin bapaknya,
karena suami saya
lebih apa ya, lebih
pintar bujukin
anak dibanding
saya.
membujuk Y dari
rewelnya karena
suaminya
dipandang oleh I3
lebih mampu
untuk membujuk
Y.
menanggulangi
perilaku tantrum
anak.
42. Terus biasanya
tante ngapain aja
untuk apa,
strategi yang
biasa tante
lakukan supaya
meredakan
kerewelan?
Biasanya pertama
itu saya peluk.
Peluk dulu saya
cium-cium
biasanya.
I3 menceritakan
bahwa ia memiliki
berbagai strategi
untuk
menanggulangi
tantrum Y, yakni
dengan cara
memeluk,
mencium,
mengajak
berbicara,
kemudian
menghiraukan
tantrumnya.
Strategi-strategi ini
dilakukan oleh I3
sesuai dengan
tingkat keparahan
tantrum Y.
Ibu memiliki
strategi
menanggulangi
tantrum anak
sesuai dengan
tingkat
keparahannya:
tahap pertama
memberi sentuhan
lembut dengan
pelukan, tahap
kedua
mengalihkan
perhatian anak
dengan berbicara
dengan tenang,
kemudian yang
terakhir
menerapkan
penghirauan dan
time-out yang
konsisten disertai
dengan instruksi
yang sederhana
dan jelas.
I: Menawarkan
kenyamanan pada
anak
I: Mengalihkan
perhatian
I: Menghiraukan
tantrum
I: Membuat
perjanjian
43. Tapi kalau udah
peluk-peluk cium-
cium nggak, bujuk
pakai kata-kata.
I3 menceritakan
bahwa ia memiliki
berbagai strategi
untuk
menanggulangi
tantrum Y, yakni
dengan cara
memeluk,
mencium,
mengajak
berbicara,
kemudian
menghiraukan
tantrumnya.
Strategi-strategi ini
dilakukan oleh I3
sesuai dengan
tingkat keparahan
Ibu memiliki
strategi
menanggulangi
tantrum anak
sesuai dengan
tingkat
keparahannya:
tahap pertama
memberi sentuhan
lembut dengan
pelukan, tahap
kedua
mengalihkan
perhatian anak
dengan berbicara
dengan tenang,
kemudian yang
terakhir
I: Menawarkan
kenyamanan pada
anak
I: Mengalihkan
perhatian
I: Menghiraukan
tantrum
I: Membuat
perjanjian
I: Time-out
44. Terus kalau udah
sampai ke tahap
dia susah, susah
buat berhenti, ya
sudah “Y ibu
tinggal di dalam
sini, ibu keluar.”
Jadi saya tinggalin
dia di kamar
sendiri, saya
keluar.
Karena sudah
sampai ke tahap
dia, dia nggak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
mau berhenti, “Ibu
mau gendong Y
kalau Y sudah
berhenti nangis.”
Sampai itu, titik
terakhir dia sampai
segitu.
tantrum Y.
I3 sudah
menjadikan
membuat
perjanjian antara
I3 dan Y yakni
akan
menggendong Y
apabila Y berhenti
menangis.
menerapkan
penghirauan dan
time-out yang
konsisten disertai
dengan instruksi
yang sederhana
dan jelas.
Ibu memberikan
instruksi yang
sederhana dan
jelas
45. Nah responnya
gimana Dik Y? “Y tidak mau
nurut ibu, tidak
mau diam, Y di
sini saja.” kayak
gitu.
Biasanya dia narik
baju, narik baju
minta peluk,
I3 sudah
menjadikan
membuat
perjanjian antara
I3 dan Y yakni
apabila Y tidak
menuruti I3 untuk
diam, Y harus
berdiam diri di
kamar.
I3 berkata bahwa
Y ketika Y
dihiraukan oleh I3,
Y merespon
dengan cara
menarik meminta
peluk I3.
46. tapi saya ambil,
saya letakkan lagi.
E.. “Ibu mau ambil
kalau diam. Tapi
kalau masih
nangis, nggak.”
Nah “Y diam, Y
diam.”
I3 tetap
memposisikan Y
di dalam kamar
selama Y masih
menangis.
Ibu menggunakan
strategi time-out
Anak
menunjukkan
perilaku melekat
I: Konsistensi
A: Perilaku
melekat
47. Tapi begitu saya
ambil dia, “Uuu..”
saya, sudah,
perjanjiannya
kayak gitu.
Perjanjiannya
kalau Y diam.
Saya letakkan lagi.
Jadi biasanya itu
kalau dia lagi
rewel-rewel itu
bisa sampai empat
I3 melakukan
perjanjian dengan
konsisten, meski
cara tersebut dapat
I3 lakukan
sebanyak 4 hingga
5 kali dalam 1
periode tantrum Y.
Ibu menerapkan
penghirauan dan
time-out dengan
konsisten
Perlu ditangani
hingga 5 kali
adalah gambaran
tantrum anak.
I: Konsistensi
A: Bolak-balik
ditangani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
kali sampai lima
kali. Bolak-balik
itu.
48. Tapi tante sabar
yah? Nggak juga
sebenarnya. Nggak
juga sih,
cuma saya
ngindarin kontak
fisik.
I3 menilai dirinya
tidak sabar
menghadapi rewel
Y namun berusaha
menghindari
kontak fisik
dengan Y.
Ibu menerapkan
strategi time-out
I: Tidak sabar
I: Menghindari
kontak fisik
dengan anak
49. Oh ya, tante tau
strategi seperti
itu dari mana,
tante,
sumbernya? Itu, apa itu Nanny-
nanny apa sih
acara di televisi
itu? Oh Nanny
911 itu? Yang
Barat itu. Iya.
I3 bercerita bahwa
pemahaman
mengenai strategi
untuk
menanggulangi
tantrum Y berasal
dari acara TV
bertema
pengasuhan anak.
Acara televisi
adalah sumber
informasi ibu
mengenai strategi
penanggulangan
tantrum anak
I: Program tv
50. Saya cuma pernah
lihat waktu itu
dibilang, pada saat
kalau dia sudah
rewel sekali, dia
nggak ini,
tinggalin dia di
dalam kamar,
sendiri tapi harus
pegang komitmen.
E dia, kita nggak
boleh ini.. katanya.
Jadi saya ngikutin
katanya aja.
I3 bercerita bahwa
acara tersebut
memaparkan
strategi untuk
menghadapi anak
rewel dengan
meninggalkannya
sendiri di dalam
kamar dan
membuat
komitmen. I3
mengatakan bahwa
ia mengikuti
strategi tersebut.
I3 menerapkan
informasi yang
diperolehnya dari
acara TV tersebut,
yakni
menggunakan
strategi
penghirauan/time-
out untuk
menanggulangi
tantrum anak,
disertai pula
dengan komitmen.
51. Tadi kan tante
kan sebut bahwa
Y ada rewel awal
sama rewel udah
kebablasan, itu
aku mau tanya
lagi ya, nah kalau
Berdasarkan
pengalaman I3, Y
memiliki 2
tingkatan tantrum
yakni tingkat awal
dengan perilaku
menangis dan
Y mengalami
tantrum dengan
intensitas
menangis yang
berbeda, sesuai
dengan tingkat
keparahannya.
A: Bertahap
A: Semaki parah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
yang tahap awal,
itu perilakunya
kayak apa, tante?
Dia nangisnya
belum kencang, itu
yang tahap
awalnya.
Kalau udah masuk
yang tahap
akhirnya itu, di a..
baru sekarang ini.
tingkat akhir
dengan perlaku
menangis kencang.
52. Saya nggak tau,
apa karena
pengaruh film,
I3 menduga
penyebab
keparahan tantrum
Y yang terjadi
akhir-akhir ini
adalah film.
Menonton film
dipandang ibu
dapat memicu
perilaku tantrum
Y, maka
perkembangan
perilaku meniru
dapat
menyebabkan
tantrum anak.
A: Film
53. dia marah itu dia
(memperagakan
gerakan memukul
paha) Dia pukul
mama? sambil
pukul badannya.
Perilaku yang
ditunjukkan adalah
memukul badan
sendiri.
Y mengalami
tantrum dengan
perilaku agresi
pada diri sendiri
A: Agresi diri
sendiri
54. Dia itu mulai
kayak gitu, saya
nonton itu Captain
America, Iron
Man, Superman,
nah tiga bulan-
empat bulan
terakhir itu, itu
film yang dia
tonton,
3 hingga 4 bulan
lalu, anak
menonton film
tanpa agresi dan
bermain masak-
masakan yang
dipandang ibu
tidak sesuai
dengan peran
gendernya. Maka
ibu menyuguhkan
film superhero
yang dipandang
lebih sesuai
dengan peran
Menonton film
pahlawan super
dipandang ibu
dapat memicu
perilaku tantrum
Y, maka
perkembangan
perilaku meniru
dapat
menyebabkan
tantrum anak.
A: Film
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
gendernya.
Namun tanpa
disangka, anak
mengalami
perubahan perilaku
yang dipandang
ibu terjadi akibat
genre film yang
telah disuguhkan
oleh ibu
55. karena empat
bulan yang lalu dia
mainnya masak-
masak. Jadi saya
ngeluh sama
suami, “Ini Y ini
laki-laki mainnya
masak-masak ini.
Nggak main itu
lho, laki-laki.”
Terus saya ambilin
itu film, saya
copy-in film dari
warnet, yang saya
pilihin itu
Superman,
Batman, yang film
ini, tapi kartun. Oh
kartun, bukan
yang animasi? Kartun, bukan,
kartun.
3 hingga 4 bulan
lalu, anak
menonton film
tanpa agresi dan
bermain masak-
masakan yang
dipandang ibu
tidak sesuai
dengan peran
gendernya. Maka
ibu menyuguhkan
film superhero
yang dipandang
lebih sesuai
dengan peran
gendernya.
Namun tanpa
disangka, anak
mengalami
perubahan perilaku
yang dipandang
ibu terjadi akibat
genre film yang
telah disuguhkan
oleh ibu
I3 bercerita bahwa
ia mendapat protes
dari anak
pertamanya oleh
karena pilihan film
yang diberikan
oleh I3 kepada Y.
Ibu memberi
perhatian pada
peran gender anak
dan aktivitasnya,
memiliki emosi
negatif apabila
terdapat
ketidaksesuaian,
dan berusaha
memperbaikinya.
I: Perhatian pada
peran gender anak
56. Sebelumnya itu,
sebelum film Iron
Man segala
macam itu, dia
yang nontonnya
itu yang hanya
Minion, yang tidak
ada kontak fisik,
berkelahi-
berkelahi nggak
ada. Agresi gitu
ya? A, Minion,
apa ya yang
sekarang itu ya, e,
ada yang Pada
Zaman Dahulu
kala itu yang
kelinci-kelinci..
Ibu memberi
perhatian pada
peran gender anak
dan aktivitasnya,
memiliki emosi
negatif apabila
terdapat
ketidaksesuaian,
dan berusaha
memperbaikinya.
Ibu merasa
kehilangan
dukungan dari
anak pertamanya
atas langkahnya
mengganti genre
film untuk
disuguhkan pada
I: Perhatian pada
peran gender anak
I: Kehilangan
dukungan dari
anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Oh yang MNC
TV itu ya? harimau, sampai
sekarang dia masih
sering nonton.
Terus apa itu,
Super Wings,
pesawat-pesawat
itu, anjing-anjing.
Gitu.
Waktu dia masih
sering main yang
masak-masak itu,
yang dia nonton ya
kayak gitu,
anak keduanya.
57. tapi begitu empat
bulan yang lalu,
empat bulan kalau
nggak salah, dia
mulai saya kasih
nonton itu,
58. jadi sampai
kakaknya ini
ngeluh “Ini karena
ibu semua ini, ibu
kasih adik nonton
yang seperti itu.”
Jadi kadang-
kadang kakaknya
yang jadi sasaran,
jadi dia yang jadi
Superman, dia
yang jadi
(menirukan gaya
pahlawan super)
seperti itu.
59. Itu pengaruh juga
kayaknya itu.
Salah, salah
memilih film.
I3 mengatakan
bahwa film
mempengaruhi
perulaku Y dan hal
ini adalah suatu
kesalahan.
Ibu merasa
bersalah atas
pilihan film yang
disajikan pada
anaknya
I: Merasa bersalah
60. Terus, sekarang ini
dia imajinasinya
udah mulai, dia
sudah mulai
mengarang cerita
sendiri, sudah
mulai.
Terus kayak
I3 bercerita bahwa
Y senang
menirukan tokoh
pahlawan super
yang Y tonton.
I3 mengkau tidak
memahami apa
yang dilakukan Y,
Anak
menunjukkan
perkembangan
emosi, yakni
imitasi perilaku
tokoh yang
dilihatnya.
.
A: Perkembangan
imajinasi
A: Imitasi
I: Membutuhkan
dukungan suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
kemarin kan dia,
saya nggak ngerti,
suami saya yang
ngasih tau tuh, di
tangannya si itu
Captain America
atau Iron Man?
Iron Man itu ada
putih-putih ya?
Itu bedak dia taruh
di
sini,
saya tuh nggak
ngerti.
“Fyuh.. fyuh..”
(memperagakan Y
memainkan
bedaknya sebagai
cahaya tangan Iron
Man)
suami I3 yang
memberi tahunya.
61. Jadi saya, “Itu Y
buat apa?”
Terus suamiku
yang bilang, “Itu
lho, Iron Man itu
tangannya ada
putih-putihnya.
Nah dia itu,
maksudnya itu.”
Jadi bedak itu
habis sama dia
belakangan gara-
gara film Iron Man
itu, Captain
America.
I3 mengatakan
bahwa dirinya
tidak mengerti
dengan perilaku Y
menirukan tokoh
pahlawan super,
sedangkan
suaminya mengerti
Ibu menilai dirinya
kurang memahami
imajinasi anak,
namun suami
membantunya
untuk memahami.
I: Membutuhkan
dukungan suami
62. Tapi ini bicara
udah jelas ya,
tante? Udah.
Terus udah dia
kalau dikasih tau
gitu paham ya? E.. iya.
I3 mengiyakan
bahwa Y sudah
mampu berbicara
dengan jelas dan
mampu memahami
instruksi.
Kompetensi dasar
anak dalam
mengkomunikasik
an strategi-strategi
dalam menangani
tantrum sudah
tercapai.
A: Perkembangan
bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
Tabel Analisis Isi Informan 3 (Bagian 2)
Keterangan:
I3 = Informan 3
Y = Inisial anak I3 dengan indikasi temper tantrum
I = Ibu, yakni I3
A= Anak, yakni Y
No Kode Sub-
Kategori Kategori Tema
8 I: Perasaan senang
Dinamika emosi
ibu dalam
pengalaman
pengasuhan
Dinamika dalam
pengasuhan
Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
27 I: Bermain
bersama dengan
anak
Gambaran relasi
ibu dan anak
29
19
I: Perhatian pada
perbedaan sifat
anak
20 I: Perhatian pada
peran gender anak 55
56
56
I: Kehilangan
dukungan dari
anak
59 I: Merasa bersalah
21 A: Banyak
bergerak
Gambaran sifat
anak
Pandangan
terhadap sosok
anak
22 A: Aktif
24 A: Cengeng
25
26 I: Dinamika emosi
anak
28 A: Imitasi
Gambaran
perkembangan
anak
60
60 A: Perkembangan
imajinasi
62 A: Perkembangan
bahasa
5
A: Perilaku
melekat Perilaku anak
yang menjadi
indikasi tantrum
Perilaku tantrum
anak Tantrum
6
7
12
33
46
13 A: Rewel
13 A: Menangis
kencang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
13 A: Tengkurap di
tempat tidur
13 A: Tidak ingin
disentuh
53 A: Agresi diri
sendiri
34 A: Durasi lama
Kualitas tantrum Dinamika tantrum
51 A: Bertahap
51 A: Semakin parah
15 I: Segera harus
ditangani
47 A: Bolak-balik
ditangani
32 A: Gagal
meregulasi
keinginan
Faktor emosi
pemicu tantrum
Faktor pemicu
tantrum
33
3
A: Minim
kehadiran orang
dewasa
Faktor sosial
pemicu tantrum
5 A: Kehilangan
sosok dewasa lain 38
7 I: Tidak memberi
kelekatan
5 A: Ibu memiliki
banyak waktu
luang
7
38
11
A: Interupsi atas
perkembangan
otonomi
31 A: Interupsi atas
keinginan 32
33
52 A: Film
Faktor teknologi
pemicu tantrum 54
4
A: Kehadiran
orang lain
(reunion)
Faktor sosial
pereda tantrum
Faktor pereda
tantrum anak
2 I: Waktu ekstra
Dampak tantrum
terhadap aktivitas
ibu Dampak tantrum
terhadap ibu Pengalaman ibu
dalam pengasuhan
anak tantrum
30
I: Merasa
pekerjaan
terganggu
39 I: Aktivitas
terganggu 40
36 I: Keadaan emosi
tak menentu Dampak tantrum
terhadap emosi
ibu 40 I: Kesal
14 I: Membutuhkan
dukungan suami Dukungan sosial
Kebutuhan ibu
dalam pengasuhan
anak tantrum
41
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
61
9 I: Rewel adalah
wajar Memandang wajar
Sikap ibu
terhadap tantrum
anak 23 I: Aktif adalah
wajar
36 I: Mengeluh
Respon negatif
ibu terhadap
tantrum anak
Respon ibu
terhadap tantrum
anak
37
48 I: Tidak sabar
49 I: Program tv Sumber informasi
ibu
Strategi ibu
menangani
tantrum
35 I: Menjaga mood
anak
Tindak
pencegaham
14 I: Mengikuti
kemauan anak
Memenuhi
keinginan anak
42
I: Menawarkan
kenyamanan pada
anak Menawarkan
kenyamanan
43
I: Menawarkan
kenyamanan pada
anak
14 I: Mengajak
berbicara
Melakukan
diskusi
37 I: Memberi
nasihat
42 I: Membuat
perjanjian
43 I: Membuat
perjanjian
14 I: Mengajak
menonton
Mengalihkan
perhatian
14 I: Mengajak
bermain
42 I: Mengalihkan
perhatian
43 I: Mengalihkan
perhatian
42 I: Menghiraukan
tantrum
Time-out 43
I: Menghiraukan
tantrum
43 I: Time-out
16 I: Konsistensi
penerapan strategi Prinsip/ Nilai-nilai
pengasuhan
46
47
37 I: Menghindari
hukuman fisik 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI