Transcript
Page 1: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

1

PELAYANAN PUBLIK DI ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA

Indra Mudrawan

Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

E-mail: nda_me@yahoo,com

PENDAHULUAN

Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh

pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam

pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu

adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan

beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya

kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah

dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan

lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana

dikemukakan Hoessein, (2001):

Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.

Page 2: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Dengan otonomi daerah diharapkan, pemberian pelayanan

kepada masyarakat akan dapat terwujud secara efektif dan efisien.

Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih

diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang

berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya

yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli),

merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di

Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai

permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat.

Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam

pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan

sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki

“uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.

Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-

menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan

memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan

berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa,

perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks

pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan

tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara

keseluruhan.

Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi

pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih

besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi

tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan

Page 3: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

3

unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas,

responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan

masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi; seperti

pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial,

dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah

daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan

pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990)

mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah

secara herarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated,

wasteful, dan under performing.

Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma

pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar.

Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara

di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk

dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharusnya

melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan

desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari

bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang

mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun,

yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan

dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan

mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap

orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003).

Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya

pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.

Page 4: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola

penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi

pemerintah sebagai penyedia, menjadi pelayanan yang berorientasi

kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak

ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan

publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu

sendiri.

KONSEPSI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Isu Desentralisasi dan otonomi daerah adalah isu yang paling

aktual setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Daya tarik tersebut tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan

dari sentralisasi, tetapi lebih dititik beratkan pada kebijakan

pemerintah Orde Baru yang sangat sentralistik. Konsep

desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik

dan desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan

sebagai penyerahan kewenangan yang melahirkan daerah-daerah

otonom, sedangkan desentralisasi administratif merupakan

penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi program yang

melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain

pendelegasian sebagian dari wewenang untuk melaksanakan

program terhadap tingkat yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990, 8).

Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheema and

Rondinelli (1983) didorong oleh beberapa faktor, yaitu:

Page 5: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

5

(1) Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan

pengawasan sentral dalam pembangunan

(2) Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi

kepada kebutuhan manusia.

(3) Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak

mungkin lagi dikelola secara terpusat.

Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi

bahwa “negara yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab

secara cepat dan tepat semua kebutuhan berbagai kelompok

masyarakat dan daerah” Paradigma pemerintahan dewasa ini

berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu :

(1) Sentralisasi ke desentralisasi perencanaan pembangunan.

(2) Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (Big Goverment ke

Small Government)

(3) Peningkatan Tax ke penuntunan Tax

(4) Privatisasi pelayanan (service), dan

(5) Social capital ke individual Capital (Rasyid; 1997, 8)

Pandangan tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi

perubahan (globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan

dunia. Maka terhadap kekuatan tersebut bagi negara yang berbentuk

kesatuan maupun federal jawabannya adalah “Desentralisasi”. Setiap

makhluk hidup memerlukan otonomi, demikian juga kelompok

termasuk negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi otonomi

adalah: Suatu kesatuan sosial di namakan otonomi manakala

terdapat suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih

Page 6: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

untuk bertindak, atau tidak melakukan jika menyukai untuk

melakukannya (Susilo; 2000, 8).

Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan

utama desentralisasi, yaitu; (1) Bidang Ekonomi; dalam rangka

mengurangi: cost dan menjamin pelayanan publik lebih tepat

sasaran; (2) Bidang Politik; dalam upaya mengembangkan grassroots

democracy dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pusat

serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang

administrasi; dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan

keputusan menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya;

mengembangkan kebhinekaan dan budaya lokal (Jurnal Otonomi

Daerah; 2002, 2).

Sementara itu menyangkut otonomi, secara filosofis ideologis

dipandang sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan

tumbangnya partisipasi yang luas bagi masyarakat dan mendorong

agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus

tergantung kepada pemerintah pusat (Siti Zuhro; 1990, 18). Arti

pentingnya otonomi juga dikemukakan oleh Kenichi Ohmae bahwa

otonomi adalah kata kunci untuk memajukan perekonomian negara

untuk masa-masa kedepan. Dan batas negara akan ditembus oleh 4

(empat) faktor yaitu investment, individual consumers, Industri and

information. (Jurnal Otonomi Daerah; 1999, 18).

Page 7: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

7

KONSEPSI PELAYANAN PUBLIK

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa

“pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan

(mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian

service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that

provides something that the public needs, organized by the government

or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka

pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa

yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris

(public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti

dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public

dalam pengertian “umum” atau masyarakat dapat kita temukan

dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership

(milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations

(hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat),

public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan dalam pengertian

“negara” salah satunya adalah public authorities (otoritas negara),

public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan

negara) dan public sector (sektor negara) . Dalam hal ini, pelayanan

publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian

masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang

melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan

sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178)

memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang

Page 8: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan

tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang

mereka miliki.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

(Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan

pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya

pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam

Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai “a service

such as transport or health care that a government or an official

organization provides for people in general in a particular society”.

Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang

harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan

menyediakan layanan jasa dan atau barang publik

Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan

swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya,

yaitu:

a. keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan

mendapatkan kepercayaannya;

b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup

organisasi.

Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang

membedakannya dari pelayanan swasta adalah:

Page 9: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

9

a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak

nyata. Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi

keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain

sebagainya.

b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan

membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka

regional, atau bahkan nasional. Contohnya dalam hal pelayanan

transportasi, pelayanan bis kota akan bergabung dengan

pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk

membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.

c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan

organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia

pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih

dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan

antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas

pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.

d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring

dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu

pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula

kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian

akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan

pelayanan.

e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan

tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya

pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki

Page 10: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan

langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan

saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.

f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan

kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus

persoalannya masing-masing.

Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata

(tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa

jasa. Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang

identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar,

misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai

kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai.

Walaupun demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk

dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan

barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat

teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui

diikuti dengan pelayanan jasanya.

Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah

karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan

perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.

Page 11: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

11

Tabel. 1 Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa

Barang Jasa

Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud

Satu jenis barang dapat berlaku untuk banyak orang (homogen)

Satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sesuai /sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen)

Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses konsumsi

Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung ber-samaan pada saat dikonsumsi

Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan

Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan

Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli.

Pembeli pada umumnya tidak terlibat dalam proses produksi

Pembeli terlibat dalam proses produksi

Dapat disimpan sebagai persediaan

Tidak dapat disimpan

Dapat terjadi perpindahan kepemilikan

Tidak ada perpindahan kepemilikan

Sumber: Gronroos (1990)

Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang

dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4

(empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption

dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari

exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya

dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan

Page 12: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan

penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan

apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan

dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan

barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau

kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun

kuantitasnya.

Tabel. 2 Pengelompokan Barang dan Jasa

berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption

Exclusion Consumption

Konsumsi Individual

Konsumsi Kolektif

Mudah mencegah orang lain untuk ikut menikmati

Barang privat

Barang semi publik

Sulit mencegah orang lain untuk ikut menikmati

Barang semi privat

Barang publik

Sumber : Savas, (1987)

Barang Privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara

individual dan tidak dipeoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan

pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan

penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian.

Contoh : makanan, pakaian.

Barang semi privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi

secara individual, namun sulit mencegah siapapun untuk

memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa

Page 13: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

13

disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang

semiprivat ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik

tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan.

Barang semi publik. Barang dan jasa jenis ini umumnya

digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus

membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat

dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang

tersebut. Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen

potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang

tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa

disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll, Jembatan

Timbang.

Barang publik. Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara

bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk

menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna) pada umumnya

tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk

memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman

Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan

jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh

swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan

baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan

jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.

Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi

pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:

a. Pendidikan.

Page 14: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

b. Kesehatan.

c. Keagamaan.

d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.

e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.

f. Sosial.

g. Perumahan.

h. Pemakaman/krematorium.

i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.

j. Air minum.

k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.

Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan

pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan administratif

2. Pelayanan barang

3. Pelayanan jasa

Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang

disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan

dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan

tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai

berikut:

1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau

mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah.

2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian

Page 15: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

15

tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara

output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas.

3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya

seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak

mengenal istilah bangkrut.

4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan

dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan

pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya,

organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-

nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum

masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan

barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul

dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor

swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang

privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah

lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu

diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke

swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana

yang murni dikerjakan oleh pemerintah

PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN

PROBLEMATIKANYA

Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik

menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana

paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya

Page 16: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada

pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven

government) dengan ciri-ciri:

1. lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai

kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif

bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat;

2. lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat

sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi

terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun

bersama;

3. menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan

publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan

yang berkualitas;

4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang

berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang

digunakan;

5. lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat;

6. memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap

pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya;

7. lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan

pelayanan;

8. lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan

dan ;

Page 17: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

17

9. menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun

dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara

lain:

a. memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya;

b. memiliki wide stakeholders;

c. memiliki tujuan sosial;

d. dituntut untuk akuntabel kepada publik;

e. memiliki complex and debated performance indicators, serta ;

f. seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003)

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya

agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi,

murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah

juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang

Pelayanan Publik yang isinya akan memuat standar pelayanan

minimum. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh

pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang

dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik

yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat

keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan

kepentingan masyarakat penggunanya.

Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat

direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan

pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti

tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka,

mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya.

Page 18: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang

bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada

kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu

bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan

dilayani.

Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002,

secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik

mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah;

namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas,

kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang

diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan

dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan

publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad,

2003):

1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan

unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front

line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon

terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan

masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya

disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak

sampai kepada masyarakat.

3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak

jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi

mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

Page 19: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

19

4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu

dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering

terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara

satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang

terkait.

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada

umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari

berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan

yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah

pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk

dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak

kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan

penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan

masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit.

Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang

lama untuk diselesaikan.

6. Kurang mau mendengar keluhan/saran /aspirasi masyarakat.

Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan

untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat.

Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada

perbaikan dari waktu ke waktu.

7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya

dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan

pelayanan yang diberikan.

Page 20: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak

pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka

pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki

yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan

tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi

sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih

sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan

pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003).

Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan

oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi,

2004). Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah

kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur

output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh

pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom

line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak

mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar

yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities,

organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa

internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah

pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan

umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

Sementara karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian

besar bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan

persaingan pasar menjadikan lemahnya perhatian pengelola

pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih

Page 21: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

21

buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan

memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung

mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut,

citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat

sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada

pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang

harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini.

Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan

pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus

diwujudkan.

Selain itu, terdapat lima gap yang perlu diperhatikan dalam

setiap pelayanan publik, (Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan

antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang

diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap

harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/

karyawannya, (3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan

dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan

kepada konsumen, (4) tindakan dari pemberi layanan dengan jasa

yang dipersepsikan oleh konsumen, dan (5) Kesenjangan antara

pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan

pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).

Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada

model berikut ini.

Page 22: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

KESENJANGAN PELAYANAN

Page 23: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

23

Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan

persepsi manajemen (Management Perception of Customer

Marketing Research

Orientation

Upward Communication

Levels of Management

Management Commitment to

Service Quality

Goal Setting

Task Standardization

Perception of Feasibility

Teamwork

Employee-Job Fit

Technology-Job Fit

Perceived Control

Role Ambiguity

Horizontal Communication

Propensity to Overpromise

GAP 1

GAP 2

GAP 3

GAP 5

(Service Quality)

Tangibles

Reliability

Responsiveness

Assurance

Empathy

GAP 4

Supervisory Control

System

Role Conflict

Sumber: Delivering Quality Service, Parasuraman, et. al., (1985)

Page 24: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Expectation). Hal ini terjadi disebabkan karena kurang

dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang

dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang

terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan.

Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara

pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan (customer

contact personel), padahal dari merekalah paling banyak

diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan

pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya

jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah

satu faktor munculnya kesenjangan ini.

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management

Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas

pelayanan (Service Quality Specification). Kesenjangan ini terjadi

ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan kualitas

pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap

kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula

dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan,

dan tidak adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan

pelayanan.

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality

Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).

Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri

pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan

pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan.

Page 25: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

25

Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam

mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta

kurang kerjasama internal.

4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan

(External Communication to Customers) dengan proses

penyampaian pelayanan (Service Delivery). Penyebab kesenjangan

ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam organisasi.

5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan

(Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh

pelanggan (Percieved service). Kesenjangan kelima ini

menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat kepuasan

masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda

dengan kesenjangan sebelum-nya, kesenjangan kelima ini

menitikberatkan pada sisi pelanggan

Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di

negara kita ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik

antara lain dengan memperhatikan gap-gap/kesenjangan-

kesenjangan tersebut di atas sehingga permasalahan-permasalahan

tersebut di atas dapat diminimalisir; sehingga ke depan, kinerja

pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat

yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima.

Dalam hal untuk menggali pandangan masyarakat terhadap

mutu pelayanan yang diberikan oleh aparatur yang didasarkan pada

beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran

meiliputi beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility, yaitu

Page 26: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat

mata, dengan indikator-indikatornya yang meliputi sarana parkir,

ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media

informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. Kedua adalah

reliability, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan

dan kehandalan dalam menyediakan layanan yang terpercaya,

meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu

pelayanan keluhan.

Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan kehandalan yang

dipunyai, untuk selanjutnya indikator kualitas pelayananpun harus

ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu kualitas pelayanan yang

dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan menyediakan

pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan

konsumen. Keempat adalah assurance, yaitu kualitas pelayanan yang

dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan

masyarakat.

Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya kejelasan

mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan.

Kelima adalah empathy, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan

berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat

(konsumen). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya

sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan

khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung.

Namun demikian, berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak

dapat terlaksana dengan sempurna apabila prasyarat utama

Page 27: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

27

diabaikan. Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti di

bawah ini yaitu (Parasurarman, 1985):

a. Proses dan prosedur. Proses dan prosedur pelayanan dapat

meliputi prosedur pelayanan langsung kepada pelanggan, dan

proses pengolahan pelayanan yang merupakan proses internal

dalam menghasilkan pelayanan. Dalam proses dan prosedur ini

meliputi seluruh aktifitas kegiatan pelayanan secara berurutan

dimulai dengan aktifitas yang dilakukan ketika pertama kali

pelanggan datang, dan bahkan setelah pelayanan itu selesai (after

service.)

b. Persyaratan pelayanan. Persyaratan pelayanan merupakan hal-

hal yang harus dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan

pelayanan. Persyaratan pelayanan dapat berupa dokumen atau

surat-surat. Persyaratan pelayanan perlu diidentifikasi dari tiap

aktifitas pelayanan sehingga untuk keseluruhan persyaratan yang

harus dipenuhi oleh pelanggan termasuk biaya total yang harus

dibayar oleh pelanggan.

c. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sarana pelayanan

merupakan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam rangka

memberikan pelayanan. Sarana yang digunakan dapat merupakan

sarana yang utama dan sarana pendukung. Sarana utama

merupakan sarana yang disediakan dalam rangka proses

pelayanan yang meliputi antara lain berbagi fomulir, fasilitas

pengolahan data. Sedangkan sarana pendukung adalah fasilitas

yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan

Page 28: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas

ruang tunggu yang nyaman, pemyediaan layanan antaran dan

lain-lain. Sedangkan prasarana merupakan berbagai fasilitas yang

mendukung sarana pelayanan anatara lain berupa jalan menuju

kantor pelayanan.

d. Waktu dan Biaya Pelayanan. Dengan ditentukannya waktu dan

biaya yang terpakai untuk setiap aktifitas yang dilakukan pada

proses pengolahan, maka akan dapat ditentukan waktu dan biaya

yang akan digunakan untuk melayani satu jenis pelayanan sejak

awal pelanggan menemui petugas pelayanan sampai pelayanan

selesai dilakukan.

e. Pengaduan Keluhan. Pengaduan keluhan merupakan mekanisme

yang dapat ditempuh oleh pelanggan untuk menyatakan

ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diterima.Pengaduan

keluhan merupakan hal yang sangat penting mengingkat

perbaikan kualitas pelayanan terus menerus tidak lepas dari

masukan pelanggan yang biasanya dalam bentuk keluhan.

PENUTUP

Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh

perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula

semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan

keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan

antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong,

bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit",

Page 29: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

29

"sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang,

bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah

paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan

pengabdi masyarakat.

Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di

daerah-daerah seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya

komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan

dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya komitmen kepemimpinan

khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh staf atau tim

internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala

daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi

terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerahnya.

Tim internal pemerintah daerah yang bersangkutan berposisi

sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya. Tim tersebut dapat

terdiri dari para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang memiliki visi

dan misi serta strategis yang sama dengan Kepala Daerah yang

bersangkutan. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya

keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal) perlu dilibatkan

guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna

bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik.

Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan

demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan

yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat

misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus

dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi memerlukan

Page 30: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT

dan tampilan fisik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi

citra kuatnya komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan

yang berkualitas kepada masyarakatnya.

Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi,

mengevaluasi, dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana

hubungan antara warga dengan pemberi pelayanan terbina secara

harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur,

transparan, serta tidak diskriminatif.

DAFTAR PUSTAKA

Atep, Adya Barata, 2003, Dasar-Dasar Pelayanan Prima, Gramedia, Jakarta.

Berry, Leonard, L., A, Parasuraman., 1991, Marketing Services : Competing Through Quality, 1th ed. New York; The Free Press.

Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.

Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Flyn, N, 1990, Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, London.

Hanif, Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta.

Hoessein, Benyamin, 2001, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara : Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah

Page 31: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

31

Dalam Kerangka Good Governance, Lembaga Administrasi Negara.

Leach S., Stewart, J., Walsh,K. 1994, The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd, London.

Lovelock., Christopher., 1994, Product Plust, Mc Graw-Hill, New York

Mohammad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, 23 Oktober 2003, Jakarta.

Mustopadidjaja, AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana pada Program Magister Manajemen Pembanggunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Universitas Mulawarman, 15 Januari 2002, Samarinda.

Osborne, David & Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector Reading, Massachussetss : A William Patrick Book.

Parasuraman, A., Valerie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A conceptual Model of Service Quality and It’s Implication for Future Research, Journal Marketing.

Suprijadi, Anwar, 2004, Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur dalam Pelayanan Publik, disampaikan pada Peserta DiklatpimTingkatII Angkatan XIII Kelas A dan B,Jakarta.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraNo. 63/KeP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Page 32: Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah  dinamika dan problematika

Top Related