KONSEP SYURA DALAM PEMERINTAHAN ISLAM
PRAKTEK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Sucilawati
NIM: 104033201146
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Praktik Syura Pada Masa Khalifah Umar bin
Khattab telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program
Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 11 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hendro Prasetyo, MA Joharatul Jamilah, M.Si. NIP: 19640719 199003 1 001 NIP: 19680816 199703 2 002
Anggota,
Dr. Nawiruddin, MA. Idris Thaha, M.Si.
NIP: 19720105 2001121 003 NIP: 19660805 200112 1 001
Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
NIP: 19540605 200112 1 001
Konsep Syura dalam Islam
Praktek Syura pada Masa Umar bin Khattab
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Sucilawati
NIM: 104033201146
Pembimbing
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19660805 200112 1 001
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Sucilawati
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT,
yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Konsep
Syura Dalam Pemerintahan Islam: Praktek Syura Pada Masa Umar bin
Khattab” Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly. MA selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu diantara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan
serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini.
5. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam,
penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.
6. Teruntuk Ayah dan Ibuku, H. M Said dan Hj. Asnimah. Doa dan harapanmu
telah memberikan arti tersendiri bagi penulis dalam memberikan yang terbaik
selama dalam kehidupan ini. Kakak Penulis, Ade Herman, dan Adik penulis
Hafsah, juga patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan
pengertiannya. Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini.
7. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Praga, Gusti ‘ajo’ Ramli, Yudi, Ikbal, Jabar,
Husni, Irwansyah, Rifki, Basit, Iin, Zubeir, Yunus dan kawan-kawan PPI
angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas
diskusi, sukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama
berlangsungnya penulisan karya ini.
8. Untuk Abangku yang selalu memotivasi penulis serta pengertiannya
sepanjang penyusunan karya ini. Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang
kamu inginkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik
serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga Allah menerima
usaha ini sebagai ‘amal jariyah dan mengampuni kesalahan dalam karya ini, untuk itu
penulis sendiri yang bertanggung jawab.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... .i
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 7
C. Metode Penelitian....................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
E. Sistematika Penulisan................................................................. 9
BAB II PROFIL UMAR BIN KHATHAB ............................................... 10
A. Riwayat Hidup Umar Bin Khathab ............................................. 10
B. Kepribadian Umar Bin Khathab ................................................. 15
C. Perjuangan Umar Bin Khathab Bersama Rasulullah SAW.......... 16
D. Pengangkatan Umar bin Khathab Sebagai Khalifah .................... 20
BAB III SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN
DALAM ISLAM .......................................................................... 25
A. ..............................................................................................Definisi
Syura.......................................................................................... 25
B. ..............................................................................................Landasan
Syura Dalam Al-qur’an Dan Sunnah .......................................... 27
C. ..............................................................................................Karakteri
stik Syura Dalam Isalm .............................................................. 32
D. ..............................................................................................Prinsip-
prinsip Syura Dalam Islam ......................................................... 34
E................................................................................................Ijmak
Sebagai Substansi Syura............................................................. 39
F................................................................................................Komitme
n Syura Terhadap Syari’at .......................................................... 41
G. ..............................................................................................Syura
dan Demokrasi ........................................................................... 42
BAB IV PRAKTEK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATHAB ... 45
A. ..............................................................................................Pemiliha
n Umar bin Khathab Sebagai Khalifah........................................ 45
B. ..............................................................................................Impleme
ntasi Nilai-nilai Syura Pada Masa Pemerintahan Umar Bin Khathab
..................................................................................................47
1...........................................................................................Persamaa
n Dan Kebebasan.................................................................. 48
2...........................................................................................Penegaka
n Keadilan / Hukum.............................................................. 51
3...........................................................................................Prioritas
Musyawarah Dalam Hal-hal Yang Menyangkut Orang Banyak 55
4. Pembentukan Team Suksesi Pemilihan Ustman Bin Affan… 57
BAB V PENUTUP ................................................................................... 62
A. ..............................................................................................Kesimpul
an ............................................................................................... 62
B. ..............................................................................................Saran
..................................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam
keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Oleh karena itu dalam
pembinaan dan pengembangan selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an,
sebagai wahyu yang terakhir kepada manusia, yang mengaplikasikannya untuk
sebagian besar dicontohkan dan dioprasionalkan oleh sunnah Rasulullah.1
Konsep syura dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata musyawarah.
Pengertian musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang meminta pendapat kepada
orang lain tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam
menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk
menerima saran yang diajukan. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah
mengenal musyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Bahkan musyawarah telah dijadikan alat dalam hal memilih kepala suku mereka.
Lembaga ini disebut “Dewan (Nadi)”2
Setelah Islam datang, Al-Qur’an menjustifikasikannya dengan istilah “Syura”
dan menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial.
Kemudian risalah Muhammad SAW mengembangkan institusi ini menjadi konsep
baru, yang mana sebelumnya hanya sebuah institusi komunal kesukuan dan
1 Amiur Nuruddin, “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam
Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428): h. 22 2 Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta:
Kalam Mulia, 1996), h. 16-17.
berhubungan dengan darah (kekeluargaan) menjadi sifat sosial yang berhubungan
dengan sifat keimanan.3
Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya
untuk memegang prinsip syura (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan.
Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk
mengikuti prinsip tersebut, syura juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan
Islam setelah keadilan.4
Syura tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saja. Melainkan
juga dilaksanakan pada tatanan kehidupan sehari-hari. Misalnya musyawarah yang
diterapkan dalam urusan keluaga, pekerjaan, sosial, ekonomi dan juga dalam
bermasyarakat.
Secara umum syura dapat diartikan sebagai segala yang mencakup bentuk
pemberian advice (nasihat). Oleh karena itu, gagasan saling menasehati atau
konsultasi melahirkan terbentuknya syura atau lembaga konsultatif di awal sejarah
Islam, hak pemberian suara, pemilihan perwakilan-perwakilan, pendirian parlemen,
dan pemilihan pemimpin-pemimpin republik Islam di zaman modern ini.5 Dan juga
pada prinsipnya musyawarah itu adalah merupakan sisi sosial dari doktrin tauhid. Ia
juga merupakan sarana untuk menciptakan suatu harmonisasi dalam kehidupan
sehari-hari. Dan musyawarah juga merupakan suatu bukti nyata penghormatan
terhadap akal manusia; yang bisa kita lihat suatu bukti pemuliaan Allah kepada
manusia, karena itu musyawarah dapat memberikan suatu kemaslahatan; dan dengan
musyawarah pula dapat menghasilkan suatu solusi. Dan dengan musyawarah juga
3 Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi” dalam “Pengantar” buku Artani Hasbi,
Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.ix-x. 4 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.272. 5 Masykur Hakim, Pemikiran Politik Islam Modern (Jakarta: Pelita Insani, 2002), h. 108.
semua orang akan mempunyai kesempatan yang sama tanpa membedakan, semua
orang bebas mengemukakan pendapat. Apalagi dalam hal menentukan pemimpin
umat, musyawarah mempunyai peran penting dalam hal itu.
Akan tetapi sepeninggal Rasulullah tidak terdapat petunjuk secara eksplisit
tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat, yang ada hanya petunjuk yang
sifatnya umum dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu kebijakan dengan
cara musyawarah. Dengan demikian, musyawarah menjadi suatu hal yang perlu
dalam menentukan seorang pemimpin umat dan kepala negara. Sehingga
kepemimpinan empat al-Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah.
Sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab didasarkan pada
pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dasarnya adalah “Syura”
(musyawarah), yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Asy Syuura ayat 38:
��������� � ���������� ��������� � ������ � !"# !$%&�� ��'(��)�� � *+, -� ��.�/1�� �2☺���
��456/)��7, �8 9:�;/�< “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka".
Dan pada firman-NYA yang ditujukan kepada Nabi dalam surah Al-Imran ayat 159:
��☺=>�? @A�☺BC, DE�F� G�� HI/�� ��45�� � � ��� HIJ-K �L9�? ⌧NO=$⌧P Q$?$�:)�� � ,R⌧;STU BE�� �@��� �C � 4B����?
���T�� ���;)������� ���WCX ��'(�,��⌧�� Y=� Z�[\]� � �^=_�?
HI)�D`�� �a�K ���? Y!�� G�� # c8=: ��� 1$��-d ��e=�fK ��4☺)��
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya".
Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Quran
yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syura, beberapa
hadis telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syura, karena dengan syura
maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk
kemaslahatan individu maupun kelompok serta negara akan dengan mudah
didapatkan.6
Kalau kita melihat ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syura,
maka itulah yang melatar belakangi para intelektual muslim untuk tidak pernah
melepaskan tema tersebut ke dalam karya-karyanya. Khususnya yang berkenaan
dengan kepemimpinam dan pemerintahan.
Beberapa pemikir tersebut diantaranya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Fazlur
Rahman. Ketiga pemikir tersebut secara serentak mengatakan bahwa dalam
pemerintahan Islam, konsep syura harus ditegakkan. Sebab, apabila ada suatu
permasalahan apalagi dalam sebuah pemerintahan harus ada musyawarah untuk
mencapai sebuah kemufakatan bersama.
Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang
khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan
pemikir yang memberikan pendapat kepada khalifah tidak pula berhak memaksakan
pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di
tangan khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan
kepada umat yang telah mengangkatnya.7
6Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press,2000), h.
54. 7 Haekal, Umar bin Khattab, h, 646.
Dalam pengambilan keputusan para khalifah itu terbiasa melakukannya
melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior atau Ahl al-syura, yang
kemudian oleh para ulama disebut sebagai Ahl Hall Wa Al’-Aqd, kumpulan para ahli
yang kompeten dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi.8
Syura adalah hak seluruh kaum muslimin terhadap khalifah. Karena itu,
mereka memiliki hak terhadap khalifah agar dalam banyak persoalan khalifah
merujuk kepada mereka untuk meminta pendapatnya.9 Bahkan rakyat biasapun dapat
menyampaikan pendapat-pendapatnya dihadapan para khalifah dengan bebas,
termasuk mengkoreksi pendapat khalifah yang salah. Dan kalaupun seorang khalifah
sampai melampaui hak dan melanggar ketentuan Allah dan Rasulnya, maka rakyat
atau umat lah yang akan meluruskannya.
Seorang tokoh seperti Umar tidak hanya pemberani, melainkan dia juga suka
bermusyawarah. Dan dia juga dekat dengan Rasulullah SAW. Kedekatannya tidak
hanya dengan Rasulullah saja, melainkan dengan seluruh masyarakat. Dan Rasulullah
pun mempercayai Umar untuk menjadi penasehat utamanya.
Sebagai seorang yang suka bermusyawarah, Umar bin Khattab pada akhirnya
terpilih menjadi khalifah melalui usulan dari Abu Bakar dan sahabat-sahabat senior.
Seperti diketahui adanya kekhawatiran akan terjadinya perpecahan pasca Rasulullah
SAW wafat terulang kembali. Khalifah Abu Bakar As-siddiq bermusyawarah dengan
para sahabat. Musyawarah itu sendiri dilakukan melalui forum tertutup yang dihadiri
8 Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, h. x.
6 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-
Banna. Penerjemah Wahid Ahmadi (Solo: Era Intermedia, 2001), h 262.
oleh Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan dari kaum muhajirin, serta Asid
bin Khudair dari kaum anshar.10
Mengenai anggota dewan syura yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum Muhajirin
dan kaum Quraisy dan Anshar adalah orang yang mempunyai hak yang sama untuk
dipilih menjadi khalifah. Pada masa Umar bin Khattab anggota dewan syura terdiri
dari Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin
Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Ada satu lagi anggota yaitu Abdullah bin Umar
memiliki hak memilih tetapi tidak memiliki hak dipilih, sebagaimana yang menjadi
keputusan Umar bin Khattab (ayah Abdullah). Dari tujuh orang tersebut
Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura melakukan dan menunjuk Ustman
bin Affan sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai’at.11
Praktik syura yang diterapkan Umar bin Khattab pada masa pemerintahan saat
itu menjadi sebuah panutan bagi umat di masa berikutnya. Majelis Syura yang
dibentuk Umar menjadi sebuah konsep yang tidak hanya diterapkan dalam sistem
pemerintahan saat itu, melainkan juga dipraktekkan dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan dan sistem pemerintahan di negara Islam sampai saat ini.
Praktik syura pada masa pemerintahan kekhilafahan Umar bin Khattab itu
menjadi cikal bakal pengimplementasian secara institusional konsep syura dalam
sejarah politik umat Islam di zaman modern ini. Untuk itu, melacak praktek syura
pada masa pemerintahan Umar menjadi suatu kajian yang tak kalah menarik untuk
dibahas di tengah dinamika politik yang ada.
10
Rais, Teori Politik Islam, h.133. 11
Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press,1990), h.26.
Berdasarkan dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat
skiripsi dengan judul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN
KHATTAB.”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Sebagaimana pemaparan di atas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada
praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab. Kalaupun sudah ada beberapa
penulis yang menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya, namun pada
kajian ini penulis hanya lebih menitikberatkan kepada praktek syura pada masa Umar
bin Khattab. Karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar dalam
sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab.
Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pengangkatan Umar sebagai khalifah?
2. Seperti apa implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab?
C. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan
metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan menelaah buku-
buku, majalah-majalah, beberapa artikel dan surat kabar, serta internet yang penulis
anggap relevan dengan pokok permasalahan.
Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan
mendeskripsikan data-data yang ada (baik data primer maupun data sekunder),
kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan Nampak jelas rincian
jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
Adapun metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
KaryaI Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang berjudul “PRAKTIK SYURA PADA MASA
KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB” adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana cara pengangkatan Umar sebagai khalifah
2. Mengetahui implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab
3. Mengetahui proses pembentukan tim suksesi pemilihan Ustman bin Affan
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami dari isi skripsi ini, maka penulis membagi
isi skripsi ini menjadi enam bab, tiap bab yang didalamnya terdiri dari beberapa sub
bab. Adapun sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, serta
sistematika penulisan, sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami
isinya secara keseluruhan.
Bab Kedua memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Umar bin Khathab,
dari perjuangannya bersama Rasulullah, serta tindak tanduknya dalam pemerintahan.
Bab Ketiga berisi mengenai bahasan umum tentang syura sebagai sistem
pemerintahan dalam Islam.
Bab Keempat menjelaskan mengenai Praktik Syura, dan implementasi nilai-
nilai syura pada masa Umar bin Khathab, serta pembentukan tim suksesi pemilihan
Utsman bin Affan.
Bab kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan
memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai praktik syura pada masa
khalifah Umar bin Khattab, untuk melengkapi pembahasan dalam sripsi ini.
BAB II
PROFIL UMAR BIN KHATTAB
A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab
Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin
Abdul Uzza bin Riba’ah Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin Ka’ab.
Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail Al-Mahzumi Al-
Quraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah bin
Umar bin Makzum. Bani Makzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu
dari bani Umayyah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan Quraisy
dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi dari orang-
orang Arab.12
Dilihat dari keturunan Umar bin Khattab. Ia merupakan orang yang
terlahir dari keluarga yang terpandang dari suku Quraisy. Sehingga hal ini menjadi
dasar dalam kepemimpinannya sebagai khalifah kedua.
Umar dilahirkan di kota Makkah kota kosmopolitan di semenanjung Arab,
dan ia lahir lebih muda dari Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur,
fasih dan adil, Umar dikenal sebagai seorang yang pemberani dan pribadinya yang
dikenal keras sehingga ia digelari dengan “singa padang pasir”.13
Umar bin Khattab
selalu dipercaya menjadi komandan pasukan perang, setiap kali suku Quraisy
mengumumkan dan melakukan peperangan terhadap suku-suku Arab lainnya.
Sebagai kesatria perang, khattab (ayah Umar) mengajari kepada anaknya berbagai
macam tradisi kelelakian khas semenanjung Arab, mulai dari memanah,
12
Hamdani Anwar, “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed.,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.38 13
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika
press, 2003), h.67
menggembala ternak, berburu, menunggang kuda dan hal-hal yang bisa menunjang
masa depan mereka sesuai dengan tradisi bangsa Arab.
Pada masa kecilnya Umar ikut membantu ayahnya memelihara hewan ternak,
dan ikut berdagang hingga Syiria. Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi
yang sangat terpandang dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari
lingkungan keluarga kaya raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang
sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan.14
Sehingga Umar sudah terbiasa
sejak kecil bekerja keras seperti lazimnya orang-orang Arab dan ia didukung oleh
ilmu pengetahuan dalam lingkungan keluarga Umar bin Khattab.
Pada waktu Umar masih muda ia sangat pandai menulis dan membaca syair,
disamping itu ia juga banyak menghafal syair-syair Arab terkenal. Riwayat
termasyhur menyatakan bahwa Umar di lahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran
Rasulullah, atau sekitar tahun 586 M, akan tetapi tidak banyak yang tahu kapan
pastinya Umar di lahirkan.
Ketika Umar beranjak dewasa, Umar mulai menekuni perniagaan. Selain
mendapat pengalaman berniaga, Umar juga mendapatkan pengalaman yang luar
biasa. Umar sering pergi berdagang keluar semenanjung Arab, sehingga wawasan dan
kecakapan Umar semakin terbuka luas, Umar juga mampu menguasai beberapa
bahasa. Umar juga sangat dihormati dan disegani dikalangan orang Arab. Umar
diangkat oleh suku Quraisy sebagai juru diplomasi, utusan khusus, duta besar mereka,
ketika Bani Quraisy berseteru dengan suku-suku Arab lainnya.
Peristiwa Umar bin Khattab masuk Islam terjadi pada suatu hari dibulan
dzulhijjah tahun ke enam kenabian, Umar bin Khattab tercatat sebagai orang yang ke
14
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika
Press, 2003), h.67
empat puluh memeluk Islam. Pada waktu itu umat Islam masih sangat sedikit
sehingga dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mereka belum berani
menampakkan keislamannya. Umar adalah orang pertama yang berani berdakwah dan
mengumumkan keislamannya secara terang-terangan.
Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan
istrinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keIslaman Umar membuka jalan bagi
tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak
yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam bertambah
dengan pesat.15
Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah seorang tokoh Arab Quraisy yang
paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika disampaikan kepadanya bahwa
adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk islam, Umar mendadak menjadi
geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia segera pergi kerumah
adiknya. Sesampainya disana, ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang muslim
sedang mempelajari Al-Qur’an. Begitu melihat Umar, mereka semua lalu terdiam
membisu dan tidak berani bergerak sedikitpun. Dengan emosi yang meluap-luap
Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakan dari pukulan Umar. Dipuncak
kemarahanya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat
Al-Qur’an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Dengan
tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-Qur’an yang
tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surah Taha. Setelah
membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap
dihatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. Umar pun
15
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol.v (Jakarta: PT ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), h.125.
bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah Al-Arqam dimana Nabi SAW
sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.16
Al-Faruq (sang pembeda). Demikian julukan yang diberikan Rasulullah untuk
Umar, karena ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang batil, yang baik
dan yang buruk. Namun, sebagian kalangan mengartikan Al-faruq sebagai penjaga
Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa
membangkang dan melawan dakwah Rasulullah.17
Pada masa awal Umar memeluk
Islam Umar bertanya kepada Rasulullah kenapa kita sembunyi-sembunyi dalam
berdakwah, dan menyampaikan kepada Rasulullah sudah saatnya umat Islam
berdakwah secara terang-terangan. Kemudian Rasulullah keluar untuk berdakwah
dengan didampingi dua sosok yang ditakuti dan disegani suku Quraisy, yaitu Umar
dan Hamzah, sehingga ketika mereka memasuki ka’bah tidak seorangpun dari orang-
orang suku Quraisy yang berani mengganggu mereka, karena itulah Umar bin
Khattab dipanggil dengan sebutan Al-Faruq.
Umar juga di juluki Abu Hafsh (ayah Hafshah), perempuan mulia yang
kemudian menjadi istri Rasulullah. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah
merupakan bukti cinta kasih Rasul kepada seorang mukminah yang telah menjanda
karena di tinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah al-Sahami, yang berjihad di
jalan Allah dan gugur pada perang Badar.18 Ketika itu Umar sangat sedih. Karena di
usia yang masih muda putrinya sudah menjadi janda. Ketika itu Umar berniat
menikahkan puterinya (Hafshah) dengan seorang muslim yang saleh yang bertujuan
agar hatinya kembali tenang setelah ditinggalkan oleh suaminya yang telah gugur
pada perang Badar. Pada waktu itu, Umar pun pergi kerumah Abu Bakar dan
16
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v (Jakarta: PT. Ichtiar
baru Van Hoeve, 1994), h. 125 17
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 15 18
Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 16
meminta kesediannya untuk menikahi putrinya (Hafshah). Abu Bakar pun diam, dan
tidak menjawab sedikitpun. Setelah itu, Umar pun menemui Utsman bin Affan
dengan permintaan yang sama. Akan tetapi Utsman pun menolak permintaan Umar
tersebut. Karena ketika itu Utsman masih dalam suasana berkabung karena istrinya
yang bernama Ruqayah bin Muhammad baru saja meninggal dunia. Umar pun
kecewa atas penolakan Utsman tersebut.
Pada akhirnya Umar pun menemui Rasulullah, dan mengadukan sikap kedua
sahabatnya itu kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mendengar penuturan Umar,
akhirnya Rasulullah pun mengatakan bahwa “Hafshah akan menikah dengan seorang
laki-laki yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar”. Umar pun langsung
mengerti bahwa Nabi sendirilah yang akan menikahi putrinya itu. Disitulah terjadi
pernikahan antara Rasulullah dan putrinya yaitu (Hafshah).
Umar juga dicatat sebagai orang pertama yang digelari Amir al-Mu’minin
(pemimpin orang yang beriman).19
Hal ini berawal dari seorang utusan yang berasal
dari Irak, utusan tersebut datang menghadap Umar bin Khattab untuk memberitakan
keadaan wilayah pemerintahan di Irak. Ketika utusan itu tiba di Madinah ia bertemu
dengan Amr bin Ash dan bertanya tentang khalifah Umar. Utusan itu memanggil
Umar dengan sebutan Amir Al Mukminin, karena Umar adalah pemimpin (amir)
sementara kita adalah orang-orang beriman (mukmin). Sejak itulah gelar Amirul
mukminin melekat pada diri Umar dan para khalifah sesudahnya.
B. Kepribadian Umar Bin Khattab
Sifat-sifat terpenting yang membentuk “sifat keprajuritan” dalam sifatnya
yang tinggi adalah keberanian, ketegasan, kekasaran, ketenangan, teratur, taat,
19
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 17
menghargai kewajiban dan iman kepada kebenaran dan suka melaksanakan dalam
batas-batas tanggung jawab.20
Karisma Umar menggetarkan, tetapi kepribadiannya meneduhkan.
Keridhoannya adalah kemuliaan. Amarahnya menjelma hikmah.21
Umar sangat muak
dengan ketidak adilan, umar selalu menangis ketika melihat orang-orang kecil yang
tertindas.
Dalam menempuh dunianya dia selama hidup sebagai mujahid (pejuang)
ditengah-tengah medan. Sebab itu, dia mengutamakan kesederhanaan dan merasa
puas dengan kebutuhan seminimal mungkin yang tidak mungkin diabaikan.22
Umar menyuruh prajuritnya untuk belajar memanah, berenang, menunggang
kuda, bergulat, dan berolahraga supaya prajuritnya menjadi terlatih dan berkembang
baik badannya serta akhlaqnya. Tabi’at yang menjadi fitrahnya adalah dia menyukai
apa yang baik bagi prajurit mengenai makanan dan pakaiannya dan membenci apa
yang tidak dipandang baik pada prajurit.23
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
misalnya, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara
terdaftar. Aspek yang tak lepas dari diri Umar bin Khattab adalah masalah ijtihad
berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada
nashnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-hadis. Beberapa ijtihad yang di lakukan
Umar diantaranya adalah soal penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ketika
20
Abbas Mahmoud Al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 86 21
Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 11
22
Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.
101 23
Abbas Mahmoud Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 88-89
itu kekhalifahan di pegang sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, sedangkan Umar adalah
salah satu pembantunya di pemerintahan.24
Allah juga mengaruniai Umar wibawa besar yang menggetarkan hati dan
menggoyahkan nyali orang yang berhadapan dengannya. Ia dapat meruntuhkan hati
orang-orang yang sombong. Namun, wibawa Umar yang agung tidak membuatnya
berbuat zalim terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lemah. Dan sumber
wibawa Umar yaitu dari ketakwaan dan ketakutannya kepada Allah. Selain tegas dan
berwibawa, Umar juga mempunyai sifat sabar. Kemarahannya tidak pernah
terpancing oleh kezaliman.25
C. Perjuangan Umar bin Khattab Bersama Rasulullah SAW
Setelah masuk Islam, Umar mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya untuk
membela dakwah Rasul. Ia menjadi sahabat dekat Rasulullah, orang terpercaya
sekaligus penasehat utamanya. Ketika umat Islam hendak hijrah dari Makkah ke
Yatsrib (Madinah) karena tekanan dan ancaman orang Quraisy yang semakin lama
semakin kuat, akhirnya Nabi pun menyerukan para sahabatnya agar berangkat diam-
diam dan berpencar karena khawatir dihadang musuh.26
Tapi justru Umar sebaliknya, ia mengumumkan rencananya untuk berangkat
hijrah kepada orang-orang Quraisy. Setelah sampai di kota tujuan, Rasulullah
menganggap saudara kepada orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Ketika itu,
Madinah menjadi periode baru sejarah Islam dan kehidupan umat Muhammad.
24
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi,
(Jakarta: Hikmah, 2003), h. 41-42 25
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 178-179
26
Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar Ibn Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009). H,29-31
Dua tahun setelah Nabi dan umat Islam menetap di Madinah (2 H/624 M),
mereka dihadapkan pada sebuah perang, yaitu Badr al-Kubra, Badar yang besar.
Awalnya, Abu Sufyan (kepala klan Quraisy) bersama sekelompok dagangnya baru
saja kembali dari Damaskus dengan membawa barang niaga. Ketika itu ditengah
perjalanan, Abu Sufyan mendengar kabar bahwa pengikut Muhammad akan
menyerang dan merampok kafilah dagang Abu Sufyan. Ketika Abu Sufyan setiba di
Makkah ia langsung menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy.
Tidak lama setelah kabar itu menyebar, orang-orang Makkah pun langsung
mengangkat senjata. Dan Abu Sufyan pun menjadi panglima pasukan Makkah yang
jumlahnya hampir seribu orang. Dan segera bergerak menuju Madinah untuk
melawan Muhammad dan para pengikutnya.
Ketika itu Rasulullah sudah mendengar bahwa pasukan Quraisy sudah
bergerak dan akan menyerang umat Islam. Rasulullah pun bergegas menyiapkan
pasukan. Akan tetapi, sebagian dari mereka nampak ragu mengikuti perlawanan
tersebut. Karena mereka mengetahui bahwa jumlah pasukan Makkah jauh lebih
banyak daripada mereka. Tetapi kenyataanya, lewat perang Badar tersebut umat Islam
memperoleh kemenangan pertamanya sekaligus menjadi tonggak eksistensi dakwah
Islam dan bukti kekuatan umatnya setelah kurang lebih tiga belas tahun ditindas oleh
kaum kafir Quraisy.
Ternyata orang Quraisy tidak bisa menerima kekalahannya diperang Badar
tersebut. Akhirnya Abu Sufyanpun kembali mengumpulkan para pembesar Quraisy
dan beberapa klan Arab. Abu Sufyanpun memutuskan untuk perang. Ia pun
mengatakan bahwa pasukan Muhammad harus dihancurkan. Rasulullah pun langsung
mengatur strategi setelah mengetahui bahwa pasukan Quraisy akan menyerang
umatnya. Rasulullah pun berhasil mengumpulkan tujuh ratus pasukan muslim.
Setibanya mereka di gunung Uhud, Rasulullah pun segera membagi pasukan
menjadi dua: satu di tempatkan dikaki gunung Uhud, dan yang satu lagi di bukit
gunung Ainain. Tak lama setelah pasukan Muhammad selesai shalat shubuh pasukan
Quraisy mulai menyerang, pasukan muslimpun menyambut serangan tersebut dengan
gemuruh tahlil dan takbir. Ditengah perang tersebut tersiar kabar bahwa Muhammad
telah gugur. Dan perlahan-lahan perang itupun reda, karena Abu Sufyan merasa yakin
bahwa Muhammad telah wafat.
Pada paruh tahun ke-4 hijriyah kerusuhan merebak di Madinah. Bani Nadhir,
salah satu klan Yahudi-Arab Madinah, mengingkari ikrar damai sebagaimana
disepakati dalam traktat perjanjian yang ditandatangani bersama kaum muslain. Bani
Nadhir bahkan berencana membunuh Muhammad. Sebelumnya, Bani Qainuqa, salah
satu klan Yahudi lainnya, juga melanggar janji damai itu dan memberontak kepada
Rasulullah dan umat Islam. Umat Islampun mengusir mereka dari Madinah. Bani
Qainuqa lari ke Suriah. Sebagian besar membentuk komunitas Yahudi di wilayah
Khaibar.
Dalam perang parit Salman al-Farisi, seorang kesatria perang asal persia,
mengusulkan untuk menggali parit (khandak) itu bertujuan untuk membendung
serangan sekaligus menjadi benteng pertahanan. Dari balik parit, supaya pasukan
muslim dapat dengan mudah membakar parit, menjebak, dan memanah musuh.
Akhirnya Rasulullah menyetujui strategi yang diusulkan Salman al-Farisi.
Perjanjian Hudaibiyah pun terjadi pada tahun ke-6 Hijriyah ketika Rasulullah
bersama kaum muslimin pergi ke kota Makkah. Tetapi bukan untuk perang,
melainkan untuk umrah. Ditengah perjalanan, tepatnya di Hudaibiyah mereka
dihadang oleh beberapa utusan Quraisy. Mereka mengatakan bahwa penduduk
Makkah tidak memberi izin Muhammad dan umatnya untuk memasuki Ka’bah.
Akhirnya, Rasulullah mengajak orang-orang Quraisy berunding. Rasulullah mengutus
Utsman untuk menghadap para pembesar Makkah, karena banyak adiantara mereka
saudara dekat Utsman. Disitulah terjadinya traktat Hudaibiyah.
Pada suatu ketika Rasulullah dan para pasukannya memasuki kota Makkah
dengan penuh wibawa. Tanpa perlawanan dan pertumpahan darah. Perlahan-lahan
beliau memesuki pelataran Ka’bah, bertawaf, mencium hajar aswad, bersembahyang
di Ka’bah, dan menghancurkan ratusan patung dewa-dewa Arab disekitar tempat
ibadah itu. Tidak lebih dari dua tahun kemudian, sejumlah utusan klan tiba dari
seluruh penjuru semenanjung Arab untuk menyatakan bergabung dengan
Muhammad. Pada tahun itu juga (10 H/632 M) Rasulullah melaksanakan ibadah haji
yang terakhir.
Pada suatu ketika kabung duka telah menyelimuti seluruh semenanjung.
Bahwa, Muhammad sang utusan Allah telah meninggal dunia. Hingga akhir hayat
Rasulullah, Umar berada disamping Rasulullah. Ketika kabar meninggalnya
Rasulullah sampai kepada Umar, ia hanya mematung dan sangat terpukul atas
kepergian Rasulullah.
D. Pengangkatan Umar Sebagai Khalifah
Kepala Negara Islam dipilih dari individu umat Islam dan umatlah pemilik
hak dalam memilih khalifahnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, cara apa
yang mungkin dapat diikuti umat untuk memilih penguasanya? Pertanyaan ini
mengantarkan pada kenyataan bahwa Islam tidak tergantung pada cara tertentu untuk
memilih kepala Negara dan tidak mengharuskan umat mengikuti cara tertentu. Umat
memilih kepala Negara apabila ia memenuhi syarat-syarat tertentu dan yang paling
mendasar adalah adil dan dengan musyawarah, tidak dipersoalkan setelah itu
mengenai teknik dan cara pemilihannya.27
Bisa kita lihat sewaktu wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat
unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki
otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan
bersumberkan wahyu Illahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena
menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan tuhan yang
terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa
diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat.
Dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara
menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeninggal beliau nanti, selain
petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah tanpa
adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan.
Itulah sebab utamanya mengapa pada masa empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu di
tentukan melalui musyawarah, walaupun pola musyawarah tersebut dilalui dengan
beraneka ragam cara.28
Untuk selanjutnya yang akan kita bahas yaitu bagaimana cara pengangkatan
Umar bin Khattab sebagai khalifah? Ketika itu Abu Bakar merasa bahwa ajalnya
telah dekat dan mau tidak mau Abu Bakar harus memilih pengganti dirinya sebagai
khalifah. Setelah musyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat atau orang-orang
yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu
Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah.
27
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam. Penerjemah, Musthalah Maufur,
(Jakarta: Robbani Press, 1999), h.152. 28
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-
Press, 1993), h. 21.
Ketika itu sebagian sahabat menemui Abu Bakar dan menentang pencalonan Umar
karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Akhirnya setelah para sahabat
itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun menyepakati pencalonan Umar
untuk menjadi penerus khalifah.
Dalam masalah ini At-Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon
rumahnya dan berbicara dengan orang banyak yang berkerumun di bawah : “Apakah
kalian menerima orang yang akan saya calonkan sebagai pengganti saya ?” tanya
Abu Bakar. “Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam
menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti
saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan saya”. Mereka semua menjawab,
“Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan mentaati tuan”.
Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman dan membacakan naskah yang
berisi penunjukkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Utsman bin Affan
sangat setuju dengan penunjukkan Umar sebagai khalifah, karena ia seorang yang
tegas dan bijaksana. Abu Bakar meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus
624 M. Dalam usia 63 tahun. Shalat jenazah dipimpin oleh Umar bin Khattab, dan
dimakamkan di rumah aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW. Masa
kekhalifahannya lebih kurang 2 tahun 3 bulan 11 hari.
Dengan meninggalnya Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh Umar
bin Khattab. Karena ia telah ditunjuk oleh Abu Bakar dan disetujui oleh seluruh
masyarakat Islam secara aklamasi, dengan tidak meninggalkan azas demokrasi Islam,
yaitu musyawarah untuk menentukan siapa pengganti Abu Bakar sebagai khalifah
rasyidah.
Akhirnya Umar diangkat sebagai pengganti Abu Bakar, dimana kebijaksanaan
Abu Bakar ini segera diikuti dengan beramai-ramai para sahabat membai’at Umar
sebagai khalifah. Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah rasulillah
(pengganti dari pengganti Rasul Muhammad) untuk memimpin masyarakat Islam
sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan pendahulunya. Ia juga mendapat gelar
Amir al Mukminin (komandan orang-orang mukmin) karena berkaitan dengan
perannya dimana saat itu dihadapkan pada penaklukan-penaklukan yang dilakukan
sebagai komando pasukan Islam.29
Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar dengan sejumlah prestasi yang
gemilang, yang diantaranya usaha-usaha yang telah dicapai Abu Bakar ternyata
dilanjutkan oleh Umar. Ketika itu di zamannya, gelombang pembebasan pertama
terjadi. Dan ketika itu kota Damaskus jatuh pada tahun 635 M, dan setahun kemudian
setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran yarmuk, dan daerah Suriah pun jatuh
ke tangan tentara Islam. Dan masih banyak lagi prestasi Umar untuk
memperjuangkan Islam. Tidak hanya itu saja prestasi Umar. Tetapi Umar juga berjasa
dalam menyusun dewan-dewan dalam pemerintahan, membuat mata uang emas,
mendirikan baitul mal, mengangkat hakim-hakim, membentuk pasukan tentara untuk
menjaga tapal batas, menciptakan tahun hijrah, mengatur perjalanan pos, dan masih
banyak lagi prestasi Umar setelah diangkat menjadi khalifah.
Kehidupan Umar terkesan sangat sederhana. Setelah menjadi khalifah pun
kesederhanaan itu selalu tetap terjaga. Dan ia juga seorang khalifah yang selalu
memakai pakaian lusuh, memakai sepatu yang dijahit sendiri, dan ia pun rela
memikul sendiri makanan untuk diberikan kepada seorang janda. Umar pun hidup
tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Rumah, pakaian, makanan, dsb itu
sama seperti apa yang orang-orang kebanyakan.
29
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam,
(Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 68.
Dalam memimpin khalifah pun terkenal merakyat. Kalaupun Umar sudah
menjadi seorang pemimpin, dalam menjalankan tugas Umar tidak pernah menyuruh
bawahannya untuk melihat keadaan rakyatnya. Akan tetapi, ia sering melakukan
inspeksi langsung ke daerah-daerah perkampungan untuk melihat dari dekat rakyat
yang dipimpinnya. Umar juga sangat tegas, adil, dan tidak pernah melihat pandang
bulu untuk menegakkan hukum.
Setelah Umar menjabat sebagai khalifah ternyata Umar telah membuat
kebijakan sesuai dengan ijtihadnya dalam pengambilan suatu keputusan. Apabila
sahabat dapat mencapai suatu kesepakatan dalam sidang majelis terhadap suatu
permasalahan, maka khalifah Umar di sini menetapkan keputusan itu berdasarkan
suara bulat sebagai ijma’. Akan tetapi persoalan timbul bila perbedaan pendapat
terjadi di dalam sidang majelis permusyawaratan. Karena dianggap setiap keputusan
Umar itu adalah suatu tindakan yang tepat untuk kemaslahatan umat.
BAB III
SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
A. Definisi Syura
Secara umum dapat dikatakan bahwa, kata Syura memiliki banyak pengertian
dan alangkah baiknya kita mengetahui dari mana asal kata Syura itu dibentuk. Kata
Syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, syawir berarti: berkonsultasi, menasehati,
memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Ada pula yang mengartikan Syura dengan arti
menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu. Kata Syura yang
berasal dari bahasa Arab ini, kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi
kata musyawarah yang memiliki arti mengumpulkan dan menyimpulkan pendapat
berdasarkan pandangan antar kelompok.30
Musyawarah yang terambil dari akar kata syawara menurut Quraish Shihab
bermakna ‘mengeluarkan madu dari sarang lebah’. Sejalan dengan makna dasarnya
yaitu madu untuk obat. Madu yang dihasilkan oleh lebah. Jadi, musyawarah
seharusnya bagaikan lebah yaitu makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya
mengagumkan, di manapun hinggap tidak pernah merusak, tak mengganggu kecuali
diganggu.31
Dengan demikian, secara tidak langsung, Syura berarti memilih ide-ide
terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang sekiranya memiliki argumentasi,
pengalaman, kecanggihan pendapat, serta syarat lain yang sekiranya bisa memberikan
pendapat yang tepat dan keputusan yang benar.
30
Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam (Ciputat: LSIP, 2004), h. 25-
26. 31
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001), h. 20
Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja
syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan
mengambil sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling bertukar
pendapat; syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.32
Menurut Imam Syahid Hasan Al-Banna, Syura adalah suatu proses dalam
mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak
dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu
diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam
rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.33
Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan
atau mengajukan pendapat dan akhirnya akan diambil satu keputusan. Dengan kata
lain juga bisa dikatakan bahwa Syura atau musyawarah itu adalah bertukar pendapat,
yang akhirnya menghasilkan suatu ide yang menghasilkan satu keputusan bersama
lewat musyawarah.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa, musyawarah adalah salah satu kaidah syarak
dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat
sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama
(ulama) haruslah ia dipecat.34
Dan Ibn al-Arabi pun mengatakan, bahwa musyawarah
adalah pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling
bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.35
32
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII
Press, 2000), h. 124. 33
Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-
Banna. Penerjemah, Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 262. 34
Abdul Aziz Dahlan, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 18. 35
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 21.
Syura, atau pengambilan pendapat dalam Islam, adalah salah satu konsepsi
politik di antara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah manyarakat
Islam, dan menjadi keistimewaan sistem pemerintahan Islam dari sistem-sistem
pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga eksistensinya dalam kehidupan
politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya,
dalam bentuk kekontinuan merujuknya penguasa kepada rakyat untuk melahirkan
keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan masyarakat luas, yang
berangkat dari kesadaran, kematangan dan pemahaman, dan untuk menjadikan
kekuasaan agung atas manusia dekat dengan pemikiran kaidah-kaidah umum bagi
umat Islam.36
Secara garis besar pengertian Syura menurut penulis berdasarkan penjelasan
sebelumnya adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam
menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan atau hukum yang
berlandaskan pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling
berkaitan yang didasari tuntunan atau kaidah yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, demi tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama.
B. Landasan Syura Dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Sejak masa awal dakwah Islam, ketika kaum Muslim di Makkah menjadi
pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, al-Qur’an telah
menumbuhkan dari mereka suatu masyarakat yang memiliki rasa kesetiakawanan
yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan
solidaritas, yaitu iman kepada Allah dan menyembahNya dengan mendirikan shalat
dan gotong royong dengan tukar menukar pendapat dan menetapi Syura.
36
Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan
Islam (Bogor: Al Azhar Press, 2004), h. 196
Dengan demikian, Syura dijadikan salah satu dari elemen-elemen
kesetiakawanan sosial. Disamping itu, Allah telah memuliakan Syura dengan
menjadikannya sebagai nama dari salah satu surat dalam Al-Qur’an.37
Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik
serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah
mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat,
namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki
dasar fundamental dalam Al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya
aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah didalam Al-Qur’an. Karena
musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam
kehidupan bernegara Islam dan termasuk kedalam pembahasan Negara, maka
pembahasan tentang prinsip Syura pun terdapat dalam Al-Qur’an.38
Ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang berisi anjuran untuk melakukan
musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri
dari latar belakang yang berbeda.
Ayat pertama yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi:
��������� � ���������� ��������� � ������ � !"# !$%&�� ��'(��)�� � *+, -� ��.�/1�� �2☺��� ��456/)��7, �8 9:�;/�< ghj
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
37
Taufiq Muhammad as-Syawi, Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 65-66 38
Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta:
Kalam Mulia, 1996), h. 12-13.
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami
berikan kepada mereka.39
Ayat pertama ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin yaitu mereka
menerima (mematuhi) perintah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,
dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah.
Ayat kedua yaitu pada surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi:
��☺=>�? @A�☺BC, DE�F� G�� HI/�� ��45�� � � ��� HIJ-K �L9�? ⌧NO=$⌧P
Q$?$�:)�� � ,R⌧;STU BE�� �@��� �C � 4B����? ���T��
���;)������� ���WCX ��'(�,��⌧�� Y=� Z�[\]� �
�^=_�? HI)�D`�� �a�K ���? Y!�� G�� # c8=: ��� 1$��-d
��e=�fK ��4☺)�� gk=Rj
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut
terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.40
Ayat kedua ini menjelaskan bahwa menjadikan urusan di antara kaum muslim
diselesaikan dengan cara musyawarah. Dan ayat ketiga yaitu dalam surah Al-Baqarah
ayat 233 yang berbunyi:
39
Surah As-Syura, Ayat 38 40
Surah Ali-Imran, Ayat 159
_ 4�l��=�l )��� DE'mk���< 2E'(�n6���� j�e��� �C j�o!$���⌧K � BE�☺�� �p,� 8�
cqQr�< �A���Hks��� # Y!��� �p -�� AS?t� u� �� 2E45'�)7,
2E�' �w�K� m����'AS?t��=� # xU 4y$�*' zs);�S {U=: ��5�'���� # xU
s,��xR' |"��=�l� ��(���� =� xU� }p -�� �� u�C�� ~!���� =� #
Y!��� ��, )�� �a��� �@��l�^ * 8=_�? �p,� 6U�H&�?
E�� ����� ���T�F� �,������� x⌧�? ���"J�� ��☺���!$�� * 8=:�
���p,� 8� �� �'mk����w!a ��-K�n6���� x⌧�? ���/��
��-*)O!$�. �^=: ��\B☺y$�� ��c� q-r)O�- m��N1'AS?t��=� *
� 9:c�� ��� �� 4☺!$B��� c8� ��� �";�*
�8 '$�'� }��m&�� g�hhj
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.41
41
Surah Al-Baqarah, ayat 233
Ayat ketiga ini menjelaskan bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami
istri ingin menyapih anak mereka atas kerelaan dan musyawarah, dengan maksud
kemaslahatan anak, mereka sepakat menghentikan susuan atau menyapihnya sebelum
sampai masa dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan.
Bagi umat Islam As-Sunnah atau hadis merupakan landasan yang kedua
setelah Al-Qur’an. Maksud sunnah di sini yaitu sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Sesungguhnya orang berpegang pada sirah Rasul SAW, akan menjumpai bahwa
beliau melaksanakan musyawarah disebagian besar urusan kaum muslim, dalam
banyak kondisi beliau meminta kepada kaum muslim untuk memberikan pendapat
mereka.
Dari Abi Hurairah ra, ia berkata:
�� �� ������ ���رة أآ�� أ� ا رأ�� ���� ا�
“ Saya tidak melihat seorangpun yang lebih banyak musyawarahnya daripada
Rasul SAW terhadap para sahabatnya”42
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan ditunjuki
kepada perkara yang paling benar”.43
Rasulpun pernah mengatakan kembali:
()&� '��&!� ا%�$ أ� آ# ان!�ر اذ
“Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka
hendaklah ia memberikan petunjuk kepadanya”44
42
Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 207 43
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 98
Hadits di atas menerangkan dan menyerukan betapa pentingnya
bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam
persoalan, baik tentang persoalan dunia maupun persoalan akhirat. Karena dengan
cara bermusyawarah dapat memudahkan seseorang untuk keluar dari permasalahan
yang terdapat pada dirinya.
C. Karakteristik Syura Dalam Islam
Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan pengambilan
keputusan terikat dengannya. Pendapat majelis Syura pun sekedar bersifat konsultatif,
karenanya menjadi relatif dan tidak mengikat sesuai keinginan penguasa. Kewajiban
seorang penguasa hanya dalam hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil
pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambilpun dipikul
penguasa untuk melaksanakan hasil keputusan. Selain itu, Syura tidak mengenal
perolehan pendapat mayoritas, seperti dikenal dalam konsep demokrasi, dan tidak
memberi batas mengenai kuantitas. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku.
Adakalanya pemimpin (penguasa) mengambil sebagian pendapat majelis Syura,
keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan
majelis Syura.45
Tetapi karakteristik ketetapan yang berlaku setelah jelas bagi mayoritas bahwa
dialah yang paling dekat kepada kebenaran dan keadilan setelah diadakan dialog dan
tukar pendapat bebas adalah bahwa ketetapan itu hanya merupakan ketetapan yang
nisbi, tidak qaht’i. Artinya, pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan
44
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibnu Majah juz II, Ditahqiq oleh
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.1233 45
Zada dan Arofah, Diskursus Politik Islam, h. 29-30
didiskusikan tidak dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat
kembali pada kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada
kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam
Islam.46
Ciri-ciri atau karakter Syura sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
Syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan keputusan yang bersifat
tidak mengikat, tidak di dasari pada sebuah keputusan yang diambil berdasarkan
suara mayoritas dan tidak terbatas pada kuantitas saja serta Syura tidak mengenal
rumusan baku, sehingga keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak yang
bermusyawarah. Akan tetapi keputusan yang diambil dalam Syura adalah sebuah
ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun tidak menutup kemungkinan
ide atau gagasan yang tidak menjadi ketetapan pada Syura di lain waktu bisa
digunakan, tergantung pada situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam hal itu
dibolehkan.
D. Prinsip-prinsip Syura Dalam Pemerintahan
Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal, valid
dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta menjunjung tinggi,
menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar dalam bermusyawarah. Prinsip-
prinsip dasar tersebut adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan
keadilan.47
Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip persamaan dalam
musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip bahwa
Islam tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang ataupun
46
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 107-108. 47
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 35
hukum, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para
penguasa, ataupun rakyat jelata sekalipun, tetap mempunyai kedudukan yang sama
dimuka hukum.
Al-Qur’an tidak mentolerir perbedaan antara mukmin yang satu dan yang
lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan tersebut, Al-Qur’an
menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses pengambilan keputusan
masyarakat.48
Ada satu contoh dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Setiap kabilah
membanggakan ashabiyyat (kepanatikan kepada keluarga, suku, dan golongan) dan
nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus kedalam pertentangan, kekacauan
politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan ashabiyyat itu tidak
mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah
lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh kabilah yang lain yang
harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari
kabilah lain. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian
sosial terhadap kabilah lain.49
Contoh tersebut diatas sungguh tidak manusiawi. Manusia dihadapan hukum
ataupun keadilan adalah sama. Maupun itu bisa dilihat dari hak-hak pribadi ataupun
sipil. Islam juga tidak mengakui secara mutlak apapun bentuk pengistimewaan di
antara manusia yang bisa dilihat dalam hak, ras, kesukuan, ataupun warna kulit.
Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani Hasbi pada
dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan golongan menemukan harkat
dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya dengan wajar
48
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 122 49
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 149
dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong
menolong dan sifat kepedulian sosial dalam ruang lingkup yang luas.50
Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan
mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikannya sebagai pilar kehidupan pribadi,
keluarga, dan masyarakat adalah “keadilan”. Yang dimaksud dengan keadilan adalah
memberikan kepada semua yang berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai
individu atau kelompok, atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau
mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula
menyelewengkan atau menzhalimi hak orang lain.51
Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan menjadi
salah satu sistem perundang-undangan Negara Madinah. Semua warga Negara, baik
muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak
perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai
sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapat keadilan.52
Jadi, keadilan itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota
masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta, dan itupun
harus adil dan tidak memihak kesalah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban,
jujur, mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta tepat menurut
peraturan yang sudah ditetapkan.
Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari umat
manusi, semenjak mereka mulai berfikir. Dari persoalan yang sederhana dalam
50
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 37 51
Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 128 52
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 223-224
masyarakat, sampai menginjak pada pola kehidupan politik bernegara dalam suatu
pemerintahan.53
Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi bila di
pahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang menyatakan bahwa
bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus ada dasar persamaan dan
adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian
itu harus disepakati dan diterima bersama.54
Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil dapat
dipenuhi, karena didalam Musyawarah semua peserta memiliki persamaan hak untuk
mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan
masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan.55
Prinsip yang ketiga yaitu prinsip kebebasan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan
yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan” yang dengannya dapat
menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan
penjajahan. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir,
kebebasan berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.56
Kata bebas di sini sering sekali disalah gunakan. Sebab, bebas sesungguhnya
bukan berarti lepas dari segala keterikatan. Justru sebaliknya, bebas di sini selalu
mengandalkan keterikatan oleh norma-norma. Begitu juga kebebasan dalam Islam
bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat oleh
ikatan-ikatan syar’i.
53
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 38. 54
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 208. 55
Ibid., h. 208-209. 56
Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, h. 113.
Dan kebebasan dalam sosial politik biasanya disebut dengan “kemerdekaan”.
Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi substansi Syura adalah kebebasan dan
kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam kelompok.57
Jika diperhatikan, ketetapan Piagam Madinah yang tidak eksplisit tentang
pentingnya musyawarah dan postulasi historis tentang praktek Nabi melaksanakan
musyawarah. Beliau tidak memberi petunjuk mengenai pola dan bentuknya yang
tertentu, dan jumlah peserta musyawarah tidak tetap, terkadang beliau hanya
bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabatnya, dan terkadang
hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Bahkan dalam
pengambilan keputusanpun terkadang beliau mengikuti pendapat sahabat, baik
pandapat kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem
musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat
serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan
prosedur pengambilan keputusannya, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-
prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam berbicara
dalam mengemukakan pendapat.58
Prinsip-prinsip Syura dalam pemerintahan meliputi aspek persamaan dalam
hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan, karena dalam Islam seperti yang tertuang
dalam Al-Qur’an diatur bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia, baik muslim
maupun non muslim, antara laki-laki dan perempuan dan antara orang miskin atau
rakyat jelata sekalipun, dan tidak dibedakan pula berdasarkan warna kulit atau
dibedakan berdasarkan suku. Karena itu semuanya dianggap sama di mata hukum.
57
Ibid., h.46-47 58
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 215-217.
Dalam arti kata di dalam Syura atau hukum Islam sangat menjunjung tinggi
supremasi hukum. Sehingga segala yang diputuskan atau ditetapkan dalam Syura
dapat bersifat adil. Karena tujuan bermusyawarah atau Syura adalah menetapkan
keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak dan demi kemaslahatan bersama.
E. Ijmak Sebagai Substansi Bagi Syura
Syura atau musyawarah dalam rangkaian penjelasannya selalu dihubungkan
dengan pembahasan tentang ijmak. Ijmak dari bahasa Arab artinya konsensus atau
kesepakatan. Dalam istilah ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para imam mujtahid
dikalangan umat Islam tentang hukum Islam pada suatu masa pasca Rasulullah SAW
wafat. Menurut kebanyakan ulama ushul fiqh, ijmak dipandang sebagai salah satu
sumber Islam sesudah Al-Qur’an dan hadis.59
Di samping adanya kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah, kaum muslim pada
setiap masa telah bersepakat mengenai wajibnya syura, kendati terjadi berbagai
penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para
penguasa. Menurut Taufiq Asyawi yang dimaksud dengan ijmak adalah bentuk yang
sempurna darinya, yaitu ijmak yang komprehensip bagi umat atau suatu hukum syara
yang disepakati oleh seluruh anggota. Dan bisa dikatakan juga bahwa ijmak itu
adalah kesepakatan umat atas suatu hukum syara.60
Satu contoh, para sahabat ra telah sepakat mengenai kewajiban mengangkat
pemimpin umum. Ijmak ini telah banyak dinukil oleh para ulama, di antaranya oleh
al-Mawardi yang mengatakan: “ imamah dimaksudkan untuk meneruskan misi
kenabian dalam memelihara agama dan menangani urusan duniawi. Memberikan
akad (ikatan) imamah kepada orang yang melaksanakannya wajib menurut ijmak;
59
Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, h.24. 60
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 99-102
perbedaan yang ada hanyalah mengenai apakah ini wajib menurut akal atau menurut
syara’. Sebab, imam melaksanakan urusan-urusan yang berhubungan dengan
syari’ah.61
Dan ijmak sahabat juga sebagai salah satu sumber hukum yang banyak
menonjol dalam masalah konstitusi dan undang-undang. Syura pun eksis dan
gamblang tergambar dalam sistem pemerintahan pada keseluruhan masa Khulafa ‘ar-
Rasyidin, bahkan hampir-hampir mereka tidak akan memutuskan suatu perkara
kecuali setelah bermusyawarah, dan yang demikian itu terjadi dalam segala
persoalan.62
Pemikiran tentang Ijmak ini telah berkembang sejak masa sahabat sampai
masa para imam mujtahid. Sahabat Umar bin Khatab misalnya, pernah
mengumpulkan para sahabat untuk bertukar pikiran. Jika mereka bersepakat atas
suatu masalah tertentu, umar menjalankan politiknya; tetapi jika bersilisih atau
berbeda pandangan, mereka mengkaji kembali permasalahan tersebut sampai
mendapatkan kesepakatan.63
Berdasarkan hasil penjabaran di atas, dapat kita tarik sebuah pemahaman
tentang diperbolehkannya syura adalah ijmak sahabat, karena ijmak merupakan salah
satu dari sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Dan apapun yang diputuskan atau ditetapkan pada syura harus
melalui kesepakatan para pihak yang sedang bermusyawarah. Pada intinya antara
syura dan ijmak saling berkaitan, syura ditetapkan berdasarkan ijmak dan apa yang
ditetapkan dalam syura harus berdasarkan ijmak orang yang sedang bermusyawarah.
61
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah Maufur
(Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 108 62
Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 210 63
Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, h. 25.
F. Komitmen Syura Terhadap Syariat
Apabila kita ingin mengetahui Syura lebih jauh, ada baiknya kita terlebih
dahulu membatasi pengertian dan harus membedakannya dari apapun yang
berhubungan dengan teori-teori impor agar jangan sampai menghasilkan hukum-
hukum yang tidak tepat. Syura dalam arti yang sempit yaitu sarana yang mewajibkan
syari’at untuk mengeluarkan ketetapan dari jamaah yang harus dipegang teguh
olehnya, para pribadi, dan penguasa.
Sebelum kita menjelaskan komitmen Syura terhadap syari’at, sebaiknya kita
terlebih dahulu mengetahui penjelasan Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad yang
terlebih dahulu akan menjelaskan perbedaan antara Syura dan demokrasi. Ustadz
Abbas Mahmud al-Aqqad berusaha secara sungguh-sungguh menjelaskan perbedaan
substansial antara Syura dengan demokrasi Eropa, yaitu bahwa Syura ditegakkan atas
dasar akidah dan syariat ilahiyah dengan penjelasan seperti berikut:
“ Sesungguhnya pendapat-pendapat seorang muslim tentang kebenaran
sistem, keadilan, dan kemerdekaan itu tunduk kepada akidah ketuhanannya dan tidak
mendahuluinya. Datangnya bentuk pemerintahan sedunia (pemerintahan Allah),
seperti diharuskan oleh kaidahnya, merupakan teladan tertinggi dari pemerintahan
yang tidak mengenal kelaliman di dalamnya dan penyelewengan dari syariat atau
teladan tertinggi dari pemerintahan demokrasi sebagaimana mestinya.”
Mari kita anjurkan kepada orang yang mengatakan bahwa Syura itu sama
dengan demokrasi, haruslah menambahkan sifat keislamannya seperti apa yang
dilakukan oleh al-Aqqad. Karena tanpa memberikan ciri sifat ini mengakibatkan
sebagian orang akan mengambil pengertian bahwa demokrasi sudah cukup tanpa
syariat. Mereka akhirnya hanya mencukupkan bahwa demokrasi atau suara mayoritas
itu suatu perkara yang cukup bernilai dan dapat dianggap sah tanpa harus dibahas
sampai dimana komitmennya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah.64
Telah dijelaskan di atas bahwa antara syura dan demokrasi itu berbeda, karena
syura didasari pada akidah dan syariat ilahiyah. Karena dengan dilandasi pada akidah
dan syariat ilahiyah dapat menghindarkan pengambilan keputusan yang bersifat
otoriter dari pemimpin atau orang yang memiliki kepentingan terhadap sebuah
permasalahan. Dan pada proses penetapan dan pengambilan keputusannya pun
berbeda antara syura dan demokrasi, karena dalam syura tidak mengenal perolehan
pendapat mayoritas seperti yang terdapat pada demokrasi. Oleh karena itu
pengambilan keputusan dalam syura terasa lebih adil, dapat diterima oleh semua
pihak yang terkait dan dapat dipertanggung jawabkan oleh pemimpinnya.
G. Syura dan Demokrasi
Di awal bab ini sudah dijelaskan definisi Syura dari beberapa pendapat di
antaranya seperti yang dikatakan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna Syura adalah
suatu proses dalam mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan
suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah
setiap urusan itu diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang
maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan
rakyat.65
Adapun demokrasi secara etimologi berasal dari kata “Demos” yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “Cratein” yang berarti kekuasaan atau
64
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 105-106. 65
Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, h. 262.
kedaulatan. Jadi “Demos-Cratein” atau demokrasi adalah keadaan negara dimana
dalam sistem pemerintahannya, kedaulatan di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat.66
Dan demokrasi juga selalu menjadi
wacana karena demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa,
agama dan kebudayaan.
Selalu ada perdebatan antara Islam dan demokrasi maupun Syura dan
demokrasi. Dan di sini bisa kita lihat ada beberapa kelompok yang memiliki
perbedaan pandangan dalam melihat hubungan antara demokrasi dan Islam.
Kelompok pertama, yaitu mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam.
Alasannya karena Islam berasal dari Allah, sedangkan demokrasi merupakan hasil
karya manusia. Dan alasan yang kedua, demokrasi merupakan kedaulatan rakyat,
sedangkan Islam adalah hukum Allah. Alasan yang ketiga, demokrasi ditentukan oleh
suara terbanyak padahal suara terbanyak belum tentu merupakan suatu kebenaran.
Alasan yang keempat, demokrasi merupakan sesuatu hal yang baru, dan itu termasuk
dalam kategori bid’ah dalam agama, sedangkan generasi Islam sebelumnya tidak
mengenal adanya demokrasi. Alasan yang kelima, demokrasi merupakan produk
bangsa Barat.
Kelompok yang kedua, mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa
menyaringnya terlebih dahulu. Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi barat
adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika negara,
rakyat, dan tanah air. Kelompok yang ketiga, mereka menyatakan bahwa unsur positif
dalam demokrasi pada hakikatnya merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan
66
Inu Kencana Syafi’i, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005),
h. 129
ajaran Islam. Salah satu pemikir Islam yang termasuk dalam kelompok ketiga ini
adalah Yusuf Al Qardawi.
Yusuf Al Qardawi melihat bahwa di dalam demokrasi terdapat dasar-dasar
Syura, juga aspek nasehat dalam agama, amar makruf dan nahi munkar, saling
mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, menegakan keadilan, memberantas
kezhaliman dan mencapai maslahat sekaligus menghindari dari kerusakan dan
sebagainya. Ia menambahkan bahwa demokrasi yang diinginkan ialah demokrasi
yang tetap mengedepankan dan mengagungkan keyakinan, norma, dasar-dasar
agama, wawasan dan akhlak, serta memprioritaskan semua nilai luhur tersebut di atas
demokrasi itu sendiri.67
Secara filosofis supremasi perintah Tuhan (syari’ah) yaitu sebagai standar
dasar, yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata
lain nilai-nilai demokrasi di terapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah,
sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-
prinsip musyawarah atau Syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang
murni.
67
Yusuf Al Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme. Penerjemah Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2008), h. 193-194.
BAB IV
PRAKTIK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATTAB
A. Pemilihan Umar bin Khattab Sebagai Khalifah
Ketika Abu Bakar sakit keras dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia
segera memutuskan untuk mengangkat pengganti dirinya. Abu Bakar tampaknya
tidak mau mewariskan konflik dalam menentukan posisi kepemimpinan umat Islam
seperti yang pernah terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu pasukan muslim
sedang berperang melawan tentara Romawi dan Persia. Mereka tentunya sangat
membutuhkan dukungan moral dan politis dari Madinah. Atas dasar itulah Abu Bakar
memutuskan untuk menyiapkan calon penggantinya.68
Maka bermusyawarahlah Abu Bakar dengan Ustman bin Affan, Abdurrahman
bin Auf dari kaum Muhajirin dan As’ad ibn Khudair dari Anshar. Demi kemaslahatan
umat Abu Bakar meminta bahwa kesepakatan penunjukan Umar sebagai khalifah
pengganti agar tidak sampai bocor.69
Setelah melihat bahwa mereka semua sependapat dengannya dalam masalah
ini, dia mendiktekan kepada Ustman bin Affan surat wasiatnya yang tertulis sebagai
berikut, “ Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Inilah yang
diwasiatkan oleh Abu Bakar kepada kaum muslimin. Amma ba’du, sesungguhnya
aku telah menunjuk untuk kalian Umar ibnu Khattab sebagai khalifah pengganti.
Kemudian seperti yang disebutkan oleh ath-Thabari, Abu Bakar memandang
khalayak ramai (setelah mendiktekan wasiatnya itu), seraya berkata, “Apakah kalian
rela dengan orang yang aku tunjuk sebagai khalifah untuk kalian? Demi Allah,
68
Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h.23 69
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam,
(Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 68
sesungguhnya aku tidak melakukan ini tanpa bermusyawarah dan aku juga tidak
menunjuk sanak kerabat, dan sesungguhnya aku telah menunjuk Umar ibnul Khattab
sebagai khlaifah pengganti untuk kalian. Maka dengarkanlah dia dan taatilah.”
Merekapun menyambut serempak,” Sami’naa wa athaa’naa (kami mendengar dan
kami taat)70
Dipilihnya Umar bin Khattab pada waktu itu dipercaya sebagai ketua lembaga
peradilan negara; dan secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas
sebagai khalifah nantinya. Pilihan ini tidak serta merta diputuskannya sendiri,
melainkan juga dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan para sahabat besar. Setelah
disepakati, baru diumumkan calon khalifah penggantinya itu.71
Dikukuhkannya Umar sebagai khalifah mempunyai nilai yang sangat penting
bagi perkembangan Islam sebagai kekuatan politik. Pada masanya, sebuah
pemerintahan yang solid dan didukung oleh birokrasi yang cukup sophisticated
terpancang dari semenanjung Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia, sampai Mesir.
Kebijakan-kebijakan yang diambilnya mendapat respek yang luar biasa dari umat
Islam, kecuali golongan Syiah.72
B. Implementasi Nilai-nilai Syura pada Masa Pemerintahan Umar bin Khattab
Kepemimpinan umat telah diserahkan kepada Umar bin Khattab melalui
bay’at. Khalifah Umar memegang tampuk pemerintahan berarti ia memegang amanat
70
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah, Abdul Hayyi al-Kattani,
(Jakarta: aGema Insani Press, 2001), h. 134 71
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 104 72
Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h. 23-24
kepemimpinan. Umar berupaya menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, sekalipun
ia telah mempunyai kekuasaan, namun Umar tidak ingin mengandalkan segala
tindakannya kepada faktor kekuasaan. Bahkan dengan musyawarah tersebut,
kekuasaan dan kewibawaan Umar semakin nampak integritasnya terhadap umat,
sebagaimana yang diucapkan dalam pidatonya bahwa ia seperti salah seorang diantara
mereka, karenanya Umar tidak bisa melepaskan diri dari sahabatnya. Akan tetapi
sebagai kepala Negara Umar merasa bertanggung jawab dan siap menerima pendapat
melalui berbagai aktivitas musyawarah yang dilaksanakan.73
Seperti yang sudah diketahui, bahwa Umar diangkat menjadi khalifah melalui
musyarawah yang sekaligus menunjukkan bahwa masa pemerintahan Abu Bakar
telah berakhir. Dan Umar tetap memperhatikan musyawarah dalam kepentingan
umat, dan disamping itu juga memperlihatkan komitmennya terhadap syura.
Musyawarah telah ada sejak masa pemerintahan Abu Bakar dan terus berlanjut
hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, dan dari sinilah Umar bin Khattab
menbangun musyawarah yang merupakan pengembangan dari dasar-dasar prinsip
musyawarah yang telah ada dan di bangun dari masa kepemimpinan sebelumnya. Dan
oleh Umar bin Khattab prinsip-prinsip ini diperkuat menjadi suatu institusi untuk
menghargai pendapat umat. Mulai dari sinilah Umar memberikan hak dan
kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini dapat
dilihat dengan dibentuknya suatu lembaga musyawarah (Majlis Syura) dalam
pemerintahan. Pembentukan lembaga ini menunjukkan suatu perkembangan yang
luar biasa pada saat itu. Karena dengan adanya lembaga tersebut suatu hasil
keputusan yang diangkat dari lembaga Majlis Syura dan segala keputusan yang
diambil bisa lebih terarah dan dapat cepat diselesaikan.
73
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001), h. 107
Pada masa pemerintahan Umar aktivitas musyawarah semakin meningkat
dibanding sebelumnya, karena pada waktu itu banyak permasalahan yang harus
dihadapi, disamping perkembangan Islam yang semakin melebar. Persoalan masalah
kenegaraan maupun keagamaan itupun timbul dan harus dibicarakan dalam forum
musyawarah. Umar bin Khattab sangat menghormati para sahabat dan memanfaatkan
kreatifitas pemikiran dan pendapat mereka, karena para sahabat tersebut menurut
Umar merupakan peserta musyawarah yang memiliki hak utama untuk
mengungkapkan pendapat secara jelas. Mereka itu para sahabat ahl al syura yang
berdomisili di kota Madinah dan tidak diperkenankan meninggalkan kota. Berikut
disampaikan nilai-nilai syura sebagai berikut:
1. Persamaan dan Kebebasan
Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang terbesar sepanjang
sejarah Islam sesudah Nabi Muhammad. Kebesarannya terletak pada
keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid
yang ahli, dalam membangun sebuah Negara besar yang ditegakkan atas prinsip-
prinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam kedudukannya sebagai mujtahid, Umar termasuk pada ranking pertama
dalam tujuh besar sahabat-sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa, dan orang
terdepan membawa panji-panji mazhab ra’y yang kepergiannya ke hadirat Allah
dengan membawa sembilan persepuluh ilmu, menurut Bin Mas’ud.74
Umar juga berusaha menanamkan rasa persamaan dan kemerdekaan di
kalangan rakyatnya. Satu contoh pada saat ia melakukan tindakan tegas kepada
74
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Bin Al-Khattab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam
Islam, Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428), h. 31-32.
pemilik tanah, tapi di sisi lain juga ia ramah kepada rakyat biasa. Para jenderal dan
gubernur pun selalu mengigil ketakutan disaat berhadapan dengan Umar. Tapi
sebaliknya, orang-orang kecil dan rakyat akan merasa bebas untuk mengomentari
pembicaraannya saat dia berada didepan publik. Dari situ kondisinya memang sangat
terlihat menggambarkan sebuah persamaan dan kemerdekaan.
Selain itu, persamaan di depan hukum dalam islam dipertegas lagi dengan
persamaan di depan peradilan. Semua warga Negara sama di depan peradilan, baik
dari segi kepatuhan mereka terhadap keputusan, prosedur yang dipenuhi dalam
melakukan dakwaan, dasar-dasar pengaduan, prinsip-prinsip memutuskan,
pelaksanaan keputusan, pelaksanaan hukum maupun kewajiban berlaku adil di antara
orang yang berselisih. Tidak ada perbedaan satu individu dengan yang lain, bahkan
musuh pun merasakan keadilan dan persamaan di depan peradilan.75
Dan khalifah Umar bin Khattab mengusahakan dan memperjuangkan prinsip
persamaan di depan undang-undang, yang merupakan suatu ijtihad luar biasa dari
Umar yang didasarkan pada sumber hukum Islam, dimana sampai saat ini masih
banyak negara yang hendak mewujudkan prinsip-prinsip ini. Hal ini dapat dilihat juga
dari beberapa peristiwa revolusi yang terjadi di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19
yang tidak lain bertujuan untuk mewujudkan adanya persamaan di depan undang-
undang dan pengadilan. Umar telah mengusahakan prinsip persamaan di depan
undang-undang dan pengadilan ini atas dasar hukum Islam sejak Umar menjabat
sebagai khalifah karena Umar memang sudah menghadapi perkembangan orang-
orang Arab dari keadaan kesukuan di pedalaman yang memang tidak mengenal
administrasi pemerintahan dan pengadilan masyarakat kepada keadaan sebagai
75
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 9
masyarakat madani serta sistem Islam yang berdiri di atas dasar persamaan di depan
undang- undang dan di depan pihak yang melaksanakan undang-undang itu.
Di bidang ekonomi, Umar menerapkan sistem intervensi pemerintahan
(kebebasan positif) dalam hal tertentu dengan membuat kebijakan baru, seperti tanah-
tanah pertanian yang baru dibebaskan oleh tentara Islam di negeri Syiria. Irak, Persia
dan Mesir. Dinasionalisasikan, penggarapannya tetap pemilik asli yang lama dengan
syarat mereka dikenakan pajak penghasilan. Hasil pajak itu dibagikan kepada seluruh
lapisan masyarakat.76
Dengan diterapkannya sistem tersebut semua pihak dapat merasakan keadilan
dan semuanya merasa diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan sehingga
semuanya dapat menikmati hasil dari pertanian yang digarapnya. Rakyat yang kurang
mampu atau yang tidak terlibat dalam urusan penggarapan pertanian juga dapat
menikmati hasilnya melalui perbaikan sarana dari hasil pajak yang diambil dari
keuntungan penghasilan pertanian tersebut.
2. Penegakkan Keadilan/Hukum
Dalam melaksanakan pemerintahan, Umar membuat beberapa peraturan baru.
Peraturan tersebut dihasilkan atas dasar musyawarah. Misalnya, pembinaan
pemerintahan dengan mendirikan kantor-kantor, meletakan dasar-dasar peradilan dan
administrasi, membentuk bait al-mal, mengatur jaringan pos, dan menempatkan
pasukan-pasukan di daerah perbatasan. Dengan banyaknya tugas yang diemban oleh
Umar, Umar senantiasa meminta pendapat dari para sahabat besar dalam
76
Ibid; h, 135
menyelesaikan beberapa permasalahan melalui lembaga permusyawaratan yang telah
dibentuknya.77
Lembaga permusyawaratan ini terbagi menjadi tiga. Yaitu, sidang umum,
sidang khusus, dan sidang terbatas. Pertama sidang umum. Yaitu merupakan
pertemuan bagi khalayak umum di kota Madinah. Dari situ, mereka diundang untuk
hadir di masjid Nabawi dan setelah melaksanakan shalat mereka berkumpul dan
khalifah Umar pun menyampaikan permasalahan yang perlu dibicarakan. Dalam
sidang umum seperti ini peserta musyawarah terdiri dari sejumlah besar warga
masyarakat dan para sahabat yang sekiranya mempunyai keahlian di bidangnya
masing-masing.
Lembaga permusyawaratan yang kedua yaitu sidang khusus, sidang ini
biasanya dilaksanakan dengan anggota tetap majelis, yang diadakan pada waktu-
waktu tertentu setelah sidang umum selesai. Di sini, khalifah memerlukan pendapat
orang-orang yang dipandang sebagai ahl al-hall wa al-aqd. Bila ia belum dapat
memutuskan suatu masalah meskipun masalah itu sebelumnya telah dipersoalkan
dalam sidang umum, atau ada di antara para sahabat yang belum merasa puas dengan
hasil kesepakatan sidang umum. Sehingga keputusan tersebut belum dapat dikatakan
sebagai hasil final, tetapi baru merupakan suatu usulan yang mendapat dukungan
mayoritas peserta musyawarah. Kemudian sahabat besar bermusyawarah kembali
dengan khalifah. Inilah yang dikatakan sebagai kategori sidang khusus.78
Lembaga permusyawaratan yang ketiga yaitu sidang terbatas. Sidang ini
hanya dilakukan bila ada suatu permasalahan yang dihadapkan kepada khalifah.
Sebetulnya, permasalahan tersebut bisa saja hanya khalifah sendiri yang
77
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 107. 78
Ibid., h. 109
memutuskannya. Akan tetapi, ia masih tetap melaksanakan musyawarah dengan para
sahabat meski dalam jumlah terbatas. Dan pada masa pemerintahan Umar juga ada
beberapa bentuk sidang. Yaitu sidang resmi dan sidang darurat. Sidang resmi
biasanya diadakan di ibu kota Negara, sedangkan sidang darurat tidak mesti diadakan
di ibu kota, disamping tidak terikat dengan peraturan-peraturan.
Ketika Umar menjabat sebagai khalifah ada seorang laki-laki yang mencuri
suatu barang di bait al-mal tetapi Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan
kepada pencuri itu. Dan juga ada beberapa budak mencuri seekor unta, itupun tidak
diberi hukuman potong tangan karena terbukti kelaparan.
Jadi, bagi Umar tidak selamanya hukuman potong tangan itu harus
dilaksanakan. Penangguhan potong tangan juga dilaksanakan dalam peperangan.
Larangan Rasulullah untuk memotong tangan-tangan pencuri dalam peperangan
diartikan oleh Umar agar pencuri ketika itu tidak lari dan bergabung dengan musuh.
Pertimbangan-pertimbangan seperti itu jelas mempengaruhi pemikiran Umar dalam
menerapkan ketentuan ayat yang menerangkan tentang hukuman potong tangan,
sehingga penafsirannya tidak kering dan terpaut dengan teks-teks perundang-
undangan dalam Islam. Selain itu pertimbangan Umar tidak melakukan pemotongan
tangan juga bertolak dari pengecualian yang ditentukan dalam Al-Qur’an terhadap
orang yang berada dalam keterpaksaan.79
Pada waktu Umar menjabat sebagai khalifah juga pernah tidak membagikan
zakat kepada salah satu muallaf. Karena Umar berpendapat pada waktu itu Nabi
masih hidup orang-orang muallaf diberikan zakat dengan tujuan untuk memperkuat
Islam, tetapi pada masa Umar keadaan itu sudah berubah dan Islam pun sudah kuat.
Dengan demikian bagian itu sudah tidak berlaku lagi.
79
Nuruddin, Ijtihad Umar Bin Khattab, h. 35.
Dalam memelihara keutuhan Negara, Umar pun memerlukan adanya kekuatan
militer yang tangguh. Umar pun mulai membentuk tentara reguler dengan sistem
imbalan oleh Negara dari baitul mal. Baitul mal dalam hal ini memiliki fungsi
sebagai kas Negara dan pusat pembekalan Negara. Dalam hal ini terkenal Diwan
Umar, yaitu suatu daftar orang-orang dalam lasykar yang diatur menurut suku
masing-masing. Diwan itu juga memberikan ketetapan jumlah gaji yang harus
diterima. Malah lebih jauh diwan tersebut menjelaskan pengelompokan jumlah gaji
tersebut berdasarkan masa waktu mereka memeluk Islam.80
Pada masa Umar juga penjara mulai didirikan. Awal mulanya Umar membeli
rumah Shafwan bin Umayyah seharga empat ribu dirham untuk dialihfungsikan
menjadi penjara. Dan akhirnya penjarapun didirikan. Awalnya penjara tersebut
ditempatkan bagi para pelanggar kejahatan saja. Tetapi, orang yang berutang dan
tidak mampu bayarpun dikirim ke penjara.
Lembaga konsultasi hukum yang juga merupakan pendamping lembaga
pengadilan dan penegakkan hukum itu juga ada dalam pemerintahan Umar. Lembaga
ini berfungsi untuk masyarakat awwam yang ingin memperkarakan suatu hal di
pengadilan, mengetahui hak dan kewajiban mereka dimata hukum. Maksud Umar
membentuk lembaga tersebut untuk rakyatnya mengenai peraturan hukum. Jika ada
orang ingin mengetahui hukum sesuatu, ia dapat menanyakan pada ahli hukum yang
diangkat Umar di setiap kota atau pemukiman yang besar.
Dibidang hukum juga Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dan
Umar juga orang yang pertama meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan
menyusun sebuah risalah yang di,kirim kepada Abu Musa Al-Asyary. Risalah
80
Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 38
tersebut kemudian disebut Dustur Umar (konstitusi Umar), atau risalah Al-Qadha
(surat peradilan). Untuk meningkatkan mekanisme pemerintahan di daerah, Umar
melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf, seperti sekretaris kepala, sekretaris
militer, pejabat perpajakan, pejabat kepolisian, pejabat keuangan, dan hakim serta
pejabat jawatan keagamaan.81
Dalam masa pemerintahan Umar sangat menjunjung tinggi keadilan dan
persamaan hak di depan hukum, contohnya pada masa itu Mesir yang merupakan
salah satu provinsi dalam daerah kekuasaan Umar terdapat rumah seorang yang
beragama Yahudi yang letaknya bersebelahan dengan istana gubernur, dan rumah
tersebut akan dirobohkan oleh gubernur untuk dijadikan taman kota, akan tetapi orang
yahudi tersebut menolak rumahnya untuk dirobohkan, dia mengadu kepada gubernur,
namun tidak dihiraukan oleh sang gubernur, akhirnya orang Yahudi tersebut melapor
kepada khalifah Umar, dan Umar mengirimkan pesan berupa tulang Unta yang telah
diberi garis lurus oleh pedang khalifah Umar. Kemudian pesan tersebut diterima oleh
gubernur Mesir tersebut, setelah menerima pesan dari khalifah Umar, gubernur
langsung meminta maaf kepada orang yahudi dan mendirikan kembali rumah orang
Yahudi itu. Dalam pesan itu tersirat betapa adilnya Umar terhadap rakyat dan betapa
tegasnya Umar terhadap para anak buahnya yang menjalankan pemerintahan.
Khalifah Umar sangat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan berbagai
macam permasalahan, baik persoalan yang menimpa rakyatnya ataupun masalah
tentang hukum dalam agama, Umar tidak selalu sendirian dalam menyelesaikannya
setiap permasalahan itu, lebih banyak Umar menyelesaikan permasalah tersebut
dengan para ahli syura yang memang memiliki kompetensi di bidangnya masing-
81
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi
(Jakarta: Hikmah, 2003) h. 41
masing, sehingga setiap keputusan yang diambil bisa dipertanggung jawabkan kepada
rakyatnya.
3. Prioritas Musyawarah dalam Hal-hal yang Menyangkut Orang Banyak
Dalam syari’ah Islam ditegaskan bahwa kebijaksanaan pemimpin yang
menyangkut rakyat harus mengikuti prinsip kemaslahatan dan ini merupakan kaidah
yang sudah disepakati oleh para imam. Seorang pemimpin menempatkan dirinya
dihadapan Allah seperti kedudukan wali kepada anak yatim. Hal ini seperti yang
dicontohkan dalam hal pengelolaan baitul mal. Jika seseorang membutuhkan maka
bisa mengambil dari harta itu, dan jika kebutuhannya sudah cukup maka harus
mengembalikannya, dan bagi yang berkecukupan maka harus menahan diri untuk
tidak mengambil hak di baitul mal itu.
Jika seorang pemimpin membagikan zakat hendaklah membagikan zakat
kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan tidak boleh berlebihan dalam
pembagian. Hal ini berarti membagi rata jika kebutuhannya juga sama. Seorang
pemimpin tidak boleh mengesahkan wasiat kepada orang yang tidak memiliki ahli
waris lebih dari sepertiga hartanya. Juga, seorang pemimpin tidak boleh
mengeluarkan harta dari baitul mal lalu memberikannya kepada orang yang tidak
membutuhkan dan mengabaikan orang yang membutuhkan.
Umar bin Khattab pernah mengangkat Amar bin Yasir sebagai imam shalat
dan sekaligus komandan perang. Kemudian mengangkat Abdullah bin Mas’ud
menjadi hakim dan mengurus baitul mal, mengangkat Utsman bin Hunaif menangani
pembagian tanah. Umar memberi gaji atau tunjangan harian bagi tiga orang ini,
berupa seekor kambing yang diambil dari baitul mal, dan harus dibagi diantara
mereka bertiga. Bagian lambung dan perutnya menjadi bagian Amar. Seperempat
bagian yang lain menjadi bagian Abdullah bin Mas’ud, dan seperempat bagian lagi
menjadi bagian Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini, Umar berkata, “Aku menempatkan
diriku di tengah kalian dalam menangani harta ini seperti kedudukan wali yatim.
Dalam surah An-Nisa ayat 5 disebutkan,” Barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut cara yang patut.”
Atas dasar inilah pemimpin tidak boleh melebihkan pembagian dan harus membagi-
bagikannya di antara orang-orang muslim menurut haknya.
Khalifah Umar dalam menjalankan pemerintahanya selalu memperhatikan
kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau kepentingan rakyatnya di atas
kepentingan pribadinya, bagi Umar seorang pemimpin yang bertanggung jawab
adalah pemimpin yang tahu apa yang dibutuhkan oleh orang yang dipimpinnya atau
rakyatnya, Umar pun tidak segan-segan berkorban untuk kepentingan rakyatnya,
contohnya Umar terjun langsung untuk melihat keadaan rakyatnya, sehingga tidak
ada yang merasa dirugikan dari keputusan yang sudah ditetapkannya dan Umar
terhindar dari perbuatan zalim yang dilarang oleh agama.
4. Pembentukan Tim Suksesi Pemilihan Utsman bin Affan
Ketika Umar menghadapi sakaratul maut setelah ditikam oleh orang Majusi,
Abu Lu’lu’ah, Umar menunjuk enam orang sahabat besar.82 Keenam sahabat besar
yang merupakan khalifah tersebut bermusyawarah dan memilih salah seorang di
antara mereka, setelah bertanya kepada khalayak ramai. Setelah Umar meninggal
dunia, mereka menyerahkan urusan penyelidikan dan permusyawarahan dengan
rakyat kepada salah seorang di antara mereka, yaitu Abdurrahman bin Auf. Setelah
82
Mereka adalah Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, Ali bin
Abu Thalib, az-Zubair binul Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.
terus menerus bermusyawarah dengan masyarakat selama tiga hari, Abdurrahman bin
Auf mendapatkan bahwa sebagian besar rakyat lebih memilih Utsman bin Affan.
Maka, ia mengadakan pertemuan umum di masjid Madinah, dan setelah saling
mengeluarkan pendapat, pertemuan tersebut berakhir dengan diangkatnya Utsman bin
Affan sebagai khalifah yang diikuti dengan pembaiatan oleh seluruh manusia secara
aklamasi.83
Musyawarah atas terpilihnya Utsman berawal dari gagasan Umar sebelum ia
wafat. Setelah Umar wafat berkumpulah para ahl al syura di rumah al-Miswar bin
Makhramat selama beberapa hari untuk membahas mengganti khalifah. Pada
pertemuan pertama belum membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan yang terlihat
hanya persaingan antara Bani Umiyah dan Bani Hasyim yang masing-masing pihak
mencalonkan Utsman dan Ali. Ketika itu Abdurahman bin Auf mengusulkan kepada
anggota sidang majelis dengan tawaran siapa yang akan mengundurkan diri sebagai
calon, dialah yang diberi hak penuh untuk menetapkan siapa yang akan menjadi
khalifah.
Hal tersebut tidak didukung oleh seorangpun peserta musyawarah. Hal ini
dimanfaatkan oleh Abdurahman bin Auf untuk mencabut dirinya sebagai calon
khalifah dan meminta kepada peserta musyawarah agar ditunjuk sebagai ketua
pemilihan dan akhiranya hal tersebut disetujui oleh anggota majelis, kecuali Ali bin
Abu Thalib yang hanya bersikap diam. Pada akhirnya, Ali berkata setelah didesak
oleh Abdurahman bin Auf untuk berjanji bahwa Abdurahman bin Auf tidak akan
mengikuti hawa nafsu serta tidak memilih keluarga ia sendiri dan tidak akan membuat
umat dalam keadaan susah. Dari perkataan Ali tersebut, terlihat kekhawatiran Ali
83
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori politik Islam. Penerjemah, Abdul Hayyie, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 135
terhadap ketua pemilihan karena adanya hubungan keluarga bagi calon-calon yang
akan dipilih.
Abdurahman bin Auf sendiri tidak terlalu berambisi untuk menggunakan
wewenang peserta musyawarah yang diamanatkan kepadanya. Hal ini dibuktikan
Abdurahman bin Auf dalam menggunakan cara bermusyawarah. Abdurahman bin
Auf tidak hanya mengandalkan sidang-sidang resmi saja, tetapi juga menggunakan
cara dengan berkeliling menemui para tokoh atau semacam melakukan dengar
pendapat dengan orang-orang di luar sidang majelis yang terkemuka, yaitu sahabat-
sahabat besar, bahkan panglima dan para cendikiawan di Madinah. Dari hasil
musyawarah dengan para tokoh yang ada dalam dengar pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa mayoritas umat lebih cenderung kepada Ustman bin Affan.
Tindakan Abdurahman bin Auf ini merupakan referendum untuk mengetahui sejauh
mana pendapat umat, dan hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan.
Ketika sidang musyawarah akan dimulai lagi, perdebatan sengit terjadi antara
pendukung Utsman dan Ali. Hal ini menunjukan bahwa dalam bermusyawarah
dibolehkan adanya kebebasan dan kemerdekaan dalam berpendapat. Sebagai contoh,
ketika Ali ditanya terlihat bahwa ia enggan untuk berjanji apabila ia menjabat sebagai
pemimpin untuk bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta kedua
khalifah sebelumnya. Ali menjawab dengan kalimat spontanitas dan kurang tegas, ia
pun berkata, “Saya berharap demikian, saya akan berbuat sesuai dengan ilmu dan
kemampuan saya. Saya akan memberikan yang terbaik.”. Hal ini dapat dimaklumi
karena Ali dikenal sebagai sahabat yang luas ilmu, dan seorang yang sholeh, sehingga
ia melihat segala sesuatu sesuai dengan pandangan dan pengetahuannya. Meski sikap
ini dinilai kurang menguntungkan secara politis, karena seorang pemimpin dituntut
untuk bersikap tegas dalam menghadapi segala permasalahan dan persoalan hidup
yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan ini, Utsman bin Affan
menjawab dengan tegas, ia berkata, “iya, saya laksanakan”. Dan secara politis
Utsman memperoleh kemenangan karena ia telah menyakinkan ketua pemilihan
Abdurrahman bin Auf dihadapan para anggota sidang majelis dan para pemuka
dengan sikapnya yang tegas dan pantas dan menjadi pemimpin. Abdurrahman bin
Auf langsung mengucapkan kalimat syahadat bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya
dan kemudian membai’at Utsman sebagai khalifah diikuti oleh para hadirin peserta
sidang musyawarah.
Pelaksanaan musyawarah untuk menentukan khalifah ketiga ini lebih baik dari
sebelumnya walaupun masih ada beberapa pihak yang merasa kurang puas. Dari segi
perolehan suara, Utsman mendapatkan tiga suara sementara Ali memperoleh dua
suara. Keputusan hasil musyawarah ini tidak hanya berdasarkan semata-mata dari
hasil sidang, tetapi juga memperhatikan pendapat umum warga masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari kegigihan Abdurrahman bin Auf saat menemui para tokoh dan para
intelektual untuk melakukan dengar pendapat, sehingga tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa ketua pemilihan melakukan kecenderungan untuk tidak adil.
Dalam pelaksanaan musyawarah pemilihan khalifah ketiga ini, meskipun atas
prakarsa Umar sebelum wafat -sebagaimana halnya Rasulullah- Umar lebih suka
meninggalkan masalah kepemimpinan itu tetap terbuka dan membiarkan umat atau
masyarakat memecahkan persoalan dan permasalahan mereka sendiri. Berbeda
dengan Rasulullah, Umar lebih memilih untuk menyerahkan persoalan tersebut
kepada suatu tim atau majelis yang merupakan perwakilan umat. Hal ini menunjukan
bahwa adanya perkembangan dalam pelaksanaan musyawarah yang berbeda dengan
apa yang telah dilaksanakan oleh khalifah pertama Abu Bakar Siddiq. Pemilihan
khalifah ketiga ini dapat dikategorikan sebagai musyawarah yang terakhir dalam
pemerintahan Umar bin Khattab sekaligus ini juga merupakan awal musyawarah dari
era pemerintahan Utsman bin Affan.
Pada dasarnya pada masa kepemimpinan Umar tetap melanjutkan sistem
musyawarah atau syura yang sebelumnya sudah di gariskan dalam Al-Qura’an dan
yang sudah ada pada masa khalifah Abu Bakar, namun tidak hanya sekedar
melanjutkan saja, tapi Umar juga ikut andil dalam menyempurnakan tata cara
pelaksanaannya, sehingga pada masa kepemimpinannya syura merupakan sebuah
pencapaian yang gemilang dari masa pemerintahan khalifah Umar, karena beragam
masalah atau persoalan sudah banyak yang diselesaikan dengan jalan bermusyawarah
atau dengan cara syura.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pemaparan bab-bab sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa, proses pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah di awali ketika Abu
Bakar merasa bahwa ajalnya telah dekat, Abu Bakar merasa harus memilih pengganti
dirinya sebagai khalifah. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat atau orang-
orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya
Abu Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah.
Pada waktu itu sebagian sahabat menentang pencalonan Umar karena mereka
khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Namun setelah para sahabat itu
bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun akhirnya menyepakati pencalonan
Umar untuk menjadi pengganti Abu Bakar. Kemudian Umar diangkat sebagai
penerus Abu Bakar disertai para sahabat untuk membai’at Umar sebagai khalifah.
Umar diangkat menjadi khalifah melalui musyarawah yang sekaligus
menunjukkan bahwa masa pemerintahan Abu Bakar telah berakhir. Umar berupaya
menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dan memperlihatkan komitmennya
terhadap syura. sekalipun ia telah mempunyai kekuasaan, namun Umar tidak ingin
mengandalkan segala tindakannya kepada faktor kekuasaan. Akan tetapi sebagai
kepala Negara Umar merasa bertanggung jawab dan siap menerima pendapat melalui
berbagai aktivitas musyawarah yang dilaksanakan.
Musyawarah telah ada sejak masa pemerintahan Abu Bakar dan terus
berlanjut hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, dan dari sinilah Umar bin
Khattab membangun musyawarah yang merupakan pengembangan dari dasar-dasar
prinsip musyawarah yang telah ada dan di bangun dari masa kepemimpinan
sebelumnya. Dan oleh Umar bin Khattab prinsip-prinsip ini diperkuat menjadi suatu
institusi untuk menghargai pendapat umat. Umar memberikan hak dan kesempatan
yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan
dibentuknya suatu lembaga musyawarah (Majlis Syura) dalam pemerintahan.
Pembentukan lembaga ini menunjukkan suatu perkembangan yang luar biasa pada
saat itu. Karena suatu hasil keputusan diangkat dari lembaga tersebut.
Umar bin Khattab sangat menghormati para sahabat dan memanfaatkan
kreatifitas pemikiran dan pendapat mereka, karena para sahabat tersebut menurut
Umar merupakan peserta musyawarah yang memiliki hak utama untuk
mengungkapkan pendapat secara jelas.
Selanjutnya dapat dilihat nilai-nilai syura yang terdapat pada masa
pemerintahan Umar bin Khatab meliputi Persamaan dan kebebasan, Penegakkan
keadilan/hukum. Umar mengatakan bahwa di dalam bermusyawarah itu tidak ada
perbedaan di depan hukum. Baik itu dilihat dari suku, miskin atau kaya, pejabat atau
pegawai biasa, itu sama dimata hukum. Dan Umar juga memberi kebebasan kepada
rakyatnya untuk menegur hal apapun kepada kepala Negara nya apabila melanggar
peraturan yang subah ditetapkan. Prioritas musyawarah dalam hal-hal yang
menyangkut orang banyak. Karena kebijaksanaan seorang pemimpin yang
menyangkut rakyat itu harus mengikuti prinsip kemaslahatan, dan ini merupakan
suatu kaidah yang sudah disepakati oleh para imam.
B. Saran
Pemimpin merupakan tokoh penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik
dan tidaknya sebuah pemerintahan ditentukan oleh sikap atau perilaku yang dilakukan
oleh pemimpinnya, maju atau mundurnya sebuah Negara juga tergantung pada
pemimpinnya. Karena seorang pemimpin yang adil dan bijaksana merupakan sumber
dari sebuah pengelolaan pemerintahan dan Negara yang baik. Hal itu dapat tercermin
pada seorang pemimpin yang menerapkan sistem syura pada pengambilan
keputusannya di dalam pemerintahan.
Syura bukan hanya kata tanpa makna, namun syura merupakan sebuah kata
yang sarat akan makna yang berartikan suatu cara dalam mengambil keputusan. Oleh
karena itu jangan hanya memaknai kata syura pada tataran kehidupan bernegara dan
kehidupan berpolitik saja, walaupun kita tidak dapat terlepas dari seputar
permasalahan tersebut, namun juga harus dipahami bahwa syura merupakan salah
satu perintah yang ada di dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat global dan
universal maka suatu keharusanlah untuk setiap umat Islam melaksanakan perintah
tersebut dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Syura pada saat ini masih bisa dilakukan, karena dalam syura terdapat nilai-
nilai keadilan dan dapat menyelesaikan beragam masalah. Akan tetapi pada saat ini
sudah banyak orang atau pihak yang meninggalkan syura, khususnya di Negara kita
Indonesia, kebanyakan orang lebih menerapkan sistem demokrasi dari Barat dan lebih
mengutamakan suara mayoritas dalam menyelesaikan masalah, baik masalah tentang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, contohnya dalam mencari pemimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah
Maufur Jakarta: Robbani Press, 2000.
Ahmad, Mumtaz. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi,
Bandung: Mizan, 1993.
Al Akkad, Abbas Mahmoud. Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme. Penerjemah Khoirul Amru Harahap Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008.
Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-
Banna. Penerjemah Wahid Ahmadi Solo: Era Intermedia, 2001.
Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem
Pemerintahan Islam Bogor: Al Azhar Press, 2004.
Qardhawy, Yusuf. Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman Yogyakarta:
UII Press, 2000.
Anwar, Hamdani. “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002.
As-Syawi, Taufiq Muhammad. Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin
Z.s, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Asyri, Zul. Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin Jakarta: Kalam Mulia, 1996.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Fadlali, Ahmad dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004.
Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Penerjemah Ali Audah Bogor:
Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002.
Hakim, Masykur. Pemikiran Politik Islam Modern Jakarta: Pelita Insani, 2002.
Hasbi,Artani. Musyawarah dan Demokrasi Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001.
Murad, Mustafa. Kisah Hidup Umar Bin Khattab, Jakarta: Zaman, 2009.
Nuruddin, Amiur. “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum
dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, Zulqa’dah 1428.
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v Jakarta: PT.
Ichtiar baru Van Hoeve, 1994.
Pulungan, Suyuthi Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau
Dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah, Abdul Hayyi al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Saefuddin, Didin. Sejarah Peradaban Islam Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
dengan UIN Jakarta Press, 2007.
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi,
Jakarta: Hikmah, 2003.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI-Press, 1993.
Syafi’i, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: PT Refika Aditama,
2005.
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Surabaya: Pustaka
Islamika press, 2003.
Zada, Khamami dan Arief R. Arofah. Diskursus Politik Islam Ciputat: LSIP, 2004.