Transcript
Page 1: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di

seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara

berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab dibilitas kronik yang mempunyai

dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh

karena frekuensinya yang demikian sering, seorang dokter umum perlu memahami

gejala-gejala dari penyakit ini serta penyebab-penyebab yang mungkin dapat

mendasari suatu kondisi anemia.

1.2 Tujuan

Makalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang

perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu kasus yang merujuk

pada anemia normositik normokrom.

1.3 Manfaat

Penulis berharap, makalah ini bisa bermanfaat untuk menjadi referensi dalam

persiapan pleno program Problem Based Learning yang akan datang.

1

Page 2: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

BAB II

Isi

2.1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan :

- Identitas pasien.1-3

- Keluhan utama : pada skenario, pasien datang dengan keluhan mudah lelah

kuraini dan wajah terlihat agak pucat.

- Keluhan tambahan : tidak ada.

- Riwayat penyakit sekarang :

o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung = 2-3 minggu.

o Apakah ada serangan rasa nyeri? Pada anemia sel sabit, rasa nyeri yang

datang selalu tiba-tiba dan berakhir tiba-tiba.

o Jika ada rasa nyeri, perlu ditanyakan predileksinya.

o Apakah memakan obat-obatan tertentu?

o Apakah baru-baru ini melakukan aktivitas tertentu di luar ruangan? Atau

sedang mengalami stress?

o Bagaimana pola hidup pasien belakangan ini?

o Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.

o Jika sebelum ini pernah mengalami hal yang sama, apakah ada faktor tertentu

yang menurut pasien memicu kondisi tersebut?

o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang

sama pada saat ini?

o Apakah sejak muncul gejala, gejala bertambah parah seiring waktu?

o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang

telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan

dengan penyakit yang saat ini diderita. 1

- Riwayat penyakit dahulu : bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-

kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan

penyakit sekarang.1

- Riwayat kesehatan keluarga. Perlu ditanyakan apakah ada keluarga yang di

diagnosis penyakit kelainan tertentu. Defisiensi G6PD, sferosit herediter, dan

anemia sel sabit termasuk penyakit yang diturunkan melalui mutasi gen. 1

- Riwayat penyakit menahun keluarga. 1

2

Page 3: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

2.2. Pemeriksaan fisik

Hasil pemeriksaan fisik umum diatas menunjukkan kondisi yang normal

dari pasien. Pada skenario disebutkan keadaan umum pasien adalah tampak sakit

ringan dan kesadarannya compos mentis.

Karena pasien datang dengan kondisi pucat, perlu dilakukan sedikit

pemeriksaan fisik tambahan yang lebih spesifik yaitu memeriksa kondisi

konjungtiva dan sklera mata pasien. Konjungtiva yang pucat merujuk pada

kondisi kekurangan darah sedangkan sklera yang ikterik menunjukkan tingginya

kadar bilirubin dalam darah.

2.2.2 Pemeriksaan fisik khusus : abdomen

Untuk pemeriksaan fisik pada bagian abdomen, dilakukan dengan terlebih

dahulu membagi bagian abdomen dengan 2 cara :

1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal

melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan

bawah, dan kiri bawah. 1

2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua

garis vertical :

• Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan

igakesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anterior

superior (SIAS). 1

• Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS

dan mid-line abdomen. 1

3

Page 4: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Sehingga didapatkan 9 regio, yaitu hipokondrium kanan, epigastrium,

hipokondrium kiri, lumbal kanan, umbilical, lumbal kanan, iliaka kanan,

hipogastrium/suprapubik, dan iliaka kiri. 1

a. Inspeksi

Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan

seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:

- Keadaan kulit; Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid

(cekung).

- Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali,

splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis). 1

- Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.

- Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau

tumor apa. 1

- Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada

dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).

- Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan

gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical. 1

Perhatikan juga gerakan pasien:

- Pasien sering merubah posisi,

- Pasien sering menghindari gerakan,

- Pasien sering melipat lutut ke atas agar tegangan abdomen berkurang/ relaksasi,

- Pasien melipat lutut sampai ke dada, berayun-ayun maju mundur pada saat nyeri. 1

b. Palpasi

Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:

- Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya

pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru. 1

- Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan.

Sedangkan untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan

agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada

dinding abdomen. 1

- Palpasi dimulai dari daerah superfisial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang

dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir. 1

4

Page 5: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

- Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta

untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunter & spasme sejati; dengan

menekan daerah muskulus rectus, minta pasien menarik napas dalam, jika

muskulus rectus relaksasi, maka itu adalah spasme volunter. Namun jika otot kaku

tegang selama siklus pernapasan, itu adalah spasme sejati. 1

- Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan

kiri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di

bagian depan dinding abdomen. 1

c. Perkusi

Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara

keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa

padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam

lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara

perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara),

kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat). 1

- Orientasi abdomen secara umum.

Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis untuk

mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness). Pada perforasi

usus, pekak hati akan menghilang. 1

- Cairan bebas dalam rongga abdomen

Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites) akan menimbulkan suara

perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau suara dullness

dominan. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien

dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah. Cara pemeriksaan

asites:

o Pemeriksaan gelombang cairan (undulating fluid wave).

Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnyaadalah

ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang cairan

yang akan diteruskan ke sisi yang lain. Pasien tidur terlentang, pemeriksa

meletakkan telapak tangan kiri pada satu sisi abdomen dan tangan kanan

melakukan ketukan berulang-ulang pada dinding abdomen sisi yang lain.

Tangan kiri kan merasakan adanya tekanan gelombang. 1

o Pemeriksaan pekak alih (shifting dullness).

5

Page 6: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Prinsipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen terendah.

Pasien tidur terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan suara timpani ke

redup pada kedua sisi. Lalu pasien diminta tidur miringpada satu sisi, lakukan

perkusi lagi, tandai tempat peralihan suara timpani ke redup maka akan

tampak adanya peralihan suara redup. 1

d. Auskultasi

Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltik usus dan

bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit..

- Mendengarkan suara peristaltik usus.

Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke

seluruh bagian abdomen. Suara peristaltik usus terjadi akibat adanya gerakan

cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit. Bila

terdapat obstruksi usus, peristaltik meningkat disertai rasa sakit (borborigmi).

Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak membesar dan tegang, peristaltik

lebih tinggi seperti dentingan keping uang logam (metallic-sound). Bila terjadi

peritonitis, peristaltik usus akan melemah, frekuensinya lambat, bahkan

sampai hilang. 1

- Mendengarkan suara pembuluh darah.

Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolik, atau kedua fase.

Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada

hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah

epigastrium. 1

e. Pemeriksaan Hepar

Untuk pemeriksaan hepar prosedur tambahannya yaitu dengan perkusi

batas bawah hepar: Mulai dari bawah umbilikus di mcl kanan perkusi dari bawah

ke atas sampai suara redup (tidak ada pergeseran ke bawah/ Obstruksi paru

kronik). Dilanjutkan perkusi batas atas hepar: daerah paru ke bawah sampai suara

redup. Tinggi antara daerah redup (tidak ada pembesaran hepar) diukur.1,2

Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelang penderita

menyangga costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke

depan, diraba dari depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan

6

Page 7: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

ditempatkan pada lateral otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan

lembut ke arah atas. 1,2

Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke

bawah (tangan dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga meraba

permukaan yang lunak tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran).1,2

2.3. Pemeriksaan penunjang

Untuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,

dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk

menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hapus darah tepi,

dan pemeriksaan bilirubin (terutama bilirubin indirek).

Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah

leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai

normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan

tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah :

1. Hitung sel darah merah : pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta

sel/mikroliter).

2. Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter.

3. Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL).

4. Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%).

5. Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit/mikroliter.

6. Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)

7. Hitung jenis leukosit : neutrofil (55-70%); eosinofil (1-3%); basofil (0-1%);

limfosit (20-40%); monosit (2-8%)

Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui mean corpuscular volume

(MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan mean corpuscular hemoglobin

concentration (MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah

eritrosit. MCH adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan jumlah eritrosit.

Sedangkan MCHC adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit.

Ketiga hitungan tersebut menunjukkan nilai eritrosit rata-rata. Nilai rujukan untuk ketiga

hitungan tersebut adalah :

1. MCV = 82-92 fL

2. MCH = 27-37 pg

3. MCHC = 32-37%

7

Page 8: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik

hipokrom yang biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan

anemia megaloblastik. Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan

sferositosis. 4-7

Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red

cell distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5

coefficient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada

anemia hemolitik.

Selain itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah

eritrosit, namun bukan ciri khas dari anemia hemolitik. 4-7

Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari

hapus darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan

eritrosit, yang perlu diperhatikan adalah ukuran, warna, dan bentuknya. Sedangkan pada

keadaan limfosit dan trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari

pemeriksaan darah tepi inilah dapat ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari

suatu anemia seperti sferosit, sel sabit, sel target, dan semacamnya. 4-7

Yang terakhir adalah pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan

indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan

bilirubin indirek tidak larut air dan hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada

pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total adalah 0.2-1 mg%, bilirubin direk adalah

0 - 0.2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0.2-0.8 mg%. Pada kondisi anemia hemolitik,

bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih tinggi merujuk ke gangguan fungsi

hepar ataupun kolestasis. 4-7

2.4. Differential Diagnosis

Karena data pada skenario yang diberikan tidak selengkap yang dibutuhkan,

diagnosis pasti tidak bisa ditegakkan. Secara umum gejala serta hasil pemeriksaan

penunjang pada skenario merujuk pada penyakit anemia hemolitik. Namun, ada sangat

banyak jenis anemia hemolitik tergantung dari penyebabnya. Karena itulah differential

diagnosis yang dibuat merupakan jenis-jenis dari anemia hemolitik yang memberikan

gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang awal yang mirip dengan skenario yang

diberikan.

8

Page 9: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

• Anemia hemolitik autoimun

Pada AIHA ini diagnosis dapat ditegakkan jika ada tanda-tanda yang

mendukung diantaranya adanya gejala klinik, anemia normokrom

normositer,hemolisis ekstravaskuler, kompensasi sumsum tulang dan tes

antiglobulin positif direk (Coombs) positif. Selain itu diagnosis dapat ditegakkan

karena adanya antibody atau komplemen pada eritrosit yang ada dalam sirkulasi,

dan adanya penghancuran eritrosit yang meningkat. Apabila gambaran klinik

mengarah pada AIHA tipe hangat tetapi tes Coombs negatif maka terapi dengan

obat imunosupresif dapat dipertimbangkan dan diagnosis merujuk ke sferosit

herediter. 4-7

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap mengenai jenis

obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sudah berapa lama obat-

obatan tersebut dikonsumsi. Hasil laboratorium yang dapat mengonfirmasi anemia

ini adalah retikulosis, anemia, MCV tinggi, tes Coombs positif, leukopenia,

trombositopenia, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.

• Anemia defisiensi G6PD

Kecurigaan atas anemia defisiensi G6PD dapat dikonfirmasi melalui tes

skrining G6PD (glucose-6-phosphate dehidrogenase). Perlu diketahui juga dari

anamnesis apakah pasien mengonsumsi obat-obatan yang menyebabkan hemolisis

pada orang dengan defisiensi G6PD, riwayat keluarga yang lengkap, kondisi

sehari-hari (apakah sedang stress atau mengonsumsi kacang fava), dan memeriksa

keadaan umum untuk mencari jika ada infeksi. 4-7

• Anemia sel sabit

Sindrom sel sabit dapat dilihat melalui anemia hemolitik, morfologi

eritrosit, dan nyeri iskemik yang intermitten. Diagnosis di konfirmasi melalui

elektroforesis hemoglobin dan sickling test. Pemeriksaan profil hemoglobin

sebaiknya dilakukan untuk membedakan anemia sel sabit dari thalasemia.

• Sferosit herediter

Jika pada anamnesis ditemukan bahwa ada keluarga dekat pasien yang di

diagnosis menderita sferosit herediter, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan

dengan mudah. Akan tetapi, jika tidak ada kejelasan tetang riwayat penyakit

keluarga, maka diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan terhadap

9

Page 10: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

morfologi sel darah merah dan uji osmotic-fragility. Hasil uji osmotic-fragility

pada darah pasien sferosit herediter akan didapati penurunan daya tahan osmotik

sel darah merah, karena sel darah sferosit mudah lisis walaupun sudah

menggunakan larutan yang isotonis. 4-7

Selain itu, diagnosis sferosit herediter dapat dicapai dengan membedakan

sel sferosit yang juga ada pada anemia hemolitik autoimun melalui uji

Coombs. Pada anemia hemolitik autoimun, uji Coombs direk akan positif

(abnormal), sedangkan pada sferosit herediter, hasilnya negatif (normal).

2.5. Epidemiologi

• Anemia hemolitik autoimun

Anemia hemolitik autoimun yang paling sering ditemukan adalah anemia

hemolitik autoimun tipe hangat (75% dari populasi anemia hemolitik autoimun).

Anemia hemolitik autoimun ini juga lebih banyak ditemukan pada wanita (65%

dari kasus). Meskipun demikian, anemia hemolitik adalah bentuk anemia yang

jarang ditemukan. Jumlah kejadiannya adalah 1 kasus dari 100.000 individu.

Prevalensinya meningkat pada populasi diatas 60 tahun, yaitu 10 kasus per

100.000 individu. 5

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Anemia hemolitik et causa medikamentosa merupakan 12% kasus dari

anemia hemolitik yang berkaitan dengan imunitas. 70% dari anemia hemolitik

et causa medikamentosa ini sendiri termasuk dalam kasus autoimun.

3% pasien yang diberi penisilin intravena dosis tinggi membentuk

imunitas terhadap obat (tes Coombs direk positif), namun dari 3% tersebut, hanya

5% pasien yang menunjukkan hemolisis klinis.

Tes Coombs direk positif juga ditemukan pada 12-15% pasien yang diberi

metildopa. 3% dari populasi tersebut akan mengalami anemia hemolitik autoimun

dalam perjalanan penyakitnya.4

• Anemia defisiensi G6PD

Defisiensi G6PD tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis (Afrika,

Eropa Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Perkiraan konservatif

menyebutkan paling sedikit 400 juta orang memiliki gen defisiensi G6PD. Di

beberapa daerah di area tropis maupun subtropis, frekuensi gen defisiensi G6PD

10

Page 11: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

bisa mencapai 20% atau lebih. G6PD sendiri merupakan contoh terbaik dari

polimorfisme gen manusia. Penelitian lapangan dan in vitro menunjukkan adanya

kecenderungan penyakit malaria oleh Plasmodium falciparum untuk tidak menjadi

letal jika menyerang host yang defisiensi G6PD. Dan karena G6PD merupakan

gen yang termasuk X-linked gene, maka pada laki-laki tidak akan ditemukan

kondisi intermedia (heterogen) sehingga manifestasi defisiensi G6PD lebih sering

ditemukan pada laki-laki. Semantara itu, wanita labih banyak ditemukan sebagai

karier. 4-7

• Anemia sel sabit

SCD hadir sebagian besar di kulit hitam. Hal ini juga ditemukan, dengan

frekuensi jauh lebih sedikit di populasi timur Mediterania dan Timur

Tengah. Di beberapa bagian Afrika, prevalensi sifat sel sabit (heterozigot)

setinggi 30%. Meskipun penyakit ini paling sering ditemukan di Afrika sub-

Sahara Afrika, juga ditemukan di beberapa bagian dari Sisilia, Yunani, Turki

selatan, dan India. Semuanya memiliki area yang merupakan endemik malaria.

HbS ditransmisikan sebaga karakteristik kodominan autosomal. Rasio

pria-wanita adalah 1:1. Tidak ada kecenderungan pada jenis kelamin tertentu,

karena anemia sel sabit bukanlah penyakit terkait kromosom X. 4-7

• Sferositosis herediter

Sferosit herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden

1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada kurang lebih 20% pasien, penyakit ini

merupakan kelainan autosom resesif yang diturunkan dan mutasi genetik

spontan.4-7

2.6. Etiologi

• Anemia hemolitik autoimun

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan

terjadi karena gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan

limfosit autoreaktif residual. Berdasarkan faktor-faktor pencetus yang sering

menimbulkan anemia hemolitik autoimun, maka anemia hamolitik autoimun dapat

diklasifikasikan sebagai berikut : 4-7

11

Page 12: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Tabel Klasifikasi Anemia Hemolitik ImunAnemia Hemolitik Autoimun (AIHA)

A. AIHA tipe hangat1. Idiopatik2. Sekunder (karena limfoma, SLE)

B.AIHA tipe dingin1. Idiopatik2. Sekunder (infeksi mycoplasma,mononucleosis, virus, keganasan

C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri1. Idiopatik2. Sekunder (viral dan sifilis)

D. AIHA atipik1. AIHA tes antiglobulin negatif2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dinginAIHA diinduksi obat

AIHA diinduksi aloantibodiA. Reaksi hemolitik transfusiB. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Etiologi dari anemia hemolitik tipe ini adalah obat-obatan yang dapat

menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog seperti

methyldopa. Kemudian obat-obatanya yang membentuk kompleks ternary seperi

kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonylurea, dan thazid.

• Anemia defisiensi G6PD

Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya

enzim G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa untuk

menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi membran eritrosit dan

hemoglobin dari oksidan.

• Anemia sel sabit

Penyebab anemia sel sabit adalah mutasi pada gen beta-globin yang

merubah asam amino keenam dari asam glutamat menjadi valin. Oleh sebab itu

terbentuk hemoglobin yang abnormal (HbS). Hemoglobin yang abnormal tidak

dapat mengangkut O2 dan CO2 dengan normal. Dan bentuk hemoglobin yang

abnormal membuat eritrosit menjadi rapuh dan mudah lisis. Kondisi-kondisi

tersebut yang nantinya akan menjadi dasar dari patofisiologi gejala klinis yang

muncul. 4-7

12

Page 13: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

• Sferositosis herediter

Penyebab dari kelainan ini adalah kelainan genetik yang menyebabkan

defisiensi spectrin, ankryn, dan atau protein pita3 / 4.2 (unsur-unsur pembentuk

membran eritrosit) sehingga terdapat defek pada membran eritrosit. 4-7

2.7. Patofisiologi

• Anemia hemolitik autoimun

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui

aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.

1. Aktivasi sistim komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan

hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang

ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan

diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang

memiliki kemmpuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, dan

IgG3. IgM disebut sebagai tipe aglutinin dingin, sebab antibodi ini berikatan

dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merahpada suhu di

bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi

dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. 4-7

2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular

Jika sel darah di sensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan

komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi

aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan

dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immunoadherence ini sangat

penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,

terutama diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

Anemia hemolitik autoimun ini terjadi akibat desrtuksi eritrosit yangmelalui

proses hemolisis ekstravaskuler dan intravakuler. Pada AHIA Tipe hangat

melibatkan proses hemolisis ekstravaskuler, dan pada AIHA tipe dingin melibatkan

proses hemolisis intravaskuler. 4-7

Pada AIHA tipe hangat eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen

difagositif oleh makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis

ekstravaskuler. Adapun hemolisis ekstravaskuler terjadi pada sel makrofag

13

Page 14: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

dari system retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum

tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis ini terjadi

karena kerusakan membran (akibat reaksi antigen antibody). Eritrosit yang

pecah akan menghasilkan globulin yang akan di kembalikan ke protein pool, serta

besi yang di kembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan di

pakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO dan bilirubin.

Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek,

mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang

melaluai empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan

urobilinogen dalam urin. Sebagian hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat

oleh haptoglobin sehingga kadar

haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemoloisis intravaskuler. 4-7

Pada AHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen membran

eritrosit dan membawa C1q ketika melewati bagian yang dingin, kemudian

terbentuk kompleks penyerang membran, yaitu suatu kompleks komplemen yang

terdiri atas C5,6,7,8, dan C9. Kompleks penyerang ini menimbulkan kerusakan

membran eritrosit, apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan terjadi

hemolisis intravaskuler. Jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag

dalam RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. 4-7

Adapun hemolisis intravaskuler yakni pemecahan eritrosit intravaskuler

yang menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas kedalam plasma. Hemoglobin bebas

ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globin alfa) sehingga kadar haptoglobin

plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh

hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka

akan terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai

hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi

methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinnemia. Heme juga diikat oleh

hemopeksin (suatuglikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. 4-7

Hemoglobin dikeluarkan melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria.

Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian

besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel mengalami deskuamasi maka

hemosiderin dibuang melalui urine (hemosiderinuria), yang merupakan tanda

hemolisis intravaskuler kronik. 4-7

14

Page 15: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu :

hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan

kompleks ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada

lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein

nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan

eritrosit. 4-7

Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan

kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat di permukaan

eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa.

Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang

mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal : penisilin).

Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit

obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, atau aktivasi komplemen.

Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan

obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan

melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki

spesifitas pada antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i.

Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis

intravaskuler, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Mekanisme ini biasanya

terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan

thiazide.

Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit

autolog, seperti methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan

menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah

merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi,

obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi tidak

diketahui. 4-7

Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin

mengikat oksigen, maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat

zat oksidatif. Eritrosit makin tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda

hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin,

sulfhemoglobin, Heinz body, blister cells, bite cells, dan eccentrocytes. Contoh obat

15

Page 16: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

yang menyebabkan hemolisis oksidatif adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, dan

aminosalicylic acid. 4-7

• Anemia defisiensi G6PD

Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terbentuknya

enzim G6PD. Enzim ini mengatalisis langkah awal dalam oksidasi glukosa

melalui jalan heksosa monofosfat. Jalan ini menghasilkan NADPH, yang

agaknya diperlukan untuk memelihara fragilitas sel darah merah normal. Dengan

demikian, defisiensi G6PD dapat menyebabkan sel darah merah menjadi lebih

rentan untuk mengalami hemolisis.

Hemolisis pada orang dengan defisiensi G6PD dapat dipicu oleh tiga faktor

yaitu infeksi, stress, dan obat. Obat-obatan yang sering menyebabkan hemolisis

pada defisiensi G6PD adalah primakuin, dapson, sulfametoksazol, kotrimoksazol,

asam nalidiksat, nitrofurantoin, niridazol, fenazopiridin, dan asam asetilsalisilat. 4-7

• Anemia sel sabit

Anemia sel sabit muncul karena HbS yang merupakan hemoglobin abnormal

tidak dapat melakukan tugasnya mengikat oksigen maupun karbondioksida dengan

baik. Hemoglobin yang abnormal juga menyebabkan eritrosit menjadi rapuh

terhadap kekurangan oksigen. normalnya, jika eritrosit tidak mengandung oksigen,

bentuknya akan tetap bertahan sampai mencapai paru-paru untuk menukar

karbondioksidanya dengan oksigen yang baru. Namun berbeda dengan eritrosit

yang mengandung HbS, eritrosit ini begitu tidak mengikat oksigen, maka tidak bisa

mempertahankan bentuk normalnya dan menjadi berbentuk sel sabit. 4-7

Pada saat eritrosit dengan HbS mengalami proses pelepasan oksigen,

sickling proses terjadi. HbS menyebabkan tiga kondisi yaitu penurunan kelarutan

(solubility), peningkatan viskositas, dan pembentukan polimer sampai konsentrasi

diatas 30g/dL. Ketiga kondisi tersebut membentuk substansi menyerupai gel

(disebut tactoids) yang mengisi eritrosit. Peningkatan substansi berbentuk gel dalam

eritrosit akibat HbS dipengaruhi oleh kadar oksigen, konsentrasi HbS sendiri, dan

keberadaan hemoglobin tipe lain. Semakin tinggi kadar HbS dalam eritrosit dan

semakin rendah kadar oksigen, semakin tinggi pula bentuk gel dalam eritrosit. Isi

eritrosit yang menyerupai gel itulah yang menyebabkan bentuk eritrosit seperti sel

sabit.

16

Page 17: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Apabila proses sickling terjadi berulang kali, maka kerusakan membran

terjadi dan eritrosit tidak dapat mencapai bentuk bikonkaf meskipun sudah diberi

oksigen lagi. 5-50% dari total jumlah sel darah merah dapat mengalami kondisi

tersebut, berada dalam bentuk sel sabit. 4-7

Manifestasi klinis dari pasien dengan eritrosit sel sabit dapat muncul pada

tulang, ginjal, limpa, dan berupa anemia hemolitik. Manifestasi klinis tersebut

terjadi karena bentuk eritrosit yang menyerupai sel sabit memiliki daya larut yang

rendah (bisa mengendap) sehingga dapat menyebabkan sumbatan-sumbatan pada

pembuluh darah. Sumbatan yang terbentuk menyebabkan terjadinya hipoksia

berulang pada banyak organ dan menghasilkan kerusakan. Penumpukan sel sabit

yang tiba-tiba pada limpa juga menyebabkan splenomegali mendadak yang

memberikan rasa nyeri.

Hipoksia menyebabkan penurunan nitrit oksida (NO) yang mengakibatkan

eritrosit berbentuk sabit mudah menempel pada endotel dan makrofag. Penempelan

tersebut menyebabkan teraktivasinya proses perusakan eritrosit, mengarah pada

peningkatan hemolisis sel darah merah. Hemolisis sel darah menghasilkan

hemoglobin bebas yang merupakan penghambat NO, sementara NO sendiri

merupakan vasodilator. Oleh sebab itu, jika terjadi hipoksia, maka terjadi

vasokonstriksi yang dapat memperburuk hipoksia dan menyebabkan nekrosis

jaringan. 4-7

• Sferositosis herediter

Defisiensi sejumlah protein pada membran sel menyebabkan defek vertikal,

hilangnya lemak membran, dan luas permukaan secara progresif diikuti

pembentukan mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan fragilitas

osmotik eritrosit menyebabkan bentuk sferosit dan eritrosit yang rapuh. Limpa yang

berfungsi untuk menyisihkan eritrosit yang rapuh bekerja berat karena banyak

eritrosit yang terjebak di limpa, menyebabkan splenomegali. 4-7

2.8. Gejala Klinis

• Anemia hemolitik autoimun

- Anemia hemolitik autoimun tipe hangat

Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, dan

adayang disertai nyeri abdomen, limpa biasanya membesar, sehingga bagian

17

Page 18: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

perutatas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman dan juga bisa

dijumpaisplenomegali pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat. Urin

berwarna gelapkarena terjadi hemoglobinuri.Pada AHA paling tebanyak terjadi

yakni idiopatik splenomegali tarjadi pada 50-60%, iketrik terjadi pada 40%,

hepatomegali 30% pasien dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25%

pasien tidak disertai pembesaranorgan dan limfonodi.

- Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin.Hemolisis

berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering juga

terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan menimbulkan

meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa

menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak

kebiruan) pada tangan dan lengan. 4-7

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis

melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai

hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka

hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien

sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada

pemaparan dengan dosis tunggal. 4-7

• Anemia defisiensi G6PD

Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama

hidupnya, akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice

dan anemia hemolitik akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice

dapat menjadi berat, yang jika tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan

kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen. 4-7

Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu

oleh fava beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali

dengan malaise, kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam

beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami jaundice dan sering kali

menghasilkan urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba,

terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa ringan sampai berat. Anemia

biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi intravaskular.

Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat

18

Page 19: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada

sama sekali. Dari pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah

dengan hemoglobin tidak merata) dan bite cells atau blister cells (sel darah merah

yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri khas dari anemia hemolitik akut.

4-

7

• Anemia sel sabit

Penyakit sel sabit (SCD) biasanya bermanifestasi awal di masa kecil. Untuk

6 bulan pertama kehidupan, bayi dilindungi terutama oleh peningkatan kadar Hb F;

segera setelah itu, manifestasi klinis dapat muncul dengan jelas.

Manifestasi klinis yang paling umum dari SCD adalah krisis vaso-

oklusif. Sebuah krisis vaso-oklusif terjadi ketika mikrosirkulasi terhambat oleh

eritrosit sel sabit, menyebabkan cedera iskemik pada organ dan menghasilkan rasa

sakit yang. Krisis nyeri merupakan gejala yang paling khas dari penyakit sel sabit

dan merupakan penyebab utama kunjungan gawat darurat dan rawat inap untuk

pasien yang terkena.

Sekitar setengah dari individu yang mengalami krisi vaso-oklusif adalah

pasien dengan HbS homozigot. Frekuensi krisis sangat bervariasi. Beberapa

memiliki sebanyak 6 atau lebih episode per tahun, sedangkan yang lain mungkin

memiliki episode hanya pada interval besar atau tidak sama sekali. Setiap individu

biasanya memiliki pola frekuensi krisis yang konsisten. Krisis nyeri mulai dengan

tiba-tiba. Krisis ini dapat berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dan

berakhir tiba-tiba pula. 4-7

Rasa sakit dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh. Nyeri ini sering

melibatkan perut, tulang, sendi, dan jaringan lunak, dan mungkin hadir sebagai

dactylitis (tangan sakit dan bengkak bilateral dan / atau kaki pada anak), nekrosis

sendi akut atau nekrosis avaskular, atau akut abdomen. Episode vaso-oklusif yang

berulang dapat menyebabkan slpenomegali dan fibrosis limpa sehingga mengancam

sistim imunitas. Hepar juga dapat mengalami infark dan berkembang menjadi

serosis seiring berjalannya waktu. Nekrosis papiler ginjal adalah manifestasi umum

dari vaso-oklusi, menyebabkan isosthenuria (konsentrasi urin yang sama sepanjang

waktu. Normalnya kepekatan urin berubah seiring berubahnya asupan cairan).

Rasa sakit yang parah muncul di ekstremitas, yang melibatkan tulang

panjang. Nyeri perut bisa sangat berat, menyerupai akut abdomen, mungkin akibat

19

Page 20: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

dari nyeri alih dari tempat lain atau intra-abdomen organ padat atau infark jaringan

lunak. 4-7

Wajah juga mungkin terlibat. Nyeri dapat disertai dengan demam, malaise,

dan leukositosis. Nyeri tulang ini sering disebabkan oleh infark tulang

sumsum. Pola-pola tertentu dapat diprediksi, karena rasa sakit cenderung untuk

melibatkan tulang dengan sumsum tulang yang produktif dan aktivitas sumsum

tulang lokasinya berubah sesuai usia. Selama 18 bulan pertama kehidupan,

metatarsal dan metacarpals dapat terlibat, menyajikan sebagai dactylitis atau hand-

foot syndrome. 4-7

Seiring dengan pertumbuhan anak, sakit sering melibatkan tulang panjang

ekstremitas, situs yang mempertahankan aktivitas sumsum selama masa kanak-

kanak. Kedekatan dengan efusi sendi dan simpatik sesekali mengarah pada

keyakinan bahwa rasa sakit melibatkan sendi. Aktivitas sumsum surut lebih lanjut

berubah selama masa remaja, sehingga nyeri lebih melibatkan badan vertebra,

terutama di daerah pinggang. 4-7

• Sferositosis herediter

Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan

ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua

saat anak masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena

destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa

kanak-kanak. 4-7

Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel

eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang.

Tidak jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di para vertebral, yang secara

kebetulan terlihat pada foto toraks.

Kompensasi sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat

keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus.

Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis

meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran

limpa. 4-7

Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk

bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit

menurun. MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara

20

Page 21: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

kuantitatif sferodisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan

menggunakan cairan hipoosmotik. 4-7

2.9. Penatalaksanaan

• Anemia hemolitik autoimun

Penatalaksanaan medikamentosa dan non-medikamentosa yang hanya

memberi hasil yang memuaskan pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat.

Untuk anemia hemolitik autoimun tipe dingin, belum ditemukan penatalaksanaan

yang memberi hasil maksimal. 4-7

Penatalaksanaan medikamentosa yang dapat diberikan pada anemia

hemolitik autoimun tipe hangat adalah kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam

dua minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Ht meningkat,

retikulosit meningkat, tes Coombs direk positif lemah, tes Coombs indirek negatif).

Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke 30 sampai hari ke 90. Bila ada

tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis

10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis <30mg/hari dapat diberikan secara selang

sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis

rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar

hematokrit, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.

Penatalaksanaan medikamentosa yang lain juga dapat berupa pemberian

preparat imunosupresan seperti azathioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-

150 mg/hari. Selain itu penambahan danazol 600-800 mg/hari bersamaan dengan

prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial. Begitu juga

mycophenolate mofetil 500-1000 mg perhari dilaporkan memberikan hasil yang

bagus. 4-7

Sementara itu, penatalaksanaan nonmedikamentosa yang dapat dilakukan

adalah slenektomi. Jika terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan

tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.

Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah.

Hemolisis tetap dapat berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan

jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk

menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi

mencapai 50-75% namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah

masih sering digunakan setelah splenektomi. 4-7

21

Page 22: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Secara non-medikamentosa dengan menghantikan obat yang menjadi

pemicu dan transfusi darah jika perlu, hemolisis dapat dikurangi. Penatalaksanaan

yang dapat dilakukan secara medikamentosa adalah pemberian kortikosteroid jika

kondisi benar-benar berat. 4-7

• Anemia defisiensi G6PD

Pada pasien dengan defisiensi G6PD, hemolisis yang terjadi self-limited

sehingga tidak memerlukan terapi khusus kecuali jika ada infeksi yang mendasari

dan menghindari obat-obatan yang dapat mempresipitasi hemolisis. Tindakan

nonmedikamentosa yang dapat dilakukan adalah mempertahankan aliran ginjal yang

adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis yang

berat, dapat diberikan transfusi darah. 4-7

• Anemia sel sabit

Nonmedikamentosa : penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kondisi

nyeri akibat manifestasi dari anemia sel sabit adalah resusitasi cairan yang

memadai. Jika nyeri terjadi di bagian dada, maka resusitasi cairan yang terpantau

ketat (menghindari edema pulmoner) dapat ditambah dengan pemberian oksigen

dengan agresif untuk menjaga kadar oksigen dalam pembuluh darah. Splenektomi

dan transplantasi sumsum tulang dapat dilakukan. Transfusi darah dilakukan untuk

menjaga agar hematokrit tetap terjaga pada level >30. 4-7

Medikamentosa : pemberian hidroksiurea 10-30 mg/kg/hari dapat diberikan

untuk meningkatkan kadar fetal hemoglobin dan menjaga kondisi eritrosit.

Hidroksiurea hanya diberikan pada pasien dengan kondisi yang parah. Untuk

meningkatkan efektivitasnya, pemberian imunosupresan juga dianjurkan.

• Sferosit herediter

Belum ditemukan penatalaksanaan yang dapat memperbaiki defek pada

membran sel darah merah. Akan tetapi, telah lama disadari bahwa limpa memegang

peranan penting dalam proses hemolitik pada sferosit herediter. Pada pasien dengan

sferosit herediter, limpa dapat menjadi satu-satunya tempat destruksi sel darah

merah ataupun sebagai lokasi yang dilewati sel darah merah yang sudah rapuh

sehingga menyebabkan sel darah yang rapuh itu semakin mudah lisis (meskipun

destruksi tidak langsung terjadi di limpa). Oleh sebab alasan tersebutlah

splenectomy menjadi lini pertama dalam penatalaksanaan sferosit herediter. 4-7

22

Page 23: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Namun, splenectomy tidak boleh dilaksanakan pada kasus sferosit herediter

yang ringan, pasien yang belum menjalani vaksinasi antipneumococcal, dan pada

pasien dibawah 4 tahun (karena belum melewati masa puncak tertinggi resiko sepsis

pasca operasi). 4-7

2.10. Komplikasi

• Anemia hemolitik autoimun , anemia hemolitik et causa medikamentosa, anemia

defisiensi G6PD

Komplikasi yang mungkin adalah gagal ginjal kronis, splenomegali, sepsis,

disfungsi hepar, dan keracunan preparat besi. 4-7

• Anemia sel sabit

Komplikasi berupa infeksi oleh bakteri Streptococcus pneumoniae biasa

terjadi setelah splenektomi atau jika pasien memiliki limpa yang fibrotik. Jika kondisi

vaso-oklusi tidak tertangani, maka dapat terjadi nekrosis pada jaringan yang

vaskularisasinya terhambat. Stroke pada usia muda juga sering terjadi pada anemia sel

sabit yang tidak terdeteksi dini. Gagal ginjal kronis juga sering dialami oleh pasien

dengan anemia sel sabit. Proliverative sickle retinopathy juga dapat terjadi, oleh

sebab itu diperlukan pemeriksaan mata berkala (3-6 bulan). 4-7

• Sferosit herediter

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan sferosit herediter

biasanya terjadi akibat kesalahan diagnosis yang menyebabkan pemberian preparat

besi berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada hepar. Diagnosis yang

tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi. 4-7

2.11. Pencegahan

• Anemia hemolitik autoimun

Tidak ada pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kondisi

autoimun. Namun jika pasien telah terdeteksi memiliki tipi dingin, maka menghindari

tempat-tempat berudara dingin agar hemolisis tidak berjalan. 4-7

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Pencegahan yang mungkin dilakukan adalah menghindari penggunaan obat-

obatan yang berpotensi tinggi menyebabkan hemolisis. 4-7

• Anemia defisiensi G6PD dan Sferosit herediter

23

Page 24: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Pencegahan yang mungkin dilakukan adalah mencegah faktor pencetus

hemolisis seperti stress, obat-obatan, dan infeksi. Skrining tes perlu dilakukan untuk

deteksi dini sehingga pasien dapat menjaga makanan, obat-obatan, dan pola

hidupnya.4-7

• Anemia sel sabit

Pemeriksaan genotip sebelum pernikahan dapat menjadi pencegahan yang

mungkin dilakukan. Apabila pasangan yang memeriksakan diri ternyata membawa

gen yang memperbesar kemungkinan keturunannya mengalami anemia sel sabit yang

berat, maka konsultasi perlu dilakukan untuk menyiapkan rencana selanjutnya untuk

membantu memutuskan apakah pasangan tersebut akan tetap berusaha memiliki

keturunan atau tidak. 4-7

2.12. Prognosis

• Anemia hemolitik autoimun

Setelah kondisi autoimun teraktivasi, perjalanan penyakit akan menjadi kronis. Tetapi

prognosis masih baik dengan persentasi survival yang tinggi (70%).4-7

• Anemia hemolitik et causa medikamentosa

Prognosis baik. 4-7

• Anemia defisiensi G6PD

Prognosis baik.

• Anemia sel sabit

Anemia sel sabit yang ringan memiliki prognosis yang baik. Akan tetapi ada tiga

kondisi yang dapat menunjukkan prognosis yang buruk yaitu dactylitis (hand-foot

syndrome) yang muncul pada anak-anak dibawah satu tahun, Hb dibawah 7g/dL, dan

tidak ditemukannya leukosit saat terjadi infeksi. Disebutkan juga semakin muda

gejala klinis termanifestasi, semakin buruk prognosisnya. 4-7

• Sferosit herediter

Prognosis membaik setelah dilakukannya splenektomi. 4-7

24

Page 25: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

BAB III

Penutup

3.1. Hipotesis

Wanita muda pada skenario 6 yang datang dengan keluhan mudah lelah kurang

lebih 2-3 minggu ini dengan wajah pucat, konjungtiva anemis, dan sklera ikterik

menderita anemia hemolitik autoimun.

25

Page 26: PBL BLOK 24 Hematologi Onkologi

Daftar Pustaka

1. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-

83.

2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.

3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat

kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.

4. Harmening DM. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. Edisi 5.

Philadelphia:FA Davis Company;2009. Hal. 265-6

5. Goldman L, Schafer AI. Goldman’s cecil medicine. Edisi 24. USA:Elsevier;2012.

Hal. 274.

6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi ke- 5.Jilid 2.Jakarta: Internal Publishing;2009. Hal 1152-64.

7. Fauci AS, et al. Harrison’s principles of internal medicine.Edisi 18. USA:

McGraw-Hill Companies; 2011. Hal. 872-86.

26


Top Related