Transcript
Page 1: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

PARADIGMA PEMBANGUNAN DI ERA OTODA

April 2011, melengkapi 10 tahun Indonesia memasuki era Otoda. Kompas, 26 April 2011, R. Siti Zuhro mereview bahwa pelaksanaan otonomi daerah tak hanya menandai system sentralistik berakhir, tetapi juga langkah penting bagi daerah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik : melayani dan menyejahterakan rakyat.

Dikatakan bahwa praktik Otoda masih jauh dari tujuan utama, kualitas pelayanan yang masih rendah, sekitar 10% dari 542 daerah (33 propinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan public. Selain itu jumlah penduudk miskin dan penganggur terbuka masih cukup tinggi (31,02 juta dan 8,59 jiwa, BPS 2010).

Tujuan utama otoda sebenarnya mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud.Empat tantangan dalam otoda juga dikemukakan oleh Siti berupa : tumpang tindih peraturan yang membingunkan daerah, persepsi sepihak tentang kewenangan, kerumiran dan pengelolaan hubungan wewenang antar daerah dan antar jenjang pemerintahan, dan kolaborasi elit dan pengusaha local dalam mengeksploitasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam pilkada.

Paradigma baru pembangunan diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity),pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental of welfare economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenamya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar.Diberlakukannya UU 22/1999 mengenai Otonomi Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah.

Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah disbanding pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan local memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.

Terdapat beberapa pemikiran yang mendesak kita dalam mengembangkan sebuah paradigma dalam pembangunan di era otoda. Hal tersebut berupa pembangunan pertanian vs industry, teknologi padat modal vs padat karya, sentralisasi vs desentralisasi, modern vs tradisional, pedesaan vs perkotaan, dan perencanaan social ekonomi vs perencanaan fisik.

1. Pembangunan pertanian vs industry

Paradigma pembangunan di era otoda bertujuan untuk mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud. Mempercepat kesejahteraan rakyat memang dapat dilihat dengan indicator

Page 2: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

meningkatnya pendapatan daerah. Ketika pendapatan daerah meningkat, dapat diartikan bahwa pendapatan masyarakat daerah tersebut meningkat. Peningkatan ini dapat dilihat dari sector-sektor yang memiliki sumbangan besar dalam memberikan pendapatan pada masyarakat.

Di sector pertanian yang selama ini mendapat pernyataan bahwa Negara yang berbasis ekonomi pertanian lebih lemah daripada yang berbasis industry. Studi kasus dari Negara maju dan Negara berkembang mendukung asumsi tersebut. Paradigm otoda untuk mempercepat kesejahteraan rakyat dengan pembangunan pertanian seharusnya memang dapat dilakukan. Pembangunan di bidang pertanian memang tidak selamanya akan berdampak negative atau lebih rendah daripada sector industry.

Sebenarya ketika kita melihat dari sisi pengelolaan sector pertanian selama ini masih dikelola dengan cara tradisional. Disampaikan juga dalam factor penghambat pembangunan dalam negeri berupa masalah kesenjangan terhadap teknologi, bahwa masyarakat mendapatkan gap pengetahuan yang besar ketika cara tradisional diganti dengan cara modern.

Sebenanya ketika dalam era otoda diasumsikan masyarakat mampu dalam mengelola lahan pertanian dengan cara modern, bukan tidak mungkin hasilnya akan lebih baik daripada di sector industry. Hanya saja terdapat beberapa factor yang memang tidak mendukung dalam pengembangan pertanian seperti masalah manajemen yang dikaitkan dengan budaya sekitar yang kurang bersahabat dengan para investor. Hal ini dianggap akan menambah kuota dalam pengelolaan risiko yang dihadapi.

Selain itu terdapat berbagai masalah yang menjadi pokok dalam pembangunan dalam sector pertanian di era otoda. Perkembangan barang-barang yang dibutuhkan oleh pasar memang terletak pada sector industry. Hal ini menandakan bahwa sector industry dijadikan sebagai pembangunan yang berdasarkan permintaan pasar. Hal ini akan berbeda dengan kebutuhan pertanian, lebih spesifik lagi dalam masalah konsumsi bahwa permintaan terhadap barang produksi memang meningkat seiring pertumbuhan penduduk.

Kebutuhan barang-barang konsumsi berbeda dengan barang-barang industry, meskipun kebutuhan barang pertanian merupakan kebutuhan pokok, sector industry menawarkan keuntungan yang lebih karena permintaan dikarenakan keinginan akan kepuasan. Namun, satu yang menjadi factor penting disini bahwa industry akan membutuhkan suplay pertanian yang banyak. Oleh karena itu harus terdapat sinergi dari keduanya.Selanjutnya di sector industry memang selama ini diklaim memberikan pendapatan yang lebih besar kepada masyarakat.

Hal ini dapat dilihat dari daerah-daerah yang memiliki industry akan lebih cepat tumbuh. Pertumbuhan ini dipicu dengan adanya investasi yang masuk di daerah tersebut. Meskipun tidak selamanya benar bahwa sector industry dalam pembangunan otoda berkorelasi positif dalam mensejahterakan rakyat. Faktanya bahwa terkadang justru terdapat perbedaan gap antara yang kaya dan yang miskin di daerah industi. Ketika hal

Page 3: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

tersebut ditarik secara statistic hukum 90:10 tetap berlaku. Artinya bahwa 10% masyarakat berpendapatan tinggi akan berpengaruh terhadap statistic 90% pendapatan, dan sebaliknya. Pokok yang menjadi penting dalam hal ini bahwa dalam era otoda setiap paradigm memimiliki kelemahan sendiri-sendiri.

Namun, ketika diminta bahwa sector yang paling tepat dalam pembangunan di era otoda merupakan pembangunan yang berdasarkan pada pembangunan yang cenderung kearah pertanian dengan tidak mengesampingkan pembangunan industri. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa ketika pembangunan di era otoda murni pada pembangunan industi, yang terjadi di Indonesia adalah semakin tingginya gap karena factor-faktor seperti edukasi dan budaya.

Industry di daerah perkotaan membutuhkan suplay yang banyak dari pertanian, oleh karena itu pertanian seharusnya dikembangkan dengan teknologi modern untuk menunjang industry. Hal ini dapat dilakukan dengan pembangunan pertanian secara desentralisasi. Pembangunan proporsional di bidang industry dan pertanian yang dikelola secara modern merupakan pengusahaan yang patut dilakukan untum mempercepat kesejahteraan rakyat.

2. Teknologi padat modal vs padat karya

Teknologi padat modal didefinisikan sebagai pembangunan yang menggunakan otomatisasi yang membutuhkan lebih sedikit manusia. Sedangkan teknologi padat karya berkebalikan dengan membutuhkan lebih banyak manusia daripada alat-alat produksi. Penggunaan mekanisme mana yang lebih dapat mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud. Hal ini menjadi masalah yang pokok dalam pengambilan keputusan dalam paradigm pembangunan otoda.

Teknologi padat modal selama ini masih menuai kontroversi dari pengamat kesejahteraan social bahwa otomatisasi dengan mekanisme padat modal akan tidak berpihak pada rakyat. Otomatisasi akan menambah level penganguran karena penggunaan mesin sebagai alat produksi total. Teknologi padat modal ditinjau dari segi kemakmuran masyrakat menyeleruh masih memiliki pandangangan yang ekstrim bahwa teknologi tersebut dapat mempercepat kemakmuran masyarakat ketika barang-barang menjadi lebih murah dan berkualitas dan juga akan menghambat kemakmuran dengan mengurangi jumlah pekerja di pabrik.

Selanjutnya teknologi padat karya memiliki prespektif yang relative baik berupa teknologi padat karya akan meyerap banyak tenaga kerja sehingga kemakmuran akan tercipta dengan bertambahnya pendapatan penduduk. Teknologi padat karya lebih memberikan nilai positif lebih banyak ketika hal ini diimbangi dengan penjualan yang dapat terlaksana. Teknologi padat karya biasanya berbasis pada industry kreatif, oleh karena itu terkadang tidak semua daerah cocok dengan iklim usaha ini. Memang di setiap usaha terdapat risiko yang harus dihadapi sendiri, namun pemilihan untuk menghadapi atau mengalihkan risiko menjadi penting.

Page 4: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

Teknologi padat karya memang lebih cocok untuk dilakukan dengan populasi yang begitu banyak. Namun, tidak semua industry yang dapat dikembangkan sebagai basis teknologi padat karya. Oleh karena itu paradigm yang seharusnya diambil merupkan paradigm pembangunan yang proporsional dengan mempertimbangkan factor-faktor yang terdapat dalam daerah tersebut. Bagaimana analisa prospek daerah merupakan bagian penting dalam penggunaan paradgma ini.

3. Sentralisasi vs desentralisasi

Sentralisasi lebih disetujui oleh para ahli sebagai tingkat dimana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi. Sentralisasi yang tinggi disebabkan karena adanya konsentrasi yang tinggi. Sedangakan desentralisasi sering dikenal dengan pengambilan keputusan ke bawah atau ketingkat yang lebih rendah.

Pembangunan spatial akan mengarah ke desentralisasi sistem pusat kegiatan dari yang tadinya berpusat pada kota-kota besar akan lebih tersebar kearah pembangunan kota-kota kecil di wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan di luar usaha tani dan jasa-jasa pelayanan dan akan mengubah sistem tata ruang wilayah-wilayah. Ekonomi kota-kota besar di masa datang tidak akan mengalami pertumbuhan lagi. Membengkaknya kota-kota telah menimbulkan biaya sosial tinggi yang mengarah pada inefisiensi dan menghambat pertumbuhan ekonomi disamping menghambat pemerataan pembangunan wilayah (equity), sehingga tidak mengarah ke pembangunan berkelanjutan (sustainabledevelopment).

Aglomerasi kota-kota yang semula menimbulkan economy of scale yang mempunyai dayatarik kepada kegiatan swasta, namun karena kota-kota besar bertumbuh secara tidak terkendali, pada akhirnya mengalami diseconomy of scale. Kota-kota besar menanggung biaya-biaya sosial (kongesti, pencemaran, kriminalitas, permukiman kumuh dll.) Pengusaha swasta akan cenderung menentukan pilihan-pilihan lokasional kegiatannya ke pusat (central places) yang lebih menguntungkan. Karenanya tataruang regional dan nasional di masa depan akan mengalami berbagai perubahan-perubahan yang nyata. Lahan-lahan pertanian yang menurut rencana tataruang masa lalu telah dialihkan fungsinya kepada penggunaan non-pertanian, sebagian akan dikembalikan lagi kepada penggunaan untuk pertanian.

Pembangunan desentralisasi menjadi penting untuk menunjang pembangunan yang meningkat secara proporsional. Pembangunan desentralisasi atau pembangunan di desa akan meningkatkan pendapatan desa tersebut. Desentralisasi menjadi penting untuk mengimbangi perkotaan yang sudah memiliki kompleksitas yang tinggi.

4. Modern vs tradisional

Pengelolan modern merupakan pengelolaan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pengelolaan tradisional didasarkan pada cara turun temurun. Inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan dalam paradigm pembangunanyang harus

Page 5: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

digunakan, apak menggunakan modern atau tradisional.

Mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud yang menjadi tujuan dasar otoda memang secara spasial satuan sistem ekologis (ekosistem) dan sistem kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tradisional tersebar secara lintas wilayah administrasi. Oleh karenanya diperlukan penanganan secara terkoordinasi antara wilayah administratif. Pada masa orde baru koordinasi permasalahan pengelolaan sumberdaya dan pembangunan antar wilayah ditangani oleh administrasi pemerintahan yang lebih tinggi. Di era otonomi daerah, hubungan antara pemerintah daerah (kota/kabupaten) dengan pemerintah pusat tidak lagi dalam kerangka hubungan verikal yang hirarkis. Penyelesaian pembangunan lintas wilayah akan lebih diserahkan pada mekanisme hubungan horizontal.

Kompleksitas dan kecenderungan untuk memberikan kualitas dalam mempercepat peningkatan kemakmuran, mengembalikan pada dasar efektifitas dan efisiensi maka seluruhnya akan mengacu pada pembangunan yang dilakukan secara modern. Pengelolaan pembangunan secara modern akan memberikan hasil yang lebih baik daripada pengelolaan secara tradisional.

5. Pedesaan vs perkotaan

Modernisasi ekonomi diyakini dapat dicapai melalui industrialisasi dan urbanisasi, atau suatu proses kumulatif memperkuat antara pertumbuhan produksi industri urban dan peningkatan sistem supply pangan di perdesaan. Ketika produktifitas pertanian naik sampai level tertentu, surplus tenaga kerja dikeluarkan dari sistem produksi pangan untuk dialihkan untuk perluasan sektor urban, sementara sektor industri yang berkembang di perkotaan memperkuat sistem pertanian dengan memasok input lebih banyak dan lebih baik seperti peningkatan kesuburan dan produktifitas pertanian. Sehingga terjadilah pertumbuhan dan sekaligus penguatan (growth-reinforcing process) kumulatif dari penciptaan pekerjaan dari produktifitas yang lebih tinggi di kedua kawasan (urban dan rural), seperti yang terjadi di negara industri di Barat dan selanjutnya di Jepang.

Sementara itu sebagian besar negara sedang berkembang mengekspor, dan masih banyak yang mengeskpor sumber daya alam dan komoditi primer ke negara maju hanya untuk mengimpor produksi industri manufaktur dari negara maju. Negara-negara Dunia Ketiga ditekan oleh berbagai kepentingan dan keadaan seperti itu, mengekspor bahan mentah, dan dalam prosesnya tertangkap dalam jaringan dominasi perputaran ekonomi oleh industri di Barat dan badan hukum multinasional. Negara sedang berkembang akhirnya tidak mempunyai kesempatan untuk membangun pertumbuhan dan penguatan yang memadai untuk menuju proses interaksi kota-desa secara sinergis dan begitu pula untuk memodernisasi ekonomi nasional mereka.

Dengan demikian, tujuan menciptakan keseimbangan regional pada dasarnya secara jelas diarahkan agar pengembangan wilayah memiliki arti pada pembebasan Dunia Ketiga dari keterbelakangan (Nagamine, 2000), bukan semata-mata pemerataan dan keadilan Pengembangan perdesaan seharusnya memegang posisi terpenting dalam kebijakan

Page 6: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

pengembangan wilayah yang diformulasikan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia karena sebagian besar dari penduduk Dunia Ketiga tinggal di perdesaan, maka tidak mungkin fasilitasi proses self-sustain tanpa fokus perdesaan. Dapat dikatakan mungkin hal terpenting dari spirit komitmen PBB di dalam pembangunan wilayah melalui ECOSOC 1582L dalam pengembangan wilayah adalah pengembangan perdesaan.

Namun disini harus dibedakan pembangunan perdesaan dari pembangunan pertanian. Target pengembangan perdesaan adalah mengenai petani miskin, dan melibatkan program pengembangan yang komprehensif untuk meningkatkan produktifitas dan kondisi kehidupannya. Sedang pengembangan pertanian utamanya menguatkan kapasitas produktif dari masing-masing sektor, misalnya dengan memberi insentif terhadap petani skala menengah dan besar untuk meningkatkan produktifitas.

Selama ini aktivitas perkotaan yang didominasi oleh industri dan jasa memperoleh perhatian besar elit politik dan pejabat karena memberikan surplus keuntungan (rent) yang besar. Sedang aktivitas di perdesaan yang didominasi sektor primer dan pertanian kurang diperhatikan bahkan diabaikan karena rent yang kecil.

Disamping itu konsep hubungan rural-urbani telah mengalami perubahan mendasar namun kurang dipahami. Thesis Lipton (1977) menyimpulkan bahwa: (a) kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan seperti diatas dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi tersentralisasi. Di Indonesia pengendalian seperti ini dipertahankan semasa Orde Lama maupun Orde Baru, sehingga distribusi sumberdaya dan melebar, (b) Meski secara historis negara Asia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi,tetapi bagian (proportion) masyarakat perdesaan yang miskin jumlahnya tidak banyak berkurang, dan (c) Secara umum telah terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan wilayah perdesaan (urban bias)

6. Perencanaan social ekonomi vs perencanaan fisik

Dalam paradigma perencanaan wilayah yang modern perencanaan wilayah diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya di dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan wilayah adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial, dan lain-lain).

Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan wilayah (Clayton and Dent, 1993): (i) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan (ii) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.

Dengan demikian penyusunan perencanaan wilayah pada dasarnya bukan merupakan

Page 7: Paradigma Pembangunan Di Era Otoda

suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Secara individual maupun kelompok, masyarakat secara sendiri-sendiri melakukan pengaturan- pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dikuasainya. Namun cakupan istilah perencanaan wilayah adalah suatu perencanaan yang berorientasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan perseorangan/kelompok ataupun perusahaan/badan usaha.

Wilayah sebagai suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesekahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigm pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannnya.

Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin besar, beban dan ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan praksis pembangunan. Realitas- realitas tersebut telah mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan.

Sumber:Kompas, selasa 26 April 2011 hal 7Robbins, Stephen P.1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta. Archan hal 115Rustiadi, Ernan. Paradigma baru pembangunan wilayah Di era otonomi daerah. Disampaikan pada lokakarya Otonomi Daerah 2001, Perak Study Club di Jakarta Media Center,11 Juni 2001


Top Related