Download - Panca Sila

Transcript
Page 1: Panca Sila

PANCASILA 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul ‘‘AMANDEMEN UUD 19945”

Makalah ini berisikan tentang ‘‘AMANDEMEN UUD 19945”atau yang lebih khususnya membahas penerapan ‘‘AMANDEMEN UUD 19945” Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang ‘‘AMANDEMEN UUD 19945”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Makassar, 02 JANUARI 2013

ALBIN SAPUTRA

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 1

Page 2: Panca Sila

PANCASILA 2013

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. 1

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 3

A. Latar Belakang............................................................................................................ 3

B. Pembatasan Masalah Dan Identifikasi Masalah........................................................ 4

C. Tujuan Dan Manfaat penulisan................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................ 6

A. Sejarah Ketatanegaraan.............................................................................................. 6

B. Pandangan terhadap Amandemen UUD 1945............................................................ 7

C. Catatan Terhadap Hasil Perubahan........................................................................... 10

D. Pandangan Penolakan Amandemen UUD 1945...................................................... 18

BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 21

A. Kesimpulan.............................................................................................................. 21

B. Saran......................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSAKA............................................................................................................. 22

`

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 2

Page 3: Panca Sila

PANCASILA 2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena

yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi

kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara

yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya

kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia

1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945

bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal

dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada

penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada

penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan

kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan

orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa

dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan

penguasa sebelumnya.

Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah

mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada

hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan

berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial”

baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang

dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini

menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju

kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan

demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini

menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.

Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen

bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana

cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 3

Page 4: Panca Sila

PANCASILA 2013

situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan

terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat

apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah

telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang

demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan

kemanusiaan.

Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah

rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan

sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan

kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi

perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen

sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

B. Pembatasan Masalah dan Identifikasi Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam sistem kenegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal yang

sangat penting bagi jalannya sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan

berjalannya sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan

dalam perundang – undangan negara.

masalah kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi perbincangan,

merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah ini.

2. Identifikasi masalah

Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun

mengidentifikasi beberapa masalah pokok sebagai berikut :

1. Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD

1945 sampai saat kini.

2. Permasalahan yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga timbulnya

pra-kontra terhadap perumusan amandemen UUD 1945.

3. Beberapa pendapat terhadap amandemen UUD 1945.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 4

Page 5: Panca Sila

PANCASILA 2013

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan tugas makalah ini adalah :

1. Menganalisa sejauh mana proses perkembangan amandemen dan beberapa

pendapat tentang amandemen UUD 1945.

2. menjabarkan beberapan pendapat pro-kontra terhadap amandemen UUD

1945.

2. Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pengetahuan tentang negara dan konstitusi negara Republik

Indonesia

2. Lebih mengenal kembali Undang-undang dasar negara Republik Indonesia

3. Mengikuti proses perkembangan perundangan Republik Indonesia.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 5

Page 6: Panca Sila

PANCASILA 2013

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah ketatanegaraan

Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof

Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat

sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat". Mereka semua committed

jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk

membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.

Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai

landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda,

bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.

Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama

(Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan

kita menerapkan UUD 1945 yang "asli" yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden.

Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari

Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.

Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan

tahun 1950 lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham

demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali

diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang

definitif.

Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno

5 Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam

menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran sejarah versi

pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung

Soekarno.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 6

Page 7: Panca Sila

PANCASILA 2013

Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul

kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan

rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.

Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid,

Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur

penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang

kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan

sistem pemerintahan.

kondisi dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah,

adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya

"Demokrasi Terpimpin". Dulu mereka berhasil menjegal Majelis Konstituante dengan

memakai "pedang" Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki

kembalinya "Demokrasi Pancasila" yang dengan landasan UUD 1945 yang "murni dan

konsekuen" berhasil berkuasa selama 32 tahun.

Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada

kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa

"kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam konteks UUD

1945 hasil amandemen.

B. Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang

diposisikan “tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah badan

yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula

pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan

perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang

terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD,

disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 7

Page 8: Panca Sila

PANCASILA 2013

Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945

sebanyak empat kali. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945

yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa

jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya

mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan

dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak

asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan

dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.

Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama

dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme

yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam

konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi

eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy.

Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai

upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol

terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi

selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga

“tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman

dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah

berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami

saat ini.

Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi

dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah

legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem

pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang

dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau

parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara

keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan.

Sistem dengan pencampuran semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-

persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-

lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan

kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 8

Page 9: Panca Sila

PANCASILA 2013

memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai

pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga

tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan

kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari

dominasi eksekutif.

Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai

lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena

perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang

dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol

terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun

telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi

dan peran MPR terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi

sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945

itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.

Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah

memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan

Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara

politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu

tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik

yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak

mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima

sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu

telah dipenjara secara politis oleh MPR.

Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara

kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari

sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan

penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur

pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini

model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.

Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup

rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan

terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 9

Page 10: Panca Sila

PANCASILA 2013

kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya

kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara

historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya

dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu

ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk

dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap

menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat

bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara

kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945

tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang

demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber

hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta

hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang bersifat

desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal

itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru

yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.

C. Catatan- CatatanTerhadap Hasil Perubahan

Catatan-catatan ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan menelaah

lebih jauh beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement UUD 1945. Guna

memudahkan pemahaman, catatan dibawah ini dibuat sistematikanya berdasarkan

tema/issue (bab perubahan) yang dilakukan, yakni sebagai berikut;

1. Hak Asasi Manusia (HAM)

Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945, merupakan

satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak ada”

sama sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi HAM dalam bab

tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM

di Indonesia. Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA

Pasal 28 Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J).

Beberapa persoalan-kelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:

§ Rumusan-rumusan HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial rumusan-

rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi manusia,

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 10

Page 11: Panca Sila

PANCASILA 2013

sehingga terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi pemahaman yang mendalam

tentang esensi HAM yang harus diatur dalam UUD. Hal ini terlihat pula dalam contoh hak

yang diberikan untuk warga negara dalam pasal 28 D (3) “Setiap warga negara berhak

memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “ hanya diatur dalam satu pasal.

Padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang hakikatnya diberikan kepada

warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar yang substansinya

antara lain mengenai bagaimana hubungan antara negara dan warga negara. Apabila

ditinjau dari tujuan negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak

yang secara khusus hanya dimiliki dan diberikan oleh negara hanya untuk warganegara.

Oleh karena itu, ketentuan hak asasi warga negara ini harus diatur serta dalam

mengelaborasi ketentuan mengenai hak asasi manusia perlu kiranya dibedakan antara hak

yang diberikan kepada setiap orang dengan hak yang diberikan kepada warga negara.

§ Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari pada

pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-budaya. Hal

ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak memilih pekerjaan,

begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih pendidikan dan

pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur antara satu soal

dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya disebut disebut dua kali

yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2) dan 28 I (1), demikian pula

soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A

dan pasal 28I ayat (1).

§ Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM atau

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu,

menimbulkan ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat dari

rumusan-rumusan Rumusan pasal 28D (2) yang berbunyi “setiap orang berhak untuk

bekerja…” rumusan semacam itu ada pemikiran berusaha untuk menghilangkan/

menyembunyikan tanggungjawab negara. Berbeda esensinya dengan rumusan yang

berbunyi “setiap orang berhak atas pekerjaan…”, seperti yang tertuang dalam pasal

23 ayat 1 DUHAM. Demikian pula dalam rumusan pasal lainnya seperti berhak untuk

mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat 1) berhak untuk memperoleh informasi (pasal

28 F). Seharusnya adalah kewajiban negara untuk melindungi apa-apa yang telah

diakui sebagai hak asasi seseorang bukan malah menyembunyikannya.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 11

Page 12: Panca Sila

PANCASILA 2013

§ Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini

mengundang pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih

mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas

budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial,

budaya dan politik.

§ Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak untuk

hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan

hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Adanya

penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut karena belum ada

aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas nonretroaktif telah

mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik tanpa mengetahui prinsip

dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum pidana modern yang oleh

sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak yang bersifat sekunder ketika

berhadapan dengan asas keadilan dan adanya kejahatan HAM berat, sebagaimana

dimaksud Konvensi Geneva 1949.

Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka peluang

bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang tertuang dalam

pasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik).

Berarti, rumusan itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam DUHAM dan ICCPR

yang mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para pelanggaran HAM masa

lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum nasional maupun internasional.

Meskipun ada klausul lain dalam pasal 28 J (2) yang menyatakan wajib tunduk pada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, hal ini bisa berdampak serius

mengingat bahwa penempatan pasal ini ada dalam konstitusi yang merupakan hukum

tertinggi yang tidak mungkin dikalahkan peraturan perundangan dibawahnya. Oleh

karena itu keberadaan pasal itu bukan untuk melindungi para pelanggar HAM

melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 12

Page 13: Panca Sila

PANCASILA 2013

Perumusan pasal ini juga dipandang sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila

diterapkan. Artinya, dengan memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan

dengan ketentuan hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula

dicantumkan dalam UUD akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi

manusia. Sementara di pihak lain, keterbatasan dana pemerintah yang selalu menjadi

alasan untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima

masyarakat. Maka dari itu perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non

derogable tetap akan dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila

mengingat bahwa PBB sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam

kovenan, yang statusnya sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita

mengikat tangan sendiri, suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR

2. System Pemerintahan

Yang akan dicermati soal sistem pemerintahan ini adalah rumusan

perubahan yang berkenaan dengan pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif

(DPR) dan pengurangan kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.

§ Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan kepada DPR dapat terlihat dalam

rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945. Yakni dalam soal presiden

mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain (pasal 13),

presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk

departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan

DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan DPR ini ditambah dengan

memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat untuk

menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2).

Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan

meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan pembatasan

kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden memberikan

grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1) dan dalam

memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur dengan undang-undang (pasal

15). Perubahan-perubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara” dengan presiden

sebagai balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 13

Page 14: Panca Sila

PANCASILA 2013

Namun konsekwensinya yang terjadi kemudian adalah terhambatnya proses-proses

pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena kesemuanya harus melalui

mekanisme atau prosedur DPR. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari tertundanya

pembebasan Sdr. Budiman Sujatmiko karena harus menunggu proses dari DPR dan

pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan yang menimbulkan konflik antara

Presiden dan DPR. Hal ini menjadi dilematis, satu sisi pemberian kekuasaan itu

membuat DPR menjadi “kuat” dan disisi lain membuat presiden menjadi “lemah”

tidak berdaya. Kontruksi semacam ini nampaknya juga tidak menguntungkan juga

bagi jalannya demokrasi.

Perubahan dengan semangat “parlementarian” itu, telah menempatkan DPR pada

posisi yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang paling

urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada pasal 7 yang

telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua periode. Artinya,

meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang tertuang

diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan kekuasaan

lagi oleh presiden. Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin

dapat menjadi kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden.

§ Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan undang-

undang. Berdasarkan perubahan pertama pasal 5 UUD 1945, presiden berhak

mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam perubahan

pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan ini

tidak hanya DPR secara institusional namun juga secara personal anggota DPR

mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal 21). Perubahan

ini menempatkan DPR pada posisi sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-

undang yang sebelumnya dipegang oleh presiden.

Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam pembahasan rancangan

undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan

bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal rancangan

UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu

30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib

diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang kontroversi

karena menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR dapat

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 14

Page 15: Panca Sila

PANCASILA 2013

mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini

menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk mengusulkan

rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar mensahkan RUU

yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU yang diajukan DPR

kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai hak apakah akan

menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu. Selain itu ketentuan ini

juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan ini berlaku surut terhadap

RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya amandemen kedua UUD.

Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) dan RUU

Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung tidak jelas nasib penentuannya.

Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan membentuk undang-undang ini tidak

dicermati secara benar, karena dalam amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa

Presiden mengesahkan Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR

dan Presiden untuk menjadi undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-

undang, ada 3 hal pokok yang terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh

DPR dan Presiden, pernyataan mengesahkan RUU untuk menjadi UU, dan

kewenangan mengundang UU. Dalam hal ini, perihal pernyataan mengesahkan RUU

oleh Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu termasuk bagian dari kekuasaan

proses penerapan kekuasaan membentuk undang-undang. Seharusnya, jika mau

konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 (1)

Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah yang harus mengesahkan RUU

menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat.

§ Perubahan-perubahan dalam konteks sistem pemerintahan itu nampaknya cenderung

memberi penguatan – terutama fungsi kontrolnya -- kepada DPR dengan melakukan

pemangkasan terhadap peran dan kewenanangan presiden. Perubahan itu ditambah

lagi dengan adanya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 yang mengaharuskan adanya

persetujuan DPR jika Presiden mengangkat Panglima TNI dan Kapolri, yang

sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam pasal 10

UUD 1945. Rumusan –rumusan ini dapat dikatakan masih menggunakan sebagian

sistem presidensiil dan sebagian sistem parlementer, yang amat rentan menimbulkan

konflik antara Presiden dan DPR.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 15

Page 16: Panca Sila

PANCASILA 2013

§ Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa “presiden ialah warga negara Indonesia

asli” (pasal 6) apa yang menjadi ukuran “asli” itu tidaklah jelas. Rumusan ini dapat

menimbulkan penafsiran diskriminatif terhadap hak warga negara untuk menduduki

jabatan di pemerintahan (presiden).

§ Terhadap penambahan pasal 9 yang menyatakan “jika MPR/DPR tidak dapat

mengadakan sidang, Presiden dan Wapres bersumpah /berjanji dihadapan pimpinan

MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA”. Rumusan ini nampaknya mengadopsi

dari Ketetapan MPR No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai landasan yuridis

pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Rumusan semacam ini dapat

menimbulkan penafsiran yang beragam, terutama bagi faktor kepentingan politis baik

yang dilakukan untuk kepentingan presiden sendiri maupun fraksi-fraksi politik di

MPR. Dikarenakan masih belum jelasnya apa yang dimaksud dengan tidak dapat

mengadakan sidang, apa syarat-syaratnya atau dalam kondisi yang bagaimana

MPR/DPR itu dikatakan tidak dapat mengadakan sidang.

3. Pemerintahan Daerah

§ Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir apa

yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir semua

obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal ini. Seperti soal,

pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD (ps 18 ayat

3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B ayat 2).

Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang

hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa

yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah

(otonomi daerah). Hal ini berkenaan dengan adanya beragam format pengaturan

perundang-undangan tentang pemerintahan daerah/otonomi daerah, yakni di

Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi

Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah.

§ Penggunaan kata “dibagi” dalam perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas daerah

provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota….” dapat

menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian “dibagi” ini tergantung dari

interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 16

Page 17: Panca Sila

PANCASILA 2013

masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan prinsip

independensi dan egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah. Dalam kasus lain,

meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat

dalam konteks negara kesatuan, namun disisi lain pada kenyataan adanya tuntutan untuk

membebaskan daerah (merdeka) seperti Aceh dan Papua, serta kehendak untuk merubah

bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak bisa dinafikkan begitu saja. Sehingga

penempatan konsep pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih manjadi kendala,

karena bisa jadi itu bukan merupakan rumusan yang final berdasarkan kehendak politis

seluruh rakyat Indonesia.

§ Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi “ Pemerintah

Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,…” berbeda maknanya dengan apa

yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999 yakni Otonomi yang

luas, nyata dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini disamping

menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi yang beragam

dalam pelaksanaannya.

4. Wilayah Negara

Masalah wilayah negara dirumuskan dalam Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan bahwa

“Negara Kesatuan RI adalah sebuah negara kesatuan yang berciri Nusantara dengan

wilayah dan hak-haknya ditetapkan dengan UU”. Disini ada ketidakjelasan apa yang

dimaksud dengan “yang berciri Nusantara” itu? apa yang kemudian menjadi tolak

ukurnya? Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU,

namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum

internasional, untuk mencegah terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus Timur-

Timor.

5. Warga Negara dan Penduduk

Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga negara

berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya hal mengenai

pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara.

Dengan kewajiban itu akan memudahkan siapapun yang mempunyai kewenangan (dalam

hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk melakukan mobilisasi secara paksa terhadap

warga negara. Upaya ini amat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal

yang dapat menimbulkan kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 17

Page 18: Panca Sila

PANCASILA 2013

6. Pertahanan dan Keamanan

Dalam pasal 35 ayat 1 amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga

negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.” Dalam hal usaha

pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan

kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi warga negara,

maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam

usaha pertahanan negara.

Ketentuan pasal 35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan

Negara) ini memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan

Negara). Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara

kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem

HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem

keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang perlu

dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu saat

terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan adanya

ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan

dibawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar

antara peraturan satu dengan lainnya tidak saling bertentangan.

Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal yang menimbulkan kendala. Misalnya dari

ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan

tertinggi atas AD, AL, dan AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat

Panglima AD, AL, dan AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan

Panglima TNI sejajar atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula

Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus

melalui persetujuan DPR.. kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan

dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil. Nampaknya

masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali militer kekancah politik.

Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima TNI berada tidak di bawah

Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 18

Page 19: Panca Sila

PANCASILA 2013

D. Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945

Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif

konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita

anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.

Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :

Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain

ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian

amandemen itu.

Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting

dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu

maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang

tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan

tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.

Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan

sebagai berikut :

- Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini

masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif

individu dalam hak asasi manusia aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung

terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden

Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan

pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif

yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu

penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif

dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa

daerah, dan masyarakat adat.

- dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 19

Page 20: Panca Sila

PANCASILA 2013

- Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan

mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik

rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.

- amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari

segi kedaulatan :

o tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka

o tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer

o tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta,

sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan

otonomi.

tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif

terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah

otonomi khusus.

- Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. "Salah satu contoh

terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak

menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,

perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi

konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan

menimbulkan kontroversi.

- kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas

pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan

impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya,

pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 20

Page 21: Panca Sila

PANCASILA 2013

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka

penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah

perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya

kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal,

yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang

dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang

tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir

2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual.

MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang

arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.

3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang

penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat

pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi

otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus

Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi

dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.

B.  Saran

Sebagai warga Negara Indonesia, kita harus dapat memahami sistem konstitusi negara kita sendiri. Agar dapat memperkuat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 21

Page 22: Panca Sila

PANCASILA 2013

DAFTAR PUSTAKA

http://www.pikiran-rakyat.com/

http://www.mpr.go.id/

Catatan terhadap hasil rumusan amandemen pertama dan kedua UUD 1944, KRHN,maret,

2001

FAKULTAS HUKUM ( UIT ) MAKASSAR Page 22


Top Related