Download - Pain Management Ivan
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri adalah
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien
dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri haruslah mencerminkan
kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan
mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat
dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal.1
Efektivitas dari pereda rasa nyeri sangat penting untuk menjadi
pertimbangan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu
penyembuhan secara lebih signifikan, tetapi juga dapat mengurangi onset
terjadinya chronic pain syndrome.1
Umumnya dokter atau perawat lebih memprioritaskan terapi dan
perawatan terhadap penyakit atau kondisi yang mengakibatkan nyeri, karena
pemikiran bahwa nyeri akan hilang dengan sembuhnya penyakit primer. Bahwa
nyeri dapat menyebabkan berbagai masalah barulah akhir – akhir ini makin
disadari.
Nyeri yang tidak mendapat terapi adekuat dapat memperlambat proses
penyembuhan penderita bahkan mempengaruhi mortalitas karena berbagai
gangguan fungsi fisiologis. Dengan demikian, selain bertujuan menghilangkan
penderitaan, mengatasi nyeri merupakan salah satu upaya menunjang proses
penyembuhan
Referat ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang
dapat dipakai untuk manajemen nyeri. Akan didiskusikan bagaimana caranya
menggunakan obat-obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi
Non Steroid), obat-obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat
anestesi lokal untuk mencapai tujuan ini. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana
cara menangani pasien usia tua dan anak-anak.
BAB II
NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.2
Anatomi dan Fisiologi Nyeri2,3
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi
2
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
Fisiologi Nyeri
Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf
tidak bermielin (delta A) dan bermielin (saraf C). Nosiseptor terangsang oleh
stimulus dengan intensitas yang potensial dan menimbulkan kerusakan jaringan,
stimulus ini disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya stimulus ini
ditransmisikan ke SSP, menimbulkan emosi dan perasaan yang tidak
menyenangkan, sehingga timbul nyeri dan reaksi menghindar.
Bila stimulus timbul akibat adanya kerusakan jaringan, mekanisme tersebut diatas
akan terjadi melewati 4 tahapan, yaitu:
3
1. Transduksi
Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai senyawa biokimiawi antara lain ion H, K,
Prostaglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari sel
mast, serotonin dari trombosit dan susbstansi P dari ujung saraf. Senyawa
biokimiawi ini berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan perubahan
potensial nosiseptor sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi sepanjang akson.
Perubahan menjadi arus elektrobiokimia atau impuls merupakan proses
transduksi.
Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena mediator – mediator ini
mempengaruhi juga nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri
meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai
ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator – mediator tersebut
diatas dan penurunan ph jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena
rangsangan yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri, misalnya rabaan.
Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu
hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis
dan perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama
2. Transmisi
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer,
melewati kornu dorasalis korda spinalis menuju korteks serebri. Transmisi
sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi – depolarisasi,
sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melalui neurotransmitter.
3. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri.
Hambatan terjadi melalui system analgesia endogen yang melibatkan
bermacam neurotransmitter antara lain golongan endorphin yang dikeluarkan
oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari area
4
periaquaduktus grey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun
pasca sinaps di tingkat korda spinalis.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi system saraf sensoris,
informasi kognitif (korteks serebri), dan pengalaman emosional
(hippocampus dan amygdale). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita yang tenang menghadapi
pembedahan karena menerimapembedahan sebagai upaya penyembuhan.
MOtivasi positif ini memicu pelepasan endorphin dan rangkaian reaksi yang
mengaktifkan system analgesia endogen, hasil akhir adalah rasa nyerinya
berkurang
Respon tingkah laku terhadap nyeri2,3
a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi
sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri
hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi
mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima
5
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan
nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien
itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan
nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan
nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
6
c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
Penilaian Intensitas Nyeri3,4,5
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
7
1. Skala intensitas nyeri deskritif
2. Skala identitas nyeri numerik
3. Skala analog visual
4. Skala nyeri menurut Bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
8
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat
VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,
1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
9
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka.
10
BAB III
MANAJEMEN NYERI
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan
adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang
merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini,
nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah
seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain untuk
meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan
Opioid Kuat, misalnya Morfin.
Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,
nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan
dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring
berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan
dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan
menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.
Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.4,5,6
Anestesi Lokal 3,5,7,8
Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif
terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang
dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna
11
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga
melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang
dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang
efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau
sentral.
Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat
mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor
penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik.
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik
ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus
untuk nyeri pasca-operasi.Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok
simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila
blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di
tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai
operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung
vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang
berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pasca-
operasi pasien.
Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah
lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.
Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat
efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti
hipotensi, blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius
12
lokal dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari
masalah ini.
Analgetik
Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi
nyeri. Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok:
1. Analgetik opioid (narkotik)
2. Analgetik non-opioid
3. Analgetik ajuvan
4. Anastesi Lokal dan Topikal
Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat
efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Analgetik opioid
Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin. Morfin
merupakan bahan alami yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal
dari tumbuhan lain dan sebagian lainnya dibuat di laboratorium. Analgetik opioid
sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri namun mempunyai beberapa efek
samping. Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih
tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus
dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi gejala-gejala putus obat.
Berbagai kelebihan dan kekurang dari analgetik opiod :
Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk
suntikan, per-oral (ditelan) dan per-oral lepas lambat. Sediaan lepas lambat
memungkinkan penderita terbebas dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak
digunakan untuk mengobati nyeri menahun.
Tramadol merupakan analgetik sintetik yang merupakan agonis reseptor
opioid. Ia juga menghasilkan analgesia dengan menghambat noradrenalin dan
13
reuptake serotonin dan meningkatkan pelepasan 5 ht untuk memodifikasi
transmisi nosiseptik melalui aktivasi inhibitor yang menuju ke bawah jaras CNS.
Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia
lanjut. Pencahar (biasanya pencahar perangsang, contohnya senna atau
fenolftalein) bisa membatu mencegah atau mengatasi sembelit. Opioid dosis
tinggi sering menyebabkan ngantuk. Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obat
perangsang (misalnya metilfenidat).
Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita.
Untuk mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral,
supositoria maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan
proklorperazin). Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti
melambatnya laju pernafasan dan bahkan koma. Efek ini bisa dilawan oleh
nalokson, suatu penawar yang diberikan secara intravena.
Analgetik opioid
Obat Masa efektif Keterangan
Morfin Suntikan
intravena/intramuskuler:2-3 jam
per-oral:3-4 jam
sediaan lepas lambat:8-12jam
Mula kerjanya cepat
sediaan per-oral sangat efektif
untuk mengatasi nyeri karena
kanker
Kodein Per-oral:3-4 jam Kurang kuat dibandingkan
dengan morfin
kadang diberikan bersamaan
dengan aspirin atau
asetaminofen
Meperidin Suntikan Bisa menyebabkan epilepsi,
14
intravena/intramuskuler:sekitar 3
jam
per-oral:tidak terlalu efektif
tremor dan kejang otot
Metadon Per-oral:4-6 jam, kadang lebih
lama
Juga digunakan untuk
mengobati gejala putus obat
karena heroin
Proksifen Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan
bersamaan dengan aspirin
atau asetaminofen, untuk
mengatasi nyeri ringan
Levorfanol Suntikan intravena atau
intramuskuler:4 jam
per-oral:sekitar 4 jam
Sediaan per-oral sangat
ampuh
bisa digunakan sebagai
pengganti morfin
Hidromorfo
n
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-4 jam
per-oral:2-4 jam
suppositoria per-rektum:4 jam
Mula kerjanya cepat
bisa digunakan sebagai
pengganti morfin
efektif untuk mengatasi nyeri
karena kanker
Oksimorfon Suntikan
intravena/intramuskuler:3-4 jam
suppositoria per-rektum:4 jam
Mula kerjanya cepat
Oksikodon Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersama
aspirin atau asetaminofen
15
Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam Bisa menghambat kerja
analgetik opioid lainnya
kekuatannya hampir sama
dengan kodein
bisa menyebabkan linglung &
kecemasan, terutama pada
usia lanjut
Analgetik Non-Opioid
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti
peradangan non-steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug). Obat-obat
ini bekerja melalui 2 cara:
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang
bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri.
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali
terjadi di sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri. Aspirin
merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama
lebih dari 100 tahun. Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon
willow. Tersedia dalam bentuk per-oral (ditelan) dengan masa
efektif selama 4-6 jam. Efek sampingnya adalah iritasi lambung,
yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena
mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin
juga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan di seluruh
tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa menyebabkan
gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin
adalah teling berdenging (tinitus).
16
Kerja prostaglandin pada mekanisme nyeri
Kerja Analgetik non - opioid
Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-beda, dan
respon setiap orang terhadap NSAID juga berbeda-beda. Semua NSAID bisa
mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat
17
aspirin. Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa
membantu mencegah iritasi lambung. Obat misoprostol bisa membantu mencegah
iritasi lambung dan ulkus peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare.
Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. Obat ini bekerja pada
sistem prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Asetaminofen tidak
mempengaruhi kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus
peptikum maupun perdarahan. Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria,
dengan masa efektif selama 4-6 jam. Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan
efek samping yang sangat serius, seperti kerusakan hati.
Analgetik ajuvan
Analgetik ajuvan adalah obat-obatn yang biasanya diberikan bukan
karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. Contohnya,
beberapa anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk
mengobati berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah,
sakit kepala dan nyeri neuropatik. Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin)
18
dan obat bius lokal per-oral (misalnya meksiletin) digunakan untuk mengobai
nyeri neuropatik.
Metode menggunakan obat opioid 1,5,6
Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute
yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk
mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat
keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat
mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping
itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi
rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi
obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati
metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini
adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6
jam).
Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada
metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang
berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah.
Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk
terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang
penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan
analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah
yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal
sangat bervariasi di seluruh dunia.
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler
setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat
sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat
19
ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum
untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-
operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan
fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila
dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih
cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan
intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan
berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.
Patient Controlled Analgesia (PCA)1,4,5,8
Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa
kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem
di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi
dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor
kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial
sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan
tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara teori,
tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang
disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara
rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA.
Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang,
dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping.
Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan
pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu
ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis
(kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
20
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai
contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang
diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai.
Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya
overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis
sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5
dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih
logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi
dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk
mencapai nyeri yang memadai.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke
titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan
untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran
akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan
harapan setelah operasi.
Non farmakologis 8
Distraksi
Beberapa teknik distraksi, antara lain :
1. Nafas lambat, berirama
21
2. Massage and Slow, Rhythmic Breathing
3. Rhytmic Singing and Tapping
4. Active Listenin
5. Guide Imagery
Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan
beberapa keuntungan, antara lain :
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri
atau stres
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat
nyeri
Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi berikut :
1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru
2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi
kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut
3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu
4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-
lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada
klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa
ringan dan hangat.
5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut,
punggung dan kelompok otot-otot lain
6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.
Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan
cepat.
7.
Stimulasi Kulit (Cutaneus)
22
Beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :
a. Kompres dingin
b. Analgesics ointments
c. Counteriritan, seperti plester hangat.
d. Contralateral Stimulation, yaitu massage kulit pada area yang
berlawanan dengan area yang nyeri.
Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
Biofeedback
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi
tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,
dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
Guided imagery
Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,
tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari
klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan
ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
BAB IV
KESIMPULAN
23
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu
kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of
Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.
Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang
lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan
anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih
sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka
penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling
efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun
dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation
of Societies of
Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_00
9.htm
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of
acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B,
Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St
Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered
via a femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for
pain relief after an anterior cruciate ligament outpatient procedure.
Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier
Churchill Livingstone. 2006
5. Cousin, MJ. Prevention of Postoperative Pain. Proceeding of the
VI World Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam 2001; 41-53.
6. Fillingim RB, Edwards RR, Powell T. The relationship of sex and
clinical pain to experimental pain responses. Pain 1999; 83:419–
425.
7. Kehlet, H. Neurohumoral Response to Surgery and Pain in the
Man. Proceedings of the VI World Congress on Pain, Elsevier,
Amsterdam, 2001; 35-51.
8. Loeser, JD et al. Desirable characteristics for pain treatment
facilities. International Association for the Study of Pain 2000, 1-4.
25