LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TAHUN 2016
OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS
TAHUN 2015-2019
Oleh: Hermanto
Delima Hasri Azahari
Muchjidin Rachmat Nyak Ilham
I Ketut Kariyasa Supriyati
Adi Setiyanto
Rangga Ditya Yofa Edy Supriyadi Yusuf
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2016
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketahanan pangan tercapai manakala seluruh rakyat, pada setiap waktu,
mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi
yang sesuai dengan kebutuhan gizinya dan sesuai dengan preferensinya untuk hidup
yang aktif dan sehat (FAO, 2008). Bahan pangan pada umumnya merupakan hasil
dari proses biologis, baik yang melaui produksi pertanian budidaya, maupun melaui
proses biologis yang terjadi di alam.
Pertanian merupakan sektor penting bagi perekonomian dunia, khususnya
bagi perekonomian negara-negara berkembang, paling tidak karena tiga alasan.
Pertama, walaupun ada kecenderungan yang menurun, pertanian primer masih
memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),
ekspor dan penyediaan lapangan kerja bagi negara-negara berkembang, apalagi jika
diperhitungkan dengan pendapatan dan lapangan kerja yang dihasilkan oleh agro-
industri, transportasi dan kegiatan komersial lain yang terkait, maka peran pertanian
dalam perekonomian negara-negara berkembang akan meningkat dengan tajam.
Kedua adalah bahwa sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan pendapatan
dan lapangan kerja, serta pertumbuhan sektor pertanian berdampak positif terhadap
pengurangan kemiskinan di negara-negara berkembang. Ketiga adalah bahwa sektor
pertanian tidak hanya berperan terhadap masing-masing negara berkembang, tetapi
juga mempunyai peran penting dalam produksi pertanian dan pangan dunia, serta
berperan terhadap peningkatan perdagangan pertanian dan pangan global (Diaz-
Bonilla. 2015).
Selama dua dasa warsa terakhir ini paling tidak telah terjadi tiga kali gejolak
harga pangan di dunia. Data harga serealia yang dihimpun oleh FAO (2015)
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir telah terjadi tiga
kali gejolak harga serealia dunia, yaitu pada tahun 1998, tahun 2008 dan tahun
2012. Gejolak harga pangan dunia tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim
ekstrim yang menyebabkan turunnya produksi, tetapi juga terkait dengan kebijakan
pemerintah negara produsen yang membatasi ekspor pangan. Lonjakan harga
2
pangan dunia juga disebabkan oleh melonjaknya permintaan bahan bakar nabati
(BBN) akibat krisis bahan bakar minyak (BBM) (Morrison, 2011).
Dalam era globalisasi perdagangan dan sebagai dampak dari perubahan iklim
global yang ekstrim, produksi pertanian dan pangan nasional secara langsung
ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dinamika produksi pertanian dan pangan
dunia. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa penyebab krisis pangan dunia tidak
hanya diakibatkan oleh perubahan iklim global yang mempengaruhi produksi pangan
dunia, tetapi juga karena faktor penyebab yang antara lain terkait dengan: (1)
perubahan jumlah dan permintaan pangan karena meningkatnya jumlah dan
pendapatan perkapita penduduk, (2) perubahan harga BBM yang mendorong
peningkatan permintaan BBN, (3) terjadinya krisis moneter yang mendorong
terjadinya spekulasi pada pasar komoditas pangan dunia, serta (4) perubahan
kebijakan pada masing-masing negara eksportir yang melakukan berbagai ristriksi
ekspor yang secara kumulatif berujung pada menurunnya pasokan pangan
komoditas pangan secara drastis di pasar komoditas pangan dunia.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan arah kebijakan pangan nasional,
yaitu ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Berbagai program telah
digulirkan untuk mencapai swasembada pangan. Pemerintah juga telah menetapkan
7 (tujuh) komoditas pangan sebagai pangan pokok dan strategis yang mendapat
prioritas utama dalam pencapaian swasembada pangan. Ketujuh komoditas pangan
tersebut adalah padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah dan
cabai merah. Di samping itu, minyak sawit juga merupakan komoditas strategis
mengingat besarnya sumbangan terhadap ekspor komoditas perkebunan.
Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia karena dukungan
agroekosistem, luas lahan, tenaga kerja. Disamping itu prospek pasar gula di
Indonesia cukup menjanjikan dengan konsumsi sebesar 4,2 – 4,7 juta ton/thn. Gula
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan industri yang saat ini
masih terus menjadi masalah karena kekurangan produksi dalam negeri, sementara
kebutuhan terus meningkat (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009).
Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini
memberikan andil terhadap pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani
yang sangat dibutuhkan dalam menopang pembangunan sumber daya manusia
3
Indonesia. Seiring meningkatnya perkembangan jumlah penduduk dan perbaikan
taraf hidup penduduk di Indonesia, maka permintaan produk-produk untuk
pemenuhan gizi pun semakin meningkat, begitu pula dengan permintaan akan
bahan pangan seperti permintaan protein hewani (Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, 2015). Sedangkan Bawang merah dan cabai merah bukan merupakan
bahan pangan pokok, melainkan komoditas pangan yang dijaga stabilitas harganya,
terutama di tingkat konsumen karena gejolak harga ke dua komoditas pangan ini
dapat berdampak terhadap tingkat inflasi.
Pemerintah berupaya keras untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga
komoditas pokok, disamping karena menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan, tetapi juga untuk menjaga akses fisik dan ekonomi
masyarakat terhadap bahan pangan pokok sebagai sumber karbohidrat dan protein
bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Tingkat konsumsi karbohidrat dan protein
perkapita menentukan tingkat kerawanan seorang individu.
Dalam rangka mendukung pengembangan 7 (tujuh) komoditas strategis,
yaitu jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah, dan cabai merah, serta
minyak sawit sebagai komoditas ekspor hasil perkebunan penghasil devisa negara,
maka diperlukan analisis untuk mengetahui situasi perkembangan produksi,
konsumsi, stok dan perdagangan luar negeri pada saat ini, serta prospek
pengembangan komoditas tersebut selama lima tahun ke depan. Pada tahun 2015
telah dilakukan kajian outlook untuk komoditas padi, jagung, kedelai dan minyak
sawit. Pada tahun 2016 akan dilakukan kajian untuk mendapatkan outlook untuk
komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah untuk periode tahun
2015 - 2019.
Kajian ini merupakan salah satu komponen penting karena menghasilkan
analisis mengenai status, tren atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi, dan
prospek sektor pertanian dengan memperhatikan perubahan ekonomi, sosial
budaya, kelembagaan dan teknologi baik yang berasal dari internal sektor pertanian
maupun dari eksternal di luar sektor pertanian, baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri yang turut mempengaruhi perkembangan sektor pertanian
(Setiyanto et al. 2014).
4
1.2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk:
1. Melakukan analisis tentang dinamika produksi, konsumsi, stok, perdagangan
internasional dan perkembangan harga di dalam negeri dan di pasar
internasional untuk gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah.
2. Mempelajari kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan empat
komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah.
3. Melakukan prediksi perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan
konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor, serta perkembangan harga
dalam negeri untuk empat komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan
cabai merah selama periode 20015 – 2016.
5
II. METODOLOGI PENGKAJIAN
2.1. Lingkup dan Keluaran Hasil Pengkajian
Kajian dilakukan pada lingkup nasional dan global. Analisis yang akan
dilakukan lebih mengarah kepada analisis yang bersifat makro tentang
perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan konsumsi, serta neraca
ekspor dan impor untuk masing-masing komoditas. Komoditas yang dianalisis adalah
komoditas bahan pangan strategis yang meliputi gula, daging sapi, bawang merah
dan cabai merah.
Keluaran yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah sebuah gambaran umum
yang terkait dengan dinamika produksi, konsumsi, stok dan harga baik di dalam
negeri maupun dipasar internasional, serta prediksi perkembangan produksi,
konsumsi, neraca produksi dan konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor,
serta perkembangan harga dalam negeri komoditas gula, daging sapi, bawang
merah dan cabai merah untuk periode tahun 20015 – 2016. Diharapkan dari hasil
kajian ini dapat dihasilkan kebijakan untuk pengembangan keempat komoditas
pangan strategis tersebut secara berkelanjutan.
2.2. Model Analisis dan Sumber Data
Berdasarkan ketersediaan data menurut deret waktu, maka kajian ini akan
memanfaatkan model multi market yang telah dibangun PSEKP untuk
memperkirakan kondisi produksi gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah
untuk jangka lima tahun, yaitu untuk periode 2015–2019. Dalam model yang
digunakan juga telah mengakomodasi dampak dari kebijakan makro ekonomi
nasional dan kebijakan mikro sektoral. Model juga telah mempertimbangkan dampak
dari dinamika perubahan perekonomian global. Disamping itu, dalam memprediksi
keragaan komoditas tersebut juga akan dilakukan simulasi yang menggambarkan
perubahan iklim sebagai dampak dari gejala El Nino dan La Nina (Setiyanto et al.
2014).
Kajian ini sebanyak mungkin memanfaatkan data sekunder yang bersumber
dari Badan Pusat Statistik, Lembaga terkait di dalam negeri dan Lembaga
Internasional. Informasi dan pengetahuan yang terkait dengan obyek pengkajian
6
juga diperoleh dari nara sumber yang berkompeten di bidangnya. Data sekunder
dan informasi tambahan yang diperlukan dikumpulkan di DKI Jakarta Raya dan
Provinsi Jawa Barat. Untuk memdalami permasalahan-permasalahan yang bersifat
nasional, dilakukan melalui pengumpulan data primer di daerah sentra produksi
gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah di Jawa Barat.
7
III. OUTLOOK KOMODITAS GULA
Industri gula di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada
saat itu Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula, dengan jumlah
pabrik gula (PG) yang beroperasi 179 pabrik. Pada tahun 1930-1940 produktivitas
tebu mencapai 140 ton per Ha, dan produktivitas hablur mencapai 18 ton per ha
dengan rendemen 12 persen. Produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan
ekspor gula 2,40 juta ton. Namun kondisi ini tidak berlanjut di masa setelah
kemerdekaan.
Pada periode 1989-1999, Indonesia mengalami peningkatan volume impor
gula dengan laju peningkatan mencapai 21,62 persen/tahun, padahal laju impor
pada dekade sebelumnya (1979−1989) hanya 0,98 persen/tahun. Hal ini terjadi
karena pada periode 1989−1999, industri gula Indonesia menghadapi berbagai
masalah yang serius diantaranya adalah peningkatan konsumsi dengan laju 2,56
persen/tahun, sementara produksi gula dalam negeri menurun dengan laju -2,02
persen/tahun. Pada tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan
dengan laju 6,14 persen/tahun. Pada tahun 2014, produktivitas tebu hanya 78 ton
per hektar, produktivitas hablur 6 ton per hektar dan rendemen hanya 6-7 persen.
Penurunan produksi gula Indonesia disebabkan penurunan produktivitas tebu
antara lain karena : (i) rusaknya relasi fungsional antara komponen sistem gula
nasional; (ii) terbitnya UU Sistem Budidaya Tanaman (UU NO 12/1996) yang
membebaskan petani dalam menggunakan lahannya serta (iii) dominannya
tanamaan keprasan, varietas lama.
Di samping itu, terjadi perubahan pada struktur industri gula sebagai akibat:
(i) Jumlah pabrik gula menurun dari 179 (1930) menjadi 58 (2004); (ii) Penurunan
areal tanam tebu di wilayah PG yang mengakibatkan inefisiensi PG; (iii) Produktivitas
gula yang dihasilkan PG di luar Jawa lebih tinggi dan terus meningkat dibandingkan
dengan PG di Jawa (sistem usaha terintegrasi); dan (iv) PG belum memanfaatkan
potensi produk turunan dari tebu.
Pada saat yang sama Indonesia juga menerapkan pengembangan gula
rafinasi, selama periode 2001-2004 tumbuh pesat. Penggunaan gula rafinasi antara
800 ribu - 900 ribu ton/tahun untuk industri makanan dan minuman serta farmasi.
8
Tahun 2004 perusahaan yang memproduksi gula rafinasi 5 buah dengan kapasitas
izin 5.662 ton/hari, kapasitas terpasang 4.200 ton/hari, produksi 435.000 ton,
sehingga kekurangann gula rafinasi sekitar 400.000 ton diimpor.
Permintaan gula secara nasional diperkirakan meningkat karena pertumbuhan
penduduk, peningkatan pendapatan, dan pertumbuhan industri makanan dan
minuman (mamin), bahkan Indonesia Berpotensi menjadi konsumen gula terbesar di
dunia. Struktur pasar gula dunia oligopolistik: resiko ketidakstabilan harga tidak
menguntungkan negara pengimpor seperti Indonesia. Indonesia mempunyai
keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu ditinjau dari ketersediaan SDA
dan iklim. Seharusnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan gulanya dari
produksi domestik.
Untuk mewujudkan kembali industri gula yang efisien memerlukan rancangan
kebijakan yang menyeluruh, mempunyai keterkaitan dan keselarasan yang jelas
antara satu kebijakan dengan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif
untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam perumusan kebijakan, data pendukung
dibutuhkan sebagai bahan untuk mendefinisikan permasalahan yang akan dijawab
melalui kebijakan serta sebagai bagian dari agen kontrol bagi kebijakan itu sendiri.
Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia dan
dunia, serta hasil analisis proyeksi penawaran dan permintaan tebu/gula di
Indonesia pada periode 2015-2019, yang diharapkan dapat berguna sebagai data
mentah maupun bagian dari pengawasan terhadap kebijakan yang telah ada (Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014).
3.1. Perkembangan Tebu dan Gula Indonesia
3.1.1. Perkembangan Luas Panen Tebu di Indonesia
Penurunan produksi, produktivitas dan rendemen tebu pada akhir-akhir ini,
sangat mengkhawatirkan, terutama jika diperhatikan Indonesia semakin tergantung
pada gula kristal putih impor dan impor raw sugar untuk keperluan industri gula
rafinasi. Meskipun demikian, laju pertumbuhan luas panen tebu di Indonesia dalam
periode tahun 1980-2013 tidak terlalu tinggi. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa
secara rata-rata, pertumbuhan luas panen tebu Indonesia sejak 1980 hingga 2013
hanya mencapai 1,11 persen per tahun atau 4.547 ha per tahunnya. Terlihat
9
perbedaan signifikan pada periode 1980-1997 dimana luas areal meningkat hanya
dengan 0,87 persen sementara pada periode 1998 2013 luas areal meningkat
dengan 1,35 persen.
Tabel 3.1 Rata–Rata Pertumbuhan Luas Panen dan Produksi, Tahun 1980-2013
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS INDONESIA
Rata-rata Pertumbuhan (%)
1980-2013*) 1,92 1,65 5,26 1,11 3,46 1,11 10,27 2,97
1980-1997 1,64 3,11 8,29 0,87 3,80 2,38 17,71 3,86
1998-2013*) 2,20 0,19 2,23 1,35 3,12 -0,16 2,82 1,91
Rata-rata Kontribusi (%)
1980-2013*) 63,50 20,73 15,77 100,00 63,90 16,88 19,22 100,00
1980-1997 70,55 21,04 8,42 100,00 73,62 17,33 9,05 100,00
1998-2013*) 55,57 20,39 24,04 100,00 52,96 16,39 30,66 100,00
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui bahwa rata-rata sebanyak 63,5 persen luas
panen perkebunan tebu di Indonesia diusahakan oleh sektor perkebunan rakyat
(PR). Dengan kontribusi luas panen ini, perkebunan tebu rakyat mampu
menyumbang 63,9 persen produksi tebu dalam bentuk gula hablur Indonesia setiap
tahunnya. Luas panen tebu di Indonesia sendiri pada periode tahun 1980-2013
cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980 luas panen tebu Indonesia
hanya mencapai 316.063 ha (Lampiran 1), maka pada tahun 2013, luas panen tebu
Indonesia meningkat menjadi 466.119 ha atau meningkat sebesar 47,48 persen.
Jika melihat rata-rata pertumbuhan luas panen tebu Indonesia pada periode
1980–2013, terlihat perkebunan tebu swasta mengalami pertumbuhan luas panen
terbesar diantara pengusahaan tebu lainnya. Pada periode tersebut, luas panen
perkebunan besar swasta (PBS) mampu bertumbuh 5,26 persen setiap tahunnya
yang diikuti dengan pertumbuhan produksi tebu mencapai 10,27 persen setiap
tahunnya. Meskipun dalam periode 1980–2013 perkebunan tebu swasta mengalami
pertumbuhan, pada periode setelah krisis ekonomi di tahun 1998, perkebunan tebu
swasta mengalami perlambatan pertumbuhan. Hal ini terlihat pada pertumbuhan
10
luas panen tebu yang hanya bertumbuh 2,23 persen setiap tahunnya dan sejalan
dengan pertumbuhan produksi tebu yang hanya mencapai 2,82 persen setiap
tahunnya.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.1. Perkembangan Luas Panen Nasional Tebu Indonesia Tahun 2008-2013 (Ha)
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa perkembangan areal tebu rakyat pada
periode 2008-2013 meningkat sementara areal tebu nasional dan swasta relatif
stagnan. Perkembangan peningkatan luas areal tebu rakyat menunjukkan bahwa
karena keterbatasan lahan, sebagian besar PTPN Gula mengalami kesulitan dalam
meenyediakan lahan tebu milik sendiri sebagai bahan baku Pabrik Gula. Secara
Nasional Luas Areal Tebu tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun
2010. Hal ini menunjukkan keterbatasan lahan dan Pengusahaan tebu di Indonesia
sebagian besar diusahakan oleh rakyat. Pada periode yang sama (2008-2013) rata-
rata kontribusi Luas Areal Perkebunan Rakyat mencapai 59,18 persen. Sedangkan
kontribusi luas areal Perkebunan Besar Nasional dan Perkebunan Besar Swasta
masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17,07 persen dan 23,75 persen
(Gambar 3.2.).
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
PR
PBN
PBS
11
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.2. Rata-Rata Kontribusi Luas Panen Tebu Indonesia Tahun 2008-2013
Berdasarkan data rata-rata selama 5 tahun terakhir (2008-2013), 65,21%
luas panen perkebunan tebu rakyat berada di Provinsi Jawa Timur (Gambar 3.3).
Pada periode tersebut, luas panen tebu perkebunan rakyat (PR) di Provinsi Jawa
Timur rata-rata mencapai 173.360 ha. Luasan ini jauh berbeda dengan provinsi
lainnya dalam daftar sentra panen tebu rakyat di Indonesia. Pada periode yang
sama, Provinsi Jawa Tengah misalnya yang berkontribusi 21,99% dari luas panen
tebu rakyat di Indonesia rata-rata hanya mampu memanen 58.469 ha tebu setiap
tahunnya. Secara detil data provinsi sentra luas panen tebu rakyat tahun 2009-2013
dapat dilihat pada Lampiran 2. Jika melihat pada provinsi sentra produksi tebu di
Indonesia pada periode 2009-2013, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan antara sentra panen tebu dengan sentra produksi tebu. Provinsi Jawa
Timur dengan luas panen tebu rakyat terbesar selama periode tersebut juga
merupakan produsen tebu rakyat terbesar di Indonesia.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.3. Kontribusi Luas Areal propinsi sentra produksi gula, 2008-2013 (%)
PR; 59,18%PBN; 17,07%
PBS; 23,75%
Sumatera Selatan ; 21.240
Lampung ; 116.603
Jawa Barat ; 22.054
Jawa Tengah ; 65.036
Jawa Timur ; 203.935
Lainnya; 32.034
12
3.1.2. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Gula di Indonesia
Produksi gula Indonesia (dalam bentuk hablur) terendah dalam periode 1980–
2013 terjadi pada tahun 1981 dimana produksi tebu Indonesia hanya mencapai
1.230.120 ton. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 2.550.992 ton pada tahun
2013 atau meningkat sebesar 107,38% dibandingkan dengan tahun 1981. Rata-rata
pertumbuhan produksi tebu pada periode ini adalah 2,94% per-tahun atau 39.122
ton per tahun (Tabel 3.1). Secara lengkap, perkembangan produksi tebu menurut
status pengusahaan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berbeda dengan pola
perkembangan luas panen tebu di Indonesia, produksi gula Indonesia justru
mengalami penurunan pada periode 2008–2013 (Gambar 3.4), hal ini
mengindikasikan bahwa terjadi permasalahan yang signifikan pada produktivitas
tebu dan atau rendemen gula.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.4. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2008-2013 (Ton)
Secara nasional selama periode 2008-2013 terjadi penurunan produksi hingga
tahun 2011 dan kembali meningkat pada tahun 2012. Peningkatan produksi tahun
2012 terutama terjadi pada produksi Perkebunan Rakyat. Perkebunan Rakyat
memberikan kontribusi sebesar 56,70 persen, sedangkan Perkebunan Besar Swasta
sebesar 29,88 persen dan perkebunan besar nasional sebesar 13,43 persen dari total
produksi gula nasional (Gambar 3.5).
0
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
PR
PBN
PBS
INDONESIA
13
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.5. Rata-Rata Kontribusi Produksi Gula Indonesia Tahun 2008-2013
Sama halnya dengan luas panen tebu dan produksi gula, produktivitas gula
Indonesia cenderung menurun dalam periode 2008–2015 (Gambar 3.6), meskipun
kecenderungan menurunnya kecil sekitar 0,54 persen per tahun (Lampiran 4). Pada
Lampiran 4 diketahui bahwa produktivitas tebu tahun 1980 tercatat mencapai 3,99
ton/ha yang kemudian meningkat hingga 37,29 persen di tahun 2013 dengan
produktivitas mencapai 5,47 ton/ha. Secara rata-rata pertumbuhan produktivitas
tebu Indonesia mencapai 2,12 persen per-tahun selama periode 1980-2015. Laju
pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode 1980-1997 yaitu 3,27 persen untuk
perkebunan rakyat, 7,50 persen untuk perkebunan besar negara dan 8,13 persen
untuk perkebunan besar swasta.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.6. perkembangan Produktivitas Gula Indonesia Tahun 2008-2015
PR; 56,70%
PBN; 13,43%
PBS; 29,88%
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
7,5
8
8,5
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014*) 2015**)
PR
PBN
PBS
INDONESIA
14
3.1.3. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia
Konsumsi gula kristal putih (GKP) per kapita per tahun berdasarkan data
Susenas BPS tahun 2002 sampai dengan 2014 memiliki kecenderungan menurun.
Pada tahun 2002, konsumsi gula sebesar 9,2 kg/kapita/tahun dan menurun pada
tahun 2014 menjadi hanya sebesar 6,4 kg/kapita/tahun. Selama periode tersebut,
konsumsi GKP Indonesia menurun 2,78% pertahun dimana penurunan konsumsi
GKP tertinggi terjadi di tahun 2012. Pada tahun 2012 konsumsi GKP Indonesia
tercatat 6,48 kg/kapita/tahun atau menurun 12,29% dari tahun sebelumnya, dimana
pada tahun 2011 konsumsi GKP Indonesia mencapai 7,38 kg/kapita/tahun. Data
perkembangan konsumsi GKP di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Secara umum perkembangan produksi dan konsumsi gula (GKP dan GKR)
Indonesia berdasarkan data FAO menunjukkan perkembangan yang kurang
menggembirakan terutama pada 10 tahun terakhir (Tabel 3.3). Produksi gula tahun
2005 mencapai 2.1 juta ton sementara kebutuhan konsumsinya (baik langsung
maupun sebagai bahan baku pabrik) mencapai 3,85 juta ton. Produksi cenderung
menurun sementara konsumsi terus meningkat. Pada tahun 2010, produksi gula
nasional hanya mencapai 1,77 juta ton sementara konsumsi mencapa 5 juta ton.
Akibatnya Indonesia terus mengalami kekurangan pasokan gula dan impor terus
meningkat.
Tabel 3.2. Perkembangan Konsumsi GKP Indonesia Tahun 2002-2014
Tahun Konsumsi Jumlah Penduduk Permintaan
(Kg/Kapita/Tahun) (000 Orang) (Ton)
2002 9,203 225.642 2.076.632
2003 9,068 228.523 2.072.165
2004 8,927 231.370 2.065.402
2005 8,885 216.415 1.922.879
2006 8,035 222.747 1.789.819
2007 8,624 225.642 1.946.033
2008 8,432 228.523 1.926.792
2009 7,905 231.370 1.828.943
2010 7,691 238.519 1.834.465
2011 7,383 241.991 1.786.721
2012 6,476 245.425 1.589.409
2013 6,648 248.818 1.654.196
2014 6,409 252.165 1.616.238 Sumber: BPS, 2004-2015 (dioah)
15
Secara umum perkembangan produksi dan konsumsi gula mengalami
pertumbuhan positif. Pertumbuhan produksi rata-rata selama periode 2005-2014
sebesar 0,50 persen, namun pertumbuhan konumsinya jauh lebih besar yaitu 4,10
persen. Trend produksi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2012
dengan kenaikan 25.68 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dimana produksi
meningkat dari 1,83 juta ton menjadi 2,3 juta ton, sementara trend konsumsi
menunjukkan kenaikan namun lebih kecil dibandingkan trend kenaikan produksi.
Tabel 3.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi GKP Indonesia, 2005-2014
Tahun Produksi Konsumsi
(.000 Ton) Pertumb. (%) (.000 Ton) Pertumb. (%)
2005 2.100 - 3.850 -
2006 1.900 -9,52 4.300 11,69
2007 2.000 5,26 4.400 2,33
2008 2.053 2,65 4.500 2,27
2009 1.910 -6,97 4.700 4,44
2010 1.770 -7,33 5.000 6,38
2011 1.830 3,39 5.050 1,00
2012 2.300 25,68 5.400 6,93
2013 2.300 0,00 5.450 0,93
2014 2.100 -8,70 5.500 0,92
r(%) 0,50 4,10 Sumber: FAO, 2016 (diolah)
3.1.4. Perkembangan Impor dan Harga Gula Indonesia
Perkembangan volume impor gula Indonesia tahun 1980-2013 cenderung
meningkat pertahunnya (Gambar 3.7). Hal ini terlihat dari perkembangan volume
dan perkembangan trend pertumbuhannya. Pada periode ini, impor gula Indonesia
meningkat rata-rata 171,25% pertahun atau 36.533 ton per tahun. Impor gula
Indonesia pada tahun 1981 sebesar 720,95 ribu ton dan meningkat hingga sebesar
1.606.517 ton pada tahun 2013. Adapun volume impor tertinggi Indonesia terjadi
ditahun 2007 dengan volume impor mencapai 2.972.788 ton gula.
Tahun 2008, pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan impor gula,
hal ini mampu menekan volume impor gula namun karena keterbatasan stok dalam
negeri, pemerintah tidak dapat menghentikan secara total impor gula meskipun
16
impor gula seringkali menekan harga gula dalam negeri. Data volume dan nilai impor
gula Indonesia disajikan pada Lampiran 5.
Impor gula Indonesia meningkat tajam baik volume dan nilainya. Hal ini
terlihat dari trend voume impor gula pada peride 1980-1997 yaitu 308,20%
sedangkan pertumbuhan nilainya adalah 275,22%. Sementara pertumbuhan volume
impor pada periode 1998-2013 adalah 21.09 persen dan pertumbuhan nilai
impornya adalah 23,72 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pabrik
rafinasi gula di indonesia secara drastis menurunkan impor gula Indonesia.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)
Gambar 3.7. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1980-2013 (Ton)
Perkembangan harga bulanan gula di Indonesia pada tahun 2004-2013
disajikan pada Gambar 3.8. Berdasarkan gambar tersebut harga bulanan gula di
beberapa pasar dalam negeri di Indonesia terus bergerak naik. Harga gula rata-rata
pada tahun 2004 adalah Rp 3.609/kg lebih tinggi dari harga HPP sebesar Rp
3.410/kg. Pada tahun 2013, harga rata rata gula di Indonesia adalah Rp 9.646/kg
dan HPP adalah Rp 8.100/kg atau naik hampir 300 persen jika dibandingkan harga
gula pada tahun 2004. Perkembangan harga gula bulanan dapat dilihat pada
lampiran 6.
17
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2015
Gambar 3.8. Perkembangan Harga Lelang Gula Petani Tahun 2004-2013 (Rp/Kg)
3.2. Perkembangan Gula Dunia
3.2.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tebu Dunia.
Perkembangan luas panen tebu, produktivitas dan produksi tebu dunia pada
periode tahun 1980–2013 cenderung terus mengalami peningkatan meskipun pada
tahun-tahun tertentu terjadi penurunan (Gambar 3.9). Luas panen tebu dunia
mengalami penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1993 yaitu sebesar 4,73% dari
18.151.894 Ha menjadi 17.292.800 Ha. Rata-rata laju pertumbuhan luas panen tebu
dunia sejak tahun 1980–2013 adalah sebesar 2,22%. Berdasarkan data dari FAO,
total luas panen, Produktivitas dan Produksi tebu dunia pada tahun 1980-2013
dapat dilihat Lampiran 7.
Luas panen tebu dibeberapa negara produsen gula berdasarkan data FAO
selama periode 2009-2013 dapat dlihat pada Gambar 3.10. Luas panen tebu dunia
terpusat di Negara Brazil dengan kontribusi sebesar 37,43% dari luas panen tebu
dunia atau mencapai 9.439.226 Ha. India kemudian mengikuti Brazil sebagai salah
satu negara dengan luas panen tebu terbesar di dunia dengan rata-rata luas panen
mencapai 4.736.878 Ha atau menyumbang 18,78% dari total luas panen tebu dunia.
Sedangkan Indonesia, merupakan negara terbesar ke-7, dengan luas areal sebesar
448.458 hektar atau menyumbang sebesar 1,78 persen terhadap luas panen tebu
2.500
3.500
4.500
5.500
6.500
7.500
8.500
9.500
10.500
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga Lelang Gula Petani HPP
18
dunia. Data luas panen tebu dari negara-negara sentra penanaman tebu dunia dapat
dilihat pada Lampiran 8.
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 3.9. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tebu Dunia Tahun 1980-2013
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 3.10. Luas Panen Tebu di Negara Sentra Produksi Tahun 2009-2013
Brasil; 37,43
India; 18,78 China; 6,91
Thailand; 4,58
Pakistan; 4,07
Meksiko; 2,89
Indonesia; 1,78
Lainnya; 23,56
0
10.000.000
20.000.000
30.000.000
1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
2010
2013
Luas Panen
55
65
1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2007
2010
2013
Produktivitas
700.000.000
900.000.000
1.100.000.000
1.300.000.000
1.500.000.000
1.700.000.000
1.900.000.000
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Produksi
19
Seperti hal nya luas panen tebu, produksi tebu gula tertinggi adalah Brazil
dengan share sebesar 40,67% (768.090.444 Ton). Negara-negara penghasil tebu
terbesar selanjutnya adalah India dengan kontribusi 18,16% atau rata-rata
menghasilkan 323.154.160 ton disusul oleh China dengan rata-rata produksi
mencapai 117.684.721 ton (6,63%), Thailand dengan produksi 80.315.255 ton
(4,82%), dan Pakistan dengan produksi 55.408.760 ton (3,10%). Sedangkan
Indonesia berada pada posisi ke 10 dengan share sebesar 1,56% (Gambar 3.11).
Rata-rata pertumbuhan produksi selama periode tersebut adalah sebesar 3,19%.
Adapun data lengkap share produksi negara penghasil gula dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 3.11. Produksi Tebu di Negara Sentra Produksi Dunia Tahun 2009-2013
Terkait dengan produktivitas tebu, produktivitas tebu dunia dari tahun 2009
hingga 2013 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar
108,30 Ton/Ha. Tecatat Peru sebagai negara yang mempunyai produktivitas tebu
tertinggi yaitu rata rata 128.98 ton tebu per hektar, dikuti dengan Ethiopia dan
Mesir, masing masing 119,57 ton per hektar dan 113,62 ton tebu per hektar.
Brasil; 40,67
India; 18,16 China; 6,63
Thailand; 4,82
Pakistan; 3,10
Meksiko; 2,93
Kolombia; 1,94
Filipina; 1,73
Australia; 1,57
Indonesia; 1,56
Lainnya; 16,89
20
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 3.12. Produktivitas Tebu di 10 Negara Tertinggi Dunia Tahun 2009-2013
3.2.2. Perkembangan Konsumsi Gula Dunia
Gula merupakan kebutuhan pokok baik di level domestik maupun
internasional. Konsumsi gula dunia terus mengalami peningkatan dari tahun 2005
hingga tahun 2014. Rata-rata pertumbuhan konsumsi gula dunia sebesar 2,02% per
tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dimana konsumsi saat
itu sebesar 151.484 ton sedangkan konsumsi pada tahun sebelumnya sebesar
143.754 ton. Meski mengalami trend pertumbuhan yang positif namun pada tahun
2007 konsumsi gula dunia sempat mengalami penurunan sebesar 0,10% karena
konsumsi gula dunia pada tahun 2007 sebesar 151.332 ton. Dengan pertumbuhan
konsumsi gula dunia yang positif harus diimbangi dengan pertumbuhan yang positif
pula pada sisi produksi.
Produksi gula dunia dibandingkan dengan tingkat konsumsinya pada periode
tahun 2005-2014 menunjukkan nilai yang positif. Total surplus produksi selama
periode tersebut sebesar 50.428 ton. Meski perkembangan produksi rata-rata
bertumbuh positif namun sempat terjadi minus produksi pada tahun 2008 dan 2009
dimana tingkat konsumsi gula dunia berturut-turut sebesar 154.627 ton dan 155.011
ton, namun tingkat produksinya berturut-turut hanya sebesar 144.014 ton dan
152.179 ton. Dengan demikian produksi gula dunia masih belum stabil dalam
128,98 117,11 115,13 114,37
107,37 103,92 101,03 100,63 97,98 96,44
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
21
memenuhi kebutuhan konsumsinya. Secara lebih rinci perkembangan produksi dan
konsumsi gula dunia tahun 2005 sampai dengan 2014 disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Tahun 2005-2014
Tahun Produksi (MT) Konsumsi (MT)
2005 144.303 143.754
2006 164.458 151.484
2007 163.536 151.332
2008 144.014 154.627
2009 153.179 155.011
2010 162.189 156.432
2011 172.297 159.830
2012 177.557 165.879
2013 175.010 168.295
2014 172.458 171.929 Sumber: FAO, 2016 (diolah)
3.2.3. Perkembangan Ekspor, Impor, Stok, dan Harga Gula Dunia
Volume ekspor dan impor gula dunia terlihat tidak terlalu berfluktuasi dari
tahun ke tahun (Tabel 3.5). Dari gambar tersebut terlihat bahwa volume ekspor dan
impor gula dunia memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Kecenderungan peningkatan volume ekspor dan impor gula dunia ini menunjukkan
bahwa gula merupakan komoditi yang relatif aktif diperdagangkan oleh dunia.
Terlihat dari tabel tersebut bahwa dunia dalam periode tahun 1980-2011 secara
umum mencatatkan surplus perdagangan gula pada hampir disetiap tahunnya.
Tabel 3.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula Dunia Tahun 2005-2014
Tahun Impor (MT) Ekspor (MT)
2005 44.720 49.534
2006 44.142 50.759
2007 44.959 50.625
2008 42.333 44.962
2009 48.261 48.327
2010 49.137 53.786
2011 48.326 54.936
2012 51.010 55.143
2013 51.301 57.529
2014 51.551 54.155 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
22
Stok gula dunia pada periode 2000-2014 mengalami perkembangan yang
sangat fluktuatif. Stok akhir pada suatu tahun tertentu akan menjadi stok awal pada
tahun berikutnya sehingga perkembangan antara stok awal dan stok akhir
menunjukkan pola yang sama (Gambar 3.13). Perkembangan stok awal dan stok
akhir menunjukkan pertumbuhan rata-rata yang positif, namun pertumbuhan rata-
rata stok akhir masih lebih rendah daripada stok awal yaitu masing-masing sebesar
1,86% per tahun dan 2,28% per tahun. Artinya produksi gula dunia belum mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi dunia sehingga harus menggerus stok awal, dalam
konteks sustainability produk pangan pokok, hal ini menjadi semacam peringatan
kepada negara-negara net importir gula termasuk salah satunya Indonesia.
Sumber: Pusdatin, 2014 (diolah)
Gambar 3.13. Perkembangan Stok Awal dan Stok Akhir Gula Dunia Tahun 2000-2014
Harga gula dunia dapat dibedakan menjadi harga untuk gula konsumsi (white
sugar) dan harga untuk gula rafinasi (raw sugar). Tabel 3.6. menyajikan data
perkembangan harga white sugar dan raw sugar periode tahun 2006-2014 dimana
diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan harga white sugar sebesar 3,22% per tahun
dan untuk raw sugar lebih besar yaitu 5,14% per tahun. Selisih harga antara white
sugar dan raw sugar yang merupakan potensi penghasilan dari industri pengolahan
gula refinasi berkisar antara 86-118 US$ per ton. Artinya jika kurs dollar sebesar Rp
27.000
29.000
31.000
33.000
35.000
37.000
39.000
41.000
43.000
45.000
Stok Awal Stok Akhir
23
14.000 maka potensi penghasilan industri pengolahan gula rafinasi berkisar antara
Rp 1.204 per kg hingga Rp 1.652 per kg.
Tabel 3.6. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2006-2014
Tahun White Sugar
(US$/MT) Raw Sugar (US$/MT)
Perbedaan Harga (US$/MT)
2006 419 322 97
2007 314 219 95
2008 348 260 88
2009 483 381 102
2010 614 518 96
2011 707 621 86
2012 587 475 112
2013 493 375 118
2014 453 362 91 Sumber: FAO, 2016 (diolah)
3.3. Prediksi Produksi, Konsumsi, Impor dan Harga Gula Nasional
3.3.1. Prediksi Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula
Kajian tentang prediksi produksi, konsumsi dan impor beras ini dilakukan
berdasarkan hasil penelitian tentang Outlook Pertanian 2015 – 2019 (Setiyanto et al.
2014) dengan menggunakan multimarket model. Analisis outlook menggunakan
base line data tahun 2013 dengan tiga skenario, yaitu: (i) Skenario I: tidak terjadi
perubahan iklim, dan pada periode 2015 – 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan
harga BBM 2014; (ii) Skenario II: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan
iklim yang cenderung ke arah La Nina, dan pada periode 2015 – 2019 terpengaruh
kebijakan kenaikan harga BBM 2014; dan (iii) Skenario III: kondisi iklim tidak
normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung El Nino, dan pada periode 2015
– 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014.
Tabel 3.7. menunjukkan prediksi luas panen, produktivitas dan produksi gula
2015-2019. Perkembangan luas panen pada periode 2015-2019 relatif kecil,
bervariasi antara 2,3 - 3,27 persen per tahun. Untuk Skenario I diprediksikan bahwa
luas panen tebu nasional dalam kondisi iklim normal (tanpa adanya El Nino dan La
Nina) akan mencapai 507 580 ha, dengan skenario yang sama luas panen tebu pada
tahun 2019 akan mencapai 577 100 ha, atau tumbuh dengan laju pertumbuhan
rata-rata per tahun 3,27 persen. Jika di Indonesia selama periode 2015 – 2019
24
mengalami gejala La Nina (Skenario II) maka pada tahun 2015 luas panen tebu
akan turun menjadi 502 080 ha (turun sekitar 1,08 persen dibandingkan Skenario I).
Dengan skenario yang sama pada tahun 2019 luas panen tebu nasional akan
mencapai 548 120 ha (turun sekitar 5,02 persen dibandingkan Skenario I). Dengan
demikian pertumbuhan luas panen tebu nasional berdasarkan Skenario II adalah 2,3
persen per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Adapun
jika Indonesia menghadapi musim kering berkepanjangan sebagaimana terjadi pada
gejala El Nino (Skenario III), prediksi luas panen tebu nasional sama dengan
Skenario I. Terbatasnya peningkatan luas panen, disebabkan karena sentra produksi
masih terkonsentrasi di Jawadi Jawa, dimana pada saat ini terjadi persaingan
dengan padi dalam panggunaan lahan sawah. Disamping itu, terjadi konversi lahan
pertanian ke nonpertanian.
Produktivitas gula nasional pada periode 2015-2019 diprediksikan meningkat,
dengan variasi peningkatan 0,66-2,18 persen/tahun. Untuk Skenario I diprediksikan
bahwa produktivitas gula nasional dalam kondisi iklim normal (tanpa adanya El Nino
dan La Nina) akan mencapai 5,13 ton/ ha, dengan skenario yang sama produktivitas
gula pada tahun 2019 akan mencapai 5,39 ton/ha, atau tumbuh dengan laju
pertumbuhan rata-rata per tahun 0,66 persen. Jika di Indonesia selama periode
2015 – 2019 mengalami gejala La Nina (Skenario II) maka pada tahun 2015
produktivitas gula akan turun menjadi 4,55 ton/ha (turun sekitar 12,75 persen
dibandingkan Skenario I). Dengan skenario yang sama pada tahun 2019
produktivitas gula nasional akan mencapai 4,95 ton/ha (turun sekitar 8,16 persen
dibandingkan Skenario I). Dengan demikian pertumbuhan produktivitas gula
nasional berdasarkan Skenario II adalah 2,18 persen per tahun. Adapun jika
Indonesia menghadapi musim kering berkepanjangan sebagaimana terjadi pada
gejala El Nino (Skenario III), prediksi produktivitas gula nasional hampir sama
dengan Skenario I, produktivitas gula pada tahun 2015 5,1 ton/ha dan tahun 2019
sebesar 5,35 ton/ha atau meningkat 0,79 persen/tahun.
25
Tabel 3.7. Prediksi Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tebu/Gula Indonesia Berdasarkan Skenario, 2015 – 2019
Tahun
Luas Panen (Ribu Ha) Provitas (Ton/Ha) Produksi (Ribu Ton)
Skenario I Skenario
II
Skenario
III
Skenario
I
Skenario
II
Skenario
III Skenario I
Skenario
II
Skenario
III
2015 507,58 502,08 507,58 5,13 4,55 5,1 2601,98 2307,04 2590,42
2016 525,11 494,82 525,11 5,18 4,66 5,15 2720,01 2448,24 2706,44
2017 543,54 505,13 543,54 5,23 4,85 5,3 2842,71 2634,42 2883,32
2018 568,57 552,08 568,57 5,23 4,77 5,22 2972,53 2713,08 2969,41
2019 577,1 548,12 577,1 5,39 4,95 5,35 3111,56 2856,51 3088,11
R
(%/Thn)
3,27 2,3 3,27 0,66 2,18 0,79 4,57 5,5 4,5
Sumber: Setiyanto, et al (2014)
Dengan prediksi luas panen dan produktivitas seperti tersebut di atas, maka
prediksi produksi gula nasional pada periode 2015-2019 cenderung meningkat,
dengan laju peningkatan produksi bervariasi antara 4,5-5,5 persen per tahun. Pada
kondisi normal, produksi gula nasional pada tahun 2019 sebesar 3,1 juta ton.
Apabila terjadi kondisi La Nina, produksi gula nasional tahun 2019 hanya mencapai
2,856 juta ton (turun sekitar 8,20 persen dibandingkan dengan kondisi normal).
Sementara itu, apabila terjadi kondisi El Nino, produksi gula nasional tahun 2019
sekitar 3,09 juta ton (turun sekitar 0,75 persen dibandingkan dengan kondisi
normal).
Tabel 3.8 menunjukkan hasil prediksi permintaan atau pemanfaatan gula di
dalam negeri untuk periode tahun 2015 - 2019. Hasil prediksi menunjukkan bahwa
pada Skenario I (kondisi iklim normal) konsumsi gula dalam negeri 2015 akan
mencapai 3,26 juta ton, pada tahun 2019 menurun mencapai 3,23 juta ton., atau
dengan penurunan konsumsi rata-rata sebesar 0,22 persen per tahun. Pada
Skenario II (ada gangguan La Nina) konsumsi gula dalam negeri pada tahun 2015
diprediksikan sebesar 3,24 juta ton, lebih rendah 0,39 persen dari konsumsi Skenario
I. Dengan laju penurunan rata-rata 0,27 persen per tahun, konsumsi gula dalam
negeri pada tahun 2019 diprediksikan sebesar 3,21 juta ton. Pada Skenario III
(gangguan El Nino), konsumsi gula dalam negeri diprediksikan sebesar 3,26 juta ton,
sama dengan prediksi Skenario I. Dengan laju pertumbuhan sekitar 0,28 persen per
tahun, prediksi konsumsi gula dalam negeri pada tahun 2019 menjadi 3,3 juta ton.
26
Tabel 3.8. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Gula di Indonesia
Berdasarkan Skenario Tahun 2015 – 2019 (000 Ton)
Tahun Skenario I Skenario II Skenario III
2015 3 261,74 3 248,88 3 261,74
2016 3 282,39 3 272,29 3 308,36
2017 3 300,11 3 290,33 3 329,31
2018 3 203,54 3 310,52 3 347,29
2019 3 231,39 3 211,79 3 298,31
R (%/Thn) -0,22 -0,27 0,28
Sumber: Setiyanto, et al (2014)
Tabel 3.9. menunjukkan prediksi suplus/defisit gula, yaitu selisih antara
penawaran dengan permintaan dalam negeri. Pada Skenario I (iklim normal)
Indonesia selama periode 2015 – 2019 diprediksikan akan mengalami defisit gula
yang semakin menurun, yaitu 659 ribu ton pada tahun 2015 menjadi 119,8 ribu ton
pada tahun 2019 atau terjadi penurunan defisit gula 32,76 persen/tahun. Pada
Skenario II (ada gangguan La Nina) selama periode 2015 – 2019 Indonesia
diprediksikan akan mengalami defisit gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan
iklim normal, yaitu 941,8 ribu ton pada tahun 2015 menjadi 355,3 ribu ton pada
tahun 2019 atau terjadi penurunan defisit gula 20,59 persen/tahun. Sedangkan
untuk Skenario III (ada gangguan El Nino) diprediksikan Indonesia akan mengalami
defisit gula antara 671,3 ribu ton sampai dengan 210 ribu juta ton atau terjadi
penurunan defisit gula 23,97 persen/tahun.
Tabel 3.9. Prediksi Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan KomoditasTebu/Gula,
2015 – 2019 (000 Ton)
Tahun Skenario I Skenario II Skenario III
2015 -659.76 -941.84 -671.32
2016 -562.38 -824.06 -601.92
2017 -457.4 -655.91 -445.99
2018 -231.02 -597.44 -377.87
2019 -119.83 -355.28 -210.2
R (%/Thn) -32.76 -20.59 -23.97 Sumber: Setiyanto, et al (2014)
Untuk menutupi defisit kebutuhan gula dalam negeri, Indonesia masih harus
melakukan importasi gula. Tabel 3.10 menunjukkan prediksi kebutuhan impor gula
nasional, dengan kecenderungan impor yang meningkat. Untuk Skenario I (iklim
27
normal), Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor gula berkisar antara 620
ribu ton sampai dengan 695 ribu ton selama periode 2015 – 2019 atau meningkat
2,89 persen/tahun. Untuk Skenario II (ada gangguan La Nina), pada periode 2015 –
2019 Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor gula berkisar antara 658 ribu
ton sampai dengan 721 ribu ton. Adapun pada Skenario III (ada gangguan El Nino),
pada periode yang sama, Indonesia diprediksikan perlu impor gula berkisar antara
659 ribu ton sampai dengan 719 ribu ton selama periode 2015 – 2019.
Tabel 3.10. Prediksi Net Impor Komoditas Tebu/Gula di Indonesia, 2015 – 2019
(000 Ton)
Tahun Skenario I Skenario II Skenario III
2015 620.38 658.27 659.76
2016 640.37 675.09 676.81
2017 665.49 698.98 693.91
2018 676.47 704.3 699.6
2019 695.23 721.44 719
R (%/Thn) 2.89 2.32 2.18 Sumber: Setiyanto, et al (2014)
3.3.2. Prediksi Harga Gula
Tabel 3.11 menunjukkan hasil prediksi harga gula di tingkat konsumen
menurut wilayah selama periode 2015 – 2019. Secara rata-rata, harga gula di
pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Harga di pedesaan Jawa
lebih rendah dibandingkan pedesaan Luar Jawa. Hasil prediksi harga gula di
perkotaan dengan Skenario I (iklim normal) berkisar antara Rp 12 757,- per Kg
sampai dengan Rp 13 564,- per Kg dengan rata-rata peningkatan sebesar 1,55
persen per tahun. Pada Skenario II (ada gangguan La Nina) harga gula pada tingkat
konsumen perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan iklim normal, yaitu berkisar
antara Rp 12 982,- per Kg sampai dengan Rp 14 009,- per Kg, atau dengan
pertumbuhan rata-rata 1,93 persen per tahun. Pada Skenario III (ada gangguan El
Nino) harga gula di perkotaan diprediksikan berkisar antara Rp 13 097,- per Kg
sampai dengan Rp 13 913,- per Kg, dengan laju pertumbuhan sekitar 1,55 persen
per tahun. Terlihat bahwa adanya gangguan iklim menyebabkan harga gula di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan iklim normal.
28
Tabel 3.11. Prediksi Harga Konsumen Riil KomoditasTebu/Gula menurut Wilayah 2015 – 2019 (Rp/Kg)
Tahun Perkotaan Perdesaan Jawa Perdesaan Luar Jawa
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Skenario I
Skenario II
Skenario III
2015 12,757 12,982 13,097 11,093 11,288 11,388 11,812 12,020 12,126
2016 13,086 13,413 13,580 11,379 11,663 11,809 12,117 12,419 12,574
2017 13,332 13,744 13,956 11,593 11,951 12,135 12,345 12,726 12,922
2018 13,687 13,657 13,638 11,902 11,876 11,859 12,673 12,646 12,628
2019 13,564 14,009 13,913 12,341 12,182 12,098 13,140 12,971 12,882
R
(%/Thn) 1.55 1.93 1.55 2.70 1.93 1.55 2.70 1.93 1.55
Sumber: Setiyanto, et al (2014)
Tabel 3.11 juga menunjukkan prediksi harga gula di pedesaan Jawa. Harga
gula di pedesaan Jawa paling rendah dibandingkan harga gula di pedesaan Luar
Jawa dan perkotaan. Pada Skenario I harga gula di pedesaan Jawa pada tahun
2015 akan mencapai Rp 11 093,- per Kg dan akan tumbuh dengan laju
pertumbuhan 2,70 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga
gula di wilayah ini akan mencapai harga Rp 12 341,- per Kg. Pada kondisi terjadinya
gangguan La Niana (Skenario II), harga gula di pedesaan Jawa pada tahun 2015
akan mencapai Rp 11 288,- per Kg, dan meningkat dengan laju pertumbuhan 1,93
persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini
akan mencapai harga Rp 12 182,- per Kg. Dengan adanya kondisi gangguan El Nino
(Skenario III) harga gula di pedesaan Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 11
388,- per Kg dan cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan 1,55 persen
setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini akan
mencapai harga Rp 12 098,- per Kg.
Perkembangan prediksi harga gula pada tingkat konsumen di daerah
pedesaan Luar Jawa juga dapat dilihat pada Tabel 3.11. Pada kondisi normal
(Skenario I) harga gula di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp
11 812,- per Kg dan pada tahun 2019 mencapai harga Rp 13 140,- per Kg, harga
cenderung meningkat dengan laju peningkatan 2,70 persen/tahun. Pada Skenario II,
harga gula di pedesaan Luar Jawa juga cenderung meningkat (1,93 persen/tahun),
pada tahun 2015 sebesar Rp 12 020,- per Kg, menjadi Rp 12 971,- per Kg pada
tahun 2019. Apabila terjadi gangguan El Nino (Skenario III) harga gula di pedesaan
Luar Jawa akan meningkat dengan laju peningkatan lebih kecil dibandingkan kondisi
29
normal dan gangguan La Nina. Harga di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan
mencapai Rp 12 126,- per Kg, dan meningkat dengan laju pertumbuhan 1,55
persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini
akan mencapai harga Rp 12 882,- per Kg.
Perkembangan prediksi harga gula di tingkat produsen di daerah pedesaan
Jawa dan Luar Jawa pada periode 2015 – 2019 ditampilkan pada Tabel 3.12. Secara
umum, harga gula di pedesaan Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan
pedesaan Jawa. Hal ini diduga terkait dengan biaya produksi, serta penawaran gula
di Luar Jawa yang lebih sedikit. Hasil prediksi menunjukkan bahwa harga gula di
tingkat produsen di daerah pedesaan Jawa dengan Skenario I pada tahun 2015
adalah Rp 10 412,- per Kg, dan pada tahun 2019 mencapai Rp 11 692,- per Kg.
Selama periode tersebut, harga gula meningkat dengan laju pertumbuhan 2,94
persen/tahun. Pada Skeranio II, harga gula di tingkat produsen di pedesaan Jawa
pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 10 579,- per Kg, dan pada tahun 2019
mencapai Rp 12 469,- per Kg (meningkat 4,19 persen/tahun). Apabila terjadi
gangguan El Nino (Skeranio III) harga gula di tingkat produsen di pedesaan Jawa
pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 10 579,- per Kg, dan pada tahun 2019
harga gula di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 12 297,- per Kg (tumbuh
dengan laju pertumbuhan 3,83 persen/tahun). Adanya gangguan iklim akan
menyebabkan harga gula meningkat.
Dari Tabel 3.12, terlihat bahwa hasil prediksi n bahwa harga gula di tingkat
produsen di daerah pedesaan Luar Jawa pada kondisi normal (Skenario I) pada
tahun 2015 adalah Rp 11 087,- per Kg, dan pada tahun 2019 mencapai Rp 12,450,-
per Kg. Selama periode tersebut, harga gula meningkat dengan laju pertumbuhan
2,94 persen/tahun. Pada Skeranio II, harga gula di tingkat produsen di pedesaan
Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 11 265,- per Kg, dan pada
tahun 2019 mencapai Rp 13 277,- per Kg (meningkat 4,19 persen/tahun). Apabila
terjadi gangguan El Nino (Skeranio III) harga gula di tingkat produsen di pedesaan
Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 11,265,- per Kg, dan pada
tahun 2019 harga gula di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 13,094,- per
Kg (tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,83 persen/tahun). Adanya gangguan iklim
30
akan menyebabkan harga gula meningkat dengan laju peningkatan yang lebih
tinggi.
Tabel 3.12. Prediksi Harga Produsen Riil Komoditas Gula menurut Wilayah 2015 – 2019 (Rp/Kg)
Tahun Perdesaan Jawa Perdesaan Luar Jawa
Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III
2015 10,412 10,579 10,579 11,087 11,265 11,265
2016 10,749 11,009 11,009 11,446 11,722 11,722
2017 11,101 11,506 11,506 11,820 12,251 12,251
2018 11,371 11,952 11,952 12,107 12,727 12,727
2019 11,692 12,469 12,297 12,450 13,277 13,094
R(%/Thn) 2.94 4.19 3.83 2.94 4.19 3.83
Sumber: Setiyanto, et al (2014)
3.4. Kesimpulan Dan Rekomendasi
1. Upaya peningkatan produksi gula dapat ditempuh melalui peningkatan
produktivitas dan melalui perluasan areal tebu. Terkait dengan peningkatan
produktivitas, ke depan perlu penggunaan bibit hasil bio teknologi.
Penggunaan bibit tebu kultur jaringan sudah dimulai pada tahun 2010, hasil
dari P3Gi dan PG tertentu.
2. Di tingkat PG, perlu adanya peningkatan dan transparansi rendemen,
terutama untuk TR. Hal ini untuk menghindari adanya terjadi persaingan
antara TR dan TS, tebu wira-wiri (masalah tebang dan angkut), meningkatkan
kepercayaan petani terhadap PG. Tebu mempunyai sifat mudah rusak,
sebaiknya tebu digiling di PG terdekat, tebu juga punya sifat kemasakan.
Sehingga perlu ditebang saat masak, kalau ada pengukuran kualitas yg akurat
maka petani akan menebang saat masak dan menggiling pada PG yg punya
OR tinggi dan terdekat, ini bila bersaing. Sehingga petani akan mensuplai
tebu dgn kualitas baik bila ini terjadi kinerja total industri gula akan
meningkat. Kalau persaingan tanpa pengukuran kualitas dan mengandalkan
subsidi tebang angkut maka terjadi 2 hal yaitu distorsi pasar dan moral
hazard.
31
3. Distorsi pasar terjadi karena subsidi akibatnya terjadi "tebu wira-wiri", tebu
diangkut keluar wilayah dan masuk lagi dlm wilayah untuk dapat subsidi hal
ini akan merusak kualitas tebu dan rendemen jadi rendah.
4. Tanpa pengukuran kualitas akan membuat moral hazard, petani berlomba
mensuplai tebu dgn kualitas buruk dan rendemen akan turun, kedua hal ini
memperburuk kinerja industri gula karena petani bisa untung lebih dan
kerugian lebih banyak ditanggung PG . Harga tebu menjadi tergantung pada
jarak asal tebu bukan kualitas.
5. Peningkatan rendemen dilakukan melalui rehabilitasi PG dan pembangunan
PG baru, sehingga terjadi perbaikan efisiensi dan manajemen PG.
6. Pembangunan PG Rafinasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gula untuk
industri. Dalam rangka penertiban pengendalian dan kelancaran
pendistribusian GKR kepada industri pengguna serta untuk mencegah
beredarnya ke pedagang tingkat pengecer, Departemen Perdagangan
(Depdag) mengeluarkan penyempurnaan petunjuk pendistribusian GKR yang
bahan bakunya berasal dari raw sugar (gula mentah/gula kasar) eks impor
melalui surat Menteri Perdagangan nomor 111/M-DAG/2/2009 tertanggal 6
Februari 2009 kepada produsen gula rafinasi. Namun dalam implementasinya,
ada kebocoran sehingga perlu peningkatan pengawasan produk gula rafinas.i
7. Hasil prediksi menunjukkan bahwa apabila terjadi La Nina menyebabkan
produksi turun dan harga naik lebih tinggi. Hal ini perlu diantisipasi dengan
penyediaan bibit tebu tahan kekeringan, dukungan sarana dan prasarana
untuk mengatasi kekeringan.
32
IV. OUTLOOK KOMODITAS DAGING SAPI
4.1. Dinamika Pasar Dunia
4.1.1. Produksi Dunia
Poduksi daging sapi dunia selama 15 tahun terakhir terlihat bahwa pada
paroh pertama meningkat signifikan, namun pada paroh kedua cenderung stagnan
(Gambar 4.1). Pangsa produksi terbesar dunia berasal dari produksi daging sapi
Amerka Serikat. Kemudian diikuti Brazil, Uni Eropa, China dan India. Eksportir utama
untuk Indonesia yaitu Australia dan Selandia Baru berada pada urutan ketujuh dan
keempatbelas (Gambar 4.2).
Sumber: FAO,2016 dan USDA, 2015 (diolah) Gambar 4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia, 2000-2015
Perilaku produksi daging sapi dunia tersebut disebabkan oleh 12 produsen
daging sapi dunia termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, menunjukkan adanya
stagnansi produksi pada masa paroh kedua 15 tahun terakhir (Gambar 4.3). Hanya
tiga negara produsen yaitu Brasil, China dan India produksi daging sapinya terus
meningkat (Gambar 4.4).
53.036
52.366
53.905
54.220
55.530
56.115
57.671
58.593 58.637
58.155 58.515
58.160 58.527
59.467 59.746
58.443
52.000
53.000
54.000
55.000
56.000
57.000
58.000
59.000
60.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Produksi Daging Sapi Dunia (000 ton)
33
Peringkat
Negara Prodsi (1000 MT CWE)
1 United States 11,055.00
2 Brazil 9,820.00
3 EU-27 7,440.00
4 China 6,825.00
5 India 4,500.00
6 Argentina 2,700.00
7 Australia 2,275.00
8 Mexico 1,845.00
9 Pakistan 1,725.00
10 Russian
Federation
1,370.00
11 Canada 1,015.00
12 Colombia 885.00
13 South Africa 855.00
14 New Zealand 635.00
15 Paraguay 590.00
Sumber: USDA, 2015 Gambar 4.2. Lima Belas Negara Peringkat Utama Produsen Daging Sapi (Beef dan
Veal) di Dunia, 2015
34
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.3. Perkembangan Produksi Daging Sapi 12 Negara Produsen di Dunia, 2015
Sumber:USDA, 2015
Gambar 4.4. Perkembangan Produksi Daging Sapi Tiga Negara Produsen di Dunia, 2015
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
1000
MT
CW
E
Argentina Merika Serikat Australia Uni Eropa-27
Selandia Baru Kanada Meksiko Paraguay
Kolombia Rusia Pakistan Afrika Selatan
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
10
00
MT
CW
E
Brasil India Cina
35
Sebagai negara net importir daging sapi, selama ini pasokan utama daging
sapi Indonesia umumnya berasal dari negara Australia, Selandia Baru, dan Amerika
Serikat. Berdasarkan perkembangan produksi dunia, selain memaksimal potensi
produksi daam negeri, potensi impor dari tiga negara tersebut cukup baik.
Namun,selama ini produksi daging sapi China diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan negara itu dengan penduduk yang sangat besar dan pertumbuhan
ekonomi yang semakin meninkat.
Dua negara potensial lainnya adalah Brasil dan India. Permasalahannya
hingga kini adalah adanya bahwa kedua negara tersebut menurut organisasi
kesehatan hewan dunia (OIE) merupakan negara belum bebas penyakit mulut dan
kuku (PMK), sedangkan Indonesia termasuk negara bebas penyakit PMK dan
menganut pada sistem country based yang hanya bisa memasukan ternak hidup
dan produk ternak dari negara yang bebas dari penyakit PMK.
Menurut OIE, setidaknya ada 66 negara (termasuk Indonesia, Australia dan
Selandia Baru) yang memberlakukan aturan country based atau bebas dari PMK,
diantaranya adalah: Albania, Austria, Belarus, Belgia, Belize, Bosnia dan
Herzegovina, Brunei, Bulgaria, Canada, Chile, Costa Rica, Croatia, Cuba, Cyprus,
Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, El Savador, Estonia, Finlandia,
Macedonia, Prancis, Jerman, Guetemala, Guyana, Haiti, Honduras, Hungaria,
Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Lesotho, Lithuania, Luxemburg,
Madagaskar, Malta, Mauritius, Maxico, Montenegro, Belanda, New Caledonia,
Nicaragua, Norwagia, Panama, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Serbia,
Singapura, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swiss, Swedia, Ukraina, Inggris, Amerika
Serikat dan Venezuela. Namun kesemua negara tersebut jaraknya relatif jauh dari
Indonesia dan kapasitas pasokan ternak dan daging sapi negara lain juga terbatas
(Nurhayati, 2013).
OIE mengklasifikasi status bebas PMK menjadi lima: negara bebas tanpa
vaksinasi, negara bebas dengan vaksinasi, zona bebas tanpa vaksinasi, zona bebas
dengan vaksinasi, dan kompartemen bebas tanpa vaksinasi. UU No 18/2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan membolehkan impor dari zona bebas penyakit
telah dianulir Mahkamah Konstitusi pada 2012. Sepuluh negara memiliki zona bebas
36
tanpa vaksinasi adalah Argentina, Bolivia, Botswana, Brasil, Kolombia, Malaysia,
Moldova, Namibia, Peru, dan Filipina. Enam negara memiliki zona bebas dengan
vaksinasi: Argentina, Bolivia, Brasil, Kolombia, Peru, dan Turki. Selebihnya, 95
negara, di Asia termasuk India, Timur Tengah dan Afrika masih dinyatakan tertular
PMK (Naipospos, 2014). Pada dasarnya, sistem zona bebas tak melanggar kaidah
teknis dan sejalan dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Bila
akan dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan upaya mitigasi risiko sampai
ke tingkat perdagangan yang aman. Zona bebas bukan suatu konsep yang tak
dikenal dalam dunia kesehatan hewan Indonesia. Kita mengakui secara resmi daerah
bebas rabies, atau daerah bebas brucellosis yang merupakan perwujudan konsep
itu. Namun, dampak adanya zona bebas, perlu anggaran mempertahankan status
bebas itu, terutama surveilans dan tindak karantina. Dengan status bebas PMK,
Indonesia dapat mengimpor daging beku dari zona bebas dengan syarat teknis
sesuai dengan standar OIE. Virus PMK sulit bertahan dalam daging, biasanya
mengalami inaktivasi 24-72 jam setelah penyembelihan.
4.1.2. Perkembangan Harga Daging Sapi Di Pasar Dunia
Harga daging sapi yang digunakan adalah harga daging sapi Australia dan
Selandia Baru dengan klasifikasi 85 persen lean fores, posisi CIF import price.
Perkembangan harga bulanan selama 14 tahun cenderung meningkat dengan sedikit
fluktuatif, kecuali kasus bulan juni 2014 hingga oktober 2014 melonjak tajam
(Gambar 4.5). Jika diagregasi menjadi harga rata-rata tahunan, sejak tahun 2006
harga daging sapi naik dari Rp 14.191 menjadi Rp 60.447/kg pada tahun 2015
(Gambar 4.6). Berdasarkan perilaku harga tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan ke
depan harga daging sapi akan terus meningkat.
37
Sumber: World Bank, 2016 Gambar 4.5. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi Dunia, Feb.i 2002-Oktober 2015
4.1.3. Komsumsi Dunia
Tingkat konsumsi daging sapi sangat dipengaruhi oleh harga. Selain itu,
faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah tingkat pendapatan, jumlah penduduk,
dan pola makan serta jumlah pasokan. Secara visual, perkembangan konsumsi
daging sapi dunia mengikuti pola produksinya (Gambar 4.7 dan Gambar 4.1).
Namun tidak semua negara produsen utama merupakan negara konsumen utama.
Sumber: World Bank, 2015
Gambar 4.6. Perkembangan Harga Tahunan Daging Sapi Dunia, 2002- 2015
14191 (Juni 03)
71455 (Oktober '14)
56197Oktober'15
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
Feb
-02
Sep
-02
Ap
r-03
No
v-03
Jun
-04
Jan
-05
Agu
-05
Mar
-06
Okt
-06
Me
i-0
7
Des
-07
Jul-
08
Feb
-09
Sep
-09
Ap
r-10
No
v-10
Jun
-11
Jan
-12
Agu
-12
Mar
-13
Okt
-13
Me
i-1
4
Des
-14
Jul-
15
Rp
/kg
19337
16967
22473
25412
23358
23787
42281
58724
60447
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
50000
55000
60000
65000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Rp
/k
g
38
Sumber FAO dan USDA Gambar 4.7. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia, 2000-2015
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa Australia, Selandia Baru dan India
merupakan negara produsen utama tetapi bukan merupakan negara konsumen
utama. Itu artinya, ketiga negara ini berpotensi menjadi negara eksportir utama
dunia. Untuk kasus Australia dan Selandia Baru, jumlah penduduk yang relatif kecil
dibandingkan jumlah produksi daging sapi kedua negara, menyebabkan keduanya
tidak termasuk negara konsumen utama.
52.937
52.205
53.740 54.245
55.107 55.631
56.887
58.050 57.809
57.234
57.421
56.517
57.785
57.708
56.466
52.000
53.000
54.000
55.000
56.000
57.000
58.000
Konsumsi Daging Sapi Dunia (000 ton)
39
Peringkat Negara Konsumsi Domestik (1000 MT CWE)
1 United States 11,292.00
2 Brazil 7,905.00
3 EU-27 7,495.00
4 China 7,305.00
5 Argentina 2,500.00
6 Russian Federation 2,112.00
7 India 2,100.00
8 Mexico 1,845.00
9 Pakistan 1,661.00
10 Japan 1,228.00
11 Canada 925.00
12 Colombia 873.00
13 South Africa 847.00
14 Hong Kong 758.00
15 Korea, Republic Of 740.00
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.8. Lima Belas Negara Peringkat Utama Konsumen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2015
Jika dipilah berdasarkan negara konsumen utama, konsumsi daging sapi
penduduk Amerika Serikat tertinggi di dunia, namun kecenderungan semakin
menurun. Hal yang sama juga terjadi pada negara Uni Eropa (Gambar 4.9). Pada
kedua negara ini, daging sapi bukan lagi merupakan barang mewah dan pola makan
sehat serta mengurangi obesitas diduga menyebabkan konsumsi yang cenderung
turun. Berbeda dengan kasus Meksiko, walaupun bukan termasuk negara maju
konsumsi daging sapi di negara ini cenderung menurun. Hal itu diduga lebih
disebabkan oleh perubahan pola makan berupa mengurangi konsumsi daging sapi.
40
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.9. Tiga Negara Konsumen Utama Daging Sapi dengan Pola Konsumsi
Menurun (Beef dan Veal) di Dunia, 2015
Kelompok kedua adalah negara dengan konsumsi daging sapi relatif stabil,
yaitu Jepang, Kanada, Rusia, Afrika Selatan dan Argentina (Gambar 4.10). Tiga
negara pertama termasuk kelompok negara maju (Amerika Serikat, Rusia, Jerman,
Jepang, Prancis, Italia, Inggris, dan Kanada).
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.10. Lima Negara Konsumen Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) dengan Pola Konsumsi Stabil di Dunia, 2015
500
2500
4500
6500
8500
10500
12500
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
1000
MT
CW
E
Amerika Serikat Uni Eropa Meksiko
41
Kelompok ketiga adalah negara-negara dimana konsumsi daging sapinya
cenderung meningkat (Gambar 4.11). Tidak satu pun termasuk negara maju. Dua
negara besar yang konsumsinya meningkat tajam adalah China dan Brasil. Sebagai
dengan berpenduduk terbesar di dunia dan kawasannya berdekatan dengan
Indonesia, negara China merupakan potensi pasar daging sapi dunia terutama dari
Australia dan Selandia Baru. Bagi Indonesia posisi China seperti ini dapat sebagai
sesama importir yang saling bersaing untuk menadapatkan daging sapi dari Australia
dan Selandia Baru, juga dapat sebagai pasar daging sapi dari Indonesia, terutama
produk ternak dan daging sapi dari feedlotter Indonesia.
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.11. Tujuh Negara Konsumen Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) dengan
Pola Konsumsi Meningkat (Beef dan Veal) di Dunia, 2015
4.1.4. Ekspor Impor
Ekspor dan impor daging sapi dunia menggambarkan kondisi penawaran dan
permintaan daging sapi dunia. Walaupun harga daging sapu di dunia terus
meningkan, impor daging sapi dunia dan ekspornya dari tahun ketahun cenderung
terus meningkat (Gambar 4.12). Permasalahannya adalah senjang data ekspor dan
impor dari tahun ketahun semakin membesar. Artinya ada ketidaksamaan
pencatatan, dimana pencatatan ekspor lebih besar dari impornya. Hal ini dapat
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
1000
MT
CW
E
Brasil Cina India HongkongPakistan Kolombia Korsel
42
disebabkan negara tujuan ekspor tidak melakukan pencatatan disebabkan oleh
penamaan kargo umum dan spesifik serta kemungkinan adanya pemasukan illegal
ke negara tujuan.
Sumber: USDA, 2015 Gambar 4.12. Ekspor-Impor Daging Sapi Dunia, 2000-2015
Ada negara yang melakukan ekspor tetapi juga melakukan impor daging sapi.
Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan harga dikaitkan dengan daya beli
konsumen atau disebabkan oleh kualitas produk dikaitkan dengan preferensi
konsumen di suatu negara. Tabel 4.1 menunjukan 10 negara eksportir daging sapi di
dunia. Diantara negara eksportir utama ada juga yang melakukan impor dengan
volume lebih besar sehingga masuk kategori negara net importir. Pada Tabel 4.1
negara tersebut adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Delapan negara net ekportir daging sapi utama di dunia dapat dilihat pada
Gambar 4.13. Saat ini eksportir utama daging sapi ke Indonesia adalah Australia dan
Selandia Baru. Berdasarkan aspek kesehatan hewan, kedua negara ini bebas dari
penyakit PMK. Selain itu jarak tempuh transportasi perdagangan relatif lebih dekat
dibandingkan negara eksportir lainnya. Berdasarkan Organisasi Kesehatan Hewan
Dunia, beberapa negara bagian di Brazil merupakan zona bebas PMK. Jika Indonesia
menerima produk impor dari zona bebas, impor daging sapi dari Brazil. Hanya saja
5.000
5.500
6.000
6.500
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Ekspor Dunia (000 ton) Impor Dunia (000 ton)
43
jarak dan waktu tempuhnya relatif lebih besar. Sementara itu, India belum bebas
OMK baik berbasis negara maupun zona.
Tabel 4.1. Sepuluh Negara Eksportir Utama Daging Sapi di Dunia, 2015
No Negara Vol. Ekspor (1000 MT) Vol. Impor (000 MT) Neraca
1 India 2400 0 2400
2 Brazil 2005 90 1915
3 Australia 1590 12 1578
4 Amerika Serikat 1098 1320 -222
5 Selandia Baru 555 15 540
6 Paraguay 440 2 438
7 Uruguay 375 1 374
8 Kanada 375 275 100
9 Uni Eropa 310 365 -55
10 Belarus 225 13 212
Sumber: USDA, 2015
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.13. Negara Net Eksportir Utama Daging Sapi di Dunia, 2015
0
500
1000
1500
2000
25002400
1915
1578
540 438 374212 100
Net Ekspor (1000 MT)
44
4.1.5. Stok Dunia
Untuk menjaga ketersedian pangan asal daging sapi beberapa negara
melakukan stok. Volume stok daging sapi dunia pada 10 tahun terakhir cenderung
menurun dibandingkan sebelumnya (Gambar 4.14). Hal itu diduga disebabkan oleh
semakin lancarnya keterjaminan pasokan yang didukung dengan sarana transportasi
serta penerapan manajemen rantai pasok pada perdagangan daging sapi dunia.
Sumber: USDA, 2015
Gambar 4.14. Stok Awal dan Akhir Tahun Daging Sapi Dunia, 2000-2015
400
500
600
700
800
900
1.000
1.100
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Stok Awal (000 ton) Stok Akhir (000 ton)
45
4.2. Dinamika Pasar Domestik
4.2.1. Populasi Sapi dan Produksi Daging Sapi
Produksi daging sapi domestik dihasilkan dari pemotongan sapi dari populasi
yang ada. Produksi daging dari seekor sapi dipengaruhi oleh berat badan sapi,
komposisi karkas, dan rasio daging/tulang dari karkas. Untuk ras sapi persilangan
simental dan limosin yang merupakan turunan sapi eropa (bos taurus) produksi
dagingnya lebih tinggi dari sapi lokal seperti sapi bali (bos sondaicus) dan sapi PO
(bos indicus). Jenis kelamin juga menentukan produksi daging, dimana daging sapi
betina pada ras dan berat yang sama beratnya lebih ringan dari sapi jantan.
Saat ini masih banyak dijumpai pemotongan sapi betina produktif dan sapi
jantan yang belum mencapai berat potong maksimal. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan produksi daging tertentu membutuhkan pemotongan sapi lebih
banyak dari seharusnya. Dilihat dari sisi sumberdaya, hal seperti ini tentu tidak
menguntungkan karena akan mempercepat pengurasan populasi. Apalagi siklus
reproduksi dan produksi ternak sapi relatif lebih lama. Gambar 4.15 menunjukkan
perkembangan populasi ternak dan produksi daging sapi di Indonesia selama 14
tahun terakhir.
Sumber: BPS, 2001-2014
Gambar 4.15. Perkembangan Populasi Ternak dan Produksi Daging Sapi di Indonesia
2000-2013
Ada dua sumber data produksi daging, yaitu dari Neraca Bahan Makanan
(NBM) yang diterbitkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
8000
9000
10000
11000
12000
13000
14000
15000
16000
17000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Populasi (ribu ekor) Prod-NBM (ribu ton) Prod-SI (ribu ton)
46
dari BPS. Data pada NBM adalah daging yang langsung digunakan untuk bahan
makanan, sedangkan data dari BPS termasuk daging yang diolah untuk produk
hilirnya.
Gambar 4.15 menunjukkan bahwa arah pertumbuhan populasi dan produksi
daging sapi cenderung sama, namun pergerakan kurva produksi daging sapi relatif
fluktuatif. Hal itu disebabkan produksi daging sapi lebih respon terhadap perubahan-
perubahan dalam jangka relatif pendek, seperti kebijakan impor, permintaan
musiman dan kenaikan pendapatan. Sementara itu, populasi sapi perubahannya
memerlukan waktu relatif lama sesuai siklus produksi.
Jika diamati lebih jauh, kenaikan produksi daging agak tajam pada 2003-
2004, menyebabkan populasi turun dan naik kembali pada tahun 2006. Ini dapat
diartikan, jika tidak ada upaya khusus, pemotongan sapi yang tinggi menyebabkan
pengurasan populasi. Sejak tahun 2006 – 2013 secara bertahap populasi sapi terus
naik. Kenaikan ini antara lain dapat disebabkan adanya program swasembada
daging sapi oleh Pemerintah selama dua periode yaitu 2005-2009 dan 2010-2014.
Kasus pengurasan populasi tersebut terekam dari data Badan Pusat Statistik.
Pada tahun 2011, saat pemerintah menetapkan pangsa produksi sapi lokal untuk
penawaran dalam negeri 65,09 persen populasi sapi saat itu 14,8 juta ekor. Ketika
tahun 2013, pangsa tersebut ditingkatkan menjadi 86,31persen, populasi menurun
tajam hingga 12,7 juta ekor (Ditjen PKH, 2015).
4.2.2. Konsumsi
Produksi daging sapi domestik tidak mampu memenuhi konsumsi yang terus
meningkat. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa untuk memenuhi konsumsi domestik
yang diindikasikan oleh ketersediaan daging sapi, Indonesia harus memenuhinya
dari Impor. Ada dua bentuk produk yang diimpor yaitu berupa daging sapi dan sapi
bakalan. Sapi bakalan yang diimpor maksimal beratnya 350 kg/ekor untuk
digemukkan selama sekitar 100 hari sehingga berat potongnya mencapai 450-550
kg/ekor.
47
Pertumbuhan konsumsi (4,33%/th) lebih tinggi dari produksi (3,89%/th) daging
sapi di dalam negeri. Demikian pula pertumbuhan impor baik daging (14,39%/th)
maupun sapi bakalan (10,87%/th) jauh lebih tinggi dari pertumbuhan produksi dan
konsumsi. Prospek permintaan yang tinggi ini mendorong meningkatnya pelaku
impor karena usaha ini dinilai sangat menguntungkan (Ilham, et al., 2015).
Tabel 4.2. Pasokan dan Ketersediaan Daging Sapi Indonesia, 2000-2013
Tahun
Neraca Daging Sapi (000 ton)
Produksi
Domestik
Eks Impor
Sapi Bakalan Impor Ekspor
Tercece
r
Tersedia untuk
Konsumsi
2000 289,43 50,47 27,00 0,03 12,00 354,87
2001 28.44 49,26 16,50 0,18 12,00 343,02
2002 257,74 72,56 11,50 0,08 10,00 331,72
2003 303,83 65,87 10,70 0,11 12,00 368,29
2004 386,42 61,18 11,80 0,02 14,00 445,38
2005 299,50 59,20 21,50 0,10 12,00 368,10
2006 330,03 65,77 25,90 0,01 13,00 408,69
2007 251,54 87,96 39,40 0,05 12,00 366,85
2008 282,79 109,71 45,60 0,06 14,00 424,04
2009 277,80 131,50 67,40 0,01 16,00 460,69
2010 347,81 88,64 90,50 0,00 18,00 508,95
2011 414,94 70,39 65,00 0,00 18,00 532,33
2012 461,48 47,43 39,40 0,00 17,00 531,30
2013 423,86 76,94 47,70 0,00 18,00 530,50
2014 416,03 123,93 76,90 0,00 18,00 598,86
R (%/thn) 3,89 10,87 14,39 - 3,58 4,33
Sumber: MLA, 2016 (diolah); Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2005, 2008, 2009, 2011,
2013, dan 2015.
48
Dinamika pangsa pasokan daging sapi domestik 15 tahun terakhir dapat
dilihat pada Tabel 4.3. Rata-rata pangsa pasokan pertahun dalam kurun lima
tahunan dapat dilihat pada Gambar 4.16. Produksi daging sapi domestik masih
memegang peranan penting dengan pangsa yang fluktuatif antara 58 persen – 84
persen. Selebihnya dari impor sapi bakalan dan impor daging sapi.
Jika dipilah menjadi tiga penggal lima tahunan, sejalan dengan program
swasembada daging sapi 2000-2004, 2005-2009, dan 2010-2014, dapat diperoleh
informasi sebagai berikut: (1) Program swasembada 2000-2004 yang tidak didukung
dana secara khusus tidak mampu mempertahankan pangsa produksi domestik, dan
setelah ada dukungan dana, 2005-2009 dan 2010-2014, baru terlihat meningkatkan
pangsa; (2) Pangsa daging impor terus meningkat, diduga karena berkembangnya
industri wisata dan kuliner yang membutuhkan daging kualitas prima asal impor,
serta makin meningkatnya minta konsumen mengkonsumsi daging sapi beku; dan
(3) Terlihat ada daya desak pangsa impor sapi bakalan dengan produksi domestik.
Tabel 4.3. Dinamika Pangsa Pasokan Daging Sapi Indonesia menurut Sumber, 2000-2014
Tahun
Pangsa Pasokan (%)
Dalam Negeri Eks Sapi Bakalan
Impor Daging Impor Total
2000 78,9 13,8 7,4 100,0
2001 81,5 13,9 4,6 100,0
2002 75,4 21,2 3,4 100,0
2003 79,9 17,3 2,8 100,0
2004 84,1 13,3 2,6 100,0
2005 78,8 15,6 5,7 100,0
2006 78,3 15,6 6,1 100,0
2007 66,4 23,2 10,4 100,0
2008 64,5 25,0 10,4 100,0
2009 58,3 27,6 14,1 100,0
2010 66,0 16,8 17,2 100,0
2011 75,4 12,8 11,8 100,0
2012 84,2 8,7 7,2 100,0
2013 77,3 14,0 8,7 100,0
2014 67,4 20,1 12,5 100,0 Sumber: MLA, 2016 (diolah); Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2005, 2008, 2009, 2011,
2013, dan 2015.
Berdasarkan negara asal, impor sapi bakalan Indonesia seluruhnya berasal
dari Australia. Bahkan ekspor sapi bakalan Australia sebagian besar ditujukan ke
49
Indonesia (Tabel 4.4 dan Gambar 4.17). Ini berarti, saat ini ketergantungan pasokan
sapi bakalan Indonesia terhadap Australia cukup tinggi. Hal itu dikarenakan jarak
tempuh yang lebih dekat dan terkait dengan aturan karantina, dimana sapi asal
Australia bebas penyakit PMK. Jika dilihat dari nilai koefisien variasi, impor sapi
bakalan Indonesia lebih fluktuatif dibandingkan ekspor sapi bakalan Australia secara
menyeluruh. Tingkat fluktuasi tersebut sangat dipengaruhi oleh isu yang
mempengaruhi besaran volume perdagangan sapi bakalan tersebut, seperti issu
penerapan kesejahteraan hewan dan issu swasembada daging sapi di Indonesia.
Sumber: MLA, 2016; Ditjen PKH, 2005, 2008, 2009, 2011, 2013, dan 2015
Gambar 4.16. Dinamika Pangsa Pasokan Daging Sapi Indonesia Per Lima Tahunan
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
2000-04 2005-09 2010-14
79,9
69,274,0
15,9 21,414,5
4,2
9,4 11,5
Prod Dalam Negeri Impor Sapi Bakalan Impor Daging Sapi
50
Tabel 4.4. Perkembangan Volume dan Pangsa Ekspor Sapi Bakalan Sapi Bakalan
Australia ke Indonesia, 2000-September 2015
Tahun Total (ekor) Indonesia (ekor) Pangsa (%)
2000 895.982 296.653 33
2001 822.474 289.525 35
2002 971.880 426.458 44
2003 774.248 387.160 50
2004 637.748 359.560 56
2005 572.799 347.967 61
2006 634.314 386.566 61
2007 719.482 516.992 72
2008 868.510 644.849 74
2009 954.143 772.868 81
2010 874.916 521.002 60
2011 694.796 413.726 60
2012 619.418 278.767 45
2013 850.273 452.239 53
2014 1.292.202 728.404 56
2015 995.738 420.184 42
Rataan 823.683 452.683 55
SD 183.244 149.900 CV 0,22 0,33 Sumber: MLA, 2015 (diolah)
Sumber: MLA, 2015
Gambar 4.17. PerkembanganVolume dan Pangsa Ekspor Sapi Bakalan Australia ke Indonesia, 2000-Sept 2015
33
56 61
72
81
60
45
56
42
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Total (ekor) Indonesia (ekor) Pangsa (%)
51
Sumber pasokan daging impor untuk Indonesia sebagian besar juga dari
Australia, yaitu mencapai 76,18 persen kemudian diikuti oleh Selandia Baru 20,70
persen. Alasanya sama dengan kasus impor sapi bakalan. Kondisinya selama dua
tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Volume Impor Daging Sapi Indonesia menurut Negara Asal dan Potongan
Daging, 2012-2013
Jenis Potongan /Kode HS Tahun Singapura Australia
Selandia
Baru
Amerika
Serikat Jumlah
Potongan lain daging sapi segar
atau dingin / 201200000
2012 0 29,7 0,0 0,0 29,7
2013 0 333,9 87,5 0,0 421,4
Daging tanpa tulang segar atau
dingin / 201300000
2012 0 1.887,7 131,4 28,8 2.047,9
2013 0,2 2.478,1 227,1 12,7 2.718,1
Karkas beku / 202100000
2012 0 106,8 0,0 17,7 124,5
2013 0 0 0,0 0,0 0,0
Potongan lain daging sapi
dengan tulang-beku / 202200000
2012 0 665,3 181,1 81,0 927,4
2013 0 2.003,9 457,0 333,8 2.794,7
Daging beku / 202300000
2012 0 223,0 7.140,7 866,3 30.377,0
2013 39,1 30.312,3 8.132,4 1.085,7 39.569,5
Jumlah 39,3 60.187,7 16.357,2 2.426,0 79.010,2
Pangsa (%) 0,05 76,18 20,70 3,07 100,00
Sumber: BPS, 2014b (diolah)
4.2.3. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional
Selama 10 tahuan terakhir harga daging sapi di Indonesia terus meningkat.
Nilai R2 0,963 menunjukkan bahwa waktu mementukan besarnya harga daging sapi.
Fenomena yang terjadi waktu menjelang bulan puasa dan Idul Fitri merupakan saat-
saat harga daging sapi meningkat. Peningkatan tersebut lebih disebabkan
permintaan yang tinggi. Setelah kenaikan harga pada saat ini, tidak diikuti
52
penurunan sehingga harga kembali ke posisi sebelum kenaikan. Perilaku harga yang
demikian menyebabkan harga daging sapi naik terus menerus (Gambar 4.18).
Harga berat hidup sapi di tingkat produsen pertumbuhannya relatif lambat.
Pada periode waktu yang sama, yaitu Januari 2005 sampai dengan Juni 2011,
koefisien variasi harga daging dan ternak sapi relatif sama. Hanya saja, selain waktu,
harga sapi ditentukan juga oleh faktor lainnya. Setidaknya dua faktor yang
menentukan adalah komposisi karkas dan rasio daging/tulang dari karkas tersebut.
Kedua factor tersebut ditentukan lagi oleh ras sapi dan kondisi tubuh sapi (body
score condition).
Sumber: Pusdatin
Gambar 4.18. Perkembangan Harga Daging Sapi di Tingkat Konsumen dan Harga
Sapi Hidup di Tingkat Produsen di Indonesia, Januari 2005 – Juli 2015
Kasus yang pernah terjadi, operasi pasar dalam bentuk mendatangkan sapi
saat-saat harga daging sapi sedang menaik tidak menurunkan harga daging sapi.
Hal itu dapat disebabkan yang diminta konsumen adalah daging sapi, sedangkan
proses perubahan bentuk dari ternak sapi menjadi daging sapi melibatkan pedagang
yang umumnya memanfaatkan waktu itu untuk memperoleh keuntungan lebih
besar. Pada sisi lain banyaknya sapi akibat operasi pasar menurunkan harga sapi di
y = 522x + 31080R² = 0,963
CV = 0,30
y = 138,9x + 16723R² = 0,457
CV = 0,21
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
100000
110000
2005M
1
2005M
5
2005M
9
2006M
1
2006M
5
2006M
9
2007M
1
2007M
5
2007M
9
2008M
1
2008M
5
2008M
9
2009M
1
2009M
5
2009M
9
2010M
1
2010M
5
2010M
9
2011M
1
2011M
5
2011M
9
2012M
1
2012M
5
2012M
9
2013M
1
2013M
5
2013M
9
2014M
1
2014M
5
2014M
9
2015M
1
2015M
5
Rp/kg Harga Konsumen
Rp/kgBH Harga Produsen
Y=449,4x + 33952
R2= 0,935
CV = 0,20
53
tingkat peternak, sehingga merugikan peternak. Operasi pasar daging sapi juga
dilakukan, namun hanya spot-spot dan kualitas dagingnya kurang diminati
konsumen akibat tingginya kandungan lemak. Operasi pasar seperti ini hanya
menguntungkan pedagang pemotong, merugikan peternak, dan tidak kurang pada
konsumen.
Berdasarkan pengalaman di atas, operasi pasar sebaiknya dilakukan dalam
bentuk daging beku yang tidak banyak mengandung lemak. Operasi pasar tidak
hanya di supermarket dan pasar tradisional, tetapi di freezer point (termasuk TTI-
Toko Tani Indonesia) yang ada di komplek-komplek perumahan dan pemukiman
penduduk. Rencana akan dilakukan operasi pasar disebarkan kepada masyarakat
melalui berbagai media agar tidak terjadi panic buying yang menyebabkan harga
meningkat. Kalaupun dalam bentuk ternak sapi, dilakukan sebelum harga daging
mulai naik.
54
4.3. Kebijakan Pengembangan Ternak dan Daging Sapi
Di pasar internasional ternak dan daging sapi Indonesia merupakan negara
kecil. Oleh karena itu, pengembangan ternak dan daging sapi di Indonesia tidak
hanya dipengaruhi faktor-faktor internal seperti kebijakan pemerintah, tetapi juga
kebijakan negara importir dan eksportir ternak dan daging sapi besar di dunia dan
kondisi perekonomian dunia secara umum serta perilaku pasar daging sapi di pasar
internasional. Berikut disajikan hal-hal yang terkait dengan faktor-faktor internal dan
eksternal yang diperkirakan mempengaruhi kondisi pasar ternak dan daging sapi di
Indonesia.
4.3.1. Faktor-faktor Eksternal
Produksi daging sapi di negara produsen utama stagnan dan cenderung
turun, kecuali Brasil, China dan India. Pada sisi lain, konsumsi daging sapi negara
konsumen utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami penurunan dan
Rusia serta Argentina stagnan. Sementara itu, Brasil, China dan India mengalami
peningkatan. Sebagai negara besar di pasar internasional, turunnya konsumsi di
Amerika Serikat dan Uni Eropa akan mempengaruhi pasar sehingga harga daging di
pasar internasional sejak 2014-2015 mengalami penurunan. Menurut Balk (2015),
saat ini semakin banyak orang di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengurangi
konsumsi daging pribadi mereka, bahkan beberapa memilih untuk tidak makan
daging sama sekali.
Penurunan permintaan ini akan mengubah arah perdagangan daging sapi di
pasar internasional. Produk-produk dari negara eksportir utama akan beralih ke
negara-negara baru berkembang (emerging market) dimana permintaannya masih
meningkat seperti Pakistan, Korea Selatan, Hongkong dan termasuk Indonesia.
Turunnya permintaan di Amerika Serikat dan Uni Eropa akan menyebabkan adanya
kelebihan pasokan yang juga akan dipasarkan ke arah dengan emerging market.
Kalau ini terjadi maka kecenderungan harga daging sapi di pasar dunia akan
menurun, kecuali terjadi pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging market
yang menyebabkan permintaan terhadap daging sapi naik signifikan. Namun sejak
2012-2014 pertumbuhan ekonomi dunia mengalami masa stagnan (Gambar 4.19).
55
Sumber: World Bank, 2016
Gambar 4.19. Pertumbuhan Ekonomi Dunia, beberapa Kawasan dan Negara, 2006-2014
Tiga negara net eksportir utama daging sapi di dunia adalah India, Brasil dan
Australia. Australia merupakan negara bebas penyakit PMK, Brasil beberapa negara
bagiannya bebas penyakit PMK, sedangkan India belum. Berdasarkan status
penyakit itu, Indonesia yang juga merupakan negara bebas penyakit PMK hanya
mungkin melakukan impor dari Australia, kecuali Indonesia beralih menganut zona-
base terkait penyakit PMK maka Indonesia dapat mengimpor daging sapi dari Brasil.
4.3.2. Faktor-Faktor Internal
Pada tiga periode lima tahun sebelumnya pemerintah telah melaksanakan
program swasembada daging sapi. Menurut Ashari et al., (2012) dua program
swasembada 2005 dan 2010 tidak berhasil karena kurang mendapat dukungan
anggaran, sedangkan program swasembada daging sapi 2014 (PSDSK 2014)
dirancang lebih komprehensif dengan acuan yang jelas berupa blue print, pedoman
umum, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, unit manajemen dan pendanaan untuk
melaksanakan lima kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional.
-4,5
-2,5
-0,5
1,5
3,5
5,5
7,5
9,5
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Dunia AS Asia Selatan Meksiko Uni Eropa Asia Timur & Pasifik
56
Setiap kegiatan pokok terdiri dari kegiatan beberapa operasional. Kegiatan
pokok penyediaan bakalan/daging sapi lokal, memiliki empat kegiatan operasional:
(1) pengembangan usaha pembiakan/penggemukan sapi lokal, (2) pengembangan
pupuk organik dan biogas, (3) pengembangan integrasi ternak dan tanaman, dan
(4) pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan. Kegiatan pokok
peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, memiliki tiga kegiatan
operasional: (1) optimalisasi inseminasi buatan dan inseminasi kawin alam, (2)
penyediaan dan pengembangan pakan dan air, dan (3) penanggulangan gangguan
reproduksi dan peningkatan layanan kesehatan. Kegiatan pokok pencegahan
pemotongan sapi betina produktif memiliki satu kegiatan operasional yaitu
penyelamatan sapi betina produktif. Kegiatan pokok penyediaan bibit sapi lokal,
memiliki tiga kegiatan operasional: (1) penguatan wilayah sumber bibit dan
kelembagaan usaha pembibitan, (2) pengembangan usaha pembibitan sapi potong
melalui village breeding centre, dan (3) penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga.
Kegiatan pokok pengaturan stok daging sapi dalam negeri, memiliki dua kegiatan
operasional: (1) pengaturan stok sapi bakalan dan daging, dan (2) pengaturan
distribusi dan pemasaran sapi/daging.
Pada lima tahun ke depan 2015-2019, program pemerintah dalam bidang
peternakan yang dikelola Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah Program
Peningkatan Produksi Daging. Konsep yang digunakan adalah Sentra Peternakan
Rakyat dimana untuk ternak sapi ditargetkan populasi pada tahun 2019 adalah
14,90 juta ekor. Secara menyeluruh alokasi anggaran 33,54 persen diperuntukan
pada upaya peningkatan produksi ternak; 26,88 persen untuk peningkatan produksi
pakan; 12,72 persen untuk untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan menular strategis dan zoonosis; 11,78 persen untuk peningkatan kuantitas
dan kualitas benih dan bibit ternak; dan sisanya untuk penjaminan produk Hewan
yang ASUH dan berdaya saing, serta dukungan manajemen dan dukungan teknis
Lainnya (Ditjen PKH, 2015).
Tingginya alokasi untuk peningkatan produksi karena ada pengadaan sapi
indukan impor Brahman cross dan kegiatan gertak birahi dan inseminasi buatan.
Tiga porsi alokasi terbesar diharapkan dapat memicu peningkatan produksi daging
57
terutama daging sapi. Namun pada tahun 2015 dialokasikan dana APBN sebesar Rp
3,15 Triliun, namun realisasinya hingga 13 Januari 2016 hanya 71,25% (Kemenkeu,
2016). Pengadaan indukan sapi tahun 2015 tidak dapat dilakukan karena terhambat
masalah lelang. Diharapkan tahun 2016 kegiatan tersebut akan dapat dilaksanakan
sesuai rencana, Program pemerintah yang pada periode ini diharapkan dapat
meningkatkan atau paling tidak mempertahan produksi daging sapi nasional.
Secara agregat, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik.
Pertumbuhan itu tidak hanya terjadi pada sentra pemerintahan di DKI dan Jawa
Barat saja, tetapi juga pada beberapa daerah lain yang dipicu oleh berkembangnya
usaha perkebunan dan pertambangan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua. Selain itu, industri kuliner juga berkembang hampir di semua kota. Kondisi
tersebut membutuhkan pasokan bahan pangan yang berkualitas seperti daging sapi.
Ini berarti permintaan terhadap daging sapi nasional cenderung terus meningkat.
Naiknya permintaan terhadap daging sapi diduga masih tidak cukup hanya
mengandalkan pasokan produksi lokal. Hal itu terindikasi oleh naiknya harga daging
sapi. Oleh karena itu, sebagian pasokan dipenuhi dari produk impor. Kondisi yang
demikian merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk
meningkatkan produksi daging sapi di dalam negeri.
4.4. Outlook Komoditas Daging Sapi Indonesia
Pada komoditas daging sapi ada lima peubah penting yang perlu diperkirakan
perkembangannya selama lima tahun ke depan. Kelima peubah tersebut adalah
populasi sapi potong, produksi daging sapi, permintaan daging sapi, harga daging
sapi dan net impor daging sapi. Proyeksi yang dilakukan menggunakan tiga
skenario, yaitu: I: kondisi normal; II: kondisi La Nina; dan III: kondisi El Nino
menggunakan data dasar 1993-2015 (Setiyanto, et al. 2014). Ketiga kondisi tersebut
diproksi dengan tingkat produktivitas.
4.4.1. Populasi Sapi Potong
Pertambahan populasi sapi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
jumlah kelahiran, jumlah kematian dan jumlah sapi yang dipotong untuk konsumsi.
58
Sesuai hasil sensus pertanian BPS, populasi sapi di Indonesia pada tahun 2013
mengalami penurunan dari 15,98 juta ekor tahun 2012 menjadi 12,69 juta ekor
tahun 2013. Penurunan tersebut disebabkan banyak pemotongan sapi domestik
akibat pembatasan impor ternak dan daging sapi (Bappenas, 2014).
Berdasarkan data dasar 1993-2013, diproyeksikan populasi sapi tahun 2015
menurut skenario I, II dan III adalah 13,84 juta ekor, 12,26 juta ekor, dan 13,64
juta ekor. Angka ini lebih baik dari kondisi 2013, kecuali untuk skenario II, namun
jauh di bawah angka populasi yang dilaporkan Ditjen PKH pada tahun 2014 yaitu
14,73 juta ekor. Kenaikan populasi pada tahun 2014, sangat memungkinkan terjadi
karena pasokan impor pada tahun 2014 meningkat kembali dan hal ini dapat
membatasi pemotongan sapi domestik.
Pelajaran yang dapat ditarik dari proyeksi berdasarkan tiga skenario yang ada
bahwa, kebijakan impor ternak dan daging sapi sesuai kebutuhan dalam negeri yang
selama ini dilakukan dalam kondisi iklim normal mampu meningkatkan populasi sapi
dengan pertumbuhan 5,6 persen per tahun. Angka hasil proyeksi pada kondisi
normal lebih baik dari dua kondisi tidak normal yaitu kondisi La Nina dan El Nino
(Gambar 4.20 dan Tabel 4.6).
Sumber: BPS, 2011a; BPS, 2013a dan Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.20. Populasi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Populasi Sapi Potong di
Indonesia Tahun 2015-2019 (000 ekor)
59
Tabel 4.6. Proyeksi Populasi Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019 (000 ekor)
Tahun Skenario I (Normal) Skenario II (La
Nina) Skenario III (El Nino)
2015 13.836 12.255 13.638
2016 15.270 13.219 14.603
2017 15.817 13.316 14.655
2018 16.476 13.412 14.762
2019 17.180 13.508 14.886
R (%/thn) 5,6 2,5 2,2
Jika dibandingkan skenario II (La Nina) dan III (El Nino), populasi sapi akan
bertambah lebih banyak pada kondisi El Nino, padahal pada saat itu diperkirakan
stok pakan mengalami penurunan. Namun dengan menggunakan pakan dari produk
samping yang berasal dari tanaman dan industri pertanian, serta berkembangnya
teknologi pengolahan pakan yang dilengkapi sarana berupa bank-pakan baik dalam
bentuk silo dan hay,kebutuhan pakan masih dapat dipenuhi. Sebaliknya pada kondisi
La Nina, curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan angka kematian pedet akibat
infeksi pusar dan kematian sapi akibat memakan hijauan muda yang dapat
menimbulkan penyakit kembung perut (grass tetani)’
Pelajaran yang dapat ditarik dari proyeksi berdasarkan tiga skenario yang ada
bahwa untuk meningkatkan populasi sapi nasional, selain kebijakan ekonomi seperti
pengendalian impor ternak dan daging sapi, kebijakan teknis terkait budidaya sapi
(good farming practice) perlu mendapat perhatian. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah penyediaan pakan untuk kebutuhan sehari-hari dan stok untuk penyediaan
musim-musim kelangkaan pakan. Kesehatan sapi saat sebelum sapih perlu
mendapat perhatian, terutama untuk menghindari infeksi pusar. Pengaturan
perkawinan agar sapi tidak lahir pada musim hujan yang sudah dilakukan pada
beberapa peternak/perusahaan dapat diadopsi dalam kawasan yang lebih luas.
4.4.2. Produksi Daging Sapi
Produksi daging sapi berasal dari hasil proses pemotongan sapi. Bisa saja
terjadi tersedia sapi siap potong dalam jumlah tertentu, tetapi pemiliknya belum
menjualnya untuk dipotong sehingga produksi daging sapi tidak sesuai dengan
potensi yang ada. Kondisi seperti ini masih terjadi pada industri sapi potong
60
nasional. Sapi yang diusahakan oleh sebagian peternak masih merupakan tabungan.
Peternak menjual sapi yang diusahakannya saat membutuhkan dana untuk rumah
tangga, seperti: untuk biaya sekolah anak, biaya membangun dan memperbaiki
rumah, membeli kendaraan, biaya berangkat haji. Tingginya daya saing harga sapi
eks impor yang dihasilkan perusahaan feedlotter menyebabkan sebagian besar
peternak penggemukan sapi hanya menjual sapi miliknya menjelang hari raya Idul
Adha, di mana pada saat itu harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan harga
saat kondisi di luar itu.
Faktor penting lain yang perlu diperhatikan adalah volume daging yang
dihasilkan dari seekor sapi dipengaruhi oleh berat hidup dan berat karkas sapi.
Kedua hal itu dipengaruhi oleh ras sapi dan teknik pemeliharaan. Ini artinya untuk
menghasilkan jumlah daging sapi tertentu dapat dihasilkan dari jumlah sapi potong
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, lima ekor sapi persilangan simental, rata-rata
berat hidup 500 kg, diperkirakan mampu menghasilkan daging 900 kg daging.
Berbeda dengan lima ekor sapi PO, rata-rata berat hidup 500 kg, hanya mampu
menghasilkan daging sekitar 812 kg daging. Kenyataannya, kondisi sapi yang
dipotong di Indonesia bervariasi pada berbagai tempat.
Kaitan skenario proyeksi dengan produksi daging sapi adalah kondisi berat
badan sapi siap potong. Berat badan sapi dipengaruhi oleh ketersediaan pakan.
Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh musim. Pada musim penghujan ketersedian
pakan lebih banyak dibandingkan musim kemarau. Namun demikian dengan teknik
pengolahan pakan dan sistem stok pakan yang baik maka musim tidak
mempengaruhi ketersediaan pakan. Namun hingga saat ini untuk kondisi Indonesia,
belum semua produsen sapi potong terutama small holder, telah mengaplikasikan
teknologi dan penyimpanan pakan. Gambar 4.21 memperlihatkan hasil proyeksi
produksi daging sapi 2015-2019 berdasarkan skenario normal, La Nina, dan El Nino.
61
Sumber:Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.21. Produksi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Produksi Daging Sapi di
Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)
Pada kondisi normal produksi daging sapi terus meningkat dan besarannya
lebih tinggi dari skenarion adanya dampak perubahan iklim. Pada kondisi La Nina,
secara alamiah rumput lebih meningkat produksinya, sehingga banyak peternak
yang mempertahankan sapinya untuk digemukkan. Sementara itu, pada kondisi El
Nino, produksi rumput menurun dan harga pakan cenderung meningkat. Untuk
menghindari risiko kerugian peternak banyak menjual sapi untuk dipotong sebelum
kondisi berat badan sapi mengalami penurunan akibat keterbatasan pakan. Ada juga
peternak yang mempertahankan sapinya dengan alasan sebagai sapi bibit dan
indukan untuk berkembang biak. Agar kondisi tubuh sapi tidak turun drastis, untuk
mendapatkan pakan yang berkualitas dengan terpaksa menjual sapi yang kurang
produktif di mana hasil penjualannya digunakan untuk membeli pakan. Berdasarkan
hal itu, produksi daging sapi pada saat El Nino lebih tinggi dibandingkan saat La
Nina.
4.4.3. Permintaan Daging Sapi
Permintaan terhadap daging sapi dipengaruhi oleh harga, pendapatan dan
jumlah penduduk. Pada sebagian besar penduduk, daging sapi masih merupakan
barang mewah. Pada kelompok ini, kenaikan pendapatan menyebabkan permintaan
483,9
380,5
419,3
250
300
350
400
450
500
550
20002001200220032004200520062007200820092010201120122013201420152016201720182019
Skenario I Skenario II Skenario III
62
terhadap daging sapi meningkat, dan sebaliknya. Pada kelompok pendapatan
menengah ke atas dengan pendapatan relatif tetap, permintaan tidak responsif
terhadap perubahan harga dan pendapatan. Petani pada umumnya termasuk
masyarakat berpendapatan menengah ke bawah dengan jumlah pendapatan tidak
tetap setiap bulan, tetapi tergantung musim.
Hasil proyeksi permintaan terhadap daging sapi menunjukkan bahwa pada
kondisi normal maupun La Nina permintaan terhada daging sapi relatif sama
(Gambar 4.22). Berbeda dengan saat El Nino, permintaan terhadap daging sapi
mengalami penurunan. Bagi kelompok petani tanaman pangan dan perkebunan,
kondisi El Nino menyebabkan produksi pertanian mengalami penurunan. Akibatnya
pendapatan petani turun dan pada sisi lain harga pangan utama mengalami
peningkatan. Dengan kondisi yang demikian, kenaikan harga pangan utama
menyebabkan pengeluaran konsumsi untuk bundel pangan utama meningkat,
sehingga menurunkan budget untuk konsumsi barang sekunder termasuk daging
sapi. Akibatnya permintaan terhadap daging sapi menurun.
Sumber:Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.22. Permintaan Daging Sapi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Permintaan
Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)
580,63
579,40
563,01
300
350
400
450
500
550
600
650
Skenario I Skenario II Skenario III
63
4.4.4. Harga
Laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dibandingkan laju pasokan
produksi daging sapi domestik, menyebabkan harga daging sapi di Indonesia terus
meningkat (Ilham, 2009). Secara historis, pemicu utama kenaikan harga daging
adalah saat menjelang bulan puasa dan hari lebaran. Setelah saat ini, biasanya
harga daging turun, namun tidak pada posisi harga sebelum kenaikan. Fenomena
lain terjadi pada tahun 2015 dan 2016, harga daging naik di luar waktu-waktu biasa.
Harga daging sapi sangat sentiment terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait
dengan industri daging sapi nasional, yang menyebabkan kenaikan harga yang tidak
rasional.
Setiyanto et al. (2014) memperkirakan harga riil daging sapi di tingkat
konsumen perkotaan selama periode 2015-2019 terus meningkat baik dalam kondisi
iklim normal, La Nina dan El Nino (Gambar 4.23). Pada kondisi normal harga lebih
murah dan fluktuasi serta pertumbuhannya relatif stabil dibandingkan pada kondisi
La Nina dan El Nino. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi (CV) dan rata-rata
pertumbuhan harga per tahu (R). Hasil proyeksi harga nominal daging sapi nasional
daging Kemendag (2014) memperlihatkan kenaikan harga pada lima tahun ke depan
sangat signifikan, yaitu rata-rata Rp 118.215/kg dengan nilai koefisien variasi 0,11
dan rata-rata pertumbuhan 7,35 persen per tahun.
64
Sumber: Setiyanto et al., 2014 (diolah) dan Kemendag, 2014 (diolah)
Gambar 4.23. Poyeksi Harga Tahunan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019
Jika data harga daging sapi disajikan dalam bentuk bulanan terlihat
kecenderungannya juga terus meningkat, namun lebih fluktuatif (Gambar 4.24),
terutama pada tahun 2017, 2018, dan 2019. Fluktuasi tersebut disebabkan adanya
hari-hari besar keagamaan pada bulan-bulan tertentu, di mana pada saat itu
permintaan terhadap daging sapi melonjak tajam.
90000
95000
100000
105000
110000
115000
120000
125000
130000
135000
140000
2015 2016 2017 2018 2019
Ha
rga
Rp
/kg
HK-Riil SI (Normal): Rataan Rp 96878/kg; CV=0.035; R=2.22 %/th
HK-Riil SII (La Nina): Rataan Rp 97102/kg; CV=0.038; R=2.46 %/thn
HK-Rill SIII (El Nino): Rataan Rp 97124/kg; CV=0.038; R=2.47 %/thn
HK-Nominal Kemendag (Normal): Rataan Rp 118215/kg; CV=0.11; R=7.35 %/thn
65
Sumber: Setiyanto et al., 2014 (diolah)
Gambar 4.24. Poyeksi Harga Bulanan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019
4.4.5. Net-Import
Pada skenario abnormal, baik La Nina maupun El Nino impor daging sapi
nasional berada di atas kondisi normal. Kalaupun ada, ekspor daging sapi Indonesia
sangat kecil, sehingga net impor pada kondisi La Nina dan El Nino menjadi
meningkat (Gambar 4.25). Harga daging sapi pada kondisi El Nino relatif tinggi
dibandingkan kondisi La Nina, kondisi ini mempengaruhi permintaan impor
Indonesia, antara lain dalam upaya utuk mencukupi kekurangan pasokan dalam
negeri dan menstabilkan harga daging sapi domestik.
75000
80000
85000
90000
95000
100000
105000
110000
115000
120000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2015 2016 2017 2018 2019
Ha
rga
R
p/k
g
SI (Normal): Rataan= Rp 97265/kg; CV=0.07; R= 0.89 %/bln
SII (La Nina): Rataan Rp 97488/kg; CV=0.07; R=0.91 %/bln
SIII (El Nino): Rataan Rp 97509/kg; CV=0.07; R=0.91 %/bln
66
Gambar 4.25. Volume Net Impor Daging Sapi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Volume Net Impor Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)
143,89
152,25
163,68
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Skenario I Skenario II Skenario III
67
4.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
4.5.1. Kesimpulan
1. Poduksi daging sapi dunia selama tujuh tahun terakhir cenderung melambat.
Dua produsen utama yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa cenderung turun dan
sebaliknya Brazil, China dan India cenderung meningkat. Negara pemasok
ternak dan daging sapi Indonesia selama ini yaitu Australia dan Selandia Baru
pertumbuhan produksi daging sapinya masih positif, walaupun melambat.
2. Tiga produsen utama yang produksinya masih terus meningkat dan berpotensi
sebagai sumber pemasok daging sapi nasional adalah Brasil dengan alasan
beberapa negara bagiannya merupakan zona bebas PMK tanpa vaksinasi dan
beberapa lainnya merupakan zona bebas dengan vaksinasi. Sementara itu,
India dan China masih tertular PMK.
3. Produksi daging sapi dunia yang melambat mendorong harga daging sapi dunia
cenderung meningkat dan dengan adanya gejala perubahan iklim ke depan
diperkirakan harga daging sapi dunia akan terus meningkat.
4. Perkembangan konsumsi daging sapi dunia 15 tahun terakhir mengikuti pola
produksinya, namun para pelaku dan masing-masing prilakunya berbeda. India,
Australia, Selandia Baru dan India merupakan negara produsen, tetapi bukan
merupakan negara konsumen utama, sehinga keempat negara ini termasuk
empat negara net eksporter daging sapi utama di dunia termasuk Brasil.
5. Pada kondisi jumlah populasi sapi saat ini, kenaikan produksi daging dari
pemotongan sapi, termasuk sapi betina produktif yang berlebihan menyebabkan
populasi sapi menurun. Jika hal ini dibiarkan maka dapat menyebabkan
pengurasan populasi.
6. Selama 15 tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi daging sapi nasional 4,33
persen/thn lebih tinggi dari kemampuan produksi daging sapi di dalam negeri
3,89 persen/thn, untuk mencukupinya Indonesia mengimpor daging sapi dengan
pertumbuhan 14,39 persen/thn dan mengimpor sapi bakalan dengan
pertumbuhan 10,87 persen/thn.
7. Berdasarkan sumber pasokan, Selma 15 tahun terakhir kebutuhan daging sapi
nasional dipasok dari produksi domestik antara 58 – 84 persen. Variasi tersebut
68
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi dalam
negeri dan pengendalian produk impor.
8. Kenaikan produk daging sapi impor didorong oleh meningkatnya industri
pariwisata yang didukung dengan industri kuliner yang berkembang dan
membutuhkan daging dengan atribut tertentu, seperti T-bone, sirloin, tenderloin,
dan tulang iga.
9. Selama 10 tahuan terakhir dari waktu ke waktu harga daging sapi di Indonesia
terus meningkat, hal ini dikuatkan dengan nilai R2 yang tinggi 0,963. Waktu
menjelang bulan puasa dan Idul Fitri merupakan saat-saat harga daging sapi
meningkat.
10. Tingginya pertumbuhan harga daging sapi tidak selaras dengan harga berat
hidup sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian kenaikan harga tersebut
diterima oleh para pedagang.
11. Kondisi yang terajadi akhir-akhir ini bahwa konsumsi daging sapi negara
konsumen utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan semakin banyak orang mengurangi konsumsi daging sapi
akibatnya arah perdaganganya di pasar internasional beralih ke negara-negara
baru berkembang (emerging market). Namun sejak 2012-2014 pertumbuhan
ekonomi dunia mengalami masa stagnan. Gejala ini akan diperkirakan akan
menurnkan harga daging sapi di pasar internasional.
12. Program swasembada daging sapi yang dilakukan pemerintah lima tahun
terakhir dinilai belum mampu mencapai swasembada. Target pencapaian
swasembada dalam arti memperkecil pangsa impor menyebabkan pengurasan
populasi domestik akibat meningkatnya pemotongan. Pada lima tahun ke depan,
pemerintah tetap melajutkan program yang hampir sama, namun tidak
ditekankan dengan target swasembada, tetapi peningkatan produksi daging. Hal
ini diharapkan tidak muncul retensi dari berbagai pemangku kepentingan yang
dapat menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program.
13. Untuk meningkatkan populasi sebagai salah dasar meningkatkan produksi
daging pemerintah mengembangkan program Sentra Peternakan Rakyat. Untuk
mencapai target populasi pada tahun 2019 yaitu 14,90 juta ekor sapi, berbagai
kegiatan dilakukan seperti: peningkatan produksi ternak melalui pengadaan sapi
69
indukan impor, kegiatan gertak birahi dan inseminasi buatan; peningkatan
produksi pakan; pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular
strategis dan zoonosis; peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit
ternak, dan penjaminan produk Hewan yang ASUH dan berdaya saing.
14. Perkiraan lima tahun kedepan (2015-2019), populasi dan produksi daging sapi
nasional masih meningkat. Namun demikian konsumsi cenderung stabil dan
bahkan pada kondisi El Nino mengalami penurunan. Stabilitas konsumsi tidak
diikuti oleh stabilitas harga, karena harga cenderung meningkat. Untuk menjaga
kestabilan harga upaya impor dilakukan sehingga net impor cenderung
meningkat.
15. Selain kebijakan ekonomi, seperti pengendalian impor ternak dan daging sapi,
kebijakan teknis terkait budidaya sapi perlu juga mendapat perhatian, seperti:
penyediaan pakan untuk kebutuhan sehari-hari dan stok untuk penyediaan
musim-musim kelangkaan pakan; kesehatan sapi saat sebelum sapih, terutama
untuk menghindari infeksi pusar; pengaturan perkawinan agar sapi tidak lahir
pada musim hujan.
16. Pada kondisi El Nino, banyak peternak menjual sapi untuk menghindari risiko
kerugian, sehingga produksi daging sapi pada saat ini lebih tinggi dibandingkan
saat La Nina. Padahal permintaan saat El Nino mengalami penurunan, namun
harga daging sapi terus meningkat, untuk menstabilkan harga impor
ditingkatkan sehingga net impor terus meningkat.
4.5.2. Implikasi Kebijakan
1. Brasil berpotensi dijadikan sebagai pemasok alternative daging sapi untuk
Indonesia, karena sistem zona bebas tak melanggar kaidah teknis dan sejalan
dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Hanya saja jika
dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan upaya mitigasi risiko sampai
ke tingkat perdagangan yang aman. Virus PMK sulit bertahan dalam daging,
biasanya mengalami inaktivasi 24-72 jam setelah penyembelihan. Namun, untuk
mempertahankan status bebas, perlu anggaran terutama untuk surveilans dan
tindak karantina.
70
2. Untuk meningkatkan populasi sapi nasional diperlukan pencegahan pemotongan
sapi betina produktif dan mingkatan reproduktivitas agar setiap induk sapi
melahirkan satu kali dalam setahun, mengimpor sapi indukan, dan
meningkatkan berat potong sapi penggemukan sehingga daging yang dihasilkan
dari seekor sapi yang dipotong menjadi meningkat.
3. Untuk menghindari lonjakan harga daging sapi menjelang bulan puasa dan
lebaran, sebaiknya pemerintah melakukan stok daging pada bulan-bulan
sebelumnya untuk dipasarkan pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran,
baik dalam bentuk operasi pasar di pasar tradisional dan supermarket maupun
membuka outlet-outlet di pemukiman penduduk terutama di kawasan
Jabodetabek. Produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan preferensi
konsumen dan kegiatan ini diumumkan melalu media massa elektronik, cetak
dan spanduk. Operasi pasar sebaiknya dilakukan terencana sehingga tidak
merugikan pelaku pasar yang terlibat, terutama peternak.
4. Untuk meningkatkan bagian keuntungan yang diterima peternak disarankan
upaya penjualan langsung (direct selling) lebih ditingkatkan.
5. Disarankan untuk meningkatkan produksi pakan dan pengolahan pakan untuk
stok, pengembangan peternakan sistem integrasi tanaman-ternak perlu
mendapat perhatian lebih intensif terutama integrasi sawit-sapi dan padi-sapi.
Penambahan sapi indukan tidak hanya dari impor, upaya pencegahan
pemotongan sapi betina produktif sebaiknya juga lebih diintensifkan.
6. Upaya peningkatkan jumlah populasi harus didukung kebijakan yang harmonis
antara kebijakan ekonomi, seperti pengendalian impor, dan kebijakan teknis,
seperti: penyediaan pakan, kesehatan sapi, dan pengaturan perkawinan sapi.
71
V. OUTLOOK KOMODITAS BAWANG MERAH
Bawang merah merupakan sayuran rempah yang dikonsumsi rumahtangga
masyarakat Indonsia sebagai bumbu dan masakan baik masakan rumah tangga,
restoran maupun industri makanan, di samping di manfaatkan sebagai obat
herbal. Bawang merah merupakan salah satu komoditi sayuran unggulan yang
telah diusahakan petani secara intensif.
Komoditi ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang
memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah.
Bawang merah merupakan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan
usahatani bawang merah memerlukan modal yang cukup besar. Apabila kondisi
produksi dan harga baik keuntungan yang diperoleh juga cukup besar, namun
dengan biaya investasi yang besar juga berarti mempunyai resiko besar apabila
terjadi hal sebaliknya.
Permintaan bawang merah cenderung merata setiap saat sementara produksi
bawang merah bersifat musiman. Adanya senjang (gap) antara pasokan (suplai) dan
permintaan menyebabkan seringkali terjadi gejolak harga antar waktu. Penyediaan
bawang merah selama ini dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Adanya gap
antara pasokan dan permintaan menyebabkan pada suatu waktu Indonesia
mengimpor bawang merah dan pada waktu lain juga mengekspor menjadi Negara
eksportir.
Bawang merah memiliki nama lokal di antaranya: Bawang abang mirah (Aceh),
Bawang abang (Palembang), Dasun merah (Minangkabau), Bawang suluh
(Lampung), Bawang beureum (Sunda), Brambang abang (Jawa), Bhabang merah
(Madura), dan masih banyak lagi yang lainnya, masing -masing daerah memiliki
sebutan tersendiri. Dibedakan antara produk Bawang Merah atau Shallots (Allium
ascalonicum L) dan Bawang Bombay atau Onion (Allium cepa), namun dalam
perdagangan dan statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion
dimana Shallots berada didalamnya. Data internasional khusus tentang Bawang
Merah (shallots) sulit dijumpai, yang ada adalah data tentang Onion secara
keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar konsumsi masyarakat
72
dunia adalah Onion (Bawang Bombay), sementara masyarakat yang mengkonsumsi
Bawang Merah (shallost) relative terbatas.
Dapat dikatakan bahwa produsen dan konsumen Bawang Merah (shallots)
terbesar di dunia adalah Indonesia. Beberapa Negara di Asia tenggara seperti
Malaysia, Thailand, Phillipiina juga mengkonsumsi bawang merah namun tidak
sebanyak masyarakat Indonesia. Negara tersebut yang memproduksikan bawang
merah dan surplus produksinya banyak diekspor ke Indonesia. Pada kondisi
demikian maka situasi pasar terutama fluktuasi harga dalam negeri sangat
dipengaruhi oleh kondisi agribisnis bawang merah dan kebijakan di dalam negeri dan
tidak dipengaruhi oleh situasi global. Dalam kaitan itu maka bahasan outlook
bawang merah 2015-2019 difoluskan hanya kepada situasi bawang merah dalam
negeri.
5.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Harga
5.1.1. Produksi
Dalam kurun waktu tahun 2000 - 2014, produksi bawang merah Indonesia
menunjukkan angka peningkatan dari 773 ribu ton menjadi 1116 ribu ton atau
peningkatan dengan laju 3.82 persen/tahun. Peningkatan produksi tersebut
disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas. Dalam kurun waktu
tersebut luas panen meningkat dengan laju 2,99 %/tahun dari 84038 ha menjadi
120704 ha, sementara produktivitas meningkat dengan laju 0,93 %/tahun dari 9,2
ton/ha menjadi 10,2 ton/ha (Gambar 5.1).
73
Sumber: Kementan, 2015
Gambar 5.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas (Yied) Bawang Merah Tahun 2000-2014
Sentra produksi bawang merah di Indonesia relatif terbatas dengan konsentrasi
produksi yaitu sekitar 75 persen diproduksikan di Pulau Jawa, dan pangsa terbesar
yaitu sekitar 39,0 persen dihasilkan dari Jawa Tengah dengan lokasi utama produksi
di Kabupaten Brebes dan sekitarnya. Urutan produksi kedua bawang merah terbesar
adalah Jawa Timur (sekitar 23,1 persen) yang terkonsentrasi di kabupaten Nganjuk
dan Probolinggo. Sementara Jawa Barat menempati urutan ketiga terbesar (12,0
persen) dengan sentra produksi di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Di luar pulau
Jawa sentra produksi bawang merah adalah NTB (10,5 persen), Sulawesi Selatan
Dan Sumatera Barat masing-masing sekitar 4 persen. Sementara provinsi lain yang
tercacat memproduksi adalah Yogyakarta dan Bali masing-masing 1 persen
(Gambar 5.2).
70
80
90
100
110
120
130
Luas panen (ha)
Yield (ku/ha)
Produksi (10 ton)
74
Sumber: Kementan, 2015
Gambar 5.2. Pangsa Produksi Beberapa Sentra Produksi Bawang Merah
Dari pola tanam bawang merah, produksi bawang merah paling banyak
terjadi di bulan Juli sampai September dan puncaknya (panen raya) terjadi pada
bulan Agustus. Sebaliknya bulan Febuari, Maret dan Nopember merupakan bulan-
bulan dimana produksi bawang merah relatif paling rendah. Sementara itu,
konsumsi bawang merah perbulannya relatif tetap. Meskipun produksi bisa
mencukupi kebutuhan konsumsi bawang merah, tetapi dalam kenyataannya impor
bawang merah masih dilakukan terutama pada bulan bulan dimana prodksi dalam
negeri rendah (Gambar 5.3).
Sumber: Dirjen Hortikultura, 2014; Susenas BPS (2011), BKP, Kementan 2015 (diolah)
Gambar 5.3. Neraca Produksi Dan Konsumsi Bawang Merah
Jateng; 39
Jatim; 23,11
Jabar; 12,02
NTB; 10,47
Sulsel; 4,28
Sumbar; 3,72Sumut; 1,47
DI Y; 1,23B a l i; 0,9Sulteng; 0,75 Lainnya ; 3,68
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
Jan-…
Mei…
Sep-…
Jan-…
Mei…
Sep-…
Jan-…
Mei…
Sep-…
Jan-…
Mei…
Sep-…
produksi
kon susenas
kon nbm
impor
ekspor
75
Produksi yang ditampilkan diatas adalah produksi dalam bentuk kering
panen yang masih basah. Untuk keperluan analisa selanjutnya, satuan produk
bawang merah akan dilakukan dalam bentuk kering konsumsi sehingga bisa
diperbandingkan dengan penggunaan/konsumsi, impor dan lainnya. Dalam Neraca
bahan Makanan, konversi bawang merah kering panan menjadi kering konsumsi
adalah 0,646. Perkembangan produksi bawang tahun 2000-2014 terangkum dalam
Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Produksi Bawang Merah Dalam Bentuk Kering Panen dan Dalam Kering Konsumsi (000 ton)
Tahun Produksi Bawang
Kering Panen
Produksi Bawang
Kering Konsumsi
2000 773 526
2001 861 586
2002 767 495
2003 763 492
2004 757 489
2005 733 473
2006 795 513
2007 803 518
2008 854 551
2009 965 623
2010 1049 677
2011 893 577
2012 964 622
2013 1011 654
2014 1116 721 Sumber: Kementan, 2015
5.1.2. Konsumsi
Perhitungan konsumsi bawang merah didasarkan kepada produk bawang
merah kering konsumsi. Permintaan bawang merah terus meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi bawang merah masyarakat.
Konsumsi masyarakat akan bawang merah terjadi setiap saat setiap terutama untuk
bumbu masakan, sementara produksi bawang merah bersifat musiman. Dari
produksi yang dihasilkan penggunaan utama bawang merah adalah untuk konsumsi
rumahtangga (diatas 90 persen), sisanya adalah untuk penggunaan lain terutama
76
untuk benih. Data Susenas BPS (2011) menunjukkan konsumsi perkapita bawang
merah sebesar 2,52 kg/kap/tahun, sementara berdasarkan data Neraca Bahan
Makanan, penyediaan bawang merah tahun 2000-2014 meningkat dari 1,96
kg/kap/tahun menjadi 2,76 kg/kapita/tahun (Tabel 5.2).
Tabel 5.2. Penyediaan Per Kapita Bawang Merah Th 2000 -2014 Atas Dasar Neraca
Bahan Makanan (000 Ton Kering Konsumsi)
Tahun Penyediaan Penyediaan Pangan/Kapita
(Kg/Kapth) Pangan Lainnya Total
2000 404 156 560 1,96
2001 457 158 615 2,19
2002 469 43 512 2,22
2003 473 44 517 2,21
2004 474 45 519 2,19
2005 463 43 506 2,10
2006 490 45 535 2,20
2007 532 49 581 2,36
2008 572 54 626 2,5
2009 602 56 658 2,57
2010 660 62 722 2,73
2011 614 58 672 2,54
2012 615 58 673 2,51
2013 650 63 713 2,51
2014 695 66 761 2,76
Laju (%/th)
4,08 -1,88 2,48 2,60
Sumber : Neraca Bahan Makanan 2000 -2014 , Badan ketahanan Pangan 2014
Dalam tahun 2000-2014 penyediaan bawang merah meningkat dari 560 ribu
ton menjadi 761 ribu ton, atau peningkatan rata rata 2,48 %/tahun. Peningkatan
penggunaan terutama untuk konsumsi yang meningkat dengan laju 4,08 %/tahun
yang juga berakibat permintaan konsumsi per kapita sebesar 2,60 %/tahun.
77
5.1.3. Ekspor-Impor
Adanya fluktuasi produksi bawang merah dalam negeri menyebabkan pada
periode tertentu terjadi impor dan pada saat lain terjadi ekspor. Penyediaan bawang
merah selama ini belum dapat sepenuhnya berasal dari produksi dalam negeri dan
masih dibutuhkan impor meskipun dalam proporsi yang relatif kecil (rata rata 6,9
Persen), dan terutama untuk memenuhi kebutuhan benih. Dalam tahun 2000-
2014, net impot bawang merah mulai dari kisaran 17 000 ton sampai 95 000 ton
atau antara 3,3 % - 14,1 % dari total kebutuhan (Tabel 5.3). Impor bawang merah
umumnya dari negara Asia terutama Asia, yaitu dari Filipina, Thailand, Burma, India
an Vietnam.
Tabel 5.3. Perkembangan Impor Bawang merah Tahun 2000 – 2014
Tahun
Produksi
(000 ton)
kebutuhan
(000 ton)
Net Impor
(000 ton) Persen
2000 526 560 34 6,1
2001 586 615 29 4,7
2002 495 512 17 3,3
2003 492 517 25 4,8
2004 489 519 30 5,8
2005 473 506 33 6,5
2006 513 535 22 4,1
2007 518 581 60 10,3
2008 551 626 75 12,0
2009 623 658 35 5,3
2010 677 722 42 5,8
2011 577 672 95 14,1
2012 622 673 51 7,6
2013 654 713 59 8,3
2014 721 761 40 5,3 Sumber : Neraca Bahan Makanan 2000 -2014
Pada tahun 1990-an impor bawang merah iilegal merebak dan membuat
harga bawang merah dalam negeri merosot. Permen Keuangan no. 591/2004
menaikkan bea masuk impor bawang merah dari 5 persen menjadii 25 persen dan
adanya Peraturan impor bawang merah melalui Kementan no. 18/2008 dan
diperbaharui tahun 2012 membuat impor dan pengaturan impor sehingga
pelaksanaan impor semakin tertata.
78
5.1.4. Perkembangan Harga
Konsumsi masyarakat akan bawang merah terjadi setiap saat setiap terutama
untuk bumbu masakan, sementara produksi bawang merah bersifat musiman.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya gejolak harga karena adanya senjang (gap)
antara pasokan (suplai) dan permintaan sehinga dapat menyebabkan gejolak harga
antar waktu. Secara rataan, dalam periode tahun 2002-2014 terjadi kenaikan harga
bawang merah ditingkat produsen dari Rp 5240/kg menjadi Rp 12816 /kg atau
dengan laju rata rata 0,45 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun
2007/2008 dari rataan Rp 7340/kg menjadi Rp 11570 kg/kg (Gambar 5.4).
Sumber: Kementan, 2015 (diolah)
Gambar 5.4. Perkembangan Harga Produsen Bawang Merah Th 2002-2014 (Rp/kg)
Komoditi bawang merupakan salah satu komoditas yang memiliki fluktuasi
harga yang relatif tinggi. Fluktuasi harga bawang dapat disebabkan oleh perubahan
harga harga produksi/biaya tanam, cuaca, ketersediaan stok, transportasi, dan
pengaruh adanya bawang impor. Kebijakan kebaikan harga bahan bakar yang terjadi
seperti pada bulan April 2012 sebagai contoh telah mempengaruhi harga harga
produksi dan biaya transportasi yang menyebabkan kebaikan harga bawang merah.
Dibandingkah kenaikan harga ditingkat produsen, kenaikan harga bawang
merah ditingkat konsumen justru lebih tinggi. Dalam periode tahun 2005 – 2014,
terjadi kenaikan harga bawang ditingkat konsumen dari Rp 9074 Rp/kg menjadi Rp
y = 0,0932x2 + 63,407x + 4075,9R² = 0,9276
02000400060008000
1000012000140001600018000
Harga Produsen (Rp/kg)
HargaProdusen…
79
26511/kg atau kenaikan dengan laju rata rata 1,46 %/tahun. Lonjakan kenaikan
harga terjadi pada tahun 2010/2011 dan tahun 2012/2013 (Gambar 5.5).
Sumber: Kementan, 2015
Gambar 5.5. Perkembangan Harga Konsumen Bawang Merah Th 2005-2014 (Rp/kg)
Arah (slope) pergerakan kenaikan harga bawang merah ditingkat konsumen
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pergerakan harga produsen
menunjukkan adanya masalah dalam transmisi harga adalam pasar bawang merah.
(Gambar 5.6).
Sumber: Kementan, 2015
Gambar 5.6. Pergerakan Harga Bawang Merah Ditingkat Produsen Dan Konsumen Tahun 2005-2014
y = 195,34x + 6112,1R² = 0,8108
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
harga konsumen (Rp/kg)
harga konsumen (Rp/kg)
0,0
5.000,0
10.000,0
15.000,0
20.000,0
25.000,0
30.000,0
35.000,0
40.000,0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Harga Konsumen (Rp/kg)
Harga Produsen (Rp/Kg)
80
Kenaikan harga ditingkat konsumen yang meningkat lebih tinggi dibandingkan
harga ditingkat produsen juga berakibat rasio harga (margin) antara harga ditingkat
produsen dibandingkan harga konsumen menjadi menurun, terutama terjadi sejak
tahun 2010, bahkan beberapa bulan dalam tahun 2013 marjin harga produsen
konsumen dibawah 50 persen. Kondisi ini mengindikasikan semakin memburuknya
sistem tataniaga bawang merah (Gambar 5.7).
Sumber: Kementan, 2015
Gambar 5.7. Rasio (Margin) Harga Bawang Merah Antara Harga Ditingkat Produsen dan Konsumen Tahun 2005-2014
5.2. Kebijakan Peningkatan Produksi dan Pengendalian Harga
Sebagai bumbu masakan yang dikonsumsi setiap saat, bawang merah dapat
dinilai sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, dan olah karena itu gejolak
kenaikan harga akibat kelangkaan pasokan berdampak secara sosial dan ekonomi
bahkan politik. Dalam kaitan itu bawang merah merupakan salah satu komoditi
pertanian yang mendapat prioritas pengembangan oleh pemerintah (Kementerian
Pertanian).
Sejalan dengan itu pemerintah terus melakukan upaya peningkatan produksi
menuju tercapainya swasembada bawang merah dan upaya stabilisasi harga di
masyarakat. Produksi bawang cenderung fluktuatif sementara permintaan cenderung
tetap sehingga dilakukan berbagai upaya dalam perluasan masa produksi dalam
rangka stabilisasi pasokan dan harga. Beberapa upaya dilakukan antara lain dengan
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Rasio (Margin) Harga Produsen Terhadap Harga Konsumen Bawang Merah (%)
Margin (%)
81
disusunnya perencanaan produksi antar wilayah untuk menjaga produksi bawang
merah relatif stabil antar waktu, pengembangan kawasan /sentra baru produksi
bawang merah, pengembangan sistem perbenihan, perbaikan budidaya melalui
penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, pengendalian OPT melalui pemasyarakatan
penggunaan mini screen house, light trap dan perbaikan pasca panen.
Dibidang perdagangan, dalam rangka memberikan iklim yang kondusif dan
merangsang minat petani menanam bawang, pemerintah melakukan kebijakan
pengendalian impor beberapa produk hortikultura termasuk bawang merah,
terutama sejak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 47/2013 tentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam RIPH juga diatur penetapan
harga referensi untuk impor bawang merah yang akan ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor
118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada
tanggal 3 Oktober 2013.
Harga referensi bawang merah tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp 25.700 per
kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even point (BEP)
ditambah keuntungan 40%. Penentuan harga referensi merupakan acuan tingkat
harga di pasar konsumen sebagai indikator perlunya intervensi pasar antara lain
melalui impor. Impor bawang merah akan diijinkan jika harga eceran sudah
melampaui harga referensi masing-masing. Harga referensi tersebut diatas analisa
harga pasar yang layak atas dasar perbandingan niai tukarnya terhadap beras, yaitu
sebesar Rp 16428 pada tahun 2013 (Rachmat, 2013a).
5.3. Outlook Bawang Merah Tahun 2015 -2019
Penyusunan outlook bawang merah 2015-2019 dibatasi hanya mencakup
proyeksi kuantitatif yang menyangkut produksi, konsumsi, perdagangan (ekspor-
impor) dan harga. Pendekatan yang digunakan untuk proyeksi cukup sederhana,
yaitu dengan mempertimbangkan trend (historical trend) periode 2000-2014.
Berdasarkan scatter diagram selama periode tersebut, kemudian dipilih segmen
waktu terakhir yang menunjukkan perkembangan yang lebih smooth. Dengan data
82
segmen waktu terakhir ini kemudian dihitung trendnya untuk digunakan sebagai
basis proyeksi.
5.3.1. Lingkungan Strategis
Bawang Merah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat karena
dibutuhkan oleh rumahtangga setiap hari. Gejolak kenaikan harga akibat kelangkaan
pasokan berdampak secara sosial dan ekonomi bahkan politik. Dalam kaitan itu
dalam Renstra Kementan 2014-2019 bawang merah merupakan salah satu komoditi
pertanian yang mendapat prioritas. Ditetapkannya bawang merah sebagai komoditi
prioritas tersebut sejalan dengan dicanangkannya keinginan untuk dapat dicapainya
swasembada bawang merah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini
merupakan keputusan politik kuat untuk peningkatan produksi pencapaian
swasembada dalam lima tahun mendatang, dan telah diikuti oleh rancangan
anggaran yang lebih terprogram dan didukung oleh anggaran yang dinilai memadai.
Dalam renstra Kementerian Pertanian 2015-2019, tujuan pembangunan
pertanian periode 2015-2019 yang ingin dicapai yaitu: (1) meningkatkan
ketersediaan dan diversifkasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, (2)
meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian, (3)
meningkatkan ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, dan (4)
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kementan, 2015)
Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam 2015-2019 adalah: (1)
pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan
produksi pangan pokok, dan (2) stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan
pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat serta
meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan. Arah kebijakan pemantapan
kedaulatan pangan tersebut dilakukan dengan 5 strategi utama, meliputi: (1)
peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam
negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, cabai dan
bawang merah, (2) peningkatan kualitas distribusi pangan dan aksesibilitas
masyarakat terhadap pangan, (3) perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi
masyarakat, (4) mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama
mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan
83
organisme tanaman dan penyakit hewan, dan (5) peningkatan kesejahteraan pelaku
utama penghasil bahan pangan.
5.3.2. Produksi
Kemandirian Indonesia dalam penyediaan bawang merah telah mencapai
diatas 90 %, dan bahkan sampai tahun 2006 mencapai diatas 95 persen. Sejak
tahun 2007 terdapat kecenderungan kemandirian impor bawang terutama karena
peningkatan kebutuhan sehingga impor meningkat, sementara produksi domestik
juga terus meningkat. Kondisi memberikan signal bahwa permintaan/kebutuhan
akan bawang merah kedepan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan
jumlah penduduk dan kesejehteraan masyarakat. Dan untuk itu pula dibutuhkan
langkah langkah peningkatan produksi untuk pemenuhannya sehingga
ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi dan bahkan dimungkinkan
dilakukannya ekspor. Upaya swasembada bawang kedepan sangat dimungkinkan
sejalan dengan kinerja produksi yang terjadi selama ini dan sejalan dengan kemauan
politik yang kuat.
Dari hasil analisa dihasilkan bahwa pola produksi bawang merah menikuti pola
polynomial dengan dugaan persamaan fungsi produksi 548,46 +1,87338 T2 – 16,945
T (R2 = 0,748). Atas dugaan fungsi produksi tersebut, maka dalam tahun 2015-
2019 produksi bawang merah akan meningkat rata rata sebesar 6,1 persen/tahun
(Gambar 2.8 dan Tabel 2.4). Produksi bawang merah kering konsumsi tahun 2015
sebesar 757 ribu ton atau setara dengan 1173 ribu ton kering panen dan meningkat
menjadi 959 ribu ton kering konsumsi atau setara dengan 1486 ribu ton kering
panen (Gambar 5.7). Angka proyeksi ini lebih tinggi dari sasaran dalam Renstra
Kementan (2015) yang mentargetkan produksi bawang merah tahun 2015 sebesar
1125 ribu ton tahun 2015 dan 1359 ribu ton pada tahun 2019 (Tabel 5.4).
84
Gambar 5.8. Dugaan Fungsi produksi Pendekatan produksi bawang kering
konsumsi
Tabel 5.4. Proyeksi Produksi Bawang Merah Aktual 2000-2014 dan Prediksi Produksi
Tahun 2015-2019 (Ribu ton)
Tahun Produksi Bawang Kering Konsumsi
Produksi Bawang Kering Panen
Sasaran Renstra (Kementan 2015)
2015 757 1173 1125
2016 802 1242 1172
2017 851 1317 1231
2018 903 1399 1293
2019 959 1486 1359
5.3.3. Konsumsi
Peningkatan permintaan akan bawang merah tersebut disebabkan oleh
peningkatan konsumsi bawang merah. Hasil kajian menunjukkan konsumsi bawang
merah tahun 2015 sebesar 2,82 kg/kapita/tahun dan terus meningkat menjadi 3,07
kg/kap/tahun, diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan untuk
penggunaan diluar konsumsi terutama benih (Tabel 5.5). Dalam tahun 2015
kebutuhan bawang merah diproyeksikan sebesar 785 ribu ton dan akan terus
meningkat menjadi 898 ribu ton pada tahun 2019, atau peningkatan rata-rata 3,42
%/tahun. Kebutuhan Konsumsi bawang merah untuk pangan merupakan
penggunaan terbesar bawang merah (Gambar 5.8).
400,00
500,00
600,00
700,00
800,00
900,00
1000,00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Aktual
Proyeksi
85
Tabel 5.5. Proyeksi Permintaan Bawang Merah Tahun 2015-2019 (Ribu Ton)
Tahun Jumlah
penduduk
Konsumsi/ Kapita
(kg/kap/th)
Konsumsi
Pangan
Konsumsi Non
pangan
Konsumsi Total
2015 255.461 2,82 720 65 785
2016 258.704 2,89 746 67 814
2017 261.890 2,95 772 69 841
2018 265.015 3,01 797 72 869
2019 268.074 3,07 823 74 898
Gambar 5.9. Proyeksi Permintaan Bawang Merah Untuk Pangan dan Non pangan
Tahun 2015-2019
5.3.4. Ekspor Impor
Dengan kinerja dan proyeksi produksi dan konsumsi bawang diatas, maka
pada kondisi kinerja pembangunan dan agribisnis bawang merah seperti yang
berjalan selama ini, maka diprediksi sampai dengan tahun 2016 Indonesia masih
mengimpor bawang merah dengan jumlah impor yang semakin sedikit, dan baru
dalam tahun 2017 dapat dicapai swasembada/kemandirian pemenuhan bawang
domestik (Gambar 5.9). Dalam tahun 2015 net impor bawang diprediksi mencapai
28 ribu ton dan menurun menjadi impor 12 ribu ton pada tahun 2016, sedangkan
mulai tahun 2017 terjadi kelebihan (net ekspor) sebesar 10 ribu ton (Tabel 5.6).
Dalam kebijakan pergadangan, Indonesia menerapkan tarif impor bawang
merah. Tarif yang diterapkan Indonesia untuk pruduk bawang (bawang merah, bw
0,0
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
800,0
900,0
1000,0
Pangan
Non pangan
Total
86
Bombay, bawang putih) antara 3,8 – 6,3 % dengan variasi antara 0-25 %. Tarif
yang diberlakukan untuk bawang merah tahun 2012 rata-rata sebesar 6% jauh
dibawah tarif yang masih diperbolehkan yaitu antara 40 – 50 %. Dalam skema
perdagangan khusus, yaitu diantara negara Asean dan China diberlakukan tarif 0%.
Pemberlakuan tarif 5 persen oleh Indonesia hanya dilakukan untuk negara Korea.
Gambar 5.10. Proyeksi Net Ekspor Bawang Merah Tahun 2015-2019
Tabel 5.6. Proyeksi produksi dan Kebutuhan Bawang Merah Tahun 2015-2019
Tahun Produksi (.000 Ton) Kebutuhan (.000
Ton) Net ekspor (.000 Ton)
2015 757 785 -28
2016 802 814 -12
2017 851 841 10
2018 903 869 34
2019 959 898 61
Diantara Negara tetangga , penerapan tarif tertinggi dilakukan oleh Phillipina
(33,3 %) menyusul Thailand, Vietnam, sementara penerapan tarif olah Indonesia
relatif rendah hanya 3,8 %, sehingga untuk melindungi produksi domestik Indonesia
masih dan harusnya dapat meningkatkan tarifnya, terutama terhadap impor dari
Negara non Asean dan China. Sebagai perbandingan Vietnam memberlakukan tarif
sampai 30% untuk General duty dan bagi negara Jepang, India dan Korea.
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Produksi
kebutuhan
Net ekspor*)
87
5.3.5. Harga
Berdasarkan kecenderungan data bulanan harga bawang merah domestik
yang dipublikasikan Kementan, dilakukan outlook menggunakan fungsi persamaan
yang sesuai untuk memproyeksikan besaran harga bawang merah domestik selama
periode outlook. Berdasarkan data aktual rata-rata per tahun, diketahui bahwa harga
bawang merah ditingkat produsen tumbuh dengan laju rata-rata 3,7 %/tahun dan
ditingkat konsumen rata-rata 1,46 %/tahun. Dalam 5 tahun terakhir terjadi kenaikan
harga harga dengan laju yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan analisa dalam
periode outlook menghasilkan proyeksi kenaikan harga yang lebih tinggi dari rata-
rata kondisi faktual sebelumnya. Apabila tidak ada kebijakan yang berkaitan dengan
pengendalian harga, maka dalam periode outlook, harga bawang merah ditingkat
produsen tumbuh dengan laju rata-rata 6,36%/tahun dan ditingkat konsumen rata-
rata 8,39 %/tahun. (Gambar 5.10 dan Tabel 5.7).
Gambar 5.11. Aktual dan Proyeksi Harga produsen dan Harga Konsumen Bawang
Merah Tahun 2005-2019
Kenaikan harga konsumen yang lebih tinggi juga akan menyebabkan rasio
(marjin) harga produsen dan konsumen bawang merah akan semakin mengecil.
Tanpa ada pembenahan dalam sistem tataniaga marjin harga bawang merah akan
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Rp
/Kg
Aktual Harga Produsen dan Harga Konsumen 2005-2014 dan Proyeksi 2015-2019
Harga Konsumen(Rp/kg)
88
terus menurun, dan dalam tahun 2015-2019 menurun dengan laju -1,80
persen/tahun
Tabel 5.7. Proyeksi Harga Produsen, Harga Konsumen dan Marjin Harga Bawang Merah Tahun 2015-2019
Tahun Harga Produsen Harga Konsumen Margin (%)
2015 16.842 29.164 57,75
2016 17.979 33.167 54,21
2017 19.144 35.511 53,91
2018 20.336 37.855 53,72
2019 21.554 40.199 53,62
Laju (%/th) 6,36 8,39 -1,80
5.4. Kebijakan Stabilisasi Produksi dan Harga Bawang Merah
Lebih dari 80 persen produksi bawang merah domestik berada di pulau jawa
(Jateng, jatim, jabar), namun demikian sebenarnya potensi pengembangan bawang
merah di daerah lain diluar pulau Jawa cukup besar, karena bawang mewrah
mempunyai daya adaptasi yang luas untuk dapat dibeberapa agroekosistem.
Produktivitas bawang merah masih relative rendah, dalam sepuluh tahun terakir
(tahun 2000-2009) rata rata produktifitas bawang merah nasional hanya sekitar 9,19
ton/ha, jauh dibawah potensi produksi yang berada diatas 20 ton/ha. Atas dasar
kondisi tersebut, peningkatan produksi menuju swasembada bawang merah sangat
dimungkinkan melalui perluasan areal tanam di luar jawa dan upaya-upaya
peningkatan produktivitas. Kendala utama pengembangan bawang merah adalah:
(a) panen bawang fluktuatif mengikuti musiman sementara permintaan cenderung
tetap setiap saat, (b) keterediaan benih bermutu, (c) ketersediaan prasarana dan
sarana produksi masih terbatas, (d) belum diterapkannya GAP-SOP spesifik lokasi,
(e) ancaman serangan OPT, (f) sistem tataniaga yang semakin tidak effisien.
Dalam kaitan itu dalam rangka stabilisasi produksi dan harga bawang merah
perlu dilakukan perbaikan kebijakan sebagai berikut: (a) disusun perencanaan
produksi antar wilayah secara lebih baik untuk dapat merencanakan produki
sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem perbenihan secara serius baik benih
umbi dan terutama pengembangan benih biji (TSS), (c) Perbaikan budidaya, melalui
penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, (d) Pengendalian OPT: mini screen house, light
89
trap, (e) perbaikan pasca panen, (f) perbaikan sistem pemasaran, (g) penerapan
kebijakan impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam negeri, dan (i) kerjasama
internasional tentang bawang (Rachmat 2013a)
Panen bawang fluktuatif mengikuti musiman sementara permintaan
cenderung tetap setiap saat, untuk itu penyusunan perencanaan dan dan
implemetasi pola produksi antar wilayah di Indonesia sehingga terjadi keseimbangan
produksi sepanjang waktu. Permintaan meningkat pada hari besar (hari raya
keagamaan) sehingga harga meningkat, Analisis keseimbangan suplay dan demand
bawang merah, untuk itu analisis kebutuhan impor sesuai dengan produksi domestik
pada lingkup nasional dan antar daerah perlu dilakukan secara terus menerus.
Analisis tersebut juga mendukung upaya penyediaan pasokan bawang merah setiap
daerah, pengaturan distribusi antar daerah dan antar pulau, dan antisipasi
kemungkinan apabila diperlukan pelaksanaan impor disesuaikan dengan kebutuhan
dan produksi domestik. Pengembangan bawang diluar musim yang selama ini
dilakukan (off-season) perlu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan produksi dan
memenuhi permintaan bawang yang relatif konstan antar waktu.
Salah satu aspek penting dalam peningkatan produksi bawang merah adalah
ketersediaan benih. Beberapa varietas benih hanya sesuai pada musim tertentu
sehingga dibutuhkan varietas yang sesuai untuk semua musim. Pada bagian lain
kebutuhan benih bawang dalam bentuk umbi relatif besar, sehingga sudah waktunya
pengembangan perbenihan bawang merah dari benih biji. Penggunaan benih dari
biji juga akan meningkatkan efesiensi produksi, karena secara total biaya benih
menjadi lebih murah.
Salah satu aspek lain yang seringkali menjadi kendala usaha bawang merah
adalah gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Gangguan OPT
menyebabkan seringkali menyebabkan penggunaan dan biaya pestisida pada
usahatani bawang cukup besar. Beberapa alternatif teknologi pengendalian OPT
telah dan perlu dikembnagkan melalui pengembangan mini screen house dan light
trap. Pola ini disamping akan menekan biaya pestisida juga produksi bawang akan
lebih sehat.
90
Pada akhirnya upaya pengembangan produksi harus diikuti oleh penerapan
caa budidaya yang baik dan benar (Good Agricultural Practices-GAP). Disamping
memperbaiki cara budidaya untuk meningkatkan produktivitas, penerapan GAP
spesifik=lokasi juga akan memperbaiki sistem produksi menuju usahatani produk
dan lingkungan yang sehat. Produksi bawang merah dilakukan pada sentra produksi
bawang tertentu dan banyak daerah bukan daerah produsen, sehingga untuk
mendukung penerapan GAP juga diperlukan adanya fasilitas pasca panen di sentra
produksi seperti terminal untuk perontokan, penjemuran, penyimpanan. Dalam
kaitan ini juga aspek penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah
peningkatan partisipasi masyarakat, terutama petani. Diperlukan keserasian tindak
antara pemerintah, asosiasi dan petani, sehingga segala kebijakan dan tidakan dapat
dilaksanakan secara maksimal.
Dalam aspek pemasaran, perlu adanya pembenahan sistem pemasaran
melalui penyederhanaan rantai pasok agar margin harga antara produsen dan
konsumen bisa lebih diperkecil. Selama ini peran pedagang pasar induk dan
pedagang pengumpul lebih dominan dalam penentuan harga bawang. Perbaikan
diperlukan berkaitan dengan kelembagaan pasar, pola transaksi seperti pasar lelang
dan perbaikan sistem informasi harga (Rachmat, Sayaka dan Muslim. 2012;
Rachmat, 2013b, Rachmat, 2013c).
Dalam kaitan pengembangan bawang merah menuju swasembada, dalam
kasus / situasi tertentu, Impor tidak dapat dicegah, namun perlu diatur sebagaimana
yang selama ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Impor hanya pada
dilakukan pada periode tertentu (januari-juni) yaitu pada saat produksi domestik
kurang, (b) dapat dilakukan penerapan sistem Quota terbatas (jumlah yang
diijinkan), (b) pemberian ijin impor (melalui RIPH) dengan quota terbatas harus
didukung pelayanan satu atap dan administrasi yang baik, sehingga masuknya impor
benar benar pada waktu diluar masa panen, (c) Impor terutama untuk mendukung
kebutuhan benih, (d) produk yang diimpor telah mengikuti sistem penerapan GAP
dan dibuktikan dengan adanya sertifikat, dan (e) Terbuka menaikkan tarif terutama
diluar negara Asean.
91
Untuk perbaikan perencanaan nasional, perlu perbaikan statistik bawang
nasional secara lebih akurat. Dalam lingkup internasional, perlu adanya usulan
(seperti ke FAO) agar statistik dunia bawang merah (shallots) secara perlu
dipisahkan dari onion.
5.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Dalam kurun waktu tahun 2000–2014 produksi bawang merah mengalami
penigkatan rataan 3,82 %/th, akibat dari peningkatan luas panen meningkat 2,99
%/tahun dan produktivitas 0,93%/tahun. Dalam kurun waktu yang sama
penyediaan bawang merah meningkat 2,48%/tahun, terutama untuk konsumsi yang
meningkat dengan laju 4,08%/tahun. Dalam tahun 2000-2014, net impor bawang
merah fluktuatif antara 3,3%-14,1% dari total kebutuhan. Dalam periode 2000-
2014 juga terjadi kenaikan harga bawang merah ditingkat produsen 0,45 %/ tahun
dan kenaikan harga ditingkat konsumen 1,46%/tahun.
Outlook 2015-2019 menunjukkan produksi bawang merah akan meningkat
sebesar 6,1 persen/tahun. Dalam tahun 2015-2019 kebutuhan bawang merah
diproyeksikan meningkat 3,42%/tahun dari 785 ribu ton menjadi 898 ribu ton. Pada
kondisi kinerja agribisnis bawang merah seperti yang berjalan selama ini, maka
diprediksi sampai dengan tahun 2016 Indonesia masih mengimpor bawang merah
dengan jumlah impor yang semakin sedikit, dan baru dalam tahun 2017 dapat
dicapai swasembada. Dalam tahun 2015 net impor bawang diprediksi mencapai 28
ribu ton dan menurun menjadi impor 12 ribu ton pada tahun 2016, sedangkan mulai
tahun 2017 terjadi kelebihan (net ekspor) sebesar 10 ribu ton. Apabila tidak ada
kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian harga, maka dalam tahun 2015-
2019, harga bawang merah ditingkat produsen tumbuh dengan laju rata-rata 6,36
%/tahun dan ditingkat konsumen rata rata 8,39%/tahun.
Diperlukan kebijakan stabilisasi produksi dan harga bawang merah melalui:
(a) penyusunan perencanaan produksi antar wilayah secara lebih baik untuk dapat
merencanakan produki sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem perbenihan
secara serius baik benih umbi dan terutama pengembangan benih biji (TSS), (c)
92
Perbaikan budidaya , melalui penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, (d) Pengendalian
OPT: mini screen house, light trap, (e) perbaikan pasca panen, (f) perbaikan sistem
pemasaran, (g) penerapan kebijakan impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam
negeri, dan (i) kerjasama internasional tentang bawang agar statistik dunia bawang
merah (shallots) dibedakan dari onion.
93
VI. OUTLOOK KOMODITAS CABE MERAH
Cabe (Capsicum annuum L.) adalah tumbuhan penghasil buah yang berasa
manis dan sedikit pedas dari suku terong-terongan atau Solanaceae, dan
digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, penguat rasa makanan Dalam
pengertian internasional, varietas C. annuum yang populer adalah Paprika,
sementara di Indonesia jenis C. annuum yang populer adalah cabe marah besar
termasuk cabe keriting dan cabe rawit.
Dalam pembangunan pertanian Indonesia, Cabe merupakan salah satu
komoditas strategis nasional karena menjadi salah satu komoditas penyumbang
inflasi yang cukup besar dalam dua puluh tahun terakhir. Harga komoditas ini sering
bergejolak dan fluktuatif. Gejolak kenaikan harga yang tinggi pada berbagai wilayah
sering terjadi dan cukup signifikan pengaruhnya terhadap inflasi. Sebagai salah satu
komoditas sayuran dan pangan non karbohidrat, tingginya gejolak dan flukutasi
harga menjadi sumber penyebab tingginya volatilitas harga cabe. Menurut Setiyanto
et al (2011) terjadinya volatilitas harga pangan akan sangat mempengaruhi kondisi
ketahanan pangan dan kinerja perekonomian, karena (1) harga mempengaruhi
ketahanan pangan, terutama dari pemenuhan kebutuhan konsumsi, kebutuhan nilai
gizi dan berhubungan langsung dengan keterjangkauan daya beli masyarakat
terhadap pangan dan pendapatan petani. Dari sisi konsumen, stabilitas harga
pangan perlu dijaga pada tingkat yang wajar dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Sedangkan dari sisi produsen, stabilitas perlu dijaga agar harga pangan
yang diterima cukup memadai, sehingga petani memperoleh insentif untuk
melanjutkan usahataninya dan (2) dari sisi kinerja perekonomian, harga pangan
masih merupakan bagian terbesar komponen pengeluaran rumah tangga penduduk
dan penyumbang terbesar inflasi, sehingga gejolak harga pangan dapat
menimbulkan gejolak sosial dan stabilitas perekonomian.
Gejolak dan fluktuasi harga cabe yang tinggi hampir terjadi setiap tahun.
Dalam rangka mengetahui kondisi dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang
terjadi pada masa yang akan datang, kajian outlook komoditas cabe penting untuk
dilakukan. Menurut Setiyanto et al (2014) kajian outlook pertanian mendukung
ulasan kebijakan dan perencanaan strategis, menggambarkan berbagai pilihan yang
94
tersedia bagi pembuat kebijakan pertanian, dan menggambarkan alternatif yang
mungkin timbul sebagai akibat dari pilihan-pilihan kebijakan tersebut, dan atau
antisipasi yang mungkin dilakukan akibat kondisi yang timbul akibat lingkungan
strategis dan kebijakan yang berubah secara dinamis. Menurut OECD – FAO (2011)
sebuah kajian outlook menjadi sangat penting untuk dilakukan karena dapat
menunjukkan berbagai pilihan kebijakan yang tersedia dan menarik beberapa
kesimpulan tentang berbagai hasil yang mungkin terjadi dari berbagai pilihan
tersebut. Berdasarkan FAO (2014), maksud dari kajian outlook adalah melakukan
penilaian dan menganalisis status, tren dan prospek sektor pertanian merupakan
komponen integral dari penyusunan kebijakan dan strategi pembangunan pertanian
nasional. Selanjutnya menurut Setiyanto (2014) outlook komoditas adalah gambaran
tentang prospek ke depan penawaran, permintaan dan harga suatu komoditas yang
didasarkan atas prediksi maupun asumsi tertentu perkembangan lingkungan
strategis internasional maupun nasional yang mempengaruhi komoditas
bersangkutan secara langsung maupun tidak. Berdasarkan hal ini, maka ada 3
(tiga) komponen dari outlook komoditas, yaitu: (1) Gambaran tentang prospek suatu
komoditas baik menyangkut penawaran, permintaan maupun harganya, dan (2)
Rentang waktu dari prospek tersebut yang bersifat jangka pendek bulanan,
triwulanan, semesteran dan 1 hingga dua tahun; jangka menengah tahunan satu
hingga lima atau jangka panjang lebih dari lima tahun, dan (3) Prediksi atau asumsi
tertentu perkembangan lingkungan strategis yang dijadikan dasar untuk membuat
analisis tentang prospek dan kondisi pada masa yang akan datang. Kajian ini
bertujuan menyusun outlook jangka menengah komoditas cabe tahun 2015 – 2019.
6.1. Dinamika Pasar Internasional
Data internasional tentang cabe mencakup cabe besar dan paprika, sehingga
bahasan pasar internasional, pengertian cabe yang dimaksud terdiri dari Cabe besar
dan Paprika.
6.1.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Dunia
Pada tahun 2013 luas panen cabe dunia mencapai sekitar 2,64 juta Ha
(Gambar 6.1). Dalam periode 2004 – 2013, luas panen cabe mengalami
95
pertumbuhan rata-rata 1,72 persen per tahun. Luas panen cabe menunjukkan
pertumbuhan yang semakin melambat (Gambar 6.2). Dalam periode 2004 – 2009,
luas panen cabe mengalami pertumbuhan rata-rata 1,77 persen per tahun dalam
periode 2004 – 2009 dan rata-rata 1,67 persen per tahun dalam periode 2009 –
2013. Perkembangan luas panen negara-negara produsen utama cabe tahun 2009-
2013 disajikan pada Tabel 3.1. Ethiopia memiliki peningkatan tertinggi dengan rata-
rata 9,86 persen per tahun, kemudian diikuti oleh Turki 4,37 persen per tahun,
China 2,5 persen per tahun dan Indonesia 1,28 persen per tahun. Meksiko dan
Nigeria measing-masing mengalami penurunan rata-rata 0,10 persen dan 10,67
persen per tahun.
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Dunia Tahun 2004 – 2013
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
50,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
LP (x 0.1 jt Ha) 22,68 23,00 23,55 23,88 24,27 24,76 25,18 25,84 26,38 26,45
Prod (x 1 jt Ton) 36,67 37,79 39,63 41,34 42,23 43,28 44,33 45,29 46,43 46,95
Prtv (Ton/Ha) 16,17 16,43 16,83 17,31 17,40 17,48 17,60 17,53 17,60 17,75
96
Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.2. Perkembangan Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Dunia Tahun 2004 – 2013
Tabel 6.1. Perkembangan Luas Panen Cabe di Negara Produsen Utama Cabe Tahun
2009 – 2013 (Juta Ha)
No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R (%/Thn)
1 China 1,32 1,36 1,41 1,42 1,42 2,50
2 Indonesia 0,23 0,24 0,24 0,24 0,23 1,28
3 Meksiko 0,14 0,14 0,14 0,14 0,13 -0,10
4 Ethiopia 0,10 0,09 0,12 0,15 0,15 9,86
5 Turki 0,09 0,10 0,09 0,10 0,10 4,27
6 Nigeria 0,08 0,06 0,06 0,06 0,07 -10,67
7 Lainnya 0,51 0,52 0,52 0,54 0,54 1,68
Dunia 2,48 2,52 2,58 2,64 2,65 2,02 Sumber: FAO, 2016 (diolah)
Berdasarkan Gambar 6.3, China memiliki kontribusi terbesar dalam luas panen
cabe dengan nilai rata-rata 53,97 persen per tahun, dan Indonesia menempati
urutan kedua dengan kontribusi rata-rata sebesar 9,22 persen per tahun. Meksiko
berada di urutan ketiga dengan kontribusi luas panen rata-rata memberikan
kontribusi sebesar 5,49 per tahun, selanjutnya Ethiopia, Turki dan Nigeria memiliki
kontribusi rata-rata 4,62 persen per tahun, 3.74 persen per tahun, dan 2,48 persen
per tahun. Dinamika perkembangan luas panen cabe dunia dipengaruhi oleh
dinamiki negara-negara tersebut karena negara-negara lainnya didunia hanya
memiliki kontribusi rata-rata di bawah 2,50 persen per tahun.
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
LP (%) 1,40 2,42 1,37 1,66 2,02 1,68 2,62 2,09 0,28
Prod (%) 3,05 4,87 4,31 2,15 2,49 2,42 2,17 2,52 1,13
Prtv (%) 1,63 2,39 2,91 0,48 0,46 0,73 -0,44 0,42 0,85
Per
tum
bu
han
97
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.3. Rata-rata Kontribusi Luas Panen Cabe Dunia Menurut Negara Tahun 2009 - 2013
Pada tahun 2013 produksi cabe dunia mencapai sekitar 46.95 juta ton
meningkat sekitar 2.79 persen per tahun dalam periode 2004 – 2013. Rata-rata
pertumbuhan produksi periode 2004 – 2009 adalah 3.27 persen per tahun dan
menurun menjadi rata-rata 2.06 persen per tahun pada periode 2009-2013. Gambar
6.2 menunjukkan perkembangan peningkatan produksi cabe dunia setiap tahun
pada periode 2004 – 2013.
China merupakan produksi terbesar dengan kontribusi rata-rata 67.68 persen
terhadap produksi cabe dunia, kemudian diikuti oleh Meksiko dengan kontribusi rata-
rata 4.90 persen per tahun, Turki dengan kontribusi rata-rata 4.34 persen per tahun
dan Indonesia berada di urutan keempat dengan kontribusi rata-rata 3.45 persen
per tahun terhadap total produksi cabe dunia (Gambar 6.4).
China53,47%
Indonesia9,22%
Meksiko5,49%
Ethiopia4,62%
Turki3,74%
Nigeria2,74%
Lainnya20,72%
98
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.4. Rata-rata Kontribusi Produksi Cabe Dunia Menurut Negara Tahun 2009 - 2013
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa dalam periode 2009 – 2013, Indonesia
memiliki peningkatan produksi tertinggi dengan rata-rata 5.97 persen per tahun,
kemudian diikuti oleh Meksiko 4.90 persen per tahun, Turki 4.17 persen per tahun,
China 2.18 persen per tahun dan Spanyol 1.87 persen per tahun. Amerika Serikat
merupakan negara yang memiliki penurunan produksi dengan nilai rata-rata 2.34
persen per tahun.
Tabel 6.2. Perkembangan Produksi Cabe di Negara Produksi Utama Cabe Tahun 2009 – 2013 (Juta Ton)
No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R(%/Thn)
1 China 29,04 30,00 31,08 31,25 31,65 2,18
2 Meksiko 1,94 2,34 2,13 2,38 2,29 4,90
3 Turki 1,84 1,99 1,98 2,04 2,16 4,17
4 Indonesia 1,38 1,33 1,48 1,66 1,73 5,97
5 Amerika 0,99 0,93 0,99 1,01 0,89 -2,34
6 Spanyol 0,93 0,88 0,92 0,97 1,00 1,87
7 Lainnya 7,16 6,86 6,70 7,12 7,24 0,35
Dunia 43,28 44,33 45,29 46,43 46,95 2,06
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Produktivitas cabe dunia mencapai rata-rata 17.75 ton per ha pada tahun
2013, dalam periode 2004-2013 produktivitas cabe dunia mengalami peningkatan
rata-rata 1.05 persen per tahun. Dalam periode 2004-2009 produktivitas cabe dunia
meningkat rata-rata 1.57 persen per tahun, namun demikian pada periode 2009 –
China67,68%
Meksiko4,90%
Turki4,34%
Indonesia3,35%
Amerika Serikat2,13%
Spanyol2,08%
Lainnya15,52%
99
2013 prodyktivitas cabe dunia hanya meningkat rata-rata 0.36 persen per tahun. Hal
ini menunnjukkan bahwa terjadi perlambatan peningkatan produktivitas cane dunia.
Perkembangan produktivitas dunia dari tahun ke tahun dalam periode 2004 – 2013
disajikan pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2. Tabel 6.3 menunjukkan bahwa pada
tahun 2013 produktivitas cabe di China mencapai rata-rata 22.22 ton per Ha.
Sementara itu produktivitas cabe di Indonesia baru mencapai rata-rata sebesar 9.86
ton per ha. Diantara negara produsen utama cabe dunia, Indonesia menempati
urutan kedua terendah setelah Turki yang memiliki produktivitas 8.69 ton per Ha.
Rendahnya data tingkat produktivitas cabe Indonesia berkaitan dengan jenis varitas
cabe di Indonesia yaitu Cabe besar dan Cabe rawit sementara di negara lain di dunia
umumnya didominasi oleh Cabe Paprika.
Tabel 6.3. Perkembangan Produktivitas Cabe di Negara Produksi Utama Cabe Tahun 2009 – 2013 (Ton/Ha)
No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R (%/Thn)
1 China 21,92 21,99 21,98 22,03 22,22 0,19
2 Indonesia 8,30 9,83 8,89 9,82 9,86 9,44
3 Meksiko 13,08 13,80 13,68 15,00 16,25 4,95
4 Ethiopia 14,11 14,94 12,81 11,26 11,91 -3,66
5 Turki 10,98 9,42 10,57 10,56 8,69 -4,07
6 Nigeria 12,21 14,59 16,05 16,17 15,38 12,46
7 Lainnya 13,95 13,10 12,93 13,24 13,34 -2,76
Dunia 17,48 17,60 17,53 17,60 17,75 0,36 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
6.1.2. Perkembangan Perdagangan Cabe Dunia
Volume ekspor cabe dunia mencapai 3.15 juta ton pada tahun 2013,
sedangkan volume impornya mencapai 3.05 juta ton (Gambar 6.5). Perkembangan
volume ekspor dan impor cabe dunia periode 2004 - 2013 cenderung meningkat
dengan rata-rata pertumbuhan 6.04 persen per tahun untuk volume ekspor,
sedangkan perkembangan volume impornya sebesar 6.80 persen per tahun. Dalam
periode 2004 – 2009 volume ekspor meningkat rata-rata 6.29 persen per tahun dan
menurun menjadi 5.54 persen per tahun pada tahun 2009-2013. Dalam periode
yang sama, volume impor cabe mengalami peningkatan rata-rata 7.04 persen per
tahun dan 6.70 per tahun. Peningkatan volume ekspr dan impor cabe dunia
dibanding tahun sebelumnya disajikan pada Gambar 6.6.
100
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.5. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Cabe Dunia Tahun 2004 - 2013
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.6. Peningkatan Volume Ekspor dan Impor Cabe Dunia Dibanding Tahun
Sebelumnya Periode 2005 - 2013
Berdasarkan realisasi ekspor rata-rata 2009-2013 menunjukkan bahwa
Meksiko merupakan negara eksportir cabe dan paprika hijau terbesar di dunia
dengan kontribusi sebesar 24.46 persen per tahun terhadap total volume ekspor
cabe dunia (Gambar 6.7), dengan pertumbuhan rata-rata 6.17 persen per tahun
(Tabel 6.4). Negara-negara eksportir terbesar berikutnya adalah Spanyol 17.70
persen dan Belanda 16.46 persen per tahun dan Amerika 3.92 persen per tahun,
dengan pertumbuhan masing-masing 4.87 persen, 4.18 persen dan 5.60 persen per
tahun. Sedangkan total kontribusi ekspor negara-negara lainnya sebesar 37.46
persen per tahun dengan pertumbuhan rata-rata 7.02 persen per tahun.
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ekspor 1,86 2,02 2,07 2,17 2,41 2,53 2,70 2,88 2,99 3,15
Impor 1,71 1,89 2,03 2,07 2,23 2,39 2,61 2,70 2,88 3,08
Juta
To
n
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ekspor 8,28 2,47 5,06 10,82 4,82 6,94 6,48 3,93 5,54
Impor 10,93 7,10 2,20 7,48 7,49 9,05 3,44 6,82 6,70
Pen
ingk
atan
(%
)
101
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.7. Rata-rata Kontribusi Volume Ekspor dan Impor Negara-Negara Ekspor
dan Impor Utama Cabe Dunia tahun 2009 – 2013
Tabel 6.4. Perkembangan Volume Ekspor Negara-Negara Eksportir Utama Cabe Dunia tahun 2009 – 2013 (Ribu Ton)
No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R
(%/Thn)
1 Meksiko 608,64 644,56 699,66 767,86 771,47 6,17
2 Spanyol 465,25 446,30 511,34 531,45 558,26 4,87
3 Belanda 444,37 433,87 474,01 462,55 519,15 4,18
4 Amerika 99,94 107,28 105,38 109,37 123,64 5,60
5 Lainnya 906,98 1068,46 1084,98 1117,22 1181,49 7,02
Dunia 2525,18 2700,47 2875,36 2988,45 3154,01 5,72 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Pada periode 2009–2013 terdapat empat negara importir cabe terbesar di
dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sebesar 53.13 persen per tahun
terhadap total volume impor cabe di dunia. Amerika Serikat merupakan negara
importir cabe terbesar di dunia dengan rata-rata kontribusi sebesar 28.92 per tahun
(Gambar 6.7) dan pertumbuhan impor rata-rata 8.50 persen per tahun (Tabel 6.5).
Jerman merupakan importir terbesar kedua dengan rata-rata kontribusi sebesar
13.08 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan 5.42 persen per tahun,
disusul Inggris dengan kontribusi dan pertumbuhan volume impor rata-rata 5.92
persen dan 7.40 persen per tahu. Perancis berada di posisi keempat importir
Ekspor Impor
102
terbesar cabe di dunia dengan rata-rata kontribusi 5.21 persen terhadap total
volume impor cabe dunia dan pertumbuhan rata-rata 5.69 persen per tahun.
Indonesia berada pada urutan ke- 49 dan 50 dengan rata-rata volume ekspor dan
impor cabe rata-rata di bawah 3 ribu ton per tahun.
Tabel 6.5. Perkembangan Volume Impor Negara-Negara Importir Utama Cabe Dunia
tahun 2009 – 2013 (Ribu Ton)
No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R
(%/Thn)
1 Amerika 648,74 763,11 779,39 896,15 889,46 8,50
2 Jerman 326,43 331,61 351,62 362,29 402,29 5,42
3 Inggris 136,87 144,55 157,13 169,62 182,07 7,40
4 Perancis 122,59 124,66 136,73 147,89 160,24 6,97
5 Lainnya 1157,59 1244,74 1273,53 1306,52 1441,53 5,69
Dunia 2392,22 2608,68 2698,41 2882,46 3075,58 6,50 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
6.1.3. Perkembangan Supply Domestik dan Konsumsi Cabe Dunia
Tabel 6.6 menunjukkan bahwa ketersediaan untuk konsumsi (domestik
supply) cabe dunia tahun 2013 mencapai 46.86 juta ton. Dalam periode 2008-2013,
mengalami peningkatan rata-rata 2.20 persen per tahun, mengalami penurunan
dibandingkan periode 2003 – 2008 yang mencapai 3.40 persen per tahun. Tabel 6.7
menunjukkan bahwa konsumsi cabe dunia sebagai bahan pangan (food) mencapai
44.78 juta ton dan mengalami peningkatan rata-rata 2.19 persen per tahun pada
periode 2008-2013. Pada periode 2004-2008 penggunaan cabe untuk pangan
meningkat rata-rata 3.42 persen per tahun. Dalam periode 2004-2013 penggunaan
cabe untuk pangan meningkat rata-rata 2.81 persen per tahun, relatif sama dengan
pertumbuhan domestik supply yang mencapai rata-rata 2.80 per tahun pada periode
yang sama.
103
Tabel 6.6. Perkembangan Produksi dan Ketersediaan Konsumsi Domestik Cabe Dunia Tahun 2003 – 2013 (x 1000 Ton)
Tahun Produksi Impor Variasi Stok Ekspor Domestik Supply
2003 35.766,24 1.584,81 -2,23 1.770,53 35.578,28
2004 36.672,07 1.705,39 23,28 1.864,87 36.535,87
2005 37.790,37 1.891,81 5,47 2.019,19 37.668,45
2006 39.631,34 2.026,14 22,78 2.069,02 39.611,25
2007 41.339,70 2.070,69 -30,37 2.173,81 41.206,20
2008 42.228,69 2.225,47 -10,30 2.409,09 42.034,78
2009 43.280,45 2.392,22 -6,53 2.525,18 43.140,96
2010 44.327,30 2.608,68 14,90 2.700,47 44.250,41
2011 45.288,74 2.698,41 -11,94 2.875,36 45.099,84
2012 46.429,64 2.882,46 -15,40 2.988,45 46.308,24
2013 46.954,23 3.075,58 -16,46 3.154,01 46.859,34
2003-2008 3,38 7,06 -240,59 6,39 3,40
2008-2013 2,15 6,70 -101,79 5,54 2,20
2003-2013 2,76 6,88 -171,19 5,97 2,80
CV 9,35 21,27 19,58 9,39 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Tabel 6.7. Perkembangan Ketersediaan Konsumsi Domestik Dan Komsumsi Menurut
Penggunaan Cabe Dunia Tahun 2003 – 2013 (x 1000 Ton)
Tahun Domestik Supply Seeds Food Penggunaan Lain Waste
2003 35.578,28 140,58 33.952,07 1.393,01 92,62
2004 36.535,87 141,14 34.885,39 1.404,40 104,94
2005 37.668,45 147,95 35.936,73 1.479,74 104,03
2006 39.611,25 151,34 37.821,18 1.527,48 111,25
2007 41.206,20 171,06 39.344,85 1.572,74 117,56
2008 42.034,78 182,40 40.158,83 1.589,78 103,76
2009 43.140,96 189,18 41.210,40 1.621,70 119,69
2010 44.250,41 196,20 42.272,92 1.665,92 115,36
2011 45.099,84 208,45 43.078,08 1.693,75 119,56
2012 46.308,24 218,16 44.211,18 1.765,22 113,68
2013 46.859,34 218,96 44.758,31 1.778,00 104,07
2003-2008 3,40 5,44 3,42 2,69 2,66
2008-2013 2,20 3,74 2,19 2,27 0,40
2003-2013 2,80 4,59 2,81 2,48 1,53
CV 9,39 16,89 9,42 8,28 7,75 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
104
6.1.4. Perkembangan Harga Cabe Dunia
Publikasi mengenai perkembangan harga cabe internasional sulit didapatkan.
Dilakukan pendekatan dengan menggunakan harga rata-rata produsen yang dibagi
dengan dua pendekatan yaitu harga rata-rata pada negara produsen yang memiliki
produksi lebih besar dari impor untuk menunjukkan tingkat harga produsen dan
rata-rata harga pada negara produsen yang memiliki impor sama dengan atau lebih
tinggi dari produksinya. Tabel 6.8 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 rata-rata
harga negara produsen mencapai US $ 1709.37 per ton, sementara pada negara-
negara importir US $ 3489.76 per ton dan terdapat perbedaan harga US $ 1780.39
per ton. Peningkatan harga negara produsen lebih rendah di banding harga rata-rata
negara importir dan perbedaan harga antara harga negara produsen dengan
importir menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Perbebedaan harga antara
negara produsen dengan negara importir dari tahun ke tahun seperti juga terlihat
pada Gambar 6.8.
Tabel 6.8. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen Cabe Dunia Tahun 2004 – 2014
(US $ per Ton)
Tahun Rata-rata Harga Negara
Produsen Rata-rata Harga Negara
Importir Perbedaan
Harga
2004 908,29 1.125,26 216,97
2005 927,16 1.231,62 304,46
2006 979,09 1.325,73 346,64
2007 1.152,04 1.547,47 395,43
2008 1.330,11 2.045,23 715,12
2009 1.106,73 1.877,40 770,68
2010 1.379,08 2.638,30 1.259,22
2011 1.420,10 2.743,72 1.323,62
2012 1.466,61 2.804,98 1.338,37
2013 1.626,58 3.237,69 1.611,12
2014 1.709,37 3.489,76 1.780,39
2004-2009 4,80 11,56 31,37
2009-2014 9,37 13,99 20,10
2004-2014 7,09 12,77 25,74
CV 21,80 38,25 61,96 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Tabel 6.9 menunjukkan perkembangan harga produsen pada beberapa
negara produsen utama cabe dunia. Pada tahun 2014, harga produsen tertinggi
105
terjadi negara Ethiopia, diikuti oleh USA dan Chima. Harga di Indonesia dan Spanyol
relatif sama. Harga terendah d Mexico dan Turkey. Dari sisi perubahan harga, China
menunjukkan perkembangan harga yang paling tinggi, kemudian diikuti Amerika
Serikat dan Spanyol. Indonesia dan Menxico menunjukkan tingkat perkembangan
harga yang paling rendah.
Keterangan : Harga Negara Produsen = Rata-rata Harga Produsen Negara-negara Yang Memiliki Produksi Cabe Lebih Tinggi dari Impornya; Harga Negara Importir = Rata-rata Harga
Produsen Negara-Negara Yang Memiliki Produksi Lebih Rendah atau Sama Dengan Volume Impornya; Perbedaan = Rata-rata Harga Negara Importir dikurangi dengan Rata-rata Harga Negara Produsen
Sumber : FAO, 2016 (diolah)
Gambar 6.8. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen Cabe Dunia Tahun 2004-
2014 (US $ per Ton)
Tabel 6.9. Perkembangan Harga Produsen Cabe di Beberapa Negara Produsen
Utama Cabe Dunia (US $ per Ton)
Tahun China Ethiopia Indonesia Mexico Spain Turkey USA
2004 365,60 1.301,00 1.210,90 384,87 418,60 694,00 621,20
2005 417,50 1.241,00 1.159,70 410,76 500,00 734,00 722,90
2006 746,10 1.736,30 1.129,40 416,83 561,70 743,00 705,90
2007 962,40 1.941,00 1.553,20 377,60 527,80 730,00 1.472,10
2008 911,50 1.702,60 1.350,90 461,90 1.043,30 884,00 1.064,60
2009 617,00 1.475,80 1.017,30 435,30 905,00 758,00 1.180,70
2010 1.149,60 2.105,50 1.419,50 463,70 978,80 886,00 1.907,70
2011 1.429,30 1.936,60 1.386,00 440,60 1.367,90 860,00 1.460,60
2012 1.454,80 1.974,70 1.175,80 445,00 804,10 743,00 1.525,90
2013 1.549,35 2.133,96 1.315,53 691,37 1.236,11 855,33 1.846,63
2014 1.680,25 2.218,20 1.325,25 726,20 1.325,40 870,13 1.979,03
2004-2009 16,86 4,30 (1,41) 3,07 22,03 2,42 21,16
2009-2014 25,48 9,73 6,93 12,59 13,53 3,44 14,16
2004-2014 21,17 7,01 2,76 7,83 17,78 2,93 17,66
CV 45,02 18,70 12,02 24,68 39,22 9,28 37,57 Sumber : FAO, 2016 (diolah)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Harga Negara Produsen 908,29 927,16 979,09 1152,04 1330,11 1106,73 1379,08 1420,10 1466,61 1626,58 1709,37
Harga Negara Importir 1125,26 1231,62 1325,73 1547,47 2045,23 1877,40 2638,30 2743,72 2804,98 3237,69 3489,76
Perbedaan 216,97 304,46 346,64 395,43 715,12 770,68 1259,22 1323,62 1338,37 1611,12 1780,39
0,00
500,00
1000,00
1500,00
2000,00
2500,00
3000,00
3500,00
4000,00
Harg
a (
US $
Per
Ton)
106
6.2. Dinamika Pasar Domestik
Berbeda dengan di pasar dunia, cabe yang diusahakan di Indonesia umumnya
cabe besar termasuk cabe keriting dan cabe rawit. Sejalan dengan itu dalam
bahasan pasar domestik cabe yang dimaksud adalah cabe besar termasuk Cabe
keriting dan Cabe rawit.
6.2.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Cabe
Luas panen Cabe Indonesia tahun 2014 mencapai 263.62 ribu Ha dan
mengalami peningkatan rata-rata 4.92 persen per tahun pada periode 2009 – 2014
(Tabel 6.10). Pada periode yang sama produksi mengalami peningkatan rata-rata
5.07 persen per tahun dan menurun rata-rata 0.05 persen untuk produktivitas. Pada
tahun 2014 produksi cabe Indonesia mencapai 1.875,08 ribu ton dan produktivitas
mencapai 7.11 ton per Ha. Data perkembangan produktivitas menunjukkan terjadi
pelandaian pada periode 2004 – 2009 dan 2004 – 2014, penurunan produktivitas
pada periode 2009 – 2014.
Tabel 6.10. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Indonesia
2004 – 2014
Tahun Luas Panen
(x 1000 Ha)
Produksi
(x 1000 Ton)
Produktivitas
(Ton/Ha)
2004 194,59 1.100,51 5,66
2005 187,24 1.058,02 5,65
2006 204,75 1.185,06 5,79
2007 204,05 1.128,79 5,53
2008 211,57 1.153,06 5,45
2009 233,90 1.378,73 5,89
2010 237,11 1.328,86 5,60
2011 239,77 1.483,08 6,19
2012 242,37 1.656,52 6,83
2013 249,23 1.726,38 6,93
2014 263,62 1.875,08 7,11
2004-2009 3,90 5,02 0,92
2009-2014 4,92 5,07 -0,05
2004-2014 3,28 4,99 1,54
CV 11,10 20,49 10,13
107
6.2.2. Perkembangan Konsumsi Cabe
Perhitungan konsumsi cabe didasarkan kepada produk cabe segar. Konsumsi
masyarakat akan cabe terjadi setiap saat setiap terutama untuk bumbu masakan.
Permintaan cabe terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
kebutuhan konsumsi Cabe masyarakat. Penggunaan cabe dikelompokkan dalam
konsumsi langsung oleh rumahtangga, konsumsi tidak langsung rumahtangga dan
penggunaan lain termasuk benih dan tercecer.
Konsumsi Cabe tidak langsung oleh rumahtangga merupakan porsi terbesar
yaitu sekitar persen, sedangkan konsumsi langsung oleh rumahtangga menempati
proporsi sekitar dan sisanya sekitar persen digunakan untuk benih dan tercecer (Tabel
6.11).
Tabel 6.11. Perkembangan Komsumsi Cabe Indonesia tahun 2004 -2014 (x 1000 Ton)
Tahun Konsumsi
Langsung Rumah
Tangga
Konsumsi Tidak Langsung Rumah
Tangga
Konsumsi Benih dan Tercecer
Jumlah
2004 376,26 521,47 248,79 1.146,53
2005 397,26 623,33 278,79 1.299,38
2006 403,86 671,39 308,79 1.384,05
2007 414,86 685,87 331,13 1.431,86
2008 424,62 692,66 343,13 1.460,41
2009 431,49 713,93 358,79 1.504,21
2010 445,86 766,49 377,92 1.590,27
2011 461,86 824,93 389,58 1.676,37
2012 482,64 848,93 405,39 1.736,96
2013 493,26 894,93 420,13 1.808,32
2014 518,26 923,43 428,79 1.870,49
2004-2009 2,79 6,69 7,65 5,66
2009-2014 3,74 5,30 3,63 4,46
2004-2014 3,26 6,00 5,64 5,06
CV 9,99 16,46 16,45 14,51
6.2.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe
Ekspor cabe segar menunjukkan penurunan rata-rata 3.07 persen per tahun
pada periode 2009 – 2014, sedangkan volume impor cabe segar menunjukkan
peningkatan rata-rata 402.07 persen per tahun (Tabel 6.12). Dari sisi nilai, ekspor
cabe meningkat rata-rata 4,69 persen per tahun, sedangkan impor 55,28 persen per
108
tahun. Secara umum neraca perdagangan cabe Indonesia menunjukkan surplus
kecuali tahun 2010-2012 yang mengalami defisit karena adanya impor yang besar.
Dari sisi volume neraca perdagangan meningkat rata-rata 262,26 persen dan dari
sisi nilai meningkat 1.088,17 persen per tahun. Berdasarkan Tabel 6.14
menunjukkan volume ekspor cabe segar menunjukkan penurunan, sedangkan nilai
ekspor menunjukkan peningkatan, namun volume impor meningkat jauh lebih besar
dibanding volume dan nilai ekspor.
Tabel 6.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe Segar Indonesia Tahun 2004 - 2014
Tahun
Ekspor Impor Neraca
Volume (Ton) Nilai ( 1x
1000 US$) Volume (Ton)
Nilai ( 1x 1000 US$)
Volume (Ton) Nilai ( 1x
1000 US$)
2004 854,32 453,44 111,86 54,32 742,45 399,11
2005 893,52 989,96 291,45 21,05 602,08 968,91
2006 1.183,45 1.020,60 14,47 137,65 1.168,98 882,95
2007 1.362,45 1.085,22 309,75 245,25 1.052,71 839,98
2008 1.217,53 1.195,88 500,67 473,75 716,86 722,13
2009 743,54 787,79 90,49 636,87 653,06 150,92
2010 1.503,73 1.370,78 1.849,81 1.457,69 -346,08 -86,91
2011 1.448,15 1.821,63 7.501,14 6.953,69 -6.052,99 -5.132,07
2012 545,21 755,22 3.221,68 2.970,37 -2.676,47 -2.215,15
2013 570,26 930,55 293,93 368,36 276,33 562,19
2014 250,22 482,91 29,50 56,64 220,72 426,26
2004-2009 0,52 20,76 417,08 139,67 4,90 7,18
2009-2014 -3,07 4,69 402,39 55,28 261,96 1.088,17
2004-2014 -1,27 12,73 409,73 97,48 133,43 547,67
CV 42,93 39,54 176,87 172,29 -655,91 -821,12
Tabel 6.13 menunjukkan bahwa volume ekspor cabe olahan Indonesia
mengalami penngkatan rata-rata 10.46 persen per tahun pada periode 2009-2014,
jauh lebih rendah jika dibandingkan perkembangan pada periode 2004-2009 yang
mencapai 80.46 persen per tahun. Fenomena yang yang sama juga terjadi dari sisi
nilai yang menunjukkan peningkatan rata-rata 24.26 persen per tahun pada periode
2009-2014, sementara peningakatan nilai ekspor pada periode 2004-2009 mencapai
rata-rata 86.50 persen per tahun. Pada tahun 2014 volume dan nilai ekspor cabe
olahan Indonesia mencapai 11.87 ribu ton dan US $ 25.18 juta, jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan volume dan nilai impor yang mencapai 26.13 ribu ton dan
US $ 30.92 juta. Pada periode 2009-2014 volume dan nilai impor cabe olahan
mencapai peningkatan rata-rata 8.44 persen dan 13.63 persen per tahun.
Peningkatan ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan pada
periode 2004-2009 yang mencapai masing-masing 19.56 persen dan 43.05 persen
109
per tahun. Pertumbuhan volume dan nilai ekspor menunjukkan jauh lebih tinggi
namun demikian hingga tahun 2014 neraca ekspor dan impor menunjukan defisit
yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 defisit neraca
ekspor dan impor cabe olahan dari sisi volume mencapai 14.26 ribu ton dan dari sisi
nilai mencapai US$ 5.75 juta. Jika pada defisit volume menunjukkan rata-rata
penurunan pada periode 2009-2014 dibandingkan periode 2004-2009, maka pada
defisit nilai menunjukkan peningkatan pada 2009-2014 dibandingkan pada 2004-
2009.
Tabel 6.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe Olahan Indonesia Tahun 2004 - 2014
Tahun
Ekspor Impor Neraca
Volume
(Ton)
Nilai (1 x
1000 US$)
Volume
(Ton)
Nilai (1 x
1000 US$)
Volume
(Ton)
Nilai (1 x
1000 US$)
2004 1.025,06 1.127,92 7.460,59 3.042,81 -6.435,53 -1.914,89 2005 723,66 814,66 7.698,86 4.099,99 -6.975,20 -3.285,32
2006 1.540,90 1.895,43 10.132,49 7.355,64 -8.591,59 -5.460,20 2007 6.150,39 7.721,18 13.693,11 12.157,67 -7.542,72 -4.436,49
2008 5.863,76 8.296,28 16.523,19 15.711,74 -10.659,42 -7.415,46 2009 7.289,44 9.358,65 17.710,99 16.745,68 -10.421,55 -7.387,03
2010 8.699,64 15.829,75 19.408,81 21.457,80 -10.709,17 -5.628,06 2011 8.600,42 19.842,13 23.422,85 26.154,62 -14.822,43 -6.312,49
2012 9.441,01 24.223,97 23.617,00 24.964,86 -14.175,99 -740,89 2013 10.438,06 22.601,10 22.851,05 27.157,26 -12.412,99 -4.556,16
2014 11.874,87 25.179,36 26.132,02 30.924,60 -14.257,16 -5.745,24
2004-2009 80,46 86,50 19,56 43,05 11,69 37,16
2009-2014 10,46 24,26 8,44 13,63 7,85 88,23
2004-2014 45,46 55,38 14,00 28,34 9,77 62,69
CV 59,73 75,97 38,88 56,28 -28,39 -44,18
Hasil analisis ekspor dan impor menggambarkan bahwa selain harga
internasional cabe segar dan olahan semakin meningkat, dari sisi volume ekspor
cabe segar menunjukkan semakin menurun sedangkan volume impor semakin
meningkat. Sementara itu dari sisi cabe olahan volume ekspor cabe olahan belum
mampu mengimbangi volume impor, sekalipun peningkatan volume ekspor cabe
olahan lebih tinggi jika dibandingkan volume impor. Pertumbuhan produksi yang
relatif lambat untuk mengimbangi peningkatan konsumsi menyebabkan volume
impor cabe segar dan olahan semakin meningkat.
110
6.2.4. Perkembangan Harga Cabe
Konsumsi masyarakat akan cabe terutama untuk bumbu masakan terjadi
setiap saat sementara produksi bawang merah bersifat musiman. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya senjang (gap) antara pasokan (suplai) dan permintaan
serta gejolak harga antar waktu. Secara rataan, dalam periode tahun 2004-2014
terjadi kenaikan harga cabe ditingkat produsen dari Rp 8636/kg menjadi Rp 19237
/kg atau dengan laju rata-rata 8,59 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada
periode tahun 2004-2009. Sementara itu dalam periode yang sama harga konsumen
cabe meningkat dari dari Rp 11553/kg menjadi Rp 44519 /kg atau dengan laju rata-
rata 16,46 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada periode tahun 2009-2014
dengan laju 19,11 8,59 %/ tahun (Tabel 6.14).
Tabel 6.14. Perkembangan Harga Produsen Konsumen Cabe Indonesia Tahun 2004 – 2014 (Rp/Kg)
Tahun Harga Produsen Harga Konsumen Margin
2004 8.636,51 11.553,65 2.917,14
2005 9.487,93 11.671,47 2.183,54
2006 10.906,61 13.158,44 2.251,83
2007 11.965,58 15.106,08 3.140,50
2008 15.114,27 21.303,84 6.189,57
2009 15.546,06 21.187,00 5.640,94
2010 16.343,10 31.260,75 14.917,65
2011 17.184,06 47.669,34 30.485,28
2012 19.206,89 54.919,00 35.712,11
2013 19.523,00 52.030,00 32.507,00
2014 19.237,19 44.519,00 25.281,81
2004-2009 12,74 13,81 21,13
2009-2014 4,45 19,11 50,95
2004-2014 8,59 16,46 36,04
CV 26,93 58,37 93,01
Peningkatan laju harga konsumen dibanding harga produsen pada periode 5
tahun menyebabkan selisih /margin harga cabe antara produsen dan konsumen
semakin besar. Kondisi ini mengindikasikan semakin buruknya sistem distribusi pasar
cabe.
111
Gambar 6.9. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen, Konsumsi dan Margin
Harga Produsen dan Konsumen Cabe Indonesia Tahun 2004 - 2014 (Rp./Kg)
6.3. Outlook Komoditas Cabe Indonesia 2015 – 2019
6.3.1. Prediksi Perkembangan Luas Panen Komoditas Tahun 2015 - 2019
Komponen yang berpengaruh terhadap tingkat produksi komoditas adalah
luas panen dan produktivitas. Kedua komponen ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim. Prediksi perkembangan luas panen dan produktivitas dari komoditas-komoditas
yang dianalisis selama periode tahun 2015-2019 dibedakan menjadi 3 skenario, yaitu
skenario I apabila kondisi iklim adalah normal, skenario II apabila kondisi iklim
cenderung basah (La Nina) dan skenario III apabila kondisi iklim cenderung kering
(El Nino). Apabila selama periode tahun 2014-2019 skenario I berlaku yaitu iklim
dalam kondisi normal maka cabe diprediksi akan mengalami peningkatan luas
panen.
Tabel 6.15. Prediksi Perkembangan Luas Panen Komoditas Cabe (Ribu Ha) Tahun 2015-2019
No Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A. Skenario I 268,37 278,98 281,46 265,93 284,16 1,55
B. Skenario II 281,77 266,25 274,26 282,82 278,87 -0,19
C. Skenario III 268,37 278,98 281,46 265,93 284,16 1,55 Sumber : Setiyanto et al., 2014
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Harga Produsen 8636,5 9487,9 10906, 11965,15114, 15546, 16343,17184, 19206, 19523, 19237,
Harga Konsumen 11553, 11671, 13158, 15106,21303, 21187, 31260,47669, 54919, 52030, 44519,
Margin 2917,1 2183,5 2251,8 3140,56189,5 5640,9 14917,30485, 35712, 32507, 25281,
0,00
10000,00
20000,00
30000,00
40000,00
50000,00
60000,00H
arga
(R
p./
Kg)
112
Prediksi rata-rata peningkatan luas panen masing-masing komoditas cabe
selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I cabe 1.55 persen per
tahun, dengan luas panen cabe meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015
menjadi 284 ribu hektar pada tahun 2019.
Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario II berlaku yaitu iklim
cenderung basah atau La Nina maka cabe diprediksi akan mengalami penurunan
luas panen. Selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario II prediksi rata-
rata prediksi penurunan luas panen cabe masing-masing adalah 0.19 persen per
tahun. Prediksi perkembangan luas panen cabe menurun dari 282 ribu hektar pada
tahun 2015 menjadi 279 ribu hektar pada tahun 2019.
Apabila skenario III berlaku yaitu iklim cenderung kering atau El Nino maka
keadaan yang terjadi selama periode tahun 2015-2019 rata-rata peningkatan luas
panen cabe meningkat rata-rata cabe 1.55 persen per tahun, luas panen cabe
meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015 menjadi 284 ribu hektar pada
tahun 2019.
Apabila besarnya dan arah perkembangan luas panen masing-masing
komoditas yang dianalisis selama periode tahun 2014-2019 diperbandingkan antar
skenario maka dapat dinyatakan bahwa skenario II atau kondisi iklim cenderung
basah (La Nina) merupakan kondisi iklim yang tidak mendukung perkembangan
produksi produksi cabe karena terjadi penurunan luas panen -0.19 % per tahun.
6.3.2. Prediksi Perkembangan Produktivitas Komoditas Tahun 2015 - 2019
Tabel 6.16 menyajikan hasil analisis prediksi perkembangan produktivitas
komoditas selama periode tahun 2015-2019 pada masing-masing skenario. Apabila
selama periode tahun 2015-2019 skenario I berlaku yaitu iklim dalam kondisi normal
prediksi rata-rata kenaikan produktivitas selama periode tahun 2015-2019
berdasarkan skenario I untuk cabe 3.31 persen per tahun.
Tabel 6.16. Prediksi Perkembangan Produktivitas Komoditas Cabe Tahun 2015-2019
(Ton per Ha)
No Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 6,70 6,63 6,75 7,37 7,13 3,31
B Skenario II 6,05 6,10 6,21 6,18 5,89 -0,65
C Skenario III 6,83 6,91 7,04 7,01 6,67 0,87 Sumber : Setiyanto et al., 2014
113
Prediksi perkembangan produktivitas cabe selama periode tahun 2015-2019
berdasarkan skenario I meningkat dari 6. 70 ton per hektar pada tahun 2015
menjadi 7.13 ton per hektar pada tahun 2019.
Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario II berlaku yaitu kondisi
iklim cenderung basah atau La Nina diprediksi cabe akan mengalami penurunan
produktivitas rata-rata 0.65 persen per tahun. Prediksi perkembangan produktivitas
cabe menurun dari 6.05 ton per hektar pada tahun 2015 menjadi 5.89 ton per
hektar pada tahun 2019.
Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario III berlaku yaitu kondisi
iklim cenderung kering atau El Nino diprediksi cabe akan mengalami peningkatan
produktivitas 0.87 persen per tahun yaitu cabe turun dari 6.83 ton per hektar pada
tahun 2015 menjadi 6.67 ton per hektar pada tahun 2019.
Apabila besarnya dan arah perkembangan produktivitas masing-masing
komoditas yang dianalisis selama periode tahun 2014-2019 diperbandingkan antar
skenario maka dapat dinyatakan skenario II atau kondisi iklim basah (La Nina)
merupakan kondisi iklim yang tidak mendukung produksi cabe karena rata-rata
produktivitas cabe cenderung turun.
6.3.3. Prediksi Perkembangan Produksi Komoditas Tahun 2015 - 2019
Hasil analisis (Tabel 6.17) menunjukkan bahwa produksi cabe diperkirakan
seluruhnya mengalami peningkatan baik berdasarkan skenario I, II maupun III.
Berdasarkan skenario I, produksi cabe akan meningkat rata-rata cabe 3.01 persen.
Kenaikan harga BBM tahun 2014 yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas
pada awal tahun 2015 mendorong perkembangan produksi komoditas hingga
berdampak pada meningkatnya produksi hingga tahun 2019.
Tabel 6.17. Prediksi Perkembangan Produksi Komoditas Cabe Berdasarkan Skenario
Tahun 2015 - 2019
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 1.799,18 1.850,07 1.900,87 1.960,96 2.025,70 3,01
B Skenario II 1.624,24 1.701,90 1.746,54 1.642,29 1.673,46 0,83
C Skenario III 1.832,85 1.928,31 1.981,86 1.863,56 1.895,83 0,94 Sumber : Setiyanto et al., 2014
114
Berbeda dengan skenario I, jika terjadi perubahan iklim dan skenario II
terjadi produksi cabe tetap menunjukkan peningkatan yang sekalipun relatif rendah.
Pada tahun 2015 produksi cabe diprediksi mencapai 1.62 juta ton dan pada tahun
2019 1.67 juta ton. Kenaikan harga BBM tahun 2014 yang mendorong kenaikan
harga-harga komoditas pada awal tahun 2015 dan kondisi perubahan iklim yang
cenderung La Nina yang menyebabkan produksi cabe cenderung lebih rendah
dibanding kondisi normal.
Pada skenario III, menunjukkan perkembangan produksi cabe cenderung
meningkat tetapi dengan tingkat produksi dan perkembangannya lebih rendah
dibanding skenario I dan II. Hal ini menunjukkan bahwa jika kondisi skenario III
yang terjadi, maka produksi cabe akan cenderung lebih rendah dibanding normal.
6.3.4. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Tahun 2015-2019
Hasil analisis untuk permintaan komoditas cabe disajikan pada Tabel 6.18.
Berdasarkan skenario I, permintaan padi diperkirakan akan mencapai 8.25 juta ton,
jagung 29.90 juta ton, kedele, 2.81 juta ton, bawang merah 1.17 juta ton, cabe 1.81
juta ton, gula tebu 3.23 juta ton dan daging sapi mencapai 0.58 juta ton.
Permintaan padi, jagung, kedele, bawang merah dan daging sapi menunjukkan
peningkatan masing-masing dengan rata-rata 2.81 persen, 3.24 persen, 2.12
persen, 1.21 persen dan 0.81 persen per tahun pada periode 2015 – 2019.
Sementara itu pada komoditas cabe dan gula tebu menunjukkan penurunan rata-
rata 0.06 persen dan 0.22 persen per tahun.
Berdasarkan skenario II, volume permintaan komoditas secara keseluruhan
akan lebih rendah dibanding skenario I dengan tingkat perkembangan yang juga
lebih rendah untuk komoditas padi, jagung, kedele, bawang merah dan gula tebu.
Namun menunjukkan perkembangan yang lebih tinggi untuk cabe dan daging sapi.
Tabel 6.18. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Cabe Berdasarkan
Skenario Tahun 2015 – 2019
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 1.811,32 1.801,03 1.797,19 1.792,61 1.806,91 -0,06
B Skenario II 1.791,53 1.838,95 1.814,47 1.741,70 1.799,04 0,15
C Skenario III 1.811,32 1.870,28 1.859,66 1.855,69 1.850,96 0,55 Sumber : Setiyanto et al., 2014
115
Volume permintaan komoditas berdasarkan skenario III menunjukkan hal
yang berbeda dibanding skenario I dan II. Pada komoditas padi, jagung, kedele dan
daging sapi menunjukkan lebih rendah dibandingkan skenario I, namun untuk
bawang merah, cabe dan gula tebu menunjukkan lebih tinggi. Perbandingan dengan
skenario II menunjukkan bahwa volume permintaan jagung, kedele, bawang merah,
cabe dan gula lebih tinggi, namun untuk padi dan sapi potong lebih rendah. Berbeda
dengan skenario I dan II, perkembangan permintaan seluruh komoditas pada
skenario III menunjukkan peningkatan. Dinamika perkembangan komoditas
menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda menurut jenis komoditas.
6.3.5. Prediksi Perkembangan Surplus dan Defisit Penawaran dan
Permintaan Komoditas Tahun 2015 - 2019
Hasil analisis surplus dan defisit penawaran dan permintaan yang dianalisis
dalam model disajikan pada Tabel 6.19. Pada komoditas padi surplus padi
diperkirakan akan terjadi pada skenario II pada tahun 2019, sedangkan berdasarkan
skenario I dan III tetapi menunjukkan defisit, dimana defisit pada skenario III lebih
besar jika dibandingkan skenario I dan II. Perkembangan defisit padi menunjukkan
penurunan pada skenario I dan II, namun menunjukkan peningkatan rata-rata 10.21
persen per tahun pada skenario III.
Komoditas jagung, kedele, bawang merah, gula tebu dan menunjukk defisit
baik pada skenario I, II maupun III, dimana defisit skenario II lebih rendah jika
dibandingkan skenario I dan sebaliknya untuk skenario III. Cabe merupakan satu-
satunya komoditas yang menunjukkan surplus berdasarkan skenario I dan III,
namun defisit berdasarkan skenario II. Surplus cabe pada skenario III lebih rendah
dibandingkan skenario I. Berdasarkan Tabel 6.19 diperoleh gambaran bahwa pada
kondisi iklim normal dan kecenderungan El Nino Cabe mengalami surplus, sementara
komoditas lainnya tidak. Pada kondisi iklim yang cenderung La Nina padi
menunjukkan kecenderungan surplus sedangkan komoditas lainnya tidak.
Sedangkan pada komoditas lainnya berada pada kondisi defisit baik pada kondisi
iklim normal, La Nina maupun El Nino. Dalam mengatasi gejolak penawaran dan
permintaan, setiap komoditas memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
116
Tabel 6.19. Prediksi Perkembangan Surplus dan Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Cabe Tahun 2015 – 2019 Menurut Skenario
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I -12,14 49,03 103,68 168,36 218,78 -75,06
B Skenario II -167,29 -137,05 -67,93 -99,41 -125,58 1,04
C Skenario III 21,53 58,03 122,20 7,87 44,87 164,12 Sumber : Setiyanto et al., 2014
6.3.6. Prediksi Perkembangan Net Impor Komoditas Tahun 2015 - 2019
Data Tabel 6.20 menunjukkan tujuh komoditas yang dikaji pada tahun 2013
menunjukkan seluruhnya net impor. Hasil analisis Tabel 6.20 menunjukan net impor
akan berlangsung hingga tahun 2019, menunjukkan peningkatan baik pada skenario
I, II dan III. Net impor skenario II lebih tinggi dibanding rendah dibanding skenario
I dan III dan skenario III menunjukkan volume net impor yang paling tinggi.
Perkembangan net impor pada skenario I lebih tinggi dibanding skenario II dan
skenario III lebih tinggi dari skenario I dan II.
Tabel 20. Prediksi Perkembangan Net Impor Komoditas Cabe Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (000 Ton)
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 11,48 11,84 12,04 11,50 11,63 0,36
B Skenario II 12,25 12,54 12,70 12,30 12,46 0,44
C Skenario III 12,14 12,27 12,43 12,61 12,87 1,47 Sumber : Setiyanto et al., 2014
6.3.7. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen dan Produsen Komoditas
Tahunan Tahun 2015 - 2019
Hasil analisis prediksi harga konsumen komoditas cabe di perkotaan yang
dianalisis dalam model disajikan pada Tabel 6.21, sedangkan prediksi perkembangan
harga konsumen komoditas cabe di perdesaan Jawa disajikan pada tabel 6.22.
Tabel 6.21. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di
Perkotaan Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 31.511,68 32.456,07 33.113,70 33.279,96 34.219,29 2,09
B Skenario II 32.044,58 32.662,60 33.061,23 33.676,74 35.257,01 2,43
C Skenario III 32.317,84 32.768,50 33.036,41 33.876,05 35.602,53 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014
117
Tabel 6.22. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di Perdesaan Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 27.401,46 28.222,67 28.794,52 28.939,10 30.063,24 2,35
B Skenario II 27.864,85 28.402,26 28.748,90 29.284,12 30.658,27 2,43
C Skenario III 28.102,47 28.494,35 28.727,31 29.457,43 30.958,72 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014
Harga konsumen komoditas di perkotaan menunjukkan peningkatan pada
semua skenario, namun tingkat harga menunjukkan kecenderungan pada skenario I
lebih tinggi jika dibadingkan skenario II dan III untuk komoditas padi namun untuk
komoditas lainnya cenderung lebih rendah. Perkembangan yang sama juga terjadi
pada harga konsumen di pedesaan di Jawa (Tabel 6.22) dan Luar Jawa (Tabel 6.23).
Tabel 6.23. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di Perdesaan Luar Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario
(Rp/Kg)
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R(%/Thn)
A Skenario I 29.177,49 30.051,92 30.660,84 30.814,78 32.011,78 2,35
B Skenario II 29.670,90 30.243,15 30.612,25 31.182,17 32.645,38 2,43
C Skenario III 29.923,92 30.341,21 30.589,27 31.366,71 32.965,30 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014
Disamping akibat kenaikan harga BBM, kecenderungan peningkatan impor
yang lebih tinggi menyebabkan harga-harga komoditas pada skenario II dan III
menunjukkan kecenderungan lebih rendah jika dibandingkan skenario I.
Berdasarkan hal ini kecenderungan kebijakan melakukan impor akan membawa
dampak pada penurunan harga konsumen. Penurunan harga konsumen tidak hanya
akan terjadi di perkotaan, namun juga di pedesaan baik di Jawa maupun di Luar
Jawa.
Harga produsen komoditas di pedesaan Jawa dan Luar Jawa (Tabel 6.24 dan
Tabel 6.25) menunjukkan fenomena yang berbeda dibandingkan harga konsumen,
dimana harga komoditas pada skenario I lebih dari skenario II dan III. Pada tiga
skenario secara keseluruhan harga produsen menunjukkan peningkatan.
Peningkatan harga pada skenario I lebih rendah jika dibandingkan skenario II dan
III. Kondisi ini terjadi baik di pedesaan di Jawa maupun di Luar Jawa. Peningkatan
118
harga BBM dan kondisi perubahan produksi akibat kondisi iklim menyebabkan
peningkatan harga produsen.
Tabel 6.24. Prediksi Perkembangan Harga Produsen Riil Komoditas Cabe di Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)
No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R(%/Thn)
A Skenario I 25.342,26 26.371,43 27.735,99 28.911,04 29.842,01 4,17
B Skenario II 25.446,30 26.735,01 27.704,56 27.169,90 27.560,85 2,05
C Skenario III 25.446,30 26.416,05 27.374,03 27.959,95 29.425,60 3,70
Sumber : Setiyanto et al., 2014
Dikaitkan dengan Tabel 6.21 hingga Tabel 6.23, kondisi pada Tabel 6.24 dan
Tabel 6.25 menunjukkan harga di tingkat konsumen relatif lebih rendah
peningkatannya dan jarak atau marjin antara harga produsen dan konsumen yang
sangat tinggi.
Tabel 6.25. Prediksi Perkembangan Harga Produsen Komoditas Cabe di Luar Jawa
Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg) No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)
A Skenario I 26.984,81 28.080,69 29.533,70 30.784,90 31.776,22 4,17
B Skenario II 27.095,60 28.467,84 29.500,22 28.930,91 29.347,20 2,05
C Skenario III 27.095,60 28.128,20 29.148,27 29.772,17 31.332,81 3,70 Sumber : Setiyanto et al., 2014
6.4. Kesimpulan
Dari sisi luas panen Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina,
namun dari sisi produksi Indonesia berada di urutan keempat setelah China
Meksiko dan Turki. Kondisi ini karena data dunia menunjukkan produktivitas Cabe
Indonesia rendah. Rendahnya produktivitas tersebut berkaitan deangan data dunia
dimana sebagian besar bentuk produksi cabe dunia adalah paprika sementara cabe
Indonesia dalam bentuk cabe besar termasuk cabe rawit.
Volume ekspor cabe dunia tahun 2013 mencapai 3.15 juta ton sedangkan
volume impornya mencapai 3.05 juta ton. Volume ekspor dan impor cabe dunia
2004 - 2013 cenderung meningkat dengan laju masing masing 6.04 persen dan
6.80 persen per tahun.
Luas panen Cabe Indonesia tahun 2014 mencapai 263.62 ribu Ha dan
produksi 1875.08 ribu ton. Dalam periode 2009 – 2014 luas panen cabe mengalami
119
peningkatan rata-rata 4.92 persen per tahun. Pada periode yang sama produksi
mengalami peningkatan rata-rata 5.07 persen per tahun sementara produktivitas
menurun 0.05 persen. untuk produktivitas. Secara umum neraca perdagangan
cabe Indonesia menunjukkan surplus kecuali tahun 2010-2012 yang mengalami
defisit karena adanya impor yang besar. Pada periode 2009 – 2014, ekspor cabe
segar menunjukkan penurunan rata-rata 3.07 persen per tahun sedangkan volume
impor cabe menunjukkan peningkatan rata-rata 402.07 persen per tahun.
Prediksi rata-rata peningkatan luas panen masing-masing komoditas cabe
selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I cabe 1.55 persen per
tahun, dengan luas panen cabe meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015
menjadi 284 ribu hektar pada tahun 2019. Prediksi perkembangan produktivitas
cabe selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I meningkat dari 6. 70
ton per hektar pada tahun 2015 menjadi 7.13 ton per hektar pada tahun 2019.
Produksi cabe diprediksi akan meningkat rata-rata cabe 3.01 persen. Pada
tahun 2015 produksi cabe diprediksi mencapai 1.799 juta ton dan pada tahun 2019
sebesar 2,025 juta ton. Semantara itu prediksi permintaan cabe tahun 2015
sebesar 1.81 juta ton dan meningkat menjadi 1,85 juta ton pada 2019. Dengan
demikian dalam periode tersebut diprediksi akan terjadi defisit cabe. Sejalan dengan
itu impor akan berlangsung hingga tahun 2019 menunjukkan peningkatan.
Berdasarkan skenario I, net impor akan meningkat dari 11,48 ribu ton pada tahun
2015 menjadi 11,63 000 ton pada tahun 2019.
Tanpa ada intervensi, harga konsumen komoditas di perkotaan menunjukkan
peningkatan pada semua skenario. Disamping akibat kenaikan harga BBM,
kebijakan melakukan impor akan membawa dampak pada penurunan harga
konsumen. Penurunan harga konsumen tidak hanya akan terjadi di perkotaan,
namun juga di pedesaan baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Besarnya dan
volatilitas margin harga produsen dan konsumen mengindikasikan distribusi perlu
dibenahi
120
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan
1. Dinamika produksi, konsumsi, dan stok. Dinamika perkembangan produksi
dan konsumsi komoditas gula, daging sapi, dan cabe dunia pada kurun waktu
sepuluh tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat. Peningkatan
trend konsumsi masih dapat diimbangi oleh peningkatan produksi, karenanya
stok pangan komoditas gula, daging sapi, dan cabe relatif aman. Beberapa
negara memiliki pangsa yang besar dalam produki komoditas gula, daging
sapi, dan cabe. Brazil menjadi negara dengan pangsa produksi gula terbesar
dunia, sedangkan Brazil bersama dengan Amerika menguasai sepertiga
pangsa produksi daging sapi dunia, sementara China memiliki lebih dari
setengah pangsa produksi cabe dunia. Berdasarkan informasi ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa pangsa produksi komoditas gula, daging sapi, dan cabe
dunia berada pada beberapa negara tertentu saja, karena guncangan
produksi pada negara-negara tersebut dapat mempengaruhi produksi
komoditas-komoditas tersebut di level dunia.
2. Sementara dinamika produksi dan konsumsi komoditas gula, daging sapi,
bawang merah, dan cabe pada level domestik selama kurun waktu sepuluh
tahun terakhir menunjukkan trend pertumbuhan positif. Meski demikian,
kecepatan pertumbuhan produksi domestik tidak secepat perumbuhan
konsumsi, karenanya sering terjadi defisit pada neraca pangan yang harus
dipenuhi melalui impor.
3. Dengan trend pertumbuhan produksi dan konsumsi dunia yang positif, maka
perkembangan ekspor impor dunia untuk komoditas gula, daging sapi, dan
cabe juga relatif seimbang dimana selisih neraca perdagangannya hanya
sedikit. Namun kondisi berbeda terjadi pada level domestik dimana neraca
perdagangan negatif untuk komoditas gula, daging sapi, bawang merah, dan
cabe pada 10 tahun terakhir. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh laju
peningkatan konsumsi yang sangat tinggi sementara perkembangan
peningkatan produksi bergerak lamban.
121
4. dinamika harga komoditas gula mengalami peningkatan baik pada level dunia
maupun level nasional pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kondisi ini
cukup menggembirakan petani dengan harga lelang yang tinggi namun cukup
memberatkan bagi konsumen. Kondisi berbeda terjadi pada komoditas daging
sapi, bawang merah dan cabe dimana perkembangan perbedaan harga
ditingkat produsen dan konsumen terus mengalami peningkatan, ini
mengindikasikan bahwa rantai pasok pada ketiga komoditas tersebut belum
efisien.
5. Prediksi produksi periode 2015-2019 secara umum akan mengalami
penurunan pada kondisi la nina baik pada komoditas gula, daging sapi,
maupun cabe. Sedangkan pada kondisi el nino ketiga komoditas tersebut juga
mengalmi penurunan namun dengan dengan tingkat penurunan yang lebih
baik daripada kondisi la nina. Sementara itu pada komoditas bawang merah
selama periode lima tahun ke depan produksi diperkirakan meningkat sebesar
6% per tahun.
6. Pada sisi permintaan, diperkirakan komoditas gula dan cabe mengalami
peningkatan permintaan pada kondisi el nino, sebaliknya pada komoditas
daging sapi peningkatan permintaan justru terjadi pada kondisi la nini.
Sementara itu komoditas bawang merah di prediksi akan terus mengalami
peningkatan permintaan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan
populasi penduduk Indonesia.
7. Prediksi neraca perdagangan diprediksi akan tetap mengalami defisit dan
Indonesia menjadi net importir pada komoditas gula, daging sapi, dan cabe.
Kondisi menjadi lebih buruk pada saat el nino dimana net impor Indonesia
semakin besar. Sementara prediksi pada bawang merah akan terus
mengalami penurunan impor dan pada tahun 2017-2019 diprediksi Indonesia
bisa mengekspor bawang merah karena produksi bawang merah lebih besar
daripada permintaannya.
8. Prediksi harga akan terus mengalami peningkatan pada empat
komoditas strategis ini. Kondisi el nino akan meningkatkan harga lebih
tinggi pada komoditas gula dan cabe, sedangkan pada daging sapi
relatif sama antara kondisi eksisting, kondisi la nina, dan el nino.
122
7.2. Implikasi Kebijakan
1. Upaya peningkatan produksi gula dapat ditempuh melalui peningkatan
produktivitas dan melalui perluasan areal tebu. Terkait dengan peningkatan
produktivitas, ke depan perlu penggunaan bibit hasil bio teknologi.
Penggunaan bibit tebu kultur jaringan sudah dimulai pada tahun 2010, hasil
dari P3Gi dan PG tertentu.
2. Untuk meningkatkan populasi sapi nasional diperlukan pencegahan
pemotongan sapi betina produktif dan mingkatan reproduktivitas agar setiap
induk sapi melahirkan satu kali dalam setahun, mengimpor sapi indukan, dan
meningkatkan berat potong sapi penggemukan sehingga daging yang
dihasilkan dari seekor sapi yang dipotong menjadi meningkat.
3. Untuk menghindari lonjakan harga daging sapi menjelang bulan puasa dan
lebaran, sebaiknya pemerintah melakukan stok daging pada bulan-bulan
sebelumnya untuk dipasarkan pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran,
baik dalam bentuk operasi pasar di pasar tradisional dan supermarket
maupun membuka outlet-outlet di pemukiman penduduk terutama di
kawasan Jabodetabek. Produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan
preferensi konsumen dan kegiatan ini diumumkan melalu media massa
elektronik, cetak dan spanduk. Operasi pasar sebaiknya dilakukan terencana
sehingga tidak merugikan pelaku pasar yang terlibat, terutama peternak.
4. Untuk meningkatkan bagian keuntungan yang diterima peternak disarankan
upaya penjualan langsung (direct selling) lebih ditingkatkan.
5. Disarankan untuk meningkatkan produksi pakan dan pengolahan pakan untuk
stok, pengembangan peternakan sistem integrasi tanaman-ternak perlu
mendapat perhatian lebih intensif terutama integrasi sawit-sapi dan padi-sapi.
Penambahan sapi indukan tidak hanya dari impor, upaya pencegahan
pemotongan sapi betina produktif sebaiknya juga lebih diintensifkan.
6. Diperlukan kebijakan stabilisasi produksi dan harga bawang merah melalui:
(a) penyusunan perencanaan produksi antar wilayah secara lebih baik untuk
dapat merencanakan produki sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem
perbenihan secara serius baik benih umbi dan terutama pengembangan benih
biji (TSS), (c) Perbaikan budidaya , melalui penerapan GAP-SOP spesifik
123
lokasi, (d) Pengendalian OPT: mini screen house, light trap, (e) perbaikan
pasca panen, (f) perbaikan sistem pemasaran, (g) penerapan kebijakan
impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam negeri, dan (i) kerjasama
internasional tentang bawang agar statistik dunia bawang merah (shallots)
dibedakan dari onion.
124
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, N. Ilham, S. Nuryanti. 2012. Dinamika Program Swasembada Daging Sapi:
Reorientasi Konsepsi dan Implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian 10 (2):181-198.
Badan Ketahanan Pangan. 2014. Neraca Bahan Makanan 2002-2013. Kementerian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta.
_________________. 2005. Statistik Indonesia 2005. Jakarta.
_________________. 2006. Statistik Indonesia 2006. Jakarta.
_________________. 2007. Statistik Indonesia 2007. Jakarta.
_________________. 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta.
_________________. 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta.
_________________. 2011a. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta
_________________. 2011b. Statistik Indonesia 2011. Jakarta.
_________________. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta.
_________________. 2013a. Hasil Sensus Pertanian 2013. Berita Resmi Statistik,
No. 62/09/ Th. XVI, 2 September 2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2013b. Statistik Indonesia 2013. Jakarta.
_________________. 2014a. Statistik Indonesia 2014. Jakarta.
_________________. 2014b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia: Impor, Volume I. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta.
Balk, S. 2015. Less Is More. Development and Cooperation 42 (6-8),2015.
WWW.DANDC.EU., Germany.
Bappenas. 2014. Surplus Beras dan Peningkatan Produksi Pangan: Laporan Kegiatan Pemantauan Pencapaian Surplus Beras dan Swasembada Jagung,
Kedelai, Gula dan Daging Sapi. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasuional.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Hortikulura. 2014. Perkembangan Produksi Sayuran Triwulanan.
Kementerian Pertanian
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia: Tebu 2012-2014. Kementerian Pertanian. Jakarta.
FAOSTAT. 2016. http://faostat.fao.org/
Ditjen PKH. 2015. BAHAN RAKORTEKNAS 6-8 DESEMBER 2015.
http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=download&action=info. Diunduh 13-01-2016.
125
Ditjen PKH. 2015a. Statistik Peternakan. http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=statistik. Diunduh 31-
12-2015.
Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, Y. Supriyatna, dan T. Nurasa. 2015. Kajian
Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Ilham, N. 2009. Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 7 (3): 211-221.
Kementerian Keuangan. 2016. Realisasi Belanja Eselon 1 Per Jenis Belanja, Lingkup
Kementerian Pertanian. http://spanint.kemenkeu.go.id/spanint/BA_ES1/DataRealisasiAkunBA.
Diunduh 13 Januari 2016.
Kementerian Perdagangan. 2014. Outlook Pasar Daging Sapi 2015-2019. Kementerian Perdagangan. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2015. Basis Data Statistik Pertanian. Kementan Jakarta.
Muchjidin R, B. Sayaka, dan C.l Muslim. 2012. Analisis Perkembanga. Harga
Bawang Merah. Bahan Rapim, Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.
Muchjidin, R. 2013. Analisis Tataniaga Dan Tingkat Kepantasan Harga Bawang Merah Di Indonesia. Disampaikan pada seminar Badan Litbang Pertanian, Selasa 19 Maret 2013. Badan Litbang Pertanian.
Muchjidin, R. 2013. Kebijakan Impor Dan Peningktan Produksi Bawang Merah Dan Bawang Putih. Disampaikan Pada FGD “ Analisis Dan Sintesis Kebijakan Pembangunan Agribisnis Hortikultura Mendukung Pengembangan Kawasan Hortikultura : Pengaturan Impor Dan Peningkatan Kontribusi Ilmiah Peneliti” Puslitbang Hortikultura, Jakarta 11 April 2013.
Muchjidin, R. 2013. Perkembangan Harga Dan Marjin Harga Bawang Merah . Bahan
Rapim, Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.
Naipospos, TSP. 2014. Impor Ternak dan Risiko PMK. Center for Indonesian
Veterinary Analytical Studies, Bogor.
Nurhayati, W.2013. Selain Australia dan Selandia Baru, RI Bisa Impor Sapi dari 63
Negara Ini. Detikfinance. Jakarta.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Setiyanto, A., Supriyati, M. Suryadi, Y. Supriyatna, F.B.M. Dabukke, S.H. Susilowati, dan A. Purwoto. 2014. Outlook Pertanian 2015-2019. Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
USDA. 2015. Index Mundi.
http://www.indexmundi.com/agriculture/?commodity=beef-and-veal-meat&graph=production. Diunduh tanggal 22 Desember 2015
126
World Bank. 2016. GDP growth (annual %). http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG/countries.
Diunduh 12 Januari 2016.
127
Lampiran 1. Perkembangan Luas Panen Tebu Indonesia Tahun 1967-2013
Tahun Luas Panen (Ha) Kontribusi
PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS
1967 44.088 58.919 766 103.773 42,49 56,78 0,74
1968 43.760 58.550 3.153 105.462 41,49 55,52 2,99
1969 48.826 67.300 6.910 123.063 39,68 54,69 5,62
1970 45.067 69.607 7.041 121.711 37,03 57,19 5,79
1971 48.569 74.811 3.004 126.399 38,43 59,19 2,38
1972 71.667 63.807 13.236 148.743 48,18 42,9 8,9
1973 69.541 85.492 14.476 169.540 41,02 50,43 8,54
1974 71.962 90.102 14.711 176.784 40,71 50,97 8,32
1975 72.964 89.003 17.861 179.828 40,57 49,49 9,93
1976 92.040 95.583 21.279 208.936 44,05 45,75 10,18
1977 118.453 99.644 16.395 234.525 50,51 42,49 6,99
1978 102.213 121.423 24.465 248.109 41,2 48,94 9,86
1979 191.859 126.103 25.534 343.588 55,84 36,7 7,43
1980 259.874 37.629 18.560 316.063 82,22 11,91 5,87
1981 290.470 36.722 18.996 346.188 83,91 10,61 5,49
1982 303.228 43.043 17.049 363.320 83,46 11,85 4,69
1983 315.649 49.152 19.572 384.373 82,12 12,79 5,09
1984 236.810 85.569 19.629 342.008 69,24 25,02 5,74
1985 225.787 95.079 19.363 340.229 66,36 27,95 5,69
1986 238.509 69.168 18.026 325.703 73,23 21,24 5,53
1987 241.169 75.926 17.823 334.918 72,01 22,67 5,32
1988 254.669 92.368 18.492 365.529 69,67 25,27 5,06
1989 249.933 77.378 30.441 357.752 69,86 21,63 8,51
1990 259.877 71.252 32.839 363.968 71,4 19,58 9,02
1991 255.934 96.625 33.745 386.304 66,25 25,01 8,74
1992 262.092 105.905 36.065 404.062 64,86 26,21 8,93
1993 280.504 104.460 40.689 425.653 65,9 24,54 9,56
1994 276.581 107.570 44.585 428.736 64,51 25,09 10,4
1995 263.157 120.162 52.718 436.037 60,35 27,56 12,09
1996 304.047 79.269 63.217 446.533 68,09 17,75 14,16
1997 218.201 85.086 83.591 386.878 56,4 21,99 21,61
1998 195.048 83.069 98.972 377.089 51,72 22,03 26,25
1999 176.733 82.106 83.372 342.211 51,64 23,99 24,36
2000 171.279 64.133 105.248 340.660 50,28 18,83 30,9
2001 178.887 87.687 77.867 344.441 51,94 25,46 22,61
2002 196.509 79.975 74.238 350.722 56,03 22,8 21,17
2003 172.015 87.251 76.459 335.725 51,24 25,99 22,77
2004 184.283 78.205 82.305 344.793 53,45 22,68 23,87
2005 211.479 80.383 89.924 381.786 55,39 21,05 23,55
2006 213.876 87.227 95.338 396.441 53,95 22 24,05
2007 249.487 81.655 96.657 427.799 58,32 19,09 22,59
128
Tahun Luas Panen (Ha) Kontribusi
PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS
2008 252.783 82.222 101.500 436.505 57,91 18,84 23,25
2009 243.219 74.185 105.549 422.953 57,5 17,54 24,96
2010 261.665 68.141 102.909 432.715 60,47 15,75 23,78
2011 268.326 72.603 106.202 447.131 60,01 16,24 23,75
2012 265.233 77.690 106.225 449.148 59,05 17,3 23,65
2013* 280.419 77.967 107.733 466.119 60,16 16,73 23,11
1980-2013* 63,5 20,73 15,77
1980-1997 70,55 21,04 8,42
1998-2013* 55,57 20,39 24,04 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat
PBN=Perkebunan Besar Negara PBS=Perkebunan Besar Swasta * Angka Sementara
129
Lampiran 2. Kontribusi Sentra Produksi Tebu di Indonesia Tahun 2010-2014
No. Provinsi Produksi Tebu PR + PBN + PBS (Ton)
Share (%) 2010 2011 2012 2013 2014*) Rata-rata
1 Jawa Timur 1.017.003 1.051.872 1.241.799 1.236.824 1.262.473 1.161.994 47,11
2 Lampung 759.684 678.090 754.619 744.911 764.746 740.410 30,02
3 Jawa Tengah 233.430 249.452 289.775 270.873 295.590 267.824 10,86
4 Jawa Barat 110.543 81.923 102.648 92.063 94.116 96.259 3,90
5 Sumatera Selatan 66.451 19.210 79.924 93.882 97.650 71.423 2,90
6 Sulawesi Selatan 27.241 91.124 33.715 31.340 32.913 43.267 1,75
7 Sumatera Utara 31.025 47.122 41.505 37.340 39.019 39.202 1,59
8 Gorontalo 27.412 32.521 31.849 27.926 29.260 29.794 1,21
9 DI Yogyakarta 17.327 16.573 15.848 15.867 16.476 16.418 0,67
Jumlah 2.290.116 2.267.887 2.591.682 2.551.026 2.632.243 2.466.591 100 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 Keterangan: * Angka Sementara
130
Lampiran 3. Perkembangan Produktivitas Gula Tahun 1980-2015
Tahun Produktivitas (Ton/Ha)
PR Pertumb. (%) PBN Pertumb. (%) PBS Pertumb. (%) NDONESIA Pertumb. (%)
1980 3,44 -10,4 7,26 147,64 5,04 59,61 3,99 15,42
1981 3,15 -8,47 5,46 -24,86 6,11 21,26 3,55 -10,86
1982 4,53 43,95 4,23 -22,52 4,21 -31,09 4,48 26,01
1983 3,93 -13,21 5,91 39,79 4,52 7,37 4,21 -5,9
1984 5,9 50,15 3,85 -34,83 4,24 -6,08 5,29 25,63
1985 6,42 8,85 3,61 -6,37 5,45 28,48 5,58 5,43
1986 6,57 2,33 5 38,7 5,6 2,64 6,19 10,83
1987 7,23 10,01 4,25 -15,05 6,14 9,71 6,5 5,03
1988 6,18 -14,46 3,68 -13,53 4,84 -21,24 5,48 -15,61
1989 6,49 4,9 3,95 7,53 5,95 22,97 5,89 7,49
1990 6,19 -4,56 4,3 8,75 6,22 4,6 5,82 -1,18
1991 6,3 1,74 4,66 8,48 5,63 -9,55 5,83 0,13
1992 6,31 0,1 4,49 -3,65 4,94 -12,28 5,71 -2,11
1993 6,01 -4,76 3,77 -16,11 6,18 25,23 5,47 -4,11
1994 6,05 0,73 4,73 25,55 6,09 -1,44 5,72 4,57
1995 5,13 -15,17 3,51 -25,73 5,44 -10,69 4,72 -17,47
1996 4,97 -3,09 3,99 13,67 4,2 -22,83 4,69 -0,71
1997 5,48 10,25 4,29 7,48 7,54 79,59 5,67 20,81
1998 3,89 -29,02 3,68 -14,39 4,28 -43,2 3,95 -30,34
1999 4,18 7,43 3,47 -5,64 5,64 31,71 4,37 10,61
2000 4,62 10,4 3,65 5,32 6,32 12,04 4,96 13,64
2001 4,55 -1,47 3,55 -2,93 7,72 22,13 5,01 0,98
2002 4,92 8,22 3,72 4,97 6,61 -14,39 5 -0,09
2003 4,88 -0,9 4,25 14,07 5,52 -16,38 4,86 -2,88
2004 5,58 14,44 4,91 15,61 7,76 40,54 5,95 22,41
2005 5,64 1,11 5,27 7,31 6,95 -10,54 5,87 -1,32
2006 4,81 -14,79 4,4 -16,45 6,7 -3,5 5,18 -11,86
2007 5,12 6,41 4,81 9,19 7,72 15,2 5,7 10,19
2008 5,36 4,71 4,83 0,43 8,24 6,71 6 5,28
2009 5,12 -4,5 4,81 -0,43 7,72 -6,29 5,7 -5,02
2010 4,69 -8,27 4,63 -3,75 6,17 -20,03 5,04 -11,57
2011 4,81 2,4 4,21 -9,08 5,46 -11,59 4,87 -3,45
2012 5,82 21,05 4,33 2,93 6,7 22,78 5,77 18,51
2013 5,47 -6 4,37 0,96 6,32 -5,71 5,47 -5,26
2014*) 5,56 1,65 4,54 3,89 6,42 1,58 5,56 1,72
2015**) 5,63 1,26 4,49 -1,1 6,48 0,93 5,63 1,25
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat PBS=Perkebunan Besar Swasta
PBN=Perkebunan Besar Negara * Angka Sementara
131
Lampiran 4. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 1967-2013
Tahun Produksi (Ton) Kontribusi (%)
PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS
1967 249.700 578.800 5.400 833.900 29,94 69,41 0,65
1968 202.800 525.600 23.700 752.100 26,96 69,88 3,15
1969 205.500 630.000 72.100 907.600 22,64 69,41 7,94
1970 195.846 602.700 73.900 872.446 22,45 69,08 8,47
1971 218.700 707.586 122.239 1.048.525 20,86 67,48 11,66
1972 213.933 756.195 130.449 1.100.577 19,44 68,71 11,85
1973 203.659 693.089 18.121 914.869 22,26 75,76 1,98
1974 249.647 857.866 127.213 1.234.726 20,22 69,48 10,3
1975 221.226 877.703 142.727 1.241.656 17,82 70,69 11,49
1976 266.728 899.715 151.931 1.318.374 20,23 68,24 11,52
1977 353.385 923.829 83.159 1.360.373 25,98 67,91 6,11
1978 484.914 940.972 71.082 1.496.968 32,39 62,86 4,75
1979 735.894 369.926 80.570 1.186.390 62,03 31,18 6,79
1980 893.120 273.355 93.475 1.259.950 70,89 21,7 7,42
1981 913.677 200.436 116.007 1.230.120 74,28 16,29 9,43
1982 1.373.009 182.041 71.752 1.626.802 84,4 11,19 4,41
1983 1.240.500 290.597 88.441 1.619.538 76,6 17,94 5,46
1984 1.397.350 329.713 83.310 1.810.373 77,19 18,21 4,6
1985 1.450.184 343.035 105.590 1.898.809 76,37 18,07 5,56
1986 1.567.552 346.130 100.892 2.014.574 77,81 17,18 5,01
1987 1.743.677 322.758 109.439 2.175.874 80,14 14,83 5,03
1988 1.575.083 339.541 89.427 2.004.051 78,59 16,94 4,46
1989 1.621.468 305.847 181.033 2.108.348 76,91 14,51 8,59
1990 1.609.041 306.263 204.281 2.119.585 75,91 14,45 9,64
1991 1.612.240 450.561 189.866 2.252.667 71,57 20 8,43
1992 1.652.685 475.804 177.995 2.306.484 71,65 20,63 7,72
1993 1.684.614 393.720 251.477 2.329.811 72,31 16,9 10,79
1994 1.673.246 509.047 271.588 2.453.881 68,19 20,74 11,07
1995 1.350.476 422.300 286.800 2.059.576 65,57 20,5 13,93
1996 1.512.131 316.660 265.404 2.094.195 72,21 15,12 12,67
1997 1.196.409 65.313 630.264 2.191.986 54,58 16,67 28,75
1998 759.094 305.332 423.843 1.488.269 51,01 20,52 28,48
1999 738.893 284.782 470.258 1.493.933 49,46 19,06 31,48
2000 790.573 234.288 665.143 1.690.004 46,78 13,86 39,36
2001 813.538 310.949 600.980 1.725.467 47,15 18,02 34,83
2002 967.160 297.685 490.509 1.755.354 55,1 16,96 27,94
2003 839.028 370.476 422.414 1.631.918 51,41 22,7 25,88
2004 1.028.681 383.892 639.071 2.051.644 50,14 18,71 31,15
2005 1.193.653 423.421 624.668 2.241.742 53,25 18,89 27,87
2006 1.028.681 383.892 639.071 2.051.644 50,14 18,71 31,15
2007 1.326.937 356.504 833.933 2.517.374 52,71 14,16 33,13
132
Tahun Produksi (Ton) Kontribusi (%)
PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS
2008 1.382.747 368.009 943.471 2.694.227 51,32 13,66 35,02
2009 1.326.937 356.504 833.933 2.517.374 52,71 14,16 33,13
2010 1.295.319 315.174 679.623 2.290.116 56,56 13,76 29,68
2011 1.366.294 295.635 605.958 2.267.887 60,25 13,04 26,72
2012 1.543.411 336.288 711.988 2.591.687 59,55 12,98 27,47
2013* 1.525.197 331.073 694.722 2.550.992 59,79 12,98 27,23
1980-2013* 63,9 16,88 19,22
1980-1997 73,62 17,33 9,05
1998-2013* 52,96 16,39 30,66 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat
PBN=Perkebunan Besar Negara PBS=Perkebunan Besar Swasta * Angka Sementara
133
Lampiran 5. Perkembanga Impor Gula Indonesia Tahun 1980-2013
Tahun Volume Pertumb. Nilai Pertumb.
(Ton) % (000 US$) %
1980 400.920 35,87 163.216 25,42
1981 720.950 79,82 705.586 332,3
1982 687.151 -4,69 420.672 -40,38
1983 168.045 -75,54 133.255 -68,32
1984 2.848 -98,31 2.306 -98,27
1985 4.354 52,88 3.312 43,63
1986 79.879 1.734,61 16.387 394,78
1987 129.756 62,44 25.657 56,57
1988 130.260 0,39 35.059 36,64
1989 325.479 149,87 112.120 219,8
1990 280.978 -13,67 123.350 10,02
1991 73.986 -73,67 26.677 -78,37
1992 294.226 297,68 98.935 270,86
1993 167.988 -42,91 52.114 -47,33
1994 15.207 -90,95 5.868 -88,74
1995 544.300 3.479,27 237.055 3.939,79
1996 1.099.306 101,97 463.578 95,56
1997 578.025 -47,42 231.702 -50,02
1998 844.852 46,16 310.995 34,22
1999 1.398.950 65,59 346.452 11,4
2000 1.538.519 9,98 278.605 -19,58
2001 1.284.469 -16,51 237.463 -14,77
2002 970.926 -24,41 198.638 -16,35
2003 997.204 2,71 215.777 8,63
2004 1.119.790 12,29 262.813 21,8
2005 1.980.487 76,86 585.263 122,69
2006 1.405.942 -29,01 537.130 -8,22
2007 2.972.788 111,44 1.040.194 93,66
2008 983.944 -66,9 352.385 -66,12
2009 1.373.546 39,6 567.034 60,91
2010 1.382.525 0,65 803.113 41,63
2011 2.371.249 71,52 1.638.728 104,05
2012 2.769.239 16,78 1.634.804 -0,24
2013 3.344.304 20,77 1.730.657 5,86
1980-2013 173,09 156,87
1980-1997 308,2 275,22
1998-2013 21,09 23,72 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015
Kode HS : 1701130000, 1701140000, 1701910000, 1701991900, 1701991100, 1701999000
134
Lampiran 6. Perkembangan Harga Bulanan Lelang Gula Kristal Putih Tahun 2004-2013
Tahun Bulan (Rp./Kg)
Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agus Sept Okto Nov Des Rata-rata
HPP
2004 3.410 3.478 3.449 3.312 3.700 3.562 3.556 3.577 3.558 3.680 3.825 4.200 3.609 3.410
2005 4.200 4.200 4.415 4.415 4.381 4.558 4.960 4.906 4.965 4.965 4.803 4.800 4.631 3.800
2006 5.250 5.315 5.525 5.500 5.510 5.508 5.381 5.252 5.135 5.246 5.350 5.587 5.380 4.000
2007 5.652 5.670 5.633 5.633 5.635 5.329 5.241 5.332 5.209 5.177 5.062 5.012 5.382 4.900
2008 5.507 5.475 5.439 5.369 5.243 5.175 5.165 5.093 5.110 5.153 5.200 5.215 5.262 5.100
2009 5.371 5.797 6.318 6.323 6.361 6.985 7.251 8.293 7.959 8.140 8.080 7.792 7.056 5.350
2010 7.290 7.740 7.830 7.900 7.926 8.156 8.650 8.972 9.270 9.310 9.360 9.330 8.478 6.350
2011 8.098 8.010 8.015 8.132 8.029 8.114 8.300 8.243 8.308 8.390 8.321 8.335 8.191 7.000
2012 8.150 8.625 8.831 9.803 10.590 10.595 10.553 10.514 9.335 10.043 9.957 9.488 9.707 8.100
2013 10.100*) 10.205*) 9.950*) 10.025*) 10.166 10.061 9.789 9.398 9.311 9.101 8.971 8.671 9.646 8.100 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2015 Keterangan: Angka yang disajikan merupakan rata-rata harga lelang petani yang dilaksanakan KPTR di wilayah PG *) : Lelang gula milik PTPN II
135
Lampiran 7. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tebu Dunia, 1980-2013
Tahun Luas Panen Pertumb. Produktivitas Pertumb. Produksi Pertumb.
(Ha) (%) (Ton/Ha) (%) (Ton) (%)
1980 13.284.827 - 55,29 - 734.489.200 -
1981 13.686.584 3,02 58,42 5,67 799.604.214 8,87
1982 15.055.213 10 60,25 3,13 907.067.880 13,44
1983 15.380.802 2,16 58,75 -2,48 903.684.353 -0,37
1984 15.635.479 1,66 59,47 1,21 929.768.246 2,89
1985 15.947.852 2 58,52 -1,6 933.213.589 0,37
1986 15.826.297 -0,76 59,06 0,93 934.719.186 0,16
1987 16.310.476 3,06 60,72 2,8 990.319.251 5,95
1988 16.390.040 0,49 60,58 -0,22 992.982.513 0,27
1989 16.535.904 0,89 61,56 1,61 1.017.998.783 2,52
1990 17.079.401 3,29 61,65 0,15 1.052.997.497 3,44
1991 17.783.308 4,12 61,26 -0,64 1.089.330.376 3,45
1992 18.151.894 2,07 61,5 0,4 1.116.324.081 2,48
1993 17.292.800 -4,73 59,58 -3,11 1.030.379.898 -7,7
1994 17.591.927 1,73 61,94 3,95 1.089.642.360 5,75
1995 18.577.716 5,6 63,1 1,87 1.172.261.485 7,58
1996 19.417.650 4,52 62,98 -0,2 1.222.851.749 4,32
1997 19.294.827 -0,63 64,86 3 1.251.521.695 2,34
1998 19.323.787 0,15 66,03 1,8 1.275.913.967 1,95
1999 19.205.679 -0,61 66,76 1,11 1.282.195.396 0,49
2000 19.396.901 1 64,75 -3,02 1.255.887.842 -2,05
2001 19.589.128 0,99 64,52 -0,35 1.263.914.652 0,64
2002 20.278.538 3,52 65,77 1,93 1.333.653.750 5,52
2003 20.516.849 1,18 67,2 2,18 1.378.744.953 3,38
2004 20.154.403 -1,77 66,59 -0,91 1.342.109.270 -2,66
2005 19.714.878 -2,18 66,75 0,23 1.315.890.174 -1,95
2006 20.611.535 4,55 68,89 3,21 1.419.939.653 7,91
2007 22.692.790 10,1 71,16 3,29 1.614.773.790 13,72
2008 24.101.771 6,21 71,72 0,79 1.728.509.983 7,04
2009 23.716.523 -1,6 71,14 -0,81 1.687.067.269 -2,4
2010 23.718.613 0,01 71,39 0,35 1.693.588.841 0,39
2011 25.578.991 7,84 70,45 -1,33 1.800.799.306 6,33
2012 26.123.752 2,13 70,48 0,05 1.838.535.433 2,1
2013 26.959.328 3,2 70,94 0,64 1.911.179.775 3,95
1980-2013 2,22 0,78 3,03
1980-1997 2,26 0,97 3,28
1998-2013 2,17 0,57 2,77 Sumber: FAO, 2016 Keterangan: Wujud Produksi Tebu
136
Lampiran 8. Perkembangan Luas Panen Tebu di Negara Sentra Produksi Tahun 2009-2013
No Negara Luas Panen (Ha) Rata-rata Share
2009 2010 2011 2012 2013 (2009-2013) (%)
1 Brasil 8.617.555 9.076.706 9.601.316 9.705.388 10.195.166 9.439.226 37,43
2 India 4.415.400 4.174.600 4.944.390 5.090.000 5.060.000 4.736.878 18,78
3 China 1.697.470 1.686.000 1.721.200 1.794.520 1.816.490 1.743.136 6,91
4 Thailand 932.465 977.956 1.259.240 1.282.080 1.321.600 1.154.668 4,58
5 Pakistan 1.029.400 942.800 987.700 1.046.000 1.128.800 1.026.940 4,07
6 Meksiko 710.585 703.943 713.824 735.127 782.801 729.256 2,89
7 Indonesia 442.953 432.715 450.833 449.149 466.642 448.458 1,78
8 Kuba 434.700 431.400 506.100 361.300 402.800 427.260 1,69
9 Filipina 404.000 354.878 439.698 433.301 435.405 413.456 1,64
10 Kolombia 379.505 348.531 381.961 408.816 405.737 384.910 1,53
11 Amerika Serikat 353.659 355.112 353.130 365.189 368.588 359.136 1,42
12 Argentina 345.000 350.000 350.000 360.000 370.000 355.000 1,41
13 Australia 391.291 405.000 308.104 338.626 329.303 354.465 1,41
14 Afrika Selatan 311.000 267.000 272.000 320.000 325.000 299.000 1,19
15 Vietnam 265.600 269.100 282.254 297.500 310.264 284.944 1,13
16 Lainnya 2.985.940 2.942.872 3.007.241 3.136.756 3.240.732 3.062.708 12,14
Total 23.716.523 23.718.613 25.578.991 26.123.752 26.959.328 25.219.441 100 Sumber: FAO, 2016
137
Lampiran 9. Perkembangan Produktivitas Tebu 10 Negara Tertinggi Dunia Tahun 2009-2013
No Negara Produktivitas (Ton/Ha)
Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013
1 Peru 131,88 128,01 123,46 127,81 133,72 128,98
2 Ethiopia 129,57 102,82 113,02 120,59 119,57 117,11
3 Mesir 116,39 116,76 115,32 113,57 113,62 115,13
4 Senegal 116,11 114,86 114,29 112,50 114,10 114,37
5 Malawi 108,33 108,70 108,70 103,70 107,41 107,37
6 Zambia 104,92 106,06 106,06 100,00 102,56 103,92
7 Sudan 107,40 100,12 100,12 100,12 97,39 101,03
8 Burkina Faso 100,00 100,00 100,00 101,04 102,13 100,63
9 Chad 100,00 97,44 97,50 97,44 97,50 97,98
10 Swaziland 96,15 96,15 96,15 96,43 97,32 96,44
Dunia 111,08 107,09 107,46 107,32 108,53 108,30 Sumber: FAO, 2016