Transcript
Page 1: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

Orde Baru dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Studi Kasus Peristiwa Tanjung Priok

OPINI | 04 July 2012 | 16:57 Dibaca: 1518    Komentar: 1    1 bermanfaat

Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli memandang

kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Cara

apapun tidak menjadi persoalan, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari

pandangan Machiavelli ini tersirat diterimanya cara-cara kekerasan dan represi

(coercion, violence) yang tidak etis dalam mempertahankan kekuasaan. John Locke di

Inggris, Montesqiueu di Prancis, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat juga

beranggapan bahwa penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-

menerus. Karenanya, kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan

kepentingan rakyat banyak.

Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut atau totaliter, termasuk dalam pandangan Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara republik. Ada banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan etika mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral (ulama, cendekiawan). Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan lagi “Aku [baca: raja] adalah hukum”. Dari sisi struktur dan sistem, pemikir-pemikir politik lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of power) antara lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power), seperti pada ajaran trias politica.

Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut, terpusat pada segelintir elite

(oligarkhi) yang berlaku zalim, dan tidak mengenal partisipasi publik dalam kehidupan

politik, baik yang konvensional (seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik,

membentuk dan bergabung dalam suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-

konvensional (seperti unjuk rasa). Padahal partisipasi ini mengingatkan pada

pentingnya jaminan akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (civil rights), seperti

kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak asasi

warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki demokrasi, sedang kaki yang

Page 2: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

satunya lagi adalah parlementarisme, yang terkait dengan keharusan adanya parlemen,

partai politik, dan pemilihan umum.

Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan, terutama menyangkut dua hal: keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut kemampuan atau pengetahuan seorang pengambil kebijakan. Pada tingkat ini biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan publik, tetapi untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat besarnya kekuatan godaan dan tarikan kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat terkenal: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”

Sayangnya, menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan pengawasan masyarakat dan parlemen atas kinerja pemerintah, serta penggunaan hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas kekuasaan. Karena itu, moralitas dan akhlak agama mempunyai peran signifikan, sebagaimana dilihat para filosof da ahli hikmah di atas.

Orde Baru yang Otoriter

Orde Baru mungkin bukan termasuk rezim totaliter yang absolut, tapi sebuah rezim

otoriter karena masih membiarkan adanya partisipasi politik pada tingkat paling rendah

(Fatah, 1994a), yang umum disebut dengan pseudo participation. Pemilu-pemilu di

masa Orde Baru bersifat semu; demokrasi yang diterapkan hanya procedural saja dan

mengabaikan aspek substantif berupa jaminan civil rights. Yang tengah berlangsung

adalah pemusatan kekuasaan secara akumulatif pada diri Presiden Soeharto.

Ada dua cara menjelaskan fenomena tersebut (Fatah, 1994b). Pertama, dari sisi kultur

politik, terjadi paralelisme historis antara raja Jawa dan Presiden Orde Baru. Artinya,

rezim Orde Baru mengembangkan kultur Jawa dalam menjalankan kekuasaan, yang

memandang kekuasaan secara monopolistik, tidak mengenal pembagian, dan anti-kritik

atau anti-oposisi yang dianggap sebagai budaya Barat. Kedua, struktur politik yang

dibangun, yang menempatkan Presiden Soeharto dalam tiga posisi sentral, yaitu: (i)

Page 3: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

sebagai Ketua Dewan Pembina Golongan Karya (Golkar), (ii) Panglima Tertinggi ABRI

yang berdwifungsi, dan (iii) sebagai kepala eksekutif sekaligus.

Pola distribusi kekuasaan seperti itu memperlihatkan Presiden memusatkan kekuasaan,

baik pada level infrastruktur maupun suprastruktur politik. Secara suprastruktur, sebagai

Ketua Dewan Pembina Golkar, yang berperan sebagai mesin politik pengumpul suara

(legitimasi), Presiden menguasai secara langsung hegemoni Golkar atas partai politik.

Hal ini juga berpengaruh pada fungsi kontrol legislatif di DPR. Akibatnya, kekuasaannya

sebagai kepala eksekutif tidak mendapat kontrol dari legislatif.

Presiden juga mengapresiasi kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi ABRI secara politik. Seorang mantan perwira tinggi yang menjadi anggota DPR pernah berkata, bahwa untuk menjadi petinggi ABRI seorang perwira harus “kuliah di Uncen” dulu. Yang dimaksudnya adalah “Universitas Cendana”, dimana Soeharto menjadi rektornya. Di samping itu, penerapan Dwifungsi ABRI pada jabatan-jabatan penting politik, birokrasi dan BUMN akhirnya berfungsi ganda: di satu sisi memotong basis-basis kekuatan politik masyarakat sampai di tingkat terendah, sekaligus memindahkan basis-basis kekuatan tersebut ke tangan militer. Simpulan demikian, masih menurut Fatah (1994a), mengafirmasi banyak studi sebelumnya, seperti studi Karl D. Jackson (1978), Lance Castles (1982), John A. MacDougall (1982), dan Richard Tanter (1991).

Analisis lain atas pemusatan kekuasaan dalam negara Orde Baru dapat dijelaskan

dengan konsep negara integralistik (Budiman, 1996; Simanjuntak, 1997). Konsepsi ini

antara lain mempersepsikan Indonesia sebagai sebuah keluarga besar, yang dipimpin

seorang “bapak” yang bijaksana, mengerti dan bekerja keras untuk memenuhi

kebutuhan hajat hidup “anak-anak”-nya yang bernama rakyat. Tugas pemimpin adalah

menafsirkan kehendak rakyatnya, sementara tugas rakyat adalah mengikuti pemimpin.

Fenomena lain dari format politik Orde Baru adalah marginalisasi politik dan

panglimaisasi pembangunan/ekonomi. Setelah kehancuran ekstrim kiri (PKI), Islam

Politik adalah korban langsung dari strategi ini. Dimulai dengan peminggiran terhadap

tokoh-tokoh Masyumi di masa awal Orde Baru, dilanjutkan dengan penyederhanaan—

melalui fusi—partai-partai politik sealiran (1973), pemojokan Islam Ekstrim Kanan

melalui aksi-aksi intelijen (seperti isu Komando Jihad dan Jamaah Imran), hingga

akhirnya pewajiban asas tunggal pada partai politik dan organisasi sosial-

kemasyarakatan (1985). Dalam proses politik demikianlah, yaitu pada saat hampir

Page 4: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

semua kekuatan sosial politik ditundukkan rezim Orde Baru, kecuali beberapa

cendekiawan dan “mantan” politisi serta perwira ABRI yang tergabung dalam Petisi 50

yang tetap bersuara kritis, sebuah peristiwa pembunuhan terhadap massa yang

melakukan protes/unjuk rasa terjadi di Tanjung Priok pada malam hari tanggal 12

September 1984.

Peristiwa Tanjung Priok

Negara, melalui organnya yang disebut pemerintah (eksekutif), merupakan penerima

otoritas yang sah untuk menggunakan kekerasan menurut hukum. Pada masa Orde

Baru yang otoritarian, dimana berlangsung terus penyalahgunaan kekuasaan untuk

pelanggengan kekuasaan, maka penggunaan kekerasan secara salah (illegal) juga

terjadi, bahkan tidak hanya berlangsung sekali.

Salah satu peristiwa penggunaan kekerasan terhadap rakyat yang fenomenal adalah

Peristiwa Tanjung Priok. Fenomenal, karena peristiwa ini berlangsung (tidak hanya

terjadi) di depan mata Istana Negara, yang merupakan pusat atau sumber “legalitas”

tindak kekerasan tersebut. Dari sisi historis perkembangan sistem politik Orde Baru,

peristiwa ini dianggap memberi jalan mulus bagi akhir proses pembentukan format

politik rezim Orde Baru yang otoriter dan hegemonik dengan disahkan lima paket

undang-undang politik pada tahun 1985, yaitu UU No. 1 tentang Pemihan Umum, UU

No. 2 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU No. 3 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya, UU No. 5 tentang Referendum, dan UU No. 8 tentang

Organisasi Kemasyarakatan.

Saya (dan H.R. Dharsono) bukanlah korban langsung Peristiwa Tanjung Priok, karena

kami memang tidak ikut dalam prolog (pendahuluan) peristiwa itu, baik dalam

pengajian-pengajian keagamaan yang keras mengecam penguasa dan kebijakan Orde

Baru maupun dalam unjuk rasa malam 12 September tersebut. Tetapi kami adalah

“mantan” aktivis politik pro-demokrasi dan korektor Orde Baru yang dikorbankan oleh

rezim Orde Baru, yaitu untuk memberi peringatan keras kepada

paradissident (pembangkang) untuk tutup mulut mengkritisi pemusataan kekuasaan

dan pincangnya pembangunan.

Bagi saya, penangkapan dan pemenjaraan terhadap saya (dan H.R. Dharsono)

merupakan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat yang berbeda mengenai

Page 5: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

Peristiwa Tanjung Priok. Pandangan saya (dan H.R. Dharsono) tertuang dalam sebuah

dokumen yang terkenal sebagai Lembaran Putih Petisi 50 tertanggal 17 September

1984. Lembaran Putih mencoba mengemukakan fakta-fakta dan simpulan sementara

yang berbeda dari penjelasan resmi pemerintah yang disampaikan Panglima

ABRI/Pangkopkamtib Jenderal (TNI) L.B. Moerdani. Karena itu, Lembaran Putih

menganjurkan agar pemerintah sebaiknya membentuk “suatu komisi yang bebas

(independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian

September 1984 di Tanjung Priok. Laporan Komisi itu harus diumumkan kepada

khalayak ramai, supaya kita semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya” (Fatwa,

2000).

Dengan memenjarakan kami, menolak pembentukan fact finding commission, dan

hanya membolehkan satu penjelasan resmi atas Peristiwa Tanjung Priok, negara (baca:

pemerintah) Orde Baru yang otoriter rupanya menginginkan kepatuhan total rakyatnya,

termasuk menguasai kesadaran mereka akan kebenaran dan menciptakan suatu

kesadaran semu (false consciousness). Pangkopkamtib L.B. Moerdani, dengan

ditemani Abdurrahman Wahid, berkeliling ke pesantren-pesantren besar di Jawa untuk

menjelaskan tindakan pemerintah dalam Peristiwa Tanjung Priok.

Dalam bahasa Antonio Gramsci (1991), tindakan penguasa Orde Baru itu adalah

hegemoni atas ide-ide atau hegemoni wacana dalam “masyarakat politik” yang

menafikan wacana lainnya yang dilontarkan masyarakat madani. Hak asasi publik atas

informasi (yang benar), termasuk dimana para korban yang meninggal dikuburkan, dan

hak untuk berbicara politik pun terabaikan. Negara demikian, menurut Taufik Abdullah

(2000), adalah “negara serakah”, the greedy state, yaitu negara yang tidak puas hanya

dengan sentralisasi kekuasaan dan kepatuhan warganya, tetapi ingin mendapatkan

kekuasaan yang lebih besar, ingin menguasai seluruh sistem kesadaran dan ingatan

kolektif bangsa.

Jadi, terkait dengan Peristiwa Tanjung Priok, rezim Orde Baru bukan saja

menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan unjuk rasa massa, tetapi juga

menggunakan cara-cara lainnya untuk memaksakan kepentingannya: hukum untuk

membungkam suara-suara kritis, dan hegemoni wacana dengan menciptakan

kesadaran semu akan fakta sesungguhnya pelanggaran HAM yang berat.

Page 6: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

Tak Ada Pelanggaran HAM dalam Peristiwa

Tanjung Priok?

Reformasi membuka “kotak Pandora”. Kesadaran semu masyarakat terbongkar.

Menggema di seluruh Indonesia kesadaran baru, perlunya sejarah ditulis ulang karena

kita mengalami krisis kepercayaan pada sejarah yang diajarkan penguasa selama ini.

Masyarakat, korban dan keluarga korban kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan

rezim Orde Baru menuntut agar kepalsuan dibongkar, kebenaran sejarah disampaikan,

dan keadilan ditegakkan, termasuk dengan memberikan reparasi kepada korban dan

keluarganya, baik berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi, penetapan kebenaran, dan

jaminan akan tidak terulangnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human

rights) itu di masa depan.

Komnas HAM, yang sempat digelari sebaqgai “si malin kundang” dari rezim Orde Baru,

telah menyelidiki Peristiwa Tanjung Priok dan menyimpulkannya sebagai peristiwa

pelanggaran HAM yang berat. DPR juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran

HAM yang berat dan merekomendasikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk

membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM, yaitu untuk memeriksa kasus-kasu pelanggaran HAM yang berat

dalam Peristiwa Tanjung Priok (dan Timor Timur pasca-Jajak Pendapat 1999). Presiden

Wahid dan lalu Presiden Megawati Soekarnoputri pun telah membentuk Pengadilan

HAM Ad Hoc dimaksud di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sayangnya, sebagaimana juga putusan-putusan atas Pengadilan HAM Ad Hoc Timor

Timur yang mengecewakan dilihat dari standar hukum HAM internasional, putusan-

putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok pun demikian adanya. Bahkan putusan

akhir Mahkamah Agung (MA) atas Peristiwa Tanjung Priok sungguh sangat miris: tak

ada pelanggaran HAM dalam peristiwa ini! Menolak putusan MA itu saya telah

mengeluarkan press release (terlampir).

Tinggallah kini para pencari keadilan menunggu di pintu Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR). Semoga kebenaran sejarah bisa diungkap dan keadilan bisa

ditegakkan. Sehingga era reformasi tidak lagi mewarisi produk-produk penyalahgunaan

kekuasaan oleh rezim Orde Baru. Dalam masa transisi politik seperti sekarang ini,

rasanya perlu untuk ingat nasih bijak Lawrence Whitehead dalam artikel berjudul

Page 7: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

“Consolidation of Fragile Democracy” (dalam Tanuredjo, 2003). Katanya, “Kalau

kejahatan besar tak diselidiki dan pelaku-pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada

pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman

norma-norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya, dan karena itu tidak terjadi

konsolidasi demokrasi.”

.

Daftar Pustaka:

Abdullah, Taufik, 2000. “Sejarah, Nostalgia, dan Kegetiran Kini”. Orasi Kebudayaan pada Peringatan Ulang Tahun I The Habibie Center, Jakarta, 22 November.

Budiman, Arief, 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fatah, Eep Saefullah, 1994a. “Unjuk Rasa, Gerakan Massa dan Demokratisasi: Potret Pergeseran Politik Orde Baru”, Prisma, No. 4, April.

Fatah, Eep Saefullah, 1994b. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Fatwa, A.M., 2000. Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fatwa, A.M., 2002. Satu Islam Multi Partai, Membangun Integritas di Tengah Pluralitas. Bandung: Mizan. Cetakan ke-2.

Fatwa, A.M., 2005. Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional. Jakarta: Dharmapena Publishing.

Simanjuntak, Marsilam, 1997. Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tanuredjo, Budiman, 2003. “Rekonsiliasi Menuju Indonesia Baru 2004”. Kompas, 16 Desember.

Tim MAULA, ed., 1999. Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal. Bandung: Pustaka Hidayah.

(Ceramah dalam kegiatan Pembekalan Mahasiswa PTIK Angkatan 43 di Auditorium PTIK, Jakarta pada tanggal 6 April 2006)

Kedudukan Presiden sebagai Panglima Tertinggi atas ABRI seharusnya ditafsirkan dalam kaitan fungsi Presiden menurut Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UUD 1945, yaitu untuk menyatakan perang dan untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya.

Hubungan antara Islam dan rezim Orde Baru dapat dijelaskan dalam beberapa fase: (i) fase marjinalisasi atau hegemonic (1968-1985), (ii) fase understanding atau resiprokal (1986-1989), (iii) fase akomodasionis (1990-1998). (Lihat: Fatwa, 2002: 37-38, 45-46).

Page 8: Orde baru dan penyalahgunaan kekuasaan

Pada tanggal 26 Juli 1984 Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayjen Edi Nalapraya—yang pernah menjadi Asisten Intel Laksusda Jaya yang sering menangkap dan menahan saya—mengabarkan bahwa karena setelah sekian lama saya ditekan dan diteror dengan berbagai cara tapi tidak bisa berubah, maka terpaksa saya akan diselesaikan secara hukum.

Rupanya, sehari sesudah Peristiwa Tanjung Priok, Radio Australia menyiarkan bahwa saya ditahan oleh Kopkamtib. Dua hari sesudahnya, saat saya bertemu dengan Mayjen Pol. Soehadi di rumah Jenderal Pol. Soetjipto Joedodihardjo, mereka heran melihat saya belum ditahan karena menurut informasi intelijen mestinya beberapa hari lalu saya sudah ditahan. Beliau menasehati saya untuk sabar dan tetap konsisten berjuang karena, katanya, saya pasti akan ditahan.

Pada tanggal 19 September 1984 saya pun ditahan. Atas tuduhan subversif, saya dihukum 18 tahun penjara, yang saya jalani selama 9 tahun lebih (saya diberi status bebas bersyarat pada tahun 1993).


Top Related