OMPU I :
Kajian Ulang Atas Pemakaian Gelar Ephorus HKBP
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister
Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma
Oleh :
ANDREO FERNANDEZ
NIM : 146322012
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ILMU RELIGI DAN BUDAYA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Di dalam Protestantisme, perjuangan gerakan reformasi yang paling
terlihat adalah egaliterianisme yang dikembangkan Martin Luther. Hal ini
diperlihatkan dengan adanya kesetaraan dalam relasi kuasa, baik dalam hubungan
antara sesama kaum imam maupun juga dalam hubungan kaum imam dengan
jemaat awam. Namun di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) adanya pemakaian
gelar Ompu i kepada pemimpin tertinggi HKBP, Ephorus, mengindikasikan yang
berbeda. Fenomenanya adalah bentuk pengkultusan dalam memandang seorang
Ephorus yang menyebabkan kepada ketimpangan relasi kuasa antara pemimpin
dan pengikut.
Di dalam suatu organisasi, hal ini akan berdampak kepada suatu organisasi
yang tidak sehat, yang dapat memanipulasi wewenang kedudukan pimpinan atau
mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Adanya fenomena ini
mengindikasikan bahwa gelar Ompu i bukanlah sebatas gelar atau panggilan bagi
pemimpin HKBP, melainkan menjadi suatu wacana kepemimpinan yang memiliki
dampak bagi hubungan pemimpin dan pengikut.
Dalam studi ini ini maka saya akan menganalisa wacana kepemimpinan
Ompu i yang digunakan oleh Ephorus HKBP untuk melihat pengetahuan dari
wacana ini, sehingga menimbulkan ketimpangan relasi kuasa. Dengan
menggunakan analisa wacana Michel Foucault maka kajian ini akan menggali
kepada suatu diskontinuitas historis sebagai bentuk reproduksi kekuasaan, di mana
permulaan wacana ini berawal dari misi badan zending RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) yang melakukan pekabaran Injil di Tanah Batak yang
kemudian mereproduksi kekuasaan Raja Singamangaraja XII. Sehingga sebagai
suatu keakuratan data maka saya menggunakan arsip, Surat Kuliling Immanuel,
untuk melihat konstruk yang dilakukan RMG dalam menciptakan kekuasaan
sebagai representasi dari suatu karya di zaman tersebut.
Beberapa hal yang terkait dalam menganalisa wacana tersebut dengan
melihat pembentukan wacana berdasarkan aturan-aturan dan praktik-praktiknya
melalui pembentukan objek-objek terkait, konsep-konsepnya, unsur modalitas,
serta strateginya.
Kata Kunci : Wacana, Reproduksi, Pengetahuan, Relasi Kuasa, Kekuasaan,
Kepemimpinan, Komunitas, Kekristenan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
In Protestantism, the most visible reform movement from Marthin Luther is
egalitarianism. That was demonstrated in the equality of power relations, either in
the relationship among the priests or in the relation of the priest to the church’s
member. But HKBP (Huria Kristen Batak Protestant) showing a different power
relation because there is Ompu i’s title which is giving to Ehporus as the Top
Leader of HKBP. The phenomenon is a form of cultism to the figure of Ephorus
which produce the imbalance of power relations between leaders and followers.
In organization system, it will impact to an organization which is not
healthy, that can be manipulate or become abuse of power used by the authority of
leadership. This phenomenon indicates that the title of Ompu i is not only a title but
becomes a discourse of leadership that has implications for the relationship of
leaders and followers.
In this study, I will analyze the discourse of leadership Ompu i Ephorus
HKBP to see the knowledge of this discourse, that brought to the causing imbalance
of power relations. By using a discourse analysis, Michel Foucault, this study will
explore the discontinuity historically as a reproduction of power, where the
beginning of this discourse started from the missions of RMG (Rhenish Missionary
Society) who do evangelism in Batak land and then reproduce the power of King
Singamangaraja XII. So for the accuracy of data, I’m using archives, Surat Kuliling
Immanuel, to see the construction which is made by RMG had created authority
(power) as a representation of a work in that era.
Some things which are involved in analysed in this discourse: by looking at
the formation of discourse based on the rules and practices through the
establishment of related objects, concepts, elements of modalities and strategies.
Keywords : Discourse, Reproduction, Knowledge, Power Relation, Power,
Leadership, Community, Christianity.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Kata Pengantar
Suatu kesempatan berharga yang penulis rasakan ketika dalam suatu
kesempatan waktu, yakni penulisan tesis, saya memilih untuk mengkaji ulang
wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus dalam masyarakat Batak yang notabene
sangat dekat dan ramah dengan saya. Awalnya, wacana ini hanyalah kegelisahan
saya yang melihat dan merasakan secara langsung besarnya pengaruh yang
ditimbulkan oleh Ompu i Ephorus HKBP tanpa berusaha ingin mengkaji dan
menyelidiki lebih dalam. Mungkin bagi saya awalnya dan beberapa kalangan
Pendeta wacana ini cukup hanyalah berada di dalam “brangkas” tanpa perlu dibuka.
Atau bahkan bagi yang merasa tidak tergugah, maka wacana ini tersusun rapi yang
hanya sekedar penggunaan adat dan budaya masyarakat Batak. Namun demikian
seiring perubahan waktu, tidak ada suatu kebanggaan dari saya, selain ketergugahan
dalam membaca Michel Foucault untuk mengkaji wacana ini; melihat data-data
kolonial dengan mengkajinya dari bawah; melihat objek-objek, konsep-konsep,
strategi dan modalitas terkait dalam pembentukan wacana.
Saya percaya bahwa selesainya kajian ini kiranya dapat berguna dan
membantu bagi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) secara khusus dan gereja-
gereja pada umumnya untuk menoleh kebelakang, melihat yang lampau dan
merajut yang menjelang. Paling tidak dari karya ilmiah ini ingin ditunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
sebenarnya, pertama, di lingkup gereja sendiri masih ada yang wacana-wacana
yang justru menimbulkan ketimpangan dalam relasi kuasa, sehingga disadari atau
tidak, wacana tersebut telah membawa sikap superior dan inferior. Kedua, sebagai
sumbangan ataupun saran agar gereja mau memikirkan ulang misiologinya yang
tidak menimbulkan sikap arogansi atau superioritas dalam diri gereja. Kedua saran
ini sebagai suatu kritik yang membangun agar gereja selalu membaharui dirinya,
seperti yang Martin Luther katakan sebagai: “Ecclesia Semper Reformanda.”
Bagi saya selesainya karya ilmiah ini merupakan suatu karunia dari Allah
Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus yang selalu setia mendampingi dan
memberikan berkatnya kepada saya. Ia jugalah yang telah memberikan semangat
kepada penulis melalui senyuman, tawa, canda, doa, tangis melalui kehadiran anak-
anak yang saya cintai, yakni Cinta Aveshemma Rajagukguk dan Cordelia vin
Alyosha Rajagukguk, serta isteri tersayang yang selalu mendukung dan
memberikan semangat kepada saya, Pdt. Lidya Theresia Butarbutar.
Banyak pergumulan saya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, namun
semuanya dapat terselesaikan karena campur tangan Tuhan yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis melalui dosen-dosen IRB, sehingga tak lupa hanya
seuntaian kata terima kasih yang dapat saya berikan kepada mereka, yakni: Dr.
Katrin Bandel dan Dr. Budi Susanto, S.J. yang telah membaca dan menjadi
pembimbing pertama dan kedua. Demikian juga Dr. St. Sunardi yang mengenalkan
saya Norman Fairclough untuk mempermudah melihat analisis wacana yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
digunakan oleh Michel Foucault. Tak ketinggalan juga kepada Prof. Dr.
Supratiknya, Dr. Budi Subanar, S.J., Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. Tri Subagya,
Dr. Ita Yulianto yang telah memberikan masukan-masukan berharga.
Selain dilingkungan dosen-dosen IRB maka ada juga para ahli dan dosen
yang membantu penulis dalam memberikan masukan yang berharga, yakni Dr. Uli
Kozok yang membantu penulis melihat lebih jauh mengenai RMG dan juga kajian
misionaris linguistic. Demikian juga Manguji Nababan yang membantu dalam
melihat Sastra Batak, serta menjadi bank arsip dari tesis ini. Tanpanya, mungkin
tiada arsip yang didapatkan. Dan juga Monang Naipospos yang membantu dalam
melihat agama Parmalim. Tanpa mereka semua maka penulis akan mengalami
kesusahan dalam penyusunan tesis ini. Maka dari itu penulis mengucapkan
terimakasih banyak kepada mereka semua.
Tuhan juga memberikan teman-teman seangkatan kepada saya yang selalu
memberikan masukan, semangat, hiburan, dalam menyelesaikan tesis ini, yakni
IRB angkatan 2014, khususnya kepada Heri, Nucholis, Ajay, Ben, Riston, Linda,
Abet, Franz, Pinto, Wisnu dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan namanya
satu persatu. Sejajar dengan itu juga dilingkungan rumah/kos, penulis banyak
terima kasih kepada Bung Yan yang juga memberikan masukan berharga. Tidak
ada yang bisa saya berikan selain hanya doa dan ucapan terima kasih kepada mereka
semua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Akhir kata, kajian ilmiah ini saya persembahkan kepada orang tua saya, Drs.
Marhujogo Rajagukguk dan HNE Hutabarat yang telah meninggalkan jejak kepada
saya. Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada kaum intelektual,
khususnya yang membahas mengenai budaya Batak, sehingga dapat memperkaya
kajian-kajian mengenai budaya Batak. Terima Kasih. Tuhan memberkati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Daftar Isi
LEMBAR JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tema 10
C. Rumusan Masalah 10
D. Tujuan Penelitian 11
E. Pentingnya Penelitian 11
F. Tinjauan Pustaka 12
G. Kerangka Teori 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
H. Metode Pengumpulan Data 27
I. Skema Penulisan 28
BAB II MERAJUT GAGASAN OMPU I
A. Pandangan Umum 32
B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat 39
C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja 44
D. Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan 72
E. Kesimpulan 77
BAB III WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme 81
B. Kolonialisme dan Misi Pengadaban 97
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan 119
D. Kesimpulan 141
BAB IV ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK
KEPEMIMPINAN OMPU I
A. Identifikasi Arsip 145
B. Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i 150
C. Praktik Wacana Ompu i: Sejarah “Kelam” Pekabaran Injil
di Tanah Batak (Perang Toba I) 176
D. Kesimpulan 179
BAB V PENUTUP: RELASI KUASA DALAM WACANA
KEPEMIMPINAN OMPU I EPHORUS HKBP 182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
LAMPIRAN 201
DAFTAR PUSTAKA 210
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam tradisi Kekristenan (baca: Protestan) terdapat 3 (tiga) sistem
organisasi gereja sejak reformasi abad pertengahan, yakni Konggregasional,
Episkopal dan Presbiterial Sinodal.1 Sistem Konggregasional menekankan pada
konggregasi atau perkumpulan jemaat-jemaat sebagai sistem organisasi gereja.
Sistem Episkopal merupakan sistem organisasi yang bersifat hirarki atau top-down
yang menaungi gereja-gereja dan konggregasi, sedangkan Presbiterial Sinodal
merupakan kebalikan dari sistem Episkopal yang juga menekankan sistem
organisasi namun berbasis kepada jemaat atau bottom-up.
HKBP atau Huria Kristen Batak Protestan menggunakan sistem Episkopal
dengan menempatkan Ephorus2 sebagai pemimpin tertinggi. Kedudukan Ephorus
berada di depan (primus inter pares) dari pimpinan lainnya (Sekretaris Jenderal,
Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia), serta di atas konggregasi
(baca: distrik) dan jemaat. Menurut Aturan Peratuan HKBP 2002, Ephorus
1 Dalam Protestantisme, ketiga bentuk organisasi ini haruslah dipahami dalam bentuk
pemahaman gereja lokal sebagai pengorganisir wilayahnya, sesuatu yang sangat berbeda dengan
pemahaman Katolik. (lih. Christopher Ocker, “Ecclesiology and The Religious Controversy of The
Sixteenth Century” dalam Gerard Mannion, cs. (eds.), The Routledge Companion To The Christian
Church (New York: Routledge, 2008), hl. 74-75 2 Istilah Ephorus berawal dari ”Overseer”, yang berarti: ”pengawas.” Pada awalnya
Overseer diberikan kepada Nommensen oleh Badan Zending RMG. Lih. Van den End, Ragi Carita
2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 186.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |2
memiliki kuasa yang sangat besar di dalam sistem organisasi Episkopal yang
digunakan oleh HKBP.3 Itu artinya, Jabatan Ephorus menaungi 30 distrik dan 3.533
jemaat HKBP yang terdiri 743 Ressort4, 15 Persiapan Ressort dan 3.275 jemaat,
109 Persiapan Jemaat (Parmingguon) dan 150 Pos Pelayanan yang menyebar di
seluruh dunia termasuk wilayah luar negeri, yakni Amerika Serikat (California,
New York, Colorado, dan Fontana).5
Namun dari sistem organisasi yang digunakan oleh HKBP, saya melihat,
ada yang menarik dari jabatan Ephorus HKBP, yakni penyebutan Ephorus sebagai
Ompu i. Penyebutan ini sering diucapkan oleh jemaat ataupun para kaum imam di
HKBP, walaupun para kaum imam cenderung lebih dominan menggunakannya.
Penyebutan ini tidak tercantum di dalam Aturan Peratuan HKBP, bahkan di dalam
eklesiologi (ilmu tentang gereja) tidak ada satu gelar atau jabatan gerejawi untuk
istilah Ompu i.
Saya melihat bahwa penyebutan ini bukanlah suatu panggilan yang bersifat
sapaan sehari-hari, melainkan menjadi sapaan resmi, mengingat sapaan tersebut
turut ditampilkan di media-media HKBP. Misalnya saja situs resmi HKBP yang
menampilkan sapaan tersebut.6 Demikian juga dengan Majalah Surat Parsaoran
(SP) Immanuel milik HKBP yang menampilkan sapaan tersebut: “…Menurut
penuturan Ompu i Ephorus, ada keunikan dari bapak rendah hati ini dalam
3 Bentuk kuasa Ephorus dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, misalnya: pemutasian para
kaum imam dari tingkat jemaat hingga distrik, rapat-rapat penting di HKBP, dll. 4 Distrik adalah Kumpulan dari Ressort, sedangkan Ressort adalah kumpulan dari berbagai
jemaat, Pos Pelayanan, Parmingguon. 5 Berdasarkan Almanak HKBP 2017. 6 Lih. http://hkbp.or.id/index.php/2016/05/11/ompui-ephorus-menjamu-makan-malam-
bersama-pemenang-hkbp-kids-soccer-ii/ Di akses pada 17 Mei 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |3
mendidik anak-anaknya untuk tetap rendah hati…”7 Dari contoh-contoh tersebut
sangat jelas bahwa para kaum imam (Pendeta, Guru Huria, Bibelvrouw dan
Diakones) atau pengerja di HKBP sendiri secara sengaja dan sepakat menggunakan
sapaan Ompu i ini. Hal ini menandakan bentuk pengkondisian terhadap jemaat
perihal menciptakan proyeksi yang sama dalam memandang Ephorus HKBP.
Namun selain dari media-media milik HKBP, beberapa media lokal di
Sumatera Utara turut juga menampilkan sebutan Ephorus ini. Salah satunya adalah
harian Suara Indonesia Baru (SIB) yang merupakan media sekuler untuk konsumsi
publik milik Keluarga Besar almarhum Jend. (Purn) M. Panggabean: “Dalam
khotbahnya Ompu i Ephorus HKBP mengatakan…”8 Dan masih ada lagi beberapa
media publik yang menyebut Ephorus sebagai Ompu i. Namun yang pasti gelar ini
bagi masyarakat Batak pada umumnya dan jemaat HKBP secara khusus adalah
sesuatu yang common sense.
Di HKBP, pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus menambah kuasa
dalam jabatan Ephorus HKBP. Jurang hirarki semakin tampak melebihi kapasitas
dari sistem organisasi. Hal ini terlihat dari pola perilaku para pengikut kepada
Ephorus HKBP. Dari pengalaman saya, paling tidak hal ini sangat terasa dalam
beberapa hubungan atau relasi kuasa, yakni pertama, hubungan antara Ephorus
dengan para kaum imam (Pendeta, Bibelvrouw, Guru Huria dan Diakones) dan
kedua hubungan Ephorus dengan jemaat atau kaum awam. 9
7 Surat Parsaoran Immanuel HKBP edisi No. 9 September 2015 Tahun ke-125, hl. 21. 8 Di ambil dari http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=23590. Di akses pada 24
Oktober 2015. 9 Dari pengalaman saya, bentuk perilaku pengikut kepada Ompu i Ephorus misalnya
dengan bentuk penyambutan Ephorus ke jemaat-jemaat bak melebihi raja, misalnya penyediaan
hotel berbintang, pengalungan bunga dan tor-tor (tarian Batak), serta pemberian cinderamata, dsb.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |4
Penggunaan gelar ini menurut saya melebihi kapasitas dari seorang
pemimpin gereja, terlebih bila disandingkan dengan tradisi Protestantisme yang
mengedepankan egaliterianisme dan bukan dalam mengkultuskan sesosok manusia,
bahkan Ephorus sekalipun.10 Apa yang saya alami, juga dirasakan Prihatiar Kristy
Sari yang merupakan salah seorang warga jemaat HKBP. Bahkan ia secara terang-
terangan menyebutkan di laman grup Facebook Ruas Ni HKBP Masihaholongan,
salah satu media komunikasi yang membahas tentang HKBP, bahwa penyambutan
kedatangan Ompu i Ephorus HKBP melebihi penyambutan Yesus Kristus. (gambar
1).11
Gambar 1
Contoh lainnya diluar dari konteks HKBP adalah terlihat dengan adanya sikap para pengikut untuk
berlomba-lomba mengundang Ompu i Ephorus untuk memimpin atau sekedar hadir dalam acara
atau kegiatan tertentu, misalnya, acara ulang tahun perusahaan, perkumpulan marga, pesta
pernikahan, dsb. Contoh lainnya yang saya jumpai adalah keantusiasan masyarakat atau polisi dalam
melambaikan tangan ketika mobil Ephorus melintasi jalan di sepanjang jalan Tarutung-Medan.
Gaung akan kuasa Ompu i sangatlah terasa di wilayah Sumatera Utara, khususnya bagi masyarakat
Batak. 10 Peristiwa Reformasi di tubuh Katolik yang dilakukan oleh Martin Luther ditandai dengan
munculnya egaliterianisme dalam Kekristenan dengan mengkritik otoritas gereja diberbagai bidang,
misalnya bentuk desentralisasi penafsiran biblis dengan menjadikan gerakan demokratisasi
religious, dsb. 11 Status ini merupakan komentar balasan atas status yang diberikan oleh Antoni Simbolon
yang mempertanyakan tentang “bagaimana Ephorus bisa dipanggil Ompu i padahal disatu sisi
Tuhan dipanggil dengan sebutan Bapa di mana Ompu i memiliki kedudukan lebih tinggi
dibandingkan Bapa ?” pada 8 Juli 2015 di Grup Facebook Ruas Ni HKBP Masihaholongan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |5
Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP adalah bentuk
pengkultusan kepada sosok pemimpin (hierophany), di mana hal ini menandakan
ada kapasitas yang lebih dari seorang pemimpin gereja atau jabatan gerejawi,
sehingga pengkultusan tersebut mempengaruhi pola kepemimpinan di HKBP,
yakni dengan menjadikan pengikut yang selalu setia dengan pemimpinnya, seperti
halnya yang digambarkan oleh Prihatiar Kristy Sari.12
Memang bentuk pengkultusan bagi sesosok pimpinan adalah selayaknya
ideologi yang digunakan oleh HKBP dalam menyapa para pengikut seperti yang
dijelaskan Althusser mengenai sifat ideologi sebagai interpelasi.13 Artinya, ketika
HKBP menggunakan gelar tersebut, maka ideologi tersebut menyapa para
pengikutnya, sehingga memberikan suatu kepatuhan yang tidak dapat
dipertanyakan lagi oleh para pengikutnya. Karena ideologi tersebut menggunakan
bahasa Batak-Toba maka efek yang ditimbulkannya tidak sekedar pada organisasi
di tingkat elite belaka melainkan menjadi embedded di dalamnya dan
mempengaruhi hubungan pemimpin hingga kepada pengikutnya atau jemaat yang
juga orang Batak.
Kepatuhan ini, tanpa disadari, dapat menimbulkan efek negatif bagi para
pengikut atau juga bagi HKBP sendiri berupa penindasan dan manipulasi kepada
para pengikut, atau dengan kata lain, berpotensi akan penyalahgunaan wewenang
12 Selain Prihatiar Kristy Sari sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang
melihat gelar Ompu i tersebut sebagai bentuk pengkultusan, baik yang saya dengar atau pun yang
saya lihat. Bahkan hal ini tidak hanya berlaku kepada jemaat atau kaum awam, melainkan juga para
kaum imam pun, seperti yang saya lihat, telah mengkultuskan Ompu i Ephorus melalui sikap dan
tingkahlakunya kepada pemimpin. 13 Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses” dalam Slavoj Zizek (ed.),
Mapping Ideology (London: Verso, 1994), hl. 129.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |6
(abuse of power). Hal ini juga seperti yang diutarakan Edgar H. Schein, seorang
ahli manajemen organisasi:
“When one brings culture to the level of the organization and even down to
groups within the organization, one can see clearly how culture is created,
embedded, evolved, and ultimately manipulated, and, at the same time, how
culture constrains, stabilizes, and provides structure and meaning to the group
members. These dynamic processes of culture creation and management are the
essence of leadership and make one realize that leadership and culture are two
sides of the same coin.”14
Dengan dampak tersebut, maka gelar ini tidak sekedar panggilan melainkan
sebuah konsep yang memiliki maknanya tersendiri. Bahkan ditengah-tengah jemaat
HKBP, gelar tersebut menimbulkan polemik. Seperti yang saya jumpai, baik di
kehidupan sehari-hari dan juga di media sosial, cukup banyak jemaat HKBP yang
menanyakan dan menolak gelar tersebut, sehingga dari sini timbullah pertanyaan:
dari manakah gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP ini sebenarnya berasal?
Pengetahuan apa yang membuat pengikut sendiri menjadi patuh atau, sebaliknya,
menolak gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP? Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha
untuk melihat mundur kebelakang tentang bagaimana kuasa dari gelar Ompu i dapat
hadir di HKBP. Pemikiran Michel Foucault dapat membantu menelusuri hadirnya
kuasa dari gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP tersebut.
Menurut Michel Foucault setiap kuasa (power) dapat hadir melalui wacana
atau discourse.15 Artinya, ada suatu ketidaksadaran yang mempengaruhi perilaku
pengikut dalam bentuk reka-bayang. Ompu i adalah common sense yang hadir
dalam bentuk wacana kepemimpinan bagi masyarakat Batak. Ketika studi ini ingin
14 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (San Fransisco: Jossey-Bass,
2004), hl. 1 15 Sara Mills, Michel Foucault (London: Routledge, 2003) hl. 54-55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |7
melihat ke belakang dalam membongkar (analisis) wacana Ompu i yang digunakan
oleh HKBP, maka legitimasi-legitimasi yang hadir dalam wacana tersebut dalam
mempengaruhi para pengikut perlu dipertanyakan. Pemikiran Foucault ini
sangatlah berbeda dengan Althusser. Althusser melihat kuasa berasal dari “atas”,
sedangkan Foucault melihat kuasa dari “bawah” yakni dengan mencoba melihat
relasi kuasa yang membentuk pengetahuan (episteme) sehingga pengetahuan itu
melahirkan kuasa kembali.16 Artinya, ketika HKBP menggunakan gelar Ompu i
maka perlu untuk melihat kebelakang bagaimana gelar tersebut muncul dan
didapatkan sehingga dapat mempengaruhi para pengikut.
Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP merupakan warisan tradisi
yang telah dipakai semenjak Ephorus pertama HKBP, yakni Dr. I.L. Nommensen17
yang merupakan salah seorang misionaris dari badan zending RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) asal Jerman. Buku karya Jonathan T. Nommensen18 yang
berisi tentang pengalaman Nommensen saat menyebarkan Injil di Tanah Batak
seolah mengesahkan pemakaian gelar ini dengan memberikan judul pada cover
bukunya sebagai Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Bahkan dalam buku
16 Sara Mills melihat kuasa Foucault dari “bawah ke atas” untuk mendeskripsikan relasi
kuasa. Bagi Sara Mills Foucault sangat berbeda dengan Alhutser yang justru sebaliknya melihat
kuasa dari atas ke bawah, dimana Negara (state) menindas individu-individu. Lih. Ibid., hl. 34. 17 Pemanggilan Ompu i kepada Nommensen merupakan pemberian dari para pengikut. TB
Simatupang melihat pemanggilan ini dilakukan secara spontan karena tidak ada lagi penyebutan
yang lain. Lih. Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap
Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era
Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36. 18 Dalam buku ini dicatat mengenai seorang tamu yang memanggil Nommensen dengan
sebutan Ompung. Hal ini menandakan bahwa pada semasa hidupnya, Nommensen telah dipanggil
sebagai Ompung, yang dalam hal ini menunjuk kepada Ompu i, walaupun sampai sekarang tidak
ada yang tahu persis mengenai kapan pertama kali dan bagaimana pemberian gelar tersebut
diberikan kepada Nommensen. Lih. J.T. Nommensen, Ompu I Dr. Ingwer Ludwig Nommensen
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hl. 210.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |8
tersebut dikatakan bahwa Nommensen diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat
Batak.19
Menurut Bonar Sidjabat, istilah ompu i ini sendiri sebenarnya sangat umum
digunakan di daerah Tapanuli Selatan kepada orang-orang yang usia lanjut dan
dianggap dapat dituakan. Namun menurutnya, istilah Ompu i ini sangat berbeda
dengan gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen. Sidjabat membedakan
gelar Ompu i yang digunakan Nommensen dengan huruf “O” besar untuk Ompu i
yang berbeda dengan ompu i dengan huruf “o” kecil.20
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memiliki keistimewaan
tersendiri. Ia menjadi orang non-pribumi, sekaligus orang Kristen pertama yang
menerima gelar Ompu i dari masyarakat Batak (pengikut).21 HKBP yang hanya
melanjutkan tongkat estafet dari pemakaian gelar tersebut membuat setiap Ephorus
terpilih secara otomatis turut juga disapa sebagai Ompu i.22 Paling tidak, semenjak
HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861, HKBP telah memiliki empat belas Ephorus,
yang semuanya disapa sebagai Ompu i.23 Memang tidak ada yang tahu mengenai
19 Ibid., hl. 192. 20 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
431. 21 Dari pengalaman saya, banyak saya jumpai di media sosial maupun di pergaulan sehari-
hari ketidaksetujuan terhadap HKBP yang menggunakan atau melanjutkan tradisi gelar Ompu i
kepada Ephorus HKBP dengan maksud bahwa gelar tersebut cukuplah hanya pada Dr. I.L
Nommensen. 22 Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP tidak lepas dari klaim (pengakuan)
HKBP atas sejarah lahirnya HKBP yang bermula dari pekerjaan zending RMG di Tanah Batak,
yakni 7 Oktober 1861. Penentuan tanggal lahir tersebut menandakan adanya kesinambungan antara
zaman misionaris hingga kemandirian HKBP pada 1940 ketika Pdt Kasianus Sirait menjabat sebagai
Ephorus pribumi pertama. Lih. Dr. J. Sihombing, Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestant
(Medan: Philemon & Liberty), hl. 18. 23 Sesuai dengan Almanak HKBP yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP bahwa
Ephorus pertama di HKBP adalah Dr. I.L. Nommensen (1881-1918), kemudian diikuti oleh Pdt
Valentin Kessel (Pejabat Ephorus) (1918-1920), Pdt Dr. J. Warneck (1920-1932), Pdt P. Landgrebe
(1932-1936), Pdt Dr. E. Verwiebe (1936-1940), Pdt Kasianus Sirait (1940-1942), Pdt Dr. hc. J.
Sihombing (1942-1962), Ds Dr. hc. T.S. Sihombing (1962-1974), Ds. G.H.M. Sihombing (1974-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |9
kapan dan apa maksud dari pemberian gelar tersebut kepada Nommensen. Namun
demikian gelar tersebut justru menimbulkan relasi kuasa dalam hubungan
pemimpin dan pengikut yang berdampak hingga saat ini melalui gelar Ompu i yang
digunakan oleh Ephorus.
Dalam studi ini, saya akan melihat bagaimana pembentukan wacana Ompu
i Ephorus HKBP tercipta dengan meneliti pada masa misionaris atau ketika
Nommensen pertama kali mendapatkan gelar tersebut, atau dengan kata lain,
bagaimana kuasa direproduksi, sehingga Nommensen memperoleh gelar Ompu i
yang sebelumnya gelar tersebut merupakan produk budaya Batak Toba? Hal ini
juga sekaligus menjadi batasan penelitian saya, yakni pada masa Nommensen
mengabarkan Injil di Tanah Batak atau sebelum tahun 1918.
Memang relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut, atau hubungan Ephorus
dengan pengikut memiliki sejarah yang panjang, baik ketika di dalam hubungannya dengan
politik nasional atau masalah internal di tubuh HKBP sendiri, misalnya perpecahan gereja,
pemisahan gereja, dsb, sebagai suatu reproduksi kekuasaan dalam setiap periode tertentu,
tetapi dalam penelitian ini saya tidak bermaksud untuk membahas secara historis
kronologis. Dengan metode genealogis, maka saya memfokuskan kepada periode awal
mula terbentuknya wacana Ompu i Ephorus HKBP, yakni pada masa Nommensen,
sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Ephorus HKBP. Dengan demikian
penelitian ini ingin melihat struktur-struktur pembentukan wacana di dalam aturan-
1986), Pdt Dr. SAE Nababan, LLD (1986-1998), Pdt Dr. PWT Simanjuntak (1992-1998), Pdt Dr.
J.R. Hutauruk (1998-2004), Pdt Dr. B. Napitupulu (2004-2012), Pdt Dr. Willem T.P. Simarmata,
MA. (2012-2016). Pemanggilan Ompu i kepada Ephorus HKBP tidak hanya berlaku pasca
kepemimpinan pribumi, melainkan juga semasa misionaris. Hal ini terlihat dari dokumen risalah
Rapat Pendeta HKBP pada 9 Mei 1939 yang menyebut Ephorus, Pdt Dr. E. Verwiebe sebagai Ompu
i.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |10
aturan dan praktik-praktik tentang bagaimana pengetahuan tersebut tercipta
(genealogis) yang memunculkan ketimpangan relasi kuasa i dalam gelar Ompu i
Ephorus. 24
B. Tema
Tema dalam studi ini adalah relasi kuasa atas gelar Ompu i di dalam jabatan
kepemimpinan Ephorus HKBP yang turut mempengaruhi dan membentuk pola
ketimpangan dalam hubungan pemimpin dan pengikut.
C. Rumusan Masalah
Pertanyaan-pertanyaan tentang studi ini, yakni
1. Bagaimana genealogi wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus HKBP?
2. Pengetahuan apa yang ada di dalam gelar Ompu i Ephorus HKBP, sehingga
mengakibatkan pengkultusan?
3. Relasi kuasa macam apa yang hadir lewat gelar Ompu i Ephorus HKBP?
24 Dalam melihat relasi kuasa, maka Michel Foucault tidak melihat relasi kuasa dibentuk
dari hubungan dialektika atau dalam hubungan master/slave atau self/other. Foucault melihat adanya
dominasi atau oposisi karena melalui desentralisasi simbolik. Lih. James D. Faubion (ed.), Michel
Foucault: Power (Essensial Work of Foucault 1954-1984: Paul Rabinow Series Editor), hl. 116.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |11
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan bertujuan untuk:
1. Melihat dan mendeskripsikan bagaimana pembentukan kuasa dalam gelar
Ompu i Ephorus HKBP pada masa Nommensen dengan memenggunakan
genealogi.
2. Menguraikan bagaimana reproduksi kekuasaan di dalam terbentuknya gelar
Ompu i Ephorus HKBP dengan melihat strategi dan mekanisme kuasa yang
dilakukan oleh badan zending RMG.
3. Melihat bagaimana relasi kuasa yang ada di dalam gelar Ompu i bagi
Ephorus HKBP pada masa kini.
E. Pentingnya Penelitian
Bagi saya yang mengkaji studi ini maka pentingnya penelitian ini untuk:
1. Memberikan sumbangsih pemikiran atau diskursus atas sosok pemimpin
yang dianggap ideal bagi masyarakat batak melalui penggalian (baca:
genealogi) akan kuasa Ompu i.
2. Memberikan sumbangsih pemikiran kepada HKBP tentang relasi kuasa dari
gelar Ompu i serta implikasi dari pemakaian gelar Ompu i bagi Ephorus.
3. Memberikan wacana baru atas pemakaian teori genealogi Michel Foucault
dalam tema kepemimpinan di masyarakat Batak berupa gelar Ompu i.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |12
F. Tinjauan Pustaka
Sangat banyak buku-buku yang membahas tentang sejarah Batak. Namun
saya melihat tidak ada yang secara spesifik membahas tentang suatu konsep dalam
melihat permasalahan di sejarah Batak. Dalam studi ini saya berfokus pada konsep
tentang Ompu i sebagai suatu kuasa kepemimpinan dalam masyarakat Batak, yakni
dalam hubungan pemimpin dan pengikut, sehingga dalam melihat tema dalam buku-
buku, maka saya merasa perlu untuk memilah-milah pustaka dalam menentukan
bagian-bagian yang saya anggap perlu. Ada beberapa pokok yang perlu
mendapatkan perhatian dalam bagian tersebut, diantaranya:
Pertama, tentang gelar Ompu i sendiri sebagai gambaran umum tentang
kuasa dalam doktrin religiositas masyarakat Batak tradisional dan yang dikenakan
oleh Singamangaraja.25 Pada bagian ini, saya melihat bahwa buku Pemerintahan
(Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba karya Ulber Silalahi
(2014) menjadi buku pegangan saya dalam melihat sistem kesatuan dalam
masyarakat Batak tradisional. Dalam buku tersebut Silalahi berusaha melihat
bagaimana kondisi masyarakat di tanah Batak sebelum adanya Singamangaraja. Ia
melihat bahwa masyarakat tanah Batak dipimpin oleh Raja dengan sistem bius.
Sistem ini dapat disebut sebagai sistem kerajaan masyarakat. Misalnya Kerajaan
bius Toba yang berarti suatu kerajaan atau sekelompok manusia yang memiliki
sebidang tanah di Toba, bius Silindung, bius Patane Bolon dan bius Samosir.
25 Dalam bagian ini saya hanya mengambil pemahaman umum mengenai kuasa
Singamangaraja, sehingga referensi yang menjadi rujukannya menyangkut kepada kuasa
Singamangaraja I hingga XII.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |13
Munculnya Singamangaraja mengganti sistem pemerintahan bius dimana raja-raja
bius menjadi wakil dari Singamangaraja. Kekuasaan Singamangaraja terlihat dalam
penguasaan wilayah dengan mengganti sistem raja bius menjadi Raja Naopat (yang
empat) untuk menjangkau wilayah dari bius tersebut. Silalahi juga melihat bahwa
dalam menjalankan sistem pemerintahan tersebut maka Raja Singamangaraja
bersama dengan Raja Naopat beserta raja huta saling bekerjasama di setiap wilayah
bius. Penguasaan terhadap raja-raja bius ini semakin menampakkan kekuasaan Raja
Singamangaraja.
Berbeda dengan Silalahi, karya Sitor Situmorang yang juga menjadi
pegangan bagi saya, menampilkan sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII
hingga XX dengan lebih melihat dari sumber internal, yakni berasal dari cerita-
cerita leluhur Situmorang atau keluarganya. Dalam bukunya yang berjudul Toba
Na Sae, Sitor mencoba menggali lebih dalam sistem lembaga yang menaungi bius-
bius, yakni bius Bangkara di mana Singamangaraja menjadi Rajanya. Ada
keistimewaan dari bius Bangkara di mana Sitor menyebutnya sebagai bius
paguyuban yang memiliki otonomi penuh berbeda dengan bius-bius lainnya.
Dikatakan demikian dikarenakan bius Bangkara memiliki Dewan Bius (sebanyak 6
orang) yang didampingi Organisasi Parbaringin (penyelenggara kalender
pertanian).26 Sistem ini yang diangkat oleh Sitor sebagai suatu lembaga politik
dalam sistem masyarakat Batak. Mitos-mitos yang berkembang dalam sejarah
tentang kehadiran Singamangaraja diangkat untuk menguatkan lembaga tersebut
26 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl. 200.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |14
dalam menaungi bius-bius yang lain. Mulai dari silsilah atau asal usul Raja Batak
hingga tondi sahala atau kharisma yang dimiliki Singamangaraja.
Dalam kaitannya dengan sistem lembaga ini, Sitor mencoba menjelaskan
lembaga tersebut bukan hanya sebagai mengatur sistem sosial dan politik belaka
tetapi juga sistem agama tradisional dalam masyarakat Batak. Tampaknya Sitor
sangat konsisten dalam melihat sistem lembaga ini mengalami pasang surut di
dalam perjalanan sejarahnya, serta selalu menyorot sistem lembaga tersebut di
dalam hubungan atau mempertahankan wilayah geografisnya dari pihak asing.
Paling tidak buku Sitor ini memandang sejarah dalam sudut pandang dari kacamata
pribumi. Namun bagi saya kelemahan buku ini adalah pertama, ketika Sitor sendiri
tidak memberikan perbandingan dari sudut pandang luar. Ketika sejarah yang
dihadirkan pada lingkup lembaga sosial, yakni bius Bangkara maka kecenderungan
yang terjadi Sitor terjebak dalam etnografis yang bercerita dari kesaksiannya tanpa
mencoba membandingkan data-data sejarah yang lain. Kedua yang menjadi sorotan
saya adalah dalam buku tersebut tidak dilengkapi referensi kutipan sumber. Hal ini
menandakan bahwa di dalam bukunya, Sitor banyak menyorot dari lingkup marga
Situmorang, yang adalah merupakan garis keturunan marganya. Dan sesuatu yang
sangat disayangkan pula bahwa Sitor tidak menyertakan sumber itu berasal
walaupun sumber tersebut merupakan cerita yang bersifat turun temurun. Namun
bagi saya buku ini dapat menjadi sumber pembanding dalam melihat sumber-
sumber lainnya.
Kedua adalah peralihan kekuasaan dari Singamangaraja XII ke Nommensen
pada masa kolonial. Pada bagian ini banyak sekali wacana tentang perjumpaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |15
antara Nommensen dengan Singamangaraja XII. Namun wacana tersebut berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dalam sudut pandang historisnya dengan
mengabaikan data-data yang dianggap sebagai kebenaran yang valid. Dengan
banyaknya wacana tersebut maka saya merasa perlu lebih selektif dalam melihat
buku-buku tersebut.
Untuk bagian ini saya melihat buku Telah Kudengar dari Ayahku:
Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (1978), karangan Lothar
Schreiner, seorang pendeta, dapat digunakan untuk melihat strategi yang diterapkan
RMG dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak. Pada masa Raja
Singamangaraja XII telah muncul ketidakpercayaan masyarakat Batak kepada Raja
Singamangaraja XII sehingga wilayah kekuasaannya tampak semakin samar,
terlebih di wilayah Silindung akibat dari perang Padri (1820-an). Dan hal ini
semakin diperjelas setelah masuknya misionaris ke wilayah Silindung seturut
dengan banyaknya masyarakat Batak di Silindung yang masuk ke agama Kristen.
Buku, Lothar Schreiner ini sangat mencermati dan bersikap netral dalam melihat
dasar-dasar pertama Kekristenan di lembah Silindung, di sebelah selatan danau
Toba pada tahun 1861-1881.27 Misalkan saja dalam buku ini diterangkan
bagaimana RMG sendiri menggunakan sistem struktur sosial masyarakat yang
berdasarkan Dalihan Na Tolu dalam mendirikan gereja-gereja, yang diikuti dengan
pendekatan terhadap raja-raja Batak.
27 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen
di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |16
Selain Schreiner, maka saya juga menaruh harapan besar kepada buku Uli
Kozok, seorang peneliti budaya, bahasa dan sastra Batak, yang saya anggap
memiliki data-data yang akurat. Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai Di
Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba (2010) mengkaji wacana
tersebut dengan data-data yang saya anggap valid, yakni data dari badan misi RMG
Jerman tanpa mengabaikan data-data lokal, yang berasal dari tanah Batak sendiri.
Dari data-data tersebut maka buku Uli Kozok ini lebih menyorot peran zending
RMG di dalam menjalankan misinya di masyarakat Batak. Mulai dari latar
belakang badan zending RMG dan juga situasi politik yang mempengaruhi RMG
di Jerman serta praktek zending di tanah Batak. Yang menarik dari buku Uli Kozok
ini, Nommensen yang dianggap rasul oleh orang Batak justru condong kepada
pihak Belanda dalam membantu penangkapan Singamangaraja XII. Bukti-bukti
kongkret mengenai hal ini dibuktikan mulai dari surat Nommensen kepada Pihak
Belanda untuk menangkap Singamangaraja XII hingga alasan logis dalam
membantu pihak Belanda, misal berupa gaji bulanan Nommensen dan misionaris
lainnya, dsb.
Uli Kozok sendiri dalam bukunya juga mengkritik buku Dr. W.B. Sidjabat,
Ahu Si Singamangaraja, yang dianggapnya mendamaikan kedua tokoh sentral di
sejarah Tanah Batak, yakni Dr. I. L Nommensen dan Raja Si Singamangaraja XII
tanpa ada konflik kepentingan. Namun demikian menarik melihat dan
membandingkan kedua buku tersebut yang pada dasarnya, menurut penilaian saya,
memiliki keakuratan dalam data-data walaupun berbeda kepentingan. Buku
Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, juga saya pakai untuk melihat bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |17
Singamangaraja melekat dan mengakar di tanah Batak. Walaupun di bagian
tertentu, yakni dalam hubungannya dengan Nommensen, saya tidak
menggunakannya dengan alasan adanya “pendamaian” antara Nommensen dengan
Raja Singamangaraja XII yang justru bertentangan dengan temuan atau analisis dari
Uli Kozok.
G. Kerangka Teori
Untuk menjawab studi ini maka saya akan memakai teori Michel Foucault
sebagai analisis wacana untuk melihat wacana kepemimpinan Ompu i yang
dikenakan oleh Ephorus HKBP. Buku-buku Michel Foucault seperti misalnya The
Archaeology of Knowledge (1969), The History of Sexuality I (1976), atau
kumpulan tulisan dan hasil wawancaranya menjadi sumber utama saya dalam
menjabarkan teori Foucault. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
saya juga menggunakan pandangan orang lain dalam melihat teori Michel Foucault
ini, dalam hal ini, saya mengedepankan pandangan Norman Fairclough yang telah
mendefinisikan dan menjabarkan secara rinci mengenai teori pembentukan wacana
Michel Foucault dalam bukunya yang berjudul Discourse and Social Change (1992).
Dalam teorinya ini Foucault telah memberikan sumbangsih yang cukup
besar bagi ilmu-ilmu sosial dalam melihat wacana sosial. Sasarannya adalah untuk
melihat adanya ketidakadilan, ketimpangan, penindasan ataupun masalah sosial
lainnya. Di sini saya akan mencoba memaparkan teori Foucault yang berhubungan
dengan analisis wacana tersebut, sbb:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |18
Kuasa (Power)
Saya akan memulainya dari pemikiran Michel Foucault tentang power atau
kuasa. Kuasa menurut Foucault sangat berbeda dengan Althusser yang melihat
kuasa seperti layaknya institusi yang berusaha mengintimidasi manusia. Ia juga
menolak pandangan Freud tentang sifat kuasa yang merepresi sehingga seolah-olah
tidak ada anggapan akan individu-individu yang menolak. Bagi Foucault, institusi
tersebut hanyalah kumpulan manusia. Foucault memandang bahwa kuasa itu adalah
pengetahuan, sedangkan individu-individu manusia adalah kendaraan kuasa itu
sendiri. Untuk memahami pengertian kuasa dalam Foucault maka ada baiknya
memahami dua poin berikut ini, yakni: Pertama, kuasa dikonseptualisasikan
sebagai rantai atau jaringan/relasi bahwa sistem relasi tersebut berhubungan ke
seluruh masyarakat. Kedua, individu tidak dilihat hanya sebagai penerima kuasa
melainkan sebagai “tempat” di mana kekuasaan juga dapat ditolak.28 Dari
pengertian ini maka peran individu tidak selalu menjadi objek bagi kuasa itu sendiri
tetapi turut berperan dalam menentukan pilihan, sehingga menurut Foucault
kekuasaan tidak lain hanyalah sebuah strategi yang dapat terjadi di mana-mana
yang di dalamnya memiliki sistem, regulasi, aturan, dsb, sedangkan relasi kuasa
adalah efek dari strategi tersebut. Paling tidak Foucault dalam bukunya The History
of Sexuality melihat bahwa kuasa haruslah dimengerti sebagai berikut ini:
“... power must be understood in the first instance as the multiplicity of
force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute
their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and
confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these
force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the
28 Sara Mills, Op. Cit., hl. 35.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |19
contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another;
and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or
institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of
the law, in the various social hegemony."29
Dari penjelasan di atas tampak bahwa Foucault melihat kuasa dibangun dari
setiap relasi dan setiap pertistiwa. Penjelasan Foucault ini perlu dilihat sebagai
sesuatu yang terus menerus dilakukan dan bukan untuk dicapai. Ia mengacu kepada
istilah Kuasa (Power) dengan huruf K(P) besar. Hal ini untuk menggambarkan
kekuatan utama dalam semua hubungan dalam masyarakat dan bukan dalam
pengertian Althusser tentang RSA (Repressive State Aparatus), melainkan pada
ISA (Ideology State Aparatus) misalnya: Gereja, Keluarga dan Sistem
Pendidikan.30 Dalam hal ini Foucault selalu memposisikan pandangan tentang
kuasa sebagai sesuatu yang berbeda dengan Althusser, yakni kuasa dalam relasi
bottom-up.
Lebih jelas tentang kuasa yang ia maksud maka di dalam bukunya The
History of Sexuality, ia memberikan beberapa pengertian tentang kuasa:31
1. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang didapat, diraih, atau dibagikan melainkan
kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
2. Relasi kekuasaan bukanlah dalam posisi eksterior tetapi dalam bentuk
imanen. Relasi kekuasaan bukanlah relasi superstruktur yang sifatnya
memiliki larangan atau memproduksi larangan.
29 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage
Books, 1990), hl. 92-93. 30 Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault membedakan represi dengan larangan
hukum. Represi menurutnya memberikan pengaruh pada ketaksadaran sesuatu hal yang berbeda
dengan larangan hukum. Hal ini juga yang membedakan dengan pandangan Althusser. 31 Ibid., hl. 94-95.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |20
3. Kuasa datang dari bawah sehingga tidak ada lagi distingsi binary atau
oposisi antara aturan dan yang diatur.
4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
5. Di mana ada kekuasaan, di situ ada resistensi. Resistensi tidak berada di
luar relasi kekuasaan itu, tetapi selalu berada di dalam kekuasaan.
Pengetahuan
Untuk semakin memperjelas konsep kuasa menurut Foucault maka
alangkah baiknya juga menjelaskan mengenai konsep “pengetahuan”. Pemahaman
relasi kuasa seperti yang dijelaskan sebelumnya berujung kepada menghasilkan
pengetahuan.32 Pengetahuan seperti yang dimaksud oleh Foucault bukanlah hanya
sebatas pada ide atau gagasan pemikiran melainkan lebih dari pada itu menyangkut
juga aturan atau larangan yang merupakan hasil dari relasi kuasa tersebut. Dan
pengetahuan inilah yang kemudian hadir di dalam wacana atau discourse. Misalkan
saja mengenai pengetahuan maka sistem-sistem pengetahuan inilah yang nantinya
mengkondisikan wacana tentang siapa yang disebut sebagai orang gila atau orang
sakit. Intinya, keterkaitan antara wacana dengan pengetahuan adalah ketika wacana
sendiri menjadi objek pengetahuan.
Foucault tidak memungkiri bahwa pengetahuan juga dihasilkan oleh relasi
kuasa dalam bentuk kekuasaan. Adanya perebutan kekuasaan dalam bentuk
kelompok, suku, lembaga negara, dsb turut mempengaruhi dan menghasilkan
pengetahuan. Misalnya, seperti yang dikatakan Foucault bahwa di negara-negara
32 Paul Rabinow (ed.), The Foucault Reader (New York: Pantheon Books, 1984), hl. 62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |21
Barat, informasi yang dihasilkan tentang perempuan akan membuat kita banyak
menemukan buku-buku tentang perempuan di perpustakaan dari pada tentang laki-
laki. Pada wilayah ini maka kuasa menurut Foucault hanyalah masalah produksi
dan reproduksi. Adanya wacana-wacana diktator atau otoriter disebabkan oleh
adanya relasi kuasa yang timpang. Demikian juga sebaliknya, adanya wacana
egaliter merupakan hasil perenungan bersama dalam bangunan relasi kuasa. Maka
dari itu Foucault menawarkan bahwa untuk melihat kekuasaan yang berkembang
pada saat ini maka Foucault menawarkan bukanlah mencari sumber dari mana
kuasa itu berasal melainkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi.
Mengenai pembentukan wacana itu sendiri, Norman Fairclough dengan
jelas membahasakan dan mendefinisikan bahwa pembentukan wacana dalam
pemikiran Foucault ini terdiri dari aturan-aturan pembentukannya, di mana aturan-
aturan tersebut adalah pertama, the formation of objects (pembentukan objek-
objek). Objek yang dimaksudkan di sini adalah objek pengetahuan. Pembentukan
objek-objek ini menekankan kepada entitas di mana kedisiplinan dan ilmu
pengetahun memiliki peranannya. Keberkaitan dengan wacana maka Foucault
membahasakannya sebagai yang bersifat konstitutif; sebagai suatu kontribusi,
reproduksi, transformasi atas objek tersebut. Kedua adalah the formation of
enunciative modalities (pembentukan modalitas dan posisi subjek). Pembentukan
ini berkaitan dengan praktik-praktik sosial, di mana kertekaitannya menentukan
posisi subjek dalam hal karakteristik, aktivitas, pernyataan ataupun tutur kata dalam
lingkungan sosial. Pembentukan ini akan menentukan otoritas dari subjek tersebut.
Misalnya saja seorang ahli hukum pastilah lebih memiliki “pengakuan” dari pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |22
seorang dokter ketika berbicara mengenai hukum. Ketiga adalah the formation of
concepts (pembentukan konsep). Pembentukan ini dimaksudkan untuk melihat
bagaimana “the field of statement” diasosiasikan dengan wacana tersebut, di mana
konsep-konsepnya yang dilihat dan diartikulasikan itu diorganisir. “The field of
statement” ketika berkaitan dengan pembentukan wacana maka memiliki banyak
dimensi. Hal ini bisa memunculkan keterkaitan antara teks-teks atau wacana-
wacana yang ada. Misalnya wacana kegilaan selalu berkaitan dengan rumah sakit,
penjara, dsb. Elemen-elemen inilah yang menjadi suatu konsep dari kegilaan
tersebut. Keempat adalah the formation of strategies (pembentukan strategi).
Pembentukan strategi dipahami ketika tema-tema atau teori-teori tidak terealisasi
sepenuhnya, maka strategi sangat menentukan akan tercapainya suatu tema, teori
atau masalah apa pun. Pembentukan ini selalu dikombinasikan oleh unsur-unsur
interdiskursif dan nondiskusif (material, dsb).33 Keempat aturan ini dapat dikatakan
menandakan reproduksi kekuasaan dalam bentuk wacana.
Lebih dalam lagi, Foucault mencoba mengembangkan teorinya tentang
pengetahuan dengan melihat ke sejarah masa lalu yang ia katakan sebagai
discontinuity atau sejarah yang terputus-putus. Ketika tidak ada hubungan vertikal
dalam melihat persoalan kuasa maka akan memunculkan suatu persoalan tentang
pencarian akan sejarah dalam menemukan suatu rezim pengetahuan atau episteme.
Discontinuity dalam sejarah akan selalu memunculkan peristiwa, institusi, ide atau
33 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.
40-48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |23
praktek yang terpecah-pecah.34 Setiap pengetahuan yang muncul akan selalu
berbeda-beda. Hal inilah yang disebut discontinuity akan suatu peristiwa sejarah
yang tidak memiliki hubungan dalam rentangan waktu. Episteme dalam tataran
diskursus menjadi suatu rezim, di mana akan membentuk suatu legitimasi walaupun
di dalam objek tertentu tidak dapat diwakili di dalam diskursus-diskursus. Foucault
melihat hal ini dalam meneliti tentang orang gila yang menjadi objek dari
pengetahuan, sehingga di dalam Archeology of Knowledge, Foucault berusaha
untuk mendefinisikan yang pada dasarnya sangat berbeda dengan ilmu sejarah
lainnya.35
Genealogi
Ketika dalam Archeology of Knowledge, Foucault menempatkan
investigasinya dalam tataran wacana atau discourse dalam melihat discontinuity dan
perbedaan, maka Foucault juga mengembangkan investigasi sebagai model
perspektif dalam bentuk genealogi kekuasaan. Dalam Foucault, Genealogi
merupakan kelanjutan dari Arkeologi. Genealogi memposisikan dirinya dalam
pencarian “asal usul”. Berangkat dari pemikiran Nietzsche tentang asal usul
(Ursprung) maka genealogi Foucault berangkat dari 3 (tiga) domain, yakni:36
1. Sejarah ontologi dari diri kita sendiri dalam hubungannya dengan
kebenaran melalui diri kita yang merupakan subjek pengetahuan.
34 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hl. 119-120. 35 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hl. 250-252. 36 Rabinow (ed.), Op. Cit., hl. 351
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |24
2. Sejarah ontologi dari diri kita dalam relasi dengan kuasa melalui diri kita
yang merupakan subjek yang bertindak diatas lainnya.
3. Sejarah ontologi dalam relasi dengan etika melalui diri kita sebagai agen
moral.
Dari ketiga domain ini maka genealogi sendiri lebih ditujukan kepada tubuh
indvidu/subyek. Namun demikian genealogi sebagai suatu metode investigasi juga
mengarah secara spesifik kepada agenda sosial dan politik. Di dalam genealogi
maka terdapat dua pendekatan di dalam investigasi, yakni pertama, pendekatan
sejarah untuk menginvestigasi suatu konsep, misalnya kemiskinan, dsb. Kedua,
juga untuk menginvestigasi fenomena sejarah yang dibentuk pada masa kini.37
Genealogi sebagai suatu metode investigasi individu akan membawa bentuk
kuasa yang bersifat sentralistis atau memusatkan. Dengan kegelisahannya yang
berangkat dari pengalaman penelitiannya tentang kegilaan, kematian, kejahatan,
seksualitas dan teknologi kekuasaan, maka ia pun berusaha melihat perspektif
dalam transformasi yang lain dengan menyorot tentang “identitas diri”. Dalam
konsepnya ini, individu dilihat melalui asal usulnya sebagai modalitas dalam bentuk
kekuasaan. Paling tidak, Foucault dalam memandang genealogi sebagai suatu
metode menggunakan teknik-teknik sebagai suatu mekanisme pembentukan
subjek, di mana inti dari teknik tersebut, yakni teknik produksi, signifikasi, dan
teknik dominasi.38 Ketiga teknik ini berada di dalam kehidupan sosial masyarakat
37 Paula Saukko, Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical and
New Methodological Approaches (London: Sage Publications, 2003), hl. 133. 38 Ketiga 3 teknik ini, ia dasarkan pada, yakni, pertama, teknik di mana seseorang akan
memproduksi, mentransformasi, manipulasi sesuatu. Kedua, teknik untuk menggunakan sistem
tanda-tanda. Dan ketiga, teknik seseorang dalam menentukan perilaku seseorang untuk mencapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |25
yang dapat diamati di dalam bentuk disciplinary power sebagai suatu pengawasan
atau yang ia gambarkan sebagai panopticism untuk menghasilkan pendisiplinan
tubuh, pengorganisiran, dsb. melalui lembaga-lembaga, misalnya sekolah, rumah
sakit, penjara, dsb.39
Dengan metode genealogi maka paling tidak penelitian yang hendak dicapai
yakni: pertama, genealogi memandang bahwa segala sesuatu merupakan konstruk
sejarah. Dari sini maka genealogi berusaha membuka ruang untuk berpikir dengan
perbedaan. Kedua, genealogi berusaha mendukung untuk kemungkinan adanya
masalah-masalah, kontradiksi politik ataupun adanya rezim sosial.40
Setelah menjabarkan teori Michel Foucault tentang kuasa, pengetahuan,
arkeologi pengetahuan dan genealogi maka saya melihat bahwa teori Foucault ini
dapat membongkar konstruk yang melekat dalam studi ini. Dalam genealogi maka
metode investigasi ini akan melihat bahwa kasus Ompu i Ephorus HKBP yang
merupakan peristiwa masa kini haruslah dilihat ke belakang dan merupakan hasil
dari konstruk sejarah di dalam pengetahuan. Sebagai keuntungan, genealogi tidak
hanya menelusuri sejarah tetapi membantu melihat kekinian sebagai suatu
konstruksi pengetahuan. Paling tidak pengetahuan tersebut bukanlah sekedar ide-
ide atau pemikiran-pemikiran melainkan di dalamnya terdapat juga aturan-aturan
atau larangan-larangan yang tidak terlihat (dibalik simbolik) yang mempengaruhi
ketidaksadaran. Gelar Ompu i yang menjadi studi ini merupakan konstruk historis
tujuan tertentu. Michel Foucault, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures
at Dartmouth (Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993), hl. 203 39 James D. Faubion (ed.), Op.Cit., hl. 58-59. 40 Paula Saukko, Op.Cit., hl. 116.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |26
sehingga menjadi pengkultusan, atau dengan kata lain adanya ketimpangan dalam
relasi pemimpin dan pengikut. Dalam genealogi maka investigasi akan selalu
menyorot kepada sumber aslinya, sehingga genealogi akan mereduksi kepada gelar
Ompu i yang dikonstruk oleh para missionaris sebagai yang pertama kali
mendapatkan gelar ini, sekaligus menjadi objek dan batasan penelitian dari studi
ini. Foucault tidak menampik akan adanya reproduksi wacana atau dapat dikatakan
perebutan kekuasaan, namun bagi Foucault hal ini dapat dilakukan dengan sikap
menyeluruh dan tidak hanya berdasarkan pada struktur birokrasi saja, mengingat
kuasa menurutnya bersifat desentralisasi.
Genealogi akan membantu dalam memetakan dan memformasikan dari
mana dan bagaimana kuasa itu tercipta di dalam periode sejarah tertentu. Dengan
memandang discontinuity atau ketidak-terhubungan di setiap masa, maka
reproduksi di dalam genealogi bukanlah sesuatu yang diberikan dan sifatnya statis.
Artinya, gelar Ompu i yang ada di Nommensen adalah suatu reproduksi dari wacana
kepemimpinan dalam pemahaman masyarakat Batak Toba tradisional yang sifatnya
tidak statis, namun telah dikonstruksi dalam suatu relasi kuasa. Tentunya empat
aturan-aturan pembentukan wacana yang didefinisikan Fairclough di atas, yakni
aturan-aturan the formation of objects (pembentukan objek), the formation of
enunciative modalities (pembentukan modalitas), the formation of concepts
(pembentukan konsep-konsep) dan the formation of strategies (pembentukan
strategi-strategi) memperjelas reproduksi kekuasaan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |27
H. Metode Pengumpulan Data
Dalam mendukung studi ini, saya mengunakan metode genealogi Michel
Foucault dalam melihat dan menganalisis wacana Ompu i, sehingga hal-hal yang
penting dalam pengumpulan data tersebut berupa:
1. Arsip. Metode genealogi selalu mengandalkan arsip dalam metode
penelitiannya. Dengan prinsip ini maka saya akan mencari data-data arsip,
folklor, majalah ataupun surat kabar untuk menunjang penelitian, dan juga
yang lebih penting, adalah menjadikan arsip sebagai analisa dalam studi ini
untuk melihat wacana Ompu i. Dalam menggunakan data arsip ini maka
saya memilahnya menjadi dua bagian, yakni data primer dan sekunder.
Untuk data sekunder maka arsip yang saya gunakan adalah arsip BRMG
(Bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft) tahun 1878 yang merupakan
laporan Nommensen kepada Kantor Pusat RMG atas keikutsertaannya
dalam misi Perang Toba I. Memang arsip ini telah dibahas oleh Uli Kozok
dalam bukunya Utusan Damai Di Kemelut Perang, dan saya menggunakan
arsip yang ada di buku tersebut, yakni yang merupakan versi terjemahan
yang dilakukan oleh Uli Kozok. Hal ini didasarkan atas keterbatasan saya
dalam berbahasa Jerman. Sedangkan untuk data primernya, maka saya
menggunakan media cetak Surat Kuliling Immanuel. Data ini saya gunakan
dengan melihat secara fungsional yang berdasarkan topik-topik terkait
antara tahun 1890-1918 pada masa Nommensen menjadi Ephorus pertama
HKBP. Data ini menjadi penting dan utama dalam penelitian ini, karena
majalah ini merupakan majalah zending yang ditulis dengan bahasa Batak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |28
Toba dan bersinggungan langsung dengan masyarakat Batak, sehingga
karya dari RMG dalam mereproduksi kekuasaan dalam wacana
kepemimpinan masyarakat Batak dapat terlihat. Kedua data arsip ini akan
saling melengkapi dalam metode genealogi yang saya gunakan, walaupun
saya akan mengedepankan Surat Kuliling Immanuel sebagai analisis data.
2. Observasi dan Wawancara. Metode ini saya gunakan hanya untuk
melengkapi studi ini. Saya mengakui bahwa posisi saya sebagai orang
dalam, selaku Pendeta di HKBP, menjadi kekurangan saya di dalam
mengambil jarak terhadap fenomena yang saya angkat. Namun demikian
kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan metode ilmiah yang
saya gunakan. Untuk metode observasi, maka saya akan mengamati
bagaimana hubungan pemimpin dengan pengikut pada masa Ompu i
Ephorus HKBP dengan para pendeta dan juga jemaat, serta fenomena-
fenomena yang hadir sebagai suatu pengetahuan tentang Ompu i.
Sedangkan untuk wawancara beberapa hal yang saya anggap penting adalah
mewawancarai pihak Parmalim (agama tradisional Batak Toba), ahli adat
dan budaya Batak untuk memaknai hukum-hukum dan falsafah dalam
budaya Batak sebagai legitimasi atas kedudukan gelar Ompu i.
I. Skema Penulisan
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini saya akan menjelaskan tentang kegelisahan dan
pergumulan saya yang dituangkan dalam latar belakang. Paparan dan deskripsi dari
suatu kegelisahan akhirnya dipertegas dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |29
persoalan dalam studi ini. Dalam bab ini juga akan dibahas teori sebagai acuan
dalam menjawab persoalan tersebut. Selain itu dalam bab ini juga terdapat kajian
pustaka untuk menyorot studi-studi yang memiliki kedekatan topik yang sama.
Kemudian yang tidak kalah penting juga adalah mendeskripsikan motode
pengumpulan data yang saya gunakan dalam melakukan penelitian. Hal ini perlu
sebagai bentuk kekongkretan dalam karya ilmiah bahwa studi ini bukanlah sesuatu
yang bersifat absurd. Dan terakhir adalah daftar isi.
Bab II Merajut Gagasan Ompu i. Dalam bab ini saya akan melihat munculnya
gelar Ompu i; baik mengenai arti dan istilah, serta kedudukannya bagi masyarakat
Batak Toba tradisional. Hal ini akan membawa kepada pemahaman bagaimana
Ompu i sendiri dipahami oleh masyarakat Batak, baik dalam pengertian sosial-
politis maupun religi. Mitos-mitos, hukum, dan falsafah Batak yang berkembang di
masyarakat Batak pada waktu itu menjadi legitimasi atas kedudukan Ompu i di
tengah-tengah masyarakat Batak Toba tradisional dengan keyakinan akan adanya
kedaulatan penuh atas adat dan budaya bangsa Batak.
Bab III Wacana Kolonial dalam Reproduksi Kekuasaan. Dalam bab ini, maka
akan dibahas masuknya zending RMG serta konteks yang melatarbelakangi badan
zending dalam mengabarkan Injil di tanah Batak. Melalui konstruk peradaban
secara menyeluruh, kekuasaanpun direbut yang memunculkan dan melegitimasi
gelar Ompu i kepada Nommensen. Melalui studi genealogi maka arsip dan
dokumen-dokumen menjadi data penelitian dalam studi ini yang justru ingin
membuktikan konstruk yang dilakukan zending menimbulkan relasi kuasa atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |30
pemakaian gelar Ompu i Nommensen, sehingga relasi ini yang menjadi
pengetahuan kepada pemakaian gelar Ompu i Ephorus HKBP.
Bab IV Analisis. Bab ini menjadi ruang untuk analisa atas data yang digunakan
pada bab sebelumnya, khususnya untuk data Surat Kuliling Immanuel sebagai
media yang digunakan RMG dalam mengkonstruk masyarakat Batak. Dengan
menggunakan teori kuasa Michel Foucault, maka saya akan mencoba menganalisis
wacana gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP yang memiliki kepentingan.
Bab V Kesimpulan. Akhirnya dalam bab terakhir ini saya akan berusaha
menyimpulkan keseluruhan bab yang telah diangkat sebelumnya, yakni melalui
dengan pembahasan secara singkat, serta membahas relasi kuasa yang terjadi dari
Wacana kepemimpinan Ompu i ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |31
BAB II
MERAJUT GAGASAN OMPU I
Jauh sebelum masuknya Kekristenan di Tanah Batak, gelar Ompu telah
digunakan oleh masyarakat Batak Toba. Masuknya kolonial Belanda ke wilayah-
wilayah nusantara memberikan dampak yang sangat besar di segala aspek,
termasuk juga dalam aspek kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Batak Toba
sendiri. Tak ayal bahwa wacana kepemimpinan ini pun yang digunakan oleh
Ephorus HKBP merupakan wacana yang berasal dari kolonialisme itu sendiri.
Dengan kata lain - disadari atau tidak - wacana ini merupakan suatu reproduksi atas
adat dan budaya Batak Toba tradisional sehingga dapat dikenakan kepada
Nommensen yang merupakan seorang Misionaris. Dengan adanya pengaruh
kolonialisme, maka tak heran banyak terjadi pergeseran makna dari adat dan
budaya Batak Toba tradisional.
Wacana kepemimpinan Ompu i dalam tradisi Batak Toba tradisional
memiliki makna yang utuh ketika wacana ini memiliki kedaulatannya dalam aspek
religi, adat dan budaya, sehingga untuk menelusuri wacana ini perlu melihat
pengaruh-pengaruh yang dimunculkan oleh kolonialisme, dan kemudian
menelusuri lebih jauh mengenai wacana aslinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |32
A. Pandangan Umum
Di dalam kamus Batak Toba Indonesia karya J. Warneck istilah
ompu/ompung dapat diartikan sebagai nenek dan kakek, yang memiliki penurunan
kata berupa ompung yang berarti panggilan untuk nenek dan daompung panggilan
untuk kakek yang tentunya berkaitan dengan Dalihan Na Tolu. Pengertian ini juga
termasuk kepada sapaan untuk leluhur. Warneck mengartikan Ompu sebagai
pemilik (nampuna), yang empunya, yang memiliki. Pengertian ini dapat berupa
keturunan, wilayah, dsb. Namun sedikit berbeda dengan Warneck, dalam Kamus
Batak Indonesia versi Batakpedia, Ompu i dapat juga diartikan sebagai pemujaan
terhadap nenek moyang.1 Perbedaan ini dapat dimaklumi terjadi mengingat J.
Warneck merupakan salah seorang misionaris yang diutus ke tanah Batak, sehingga
menghindarkan terjadinya sinkretisme dalam kosakatanya. Dari pengertian-
pengertian tersebut, maka istilah ompu memiliki pengertian yang luas dari sisi
tujuan dan objeknya.
Ada beberapa pemakaian gelar ompu yang lumrah didapati di dalam
masyarakat Batak Toba, yakni: pertama, yang paling sering digunakan, adalah
untuk penyebutan leluhur tertentu. Biasanya gelar ini digunakan di depan nama
orang untuk menyebut silsilah nenek moyang tertentu dalam memperjelas silsilah
dari suatu persatuan marga. Penyebutan ini diwakili oleh galur keturunan yang
berasal dari satu nenek moyang bersama, dari empat generasi ke belakang atau juga
dari galur keturunan yang sudah 12 sundut (generasi tuanya), sehingga sebagai satu
1 Lih. http://batakpedia.sourceforge.net/?page_id=9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |33
kesatuan kolektif sering disebut sebagai saompu (satu ompu).2 Misalnya Ompu
Sohuturon yang berarti sapaan dari keturunan Sohuturon dalam galur keturunan
Rajagukguk. Jikalau contoh tersebut diterapkan ke dalam pengertian yang diberikan
oleh J. Warneck maka Ompu Sohuturon adalah pemilik keturunan Sohuturon.
Demikian juga di marga-marga lainnya yang sering juga di dapati gelar ompu dalam
penyebutannya.
Kedua, selain menunjuk kepada leluhur dengan galur keturunan, maka
gelar ini juga digunakan kepada sesuatu yang dihormati yang bukan hanya dalam
bentuk manusia, yaitu kepada dewa/tuhan dan hewan tertentu. Untuk sapaan kepada
dewa/tuhan maka masyarakat Batak sering menyebutnya sebagai Ompu Debata
Mula Jadi Na Bolon. Penyebutan ini termasuk sebagai bentuk penghargaan yang
paling tinggi atas segalanya. Selain kepada dewa/tuhan, maka istilah ompu juga
dikenakan kepada hewan. Dalam tradisi lisan nenek moyang masyarakat Batak
sapaan ini dikenakan kepada harimau (babiat). Seperti yang dikisahkan ketika
masyarakat melihat jejak harimau maka jejak tersebut sering dikatakan sebagai
bogas ni ompu i (jejak ompu i).3 Masyarakat Batak meyakini harimau sebagai
binatang ditakuti yang memiliki roh keberanian dan penguasa, sehingga masyarakat
Batak sangat menyegani hewan ini dan menyebutnya dengan sangat hormat.
Namun mengingat binatang ini sudah sangat langka ditambah masuknya agama
semit maka lambat laun pemanggilan ini semakin berkurang.
2 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
hl. 23. 3 Berdasarkan kisah Pdt Lewis Sitompul dalam laman Facebooknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |34
Ketiga, gelar ompu i digunakan kepada raja, baik dari tingkat huta hingga
bius. Misalnya Ompu Hatobung yang merupakan raja dari Bius Pansurnapitu, dsb.
Bagi masyarakat Batak, raja mendapatkan tempat kehormatan, sehingga setiap yang
dilakukan raja selalu diikuti oleh masyarakatnya, dikarenakan raja sebagai sumber
atau pelaksana adat dan budaya yang harus diikuti oleh pengikutnya. Hal ini terlihat
dari umpasa (pantun) yang menerangkan posisi penting raja yang harus dijunjung
tinggi dan diikuti.
Ompu raja di Jolo, Martungkot Sialagundi
Pinungka ni ompunta parjolo, Siihuthonon ni na di pudi
Terjemahannya
Ompu raja di depan, Bertongkatkan Pohon Sialagundi
Dibuka pertama oleh Ompu kita, akan diikuti dibelakang
Namun dari raja-raja bius yang menggunakan gelar ompu i, maka raja yang
paling terkenal yang mendapat gelar tersebut adalah Singamangaraja.4 Hal ini
terlihat dari lagu “Tampollong Ma Disi” (Ansideng Ansinonding) yang dinyanyikan
masyarakat sekitar pemukiman Singamangaraja di Bangkara pasca terbunuhnya
Raja Singamangaraja XII5, dan juga masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang
menyebut Singamangaraja dengan sebutan Ompu i.
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Singamangaraja sangatlah berbeda
dengan raja pada umumnya atau seperti yang dikatakan Sidjabat dengan
4 Raja Singamangaraja adalah raja yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di wilayah
Toba, melainkan hingga Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari jejak-jejak yang ditinggalkannya.
Semasa hidupnya, ia aktif melawan permerintahan kolonial Belanda, sehingga atas jasanya tersebut,
ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia melalui Surat Keputusan
Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961. 5 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |35
pembedaannya yang melihat dengan huruf “o” kecil dan “O” besar antara ompu i
dengan Ompu i.6 Hal ini dikarenakan kedudukan Singamangaraja yang
mendapatkan tempat istimewa ditengah-tengah masyarakat.
Kedudukan raja di dalam Singamangaraja bukan hanya jabatan sekuler,
namun lebih dari pada itu sebagai pemimpin spiritual (rohani).7 Bahkan saya
melihat bahwa pada awalnya gelar Ompu i ini justru digunakan untuk penyembahan
atau religiusitas yang kemudian menjadi menyatu dengan jabatan struktural
(sekuler), yakni raja. Hal ini juga ditegaskan oleh PH O.L. Tobing (1963) yang
melihat bahwa gelar Ompu i berhubungan dengan penyembahan dalam
religiositas,8 sehingga pemberian gelar ompu i kepada Raja Singamangaraja
disebabkan adanya keyakinan bahwa Raja Singamangaraja merupakan titisan
Debata atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai “Debata Na Tarida” (Tuhan
yang terlihat), dalam pengertian religi masyarakat tradisional Batak, yang dalam
umpasa dikatakan: “Singamangaraja, Debata Na Tarida, sombaon na binoto”,
artinya “Singamangaraja adalah Tuhan yang terlihat, roh suci yang dapat
diketahui”.9
Melihat ketiga fungsi pemakaian gelar tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada sesuatu yang
dianggap paling dihormati, dihargai dan mendapatkan tempat yang paling tinggi
6 Lih. Ibid., hl. 431. 7 N. Siahaan B.A., Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak Toba-
Angkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo (Medan: C.V. Napitupulu & Sons, 1964),
hl.30 8 Ibid., hl. 42 9 Sering kesalahan arti terjadi di dalam mendefinisikan antara leluhur dengan Tuhan. Dalam
pandangan religi masyarakat Batak Toba tradisional, para leluhur (Ompu) juga dikenakan kepada
Dewa/Tuhan. Hal ini disebabkan karena dahulu dalam masyarakat Batak tradisional, tidak ada
pemisahan antara realitas (kenyataan) dengan sesuatu yang metafisik (mahluk kayangan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |36
dihadapan masyarakat, baik dalam bentuk posisi silsilah, jabatan (baca: raja) dan
otoritas. Maka dari itu, ketika ketiga definisi ini dikaitkan dengan Nommensen,
yang merujuk kepada Ephorus HKBP, pertanyaan mendasar adalah dimanakah
posisi gelar Ompu i Nommensen tersebut, mengingat latar belakang Nommensen
yang merupakan seorang non-pribumi, namun dapat diberikan gelar Ompu i oleh
masyarakat Batak (baca: pengikut)? Pertanyaan ini akan membuka posisi penting
atau kedudukan Nommensen dalam bentuk relasi kuasa.
Dalam fenomena pemakaian gelar Ompu i, Nommensen sering dikaitkan
atau disandingkan dengan Raja Singamangaraja. Hal ini terlihat dari beberapa ahli
sejarah yang mengaitkan kedua orang tersebut, misal salah satunya Van den End
yang mengungkapkan bahwa dengan pemakaian gelar tersebut maka Nommensen
sendiri dapat disandingkan dengan Raja Singamangaraja.10 Sedikit berbeda dengan
Van den End, menurut PTD Sihombing dalam bukunya Tuan Manullang (2008),
gelar Ompu i yang ada di Nommensen merupakan gelar yang dialihkan dari Raja
Singamangaraja XII sepeninggalan dirinya. Gelar kehormatan ini dialihkan atas
kebaikan dan kelembutan hati Nommensen oleh pengikutnya.11 Lain halnya dengan
pengakuan Ds. K. Sitompul yang merupakan seorang Pendeta HKBP seperti yang
dicatat oleh Bonar Sidjabat, gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen
memanglah dahulu digunakan oleh Singamangaraja. Dan catatan tersebut
melepaskan unsur religius dari gelar tersebut dengan hanya melihat secara sosial-
10 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999), hl. 186 11 Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang (Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008), hl.
352.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |37
politik mengenai peran Singamangaraja sebagai pendamai bagi masyarakat Batak.
Yang menarik kemudian dalam catatan tersebut ada semacam klaim atas
kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris Jerman yang secara sadar
menggunakan gelar tersebut untuk mempengaruhi agar tidak lagi mengikuti
Singamangaraja XII.12
Namun terlepas dari banyaknya interpretasi mengenai asal muasal gelar
Ompu i tersebut; baik itu berupa klaim sepihak dari para misionaris atau pemberian
dari pengikut; saya melihat dari pemikiran Foucault yang menyatakan bahwa
kekuasaan itu menyebar atau bersifat desentralisasi, maka munculnya gelar Ompu
i Nommensen merupakan (tak lepas) suatu konstruk atau reproduksi wacana yang
mempengaruhi pengikut (baca: masyarakat Batak) dalam bentuk dominasi
kekuasaan tentang sosok seorang pemimpin atau dalam wacana kepemimpinan,
sehingga memunculkan pengetahuan mengenai wacana kepemimpinan Ompu i
Nommensen. Hal inilah kemudian muncul fenomena dalam kehidupan masyarakat
Batak hingga sekarang bahwa kedua tokoh ini selalu disandingkan bersama,
misalnya saja TB Simatupang, seorang mantan purnawirawan TNI (Tentara
Republik Indonesia) yang juga sebagai kaum intelektual dalam isu Gereja, dan
budaya Batak, menyatakan bahwa masyarakat Batak berada di dalam dua Ompu i,
yakni Singamangaraja dan Nommensen.13 Bahkan penyandingan ini justru
12 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 431. 13 Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga
Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era
Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36. Hal yang sama juga saya dapatkan
ketika melakukan wawancara dengan Wilson Lumbanraja, salah seorang penganut Ugamo Malim,
yang mengatakan: “Ompu i yang mana, Singamangaraja atau Nommensen?”. (Wawancara dengan
Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |38
menimbulkan polemik bagi masyarakat Kristen Batak antara identitas kesukuan
dengan keyakinan agamanya.14 Tak heran bahwa kemudian hari muncul tokoh-
tokoh intelektual yang berusaha mendamaikan kedua sosok tersebut melalui
penelitian sejarahnya, walaupun tak menutup kemungkinan hal-hal yang
kontroversi turut muncul dalam bentuk pertentangan kedua tokoh tersebut yang
memang dalam realitas sejarahnya kedua tokoh tersebut pernah berjumpa. Terlepas
adanya polemik tersebut, namun yang pasti, kaitan antara wacana Ompu i
Nommensen dengan Singamangaraja menjadi wacana umum yang berkembang di
tengah masyarakat Batak, terlebih Toba.
Ketika terdapat penyandingan antara kedua tokoh tersebut maka masyarakat
Batak (baca: para pengikutnya) meyakini bahwa gelar Ompu i yang dikenakan oleh
Nommensen merupakan gelar dalam bentuk definisi yang digunakan oleh raja
walaupun memiliki kedudukan dan peran yang lebih dari raja lainnya, atau dengan
kata lain, memiliki definisi yang sama dengan gelar Ompu i yang dikenakan oleh
Raja Singamangaraja. Maka dari itu, di sini saya perlu terlebih dahulu melihat dan
menggali pengetahuan masyarakat Batak mengenai gelar ini dalam bentuk posisi
serta kedudukannya, sebelum masuknya misionaris ke Tanah Batak, atau ketika
Singamangaraja tampil sebagai raja dan memiliki kedaulatan yang penuh.
14 Banyak wacana-wacana yang membangun kebimbangan ini, misalnya salah satunya
http://fransaritonang.blogspot.co.id/2013/01/antara-nommensen-dan-sisingamangaraja.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |39
B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat
Dalam adat dan budaya Batak Toba, masyarakat Batak Toba selalu
berpegangan kepada 3 prinsip, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihal-Sihal dan Suhi
Ampang Na Opat. Telah banyak para ahli adat yang membahas tentang ketiga
prinsip ini, namun terkadang pembahasan ketiga prinsip ini tidaklah dibahas secara
holistik, serta tidak melihat konteks pemahaman atas fungsi wilayah atau
konteksnya awalnya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah kesalahan atau
kebingungan persepsi. Dalam menjelaskan ketiga prinsip ini maka perlu untuk
melihat fungsi wilayah dari ketiga prinsip tersebut. Fungsi wilayah ini menjadi
penting karena kehidupan masyarakat Batak terpola dalam 3 prinsip ini.
Pertama adalah Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga
merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan
pada masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu menjadi prinsip yang selalu dipegang
masyarakat Batak dan menjadi pondasi dalam kekerabatan hingga akhir hayatnya.
Prinsip ini mengatur kehidupan masyarakat yang hanya sebatas pada lingkup
keluarga, di mana aturan tersebut memiliki 3 kelompok hubungan kekeluargaan,
yakni: Dongan Sabutuha (teman semarga), Boru (anak perempuan atau keluarga
dari pihak menantu lakilaki), dan Hulahula (keluarga dari pihak istri).15 Adapun
dari ketiga unsur ini diatur dengan aturan yang berada di dalam Suhi Ampang Na
15 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta:
Balai Pustaka, 1986), hl. 71. Menurut PH. O.L. Tobing, Dalihan Na Tolu merepresentasikan
pembagian dunia dalam agama tradisional Batak, yakni: dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas.
Lih. PH. O.L. Tobing, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God (Amsterdam: South
and South-East Celebes Institue For Culture, 1963), hl. 150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |40
Opat: manat mardongan tubu yang artinya sesama marga haruslah saling
menghargai, sepemahaman dan sepenanggungan. Hal ini sebagai dasar untuk
terciptanya kerjasama sesama marga dalam menggarap tanah yang dimiliki oleh
marga na mamungka huta (marga yang memiliki kampung). Kedua, adalah elek
marboru. Artinya, kelompok hula-hula haruslah membujuk boru (anak perempuan),
mengingat peran boru cukup besar, terlebih dalam perayaan Horja. Dalam perayaan
tersebut, boru menjadi pelaksana dan bertanggung jawab atas atas terlaksananya
perayaan tersebut. Hula-hula menjadi pemberi perintah kepada boru. Yang ketiga
adalah somba tu hulahula. Hula-hula memiliki posisi yang paling tinggi, di mana
hula-hula dianggap sebagai perwujudan dari dewa Batara Guru atau dalam arti
kelompok ini sering dikatakan sebagai Debata Na Tarida (Tuhan yang terlihat),
sehingga kedua kelompok sebelumnya haruslah somba (bersujud) kepada
kelompok hulahula.16 Dalam Dalihan Na Tolu, ketiga kelompok ini tidak mengikat
kepada marga tertentu saja, melainkan hanya melihat posisi kelompok dari setiap
individu. Dengan kata lain, setiap individu pastilah akan pernah berada di
kelompok-kelompok tersebut ketika berada di lingkungan masyarakat. Dalam
Dalihan Na Tolu konsep Ompu i lebih kepada dikenakan kepada galur keturunan
sebagai silsilah marga.
Kedua, Paopat Sihalsihal. Prinsip ini berada di dalam wilayah huta
(kampung). Paopat Sihalsihal berarti penyangga batu keempat yang digunakan
untuk menyangga tungku ketika ketiga batu (Dalihan Na Tolu) tersebut tidak
16 Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba
(Jakarta: Obor, 2009), hl. 81-82.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |41
sanggup menampung tungku tersebut. Dengan kata lain, dalam lingkup wilayah
huta, maka paopat sihalsihal dimaksudkan untuk menampung kelompok, selain dari
kelompok yang ada di Dalihan Na Tolu. Kelompok ini sering dikatakan sebagai
dongan sahuta (teman sekampung). Di zaman sekarang, paopat sihalsihal sering
dikatakan sebagai STM (serikat tolong menolong) yang juga turut membantu dalam
suksesnya sebuah pesta atau perayaan.
Ketiga, adalah Suhi Ampang Na Opat. Dalam bahasa Indonesia Suhi
Ampang Na Opat berarti bakul yang memiliki empat sudut. Keempat sudut ini
adalah pondasi dari hukum dan adat Batak yang dapat berupa: tona (pesan), poda
(nasehat), uhum (hukum) dan patik (larangan). Dialah juga yang mengatur
kelompok di dalam Dalihan Na Tolu, termasuk paopat sihalsihal. (lihat gambar2)
Dalam kebanyakan pesta di zaman sekarang pengertian Suhi Ampang Na Opat telah
berbeda pengertiannya dari yang sesungguhnya. Padahal makna Suhi Ampang Na
Opat memberikan pondasi yang bukan hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan pesta,
tetapi juga memberikan penegakkan dan kedaulatan (harajaon) atas kerajaan dan
budaya Batak. Intinya, di dalam Suhi Ampang Na Opat terdapat dua bagian penting
yang setiap bagiannya memiliki empat ajaran, yakni: Bagian pertama tentang
Kebenaran (Habonoron), yang di dalamnya terdiri dari pengetahuan (Parbinotoan),
kepercayaan (Haporseaon), ketaatan (Pangoloion) dohot budi pekerti (Parulan).
Bagian kedua adalah Kedaulatan (Hadaulaton) yang terdiri dari rendah hati
(Haserepon), kesabaran (Habengeton), sopan santun (Hapantunon) dan
kehormatan (Hahormaton).17
17 Diambil dari http://batakweb.blogspot.co.id/2010/02/suhi-ni-ampang-na-opat.html.
Diakses pada 4 September 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |42
Gambar 2
Istilah Opat yang dalam bahasa Indonesia berarti empat yang merupakan
konsep dasar dari hukum dan adat Batak yang selalu bersandar pada 4 sisi atau asas.
Bahkan dalam prakteknya, Singamangaraja selalu menggunakan 4 raja untuk
mengisi jabatannya di dalam sistem bius. Keempat raja ini sering dikenal sebagai
raja maropat atau raja na opat, sehingga kerajaan Singamangaraja juga
berpondasikan pada suhi ampang na opat.
Di dalam perayaan-perayaan adat Batak falsafah ini juga haruslah berlaku,
sehingga adat tersebut dapat dikatakan sah. Namun adat yang berkembang di zaman
sekarang justru tidak lagi memperhatikan Suhi Ampang Na Opat. Telah terjadi
pergeseran makna dari pemakaian falsafah ini. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi
raja junjungan (raja yang dihargai atau dijunjung tinggi) sesuai yang dianjurkan
dalam Suhi Ampang Na Opat akibat kolonialisme di dalam menyingkirkan sistem
kerajaan. Itu artinya, adat yang digunakan hanyalah sampai kepada kelompok
Dalihan Na Tolu, padahal dalam Suhi Ampang Na Opat, terdapat satu kelompok
lagi yang menjadi bagian penting dari terlaksananya adat, yakni raja, sehingga di
dalam Suhi Ampang Na Opat haruslah melaksanakan manat (menghargai)
Suhi Ampang
Na Opat
Dalihan Na
Tolu
Somba tu
Hula-hula
Dalihan Na
Tolu
Elek
Marboru
Dalihan Na
Tolu
Manat
mardongan
Tubu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |43
mardongan tubu, elek (membujuk) marboru, somba (menyembah) marhulahula,
dan pantun marraja (tunduk kepada raja). Raja yang dimaksud di sini adalah raja
dalam pengertian yang memiliki kuasa atas wilayah dan memiliki lembaga untuk
mengatur hukum dan adat Batak, yakni dalam wilayah huta (kampung), horja, dan
bius. Tidak ada hubungan genealogis seperti di dalam konsep Dalihan Na Tolu.
Paling tidak, adanya raja dalam Suhi Ampang Na Opat dapat menciptakan
kedamaian dan persatuan; sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan dalam Dalihan Na
Tolu. Maka dari itu, masyarakat Batak meyakini raja merupakan perpanjangan
tangan dari dewa/tuhan di dalam iklim religiositas masyarakat Batak Toba
tradisional.
Konsep di dalam Suhi Ampang Na Opat menghargai peran raja di setiap
aspek kehidupan masyarakat Batak. Raja menjadi penuntun kepada masyarakat,
karena ia lah yang menjadi penyelenggara atas hukum dan adat, baik sekuler
maupun religi. Ketika Singamangaraja I-XII masih memiliki kedaulatannya,
Singamangaraja menjadi raja yang diakui oleh seluruh bius, horja dan huta.
Artinya, Singamangaraja menjadi raja yang tertinggi dari raja-raja lainnya,
sehingga diberikan gelar sebagai Ompu Raja Singamangaraja. Namun untuk
melihat lebih mendalam mengenai gelar ompu raja maka haruslah melihat
bagaimana kedudukan secara sosio-politis Raja Singamangaraja di masyarakat
Batak Toba, serta bagaimana kuasa Raja Singamangaraja tersebut didapatkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |44
C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja
Dinasti kerajaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak adalah pemersatu
dalam hal adat, budaya dan religi. Sifat kekuasaannya bukanlah berasal dari
peperangan dan kekerasan, namun dari keyakinan masyarakat atas kesaktiannya.
Dalam terminologinya, Singamangaraja berasal dari dua kata, yakni Singa dan
Mangaraja. Istilah singa bukanlah menunjuk kepada nama binatang “singa”,
melainkan dari bahasa Batak yang berarti “konstruksi”, sedangkan Mangaraja
diartikan sebagai maha raja. Dengan demikian Singamangaraja dapat diartikan
sebagai pondasi dari kerajaan. Singamangaraja juga sering disebut sebagai Singa
Ni Uhum (undang-undang) dan juga Singa Ni Hadatuhon (religi).18 Namun terlepas
dari banyaknya istilah yang berkembang dalam bahasa Batak, kekuasaan
Singamangaraja tetaplah memiliki peran penting bagi masyarakat Batak Toba. Para
tokoh peneliti ataupun misionaris yang berasal dari luar Indonesia, seperti Marsden
dan Rafles, Van Der Tuuk, B. Hagen, J.F. von Brenner, Meerwaldt, dsb, juga
mengakui pengaruh kekuasaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak. Bahkan
Van der Tuuk sendiri, salah seorang ahli sastra Batak yang membantu missionaris
Jerman, menyebut Raja Si Singamangaraja XII sebagai koning aller Bataks (raja
dari segala orang Batak) ketika ia berjumpa langsung dengan Raja Si
Singamangaraja XII di Bakara pada 1853.19
18 Adniel Lumbantobing, Sedjarah Si Singamangaradja I-XII (Tarutung: Dolok
Martimbang, 1959), hl. 13 19 Dr. W.B. Sidjabat, Op.Cit., hl. 71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |45
Kebesaran dan kekuasaan Dinasti Singamangaraja tidak terlepas dari
adanya paham-paham religiositas, sosial, kesehatan, ekonomi, politik, adat dan
budaya, serta hukum yang berkembang di masyarakat Batak. Dan aspek-aspek
tersebut telah di mulai sebelum adanya dinasti Singamangaraja. Itu artinya, telah
terdapat paham berupa ajaran-ajaran yang mempersatukan masyarakat Batak.
Dinasti Singamangaraja menjadi kerajaan dengan melaksanakan paham-paham
tersebut, sehingga tanpa disadari, Dinasti Singamangaraja menjadi sebuah lembaga,
bahkan dapat dikatakan sebagai bangsa, yang memiliki fungsi hukum, agama,
ekonomi dan sosial yang berpusat di wilayah Toba.20 Hal ini yang juga dikatakan
oleh Sitor Situmorang, yang terkadang justru tidak diamati oleh para peneliti,
semisal, Lance Castles.21
Maka dari itu, untuk melihat bagaimana Raja Singamangaraja sendiri dapat
menjadi raja atas masyarakat Batak perlu terlebih dahulu melihat bagaimana awal
mula munculnya paham atau ajaran tersebut, sehingga dapat menjadi pemersatu
bagi masyarakat Batak melalui tatanan atau sistem struktur sosial masyarakat.
1. Mitos Si boru Deak Parujar
Keberadaan masyarakat Batak tidak dapat dipisahkan dari mitos Siboru
Deak Parujar. Mitos ini mengungkapkan tentang asal usul masyarakat Batak, dan
juga menjadi bagian penting di dalam terbentuknya sistem pemerintahan di dalam
masyarakat Batak tempo dulu. Melalui tradisi lisan secara turun temurun maka
20 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010), hl. 69. 21 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl. 19-20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |46
mitos ini menjadi kekuatan di dalam masyarakat Batak sebagai suatu konsep
religiusitas akan keberadaan manusia di dunia. Dalam mitos tersebut masyarakat
Batak meyakini bahwa manusia pertama yang diciptakan adalah si Raja Batak, dan
dari Raja Batak inilah kemudian masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru
dunia dan beranak cucu.
Karena mitos ini berasal dari tradisi lisan maka mitos ini memiliki beragam
versi.22 Di sini saya tidak akan menceritakan ulang mitos tersebut, namun saya
melihat bahwa mitos tersebut memiliki dua bagian penting, yakni pertama, Aturan
dan Perintah berupa pernikahan yang diberikan Ompu Mula Jadi Nabolon (Sang
Pencipta) kepada ciptaannya (manusia kayangan/langit), termasuk Boru Deak
Parujar agar menikah dengan Raja Odapodap, yang akan membentuk 3 suku dan 3
kerajaan sebagai suatu awal mula Dalihan Na Tolu, yakni satu suku dan kerajaan
Sabutuha, dua suku dan kerajaan boru, 3 suku dan tiga kerajaan hulahula. Kedua,
penolakan boru Deak Parujar terhadap aturan dan larangan sebagai suatu
penolakan atas wibawa sang Bapak (Ompu Mula Jadi Na bolon), sehingga
terciptalah bumi sebagai tempat tinggal manusia beserta isinya. Adanya penolakan
tersebut maka putuslah hubungan antara bumi (banua tonga) dengan langit (banua
ginjang). Namun karena kebaikan dari Ompu Mula Jadi Nabolon maka hubungan
tersebut dapat tercipta melalui doa dan juga persembahan. Masyarakat Batak
22 Keberagaman akan mitos Deak Parujar merupakan keberagaman yang dikarenakan
bersifat tradisi lisan, serta ditradisikan pada marga-marga di masyarakat Batak. Namun, Anicetus B.
Sinaga di dalam tulisannya membedakan mitos ini ke dalam 3 versi sebagai suatu contoh dan tidak
sebagai menutup kemungkinan akan versi lainnya, yakni versi Johannes Warneck yang ditulisnya
pada tahun 1909, versi Philip Lumban Tobing, serta versi Nahum Raja Patik Tampubolon pada tahun
2002 dalam Pustaha Tumbaga Holing. Lih. Dr. Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak-Toba:
Transendensi dan Imanensi (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hl. 239.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |47
meyakini bahwa Pusuk Buhit adalah sebagai altar dari doa dan persembahan
tersebut.
Kedua hal ini sangatlah penting karena akan menjadi dasar di dalam
terbentuknya pemerintahan kerajaan masyarakat Batak. Ketika bumi telah tercipta
menurut keyakinan masyarakat Batak maka terciptalah Raja Batak sebagai manusia
pertama (jolma) yang kemudian menciptakan huta (kampung) Sianjurmulamula;
berbeda dari zaman boru Deak Parujar dan 7 generasi setelahnya yang merupakan
manusia kayangan. Dari kedua hal ini maka juga bahwa Raja Batak sebagai
manusia pertama mewariskan bumi yang berasal dari penolakan boru Deak Parujar
atas larangan Ompu Mula Jadi Na Bolon, sehingga bumi dan manusia telah
melakukan kejahatan. Dengan maksud inilah maka untuk terakhir kalinya Mula Jadi
Na Bolon turun ke bumi dan menyerahkan aturan dan perintahnya berupa 2
pustaha, yakni pertama, Pustaha laklak atau yang sering disebut sebagai Surat
Agong yang berisi pedoman kerohanian, kebatinan, hadatuhon (ilmu pengobatan),
Habeguhon (ilmu yang bersifat mistik atau sihir), parmonsahon (ilmu silat dan
perang), pangaliluon (ilmu menghilang dan membuat orang linglung), dan
parhalaan (ilmu perbintangan). Kedua, Pustaha Tumbaga atau sering disebut Surat
Tumbaga yang berisi tentang ajaran pemerintahan berupa aturan-peraturan
kerajaan, adat dan hukum, parumaon dan parhaumaon (perumahan dan pertanian,
partigatigaan (pengetahuan dagang), paningaon (karya seni). Pustaha pertama
diwariskan oleh keturunan Raja Batak, yakni Guru Tateabulan atau yang sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |48
dikatakan sebagai sahala tua, sedangkan pustaha kedua diwariskan kepada Raja
Isumbaon atau sering dikatakan sebagai sahala harajaon.23
Kedua pustaha ini merupakan awal mula sistem pemerintahan dan adat dari
masyarakat Batak Toba, dan menjadi dasar dari organisasi Huta (kampung), Horja
dan Bius. Artinya, kedua pustaha tersebut mencakup aspek religi dan aspek sekuler
dalam bentuk pemerintahan (harajaon). Kedua aspek ini yang menjadi dasar dari
aspek Bius. Bahkan dikemudian hari pustaha laklak yang menjadi sumber
religiositas membentuk kelompok parbaringin (pendeta/imam) dan menjadi ciri
utama dalam sistem Bius Sianjurmulamula. Menurut Sitor Situmorang kedua aspek
ini yang seharusnya dapat menciptakan kesatuan dan kemajuan, namun dikemudian
hari justru sering menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam bentuk dualisme. 24
2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius
Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali
terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau
doa-doa sebagai berikut:
Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa.
Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa
Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi
Mula ni sombayang, mula ni sombauasi.
Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi
Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan
Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging
Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada.
Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.
23 Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja
Isumbaon tidak pernah membuka pustaha tersebut hingga akhirnya keturunan merekalah yang
membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua
Rajadoli sering dikatakan sebagai Martua Rajadoli mula ni Raksa ni Hadatuhon sian Pustaha
Laklak (Martua Rajadoli awal dari pengetahuan adikodrati yang tertulis dalam pustaha laklak),
sedangkan Tuan Sorimangaraja sering dikatakan sebagai Tuan Sorimangaraja Mula ni torsa ni
Harajaon sian Pustaha Tumbaga (Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan
yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga) (lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan (Harajaon) dan
Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hl. 141. 24 Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 24-26.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |49
Parsaapan manogot, parangiron bodari Tempat mata air yang bergelang-gelang, tempat
mandi yang besar
Namun demikian, Sianjurmulamula bukan hanya menjadi huta pertama,
melainkan tempat ini menjadi penting dikarenakan dari tempat inilah kemudian
masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru seturut dengan bertambahnya
jumlah masyarakat di huta tersebut. Bahkan perkembangan ini membuat status
Sianjurmulamula pun bukan lagi dipandang sebagai huta, tetapi juga sebagai Bius;
yang meliputi daerah huta Limbong dan Sagala. Walaupun perkembangan
masyarakat Batak sudah keluar dari wilayah Sianjurmulamula, namun demikian
status Sianjurmulamula masih menjadi salah satu model percontohan di setiap
pembangunan bius-bius lainnya, yakni dengan menekankan aspek religi (Pustaha
Laklak) dan sekuler (pustaha Tumbaga). Penyebaran masyarakat Batak banyak
terdapat di wilayah Samosir, Toba-Holbung, Humbang dan Silindung. Menarik
kemudian menulusuri lebih dalam mengenai perkembangan huta, horja dan bius,
serta bagaimana konsep Sianjurmulamula diterjemahkan di dalam bius-bius yang
ada dan dalam hubungannya dengan Huta dan Horja, karena dengan ketiga inilah
sistem hirarki pemerintahan Singamangaraja terlihat.
Huta
Menurut Vergouwen huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol
dari pada kelompuk suku (perkumpulan semarga atau dapat juga sebagai horja).25
Alasan Vergouwen ini ada benarnya dengan alasan Huta memiliki kekerabatan
yang dekat dari pada kelompok suku, walaupun mayoritas penduduk huta
25 J.C. Vergouwen, Op. Cit, hl. 132.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |50
merupakan satu kelompok suku tertentu atau semarga. Namun tidaklah otomatis
bahwa isi dari huta tersebut adalah hanya satu marga tertentu saja, tetapi juga
terdapat marga paisolat atau parripe (penumpang) yang harus tunduk kepada marga
utama.
Bagi masyarakat Batak membuka atau mendirikan huta yang baru sama
halnya dengan mendirikan harajaon yang baru. Hal ini disebabkan pendiri huta
akan menjadi raja atau huta tersebut. Konteks yang ada dalam masyarakat Batak
setiap huta yang berdekatan pastilah memiliki hubungan kekerabatan. Itulah
sebabnya huta yang pertama tidak dapat dilepaskan dari huta-huta yang
mengikutinya. Dalam istilah Batak, kampung yang baru dibuka yang dihuni oleh
keluarga-keluarga yang merupakan warga dari satu bagian klan dinamakan lumban
atau biasanya disebut lumban ni huta. Dan ketika sebagaian penghuni lumban
tersebut membuka kampung yang baru maka akan di sebut sosor atau biasanya
sosor ni huta.26
Selain dari ketidakidentikan huta dengan kelompok suku atau marga, hal
lain yang memperjelas dari huta adalah adanya pembagian wilayah dengan batas-
batas yang jelas. Biasanya huta berdiri di sebidang tanah yang memiliki batas
disekelilingnya dan di huni oleh kerabatnya (pendiri huta). Biasanya batas tersebut
dikeliling oleh bambu atau parik, semacam tembok yang terbuat dari tanah atau
susunan batu. Huta dan tanah memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dikarenakan huta mengatur hak kepemilikan tanah. Kepemilikan ini mengatur hak
tanah yang menyangkut kepada kepemilikan atas marga pendiri huta, pihak boru
26 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl. 149-150.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |51
(perempuan), marga penumpang, serta tanah garapan. Maka dari itu, posisi huta
memiliki keotonomian atas hak tanah, sehingga ketika dikaitkan dengan sistem
pemerintahan pemerintahan tradisional Batak Toba, maka huta merupakan
memiliki wewenang yang paling kecil secara teritorial.27 Namun pengaturan
tersebut bukan hanya pada masalah tanah saja, tetapi segala kehidupan yang
menyangkut atau berhubungan dengan huta (hatopan) tersebut merupakan
wewenang dari huta tersebut, misalnya perkelahian, adanya pendatang, dll. Dalam
pemerintahan tradisional Batak Toba, huta telah memiliki aturan yang jelas.
Bahkan di hutalah akan terlihat dengan jelas penggunaan adat dan hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, di sini saya tidak akan membahas seluruh aturan
dan larangan dalam kehidupan di huta, melainkan akan melihat struktur fungsional
dalam huta yang nantinya akan berkaitan dengan horja dan bius.
Di dalam huta, hak memerintah merupakan hak bersama (hatopan) setiap
keturunan patrilineal langsung si pendiri huta tersebut. Walaupun menurut hukum
hak tersebut dipegang oleh raja huta namun keturunan dari raja huta tersebut juga
mendapatkan manfaatnya dan mempunyai hak istimewa. Dari fenomena seperti ini
Vergouwen membahasakan huta sebagai suatu “sel dari suatu organisasi politik
yang dibentuk oleh marga dan kelompok suku, tetapi sebuah sel dengan kehidupan
persekutuan”.28 Yang menarik dari pengertian ini, ketika Vergouwen
mengumpamakan huta sebagai suatu sel maka hal ini menandakan bahwa sifat dari
huta selalu berkaitan dengan huta-huta lainnya yang menjadi pengembangan atau
27 Ibid., hl. 147. 28 J.C. Vergouwen, Op. Cit., hl. 141.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |52
perluasan dari huta sebelumnya. Walaupun hubungan paralel ini diikat dengan
hukum dan adat namun huta mememiliki dimensi politik yang justru cenderung
menjadi kekuatan sebagai persekutuan yang kecil. Dalam posisi inilah raja huta
memiliki kekuatan ketika menjadi yang paling dituakan dan dihormati.
Raja huta atau yang sering dikenal sebagai Tunggane Ni Huta (tetua
kampung) di Samosir dan ada juga yang menyebutnya Siboan Bunti (pembawa
persembahan) memiliki tugas mengelola huta, menegakkan hukum dan
menyelenggarakan peradilan, adat, ketertiban dan disiplin. Jabatan atau gelar ini
biasanya merupakan gelar keturunan (waris) dari garis patrilineal. Bahkan, ketika
berhubungan dengan kepentingan atau urusan di luar huta tersebut maka raja huta
menjadi perwakilan dari kepentingan huta tersebut. Masyarakat huta tersebut juga
haruslah menerima kepemimpinan dan bimbingan dari raja huta. Segala aktivitas
masyarakat, seperti perkawinan, penjualan ternak dan urusan tanah haruslah
melibatkan raja huta sebagai bentuk partisipasi penting atas peran raja huta. Dari
sinilah kemudian raja huta menjadi penentu atau pintu terakhir yang memainkan
peranan penting bagi keberlangsungan hutanya. Idris Pasaribu dalam novelnya
berjudul Mangalua memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai posisi dan
kedudukan penting raja (huta, horja, bius) ditengah-tengah masyarakat dalam
memberikan nasehat, mediasi; yang dengannya akan membawa solusi bagi
kehidupan keluarga dan masyarakat.29 Hal ini sesuai dengan umpasa berikut ini
dapat menerangkan posisi raja:
Baris-baris ni gaja di rura pangaloan,
Molo marsuru raja ingkon oloan
Gajah berbarisbaris di lembah Pangaloan
Jika Raja memberikan perintah maka harus dilaksanakan.
29 Lih. Idris Pasaribu, Mangalua (Jakarta: Obor 2015), hl. 145.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |53
Molo so nioloan tubu hamagoan
Ia nioloan dapot pangomoan
Jika tidak dilaksanakan akan lahir malapetaka
Yang melaksanakannya akan mendapat keuntungan
Di dalam hukum dan adat masyarakat Batak ada beberapa motif yang
mendasari akan adanya pengikat atau hubungan huta dengan huta lainnya atau
bahkan ke kelompok suku, yakni : 30
1. Motif kesilsilahan. Motif ini paling besar pengaruhnya dalam
masyarakat Batak. Walapun terkadang tidak melibatkan seluruh
masyarakat di huta tersebut, namun paling tidak mempunyai hubungan
di beberapa anggota masyarakat huta tersebut.
2. Motif keagamaan. Motif ini sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat huta menjadi masyarakat kurban dan persekutuan. Seperti
yang dicatat Vergouwen bahwa terkadang motif keagamaan ini kurang
berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai suatu persekutuan.
3. Motif kewilayahan. Motif ini kurang berpengaruh dalam mengikat
kelompok masyarakat. Namun beberapa hal sangat berpengaruh
khususnya di wilayah emigrasi, yakni tempat kampung-kampung
bersatu di dalam wilayah campuran atau daerah yang memiliki marga
yang berbeda namun masih memiliki pertalian.
Setelah menjabarkan pengertian huta dalam masyarakat Batak serta peran
penting raja huta, maka dapat disimpulkan huta memiliki kedudukan dan fungsi
penting bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan, huta menjadi pondasi kepada
sistem yang lebih tinggi, yakni horja dan bius, termasuk nantinya menjadi pondasi
30 Ibid., hl. 144.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |54
dalam keberlangsungan dinasti Singamangaraja. Dan raja huta bertanggung jawab
kepada horja dan bius. Hal ini terlihat dari umpasa yang menggambarkan dinasti
tersebut.
Huta do mula ni Horja
Horja do mula ni Bius
Huta membentuk horja
Horja membentuk bius
Horja
Horja merupakan federasi tingkat pertama yang merupakan kumpulan dari
beberapa huta. Biasanya horja merupakan kelompok satu marga atau sekelompok
marga yang sama (marga-raja) dari beberapa huta walaupun tidak menutup
kemungkinan terdapat marga lain yang berbeda dikarenakan adanyak kelompok-
kelompok pendatang baru dan juga kelompok marga lain yang leluhurnya memiliki
peranan dalam membuka tanah atau huta.31 Namun demikian horja sendiri pada
intinya merupakan persekutuan kelompok-kelompok yang masih terikat dengan
hubungan kekerabatan marga atau Dalihan Na Tolu: hula-hula, dongan sabutuha
maupun boru. Paling tidak adanya keterikatan antarhuta menjadi horja dikarenakan
adanya ikatan genealogis, adat, religi dan teritorial.32 Hal inilah yang mendasari
keberlangsungan dari adanya horja. Misalnya saja horja Bangkara yang merupakan
kumpulan dari huta Raja dan huta Siunongunong Julu dan huta Sionggang.
Horja dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai karya atau kerja. Awalnya
perkumpulan ini sebagai suatu seremonial atau pesta atas persekutuan masyarakat
kurban yang bersifat religi, namun lambat laun horja menjadi urusan sekuler yang
mangurus keamanan (jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok dari
31 Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 38. 32 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl.162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |55
huta yang bukan semarga), peperangan, hak kepemilikan dan pengurusan tanah, dll.
Sebagai relasi dari masing-masing huta maka horja dimaksudkan sebagai bentuk
kerjasama baik sesama marga maupun dengan marga boru (marga suami dari
perempuan yang berasal dari kampung tersebut). Biasanya bentuk kerjasama
tersebut berupa pengelolaan tanah (golat).
Dengan terikat akan relasi antarhuta, maka kepemimpinan horja dinamakan
sebagai Dewan Raja atau Raja Horja atau juga sering dikatakan sebagai Raja
Junjungan. Mekanisme pengangkatannya dengan melibatkan dan memberikan hak
suara kepada setiap huta untuk mengusulkan calon raja yang kemudian dipilih
secara demokrasi oleh masing-masing huta. Namun biasanya yang menjadi raja
horja adalah marga sipungka (pembuka) huta atau kampung.33 Istilah raja di sini
bersifat kolektif yang terdiri dari raja-raja si pembuka huta. Setelah terpilih maka
raja horja inilah yang kemudian memimpin setiap kegiatan horja didampingi
beberapa orang dari golongan parbaringin (kaum pendeta/imam), walaupun ada
beberapa horja yang justru kedudukan raja merangkap juga kedudukan dan
pekerjaan golongan parbaringin.
Menurut Ulber Silalahi ada dua fungsi penting dari horja, yakni: pertama,
fungsi religi. Fungsi ini dapat diartikan sebagai suatu pesta atau ulaon marga. Jika
diaktualisasikan pada masa kini maka deskripsi yang paling jelas dalam
menggambarkan horja adalah ritus pesta adat atau ulaon adat dari marga walaupun
secara esensi telah berbeda. Dalam fungsi ini maka horja melaksanakan ritus
33 Ibid., hl. 214.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |56
pemujaan leluhur marga, namun pekerjaan ini haruslah direstui oleh Bius melalui
permusyawarahan yang disebut sebagai tonggo raja. Dengan menggunakan tarian
tunggal panaluan (tongkat sakti simbol marga) maka dalam perayaan tersebut
haruslah mengundang roh leluhur yang dinamakan horja santi, dan Datu (semacam
Dukun) berfungsi dalam pemanggilan roh tersebut. Selain ritus pemujaan leluhur
maka horja dalam fungsinya sebagai religi juga melaksanakan pesta besar atau
horja rea yang dipimpin oleh parbaringin (kelompok imam). Kedua, fungsi
administrasi dan hukum. Fungsi ini menerapkan aturan di dalam horja sebagai suatu
harajaon atau kerajaan yang berlaku baik ke luar (diluar wilayah horja) ataupun ke
dalam (bagi anggotanya sendiri). Misalnya jikalau terjadi penggarapan tanah yang
bukan menjadi haknya atau pengambilan hasil ternak diluar hak wilayahnya (golat)
yang dilakukan oleh orang/kelompok diluar dari horja tersebut maka aturan dalam
horja akan menuntut hak korban. Jikalau kasus tersebut dilakukan oleh anggotanya
maka akan dilakukan perdamaian yang dilakukan di partungkoan yang disebut
sebagai parriaan. 34
Setelah melihat fungsi horja dari urusan religi hingga kepada masalah
sekuler maka dalam hubungannya dengan bius, horja menjadi kustituen dari bius
yang merupakan federasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini setiap horja memilih
dan mengutus wakilnya untuk menjadi dewan pemerintahan sekuler bius, serta
mengutus wakilnya menjadi imam dalam kelompok parbaringin.
34 Ibid., hl. 165-166.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |57
Bius
Pemerintahan bius merupakan pemerintahan konfederasi dari beberapa
pemerintahan horja. Terbentunya bius biasanya dikarenakan adanya kedekatan
geografis, walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya faktor genealogis
atau sesama marga dalam pembentukan bius. Namun yang menjadi hal esensial dari
kehadiran bius adalah adanya ikatan dari aspek religi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
sebagian besar kegiatan bius merupakan kegiatan keagamaan. Bahkan bius juga
memiliki ritus-ritus tersendiri yang berbeda dari horja dan huta, atau dengan kata
lain ritus tersebut hanya dapat diselenggarakan di tingkat bius, misalnya kegiatan
mangase taon (perayaan tahun baru), maname (perayaan musim tanam), dll. Ada
juga kegiatan bius yang merupakan kegiatan sekuler namun tetap dinaungi secara
religi, misalnya pesta bius yang dipimpin oleh raja bius namun pelaksana ritus
tetaplah kelompok parbaringin (kelompok kaum imam). Dalam kegiatan tersebut
parbaringin memimpin seremonial dengan memberikan persembahan kurban
kepada debata.
Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula, yakni adanya 2 pustaha, pustaha
laklak dan tumbaga, maka bius selalu mementingkan keseimbangan di dalam unsur
duniawi (sekuler) dengan religi. Dengan konsep tersebut, maka idealnya bius
menjadi aparatus yang diisi oleh dewan bius atau biasa disebut raja bius dan
kelompok parbaringin (imam atau pendeta). Dewan bius berisi enam anggota dan
kepemimpinannya bersifat primus inter pares, di mana anggota tertua dari horja
menjadi pemimpinnya. Dewan bius inilah yang menjadi pengayom hukum secara
sekuler, sedangkan kelompok parbaringin merupakan kumpulan para pendeta atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |58
kaum imam yang mewakili tiap horja. Walaupun kelompok parbaringin menjadi
pendamping dewan bius namun kehadirannya tetaplah tunduk kepada aturan hukum
sekuler. Keduanya, dewan bius dan parbaringin, bekerja dengan sifat saling
melengkapi. Biasanya yang menjadi raja bius adalah marga raja dari sipungka huta
atau pembuka/pendiri kampung.
Menurut Sitor Situmorang, bius yang sesuai dengan Sianjurmulamula
memiliki konsep yang jelas; dari hukum sekuler yang menjadi adat bius hingga
religiusitas memiliki pengaturannya. Dengan konsep ini Sitor Situmorang
menganggap bahwa konsep ini dapat menjadi perwujudan suatu bangsa, di mana
bius yang memiliki fungsi otonomi tersendiri, adanya fungsi onan (pasar) serta
ditambah fungsi lembaga Singamangaraja menjadikan Toba sebagai state-
tendency.35
Adapun beberapa fungsi bius dan menjadi adat bius adalah mengatur,
yakni:36
1. Hukum pertanahan
2. Hukum relasi bertetangga
3. Hukum pengusaan tanah atau hukum golat
4. Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau)
35 Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 19-20. 36 Ibid., hl. 12-13. Sitor Situmorang tidak memasukkan penyetujuan Onan sebagai tugas
dari bius. Hal ini berbeda dengan Ulber Silalahi. Menurut Sitor, Onan bukan hanya sekedar dilihat
sebagi pasar atau jual beli belaka melainkan telah menjadi lembaga yang tingkatnya sudah diatas
bius, walaupun hasil dari Onan merupakan pengesahan atas kerjasama antarbius. Lebih jauh ia
melihat bahwa Onan menjadi aspek tertib hukum yang kelembagaannya diresmikan oleh
Singamangaraja atau Sorimangaraja (sebelum adanya Singamangaraja). Bahkan Onan menjadi
pemersatu dari bius-bius. (Bdk. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 156-158).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |59
5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput dll, dikuasai secara
kolektif oleh paguyuban.
6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarapan atas sawah.
7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta, dll.
Walaupun secara aturan sangatlah jelas, namun kenyataan berkata lain. Bius
yang memiliki konsep ideal justru tidak terjadi di setiap bius yang ada. Hal ini
berdampak kepada fungsi bius, yang berbeda dengan bius-bius lainnya. Salah satu
faktor yang menjadi penyebab adalah karena migrasi penduduk yang
mengakibatkan pendirian bius tidaklah sesuai dengan konsep Sianjurmulamula.
Seperti yang dicatat oleh Sitor Situmorang bahwa terdapat 3 kategori konsep bius,
yakni:37
1. Bius berkembang. Bius yang termasuk dalam kategori ini berada di wilayah
pantai selatan danau Toba dan pulau Samosir. Konsep bius ini mengikuti
konsep Sianjurmulamula, di mana konsep ini memiliki aparatus berupa
dewan bius dan golongan parbaringin (kelompok para imam/pendeta).
2. Bius sedang berkembang. Kategori ini mencakup wilayah Silindung,
Humbang dan Pahal. Aparat dari bius ini tidaklah selengkap dari bius
berkembang atau sebagaimana model Sianjurmulamula. Konsep ini tidak
memiliki golongan parbaringin yang ideal, sehingga setiap kegiatan pesta
bius, pemimpin sekuler atau dewan bius melaksanakan tugas yang seharusnya
diemban oleh golongan parbaringin.
37 Ibid., hl. 31-32.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |60
3. Bius terbelakang. Bius-bius yang berada dalam kategori ini yakni wilayah
pinggiran Toba. Bius dalam kategori ini sudah sangat berbeda dari konsep
Sianjurmulamula. Bahkan kepemimpinan bius bukan lagi bersifat kolektif
melainkan perorangan.
Adanya perbedaan bius-bius ini mengindikasikan arus migrasi masyarakat
Batak yang menyeluruh ke wilayah pinggiran Toba. Ypes, salah seorang mantan
residen Tapanuli, mencatat dan mendokumentasikan bahwa jumlah bius yang
tersebar di Toba adalah sebanyak 86 bius yang terdiri dari: 4 bius di wilayah
Silindung, 19 bius di Humbang, 40 bius di Toba Hobung dan 23 bius di wilayah
Samosir.38
Bius bagi masyarakat Batak memiliki peranan penting dalam kehidupan
bersama di Toba. Seperti layaknya sebuah sistem organisasi, maka bius menjadi
media atau sarana dalam menghubungkan setiap wilayah-wilayah di Toba (lihat
skema). Bahkan nantinya sistem bius ini dimanfaatkan kolonialisme Belanda dalam
upaya memecah belah.
38 Data dari Ypes ini berbeda dengan data dari Sitor Situmorang. Menurut Sitor Situmorang
terdapat 150 bius pada abad ke-19. Perbedaan ini menurutnya, data statistik yang digunakan Belanda
adalah data bius lama yang merupakan hasil penggabungan dari bius-bius kecil. Bahkan data
tersebut menjadi samar ketika Belanda mengubah sistem bius dengan istilah negeri sebagai unit
pemerintahan terbawah Belanda, di mana Kepala Negeri (awalnya digelari sebagai Jaihutan yang
berarti dipatuhi/diikuti) menjadi pemimpin bius tersebut (lih. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 17-18).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |61
Skema Bius
3. Sistem Pemerintahan dan Kelompok Parbaringin
Dua pustaha, laklak dan tumbaga, di dalam konsep Sianjurmulamula
menjadikan Toba memiliki tata kelola pemerintahannya sendiri. Konsep ini
bermula kala dinasti Raja Sorimangaraja membuka dan menerapkan kedua pustaha
tersebut, sehingga menjadikannya kerajaan termasyur dalam masyarakat Batak
(Toba) yang pada waktu itu berpusat di Baligeraja. Dari dinasti Sorimangaraja
inilah nantinya kemudian menjadi dinasti Raja Singamangaraja. Seperti yang sudah
dikatakan di atas mengenai 3 struktur tata kelola pemerintahan, yakni bius, horja
dan huta, maka di setiap struktur tersebut di isi oleh jabatan-jabatan yang dibagi
berdasarkan tugasnya, termasuk dalam hal ini kelompok parbaringin yang bergerak
dalam bidang keagamaan untuk mendampingi jabatan-jabatan sekuler.
Aparatus dan Dewan Raja
Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula dalam dinasti Sorimangaraja
terdapat jabatan-jabatan yang melingkupi ketiga struktur pemerintahan, yakni
pertama, di tingkat bius atau yang sering dikatakan sebagai Raja Junjungan, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |62
diisi dengan jabatan Pande Bolon, Pande Raja, Pande Mulia, Pande Namora
(sering juga dikatakan raja naopat karena terdiri 4 jabatan). Keempat ini ini menjadi
junjungan marga atau yang paling dihormati di marga-marga yang ada di Bius
tersebut. Tugas utama dalam keempat jabatan ini adalah ritus partondion (rohani)
atau yang berhubungan dengan tuhan (Debata). Kedua, di tingkat horja. Jabatan
atau aparat di tingkat horja mempunyai fungsi sebagai Wakil Raja Junjungan.
Jabatan tersebut masing-masing adalah Raja Saning Naga sebagai orang kedua
(paidua) atau wakil dari Raja Pande Bolon39, Raja Parsinabul atau Hinalang
sebagai wakil dari Pande Raja, Raja Parsirambe atau Patuatgaja sebagai wakil
dari Pande Mulia dan terakhir Raja Mamburbuang atau Raja Parjuguk sebagai
wakil dari Pande Namora. Tugas wakil junjungan ini merupakan tugas horja serta
menjadi wakil dari Raja Junjungan ditingkat bius dalam urusan kerohanian. Ketiga
adalah di tingkat huta yang memiliki 4 jabatan. Raja-raja di tingkat huta inilah
yang menjadi pelaksana karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Raja-raja
di tingkat huta adalah Undotsolu atau Raja Laut, Panguluraja atau Ulu Porang,
Pande Aek atau Parhauma-Pangulaon dan Panguludalu atau Parpinahanon.40
Namun struktur birokrasi dari Dinasti Sorimangaraja ini sedikit berbeda
dengan Dinasti Singamangaraja. Pada masa Dinasti Singamangaraja, maka sistem
pemerintahannya lebih teorganisir berdasarkan fungsi teritorialnya dan juga
pembagian tugas yang lebih fungsional. Artinya, secara fungsi, pendefinisian akan
39 Menurut Sitor Situmorang pada era Raja Singamangaraja, Pande Bolon adalah jabatan
(ahli utama) yang merupakan ketua kelompok Parbaringin yang juga mengurus ritual-ritual. (lih.
Ibid., hl. 201). 40 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., 201-202.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |63
sebuah lembaga atau departemen lebih spesifik dibanding Dinasti Sorimangaraja.
Misalnya, fungsi adat, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan, peradilan,
keuangan dan religi. Itulah sebabnya di dalam struktur pada masa Dinasti
Singamangaraja, aparatur yang menggerakkan roda kerajaan berjalan dan lebih
permanen.
Menurut Ulber Silalahi pembagian fungsional tersebut berupa: Pande Bolon
yang mengurus adat, Raja Ulu Taon yang mengurus ekonomi (pertanian dan
perdagangan), Raja Ulu Balang yang mengurus pertahanan dan keamanan, Raja
Toguan mengurus peradilan, Raja Ulu Dalu atau Raja Namora mengurusi
keuangan, dan kelompok Parbaringin menjadi urusan religi.41
Kelompok Parbaringin
Selain dari jabatan-jabatan yang menduduki 3 struktur federasi tersebut,
terdapat juga kelompok Parbaringin yang tugas utamanya mengurus atau membantu
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan religi berdasarkan kalender Batak, walaupun
terkadang turut bekerja di urusan sekuler. Kelompok ini memiliki sebutan-sebutan,
yakni malim yang tugasnya menjadi parhalado (petugas) dalam kegiatan atau ritus
partondion (rohani), Paniroi yang memberikan nasehat untuk penyelenggaraan
kegiatan sekuler, dan Sijujur ari yang tugasnya memberikan kekebalan di dalam
berperang, serta menentukan hari baik atau keberuntungan.42 Dewan Raja dan
kelompok Parbaringin menjadi kekuatan dalam membangun dan mempersatukan
dinasti Sorimangaraja, termasuk juga nantinya Dinasti Singamangaraja. Walaupun
41 Ibid., hl. 272-273. 42 Ibid., hl. 234.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |64
tidak semua bius dilengkapi dengan jabatan-jabatan tersebut namun secara struktur
dan budaya membuat Dinasti Sorimangaraja memiliki pengaruh yang signifikan di
wilayah Toba. Dalam struktur tersebut kelompok Parbaringin diketuai oleh Pande
Bolon. Pande Bolon jugalah yang menjadi pengganti atau mewakili
Singamangaraja di Bius Bangkara ketika Singamangaraja tidak ada di tempat.
Menurut Sitor Situmorang, kelompok Parbaringin merupakan kelompok
yang berasal dari kelompok Guru Tateabulan yang mewarisi pustaha laklak berisi
pedoman kerohanian, kebatinan dan hadatuhon (ilmu pengobatan).43 Kelompok ini
sangat permanen yang jabatannya bersifat turun temurun. Lebih jauh, Sitor
Situmorang melihat bahwa kelompok parbaringin inilah yang menjadi pondasi dan
pemersatu dari masyarakat Toba, walaupun terkadang memiliki kendala atau
konflik sesama kelompok Parbaringin akibat mempertahankan wilayah bius. 44
Namun di dalam perkembangannya kelompok ini selalu aktif dalam mendukung
Raja Singamangaraja XII, dan konsisten dalam melawan kolonialisme, bahkan
sesudah tewasnya Raja Singamangaraja XII pada 1907 kelompok ini masih aktif
dalam mempersatukan masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang membuat
pemerintahan kolonial Belanda berusaha untuk menghapus kelompok tersebut
dengan melarang setiap kegiatan pesta bius, walaupun gelombang pengaruh
Parbaringin tidak dapat terbendung dengan lahirnya Parmalim, Parhudamdam, serta
gerekan Si Raja Batak.
43 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 26. 44 Ibid., hl. 97.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |65
Saya melihat bahwa dengan adanya kelompok Parbaringinlah maka
kesatuan dari masa lalu di dalam lembaga kerajaan dapat tercipta. Mereka jugalah
yang mempersiapkan kedatangan Singamangaraja. Maka dari itu kelompok inilah
yang juga selalu mendorong akan adanya ompu raja sebagai pemersatu di tengah-
tengah masyarakat Batak Toba.
Struktur Birokrasi Harajaon Dinasti Singamangaraja
4. Dinasti Singamangaraja
Mitos Raja Bona Ni Onan dan kisah kesaktian
Keberlanjutan kejayaan dinasti di dalam masyarakat Batak Toba semakin
besar pasca munculnya dinasti Raja Singamangaraja. Walaupun kebesaran dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |66
kejayaan Dinasti Singamangaraja masih menimbulkan pro-kontra, namun beberapa
sumber mengatakan bahwa dinasti Raja Singamangaraja masih cukup disegani di
wilayah Toba, bahkan hingga di luar wilayah Toba, misalnya di daerah Deli dan
Langkat yang di dalam naskahnya, “Riwayat Hamparan Perak”, mengakui
kekuasaan Singamangaraja. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kekuasaan
Singamangaraja hingga ke wilayah kesultanan Siak. Hal ini terbukti dengan adanya
peta lama yang menggambarkan kekuasaan Singamangaraja, walaupun peta
tersebut belum tentu menggambarkan realitas aslinya.45 Namun yang pasti kejayaan
Raja Singamangaraja telah tersiar ke seluruh wilayah penjuru di Toba dan
sekitarnya.
Bagi masyarakat Batak Toba, kehadiran dan kejayaan dinasti
Singamangaraja bukanlah melalui penaklukan atas wilayah-wilayah di Toba, tetapi
sebagai bentuk keyakinan atas kelanjutan dari dinasti Sorimangaraja (1395-1425).
Peristiwanya adalah pasca dinasti Sorimangaraja maka terjadi pergolakan sosial,
politik, ekonomi, agama dan kebudayaan di dalam masyarakat Toba. Hal ini akibat
dari ekspansi para kerajaan yang berasal dari luar wilayah Toba, misalnya Aceh,
Sriwijaya, Majapahit) dan juga dari negara asing (Portugis). Pasca Sorimangaraja,
maka dinasti memiliki kepemimpinan yang dapat mempersatukan. Bahkan
pengganti Sorimangaraja, yakni Sibagot Ni Pohan yang merupakan anak sulungnya
tidak cukup mumpuni dalam mempersatukan bius-bius yang ada. Kekuasaannya
hanya terasa di Baligeraja dalam bius Patane Bale Onan Balige. Alih-alih
mempersatukan, justru terjadi perselisihan antarbius, bahkan hingga merambat
45 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 70.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |67
kepada marga-marga. Dengan situasi tersebut maka para raja bius sepakat untuk
melakukan horja bius (akhir abad ke-15) dengan mengucapkan “tonggo-tonggo
Bius Sianjurmulana” sebagai bentuk permohonan (doa) kepada Debata Mula Jadi
Na Bolon agar mengaruniakan seorang pemimpin besar (Maharaja) seperti
layaknya Sorimangaraja di saat memimpin Toba-tua. 46 Kelompok Parbaringin
sangat berperan besar terhadap munculnya pengharapan ini sebagai suatu
komunitas kolektif religious. Doa para raja bius pun dikabulkan dengan lahirnya
Raja Manghuntal, anak dari Raja Bona Ni Onan Sinambela dengan pasangannya
boru Pasaribu di Bangkara-Toba.
Peristiwa kelahiran Raja Manghuntal ini dilukiskan dengan umpasa, sbb:
Marbunga ma jarugi, sajongkal dua jari.
Muba ma ugari sian bongka siapari
Tubu ma sada raja tinongos ni Mulajadi
Raja Nahasaktian na uja manotari.
Lahirlah Raja yang diberikan oleh Pencipta
(Mulajadi)
Raja yang sakti yang mengikat
Pun demikian mengenai kesaktian Raja Manghuntal sendiri, sehingga dapat
diyakini sebagai kelanjutan dinasti Sorimangaraja, digambarkan di dalam mitos
yang diceritakan secara turun temurun, yakni dalam mitos Raja Bona Ni Onan.
Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa Raja Bona Ni Onan didatangi oleh roh dan
menjelaskan menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh
Batara Guru47 dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Singamangaraja. Janji
itupun terealisasi dengan mengandungnya istri Raja Bona Ni Onan, yaitu boru
Pasaribu yang merasa bahwa cahaya telah memasuki tubuhnya. Setelah
46 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 250. 47 Di dalam keyakinan tradisional masyarakat Batak, Batara Guru termasuk yang pertama
dan terutama dalam Debata Na Tolu (Dewata Trimurti) yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Na
Bolon. Lih. Dr. Anicetus B. SInaga, Op. Cit., hl. 319.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |68
mengandung, maka lahirlah Raja Manguntal yang artinya gemuruh karena pada
waktu melahirkan diiringi dengan suara gemuruh gempa. Dalam mitos tersebut juga
diceritakan bagaimana Raja Manghuntal berkomunikasi dengan Raja Uti (manusia
khayangan) untuk melihat kelayakan Manghuntal sebagai seorang raja.48 Setelah
dianggap layak maka Raja Manghuntal menjadi Raja Singamangaraja yang
dilegitimasi oleh para raja bius. Secara berurutan Dinasti Sisingamangaraja telah
memiliki 12 raja yang semuanya, sbb:
Singamangaraja I Raja Manghuntal 1540-1550
Singamangaraja II Raja Tinaruan, gelar Raja
Manjolong
1550-1595
Singamangaraja III Raja Itubungna 1595-1627
Singamangaraja IV Tuan Sorimangaraja 1627-1667
Singamangaraja V Raja Pallongos 1667-1730
Singamangaraja VI Raja Pangulbuk 1730-1751
Singamangaraja VII Ompu Tuan Lombut 1751-1771
Singamangaraja VIII Ompu Sohalompoan gelar
Datu Muara Labu
1771-1788
Singamangaraja IX Ompu Sotaronggal gelar Raja
Manubung Langit
1788-1819
Singamangaraja X Ompu Tuan Na Bolon gelar
Aman Julangga
1819-1841
Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon gelar Raja
Pansom
1841-1871
Singamangaraja XII Ompu Pulo Batu gelar Raja
Patuan Bosar
1871-1907
Selain dari mitos kesaktian Raja Bona Ni Onan maka kesaktian
Singamangaraja juga diukur dan diperlihatkan dengan sebuah legitimasi tanda,
yakni dengan mencabut pedang piso gajah dompak dari sarungnya. Konon, piso
48 Diambil dari http://www.kompasiana.com/itnaibaho.blogspot.com/sisingamangaraja-
xii-bagian-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed. Diakses pada 18 Maret 2016
pukul 22.25 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |69
yang menyerupai keris dan memiliki gagang berbentuk gajah ini mempunyai
kekuatan magis dan menjadi tanda kebesaran dari Singamangaraja. Piso ini bisa
diangkat oleh orang-orang tertentu yang merupakan keturunan dari
Singamangaraja. Namun peristiwa kesaktian dari Piso Gajah Dompak ini berakhir
hingga di Singamangaraja XI setelah diambil oleh pihak kolonialis.49
Dari mitos-mitos mengenai kesaktian Singamangaraja, sebenarnya masih
banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kesaktian dari Singamangaraja yang
belum terungkap dan hanya sebatas tradisi oral bersifat turun temurun. Namun
paling tidak kisah-kisah tersebut ingin menggambarkan bahwa sosok
Singamangaraja memiliki kesaktian dan menjadi keyakinan bersama bagi
masyarakat Batak tradisional.
Bius Bangkara dan Kedaulatan Dinasti Singamangaraja
Di dalam pemerintahannya, Raja Singamangaraja tampil menjadi pemimpin
yang memberikan dampak bagi kesatuan para raja-raja bius. Tentunya, hal ini
didukung dari posisi kedudukannya. Menurut Dr. Ulber Silalahi, sistem
pemerintahan kerajaan tradisional Batak yang bersifat konfederasi-teritorial
memberikan keuntungan kepada Singamangaraja dalam Paling tidak sebelum
terjadinya perang Paderi atau sebelum Singamangaraja X (1819), bius-bius yang
ada di tanah Batak dapat dikatakan memiliki persatuan dan perdamaian. Melalui
sistem lembaga, Raja Singamangaraja dapat mengatur dan memberikan
pengaruhnya bagi masing-masing bius, walaupun secara teritorial Raja
49 Muhammad Said, Singa Mangaradja XII (Medan: Waspada, 1961), hl. 3-4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |70
Singamangaraja tidak mencampuri dan mengambil kedaulatan atas bius, beserta
Horja dan Huta. Artinya, sistem konfederasi sangat menghargai birokrasi
wilayahnya (Bius) atau bersifat otonom, namun demikian hal-hal yang tidak dapat
diselesaikan oleh bius, atau tersangkut paut dengan bius-bius yang ada / lintas bius,
maka Singamangaraja memiliki peran yang signifikan. Seperti misalnya dalam hal
ini ialah Onan (pasar pekan). Onan menjadi urusan Singamangaraja ketika sudah
berkaitan dengan wilayah seluruh Toba dan juga diluar wilayah Toba. Salah satu
contoh onan yang menjadi tanggung jawab Singamangaraja adalah adalah onan di
Limbong. Menurut Sitor Situmorang, Onan menjadi penting bagi perkembangan
masyarakat Batak bukan hanya dikarenakan sebagai lalu lintas ekonomi, tetapi juga
memiliki hukum yang terlihat dari adanya norma-norma, yakni: Pertama, pantang
melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Hutang piutang harus diselesaikan di
luar hari pasar. Kedua, Onan juga berfungsi untuk memperoleh perlindungan
(suaka). Ketiga, Onan sebagai pusat lalu lintas sosial antarwilayah, sehingga
dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi.50 Selain Onan peran Singamangaraja
juga terlihat di bidang pertanian, ekonomi, religi, dsb.
Sistem konfederasi membatasi keterlibatan Singamangaraja kepada bius-
bius. Tugas Singamangaraja hanya pada hal-hal yang signifikan. Namun,
keterbatasan ini tidak terjadi dengan Bius Bangkara51 yang sebagai kedudukan dari
50 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 157. 51 Bius Bangkara memiliki 6 horja yang masing-masing dipimpin oleh marga Bangkara,
Sinambela, Sihite, Manullang, Marbun dan Purba. Keenam marga ini diangkat menjadi perwakilan
dan sebagai anggota kabinet di harajaon Bangkara, dan mereka diberikan simbol kerajaan berupa
barang pusaka kerajaan. (Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 258.) Bahkan, menurut Cucu dari
Singamangaraja XII, Raja Napatar, kuasa dari 6 marga tersebut sangatlah besar, yakni termasuk
menyepakati terpilihnya Raja Singamangaraja. (Lih. https://tobadreams.wordpress.com/2008
/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-xii/. Diakses pada 4 september 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |71
teritori Singamangaraja memiliki kedaulatan dan kemandiriannya yang lebih dari
bius-bius lainnya. Menurut Sitor Situmorang, perbedaan tersebut adalah karena
adanya kedudukan Singamangaraja yang mempengaruhi dua bidang, yakni:
pertama, bidang simbolis sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran
Singamangaraja yang ditandai dengan penanaman enam batang beringin sebagai
tempat keramat paguyuban. Dan kedua dalam bidang pelaksanaan upacara dalam
hal religi yang berkaitan dengan kedirian Singamangaraja sebagai dewaraja. Hal ini
menjadikan Bius Bangkara menjadi tempat ziarah dan kiblat dalam doa-doa yang
dilakukan oleh kelompok Parbaringin.52
Di dalam sistem konfederasi, maka diperlukan “kerelaan” akan bius-bius
untuk masuk menjadi bagian konfederasi. Kehadiran Dinasti Singamangaraja
memberikan keuntungan bagi para bius. Paling tidak keuntungan tersebut
didapatkan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, dsb. Catatan-catatan mengenai
adanya penyelesaian konflik antarbius ataupun antarhuta, penghapusan perbudakan
seringkali melekat kepada kebijakan Singamangaraja. Bahkan, bius-bius yang
sudah termasuk dalam konfederasi Singamangaraja sangat meyakini akan
supremasi Singamangaraja dalam memecahkan masalah sosial dengan meberikan
solusi. Biasanya penyelesaian masalah tersebut berada di dalam kegiatan pesta bius,
yang merupakan ajang kegiatan religius dan sekaligus sarana perjumpaan
masyarakat dalam memupuk persatuan di masyarakat Batak. Saya tidak menampik
juga bahwa tidak semua bius rela mengikuti Singamangaraja. Terlebih pasca perang
52 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 203.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |72
Paderi, serta adanya pengaruh kolonialisme, misal pelarangan pesta bius, yang
menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada Singamangaraja.53
D. Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak, khususnya Toba sangatlah
berbeda dengan kepemimpinan sekuler selayaknya di pemerintahan, perusahaan,
dsb. Demikian halnya dengan Singamangaraja yang ketika berbicara tentang
kepemimpinannya maka ia tidak hanya tampil sebagai pemimpin sekuler,
melainkan juga rohani. Maka dari itu dalam suatu rasionalisasi akan sebuah jabatan
kepemimpinan, ia tidak dapat didefinisikan menurut fungsi dan tujuannya. Itu
artinya kepemimpinannya tidak serta merta terikat di dalam suatu birokrasi,
melainkan memiliki kharisma yang mempengaruhi pengikutnya.
Istilah kharisma jika dirujuk kepada Max Weber maka kepemimpinan
kharismatik merupakan kuasa yang sangat besar yang menunjuk kepada pribadi
seseorang. Pendapat Weber ini tidak mengarahkan kepemimpinan kepada kategori
sebuah tujuan yang bermuara kepada baik ataupun buruk. Namun bagaimana
sebuah hubungan pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi. Ia juga
berpendapat bahwa kepemimpinan kharismatik tidak melekat kepada struktur
birokrasi. Pandangannya ini ia landaskan kepada penggabungan antara sesuatu yang
53 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 429.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |73
tradisional dengan yang rasional, sehingga kharisma berhubungan dengan
komunitas dan dengan mistis.54
Pandangan Weber ini menggambarkan fenomena atas kharisma yang
tentunya pandangannya berangkat perspektif sosiologi dan psikologi sebagai latar
belakang pendidikannya. Namun mengenai pandangan tentang kuasa dan personal
Weber tidak melihatnya secara menyeluruh dan kebelakang. Seolah-olah adanya
fenomena yang melampaui birokrasi dan memiliki pengaruh kepada pengikut
disebut sebagai sesuatu yang berkharisma. Pembagian antara yang rasional dan
tradisional justru yang menimbulkan kerancuan dalam memandang kekuasaan. 55
Dalam pandangan masyarakat Batak (baca: tradisional), Raja
Singamangaraja dianggap memiliki sahala harajaon. Istilah sahala sering sekali
diartikan sebagai kharisma atau wibawa. Memang dalam kamus Batak J. Warneck,
istilah sahala berarti memiliki kemuliaan, hikmat, kharisma. Namun menurut Sitor
Situmorang, dan saya pun sepakat dengannya, bahwa istilah sahala sangat berbeda
dengan arti yang sebenarnya. Pergeseran ini ditandai dengan adanya
pengrasionalisasian atas perbendaharaan kata di dalam bahasa dan budaya Batak
sehingga pengartian dari suatu istilah hanya berdasarkan kepada fenomena
sosialnya, selayaknya Weber mendefinisikannya.
54 George P. Hansen, The Trickster and the Paranormal (Philadelphia: Xlibris, 2001), hl.
103-104. 55 Dalam hal ini saya sepakat dengan Ben Anderson yang melihat kuasa tradisional dan
rasional dengan melihat kesamaan-kesamaannya, tanpa berusaha untuk membaginya. Menurut Ben
adanya Kuasa justru akan melekatkan dirinya pada kepemimpinannya, bukan menyerahkan dirinya
seperti dalam kekuasaan yang rasional, Lih. Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah
Budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hl. 162-163.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |74
Memang di dalam fenomenanya, sahala dapat mempengaruhi pengikut,
namun makna sahala tidak dapat dilepaskan realitas pemakaian yang
mengikutinya, yakni sahala yang disandang oleh Singamangaraja bukanlah hasil
upaya manusia, melainkan sebagai karunia dari Mula Jadi Na Bolon. Hal ini juga
seperti yang dikatakan Anicetus B. Sinaga seperti yang dikutip Ulber Silalahi:
“Mulajadi Na Bolon telah menganugerahkan karunia keadilan dan kerajaan
kepada Sisingamangaraja, yakni “Singa (hakikat) hukum, hakikat kerajaan,
hakikat sabda. Padanyalah satuan ukuran, hakikat kerajaan, ketentuan satuan
segala ukuran, bajak pembelah tali (keadilan sempurna), hakikat satuan ukuran isi
dan inti serta satuan timbangan. Yang berlebihan disisihkan, dan yang kurang
digenapi”56 Dengan pandangan ini maka sahala adalah sesuatu yang diberikan
(give) yang pada saat tertentu tidak terikat kepada individu atau personal.
Sitor Situmorang menggambarkan sahala lebih spesifik dari sebelumnya.
Menurutnya sahala berarti “daya kesaktian yang diperoleh lewat wahyu untuk
menjadi raja. Sahala yang melekat pada Singamangaraja adalah sahala yang
sempurna dan berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Sahala yang melekat pada
Singamangaraja adalah satu-satunya, tak ada duanya ataupun tandingannya,
membawahi segala bentuk sahala lain.” Ia pun menyimpulkan: “Dalam paham itu,
Singamangaraja adalah penjelmaan sahala, bukan manusia biasa. Roh berwujud
manusia, inkarnasi Batara Guru alias Dewa”. 57
56 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 253. 57 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |75
Pandangan Sitor Situmorang ini dalam menggambarkan sahala sesuai
dengan realitas keyakinan masyarakat Batak Toba tradsional. Artinya,
Singamangaraja menjadi raja dan diterima oleh masyarakat Batak Toba tradisional
atas keyakinannya kepada Singamangaraja sebagai inkarnasi Batara Guru. Bahkan,
ia menjadi sumber sahala bagi siapapun yang layak ia pilih. Batara Sangti juga
menyimpulkan hal serupa bahwa Singamangaraja merupakan suatu
“perhinggapan” dari Debata Mula Jadi Na Bolon, sehingga dengan sahalanya ini,
ia menjadi “penjaga ladang yang tak memakai panah atau gembala yang tak
memakai cambuk” bagi para pengikutnya.58 Fenomena dari keyakinan ini adalah
sebagai bentuk pengujian atas kesaktian dari seseorang untuk menjadi Raja
Singamangaraja, baik berupa ritus mencabut piso gajah dompak, mendatangkan
hujan, menghilangkan wabah penyakit, dsb.59
Dalam bentuk realitas-sekuler, kemunculan raja dipandang untuk mengatasi
masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Namun
fenomena ini bukanlah sesuatu yang pragmatis sebagai suatu kemunculan raja.
Munculnya Dinasti Singamangaraja tetap memandang adanya sahala sebagai
sesuatu yang mistis sedangkan birokrasi atau struktur adalah pancaran dari sahala
58 Ucapan Batara Sangti ini sesuai dengan tonggo-tonggo (doa) dari kelompok Parbaringin
yang menghendaki adanya pemimpin di dalam masyarakat Batak Toba Tradisional: “Ya Debata
Mula Jadi Nabolon! Engkau yang menjadikan Tuan Singa Mangaraja, Singa melampauiSinga yang
tidak dapat di lampaui di Bangkara. Perhinggapan dari pada Batara Guru. Ya Allah Engkau telah
memanggil kesisiMu Tuan Singa Mangaraja tunjukkanlah kiranya kepada kami, siapa yang menjadi
tempat perhinggapanMu, agar supaya kami jangan kiranya seperti kerbau liar yang tidak
mempunyai gembala.” Lih. Batara Sangti, Sejarah Batak (Balige: Karl Sianipar, 1977), hl. 331. 59 Pada saat pengangkatan Raja Singamangaraja XII terlebih dahulu ditunjuk oleh
masyarakat adalah Raja Parlopuk namun dikarenakan Raja Parlopuk tidak dapat memenuhi syarat-
syarat kesaktian maka Raja Singamangaraja jatuh ke tangan Raja Patuan Bosar. Lih.
https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-
xii/ Di akses pada 4 september 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |76
ini. Dengan pandangan ini maka sahala mengesahkan kewibawaan raja, sehingga
raja-raja bius, horja dan huta melekat kepada Singamangaraja. Tak dapat
dipungkiri bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam masyarakat Batak Toba
adalah seringnya terjadi konflik wilayah, baik huta ataupun bius, sehingga
keyakinan kepada raja adalah untuk mengatasi konflik sebagai suatu harapan sosial
yang bersifat kolektif. Dengan kehadirannya, maka mediasi, solusi akan hadir
tengah-tengah masyarakat. Namun harapan tersebut akan sirna seturut dengan
hilangnya kepercayaan kepada raja dengan memandang tidak adanya sahala di
dalam diri seseorang.
Dengan pandangan ini, saya tidak sepakat dengan beberapa pandangan
Ulber Silalahi. Pertama, pandangannya mengenai pemisahan antara sahala dengan
kepemimpinan kharismatik yang menyatakan munculnya kharisma melalui
sahala.60 Pandangannya ini muncul untuk membedakan persona atau pribadi
sebagai suatu karakterisik dengan manifestasi roh (sahala). Dalam pandangan ini,
Silalahi justru terjebak di dalam kerancuan dan ambiguitas dualisme pandangan
akibat menafsir dari fenomenologi yang dibangunnya. Bagi saya, sahala adalah
kharisma itu sendiri, di mana masyarakat Batak Toba tradisional hanya meyakini
kesaktian yang ada di personal sebagai inkarnasi dari Batara Guru, tanpa
memandang personal karakter. Artinya, sahala adalah roh (tondi) yang menjadi
manusia yang juga akan menentukan karakter personal. Kedua, pandangannya
mengenai kekuasaan tradisional dengan rasional, di mana yang tradisional
60 Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 505.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |77
mendahului yang rasional.61 Pandangannya ini, selayaknya Max Weber
menafsirkannya, juga akan menimbulkan kerancuan. Padahal di dalam
pengertiannya Singamangaraja, seperti dalam pandangan masyarakat Batak Toba
tradisional, justru menjadi pondasi atau konstruksi (Singa) dari kekuasaan yang
rasional, dalam hal ini bersandar kepada patik (larangan) dan uhum (hukum).
Keduanya menjadi satu di dalam diri Raja Singamangaraja.
Pandangan-pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Raja
Singamangaraja dapat disejajarkan dengan kedudukan Tuhan yang memiliki kuasa
untuk mendatangkan kemuliaan, kemakmuran dan kesejahteraan (hasangapon,
hamoraon dan hagabeon) atau berimplikasi kepada kehidupan masyarakat. Dari
pandangan inilah kedudukan dari gelar Ompu i diberikan kepada Singamangaraja
yang menurut Sitor Situmorang dapat diartikan sebagai adanya kolektivitas para
leluhur di dalam diri Singamangaraja (baca: Dewa).62
E. Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Batak Toba tradisional telah diatur di dalam tatanan
hukum sekuler dan religi. Melalui Pustaha Laklak atau yang disebut Surat Agong
dan Pustaha Tumbaga, kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki kedaulatannya.
Kedua Pustaha ini tidak dapat dipisahkan, melainkan saling melengkapi. Hadirnya
61 Pandangan ini sesuai dengan pernyataannya yang mengatakan: “kekuasaan tradisional
dan kekuasaan kharismatik adalah landasan dari organisasi birokrasi pemerintahan tradisional
masyarakat Toba, sedangkan kekuasaan legal-rasional adalah landasan dari birokrasi. Adat/patik
dohot uhum yang menjadi milik rajamerupakan kekuasaan legal-rasional…” Lih. Dr. Ulber
Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 507. 62 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 63.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |78
Dinasti Singamangaraja sebagai perwujudan dari dua pustaha ini. Ia tidak hanya
dipandang sebagai pemimpin di dalam bidang sekuler dalam bentuk birokrasi,
melainkan menjadi pemimpin religius sebagai inkarnasi dari Batara Guru.
Gelar Ompu i berada di dalam kedudukan ini. Sebagai gelar yang dimiliki
Singamangaraja, gelar tersebut menjadi penghormatan tertinggi bagi raja, di mana
Tuhan hadir kepadanya. Tugas-tugas yang dilakukan sebagai Raja Singamangaraja
meliputi urusan sekuler, yakni sosial, ekonomi, hukum, politik, dll; dan juga urusan
religi. Untuk urusan religi ini, dengan sahalanya, Singamangaraja menjadi
perantara antara manusia dengan Mula Jadi Na Bolon, sehingga ia memanjatkan
doa kepada Mula Jadi Na Bolon dan masyarakat berdoa kepadanya. Tanpa disadari
dengan kedua bidang ini kekuasaan Singamangaraja selayaknya menjadi suatu
dinasti kerajaan yang justru tidak diamati oleh peneliti-peneliti dari luar, misalnya
Anthony Reid yang hanya memandang kesatuan masyarakat Batak dari keterikatan
klan atau marga.63
Kedua urusan diatas, sekuler dan religi, tidak dapat dipisahkan atau dibagi,
namun menjadi kesatuan antara kehidupan beragama dan sosial. Hal ini juga yang
dikatakan oleh misionaris, Johannes Warneck setelah melihat kehidupan sosial
beragama masyarakat Batak tradisional.64 Singamangaraja menjadi raja yang
dihormati di segala aspek. Dari tingkat huta hingga bius, Singamangaraja tetap di
yakini menjadi pemersatu bagi masyarakat Batak Toba tradisional. Walaupun pada
63 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra
(Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hl. 23. 64 Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In
Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |79
kenyataannya ada beberapa bius yang tidak mau meyakininya, namun pengaruh
Singamangaraja sangatlah besar bagi perkembangan masyarakat Batak. Hal ini
tidak lepas dari pengaruh kelompok Parbaringin yang bergerak dibidang
keagamaan dan selalu aktif dalam mempersatukan masyarakat Batak Toba, serta
mendukung eksistensi Raja Singamangaraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |80
BAB III
WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
Setelah menjabarkan mengenai struktur sosial masyarakat Batak tradisional
yang mengakui kepemimpinan Raja Singamangaraja, maka dalam bab ini akan
dipaparkan dan dijelaskan mengenai konstruk yang dilakukan RMG dengan
mempertimbangkan aturan-aturan dan praktik-praktik dalam reproduksi kekuasaan,
sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Nommensen.
Dalam bab ini akan saya bagi menjadi tiga bagian, yakni latar belakang
RMG selaku badan zending asal Eropa yang memiliki pemahaman yang sama
dengan pemerintahan kolonialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa pada
umumnya. Hal ini terlihat dengan adanya pendekatan dan strategi yang dilakukan
RMG di Tanah Batak yang saya tulis di bagian selanjutnya. Untuk bagian terakhir
saya akan memaparkan dan menjelaskan mengenai konstruk RMG sendiri sebagai
suatu misi pengadaban untuk menciptakan komunitas baru menggantikan
komunitas tradisional, yakni kerajaan Kekristenan, yang kemudian menampilkan
Nommensen sebagai pemimpin atau Ompu i.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |81
A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme
1. Wacana Kolonial dan Peran Institusi Agama
Pada abad ke-18, kolonialisme dan zending tidak dapat dipisahkan. Namun
wacana ini justru muncul jauh sebelum abad tersebut, yakni tepatnya pada akhir
abad ke-15. Hal ini ditunjukkan dengan tampilnya kekuatan negara-negara Barat
(baca: Eropa) dalam mengekspansi Asia dan Afrika dengan melibatkan zending.
Dalam ekspansi tersebut terdapat agresi misi (mission) yang melibatkan institusi-
institusi agama dalam bekerjasama dengan pihak kolonial setelah melihat adanya
peradaban-peradaban yang bagi mereka tradisional atau kuno, disamping adanya
agresi politik sebagai bentuk penghilangan kekuasaan atas raja-raja, agresi ekonomi
di dalam menjaga keseimbangan organisasi dengan menghilangkan cara-cara
tradisional, agresi sosial dengan mengganggu tatanan kearifan lokal yang
berhubungan dengan nilai-nilai kekeluargaan maupun bermasyarakat, agresi
intelektual yang dilakukan untuk menciptakan kekuatan dari negara dengan
mengandalkan pendidikan.1
Menurut Stephen Neill, adanya pengaruh misi atau zending di dalam
kolonialisme ini tidak dapat dilepaskan dari kemajuan peradaban Barat yang
diyakini berasal dari faktor agama, dalam hal ini Kekristenan, sehingga pengaruh
gereja terhadap peradaban negara-negara Barat sangatlah besar dan menyeluruh.
Hal ini didasarkan atas hampir seluruh peristiwa sejarah pada abad pertengahan
1 Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Mcgraw-Hill Book
Company, 1966), hl. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |82
yang adalah juga merupakan sejarah Kekristenan; rasionalisasi yang didengungkan
oleh negara-negara Barat.2 Ania Loomba juga menegaskan hal yang serupa bahwa
Kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat, dalam hal ini Eropa, tidak bisa
dilepaskan dari sejarah-sejarah Eropa sebelumnya, yakni Perang Salib, invasi
bangsa Moor ke Spanyol, dsb.3 Dengan pengaruh-pengaruh tersebut maka
keterlibatan Kekristenan di dalam penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat
merupakan keniscayaan untuk tujuan pengadaban, yakni memodernkan peradaban
tradisional.
Terlepas dari adanya keterlibatan institusi-institusi agama, kolonialisme
yang dilakukan negara-negara Barat tak lepas dari keinginannya untuk menguasai
dunia, termasuk menguasai jalur-jalur perdagangan yang sebelumnya telah dikuasai
oleh Muslim dari Timur Tengah. negara-negara Muslim dianggap sebagai musuh
bagi bangsa-bangsa Eropa, bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga
faktor sejarah yang turut mempengaruhi. Dengan dasar inilah kolonialisme yang
dilakukan oleh negara-negara Barat pada abad ke-18 dan 19 sangat berbeda dengan
kolonialisme sebelumnya, yang menurut Loomba, kolonialisme bersatu dengan
kapitalisme yang menguntungkan Eropa dengan pertumbuhan ekonomi dan industri
di Eropa.4
2 Ibid., hl. 39. 3 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016),
hl. 4. Kolonialisme pada abad ke-19 juga menjadi gelombang terbesar ekspansi Eropa ke seluruh
penjuru dunia. Tercatat menjelang tahun 1930an kolonialisme telah menguasai lebih dari 84,6 %
permukaan bumi seperti dicatat oleh Ania Loomba. (Ibid., hl. 23). 4 Ibid., hl. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |83
Dengan melihat kolonialisme pada abad ke-18 dan 19 maka kolonialisme
dipandang tidak lagi dalam aspek tertentu saja, misal dengan alasan ekonomi,
melainkan ke segala aspek yang didalamnya terdapat stigmatisasi atas sesuatu yang
biner akibat kekerasan yang terjadi, diantaranya: penjajah dan terjajah, Barat dan
Timur, beradab dan primitif, dsb. Stigmatisasi tersebut tidak berhenti sampai disitu
melainkan menjadi titik berangkat dari usaha terus menerus yang dilakukan negara-
negara Barat dalam menciptakan, seperti yang Leela Gandhi katakan: “the
colonised world had to be emptied of meaning.”5 Hal ini menjadi dasar
terbentuknya generalisasi Eropasentrisme di dunia. Perbedaan-perbedaan yang ada
dalam nilai-nilai kebudayaan di negara-negara terjajah dinegasikan dengan
mengafirmasi nilai-nilai Eropasentris yang dianggap lebih rasional dan universal.
John McLeod melihat usaha ini lebih spesifik lagi dengan pemakaian literatur-
literatur bahasa Inggris dalam menciptakan nilai-nilai yang sama dalam perilaku
dan karakter, termasuk dalam hal ini nilai-nilai Kekristenan.6 Gambaran dari
kolonialisme ini tidak dipandang sama (equal) dalam sebuah kasta melainkan
dalam hubungan yang Hegel nyatakan sebagai Tuan dan Budak (Master/Slave)
bahwa manusia mendapatkan identitasnya dari pengenalan orang lain. Di sinilah
identitas inferior muncul di mana Frantz Fanon melihat hal ini sebagai sesuatu yang
diciptakan oleh kematian dan penguburan budaya lokal yang orisinil.7
5 Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction (Sydney: Allen & Unwin,
1998), hl. 15. 6 John McLeod, Beginning Postcolonialism (Manchester: Manchester University Press,
2000), hl. 142. 7 Frantz Fanon, Black Skin, White Mask (London: Pluto Press, 1967), hl. 18. Fanon sepakat
mengenai identitas muncul di dalam Hegel, namun di sisi lain ia menolak pendapat Hegel tentang
“pengakuan” (recognition) dari budak. Menurutnya, terjajah hanya dapat melakukan imitasi: “He
becomes whiter as he renounces his blackness, his jungle.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |84
Keterlibatan institusi-instusi agama atau badan zending kepada
kolonialisme mulai abad ke-15 menjadi sesuatu yang inheren. Di Indonesia
masuknya pemerintahan kolonial Belanda juga disertai dengan terlibatnya
lembaga-lembaga zending Belanda, misalnya Nederlandsch Zendeling Genootchap
(NZG), Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), dll. Selain itu, Belanda juga
menjalin kerjasama dengan lembaga zending diluar Belanda, misalnya Rheinische
Missionsgesellschaft (RMG) yang menginjili di wilayah Kalimantan, Batak, dan
Papua.Walaupun nilai-nilai Kekristenan yang disebarkan memiliki norma-norma
yang dapat tidak terfragmentasi sebagai sesuatu yang kontroversi, namun
keterlibatan di dalam kolonialisme justru menimbulkan pemahaman yang berbeda.8
Keterlibatan tersebut menjadi suatu kesepemahaman yang menandakan superioritas
bangsa Eropa dengan paham kolonialnya dalam mengkonstruk wacana kekuasaan;
dan hal ini termasuk RMG selaku badan zending asal Jerman dalam melakukan
misinya di Tanah Batak.
2. Latar Belakang dan Pemikiran Tokoh-Tokoh RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft): Kolonialisme dan Rasisme
Keberadaan RMG tidak dapat dilepaskan dari pihak kolonial Belanda selaku
penguasa teritorial jajahan di Nusantara yang memiliki otoritas sebagai sesuatu
yang mengikat. Selain itu juga, adanya faktor kesamaan dalam satu rumpun - Eropa
- membuat badan zending ini memiliki konteks latar belakang yang sama. Misalnya,
kebangkitan rasionalisasi menjadi dasar dalam pemahaman mereka. Namun
demikian hal ini tidak menutup kemungkinan untuk memahami lebih jauh
8 Bdk. Stephen Neill, Op. Cit., hl. 12-15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |85
mengenai latar belakang RMG sebagai bentuk integritas atas institusi zending.
Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh-pengaruh yang membentuk dan
mendasari RMG itu sendiri sebagai badan zending, khususnya ketika konteks di
dalam semangat zaman itu dipahami dalam melakukan misinya, baik berupa
kebijakan maupun tekhnik atau strategi misi. Untuk itu, saya akan mencoba
memaparkan mengenai latar belakang RMG ini.
RMG yang lahir di Barmen, Jerman pada 28 September 1828 merupakan
gabungan dari beberapa badan zending, di mana aliran pietisme menjadi dasar dari
badan zending ini; yang merujuk kepada gerakan kebangunan rohani dan gerakan
pekabaran Injil di Inggris. Namun demikian selaku badan zending, RMG juga
dipengaruhi oleh berbagai ajaran atau paham, terutama dalam pemikiran yang
berkembang pada saat itu dan menjadi semangat zaman, baik dalam bidang teologi
maupun filsafat. Ini artinya, di balik tujuannya di dalam pekabaran Injil dan
membawa kedamaian, badan zending RMG ini justru menyimpan beberapa paham,
yakni paham yang berkembang pada saat itu, kolonialisme dan rasisme. Paham ini
merupakan pengaruh zaman yang dibungkus dengan semangat pietisme dalam
sebuah proyeksi pekabaran Injil. Ada beberapa hal yang perlu disorot dalam melihat
pengaruh zaman atas badan zending itu sendiri, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme.
Aliran ini mengedepankan semangat nasionalisme dan idealisme Jerman. Tokoh-
tokoh seperti Fichte, G.W.F. Hegel dan Schelling mendasari aliran ini. Filsafat
Idealisme melihat realitas memiliki korelasi dengan pikiran dan mengatasinya.
Ketika rasionalisme dan empirisme berusaha mengkritik metafisika tradisional,
maka filsafat ini justru tidak menempatkan rasio dalam subjek, melainkan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |86
mengatasi realitas itu sendiri, atau yang sering Hegel katakan sebagai “subjek
absolut.” Ia menggunakan rasionalisme dan naturalisme dengan menempatkan
rasio sebagai sebagai kesahihan yang mutlak. Melalui Dialetika Hegel, tese-
antitese-sintese, “subjek absolut” hadir dalam mengatasi sesuatu yang tidak dapat
dipertanyakan, sehingga idealisme sendiri menjadi demitologis atas teologi
Kekristenan atau dengan kata lain selalu merasionalisasikannya menjadi spekulasi
filosofis.9
Namun ditengah pemikirannya ini, ia justru meyakini superioritas
kebudayaan Eropa, khususnya Jerman, atas kebudayaan lainnya. Melalui
dialektikanya, ia menjelaskan bahwa kebudayaan Eropa, khususnya ras Jerman,
merupakan sintesa atas kebudayaan Asia sebagai tese dan kebudayaan Laut Tengah
sebagai anti-tesenya.10 Keyakinannya atas superioritas Jerman tidak berhenti
hingga di sini, ia juga meyakini bahwa Kekristenan melalui Roh Kudus merupakan
Roh Absolut, di mana ia merendahkan agama lainnya, Yahudi maupun Islam.
Dampak pemikiran Hegel ini justru menyulut keyakinan dan membangkitkan rasa
superioritas masyarakat Jerman terhadap rasnya sendiri, termasuk para misionaris
RMG sendiri.11 Bahkan pemikirannya mengenai Tuan dan Budak (Master/Slave)
justru mendapatkan apresiasi dan apologi atas kolonialisme yang dilakukan Jerman
untuk menaikkan atau mengangkat harkat masyarakat jajahan. Mekanismenya
bahwa tuan mengenal dan mengukuhkan dirinya dengan cara memaksakan
9 The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua, hl. 412. 10 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1988), hl. 94. 11 Orang yang membawa dan mengajarkan pemahaman Hegel kepada para misionaris
RMG ini, yakni Gustav Klemm (1802-1872) seorang ahli etnologi. Lih. Ibid., hl. 94.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |87
kesadarannya sendiri sebagai kesadaran yang lain, dan budakpun sebaliknya yang
mengenali dirinya dalam kesadaran tuannya, sehingga budak menjadi tuan ketika
mengerjakan kehendak tuannya melalui hasil-hasil kerjanya atau dengan kata lain
menjadi tuan atas alam. Pemikiran Hegel ini dipegang sepenuhnya oleh beberapa
tokoh RMG; dan orang yang menyebarkan dan mengajarkan pemikiran Hegel ini
ke RMG adalah Gustav Klemm (1802-1872), seorang antropolog.12 Hal ini terlihat
dari beberapa pemikiran para tokoh RMG yang memahami penjajahan merupakan
tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam.13
Kedua, hampir sama dengan yang pertama namun lebih spesifik kepada
etnis dan komunitas itu sendiri, yakni ethno-nasionalisme. Istilah nasionalisme
pertama kali digunakan oleh Gottfried von Herder (1744-1803), yang datang dari
tradisi Romantisme Jerman. Istilah ini sebenarnya ia gunakan bukan dalam arti
chauvinisme melainkan lebih dari pada itu, yakni memberikan arti tentang
kehidupan dan pengembangan pendidikan di dalam kemanusiaan yang dapat
dilakukan melalui budaya yang sama serta bahasa yang khusus. Bahkan gagasan
Herder ini dikembangkan Fichte kemudian bahwa adanya perbedaan bahasa dalam
suatu Negara akan menimbulkan hambatan dalam perkembangan suatu Negara. 14
Pandangan ini ingin menekankan etnis atau masyarakat homogen kepada suatu ide
komunitas nasional yang harus di jaga dan dilindungi. Namun perkembangan
selanjutnya pandangan ini justru semakin ditingkatkan oleh Hitler dalam bentuk
12 F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hl. 159. 13 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba
(Jakarta: Obor, 2010), hl. 61. 14 Richard Allen, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus
Exclusion, dalam Jurnal Polis Vol.3, 2010 University of Leeds, hl. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |88
chauvinisme di mana Jerman sendiri telah mengalaminya dengan munculnya
doktrin radikal mengenai konsep ethno-nasionalisme Jerman yang berdasar pada
mitos bangsa Arya dalam melihat masyarakat Jerman yang murni
(volksgemeinschaft).
Kedua pemahaman diatas mendasari akan suatu semangat zaman di mana
rasa atas superioritas Barat (baca: Eropa) atau bahkan diperparah dengan keyakinan
masyarakat pribumi Jerman atas keunggulan rasnya, serta legalitas atas
kolonialisme mempengaruhi sifat RMG dalam pekabaran Injilnya di Tanah Batak.
Hal inilah kemudian yang memunculkan rasisme di dalam sebuah perjumpaan atau
kolonialisme. Aliran pietisme atau paham teologi hanyalah membungkus kedua
pemahaman tersebut yang seperti Ania Loomba katakan menjadi suatu prisma yang
membiaskan namun justru memunculkan masalah-masalah konseptual baru yang
pada prakteknya mengkonstruksi Kekristenan terpisah dari agama-agama lainnya
yang berakibat timbulnya kekerasan, baik di tingkat wacana maupun praksis.15
Memang pemahaman atas kolonialisme dan rasa atas superioritas Barat ini
tidak semua diterima dan dipahami secara ekstrim dan radikal di kalangan tokoh-
tokoh RMG. Namun wacana ini tetaplah diadopsi meskipun tidak dipahami secara
radikal. Terkadang wacana ini juga menjadi perdebatan diantara kalangan-kalangan
RMG sendiri, terlebih ketika dikaitkan dalam hubungan pemerintah kolonial
15 Lih. Ania Loomba, Op. Cit., hl. 157. Pandangan Loomba ini didasarkan atas asosiasi
berdasarkan penafsiran Kitab Injil, di mana orang-orang kulit hitam ditempatkan pada makhluk-
makhluk yang menuai kemarahan Tuhan, yang merupakan keturunan dari putra Nuh, yakni Ham
yang memiliki sifat yang jahat. Namun di sisi lain Injil juga mengatakan bahwa semua manusia
adalah saudara yang diturunkan dari keturunan yang sama. Penafsiran-penafsiran ini jugalah yang
digunakan oleh para tokoh-tokoh RMG, khususnya Rohden dan Fabri, dalam melihat dan
memandang orang-orang kafir. (Bdk. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 57-65).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |89
dengan badan zending itu sendiri.Tokoh-tokoh seperti Ludwig von Rohden (1815-
1889) dan Friedrich Fabri (1824-1891) adalah tokoh yang termasuk memahami
gagasan ini secara radikal. Bahkan Friedrich Fabri sendiri yang pernah menjadi
inspektur RMG (1857) serta yang memiliki andil dalam terciptanya pekabaran Injil
di Tanah Batak, terkenal sebagai bapak Kolonial Jerman setelah ia menerbitkan
buku berjudul: Bedarf Deutschland der Kolonien? (Does Germany Need Colonies?)
pada 1879. Gagasannya menganjurkan Jerman untuk memiliki wilayah kolonial
dalam menciptakan stabilitas perekonomian Jerman. Dengan pemahamannya ini
maka pekabaran Injil dipandang dan dilaksanakan untuk mendukung superioritas
Barat, sehingga ia menganjurkan agar pemerintahan Kristen haruslah mendukung
zending. Keduanya harus berjalan bersama-sama, di mana zending melakukan
tugasnya lebih kepada penginjilan dan pengadaban. Hubungan ini ia namakan
sebagai teori engagement.16
Pasca Fabri, kebijakan hubungan kolonialisme dengan badan zending mulai
melunak.17 Beberapa tokoh-tokoh RMG mulai bersuara dan mengubah kebijakan-
kebijakan yang diterapkan Fabri sebelumnya. Gustav Warneck misalnya yang
menjadi inspektur RMG dan guru di Seminari Barmen (1834-1910). Walaupun
16 Dengan pandangannya ini ia pun sangat mengecam pemerintahan kolonial Belanda atas
apa yang terjadi di Kalimantan dengan terbunuhnya para misionaris RMG pada 1859. Menurutnya
pihak kolonial Belanda kurang memberikan dukungan dan keleluasan dalam bekerja kepada
zending. Ibid., hl. 108. 17 Perubahan kebijakan RMG ini seperti dikutip oleh Uli Kozok: “Tugas kalian
menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa [tujuan penginjilan] kalian
sedangkan mereka hendak memperkaya diri, ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah
hal itu membinasakan rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa
diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang
Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-
dapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. [...].
Jauhkan diri dari segala masalah politik.” Lih. Uli Kozok, Op. Cit., hl. 71.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |90
Warneck hanya sebentar terlibat di dalam RMG namun pengaruhnya sangatlah
terasa di tubuh RMG sendiri, terlebih wawasannya mengenai misiologi (ilmu
pekabaran Injil) menjadi acuan bagi para tokoh-tokoh RMG sesudahnya. 18
Di dalam pemahamannya yang berbeda dengan Fabri, ia tidak terlalu
memandang kolonialisme dan superioritas Barat secara radikal, melainkan
melihatnya dari sudut pandang teologis - dalam arti positif - sebagai suatu sarana
dalam pekabaran Injil untuk membawa keselamatan bangsa-bangsa.19 Ia meyakini
bahwa Kekristenan akan membawa kehidupan baru sedangkan agama-agama lain
tidak. Namun demikian agama-agama lain dipandang masih memiliki “logos
spermatikos” (intisari pengetahuan), sehingga Injil haruslah diwartakan kepada
mereka agar beroleh kehidupan yang kekal. Konsep pemikiran Warneck tentang
pekabaran Injil tidak dilakukan secara destruktif, melainkan dilakukan di dalam
struktur organisnya, yakni berupa adat dan struktur masyarakatnya (Volkstum),
dikarenakan adat dan struktur masyarakat tersebut juga memiliki “logos
spermatikos”.20
Konsep misiologi Warneck adalah Volkschristianisierung, pengkristenan
kepada seluruh orang atau bangsa-bangsa dan tujuan akhirnya Missionsziel adalah
perwujudan gereja rakyat yang mandiri.21 Dengan pemahaman ini, ia menolak
18 Pengaruh misiologi Warneck sangat terasa di kalangan Protestan, sehingga ia dijuluki
Bapak dari misiologi Protestan. Lih. Hans Kasdorf, The Legacy of Gustav Warneck dalam
Occasional Buletin, Juli, 1980, hl. 106.
19 Hubungan dengan kolonialisme ini ia nyatakan dengan : "In diese Situation muB die
Mission sich finden, in dieses Drängen christlich-westlicher Elemente, durch die Heil und
Gericht iiber die Volker gebracht werden." Lih. Herald E. Winkler, The Divided Roots of
Lutheranism in South Africa (Disertasi Department of Religious Studies University of Cape Town,
1989), hl. 18. 20 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 114-116. 21 Ibid., hl. 116.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |91
penghilangan budaya lokal dalam metode pengkabaran Injilnya. Pandangannya ini
sesuai dengan Gottfried von Herder dalam bentuk pengajaran dan pendidikan.
Bahkan secara terang-terangan ia pun juga menolak pendidikan a la Barat untuk
menghilangkan budaya lokal yang menurutnya sudah terlalu intelektualitas dan
materialistis seperti banyak yang dilakukan oleh para pendidik-pendidik Barat. Hal
ini menurutnya akan menghasilkan karikatur budaya (Kulturkarikaturen).22
Walaupun Warneck sendiri menghargai akan keberadaan adat dan budaya
lokal sendiri namun banyak juga yang meragukan gagasan Warneck ini dengan
melihat masih adanya pemahaman tentang superioritas Barat dan pertentangannya
yang melekat dibenaknya, terutama ketika berkaitan dengan kemandirian Gereja.
Hal ini dikemukakan Dürr seperti yang dicatat oleh Jan S. Aritonang:
“Dalam hal jaminan tentang kemandirian gereja Warneck begitu skeptis dan
hati-hati dibandingkan yang lain, karena ia…bersiteguh bahwa para pengerja
bumi “belum matang” untuk mengemban tanggung jawab kemandirian yang besar
itu. Dasar pandangannnya terutama terletak pada anggapan “inferioritas ras”.
Pada orang-orang Kristen pribumi, yang sebagian besar bermukim di daerah
tropis, tidak terdapat kualitas watak yang hakiki, hal yang mutlak harus ada bagi
suatu pertumbuhan dan kepemimpinan Gereja yang sehat.”23
Pemahaman misiologi Warneck ini sangatlah berpengaruh kepada para
tokoh RMG dalam melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak. Paling tidak
pandangannya memberikan deskripsi akan strategi dan metode yang dilakukan oleh
RMG.
Tokoh lain yang juga memiliki kebijakan di dalam RMG adalah August
Schreiber (1839-1903). Pengaruh Schreiber tak lepas atas jabatan yang
22 Ibid., hl 120. 23 J. Dürr, Sendende Und Werdende Kirche In Der Missionstheologie Gustav Warneck
(Basel: BaslerMissionbuchhandlung, 1947) dikutip dalam Jan S. Aritonang, Op.Cit., hl. 122.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |92
diembannya sebagai inspektur RMG, sekaligus menjadi salah satu jajaran para
misionaris yang turun langsung ke wilayah zending. Hampir sama dengan
pemikiran Warneck, ia pun juga menekankan pekabaran Injil ke seluruh bangsa-
bangsa. Baginya masyarakat kafir masihlah kanak-kanak yang perlu dididik,
sehingga tugas zending adalah mendidik mereka. Namun demikian ia sangatlah
menghargai adat dan budaya pribumi. Ia menolak dan mengecam pandangan orang-
orang Barat yang memiliki pemikiran negatif kepada pribumi, sehingga merusak
tatanan budaya.24
Dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial, Schreiber sangat jelas
menolak campur tangan pemerintah kolonial dengan badan zending. Ia selalu
berusaha untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Walaupun ia melihat
kolonialisme sebagai sesuatu hal yang positif, namun baginya pemerintah kolonial
dan badan zending memiliki tugas berbeda.25
Dari adanya pemahaman-pemahaman yang mendasari para tokoh RMG ini,
paling tidak isu-isu yang dikembangkan dalam wacana kolonialisme mengenai
superioritas Barat masih dapat dikatakan hadir dalam tubuh RMG, termasuk kepada
para misionaris. Hal ini juga terlihat dari dampak yang ditimbulkan di dalam
pekabaran Injil di Tanah Batak sekitar tahun 1918 berupa penolakan dan
pemberontakan, seperti yang disampaikan Daniel Meulen yang dikutip oleh Uli
Kozok berikut ini:26
“Ketika Dr. Warneck datang ke Sumatra untuk mengambil alih kepemimpinan
Batakmission sesudah perang dunia, dia pun meminta nasehat Haibach. Bersama-
sama kami membeicarakan masalah utama di kalangan Batak Kristen, yaitu sikap
24 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 127. 25 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl 72. 26 Ibid., hl. 83.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |93
kritis, bahkan negatif, dikalangan generasi muda terhadap penginjil Jerman […]
yang masih tetap berpegang pada sikap nasionalis yang menekankan keunggulan
orang putih. […] Saya mengatakan (kepada Warneck) bahwa para penginjil itu
salah sendiri. Seharusnya mereka sudah lama meninggalkan sikap kolonialis
Barat. […] Seharusnya mereka menjadi perintis dan tidak selalu menuruti
pemerintah.”
3. Masalah Orientalisme
Setelah memberikan latar belakang munculnya kolonialisme, dalam hal ini
termasuk badan zending, yang memiliki rasa superioritas Barat maka tak dapat
dipungkiri bahwa di dalam wilayah kolonial memunculkan suatu dominasi ideologi
dari kaca mata orang-orang Barat akan apa yang dinamakan Orientalisme.27 Istilah-
istilah yang berkembang di wilayah kolonial atau kepada yang dijajah, misalnya
kafir, primitif, dll, merupakan deskripsi yang berasal dari wacana Barat. Menurut
Edward Said, orientalisme sebenarnya merupakan suatu gaya berpikir akan adanya
perbedaan ontologis dan epistemologis antara Timur (Orient) dan Barat (Occident),
walaupun faktanya adalah bahwa wacana Timur tersebut berasal dari Barat akibat
dominasi wacana terhadap Timur.28
Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak juga tidak lepas dari
dominasi wacana Barat. Istilah-istilah “primitif”, dsb. juga muncul dari para
misionaris kepada masyarakat Batak. Namun dominasi wacana Barat ini
sebenarnya sudah muncul jauh sebelum masuknya RMG ke Tanah Batak. Misalnya
seorang geograf Yunani, Ptolemaeus pada abad ke-2 M atau Marco Polo pada 1291
yang mendengar berita dari selentingan kabar dari Barus tentang masyarakat suku
pedalaman yang tinggal dipegunungan. Keduanya menyinggung masyarakat
27 William D. Hart, Edward Said and The Religious Effects of Culture (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), hl. 63. 28 Edward Said, Orientalism (London: Penguin Books, 2003), hl. 2-4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |94
kanibal yang mengarah kepada masyarakat Batak.29 Selain itu ada juga William
Marsden (1754-1836) yang mendeskripsikan masyarakat Batak dengan masyarakat
kanibal sebagai bentuk hukuman sosial.30
Dari kalangan misionarispun sebenarnya juga telah ada yang
mendeskripsikan tentang masyarakat Batak dari sudut pandang Barat sebelum
masuknya misionaris RMG ke Tanah Batak, yakni melalui Burton dan Ward yang
berasal dari zending Baptis. Mereka melihat bahwa masyarakat Batak memiliki
kekuatan dalam tatanan sosial di setiap wilayah atau perkampungan yang dapat
dibandingkan dengan kota-kota di Eropa meskipun dilandaskan dengan tatanan
yang sangat tradisional atau kuno. Demikian juga dengan sifat kanibalisme yang
ada dalam masyarakat Batak sebagai suatu hukuman tak lepas dari deskripsi
mereka. Untuk karakter masyarakat Batak, mereka memandang bahwa orang-orang
Batak sebagai orang yang bebal, penakut dan kejam, walaupun terkadang hal ini
tertutup dalam sistem tatanan sosial.31
Berabad-abad keterpencilan masyarakat Batak di wilayah pegunungan
justru membuat wacana-wacana Barat dalam mendeskripsikan masyarakat Batak
itu sendiri semakin mendominasi. Hal ini juga semakin menambah keterisolasian
bangsa Batak yang muncul dari sikap bangsa sekitar dalam memandang bangsa
Batak. Wacana-wacana yang berkembang tersebut bukanlah didasarkan atas kajian
ilmiah. Hal ini terus berlangsung hingga muncul Neubronner van der Tuuk, seorang
29 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010), hl. 55-56 30 William Marsden, Sejarah Sumatra (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hl. 471. 31 Lih. Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra,
in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam Early Journal Content On
JSTOR.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |95
ahli bahasa-bahasa Nusantara asal Belanda yang memiliki darah keturunan
Indonesia dari ibunya yang merupakan orang Indonesia asli, yang pertama kali
mengkaji budaya dan bahasa Batak dari sudut pandang keilmiahan (1851-1857).32
Ia diutus oleh pihak kolonial setelah muncul buku berjudul Beschreibung der
Battaländer (1847) karya Franz Junghuhn (1842) seorang ahli budaya asal Jerman
yang berisi tentang identitas bangsa Batak, baik mengenai budaya maupun
agamanya.33 Neubronner van der Tuuk sangat mengusulkan dan mendesak kepada
pemerintahan kolonial untuk segera melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak
mengingat semakin berkembangnya agama Islam di daerah Tapanuli Selatan dan
wilayah pesisir.34 Keseriusannya terhadap pekabaran Injil inipun terlihat dari buku-
buku yang diterbitkannya yang bukan hanya mengenai bahasa dan budaya Batak,
tetapi juga dalam bentuk penerjemahan Alkitab ke dalam aksara dan bahasa Batak-
Toba. Hasil dari karya van der Tuuk inilah yang kemudian menjadi “pintu masuk”
bagi para missionaris RMG dalam mempelajari budaya dan bahasa Batak.
Batak yang dideskripsikan dan diidentifikasi oleh wacana Barat justru
memperkuat minat RMG dalam melaksanakan misinya. Hal ini juga tak lepas dari
pengamatan Friedrich Fabri, Inspektur RMG kala itu. Fabri melihat keunikan dari
bangsa Batak dari bangsa-bangsa lainnya dengan melihat ciri-ciri fisiknya.35
Bahkan ia pun juga melihat dan menghubungkan pandangannya tersebut dengan
sejarah di Kitab Suci. Menurutnya, keturunan Ham, anak Nuh, memiliki keturunan
32 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999), hl. 173. 33 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja
Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 51. 34 Van den End, Op. Cit., hl. 174. 35 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |96
yang rusak akibat hukuman Tuhan, bangsa Batak justru memiliki kerusakan yang
tidak terlalu parah. Ia memandang bahwa suku Batak berada di tengah antara
bangsa Eropa dengan Melayu, sehingga walaupun masyarakat Batak memeluk
agama Kristen namun tetaplah berada dibawah bangsa Eropa.36
Lebih jauh lagi, ia mendeskripsikan ada kemiripan antara bangsa Batak
dengan bangsa Jerman selain dari struktur wajah, yakni kesamaan dalam kondisi
geografis, di mana kedua bangsa ini dikepung dan dikelilingi oleh bangsa-bangsa
yang ingin memusnahkannya. Jerman yang dikelilingi Prancis dan bangsa Slownik,
sedangkan Batak dikelilingi oleh bangsa Melayu.37 Selain wacana yang
meninggikan bangsa Eropa, para misionaris juga menilai karakter dari orang-orang
Batak yang menurutnya memiliki sifat negatif, yakni keangkuhan, kemalasan,
moral yang rendah, asusila, serta kebiasaan wanita yang sudah menikah untuk tidak
menutup buah dadanya. Wacana ini justru mengafirmasi dan melegitimasi
kolonialisme dengan dalih pengadaban, seperti yang Gustav Warneck katakan:
“dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk
bekerja. Kalau mereka dibiarkan sendiri, mereka akan tetap malas”. 38
Wacana-wacana yang dikembangkan oleh Barat dalam melihat dan
mengidentifikasikan bangsa Batak justru merendahkan bangsa pribumi, dalam hal
ini bangsa Batak, serta meninggikan superioritas Barat. Hal ini juga dilihat oleh Uli
36 Pandangan Fabri ini justru mengangkat masyarakat Batak dari orang-orang Melayu yang
menurut catatan Lance Castles istilah Batak sendiri sebagai suatu unit pemerintahan baru di mana
orang Batak ditugasi untuk mengelola daerah baru, yang dipandang rendah oleh orang Melayu. Bdk.
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta:
KPG, 2001), hl. 2. 37 Ibid., hl. 66. 38 Ibid., hl 74-75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |97
Kozok yang menilai bahwa Misionaris dalam melaksanakan misinya juga
membawa dan menegakkan supremasi bangsa Eropa (Barat).39 Dengan demikian,
munculnya wacana-wacana ini dapat dikatakan bahwa orientalisme yang dipandang
sebagai teritorial dari “ketimuran” justru menjadi ajang penguasaan atas dunia
timur melalui dominasi wacana Barat dengan anggapan bahwa masyarakat Timur
yang “primitif” tidak sanggup dalam menguasai budaya mereka sendiri dan hanya
diperuntukkan bagi Barat. Hal inilah yang kemudian digunakan oleh Misionaris
dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak; yang walaupun dalam misinya
tersebut menggunakan bahasa Batak-Toba (timur) namun penguasaannya (baca:
gaya berpikir) tetaplah dari wacana Barat.
B. Kolonialisme dan Misi Pengadaban
1. Hasrat dan Krisis Batak: Awal Mula Masuknya Zending dan Hamajuon
Sebelum masuknya RMG di Tanah Batak, masyarakat Batak selalu berada
didalam tekanan dunia luar. Identitas masyarakat Batak yang masih memeluk
agama tradisional menjadi hal yang selalu dipinggirkan dan diasingkan oleh
bangsa-bangsa sekelilingnya. Paling tidak menurut Hendrik Kraemer, pengasingan
ini berlangsung hingga awal abad ke-19.40 Identitas agama dan budaya menjadi
sesuatu tantangan yang harus dipertahankan, mengingat peluang di dalam
39 Pernyataan Uli Kozok ini tertuang dalam Historia, “Menyingkap Selubung Suci
Pembawa Misi”, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 60-63. 40 Jan Aritonang, “The Batak People: A Search For a Religious-Cultural Identity”, dalam
Martha Frederiks, dkk. (eds.) Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour of Jan A.B.
Jongeneel (Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003), hl. 127.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |98
kehidupan ekonomi sosial dan politik ketika berhadapan dengan dunia luar menjadi
sesuatu yang mustahil. Hal ini juga diperparah dengan terjadinya Perang Paderi
(1820-an) yang menyebabkan kematian Raja Singamangaraja X dan
meluluhlantahkan masyarakat Batak. Mekanismenya adalah seperti yang dicatat
oleh Aritonang:41
“Ketika di desak mundur oleh Belanda, mereka menerobos ke Tanah Batak,
bahkan sampai ke jantung Tanah Batak (Silindung dan Toba) sambil mengislamkan
penduduknya dengan menggunakan kekerasan. Banyak penduduk yang tidak bersedia
masuk Islam, lalu dibunuh.”
Menurut Sidjabat, dampak yang ditimbulkannya adalah dengan hancurnya
kesatuan dari masyarakat Batak yang telah dibangun oleh Raja Singamangaraja.42
Masyarakat Batak tidak lagi percaya kepada kepemimpinan Singamangaraja. Hal
ini berdampak maraknya perang antarmasyarakat Batak, baik di tingkat huta hingga
bius. Menurut saya, efek yang ditimbulkan dari perang Paderi lebih dari itu, yakni
krisis identitas, baik religi maupun budaya dalam masyarakat Batak.43 Selain faktor
internal, perang Paderi yang memerangi bangsa Batak juga menimbulkan masalah
tersendiri, di mana menurut Anthony Reid, menghancurkan hubungan antara
Minangkabau dengan masyarakat Batak yang sebelumnya telah terjalin dengan
baik, sehingga memunculkan keterisolasian masyarakat Batak dari bangsa
41 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), hl. 106. 42 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
429. 43 Dalam hal ini, saya sepakat dengan pernyataan Warneck bahwa kelemahan dalam
animisme seperti dalam agama tradisional masyarakat Batak adalah bahwa penilaian dari kehidupan
duniawi menentukan kebaikan tertinggi. Hal ini ia dasarkan atas perjumpaannya dengan orang Batak
yang mengatakan: “manusia ada di dunia ini untuk memakan nasi.” Lih. Joh. Warneck, The Living
Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom (London: Oliphant,
Anderson & Ferrier, 1867), hl. 130.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |99
sekitarnya.44 Namun hal ini berubah lambat laun pasca perang Paderi ketika
pemerintah kolonial Belanda telah menaklukkan dan menguasai wilayah Tapanuli
Selatan (1833) dan mengusahakan perdamaian paksa (Pax Neerlandica) yang
menyebabkan Islam diterima di wilayah Tapanuli Selatan .45
Peta Sumatera Utara
Menurut Pedersen, kehadiran pemerintahan kolonial Belanda secara tidak
langsung membuat Islam justru berkembang di wilayah-wilayah jajahan.46
Kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang membatasi pos-pos Pekabaran Injil
untuk terlibat di Sumatra yang berguna dalam menjaga hubungan baik serta
menghindari fanatisme Islam, menjadi buktinya, selain kebijakan pemerintahan
44 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Obor &
KITLV, 2011), hl. 27-28. 45 Van den End, Op. Cit., hl. 173. 46 Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |100
kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Melayu Muslim yang
menyebabkan penyebaran bahasa Melayu dan agama Islam. Hal ini juga disadari
para misionaris RMG, termasuk Nommensen nantinya, yang justru berharap
pemerintahan kolonial Belanda tidak masuk ke Tanah Batak karena takut Islam
menyebar di Tanah Batak.47 Mengenai wilayah Batak Toba sendiri yang masih
memeluk agama tradisional, pemerintahan kolonial Belanda kurang menaruh
perhatian mengingat Belanda sendiri tidak tertarik dengan Tanah Batak yang
dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomis.
Dengan kebijakan ini, Islam semakin berkembang dan mendapatkan ruang
dalam menguasai perdagangan. Mulai dari bangsa Melayu, wilayah Batak daerah
Selatan, daerah pesisir, hingga Aceh semuanya rata-rata memeluk agama Islam.
Perkembangan dan perluasan Islam ini, menurut Pedersen, memberikan fenomena
tersendiri bagi masyarakat non-muslim, yakni harapan akan pendidikan dan masuk
ke dalam masyarakat modern. Masyarakat Batak yang masih memeluk agama
tradisional justru meyakini ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan
ekonomi pada saat itu dengan keyakinannya,48walaupun di sisi lain krisis akibat
Perang Paderi tetap tidak dapat hilang begitu saja berupa trauma terhadap bangsa
luar, khususnya di daerah utara yang masih merasakan dampaknya dengan sikap
mengucilkan diri, sedangkan agama Islam semakin menyebar di Tanah Batak,
khususnya daerah Selatan. Pemerintah Belanda yang melihat hal ini merubah
47 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 95. 48 Menurut Pedersen, kaum Muslim selalu mengharapkan masuknya masyarakat Batak
menjadi Islam. Berbagai cara dilakukan untuk mengusahakan Islamisasi kepada masyarakat Batak,
misal salah satunya mengizinkan dan memaklumi masyarakat Batak untuk memakan babi walaupun
telah menjadi muslim. Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43-44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |101
kebijakannya dengan mencari mitra zending sebagai sekutunya yang kemudian
mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah
faktor Islamisasi yang berkembang pesat.
Ide pengkristenan ini sebenarnya bukanlah yang pertama di Tanah Batak.
Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir
Thomas Stamford Raffles dan Lord Moira juga mendorong usaha penginjilan di
Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara
dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris
Richard Burton dan Nathaniel Ward yang berasal dari badan zending Baptis,
Inggris.49 Namun usaha pengkabaran Injil tersebut kurang memberikan hasil.
Hanya beberapa orang yang dibaptis, yakni: Jacobus Tampubolon dan Simon
Siregar pada 31 Maret 1861 yang sekaligus menjadi orang Batak pertama yang
menerima Injil.50
Menurut Jan Aritonang, kehadiran badan-badan zending ke Tanah Batak
dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat
Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama.51
Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian
dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh
orang Melayu pesisir beragama Islam.52 Faktor lainnya adalah masalah internal
49 Ibid., hl. 45. 50 Ibid., hl. 47. 51 Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127. 52 Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi
menjadi dua kasta, rakyat jelata yang terdiri dari petani, orang desa yang dinamakan dan kaum
elit/priyayi yang diisi oleh administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang
berpendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya zending ke Tanah Batak memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |102
teratasi, yakni keamanan, ekonomi, pendidikan dsb. Namun walaupun demikian,
masyarakat Batak yang kuat dengan adat dan budaya merasa enggan dalam
meninggalkan identitas adat dan budayanya terlebih wilayah Toba atau yang masih
mengakui Singamangaraja sebagai pemimpinnya.
Adanya krisis yang melatarbelakangi masuknya badan zending RMG ini
memberikan titik tolak bagi masyarakat Batak untuk mau menerima para zending.53
Bagaimanapun falsafah Batak tradisional tetap menjadi suatu acuan dalam
menerima pengaruh asing demi terwujudnya, yakni hamoraon (kekayaan),
hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat). Dan hal inipun
terbukti dengan masuknya RMG dapat menjawab krisis yang dibutuhkan berupa
faktor keamanan, ekonomi, pendidikan, dsb. Perbedaan yang jelas tampak adalah
masalah perlakuan dari pihak kolonial kepada orang Batak yang berbeda dari
perlakuan kepada Minangkabau atau Jawa yang tersiksa akibat tanam paksa.54
Walaupun di sisi lain, hal ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan keahlian atau
ketrampilan yang diberikan pihak kolonial, termasuk zending, kepada masyarakat
Batak, misalnya sekolah pertukangan yang ada di Balige, dan sekolah lainnya.
Tanggal 7 Oktober 1861 merupakan hari penting bagi HKBP dan RMG yang
mengingatkan kepada awal mula masuknya RMG ke Tanah Batak yang sekaligus
potensi kepada masyarakat untuk naik kasta. Lih. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern
Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hl. 31. 53 Dari laporan BRMG, selain faktor adanya krisis akibat Perang Paderi, maka ada faktor
lain yang menyebabkan jatuhnya wibawa Raja Singamangara di wilayah Silindung, yakni adanya
masalah internal, di mana ia membawa lari istri seorang Raja. Lih. BRMG 1878 dalam Uli Kozok,
Utusan Damai, Op.Cit., hl. 121. 54 Ibid., hl. 78.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |103
juga menjadi tanggal lahirnya HKBP,55 di mana pada tanggal tersebut diadakan
rapat di Sipirok yang dihadiri oleh 4 orang Pendeta, yakni Pdt. Heine, Pdt.
Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Assselt yang membahas mengenai pembagian
tugas pekabaran Injil di Tapanuli. Masuknya RMG ke Tanah Batak ini tak lepas
dari jasa Dr. Friedrich Fabri yang pada waktu itu menjabat inspektur RMG yang
memutuskan untuk memindahkan wilayah pos pekabaran Injil dari Borneo ke
Tanah Batak akibat adanya perang Hidayah di Borneo (Kalimantan) yang
menyebabkan terbunuhnya sejumlah misionaris, serta hilangnya ladang pekerjaan
mereka.56 Dalam pembagian tugas tersebut, Pdt. Klammer ditugaskan di wilayah
Sipirok, Pdt. Betz ke daerah Bungabondar dan Pdt. Heine bersama Pdt. Van Asselt
ke wilayah Pahae. Keempat misionaris ini masih menguasai wilayah perbatasan
Tapanuli Selatan dengan Utara sebelum akhirnya Nommensen datang dan
membuka perkampungan di Sait Ni Huta, bius Silindung pada 20 Mei 1964 dan
mengadakan kebaktian pertama kali pada 29 Mei 1964. Perkampungan ini
55 Penetapan tanggal kelahiran HKBP, yaitu tanggal 7 Oktober 1861, didorong atas
perlunya semua umat Kristen Batak untuk merayakan hari jadi kekristenan; dan RMG melalui rapat
konfrensi para missionaris tahun 1905 menentukan secara resmi tanggal tersebut sebagai hari jadi
kekristenan atau Gereja Batak, istilah HKBP belum menjadi nama resmi pada waktu itu, melainkan
Gereja Batak (Batakmission) Tahun 1905 yang digunakan sebagai tahun penetapan tanggal
kelahiran Gereja Batak secara bersamaan menjadi hari perayaan yang pertama bagi kelahiran Gereja
Batak. Perayaan pertama ini kemudian menjadi titik tolak perlunya kesadaran di dalam mengingat
hari jadi Kekristenan di Tanah Batak. Pada tahun 1925 melalui Sinode Agungnya, nama Gereja
Batak diganti dan diresmikan menjadi ”Huria Kristen Batak” (Gereja Kristen Batak). Tidak ada lagi
nama Gereja Batak yang digunakan pada waktu itu. Baru pada tahun 1929 melalui Sinode
Agungnya, nama ”Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi ”Huria Kristen Batak Protestan”
(HKBP). Nama ini kemudian menjadi nama gereja yang dipakai sekarang. Penamaan HKBP tersebut
kemudian menjadi resmi ketika pada tahun 1931 diakui sebagai Badan Hukum. Pemerintah pun
kemudian mengeluarkan S.K. pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana tertulis dalam
lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang oleh pemerintah pun dilakukan dengan
mengeluarkan surat tanggal 2 April 1968 No. Dd/P/DAK/d/135/68. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai
UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun (Tarutung: HKBP, 1986), hl. 28 &
32. 56 Th. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999), hl. 184.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |104
kemudian dinamakan oleh Nommensen sebagai Huta Dame (Kampung Damai)
dengan menjadikan perkampungan ini sebagai tempat pelayanan dalam urusan
rohani, kesehatan, serta pendidikan. Dari sinilah kemudian Nommensen berkenalan
dengan Raja Pontas Lumbantobing, raja yang mambantu para Misionaris
menyebarkan Injil, dan memberikan lahan di Pearaja (sekarang menjadi Kantor
Pusat HKBP) kepada Nommensen yang dijadikan pargodungan (sekolah, gereja,
klinik).
Bagi masyarakat Batak masuknya zending sebagai sesuatu yang tidak dapat
ditolak. Paling tidak hal ini dilukiskan di dalam dokumen Die Evangelische
Missioner atas ketidaksanggupan Raja Pontas Lumbantobing dalam
mempertahankan adat dan budaya Batak atas masuknya kuasa dari luar:57
“Alai ianggo Raja Pontas pos do Rohana di nasida. Ai diantusi ibana do, na
ingkon mago bangsona, so boi maju ala ni angka hamusuon na so olo mansohot.”
Terjemahannya:
“Tetapi Raja Pontas sangat setuju, karena ia mengerti bahwa bangsanya akan
hilang karena tidak dapat maju akibat konflik sesama yang selalu berlangsung.”
Pasca masuknya RMG ke Tanah Batak, Kristenisasi berjalan pesat. Data yang
tercatat, ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, gereja telah bertumbuh
dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota yang dibaptis, Pendeta yang
bersuku Batak sebanyak 34 orang, sedangkan Guru Injil sebanyak 788 orang dan
penatua sebanyak 2.200 orang. Di bidang pendidikan, data yang tercatat, sekolah-
57 Diambil dari “Die Evangelische Missioner” dalam A.A. Sitompul, Sitotas Nambur
Hakristenon Di Tano Batak (Jakarta: Dian Utama, 2005), hl. 74.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |105
sekolah yang berdiri sebanyak 510 buah yang mempunyai 32.700 orang murid yang
terdaftar.58
2. Pendekatan Adat dan Budaya
Salah satu faktor yang menyebabkan diterimanya para misionaris RMG di
Tanah Batak adalah dengan menggunakan adat dan budaya Batak yang menyangkut
bahasa, sistem sosial dan politik, dsb. Awalnya, sikap penolakan terhadap adat
diberlakukan terhadap masyarakat Batak, namun lambat laun dalam prakteknya
terdapat negosiasi antara masyarakat Batak dengan pihak zending. Negosiasi ini
dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai Kekristenan, meskipun dalam hal ini, saya
sepakat dengan Uli Kozok bahwa ada alasan tertentu dalam melihat adat dan budaya
masyarakat yang dianggap primitif, yakni adanya budaya superioritas bangsa
Eropa, terlebih pada abad ke-19 rasisme sangat berkembang.59 Persoalan-persoalan
mengenai nilai-nilai Kekristenan yang diperhadapkan dengan adat dan budaya
Batak menjadi faktor-faktor yang dinegosiasikan, walaupun para misionaris tetap
melihat pentingnya bahasa, aksara, struktur sosial, serta intisari budaya Batak yang
perlu dilestarikan sesuai dengan paham Gustav Warneck mengenai “logos
58 P.B. Pedersen, Op. Cit., hl. 64. Pertobatan yang sangat cepat ini mendapat kekhawatiran
di tubuh RMG melalui missionaris-missionaris lainnya. Memang tidak ada alasan yang konkret
untuk menjadi bahan bantahan atas apa yang telah dicapai oleh Nommensen di dalam mengabarkan
Injil di Tanah Batak, namun alasan mendasar yang dipakai RMG adalah pengalaman sebelumnya,
yaitu ketika RMG juga menjadi badan zending di Kalimantan, di mana pada waktu itu terjadi
kehancuran yang sangat vital. Kekhawatiran RMG di Barmen ini hanya ditanggapi Nommensen
dengan sangat dingin, bahwa Allah saat ini memang hadir untuk orang Batak. Lih. Ibid., hl. 60. 59 Menurut Uli Kozok, sikap penolakan terhadap budaya primitif awalnya didengungkan
oleh para misionaris RMG yang menganggap adat dan budaya Batak tidak memiliki peradaban,
sehingga hal yang perlu dilakukan adalah transfer budaya dari peradaban Eropa dengan
menggunakan Culturkampf (perang budaya) yang mengingatkan pada usaha pemerintah Jerman
untuk memisahkan dan membatasi ruang gerak gereja Katolik. Lih. Uli Kozok, Utusan Damai,
Op.Cit., hl. 72-73.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |106
spermatikos”.60 Kebijakan-kebijakan yang dinegosiasiasikan itu, misalnya,
pelarangan tari-tarian atau tor-tor, pemakaian alat musik Batak (margondang), dan
pengijinan pernikahan semarga yang ditolak oleh masyarakat Batak dengan alasan
menghilangkan konsep Dalihan Na Tolu, walaupun tor-tor dan margondang
tetaplah dilarang.61 Sikap tegas terhadap adat dan budaya dalam kehidupan
masyarakat Batak ini untuk menghilangkan agama tradisional masyarakat Batak
dan menjauhkan unsur sinkretisme dalam Kekristenan. Bahkan pihak zending tidak
pandang bulu dalam melaksanakan hal ini, misalnya Raja Pontas Lumbantobing
yang sangat membantu pihak zending justru pernah dibali (dikucilkan atau
dihukum) oleh pihak zending akibat mengikuti pesta penguburan yang berdasarkan
adat Batak.62
Bagi pihak zending sendiri penyebaran pekabaran Injil dilakukan secara
menyeluruh di segala aspek, paling tidak hal ini dilakukan pada masa awal-awal
masuknya zending di Tanah Batak ketika pemisahan antara pemerintahan sekuler
dan Kekristenan belum terjadi. Melalui konsep pargodungan63 maka Injil
diberitakan ke segala aspek, misalnya melalui kesehatan, pendidikan dan
pengajaran, bahasa, dll. Bahkan mereka memandang bahwa Kekristenan haruslah
menggabungkan dirinya kepada adat dan budaya Batak dan mengambil tempat
dalam pola kehidupan atau tata tertib kehidupan masyarakat Batak. Misalkan saja
60 Dalam hal ini penerapan metode misiologi yang dilakukan oleh badan zending RMG
sangat berbeda dengan badan zending dari Inggris yang justru tidak menghargai bahasa pribumi.
Bdk. John McLeod, Op.Cit., hl. 141. 61 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 73-74. 62 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen
di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 53. 63 Istilah ini untuk menyebut kompleks halaman gereja yang digunakan juga sebagai tempat
pendidikan, kesehatan, dsb.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |107
melalui bentuk penerjemahan, di mana Nommensen menerjemahkan Perjanjian
Baru ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1876, sedangkan Johannsen
menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1894.
Dengan konsep ini maka para misionaris tetap menggunakan tradisi adat
dan budaya Batak dalam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan.
Bahkan tradisi-tradisi Batak yang bersifat sastra turut digunakan dan
ditransformasi, misalnya salah satunya torsatorsa (cerita rakyat),64 serta masih
banyak lagi usaha yang dilakukan para misionaris dalam penggunaannya terhadap
adat dan budaya Batak. Namun salah satu yang menjadi sorotan saya di sini adalah
penggunaan sistem struktur dalam kehidupan sosial masyarakat Batak.
Beberapa penulis-penulis dari luar atau lokal yang menulis tentang
pekabaran Injil di Tanah Batak mungkin akan rumit dan keliru ketika berhadapan
dengan sistem struktur sosial dalam masyarakat Batak, terlebih ketika mencoba
memetakan upaya para misionaris RMG dalam menggunakan sistem struktur sosial
masyarakat Batak. Hal ini diakibatkan kesalahan dalam memahami mengenai
harajaon (kerajaan) dalam struktur masyarakat Batak yang justru sering dipakai
sebagai refrensi buku, seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II. Maka dari itu
untuk menerangkan bagaimana para misionaris sendiri, khususnya Nommensen,
dalam menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak maka perlu
64 Manguji Nababan (ed.), Torsatorsa Hombung: Turiturian Ni Halak Batak (Medan:
Vanivan Jaya, 2015), hl. X. Salah satu yang digunakan misalnya torsatorsa Cincin Idam-idaman
yang digunakan oleh F.W Staudte dan G v. Asselt untuk membantu dalam melihat firman Tuhan.
Lih. Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |108
ditempatkan dalam pemahaman adat dan budaya Batak, di mana semuanya telah
diatur di dalamnya yang saya telah jelaskan di bab sebelumnya.
Para misionaris dalam melaksanakan pekabaran Injilnya berusaha
memasuki wilayah-wilayah di Tanah Batak dengan pendekatannya terhadap
struktur sosial masyarakat Batak, yakni kepada raja-raja baik huta hingga bius.
Bahkan strukturnya tidak diubah, melainkan dibina menjadi harajaon (kerajaan)
Kristen. Para Misionaris tampaknya memahami pondasi struktur masyarakat Batak;
dan hal ini, tak lepas dari peran Nommensen yang mengetahui secara mendalam,
serta memberikan saran kepada para misionaris lainnya. Sebagai bukti adalah
dengan terciptanya aturan peraturan atau tata gereja 1881 yang berdasarkan tatanan
sosial masyarakat Batak, di mana Nommensen menjadi inspiratornya.65 Dengan
pendekatannya ini maka nantinya akan terlihat, posisi Nommensen sendiri dalam
struktur sosial masyarakat Batak Toba, yang dengan praktik-praktiknya selayaknya
seperti gambaran dari kepemimpinan Ompu i Raja Singamangaraja. Namun di sini,
saya akan terlebih dahulu menjabarkan bagaimana Nommensen sendiri aktif dalam
mengkonstruk suatu struktur sosial masyarakat Batak Toba menjadi kerajaan
Kristen.
Raja bagi masyarakat Batak mengambil peran yang sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat. Ia menjadi pelaksana atas adat dan hukum, baik
sekuler maupun religi. Dengan perannya ini, maka pengaruh raja sangatlah besar
bagi pengikutnya. Pendekatan yang dilakukan Nommensen kepada raja di Tanah
65 Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 47.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |109
Batak memberikan pengaruh penting bagi pengikut raja tersebut. Hal ini dapat
terlihat dari pengaruh yang ditimbulkan atas masuknya Raja Pontas Lumbantobing
menjadi Kristen, ditambah dengan sikapnya yang pemberani dalam menyelesaikan
konflik-konflik marga atau antarkampung, maka komunitasnya pun turut juga
menerima Kekristenan. Bahkan Raja Pontas sendiri tidak segan-segan untuk
mengajak para raja dan para imam (kelompok parbaringin) untuk menerima Injil.
Raja Pontas sendiri memiliki kekuasaan yang mencakup wilayah bius, sehingga
kekuasaannya berada diwilayah lintas huta. Namun demikian ia juga sering
mengajak raja-raja diluar kekuasaannya. Misalnya raja di Sipahutar.66
Selain Raja Pontas, masih banyak juga raja-raja lainnya yang menerima dan
mendukung para misionaris, misalnya Ompu Hatobung dari Pansurnapitu, Kali
Bonar dari Sigompulon-Pahae, dll. Dengan pendekatan atas raja maka tak heran
basis yang dibangun mencakup wewenang atas wilayah yang menjadi kekuasaan
raja, baik itu di tingkat huta hingga bius. Nommensen tidak sedikitpun mengganti
raja-raja yang berkuasa di wilayahnya masing-masing. Bahkan untuk tingkat huta
hingga bius, ia sangat menghargai peran dari para raja:
“Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun
yang belum dibaptis, tidaklah berada dibawah kekuasaan saya. Saya adalah guru
mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorangpun yang sudah Kristen atau yang mau
menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya; sebaliknya rajanya yang sekarang
ini tetaplah juga rajanya selanjutnya…”67
66 Pdt. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155. 67 Pernyataan Nommensen ini diungkapkan pada awal-awal misinya di Huta Dame ketika
pemerintahan kolonial Belanda belum masuk ke wilayah Silindung. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl.
44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |110
Pernyataan Nommensen ini menjadi titik tolak dalam pemakaian Suhi
Ampang Na Opat dalam adat dan budaya masyarakat Batak, khususnya sistem
struktur konfederasi yang diterapkan Dinasti Singamangaraja. Bahkan peran raja
menjadi penghubung antara pengikutnya dengan pihak misionaris, seperti yang
ditulis oleh misionaris Johannsen dalam suratnya von Sibolga nach Silindung:
“Pada hari-hari berikutnya, banyak raja-raja yang berlomba-lomba datang
mengundang kami ke rumahnya untuk dijamu. Masing-masing mendesak, supaya
dialah yang pertama kami kunjungi…”68 Peran raja bagi pekabaran Injil sangatlah
penting, bahkan atas jasanya tersebut anak-anak raja mendapatkan perlakuan
khusus dengan diperbolehkan menimba pendidikan berbahasa Belanda di
Loguboti.69 Bahkan Warneck sendiri sangat mengakui otoritas raja, serta
menghargai peran raja dalam perkembangan Kekristenan di Tanah Batak:
“Sungguh mereka adalah penguasa negeri: tanpa izin mereka baik zendeling
maupun evangelis (penginjil pribumi) tidak boleh bermukim di situ. Dan kalupun
seringkali mereka hanya secara lahiriah saja ikut membantu, yaitu menghadiahkan
tempat untuk mendirikan gedung sekolah atau gereja, atau mendorong warganya
datang ke gereja, atau meminta kehadiran zendeling dan hal-hal yang serupa, itu toh
sudah merupakan kerjasama yang hakiki, karena mereka sudah membukakan pintu.”70
Selain pendekatannya kepada raja dalam menarik simpatik para pengikut,
ia pun memperkokoh basis komunitas masyarakat Kristen Batak dengan
membangun gereja-gereja berdasarkan marga-marga.71 Hal ini menandakan bahwa
pendekatan ini ingin menanamkan basis komunitas dalam aspek kekerabatan
masyarakat Batak atau Dalihan Na Tolu. Dengan pendekatan ini maka wilayah
68 Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), hl. 80. 69 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 79. 70 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 154. 71 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 46.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |111
yang dicakup adalah setiap harajaon-harajaon (kerajaan) bius yang dalam
kehidupan sosial masyarakat Batak menjadi dominasi dari marga-marga tertentu
sebagai pemilik wilayah (cuius region eius religio). Misalnya saja Gereja
Simarangkir yang merupakan basis dari marga Simorangkir, dsb. Walaupun setiap
gereja tidak dibangun di setiap huta, namun hal ini cukup dalam mengawasi adanya
pertikaian-pertikaian yang terjadi, baik di tingkat huta hingga bius. Selain pendirian
gereja, ia pun juga menempatkan marga-marga setempat untuk mengisi gereja atau
pos-pos Pekabaran Injil (PI) tersebut.72 Dengan pendekatan ini maka Kekristenan
semakin menyebar dengan cepat, di mana pada tahun 1881 sudah ada enam distrik
atau lingkungan, yakni Sipiriok, Sigompulon – Pahae, Sibolga, Silindung,
Humbang dan Toba yang kesemuanya merupakan gambaran dari peta marga-marga
Batak.73
Pendekatan Nommensen kepada adat dan budaya dalam sistem sosial
masyarakat Batak pada dasarnya membangun dan memperkokoh pondasi kerajaan
Kekristenan yang ia bangun. Bahkan prinsip ini dilakukan oleh Nommensen dengan
menempatkan empat orang penatua (sintua) bersama-sama dengan raja dalam
mengawasi harajaon Kristen (bius) yang diatur oleh aturan peraturan. Sesuatu hal
yang dilakukannya untuk mengantisipasi adanya penolakan-penolakan yang
dilakukan para penganut yang masih memeluk agama tradisional.74 Menurut saya,
penempatan penatua menjadi pendamping raja justru menjadi suatu reproduksi baru
atas kerajaan Kekristenan dalam menggantikan peran kelompok Parbaringin
72 Ibid., hl. 46. 73 Ibid., hl. 47. 74 Ibid., hl. 51.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |112
sebagai pendamping raja, terlebih ketika pesta bius yang menjadi upacara kegiatan
bagi agama tradisional Batak yang juga melibatkan kelompok Parbaringin sendiri
dilarang dan dihilangkan dari kegiatan-kegiatan bius.
Usaha yang dilakukan ini tidak berhenti sampai di situ saja tetapi terdapat
juga usaha dari para misionaris untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasai
oleh raja (baca: bius), yaitu dengan melibatkan para raja juga dalam suatu kegiatan-
kegiatan formil, misalnya pesta mission (pesta zending), serta mewadahi aspirasi
dari setiap wilayah kekuasaannya dengan diciptakannya rapat yang melibatkan para
raja dan penatua (sintua) sebagai suatu komunitas Kekristenan.75 Dengan
pendekatannya ini, Nommensen justru lebih sibuk dengan urusan-urusan sosial
politik masyarakat, sehingga dengan melibatkan raja maka otomatis para misionaris
dibebaskan dari beban masalah tersebut.76 Pendekatan terhadap raja, serta
pengawasan terhadap bius-bius justru mempertegas posisi Nommensen sebagai raja
(ompu i) atas raja-raja bius Kristen.
Semakin berjalannya waktu dan semakin banyak raja yang mengikuti
Kekristenan membuat RMG yang dipelopori Nommensen dan Johannsen akhirnya
memisahkan urusan sekuler dengan gerejawi dengan terbentuknya aturan-peraturan
yang menyangkut hukum gereja pada 1866 dan diikuti peraturan atau undang-
undang sipil untuk orang Kristen pada 1867 yang mengurus masalah perkawinan,
pencurian, judi, bekerja di hari minggu.77 Dengan adanya undang-undang sipil ini
75 Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893. 76 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 65. 77 Seperti yang diutarakan oleh Schreiner bahwa undang-undang sipil ini tidak ditemukan
naskahnya. Ibid., hl. 63-64.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |113
maka dimulailah pembentukan suatu adat Kristen yang terpisah dengan urusan
rohani, sedangkan adanya hukum yang mengatur gereja berarti manandakan
dimulainya organisasi struktural gereja yang berdasarkan bius-bius atau adat Batak
yang merupakan cikal bakal dari organisasi Episkopal yang ada di HKBP sekarang,
di mana hukum selalu berjalan dari atas ke bawah. Adanya pemisahan ini justru
sangat berbeda dengan pemahaman masyarakat Batak tradisional yang memiliki
kesatuan hukum.78 Namun demikian walaupun memiliki dua aturan bukan berarti
terjadi pemisahan sepenuhnya antara sekuler dengan agama. Kesatuan tersebut
masih tetap tidak dapat dipisahkan. Bahkan saya melihat pemisahan ini justru
menandakan kekuasaan Nommensen terhadap urusan rohani dan sekuler, di mana
Nommensen menjadi misionaris yang paling memahami dalam urusan adat dan
budaya Batak.
3. Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan
Setelah melihat mengenai pendekatan RMG kepada pentingnya adat dan
budaya masyarakat Batak, dalam hal ini kepada raja-raja sebagai pelaksana adat,
maka usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menaklukkan raja-raja tak
dapat dilepaskan dengan tampilnya pemerintahan kolonialis Belanda melalui aksi
militerisme atau kekerasan. Keterlibatan ini tak dapat dipungkiri sebagai upaya
dalam mendukung perluasan Kekristenan di Tanah Batak.
78 Walaupun dalam budaya Batak memiliki dua urusan dalam Pustaha laklak (rohani) dan
Pustaha Tumbaga (duniawi), namun kesatuan hukum tetap tercipta. Dua pustaha ini tetaplah
menjadi sumber dalam masyarakat Batak tradisional, termasuk juga undang-undang yang dibuat
oleh Raja Singamangaraja XI dan XII yang pada waktu itu pemisahan sekuler dan rohani belum ada.
Bdk. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 234-235.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |114
Pada awal-awal permulaan penginjilan memang terlihat bahwa para
Misionaris, terutama Nommensen tidak menghendaki akan masuknya
pemerintahan kolonial Belanda yang menganggap bahwa masuknya pemerintahan
kolonial Belanda sejalan dengan masuknya Islamisasi di Tanah Batak. Namun
dalam pandangan ini bukan berarti bahwa pihak RMG sendiri menghindari akan
keterlibatan pemerintah kolonial. Para misionaris justru menghendaki akan adanya
kesepemahaman dengan pemerintah kolonial. Yang artinya penginjilan dan
kolonialisme haruslah berjalan bersama-sama. Prinsip serupa juga dipahami oleh
Raja Pontas Lumbantobing yang notabene adalah seorang pribumi, terlebih ketika
Kekristenan telah menyebar di tanah Batak.79
Bagi pihak RMG sendiri, keberadaan pemerintah kolonial tidak dapat
dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan kedua belah
pihak berupa pembiayaan atau bantuan dana,80 sehingga dapat dikatakan bahwa
hubungan keduanya merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mengikuti Kristen berarti tunduk kepada kolonialisme. Hal ini
juga dicatat oleh J. Silitonga seperti yang kutip oleh Aritonang:
“Raja Pontas menganjurkan masyarakat Sipahutar untuk menerima zending atau
Injil dan pemerintah” Dan menurut pemahaman Silitonga Silindung aman karena Raja
Pontas atas anjuran Nommensen – mau tunduk kepada Belanda.”81
Campur tangan pihak kolonial dengan RMG baru terasa ketika RMG sendiri
memasuki dan melakukan misinya ke wilayah Utara, yakni Toba, di mana menurut
79 Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 70. 80 Lih. S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga
Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989), hl. 165. 81 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |115
Uli Kozok, bentuk campur tangan tersebut berupa aksi militer ke beberapa wilayah
Toba, sehingga terjadi koalisi keduanya karena memiliki musuh yang sama, yakni
Raja Singamangaraja XII. Menurutnya koalisi ini terus berlanjut hingga kematian
Raja Singamangaraja XII.82 Peristiwa ini dikatakan sebagai Perang Toba Pertama
(1878). Pandangan ini didasarkan atas Bericht der Rheinischen
Missionsgesellschaft (BRMG) 1878 yang berasal dari surat Nommensen (20 Juni
1878) mengenai “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba.” Namun selain
mengincar Raja Singamangaraja XII sebagai musuh utama dari pemerintahan
kolonialis beserta RMG namun dari isi surat tersebut mengindikasikan bahwa
bentuk ekspansi ke wilayah Toba adalah juga bertujuan untuk menaklukkan raja-
raja bius, khususnya yang menolak kehadiran misionaris.
Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Nommensen menjadi saksi mata dan
ikut di dalam perjalanan bersama militer Kolonial yang dibantu dengan orang-orang
Kristen dari Silindung – sesuatu yang tidak bisa diharapkan dari orang muslim –
untuk mengekspansi wilayah-wilayah Toba. Namun demikian mengenai tujuan dari
ekspansi ini menurutnya bahwa hal ini tak lepas dari telah masuknya orang Aceh di
wilayah Toba, sehingga para penginjil merasa perlu untuk meminta bantuan
pemerintahan kolonial sebelum terjadinya Islamisasi yang akan menjadi
penghambat bagi masuknya Injil:
“Oleh Sebab itu kami merasa perlu meminta-agar pemerintah menunjukkan
kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari barus dan
Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba,
ternyata sudah mengirim pasukannya.”83
82 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 94-95. 83 BRMG Desember 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl.139.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |116
Perjalanan Nommensen beserta pasukan dimulai dari wilayah Bahal Batu
dan kemudian menguasai wilayah kampung-kampung sekitar, yakni Butar, untuk
seterusnya melanjutkan ekspansinya ke wilayah utara. Beberapa wilayah Toba
dikuasai, termasuk diantaranya Bangkara yang menjadi pusat kekuasaan Raja
Singamangaraja XII. Walaupun Nommensen ikut di dalam rombongan militer
namun ia selalu menekankan kepada pemerintah kolonial untuk terlebih dahulu
mengedepankan dialog kepada para raja dan masyarakat agar mau tunduk kepada
pemerintah kolonial, dikarenakan setiap kampung yang menolak untuk tunduk
kepada pemerintahan kolonial maka kampungnya akan dibakar dan di denda oleh
pemerintah kolonial. Ada beberapa kampung yang menolak untuk tunduk misalnya
di bius Bangkara, Lobu Siregar, dll., namun ada juga yang langsung menyerahkan
diri tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Raja menjadi pusat sasaran dalam
berdialog yang dilakukan Nommensen dengan alasan tunduknya raja maka akan
diikuti oleh para pengikutnya.
“Jerit tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema
diseluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan
ayah Sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung
supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka agar menyerah
dan tunduk pada Belanda.”84
Pasca Perang Toba pertama maka sebisa mungkin para misionaris untuk
menghilangkan trauma yang ditinggalkan akibat perang, sehingga kekawatiran
akan kebencian terhadap Eropa tidak terjadi. Dalam ekspansi tersebut menurut
Nommensen ekspansi ini sangat membantu kedua belah pihak, yakni pemerintah
kolonial dan RMG sendiri.
84 Ibid., hl. 145.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |117
“Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting
lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik
Islam, Aceh maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama
Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan masuknya
agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sini menjadi hampir
sirna.”85
Namun menurut para Missionaris perang ini justru membawa masyarakat
Batak Toba keluar dari keterisolasinnya dan terbuka terhadap pengaruh Eropa.86
Pasca Perang Toba pertama maka banyak orang Toba yang berbondong-bondong
masuk Kristen, seturut dengan takluknya para raja dengan mengikuti perintah
pemerintahan kolonial, serta memeluk agama Kristen. Sedangkan bagi para
Misionaris maka pemerintahan kolonial Belanda memberikan penghargaan dan
bantuan dana sebesar 1000 Golden kepada para Misonaris melalui Gubernur
Sumatra.87
Peta Ekspedisi Militer 187888
85 BRMG 1882 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 155. 86 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 156. 87 Ibid., hl. 93-94. 88 Diambil dari Ibid., hl. 112.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |118
Selain dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak untuk memperluas
wilayah pekabaran Injil maka usaha pemerintahan kolonialis beserta RMG juga
diikuti dengan memperkecil ruang kelompok Parbaringin di tengah-tengah
masyarakat Batak tradisional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu lembaga,
kelompok Parbaringin ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
mempersatukan masyarakat Batak tradisional; dalam hal ini kesatuan akan raja-raja
bius; serta mempertahankan dinasti Singamangaraja. Hal ini tentunya yang menjadi
penghambat bagi masuknya Kekristenan dan ekspansi pemerintahan Kolonial.
Dengan pertimbangan tersebut, pihak zending dan pemerintahan kolonial sepakat
dalam menciptakan kelompok ini sebagai musuh bersama dengan melarang
kehadiran kelompok ini, serta tidak diberikannya ruang di tengah-tengah
masyarakat dengan bentuk pelarangan Pesta Bius.89
Bentuk campur tangan pemerintah kolonial dengan penginjilan yang
dilakukan RMG menandakan konstruk kekuasaan yang dilakukan bangsa Eropa
dalam mengalahkan kekuasaan bangsa primitif sebagai suatu kesepemahaman yang
sama dalam bentuk Eropasentrisme. Puncaknya adalah dengan terbunuhnya Raja
Singamangaraja XII oleh pasukan militer kolonial Belanda yang dikomandani
Christoffel pada 17 Juni 1907.
Adanya keterlibatan RMG dengan pemerintah kolonial ini juga diakui oleh
RMG, kini bernama UEM (United Envangelism Mission), dengan permintaan
89 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII-XX
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl 97.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |119
maafnya atas keterlibatan RMG dengan pemerintahan kolonial: pertama pada
tanggal 27 September 1971 dan kedua pada tahun 1990.
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan
1. Media dan Komunitas yang Dibayangkan
Selain adanya keterlibatan pemerintahan kolonial, maka usaha lain yang
dilakukan oleh RMG sebagai suatu konstruk kekuasaan di Tanah Batak adalah
dengan menciptakan komunitas baru, yakni kerajaan (harajaon) Kekristenan, untuk
menggantikan komunitas yang lama. Tentunya, dengan penciptaan komunitas baru
ini akan terlihat bentuk-bentuk kolonialisme dalam hubungan penjajah dengan yang
dijajah, sikap superior dan inferior dalam bentuk relasi kuasa, serta bentuk-bentuk
penyikiran melalui pembentukan opini umum.
Penciptaan atau pembentukan harajaon (kerajaan) Kristen di Tanah Batak
tidak dapat dilepaskan dengan diciptakannya Surat Kuliling Immanuel. Sama
halnya dengan buku atau media cetak lainnya, maka Surat Kuliling Immanuel dapat
mewakili keberadaan media cetak lainnya atau yang Bennedict Anderson katakan
sebagai kapitalisme cetak (print capitalism) yang memiliki pengaruh kepada
masyarakat, karena bersinggungan dan hadir di tengah-tengah masyarakat.
Pengaruh tersebut dapat menciptakan kesatuan masyarakat atau pembentukan
komunitas. Di sini, saya akan melihat dan mengkaji majalah ini, karena menurut
Foucault, melalui literatur akan terlihat hubungan antara pekerjaan/karya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |120
bahasa, di mana reproduksi atau konstruksi dari suatu pelaku dapat terlihat.90
Dengan kata lain, kehadiran Surat Kuliling Immanuel akan membawa kepada karya
besar RMG yang menyangkut visi, tujuan, dan strategi dalam menciptakan
komunitas baru.
Surat Kuliling Immanuel ini dibuat oleh misionaris Jacobus H. Meerwaldt
yang terbit pertama kali pada 1 Januari 1890 dengan melihat keinginan A.
Schreiber, Inspektur Barmen pada waktu itu.91 Ia mengasuh Surat Kuliling
Immanuel pada periode 1890-1895 dan 1904-1916.92 Walaupun Surat Kuliling
Immanuel ini diasuh secara bergilir oleh para misionaris, namun ide besar yang
menyangkut isi dan struktur penulisan tidak dapat dilepaskan dari Meerwaldt. Kini
majalah ini bernama Surat Parsaoran (SP) Immanuel dan menjadi majalah resmi di
HKBP.93 Surat Kuliling Immanuel dapat dikatakan sebagai majalah komunitas,
karena isinya mengenai isu-isu pastoral, refleksi, pengetahuan Alkitab, theologi dan
dogma Kristen, sejarah dan pengajaran, berita-berita misi dan pengetahuan popular
(matematika, dsb) yang menyangkut kebutuhan komunitas Batak.94 Dengan terbit
sebulan sekali, maka surat ini diedarkan dan diperuntukkan kepada Pendeta Batak
90 Michel Foucault, Language, Madness, and Desire On Literature (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2015), hl. 46. 91 Tahun 1890 sebagai tahun terbit pertama kali Surat Kuliling Immanuel ini berdasarkan
pengesahan HKBP yang tertulis di halaman pertama Majalah SP Immanuel HKBP dan Almanak
HKBP di lembaran “Angka Taon Siingoton”, walaupun konsep Surat Kuliling ini telah ada pada 1
Oktober 1889. Lih. Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889. 92 Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik
di Indonesia Periode 1890-1965 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hl. 29. 93 Tahun 1890 sebagai tahun terbit Surat Kuliling Immanuel maka komunitas Kristen di
Tanah Batak telah memiliki 18 Jemaat Induk; 81 Jemaat cabang; 18.207 anggota jemaat; Pengerja
Barat yang terdiri dari 22 Pendeta dan 1 schwester; pengerja pribumi terdiri dari 11 pendeta Batak,
88 guru dan 272 penatua (majelis); Sekolah yang terdiri dari 92 SD dan 1 Sekolah Lanjutan dengan
jumlah murid 2.666. Lih. Ibid., hl. 28. 94 Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink (eds.), A History of Christianity in Indonesia
(Leiden: Brill, 2008), hl. 958.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |121
dan guru-guru yang ada di Sekolah Tinggi untuk menambah pengetahuan mereka,
serta tidak menutup kemungkinan masyarakat Batak Kristen yang melek huruf
dengan membayar ganti rugi sebesar 1,25 ringgit selama setahun.95 Karena sifatnya
juga diperuntukkan kepada masyarakat maka Surat Kuliling Immanuel juga
membuka ting-ting atau boa-boa (berita atau “iklan”) bagi masyarakat Batak
Kristen yang mau diberitakan di majalah ini dengan membayar 0,25 ringgit.96
Faktor Surat Kuliling Immanuel sangatlah penting bagi pembentukan
komunitas terutama kepada orang-orang yang melek huruf, di mana sekolah dan
pendidikan menjadi faktor pendukung dari imajinasi ini, namun demikian hal ini
juga tidak menutup dipahami juga oleh orang-orang buta huruf, mengingat Surat
Kuliling ini menjadi satu-satunya media atau pemberitahuan (ting-ting) dalam
lingkungan internal masyarakat Kristen di Tanah Batak yang juga dijadikan bahan
kotbah, warta ibadah, kesaksian, pengajaran, dll. dalam setiap kegiatan atau
aktivitas RMG, termasuk dalam ibadah minggu.
Mengenai Meerwaldt sendiri, ia menjadi sosok penting dibalik kehadiran
buku-buku atau media cetak yang dikeluarkan oleh RMG di Tanah Batak. Selain
Surat Kuliling Immanuel, ia juga menerbitkan buku anak-anak sekolah, seperti
Bunga-Bunga Na Angur, Tolu Pulu Onom Turpuk Sidjahaon Ni Anaksikola, dsb. Ia
sangat mengandalkan fungsi buku atau media cetak sebagai bentuk pengajaran
dalam mengubah pemahaman masyarakat.
95 Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889. Lihat juga J.T. Nommensen, Ompu I Dr.
Ingwer Ludwig Nommensen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hl. 164. Menurut J.T. Nommensen
Surat Kuliling Immanuel dicetak menggunakan Hektograph oleh Jonatan, salah seorang guru. 96 Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |122
Menurut Ben Anderson, kehadiran kapitalisme cetak, seperti yang ia kutip
dari Francis Bacon, telah mengubah tampilan dan keadaan dunia.97 Hal ini diyakini
atas kehadiran kapitalisme cetak di dalam suatu peradaban manusia. Namun
berkaitan dengan suatu komunitas maka lebih jauh Ben Anderson melihat bahwa
pengaruh tersebut memungkinkan terciptanya bentuk baru komunitas terbayang,98
atau singkatnya, komunitas yang baru akan tercipta melalui kapitalisme cetak. Hal
ini juga ditunjukkan dengan kehadiran Surat Kuliling Immanuel di mana
kehadirannya justru memberikan imajinasi akan suatu komunitas yang baru, yakni
kerajaan (harajaon) Kristen. Yang menariknya kemudian kehadiran Surat Kuliling
Immanuel juga menghadirkan yang Ben Anderson definisikan sebagai ajang
terciptanya pertukaran atau komunikasi, adanya kepastian baru dalam bahasa, serta
adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu (aslinya).99 Definisi ini
ingin menerangkan pengaruh penting dari kapitalisme cetak sebagai suatu sarana
atau alat dalam menciptakan kekuasaan atau sebagai reproduksi kekuasaan yang di
dalam fungsinya sebagai literatur dapat terlihat akan adanya karya atau usaha
tersebut dari subjek.
Surat Kuliling Immanuel tidak hanya selembaran yang ditulis dengan
tangan, tetapi isinya melahirkan suatu imajinasi yang membentuk komunitas baru.
Mekanismenya adalah sebagai komunitas, masyarakat Batak tidak lagi hanya
membayangkan dirinya sendiri. Hal ini tercipta dengan adanya berita-berita atau
97 Bennedict Anderson, Imagined Community: Reflections on The Origin and Spread of
Nationalism (London: Verso, 2006), hl. 37. 98 Ibid., 46. 99 Ibid., hl. 44-45. Walaupun Ben Anderson mengartikan istilah kapitalisme cetak ini
kepada bentuk nasionalisme, namun saya melihat, nasionalisme dan internasionalisme agama dalam
membentuk dan menciptakan komunitas baru yang berbeda dari komunitas tradisional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |123
kabar-kabar di Surat Kuliling Immanuel mengenai pekabaran Injil yang dilakukan
RMG, baik yang ada di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak, yakni Afrika,
Papua, Eropa (Jerman) dan Borneo.100 Imajinasi seperti ini akan mengkonstruk rasa
ke”kita”an dalam suatu komunitas baru di bawah bendera RMG melalui pertukaran
atau komunikasi yang sebelumnya dalam masyarakat Batak tradisional sendiri
masih terikat dengan batasan suatu wilayah, yakni bius dan huta. Sikap bela rasa
dapat lahir dari imajinasi seperti ini. Namun dari kasus ini yang pasti, jikalau
melihat pemikian Ben Anderson, maka komunitas baru yang dibentuk dari lahirnya
kapitalisme cetak adalah komunitas tersebut tidak lagi hanya membayangkan
dirinya lagi, melainkan kepada bangsa-bangsa diluar dirinya.
Selain menciptakan komunikasi dalam komunitas maka faktor penting
lainnya dari kehadiran kapitalisme cetak menurut Ben Anderson adalah bahasa,
baik yang menyangkut kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan
yang berbeda dengan bahasa ibu. Hal ini menandakan bahwa bahasa bukan hanya
digunakan sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Di dalam
surat kuliling Immanuel sangatlah jelas terlihat bahwa bahasa digunakan untuk
mereproduksi kekuasaan, bahkan bahasa tersebut juga direproduksi oleh RMG.
Walaupun penggunaan bahasa dalam majalah tersebut adalah bahasa Batak-Toba101
namun hal ini tak lepas dari reproduksi yang digunakan oleh RMG. Bahasa lama
diganti dengan bahasa baru; dan hal ini akan membedakan suatu komunitas baru
100 Surat Kuliling Immanuel menampilkan kisah-kisah pekabaran Injil yang tidak hanya di
Tanah Batak tetapi juga di luar Tanah Batak, yakni Borneo, Namibia, Papua. Misalnya seperti di
Surat Kuliling, No. 7, 1 Juli 1892, No. 8, 1 Agustus 1893, dll. 101 Bahasa Batak-Toba selalu digunakan oleh RMG dalam melakukan misinya di Tanah
Batak, termasuk ke wilayah Simalungun. Walaupun daerah-daerah tersebut memiliki sedikit
perbedaan bahasa namun Bahasa Batak-Toba menjadi bahasa penghubung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |124
dari yang lama. Artinya, konstruksi ini menciptakan adanya bahasa yang baru. Di
dalam Surat Kuliling Immanuel sendiri sangat tampak adanya peralihan bahasa
lama ke bahasa baru ini, walaupun sama-sama menggunakan bahasa Batak-Toba.
Selain diperkenalkannya aksara Latin dalam tulisan di Surat Kuliling
Immanuel, maka terdapat juga pengadopsian bahasa dengan menggunakan bahasa
lingua franca (Melayu) atau juga bahasa Sansekerta yang turut juga diadopsi ke
dalam bahasa Melayu, walaupun pengadopsian tersebut berasal dari pihak kolonial
yang sarat dengan politik kekuasaan, misalnya saja kata tuan, Tuhan, nyonya, dll.102
Meskipun demikian dalam pemakaian bahasa Melayu ini, RMG sendiri masih
bersifat selektif di dalam pelaksanaannya akibat pemahaman RMG yang
menganggap bahasa Melayu telah diresapi oleh agama Islam.103 Namun gelombang
besar dari pemakaian bahasa Melayu menyebabkan, mau tidak mau, bahasa melayu
juga diadopsi di dalam Surat Kuliling Immanuel. Peralihan inilah yang berdampak
kepada masuknya pengaruh-pengaruh bangsa lain ke dalam masyarakat Batak,
seturut dengan membayangkan bangsa lainnya sebagai bentuk melepaskan
keterisolasiannya dalam membentuk komunitas yang baru.
Selain masuknya bahasa-bahasa baru, maka di dalam penciptaan bahasa
yang baru juga terlihat dalam penciptaan makna dalam bentuk penerjemahan.
Dalam dunia perbincangan mengenai misiologi, bahasa sering menjadi
pembahasan, terlebih ketika menyangkut masalah penerjemahan pada masa
102 Menurut Saya Sasaki Shiraishi, istilah tuan, nyonya mengakomodasikan hirarki
kolonial. Pandangannya ini berdasarkan Ki Hadjar Dewantara yang melihat istilah-istilah tersebut
menyiratkan status superioritas dan inferioritas. Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia:
Keluarga Indonesia Dalam Politik (Jakarta: KPG, 2001), hl. 136-137. 103 Bdk. Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit, hl. 215.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |125
kolonialisme. Penerjemahan dipandang bukan hanya menerjemahkan setiap kata
melainkan sebagai suatu strategi untuk melihat makna yang terdapat di dalam suatu
kalimat, selain dari menghindari kata-kata yang terisolasi. Dalam penerjemahan
maka penting untuk melihat istilah yang digunakan dalam bahasa tradisional.104
Salah satu contoh yang paling terlihat adalah penerjemahan untuk menghindari
istilah yang berbau sinkretisme. Hal ini berlaku ke semua literatur, baik Alkitab,
Katekismus, Kamus, dll. Hal yang sama juga dilakukan RMG dalam melakukan
strategi penerjemahannya. Bentuk penerjemahannya, seperti yang dicatat oleh Uli
Kozok:
“…Warneck (1904) menjelaskan kebijakan bahasa yang ditetapkan oleh RMG:
Bahasa sasaran (bahasa-bahasa Batak) dipandang sebagai 'musuh' yang harus diubah
menjadi 'alat yang penurut'. Sebagai bagian inti Volkstum Batak, bahasa sasaran harus
dilestarikan dalam “kemurnian bahasanya,” tetapi sekaligus Warneck juga menyadari
bahwa bahasa sasaran itu harus dikembangkan. Dalam bahasa-bahasa Batak terdapat
sejumlah kata Pinjaman dari bahasa Sanskerta yang menurutnya sesuai dengan tujuan-
tujuan zending. Kata-kata debata (Tuhan), dosa, portibi (dunia), sorga diangkat
menjadi dalam terminologi Kristen.”105
Di dalam penerjemaahan maka konstruksi bahasa yang dilakukan RMG
juga memasukkan atau menciptakan makna baru dalam meluaskan penyebaran
Kekristenan, serta menciptakan musuh atau kriminal di dalam penerjemahannya.
Misalnya adalah mengenai istilah begu. Pada awalnya istilah ini dikenakan bagi
agama tradisional Batak dalam menyebut ‘penyembah roh nenek moyang.’ Namun
104 Otto Zwartjes, “The Missionaries’ contribution to Translation Studies in The Spanish
Colonial Period”, dalam Otto Zwartjes, cs. (eds.) Missionary Linguistic V: Translation Theories and
Practies (Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2014), hl. 7-8. 105 Uli Kozok, “Sejarah Terjemahan di Tanah Batak” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur:
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: KPG, 2009), hl. 258.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |126
kemudian RMG memaknainya dan membuat terjemahannya ke dalam Alkitab
sebagai daimon atau roh-roh jahat (setan). Hal ini juga diakui oleh Warneck sendiri:
“Kita harus mengubah konsep itu sehingga begu tidak lagi dilihat sebagai roh-roh
nenek moyang yang meminta persembahan, tetapi sebagai para pembantu Setan' Hal
ini menimbulkan perlawanan yang sangat besar dalam pikiran orang Batak.''106
Dengan konstruksi ini maka Warneck sangatlah menginginkan pembedaan
yang jelas antara Kekristenan dengan agama tradisional Batak yang dianggapnya
sebagai musuh, di mana citra penyembah nenek moyang dianggap sebagai figur
yang jahat (setan).
2. Misi Pengadaban
Di dalam pembentukan komunitas baru, maka usaha RMG sebagai badan
misi adalah dengan melaksanakan misi pengadaban. Misi ini dilakukan melalui
pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Eropa kepada masyarakat Batak.
Dengan penilaian atas masyarakat Batak yang dungu atau bodoh maka pendidikan
dilaksanakan sebagai bentuk pengasihan dari para Misionaris.107
Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik masyarakat Batak; mulai dari
pengetahuan umum, kesehatan, pengetahuan keagamaan, dan ketrampilan. RMG
106 Ibid., hl. 259-260. 107 Hal ini seperti dicatat oleh Pdt. Jan S. Aritonang: “walaupun para zendeling menilai
agama suku Batak itu sebagai kegelapan (finsternis) ataupun kedunguan (thorheit) dan upacara-
upacaranya sebagai keberhalaan yang terkutuk, namun mereka tidak secara agresif
mempersalahkan penganut agama suku itu. Bahkan mereka dipandang sebagai “orang-orang Batak
yang malang”, yang layak dikasihani dan ditolong.” Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan,
Op. Cit, hl. 153.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |127
berpandangan bahwa pendidikan haruslah sejalan dengan pekabaran Injil sebagai
suatu misi pengadaban. Dengan pemahaman ini maka pendirian sekolah haruslah
melihat jemaat yang ada, karena jemaat dengan sekolah merupakan satu kesatuan.
Hal ini seperti digambarkan dalam Tata Gereja 1881 mengenai aturan pendirian
sekolah:108
Pada setiap desa yang di antara penghuninya terdapat 50 keluarga Kristen, atau pada
gabungan beberapa desa dengan jumlah keluarga Kristen yang serupa, maka pada desa
itu harus didirikan sebuah sekolah.
Selain fungsi pendidikan kepada masyarakat Batak melalui sekolah-sekolah
maka RMG juga selalu mengusahakan pengajaran kepada para raja, kaum imam
(parhalado) selaku pembantu para Misionaris. Hal ini terlihat dari adanya bahan-
bahan pelajaran pengetahuan umum di Surat Kuliling Immanuel yang dikeluarkan
oleh RMG, seperti ilmu berhitung (matematika), geografi, budaya, dsb, selain,
tentunya pengetahuan tentang agama Kristen yang menyangkut etika dan teologi.
Misalnya saja di Surat Kuliling Immanuel di edisi No. 2 terbit pada 1 Februari 1893
yang menampilkan pertanyaan mengenai nama-nama gunung di Eropa, atau edisi
No. 5 terbit pada 1 Mei 1893 yang memuat tentang pelajaran berhitung dalam
mengukur luas tanah, dsb.
Proses pengadaban yang dilakukan oleh RMG memang pada awalnya
didahulukan dan diperuntukkan kepada para pembantu misionaris yang dianggap
dapat menyebarluaskan serta mempengaruhi masyarakat Batak sesuai dengan
keinginan RMG sendiri. Namun demikian, pendidikan yang dibuat oleh zending
dan pemerintah kolonial lambat laun mulai diberikan dan diterima oleh masyarakat
108 Ibid., hl. 164.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |128
Batak pada umumnya. Bahkan, keinginan masyarakat terus bertumbuh seturut
keinginannya untuk bekerja di kantor-kantor kepemerintahan dengan minta
pendidikan bahasa Belanda atau Melayu yang notabene kedua bahasa tersebut
digunakan di dalam pemerintahan, serta menuntut kesempatan dan penambahan
fasilitas belajar.
Kehadiran pengajaran-pengajaran dalam majalah tersebut menegaskan akan
adanya konstruk atau usaha dalam pembentukan komunitas yang baru berdasarkan
pada rasionalitas bangsa Eropa. Paling tidak, adanya bahan pengajaran-pengajaran
ini ingin mengubah pemikiran, karakter atau sifat masyarakat Batak tradisional
yang dianggap masih primitif dengan pemikiran, karakter atau sifat yang baru,
untuk menuju komunitas atau masyarakat modern.
3. Hukum Baru dan Penciptaan Musuh Bersama
Salah satu yang menandakan adanya komunitas baru adalah dengan
terciptanya hukum baru sebagai suatu standar baru dalam mengatur kehidupan
masyarakat. Di dalam negara-negara terjajah standar hukum juga diberlakukan
pemerintahan kolonial selaku pemangku kekuasaan. RMG sebagai badan misi yang
merupakan mitra dari pemerintahan kolonial Belanda dalam membentuk kerajaan
Kekristenan juga memberlakukan standar hukum baru kepada masyarakat Batak
mengganti hukum tradisional. Hal ini menandakan adanya kekuasaan dalam
terbentuknya komunitas baru. Memang dalam metode zendingnya RMG tetap
menggunakan adat dan budaya Batak, namun hal ini tidak membuat hukum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |129
tradisional dalam masyarakat Batak lestari, melainkan dirubah dan digantikan
menjadi hukum yang baru. Hal ini sesuai dengan Kotbah J.H. Meerwaldt pada
Sinode tahun 1888 yang diucapkan dengan menggunakan dan mengubah umpasa
Batak: 109
Tumbuh si rungguk
Pada batang pohon tada-tada
Berubahlah kini hukum
Karena datang si putih mata (si bontar mata).
Hukum baru tersebut diciptakan sebagai bentuk bagian dari misi
pengadaban berupa larangan-larangan yang diberlakukan kepada masyarakat
dengan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan. Misalnya saja, seperti yang sudah
disebutkan diatas, larangan terhadap pesta bius, larangan terhadap mengikuti acara-
acara adat yang diberkati oleh raja (pasu-pasu raja), palarangan terhadap kelompok
Parbaringin, dll. Bahkan mengenai hukum baru tersebut, berpengaruh hingga
kepada praktek-praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak, misalnya
menyangkut pernikahan, permusuhan, dll, yang kemudian menjadi tata tertib
pelaksanaan adat Batak, dan dituliskan oleh Raja Jacob Lumbantobing berjudul
Patik dohot Uhum ni Halak Batak. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1899
oleh American Mission Press di Singapura.110
Bagi RMG, hukum baru yang diberlakukan di dalam masyarakat Batak
ingin mengganti keyakinan masyarakat Batak tradisional yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat Batak sendiri dengan nilai-nilai Kekristenan: suatu
109 Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 54. 110 Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Patik Dohot Uhum Ni Halak
Batak (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1987), hl. iii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |130
komunitas baru yang modern dan dikultuskan. Hal ini dapat terlaksana dan menjadi
pengetahuan dalam suatu komunitas bilamana dalam wacana publik selalu
membawa atau menyangkutpautkan dengan komunitas itu sendiri, misalnya
mengenai adanya berita-berita, laporan cerita (storytelling), lagu, dsb. tentang
komunitas tersebut.111 RMG di dalam Surat Kuliling Immanuel juga
memberlakukan hal yang sama dengan membawa masyarakat Batak tertentu dalam
cerita-cerita yang dikonstruk. Misalnya saja cerita mengenai masyarakat desa
Bungabondar yang terjadi pada tahun 1868 yang sebelum menerima Injil maka desa
tersebut selalu mendapatkan malapetaka, sehingga menyebabkan banyak
masyarakat menjadi Kristen ketika Misionaris, Betz mengabarkan Injil ke tempat
tersebut.112 Pendekatan-pendekatan semacam ini ingin mengkonstruk dan
menyentuh masyarakat Bungabondar ke dalam wilayah pengalaman (experience)
masyarakat ketika masyarakat Batak secara umum dan Bungabondar secara khusus
mengalami krisis akibat perang Paderi. Bukan hanya masyarakat Bungabondar
tetapi juga masyarakat di desa lainnya, misalnya Parausorat, Hutadame, dsb.
Namun demikian penciptaan dan penegakan akan hukum yang baru berarti
memayungi dan memagari komunitas yang baru, sedangkan untuk komunitas yang
masih memegang prinsip-prinsip yang tradisional dianggap berada diluar dari
komunitas mereka atau berada diluar hukum mereka. Hal inilah yang kemudian
dalam berita atau tulisan, Surat Kuliling Immanuel, penciptaan akan musuh
111 Teun A. van Dijk, “Contextual Knowledge Management In Discourse Production: A
CDA Perspective,” dalam Ruth Wodak & Paul Chilton (eds.) A New Agenda in (Critical) Discourse
Analysis (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005), hl. 73. 112 Surat Kuliling Immanuel, No.4, 1 April 1892.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |131
bersama menjadi penting dan mendapatkan tempatnya. Melalui sebuah kepastian
bahasa maka akan tercipta bahasa yang tidak lagi membiaskan, melainkan sebuah
konstruksi dalam bentuk citra negatif; yang menakutkan, yang mengganggu,
kekerasan, dsb, kepada sosok yang dianggap musuh.
RMG dalam Surat Kuliling Immanuel menghadirkan 2 musuh bagi kerajaan
Kristen, yakni: pertama, Islam, atau yang dalam bahasa Batak dikatakan sebagai
Silom. Kelompok Islam yang dimaksud adalah orang-orang melayu di awal-awal
permulaan penginjilan dan orang Aceh pada permulaan penginjilan ke wilayah
Toba. Keduanya dianggap sama yakni menghambat masuknya pekabaran Injil di
Tanah Batak. Untuk urusan ini, para Misionaris sangat menjaga agar Islam tidak
masuk ke masyarakat Batak.113 Bahkan segala cara dilakukan untuk melakukan
proteksi tersebut, yakni dengan mengandalkan kekuasaan pemerintahan kolonial
Belanda atau dengan pelarangan terhadap orang Kristen untuk tidak ikut serta pesta-
pesta atau perayaan parbegu atau Islam.114
Citra Islam yang dibangun oleh RMG kepada masyarakat Batak Toba pada
waktu itu adalah agama yang mengganggu masuknya Kekristenan; atau dengan
kata lain menghambat kemajuan yang diberikan bangsa Eropa kepada masyarakat
Batak Toba tradisional. Beberapa gambaranya adalah:
“…djadi lan ma dipambahen halak silomi paaloalo hata ni Debata. Alai atik pe
songoni sai ma hot do baga-baga ni Debata na mandok ndang na mulak bohi anggo
hatana, manang di diape didjamitahon. Songoni ma dohot di Prausorat.” (jadi Muslim
itu semakin melawan firman Tuhan, tetapi walaupun demikian anugrah Tuhan yang
113 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 82. 114 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |132
berkata tidak akan pernah mempalingkan wajahNya selalu setia dan hadir dimanapun
firman itu dikotbahkan. Inilah yang terjadi di Prausorat) 115
Selain itu, Islam juga digambarkan sebagai agama penipu. Citra ini
dibangun sebagai suatu kesaksian dari raja-raja yang meninggalkan agama Islam di
wilayah Sipirok.
“songon na monang ma djolo hasilomon idaon, ai ido diihuthon angka radja dohot
angka na sangap ro di lan halak na torop , alai ndang manongtong hamonangannai,
tibu ma tanda ugamo pangansi…” (pada awalnya agama Islam dapat memenangi
pengaruhnya terhadap para raja dan beberapa orang yang berpengaruh sehingga
diikuti oleh banyak orang, tetapi kemenangannya itu tidaklah abadi, lambat laun
muncullah pandangan sebagai agama pembohong..)116
Kedua gambaran tersebut sengaja digunakan di dalam konteks di mana
Islam semakin menyebar di wilayah Tapanuli Selatan. Beberapa desa telah
memeluk agama Islam akibat perang Paderi dan kebijakan pemerintahan kolonial
Belanda, meskipun beberapa desa masih ada yang memeluk agama suku, misalnya
di Sipirok, Bungabondar, Prausorat, dll. Bahkan penyebaran ini hingga ke wilayah-
wilayah yang memiliki keuntungan ekonomis, misalnya wilayah pesisir, tempat-
tempat pemerintahan, dsb, sehingga membuat citra Islam dianggap sebagai pintu
dari hamajuon (modernisasi) dan kesejahteraan. Beberapa masyarakat Batak yang
masih memeluk agama suku juga meyakini kemajuan yang diberikan dengan
mengikuti Islam.
Dengan perkembangan inilah, maka RMG berusaha mengkonstruk
pemahaman masyarakat Batak mengenai Islam dengan wacana-wacana yang
menyudutkan. J.H. Meerwaldt sebagai penulis Surat Kuliling Immanuel tampaknya
paham mengenai masalah yang dihadapi RMG sendiri dengan berangkat dari kisah-
115 Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892. 116 Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |133
kisah lokal, yakni di daerah Prausorat dan Sipirok, tempat di mana Islam sendiri
berkembang, yang justru dianggap oleh RMG sendiri telah gagal dalam membawa
keinginan masyarakat Batak kepada hamajuon yang sesuai dengan hamoraon
(kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat).
Pengangkatan kisah ini bukan hanya merubah pandangan masyarakat Batak
terhadap agama Islam, tetapi juga memproteksi masyarakat Batak sebagai
komunitas baru terhadap Islamisasi yang berkembang seturut masuknya
pemerintahan kolonial ke wilayah Toba, di mana pada tahun 1892, tahun di mana
tulisan di Surat Kuliling ini telah terbit, pemerintahan kolonial telah menguasai
wilayah pedalaman Tanah Batak pasca Perang Toba pertama.
Sasarannya adalah para raja yang dianggap menjadi garda terdepan dalam
menjaga masyarakat akan masuknya Islam di Tanah Batak, sehingga dalam
beberapa hal keteguhan iman raja selalu diutamakan oleh RMG. Kisah di Sipirok
di atas adalah salah satu contoh dari banyaknya usaha RMG dalam mendidik para
raja dengan memberikan pandangan akan sikap raja yang baik dan yang jahat, yang
benar dan yang salah. Bahkan di satu sisi dalam Surat Kuliling Immanuel, RMG
juga menampilkan sosok ideal akan ketokohan sang raja dengan menampilkan
sosok Raja Pontas Lumbantobing yang selalu menjadi teladan kepada
komunitasnya, serta mendukung usaha-usaha yang dilakukan para misionaris
dengan membuka jalan bagi masuknya Kekristenan.117
117 Lih. Surat Kuliling Immanuel No. 11, November 1893.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |134
Kisah Raja Pontas ini juga menegaskan akan sikap raja yang
memperbolehkan masuknya pendidikan dengan memberikan jalan kepada para
imam untuk mengajar dan mendidik anak-anak seperti dalam kisah yang selalu di
angkat oleh J.H. Meerwaldt, yakni Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat (Keledai
yang tidak bisa membaca) di buku Boengaboenga Na Angoer.118
Kedua, penciptaan musuh juga dikenakan bagi pengikut agama tradisional
Batak yang sering dikatakan sebagai agama sipelebegu (agama roh) oleh RMG,
meliputi: kelompok Parbaringin, para pengikutnya dan Raja Singamangaraja XII.
Citra yang dibangun oleh RMG tentang agama ini adalah agama pembohong.
Tokoh-tokoh seperti J. Warneck sangat tegas menyatakan bahwa agama ini
mengajarkan kebohongan, termasuk dalam hal ini kelompok Parbaringin yang
menjadi musuh Kekristenan yang pandai berbohong.119 Dalam Surat Kuliling
Immanuel, hal ini juga sering diungkapkan.
“Djala sai di dok angka begui ingkon malum sahitna, hape mate do. Djadi tangkas
ma diida saluhut halak, na margabus do begu i sude.”(Sangat sering dikatakan oleh
orang-orang begu (datu) bahwa penyakit orang tersebut pasti sembuh, tapi yang terjadi
justru kematian. Jadi jelaslah terlihat oleh semua orang bahwa semua begu itu adalah
pembohong.)120
Pandangan seperti ini sering diutarakan oleh RMG sebagai upaya
memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan,
sehingga masyarakat Batak mau menerima ilmu pengetahuan dan mengijinkan
118 J.H. Meerwaldt, “Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat” dalam J.H. Meerwaldt (ed.)
Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak Sikola Metmet angka na di Rongkanan
Pargindjang (Lagoeboti: Pangarongkoman Mission, 1919), hl. 11-13. 119 Joh. Warneck, Op.Cit., hl. 145. Para datu sering menyangkal atas tuduhan para
misionaris yang mengatakan pembohong dan sering mengambil keuntungan sendiri. Bdk. Pdt. Dr.
Andar M. Lumbantobing, Op. Cit., hl. 38. 120 Surat Kuliling Immanuel, No. 2, 1 Februari 1892.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |135
masuknya para misionaris dalam proses misi pengadaban, serta meninggalkan
pemahaman yang selama ini dikuasai atau dikonstruk oleh kelompok Parbaringin.
Konstruk yang dilakukan RMG ini bersifat menyeluruh di segala unsur-unsur atau
aspek-aspek dari agama tradisional masyarakat Batak; baik yang menyangkut ilmu
pengobatan hingga kepada teologi yang dikembangkan oleh agama suku tradisional
tersebut.
Selain kelompok Parbaringin, maka citra Raja Singamangaraja juga terkena
dampak dari konstruk yang dilakukan oleh RMG. Sikap kekerasan dan pencuri
hadir dalam citra Singamangaraja dan pengikutnya. Dalam cerita itu dikatakan
bahwa Raja Singamanagaraja XII tidak senang atas yang terjadi pada 1878, yang
dalam hal ini menunjuk kepada Perang Toba pertama. Citra ini justru terbalik dari
sikap Singamangaraja yang selama ini dikenal toleran, pendamai, dsb. (lih. Bab II)
“…ai tongon do udju di Sipoholon tuan Kessel nangkok ma Si Singamangaraja sian
Bangkara tu Lintong ni huta rap dohot torop halak dungi dihaliangi ma bagasi dibahen
ma gogo mangungkap, dungi diboan ma angka ugasan tu onan, diribahi ma angka buku,
disegai ma angka poti dohot poti marende mangalului ringgit , dungi disurbu ma
bagasi….”(..persis ketika Tuan Kessel berada di Sipoholon, maka datanglah Si
Singamangaraja beserta pengikutnya dari Bangkara ke Lintong ni huta yang kemudian
langsung mengelilingi rumah itu dan dibuka kuat, setelah itu diangkatlah harta benda
ke pasar, dirubuhkanlah buku-buku, dihancurkan peti-peti dan peti nyanyian untuk
mencari ringgit (mata uang). Setelah itu diserbulah rumah itu…) 121
Selain kisah tersebut masih ada lagi kisah lainnya yang dikonstruk RMG
dalam mencitrakan Raja Singamangaraja XII, misalnya rencana pembunuhan yang
ingin dilakukan oleh Raja Singamangaraja XII kepada semua pendeta di Bahal Batu
dan Silindung (Immanuel No. 1 , 1 Januari1891), rencana pasukan Aceh bersama
Raja Singamangaraja XII untuk melawan pemerintahan kolonial (Immanuel No. 8
121 Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1891.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |136
1 Agustus 1894), dsb. Raja Singamangaraja XII diyakini oleh kelompok
Parbaringin dan masyarakat Batak tradisional sebaga titisan Tuhan. Bersama
dengan kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja XII menjadi gerakan yang
menentang (resistensi) masuknya pemerintahan kolonial Belanda dan RMG sendiri.
Dengan menghilangkan kekuasaan Raja Singamangaraja XII berarti
menghilangkan kesatuan masyarakat Batak tradisional yang selama ini diikat
dengan sistem harajaon (kerajaan). Para misionaris terutama, Nommensen,
beberapa kali bersinggungan dengan Raja Singamangaraja dan sangat
mengharapkan agar Raja Singamangaraja XII mau tunduk terhadap pemerintahan
kolonial dan menjadi Kristen, meskipun Raja Singamangaraja XII sendiri
bersikeras terhadap permintaan Nommensen.
Konstruk atas citra Raja Singamangaraja XII yang digambarkan dalam
Surat Kuliling Immanuel ini merupakan salah satu dari upaya yang dilakukan oleh
RMG untuk mengecilkan pengaruh Raja Singamangaraja XII dengan anggapan
bahwa berakhirnya sistem dinasti dalam bentuk kerajaan Singamangaraja, maka
nilai-nilai religiusitas yang mengikat secara kesatuan wilayah di Tanah Batak
selama ini semakin memudar, termasuk dalam kesatuan kelompok Parbaringin.
Atas usaha dalam menciptakan figur kriminal maka RMG menunjukkan
kekuasaannya dengan membentuk hukum kerajaan Kekristenan sebagai suatu
legalitas atas kehidupan bermasyarakat. Di luar dari hukum tersebut adalah figur
kriminal atau sesat, terlebih bagi kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja
XII yang dianggap sangat menghambat perluasan Kekristenan mengingat mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |137
adalah berasal dari Tanah Batak sendiri. Bahkan kabar yang beredar di masyarakat
pada waktu itu sampai menyebutkan bahwa Raja Singamangaraja telah menjadi
Muslim dan akan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.122 Kedua
penciptaan musuh ini memberikan pengaruh terhadap kesatuan pengikut. Namun
bagi orang-orang yang dianggap kriminal menjadi seperti apa yang dikatakan
Vicente Rafael sebagai: “embodiement of popular fantasies about justice;”123 suatu
perwujudan atas keadilan yang tidak tercapai.
4. Mempahlawankan Nommensen: Konstruk atas Ompu i Nommensen
Dalam sebuah komunitas yang berbasis kerajaan maka pemimpin menjadi
faktor penting dalam menggambarkan identitas komunitas tersebut. Misi
penginjilan yang dilakukan oleh RMG dalam membangun komunitas kerajaan
Kristen ditandai dengan adanya kekuasaan dalam meninggikan supremasi Bangsa
Eropa. Hal ini dipertegas dengan munculnya Nommensen sebagai pemimpin
masyarakat Batak. Pasca meninggalnya Raja Singamangaraja XII maka
kepemimpinan di dalam masyarakat di isi dalam bentuk yang lain; melalui Kerajaan
Kristen maka Nommensen mengisi kekuasaan tersebut. Sebelumnya, ia juga telah
memimpin para raja bius, namun wilayahnya masih meliputi Silindung dan
sekitarnya. Pasca kematian Singamangaraja XII maka semakin banyaklah raja-raja
yang ikut kepadanya. Ia pun mengambil peran yang dilakukan oleh Singamangaraja
XII. Misalnya mendamaikan konflik antar huta, horja maupun bius, mengatur
122 Maraknya berita ini seperti dituliskan Meerwaldt dalam majalah Rijnsche Zending. Lih.
Mohammad Said, Singa Mangaradja XII (Medan: Waspada, 1961), hl. 28-29. 123 Vicente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others” dalam Vicente L. Rafael
(ed.) Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam (Ithaca: Cornell
University: 1999), hl. 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |138
tatanan onan (pekan atau pasar)124, atau bernegosiasi dengan pemerintah kolonial
Belanda dalam perlindungan warga sipil. Hal ini menandakan bahwa ia menjadi
“penyambung lidah rakyat” yang dianggap membela adat dan budaya bagi
komunitas Batak dari penghilangan budaya yang sempat didengungkan RMG, serta
membela kesejahteraan masyarakat Batak dari pemerintah kolonial dan bangsa-
bangsa sekitar.
Peran besar Nommensen ini mengindikasikan posisi dan kedudukan
Nommensen di tengah-tengah masyarakat Batak yang terus berlanjut pasca
Nommensen. Misalnya, salah satu yang tercatat adalah, perdamaian atau pemulihan
kerukunan di Sipahutar sesama marga Silitonga. Kisah ini di tulis di dalam majalah
Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930 ketika Misionaris RMG masih menginjili di
Tanah Batak. Dalam kisahnya memperlihatkan suatu struktur sosial masyarakat
Batak yang sudah memiliki pembagian yang jelas antara sekuler dan rohani, namun
masih memerlukan Ephorus sebagai suatu juru damai atau saksi perdamaian
sebagai sesuatu yang tidak dimiliki di dalam masalah sekuler.125 Dengan catatan ini
maka usaha-usaha yang dilakukan Nommmensen telah meninggalkan jejak dari
fungsi jabatan Ephorus. Kebutuhan ini hampir sama dan dapat dilihat dari suatu
tradisi adat dan budaya, di mana dalam Suhi ampang Na Opat, bayangan atas
124 Kebijakan dalam mengatur jadwal onan (pasar) juga dilakukan oleh Nommensen dan
beberapa misionaris yang melibatkan raja-raja bius sebagai penguasa wilayah, sehingga tidak ada
hari onan yang sama di setiap daerah dan juga tidak ada hari onan pada hari minggu. Hal ini seperti
diutarakan oleh Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing. Lih.
http://hkbp.or.id/2017/02/25/dulunya-missionaris-bersama-dengan-bius-dan-raja-berkumpul-
untuk-menentukan-hari-onan/. Diakses pada 27 Februari 2017. Bahkan menurut Castles kebijakan
Onan ini telah dilakukan oleh para Misionaris sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda
ke Tanah Batak. Lih hl. Lance Castles, Op. Cit., hl. 23. 125 Majalah Suara Batak 12 dan 19 Juli 1930 dalam J.C. Vergouwen, Masyarakat dan
Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986), hl. 613.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |139
kedudukan Singamangaraja dipandang sebagai sesuatu yang religius yang
menyatukan bius-bius yang ada.
Walaupun secara struktural Nommensen dapat dikatakan memiliki
kebijakan atas bius-bius, namun kekuasaannya tak lepas dari konstruk yang
dibangun oleh RMG sendiri. Wacana-wacana yang dihadirkan di dalam Surat
Kuliling Immanuel justru berusaha menciptakan Nommensen yang lebih memiliki
kuasa kesaktian dibandingkan Raja Singamangaraja XII.
Hal ini terlihat dalam sebuah kisah di Surat Kuliling Immanuel yang
mengangkat kisah di Silindung pada tahun 1866. Dalam cerita tersebut ketika Raja
Singamangaraja XII beserta pasukannya telah datang untuk membunuh para
pendeta (Nommensen dan beberapa misionaris) dan umatnya, maka seketika itu
datanglah wabah penyakit cacar karena Tuhan tidak berkenan kepada mereka.
Semua orang ditempat itu terkena cacar, dan pembunuhan itu tidak terjadi. Orang-
orang Kristen yang juga ikut terkena cacar maka seketika itu juga langsung sembuh
setelah memakan obat yang diberikan oleh Nommensen.126 Dalam kisah ini
tergambarkan citra Nommensen yang bukan hanya dilindungi oleh kuasa Tuhan
melainkan ia menjadi penyelamat bagi pengikutnya.
Sama halnya dengan kisah ketika Nommensen mendapat pencobaan
pembunuhan yang dilakukan oleh para penganut agama tradisional (Sipelebegu)
pada peristiwa acara persembahan kurban (agama tradisional) di Siatas Barita.
Ketika Nommensen hendak dibunuh maka datanglah hujan lebat yang
126 Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1890.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |140
membatalkan niat mereka.127 Kisah ini sering diangkat sebagai suatu kesaktian
Nommensen dalam menghadapi para pemeluk agama tradisional. Sebagaimana
yang dikatakan oleh para Misionaris bahwa Nommensenlah yang paling sering
mendapatkan tantangan dari pemeluk agama tradisional.
Dari kisah-kisah tersebut Nommensen dicitrakan dalam bentuk memiliki
kesaktian yang lebih tinggi dari kelompok Parbaringin (datu, malim, dsb), bahkan
termasuk Raja Singamangaraja sebagai titisan Tuhan. Pengangkatan kisah ini
menandakan konstruk yang dilakukan oleh para Misionaris berusaha meyakinkan
masyarakat Batak kepada kekuatan (kesaktian) Nommensen yang lebih tinggi dari
pada agama tradisional Batak - sebagai sesuatu yang tidak dimiliki agama
tradisional.
Memang dari beberapa misionaris yang diutus oleh RMG, Nommensen
memang menjadi yang terdepan di dalam penginjilan di Tanah Batak. Ia menjadi
yang paling memahami kebutuhan dan adat dan budaya masyarakat Batak, sehingga
membuat para misionaris selalu bertanya dan mempercayakan tentang rancana-
rencana RMG dalam melaksanakan misinya kepadanya, termasuk dalam hal ini
mengenai penyusunan tata gereja. Dari seluruh misionaris RMG, ia pun yang paling
lama tinggal di Tanah Batak selama 57 tahun dengan memilih untuk menetap di
Tanah Batak di saat banyak para misionaris yang justru pulang ke tanah airnya. Ia
pun meninggal pada usia 84 tahun dan dikuburkan di Sigumpar. Melihat sepak
terjang Nommensen, maka para misionaris pun selalu mengedepankan
127 Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |141
Nommensen, termasuk dalam mengangkat citra Nommensen. Puncaknya, ia pun
dipilih dan diangkat menjadi ”Overseer” (pengawas) atau pimpinan tertinggi misi
di Tanah Batak pada tahun 1881. Jabatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal
dari Ephorus.
Konstruksi akan kekuasaan Nommensen semakin berpengaruh ketika
keluarnya buku berjudul Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen oleh anak
kandung Nommensen, J.T. Nommensen pada tahun 1920an dalam bahasa Batak
yang kemudian diterjemahkan dengan judul yang sama dalam bahasa Indonesia
pada tahun 1970. Paling tidak menurut Jan Aritonang buku ini menjadi awal
legendarisasi atas diri Nommensen.128 Namun menurut saya, buku ini semacam
menjadi kanonisasi atas sikap dan sifat kepemimpinan Ompu i, di mana kisah-kisah
Nommensen yang ditampilkan dalam buku biografi tersebut - perjuangan dan
pengorbanannya - dibayangkan sebagai sosok pemimpin yang mampu membawa
keluar bangsa Batak dari keterisolasiannya, yakni Ompu i.
D. Kesimpulan
Penginjilan yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 bersamaan dengan
munculnya kolonialisme dan rasisme di Eropa. Mereka menganggap bahwa
rasionalisme yang ada di dalam nilai-nilai Kekristenan pada waktu itu, tidak bisa
dipungkiri, dipandang sebagai yang membawa kemajuan bagi bangsa Eropa.
Dengan latar belakang inilah maka reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh
128 Historia, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 63.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |142
bangsa Eropa merupakan satu kesatuan dengan usaha penginjilan. Tujuannya
adalah supremasi bangsa Eropa ditegakkan.
RMG sebagai badan zending yang berasal dari Jerman juga melakukan
reproduksi kekuasaan atas adat dan budaya yang dianggap primitif. Melalui strategi
dan tekhnik maka reproduksi itu terjadi. Mereka mereproduksi sistem struktur
masyarakat Batak yang berdasar pada adat dan budaya tradisional, yakni kerajaan
tradisional di mana Raja Singamangaraja tampil sebagai penguasa direproduksi
menjadi Kerajaan Kristen. Nilai-nilai yang dianggap primitif dihilangkan dengan
membangun nilai-nilai modern (rasionalitas).
Namun demikian RMG tidaklah tampil sendirian. Pemerintah kolonial
Belanda ikut membantu dalam terciptanya reproduksi kekuasaan tersebut. Aksi
militer berupa kekerasan, pembakaran kampung-kampung dan penaklukan raja-raja
yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah wujud dari campur tangan
pemerintah kolonial kepada RMG. Aksi militer tersebut dipandang sebagai bentuk
pengadaban yang memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik pemerintah
kolonial maupun RMG. Hasilnya adalah Kekristenan menyebar dengan pesat di
Tanah Batak, dan Nommensen mendapatkan kekuasaan yang sama dengan
Singamangaraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
BAB IV
ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK
KEPEMIMPINAN OMPU I
Setelah memaparkan dan menjelaskan reproduksi kekuasaan yang
dilakukan oleh RMG dan pemerintahan kolonial Belanda maka dalam bab ini, saya
akan menganalisa wacana kuasa kepemimpinan Ephorus HKBP melalui gelar
Ompu i sebagai objek pengetahuan. Dalam analisa wacana ini, maka dengan studi
genealogi akan memberikan sumbangan dalam melihat tentang adanya konstruk
sejarah atau paling tidak menemukan masalah-masalah akan adanya rezim (baca:
dominasi) politik dan sosial.
Michel Foucault dalam pendekatannya atas analisa wacana lebih
memfokuskan kepada wacana-wacana sosial dalam bentuk kemanusiaan dan juga
kekuasaan. Masalah-masalah ketimpangan sosial, penindasan atau apapun itu yang
menjadi masalah sosial masuk dalam perhatiannya, sehingga dapat dikatakan
bahwa Foucault mendasari gagasannya mengenai wacana dalam melihat hubungan
pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran. Namun dalam pendekatannya terhadap
genealogi maka wacana yang sering digunakannya adalah dilihat dalam bentuk
aturan-aturan dan praktik-praktik yang menimbulkan masalah-masalah di dalam
sosial dalam periode sejarah tertentu, atau dengan kata lain setiap periode sejarah
memunculkan struktur pemaknaan tersendiri. Dan setiap aturan-aturan dan praktik-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
praktik dibentuk oleh kombinasi dari unsur-unsur diskursif dan non-diskursif (mis.
material atau tubuh).1 Dengan prinsip ini maka wacana diatur oleh aturan-aturan
pembentukan, atau bukan berasal dari klaim sepihak yang dilakukan subjek, atas
identitas sosial yang tersebar. Jadi dapat dikatakan perolehan identitas sosial
merupakan kepatuhan pada praktek wacana. Hal ini menjadi penting dalam studi
ini, mengingat reaksi pengikut terhadap pemimpinnya tidak dapat disisihkan begitu
saja, melainkan sebagai suatu tanda atas konstruksi yang dilakukan RMG sebagai
pelaku (subjek), atau bukan berdasarkan pada klaim sepihak RMG (subjek yang
berbicara). Hal ini menjadi penting dan perlu mendapat sorotan mengingat
pandangan Ds. K. Sitompul, seorang pendeta HKBP, yang menyatakan munculnya
wacana Ompu i Nommensen sebagai klaim sepihak dalam bentuk kesengajaan yang
dilakukan oleh para misionaris RMG untuk mempengaruhi agar tidak mengikuti
Singamangaraja XII.2 Istilah “kesengajaan” disini perlu mendapatkan penekanan
dengan menghubungkannya sebagai suatu konstruk kekuasaan, atau bukan dalam
arti sebagai subjek yang berbicara.
Dalam bab ini maka saya akan menganalisa data-data yang telah dijabarkan
dalam bab sebelumnya, di mana pembahasan tersebut hanya berupa pemaparan.
Bentuk penguraian yang saya lakukan akan melihat subjek-subjek yang terkait
dalam bentuk aturan-aturan dan praktik-praktik, sehingga bentuk kontestasi dan
pembentukan kekuasaan akan terlihat. Paling tidak keempat pembentukan wacana
1 Lih. Gavin Kendall & Gary Wickham, Using Foucault’s Methods (London: Sage
Publications, 1999), hl. 38-39. 2 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
431.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
seperti yang diutarakan Fairclough, yakni the formation of objects, the formation of
enunciative modalities, the formation of concepts dan the formation of strategies,
terkandung di dalamnya dan menegaskan pembentukan pengetahuan.3
Dalam analisa wacana ini maka saya akan membagi menjadi 2 bagian, yakni
pertama, mengkaji atau menganalisa untuk melihat pengetahuan wacana
kepemimpinan Ompu i Nommensen dari data-data yang sudah dipaparkan di bab
sebelumnya, dan kedua, melihat praktik wacana atas konstruk RMG atas
keterlibatannya terhadap pihak pemerintah kolonial Belanda sebagai suatu rezim
yang meninggalkan suatu sejarah “kelam” pada Perang Toba I (1878). Namun
sebelumnya mengenai data-data yang telah dipaparkan, akan terlebih dahulu
diidentifikasi dan dianalisa untuk memberikan gambaran pengetahuan dalam
pembentukan wacana tersebut.
A. Identifikasi Arsip
Dari kedua arsip tersebut, yakni BRMG dan Surat Kuliling Immanuel, maka
kedua arsip tersebut sangatlah berbeda dari isi, subjek, tujuan dan konsumennya.
Namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, keduanya memiliki kesamaan dalam
membahas mengenai isu-isu pekabaran Injil yang dilakukan RMG di Tanah Batak.
Berikut ini adalah identifikasi atas kedua arsip tersebut:
3 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.
40-48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
BRMG merupakan laporan pekerjaan para Misionaris di Tanah Batak.
Biasanya laporan ini dituliskan oleh para Misionaris minimal sebulan sekali dengan
menggunakan tulisan tangan yang ditujukan kepada Kantor Pusat RMG di Barmen,
Jerman yang kemudian dikumpulkan dan dibukukan menjadi BRMG. Hal ini
terbukti dari Laporan BRMG yang diterbitkan setahun sekali dengan memuat di
setiap edisi perbulannya. Setiap wilayah zending haruslah memberikan laporan
kepada Kantor Pusat RMG, baik di Tanah Batak sendiri, Namibia, Tanzania, dll.
Untuk wilayah zending di Tanah Batak sendiri, Nommensen dan beberapa
misionaris tercatat pernah menulis dalam laporan ini. Karena arsip ini bersifat
laporan maka tujuan laporan tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan badan
zending RMG; tidak untuk kepentingan para pendeta Batak ataupun masyarakat
Batak. Mengenai isinya, maka BRMG adalah laporan dari aktivitas RMG, seperti
usaha-usaha atau pencapaian yang telah dilakukan oleh para misionaris, tantangan-
tantangan dalam pekabaran Injil, dsb. Arsip BRMG yang saya gunakan dalam studi
ini adalah laporan atas peristiwa Perang Toba I (pertama) yang ditulis oleh
Nommensen, karena ikut bersama para tentara pemerintah kolonial dalam ekspansi
ke wilayah Toba.4
Arsip kedua yang saya gunakan adalah Surat Kuliling Immanuel. Seperti
yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Surat Kuliling Immanuel ini dibuat
oleh Misionaris, Jacobus H. Meerwaldt yang diperuntukkan kepada para Pendeta
Batak dan Guru-Guru di Sekolah Tinggi, serta masyarakat yang melek huruf maka
4 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba
(Jakarta: Obor, 2010), hl. 133-153.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
dapat dikatakan bahwa majalah ini difungsikan untuk membentuk suatu opini
umum dan memberikan pengetahuan yang berpengaruh kepada masyarakat sebagai
konstruk dalam membentuk komunitas baru yang berdasarkan kepada nilai-nilai
modernitas, di mana nilai-nilai di dalam Kekristenan menjadi basis dalam penilaian
tersebut. Rachman Tua Munthe dalam bukunya Allah Beserta Kita: Respons HKBP
atas Kondisi Sosial – Politik di Indonesia Periode 1890-1965 (2011) juga mengkaji
mengenai Surat Kuliling Immanuel, meskipun periode mengenai hubungan antara
Misionaris RMG dengan Raja Singamangaraja XII tidak terlalu banyak dibahas.
Munthe dalam bukunya dapat dikatakan telah melihat Surat Kuliling Immanuel ini
dalam menciptakan opini umum kepada masyarakat Batak pada periode tersebut,5
namun demikian saya melihat bahwa Munthe tidak menempatkan dan melihat
media ini sebagai suatu konstruk dalam membangun komunitas, yakni Kerajaan
Kekristenan (baca: pengetahuan), di mana pengaruh media terhadap masyarakat
dalam pembentukan komunitas, misal pembentukan pengetahuan dalam konstruk
kekuasaan, tidaklah dibahas. Maka dari itu sebagai suatu subjek pelaku, dalam hal
ini RMG, maka media atau Surat Kuliling Immanuel ini mendapatkan sorotan
penting dalam suatu usaha konstruksi atas apa yang dilakukan RMG terhadap
masyarakat Batak.
Kedua arsip ini sangatlah berbeda secara fungsi dan tujuan. Walaupun isi
kedua arsip tersebut membahas mengenai tema yang sama, yakni pekabaran Injil
namun bukan berarti bahwa keduanya menampilkan hal yang sama. Ada proses
5 Lih. Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial –
Politik di Indonesia Periode 1890-1965 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hl. 12-20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
seleksi dan perbedaan sudut pandang dalam tampilan kedua arsip tersebut, sehingga
isu-isu yang diangkat ditampilkan secara berbeda. BRMG yang berisi laporan
memuat data secara terbuka dan transparan demi kepentingan badan zending RMG
secara umum. Sedangkan Surat Kuliling Immanuel lebih mengedepankan isu-isu
untuk kepentingan komunitas Kristen Batak, sehingga pemilahan atau penyaringan
data-data lebih kepada kebutuhan komunitas tersebut. Misalnya saja yang
menyangkut topik Perang Toba I bahwa dalam Surat Kuliling Immanuel peristiwa
mengenai perang tersebut tidak ditulis secara mendalam, bahkan keterlibatan dan
keikutsertaan Nommensen dalam perang tersebut tidaklah diberitahukan secara
mendetil. Peristiwa-peristiwa peperangan hanya diberitakan dalam pandangan yang
mengarah kepada Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai pelaku. Misalnya dalam
Surat Kuliling Immanuel No. 6, 16 Juni 1906 yang diberitakan bahwa kompeni
telah menaklukkan Girsang dan Sipanganbolon.6 Tampaknya dalam hal ini,
Meerwaldt sangatlah menjaga akan kewibawaan para Misionaris.
Kedua arsip ini dapat saling melengkapi dalam melihat konstruk yang
dilakukan RMG dalam mereproduksi kekuasaan. Keduanya merepresentasikan
RMG sebagai suatu penguasa dalam menciptakan kekuasaan di tengah-tengah
masyarakat Batak; yang tak dapat dipungkiri hal ini menjadi cita-cita kolonialisme
bangsa Eropa dalam menciptakan bangsa yang tunduk kepada Eropa (Eropasentris).
Di satu sisi dengan BRMG maka akan terlihat adanya rezim kekuasaan dalam
pelaksanaan pekabaran Injil di Tanah Batak di mana keterlibatan RMG dengan
6 Lih. Rachman Tua Munthe, Op. Cit., hl. 33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Pemerintahan Kolonial Belanda dalam penggunaan kekuatan militer terlihat jelas,
seperti yang juga dipaparkan dalam Buku Uli Kozok, Utusan Damai dalam
Kemelut Perang. Sedangkan di sisi lain dengan Surat Kuliling Immanuel maka akan
terlihat konstruk yang lebih luas atas upaya RMG dalam membentuk opini umum,
mengkonstruk pengetahuan atau membentuk pemahaman dalam membangun
sebuah komunitas baru dengan wajah pemimpin yang baru (baca: ompu i). Hal ini
menandakan akan adanya hubungan antara bentuk kekuasaan di dalam teks (baca:
Surat Kuliling Immanuel) tersebut dengan Meerwaldt sendiri sebagai penulis dalam
suatu praktik diskursif pada analisa wacana. Maka dari itu sebagai data primer,
Surat Kuliling Immanuel menjadi analisa saya untuk melihat pengetahuan wacana
Ompu i Nommensen melalui aturan-aturan dan praktik-praktik.
BRMG SURAT KULILING
IMMANUEL
Penulis Para Misionaris J.H. Meerwaldt
Konsumen Kantor Pusat RMG Pendeta Batak, Guru-guru, dan
Masyarakat Batak Kristen melek
huruf
Isi Laporan atas Pekabaran Injil
di Tanah Batak
Pembahasan Alkitab
Pengetahuan Umum (Matematika,
budaya dan bahasa, dll.)
Isu-isu Pekabaran Injil RMG di
Tanah Batak, Afrika (Tanzania,
Namibia,dll), Borneo, dll.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Tahun Terbit Awal Mula Pekabaran Injil
1861
1890
Jenis Laporan Majalah
B. Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i
Pengetahuan menurut Foucault akan menentukan bagaimana wacana itu
beroperasi. Melalui aturan-aturan maka pengetahuan menciptakan pola perilaku,
rasa, dll. Ada batasan-batasan yang muncul dalam pengetahuan membuat wacana
tersebut dilanggengkan dan beroperasi. Batasan inilah yang dibentuk di dalam
discursive formation sehingga sistem pengetahuan dapat tersusun rapi, bahkan
tersamarkan, yang tanpa disadari mempengaruhi perilaku, rasa, dll. Misalnya saja
penelitian Foucault mengenai wacana psikopatologi, di mana yang menjadi
objeknya adalah tentang kegilaan. Batasan-batasan pengetahuan yang ditelitinya
inilah yang kemudian dianggap menciptakan tentang objek kegilaan atau disebut
sebagai orang gila; yang dalam hal ini adanya kepentingan-kepentingan yang
mendasari pengetahuan sebagai suatu proyeksi dalam pengetahuan medis berupa
penyingkiran terhadap sesuatu yang tidak rasional. Bahkan proyeksi tersebut juga
menciptakan pengawasan dalam bentuk institusi bagi orang yang dianggap gila.
Penelitian Foucault ini merupakan contoh adanya suatu konstruksi yang dibangun
dalam sistem pengetahuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Hal yang sama juga terjadi dalam wacana kepemimpinan dalam masyarakat
Batak; bahwa dalam wacana kepemimpinan maka pengetahuan akan masyarakat
Batak berada di dalam objek wacana Ompu i yang sarat kepentingan kekuasaan
(Eropasentris) yang kemudian direproduksi dan dilanggengkan. Untuk itu dalam
melihat pengetahuan akan wacana kepemimpinan Ompu i maka saya akan terlebih
dahulu melihat sistem pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional.
1. Wacana Ompu i Singamangaraja
Di dalam masyarakat Batak tradisional, pengetahuan akan kepemimpinan,
dalam hal ini kepemimpinan Raja Singamangaraja, bagi masyarakat Batak berada
di dalam dua hal, yakni Raja sebagai titisan dari dewa (tuhan) atau dalam bahasa
Batak dikatakan sebagai Debata Na Tarida (Tuhan yang Terlihat) yang dapat
dikenali,7 dan dalam kaitannya dengan sistem struktur sosial masyarakat Batak, di
mana hal ini menjadi sistem yang terikat dengan filosofi adat dan budaya Batak,
yaitu Suhi Ampang Na Opat.
Pengetahuan ini bukanlah memisahkan antara dunia religi dengan sekuler,
melainkan menjadi satu kesatuan antara hubungan pemimpin dengan pengikut
dalam suatu komunitas. Artinya, kehadiran Raja Singamangaraja diyakini sebagai
pemimpin atas dua dunia, religi dan sekuler, di mana praktik-praktik kekuasaannya
dilanggengkan. Hal ini terjadi dengan adanya unsur-unsur modalitas yang memiliki
7 Adniel Lumbantobing, Sedjarah Si Singamangaradja I-XII (Tarutung: Dolok
Martimbang, 1959), hl. 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
peran yang siginifikan, yakni raja-raja bius hingga masyarakat Batak sendiri yang
memandang Raja Singamangaraja sebagai penuntun bagi pengikutnya.
Keyakinan masyarakat Batak tradisional atas kepemimpinan Raja
Singamangaraja menjadikan adat dan budaya Batak berada dalam kedaulatannya.
Hal ini ditandai dengan berdaulatnya masyarakat Batak tradisional dalam sistem
struktur kekeluargaan, masyarakat dan bangsa (baca: Bangso Batak) seperti di
dalam filosofi dalihan na tolu, paopat sihal-sihal, dan suhi ampang na opat. Pola
sistem ini menjadi struktur yang mengikat dalam bentuk praktik-praktik dengan
kehadiran raja lintas bius. Bahkan sebelumnya hal ini juga telah terwujud pada saat
dinasti Sorimangaraja, di mana pengwejawantahan atas filosofi adat dan budaya
masyarakat Batak terpenuhi; yang kemudian berlanjut dan dilengkapi dengan
munculnya dinasti Singamangaraja sebagai pemimpin atas wilayah-wilayah bius.
Namun demikian satu hal yang juga penting atas keyakinan kepada raja, yakni
bahwa raja sebagai pemimpin yang merupakan titisan tuhan atau memiliki sahala
dalam prakteknya akan selalu membawa hamoraon (kekayaan), hagabeon
(keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat) bagi masyarakat Batak.
Permintaan akan turunnya seorang raja ketika masa pergantian dari dinasti
Sorimangaraja ke Singamangaraja menjadi bukti akan harapan masyarakat kepada
sosok pemimpin. Dan permintaan maupun harapan ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kelompok Parbaringin: kelompok yang bergerak dibidang kerohanian.
Pentingnya kehadiran Raja Singamangaraja tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kelompok Parbaringin yang memaknai kepemimpinan dalam sudut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
pandang religiositas. Sebagai kelompok yang mewarisi Pustaha Laklak yang berisi
pedoman kerohanian, kelompok ini memiliki kedudukan atas kehidupan spiritual
dalam masyarakat Batak, misalnya doa-doa persembahan dari hasil panen yang
diberikan Debata Mulajadi Na Bolon, pesta-pesta, pengobatan, dsb. Bahkan
kedudukan tersebut juga mendapatkan tempatnya dalam struktur masyarakat Batak
tradisional, termasuk dalam hal ini kedudukan di dalam jabatan Pande Bolon yang
merupakan ketua dari kelompok Parbaringin yang memiliki peran mendampingi
raja dan juga mengganti posisi raja ketika raja tidak dapat hadir.
Sebagai satu kesatuan dalam gerakan keagamaan maka kelompok ini
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat Batak tradisional.
Kehadirannya selalu memperkuat kedudukan raja, baik ditingkat huta hingga bius,
termasuk dalam hal ini aktif dalam mempertahankan dan menyokong eksistensi
Raja Singamangaraja. Bahkan ketika Raja Singamangaraja XII telah tiada
sekalipun, kelompok ini selalu aktif dalam melawan pihak kolonial melalui
gerakan-gerakan perlawanan. Hal ini menandakan besarnya pengaruh kelompok
Parbaringin dalam struktur masyarakat, termasuk dalam mempersatukan
masyarakat Batak. Dengan kehadirannya yang menyebar di setiap bius maka
kelompok ini menjadi panutan dan juga kebutuhan bagi masyarakat Batak
tradisional, di mana pengaruh yang dimunculkannya melalui institusi dan dominasi
dalam hal wacana-wacana yang membawa nilai-nilai spiritualitas dalam
masyarakat Batak memberikan kesatuan yang mengikat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Fungsi dari kelompok Parbaringin ini dapat dikatakan sebagai suatu institusi
yang mereproduksi nilai-nilai spritualitas yang diwariskan dari Pustaha Laklak
yang merupakan pelengkap atas dunia sekuler yang telah diatur dalam Pustaha
Tumbaga. Bagaimanapun kedua pustaha ini merupakan dasar dari tatanan
kehidupan masyarakat Batak tradisional, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihalsihal
dan Suhi Ampang Na Opat, maupun juga dasar dari pengetahuan akan wacana
kepemimpinan yang memiliki unsur spiritual sebagai Debata Na Tarida. Dengan
dasar ini maka kepemimpinan Singamangaraja tidak hanya dipandang sebagai raja
para imam (kelompok Parbaringin) yang dihubungkan dengan sesuatu yang religius
saja tetapi melihat wilayah kekuasaannya maka banyak raja-raja bius yang juga
menaruh hormat kepadanya, sehingga pengaruh Raja Singamangaraja terhadap
kebijakan yang sifatnya sekuler cukup besar. Misalnya saja di bidang pertanian,
hukum, rumah tangga, militer dan adat-istiadat, di samping urusan agama.8
Sistem kerajaan dalam dinasti Singamangaraja sangatlah berbeda dari
sistem kerajaan lainnya. Seperti yang sudah digambarkan pada bab sebelumnya
maka dinasti Singamangaraja bersifat konfederasi dari bius-bius yang ada. Pola
semacam ini justru menghendaki sikap akan karakter kepemimpinan dari seorang
pemimpin, dikarenakan raja tidak menguasai wilayah, dalam pengertian
kepemilikan tanah. Kesaktian, pendamai, pengampun, dsb, merupakan sifat dan
karakter seorang pemimpin dari pola kepemimpinan semacam ini. Seberapa besar
pengaruh kekuasaannya tergantung dari perilaku seorang pemimpin. Hal ini juga
8 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 78.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
dilihat Vergouwen sebagai suatu penghargaan pengikut kepada pemimpinnya:
“Semua orang yang memperlihatkan suatu kekuasaan yang istimewa selalu
dihormati dan dimuliakan oleh rakyat sebagai orang-orang yang patut mendapat
kehormatan, na sangap.”9 Walaupun hal ini tidak memandang secara umum
mengenai sifat seorang pemimpin, tetapi sebagai suatu keyakinan para pengikut,
masyarakat Batak, yang meyakini akan sifat dan karakter tersebut yang berasal dari
dewa-dewa.
2. Wacana Ompu i Nommensen
Setelah melihat sistem pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i
Singamangaraja maka untuk melihat sistem pengetahuan yang ada dalam wacana
kepemimpinan Ompu i Nommensen tentunya selalu berkaitan dengan aturan-aturan
pembentukan wacana itu sendiri. Bagi Foucault yang melihat bahwa kekuasaan
dapat direbut melalui reproduksi kekuasaan maka wacana kepemimpinan Ompu i
Nommensen ingin menunjukkan adanya reproduksi kekuasaan itu sendiri; dan
pengetahuan memainkan peranan dalam pengkondisian wacana tersebut. Maka dari
itu, untuk melihat pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen,
saya akan membagi ke dalam 2 unsur yang sebelumnya menjadi pengetahuan di
dalam wacana Ompu i Singamangaraja, yaitu unsur religius dan sekuler.
9 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak
di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
A. Unsur Religius.
RMG dalam mereproduksi kekuasaan tidaklah merubah semua pemahaman
masyarakat Batak. Bahasa dan budaya Batak masih turut juga digunakan oleh
RMG, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa beberapa hal mengenai adat dan
budaya Batak turut juga dirubah atau dihilangkan. Dalam hal ini, konstruk yang
dibangun oleh RMG mengedepankan hibriditas antara rasionalisasi Eropa yang
berdasarkan nilai-nilai Kekristenan dengan adat dan budaya Batak. Hal ini
menandakan adanya peralihan kekuasaan yang diiringi dengan adanya perubahan
dalam sistem-sistem pengetahuan, sehingga kekuasaan kepemimpinan Nommensen
dapat dilanggengkan.
Salah satu hal yang menonjol di dalam konstitusi “Ompu i” sebagai objek
pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional adalah unsur religiositas yang
terkandung di dalamnya. Namun demikian pengetahuan ini justru tidak
mendapatkan tempatnya pada wacana Ompu i Nommensen. Sebagai suatu badan
zending yang membawa nilai-nilai Kekristenan para Misionaris merubah
paradigma masyarakat Batak atas pemahaman agamanya yang notabene selalu
dipegang teguh oleh kelompok Parbaringin yang mewarisi Pustaha Laklak,
pedoman ajaran agama tradisional masyarakat Batak.
Dalam mewujudkan pengetahuan ini maka konstruk yang dilakukan oleh
RMG adalah pertama, menyebarkan pengetahuan modern. Melalui pendidikan
maka RMG berusaha menciptakan pengetahuan dasar mengenai ilmu pengetahuan
modern kepada masyarakat Batak sebagai suatu misi pengadaban. Sekolah-sekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
yang dibangun mulai tingkat SD hingga Sekolah Tinggi menjadi bukti atas konstruk
yang dilakukan RMG dalam mewujudkan dan membangun masyarakat Batak
kepada rasionalisasi modern ke segala aspek kehidupan, misalnya dalam hal ilmu
kesehatan, petukangan, geografi, dll, termasuk bahasa Batak sendiri yang juga
dimasukkan dalam pelajaran. Bahkan usaha terhadap pendidikan juga digenapi
dengan terbitnya buku-buku dan media cetak, termasuk Surat Kuliling Immanuel,
yang dikeluarkan oleh RMG sendiri. Konsep RMG tentang “pargodungan” yang
menggabungkan dan menyatukan urusan agama dengan urusan-urusan sekuler,
yakni pendidikan, kesehatan, dll. dalam satu wilayah atau lingkungan menjadi bukti
atas misi pengadaban ke aras kehidupan tersebut, misalnya Huta Dame (1864),
Pearaja (1872), dsb.
Usaha RMG terhadap pendidikan ini ingin menggantikan dunia “primitif”
yang dianggap oleh para Misionaris RMG sebagai suatu kebohongan. Sasarannya
adalah kelompok Parbaringin yang dianggap menyebarkan kebohongan kepada
masyarakat Batak dengan memberitakan tentang ajaran-ajaran kebohongan yang
dilakukan oleh kelompok ini. Hal ini seperti terlihat di dalam Surat Kuliling
Immanuel yang menceritakan kelompok Parbaringin yang tidak dapat
menyembuhkan penyakit dengan kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan.
Menurut Norman Fairclough, pentingnya ilmu pengetahuan, seperti yang
dilakukan RMG tersebut, memberikan pengaruh terhadap pembentukan objek (the
formation of Objects) dalam pembentukan wacana, di mana konstitusi “Ompu i”
selalu berkaitan dengan penamaannya itu sendiri, penggambarannya, dsb. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
dikarenakan berkaitan nantinya dengan bagaimana wacana itu diproduksi,
ditransformasi dan direproduksi.10
Penyebaran pendidikan modern kepada masyarakat Batak, khususnya
kepada keluarga-keluarga raja, ingin mereduksi pengaruh ajaran kelompok
Parbaringin di dalam agama tradisional Batak, sehingga dalam hal ini, konstruk
yang hendak dibangun kepada masyarakat Batak adalah rasionalisasi modern atas
kehidupan dalam masyarakat Batak, misalnya sesuatu yang dianggap klenik, mitos-
mitos, dll yang mulai disingkirkan.
Pentingnya pengaruh pendidikan akan mempengaruhi reproduksi yang
dilakukan masyarakat Batak, khususnya para raja, dalam pembentukan wacana
Ompu i Nommensen. Namun demikian persoalan pengetahuan modern tidak hanya
dipandang sebagai bentuk rasionalisasi peradaban, melainkan juga akan memiliki
kepentingan-kepentingan elite, kelompok, pelaku yang mendominasi, terlebih
ketika pengetahuan itu dilembagakan.11 Hal ini juga berlaku dari sistem pendidikan
yang dibentuk oleh RMG yang memiliki kepentingan-kepentingan sebagai suatu
konstruk kekuasaan. Fenomenanya adalah ketika pengetahuan yang berasal dari
RMG (pihak kolonial) membentuk suatu pengetahuan tandingan dari pengetahuan
tradisional, sebagai suatu yang dinamakan, ambivalensi. Tentunya pengetahuan
modern ini diperuntukkan bagi pembentukan identitas, namun demikian, dalam
ranah publik menjadi sesuatu yang ambigu. Hal ini dapat terjadi akibat “penularan”
10 Lih. Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 41. 11 Bdk. Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction (Sydney: Allen &
Unwin, 1998), hl. 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
pengetahuan yang tidak pernah penuh yang dilakukan oleh pihak kolonial. Bentuk-
bentuk semacam ini terjadi akibat subjek kolonial yang juga memanfaatkan dan
mengambil keuntungan dari pengetahuan tradisional, yang notabene dianggap
“primitif”. Hal ini berlaku bagi seluruh pengetahuan (baca: religius dan sekuler) di
mana pengetahuan modern ketika disandingkan dengan pengetahuan tradisional
akan memunculkan ambivalensi.
Unsur religius dalam wacana Ompu i pada masyarakat Batak tradisional,
yaitu sebagai “Debata Na Tarida” memang direduksi dan direproduksi dengan
wacana ompu i yang berbasis rasionalitas modern. Namun demikian hal ini
bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi dalam ranah praksis. Masih ada kerancuan
dalam pemahaman, terlebih ketika berkaitan dalam hubungan pemimpin dan
pengikut (praksis) dalam tradisi masyarakat Batak yang justru tetap mengandaikan
Ompu i sebagai yang memiliki sahala dari tuhan/dewa. Misalkan saja kerancuan
tersebut ketika masuknya ilmu pengetahuan modern maka akan merusak tatanan
logika dalam adat dan budaya Batak - yang dalam hal ini rasionalitas tidak
memandang atau mempedulikan suatu tatanan dalam adat dan budaya tertentu
walaupun itu bertentangan. Itu artinya, rasionalitas hanya mengadopsi nilai dari
adat dan budaya tertentu sesuai dengan kinerja rasionalitas itu sendiri tanpa
mempedulikan kinerja adat dan budaya dalam masyarakat Batak.12 Namun
demikian hal ini juga dapat terjadi sebaliknya dengan memaksakan logika adat dan
12 Contoh yang paling nyata adalah pemanggilan ompu i kepada Nommensen yang
akhirnya akan merusak tatanan dalam logika adat dan budaya Batak dalam struktur Dalihan Na Tolu
dalam pola bahwa kakek/nenek moyang/Tuhan memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari ama
(bapak); yang justru digunakan di dalam Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak) untuk penyebutan
Tuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
budaya untuk melihat kinerja rasionalitas dalam wacana kepemimpinan Ompu i
tersebut dapat menyebabkan adanya ketidaksinambungan. Hal inilah kemudian
dalam tataran praksis, praktik-praktik wacana dalam pengetahuan Ompu i
memunculkan ambivalensi antara pengetahuan modern yang rasional dengan adat
dan budaya Batak tradisional dalam memandang Ompu i Nommensen, akibat
tindakan RMG yang mengambil keuntungan dari pengkultusan sosok pemimpin
yang memandang Ompu i, terlebih ketika dikaitkan dengan sistem struktur sosial
masyarakat Batak tradisional (Suhi Ampang Na Opat).
Ambivalensi dalam pengetahuan mengakibatkan kerancuan dalam
membangun penafsiran mengenai Ompu i; yang tak dapat dipungkiri bahwa Ompu
i Nommensen melebihi kesaktian dan kemampuan Raja Singamangaraja sebagai
“Debata Na Tarida” terlebih ketika RMG sendiri mengkonstruk wacana
kepemimpinan dengan meninggikan Nommensen daripada kelompok Parbaringin
dan Raja Singamangaraja seperti di dalam Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1
Oktober 1890, dll. Dengan kata lain, dalam tataran praksis, pengertian Ompu i
sebagai “Debata Na Tarida” masih memiliki dampak dan pengaruhnya dalam
hubungan pemimpin dan pengikut; yang walau bagaimanapun, melekat dalam
makna Ompu i sebagai sesuatu yang turut digunakan oleh Kekristenan dalam
bentuk pengkultusan.
Kedua, menawarkan hamajuon (kemajuan). Seperti yang dikatakan oleh
Johannes Warneck bahwa dalam agama tradisional masyarakat Batak penilaian dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi,13maka yang membuat RMG
diterima oleh masyarakat Batak adalah karena menawarkan hamajuon. Adanya
krisis yang menimpa masyarakat Batak akibat perang Paderi, dan juga konflik
internal yang sering terjadi di masyarakat Batak yang menambah keterpurukan
mereka, membuat mereka akhirnya memalingkan dirinya ke orang asing, selain
tentunya prinsip 3 H (hasangapon, hamoraon, hagabeon) yang menjadi dasar
dalam kehidupan masyarakat Batak dalam menggapai hamajuon. Hal ini terjadi
pada awal-awal dilaksanakannya misi di Tanah Batak oleh RMG. Ucapan Raja
Pontas Lumbantobing menegaskan hal ini yang mengatakan: “Pada hemat saya
adat dan kebiasaan kami sangat sangat baik, dan tidak perlu diubah lagi. Tapi
kalau tuan-tuan tau jalan untuk mencapai kemuliaan dan kekayaan, tunjukkanlah
kepada kami!”14
Sebagai satu kesatuan dengan pihak pemerintahan kolonial Belanda
tentunya RMG memiliki kekuatan dalam menciptakan dan membawa masyarakat
ke dalam hamajuon (kemajuan). Hal inilah yang kemudian ditawarkan kepada
masyarakat Batak. Dalam Surat Kuliling Immanuel, kisah-kisah faktual yang
menjadi pengalaman masyarakat Batak tertentu, misalnya, Sipirok, Bungabondar,
dll. selalu diangkat dalam media ini untuk membangun keyakinan tersebut. Bahkan
konstruk ini dibangun untuk meyakinkan masyarakat Batak dengan menyudutkan
13 Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In
Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 130. 14 J.T. Nommensen, Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1974), hl. 90.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
musuh-musuh RMG yang telah gagal dalam memberikan hamajuon, misalnya
orang-orang Islam dan Parbegu (kelompok Parbaringin).
Sebagai bagian dari suatu strategi, maka tema-tema yang diangkat dalam
prinsip hamajuon dapat berupa ekonomi, keamanan, dsb. Menurut Norman
Fairclough, keberlangsungan akan tema-tema semacam ini ditentukan dari praktik
diskursif dan non diskursif.15 Itu artinya di dalam suatu strategi maka unsur-unsur
atau tema-tema dalam hamajuon dapat tercapai sesuai dengan strategi itu sendiri.
RMG sebagai yang memiliki kekuasaan tentunya memiliki strategi dalam
menciptakan tema-tema tertentu yang berdasarkan pada keinginan atau hasrat
masyarakat Batak mengenai hamajuon itu sendiri. Kaitannya adalah bahwa tema-
tema inilah yang kemudian dapat mengubah paradigma masyarakat Batak
tradisional dalam memandang seorang pemimpin, yakni Nommensen yang
membawa hamajuon; yang hanya dimiliki oleh orang yang memiliki sahala. Hal
senada juga ditekankan oleh Lance Castle yang melihat bahwa para Misionaris
dianggap memiliki sahala yang akan menambah hasangapon masyarakat Batak.16
Konstruk semacam ini akan menitikberatkan kepada fungsi atau peran raja yang
dipandang sebagai pembawa keadilan, kedamaian, dsb. Raja tidak dipandang
sebagai pembawa masalah, melainkan dapat mengatasi atau memberikan solusi atas
masalah yang dihadapi masyarakat Batak. Hal ini berlaku dari tingkat huta hingga
bius. Walaupun RMG memiliki strategi-strategi yang beraneka ragam cara, namun
15 Norman Fairclough, Op. Cit., hl. 48. 16 Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940
(Jakarta: KPG, 2001), hl. 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
demikian tema besar yang menjadi hasrat dalam masyarakat Batak tidak dapat
dilepaskan dari konsep hamajuon yang merupakan tugas dari seorang raja.
Kedua konstruk ini mengubah paradigma masyarakat Batak mengenai
gambaran akan sosok kepemimpinan. Pengetahuan yang selama ini berkembang
mengenai adanya sisi religi dalam gelar Ompu i dapat direproduksi oleh RMG
dengan mempertimbangkan hasrat atau kebutuhan, serta unsur kognitif dalam
bentuk pemahaman masyarakat Batak.
B. Unsur Sekuler.
Selain mengenai unsur religi di dalam pengetahuan dalam wacana
kepemimpinan Ompu i, maka unsur lainnya yang juga penting karena menyangkut
kedudukan penting di tengah-tengah masyarakat adalah unsur sekuler. Memang
pada awalnya gelar ini dalam masyarakat Batak tradisional hanyalah menyangkut
urusan religi seperti yang dikatakan oleh Sitor Situmorang, namun lambat laun,
kekuasaannya tidak dapat dipisahkan dalam urusan sekuler. Hal ini berkaitan di
dalam reproduksi yang dibangun melalui dominasi kelompok Parbaringin yang
mendudukkan atau memposisikan seseorang sebagai seorang raja yang memiliki
peran dan fungsi dalam masyarakat Batak, termasuk dalam hal ini Raja
Singamangaraja.
Di dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen maka pengetahuan
ini juga direproduksi ke dalam status kepemimpinan di dalam masyarakat Batak
Kristen atau dalam hubungan pemimpin dan pengikut. Paling tidak pengetahuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
ini, menjadi kedudukan penting di dalam melihat kepemimpinan hingga sekarang
(baca: sistem episkopal HKBP) dengan adanya praktik-praktiknya.
Sistem struktur sosial masyarakat yang turut digunakan oleh RMG adalah
Suhi Ampang Na Opat. Walaupun di zaman sekarang penekanan prinsip ini sudah
berbeda di dalam pelaksanaan adat praktis yang diakibatkan pembagian antara
urusan religi dengan sekuler, namun demikian fenomena ini masih terlihat dari
praktik-praktik penggunaannya hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari peran RMG
atas kontruk kekuasaan di dalam adat dan budaya Batak. Misalnya yang menjadi
suatu kebiasaan bahwa ketika adanya pertikaian marga atau kampung, maka
Ephorus HKBP menjadi juru damai dari konflik tersebut seperti yang digambarkan
dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930.17
Di dalam masyarakat Batak tradisional, kedudukan seorang raja dalam
unsur sekuler berarti memiliki kuasa di dalam struktur masyarakat yang mengurus
masalah-masalah non-religi atau sekuler, misalkan saja masalah tanah, pengairan,
dsb. Hal ini terlihat sangat jelas dalam sistem yang dimiliki masyarakat Batak
“tradisional”, yakni Suhi Ampang Na Opat, tunduk kepada raja. Secara birokrasi
kedudukan dan peran raja sangatlah penting untuk mengatasi masalah-masalah
kekeluargaan dalam pengertian Dalihan Na Tolu. Memang di dalam dinasti Raja
Singamangaraja, kedudukan Raja Singamangaraja mendapatkan penekanan di
dalam dua unsur, yakni religi dan sekuler, namun secara de jure, kedudukan raja
17 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
hl. 613.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
mendapatkan tempatnya, serta memiliki wewenang di dalam sistem struktur sosial
masyarakat dan juga wilayah di tengah-tengah masyarakat. Selain sebagai Raja
Bius di Bius Bangkara, Singamangaraja juga menjadi pemimpin konfederasi bagi
bius-bius yang tergabung di dalamnya. Praktik-praktik yang dilakukannya
membuktikan kekuasaannya yang melintasi bius-bius.
Di dalam wacana Ompu i Nommensen, pengetahuan ini tidaklah dibuang
sepenuhnya oleh RMG. Konstruk yang dilakukan RMG justru menimbangkan
sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional, walaupun hal ini tetaplah
memiliki perbedaan dari yang lama. Pembentukan aturan-peraturan, pendirian
sekolah ataupun gereja, dsb merupakan praktik-praktik dengan mempertimbangkan
sistem struktur sosial masyarakat Batak. Bahkan dengan kekuasaannya ini
menandakan RMG sebagai penguasa lintas bius.
Beberapa konstruk yang dilakukan RMG untuk menandakan bahwa RMG
menggunakan sistem struktur sosial masyarakat adalah pertama, memanfaatkan
kedudukan para raja. Berbeda dari sistem kerajaan yang memiliki kekuasaan
tunggal atas wilayah atau tanah, seperti yang ada di Jawa atau daerah lainnya, maka
sistem raja yang berada di Tanah Batak adalah para raja bius yang memiliki kuasa
atas wilayah dan tanah yang menyebar di Tanah Batak. Dengan sifatnya yang
majemuk maka penguasaan atas satu raja tidaklah menjamin penaklukan atas
kekuasaan raja lainnya. Ada hak otonom atas kekuasaan raja di wilayahnya masing-
masing. Maka dari itu, usaha yang dilakukan RMG dalam menyebarkan Injil ke
Tanah Batak, mau tidak mau, berada dalam bentuk penjajakan keseluruh raja-raja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
bius. Silindung, Simorangkir, Pansurnapitu, dll adalah contoh-contoh wilayah bius
yang telah menerima Injil hasil dari usaha penjajakan tersebut.
Bagi RMG, para raja sangatlah penting di dalam menyebarkan dan
memperluas Injil ke seluruh masyarakat Batak. Bahkan tidak tanggung-tanggung,
para raja juga diikutsertakan atau dilibatkan di dalam urusan pekabaran Injil,
misalnya rapat-rapat, pesta zending, dsb. Berbagai upaya pendekatan dilakukan
kepada raja-raja untuk mendapatkan rasa simpatik kepada RMG; mulai dari janji
keamanan, faktor ekonomi, memberikan perlakuan khusus kepada para raja dan
keturunannya, dll.
Namun terlepas dari adanya pendekatan tersebut, upaya yang dilakukan
RMG merupakan suatu konstruk kepada para raja dalam menyebarkan dan
memperluas Injil di Tanah Batak. Mengkristenkan raja berarti akan juga
mempengaruhi para pengikutnya. Sebagai suatu misi pengadaban maka konstruk
ini ingin menciptakan komunitas baru, yakni Kerajaan Kekristenan, sehingga satu
hal penting yang dilakukan oleh RMG adalah memberlakukan standar baru di
dalam hukum yang mengatur komunitas baru yang berdasarkan nilai-nilai
Kekristenan (baca: Eropa).
Dengan standar baru ini maka RMG juga menerapkan dengan bentuk
perilaku dan sikap para raja yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini bukan
hanya mempertegas aturan atau hukum kepada para raja, tetapi juga untuk menjaga
masuknya pengaruh agama-agama lain di dalam komunitas tersebut. Dengan
prinsipnya seperti ini maka RMG selalu berupaya dalam memberikan pemahaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
atau pendidikan serta memberikan contoh ideal mengenai kepemimpinan raja yang
sesuai dengan kehendak RMG (baca: nilai-nilai Kekristenan). Salah satu raja yang
paling dekat dengan RMG dan sering dijadikan contoh adalah Raja Pontas
Lumbantobing. Dengan nama baptis, Obaja, yang berarti Hamba Tuhan, para RMG
memuji perilakunya yang sesuai dengan namanya tersebut, mengingat atas jasanya
maka banyak masyarakat Batak yang menerima Injil.18 Hal ini dilakukan untuk
membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara raja Kristen dengan raja
yang masih menganut agama suku atau juga Islam.
Konstruksi semacam ini menjadi penting di dalam membentuk pengetahuan
dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen mengingat bahwa ketika sistem
Suhi Ampang Na Opat tetap dipakai maka pemahaman para raja yang dikonstruk
menghasilkan reproduksi yang berbeda dari kepemimpinan tradisional. Jikalau
dilihat dari gagasan Norman Fairclough dalam pembentukan wacana, yakni
mengenai the formations of Concepts (pembentukan Konsep), maka pendekatan
atas raja atau penggunaan prinsip Suhi Ampang Na Opat menjadi penting dalam
pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i, karena gagasan ini, the formations of
concepts, akan memperlihat posisi atau fungsinya dalam mengorganisir “the field
of statement” atau ruang munculnya konsep wacana tersebut; yang jika dikaitkan
dengan struktur “kegilaan” seperti yang digambarkan Foucault bahwa struktur ini
selalu berkaitan dengan konsep penjara, rumah sakit, dsb.19 Begitu juga dengan
prinsip Suhi Ampang Na Opat yang bagaimanapun akan mempertegas konsep
18 Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1893. 19 Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 46.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
kepemimpinan akan seorang raja sebagai suatu aturan dalam adat dan budaya batak,
sehingga reproduksi kekuasaan merupakan hasil dari buah konstruk yang dilakukan
kepada para raja berupa kedisiplinan.
Sebagai satu kesatuan dalam adat dan budaya, tentunya masyarakat Batak
tidaklah berbeda satu dengan lainnya, walaupun memiliki hak otonom atas
wilayahnya masing-masing. Ada nilai-nilai yang mengikat dan menggabungkan
kemajemukan itu sendiri. Konsep dinasti Singamangaraja yang mengikat bius-bius
yang ada di dalam adat, religi dan budaya masyarakat tidak lepas dari strategi yang
sama yang juga dilakukan RMG. Dengan mempertimbangkan Suhi Ampang Na
Opat, maka usaha-usaha tersebut lebih kepada menciptakan kekuasaan dengan
mengumpulkan raja-raja untuk mengikat bius-bius, mendamaikan konflik
antarbius, menciptakan onan (pekan atau pasar). Praktik-praktik tersebut menjadi
penting sebagai suatu pembentukan wacana mengingat hal ini berkaitan deskripsi
Fairclough dalam The Formation of Enunciative Modalities, di mana aktivitas-
aktivitas tersebut berusaha menggambarkan, membentuk hipotesis, memformulasi
regulasi mengenai posisi subjek;20 dalam hal ini mengenai sosok pemimpin Ompu
i.
Kedua adalah pengaruh kelompok Parbaringin. Bagi masyarakat Batak
tradisional, pengaruh kelompok Parbaringin sangat besar dalam mereproduksi
wacana kepemimpinan Singamangaraja. Sebagai kelompok yang bergerak dalam
bidang agama dan menyebar di setiap bius, kelompok ini berusaha menyatukan
20 Ibid., hl. 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
raja-raja bius dengan nuansa keagamaan. Raja Singamangaraja yang dianggap
sebagai titisan dewa menjadi kiblat bagi raja-raja bius untuk menyatukan
masyarakat Batak.
Gerakan kelompok Parbaringin ini bagi RMG adalah musuh yang selalu
menghambat misi RMG (resistensi) di Tanah Batak, sehingga RMG beserta
pemerintahan kolonial Belanda melarang aktivitas gerakan kelompok tersebut.
Namun demikian selain larangan maka RMG juga memproteksi raja-raja Kristen
dari pengaruh kelompok Parbaringin ini. Praktik-praktik dilakukan untuk menjaga
raja-raja tersebut, diantaranya:
1. Membangun citra negatif dengan menyebut kelompok ini sebagai
pembohong di Surat Kuliling Immanuel (lihat Bab 3). Hal ini tak lepas dari
usaha RMG dalam membentuk opini umum di tengah-tengah masyarakat
Batak. James T. Siegel melihat bahwa strategi semacam ini dalam kaitannya
dengan pembentukan opini umum adalah sebagai subjek fait divers
(pemberitaan) yang menempatkan subjek kriminal melampaui rubrik majalah
Surat Kuliling Immanuel dengan didapati dirinya dirumuskan ulang dalam
wacana politik yang lebih luas. Pandangan ini menurut Siegel merupakan
“gudang penyimpanan ketakutan dan penawarnya bisa diperoleh dalam
keadaan tertentu untuk tujuan yang lebih umum.”21 Dalam pandangan ini
dapat dikatakan RMG berusaha menempatkan kelompok Parbaringin di
21 James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hl. 172-173.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
tengah-tengah wacana politik; dan sekaligus melepaskan dirinya (RMG) dari
suatu kebersalahan dengan menciptakan ketakutan dan sebuah solusi atas
ketakutan itu sendiri. Mekanismenya adalah dengan tumbuhnya keyakinan
masyarakat dan raja yang telah memeluk Kristen dalam memandang usaha
RMG sebagai suatu solusi atas kepentingan yang lebih besar dalam
masyarakat Batak; dan di satu sisi meninggalkan kelompok Parbaringin di
wilayahnya masing-masing sebagai suatu efek samping, gejala dari suatu cita-
cita bersama, mengingat masih adanya pemahaman masyarakat akan ajaran-
ajaran agama tradisional masyarakat Batak, serta hubungan kekeluargaan
dalam adat dan budaya Batak dengan kelompok Parbaringin yang mungkin
sangat susah untuk diretas. Tercatat beberapa kali RMG sendiri melakukan
usaha semacam ini di Surat Kuliling Immanuel. Hal ini menandakan sikap
RMG yang sangat tegas terhadap kelompok dan ajarannya ini. Raja Pontas
Lumbantobing adalah salah satu yang pernah dihukum oleh RMG akibat
mengikuti pesta yang dilaksanakan kelompok ini.22 Pun demikian sebaliknya,
citra positif juga dibangun kepada para misionaris bahwa segala yang telah
dilakukan oleh para misionaris merupakan restu dari Tuhan yang memberikan
kemajuan, kesejahteraan kepada masyarakat Batak.
2. Mengikuti sistem pemerintahan bius tradisional. Di dalam sistem kerajaan
tradisional masyarakat Batak, setiap raja di bius memiliki pendamping raja
diantaranya adalah kelompok Parbaringin yang diketuai oleh jabatan Pande
22 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen
di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
Bolon. Dari sistem ini RMG mengikuti pola sistem kerajaan tradisional
masyarakat Batak dengan juga menempatkan Sintua (majelis atau pengerja
gereja) sebagai pendamping raja. Paling tidak, hal ini berlaku sebelum
masuknya sistem administrasi pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah
Batak; ketika urusan agama dan sekuler masih menyatu. Upaya semacam ini
dilakukan sebagai bentuk proteksi dan pengawasan terhadap ajaran-ajaran
kelompok Parbaringin, termasuk upaya atas dilibatkannya raja dalam
aktivitas RMG, seperti rapat, pesta, dll.
Praktik-praktik semacam ini menandakan RMG yang berusaha membangun
pondasi kerajaan atau komunitas baru dengan tidak meninggalkan sistem
pemerintahan bius tradisional. Puncaknya adalah dengan mengambil alih
kekuasaan Raja Singamangaraja yang menandakan munculnya komunitas baru di
dalam kepemimpinan yang baru. Contoh yang paling terlihat adalah bagaimana
Singamangaraja XII juga tak lepas dari upaya konstruksi yang di bangun oleh RMG
sebagai sosok yang penjahat yang mengganggu masyarakat Kristen, termasuk
keinginan Raja Singamangaraja XII yang ingin menyerang para pendeta. Konstruk
semacam ini ingin menempatkan Raja Singamangaraja XII dan kelompok
Parbaringin menjadi sosok kriminal bagi hukum RMG, walaupun di satu sisi bagi
Raja Singamangaraja XII dan kelompok Parbaringin menjadi bentuk perlawanan
atas penjajahan yang dilakukan RMG dan pihak kolonial. Hal ini tak lepas akibat
dari hukum baru dalam komunitas baru yang diterapkan oleh pihak RMG. Konstruk
yang dilakukan RMG ini justru berbanding terbalik dengan gambaran
Singamangaraja XII (1876 -1907) sebelum berkuasanya RMG di Tanah Batak,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
khusunya di wilayah Toba (pasca 1878) yang menjadi basis Raja Singamangaraja,
yang dikenal sebagai sosok pendiam, pendamai, dsb.23
Namun demikian, kontruk atas kekuasaan dalam komunitas yang baru juga
memunculkan sosok Nommensen sebagai seorang pemimpin. Ia dikedepankan oleh
para Misionaris lainnya untuk tampil menjadi seorang pemimpin. Hal ini tak lepas
dari pengetahuan dan kedekatannya terhadap masyarakat dan budaya Batak.
Seorang Meerwaldt yang dengan Surat Kuliling Immanuel-nya sangat sering
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat Batak Kristen
tentang sosok Nommensen. Walaupun seperti yang dikatakan Lothar Schreiner
bahwa Nommensen justru lebih sibuk kepada urusan sekuler dibandingkan di
gereja,24 namun bagaimanapun konstruk yang dilakukan Meerwaldt ini
menumbuhkan keyakinan masyarakat kepada sosok Nommensen. Kisah-kisah yang
dilukiskan mengenai rintangan-rintangan yang dihadapi hingga bagaimana
Nommensen digambarkan sebagai sosok penolong memberikan imajinasi atas
gambaran sosok kepemimpinan yang justru dapat memunculkan penilaian atas
perbandingan kedua sosok pemimpin antara Nommensen dengan Raja
Singamangaraja XII bahwa Nommensen memiliki kemampuan yang lebih (baca:
sakti) dibandingkan dengan Raja Singamangaraja XII.
Di dalam pembentukan suatu komunitas, yakni kerajaan Kekristenan,
konstruk yang dilakukan RMG berupa pemakaian sistem sosial masyarakat serta
23 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja
Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 33. 24 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen
di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
melibatkan dan memberikan ruang kepada raja dalam setiap aktivitas RMG
merupakan suatu yang bagi Foucault katakan sebagai bentuk menciptakan atau
tehnik dalam mendisiplinkan setiap individu, dalam hal ini, raja. Dalam konsepnya
mengenai biopolitik/biopower yang dituliskan di dalam bukunya The History of
Sexuality (1976), Foucault berargumen bahwa tubuh manusia sebagai “anatomico-
politics of the human body” yang dalam pengertian ini memiliki sisi kedisiplinan
diri, di mana secara level yang lebih kecil merujuk kepada individu yang dapat
menghasilkan individu dengan sikap kedisiplinan melalui bentuk pengawasan
(monitoring).25
Dari pemikiran Foucault ini dapat dikatakan bahwa RMG telah
memproduksi individu yang walaupun dengan latar belakang tradisinya dapat
meninggalkan sebagian tradisinya dengan membentuk komunitas yang baru.
Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari komunitas yang dibayangkan seperti
yang Bennedict Anderson katakan mengenai peran kapitalisme cetak (Surat
Kuliling Immanuel) bahwa produksi juga akan tercipta melalui imajinasi dari
hadirnya bangsa-bangsa lain yang dituliskan di Kapitalisme Cetak, dalam hal ini,
Surat Kuliling Immanuel sebagai produk kolonial yang juga membahas bangsa-
bangsa lainnya, misalnya Borneo, Papua, Jerman, dsb. Dengan imajinasi ini maka
bangsa Batak tidak lagi hanya membayangkan dirinya sendiri sebagai kesatuan
wilayah, melainkan dalam bentuk persaudaraan adanya pertukaran informasi dan
saling membangun komunikasi yang memberikan pengaruh akan terbentuknya
25 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage
Books, 1990), hl. 139-143.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
komunitas baru, meskipun hal ini bukan berarti meninggalkan identitas
keasliannya.26
Dari konstruk yang dilakukan RMG maka dapat disimpulkan bahwa unsur
sekuler dalam pengetahuan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen
menghadirkan suatu komunitas baru yang berdasarkan dengan Suhi Ampang Na
Opat, yakni dalam sistem kerajaan Kekristenan. Walaupun secara esplisit sangat
berbeda dengan sistem harajaon (kerajaan/pemerintahan) dalam dinasti Raja
Singamangaraja, namun hal ini tak lepas dari sistem kerajaan dalam adat dan
budaya Batak mengenai hubungan antara pemimpin dan pengikut, di mana RMG
mengambil keuntungan dari sistem ini sebagai suatu bentuk ketaatan atau
kepatuhan pengikut terhadap pemimpinnya atau pantun marraja (tunduk kepada
raja). Konstruk RMG tersebut mengindikasikan kerancuan dalam suatu struktur
sosial masyarakat dalam bayangan pengkultusan dalam imajinasi pengikut kepada
pemimpinnya, yakni “Debata Na Tarida”.
Dengan pengetahuan ini maka dalam konteks kerajaan Kekristenan, sistem
hirarki yang dibangun masih dalam bentuk tradisional, di mana kesatuan yang utuh
masih terjadi atau berkesinambungan dari tingkat yang paling rendah hingga yang
tertinggi, atau dari raja huta hingga sosok pemimpin, yakni Nommensen. Istilah
26 Pandangan Ben Anderson berdasarkan kepada kosmopolitanisme kolonial di dalam diri
Kwee Thiam Tjing, di mana dalam hal ini, ia melihat bahwa kosmopolitanisme dapat terjadi karena
masuknya pengaruh bangsa lain ke identitas bangsa tersebut. Lih. Benedict Anderson
“Kosmopolitanisme Kolonial” dalam http://etnohistori.org/colonial-cosmopolitanism-bagian-1-
oleh-ben-anderson.html. Di akses pada 10 januari 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
“kesatuan” tidak hanya diartikan ke dalam aspek religi, melainkan juga aspek
sekuler yang menyangkut: urusan birokrasi, administratif, hukum, adat, dsb.
Dari kedua unsur tersebut, religi dan sekuler, dapat disimpulkan bahwa
wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen tidak dapat dilepaskan dalam
pengetahuan kedua unsur tersebut. Walaupun RMG memberikan pengetahuan
modern dan Kekristenan kepada masyarakat Batak, namun wacana kepemimpinan
Ompu i Nommensen memunculkan ambivalensi dalam memandang sosok
pemimpin, Nommensen, yang pada titik tertentu menandakan bahwa RMG di
dalam pekabaran Injilnya juga mengambil keuntungan dari kuasa tradisional, yakni
kedudukan Raja Singamangaraja, sehingga bagaimanapun berpengaruh dalam
pandangan dan sikap pengikut kepada pemimpinnya. Itu artinya, wacana
kepemimpinan Ompu i yang sebelumnya merupakan wacana tradisional “diangkat
naik” menjadi wacana kolonial, atau dalam perspektif psikoanalisa budaya sebagai
suatu penanda utama atas hukum kolonial, sehingga dalam tataran ini memiliki
kepentingan demi suatu sistem hirarkis yang di satu sisi dapat dikatakan sebagai
suatu penguasaan atas raja-raja, dan di sisi lain, sebagai pengambilalihan kekuasaan
kelompok Parbaringin yang selama ini mereproduksi kesatuan masyarakat Batak,
khususnya Toba dalam wacana kepemimpinan Singamangaraja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
C. Praktik Wacana Ompu i: Sejarah “Kelam” Pekabaran Injil
di Tanah Batak (Perang Toba I)
Konstruk kekuasaan yang dibangun oleh RMG mendapatkan tempatnya
ketika sistem sosial masyarakat Batak tradisional digunakan. Pendekatan terhadap
raja dilakukan yang kemudian diproduksi berdasarkan nilai-nilai Kekristenan
melahirkan suatu komunitas baru, yakni kerajaan Kekristenan. Namun demikian
sebagai suatu sekutu dari pihak kolonial Belanda, konstruk kekuasaan ini justru
semakin memperlihatkan adanya kepentingan kolonialisme dari sekedar hanya
membawa dan menyebarkan nilai-nilai Kekristenan. Sikap superioritas sebagai
bangsa Eropa atas konstruk kekuasaan tersebut memiliki maksud terselubung dari
pekabaran Injil yang dilakukan RMG.
Walaupun pada awal masuknya RMG ke Tanah Batak, RMG tidak
mengharapkan campur tangan pihak kolonial namun tidak dapat dipungkiri bahwa
kesatuan antara badan zending dengan pihak kolonial masih melekat dalam bentuk
Eurosentrisme. Hal ini tak lepas dari konteks yang berkembang pada abad ke-18
dan 19, di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang di Eropa. Sikap
superioritas bangsa Eropa melahirkan rasisme dalam memandang bangsa di luar
diri mereka. Bahkan di wilayah Jerman sendiri perkembangan rasisme seolah tak
dapat dibantahkan, di mana hal ini juga berlaku bagi para misionaris RMG yang
bermukim diluar Jerman bahwa pemerintah Jerman tidak memperbolehkan para
zending untuk menikah dengan bangsa pribumi.27 Dengan demikian, nilai-nilai
27 Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 42-43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
Kekristenan yang dibawa oleh zending berusaha menutupi dan menyamarkan sikap
superioritas, rasisme yang ada di dalam bangsa Eropa.
Praktik-praktik kekuasaan yang diterapkan RMG dalam menundukkan raja-
raja di Toba pada Perang Toba I (1878) adalah fenomena yang tak dipungkiri
sebagai pendekatan dalam bentuk aturan-aturan dalam menciptakan kekuasaan; dan
dibalik semua itu adalah dengan penaklukkan raja-raja dengan kekerasan
militerisme. Dalam BRMG terlihat dengan jelas keterlibatan Nommensen akan
penaklukkan para raja dalam ekspansi ke Toba, meskipun ia tetap mengedepankan
dan mengandalkan dialog kepada para raja. Dalam ekspansi tersebut, kekerasan tak
dapat dihindarkan. Selain menimbulkan korban, beberapa kampung yang menolak
untuk tunduk kepada pihak kolonial berakibat kepada pembakaran kampung-
kampung. Dari sini dapat dikatakan bahwa dalam misi Perang Toba I, maka
keterlibatan RMG bukan hanya pada keikutsertaan Nommensen dalam misi
militerisme tersebut, tetapi juga ketika RMG mengambil keuntungan dari aksi
militerisme tersebut dengan takluknya perlawanan para raja di wilayah Toba, yakni
keuntungan dalam mempercepat proses masuknya Injil, serta memperluas wilayah
kekuasaan RMG di Tanah Batak.
Di mata RMG, ekspansi ini dianggap sebagai suatu kebaikan bagi
masyarakat Batak dengan menyalahkan raja-raja yang tidak mau tunduk kepada
pihak Belanda.28 Pandangan ini menunjukkan adanya kesepemahaman antara RMG
dengan pihak kolonial dalam mengandalkan kekuatan militer, di mana paling tidak
28 Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 156.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
kesepemahaman tersebut memiliki kesamaan dalam memandang bangsa di luar
Eropa sebagai bangsa “primitif” yang perlu dirubah, dididik, dan diadabkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan RMG di Tanah Batak
menunjukkan bentuk agresi kolonialisme, di mana badan zending RMG mengambil
bagian dalam ke-5 agresi kolonialisme seperti yang didefinisikan oleh Stephen
Neill29, yakni sebagai misi pengadaban.
Terbentuknya komunitas baru yang dilakukan oleh RMG memiliki sejarah
“kelam” bagi masyarakat Batak akan adanya rezim kekuasaan kolonialisme bangsa
Eropa. Hal ini menandakan bahwa komunitas baru tersebut justru memperlihatkan
sebaliknya, dari sekedar misi pekabaran Injil, yakni memiliki kepentingan dalam
menciptakan pengaruh Eurosentrisme ke bangsa Batak. Sedangkan dalam
pembentukan wacana kekuasaan kepemimpinan Ompu i Nommensen, maka
wacana kepemimpinan ini memberlakukan sikap penyingkiran dan kekerasan
kepada raja-raja dan pengikut. Hal ini menjadi penting mengingat ketimpangan
akan relasi kuasa akan muncul akibat bentuk penyingkiran, penindasan, dsb. yang
berimbas pada munculnya bentuk-bentuk resistensi atau dekonstruksi.
Sebelumnya, legalitas atas hukum baru di dalam komunitas baru juga telah
ditegakkan sebagai bentuk penyingkiran raja-raja atau masyarakat yang memeluk
agama tradisional Batak yang sebelumnya menjadi tuan atas wilayahnya.
29 Kelima agresi kolonialisme tersebut menurut Stephen Nell adalah agresi politik,
ekonomi, sosial, intelektual dan misi. Lih. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions
(London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966), hl. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Mungkin bagi sebagian masyarakat Batak yang tunduk dengan pemerintah
kolonial, hal ini tidaklah begitu terasa mengingat tidak terjadinya bentuk kekerasan
di wilayah mereka, terlebih konstruk yang dibangun oleh RMG memperlihatkan
kerapihan dalam bentuk wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen yang
dibuktikan dengan masih digunakannya wacana kepemimpinan Ompu i ini hingga
sekarang. Konstruk tersebut berusaha meyakinkan masyarakat dalam membentuk
komunitas baru yang berdasarkan kepada hasratnya dalam suatu hamajuon,
sehingga menjadi dasar dari pengetahuan akan komunitas baru tersebut, di mana
dengan Surat Kuliling Immanuel, konstruk itu terjadi dalam bentuk bahasa
kekuasaan yang memberikan suatu sikap kedisiplinan kepada raja-raja atau
masyarakat Batak Kristen sebagai sesuatu yang tidak disadari. Namun demikian,
sesuatu hal yang berbeda justru dialami sebagian masyarakat yang merasakan
adanya kekerasan yang dilakukan pihak kolonial dan RMG yang justru akan
memunculkan bentuk resistensi.
D. Kesimpulan
Pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen merupakan
suatu produk kekuasaan modern. Pembentukan wacana ini ingin menciptakan
pengetahuan masyarakat Batak mengenai sosok kepemimpinan yang justru akan
membawa kepada supremasi bangsa Eropa. Gambarannya terlihat dengan adanya
pembentukan komunitas baru yang menggabungkan rasionalitas bangsa Eropa
dengan adat dan budaya lokal (hibrid) sebagai suatu aturan-aturan dan praktik-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
praktik pembentukan wacana yang notabene adalah sebagai suatu bentuk paham
kolonialisme bangsa Eropa atau wacana kolonial, di mana bangsa Eropa tampil
sebagai penguasa. Sistem Suhi Ampang Na Opat, penerapan pendidikan modern,
janji atas hamajuon, dsb adalah aturan-aturan dan praktik-praktik tersebut dalam
pembentukan wacana. Nilai-nilai Kekristenan yang dibawa oleh RMG justru
berkata sebaliknya dengan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana
kepemimpinan masyarakat Batak tradisional, sehingga mengakibatkan ambivalensi
dalam pengetahuan akan wacana Ompu i Nommensen. Pandangan pengikut
terhadap sosok pemimpin sebagai “Debata Na Tarida” yang justru bertentangan
dalam pandangan Alkitab yang menekankan egaliterisme, digunakan untuk
menundukkan masyarakat Batak dalam bentuk pengkultusan yang di dalamnya
rasisme hadir. Inilah yang kemudian memunculkan kerancuan dalam hal penafsiran
tentang memandang pemimpin dalam wacana Ompu i Nommensen, baik secara
paradigmatik maupun praksisnya.
Hal ini kemudian menjadi berhubungan dengan konteks yang berkembang
di Eropa abad ke-18 dan 19 di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang
dan mempengaruhi RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak. Wacana-
wacana kolonialisme dan superioritas bangsa Eropa terbesit dalam paham para
misionaris RMG dengan dalih sebagai suatu bentuk pengadaban dan kemajuan bagi
masyarakat Batak. Dalam konteks ini maka bagaimanapun RMG berada di dalam
kursi kekuasaan bersama pemerintah kolonial Belanda yang menghalalkan segala
cara dalam menundukkan dan menaklukkan bangsa pribumi di bawah kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
bangsa Eropa. Kekerasan, pembunuhan yang terjadi pada raja-raja Batak adalah
kisah faktual dalam perebutan kekuasaan.
Wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen justru melahirkan kehidupan
sosial masyarakat Batak yang tanpa disadari telah membangun ketimpangan dalam
hubungan pemimpin dan pengikut (relasi kuasa), di mana pemimpin sebagai pihak
penguasa telah membangun komunitas baru yang tidak mengakomodasi seluruh
masyarakat Batak. Sistem kerajaan Kekristenan yang dibangun bagi sebagian
masyarakat Batak dianggap sebagai suatu hamajuon, namun bagi sebagian yang
lain adalah sejarah “kelam” dalam hubungan yang dijajah dan penjajah. Hal inilah
yang perlu mendapatkan penekanan, di mana praktik kekuasaan memunculkan
ketimpangan relasi kuasa, yang dengan menggunakan adat dan budaya Batak,
bentuk relasi kuasa tersebut tercermin dalam hubungan sikap superior dan inferior,
yang sayangnya hubungan yang seperti ini akan selalu memunculkan kontroversi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |182
BAB V
PENUTUP
RELASI KUASA DALAM WACANA KEPEMIMPINAN
OMPU I EPHORUS HKBP
Kesatuan masyarakat Batak tidak dapat dilepaskan dari wacana
kepemimpinan Ompu i. Paling tidak, sejarah telah mencatat bahwa kesatuan ini
menyangkut kepada komunitas komunal masyarakat Batak yang di dalamnya unsur
religi dan sekuler saling berhubungan.
Dalam masyarakat Batak Toba tradisional, wacana kepemimpinan Ompu i
berada dalam struktur yang melekat dalam kesatuan para raja bius, kelompok
Parbaringin, serta masyarakat Batak Toba sendiri. Hal ini tidak lepas dari ikatan
religiusitas sebagai suatu konsep pemahaman masyarakat Batak, di mana Raja
Singamangaraja diyakini sebagai seorang yang mampu mengakomodasi ketiga
struktur tersebut, meskipun Raja Singamangaraja adalah juga bagian dari raja bius
Bangkara. Hal ini menandakan bahwa kuasa religiusitas mengambil bentuk dan
tempatnya dalam suatu sistem struktur masyarakat Batak. Raja Singamangaraja
diyakini memiliki sahala yang berasal dari tuhan/dewa, sehingga mampu
menyatukan dan memimpin masyarakat Batak.
Dari pandangan ini maka relasi kuasa dalam wacana Ompu i Raja
Singamangaraja berada dalam kaitannya antara unsur sekuler dengan religi, di mana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |183
hubungan pemimpin dan pengikut diikat dengan sistem struktur masyarakat Batak
(Suhi Ampang Na Opat) dengan pemerintahan konfederasi dan keyakinan pengikut
terhadap pemimpin sebagai titisan dewa. Keduanya saling berkaitan sehingga
praktik-praktiknya dilanggengkan.
Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak merubah dan mereproduksi
wacana kepemimpinan Singamangaraja dalam mewujudkan kekuasaannya dengan
tampilnya Nommensen, seorang Jerman, sebagai pemimpin. Perwujudannya adalah
praktik-praktik yang dilakukan Nommensen dalam mempersatukan bius-bius dan
masyarakat Batak dibawah pemerintahan/kerajaan Kekristenan. Namun demikian
proses reproduksi ini atau pembentukan wacana ini justru menggambarkan adanya
kepentingan dalam wacana kolonial sebagai suatu hal yang tidak disadari.
Hal ini sangat terlihat jelas di dalam Surat Kuliling Immanuel bahwa adanya
perwujudan komunitas baru dalam menggantikan komunitas yang lama atau dinasti
Singamangaraja merupakan buah hasil konstruk RMG sebagai pihak kolonial yang
menciptakan menciptakan dan menempatkan Surat Kuliling Immanuel sebagai
media yang mengkonstruk atau memberikan opini umum kepada masyarakat dan
kaum intelektual (raja-raja). Beberapa konstruk itu antara lain:
1. Imajinasi komunitas dan pengetahuan modern. Dalam Surat Kuliling
Immanuel, adanya narasi-narasi dari pekabaran Injil di Borneo, Tanzania,
dll. memberikan imajinasi bagi masyarakat Batak. Hal ini secara tak
langsung merupakan konstruk RMG untuk melepaskan masyarakat Batak
dari keterisolasiannya. Melepaskan ikatan-ikatan tradisi menuju imajinasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |184
baru yang mampu keluar ke dalam doktrin Eropanisasi. Namun demikian
hal ini juga diperkuat dengan adanya pengetahuan modern yang diberikan
oleh RMG kepada masyarakat Batak. Rasionalisasi Eropa yang diyakini
menjadikan bangsa Eropa maju disebarkan dalam suatu misi pengadaban
sebagai suatu hamajuon untuk menggantikan pemahaman-pemahaman
yang bersifat klenik dan mitos-mitos.
2. Adanya hukum baru menggantikan yang lama. Hal ini terlihat dari adanya
standarisasi dalam bentuk fungsi dan perilaku raja-raja yang sesuai dengan
keinginan RMG. Raja Pontas adalah salah satu yang sering digunakan
menjadi contoh dari sikap raja. Selain itu adanya hukum baru terlihat
dengan adanya musuh bersama bagi komunitas baru tersebut yang notabene
adalah masyarakat pribumi itu sendiri, yakni kelompok Parbaringin, Raja
Singamangaraja dan Muslim. Peristiwa yang dialami oleh kelompok
Parbaringin ini justru bertolakbelakang ketika sebelum masuknya RMG, di
mana kelompok ini justru memiliki hak dan kebebasannya di Tanah Batak.
Namun demikian, walaupun RMG menerapkan hukum baru, RMG tetap
menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak dengan tetap
memfungsikan dan memberdayakan raja-raja.
3. Konstruk terhadap pemimpin. Salah satu unsur terpenting dalam suatu
komunitas adalah kedudukan pemimpin dalam komunitas tersebut.
Pentingnya Raja Singamangaraja di tengah-tengah masyarakat Batak juga
tak lepas dari kedudukan dan perannya ditengah-tengah masyarakat Batak.
Hal ini turut diamati oleh para Misionaris yang melihat kedudukan Raja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |185
Singamangaraja, sehingga membuat Raja Singamangaraja tak lepas dari
konstruk atau opini umum yang dibuat oleh RMG. Surat Kuliling Immanuel
hadir dalam membangun opini umum tersebut. Namun demikian puncaknya
adalah bahwa dalam konstruk tersebut menghadirkan pemimpin baru
dengan wacana-wacana yang meninggikan Nommensen. Hal ini dapat
dikatakan sebagai wacana tandingan dalam menegasi pengaruh
kepemimpinan Raja Singamangaraja dan mengafirmasikan Nommensen
sebagai sosok pemimpin.
Ketiga konstruk di atas adalah upaya-upaya RMG dalam menciptakan
(pengetahuan) komunitas baru dengan tampilnya Nommensen menjadi pimpinan
sebagai suatu hal yang tanda disadari telah membentuk wacana kepemimpinan yang
baru. Hal ini semakin diperjelas dengan keterlibatan dan kesepemahaman RMG
dengan pihak pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan raja-raja di Tanah
Batak dengan menggunakan kekerasan militer pada Perang Batak Pertama untuk
memperluas komunitas tersebut, sebagaimana dituangkan dalam BRMG, walaupun
RMG selalu berusaha untuk menutupi adanya keterlibatan tersebut dengan
membentuk opini-opini umum.
Dengan demikian dari konstruk-konstruk tersebut maka wacana
kepemimpinan Ompu i Nommensen dapat dikatakan sebagai suatu produk rezim
kolonial, di mana RMG tampil dalam menciptakan kekuasaan untuk membawa
supremasi bangsa Eropa sebagai suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan dari pengikut
- masyarakat/komunitas Batak Kristen - kepada pemimpinnya, yakni Nommensen
(baca: bangsa Eropa). Hal ini semakin diperjelas dengan munculnya Aturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |186
Peraturan 1881 yang lebih bersifat hirarkis sebagai sesuatu yang bertolak belakang
dari konsep yang selama ini dilakukan Nommensen, atau dalam konsep Suhi
Ampang Na Opat menekankan konsep kekuasaan wilayah kepada Raja bius,
sedangkan kesatuan tunggal hanya dipahami dalam sistem konfederasi. Tentunya,
sistem hirarki semacam ini menempatkan pihak asing memiliki otoritas mutlak
dalam mengambil keputusan sewenang-wenang mengingat adanya kesatuan
pemerintah kolonial Belanda dengan RMG.1
Dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen kepatuhan ini tentunya
tanpa disadari memunculkan bentuk pengkultusan atau hierophany yang menurut
Mircea Eliade ingin menunjukkan pola manifestasi dari yang sakral,2 karena
memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana kepemimpinan
Singamangaraja yang notabene adalah sebagai “Debata Na Tarida”. Hal ini menjadi
lumrah karena bagi pengikut, bentuk kepemimpinan Ompu i Nommensen
menandakan adanya peniruan antara wacana kolonial dengan wacana tradisional,
di mana pengikut memiliki pengalaman yang hakiki dalam wacana kepemimpinan
Singamangaraja yang tentunya dengan kehadirannya (Nommensen)
membayangkan suatu komunitas menuju kepada hamajuon sebagai suatu berkat
dari Tuhan; dan dalam sudut pandang tersebut, Nommensen dapat dikatakan telah
berhasil meyakinkan dan menciptakan hamajuon melalui praktik-praktiknya
1 Sikap hirarkis ini nantinya tercium dengan munculnya aksi resistensi yang dilakukan
sebagian kelompok-kelompok lokal (pribumi) kepada para misionaris asing (baca: RMG), misalnya
H Ch. B (Hatopan Christen Batak) yang puncak pertentangannya terjadi pada tahun 1928 dan Gereja
Punguan Kristen Batak (GPKB) pada 1920. Bentuk kesewenang-wenangan ini dapat berupa
masalah kebijakan akibat sentralisasi-gereja hingga masalah mencampuri urusan tanah. Lih. HKBP,
Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun (Tarutung: HKBP,
1986), hl. 29-30. 2 Mircea Eliade, Sakral dan Profan (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hl. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |187
kepada komunitasnya atau pengikutnya dalam suatu praktik diskursif. Dengan
pandangan ini faktor Nommensen dalam pembentukan wacana ini sangatlah
penting, serta mampu menutupi kehirarkian yang dibangun pihak RMG kepada
masyarakat Batak
Dari pengetahuan ini maka relasi kuasa dalam wacana Ompu i Nommensen
pada praktiknya tetap berada dalam hubungan antara sekuler dengan agama. Kedua
hubungan ini memunculkan relasi yang tidak seimbang antara pemimpin dan
pengikut, di mana pengikut selalu mengikuti pemimpinnya dalam aturan sistem
struktur sosial masyarakat yang mengikat dan juga kuasa religi dalam bentuk
pengkultusan yang meyakini kehadiran Nommensen sebagai dewa yang harus
dipatuhi dan sebagai raja yang mampu membawa hamajuon; sesuatu yang tidak
mampu dilakukan oleh Singamangaraja.
HKBP yang menggunakan gelar Ompu i kepada pemimpinnya, yakni
Ephorus, sebagai kelanjutan dari Nommensen justru menjadikan HKBP memiliki
ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan pemimpin dan pengikut. Paling tidak,
ketimpangan relasi kuasa tersebut berada dalam tiga hal, yakni:
1. Pengkultusan. Salah satu yang menyebabkan adanya ketimpangan dalam
relasi kuasa salah satunya adalah pengkultusan. Ketika HKBP tetap menjaga
tradisi gelar Ompu i kepada Ephorus maka bagaimanapun wacana ini
mengandung nilai-nilai religi yang berasal dari agama tradisional
masyarakat Batak. Dalam mengabarkan Injil di Tanah Batak maka RMG
tidak sepenuhnya meninggalkan wacana-wacana tradisional. Bahkan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |188
mereproduksi kekuasaan, RMG justru memanfaatkan keuntungan dari
wacana kepemimpinan Singamangaraja untuk mendapatkan kekuasaan
dengan membandingkan dan juga mengimitasi kekuasaan Singamangaraja
yang notabene dipandang sebagai titisan dewa. Hal inilah kemudian yang
membuat imajinasi dalam gelar Ompu i seolah tidak terhindarkan dalam
bentuk pengkultusan, walaupun dalam misinya, RMG juga menyertakan
pendidikan modern sebagai bentuk pengadaban.
Dengan demikian bentuk pengkultusan di dalam tubuh HKBP atau
antara Ephorus dengan jemaat memiliki ketimpangan dalam relasi kuasa
dengan memandang Ephorus sebagai titisan dewa. Hal ini dapat terlihat dari
sikap pengikut (jemaat) kepada pimpinannya (Ephorus). Dengan adanya
gelar Ompu i ini maka secara tidak langsung akan menghilangkan sikap
egaliter di tubuh HKBP, yang dalam hal ini sangat bertentangan dengan
Alkitab yang melihat sesama sebagai suatu kesetaraan (Galatia 5: 14).
Mekanismenya adalah dengan pengkultusan maka ketika gelar
tersebut berusaha memistifikasi hubungan pemimpin dan pengikut sebagai
suatu keabsolutan pada otoritas pemimpin, atau dengan kata lain, sebagai
sesuatu yang tidak boleh dipertanyakan oleh pengikut kepada pimpinannya,
baik itu masyarakat awam maupun kaum imam.
2. Kerajaan Kekristenan. Pengaruh lain yang membuat adanya ketimpangan
dalam relasi kuasa adalah adanya sistem kerajaan. RMG dalam
melaksanakan misinya di Tanah Batak berusaha mengkonstruksi
masyarakat tradisional menjadi kerajaan Kekristenan. Dalam reproduksinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |189
itu RMG tetap menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak
tradisional, yakni Suhi Ampang Na Opat, meskipun ada perubahan dari
struktur yang lama, baik itu menyangkut wilayah dan struktur jabatan, tetapi
paling tidak, RMG tetap mengikutsertakan raja-raja dalam melaksanakan
misinya.3 Dengan demikian dapat dikatakan pembentukan komunitas baru
tersebut adalah membentuk komunitas kerajaan Kristen, di mana
Nommensen tampil sebagai sosok pemimpin.
Penggunaan sistem struktur sosial ini terjadi ketika adanya kesatuan
antara unsur sekuler dengan religi, di mana praktik-praktik yang dilakukan
Nommensen tidak hanya kepada urusan agama atau gereja tetapi lebih dari
pada itu, yakni pada urusan adat, sosial, ekonomi, dsb. Hal inilah yang
memunculkan peniruan kepemimpinan Raja Singamangaraja melalui
praktik-praktiknya, di mana ketika berhubungan dengan unsur religi,
Nommensen dianggap memiliki peran sebagai seorang raja. Dalam
kapasitas ini maka pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP
mengindikasikan posisi raja dalam masyarakat Batak, atau yang tidak hanya
dibatasi pada masalah organisasi HKBP belaka. Disamping adanya
kesatuan unsur religi dengan sekuler, maka faktor lainnya penyebaran
masyarakat Batak yang semakin menyebar dan tidak lagi bermukim di
Tanah Batak. faktor ini mengindikasikan bahwa kuasa wacana
kepemimpinan Ompu i ini tidak lagi terikat kepada bius-bius, sebagai yang
3 Adanya perubahan dalam sistem struktur yang digunakan RMG adalah bahwa RMG tidak
menempatkan jabatan-jabatan dalam bius-bius yang seperti yang ada di sistem struktur Dinasti
Singamangaraja, misalnya jabatan Pande Bolon, Pande Mulia, Pande Raja, dll.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |190
lembaga pengawas yang memunculkan represi dalam bentuk etika, moral,
pengetahuan, dsb.
Hal ini tidak dapat dipungkiri menjadikan adanya ketimpangan
dalam relasi kuasa selayaknya hubungan raja dengan pengikutnya: pantun
marraja (tunduk kepada raja). Terlebih dalam reproduksi wacana
kepemimpinan yang dilakukan RMG ini semakin mengalami pergeseran
dengan munculnya kehirarkisan dalam sistem Episkopal yang digunakan
HKBP semasa RMG dengan memusatkan kekuasaan kepada pemimpin
tertinggi, yakni Ephorus HKBP pada Aturan Peraturan 1881.4 Salah satu
faktor tidak adanya resistensi pengikut kepada Ephorus pada masa itu
adalah faktor Nommensen sendiri yang diyakini membawa kesatuan
masyarakat Batak (baca: pengikut) dan hamajuon. Namun demikian ketika
Ephorus HKBP menggunakan gelar Ompu i yang berasal dari Nommensen,
maka terdapat perbedaan konteks antara saat ini dengan zaman
Nommensen, di mana pada saat ini pemisahan antara dunia sekuler dengan
religi sudah terbentuk dan terlihat dengan jelas yang justru tidak terjadi pada
masa Nommensen.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemakaian gelar tersebut tidak memiliki
relevansi pada konteks saat ini akibat adanya pemisahan antara urusan
sekuler dengan religi yang membuat kekuasaan gereja dibatasi hanya pada
4 Menurut PTD Sihombing, sebelum munculnya Aturan-Peraturan 1881 telah ada gagasan
dari para petinggi zending RMG untuk membentuk Dewan Gereja (cikal bakal Majelis Pusat atau
Parhalado Pusat HKBP) yang mengawasi kinerja Ephorus HKBP demi menyenangkan jemaat
Batakmission (HKBP). Namun demikian hal ini baru terealisasi pada saat Ephorus dipimpin oleh
Johannes Warneck pada 1927. Lih. Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang (Humbang: Albert-Orem
Ministry, 2008), hl. 235.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |191
urusan keagamaan, meskipun pada praktik-praktiknya masih terlihat fungsi
dan peranannya di beberapa aspek, khususnya yang menyangkut dalam
hubungan adat dan budaya Batak, misalnya pesta marga-marga, dsb.
Dengan demikian secara struktur kekuasaan, wacana Ompu i Ephorus justru
mengalami pengreduksian kekuasaan dalam bentuk fungsi dan objeknya
yang sepatutnya bahwa wacana ini harus ditanggalkan untuk
menghindarkan “overlapping” kekuasaan.
3. Rezim kolonial. Tidak dapat dipungkiri bahwa terbentuknya
wacana Ompu i Nommensen memiliki sejarah “kelam” bagi masyarakat
Batak pada Perang Toba I. Wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen
merupakan suatu produk rezim kolonial untuk mereproduksi kekuasaan.
Yang paling terlihat adalah adanya keterlibatan RMG dalam misi
militerisme pada Perang Toba I dan juga adanya sikap mengambil
keuntungan dari misi militerisme tersebut dengan tunduknya raja-raja yang
berimbas kepada semakin cepatnya dan semakin luasnya wilayah kekuasaan
RMG. Dengan adanya kolonialisme dalam wacana ini maka berimbas
kepada ketimpangan relasi kuasa yang tidak hanya berkaitan bagi
masyarakat Batak Kristen yang mengalami kekerasan tetapi juga kepada
pemeluk agama tradisional Batak yang mengalami trauma akibat kekerasan
yang terjadi. Hal semacam ini akan berimbas kepada munculnya bentuk-
bentuk resistensi dan dekonstruksi akan adanya wacana kolonial tersebut.
Munculnya gerakan Parmalim, Raja Batak dan Parhudamdam yang berasal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |192
dari kelompok Parbaringin menunjukkan bentuk perlawanan atau resistensi
tersebut.
HKBP yang masih memegang tradisi dalam penggunaan gelar
Ompu i kepada Ephorus maka akan selalu membawa wacana kolonial di
tubuhnya sendiri yang akan menjadi “monumen” akan ingatan masa lalu
yang berimbas kepada bentuk-bentuk resistensi, maupun dekonstruksi
kepada dirinya sendiri.
Ketiga hal di atas menyebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara
pemimpin dan pengikut yang mengindikasikan akan adanya manipulasi dalam
suatu organisasi melalui represi, yang seperti Foucault katakan, menciptakan
kepatuhan, kedisiplinan, atau ketaatan dalam bentuk sikap, rasa, etika, dll yang
cenderung dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Sehingga ketika dikaitkan dengan sistem organisasi akan berimbas kepada roda
organisasi yang tidak dapat berjalan semestinya akibat pengreduksian sistem
pengawasan, aturan-peraturan, dsb. Hal inilah yang kemudian HKBP perlu untuk
menanggalkan pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP secara holistik
demi suatu organisasi yang sehat dalam membangun kesetaraan antara pemimpin
dan pengikut, baik kepada jemaat awam maupun sesama kaum imam sendiri, di
mana tak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan historis wacana kepemimpinan
di Tanah Batak, gelar dan wacana tersebut selalu dimotori (direproduksi) dan
dibawah kepentingan gerakan keagamaan, baik itu kelompok Parbaringin ataupun
kelompok imam (para misionaris, pendeta Batak, Sintua atau majelis, dan guru)
sebagai kelompok yang mendominasi melalui persatuan dalam gerakan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |193
pemahaman. Selain itu, faktor lain yang menjadi alasan penting adalah adanya
wacana kolonialisme dalam gelar tersebut yang tak dapat dipungkiri dengan
pemakaiannya, HKBP akan selalu dibayang-bayangi dengan sikap resistensi dan
dekonstruksi. Metode-metode yang diterapkan RMG dalam melaksanakan misinya
di Tanah Batak dengan mengambil keuntungan menjadi pembentukan wacana
sebagai sesuatu yang perlu dikaji ulang dalam pembahasan mengenai misiologi dan
eklesiologi.
Memang bagi para pengikut Nommensen mampu membawa hamajuon
sebagai sesuatu yang tidak mampu dilakukan Singamangaraja dalam kesatuan
masyarakat Batak, namun demikian hal ini bukan berarti HKBP melanjutkan
warisan yang telah dilakukan Nommensen melalui aturan dan praktik diskursif,
melainkan perlu merevisi ulang wacana Ompu i dalam konteks kekinian, ketika
pemisahan religi dan sekuler dalam sistem struktur sosial masyarakat semakin jelas,
walaupun revisi ini akan mereduksi kuasa Ephorus HKBP, serta membiaskan kuasa
kaum imam dalam masyarakat Batak yang bagaimanapun reproduksi wacana Ompu
i, baik pada masa Singamangaraja dan Nommensen, selalu dikuasai oleh kelompok
agama, yakni kelompok Parbaringin dan kaum imam.
Hadirnya wacana Ompu i dalam tubuh HKBP dapat dikatakan HKBP telah
mereproduksi wacana ini ke wilayah kekristenan dengan mencerabut sisi
orisinalitas dalam struktur sosial, adat dan budaya Batak menjadi organisasi
keagamaan yang sifatnya hirarkis (episkopal). Tentunya, yang menarik adalah
ketika gelar Ompu i menjadi wacana kepemimpinan yang berhubungan dengan
budaya dan masyarakat Batak pada umumnya, sehingga menyebabkan wacana ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |194
tidak sekedar berhenti atau berjalan ditempat, tetapi mengalami reproduksi dalam
konteks kekinian. Dengan pemahaman akan diskontinuitas, maka produksi dan
reproduksi wacana dipahami dalam setiap relasi kuasa akan suatu pengetahuan
dalam sejarah atau periode tertentu.
Pasca meninggalnya Nommensen (1918), bentuk resistensi dalam wacana
Ompu i semakin banyak terjadi. Hal ini disebabkan adanya sesuatu hal yang tidak
dimiliki Ephorus lainnya yang ada di dalam diri Nommensen, yakni menciptakan
kesatuan para pengikut, serta membawa hamajuon. Bentuk resistensi bukan lagi
diperhadapkan dengan kelompok Parbaringin, melainkan juga dengan gerakan pro-
kemerdekaan yang menentang kepemimpinan bangsa asing, di mana pada tahun
1918, kelompok H.Ch.B. (Hatopan Christian Batak)5 yang didirikan oleh MH
Manullang memuat di majalah Immanuel mengenai gagasan tentang gereja-sentris
(sistem hirarkis) yang menyulut kepada sikap anti-kolonialisme.6 Dalam gerakan
tersebut sikap resistensi terlihat jelas dengan keinginan H.Ch.B. untuk bergabung
dengan gerakan pro-kemerdekaan. Tentunya wacana Ompu i sebagai fenomena
hubungan pemimpin dan pengikut mendapat reproduksi baru dari gerakan
nasionalisme sebagai bentuk relasi kuasa, di mana kepemimpinan HKBP semasa
5 HKB lahir pada 28 September 1917 di Balige dari kelompok paduan suara
Zangvereeniging Hadomuan. Awalnya kelompok ini hanya ingin membentuk kesatuan sosial semua
orang Kristen Batak. Tidak ada perkiraan yang nantinya akan memisahkan diri dan kemudian
membentuk suatu gereja batak tersendiri; cikal bakal menjadi HKI. Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hl. 89. 6 Menurut catatan Lance Castle seperti yang ditulis dalam bukunya PTD SIhombing, MH
Manullang lahir di Peanajagar 1881. Dia sering dianggap oleh para misionaris asing, khususnya Otto
Marcks, pendeta zending yang bertugas sebagai Bapak Asrama di Sekolah Narumonda, sebagai
”anak muda yang licik dan cerdik”, karena ayahnya berasal dari Bangkara dan memiliki kedekatan
dengan Raja Singamangaraja XII, walaupun telah dibaptis dengan nama Hezekiel dan mengikuti
sekolah zending (Sekolah Anak Raja). Lih. PTD Sihombing, Op. Cit., hl. 39.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |195
RMG menunjukkan kekuasaannya kepada masyarakat Batak (baca: pribumi)
melalui sistem hirarkis yang dibangunnya sendiri, khususnya kepada gerakan pro-
kemerdekaan; sesuatu hal yang justru bertentangan dengan pemahaman RMG
sendiri mengenai Konsep Volkschristianisierung, yang memiliki tujuan akhir
Missionsziel, perwujudan gereja rakyat yang mandiri.
Demikian juga dengan periode-periode selanjutnya, di mana kesatuan
masyarakat Batak dalam wacana Ompu i, justru mengalami keterpisahan akibat
adanya perbedaan bahasa, misalnya daerah Simalungun menjadi GKPS (Gereja
Kristen Protestan Simalungun pada 1963, daerah Angkola menjadi GKPA (Gereja
Kristen Protestan Angkola) pada 1976, dsb.
Dari semua peristiwa yang dialami HKBP dengan wacana kepemimpinan
Ompu i-nya, dapat dikatakan bahwa reproduksi wacana yang digunakan HKBP
menempatkan gelar ini pada dunia Kekristenan yang memiliki otoritas dalam
kesatuan masyarakat Batak. Namun ketika gelar ini sudah dicabut dari sisi
orisinalitasnya maka gelar ini menjadi fetish7 dalam kepemimpinan masyarakat
Batak. RMG mungkin dapat dikatakan yang mereproduksi gelar ini pertama kali
melalui pimpinan tertinggi di tubuh HKBP, namun reproduksi ini dapat selalu
dilakukan dalam konteks yang berbeda-beda.
7 Di dalam kamus psikoanalisa, fetish dikaitkan sebagai mekanisme disavowal
(pengingkaran) dalam bentuk perversion. Dengan pandangan ini maka Fetish adalah simbol
pengganti dari hilangnya “phallus”. Hal ini terjadi untuk menopang “sang ayah” yang merupakan
simbol kastrasi. Lih. Dylan Evans, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis
(London: Routledge, 1996), hl. 64.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |196
Salah satu reproduksi akan wacana ini adalah dalam diri Tiopan Bernhard
(T.B.) Silalahi. Mungkin bagi sebagian orang akan bingung dan bertanya mengenai
hubungan sosok T.B Silalahi dengan Ompu i Singamangaraja, atau mungkin juga
Nommensen, namun demikian wacana ini dapat terlihat dengan jelas dari museum
yang didirikannya, yakni Museum T.B. Silalahi Center.
Museum yang didirikan pada 7 Agustus 2006 dan diresmikan pada 17 April
2008 ini berlokasi di Balige, kabupaten Tobasa. Namun dibalik keberadaan
museum ini, Balige menjadi kota tempat pemakaman Raja Singamangaraja XII
setelah dipindahkan dari Tarutung pada 14 Juni 1953 sesuai dengan keputusan
Presiden Soekarno. Masyarakat di kota Balige mungkin tidak akan lupa bahwa
pemindahan tulang belulang Singamangaraja XII ke Balige sebagai suatu keinginan
Soekarno untuk melihat Balige sebagai kota yang terkenal dalam perang Batak;
sebuah kota yang terkenal dengan perjuangan Singamangaraja XII dan bukan
Tarutung yang terkenal dengan kota tawanan Belanda.8 Dengan latar belakang kota
kepahlawanan Singamangaraja XII inilah, TB Silalahi mendirikan museum ini.
Museum TB Silalahi Center memiliki dua museum, yakni museum TB
Silalahi yang memuat tentang pribadinya berupa: catatan sejarah perjalanan
hidupnya, koleksi pribadinya, dll., dan museum Batak yang berisi koleksi kekayaan
budaya dan sejarah Batak berupa artefak, arsip, dll. yang terdiri dari 6 puak, yakni
Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Di dalam museum
Batak tersebut, berdiri patung si Raja Batak yang diyakini sebagai manusia pertama
8 Diambil dari https://blogseputarrajasisingamangaraja12.wordpress.com/page/2/ Diakses
pada 5 Februari 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |197
dalam mitologi Batak, serta patung Raja Singamangaraja dan Nommensen yang
semakin melengkapi koleksi patung dari museum Batak. Namun demikian
gambaran reproduksi wacana kepemimpinan Ompu i sangat terlihat ketika pertama
kali memasuki museum TB Silalahi Center tersebut, di mana para pengunjung akan
disambut dengan patung TB Silalahi bersama dengan patung harimau.
Patung TB Silalahi dan patung harimau di Museum TB Silalahi Center
Apabila dipandang dari perspektif semiotika, susunan-susunan dalam
museum tersebut menghasilkan suatu pesan atau makna yang dapat ditangkap oleh
pengunjung; yang harapannya sesuai dengan makna dan tujuan museum itu sendiri,
dengan menjadikan museum sebagai suatu reproduksi yang dapat mengubah
persepsi masyarakat dengan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.9 Patung
TB Silalahi bersama seekor harimau merepresentasikan persona dalam bentuk
9 S. Brent Plate, Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through
The Arts (New York: Routledge, 2005), hl. 85. Dalam masyarakat Batak, kehadiran patung, dalam
hal ini patung TB Silalahi, selalu berkaitan atau tidak dapat dilepaskan dengan dalihan na tolu yang
dalam pengertian tertentu dapat melampauinya namun juga tidak menimbulkan jurang antara
monumen dengan diri (viewers). Kehadiran patung, dalam hal ini Patung TB Silalahi, memiliki
multiimage yang dalam pengertian Dalihan Na Tolu akan memberikan kedudukan tertentu melalui
marhata. Lih. Budi Susanto, Words and Blessings: Batak Catholic Discourse In North Sumatera
(New York: Dissertation from Cornell University, 1989), hl. 338.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |198
media. Memang menurut Marshall Mcluhan, seorang ahli dalam teori media, setiap
media selalu bersifat bias yang tidak bisa ditentukan penafsirannya atau
komunikasinya. Namun demikian sifat bias tersebut memiliki batasan tentang
bagaimana media tersebut digunakan atau diinterpretasikan.10 Batasan-batasan ini
secara tidak langsung berkaitan dengan pengetahuan dalam lingkungan masyarakat.
Dalam pengertian ini patung harimau yang berada disebelah patung TB Silalahi
dapat merepresentasikan deskripsi persona TB Silalahi. Mungkin gambaran
mengenai patung harimau, ataupun juga seperti singa, adalah gambaran akan sosok
raja hutan yang dapat mengindikasikan sosok TB Silalahi sebagai seorang yang
memiliki sahala raja. Namun demikian yang lebih penting lagi bahwa dalam tradisi
masyarakat Batak, harimau merupakan binatang yang dihormati, seperti yang telah
dikatakan dalam bab II, yang dahulu setiap orang yang menemukan jejak harimau
maka jejak tersebut sering disebut sebagai “bogas ni ompu i” (jejak Ompu i). Hal
ini mengindikasikan deskripsi atau interpretasi dari TB Silalahi ditengah
masyarakat Batak.
Namun yang menarik kemudian, bahwa secara keseluruhan museum
tersebut justru menempatkan sosok Nommensen dan Singamangaraja XII berada
dibelakang (baca: lokasi) dari patung TB Silalahi; yang akan mendeskripsikan suatu
gambaran TB Silalahi yang menaungi kedua tokoh tersebut. Tidak ada deskripsi
mengenai pertikaian antara kedua tokoh ini. Keduanya memiliki kepahlawanannya
masing-masing. Mungkin bagi TB Silalahi yang menghabiskan karirnya di dunia
10 Eric McLuhan & Frank Zingrone, (eds.), Essential McLuhan (London: Routledge, 1995),
hl. 82-89.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |199
militer, ia menjadikan atau memberikan dirinya sebagai sosok pengayom,
pelindung bagi masyarakat Batak. Hal ini juga dipertegas dengan kalimat yang
dituliskan dibalik patung dirinya: “Nasa na ni lehon Mi, tondi rodi pamatangku,
Hosa dohot gogongki, rodi saluhut artangku, Hupasahat i tu Ho, na so unsatonku
do.” (Semua yang diberikan Tuhan, roh dan juga daging, Nafas dan kekuatanku
sampai dengan hartaku, kupersembahkan kepadaMu setulus hati)
Kalimat yang diambil dari syair lagu doa persembahan dalam tata ibadah
HKBP ini merupakan lagu yang dengan menyanyikannya akan selalu
mengingatkan bahwa segala kekayaan yang ada merupakan milik Tuhan yang harus
dikembalikan kepada-Nya. Syair ini mungkin baginya mewakili kediriannya dalam
pengabdiannya kepada masyarakat. Namun yang pasti dalam konteks kekinian, TB
Silalahi telah mereproduksi wacana kepemimpinan Ompu i yang diindikasikan
melalui museum. Selayaknya fetish, maka istilah Saya Sasaki Shiraishi, seorang
anthropolog, mengenai selendang dapat memberikan ilustrasi dalam wacana Ompu
i ini bahwa dengan balutan selendang maka seorang bayi akan merasakan
ketenangan dalam dekapan seorang laki-laki; yang dalam pengertian ini selendang
menjadi pengganti dalam dekapan seorang ibu yang membuat kehangatan.11
Deskripsinya ingin menggambarkan reproduksi wacana kepemimpinan
Ompu i yang dilakukan oleh TB Silalahi bahwa dengan menggunakan tradisi
masyarakat Batak (Ompu i) maka akan memistifikasi hubungan pemimpin dan
11 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik
(Jakarta: KPG, 2001), hl. 82.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |200
pengikut sebagai suatu keluarga di mana masyarakat Batak akan diberikan
“kehangatan.” Memang museum ini justru mengindikasikan suatu dekonstruksi
atas sosok Ompu i Ephorus HKBP, namun demikian ketika HKBP atau RMG
berusaha mereproduksi wacana kepemimpinan ini ke dalam konteks Kekristenan,
maka reproduksi yang dibangun oleh TB Silalahi merupakan wacana
kepemimpinan bagi orang-orang yang memiliki harta atau kekayaan; yang
mengindikasikan konteks kapitalisme yang turut mempengaruhi reproduksi wacana
ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |202
Diam
bil d
ari Pd
t. Dr. Jan
S. Arito
nan
g, Sejarah P
end
idikan
Kristen
, hl. 2
81
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |203
Surat Kuliling Immanuel 1 Maret 1892 No 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |204
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |206
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |207
Surat Kuliling Immanuel 1 Juli 1892 No 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |209
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |210
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Aritonang, Pdt. Dr. Jan S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1988.
Aritonang, Pdt. Dr. Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Aritonang, Jan Sihar dan Steenbrink, Karel. Eds. A History of Christianity in
Indonesia. Leiden: Brill, 2008.
Anderson, Bennedict. Imagined Community: Reflections on The Origin and Spread
of Nationalism. London: Verso, 2006.
_______. Kuasa Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2000.
Burke, Peter. History and Social Theory. New York: Cornell University Press
Ithaca, 1992.
Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 1994.
Castle, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-
1940. Jakarta: KPG, 2001.
Chambert-Loir, Henri. Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia.
Jakarta: KPG, 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |211
Carrette, Jeremy R. ed. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan
Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Eliade, Mircea. Sakral dan Profan. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
End, Van den. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999.
Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London:
Routledge, 1996.
Fanon, Frantz. Black Skin, White Mask. London: Pluto Press, 1967.
Faubion, James D. ed. Michel Foucault: Power. Essensial Work of Foucault 1954-
1984: Paul Rabinow Series Editor.
Foucault, Michel. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1. New York:
Vintage Books, 1990.
________. Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta: Ircisod, 2012.
________. Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault. Yogyakarta:
Jalasutra, 2011.
________, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures at
Dartmouth. Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993.
________. Language, Madness, and Desire On Literature. Minneapolis: University
of Minnesota Press, 2015.
Frederiks, Martha. dkk. eds. Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour
of Jan A.B. Jongeneel. Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |212
Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A critical introduction. Sydney: Allen &
Unwin, 1998.
Hart, William D. Edward Said and The Religious Effects of Culture. Cambridge:
Cambridge University Press, 2004.
Hansen, George P. The Trickster and the Paranormal. Philadelphia: Xlibris, 2001.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga, 2011.
HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125
Tahun. Tarutung: HKBP, 1986.
Hutauruk, J.R. Kemandirian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Kozok, Uli. Utusan Damai Di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang
Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.
Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Pustaka Promethea,
2016.
Lumbantobing, Andar Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Lumbantobing, Adniel. Sedjarah Si Singamangaradja I-XII. Tarutung: Dolok
Martimbang, 1959.
Mannion, Gerard. cs. eds., The Routledge Companion To The Christian Church.
New York: Routledge, 2008.
Marsden, William. Sejarah Sumatra. Depok: Komunitas Bambu, 2013.
Mclellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Bantul: Kreasi Wacana, 2005.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |213
McLeod, John. Beginning Postcolonialism. Manchester: Manchester University
Press, 2000.
McLuhan. Eric & Zingrone, Frank. Eds. Essential McLuhan. London: Routledge,
1995.
Meerwaldt, J.H. ed. Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak
Sikola Metmet angka na di Rongkanan Pargindjang. Lagoeboti:
Pangarongkoman Mission, 1919.
Mills, Sara. Michel Foucault. London: Routledge, 2003.
Munthe, Rachman Tua. Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial –
Politik di Indonesia Periode 1890-1965. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011.
Nababan, Manguji. ed. Torsatorsa Hombung: Turiturian Ni Halak Batak. Medan:
Vanivan Jaya, 2015.
Nababan, Panda. Dkk. eds. Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap
Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan. Jakarta: Notulen Seminar
Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi, Yayasan Sinar Mampang,
1988.
Napitupulu, O.L. Perang Batak perang Si Singamangaradja. Jakarta: Yayasan
Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1972.
Neill, Stephen. Colonialism and Christian Missions. London: Mcgraw-Hill Book
Company, 1966.
Niebuhr, Richard. Christ and Culture. New York: Harper and Row, 1951.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |214
Niel, van Robert. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Pasaribu, Idris. Mangalua. Jakarta: Obor 2015.
Pedersen, P.B. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1975.
Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur
Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010.
Plate, S. Brent. Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion
Through The Arts. New York: Routledge, 2005.
Rabinow, Paul. ed. The Foucault Reader. New York: Pantheon Books, 1984.
Rafael, Vicente L. Ed. Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and
Colonial Vietnam. Ithaca: Cornell University: 1999.
Randwijck, S.C. Graaf van. Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga
Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989.
Reid, Anthony. Menuju Sejarah Sumatera. Jakarta: Pustaka Obor, 2011.
Said, Edward. Orientalism. London: Penguin Books, 2003.
Said, Muhammad. Singa Mangaradja XII. Medan: Waspada, 1961.
Sangti, Batara. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar, 1977.
Saukko, Paula. Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical
and New Methodological Approaches. London: Sage Publications, 2003.
Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-
Bass, 2004.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |215
Schreiner, Lothar. Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman
Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Siahaan B.A., N. Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak
Toba-Angkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo. Medan: C.V.
Napitupulu & Sons, 1964.
Sidjabat, Prof. Dr. W. Bonar. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan,
1982.
Siegel, James T. Fetish, Recognition, Revolution. New Jersey: Princeton, 1997.
Siegel, James T. Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Sihombing, T.M. Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Sihombing, Dr. PTD. Tuan Manullang. Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008.
Silalahi, Ulber Dr. MA. Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional
Masyarakat Toba. Medan: Bina Media Perintis, 2014.
Simanjuntak, Bungaran Antonius. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak
Toba. Jakarta: Obor, 2009.
Sinaga, Anicetus B. Dr. Allah Tinggi Batak-Toba: Transendensi dan Imanensi.
Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Shiraishi, Saya Sasaki. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam
Politik. Jakarta: KPG, 2001.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |216
Sitompul, A.A. Sitotas Nambur Hakristenon Di Tano Batak. Jakarta: Dian Utama,
2005.
Situmorang, Sitor. Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-
XX. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Tobing, PH. O.L. The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God.
Amsterdam: South and South-East Celebes Institue For Culture, 1963.
Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKIS,
2004.
Warneck, J. Kamus Batak Toba-Indonesia.
Warneck, Joh. The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In
Animistic Heathendom. London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867.
Wodak, Ruth. & Chilton, Paul. Eds. A New Agenda in (Critical) Discourse
Analysis. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005.
Zizek, Slavoj. ed. Mapping Ideology. London: Verso, 1994.
Zwartjes, Otto. Cs. Eds. Missionary Linguistic V: Translation Theories and
Practies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2014.
Refrensi Tulisan Akademis
Susanto, Budi. Words and Blessings: Batak Catholic Discourse In North Sumatera.
New York: Dissertation, Cornell University, 1989.
Winkler, Herald E. The Divided Roots of Lutheranism in South Africa. Disertasi
Department of Religious Studies University of Cape Town, 1989.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |217
Refrensi Majalah
Almanak HKBP 2015. Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2015.
Basis, Th ke-50, Maret-April 2001.
Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra,
in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam
Early Journal Content On JSTOR.
Historia, Nomor 27 Tahun III 2016.
Jurnal Polis Vol.3, 2010 University of Leeds.
Occasional Buletin, Juli, 1980.
Surat Parsaoran Immanuel HKBP edisi No. 9 September 2015 Tahun ke-125.
Surat Kuliling Immanuel No. 11, November 1893.
Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893.
Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892.
Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892.
Surat Kuliling Immanuel, No. 2, 1 Februari 1892.
Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1891.
Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1890.
Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890.
The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua.
Refrensi Internet
http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=23590. Di akses pada 24 Oktober
2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |218
https://www.facebook.com/notes/rizal-ebiet-ir/tigabelas-tesis-tentang-kerusuhan-
dan-konflik-sosial-pasca-soeharto-di-indonesia/10152452800962039.
Diakses pada 21 november 2015.
http://batakpedia.sourceforge.net/?page_id=9
http://fransaritonang.blogspot.co.id/2013/01/antara-nommensen-dan-
sisingamangaraja.html.
http://batakweb.blogspot.co.id/2010/02/suhi-ni-ampang-na-opat.html. Diakses
pada 4 September 2016.
http://www.kompasiana.com/itnaibaho.blogspot.com/sisingamangaraja-xii-bagian
-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed. Diakses pada 18
Maret 2016 pukul 22.25 WIB.
https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-
sisingamangaraja-xii/. Diakses pada 4 september 2016.
https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-
sisingamangaraja-xii/ Di akses pada 4 september 2016.
https://blogseputarrajasisingamangaraja12.wordpress.com/page/2/ Diakses pada 5
Februari 2017.
Wawancara
Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI