BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam buku Pengantar Hukum Adat Indonesia, Roelof van Dijk seorang sarjana hukum
berkebangsaan Belanda menulis bahwa pada hakikatnya frasa ‘hukum adat’ merupakan suatu
istilah yang merujuk pada hukum yang tidak dikodifikasikan yang diperuntukkan bagi kalangan
orang Indonesia Asli dan kalangan orang timur asing (china, Arab dan lain sebagainya).
Kata ‘adat’ yang semula merupakan unsur serapan dari bahasa arab pada akhirnya
diterima dalam perbendaharaan kata bahasa indoneisa yang berarti suatu kebiasaan-kebiasaan1.
Kebiasaan-kebiasaan yang lahir tersebut kemudian bermanifesatasi dalam bentuk kesusilaan di
semua lingkup tata kehidupan individu, masyarakat serta proses sosial yang terjadi dalamnya.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut pada perkembangannya menjadi sejenis aturan tidak langsung dan
menjadi landasan pedoman tingkah laku masyarakat komunal sehingga timbulah berbagai macam
persekutuan-persekutuan adat yang mencoba untuk mengaktualisasikan kehendak masyarakat
adat yang lahir dari berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan.
Persekutuan adat, sebagai bentuk dari cerminan keterwakilan aspirasi segolongan
masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat adat pada prakteknya berusaha untuk
menciptakan banyak sekali kaedah-kaedah yang dapat berlaku adaptif dan impresif bagi
masyarakat adatnya. Kaedah yang pada awalnya hanya berupa kebiasaan-kebiasaan pada
akhirnya menjelma menjadi suatu panduan atau tolak ukur dalam bertingkah laku di masyarakat.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut bahkan dibuat lebih ketat lagi dengan menerapakan sanksi adat
1 Imam Sudiyat, SH, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Tahun 2000, hal 11.
(adatsanctie) yang diperuntukkan bagi orang atau segolongan orang yang melanggar kebiasaan-
kebiasaan (adat) tersebut.
Oleh karena hukum adat tumbuh berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang hidup, tumbuh,
dan berkembang di tengah-tengah lingkungan masyarakat, maka perkembangan hukum adat itu
sendiri akan menghasilkan suatu ragam atau corak atau karakteristik yang diferensial. Perbedaan
tersebut terjadi sebagai akibat interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat adat tentu akan
berbeda pula prosesnya dengan interaksi sosial pada masyarakat adat lainnya. Hal tersebut bisa
terjadi karena berbagai faktor yang diantaranya adalah, faktor genealogis, tipologis wilayah,
pendekatan religius ideologis dan faktor-faktor lainnya.
Pada dasarnya, untuk mengetahui seberapa jauh konsistensi peenrapan hukum adat di
masyarakatnya adalah hal yang cukup sulit, hal tersebut karena diakibatkan beberapa hal sebagai
berikut, yaitu :
1. Hukum Adat masih terus dalam masa pertumbuhan; dan
2. Hukum Adat secara langsung membawa kita kepada 2 (dua) keadaan yang justru merupakan
sifat dan pembawaan hukum adat, yaitu :
a. Tertulis dan tidak tertulis;
b. Pasti atau tidak tidak pasti; dan
c. Hukum Raja atau Hukum Rakyat dan sebagainya.2
Indonesia, sebagai satu-satunya negara yang diakui sebagai tonggak awal bagi berdirinya
Hukum Adat pada kenyataannya memiliki pluralisme adat yang merupakan representatif dari
berbagai daerah tidak terkecuali dengan Provinsi Bengkulu. Lebih dari 10 (sepuluh) jenis
masyarakat adat yang tergabung dalam satu suku atau etnis yang mendiami Provinsi Bengkulu.
2 Ibid. hal 6.
Mulai dari penduduk asli, kaum pendatang termasuk kaum pendatang yang sudah terasimilasi
secara temporal dengan penduduk asli. Suku-suku tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Suku Rejang;
2. Suku Serawai;
3. Suku Melayu Bengkulu;
4. Suku Lembak;
5. Suku Pasemah;
6. Suku Enggano;
7. Suku Minangkabau;
8. Suku Jawa;
9. Suku Batak;
10. Suku Sunda dan lainnya.
Suku-suku tersebut pada dasarnya mewakili berbagai macam karakteristik masyarakat
adatnya masing-masing dengan tipologi budaya dan khasanah adat yang berbeda-beda juga. Suku
Serawai, sebagai salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu, secara domisili berada
dan berasal dari salah satu Kabupaten Seluma yang merupakan kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Bengkulu Selatan yang ada di Provinsi Bengkulu. Suku Serawai, dengan segala
keunikan dan kompleksitas adatnya tentu menjadikannya sebagai salah satu lingkungan
masyarakat adat yang sangat patut untuk dlindungi dan dilestarikan.
Pelestarian dan perlindungan hukum adat di suku (tanah/tana) Serawai secara yuridis
normatif tidak bertentangan dengan hukum positif yang menjadi landasan hukum utama di
Indonesia, asalkan proses legalisasi hukum tersebut tetap memperhatikan asas-asas dan
mekanisme pembentukan hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi Masalah yang menjadi dasar dari penyusunan Naskah Akademik tentang
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat Tanah
Serawai (KHATS) adalah sebagai berikut :
1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Seluma dalam menyusun
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum
Adat Tanah Serawai ?
2. Mengapa diperlukan suatu penyusunan Rancangan Peraturan Daerah untuk melestarikan dan
melindungi hukum adat tanah serawai ?
3. Apa yang menjadi landasan pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis dari penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum
Adat Tanah Serawai ?
4. Sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan seperti apa yang
diperlukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang
Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai.
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik
Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik yang menjadi dasar dari penyusunan Naskah
Akademik tentang Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan
Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) adalah sebagai berikut :
1. Keberadaan atau eksistensi dari hukum adat tanah serawai pada dasarnya telah dibukukan
secara tertulis dalam Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) namun dalam
perkembangannya untuk dapat terus melindungi dan melestarikan hukum adat tanah serawai
di Kabupaten Seluma diperlukan beberapa mekanisme hukum yang diatur berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme hukum inilah yang harus dilakuakn
oleh Pemerintah Kabupaten Seluma untuk melegalformalkan Kompilasi Hukum Adat Tanah
Serawai ke dalam suatu bentuk Peraturan Daerah.
2. Disusunnya suatu Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma dirasakan perlu untuk
segera dilaksanakan mengingat perlunya perlindungan dan pelestarian yang efektif dan
berkelanjutan dalam memenuhi nilai-nilai yuridis normatif bagi arah perkembangan dan
kesinambungan hukum adat tanah serawai yang berada di Kabupaten Seluma. Namun dalam
penyusunan tersebut terdapat beberapa masalah-masalah atau kendala yang harus dicari jalan
keluarnya. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penyesuaian dengan kaedah hukum positif;
b. Proyeksi ke depan terkait tingkat kepatuhan dan efektifitas terkait dengan peraturan
daerah yang akan dibuat; dan
c. Kebersiapan seluruh perangkat adat yang akan dibentuk atau disahkan melalui peraturan
daerah yang akan dibuat yang wacananya akan meliputi hingga wilayah admisnistratif
desa/kelurahan.
3. Pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis mutlak diperlukan dalam proses penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat Tanah
Serawai.
a. Pertimbangan filosofis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma
tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai.dapat sesuai dengan
landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta norma-norma yang akan diatur tidak
bertentangan dengan sumber hukum tertinggi bangsa Indonesia.
b. Pertimbangan Sosiologis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma
tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai dapat secara konkrit
memenuhi kebutuhan daerah (masyarakat).
c. Pertimbangan Yuridis diperlukan agar Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma
tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai tidak bertentangan dengan
konstruksi yuridis sebagaimana yang diatur dalam mekanisme ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Hukum Adat
Tanah Serawai diharapkan dapat memenuhi sasaran, ruang lingkup, jangkauan. dan arah
pengaturan .dalam pembentukan suatu peraturan daerah.
5. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik mengenai Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakukan Kompilasi Hukum Adat Tanah
Serawai (KHATS) adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif merupakan metode
yang dilakukan melalui studi pustaka yaitu menelaah data sekunder yang berupa peraturan
perundang-undangan, Putusan Pengadilan, dokumen hukum lainnya, hasil penelitian dan/atau
pengkajian serta referensi lainnya. Metode yuridis normatif juga dikembangkan berdasrkan proses
interview atau wawancara terhadap narasumber yang berkaitan langsung dengan judul
penyusunan Naskah Akademik.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Hukum adat atau dalam istilah asing sering dikenal dengan istilah (adatrecht) merupakan
suatu sistem hukum yang tumbuh, hidup dan mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat
Indonesia. Tidak ada yang mengetahui kapan pastinya hukum adat tercipta. Dalam beberapa
literatur dijelaskan bahwa pada dasarnya justru hukum adat telah ada jauh lebih dahulu daripada
beberapa sistem hukum barat bahkan keberadaannya dinilai sebagian sarjan hukum jauh lebih
bersifat elastis, dinamis dan memiliki norma-norma yang lebih kongkrit atau nyata untuk
diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Soepomo, salah seorang ahli hukum adat berpendapat bahwa pada dasarnya tiap-tiap hukum
merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan yang
berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun dengan hukum adat. Sistem hukum adat yang
bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentunya tidak sama dengan alam
pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar tentang hukum adat, orang harus
dapat menyelami alam pikiran orang-orang atau bangsa Indonesia. Dalam buku Het Adatrecht
van Ned. Indie, yang merupakan standardwerk tentang ilmu hukum adat, Van Vollenhoven
melukiskan susunan hukum adat pada tiap-tiap lingkaran hukum adat (adatrechtskring) diseluruh
kepulauan Indonesia. Dalam gambaran tersebut, Van Vollenhoven menggunakan metode dan
istilah-istilah ciptannya sendiri, berlainan daripada metode dan istilah hukum yang lazim dipakai
dalam lukisan sistem hukum barat. Beliau berpendapat bahwa hukum adat merupakan hukum asli
buatan orang atau bangsa Indoensia yang paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Suatu sistem sosial yang merupakan pusat perhatian dalam pelbagai ilmu-ilmu sosial
merupakan suatu wadah dan proses daripada pola-pola interaksi sosial. Secara struktural, maka
suatu sistem hukum mencakup unsur-unsur pokok sebagai berikut :
1. Kepercayaan, yaitu hipotesa tentang gejala yang dihadapi, gejala mana yang dianggap benar;
2. Perasaan, yaitu sikap yang didasarkan pada emosi atau prasangka (prejudice);
3. Tujuan yang merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses-proses perubahan, atau
dengan jalan memepertahankan sesuatu;
4. Kaedah, yaitu pedoman tentang tingkah laku yang pantas;
5. Kedudukan, peranan dan pelaksanaan peranan yang merupakan hak-hak dan kewajiban serta
penerapannya di dalam proses interaksi sosial;
6. Tingkatan atau jenjang, yaitu posisi sosial yang menentukan alokasi hak-hak dan kewajiban-
kewajiban;
7. Sanksi, yaitu suatu persetujuan (=sanksi positif) atau penolakan (=sanksi negatif) terhadap
pola-pola perikelakuan tertentu;
8. Kekuasaan yang merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar dia berbuat
sesuai dengan kemauan pemegang kekuasaan; dan
9. Fasilitas yang merupakan sarana-sarana untuk mencapai tujuan.
Hukum adat pada mulanya merupakan kebiasaan-kebiasaan (custom) yang umum terjadi
dalam lingkup suatu komunitas tertentu. Lambat laun kebiasaan-kebiasaan tersebut pada akhirnya
berkembang menjadi tata kelakuan (mores). Tata kelakuan yang timbul sebagai akibat dari
kehendak bersama masyarakat yang menginginkan kehidupan yang aman tentram dan teratur.
Seiring dengan proses perkembangannya, tata kelakuan tersebut pada muaranya berkembang
menjadi kekuatan yang mengikat masyarakat sehingga terus berkembang dan lahirlah apa yang
disebut dengan Hukum Adat.
Hukum adat merupakan hasil suatu sistem sosial. Sebagai suatu hasil sistem sosial, hukum
adat memiliki kemajemukan atau pluralisme sistem yang berbeda-beda baik antara satu kesatuan
masyarakat suatu daerah dengan daerah lainnya. Setiap kesatuan hukum adat memiliki fungsi dan
tujuan masing-masing. kemajukan tersebut banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor bawaan atau genealogis;
Faktor genealogis merupakan faktor bawaan yang memeang merupakan hasil dari daya karsa,
cipta dan karya pihak pendiri atau pemuka suatu kaum adat dan diteladani yang dikuti oleh
kaumnya. Faktor ini menunjukkan suatu ciri khas tertentu yang membedakan suatu hukum
adat satu dengan hukum adat lainnya.
2. Faktor tipologis wilayah;
Bentuk tipologi suatu wilayah sedikit banyak akan mempengaruhi karakteristik sistem sosial
suatu masyarakat. Tentunya, masyarakat sosial dipegunungan akan memiliki karakteristik
yang berbeda dengan masyarakat yang berada di pesisir pantai.
3. Faktor dinamika sosial;
Suatu masyarakat yang memiliki sistem sosial tersendiri akan mengembankan atau
mengadaptasikan sistem sosialnya sendiri berdasarkan apa yang terjadi di masyarakat
sosialnya.
4. Faktor fungsional religius ideologis;
Masuknya suatu agama atau kepercayaan kedalam suatu golongan masyarakat akan
membawa konsekuensi terintegasinya suatu sistem sosial dengan suatu agama atau
kepercayaan tertentu..
5. Faktor eksternal;
Faktor ini pada dasarnya juga mempengaruhi karakteristik suatu hukum adat yang timbul
berdasarkan proses akultrasi atau ameliorasi sistem sosial yang dibawa kaum pendatang
yang masuk kedalam suatu sistem kaum tertentu yang didatangi.
Sebagai hasil dari suatu sistem sosial, hukum adat pada akhirnya menjelma menjadi suatu
tatanan kehidupan bagi masyarakat tertentu dan dijadikan tolak ukur, cerminan dan pedoman
dalam bersikap dan bertingkah laku di masyarakat. Sebagian masyarakat bahkan menjadikan
hukum adat menjadi suatu imaje yang sakralistik. Hukum adat yang diagungkan merupakan suatu
konsekuensi hukum logis yang mengikat segolongan masyarakat dan memiliki sanksi
(adatsanctie) bagi yang melanggar aturan tersebut.
Kemajukan masyarakat Indonesia tentu akan melahirkan pluralisme kesatuan masyarakat
hukum adat juga. Pluralisme kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilihat dari banyaknya suku
bangsa di Indonesia yang antara satu suku dengan suku lainnya memiliki norma atau kaedah
hukum adat tersendiri. Dalam dalam majalah Sosiografi Indonesia Nomor 1 tahun 1959
karangangan M.A Jaspan, dengan mengambil kriterai bahasa, daerah kebudayaan serta susunan
masyarakat diterangkan bahwa ada banyak suku bangsa di Indonesia. Suku-suku tersebut
diantaranya di Sumatra memiliki 49 Suku, di Jawa 7 Suku, di Kalimantan 73 Suku, di Nusa
Tenggara 30 Suku, Maluku Ambon 41 Suku dan di Irian Jaya ada 49 Suku.
Pada dasarnya adanya hukum adat menunjukkan bahwa manusia merupakan individu yang
menghendaki kehidupan yang teratur. Akan tetapi kemungkinan keteraturan yang tercipta dapat
idealnya berbeda satu sama lain sehingga masing-masing lingkungan masyarakat membuat suatu
pedoman atau pegangan sendiri-sendiri. Beberapa sistem hukum adat di Indonesia dalam
melestarikan sistem hukum adat banyak yang mendirikan suatu lembaga pengatur sekaligus
penjaga kewibawaan hukum adat di suatu wilayah yang dikenal dengan nama lembaga adat.
Salah satu lembaga adat tersebut dewasa dikenal dengan Badan Musyawarah Adat (BMA).
Hukum positif di Indonesia, harus diakui banyak dipengaruhi oleh sistem hukum barat
(europa continental). Sistem hukum tersebut wajar kiranya jika bercermin pada sejarah bangsa
Indonesia sebelum masa kemerdekaan merupakan salah satu daerah kolonialisme dan
imprealisme bangsa asing terutama dari Bangsa Belanda. Sejak masuknya VOC masuk ke
Indonesia, sistem di Indonesia, selalu dirudapaksa untuk menyesuaikan diri dengan kehendak
masing-masing penguasa asing kala itu. Hingga setelah melewati beberapa abad, Indonesia pun
harus mengakui keberadaan sistem hukum asing untuk diterapkan di Indoneisia baik dalam
bentuk kodifikasi, adopsi ataupun ordonansi.
Dewasa ini hukum adat di Indonesia justru sedikit banyak eksistensinya menjadi terisolasi
dalam dunia hukum. Kuatnya hegomoni hukum barat menjadi penyebab terbesar. Padahal, dalam
banyaknya penelitian di Inodensia mengenai hukum adat, para sarjana hukum dan para ahli
hukum adat sama bermufakat bahwa justru hukum adat mengatur lebih konkrit, realistis
dan konsisten dalam mengatur tingkah laku masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri, daripada
hukum barat. Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa hal, yaitu :
1. Hukum adat hadir dan tercipta ditengah-tengah masyarakat sehingga lebih bisa menjawab
kebutuhan-kebutuhan hukum yang ada di masyarakat;
2. Hukum adat merupakan hasil kesepakatan bersama segolongan masyarakat sehingga
pelaksanaannya lebih dipatuhi.
Namun pada perkembangannya kehadiran hukum barat, baik secara langsung ataupun tidak
langsung tidak bisa disalahkan sepenuhnya dan pada akhirnya dirasakan sebagai sistem hukum
yang lebih lengkap (complecated) baik dari segi kontekstual maupun segi keberlakuannya.
Hukum barat justru dipandang lebih bisa mengatur beberapa norma, aturan dan/atau kaedah yang
tumbuh kembang di masyarakat yang diantaranya adalah kaedah agama, kesusilaan, kesopanan
dan adat itu sendiri. Dalam era kekinian, konsep negara hukum (lawstates) justru lebih bisa
diterima dalam konsep komunitas dalam suatu entitas bernama negara. Tidak seperti hukum adat
yang hanya mengatur segolongan masyarakat hukum adat dan itupun bersifat limitatif, terbatas
pada golongan kaum atau masyarakat hukum adatnya sendiri dan mungkin tidak dapat berlaku
jika diterapkan dalam masyarakat hukum adat lainnya.
Hukum adat bukannya menjadi hukum yang terpinggirkan dalam konteks hukum positif
Indonesia. Hukum positif di Indonesia juga tidak menjadi satu-satunya hukum yang mencontoh
sistem hukum asing seperti sistem hukum europa continental, sistem hukum anglo saxon,
ataupun sistem hukum lainnya. Hukum positif di Indonesia juga mengadopsi beberapa norma
dalam sistem hukum Islam bahkan sistem hukum adat. Ada cukup banyak norma adat yang
mewarnai sistem hukum di Inodenesia. Beberapa diantaranya justru mendominasi sistem-sistem
hukum yang memegang pengaruh penting dalam tata kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
Beberapa diantarana sistem hukum di Indonesia yang ‘disusupi’ oleh hukum adat di Indonesia
adalah sistem hukum yang berkaitan dengan permaslaahan perkawinan, kependudukan,
permasalahan perkawinan, permasalahan kewarisan, permasalahan agraria, dan justru ada
beberapa konsep adat yang diakui keberadaannya oleh hukum Indonesia berdasarkan
yurisprudensi hakim pengadilan perdata seperti pengakan upacara ‘ambil anak’ di Provinsi Bali.
Dalam beberapa hal sebagaimana yang telah disebutkan, hukum adat justru amat menjiwai
beberapa sistem hukum positif.
Sumber hukum tertinggi dan falsafah hukum bangsa Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan Pancasila juga mengadopsi nilai-nilai
masyarakat Indoensia. Pancasila merupakan buah karya dari masyarakat tradisional (adat) pada
zaman dahulu yang menghendaki adanya 5 (lima) nilai-nilai budi dan perilaku yang harus
dimiliki masyarakat di Nusantara. Nilai-Nilai tersebut tercermin dalam sila-sila dan butir-butir
Pancasila. Pembukaan (Preambule) dari Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dalam
satu pernyataannya memuat nilai-nilai adat kolektif yang mendasari sifat asli bangsa Indonesia,
yaitu sebagaimana disebutkan :
UUD NRI Tahun 1945
‘bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Hukum adat dalam hukum positif di Indonesia pada prinsipnya secara hukum telah diakui
keberadaan dan kedudukannya di Indonesia. Pengejantawahan hukum adat dalam hukum positif
Indonesia sama artinya dengan menghilangkan nilai-nilai dan karakteristik hukum positif itu
sendiri yang secara langsung ataupun tidak langsung berdiri dan lahir diatas tatanan hukum adat.
Untuk mengadopsi aturan hukum adat di Indonesia pada dasarnya harus dapat memenuhi
beberapa platform yang tersedia. Artinya, sekalipun hukum adat diakui eksistensinya dalam
hukum nasional tidak serta merta dapat langsung ditransformasikan secara legal yuridis ke dalam
hukum positif Indonesia.
Dalam mengakomodasi beberapa materi hukum adat ke dalam sistem hukum positif, pada
prinsipnya ada beberapa kaedah yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sistem
hukum positif dibangun berdasarkan pondasi hukum tersendiri dalam konteks kenegaraan.
Hukum positif (nasional) merupakan kompleksifitas hukum yang mengatur banyak hal termasuk
di dalamnya hukum adat. Jikapun ada pengaturan mengenai hukum adat yang perlu diatur ke
dalam hukum nasional, itu disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
1. Kebutuhan hukum yang mendesak untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvinding) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara;
2. Pengakuan khusus terhadap kedudukan dan eksistensi dari keberadaan hukum adat di
Indonesia yang di dalam beberapa bidang diakui keberadaannya, termasuk penerapan
yurisprudensi hakim pengadilan negeri keperdataan dalam memutuskan perkara-perkara adat
yang dijadikan petunjuk bagi pelaksanaan hukum adat di daerah lainnya;
3. Adanya pandangan hukum yang sama dari segolongan pembentuk hukum perundang-
undangan yang menyatakan bahwa terdapat nilai-nilai ekslusif dalam hukum adat tertentu
yang cocok untuk berdaya laku secara umum dan tegas di masyarakat dan dapat diterapkan ke
dalam hukum negara.
Dari berbagai penjelasan yang telah diuraikan, jelas dapat diketahui bahwa keberadaan
hukum adat pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum positif tertulis. Hukum Adat
justru mewarnai dan menjadi nyawa bangsa Indonesia yang menunjukkan suatu karakteristik
khusus dan istimewa yang membedakan antara bangsa Indoensia dengan bangsa lainnya. Namun
sekali lagi, untuk dapat melegal yuridiskan hukum adat ke dalam hukum positif Indonesia ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Suatu kaedah hukum adat yang akan diatur dalam hukum positif harus melalui proses dan
mekanisme pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan;
2. Suatu kaedah hukum adat dapat diatur dalam salah satu produk perundang-undangan seperti
produk hukum daerah (peraturan daerah) pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan
pengaturan kepentingan yang bersifat nasional seperti, agama, pendidikan, pertahanan
keamanan, kependudukan, dan lain-lain;
3. Dalam melegalisasikan hukum adat ke dalam hukum perundang-undangan, ketentuan-
ketentuan di dalam hukum adat tidak boleh bertentanngan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi baik dari segi isi peraturan, makna ataupun tujuan dari legalisasi
tersebut. Hal ini untuk menjamin elektabilitas kepastian hukum dari sistem hukum positif;
dan
4. Pengaturan hukum adat ke dalam hukum nasional, khusus terhadap proses akomodasi
norma (kaedah) adat ke dalam produk hukum daerah, harus memperhatikan kebutuhan
masyarakat di daerah dan adanya ciri khas atau karakteristik khusus suatu daerah dalam
pengaturannya.
Modernisasi hukum adat ke dalam hukum positif, secara implisat tidak diatur secara penuh
dalam tata hukum di Indonesia. Akan tetapi, transformasi sebagian atau keseluruhan kaedah yang
terdapat dalam hukum adat bukan berarti tidak dapat diakomodir ke dalam hukum positif. Proses
transformasi tersebut tetap harus memperhatikan aspek-aspek hukum positif yang menjadi
landasan hukum kenegaraan bangsa Indoensia saat ini. Proses modernisasi hukum adat ke dalam
hukum positif justru dapat memperkaya khasanah hukum positif dan dapat menjamin
keberlangsungan dan ketahanan hukum nasional. Sebagaimana diketahui bahwa hukum itu
sendiri bilamana terus dipertahankan tentu akan menjadi ‘bumerang’ bagi masyarakat yang
menganut dan mematuhi hukum itu sendiri mengingat sifat hukum itu sendiri yang cenderung
statis dan kurang adaptif dan tidak awet.
Harus dipahami bahwa hukum nasional itu sendiri pada dasarnya tidak akan dapat diterima
dan ditegakkan (enforced) sebagai hukum positif Indonesia kalau hukum itu positif di Indonesia
tidak berakar pada konsep-konsep dasar yang telah lama diakui dan dipegang teguh bangsa
Indonesia seperti asas-asas ke-Tuhanan, asas kekeluargaan, asas kesopanan, asas gotong royong,
asas musyawarah dan lain sebagainya3. Walaupun demikian, bukan berarti hukum adat menjadi
satu-satunya sistem hukum yang dapat diutamakan, mengomperasikan berbagai sistem hukum
yang ada dan menerapkannya dalam hukum positif sebagai bahan mencari sistem hukum yang
lebih baik adalah yang paling ideal.
B. Praktik Empiris
Propinsi Bengkulu merupakan salah satu propinsi di Pulau Sumatera yang secara
geografis terletak antara 2o-5o LS dan 101o – 104o BT dan berada di bagian Barat sebelah Selatan
Pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Propinsi Bengkulu berbatasan dengan Propinsi Sumatera
Barat, di sebelah Selatan dengan Propinsi Lampung, sebelah timur dengan Propinsi Jambi dan
Sumatera Selatan, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Luas wilayah
Propinsi Bengkulu adalah 1.978.870 hektar dengan bentuk wilayah relatif memanjang sejajar
garis pantai, dengan panjang garis pantai sekitar 525 km. Lebar daratan dari garis pantai
bervariasi, dari yang tersempit sekitar 32,5 km dan yang terlebar sekitar 102 km. Fisiografi
wilayahnya terdiri atas jalur dataran rendah dan jalur dataran tinggi. Jalur dataran rendahnya
tidak begitu lebar, membentang dari ujung bagian Utara ke bagian Selatan di sebelah barat sejajar
dengan garis pantai; sedangkan dataran tingginya umumnya terletak disebelah Timur yang
merupakan gugusan Pegunungan Bukit Barisan.
3 Hukum Adat dan modernisasi hukum, Pustaka Fajar Ofset, Fakultas Hukum UII,Tahun 1998, hlm 171.
Saat ini Provinsi Bengkulu terbagi menjadi 10 (sepuluh) wilayah administratif, yaitu
Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten
Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Utara,
Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur.
Dari segi budaya dan tradisi, Provinsi Bengkulu terdiri dari beberapa suku bangsa yang
mewakili masing-masing wilayah administratif. Suku bangsa itu sendiri meliputi beberapa
komunitas penduduk dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa suku bangsa yang ada dan
tersebar di Provinsi Bengkulu diantaranya adalah suku rejang, suku serawai, suku lembak, suku
minangkabau, suku jawa, suku melayu bengkulu, suku batak, suku sunda, suku pasemah, dan
suku-suku lainnya.
Kabupaten Seluma memiliki luas administratif, 6.657.364 Kilometer dengan populasi
penduduk sebanyak 297.876 jiwa (sensus penduduk : 2010). Kabupaten Seluma memiliki 15
Kecamatan dan 95 Kelurahan dengan ibukota berada di Tais.
Kabupaten Seluma menjadi salah satu Kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 03
Tahun 2003 sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Bengkulu Selatan. Dahulu Kabupaten ini
termasuk kabupaten yang belum sama sekali memiliki potensi unggulan daerah, namun sejak
tahun 1998 Kabupaten Seluma bukan lagi menjadi kabupaten yang tertinggal karena
menghasilkan padi yang menjadi potensi unggulan. Kabupaten Seluma merupakan salah satu
kabupaten yang didiami oleh sebagian besar suku bangsa serawai.
Adapun batas-batas Kabupaten Seluma adalah sebagai berikut :
1. Sebelah utara kabupaten ini bebatasan dengan Kecamatan Selebar Kota Bengkulu dan
Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Utara.
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan.
4. Sebe;ah barat berbatasan dengan Samudra Hindia.
Suku bangsa serawai, sejak masa lalu sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki
persebaran dan populasi cukup besar di Provinsi Bengkulu. Domisili dan mayoritas penduduk
suku serawai terdapat di Kabupaten Seluma. Suku Serawai sebagaimana suku lainnya memiliki
karakteristik dan ciri khas masyarakat tersendiri. Salah satu Karekteristik dan ciri khas Suku
bangsa serawai tercemin dalam kebiasaan masyarakat suku serawai yang pada akhirnya menjelma
menjadi hukum adat serawai. Hukum adat serawai, sebagaimana telah diatur dan termuat dalam
Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai (KHATS) yang terdiri dari 5 (lima) buku, yaitu :
1. Buku Ke-1 tentang Organisasi Perangkat Adat;
Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang sekelumit mengenai organisasi perangkat
adat yang meliputi pembentukan struktur dan perangkat organsiasi, fungsi dan tujuan
organisasi, serta kewenangan organisasi mulai dari lembaga adat yang dibentuk pada setiap
desa/kelurahan, Kerapatan Adat Tanah Serawai, dan Badan Musyawarah Adat.
2. Buku Ke-2 tentang Kompilasi Hukum Adat
Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang segala bentuk ruang lingkup atau
lapangan hukum yang mencakup hukum adat serawai, seperti ritual adat daur hidup (ritual gil
ngandung, kelahiran, ngenjuak namo dan lain-lain), Tato Caro Perkawinan, Adab Pergaulan
Sehari-hari, Reto Bendo, Hak Ulayat Ngen Gimbo Larangan, dan lain sebagainya.
3. Buku Ke-3 tentang Adat Istiadat;
Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang hak dan kewajiban penduduk asli dan
kaum pendatang, Upacara-upacara, dan hal-hal lainnya.
4. Buku Ke-4 tentang Budaya Adat;
Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang ragam budaya tanah serawai, bentuk-
bentuk budaya tanah serawai, aplikasi budaya tanah serawai, bentuk-bentuk upacara tanah
serawai, pergaulan sehari-hari dan lain sebagainya.
5. Buku Ke 5 tentang Seni Tradisional;
Pada bagian ini, mengatur dan menjelaskan tentang bentuk-bentuk seni yang ada di tanah
serawai seperti seni suaro, seni musik dan lain sebagainya.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Keterkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun
1945
UUD NRI Tahun 1945
‘yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia…’
Pasal 18 huruf B angka (1)
‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’
Pasal 18 huruf B angka (2)
‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’
B. Keterkaitan dengan Undang-Undang
1. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA);
Sebagian besar muatan materi dalam UUPA merupakan adaptasi yuridis hukum adat yang
merupakan hukum asli bangsa indonesia ke dalam sistem hukum nasional. Praktek
pengelolaan hutan, tanah yang memiliki fungsi sosial, sistem bagi hasi perkebunan dan
peternakan, status kepemilikan tanah yang meliputi tanah dan bangunan, dan kontekstual
hukum lainnya merupakan beberapa bentuk konsep hukum adat yang dilegalkan dalam
hukum positif Indonesia. Sumbangan nyata konsep hukum adat dalam hukum agraria di
Indonesia juga terdapat dalam pembangunan rumah susun yang menganut asas pemisahan
horizontal (horizontal scheiding) 4Tentunya hal tersebut menjadi apresiasi tersendiri bagi
pengakuan terhadap keberadaan hukum adat di Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebagian muatan materi dalam Undang-Undang tentang perkawinan merupakan hasil adopsi
dari hukum adat selain adopsi kaedah mayoritas dari hukum agama. Masalah keperdataan
terkait pengangkatan anak adopsi dan anak angkat menjadi beberapa contoh konkritnya.
C. Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
1. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 39/K/Sip/1956 tertanggal 19 September 1956 yang
menyangkut masalah hak desa atas tanah di daerah Lamongan yang pada initinya adalah
bahwa orang yang mendapatkan tanah dari desa atas dasar pinjaman, dapat mengalihkannya
kepada pihak lain apabila ada persetujuan desa;
2. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 65/K/Sip/1960 tertanggal 09 Maret 1960 yang
menyangkut hak desa atas tanah di daerah Klaten yang pada intinya adalah bahwa untuk
sahnya pemindahan hak atas tanah diperlukan keputusan desa;
3. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 239/K/Sip/1960 tertanggal 24 Agustus 1960 yang pada
intinya adalah menyangkut hak masyarakat hukum adat atas tanah di daerah Tapanuli yang
apabila terjadi perampasan tanah, maka ’huta’ yang harus menuntut; dan
4 Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Pustaka Fajar Offset, 1998, hal 174.
4. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 361/K/Sip/1975 tertanggal 30 Desember 1975 yang
menyangkut hak masyarakat hukum adat atas tanah Ambon. Pokok persoalan adalah seorang
bukan anak dati tidak berhak makan dati kecuali ada persetujuan dari kepala dati dan anak-
anak dati. Tanaman yang disebut sebagai pusaka dati, diwariskan kepada anak dan cucu dari
anak dati yang bersangkutan.5
5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2002, hal 169.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A. LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis dari konstruksi penerapan hukum adat dalam sistem hukum nasional
(hukum negara) adalah Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir
(ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Rudolf Stamler6 mengatakan
bahwa rechtsidee berfungsi sebagai leitsern (bintang pemandu) bagi terwujudnya cita-cita sebuah
masyarakat. Dari rechtsidee itulah disusun konsep dan politik hukum dalam sebuah negara.
Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945
‘bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, msks
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
keadilan…’
Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945
‘yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia…’
6 Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, (Jogyakarta: RadjaGrafindo, 1996) hal. 11
Selain dari apa yang disebut secara implisit dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945), pengakuan tentang keberadaan hukum adat
juga dapat ditemui secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 18 huruf B angka (1) dan Pasal 18
angka (2).
Pasal 18 huruf B angka (1)
‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’
Pasal 18 huruf B angka (2)
‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Sebagaimana telah diketahui bahwa penduduk asli Kabupaten Seluma merupakan masyarakat
mayoritas suku serawai. Suku serawai sebagaimana suku lainnya tentu memiliki kearifan lokal
tersendiri yang terakumulasi dalam suatu komunitas hukum adat sendiri yang mandiri. Sebelum
hadirnya hukum nasional, disinyalir bahwa masyarakat suku serawai telah mendasarkan norma
dan prilakunya pada hukum adatnya sendiri. Hukum adat masyarakat serawai pada dasarnya
apabila dikaji secara lebih mendalam dinilai cukup lengkap dan konkrit dalam mengatur dan
menjaga pola interaksi sosial dalam masyarakat serawai disamping adanya norma-norma lainnya.
Hal ini dapat diketahui dalam kompilasi hukum adat tanah serawai yang didalamnya mengatur
pola setiap segi kehidupan bagi masyarakat serawai. Pengaturan tersebut meliputi :
1. Perihal Ragam Pengaturan Adat;
2. Perihal Lembaga Adat;
3. Perihal Perkawinan Adat;
4. Perihal Harta Benda (waris adat);
5. Perihal Hukum Pribadi;
6. Perihal Pola Tingkah Laku Masyarakat;
7. Perihal Sanksi Adat; dan
8. Perihal Seni dan Budaya Adat Tanah Serawai.
C. LANDASAN YURIDIS
Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945
‘bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, msks
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
keadilan…
Kesamaan penderitaan, perasaan senasib dan sepenanggungan tersebut pada hakikatnya
membuahkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan persatuan. Sekalipun masyarakat
hukum adat yang satu memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan masyarakat hukum
adat yang lain, ternyata terdapat nilai-nilai kebiasaan yang sama dianut dan ditaati bersama.
Norma-norma tersebut pada akhirnya terjalin menjadi suatu pernyataan kebangsaan bersama
mengenyampingkan perbedaan suku bangsa dan lainnya sebagaimaana yang tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Secara tegas implisit, keberadaan hukum adat lebih ditegaskan lagi dalam batang tubuh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) yaitu dalam Pasal 18
huruf B angka (1) dan Pasal 18 huruf B angka (2).
Pasal 18 huruf B angka (1)
‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’
Pasal 18 huruf B angka (2)
‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’
Secara analogi, kaidah-kaidah tersebut pada dasarnya menginterprestasikan sesuatu bahwa
pluralisme hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tetap diakui keberadaan dan
eksistensinya dalam hukum negara. Namun apabila dikaji dengan lebih cermat terdapat
pernyataan yang bersifat limitatif kritis di dalamnya, yaitu :
1. Pengakuan istimewa terhadap suatu kesatuan masyarakat beserta perangkat daerah yang
dinyatakan khusus karena keistimewaannya, seperti pengakuan terhadap Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD);
2. Hukum adat diakui keberadaannya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat;
3. Hukum adat diakui keberadannya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaiman yang diatur dalam Undang-Undang.
Berdasarkan hal tersebut, tentu keberadaan hukum adat ditengah-tengah perkembangan
hukum positif nasional tidak menjadi persoalan berarti dan justru dapat memperkaya khasanah
hukum positif itu sendiri.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
’Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi’
Pengaturan norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pada prinsipnya menunjukkan adanya asas keterbukaan bagi hukum adat
untuk mengambil peran dalam dinamika hukum positif di Indonesia. Peranan tersebut pada
prinsipnya dapat diambil selama proes adopsi hukum adat ke dalam hukum nasional tetap
mengutamakan aturan dalam hukum nasional, tidak bertentangan dengan hukum nasional dan
murni ingin menunjukkan suatu aspirasi masyarakat daerah dalam rangka mengakomodir
kebutuhan hukum masyarakat hukum itu sendiri.
Elektabilitas dan ekses hukum adat ke dalam hukum nasional dalam bentuk peraturan
daerah pada dasarnya juga diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu Pasal 18 ayat (2) dan Pasal
18 ayat (6).
Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
‘Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan’
Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945
‘Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas-tugas pembantuan’
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELUMA
A. Ketentuan Umum Rumusan Akademik
Ketentuan umum dalam rumusan akademik pada dasarnya merupakan suatu bentuk yang
berisikan :
1. Batasan pengertian atau definisi;
2. Singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasn pengertian atau definisi; dan/atau
3. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya, antara lain ketentuan
yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam suatu
pasal atau bab.
B. Materi Yang Akan diatur
Materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang
Pemberlakuan Hukum Adat Tana Serawai.hanya mengatur mengenai pemberlakuan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tana
Serawai dan pemberlakuan lembaga-lembaga adat yang terkandung dalam kompilasi hukum
tersebut.
Pasal 1
Memberlakukan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai Kabupaten Seluma Provinsi
Bengkulu.
Pasal 2
Muatan materi dalam Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 mencakup Organisasi Perangkat Adat, Ruang Lingkup Adat, Adat Istiadat, Budaya
Adat, Seni Tradisional dirangkum secara mandiri dan sistematis.
C. Ketentuan Sanksi
Adapun jenis sanksi adat yang diterapkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Seluma tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tanah Serawai Kabupaten Seluma adalah
sebagai berikut :
1. Sanksi moral, yang apabila tidak dipatuhi maka si pelanggar mempertanggung jawabkan
perbuatannya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Uang Adat, yaitu apabila si pelanggar adat melanggar salah satu ketentuan adat maka wajib
membayar sejumlah uang sebesar sebagiamana ditentukan dalam Kompilasi hukum Adat
Tanah Serawai; dan
3. Dendo Adat, suatu sanksi adat yang mengharuskan si pelanggar adat untuk membayar ganti
rugi sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan tanpa berbentuk uang. Contoh Dendo
Adat adalah berupa permintaan maaf atau pemberian nasi kunyit sejambar sebagai bentuk
pelanggaran akibat menyalahi atauran pertunangan (Berasan dan Ngantat Belanjo).
D. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan merupakan ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan
atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama
terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk :
1. Menghindari terjadinya kekosongan hukum;
2. Menjamin kepastian hukum;
3. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan
perundang-undangan; dan
4. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi norma-norma atau kaedah hukum adat serawai ke dalam hukum positif
sebagaimana sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya
terhadap peraturan daerah secara yuridis normatif merupakan hal yang dibolehkan dan tidak
dilarang. Eksistensi hukum adat pada dasarnya telah diakomodir secara penuh oleh sumber
hukum tertinggi yang dijadikan sebagai landasan hukum utama Indonesia yaitu terdapat pada
Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (2).
Dalam mengimplementasikan kaedah adat ke dalam peraturan daerah sekalipun
sebagaimana telah dijelaskan dibolehkan secara yuridis normatif, akan tetapi ada batasan-batasan
yang harus diperhatikan oleh para pembentuk (pemerakarsa) peraturan daerah tersebut. Batasan-
batasan tersebut antara lain adalah :
1. Muatan materi peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi atau peraturan yang sederajat. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak
menimbulkan dualisme dalam menginterprestasikan hukum terutama dalam lingkup psikologi
dan sosiologi hukum;
2. Muatan materi tersebut harus sesuai dengan mekanisme pemebentukan perundang-undangan
sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan; dan
3. Mauatan materi peraturan daerah tersebut mencerminkan kebutuhan, aspirasi dan karakteristik
suatu daerah.
Peraturan daerah yang mengatur pemberlakuan suatu hukum adat dalam bentuk kompilasi
hukum juga harus perlu menyesuaikan dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang
ada. Sekalipun suatu peraturan daerah hanya memuat masalah pemberlakuan kompilasi hukum,
bukan berarti analisis kristis terhadap kompilasi tersebut menjadi diabaikan. Justru kajian yang
cermat dan mendalam diperlukan untuk menguji kompilasi hukum tersebut. Pengkajian dimaksud
adalah untuk mengelimininasi kaedah-kaedah yang tidak sesuai antara peraturan daerah terkait
dengan kompilasi hukum yang diberlakukan oleh peraturan daerah tersebut. Sehingga diharapkan,
peraturan daerah yang ditetap dan disebarluaskan tidak akan menimbulkan pertentangan dan
dualisme hukum di kemudian hari.
B. Saran
Dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang
Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai dan demi penyempurnaan konstruksi
hukum yang konkrit, disarankan :
1. Untuk mengkaji kembali muatan materi dalam Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai secara
kasuistis terhadap pasal-pasal yang berkenaan dengan sanksi adat. Sedapatnya agar pasal-
pasal yang terkait dengan sanksi adat dapat dikaji kembali dan bila perlu diubah sesuaikan
secara lebih adil dengan tidak terlalu memberatkan pelanggar adat. Hal tersebut disebabkan
oleh karena dalam beberapa hal, terkadang pelanggaran dalam hukum adat juga telah diatur
dalam hukum positif dan tentunya ini dapat mmemicu terjadinya dualism hukum di
masyarakat. Tanpa mengurangi esensi dan nilai sakralistik dalam suatu norma adat,
sedapatnya hal ini perlu untuk dikaji kembali.
2. Agar jika dimungkinkan, dalam muatan materi Peraturan Daerah Kabupaten Seluma tentang
Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Serawai juga mengakomodir norma-norma adat
serawai lain yang mungkin belum dilakukan penelitian terhadapnya dan belum diatur dalam
Kompilasi Hukum Adat Tana Serawai.
.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Sudiyat, SH, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Tahun 2000.
Universitas Islam Indonesia, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Pustaka Fajar Offset, Yogyakarta, 1998
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2002
Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, Jogyakarta, RadjaGrafindo Tahun 1996.
Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern Society ;USA, Berg Puolisher, Tahun 1994.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Press;Cetakan V, Yogyakarta, Tahun 1997.
Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan, Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University Press, Tahun 2000.
Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
3. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah; dan
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
NASKAH AKADEMIS
PEMBERLAKUAN
KOMPILASI HUKUM ADAT SELUMA